Anda di halaman 1dari 6

Pendidikan merupakan salah satu pondasi dalam kemajuan suatu bangsa, semakin baik

kualitas pendidikan, maka semakin baik pula kualitas bangsa tersebut. Di Indonesia

pendidikan memiliki peranan penting dalam mencetak generasi penerus yang cerdas dan

mampu bersaing dengan negara-negara lain. Sebagaimana yang dijabarkan dalam Undang-

Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 bahwa

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman

dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri dan menjadi warga negeri yang demokratis serta bertanggung jawab”. Titik

tekan pasal tersebut adalah bahwa untuk mewujudkan kemampuan peserta didik yang

berilmu, cakap, kreatif dan mandiri tidak hanya sebatas kemampuan berpikir tingkat rendah

(low order thinking skill), tetapi juga kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking

skill).

Pada kenyataannya pendidikan nasional ternyata masih jauh dari harapan. Kualitas

pendidikan nasional sedang mengalami penurunan, salah satunya pada mata pelajaran Ilmu

Pengetahuan Alam (IPA). Tujuan Pendidikan di Indonesia adalah meningkatkan kualiatas

peserta didik melalui pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) sejak usia

dini sebagai keterampilan dasar untuk kehidupan sehari-hari, selain prestasi akademik di

sekolah (Utomo, Narulita & Shimizu, 2018). Berpikir tingkat tinggi melibatkan berbagai

proses berpikir yang diterapkan pada situasi kompleks dan memiliki banyak variabel (King,

Goodson & Rohani, 2015); serta penting dalam pendidikan IPA untuk membuat hubungan

antara bukti dan penjelasan.


Penurunan kualitas pendidikan IPA di Indonesia dapat dilihat pada ajang internasional

TIMSS. Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) merupakan studi

internasional yang fokus pada prestasi matematika dan IPA pada peserta didik SMP. Hasil

TIMSS menunjukkan bahwa peserta didik di Indonesia memiliki nilai yang lebih rendah dari

rata-rata standar internasional di semua aspek kognitif, terutama aspek pengetahuan (Utomo,

Narulita & Shimizu, 2018). Hasil skor rata-rata peserta didik Indonesia tahun 2003 adalah

411, hasil skor tahun 2007 adalah 397, hasil skor tahun 2011, dan hasil skor tahun 2015

adalah 397. Hasil skor TIMSS Indonesia ini berada jauh dibawah rata-rata standar

internasional yaitu 500 (Hadi & Novaliyosi, 2019). Adapun hasil TIMSS Indonesia dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil TIMSS Indonesia


Rata-rata Skor Rata-rata Skor
Tahun Peringkat Peserta
Indonesia Internasional
2003 35 46 negara 411 467
2007 36 49 negara 397 500
2011 38 42 negara 386 500
2015 44 49 negara 397 500

Sumber: Hadi & Noyaliyosi (2019:563).

Prestasi peserta didik Indonesia ini mengalami penurunan drastis dari tahun 2007 ke

tahun 2011, apabila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand,

Singapura, Cina dan Jepang. Hasil ini menunjukkan bahwa lebih dari 95% peserta didik

Indonesia hanya dapat mencapai tingkat menengah, sedangkan 40% peserta didik pada

negara tetangga dapat mencapai tingkat tinggi dan lanjutan. Kondisi ini sangat

mengkhawatirkan bagi pendidikan IPA di Indonesia, karena dalam kurun waktu 4 tahun

Indonesia justru mengalami penurunan (Utomo, Narulita & Shimizu, 2018).


Hasil TIMSS memberikan bukti bahwa peserta didik di Indonesia mengalami kesulitan

dalam menyelesaikan soal-soal IPA yang melibatkan tiga indikator yaitu menganalisis (C4),

mengevaluasi (C5) dan mencipta (C6) (Barnett & Francis, 2012). Tiga indikator tersebut

merupakan indikator-indikator HOTS yang termasuk dalam aspek pengetahuan TIMSS. Jika

dilihat dari penilaian TIMSS, faktor penyebab rendahnya nilai peserta didik Indonesia adalah

soal-soal HOTS yang belum familiar di Indonesia, karena masih banyak sekolah yang belum

mengimplementasikan soal HOTS. Jika peserta didik terbiasa mengerjakan soal-soal tipe

HOTS, maka dapat membantu peserta didik untuk meningkatkan kemampuan berpikir

tingkat tinggi. Oleh karena itu, diterapkannya soal-soal tipe HOTS merupakan gagasan

penting untuk dilakukan, khususnya pada mata pelajaran IPA.

Berpikir tingkat tinggi merupakan proses berpikir yang tidak hanya mengingat dan

menyampaikan kembali informasi, tetapi juga kemampuan untuk menghubungkan,

memanipulasi dan memodifikasi pengetahuan untuk berpikir secara kritis dan kreatif.

Berpikir tingkat tinggi dapat dilakukan dalam upaya mengidentifikasi dan memecahkan

permasalahan pada situasi baru (Rofiah, Aminah & Sunarno, 2018). Pentingnya

menumbuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi didasarkan pada realita bahwa sebagian

besar peserta didik belum mampu untuk menghubungkan antara pengetahuan yang telah

didapatkan di sekolah dengan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran di sekolah lebih mengarahkan peserta didik pada hafalan tanpa diikuti

pemahaman yang mendalam. Apabila peserta didik masih menerapkan pembelajaran hafalan,

maka peserta didik akan kesulitan menghadapi permasalahan pada situasi yang berbeda yang

akan ditemui di luar kelas (Usmaedi, 2017). Oleh karena itu, keterampilan berpikir tingkat

tinggi perlu dilatih melalui kegiatan pembelajaran di sekolah.


