Anda di halaman 1dari 364

Lampiran

Peraturan Menteri Kesehatan


Nomor :
Tanggal :

PEDOMAN PENGOBATAN DASAR DI PUSKESMAS

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengobatan merupakan suatu proses ilmiah yang dilakukan


oleh dokter berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh selama
anamnesis dan pemeriksaan. Dalam proses pengobatan
terkandung keputusan ilmiah yang dilandasi oleh pengetahuan
dan keterampilan untuk melakukan intervensi pengobatan yang
memberi manfaat maksimal dan risiko sekecil mungkin bagi
pasien. Hal tersebut dapat dicapai dengan melakukan
pengobatan yang rasional.
Salah satu perangkat untuk tercapainya penggunaan obat
rasional adalah tersedia suatu pedoman atau standar pengobatan
yang dipergunakan secara seragam pada pelayanan kesehatan
dasar atau puskesmas, yaitu Pedoman Pengobatan Dasar di
Puskesmas.
Penerapan Pedoman ini diharapkan dapat meningkatkan
kerasionalan penggunaan obat, dan dengan demikian akan
menunjang upaya pencapaian Millenium Development Goals
(MDGs) 2015 dalam hal penurunan Angka Kematian Bayi
(AKB), penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) serta
Pemberantasan HIV/AIDS dan Penyakit Menular.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas sebagaimana
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
296/Menkes/SK/III/2008 perlu direvisi dan disempurnakan
secara berkala, tidak hanya menyesuaikan dengan kemajuan
yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran
1Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
maupun farmasi, tetapi juga didasarkan pada pola penyakit
yang ada di puskesmas. Pada revisi kali ini terdapat perubahan
dan penambahan sejumlah diagnosis yang dianggap penting
serta ditiap diagnosis dilengkapi dengan Komunikasi, Informasi
dan Edukasi (KIE) yang bermanfaat baik untuk pasien maupun
keluarganya.

Beberapa kriteria dalam pemilihan diagnosis penyakit yang


perlu disusun dalam kaitan mengukur mutu, yaitu:
a. Penyakit tersebut mempunyai dampak fungsional yang
besar.
b. Merupakan penyakit yang jelas batas-batasnya dan relatif
mudah mendiagnosisnya.
c. Prevalensinya relatif cukup tinggi.
d. Perjalanan penyakitnya dapat secara nyata dipengaruhi oleh
tindakan medis yang ada.
e. Pengelolaannya dapat ditetapkan secara jelas.
f. Faktor non-medis yang mempengaruhinya sudah diketahui.
g. Penyusunan diagnosis disesuaikan dengan kompetensi
dokter dan sistem pelaporan yang ada.

Tujuan dan Manfaat Pedoman Pengobatan


Tujuan Pedoman Pengobatan.
Tujuan Pedoman Pengobatan dikelompokkan dalam
beberapa hal:
Mutu Pelayanan Pengobatan.
Oleh karena Pedoman Pengobatan hanya memuat obat
yang terpilih untuk masing-masing penyakit /
diagnosis.
Standar Profesi.
Senantiasa menjadi standar profesi setinggi-tingginya
karena disusun dan diputuskan atas kesepakatan para
ahli.
Perlindungan Hukum.
Merupakan landasan hukum dalam menjalankan profesi
karena disusun dan disepakati para ahli dan organisasi
profesi kesehatan dan diterbitkan oleh pemerintah.
2
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Kebijakan dan Manajemen Obat.
Perencanaan obat yang digunakan akan lebih tepat,
secara langsung dapat mengoptimalkan pembiayaan
pengobatan.
Manfaat Pedoman Pengobatan.
Beberapa manfaat dengan adanya pedoman pengobatan:
a. Untuk pasien.
Pasien hanya memperoleh obat yang benar dibutuhkan.
b. Untuk Pelaksana Pengobatan.
Tingkat profesionalisme tinggi karena sesuai dengan
standar.
c. Untuk Pemegang Kebijakan Kesehatan dan
Pengelolaan Obat.
Pengendalian biaya obat dan suplai obat dapat
dilaksanakan dengan baik.

Metode Penyusunan
Penyusunan pedoman ini terdiri dari:
Panitia Penyusunan Pedoman.
Kontributor.
Tim Pakar / Ahli.

Langkah-langkah penyusunan Pedoman:


1. Penyusunan konsep / draft.
Oleh Panitia Penyusunan ditambah kontributor baik
lintas program maupun lintas sektoral.
2. Pembahasan konsep / draft.
Oleh : - Panitia Penyusunan.
- Kontributor.
- Pakar / Ahli.
3. Pembahasan akhir.
Oleh : - Panitia Penyusunan.
- Kontributor.
-Pakar / Ahli.
4. Diseminasi, sosialisasi dan evaluasi Pedoman
Pengobatan Dasar di Puskesmas.

3Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011


C. Ruang Lingkup
Pedoman pengobatan dasar di Puskesmas meliputi pedoman
penatalaksanaan terhadap jenis-jenis penyakit yang ada di
Puskesmas. Dalam penatalaksanaan tersebut mengacu pada
Standar Kompetensi Dokter.
Standar Kompetensi Dokter telah diterbitkan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia tahun 2006 dalam rangka memenuhi
amanah Undang-Undang No.29 tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran.
Dengan dijadikannya Standar Kompetensi Dokter ini sebagai
acuan dalam menyusun pedoman pengobatan dasar di
Puskesmas, diharapkan seorang profesi dokter akan mampu :

a. Mengerjakan tugas / pekerjaan profesinya.


b. Mengorganisasikan tugasnya secara baik.
c. Tanggap dan tahu yang dilakukan bila terjadi sesuatu yang
berbeda.
d. Menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk
memecahkan masalah di bidang profesinya.
e. Melaksanakan tugas dengan kondisi berbeda.

Dalam Standar Kompetensi Dokter ada beberapa komponen


kompetensi, akan tetapi hanya kompetensi inti pada area
pengelolaan masalah kesehatan terutama pada daftar penyakit
yang dipilih menurut perkiraan data kesakitan dan kematian
yang terbanyak di Indonesia pada tingkat pelayanan kesehatan
dasar.
Pengertian dan Tingkat Kemampuan pengelolaan penyakit:

 Tingkat Kemampuan 1
Dapat mengenali dan menempatkan gambaran-gambaran
klinik sesuai penyakit ini ketika membaca literatur. Dalam
korespondensi, ia dapat mengenal gambaran klinik ini,
dan tahu bagaimana mendapatkan informasi lebih lanjut.
Level ini mengindikasikan overview level. Bila
menghadapi pasien dengan gambaran klinik ini dan
menduga penyakitnya, Dokter segera merujuk.

4
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
 Tingkat Kemampuan 2
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya:
pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter
mampu merujuk pasien secepatnya ke spesialis yang
relevan dan mampu menindaklanjuti sesudahnya.

 Tingkat Kemampuan 3
3a. Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya:
pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray).
Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi
pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan
(bukan kasus gawat darurat).
3b. Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya:
pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray).
Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi
pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan
(kasus gawat darurat).

 Tingkat Kemampuan 4
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya :
pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter
dapat memutuskan dan mampu menangani problem itu
secara mandiri hingga tuntas.

Pada tiap diagnosis penyakit dalam pedoman ini dilengkapi dengan


tingkat kemampuan kompetensi dokter dan kode penyakit (ICD X)
serta nomor kode penyakit pada sistem pelaporan.
Untuk tingkat kemampuan pengelolaan penyakit (Kompetensi) 1, 2,
3a dan 3b, setelah pasien dirujuk ke dokter spesialis yang relevan di
Rumah Sakit, maka dokter spesialis tersebut harus membuat rujukan
balik ke Puskesmas tempat asal pasien berobat disertai dengan
5Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
informasi tentang tindakan maupun pengobatan yang telah
dilakukan terhadap pasien tersebut.
Rujukan balik bisa berupa pasien melanjutkan pengobatan di
Puskesmas, atau masih diperlukan rujukan lebih lanjut bagi pasien
yang memerlukan pemeriksaan spesialistik.

Dalam penatalaksanaan pengobatan pasien oleh tenaga medis, harus


berpedoman pada 6 langkah pengobatan rasional sebagai berikut
(WHO, 1994):
1. Definisikan masalah penyakit pasien
2. Tentukan tujuan pengobatan
3. Tentukan pilihan pengobatan (non farmakologi dan
farmakologi)
4. Penulisan resep yang baik dan benar
5. Memberikan informasi dan edukasi yang memadai
6. Monitoring dan evaluasi pengobatan

BAB II
PENATALAKSANAAN PENGOBATAN

1. ABORTUS
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 17; 1701 ICD X : O03

a. Definisi
Terhentinya proses kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan. Sebagai batasan digunakan kehamilan kurang dari
22 minggu atau berat janin kurang dari 500 g.

6
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b. Penyebab
Sebagian besar disebabkan karena kelainan kromosom hasil
konsepsi. Beberapa penyebab lain adalah trauma, kelainan alat
kandungan dan sebab yang tidak diketahui.

c. Gambaran Klinis
Adanya gejala kehamilan (terlambat haid, mual/ muntah pada
pagi hari) yang disertai perdarahan pervaginam (mulai bercak
sampai bergumpal) dan/atau nyeri perut bagian bawah,
mengarah ke diagnosis abortus.
1) Abortus Imminens (Ancaman Keguguran)
Ditandai dengan perdarahan pervaginam sedikit, nyeri perut
tidak ada atau sedikit. Belum ada pembukaan serviks.
2) Abortus Insipiens (Keguguran sedang berlangsung)
Perdarahan pervaginam banyak (dapat sampai bergumpal-
gumpal), nyeri perut hebat, terdapat pembukaan serviks.
Kadang-kadang tampak jaringan hasil konsepsi di ostium
serviks.
3) Abortus Inkompletus (Keguguran tidak lengkap)
Perdarahan pervaginam banyak, nyeri perut sedang sampai
hebat. Riwayat keluar jaringan hasil konsepsi sebagian,
ostium serviks bisa masih terbuka atau mulai tertutup.
4) Abortus Kompletus (Keguguran lengkap)
Perdarahan pervaginam mulai berkurang–berhenti, tanpa
nyeri perut, ostium serviks sudah tertutup. Riwayat keluar
jaringan hasil konsepsi utuh, seluruhnya.

5) Missed Abortion (Keguguran yang tertahan)


Abortus dengan hasil konsepsi tetap tertahan intra uterin
selama 2 minggu atau lebih. Riwayat perdarahan
pervaginam sedikit, tanpa nyeri perut, ostium serviks masih
tertutup. Pembesaran uterus tidak sesuai (lebih kecil) dari
usia gestasi yang seharusnya.

d. Diagnosis
1) Terlambat haid (amenore) kurang dari 22 minggu.
2) Perdarahan pervaginam, mungkin disertai jaringan hasil
konsepsi.
7Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3) Rasa nyeri di daerah atas simpisis.
4) Pembukaan ostium serviks.

e. Penatalaksanaan
1) Puskesmas non PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal
Emergensi Dasar):
a) Abortus Imminens
(1) Tirah baring sedikitnya 2–3 hari (sebaiknya rawat
inap)
(2) Pantang senggama
(3) Setelah tirah baring 3 hari, evaluasi ulang diagnosis,
bila masih abortus imminens tirah baring
dilanjutkan
(4) Mobilisasi bertahap (duduk–berdiri–berjalan)
dimulai apabila diyakini tidak ada perdarahan
pervaginam 24 jam

b) Abortus tingkat selanjutnya


(1) Bila mungkin lakukan stabilisasi keadaan umum
dengan pembebasan jalan napas, pemberian
oksigenasi (O2 2-4 liter/menit), pemasangan cairan
intravena kristaloid (Ringer Laktat/Ringer
Asetat/NaCl 0,9%) sesuai pedoman resusitasi.
(2) Pasien dirujuk setelah tanda vital dalam batas
normal ke Puskesmas PONED atau RS.

2) Pada puskesmas PONED


a) Abortus Imminens
Seperti pada Puskesmas non PONED.
b) Abortus Insipiens
(1) Antibiotik profilaksis: Amoksisilin 500 mg per oral
sebelum tindakan kuretase.
(2) Perlu segera dilakukan pengeluaran hasil konsepsi
dan pengosongan kavum uteri. Dapat dilakukan
dengan abortus tang, sendok kuret, dan kuret hisap
(3) Uterotonika: Oksitosin 10 UI i.m.

8
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(4) Disesuaikan dengan program PONED Ditjen BUK
Dasar

c) Abortus Inkompletus
(1) Perlu segera dilakukan pengosongan kavum uteri.
Dapat dilakukan dengan abortus tang, sendok kuret,
dan kuret hisap
(2) Segera atasi kegawatdaruratan:
(a) Oksigenisasi 2–4 liter/menit
(b) Pemberian cairan i.v. kristaloid (NaCl 0,9%,
Ringer Laktat, Ringer Asetat)
(c) Transfusi bila Hb kurang dari ≤ 8 g/dL.

d) Abortus Kompletus
(1) Evaluasi adakah komplikasi abortus (anemia dan
infeksi)
(2) Apabila dijumpai komplikasi, penatalaksanaan
disesuaikan
(3) Apabila tanpa komplikasi, tidak perlu
penatalaksanaan khusus.

e) Missed Abortion
(1) Evaluasi hematologi rutin (hemoglobin, hematokrit,
leukosit, trombosit) dan uji hemostasis (fibrinogen,
waktu perdarahan, waktu pembekuan).
(2) Bila terjadi gangguan faal hemostasis dan
hipofibrinogenemia, segera rujuk di rumah sakit
yang mampu untuk transfusi trombosit/Buffy-Coat
dan komponen darah lainnya.
(3) Hasil konsepsi perlu dievakuasi dari kavum uteri.
Dilaksanakan setelah dipastikan tidak terdapat
gangguan faal hemostasis.

f. KIE
1) Pemeriksaan kehamilan secara teratur
2) Pasca abortus dianjurkan untuk mengikuti program
Keluarga Berencana
3) Tunda kehamilan berikutnya sampai kondisi pulih
9Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
4) Kenali faktor risiko terjadinya abortus
5) Apabila terjadi perdarahan pada saat kehamilan, segera
hubungi puskesmas.

10
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
2. ABSES GIGI
Kompetensi : 3A dan 4
Laporan Penyakit : 1503 ICD X : K04.7

a. Definisi
Pengumpulan nanah yang telah menyebar dari sebuah gigi ke
jaringan di sekitarnya, biasanya berasal dari suatu infeksi.
Abses gigi yang dimaksud adalah abses pada pulpa dan
periapikal.

b. Penyebab
Abses ini terjadi dari infeksi gigi yang berisi cairan (nanah)
dialirkan ke gusi sehingga gusi yang berada di dekat gigi
tersebut membengkak.

c. Gambaran Klinis
1) Pada pemeriksaan tampak pembengkakan disekitar gigi
yang sakit. Bila abses terdapat di gigi depan atas,
pembengkakan dapat sampai ke kelopak mata, sedangkan
abses gigi belakang atas menyebabkan bengkak sampai ke
pipi. Abses gigi bawah menyebabkan bengkak sampai ke
dagu atau telinga dan submaksilaris.
2) Pasien kadang demam, kadang tidak dapat membuka mulut
lebar.
3) Gigi goyah dan sakit saat mengunyah.

d. Diagnosis
Pembengkakan gusi dengan tanda peradangan di sekitar gigi
yang sakit.

e. Penatalaksanaan
1) Pasien dianjurkan berkumur dengan air garam hangat.
2) Dewasa : Amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 7 hari
Anak : Amoksisilin 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam
3) Simtomatik: Parasetamol
Dewasa : 500 mg tiap 6-8 jam
Anak : 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam

11
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
4) Abses meluas (abses membesar dan meliputi lebih dari satu
gigi), dilakukan insisi (drainase) kemudian ditambahkan
metronidazol 500 mg tiap 8 jam.
5) Bila terjadi kegagalan terapi tersebut diatas, maka pasien
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan lebih lanjut untuk
penanganan selanjutnya sesuai dengan indikasi.
6) Pada pasien anak, setelah diagnosis dan penanganan
sederhana, rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan lebih
lanjut.
7) Bila ada dokter gigi dengan fasilitas memadai, maka dapat
dilakukan tindakan lebih lanjut sesuai kompetensi dokter
gigi.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi,
menghilangkan gejala, mencegah komplikasi
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut,
menggosok gigi minimal tiap pagi setelah makan dan malam
sebelum tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x
setahun, makan makanan yang berserat dan berair.
3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi.
4) Efek samping metronidazol: mual. Jika terjadi mual maka
metronidazol bisa diberikan 250 mg tiap 4 jam (6x sehari).
Atau untuk mengatasi mual dapat diberikan metoklopramid
3x10 mg (untuk dewasa) 1 jam sebelum makan.

12
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3. ANEMIA DEFISIENSI
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 54 ICD X : D50-51

a. Definisi
Anemia pada:
- laki-laki: Hb <13 g/dL,
- wanita: Hb <12 g/dL,
- wanita hamil: Hb <11 g/dL,
- anak usia sekolah: Hb < 12 g/dL,
- balita: Hb <11 g/dL

b. Penyebab
Penyebab paling sering adalah defisiensi besi terutama pada
anak-anak. Defisiensi besi biasanya disebabkan oleh asupan
yang kurang, kecacingan, perdarahan kronis.
Defisiensi lain yang dapat menyebabkan anemia adalah vitamin
B12 dan asam folat.
Pada ibu hamil dapat terjadi anemia defisiensi karena kebutuhan
makronutrien yang meningkat.

c. Gambaran Klinis
1) Gejala anemia bervariasi dari asimtomatis sampai syok atau
penurunan kesadaran tergantung dari kadar Hb, kecepatan
penurunan Hb dan usia.
2) Gejala defisiensi besi yang spesifik pada anak diberi istilah
‘pica’ (makan yang tidak semestinya dimakan, misalnya
tanah, pensil, penghapus).
3) Anemia defisiensi ditandai dengan lemas, sering berdebar,
lekas lelah dan sakit kepala. Papil lidah tampak atrofi.
Jantung kadang membesar dan terdengar murmur sistolik.
Di darah tepi tampak gambaran anemia hipokrom dan
mikrositer, sementara kandungan besi serum rendah.
4) Defisiensi vitamin B12 maupun asam folat menyebabkan
anemia megaloblastik yang mungkin disertai gejala
neurologi.

d. Diagnosis
13
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Anamnesis (pola asupan makan, pola menstruasi) dan
pemeriksaan fisik sesuai dengan gejala dan tanda klinis dan
ditunjang pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan kadar Hb dan
darah tepi (kadar Hb lihat di definisi). Pemeriksaan feses untuk
mengetahui adanya telur cacing.
e. Penatalaksanaan
1) Anemia defisiensi besi diatasi dengan makanan yang
mengandung zat besi (misalnya bayam, daging), sulfas
ferosus 10 mg/kgBB 3 x sehari (ekivalen dengan besi
elementer 1mg/kgBB/hari) selama 6-8 minggu.
2) Anemia karena kecacingan diatasi memberikan obat cacing
(lihat pokok bahasan Kecacingan).
3) Anemia megaloblastik diobati spesifik, oleh karena itu harus
dibedakan penyebabnya, defisiensi vitamin B 12 atau
defisiensi asam folat.
4) Dosis vitamin B12 100 mcg/hari i.m. selama 5–10 hari
sebagai terapi awal, diikuti dengan terapi rumat 100-200
mcg/bulan sampai dicapai remisi.
5) Dosis asam folat 0,5–1 mg/hari per oral selama 10 hari,
dilanjutkan dengan 0,1 – 0,5 mg/hari.
6) Penggunaan vitamin B12 oral tidak ada gunanya pada anemia
pernisiosa. Selain itu sediaan oral lebih mahal.

f. KIE
Pada anemia defisiensi:
1) Tujuan penatalaksanaan adalah menghilangkan gejala sesuai
dengan penyebab anemia, menaikkan kadar Hb.
2) Pencegahan:
a) diet makanan bergizi yang cukup mengandung zat besi,
asam folat dan vitamin B12. Perlu disampaikan kepada
ibu cara penyiapan makanan yang baik, misalnya tidak
memberikan teh bersamaan dengan makanan karena
dapat mengurangi absorpsi besi.
b) menjaga higiene dan sanitasi.
3) Informasi pemberian sulfas ferosus pada pasien: paling baik
diberikan saat perut kosong.

14
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
4) Efek samping: sulfas ferosus dapat menimbulkan mual, rasa
tidak enak, konstipasi, feses berwarna kehitaman.
5) Alasan rujukan: anemia yang diobati selama 2 minggu tidak
ada kenaikan Hb (anemia defisiensi besi diharapkan naik 2-
4 g/dL dalam waktu 2 minggu setelah pemberian
suplementasi besi).
6) Keberhasilan pengobatan anemia sangat tergantung pada
kemampuan untuk menegakkan diagnosis etiologi.
7) Pada anak >2 tahun dan belum pernah mendapatkan
mebendazol, berikan mebendazol 500 mg.

4.

15
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
ANGINA PEKTORIS STABIL
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 85 ICD X : I20.8

a. Definisi
Suatu sindroma klinis berupa nyeri dada atau rasa tidak nyaman
di dada (substernal), rahang, bahu, punggung, atau lengan yang
timbul saat aktivitas atau stres emosional yang berkurang
dengan istirahat atau pemberian nitrat. Walaupun jarang, nyeri
dapat dirasakan di daerah epigastrium.

b. Penyebab
Iskemia ini terjadi karena suplai oksigen yang dibawa oleh
aliran darah koroner tidak mencukupi kebutuhan oksigen
miokardium. Hal ini terjadi bila kebutuhan oksigen miokardium
meningkat (misalnya karena kerja fisik, emosi, tirotoksikosis,
hipertensi), atau bila aliran darah koroner berkurang (misalnya
pada spasme atau trombus koroner) atau bila terjadi keduanya.

c. Gambaran Klinis
1) Pada anamnesis perlu ditanyakan:
a) Rasa tidak nyaman di dada (biasanya substernal)
b) Keluhan memberat pada saat aktivitas fisik atau stres
emosional
c) Keluhan berkurang dengan istirahat atau pemberian
nitrat
2) Dikatakan:
a) angina pektoris tipikal bila memenuhi 3 gejala,
b) angina pektoris atipikal bila memenuhi 2 gejala,
c) non anginal chest pain bila hanya memenuhi <1 gejala.
3) Sebagian besar pasien dengan angina pektoris tidak
dijumpai kelainan dalam pemeriksaan fisik.

16
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
4) Pemeriksaan fisik abnormal akan dijumpai jika terdapat
penyakit penyerta.
5) Perlu ditanyakan faktor risiko penyakit jantung koroner
(PJK):
a) diabetes melitus
b) hipertensi
c) merokok
d) sejarah keluarga PJK
e) dislipidemia.

d. Diagnosis
Diagnosis angina pectoris stabil berdasarkan klasifikasi menurut
Canadian Cardiovascular Society (CCS):
1) Kelas I:
Angina tidak timbul pada saat aktivitas sehari-hari, seperti
berjalan atau menaiki tangga. Angina timbul pada saat
latihan berat, tergesa-gesa dan berkepanjangan.
2) Kelas II:
Sedikit pembatasan aktivitas sehari-hari, seperti jalan atau
naik tangga dengan cepat, jalan mendaki, aktivitas setelah
makan, di hawa dingin atau melawan angin, atau dalam
keadaan stres emosional, atau hanya timbul beberapa jam
setelah bangun tidur.
3) Kelas III:
Adanya tanda-tanda keterbatasan aktivitas sehari-hari,
angina timbul jika berjalan rata satu atau dua blok (setara
dengan jarak 100-200 meter) dan naik tangga satu tingkat
pada kecepatan dan kondisi yang normal.
4) Kelas IV:
Ketidakmampuan melakukan aktivitas fisik apapun tanpa
keluhan rasa nyaman atau angina saat istirahat.

