Pengaruh PMRI Dalam Proses Pembelajaran Matematika
Bagi kebanyakan pelajar Indonesia, matematika memiliki momok tersendiri dalam
sistem pembelajaran. Hal ini terbukti dari survei yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan pada 65 negara di dunia tahun 2009, mengatakan bahwa kemampuan matematika siswa-siswi di Indonesia hanya memperoleh skor 371. Skor ini jauh lebih rendah dari skor rata-rata seluruh peserta PISA yaitu 496. Sejalan hasil penelitian PISA, hasil survey TIMSS tahun 1999, 2003, dan 2007, menunjukkan bahwa rata-rata skor perolehan siswa Indonesia adalah 403, 411, dan 405, masih di bawah skala rata-rata yang ditetapkan yaitu 500. Kurang dari 1 persen siswa Indonesia yang memiliki kemampuan bagus di bidang Matematika. Ini adalah pernyataan yang sangat memprihatinkan bagi dunia pendidikan Indonesia. Padahal dalam kenyataannya, matematika mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Contoh nyata dalam hal transaksi jual-beli yang sering dilakukan oleh setiap orang, pasti menggunakan unsur-unsur berhitung yang ada di dalam matematika. Dengan belajar matematika, secara tidak langsung kita dilatih untuk berpikir secara rasional dan lebih menggunakan logika. Matematika juga sangat berperan penting dalam bidang teknologi dan ilmu sains. Sebenarnya, orientasi pendidikan di Indonesia pada umumnya mempunyai ciri-ciri cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai objek, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indroktinator, materi bersifat subject-oriented dan manajemen bersifat sentralistis. Pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan dalam pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian. Hal ini mengidentifikasikan bahwa dalam pembelajaran di sekolah, guru masih menggunakan cara-cara tradisional atau direct instruction. Sementara itu banyak negara telah mereformasi sistem pendidikan matematika dari pendekatan tradisional ke arah aplication-based curricular, yaitu mendekatkan matematika ke alam nyata bagis siswa melalui aplikasi atau masalah kontekstual yang bermakna serta proses yang membangun sikap siswa ke arah yang positif tentang matematika. Sebagai contoh: Jepang menggunakan open ended approach, yaitu pendekatan yang menekankan pada soal aplikasi yang memungkinkan banyak solusi dan strategi. USA dengan standar yang dibuat National Council of Teacher Mathematics (NCTM), yakni standar yang terkenal dengan lima keterampilan prosesnya yaitu communication, reasoning, connection, problem solving, dan understanding. Belanda mengembangkan Realistic Mathematics Education (RME) sejak 1970. Pendekatan yang dilakukan oleh ketiga negara tersebut hampir sama seperti : penekanan pada materi aplikasi atau kehidupan sehari-hari, fokus pada keaktifan siswa (Student-centered), serta penekanan pada soal yang mempunyai variasi strategi dan solusi. Keberhasilan pembelajaran ditentukan juga oleh pemahaman konsep. Mempelajari konsep matematika itu ibarat membangun sebuah gedung bertingkat, lantai kedua dan selanjutnya tidak akan terwujud dengan baik jika fondasi dan lantai sebelumnya yang menjadi tumpuan tidak terbangun dengan kuat. Begitu pula dalam mempelajari konsep matematika. Karena dalam konsep matematika selalu ada konsep prasyarat yang digunakan sebagai dasar untuk memahami konsep selanjutnya. Atas petimbangan berhasilnya negara-negara lain dalam meningkatkan mutu pembelajaran matematika dan berdasarkan beberapa pernyataan dan pendapat tersebut, maka diperlukan usaha serius untuk memperbaiki kualitas pendidikan matematika di Indonesia. Salah satu usaha tersebut antara lain dengan pendekatan PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia). PMRI sendiri didasarkan pada dua pandangan, yaitu matematika harus dikaitkan dengan hal nyata bagi murid dan dipandang sebagai aktivitas manusia. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti, siswa diberi kesempatan menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual. Belajar merupakan kegiatan yang membosankan jika kita tidak berupaya untuk membiasakannya, terutama belajar matematika. Kebanyakan orang menganggap belajar mateamtika itu membosankan dan sulit untuk dipahami. Hal ini juga diperparah dengan sistem pendidikan yang masih saja mempertahankan cara tradisional. Bukan berarti pendidik tidak memiliki peranan dalam proses pembelajaran, hanya saja dengan menjadikan materi pembelajaran lebih menyenangkan dan membangun aktivitas siswa agar lebih terasah lagi sudah barang tentu akan menciptakan suatu sistem belajar yang menyenangkan. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi seorang pendidik untuk mengawali dengan membiasakan hal yang baik, karena dengan kebiasaan yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik pula.