Pemberdayaan keterampilan berpikir tingkat tinggi dilakukan dengan cara guru

menerapkan pembelajaran yang dapat mendorong keterampilan berpikir tingkat tinggi

peserta didik. Guru harus memamahi bagaimana cara berpikir peserta didik dan memproses

segala hal yang dipelajari peserta didik, untuk itu diperlukannya konsistensi guru dalam

menerapkan pembelajaran dan soal-soal tes yang berorientasi HOTS (Mahanal, 2019).

Penerapan pembelajaran yang dapat mendorong keterampilan berpikir tingkat tinggi, salah

satunya dengan penggunaan Lembar Kerja Peserta didik (LKPD) pada proses pembelajaran

di kelas.

LKPD merupakan media pembelajaran yang digunakan oleh pendidik dalam

mendorong keterlibatan peserta didik saat proses pembelajaran di kelas. LKPD berisi

petunjuk kegiatan, eksperimen sederhana, materi, pertanyaan diskusi maupun segala bentuk

kegiatan aktivitas peserta didik dalam proses pembelajaran (Darmodjo & Kaligis, 1992).

LKPD merupakan media pembelajaran sebagai sara pendukung dalam pelaksanaan

pembelajaran. LKPD berupa lembaran kerta yang berisi materi maupun pertanyaan-

pertanyaan yang harus dijawab peserta didik (Hamdani, 2011).

Berdasarkan hasil observasi di SMP Negeri 3 Depok, media pembelajaran yang sering

digunakan selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) karena pandemi COVID-19 yaitu e-LKPD.

Namun, e-LKPD yang diterapkan hanya berisi kegiatan percobaan yang sederhana, tidak

dilengkapi gambar serta desain e-LKPD yang tidak menarik. Penggunaan e-LKPD juga

belum mendorong peserta didik untuk aktif bertanya pada guru dan melakukan studi literatur

secara mandiri, hal ini terlihat dari pertanyaan-pertanyaan pada e-LKPD yang kurang

mengarah pada penyelidikan atau studi kasus, sehingga kemampuan berpikir tingkat tinggi

peserta didik dirasa kurang berkembang.


Berdasarkan permasalahan tersebut, upaya yang bisa dilakukan adalah dengan

mengembangkan e-LKPD yang dapat menunjang peserti didik. e-LKPD yang dimaksud

adalah lembar kerja yang perlu dikembangkan melalui suatu model pembelajaran. Model

yang diterapkan hendaknya dapat memfasilitasi peserta didik untuk meningkatkan

kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti melakukan analisis masalah, evaluasi gagasan dan

mengkreasikan penyelesaian. Apabila dalam suatu e-LKPD sudah berbasis model

pembelajaran, maka tujuan pembelajaran dapat tersusun dan terencana dengan baik, sehingga

dapat menentukan arah dan sasaran dengan efisien.

Model pembelajaran adalah pedoman yang digunakan dalam merencanakan

pembelajaran. Pembelajaran yang dimaksud yaitu penggunaan media pembelajaran seperti

LKPD, video, buku, dan lain-lain. Salah satu model pembelajaran yang dapat membuat

pembelajaran lebih bermakna dan mendorong peserta didik menjadi aktif yaitu model

pembelajaran Inquiry Pictorial Riddle (Suyadi, 2013).

Model Inquiry Pictorial Riddle merupakan suatu proses pembelajaran untuk

mengembangkan kegiatan peserta didik ke dalam diskusi kelompok kecil maupun besar

melalui penyajian masalah yang disajikan dalam ilustrasi gambar yang mengandung teka-teki

(Kristianingsih dkk, 2010). Proses pembelajaran IPA tanpa melibatkan banyak gambar,

dirasakan akan sulit untuk dipahami karena IPA merupakan ilmu alam yang mempelajari

tentang wujud nyata makhluk hidup, benda mati maupun zat yang berada di alam semesta.

Oleh karena itu, model Inquiry Pictorial Riddle dinilai sangat cocok untuk digunakan pada

mata pelajaran IPA (Wahyudi, Rusmono & Silvana, 2018).

Pembelajaran menggunakan model Inquiry Pictorial Riddle ini memiliki banyak

kelebihan diantaranya adalah dapat mendorong peserta didik untuk meningkatkan


kemampuan berpikir tingkat tingginya karena bantuan ilustrasi gambar yang disajikan,

menjadikan pembelajaran lebih menyenangkan dan penuh makna. Kondisi tersebut dapat

meningkatkan rasa ingin tahu peserta didik, sehinga dapat aktif untuk melakukan

penyelidikan lebih lanjut dengan cara studi literatur dan bertanya pada guru (Resta, Fauzi &

Yulklifli, 2013). Selain itu, model Inquiry Pictorial Riddle juga memiliki kekurangan

diantaranya yaitu tidak semua materi IPA dapat divisualisasikan ke dalam gambar, sehingga

guru harus menyusun gambar yang mengandung teka-teki dengan baik dan mudah dipahami

peserta didik agar nantinya peserta didik dapat menganalisis permasalahan sesuai yang

diharapkan (Wulansari, Lubis & Andriani, 2019).

Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dikembangkan e-LKPD berbasis Inquiry

Pictorial Riddle untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik SMP.

Pengembangan ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi guru IPA khususnya

dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran di sekolah, sehingga mampu meningkatkan

kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik.

Anda mungkin juga menyukai