Klasifikasi APS kelas III dan IV perlu dipikirkan suatu sindroma


koroner akut (lihat Bab Sindroma Koroner Akut).

17
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
1) Manajemen umum:
a) Pengendalian faktor risiko (stop merokok, hipertensi,
diabetes, hiperkolesterolemia).
b) Pengendalian aktivitas fisik.
c) Batasi penggunaan alkohol terutama pasien hipertensi
dan gagal jantung.
d) Mengontrol dampak psikologis pasien terhadap
penyakitnya.

2) Medikamentosa:
a) Rekomendasi terapi farmakologis untuk memperbaiki
prognosis pasien angina stabil:
(1) Asetosal 80 mg sehari pada semua pasien tanpa
kontraindikasi spesifik (mis: perdarahan aktif
traktus gastro intestinal, alergi asetosal atau riwayat
intoleransi asetosal sebelumnya).
(2) Simvastatin 10 mg pada semua pasien PJK dan
diberi dosis tinggi pada pasien risiko tinggi yang
terbukti menderita PJK tanpa melihat hasil
kolesterol.
(3) Kaptopril 6,25 mg tiap 8 jam (dapat dititrasi hingga
50 mg tiap 8 jam) pada semua pasien dengan
hipertensi, gagal jantung, disfungsi ventrikel kiri,
riwayat infark sebelumnya dengan disfungsi
ventrikel kiri atau diabetes.
(4) Beta blocker (atenolol) oral pada pasien pasca
infark atau dengan gagal jantung.
Obat-obat tersebut harus dikonsumsi seumur hidup.

b) Rekomendasi terapi farmakologis untuk memperbaiki


gejala dan/atau mengurangi iskemik pasien angina
stabil:

18
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(1) Nitrogliserin (isosorbid dinitrat tablet 5 mg)
sublingual untuk mengurangi gejala akut dan
profilaksis situasional.
(2) Beta bloker dititrasi sampai dosis penuh.
(3) Jika intoleransi terhadap beta blocker atau kurang
efikasi, dianjurkan monoterapi dengan Calcium
channel blocker (CCB).
(4) Jika efek monoterapi beta blocker tidak memadai
tambahkan CCB golongan dihidropiridin
(amlodipin 5 mg).
(5) Jika kontraindikasi terhadap beta blocker (misal
asma) maka bisa diberikan CCB golongan
nondihidropiridin (diltiazem 30 mg tiap 8 jam, dosis
dapat dititrasi).

f. KIE:
1) Tujuan penatalaksanaan:
a) Memperbaiki prognosis dengan mencegah infark
miokard akut dan kematian.
b) Mengurangi atau menghilangkan gejala.
2) Pencegahan:
a) Pengendalian aktivitas fisik jika pasien belum menjalani
prosedur revaskularisasi (PCI).
b) Pengendalian faktor risiko (stop merokok, hipertensi,
diabetes, hiperkolesterolemia).
c) Batasi penggunaan alkohol terutama pasien hipertensi
dan gagal jantung.
d) Mengontrol dampak psikologis pasien terhadap
penyakitnya.
3) Alasan rujukan: Pasien dianjurkan kontrol ke rumah sakit
untuk mendapatkan tatalaksana lebih lanjut seperti treadmill
test, ekokardiografi atau kateterisasi jantung.

19
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
5. ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL (SINDROM
KORONER AKUT: STEMI DAN NON STEMI)
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : ICD X : 120.0

a. Definisi

20
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Angina Pektoris Tidak Stabil yaitu bila ditemukan salah satu
gejala seperti:
1) angina saat istirahat yang berlangsung > 20 menit yang
tidak/kurang responsif terhadap pemberian nitrat organik,
2) angina yang pertama kali muncul,
3) angina yang meningkat dalam hal frekuensinya, durasinya,
atau intensitasnya (atau pencetus yang lebih ringan)
dibandingkan episode sebelumnya.
Angina pektoris tidak stabil dapat merupakan gejala dari
Sindrom Koroner Akut (SKA), yaitu sindrom klinis yang
disebabkan karena proses pengurangan pasokan oksigen akut
atau subakut dari miokard yang dipicu oleh adanya denudasi
(robekan) plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya
proses inflamasi, trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi
distal. Terdapat dua subset klinis SKA yaitu ST elevation
myocardial infarction (STEMI) dan Non ST elevation
myocardial infarction/unstable angina pectoris (Non
STEMI/UAP).

b. Penyebab
Pecahnya plak aterosklerosis di dalam pembuluh darah koroner.

c. Gambaran Klinis
Berupa nyeri dada atau chest discomfort yang berlangsung
secara mendadak atau cepat yang bertambah berat saat istirahat,
tidak hilang dengan pemberian nitrat, atau saat aktivitas tidak
berkurang dengan istirahat. Gejala ini disebut dengan Angina
Pektoris Tidak Stabil (APTS).

d. Diagnosis
1) Presentasi Klinis
Secara klasik, presentasi klinis SKA STEMI dan Non
STEMI meliputi :
a) Nyeri dada iskemik berupa nyeri dada yang terus-
menerus (>20 menit) saat istirahat.
b) Angina berat (CCS III-IV) yang timbul pertama kali.
c) Angina pasca infark miokard.
d) Angina progresif (bertambah sering dalam 24 jam)
21
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
2) Pemeriksaan Fisik
Hampir selalu normal, termasuk pemeriksaan thoraks,
auskultasi dan pengukuran laju jantung serta tekanan darah.
Tujuan pemeriksaan fisik ini untuk menyingkirkan
penyebab nyeri dada nonkardiak, penyakit kardiak non
iskemik (perikarditis, penyakit valvular), penyebab ekstra
kardiak yang mencetuskan nyeri dada serta mencari tanda-
tanda ketidakstabilan hemodinamik dan disfungsi ventrikel
kiri.

3) EKG saat istirahat (jika ada alat EKG)


a) STEMI:
Elevasi segmen ST >1 mm pada 2 sadapan prekordial
(V1-V6) atau ekstremitas (I, II, III, aVL, aVF) yang
berdekatan (contagious lead), atau LBBB yang
dianggap baru.
b) Non- STEMI:
Depresi segmen ST ≥ 0.5 mm (0.05 mV) yang persisten
maupun transient elevasi segmen ST ≥ 0.5 mm (< 20
menit) serta inversi gel T ≥ 0.2 mV pada 2 sadapan
yang berdekatan atau lebih.

e. Penatalaksanaan
1) Tata laksana awal pada pasien dugaan SKA:
a) Pemberian Oksigen nasal 2-4 L/mnt
b) Pemberian asetosal tablet kunyah 160 mg
c) ISDN 5 mg di bawah lidah (jika TD sistolik > 100
mmHg), dapat di ulang tiap 5 menit sampai 3 kali
pemberian
d) Mendapatkan akses intra vena sebelum dirujuk
e) Merekam dan menganalisis EKG (dalam 10 menit),
segera tentukan apakah EKG 12 lead menunjukkan
STEMI atau Non-STEMI.
f) Setelah penanganan awal maka segera dirujuk.
2) Tatalaksana lanjutan untuk SKA dengan STEMI:

22
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Jika onset < 12 jam, harus segera dirujuk ke RS yang
mampu melakukan terapi reperfusi (fibrinolitik atau PCI
primer).
Jika onset > 12 jam segera dirujuk ke RS.
3) Tatalaksana lanjutan untuk SKA dengan Non-STEMI:
Segera dirujuk ke RS untuk mendapatkan perawatan lebih
lanjut di ICCU/ICU.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah terjadinya
komplikasi dan kematian serta meningkatkan harapan hidup.
2) Pencegahan terjadi serangan berikutnya: sesuai pada Bab
Angina Pektoris Stabil.
3) Alasan rujukan: untuk dilakukan tindakan reperfusi
(fibrinolitik atau PCI), dan perawatan di ruang intensif
kardiovaskuler.

23
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
6. ANTRAKS
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 0504 ICD X : A22

a. Definisi
Antraks merupakan penyakit pada binatang buas, maupun
hewan piaraan, yaitu hewan-hewan pemamah biak (herbivora),
seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi dan kuda. Penyakit
ini ditularkan kepada manusia terutama pada orang yang
pekerjaannya selalu berhubungan dengan/berdekatan dengan
ternak seperti peternak, gembala, dokter hewan, petugas
laboratorium, pekerja pabrik barang-barang kulit dan tulang.

b. Penyebab
Kuman antraks (Bacillus anthracis).

c. Cara Penularan
Penyakit ini ditularkan kepada manusia biasanya oleh karena
masuknya spora atau basil antraks ke dalam tubuh melalui
berbagai cara, yaitu melalui kulit yang lecet atau luka yang
menyebabkan antraks kulit, melaui mulut karena makan bahan
makanan yang tercemar, menyebabkan antraks intestinal
(pencernaan), inhalasi saluran napas menyebabkan antraks
pulmonal. Antraks peradangan otak (meningitis) umumnya
adalah bentuk kelanjutan antraks kulit, intestinal atau pulmonal.
Antraks pulmonal dan meningitis sangat jarang dilaporkan di
Indonesia.
Penularan terjadi dengan cara kontak langsung dengan hewan
yang terjangkit penyakit tersebut, misalnya kontak dengan darah
yang keluar dari lubang-lubang kumlah hewan mati karena
antraks atau bahan-bahan yang berasal dari hewan yang
tercemar oleh spora antraks, misalnya daging, jeroan, kulit,
tepung, wool, dan sebagainya. Disamping itu, sumber penularan
lainnya yang potensial ialah lingkungan, antara lain tanah,
tanaman (sayur-sayuran) dan air yang tercemar oleh spora
antraks.

d. Gambaran Klinis
24
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
1) Gambaran Klinis Antraks Kulit
a) Masa inkubasi 7 hari (rata-rata 1-7 hari)
b) Gatal ditempat lesi
c) Papel
d) Vesikel
e) Ulkus (tukak) di tengahnya terdapat jaringan nekrotik
berbentuk keropeng berwarna hitam (tanda
patognomonik antraks) dan biasanya didapatkan eritema
dan edema di sekitar tukak. Pada perabaan, edema
tersebut tidak lunak dan tidak lekuk (non-pitting) bila
ditekan. Disini tidak didapatkan pus kecuali bila diikuti
infeksi sekunder.
f) Dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening
regional.
g) Demam yang sedang, sakit kepala, malaise jarang ada.
h) Predileksi antraks kulit biasanya pada tempat-tempat
terbuka, seperti muka, leher, lengan, tangan, dan kaki.
i) Antraks kulit yang tidak diobati akan berkembang lebih
buruk dengan penjalaran ke kelenjar limfe dan berlanjut
ke aliran darah, sehingga mengakibatkan septikemia dan
kemungkinan kematian 5-20%.
j) Pemeriksaan bakteriologis dari eksudat di tempat lesi
kulit didapatkan adanya basil yang pada sediaan hapus
dan kultur positif.

2) Gambaran Klinis Antraks Intestinal


a) Masa inkubasi bervariasi antara 2–5 hari
b) Gejala awal: mual, tidak nafsu makan dan suhu tubuh
meningkat
c) Muntah
d) Sakit perut hebat
e) Konstipasi
f) Dapat juga terjadi gastro-enteritis akut yang kadang-
kadang berdarah, hematemesis, kelemahan umum,
demam dan ada riwayat pemaparan dengan produk
hewan atau makanan.

25
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
g) Pemeriksaan bakteriologis dari spesimen feses
didapatkan adanya basil yang pada sediaan hapus dan
kultur positif.

e. Diagnosis
1) Tersangka antraks kulit
Apabila adanya kasus atau ”ledakan” antraks pada hewan
atau riwayat pemaparan dengan hewan /bahan asal hewan
dan lingkungan yang tercemar oleh spora/basil antraks serta
ditemukan kelainan pada kulit berupa tukak dengan jaringan
mati berbentuk keropeng berwarna hitam di tengahnya
(eskar), di sekitar tukak kemerahan, sembab, pada perabaan
daerah yang sembab tersebut tidak lunak dan tidak lekuk
dan biasanya tidak didapatkan pus kecuali diikuti infeksi
sekunder.

2) Pasien antraks kulit (diagnosis pasti)


Apabila pada tersangka antraks kulit sudah dipastikan
diagnosisnya dengan pemeriksaan bakteriologis.
3) Tersangka antraks intestinal
Apabila adanya kasus atau ”ledakan” antraks pada hewan
atau riwayat pemaparan dengan produk hewan atau
makanan serta ditemukan adanya panas disertai sakit perut
dan muntah.
4) Pasien antraks intestinal (diagnosis pasti)
Apabila pada tersangka antraks kulit sudah dipastikan
diagnosisnya dengan pemeriksaan bakteriologis.

f. Penatalaksanaan
1) Obat pilihan (drug of choice) untuk pasien antraks kulit
adalah penisilin. Prokain penisilin dengan dosis 1,2 juta UI
i.m. tiap 12 jam selama 5 – 7 hari atau benzilpenisilin
dengan dosis 250.000 UI tiap 6 jam. Sebelum pemberian
penisilin lakukan skin test. Pasien yang hipersensitif
terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin dengan dosis
500 mg tiap 6 jam selama 5–7 hari. Sebaiknya tidak
diberikan pada anak dibawah umur 6 tahun. Obat pilihan
lain ialah kloramfenikol.
26
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
2) Pada antraks intestinal dapat diberikan penisilin G injeksi
1,8–2,4 juta UI i.v. per hari, dapat ditambahkan tetrasiklin 1
g i.v per hari.
3) Obat-obat simtomatis dan suportif jika diperlukan.
4) Rujuk ke rumah sakit bila diperlukan.

g. KIE
1) Hindari kontak dengan sumber penularan.
2) Masyarakat diminta melaporkan ke puskesmas setempat bila
ada tersangka antraks dan melaporkan ke Dinas Peternakan
bila ada hewan yang sakit dengan gejala antraks.
3) Hewan yang mati akibat antraks harus dimusnahkan. Tidak
diperbolehkan mengkonsumsi daging hewan yang sakit
antraks.
4) Tidak diperbolehkan membuat barang-barang yang berasal
dari hewan seperti kerajinan dari tanduk, kulit, bulu, tulang
yang berasal dari hewan sakit/mati karena penyakit antraks.
5) Puskesmas wajib melaporkan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota apabila menjumpai pasien/tersangka
antraks.

27
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
7. ARTRITIS
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 90 ICD X : M05

a. Definisi
Artritis adalah istilah umum bagi peradangan (inflamasi) dan
pembengkakan di daerah persendian.
OA (Osteoartritis) merupakan penyakit degeneratif yang
mengenai rawan sendi. Penyakit ini ditandai oleh kehilangan
rawan sendi progresif dan terbentuknya tulang baru pada
trabekula subkondral dan tepi tulang (osteofit).
RA (Rheumatoid Arthritis) atau Artritis Reumatoid, merupakan
penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis
erosif simetris yang terutama mengenai jaringan persendian,
namun sering juga melibatkan organ tubuh lainnya. Lebih
banyak pada wanita dibanding pria. Umumnya usia antara 35-50
tahun. Faktor genetik, hormon seks, infeksi berpengaruh kuat
pada morbiditas RA.

b. Penyebab
Artritis dapat berupa osteoartritis (OA) atau artritis reumatoid
(AR), tetapi yang paling banyak dijumpai adalah osteoartritis.
Pada OA faktor penyebab utama adalah trauma atau pengausan
sendi, sedangkan pada AR faktor imunologi yang berperan.

c. Gambaran Klinis
1) Osteoartritis
a) Anamnesis
Faktor risiko: umur (sering di atas 50 tahun), jenis
kelamin (di atas usia 50 tahun wanita lebih banyak),
suku bangsa (suku Indian dan orang-orang kulit putih),
genetik, kegemukan, cedera sendi, olahraga, pekerjaan
berat, kelainan pertumbuhan, tingginya kepadatan
tulang.
Keluhan: nyeri sendi (bertambah dengan gerakan,
berkurang dengan istirahat), hambatan gerakan sendi,
kaku pagi < 30 menit, krepitasi dan perubahan gaya
berjalan.
28
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b) Pemeriksaan Fisik
Hambatan gerak sendi, pembesaran sendi, krepitasi,
perubahan gaya berjalan, pembengkakan sendi yang
seringkali asimetris (karena efusi pada sendi), kadang-
kadang disertai tanda-tanda peradangan, perubahan
bentuk/deformitas sendi yang permanen, Heberden’s
node (nodul/osteofit pada sendi DIP), Bouchard’s node
(nodul/osteofit pada PIP).

2) Artritis Reumatoid
a) Anamnesis
Gejala pada awal onset: gejala prodromal (lelah,
anoreksia, seluruh tubuh terasa lemah) yg berlangsung
berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
Gejala spesifik pada beberapa sendi (poliartrikular)
secara simetris, terutama sendi PIP (proximal
interphalangeal), sendi MCP (metacarpophalangeal),
pergelangan tangan, lutut, dan kaki. Gejala sinovitis
pada sendi yang terkena: bengkak, nyeri yang
diperburuk dengan gerakan sehingga gerakan menjadi
terbatas, kekakuan pada pagi hari > 1 jam.
Gejala ekstraartikular: mata (episkleritis), saluran napas
atas (nyeri tenggorok, nyeri menelan atau disfonia yang
terasa lebih berat pada pagi hari), kardiovaskular (nyeri
dada pada perikarditis), hematologi (anemia), dsb.

b) Pemeriksaan Fisik
(1) Manifestasi artikular: pada lebih dari 3 sendi
(poliartritis) terutama di sendi tangan, simetris,
immobilisasi sendi, pemendekan otot seperti pada
vertebra servikalis, gambaran deformitas sendi
tangan (swan neck, boutonniere).
(2) Manifestasi ekstraartikular: kulit (nodul rheumatoid
pada daerah yg banyak menerima penekanan,
vaskulitis), soft tissue rheumatism (carpal tunnel
syndrome, frozen shoulder), mata (kerato-
konjungtivitis sicca yang merupakan manifestasi
sindrom Sjorgen, episkleritis/skleritis), sistem
29
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
respiratorik (radang sendi krikoaritenoid,
pneumonitis interstitial, efusi pleura, fibrosis paru
luas), sistem kardiovaskuler (perikarditis konstriktif,
disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan
konduksi, aortritis, kardiomiopati), hematologi
(anemia akibat penyakit kronik).
(3) Keluhan lain yang mirip dengan artritis adalah
reumatism yang sebenarnya berasal dari jaringan
lunak di luar sendi. Yang di kenal awam sebagai
encok sebagian besar adalah reumatism.
(4) Sendi yang terserang biasanya bengkak, merah dan
nyeri.
(5) Serangan AR biasanya dimulai dengan gejala
prodromal berupa badan lemah, hilang nafsu makan,
nyeri dan kaku seluruh badan. Gejala pada sendi
biasanya timbul bertahap setelah beberapa minggu
atau bulan.
(6) Nyeri sendi pada AR bersifat hilang timbul, ada
masa remisi, bersifat simetris bilateral, dan
berhubungan dengan udara dingin.
(7) Serangan OA biasanya sesisi. Gejala utamanya
adalah nyeri sendi yang berhubungan dengan gerak.
Pasien juga merasakan kaku pada sendi yang
terserang.
(8) Pada pemeriksaaan radiologi OA biasanya
memperlihatkan pelebaran sendi pada tahap awal,
osteofit, sklerosis tulang dan penyempitan rongga
antar sendi pada tahap lanjut.
(9) Deformitas dapat terjadi pada OA maupun AR
setelah terjadi destruksi sendi.

d. Diagnosis
1) Osteoartritis
Kriteria diagnosis (ACR)
a) Osteoartritis sendi lutut:
(1) Nyeri lutut, dan
(2) Salah satu dari 3 kriteria berikut:

30
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
- Usia > 50 tahun
- Kaku sendi < 30 menit
- Krepitasi + osteofit

b) Osteoartritis sendi tangan:


(1) Nyeri tangan atau kaku, dan
(2) Tiga dari 4 kriteria berikut:
- Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih dari
10 sendi tangan tertentu (distal interphalanx
DIP II dan III ki&ka, proximal interphalangeal
PIP II dan III ki&ka, carpometacarpal CMC I
ki&ka)
- Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih
sendi DIP
- Pembengkakan pada < 3 sendi MCP
- Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan
tertentu

c) Osteoartritis sendi pinggul:


(1) Nyeri pinggul, dan
(2) Minimal 2 dari 3 kriteria berikut:
- LED < 20 mm/jam
- Radiologi: terdapat osteofit pada femur atau
asetabulum. Terdapat penyempitan celah sendi
(superior, aksial, dan/atau medial)

2) Artritis Reumatoid
Kriteria diagnosis berdasarkan ACR tahun 1987 (Tabel 1):
a) Kaku pagi, sekurangnya 1 jam
b) Artritis pada sekurangnya 3 sendi
c) Artritis pada sendi pergelangan tangan,
metacarpophalanx (MCP) dan Proximal Interphalanx
(PIP)
d) Artritis yang simetris
e) Nodul reumatoid
f) Faktor reumatoid serum positif
g) Gambaran radiologik yang spesifik

31
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Untuk diagnosis AR, diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut di
atas. Kriteria 1-4 harus minimal diderita selama 6 minggu.

Tabel 1. Sistem Penilaian Klasifikasi Kriteria AR (American


College of Rheumatology/European League Against Rheumatism,
2010)
Skor
Populasi target (pasien mana yang harus di-tes?):
Minimal 1 sendi dengan keadaan klinis pasti sinovitis (bengkak)1
Dengan sinovitis yang tidak dapat dijelaskan oleh penyakit lain2

Kriteria Klasifikasi untuk RA (algoritma berdasarkan skor: tambahkan skor dari


kategori A-D; dari total skor 10, jika didapatkan jumlah skor ≥ 6 definisi pasti
RA)3

A. Keterlibatan sendi4
1 sendi besar5 0
2-10 sendi besar 1
1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)6 2
4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 3
>10 sendi (min.1 sendi kecil)7 5
B. Serologi (min.1 hasil tes yang dibutuhkan untuk klasifikasi)8
RF (-) dan ACPA (-) 0
RF (+) rendah dan ACPA (+) rendah 2
RF (+) tinggi dan ACPA (+) tinggi 3
C. Reaktan fase akut (min.1 hasil tes yang dibutuhkan untuk klasifikasi)9
CRP normal dan LED normal 0
CRP tidak normal dan LED tidak normal 1
D. Durasi dari gejala10
< 6 minggu 0
≥ 6 minggu 1

e. Penatalaksanaan
Keluhan pada sendi atau jaringan lunak di sekitarnya dapat di
atasi dengan analgesik biasa atau dengan anti inflamasi
nonsteroid yang diberikan sesudah makan.
1) Osteoartritis
a) Edukasi
b) Proteksi sendi, terutama pada stadium akut

32
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
c) Modifikasi faktor risiko : turunkan berat badan, weight
bearing daily activity
d) Non-weight bearing exercise
e) Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu diberikan
ortosis
f) Analgesik:
(1) Analgesik sederhana: asetaminofen 2-4 g/hari
(2) Obat antiinflamasi non-steroid, seperti: natrium
diklofenak 2-3 x 25-50 mg, piroksikam.
(3) Opioid ringan: kodein
g) Steroid oral jangka pendek untuk OA dengan inflamasi
(efusi)
2) Artritis Reumatoid
a) Penyuluhan.
b) Proteksi sendi, terutama pada stadium akut.
c) Obat anti inlamasi non-steroid, seperti: diklofenak 50-
100 mg 2x/hari, atau golongan steroid, seperti:
prednison atau metil prednisolon dosis rendah
(sebagai bridging therapy)
d) Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu dapat
diberikan ortosis.

f. KIE
1) Tujuan terapi: mengurangi rasa nyeri hingga dapat
ditoleransi, menghindari komplikasi, mengurangi kejadian
episode akut, meningkatkan kualitas hidup
2) Mengistirahatkan sendi diperlukan dalam keadaan akut.
Selanjutnya pada OA, mungkin pasien perlu memperbaiki
sikap tubuh, mengurangi berat badan, atau melakukan
fisioterapi.
3) Efek samping pengobatan dengan AINS: nyeri ulu hati,
mual, perdarahan saluran cerna. Bila timbul efek samping,
pengobatan: ranitidin 150-300 mg tiap 12 jam. Bila terjadi
perdarahan saluran cerna dan anemia akibat AINS segera
dirujuk.
4) Alasan rujukan: untuk operasi perbaikan deformitas,
pengobatan lebih lanjut.

33
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
8. ASMA BRONKIAL
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 1403 ICD X : J45

a. Definisi
Penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan
obstruksi jalan napas yang dapat hilang dengan atau tanpa
pengobatan akibat hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai
rangsangan yang melibatkan sel-sel dan elemen seluler terutama
mastosit, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan epitel.
34
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b. Penyebab
Menurut The Lung Association, ada dua faktor yang menjadi
pencetus asma:
1) Pemicu (trigger) yang mengakibatkan terganggunya saluran
napas dan mengakibatkan mengencang atau menyempitnya
saluran napas (bronkokonstriksi) tetapi tidak menyebabkan
peradangan, seperti:
a) Perubahan cuaca dan suhu udara.
b) Rangsang sesuatu yang bersifat alergen, misalnya asap
rokok, serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara
dingin dan olahraga, insektisida, debu, polusi udara dan
hewan piaraan.
c) Infeksi saluran napas.
d) Gangguan emosi.
e) Kerja fisik atau olahraga yang berlebihan.
2) Penyebab (inducer) yaitu sel mast di sepanjang bronki
melepaskan bahan seperti histamin dan leukotrien sebagai
respon terhadap benda asing (alergen), seperti serbuk sari,
debu halus yang terdapat di dalam rumah atau bulu
binatang, yang menyebabkan terjadinya kontraksi otot
polos, peningkatan pembentukan lendir dan perpindahan sel
darah putih tertentu ke bronki, yang mengakibatkan
peradangan (inflamasi) pada saluran napas dimana hal ini
akan memperkecil diameter dari saluran udara (disebut
bronkokonstriksi). Penyempitan ini menyebabkan pasien
harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernapas.

c. Gambaran Klinis
1) Sesak napas pada asma khas disertai suara mengi akibat
kesulitan ekspirasi.
2) Pada auskultasi terdengar wheezing dan ekspirasi
memanjang.
3) Keadaan sesak hebat yang ditandai dengan giatnya otot-otot
bantu pernapasan dan sianosis dikenal dengan status
asmatikus yang dapat berakibat fatal.
4) Dispnoe di pagi hari dan sepanjang malam, sesudah latihan
fisik atau saat cuaca dingin, berhubungan dengan infeksi
35
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
saluran napas atas, berhubungan dengan paparan terhadap
alergen seperti pollen dan bulu binatang.
5) Batuk yang panjang di pagi hari dan larut malam,
berhubungan dengan faktor iritatif, batuknya bisa kering,
tapi sering terdapat mukus bening yang diekskresikan dari
saluran napas.

d. Diagnosis
1) Anamnesis
Episode berulang dari sesak napas disertai dengan mengi,
batuk (terutama memburuk saat malam hari), rasa tertekan
di dada. Riwayat atopi, riwayat keluarga dengan asma,
pekerjaan, pajanan faktor pencetus sebelumnya: bulu hewan,
debu, udara, tungau, infeksi saluran napas, penggunaan obat
(penyekat beta, aspirin).

2) Pemeriksaan fisik
Takipneu (bisa disertai sianosis pada serangan berat),
ekspirasi memanjang, wheezing, hiperinflasi dada

3) Pemeriksaan penunjang
Eosinofilia, IgE serum meningkat, spirometri. Foto toraks
(pada saat serangan).

4) Kriteria Diagnosis
Berdasarkan Global Initiative for Asthma (GINA) 2010,
adanya tanda dan gejala berikut ini meningkatkan
kemungkinan diagnosis asma, antara lain:
a) Wheezing (suara napas mengi)
b) Riwayat salah satu dari hal berikut : batuk yang
bertambah terutama malam hari, mengi berulang,
kesulitan bernapas yang berulang, keluhan dada terasa
berat yang berulang.
c) Gejala timbul atau memburuk pada malam hari sehingga
pasien terbangun dari tidur
d) Gejala timbul atau memburuk pada musim-musim
tertentu

36
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e) Pasien memiliki riwayat ekzema atau riwayat keluarga
dengan asma atau dermatitis atopi
f) Gejala timbul atau memburuk dengan adanya : hewan
berbulu, kimia erosol, perubahan temperatur, obat
(aspirin, penyekat beta), latihan atau olahraga, serbuk,
infeksi (virus) saluran napas, asap atau stress emosi
g) Gejala berkurang dengan pemberian terapi anti-asma

Penggolongan asma dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Penggolongan Asma


Karakteristik Controlled Partly controlled Uncontrolled
asthma asthma asthma
Gejala harian Tidak ada (≤ 2>2 kali / minggu ≥ 3 gejala pada
kali/ minggu) partly
Keterbatasan aktivitas Tidak ada Ada controlled
Gejala malam hari Tidak ada Ada asthma
Kebutuhan obat pelegaTidak ada (≤ 2>2 kali / minggu
(reliever) kali/ minggu)
Fungsi faal paru (PEFNormal <80% predicted
atau FEV)

5) Diagnosis Banding
PPOK, gagal jantung

6) Pemeriksaan Lanjutan
a) Laboratorium: jumlah eosinofil sputum,
b) Skin prick test,
c) Uji bronkodilator atas indikasi [peningkatan forced
expiratory volume 1 (FEV1) ≥ 12% dan 200 ml setelah
pemberian bronkodilator, peningkatan peak expiratory
flow (PEF) ≥ 20% setelah pemberian bronkodilator],
d) Uji provokasi bronkus atas indikasi,
e) AGD (analisis gas darah) atas indikasi (pada serangan
asma berat hasil AGD dapat PaCO2 ≥ 45, hipoksemia,
asidosis respiratorik)

37
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
1) Untuk anak:
a) Asma ringan:
Obat pereda beta agonis yaitu salbutamol secara
inhalasi 2,5 mg/kali nebulisasi bisa diberikan tiap 4 jam,
kemudian dikurangi sampai tiap 6-8 jam bila kondisi
anak membaik, atau salbutamol oral (sirup atau tablet)
dosis 0,05-0,1 mg/kgBB/kali tiap 6-8 jam, atau
adrenalin 1:1000 subkutan 0,1 mg/kgBB dengan dosis
maksimal 0,3 mL/kali.

b) Asma serangan sedang:


Obat seperti diatas ditambah dengan oksigen, cairan
intravena, kortikosteroid oral seperti deksametason 0,3
mg/kgbb/kali 3 x sehari selama 3-5 hari.

c) Asma serangan berat:


Obat seperti diatas ditambah aminofilin secara inisial.
Dosis awal 6 mg/kg dalam dekstrosa/NaCl 20 mL dalam
20-30 menit. Dosis rumatan aminofilin 0,5-1
mg/kgBB/jam. Kortikosteroid dapat diberikan secara
intravena. Bila terjadi perbaikan klinis nebulisasi dapat
diberikan selama 6 jam.

2) Untuk dewasa:
a) Serangan akut:
(1) Oksigen.
(2) Pasien umur <40 tahun: adrenalin 1:1000 0,2 – 0,3
mL s.k. yang dapat diulangi 2 kali dengan interval
10–15 menit. Jika serangan tidak reda, dilanjutkan
dengan aminofilin bolus 240 mg dalam 10 mL,
disuntikkan dengan sangat perlahan. Bila serangan
tidak reda, ditambahkan deksametason 5 mg
i.v./i.m. Dapat diikuti dengan aminofilin drip 240
mg dalam 500 mL dekstrosa 5% dengan tetesan 12
tetes/menit. Bila dalam 4 jam serangan belum reda
maka perlu dirujuk.
38
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(3) Pasien umur >40 tahun: aminofilin 5-6 mg/kgBB
i.v. kombinasi dengan deksametason 5 mg i.v./i.m.,
diikuti dengan aminofilin drip 240 mg dengan
tetesan 12 tetes/menit. Bila setelah 4 jam serangan
belum reda maka perlu dirujuk dan dinyatakan
sebagai status asmatikus.
(4) Prednison dapat ditambahkan bila aminofilin belum
dapat mengatasi serangan secara optimal. Diberikan
beberapa hari saja untuk mencegah status
asmatikus.

b) Bila sudah membaik, maka pengobatan lanjutan dapat


digunakan:
Lini 1: salbutamol 2-4 mg tiap 8 jam kombinasi dengan
aminofilin 100-150 mg per oral tiap 8 jam.
Lini 2: efedrin 10-15 mg tiap 8 jam.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: untuk mengatasi dan pencegahan
serangan asma
2) Efek samping:
a) adrenalin: berdebar-debar, pada orang tua bisa
menimbulkan aritmia.
b) aminofilin: menimbulkan hipotensi, mual, muntah, sakit
kepala.
c) salbutamol dan efedrin: efek samping mirip adrenalin
dalam derajat yang lebih ringan.
d) prednison: moonface, iritasi lambung.
3) Pasien diharapkan:
a) mengenali faktor pencetus serangan dan
menghindarinya
b) mengenali tanda-tanda serangan
c) bila terdapat tanda-tanda akan serangan, segera minum
obat salbutamol dan aminofilin.
4) Bila pasien sudah dalam kondisi normal, obat tidak
diperlukan lagi, namun perlu siap sedia obat salbutamol dan
aminofilin.

39
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
5) Terapi yang tidak direkomendasikan untuk mengatasi
serangan asma :
a) Sedatif (harus dihindari)
b) Obat mukolitik (dapat memperburuk batuk)
c) Fisioterapi / chest physical therapy (dapat meningkatkan
ketidaknyamanan pasien)
d) Hidrasi dengan jumlah cairan yang terlalu banyak
e) Antibiotik (tidak mengobati serangan namun
diindikasikan pada pasien dengan pneumonia atau
infeksi bakteri seperti sinusitis)
6) Komplikasi
PPOK, gagal jantung, pada keadaan eksaserbasi akut dapat
menyebabkan gagal napas dan pneumotoraks.

9. BATU SALURAN KEMIH


Kompetensi : 2
Laporan Penyakit : 16 ICD X : N23

a. Definisi
Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa
keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih
dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran
kemih atau infeksi.

b. Penyebab
Banyak faktor yang berpengaruh untuk timbulnya batu dalam
saluran kemih, seperti kurang minum, gangguan metabolisme.

c. Gambaran Klinis
1) Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun
di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Proses
pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis,
nefrolitiasis).
2) Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala.
Batu di saluran kemih sebelah atas menimbulkan kolik,
sedangkan yang di bawah menghambat buang air kecil.

40
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3) Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus
renalis bisa menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis
(nyeri kolik yang hebat di daerah antara tulang rusuk dan
tulang pinggang, yang menjalar ke perut juga daerah
kemaluan dan paha sebelah dalam).
4) Gejala lainnya adalah mual dan muntah, perut
menggelembung, demam, menggigil dan darah di dalam
urin. Pasien mungkin menjadi sering buang air kecil,
terutama ketika batu melewati ureter.
5) Urin sering merah seperti air cucian daging dan pemeriksaan
mikroskopis memperlihatkan banyak eritrosit dan kadang
ada leukosit.
6) Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu
menyumbat aliran kemih, bakteri akan terperangkap di
dalam urin yang terkumpul diatas penyumbatan, sehingga
terjadilah infeksi.
7) Jika penyumbatan ini berlangsung lama, urin akan mengalir
balik ke saluran di dalam ginjal, menyebabkan penekanan
yang akan menggelembungkan ginjal (hidronefrosis) dan
pada akhirnya bisa terjadi kerusakan ginjal.

d. Diagnosis
1) Batu yang tidak menimbulkan gejala, mungkin akan
diketahui secara tidak sengaja pada pemeriksaan analisa urin
rutin (urinalisis).
2) Batu yang menyebabkan nyeri biasanya didiagnosis
berdasarkan gejala kolik renalis, disertai dengan adanya
nyeri tekan di punggung dan selangkangan atau nyeri di
daerah kemaluan tanpa penyebab yang jelas.
3) Analisa urin mikroskopik bisa menunjukkan adanya darah,
nanah atau kristal batu yang kecil. Biasanya tidak perlu
dilakukan pemeriksaan lainnya, kecuali jika nyeri menetap
lebih dari beberapa jam atau diagnosisnya belum pasti.
4) Pemeriksaan tambahan yang bisa membantu menegakkan
diagnosis adalah pengumpulan urin 24 jam dan pengambilan
contoh darah untuk menilai kadar kalsium, sistin, asam urat
dan bahan lainnya yang bisa menyebabkan terjadinya batu.
41
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
1) Kolik diatasi dengan natrium diklofenak.
2) Rujuk segera untuk diagnosis pasti dan penatalaksanaan
selanjutnya.
3) Batu kecil yang tidak menyebabkan gejala penyumbatan
atau infeksi, biasanya tidak perlu diobati.

f. KIE
Pasien yang sudah terdiagnosis batu saluran kemih dianjurkan
minum banyak air putih (minimal 3 liter sehari) untuk
meningkatkan pembentukan urin dan membantu membuang
beberapa batu. Jika batu telah terbuang, maka tidak perlu lagi
dilakukan pengobatan segera.

42
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
10. BRONKITIS AKUT
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 1402 ICD X : J20

a. Definisi
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara
ke paru-paru).
Bronkitis akut sebenarnya merupakan bronko pneumonia yang
lebih ringan.
b. Penyebab
Penyebabnya dapat virus, mikoplasma atau bakteri.

c. Gambaran Klinis
1) Batuk berdahak, sesak napas ketika melakukan olah raga
atau aktivitas ringan, sering menderita infeksi pernapasan
(misalnya flu), bengek, lelah, pembengkakan pergelangan
kaki, kaki dan tungkai kiri dan kanan, wajah, telapak tangan
atau selaput lendir yang berwarna kemerahan, pipi tampak
kemerahan, sakit kepala, gangguan penglihatan.
2) Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti
pilek, yaitu hidung berlendir, lelah, menggigil, sakit
punggung, sakit otot, demam ringan dan nyeri tenggorokan.
3) Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada
awalnya batuk tidak berdahak, tetapi 1–2 hari kemudian
akan mengeluarkan dahak berwarna putih atau kuning.
Selanjutnya dahak akan bertambah banyak, berwarna
kuning atau hijau.
4) Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar gejala lainnya
membaik, kadang terjadi demam tinggi selama 3–5 hari dan
batuk bisa menetap selama beberapa minggu.
5) Sesak napas terjadi jika saluran udara tersumbat.
6) Sering ditemukan bunyi napas mengi, terutama setelah
batuk.
7) Bisa terjadi pneumonia.

d. Diagnosis
1) Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala, terutama
dari adanya lendir.

43
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
2) Pada pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop akan
terdengar bunyi ronki atau bunyi pernapasan yang abnormal.

e. Penatalaksanaan
1) Untuk mengurangi demam dan rasa tidak enak badan, bisa
diberikan parasetamol
2) Antibiotik hanya diberikan kepada pasien bila gejalanya
menunjukkan bahwa penyebabnya adalah infeksi bakteri
(dahaknya berwarna kuning atau hijau dan demamnya tetap
tinggi) dan pasien yang sebelumnya memiliki penyakit paru-
paru.
3) Kepada pasien dewasa diberikan antibiotik seperti:
a) amoksisilin 500 mg tiap 8 jam diberikan selama 5 hari
b) eritromisin 250–500 mg tiap 6 jam diberikan selama 5
hari.
4) Kepada pasien anak-anak diberikan amoksisilin 20–50
mg/kgBB/hari atau eritromisin 40–50 mg/kgBB/hari
walaupun dicurigai penyebabnya adalah Mycoplasma
pneumoniae.
5) Pada awal pengobatan dapat diberikan Obat Batuk Hitam
(OBH).
6) Bila ada komplikasi pada pasien segera rujuk.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk memperpendek perjalanan klinis
penyakit.
2) Dianjurkan untuk beristirahat dan minum banyak cairan,
serta menghentikan kebiasaan merokok.
3) Dari data diketahui penyebab tersering bronkhitis pada anak
< 2 tahun adalah infeksi virus, sehingga tidak diperlukan
pemberian antibiotik.
4) Segera berobat kembali apabila gejala bertambah berat.
5) Sebaiknya tidak menggunakan obat penekan batuk
(antitusif).

44
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
11. DEMAM BERDARAH DENGUE
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 0405 ICD X : A91

a. Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang ditandai
dengan:
1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas,
berlangsung terus-menerus selama 2–7 hari;
2) Manifestasi perdarahan (petekie, purpura, perdarahan
konjungtiva, epistaksis, ekimosis, perdarahan mukosa,
perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk
uji Tourniquet (Rumple Leede) positif;
3) Trombositopeni (jumlah trombosit ≤100.000/μl);
4) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥20%);
5) Disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali).

b. Penyebab
Virus dengue yang sampai sekarang dikenal 4 serotipe (Dengue-
1, Dengue-2, Dengue-3 dan Dengue-4), termasuk dalam group B
Arthropod Borne Virus (Arbovirus). Keempat serotipe virus ini
telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Hasil
penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Dengue-3 sangat
berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang
paling luas distribusinya disusul oleh Dengue-2, Dengue-1 dan
Dengue-4.

45
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
c. Cara Penularan
Penularan DBD umumnya melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti meskipun dapat juga ditularkan oleh Aedes albopictus
yang biasanya hidup di kebun-kebun. Nyamuk penular DBD ini
terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-
tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas
permukaan laut.

d. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi
Biasanya berkisar antara 4–7 hari.
2) Demam
Pada awal penyakit terdapat tanda-tanda demam mendadak,
dimana dalam 12 jam mencapai puncak, ada gejala kelainan
saluran cerna bagian atas seperti kembung, mual dan nyeri,
pada pemeriksaan terdapat konjungtiva inferior hiperemis
(trias dengue fever).
Demam berlangsung 2–7 hari. Panas dapat turun pada hari
ke-3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7
panas mendadak turun.
3) Tanda-tanda perdarahan
Perdarahan ini terjadi di semua organ. Bentuk perdarahan
dapat hanya berupa uji Tourniquet (Rumple Leede) positif
atau dalam bentuk satu atau lebih manifestasi perdarahan
sebagai berikut: petekie, purpura, ekimosis, perdarahan
konjungtiva, epistaksis, pendarahan gusi, hematemesis,
melena dan hematuri. Petekie sering sulit dibedakan dengan
bekas gigitan nyamuk. Untuk membedakannya regangkan
kulit, jika hilang maka bukan petekie. Uji Tourniquet positif
sebagai tanda perdarahan ringan, dapat dinilai sebagai
presumptif test (dugaan keras) oleh karena uji Tourniquet
positif pada hari-hari pertama demam terdapat pada sebagian
besar pasien DBD. Namun uji Tourniquet positif dapat juga
dijumpai pada penyakit virus lain (campak, demam
chikungunya), infeksi bakteri (Typhus abdominalis) dan lain-
lain. Uji Tourniquet dinyatakan positif, jika terdapat 10 atau
lebih petekie pada seluas 1 inci persegi (2,5 x 2,5 cm) di

46
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
lengan bawah bagian depan (volar) dekat lipat siku (fossa
cubiti).
4) Pembesaran hati (hepatomegali)
Sifat pembesaran hati:
a) Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada
permulaan penyakit.
b) Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit.
c) Nyeri tekan sering ditemukan tanpa disertai ikterus.
5) Renjatan (syok)
Tanda-tanda renjatan:
a) Kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung
hidung, jari tangan dan kaki.
b) Pasien menjadi gelisah.
c) Sianosis di sekitar mulut.
d) Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba.
e) Tekanan nadi menurun, sistolik menurun sampai 80
mmHg atau kurang.
Sebab renjatan: karena perdarahan, atau karena kebocoran
plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang
terganggu.

6) Trombositopeni
a) Jumlah trombosit ≤100.000/μl biasanya ditemukan
diantara hari ke 3–7 sakit.
b) Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti
bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau
menurun.
c) Pemeriksaan dilakukan pada saat pasien diduga
menderita DBD, bila normal maka diulang tiap`hari
sampai suhu turun.
7) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
Peningkatan nilai hematokrit (Ht) yang menggambarkan
hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD. Hal ini
merupakan indikator yang peka terjadinya perembesan
plasma, sehingga dilakukan pemeriksaan hematokrit secara
berkala. Pada umumnya penurunan trombosit mendahului
peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi dengan
peningkatan hematokrit ≥ 20% (misalnya 35% menjadi
47
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
42%: 20/100x35=7, 35+7=42), mencerminkan peningkatan
permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu
mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi
oleh penggantian cairan atau perdarahan. Penurunan nilai
hematokrit ≥20% setelah pemberian cairan yang adekuat,
nilai Ht diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan.
8) Gejala klinik lain
a) Gejala klinik lain yang dapat menyertai pasien DBD
ialah nyeri otot, anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit
perut, diare atau konstipasi, dan kejang.
b) Pada beberapa kasus terjadi hiperpireksia disertai kejang
dan penurunan kesadaran sehingga sering di diagnosis
sebagai ensefalitis.
c) Keluhan sakit perut yang hebat sering kali timbul
mendahului perdarahan gastrointestinal dan renjatan.

e. Diagnosis
1) Tersangka Demam Berdarah Dengue
Dinyatakan Tersangka Demam Berdarah Dengue apabila
demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung
terus-menerus selama 2-7 hari disertai manifestasi perdarahan
(sekurang-kurangnya uji Tourniquet positif) dan/atau
trombositopenia (jumlah trombosit ≤100.000/μl).
2) Pasien Demam Berdarah Dengue derajat 1 dan 2
Diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan atau
dinyatakan sebagai pasien DBD apabila demam tinggi
mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-
menerus selama 2–7 hari disertai manifestasi perdarahan
(sekurang-kurangnya uji Tourniquet positif), trombositopenia,
dan hemokonsentrasi (diagnosis klinis), atau hasil
pemeriksaan serologis pada Tersangka DBD menunjukkan
hasil positif pada pemeriksaan HI test, atau terjadi
peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada
pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis laboratoris).

f. Penatalaksanaan
Diberikan obat simtomatik parasetamol jika suhu tubuh
>38,5oC.
48
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
1) Penatalaksanaan demam berdarah dengue (pada anak)
Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu:
a) Adakah tanda kedaruratan, yaitu tanda syok (gelisah,
napas cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit
lembab), muntah terus-menerus, kejang, kesadaran
menurun, muntah darah, feses darah, maka pasien perlu
dirawat/dirujuk.
b) Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji
Tourniquet dan hitung trombosit.
(1) Bila uji Tourniquet positif dan jumlah trombosit
≤100.000/μl, pasien dirawat/dirujuk.
(2) Bila uji Tourniquet negatif dengan trombosit
>100.000/μl atau normal, pasien boleh pulang
dengan pesan untuk datang kembali tiap hari sampai
suhu turun. Pasien dianjurkan minum banyak,
seperti: air teh, susu, sirup, oralit, jus buah dan lain-
lain. Berikan obat antipiretik golongan parasetamol,
jangan golongan salisilat. Apabila selama di rumah
demam tidak turun pada hari sakit ketiga, evaluasi
tanda klinis adakah tanda-tanda syok, yaitu anak
menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin, sakit
perut, feses hitam, kencing berkurang; bila perlu
periksa Hb, Ht dan trombosit. Apabila terdapat
tanda syok atau terdapat peningkatan Ht dan/atau
penurunan trombosit, segera rujuk ke rumah sakit.

2) Penatalaksanaan demam berdarah dengue (pada


dewasa)
Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht
dan trombosit dalam batas nomal dapat dipulangkan dengan
anjuran kembali kontrol dalam waktu 24 jam berikutnya
atau bila keadaan pasien memburuk agar segera kembali ke
puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya. Sedangkan pada
kasus yang meragukan indikasi rawatnya, maka untuk
sementara pasien tetap diobservasi dengan anjuran minum
yang banyak, serta diberikan infus Ringer Laktat sebanyak
500 mL dalam 4 jam. Setelah itu dilakukan pemeriksaan
ulang Hb, Ht dan trombosit.

49
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Pasien dirujuk ke rumah sakit apabila didapatkan hasil
sebagai berikut.
a) Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit
<100.000/μL atau
b) Hb, Ht yang meningkat dengan jumlah trombosit
<150.000/μL.

3) Penatalaksanaan pasien demam berdarah dengue


dengan syok (DSS)
a) Segera beri infus Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, 10–20
mL/kgBB secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30
menit) dan oksigen 2–4 L/menit. Untuk DSS berat
(DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tekanan darah
tidak terukur) diberikan Ringer Laktat 20 mL/kgBB
bersama koloid. Bila syok mulai teratasi jumlah cairan
dikurangi menjadi 10 mL/kgBB/jam.
b) Untuk pemantauan dan penanganan lebih lanjut,
sebaiknya pasien dirujuk ke rumah sakit terdekat.

g. KIE
1) Tujuan pengobatan : mencegah terjadinya syok.
2) Perhatikan saat suhu tubuh turun pada hari ke-3, ke-4, dan
ke-5 (deverfescens), sebagai periode kritis untuk masuk ke
dalam fase DSS atau masuk ke arah perbaikan (demam
dengue biasa)
3) Pemberian cairan tidak boleh ragu, tetapi harus
diperhitungkan dengan seksama. Perhatikan jumlah urin,
jika 1 mL/menit menunjukkan cairan sudah cukup.
4) Usahakan tidak memberikan obat yang tidak diperlukan
seperti antasida, antiemetik, dan lain-lain untuk mengurangi
beban detoksikasi dalam hati.
5) Jika ditemukan kasus positif DBD, dokter diharapkan
melaporkan ke Dinas Kesehatan setempat 1 X 24 jam untuk
ditindaklanjuti dengan penelitian epidemiologi, dalam
rangka memutus rantai penularan di lapangan dan untuk
mewaspadai akan adanya kemungkinan kejadian luar biasa
(KLB).

50
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
6) Lakukan edukasi seksama program PSN-3M
(Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Menguras,
Menutup, Mengubur) di tempat-tempat penampungan air
secara teratur 1 minggu sekali.
7) Selain itu ditambahkan cara lain dengan Program 3M Plus
sesuai Pedoman Program Demam Berdarah.

51
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
12. DEMAM REMATIK
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : - ICD X : I00-I02

a. Definisi
Demam rematik merupakan sindrom klinik akibat infeksi akut
tenggorok oleh suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat akut,
subakut, kronik atau fulminan dan dapat terjadi setelah infeksi
Streptococcus beta hemolyticus grup A yang terjadi 1–5 minggu
sebelumnya pada saluran napas bagian atas.
Pada dasarnya penyakit ini merupakan respon imun yang
menyebabkan kelainan menetap di jantung (penyakit jantung
reumatik) dan kelainan berpulih (reversibel) di sendi, kulit dan
organ lainnya.

b. Penyebab
Interaksi antigen-antibodi 10–14 hari setelah infeksi
Streptococcus pyogenes.

c. Gambaran Klinis
1) Kriteria Mayor
a) Karditis
b) Poliartritis migrans (berpindah-pindah)
c) Chorea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak
disadari dan tidak bertujuan yang berlangsung cepat dan
umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya
mengenai satu sisi tubuh dan tidak terkendali.
d) Eritema marginatum (tanda mayor demam rematik ini
hanya ditemukan pada kasus yang berat).
e) Nodulus subkutan (tanda ini pada umumnya tidak akan
ditemukan jika tidak terdapat karditis).
2) Kriteria Minor
a) Demam
b) Riwayat demam rematik
c) Artralgia/nyeri sendi
d) Peninggian LED
e) Peningkatan CRP serum atau lekositosis
52
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
f) Interval P-R yang memanjang pada EKG

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Selain itu, bukti adanya
infeksi Streptococcus sebelumnya (peningkatan titer AST, kultur
Streptococcus tenggorokan positif, baru saja menderita
skarlatina).
Ekokardiografi berguna dalam diagnosis perikarditis dan
penyakit katup (tak perlu untuk Diagnosis primer).

e. Penatalaksanaan
1) Lakukan pengobatan awal.
2) Eradikasi kuman secepatnya dilakukan segera setelah
diagnosis demam rematik dapat ditegakkan.
Obat pilihan pertama adalah:
a) penisilin prokain 600.000–1,2 juta UI i.m. atau
penisilin V 500 mg tiap 8 jam selama 10 hari
b) eritromisin 2 g/hari selama 10 hari bila pasien tidak
tahan terhadap penisilin.
c) Pada anak dosis penisilin prokain adalah 50.000
IU/kgBB/ hari, dan eritromisin 125–250 mg tiap 6 jam.
3) Pemberian obat antiradang pada demam rematik dapat
dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Pemberian obat antiradang pada demam rematik


Manifestasi
Dosis Obat
Pengobatan
Artritis, dan/atau Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, kemudian
karditis tanpa diturunkan menjadi 75 mg/kgBB/hari selama 4–6
kardiomegali minggu.

Karditis dengan Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, kemudian


kardiomegali atau diturunkan 1 mg/kgBB/hari sampai habis selama 2
gagal jantung minggu, ditambah dengan salisilat 75 mg/kgBB/hari
mulai minggu ke-3 selama 6 minggu.

53
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
4) Pasien yang pernah menderita demam rematik, dengan atau
tanpa adanya penyakit jantung rematik, sangat dianjurkan
diberikan antibiotik profilaksis (secondary prophylaxis)
untuk mencegah infeksi ulang saluran napas oleh
streptococcus group A.
a) Pasien tanpa karditis dalam serangan pertama harus
diberikan profilaksis minimum 5 tahun setelah serangan
hingga minimum usia 18 tahun.
b) Pasien dengan karditis pada serangan pertama, harus
diberikan profilaksis hingga usia 25 tahun.
c) Pasien yang menderita penyakit katup jantung rematik
kronik, diberikan profilaksis jangka waktu lama hingga
seumur hidup pada beberapa kasus.
5) Profilaksis tetap diteruskan jika pasien hamil.
6) Antibiotik profilaksis:
a) Benzatin benzilpenisilin
(1) Injeksi 1,44 g (=2,4 juta UI) (dalam 5 mL vial)
(2) anak <30 kg : 600.000 UI i.m. tiap 3–4 minggu
(3) anak dan dewasa >30 kg : 1,2 juta UI i.m tiap 3–4
minggu
b) Fenoksimetilpenisilin
(1) Tablet 250 mg (bentuk garam)
(2) Suspensi oral 250 mg (bentuk garam, dalam tiap 5
ml)
(3) Anak < 2 tahun: 125 mg per oral tiap 12 jam
(4) Dewasa: 250 mg per oral tiap 12 jam
7) Jika alergi terhadap penisilin dapat diberikan:
Eritromisin
a) Kapsul atau tablet 250 mg (stearat atau etil suksinat)
b) Suspensi oral 125 mg (stearat atau etil suksinat)
8) Semua pasien demam rematik harus dirujuk ke rumah sakit.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: mencegah demam rematik berlanjut
menjadi penyakit jantung rematik.
2) Efek samping:

54
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a) adrenalin, deksametason: hati-hati terhadap syok
anafilaktik dan mempersiapkan perangkat anti syok
anafilaktik.
b) Efek samping yang mungkin timbul akibat pengobatan
prednison antara lain moonface, hipertensi, mudah
terkena infeksi, hiperglikemia, striae, osteoporosis dan
iritasi lambung.

55
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
13. DERMATITIS
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 2002 ICD X : L20-L30

a. Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit dengan gejala subjektif gatal
dan ditandai dengan kelainan kulit polimorfik berbatas tidak
tegas. Dermatitis Atopik adalah peradangan kulit kronik dan
residif yang sering terjadi pada bayi dan anak, disertai gatal dan
berhubungan dengan atopi.

Atopi adalah istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit


pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam
keluarganya, misalnya: asma bronkiale, rinitis alergi, dermatitis
atopik dan konjungtivitis alergi.

b. Penyebab
Umumnya tidak diketahui.

c. Gambaran Klinis
1) Pada wajah, kulit kepala, daerah yang tertutup popok,
tangan, lengan, kaki atau tungkai bayi terbentuk ruam
berkeropeng yang berwarna merah dan berair.
2) Dermatitis seringkali menghilang pada usia 3–4 tahun,
meskipun biasanya akan muncul kembali.
3) Pada anak-anak dan dewasa, ruam seringkali muncul dan
kambuh kembali hanya pada 1 atau beberapa daerah,
terutama lengan atas, sikut bagian depan atau di belakang
lutut.
4) Warna, intensitas dan lokasi dari ruam bervariasi, tetapi
selalu menimbulkan gatal-gatal.

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, hasil
pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit alergi pada keluarga
pasien.

e. Penatalaksanaan
56
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
1) Sistemik
a) Antihistamin klasik sedatif (misalnya klorfeniramin
maleat) untuk mengurangi gatal.
b) Bila terdapat infeksi sekunder dapat ditambahkan
antibiotik sistemik atau topikal.
2) Topikal
a) Bila lesi akut/eksudatif: kompres 2–3 x sehari, 1–2 jam
dengan larutan NaCl 0,9%.
b) Krim kortikosteroid potensi sedang/rendah, 1–2 kali
sehari sesudah mandi, sesuai dengan keadaan lesi. Bila
sudah membaik dapat diganti dengan potensi yang lebih
rendah.
c) Kortikosteroid potensi rendah: hidrokortison krim 2,5%.
d) Kortikosteroid potensi sedang: betametason krim 0,1%.
e) Pada kulit kering dapat diberikan emolien/pelembab
segera sesudah mandi.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: penanganan keluhan subyektif dan
obyektif serta pencegahan rekurensi.
2) Penjelasan/penyuluhan kepada orang tua pasien:
a) Penyakit bersifat kronik berulang dan penyembuhan
sempurna jarang terjadi sehingga pengobatan ditujukan
untuk mengurangi gatal dan mengatasi kelainan kulit.
b) Selain obat perlu dilakukan usaha lain untuk mencegah
kekambuhan:
(1) Jaga kebersihan, gunakan sabun lunak misalnya
sabun bayi
(2) Pakaian sebaiknya tipis, ringan, mudah menyerap
keringat
(3) Udara dan lingkungan cukup berventilasi dan sejuk.
(4) Hindari faktor-faktor pencetus, misalnya: iritan,
debu, dan sebagainya.

57
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
14. DERMATOMIKOSIS
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 2001 ICD X : B36.9

a. Definisi
Dermatomikosis merupakan penyakit jamur pada kulit yang
secara medis disebut juga dengan mikosis superfisialis (bagian
permukaan kulit). Sedangkan dari berbagai jenis
dermatomikosis yang sering mengenai manusia, dikenal dengan
kelompok dermatofitosis yang di Indonesia dikenal dengan
kurap/kadas. Sedangkan panu masuk dalam kategori
dermatomikosis yang nondermatofitosis.

b. Penyebab
Kontak langsung dengan sumber penularan.
1) Paparan terhadap jamur sering terjadi.
2) Faktor genetik memainkan peran dalam tingkat penularan
mikosis kuku dan kaki.
3) Mikosis pada hewan (misal: sapi, marmut, kucing)
menyebar dengan mudah pada manusia dan menyebabkan
tinea pada ekstremitas, badan dan wajah.

c. Gambaran Klinis
1) Tinea kutaneus biasanya mempunyai tepi berskuama,
eritematus dan meninggi, berbentuk lingkaran (cincin) dan
gatal.
2) Pada panu, muncul bercak bersisik halus yang berwarna
putih hingga kecokelatan bisa pada daerah mana saja di
badan termasuk leher dan lengan. Biasanya menyerang
ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit
kepala yang berambut.
3) Infeksi jamur kulit ini biasanya juga menyerang kaum
wanita; mengenai kulit dan vagina. Jamur dapat menginfeksi
lebih dari satu kali. Dengan ditandai antara lain: adanya duh,
putih, dadih seperti kotoran, peradangan pada kulit sekitar
vagina, serta sakit selama buang air kecil atau sewaktu
hubungan seksual.

58
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d. Diagnosis
Gambaran spesifik infeksi jamur pada kulit. Dengan cara
pemeriksaan mikroskopis dari bahan kerokan kulit yang
terserang.

e. Penatalaksanaan
1) Tinea (dermatofitosis) biasanya diterapi dengan obat topikal.
2) Griseofulvin tablet hanya efektif pada dermatofit.
3) Nistatin hanya efektif pada kandida.
4) Mikonazol topikal efektif untuk dermatofita dan kandida.
5) Dermatofitosis
a) Sistemik (diberikan bila lesi luas)
Griseofulvin micronized 500–1000 mg sehari selama 2–
6 minggu
b) Topikal
Kombinasi asam salisilat 3% dengan asam benzoat 6%.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan adalah eradikasi dan pemutusan rantai
penularan.
2) Efek samping griseofulvin: dapat menimbulkan sakit kepala
dan fotosensitivitas.
3) Pencegahan: menjaga kebersihan dan menghindari sumber
penularan.

59
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
15. DIABETES MELITUS
Kompetensi : 3A;4
Laporan Penyakit : 55-59 ICD X : E10-E14

a. Definisi
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit gangguan
metabolik menahun yang ditandai oleh kadar gula darah yang
melebihi nilai normal (hiperglikemia) karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau keduanya.

Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan klasifikasi etiologis


DM yaitu:
1) Diabetes Melitus tipe 1 adalah penyakit gangguan metabolik
yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat
destruksi (kerusakan) sel beta pankreas karena suatu sebab
tertentu yang menyebabkan produksi insulin tidak ada sama
sekali sehingga pasien sangat memerlukan tambahan insulin
dari luar.
2) Diabetes Melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik
yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat
penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau
fungsi insulin (resistensi insulin).
3) Diabetes Melitus tipe lain adalah penyakit gangguan
metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah
akibat defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja
insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena
obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang,
sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
4) Diabetes Melitus tipe Gestasional adalah penyakit gangguan
metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah
yang terjadi pada wanita hamil, biasanya terjadi pada usia
24 minggu masa kehamilan, dan setelah melahirkan kadar
gula darah kembali normal.

b. Penyebab
Kekurangan hormon insulin, yang berfungsi memanfaatkan
glukosa sebagai sumber energi dan mensintesa lemak.

60
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Insufisiensi fungsi insulin yang disebabkan oleh gangguan atau
defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta langerhans kelenjar
pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin.

c. Gambaran Klinis
1) Keluhan Klasik, berupa: sering kencing, cepat lapar, sering
haus dan berat badan menurun cepat tanpa penyebab yang
jelas.
2) Keluhan lainnya, berupa: kesemutan, gatal di daerah
alat kelamin, keputihan, infeksi sulit sembuh, bisul yang
hilang timbul, penglihatan kabur, cepat lelah dan mudah
mengantuk.

d. Diagnosis
Berdasarkan gejala diabetes dengan 3P (polifagia, poliuria,
polidipsia). Diagnosis dapat dipastikan dengan reduksi urin dan
penentuan kadar gula darah.
1) Bila kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dL
2) Glukosa darah puasa >126 mg/dL
3) Pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) didapatkan hasil
pemeriksaan kadar gula darah 2 jam >200 mg/dL sesudah
pemberian glukosa 75 g.

e. Penatalaksanaan
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus:
1) Edukasi
a) Pengertian Diabetes Melitus
b) Perencanaan makanan
c) Bentuk aktivitas fisik yang dianjurkan
d) Pemeliharaan kaki
e) DM di bulan Ramadhan
f) Obat untuk mengendalikan kadar gula darah
g) Pemantauan gula darah
h) Komplikasi DM
61
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
2) Terapi gizi medis
Perencanaan Makanan: sebaiknya melakukan rujukan untuk
mendapatkan perencanaan makan yang sesuai dengan
kebutuhan pasien.
a) Makanan dianjurkan seimbang dengan komposisi energi
dari karbohidrat 45-65%, protein 10-15% dan lemak 20-
25%.
b) Prinsip:
(1) Anjuran makan seimbang seperti makan sehat pada
umumnya
(2) Tidak ada makanan yang dilarang, hanya dibatasi
sesuai kebutuhan kalori (tidak berlebih)
(3) Menu sama dengan menu keluarga
(4) Teratur dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan.
Dapat dilihat dalam Pedoman Program Pengendalian
Diabetes Mellitus dan Penyakit Metabolik.

3) Aktivitas fisik/latihan jasmani


Aktivitas fisik seperti berjalan kaki ke pasar, berkebun,
menggunakan tangga, dan lain-lain.
Latihan jasmani seperti: bersepeda santai, berjalan kaki,
jogging dan berenang.
Dilakukan 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30-60
menit.

Hal-hal yang perlu diperhatikan:


a) Hal yang dapat memperburuk gangguan metabolik
orang dengan diabetes:
(1) Beratnya penyakit dan komplikasinya (penyakit
jantung, koroner, hipertensi, gangguan penglihatan,
gangguan fungsi ginjal dan hati, kelainan kaki).

62
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(2) Kadar gula darah 250 mg%, jangan lakukan latihan
berat (misalnya: latihan beban, olah raga kontak
tinju dan lain-lain, bulu tangkis, sepak bola, dan
olah raga permainan yang lain).
(3) Berlatih pada suhu terlalu panas/dingin.
b) Gangguan pada kaki:
(1) Kenakan sepatu yang sesuai
(2) Kaki diusahakan agar selalu bersih dan kering
(3) Periksa kedua kaki tiap sebelum dan sesudah
latihan
c) Cedera muskuloskeletal:
(1) Pilih olah raga yang sesuai dan tepat
(2) Tingkatkan intensitas latihan sedikit demi
sedikit dan bertahap
(3) Lakukan pemanasan dan pendinginan
(4) Hindari olah raga berat dan berlebihan.
d) Berlatihlah bersama keluarga, teman atau tetangga
dalam suatu kelompok untuk menjaga agar dorongan
untuk berolah raga selalu tinggi.

4) Pengobatan

Apabila kadar gula darah belum mencapai sasaran,


diberikan obat hipoglikemik oral (OHO), secara tunggal
atau kombinasi.
Pemberian OHO untuk pengobatan jangka pendek dan
jangka panjang dapat dilakukan di Puskesmas.

a) Diabetes Melitus tipe 2:


(1) Lini 1: Biguanid yaitu metformin, 500 mg tiap 8-24
jam bersama atau sesudah makan

63
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(2) Lini 2: Sulfonilurea yaitu glibenklamid, dimulai
dengan dosis 2,5 mg tiap 12-24 jam sebelum makan.
lalu dinaikkan secara bertahap, maksimal 10
mg/hari.
(3) Lini 3: Kombinasi metformin dan glibenklamid,
diberikan secara bertahap.
(4) Lini 4: insulin
b) Diabetes Melitus tipe 1:
Selalu dengan insulin, tidak dianjurkan diberikan OHO.
(1) Insulin kerja cepat (rapid)
(2) Insullin kerja pendek (short acting)
(3) Insulin kerja menengah (intermediate)
(4) Insulin kerja panjang (long acting)

f. Pengendalian DM
Keberhasilan terapi DM dapat menggunakan kriteria kendali
DM yang telah dikeluarkan oleh PERKENI (Tabel 4).

Tabel 4. Pengendalian DM
Baik Sedang Buruk
Glukosa darah puasa (mg/dL) 80<100 100-125 >126
Glukosa darah 2 jam (mg/dL) 80-144 145-179 >180
A1C (%) <6,5 6,5-8 >8
Kolesterol Total (mg/dL) <200 200-239 >240
Kolesterol LDL (mg/dL) <100 100-129 >130
Kolesterol HDL (mg/dL) Pria: >40
Wanita: >50
Trigliserida (mg/dL) <150 150-199 >200
IMT (kg/m2) 18,5-<2,3 23-25 >25
Tekanan darah (mmHg) <140/80 >130-140/ >140/90
>80-90
Keterangan:
Angka diatas adalah hasil pemeriksaan plasma vena.
Perlu konversi nilai kadar glukosa darah dari darah kapiler darah
utuh ke plasma vena.

64
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
g. KIE
Lihat pilar penatalaksanaan
1) Tujuan pengobatan:
a) Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM
dan tercapainya target pengendalian gula darah.
b) Jangka panjang: mencegah dan menghambat
progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati
dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah
turunnya morbiditas dan mortalitas DM
c) Selain itu perlu juga mengendalikan tekanan darah,
berat badan dan profil lipid.

2) Memberikan informasi perilaku sehat bagi penyandang


diabetes yaitu:
a) Mengikuti pola makan sehat
b) Meningkatkan kegiatan jasmani
c) Menggunakan obat diabetes secara teratur
d) Melakukan perawatan kaki secara berkala
e) Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi
kedaan sakit akut dengan tepat
f) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada

3) Efek samping obat:


a) Glibenklamid: hipoglikemia, hati-hati pada pasien usia
lanjut, berat badan naik;
b) Metformin: mual, muntah (dyspepsia), diare;
c) Insulin: berat badan naik, hipoglikemia.

4) Penanganan hipoglikemia:
65
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a) Jika ada tanda–tanda hipoglikemia berupa kaki dan
tangan terasa dingin, sakit kepala, keringat dingin,
gemetaran, segera diajarkan minum air gula atau makan
kemudian laporkan pada dokter. Pada hipoglikemia
berat dimana kesadaran menurun sampai koma:
b) Hipoglikemi pada dewasa: segera berikan dekstrosa
(glukosa) 40% i.v. 25–50 mL, terus menerus sampai
pasien sadar. Diikuti dengan infus glukosa 10% 500 mL
dalam 6 jam, kemudian gula darah diperiksa tiap 1 jam
sampai 2 X berturut-turut sampai kadar gula darah di
atas 100 mg/dL. Atau setelah pasien sadar langsung
dirujuk.
c) Hipoglikemi pada anak : diberikan dekstrosa 10%
sebanyak 2-5 mL/kgBB. Jika digunakan dekstrosa 20%
maka diberikan dengan dosis 1-2,5 mL/kgBB, kemudian
gula darah diperiksa tiap 1 jam sampai 2x berturut-turut
sampai kadar gula darah di atas 100 mg/dL. Atau
setelah pasien sadar langsung dirujuk.
5) Pencegahan:
a) Pencegahan Primer: mencegah timbulnya penyakit DM
pada populasi berisiko dengan mengendalikan faktor
risiko diabetes dengan melakukan gaya hidup sehat,
dengan menekankan kepatuhan.
b) Pencegahan Sekunder: mencegah dan menghambat
progresivitas komplikasi dengan melakukan rujukan
untuk melakukan :
(1) Pemeriksaan A1C tiap 3-6 bulan
(2) Pemeriksaan mikroalbuminuria, kreatinin,
albumin/globulin dan ALT, kolesterol (total, LDL,
HDL dan trigliserida), EKG, foto sinar-X dada,
funduskopi tiap 1 (satu) tahun.
(3) Pemeriksaan ankle brachial index, yaitu
membandingkan tekanan darah sistolik pada arteri
dorsalis atau arteri tibialis posterior terhadap
tekanan darah sistolik pada arteri brachialis. Jika
66
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
nilai <0,9 menunjukkan kecenderungan penyakit
arteri perifer.

6) Deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko:


a) usia 45 tahun
b) ada riwayat keluarga DM
c) riwayat pernah menderita diabetes gestasional
d) riwayat berat badan lahir dengan berat badan rendah,
kurang dari 2500 g.
e) kegemukan (IMT 23 kg/m2) dan lingkar pinggang laki-
laki ≥90 cm, perempuan ≥80cm
f) kurangnya aktivitas fisik
g) diet tidak sehat, dengan tinggi gula dan rendah serat
h) hipertensi, tekanan darah diatas 140/90 mmHg
i) riwayat dislipidemia, kadar lipid (Kolesterol HDL ≤35
mg/dL dan atau Trigliserida 250 mg/dL)
j) memiliki riwayat penyakit kardiovaskular.

67
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
16. DIARE AKUT NON SPESIFIK
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 0102 ICD X : A09

a. Definisi
Diare adalah keadaan buang-buang air dengan banyak cairan
dan merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu atau
gangguan lain.
Diare akut adalah buang air besar lembek/cair konsistensinya
encer, lebih sering dari biasanya disertai berlendir, bau amis,
berbusa bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih
sering dari biasanya dan berlangsung kurang dari 7 hari.
Diare nonspesifik adalah diare yang bukan disebabkan oleh
kuman khusus maupun parasit.

b. Penyebab
Penyebabnya adalah virus, makanan yang merangsang atau yang
tercemar toksin, gangguan pencernaan dan sebagainya.

c. Gambaran Klinis
1) Demam yang sering menyertai penyakit ini memperberat
dehidrasi. Gejala dehidrasi tidak akan terlihat sampai
kehilangan cairan mencapai 4–5% berat badan.
2) Gejala dan tanda dehidrasi antara lain:
a) rasa haus, mulut dan bibir kering
b) menurunnya turgor kulit
c) menurunnya berat badan, hipotensi, lemah otot
d) sesak napas, gelisah
e) mata cekung, air mata tidak ada
f) ubun-ubun besar cekung pada bayi
g) oliguria kemudian anuria
h) menurunnya kesadaran, mengantuk.
3) Bila kekurangan cairan mencapai 10% atau lebih pasien
jatuh ke dalam dehidrasi berat dan bila berlanjut dapat
terjadi syok dan kematian.

d. Diagnosis

68
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Ditentukan dari gejala buang air besar berulang kali lebih sering
dari biasanya dengan konsistensinya yang lembek dan cair.

e. Penatalaksanaan
WHO telah menetapkan 4 unsur utama dalam penanggulangan
diare akut yaitu:
1) Pemberian cairan, berupa upaya rehidrasi oral (URO) untuk
mencegah maupun mengobati dehidrasi.
2) Melanjutkan pemberian makanan seperti biasa, terutama
ASI, selama diare dan dalam masa penyembuhan.
3) Tidak menggunakan antidiare, sementara antibiotik maupun
antimikroba hanya untuk kasus tersangka kolera, disentri,
atau terbukti giardiasis atau amubiasis.
4) Pemberian petunjuk yang efektif bagi ibu dan anak serta
keluarganya tentang upaya rehidrasi oral di rumah, tanda-
tanda untuk merujuk dan cara mencegah diare di masa yang
akan datang.
Dasar pengobatan diare akut adalah rehidrasi dan memperbaiki
keseimbangan cairan dan elektrolit. Oleh karena itu langkah
pertama adalah tentukan derajat dehidrasi (Tabel 5).

Tabel 5. Derajat dehidrasi


Gejala Derajat Dehidrasi
Minimal (< 3%Ringan sampaiBerat (> 9% dari
dari berat badan) sedang (3-9% dariberat badan)
berat badan)
Status mental Baik, sadar penuh Normal, lemas, atauApatis, letargi, tidak
gelisah, iritabel sadar
Rasa haus Minum normal,Sangat haus, sangatTidak dapat minum
mungkin menolakingin minum
minum
Denyut jantung Normal Normal sampaiTakikardi, pada kasus
meningkat berat bradikardi
Kualitas denyutNormal Normal sampaiLemah atau tidak teraba
nadi menurun
Pernapasan Normal Normal cepat Dalam
Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Air mata Ada Menurun Tidak ada
Mulut dan lidah Basah Kering Pecah-pecah
69
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Turgor kulit Baik < 2 detik > 2 detik
Isian kapiler Normal Memanjang Memanjang, minimal
Ekstremitas Hangat Dingin Dingin
Output urin Normal sampaiMenurun Minimal
menurun
Menghitung kebutuhan cairan dengan skoring Daldiyono (1970)
(Tabel 6):

Tabel 6. Skor Penilaian Klinis Dehidrasi


Klinis Skor
Rasa hasus/ muntah 1
Tekanan Darah sistolik 60 -90 mmHg 1
Tekanan darah sistolik <60 mmHg 2
Frekuensi nadi > 120 x/menit 1
Kesadaran apati 1
Kesadaran somnolen, spoor atau koma 2
Frekuensi napas > 30x/ menit 1
Facies Cholerica 2
Vox Cholerica 2
Turgor kulit menurun 1
Washer woman’s hand 1
Ekstremitas dingin 1
Sianosis 2
Umur 50 – 60 tahun -1
Umur > 60 tahun -2

Kebutuhan cairan = Skor X 10% X kgBB X 1 liter


15
Bila skor <3 dan tidak ada syok, atau dehidrasi ringan/sedang
maka hanya diberikan cairan per oral. Bila skor >3 dan disertai
syok atau dehidrasi sedang/ berat, diberikan cairan intravena.

1) Pada pasien diare tanpa dehidrasi (Terapi A):


a) Berikan cairan (air tajin, larutan gula garam, oralit)
sebanyak yang diinginkan hingga diare stop, sebagai
petunjuk berikan tiap habis BAB:
(1) Anak <1 thn : 50 – 100 mL
70
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(2) Anak 1 – 4 thn : 100–200 mL.
(3) Anak >5 tahun : 200–300 mL
(4) Dewasa : 300–400 mL
b) Meneruskan pemberian makanan atau ASI bagi bayi.

2) Pada pasien diare dengan dehidrasi ringan–sedang (Terapi


B):
a) Oralit diberikan 75 mL/kgBB dalam 3 jam, jangan
dengan botol.
b) Jika anak muntah (karena pemberian cairan terlalu
cepat), tunggu 5-10 menit lalu ulangi lagi, dengan
pemberian lebih lambat (1 sendok tiap 2-3 menit).

3) Pada pasien diare dengan dehidrasi berat (Terapi C):


a) Diberikan Ringer Laktat 100 mL yang terbagi dalam
beberapa waktu.
b) Tiap 1-2 jam pasien diperiksa ulang, jika hidrasi tidak
membaik tetesan dipercepat. Setelah 6 jam (bayi) atau 3
jam (pasien lebih tua) pasien kembali di periksa (Tabel
7).

Tabel 7. Pemberian Cairan Untuk Bayi Diare Dengan Dehidrasi


Berat
Pemberian pertama Pemberian kemudian
Umur
30 mL/kg 70 mL/kg
Bayi <12 bulan dalam 1 jam dalam 5 jam
Bayi/anak > 12 bulan dalam 30 menit 2,5 jam

Sebagai terapi penunjang pada anak diberikan preparat Zinc


(Zn) elementer:
1) Bayi <6 bulan: 10 mg sekali sehari selama 10 hari berturut-
turut
2) Bayi/anak >6 bulan: 20 mg sekali sehari selama 10 hari
berturut-turut.

f. KIE

71
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
1) Tujuan pengobatan: mengatasi dehidrasi dan mencegah
dehidrasi berlanjut.
2) Pencegahan: kebersihan (higiene) lingkungan.
3) Alasan rujukan: dehidrasi berat atau bila pemberian asupan
makanan tidak berhasil.
4) Peringatan/perhatian: pemberian Zn tidak dimaksudkan
sebagai pengganti oralit.

72
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
17. DIFTERI
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 0303 ICD X : A36

a. Definisi
Difteri adalah suatu infeksi akut pada saluran napas bagian atas
yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae.
Lebih sering menyerang anak-anak.

b. Penyebab
Penyebabnya adalah bakteri Corynebacterium diphtheriae.
Bakteri ini biasanya menyerang saluran napas, terutama laring,
amandel dan tenggorokan. Tetapi tak jarang racun juga
menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakan saraf dan
jantung.

c. Gambaran Klinis
1) Masa tunas 2–7 hari
2) Pasien mengeluh sakit menelan dan napasnya terdengar
ngorok (stridor), pada anak tak jarang diikuti demam, mual,
muntah, menggigil dan sakit kepala.
3) Pasien tampak sesak napas dengan atau tanpa tanda
obstruksi napas.
4) Demam tidak tinggi.
5) Pada pemeriksaan tenggorokan tampak selaput putih keabu-
abuan yang mudah berdarah bila disentuh
(pseudomembran).
6) Gejala ini tidak selalu ada: Sumbatan jalan napas sehingga
pasien sianosis, napas bau atau perdarahan hidung.
7) Tampak pembesaran kelenjar limfe di leher (bullneck).
8) Inflamasi lokal dengan banyak sekali eksudat faring,
eksudat yang lekat di mukosa berwarna kelabu atau gelap
dan edema jaringan lunak. Pada anak, fase penyakit ini
dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas.
9) Penyakit sistemik yang disebabkan oleh toksin bakteri
dimulai 1–2 minggu sesudah gejala lokal. Toksin
mempengaruhi jantung (miokarditis, aritmia terutama
selama minggu kedua penyakit) dan sistem saraf (paralisis,
neuritis 2–7 minggu sesudah onset penyakit). Bila pasien
73
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
sembuh dari fase akut penyakit, biasanya sembuh tanpa
kelainan penyerta.

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan
klinis yang baik.
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan adanya stridor
inspiratoir atau pseudomembran yang mudah berdarah.
Diagnosis etiologi dikonfirmasi dengan biakan bakteri yang
diambil dari eksudat usap tenggorok ke dalam tabung untuk
sampel bakteri. Sampel harus dibiakkan pada media khusus,
untuk itu perlu terlebih dahulu memberitahu laboratorium.
Sediaan apus diambil 3 hari berturut-turut.

e. Penatalaksanaan
Tiap pasien yang diduga menderita difteri harus segera dirujuk
untuk penanganan selanjutnya.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: mengatasi penyakit dan mencegah
komplikasi.
2) Pencegahan: imunisasi dasar dan booster lengkap.
3) Alasan rujukan: tiap kasus bisa berpotensi membahayakan.

74
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
18. DISENTRI AMUBA
Kompetensi : 04
Laporan Penyakit : 0103 ICD X : A06

a. Definisi
Disentri amuba adalah suatu sindrom yang ditandai oleh diare
berdarah, disertai lendir dan nyeri pada dubur pada saat buang
air besar (tenesmus), selanjutnya disebut amubiasis. Amubiasis
adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa usus. Protozoa
tersebut hidup di kolon, menyebabkan radang akut dan kronik
yang disebut amubiasis intestinal. Bila tidak diobati amubiasis
intestinal akan menjalar ke luar usus dan menyebabkan
amubiasis ekstra-intestinal.

b. Penyebab
Entamoeba histolytica

c. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi rata-rata 2-4 minggu.
2) Amubiasis kolon akut atau disentri amuba memberikan
gejala sindroma disentri yang merupakan kumpulan gejala
yang terdiri atas feses berlendir dan berdarah, tenesmus
anus, nyeri perut dan kadang-kadang disertai demam.
3) Pada amubiasis kronik pasien mengeluh nyeri perut dan
diare yang diselingi konstipasi.
4) Pada amubiasis ekstraintestinalis kadang ditemukan riwayat
amubiasis usus.
5) Pasien amubiasis hati biasanya demam, hati membesar
disertai nyeri tekan abdomen terutama di daerah kanan atas,
berkeringat, tidak nafsu makan, berat badan turun dan
ikterus.
6) Amubiasis kutis dan perinealis menyebabkan ulkus yang
tepinya bergaung, sedangkan amubiasis vaginalis
menimbulkan leukore dengan bercak darah dan lendir.

d. Diagnosis
Amubiasis kolon akut: menemukan E.histolytica bentuk
histolitika dalam feses cair.

75
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
1) Metronidazol merupakan obat pilihan untuk amubiasis usus
maupun amubiasis ekstraintestinalis.
a) Dosis dewasa: 500–750 mg tiap 8 jam selama 7 – 10
hari.
b) Dosis anak 1 tahun: 7,5 mg/kgBB tiap 8 jam, selama 7–
10 hari.
2) Amubiasis ekstraintestinalis memerlukan pengobatan yang
lebih lama. Oleh karena itu perlu dirujuk.

f. KIE
1) Tujuan terapi: membunuh parasit.
2) Efek samping terapi: metronidazol dapat menyebabkan
mual. Jika timbul gejala tersebut maka pasien dapat
menghubungi dokter Puskesmas untuk mendapatkan obat
antimual.
3) Pencegahan:
4) Pencegahan meliputi perbaikan kesehatan lingkungan dan
higiene perorangan, desinfeksi sayur dan buah-buahan yang
diduga kurang bersih.
5) Pengidap kista tidak boleh bekerja di bidang penyiapan
makanan dan minuman.

76
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
19. DISPEPSIA
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 88 ICD X : K30

a. Definisi
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman atau nyeri ulu hati
disertai mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang
dan sendawa.

b. Penyebab
1) Fungsional (dispepsia tipe non-ulkus): dispepsia tanpa ada
bukti kelainan organik (misalnya karena psikosomatis),
kombinasi hipersensitivitas visceral dengan motilitas
abnormal lambung.
2) Organik (dispepsia tipe ulkus): GERD, ulkus peptikum,
gastritis, lainnya (AINS, diabetic gastroparesis, batu
kandung empedu dan lain-lain).

c. Gambaran Klinis
Terdapatnya kumpulan gejala tersebut di atas, seperti nyeri ulu
hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang
dan sendawa.
Perlu diperhatikan adanya alarm symptoms seperti:
1) Disfagia
2) Odinofagia
3) Muntah-muntah
4) Berat badan menurun
5) Anemia
6) Fecal occult blood test (+)
7) Teraba massa atau adanya pembesaran kelenjar
8) Usia >55 tahun

Pemeriksaan fisik:
Berat badan, tanda-tanda vital, nyeri tekan epigastrium, cari
tanda apakah ada perdarahan saluran cerna atas atau tidak
(adakah tanda-tanda anemia, adakah darah pada pemeriksaan
colok dubur)

77
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis.
Diagnosis banding: kecacingan, kehamilan muda.

e. Penatalaksanaan
1) Suportif: menghindari makanan yang merangsang seperti
pedas, asam, dan tinggi lemak.
2) Medikamentosa:
a) Antasida (hanya mengurangi gejala), atau
b) H2 blocker (misal ranitidin 150 mg tiap 12 jam sebelum
makan), atau
c) Proton Pump Inhibitor (PPI) (misal omeprazol 20 mg
tiap 24 jam), atau
d) Prokinetik (misal domperidon 3x10 mg) jika ada gejala
dismotilitas.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala.
2) Pencegahan: makan teratur, gizi seimbang.
3) Alasan rujukan: jika ditemukan tanda-tanda bahaya, dirujuk
ke RS.

78
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
20. EPILEPSI
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 0901 ICD X : G40

a. Definisi
Epilepsi adalah suatu keadaan neurologik yang ditandai oleh
bangkitan epilepsi yang berulang, yang timbul tanpa provokasi.
Sedangkan, bangkitan epilepsi sendiri adalah suatu manifestasi
klinik yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang
abnormal, berlebih dan sinkron, dari neuron yang (terutama)
terletak pada korteks serebri. Aktivitas paroksismal abnormal ini
umumnya timbul intermiten dan ‘self-limited’.

Sindroma Epilepsi adalah penyakit epilepsi yang ditandai oleh


sekumpulan gejala yang timbul bersamaan (termasuk tipe
bangkitan, etiologi, anatomi, faktor presipitan usia saat awitan,
beratnya penyakit, siklus harian dan prognosa).

b. Penyebab
Kelainan fungsional otak yang serangannya bersifat kambuhan.
Kelainan organis di otak juga dapat menimbulkan epilepsi,
sehingga kemungkinan ini perlu dipikirkan.

c. Gambaran Klinis

d. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi (menurut ILAE tahun 1981):


1) Bangkitan Parsial ( fokal)

a) Parsial sederhana
(1) Disertai gejala motorik

79
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(2) Disertai gejala somato-sensorik
(3) Disertai gejala psikis
(4) Disertai gejala autonomik
b) Parsial kompleks
(1) Disertai dengan gangguan kesadaran sejak awitan
dengan atau tanpa automatism
(2) Parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran
dengan atau tanpa automatism
c) Parsial sederhana yang berkembang menjadi umum
sekunder
(1) Parsial sederhana menjadi umum tonik klonik
(2) Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
(3) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi
umum tonik klonik

2) Bangkitan Umum
a) Bangkitan Lena (absence) & atypical absence
b) Bangkitan Mioklonik
c) Bangkitan Klonik
d) Bangkitan Tonik
e) Bangkitan Tonik-klonik
f) Bangkitan Atonik

3) Bangkitan yang tidak terklasifikasikan


a) Serangan grand mal sering diawali dengan aura berupa
rasa terbenam atau melayang. Penurunan kesadaran
sementara, kepala berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan
kuat-kuat dan hilangnya pengendalian kandung kemih,
napas mendengkur, mulut berbusa dan dapat terjadi
inkontinesia. Kemudian terjadi kejang tonik seluruh
tubuh selama 20–30 detik diikuti kejang klonik pada
otot anggota, otot punggung, dan otot leher yang
berlangsung 2–3 menit. Setelah kejang hilang pasien
terbaring lemas atau tertidur 3–4 jam, kemudian
kesadaran berangsur pulih. Setelah serangan sering
pasien berada dalam keadaan bingung.

80
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b) Serangan petit mal, disebut juga serangan lena, diawali
dengan hilang kesadaran selama 10–30 detik. Selama
fase lena (absence) kegiatan motorik terhenti dan pasien
diam tak beraksi. Kadang tampak seperti tak ada
serangan, tetapi ada kalanya timbul gerakan klonik pada
mulut atau kelopak mata.
c) Serangan mioklonik merupakan kontraksi singkat suatu
otot atau kelompok otot.
d) Serangan parsial sederhana motorik dapat bersifat
kejang yang mulai di salah satu tangan dan menjalar
sesisi, sedangkan serangan parsial sensorik dapat berupa
serangan rasa baal atau kesemutan unilateral.
e) Serangan parsial sederhana (psikomotor) kompleks,
pasien hilang kontak dengan lingkungan sekitarnya
selama 1–2 menit, menggerakkan lengan dan
tungkainya dengan cara yang aneh dan tanpa tujuan,
mengeluarkan suara-suara yang tak berarti, tidak
mampu memahami apa yang orang lain katakan dan
menolak bantuan. Kebingungan berlangsung selama
beberapa menit dan diikuti dengan penyembuhan total.
f) Pada epilepsi primer generalisata, pasien mengalami
kejang sebagai reaksi tubuh terhadap muatan yang
abnormal. Sesudahnya pasien bisa mengalami sakit
kepala, linglung sementara dan merasa sangat lelah.
Biasanya pasien tidak dapat mengingat apa yang terjadi
selama kejang.
g) Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius,
dimana kejang terjadi terus menerus, tidak berhenti.
Kontraksi otot sangat kuat, tidak mampu bernapas
sebagaimana mestinya dan muatan listrik di dalam
otaknya menyebar luas. Jika tidak segera ditangani, bisa
terjadi kerusakan jantung dan otak yang menetap dan
pasien bisa meninggal.

e. Diagnosis
1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala yang
disampaikan oleh orang lain yang menyaksikan terjadinya
serangan epilepsi pada pasien dan adanya riwayat penyakit
sebelumnya.
81
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
2) Diagnosis banding
a) Bangkitan Psychogenik
b) Gerak Involunter (Tics, head nodding, paroxysmal
choreoathethosis/ dystonia, benign sleep myoclonus,
paroxysmal torticolis, startle response, jitterness, dan
lain-lain.)
c) Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks,
TIA, TGA, narkolepsi, attention deficit)
d) Gangguan respirasi (apnea, breath holding,
hiperventilasi)
e) Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking,
nightmares, confusion, sindroma psikotik akut).
f) Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri
abdomen).
g) Keadaan episodik dari penyakit tertentu (tetralogy
speels, hydrocephalic spells, cardiac arrhythmia,
hipoglikemi, hipokalsemi, periodic paralysis, migren,
dan lain-lain).

f. Penatalaksanaan
1) Medikamentosa
a) Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung
pada bentuk bangkitan dan sindroma epilepsi, selain itu
juga perlu dipikirkan kemudahan pemakaiannya (Tabel
8). Penggunaan terapi tunggal dan dosis tunggal
menjadi pilihan utama. Kepatuhan pasien juga
ditentukan oleh harga dan efek samping OAE yang
timbul.
b) Antikonvulsan Utama
(1) Fenobarbital: 2-4 mg/kgBB/hari
(2) Fenitoin: 5-8 mg/kgBB/hari
(3) Karbamazepin: 20 mg/kgBB/hari
(4) Valproat: 30-80 mg/kgBB/hari

Tabel 8. Pemilihan OAE Berdasarkan Tipe Bangkitan Epilepsi


Tipe Bangkitan OAE lini pertama
82
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Bangkitan parsialFenitoin, karbamazepin (terutama untuk CPS), asam
(sederhana atau kompleks) valproat

Bangkitan umum sekunder


Karbamazepin, fenitoin, asam valproat
Bangkitan umum tonik
klonik
Karbamazepin, fenitoin, asam valproat, fenobarbital
Bangkitan lena
Asam valproat
Bangkitan mioklonik
Asam valproat

c) Penghentian OAE: dilakukan secara bertahap setelah 2-


5 tahun pasien bebas kejang, tergantung dari bentuk
bangkitan dan sindroma epilepsi yang diderita pasien
(Dam,1997). Penghentian OAE dilakukan secara
perlahan dalam beberapa bulan
d) Langkah yang penting adalah menjaga agar pasien tidak
terjatuh, melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah
leher) dan memasang bantal di bawah kepala pasien.
e) Jika pasien tidak sadarkan diri sebaiknya posisinya
dimiringkan agar lebih mudah bernapas dan tidak boleh
ditinggalkan sendirian sampai benar-benar sadar dan
bisa bergerak secara normal.
f) obat anti-kejang untuk mencegah terjadinya kejang
lanjutan, biasanya diberikan kepada pasien yang
mengalami kejang kambuhan. Status epileptikus
merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti-kejang
diberikan dalam dosis tinggi secara intravena.
g) Sedapat mungkin gunakan obat tunggal dan mulai
dengan dosis rendah.
h) Bila obat tunggal dosis maksimal tidak efektif gunakan
dua jenis obat dengan dosis terendah.
i) Bila serangan tak teratasi pikirkan kemungkinan
ketidakpatuhan pasien, penyebab organik, pilihan dan
dosis obat yang kurang tepat.

83
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
j) Bila selama 2–3 tahun tidak timbul lagi serangan, obat
dapat dihentikan bertahap.

g. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: Prinsip umum terapi epilepsi
idiopatik adalah mengurangi/mencegah serangan, sedangkan
terapi epilepsi organik ditujukan terhadap penyebab.
2) Pencegahan:
a) hindari faktor pencetus serangan, misalnya kelelahan,
emosi atau putusnya makan obat, terlambat makan.
b) Bila terjadi serangan kejang, upayakan menghindarkan
cedera akibat kejang, misalnya tergigitnya lidah atau
luka atau cedera lain.
c) Selalu dalam pengawasan bila pasien di tempat yang
berpotensi menimbulkan kecelakaan seperti saat
berkendaraan dan berenang.
3) Alasan rujukan: bila frekuensi serangan tidak dapat diatasi
dengan obat tersebut, atau terjadi status epileptikus dan
didapatkan defisit neurologis fokal.
4) Efek samping pengobatan: penurunan fungsi kognitif,
hiperplasia gusi, sindroma Steven-Johnson, migren.

84
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
21. ERISIPELAS
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 2001 ICD X : A46

a. Definisi
Erisipelas adalah infeksi kulit.

b. Penyebab
Streptococcus beta-haemolyticus.

c. Gambaran Klinis
1) Pasien biasanya demam sampai menggigil, disertai malaise.
2) Bagian kulit yang terinfeksi tampak merah, edematus dan
berkilat dengan batas yang tegas serta nyeri tekan.
3) Pada kulit yang edematus itu sering tumbuh vesikel dan
bula.
4) Kelenjar getah bening regional sering membesar dengan
nyeri tekan.

d. Diagnosis
Tanda-tanda peradangan kulit.

e. Penatalaksanaan
1) Eritromisin 250-500 mg tiap 6 jam, pada anak 20-50
mg/kgBB selama 5–7 hari.
2) Kasus yang berat sebaiknya dirujuk ke rumah sakit.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: eradikasi.
2) Efek samping eritromisin: diare, mual dan muntah.
3) Pencegahan: menjaga sanitasi lingkungan dan higiene
perorangan.
4) Alasan rujukan: kasus yang berat.

85
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
22. FARINGITIS AKUT
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 1302 ICD X : J02

a. Definisi
Faringitis adalah inflamasi atau infeksi dari membran mukosa
faring.
Faringitis akut biasanya merupakan bagian dari infeksi akut
orofaring yaitu tonsilo faringitis akut, atau bagian dari influenza
(rinofaringitis).

b. Penyebab
Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri.
1) Virus, yaitu rhinovirus, adenovirus, parainfluenza,
coxsackievirus, Epstein–Barr virus, herpes virus
2) Bakteria, yaitu grup A ß-hemolytic Streptococcus (paling
sering), Chlamydia, Corynebacterium diphtheriae,
Hemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae
3) Jamur, yaitu Candida; jarang kecuali pada pasien
imunokompromis (misalnya pasien dengan HIV-AIDS).
Iritasi makanan yang merangsang sering merupakan faktor
pencetus atau yang memperberat.

c. Gambaran Klinis
Perjalanan penyakit bergantung pada adanya infeksi sekunder
dan virulensi kumannya serta daya tahan tubuh pasien, tetapi
biasanya faringitis sembuh sendiri dalam 3–5 hari.
1) Faringitis yang disebabkan bakteri:
a) Demam atau menggigil
b) Nyeri menelan
c) Faring posterior merah dan bengkak
d) Terdapat folikel bereksudat dan purulen di dinding
faring
e) Bisa disertai batuk
f) Pembesaran kelenjar getah bening leher bagian anterior
g) Tidak mau makan/menelan
h) Onset mendadak dari nyeri tenggorokan
i) Malaise
86
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
j) Anoreksia
2) Faringitis yang disebabkan virus:
a) Onset radang tenggorokannya lambat, progresif
b) Demam
c) Nyeri menelan
d) Faring posterior merah dan bengkak
e) Malaise ringan
f) Batuk
g) Kongesti nasal

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan
fisik.

e. Penatalaksanaan
1) Perawatan dan pengobatan tidak berbeda dengan influenza.
2) Untuk anak tidak ada anjuran obat khusus.
3) Untuk demam dan nyeri:
a) Dewasa
Parasetamol 250 atau 500 mg, 1–2 tablet per oral tiap 6-
8 jam jika diperlukan, atau Ibuprofen, 200 mg 1–2 tablet
tiap 6-8 jam sehari jika diperlukan.
b) Anak
Parasetamol diberikan tiap 8 jam jika demam
(1) <1 tahun : 60 mg/kali (1/8 tablet)
(2) 1-3 tahun : 60-120 mg/kali (1/4 tablet)
(3) 3-6 tahun : 120-170 mg/kali (1/3 tablet)
(4) 6-12 tahun : 170-300 mg/kali (1/2 tablet)
4) Antibiotik hanya diberikan pada pasien dengan minimal 3
dari 4 gejala (kriteria McIssac/kriteria Centor):
a) demam menggigil >38,5oC,
b) eksudat dan purulen di dinding faring,
c) pembesaran kelenjar getah bening anterior
d) pengobatan simtomatik tidak sembuh dalam 3 hari
Dewasa: Amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 5 hari, atau
Eritromisin 500 mg tiap 8 jam selama 5 hari
Anak: Amoksisilin 30-50mg/kgBB/hari selama 5 hari, atau

87
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Eritromisin 20-40 mg/kgBB/hari selama 5 hari

f. KIE:
1) Tujuan pengobatan: mencegah terjadi penyakit jantung
rematik, demam rematik akut, demam scarlett,
streptococcus toxic shock syndrome, glomerulonefritis akut,
pediatric autoimun neuropsychiatric disorder.
2) Pencegahan: pola hidup sehat, makanan bergizi, menjaga
kebersihan mulut, menghindari rokok.
3) Alasan rujukan: jika dalam 5 hari tidak ada perbaikan klinis,
segera dirujuk ke rumah sakit.

88
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
23. FLU BURUNG
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 97 ICD X : J09

a. Definisi
Flu burung (Avian influenza) adalah penyakit menular akut
yang menular sistem pernapasan yang disebabkan oleh virus
influenza A H5N1.
Pada umumnya menyerang unggas dan dapat menular dari
unggas ke manusia.
Angka kematian penyakit ini masih cukup tinggi >80%.

b. Penyebab
Virus influenza tipe A sub-tipe H5N1.

c. Cara Penularan
Penularan penyakit ini kepada manusia dapat melalui:
1) Kontak langsung dengan unggas yang sakit atau produknya
2) Kontak dengan lingkungan (udara, air, tanah, lumpur,
pupuk) yang tercemar virus H5N1.
3) Kontak dengan spesimen flu burung baik yang berasal dari
unggas maupun manusia.
4) Konsumsi produk unggas yang tidak dimasak dengan
sempurna mempunyai potensi penularan virus flu burung.
5) Kontak dengan pasien konfirmasi flu burung.

d. Gambaran Klinis
Masa inkubasi 1–7 hari (rata-rata 3-5 hari). Masa penularan
pada manusia dewasa adalah 1 hari sebelum gejala awal timbul
dan 3–5 hari setelah timbulnya gejala, sedangkan penularan
pada anak dapat mencapai 21 hari. Gejala awal sama seperti flu
89
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
biasa, ditandai dengan batuk, pilek, sakit tenggorokan. Dapat
juga disertai dengan gejala lainnya seperti sakit kepala, malaise,
muntah, diare dan nyeri otot. Yang membedakan Flu Burung
dengan Flu biasa adalah perjalanan penyakit yang progresif dan
biasanya menyebabkan gagal napas dalam waktu yang sangat
singkat (± 5 hari).

e. Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk kasus flu burung ada 4:
1) Seseorang dalam penyelidikan
2) Kasus tersangka flu burung
3) Kasus probable
4) Kasus konfirmasi
Puskesmas berperan dalam terapi awal pada kasus tersangka flu
burung, selanjutnya dirujuk.

f. Tersangka Flu Burung


Apabila demam (suhu ≥ 38 oC) disertai satu atau lebih gejala
sebagai berikut: batuk, sakit tenggorokan, pilek atau sesak
napas;
Disertai >1 pajanan di bawah ini dalam 7 hari sebelum
timbulnya gejala:
1) Kontak erat (dalam jarak 1 meter), seperti merawat,
berbicara, atau bersentuhan dengan pasien tersangka
(suspek), mungkin (probable) atau kasus H5N1 yang sudah
konfirmasi.
2) Terpajan (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti
bulu, memotong, mempersiapkan untuk konsumsi) dengan
ternak ayam, unggas liar, bangkai unggas atau terhadap
lingkungan yang tercemar oleh kotoran unggas itu dalam
wilayah dimana infeksi dengan H5N1 pada hewan atau
manusia telah dicurigai atau dikonfirmasi dalam 1 bulan
terakhir.
3) Mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak
dimasak dengan sempurna di wilayah yang dicurigai atau
dipastikan terdapat hewan atau manusia yang terinfeksi
H5N1 dalam 1 bulan terakhir.

90
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
4) Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau
unggas lain), misalnya kucing atau babi yang telah
dikonfirmasi terinfeksi H5N1.
5) Memegang/menangani sampel (hewan atau manusia) yang
dicurigai mengandung virus H5N1 dalam suatu
laboratorium atau tempat lainnya.
6) Ditemukan leukopenia (dibawah nilai normal: 5000–
10.000).
Konfirmasi dilakukan di rumah sakit rujukan.

g. Penatalaksanaan
1) Tersangka flu burung diberikan terapi awal oseltamivir 75
mg tiap 12 jam kemudian segera dirujuk. Dosis anak sesuai
dengan berat badan (usia >1 tahun : 2 mg/kgBB).
2) Pasien dengan demam dapat diberikan parasetamol.
3) Kewaspadaan universal diterapkan dengan memisahkan
pasien minimal 1 meter dari pasien lainnya, menggunakan
masker bedah 1 rangkap untuk pasien dan 2 rangkap untuk
petugas kesehatan.
4) Tiap pemberian oseltamivir harus berdasarkan resep dokter
dan dicatat dan dilaporkan sesuai dengan format yang
tersedia.
5) Oseltamivir tidak direkomendasikan untuk profilaksis dan
hanya boleh diberikan oleh dokter.

h. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: diagnosis dini, penanganan dini,
kewaspadaan dan pelaporan.
2) Pencegahan:
Upaya pencegahan penularan dilakukan dengan cara
menghindari bahan yang terkontaminasi feses dan sekret
unggas, dengan tindakan sebagai berikut:
a) Tiap orang yang berhubungan dengan bahan yang
berasal dari saluran cerna unggas harus menggunakan
pelindung (masker, kacamata renang).
b) Bahan yang berasal dari saluran cerna unggas seperti
feses harus ditatalaksana dengan baik (ditanam/dibakar)

91
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
agar tidak menjadi sumber penularan bagi orang
sekitarnya.
c) Alat-alat yang dipergunakan dalam perternakan harus
dicuci dengan desinfektan.
d) Kandang dan feses tidak boleh dikeluarkan dari lokasi
peternakan
e) Mengkonsumsi daging ayam yang telah dimasak paling
kurang pada suhu 80oC selama 1 menit, sedangkan telur
unggas perlu dipanaskan pada suhu 64 oC selama 5
menit.
f) Memelihara kebersihan lingkungan.
g) Menjaga kebersihan diri.
h) Bagi yang tidak berkepentingan, dilarang memasuki
tempat peternakan.
i) Apabila sedang terkena influenza dilarang memasuki
tempat peternakan.
j) Jika sedang bercocok tanam dengan menggunakan
pupuk kandang diharuskan menggunakan sarung
tangan dan masker.
k) Tiap pekerja peternakan, pemotong unggas dan
penjamah unggas yang terkena influenza segera ke
Puskesmas atau pelayanan kesehatan lainnya.
3) Alasan rujukan: untuk penatalaksanaan lebih lanjut.

24. FRAMBUSIA
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 0701 ICD X : A66

a. Definisi
Frambusia disebut juga patek atau puru, disebabkan oleh
Treponema pertenue, dan hanya terdapat di daerah tropis
yang tinggi kelembabannya serta pada masyarakat dengan sosio-
ekonomi rendah. Penyakit ini menyerang kulit umumnya di
tungkai bawah, bentuk destruktif menyerang juga tulang dan
periosteum.

92
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b. Penyebab
Treponema pertenue.

c. Gambaran Klinis
1) Pada stadium awal ditemukan kelainan pada tungkai bawah
berupa kumpulan papula dengan dasar eritem yang
kemudian berkembang menjadi borok dengan dasar
bergranulasi. Kelainan ini sering mengeluarkan serum
bercampur darah yang banyak mengandung kuman. Stadium
ini sembuh dalam beberapa bulan dengan parut atrofi. Atau,
bersamaan dengan ini timbul papula bentuk butiran sampai
bentuk kumparan yang tersusun menggerombol, berbentuk
korimbiformis, atau melingkar di daerah lubang-lubang
tubuh (anus, telinga, mulut, hidung), muka dan daerah
lipatan.
2) Papul kemudian membasah, mengeropeng kekuningan.
3) Pada telapak kaki dapat ditemukan keratodermia. Keadaan
ini berlangsung 3-12 bulan.
4) Bila penyakit berlanjut, periosteum, tulang, dan persendian
akan terserang. Dalam keadaan ini dapat terjadi destruksi
tulang yang terlihat dari luar sebagai gumma atau nodus.
Destruksi tulang hidung menyebabkan pembengkakan
akibat eksostosis yang disebut goundou.

d. Diagnosis
Papula yang kemudian membesar membentuk papiloma/
ulceropapilloma.

e. Penatalaksanaan
1) Obat terpilih adalah penisilin prokain 2,4 juta UI dosis
tunggal untuk dewasa.
2) Obat alternatif diberikan kepada pasien yang peka/alergi
terhadap penisilin, walaupun menurut laporan di negara lain
hanya menghasilkan 70–80% kesembuhan.
3) Program pemberantasan penyakit frambusia memberikan
obat alternatif seperti tercantum pada Tabel 9.

Tabel 9. Pilihan Obat Untuk Terapi Frambusia


Umur Nama obat Dosis Cara Lama
93
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Pemberian Pemberian
PILIHAN UTAMA
< 10 tahun Benzatin 600.000 UI i.m. Dosis tunggal
penisilin
> 10 tahun Benzatin 1.200.000 UI i.m. Dosis tunggal
penisilin
ALTERNATIF ( bagi pasien alergi terhadap penisilin )
<8 tahun Eritromisin 30 mg/ kgBB dibagiOral 15 hari
dalam 4 dosis tiap 6
jam
8-15 tahun Tetrasiklin/ 250 mg, tiap 6 jam Oral 15 hari
Eritromisin
< 8 tahun Doksisiklin 2–5 mg/ kgBB dibagiOral 15 hari
dalam 4 dosis tiap 6
jam
Dewasa Doksisiklin 100 mg tiap 12 jam Oral 15 hari

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk mengobati dan menghindari
penularan.
2) Pencegahan: higiene perorangan, hindari kontak dengan
sumber penularan.
3) Alasan rujukan: bila tidak sembuh dengan pengobatan
diatas.
4) Efek samping pengobatan: alergi.
5) Perhatian: tetrasiklin dan doksisiklin tidak diberikan pada
ibu hamil, menyusui dan anak usia <12 tahun.

94
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
25. GAGAL JANTUNG AKUT (GJA)
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 86 ICD X : I50.0

a. Definisi
Gagal jantung akut merupakan suatu sindroma timbulnya tanda
dan gejala yang berlangsung cepat dan singkat (dalam jam atau
hari) akibat disfungsi jantung. Keadaan ini dapat terjadi pada
penderita dengan atau tanpa kelainan jantung sebelumnya, dan
dapat mematikan bila tidak diatasi segera. Disfungsi jantung
yang dimaksud meliputi disfungsi sistolik atau diastolik, irama
jantung abnormal, atau terdapat ketidak sesuaian antara preload
dan afterload (preload and afterload mismatch).

b. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung akut berdasarkan anamnesis (gejala)
dan pemeriksaan fisik (tanda). Tanda dan gejala GJA:
1) Sesak napas saat istirahat
2) Sesak saat aktivitas ringan (perburukan dari gagal jantung
kronik)
3) Orthopnu (sesak memberat saat berbaring)
4) Ronki basah di basal paru atau seluruh lapang paru
5) Takikardi
6) Takipnoe
7) JVP meningkat

c. Penatalaksanaan
Tatalaksana awal Gagal jantung akut di Puskesmas:
Penatalaksaaan resusitasi
1) Lakukan langkah-langkah airway, breathing, circulation
(ABC).
2) Oksigen nasal 4-5 L/menit.
3) Posisi setengah duduk (semi fowler position).
4) Berikan diuretik furosemid 40 mg i.v. (jika TD >100
mmHg).
5) Berikan ISDN 5 mg s.l. jika TD >100 mmHg.
6) Jika TD sistolik <90 mmHg, maka dapat diberikan cairan
fisiologis (NaCl 0.9%), 1-4 mL/kgBB dalam 10 menit. Jika
95
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
setelah pemberian cairan tekanan darah tidak membaik
maka segera dirujuk ke RS.
7) Jika TD sistolik >180 mmHg, dapat diberikan kaptopril 3x
12,5 mg (dapat di uptitrasi) dan atau ISDN sublingual 5 mg
bisa diulang hingga 5 kali sampai mendapat pertolongan
lebih lanjut.
8) Segera di Rujuk ke RS untuk mendapatkan perawatan lebih
lanjut.
d. KIE
1) Tujuan pengobatan: mencegah perburukan penyakit.
2) Pencegahan serangan selanjutnya:
a) Membatasi aktivitas fisik
b) Kendalikan faktor risiko
c) Mengkonsumsi obat gagal jantung kronik secara rutin
dan teratur (lihat bab gagal jantung kronik)
d) Kontrol ke dokter spesialis untuk penatalaksanaan lebih
lanjut
3) Alasan rujukan: untuk mendapat perawatan lebih lanjut.

96
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
26. GAGAL JANTUNG KRONIK (DEKOMPENSASIO
KORDIS)
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 86 ICD X : I50

a. Definisi
Gagal jantung merupakan sindrom klinis yang kompleks timbul
karena oleh kelainan struktur dan fungsional jantung sehingga
terjadi gangguan pada ejeksi dan pengisian.

b. Penyebab
1) anemia
2) hipertensi
3) tirotoksikemia
4) penyakit jantung kronik
5) kelainan katup jantung

c. Gambaran Klinis
1) Kriteria Gagal Jantung:
a) Gejala gagal jantung pada saat istirahat ataupun saat
aktivitas fisik.
b) Terdapat bukti objektif disfungsi jantung saat istirahat.
c) Respons terhadap terapi gagal jantung.
d) Kriteria 1 dan 2 harus dipenuhi pada semua kasus gagal
jantung.

2) Kriteria Framingham:
a) Kriteria Mayor:
97
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(1) Paroxysmal nocturnal dyspnea
(2) Distensi vena jugularis
(3) Ronki basah halus
(4) Rontgen : kardiomegali
(5) Udem pulmonal akut
(6) S3 gallop
(7) Tekanan vena sentral >16 cm H2O
(8) Waktu sirkulasi +25 detik
(9) Hepatojugular refluks
(10) Edema pulmonal, kongesti viseral, atau
kardiomegali pada autopsi
(11) Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari yang
respon terhadap terapi gagal jantung.

b) Kriteria Minor:
(1) Edema kaki bilateral
(2) Batuk nokturnal
(3) Dyspnea pada aktivitas sehari-hari
(4) Hepatomegali
(5) Efusi pleura
(6) Penurunan kapasitas vital lebih dari satu pertiga
dari nilai maksimal
(7) Takikardia ( nadi >120 kali/menit)

d. Klasifikasi
Klasifikasi digunakan untuk menentukan apakah penderita
hanya memerlukan rawat jalan (kelas I dan II) atau harus rawat
inap (kelas III dan IV), juga berguna dalam menentukan
penatalaksanaan dan prognostik kelainan yang dialami (table
10).

Tabel 10. Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York


Heart Association (NYHA)
Kelas Kriteria
1 Tidak ada batasan: aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan capai,
sesak napas, atau palpitasi.
2 Sedikit batasan pada aktivitas fisik: tidak ada gangguan pada saat
98
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
istirahat tetapi aktivitas fisik biasa menyebabkan lelah, sesak napas,
atau palpitasi.
3 Terdapat batasan yang jelas pada aktivitas fisik: tidak ada gangguan
pada saat istirahat tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan capai,
sesak napas, atau palpitasi.
4 Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa menimbulkan keluhan:
gejala gagal jantung timbul meskipun dalam keadaan istirahat dengan
keluhan yang semakin bertambah pada aktivitas fisik.

e. Diagnosis
1) Anamnesis
a) Sesak napas saat aktivitas, udema tungkai dan capai
(kelelahan) merupakan gejala khas gagal jantung.
b) Riwayat hipertensi, diabetes mellitus,
hiperkolesterolemia, penyakit jantung koroner, kelainan
katup, kelainan vaskular perifer, demam rematik, radiasi
dada, penggunaan bahan kardiotoksik, alkoholisme,
penyakit tiroid.
c) Riwayat keluarga: penyakit aterosklerosis,
kardiomiopati, kematian mendadak, penyakit gangguan
konduksi, miopati skeletal.
d) Tidak ada hubungan antara gejala yang timbul dengan
beratnya disfungsi jantung yang terjadi dan prognosis
penyakit.

2) Pemeriksaan Fisik
a) Tanda-tanda klinis gagal jantung harus dinilai dengan
pemeriksaan fisik yang seksama meliputi inspeksi,
palpasi, dan auskultasi.
b) Tanda-tanda yang dapat ditemukan pada gagal jantung
kanan dan/atau kiri antara lain: takikardia, takipneu,
ronkhi basah, peningkatan tekanan vena jugular, bunyi
jantung gallop, ascites, hepatomegali, dan edema
tungkai.

f. Penatalaksanaan
1) Tujuan Terapi:
a) Pencegahan
99
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(1) Mencegah dan mengontrol kelainan yang
menyebabkan gangguan fungsi jantung dan gagal
jantung.
(2) Mencegah progresivitas gangguan fungsi jantung
menjadi gagal jantung akut.
b) Morbiditas
Menjaga dan memperbaiki kualitas hidup.
c) Mortalitas
Meningkatkan harapan hidup.

2) Terapi Farmakologi
a) ACE inhibitor (kaptopril)
(1) Direkomendasikan sebagai first-line therapy.
(2) Dosis diberikan mulai dosis rendah (3 x 6,25 mg)
dapat di uptitrasi hingga 3 x 50 mg.
b) Digitalis
(1) Merupakan obat pilihan pada keadaan fibrilasi atrial
pada gagal jantung.
(2) Kombinasi digoksin dan beta blocker lebih baik
daripada hanya menggunakan salah satu jenis saja.
(3) Dapat diberikan digoksin tab 1 x 0,25 mg jika
terdapat fibrilasi atrial.
(4) Dalam keadaan irama sinus, digoksin
direkomendasikan untuk memperbaiki status klinis
pada keadaan gagal jantung persisten selain dengan
terapi ACE inhibitor, beta blocker dan diuretik.
(5) Bila NYHA II-IV dengan LVEF < 40% disertai
tanda-tanda gagal jantung yang telah mendapat
penghambat EKA dan penyekat beta.

g. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: memperpanjang harapan hidup.
2) Pencegahan:
a) Penyuluhan umum
(1) Penyuluhan tentang gagal jantung kepada pasien
dan kelurganya
(2) Mengontrol berat badan
100
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(3) Pengaturan diet dan kebiasaan sehari-hari
(a) Diet rendah garam (<2 g/hari)
(b) Pembatasan intake cairan (<1,5-2 L/hr)
(c) Hindari konsumsi alkohol
(d) Berhenti merokok.
(4) Pembatasan dan penyesuaian aktivitas fisik.
(5) Obat yang perlu mendapat perhatian khusus.
b) Rehabilitasi: Rehabilitasi dilakukan pada pasien yang
stabil dengan kelas fungsional II-III

101
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
27. GANGGUAN NEUROTIK
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 0802 ICD X : F40-F48

a. Definisi
Suatu atau kumpulan gejala fisik yang dirasakan berlebihan
disertai dengan sindrom ansietas tanpa bukti adanya penyakit
fisik.

b. Penyebab
Psikologis dan keprbadian individu, stresor psikososial, penyakit
organik seperti hipertiroid, pheocromamocytosis.

c. Jenis-jenis Gangguan Neurotik


Gangguan neurotik yang sering dijumpai adalah sebagi berikut
1) Gangguan ansietas fobik seperti agorafobia, fobia sosial,
fobia spesifik
2) Gangguan Panik
3) Gangguan Ansietas Menyeluruh.
4) Gangguan Obsesif Kompulsif
5) Gangguan Stres Pasca Trauma
6) Gangguan Penyesuaian
7) Gangguan Somatisasi

d. Gambaran Klinik
Sesuai dengan gejala dari masing-masing jenis neurotik, untuk
memudahkan sebagai target terapi maka secara klinik perlu
mengenali sindrom ansietas sebagai berikut:
1) Adanya perasaan cemas atau kuatir yang tidak realistik
terhadap dua atau lebih hal yang dipersepsikan sebagai
ancaman. Perasaan ini menyebabkan individu tidak mampu
istirahat dengan tenang (inability to relax)
2) Terdapat gejala-gejala berikut:
a) Ketegangan motorik, seperti kedutan otot atau rasa
gemetar, otot tegang/kaku/pegal, tidak bisa diam, atau
mudah menjadi lelah

102
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b) Hiperaktivitas otonomik, seperti napas pendek/terasa
berat, jantung berdebar-debar, telapak tangan basah dan
dingin, mulut kering, kepala pusing/rasa melayang,
mual, mencret, perut tak enak, muka panas/badan
menggigil, buang air kecil atau sukar menelan/rasa
tersumbat.
c) Kewaspadaan berlebihan dan daya tangkap berkurang,
seperti perasaan jadi peka/mudah ngilu, mudah
terkejut/kaget, sulit berkosentrasi/berpikir fokus, sukar
tidur atau mudah tersinggung
3) Hendaya dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi
dalam gejala seperti penurunan kemampuan kerja, hubungan
sosial dan melakukan kegiatan rutin.

e. Diagnosis
Berdasarkan PPDGJ–III, maka pedoman diagnosis sesuai
jenisnya sebagai berikut :
1) Gangguan Ansietas Fobik
a) Kecemasan dicetuskan oleh adanya situasi atau objek
yang jelas, yang sebenarnya pada saat kejadian tidak
membahayakan.
b) Sebagai akibatnya, objek atau situasi tersebut dihindari
atau dihadapi dengan rasa terancam
c) Secara subyektif, fisiologik dan tampilan perilaku tidak
jauh berbeda dengan jenis ansietas lainnya
2) Gangguan Ansietas Panik
a) Ditemukan adanya beberapa kali serangan cemas berat
dalam masa kira-kira 1 bulan
b) Keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada
bahaya
c) Tidak terbatas pada situasi yang sudah diketahui atau
yang dapat diduga sebelumnya
3) Gangguan Ansietas Menyeluruh
a) Gambaran utama adalah adanya kecemasan yang
menyeluruh dan menetap
b) Kecemasan tentang masa depan (khawatir akan nasib
buruk, sulit konsentrasi dll)

103
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
c) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, tidak dapat
santai, gemetaran)
d) Overaktivitas motorik (berkeringat dingin, berdebar-
debar, pusing, mulut kering, nyeri ulu hati dll)
e) Pada anak-anak terlihat adanya kebutuhan berlebihan
untuk ditenangkan serta keluhan somatik yang berulang-
ulang.
4) Gangguan Obsesif Kompulsif
a) Ciri utama adalah adanya pikiran obsesif atau tindakan
yang berulang, gejala obsesional atau tindakan
kompulsif, atau kedua-duanya, harus ada hamper tiap
hari selama sedikitnya dua minggu berturut-turut
b) Harus disadari sebagai pikiran atau impuls dari diri
sendiri
c) Sedikitnya ada satu tindakan atau pikiran yang masih
tidak bias dilawan
d) Pikiran untuk melaksanakan tindakan tersebut bukan
merupakan hal yang memberikan kepuasan atau
kesenangan
e) Pikiran, bayangan atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan
5) Gangguan Stres Pasca Trauma
a) Keadaan ini timbul sebagai respons yang
berkepanjangan dan/atau tertunda terhadap kejadian
atau situasi yang menimbulkan stress (baik singkat
maupun berkepanjangan) yang bersifat katastrofik atau
menakutkan, yang dapat menyebabkan ketegangan bagi
tiap orang (misalnya bencana alam atau bencana yang
dibuat oleh manusia seperti perang atau konflik
masyarakat, kecelakaan, terorisme, korban
penyiksaan/perkosaan dll)
b) Diagnosis ditegakkan jika gangguan ini timbul dalam
kurun waktu 2 minggu sampai 6 bulan setelah kejadian
traumatik, dapat lebih dari 6 bulan asal saja gejala-
gejala khasnya nampak

104
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
c) Selain adanya kejadian trauma, harus didapatkan
bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian
traumatik itu kembali secara berulang-ulang (flashback)
d) Berusaha menghindari suasana atau kejadian yang
menimbulkan trauma atau sesuatu yang dapat
diasosiasikan dengan kejadian traumatik sebelumnya
(misalnya pada bencana tsunami atau banjir bandang,
seseorang jika melihat langit mendung dan hujan deras
akan timbul rasa takut seakan peristiwa itu akan terjadi
lagi)
e) Ganggaun otonomik, gangguan afek dan kelainan
tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tapi
tidak khas
6) Gangguan Penyesuaian
a) Adanya faktor kejadian atau situasi yang stressful atau
krisis kehidupan ( seperti menderita penyakit yang
mengancam jiwa, suasana pekerjaan yang baru dan
tidak menyenangkan)
b) Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya
kejadian yang stressful dan gejala biasanya tidak
bertahan melebihi 6 bulan
c) Gangguan bervariasi mencakup afek cemas, depresif,
campuran cemas dan depresif, gangguan tingkah laku
yang disertai dengan adanya ketidakmampuan dalam
kegiatan rutin sehari-hari

7) Gangguan Somatisasi
a) Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-
macam yang tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya
kelainan fisik, yang sudah berlangsung setidaknya 2
tahun
b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari
beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang
dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.

f. Penatalaksanaan
1) Untuk semua jenis gangguan neurotik dapat diberikan:
Antiansietas : Diazepam 2–5 mg tiap 8-12 jam
105
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Antidepresan : Amitriptilin 12,5 mg tiap 12-24 jam
Antipsikotik : Haloperidol 0,5 mg tiap 12-24 jam
2) Untuk Gangguan Panik sebaiknya diberikan Alprazolam 0,5
mg tiap 8-12 jam sehari jika obatnya tersedia.
3) Obat utama adalah Diazepam yang diberikan secara tunggal.
4) Penambahan dengan Amitriptilin 12,5 jika diserta gejala-
gejala afek yang depresif dan atau haloperidol 0,5 mg jika
gejala-gejalanya cukup berat yang disertai dengan
banyaknya keluhan somatik dan atau pikiran-pikiran yang
kurang rasional.
5) Segera rujuk ke psikiater jika gangguan neurotik dalam 1
minggu pengobatan tidak memberi efek yang baik.

g. KIE
1) Selain pemberian obat sebaiknya memberi konseling kepada
pasien, dengan cara: bersikap empati, memberi dukungan
kepada pasien untuk mampu mengatasi sendiri masalahnya,
bantu pasien mengenali stressor psikososialnya, lebih
banyak mendengarkan keluhan pasien dan membiarkan
untuk mengeluarkan unek-uneknya (ventilasi), jangan
terlalu banyak memberikan nasehat, tidak terlalu cepat
untuk menilai keadaan pasien dan jangan menyalahkan atau
menghakimi atas sikap dan perilakunya.
2) Memberi penjelasan tentang penyakit yang dideritanya
termasuk dalam gangguan jiwa ringan yang bisa diobati
3) Memberi penjelasan tentang efek samping sedasi dari obat-
obat tersebut, sehingga tidak menjalankan kendaraan waktu
meminum obat, atau sebaiknya minum obat saat mau tidur
4) Memberi penjelasan untuk tidak meminum obat tanpa resep
dokter atau dosis yang sesuai dengan anjuran dokter karena
beberapa obat antiansietas seperti diazepam dan alprazolam
dapat menimbulkan ketergantungan
5) Menganjurkan pasien untuk berkonsultasi dengan psikiater
untuk mendapatkan pelayanan pengobatan yang lebih baik
dan penanganan psikoterapi.

106
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
28. GANGREN PULPA
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 1502 ICD X : K04

a. Definisi
Kematian jaringan pulpa sebagian atau seluruhnya sebagai
kelanjutan proses karies atau trauma.

107
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b. Penyebab
Kematian jaringan pulpa dengan atau tanpa kehancuran jaringan
pulpa.

c. Gambaran Klinis
1) Tidak ada gejala sakit.
2) Tanda klinis yang sering ditemui adalah jaringan pulpa mati,
lisis dan berbau busuk.
3) Gigi yang rusak berubah warna menjadi abu-abu kehitaman.

d. Diagnosis
Degenerasi pulpa.

e. Penatalaksanaan
1) Gigi dibersihkan dengan semprit air, lalu dikeringkan
dengan kapas.
2) Jika sudah peradangan periapikal (nyeri saat menggigit)
dapat diberikan amoksisilin selama 5 hari.
Dewasa : amoksisilin 500 mg tiap 8 jam.
Anak : amoksisilin 10-15 mg/kgBB/hari tiap 6-8 jam.
3) Simtomatik:
Dewasa : parasetamol 500 mg tiap 6-8 jam
Anak : parasetamol 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi,
menghilangkan gejala, mencegah komplikasi.
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut,
menggosok gigi tiap pagi setelah makan dan malam sebelum
tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun,
makan makanan yang berserat dan berair. Bila ada karies
gigi harus segera ditangani.

29. GASTRITIS
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 88 ICD X : K29.7

108
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a. Definisi
Nyeri epigastrium yang hilang timbul/menetap dapat disertai
dengan mual/muntah.

b. Peyebab
Penyebab utama gastritis adalah iritasi lambung misalnya oleh
makanan yang merangsang asam lambung, alkohol atau obat.
Pada keadaan ini terjadi gangguan keseimbangan antara
produksi asam lambung dan daya tahan mukosa. Penyakit
sistemik, kebiasaan merokok, infeksi kuman Helicobacter pilori
juga berperan dalam penyakit ini.

c. Gambaran Klinis
Pasien biasanya mengeluh perih atau tidak enak di ulu hati.
Gastritis erosif akibat obat sering disertai pendarahan. Nyeri
epigastrium, perut kembung, mual, muntah tidak selalu ada.

d. Diagnosis
Nyeri ulu hati, mual/muntah, kembung dan lain-lain.

e. Penatalaksanaan
1) Keluhan akan segera hilang dengan antasida (AlOH,
Mg(OH)2) yang diberikan menjelang tidur, pagi hari, dan
diantara waktu makan.
2) Bila muntah sampai mengganggu dapat diberikan tablet
metoklopramid 10 mg, 1 jam sebelum makan (dewasa) atau
domperidon (anak).
3) Bila nyeri hebat dapat dikombinasikan dengan ranitidin 150
mg 2x sehari
4) Pasien dengan tanda pendarahan seperti hematemesis atau
melena perlu segera dirujuk ke rumah sakit karena
kemungkinan terjadi pendarahan pada tukak lambung yang
dapat menjadi perforasi.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala, memastikan
ada asupan makanan yang cukup.
2) Pencegahan: makan teratur dan menghindarkan makanan
yang merangsang asam lambung.

109
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3) Efek samping: metoklopramid tidak boleh pada anak <18
tahun karena efek samping ekstrapiramidal.

110
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
30. GIGITAN ULAR
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 1901 ICD X : S02-T02

a. Definisi
Suatu keadaan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa.

b. Penyebab
Secara garis besar ular berbisa dapat dikelompokkan dalam 3
kelompok:
1) Colubridae (misalnya Mangroce cat snake, Boiga
dendrophilia)
2) Elapidae (misalnya King cobra, Blue coral snake, Sumatran
spitting cobra)
3) Viperidae (misalnya Borneo green pit viper, Sumatran pit
viper).

c. Gambaran Klinis
1) Umumnya gigitan ular tidak beracun, misalnya ular air,
hanya memerlukan tata laksana sederhana. Namun bila jenis
ular tidak diketahui, maka sebaiknya dilakukan upaya
pencegahan dengan serum anti bisa ular polivalen.
2) Kemungkinan ini dicurigai bila ada riwayat digigit ular.
3) Pasien mungkin tampak kebiruan, pingsan, lumpuh atau
sesak napas.
4) Untuk menduga jenis ular yang menggigit adalah ular
berbisa atau ular tidak berbisa dapat dipakai rambu-rambu
bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan
sebagai berikut:
a) Ciri-ciri ular berbisa:
(1) Bentuk kepala segi empat panjang
(2) Gigi taring kecil
(3) Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan.
b) Ciri-ciri ular tidak berbisa:
(1) Kepala segi tiga
(2) Dua gigi taring besar di rahang atas
(3) Dua luka gigitan utama akibat gigi taring.
5) Efek yang ditimbulkan akibat gigitan ular dapat dibagi tiga:
111
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a) Efek lokal.
Beberapa spesies seperti coral snakes, krait akan
memberikan efek yang agak sulit dideteksi dan hanya
bersifat minor tetapi beberapa spesies gigitannya dapat
menghasilkan efek yang cukup besar seperti bengkak,
melepuh, perdarahan, memar sampai dengan nekrosis.
Yang harus diwaspadai adalah terjadinya syok
hipovolemik sekunder yang diakibatkan oleh
berpindahnya cairan vaskuler ke jaringan akibat efek
sistemik bisa ular tersebut.
b) Efek sistemik
Gigitan ular ini akan menghasilkan efek yang non-
spesifik seperti: nyeri kepala, mual dan muntah, nyeri
perut, diare sampai pasien menjadi kolaps. Gejala yang
ditemukan seperti ini sebagai tanda bahaya bagi petugas
kesehatan untuk memberi petolongan segera.
c) Efek sistemik spesifik
Efek sistemik spesifik dapat dibagi berdasarkan:
(1) Koagulopati
Beberapa spesies ular dapat menyebabkan
terjadinya koagulopati. Tanda-tanda klinis yang
dapat ditemukan adalah keluarnya darah terus
menerus dari tempat gigitan, venipuncture dari gusi
dan bila berkembang akan menimbulkan hematuria,
hematomesis, melena dan batuk darah.
(2) Neurotoksik
Gigitan ular ini dapat menyebabkan terjadinya
flaccid paralysis. Ini biasanya berbahaya bila terjadi
paralisis pada pernapasan. Biasanya tanda-tanda
yang pertama kali dijumpai adalah pada saraf
kranial seperti ptosis, oftalmoplegia progresif bila
tidak mendapat anti venom akan terjadi kelemahan
anggota tubuh dan paralisis pernapasan. Biasanya
full paralysis akan memakan waktu + 12 jam, pada
beberapa kasus biasanya menjadi lebih cepat, 3 jam
setelah gigitan.
(3) Miotoksisitas
Miotoksisitas hanya akan ditemukan bila seseorang
112
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
diserang atau digigit oleh ular laut. Ular yang
berada di daratan biasanya tidak ada yang
menyebabkan terjadinya miotoksisitas berat. Gejala
dan tanda adalah: nyeri otot, tenderness,
mioglobinuria dan berpotensi untuk terjadinya gagal
ginjal, hiperkalemia dan kardiotoksisitas.

d. Diagnosis
Adanya riwayat gigitan disertai gejala/tanda gigitan ular berbisa
baik berupa efek lokal (tempat gigitan) maupun efek sistemik
dan efek sistemik spesifik.

e. Penatalaksanaan
Pertolongan pertama pada gigitan ular:
1) Bila yang digigit anggota badan, gunakan tali putar silang di
sebelah atas luka. Putar tali sedemikian kencang sampai
denyut nadi di ujung anggota hampir tidak teraba. Ikatan
dikendorkan tiap 15 menit selama 1 menit.
Menurut Schwartz (Depkes, 2001), gigitan ular dapat
diklasifikasikan sesuai Tabel 11.

Tabel 11. Klasifikasi Gigitan Ular Menurut Schwartz


Derajat Venerasi Luka Nyeri Edema/Eritema Sistemik
0 0 + +/- <3 cm/12 jam 0
I +/- + - 3-12 jam/12 jam 0
II + + +++ >12-25 cm/12 jam +
Neurotoksik, mual,
pusing, syok
III + + +++ >25 cm/12 jam ++
Ptekhiae, syok, ekhimosis
IV +++ + +++ >ekstremitas ++
Gagal ginjal akut, koma,
perdarahan

2) Bila tersedia, suntikkan Serum Anti Bisa Ular (SABU)


polivalen i.v menggunakan tatacara pengobatan sesuai Tabel
12.

Tabel 12. Pedoman Terapi SABU Menurut Luck


Derajat Beratnya Taring Ukuran zonaGejala Jumlah
113
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
evenomasi atau gigi edema/eritemato sistemik vial
kulit (cm) venom
0 Tidak ada + <2 - 0
I Minimal + 2-15 - 5
II Sedang + 15-30 + 10
III Berat + >30 ++ 15
IV Berat + <2 +++ 15

3) Segera rujuk pasien ke rumah sakit.

f. KIE:
1) Tujuan penatalaksanaan:
a) menghalangi/memperlambat absorpsi bisa ular.
b) menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam
sirkulasi darah.
c) mengatasi efek lokal dan sistemik.

2) Pencegahan terhadap gigitan ular:


a) Penduduk di daerah dimana ditemukan banyak ular
berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana
berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus
gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah
sampai dengan kaki.
b) Ketersediaan serum anti bisa ular (SABU) untuk daerah
dimana sering terjadi kasus gigitan ular.
c) Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah
berumput dan semak-semak.
d) Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak
pasien yang tergigit akibat kejadian semacam itu.

114
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
31. GINGIVITIS
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 1503 ICD X : K05-K06

a. Definisi
Gingivitis adalah inflamasi gingiva marginal atau radang gusi.

b. Penyebab
Radang gusi ini dapat disebabkan oleh faktor lokal maupun
faktor sistemik. Faktor lokal diantaranya karang gigi, bakteri,
sisa makanan (plak), pemakaian sikat gigi yang salah, rokok,
tambalan yang kurang baik. Faktor sistemik meliputi Diabetes
Melitus (DM), ketidakseimbangan hormon (saat menstruasi,
kehamilan, menopause, pemakaian kontrasepsi), keracunan
logam, dan sebagainya.

c. Gambaran Klinis
1) Pasien biasanya mengeluh mulut bau, gusi bengkak mudah
berdarah, tanpa nyeri, hanya kadang terasa gatal.
2) Pada pemeriksaan gusi tampak bengkak, berwarna lebih
merah dan mudah berdarah pada sondasi. Kebersihan mulut
biasanya buruk.
115
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3) Ginggivitis herpes biasanya disertai gejala herpes simpleks.
Tanda di gusi tidak disertai bau mulut.
4) Salah satu bentuk radang gusi adalah perikoronitis yang
gejalanya lebih berat: demam, sukar membuka mulut.

d. Diagnosis
Peradangan pada gusi.

e. Penatalaksanaan
1) Pasien dianjurkan untuk memperbaiki kebersihan mulut dan
berkumur dengan 1 gelas air hangat +1 sendok teh garam,
atau bila ada dengan obat kumur iodium povidon tiap 8 jam
selama 3 hari.
2) Bila kebersihan mulut sudah diperbaiki dan tidak sembuh,
rujuk ke Rumah Sakit untuk perawatan selanjutnya. Perlu
dipikirkan kemungkinan sebab sistemik.
3) Perikoronitis memerlukan antibiotik selama 5 hari:
amoksisilin 500 mg tiap 8 jam.
4) Membersihkan karang gigi.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi,
menghilangkan gejala, mencegah komplikasi
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut,
menggosok gigi tiap pagi setelah makan dan malam sebelum
tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun,
makan makanan yang berserat dan berair (sayur dan buah).
3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi.
4) Alasan rujukan: bila kebersihan mulut sudah diperhatikan
dan penyakit tidak sembuh, perlu dirujuk ke rumah sakit
untuk perawatan selanjutnya.

116
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
32. GLAUKOMA
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 1001 ICD X : H40

a. Definisi
Glaukoma adalah suatu gejala dari kumpulan penyakit yang
menyebabkan suatu resultan yakni meningkatnya tekanan intra
okuler yang cukup untuk menyebabkan degenerasi optik disk
(atrofi nervus optikus) dan kelainan lapang pandang.

b. Penyebab
Meningkatnya tekanan intra okuler. Harus dibedakan dengan
hipertensi okuler yaitu suatu keadaan dimana tekanan
intraokuler meninggi tanpa kerusakan pada optik disk dan
kelainan lapang pandang.

c. Gambaran Klinis
Glaukoma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Glaukoma Primer
a) Glaukoma primer sudut terbuka (open angle glaucoma,
chronic glaucoma) adalah jenis glaukoma yang paling
sering ditemukan.
b) Glaukoma primer sudut tertutup (closed angle
glaucoma, acute congestive glaucoma).
2) Glaukoma Kongenital
a. Glaukoma kongenital primer atau infantil (Buftalmos)
b. Glaukoma yang menyertai kelainan kongenital
3) Glaukoma Sekunder
4) Glaukoma Absolut

Pada glaukoma akut kongestif (terjadinya serangan) harus diberi


perawatan yang secepat-cepatnya karena terlambatnya
perawatan dapat mempercepat memburuknya tajam penglihatan
dan lapang pandang.

Glaukoma akut kongestif sering diduga/didiagnosa sebagai


konjungtivitis karena mata terlihat merah. Pada glaukoma akut
akan terlihat adanya infeksi konjungtiva, infeksi silier, pupil

117
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
melebar/mid dilatasi, reflek kurang. Pemeriksaan pengukuran
tekanan bola mata dengan tonometri akan didapatkan nilai yang
tinggi (normal 10–20 mmHg).

d. Diagnosis
Mata merah, pupil lebar, reflek kurang, kornea agak keruh, tanpa
kotoran mata dengan keluhan nyeri kepala, mual, muntah, visus
menurun dan biasanya mengenai satu mata adalah gejala
glaukoma akut.
Kelainan tersebut jangan didiagnosis sebagai konjungtivitis.
Tanda konjungtivitis adalah mata merah (biasanya dua mata),
terdapat kotoran mata, tidak nyeri kepala, visus tidak menurun,
pupil tidak lebar dan tidak berakibat kebutaan.
Glaukoma akut kongestif sangat berbahaya dan berakibat
kebutaan total yang tidak dapat diobati.

e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sesuai dengan kedaruratan mata (karena dapat
menimbulkan kebutaan). Dengan keterbatasan ketenagaan dan
peralatan, maka penanggulangan glaukoma yang mungkin
dilakukan di Puskesmas adalah glaukoma akut kongestif,
dengan pemberian steroid topikal untuk menekan reaksi
peradangan, misalnya betametason tetes mata.
Pengobatan simtomatik untuk gejala yang ada parasetamol
untuk sakit kepala dan metoklopramid untuk muntah, dan segera
rujuk ke spesialis mata untuk perawatan dan tindakan
selanjutnya.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: menurunkan tekanan bola mata secara
cepat untuk mencegah kebutaan, melakukan deteksi dini
dalam keluarga terhadap kemungkinan menderita glaukoma.
2) Alasan rujukan: untuk perawatan dan tindakan selanjutnya.

118
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
33. GLOMERULONEFRITIS AKUT (GNA)
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 16 ICD X : N00

a. Definisi
Glomerulonefritis akut (GNA) atau glomerulonefritis pasca
infeksi adalah suatu peradangan pada glomeruli yang
menyebabkan hematuria (darah dalam urin), dengan gumpalan
sel darah merah dan proteinuria (protein dalam urin) yang
jumlahnya bervariasi.

b. Penyebab
Infeksi bakteri atau virus tertentu pada ginjal. Kuman yang
paling sering dihubungkan dengan GNA adalah Streptococcus
beta-haemolyticus grup A.

c. Gambaran Klinik
1) Sekitar 50% pasien tidak menunjukkan gejala. Jika ada
gejala, yang pertama kali muncul adalah penimbunan cairan
disertai pembengkakan jaringan (edem), berkurangnya
volume urin dan berwarna gelap karena mengandung darah.
2) Pada awalnya edem timbul sebagai pembengkakan di wajah
dan kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di
tungkai dan bisa menjadi hebat.
3) Tekanan darah tinggi dan pembengkakan otak bisa
menimbulkan sakit kepala, gangguan penglihatan dan
gangguan fungsi hati yang lebih serius.

d. Diagnosis

119
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
1) Urinalisis menunjukkan jumlah protein yang bervariasi dan
konsentrasi urea dan kreatinin di dalam darah seringkali
tinggi.
2) Kadar antibodi untuk streptococcus di dalam darah bisa
lebih tinggi daripada normal.
3) Kadang pembentukan urin terhenti sama sekali segera
setelah terjadinya glomerulonefritis pasca streptococcus,
volume darah meningkat secara tiba-tiba dan kadar kalium
darah meningkat. Jika tidak segera menjalani dialisa, maka
pasien akan meninggal.
4) Sindroma nefritik akut yang terjadi setelah infeksi selain
Streptococcus biasanya lebih mudah terdiagnosis karena
gejalanya seringkali timbul ketika infeksinya masih
berlangsung.
Tanda-tanda GNA: hematuria, edem, gangguan fungsi
ginjal.
e. Penatalaksanaan
1) Pemberian obat yang menekan sistem kekebalan dan
kortikosteroid tidak efektif, kortikosteroid bahkan bisa
memperburuk keadaaan.
2) Jika pada saat ditemukan sindroma nefritik akut infeksi
bakteri masih berlangsung, maka segera diberikan
antibiotik.
3) Jika penyebabnya adalah infeksi pada bagian tubuh buatan
(misalnya katup jantung buatan), maka prognosisnya tetap
baik, asalkan infeksinya bisa diatasi.
4) Pasien sebaiknya menjalani diet rendah protein dan garam
sampai fungsi ginjal kembali membaik.
5) Bisa diberikan diuretik untuk membantu ginjal dalam
membuang kelebihan garam dan air.
6) Untuk mengatasi tekanan darah tinggi diberikan obat anti
hipertensi.
7) Jika diperlukan perlu dirujuk ke rumah sakit

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: menghilangkan infeksi dan
menghambat progresifitas penyakit.

120
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
2) Pencegahan: pemantauan klinik yang teratur, kontrol
tekanan darah, proteinuria dan kadar lemak darah,
pengaturan asupan protein.

121
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
34. GONORE
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 25 ICD X : A54

a. Definisi
Gonore adalah infeksi bakteri tertentu di alat kelamin, dubur
atau tenggorokan.

b. Penyebab
Disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae (gonococcus),
suatu diplococcus gram negatif. Gonore dapat menular kalau
seseorang melakukan hubungan seks vaginal, dubur atau mulut
dengan seseorang yang sedang mengalami infeksi tersebut tanpa
memakai kondom. Untuk laki-laki yang mengalami infeksi
saluran kencing, gejala-gejalanya biasanya muncul dalam waktu
2–10 hari setelah terinfeksi.

c. Gambaran Klinis
1) Setelah melakukan kontak seksual kelainan di awal dengan
keluhan rasa tidak nyaman/panas di saluran kemih dan
beberapa waktu kemudian dengan keluarnya cairan putih
kekuningan (darah) dari lubang kencing.
2) Biasanya penyakit ini menunjukan gejala 2-10 hari.
Umumnya penyakit ini ditandai dengan radang saluran urin
dengan gejala nyeri sewaktu berkemih dan mengeluarkan
cairan putih dari saluran kemihnya. Namum pengeluaran
cairan putih, ataupun yang kuning, yang kental ataupun
yang encer bisa disebabkan oleh kuman lain, sehingga sifat
cairan ini tidak memastikan penyakit ini.
3) Pada wanita biasanya tidak ada keluhan keputihan dan
kadang-kadang pendarahan yang tidak normal dari rahim
serta rasa tak nyaman pada liang dubur. Namun semua
gejala itu pun tidak khas bagi gonore, ia bisa juga
disebabkan oleh penyakit lain sehingga perlu diperiksa
dengan teliti.
4) Pada wanita infeksi gonore bisa berlanjut menjadi
peradangan alat dalam panggul yang menjalar dari bibir
122
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
rahim, ke dalam rahim, ke saluran telur dan ke seluruh alat
dalam panggul, biasanya terjadi selama haid. Gejala
penyakit ini meliputi demam dan nyeri perut bagian bawah.
Mungkin juga terdapat pengeluaran cairan kekuningan dari
dalam bibir rahim dan nyeri tekan pada rahim pada waktu
pemeriksaan dalam atas alat-alat panggul. Radang alat-alat
panggul ini bisa menyebabkan strerilitas, kehamilan di luar
kandungan dan nyeri panggul yang menahun.
5) Selain komplikasi setempat pada laki-laki dan wanita, bisa
juga terjadi komplikasi di tempat lain, akibat penyebarannya
kuman gonore melalui darah, dan kira-kira 2/3 pasiennya
wanita. Bisa terjadi radang sendi dan kulit yang di tandai
demam, nyeri sendi dan bengkak sendi, menggigil serta
kelainan kulit berbentuk nanah dan gelembung. Radang
sendi melibatkan beberapa sendi, sering melibatkan sendi
pergelangan tangan, jari-jari, sendi lutut dan sendi
pergelangan kaki. Manifestasi lazim lainnya meliputi radang
selaput pembukus jantung (perikarditis), dan radang hati
(hepatitis). Kadang-kadang terjadi radang lapisan dalam
jantung dan selaput otak.

d. Diagnosis
Gonore dan klamidia dapat diketahui dengan sampel yang
diseka dari saluran kemih, dubur atau tenggorokan. Penting agar
pasien tidak buang air kecil selama paling tidaknya tiga jam
sebelum menjalani tesnya.

e. Penatalaksanaan
1) Eritromisin 4x500 mg/hari, per oral, 7 hari
2) Doksisiklin 2x100 mg/hari, per oral, 7 hari
3) Penisilin prokain 2,4 juta UI, diberikan i.m., sedang dosis
untuk wanita 4,8 juta UI.
4) Siprofloksasin 500 mg tiap 12 jam selama 5-7 hari per oral.

f. KIE
123
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
1) Tujuan penatalaksanaan: mengobati dan menghindari
penularan.
2) Pencegahan: hindari perilaku berisiko atau perilaku seksual
yang tidak aman, hindari kontak langsung dengan pasien.
3) Alasan rujukan: tidak sembuh dengan pengobatan tersebut
diatas
4) Efek samping pengobatan: alergi obat.
5) Doksisiklin tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu
menyusui, atau anak di bawah 12 tahun

35. GOUT
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 90 ICD X : M10

a. Definisi
Gout merupakan penyakit radang sendi yang terjadi akibat
deposisi kristal mono sodium urat pada persendian dan jaringan
lunak.
Gout ditandai dengan serangan berulang dari arthritis
(peradangan sendi) yang akut, kadang-kadang disertai dengan
pembentukan kristal sodium urat yang besar (yang dinamakan
tophus), deformitas (kerusakan) sendi secara kronik, dan adanya
cedera pada ginjal.

b. Penyebab
Penumpukan asam urat didalam tubuh secara berlebihan, baik
akibat produksi asam urat yang meningkat, pembuangannya
melalui ginjal yang menurun, atau akibat peningkatan asupan

124
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
makanan yang kaya akan purin. Gout terjadi ketika cairan tubuh
sangat jenuh akan asam urat karena kadarnya yang tinggi.

c. Gambaran Klinis
1) Gejala paling khas adalah nyeri dan kemerahan pada sendi
metatarsofalangeal pertama, biasanya melibatkan satu sendi.
Gejala bisa dieksaserbasi oleh paparan terhadap dingin dan
sering memburuk pada malam hari.
2) Gout dapat menyerang lebih dari 1 sendi, tetapi umumnya
asimetri (satu sisi tubuh saja). Sendi yang terlibat tampak
bengkak, hangat, kemerahan, dengan kulit diatasnya yang
teregang.
3) Selama serangan akut, pasien mungkin agak demam dan ada
peningkatan jelas LED dan CRP serum.
4) Lebih dari sekali mengalami serangan artritis akut.
5) Terjadi peradangan secara maksimal dalam 1 hari.
6) Oligoartritis.
7) Kemerahan di sekitar sendi yang meradang.
8) Hiperurisemia (kadar asam urat dalam darah >7,5 mg/dL).
9) Pembengkakan sendi secara asimetris (satu sisi tubuh saja).

d. Diagnosis
Nyeri akut pada persendian kecil seperti ibu jari, terutama
malam hari.
Kadar urat serum biasanya >7,5 mg/dL.

e. Penatalaksanaan
1) Pada serangan artritis akut, pasien biasanya diberikan terapi
untuk mengurangi peradangan dengan memberikan obat
analgesik atau kortikosteroid. Setelah serangan akut
berakhir, terapi ditujukan untuk menurunkan kadar asam
urat didalam tubuh.
2) Kondisi yang terkait dengan hiperurisemia adalah diet kaya
purin, obesitas, serta konsumsi alkohol. Purin merupakan
senyawa yang akan dirombak menjadi asam urat didalam
tubuh. Alkohol merupakan salah satu sumber purin dan juga
dapat menghambat pembuangan purin melalui ginjal
sehingga disarankan untuk tidak sering mengonsumsi

125
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
alkohol. Pasien juga disarankan untuk minum air dalam
jumlah yang banyak (>2 L tiap harinya) karena akan
membantu pembuangan asam urat dan meminimalkan
pengendapan asam urat dalam saluran kemih. Ada beberapa
jenis makanan yang diketahui kaya akan purin, antara lain
jeroan (sapi, babi, kambing), makanan dari laut (seafood),
melinjo, softdrink, minuman berfruktosa (termasuk jus
kemasan). Makanan tersebut jangan dikonsumsi berlebihan.
3) Obat yang digunakan untuk terapi profilaksis adalah:
a) Alopurinol, bila terdapat over produksi asam urat. Obat
ini menghambat sintesa dan menurunkan kadar asam
urat darah. Dosis pada hiperurikemia 100 mg tiap 8 jam
sesudah makan, bila perlu dinaikkan tiap minggu
dengan 100 mg hingga 10 mg/kgBB/hari.
b) Natrium bikarbonat 2 tablet 3 x sehari, untuk membantu
kelarutan asam urat.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: mengurangi peradangan,
menurunkan kadar asam urat dalam tubuh.
2) Pencegahan: membatasi diet purin, tidak mengkonsumsi
alkohol, minum air dalam jumlah banyak (> 2 L).
36.

126
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
HEPATITIS VIRUS A, B, C
Kompetensi : 2
Laporan Penyakit : 0403 ICD X : -

a. Definisi
Hepatitis Virus Akut adalah peradangan hati karena infeksi oleh
salah satu dari kelima virus hepatitis (virus A, B, atau C);
peradangan muncul secara tiba-tiba dan berlangsung hanya
selama beberapa minggu.

b. Penyebab
Virus Hepatitis A, B, C.

c. Gambaran Klinis
1) Gejala biasanya muncul secara tiba-tiba, berupa:
a) penurunan nafsu makan
b) merasa tidak enak badan
c) mual
d) muntah
e) demam.
2) Kadang terjadi nyeri sendi dan timbul biduran (gatal-gatal
kulit), terutama jika penyebabnya adalah infeksi oleh virus
hepatitis B.
3) Beberapa hari kemudian, urin warnanya berubah menjadi
lebih gelap dan timbul kuning (jaundice). Pada saat ini
gejala lainnya menghilang dan pasien merasa lebih baik,
meskipun jaundice semakin memburuk.
4) Bisa timbul gejala dari kolestasis (terhentinya atau
berkurangnya aliran empedu) yang berupa feses yang
berwarna pucat dan gatal di seluruh tubuh. Jaundice
biasanya mencapai puncaknya pada minggu ke 1–2,
kemudian menghilang pada minggu ke 2–4.

d. Diagnosis
1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil
pemeriksaan darah terhadap fungsi hati.
2) Pada pemeriksaan fisik, hati teraba lunak dan kadang agak
membesar.
127
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3) Diagnosis pasti diperoleh jika pada pemeriksaan darah
ditemukan protein virus atau antibodi terhadap virus
hepatitis.

e. Penatalaksanaan
1) Jika terjadi hepatitis akut yang sangat berat, maka pasien
dirawat di rumah sakit; tetapi biasanya hepatitis A tidak
memerlukan pengobatan khusus.
2) Setelah beberapa hari, nafsu makan kembali muncul dan
pasien tidak perlu menjalani tirah baring. Makanan dan
kegiatan pasien tidak perlu dibatasi dan tidak diperlukan
tambahan vitamin.
3) Sebagian besar pasien bisa kembali bekerja setelah jaundice
menghilang, meskipun hasil pemeriksaan fungsi hati belum
sepenuhnya normal.

f. KIE
Pencegahan:
1) Kebersihan yang baik bisa membantu mencegah penyebaran
virus hepatitis A. Feses pasien sangat infeksius. Di sisi lain,
pasien tidak perlu diasingkan; pengasingan pasien hanya
sedikt membantu penyebaran hepatitis A, tetapi sama sekali
tidak mencegah penyebaran hepatitis B maupun C.
2) Kemungkinan terjadinya penularan infeksi melalui transfusi
darah bisa dikurangi dengan menggunakan darah yang telah
melalui penyaringan untuk hepatitis B dan C.
3) Vaksinasi hepatitis B merangsang pembentukan kekebalan
tubuh dan memberikan perlindungan yang efektif.
4) Vaksinasi hepatitis A diberikan kepada orang-orang yang
memiliki risiko tinggi, misalnya para pelancong yang
mengunjungi daerah dimana penyakit ini banyak ditemukan.
5) Untuk hepatitis C belum ditemukan vaksin.
6) Bagi yang belum mendapatkan vaksinasi tetapi telah
terpapar oleh hepatitis, bisa mendapatkan sediaan antibodi
untuk perlindungan, yaitu globulin serum. Pemberian
128
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
antibodi bertujuan untuk memberikan perlindungan segera
terhadap hepatitis virus.
7) Ibu hamil yang telah teridentifikasi virus hepatitis B,
dianjurkan untuk melahirkan di rumah sakit.

129
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
37. HERPES SIMPLEKS
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 0403 ICD X : B00

a. Definisi
Herpes simpleks berkenaan dengan sekelompok virus yang
menulari manusia. Infeksi virus H. simplex ditandai dengan
vesikel berkelompok di daerah mukokutan dengan kulit yang
memerah. Kelainan dapat terjadi secara primer maupun
sekunder. Herpes simpleks menyebabkan luka-luka yang sangat
sakit pada kulit.

b. Penyebab
Penularan melalui kontak langsung. Virus H. simplex tipe 1
(HSV-1) adalah penyebab umum untuk luka-luka demam (cold
sore) di sekeliling mulut. HSV-2 biasanya menyebabkan herpes
kelamin. Namun HSV-1 dapat menyebabkan infeksi pada
kelamin dan HSV-2 dapat menginfeksikan daerah mulut melalui
hubungan seks.

c. Gambaran Klinis
1) Infeksi virus ini mempunyai ciri adanya lesi primer lokal,
latensi dan adanya kecenderungan rekurensi lokal.
2) Dua agen penyebab, HSV tipe 1 dan 2, umumnya
menimbulkan sindrom klinis yang jelas, tergantung pada
tempat masuknya.
a) HSV tipe 1:
(1) Infeksi primer mungkin ringan dan umumnya terjadi
pada masa anak-anak dini sebelum usia 5 tahun.
(2) Sekitar 10% infeksi primer menyebabkan bentuk
penyakit yang lebih berat yang bermanifestasi
demam dan malaise.
(3) Ini bisa berlangsung selama seminggu atau lebih,
dan dihubungkan dengan adanya lesi vesikuler
dalam mulut, infeksi mata atau erupsi kulit
generalisata yang memperberat eksema kronik.

130
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(4) Reaktivasi infeksi laten mengakibatkan adanya cold
sore yang muncul sebagai vesikel bening pada dasar
yang eritematus, biasanya di wajah dan bibir, yang
berkrusta dan sembuh dalam beberapa hari.
(5) Reaktivasi ini mungkin ditimbulkan oleh trauma,
demam atau adanya penyakit lain yang sedang
diderita.

b) HSV tipe 2:
(1) Virus ini adalah penyebab herpes genitalis, walau
ini juga dapat disebabkan oleh virus tipe 1.
(2) Herpes genitalis terjadi terutama pada orang dewasa
dan ditransmisikan secara seksual.
(3) Infeksi primer dan rekuren dapat terjadi, dengan
atau tanpa gejala.

d. Diagnosis
Berdasarkan gambaran klinis.

e. Penatalaksanaan
Pengobatan:
1) Terapi mencakup:
a) Salep dan larutan povidon-iodin.
b) Asiklovir untuk herpes genitalis awal dan rekuren, 5 x
200 mg sehari, selama 5-10 hari.
2) Perawatan setempat untuk herpes simpleks sebaiknya
termasuk membersihkan lukanya dengan air garam dan
menjaganya tetap kering.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: mengobati kelainan kulit dan
mencegah penularan.
2) Pencegahan: hindari kontak dengan kelainan kulit yang
terbuka.

131
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3) Alasan rujuk: jika mengenai daerah kelamin, mata, atau
berisiko ensefalitis.

132
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
38. HERPES ZOSTER
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 0403 ICD X : B02

a. Definisi
Penyakit yang menyerang saraf perifer atau saraf tepi dan
bermanifestasi di kulit.

b. Penyebab
Herpes zoster disebabkan oleh virus varicella-zoster yang
tinggal di ganglia paraspinal sesudah infeksi varicella.

c. Gambaran Klinis
1) Mula-mula pasien mengalami demam atau panas, disertai
nyeri yang terbatas pada satu sisi tubuh, terjadi paling sering
pada badan atau wajah, jarang pada ekstremitas, yang
nantinya timbul bercak. Beberapa hari kemudian (tiap orang
tidak sama), muncul bercak kemerahan di bagian tubuh
yang nyeri tadi makin hari menyebar dan membesar sampai
sebesar biji jagung.
2) Makin lama, mengelupas dan tetap nyeri.
3) Setelah kering (ada yang seminggu, ada pula 2 atau 3
minggu) dan sembuh, kadang masih menyisakan nyeri. Sisa-
sisa nyeri adakalanya masih muncul bertahun-tahun
kemudian. Keadaan ini disebut nyeri post herpetic.
4) Bila pasien menderita demam dan ruam di satu dermatom di
satu sisi tubuh, penyebabnya mungkin infeksi herpes
simpleks.
5) Bila mengenai area mata, gejala berupa mata merah,
kelopak mata bengkak, berair dan mengeluarkan sekret
bening (serous) sampai purulen bila sudah terinfeksi bakteri.

d. Diagnosis
Vesikel yang berisi cairan jernih di salah satu sisi tubuh.

133
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e. Penatalaksanaan
1) Pengobatan lebih diarahkan untuk mengurangi gejala,
misalnya pemberian antinyeri atau penurun panas atau obat
untuk mengurangi rasa gatal pada periode masa
penyembuhan.
2) Hingga kini belum ada obat spesifik. Pemakaian anti virus
yang oleh beberapa ahli dikatakan bisa menghilangkan nyeri
post herpetic ternyata masih memerlukan penelitian tapi
tetap menjadi obat pilihan: Asiklovir 800 mg 5 kali sehari
selama 7 hari
3) Antibiotik diberikan bila ada infeksi sekunder, misalnya
kulit jadi bernanah atau terkelupas.
4) Pada mata, berikan tetes mata kloramfenikol sebagai
preventif dan pengobatan infeksi bakteri.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: mengobati kelainan kulit dan
mencegah penularan.
2) Pencegahan: hindari kontak dengan kelainan kulit yang
terbuka.
3) Jangan berikan kortikosteroid topikal pada kasus
infeksi mata.

134
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
39. HIPEREMESIS GRAVIDARUM
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 1706 ICD X : O21

a. Definisi
Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang berlebihan yang
terjadi sampai umur kehamilan 22 minggu. Muntah dapat begitu
hebat dimana segala apa yang dimakan dan diminum
dimuntahkan kembali.

b. Penyebab
Penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Beberapa teori
penyebab:
1) Peningkatan estrogen
2) Peningkatan hormon Human Chorionic Gonadotropin
(HCG)
3) Disfungsi psikis

c. Gambaran Klinis
Secara klinis hiperemesis gravidarum dibedakan atas 3
tingkatan, yaitu:
1) Tingkat I
Muntah yang terus-menerus, timbul intoleransi terhadap
makanan dan minuman, berat badan menurun, nyeri
epigastrium, muntah pertama keluar makanan, lendir dan
sedikit empedu kemudian hanya lendir, cairan empedu dan
terakhir keluar darah.
Nadi meningkat sampai 100 kali per menit dan tekanan
darah sistole menurun.
Mata cekung dan lidah kering, turgor kulit berkurang dan
urin masih normal.
2) Tingkat II
Gejala lebih berat, segala yang dimakan dan diminum
dimuntahkan, haus hebat.
Subfebril, nadi cepat dan lebih 100–140 kali/menit, tekanan
darah sistole < 80 mmHg.
135
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Apatis, kulit pucat, lidah kotor, kadang ikterus ada, aseton
ada, bilirubin ada dan berat-badan cepat menurun.
3) Tingkat III
Gangguan kesadaran (delirium-koma), muntah berkurang
atau berhenti, ikterus, sianosis, nistagmus, gangguan
jantung, bilirubin ada dan proteinuria.

d. Diagnosis
1) Amenore yang disertai muntah hebat (segala yang dimakan
dan diminum akan dimuntahkan), pekerjaan sehari-hari
terganggu dan haus.
2) Fungsi vital: nadi meningkat 100 kali/menit, tekanan darah
menurun pada keadaan berat, subfebril dan gangguan
kesadaran (apatis-koma).
3) Pemeriksaan fisik: dehidrasi, keadaan berat, kulit pucat,
ikterus, sianosis, berat badan menurun, porsio lunak pada
vaginal touche, uterus besar sesuai usia kehamilan.
4) Laboratorium: kenaikan relatif hemoglobin dan hematokrit,
shift to the left, benda keton dan proteinuria.

e. Penatalaksanaan
1) Diet
Diet hiperemesis I diberikan pada hiperemesis tingkat III.
Makanan hanya berupa roti kering dan buah-buahan. Cairan
tidak diberikan bersama makanan tetapi 1-2 jam
sesudahnya. Makanan ini kurang dalam zat-zat gizi kecuali
vitamin C karena itu hanya diberikan selama beberapa hari.
Diet hiperemesis II diberikan bila rasa mual dan muntah
berkurang. Secara berangsur mulai diberikan bahan
makanan yang bernilai gizi tinggi. Minuman tidak diberikan
bersama makanan. Makanan ini rendah dalam semua zat-zat
gizi kecuali vitamin A dan D.
Kesanggupan pasien, minuman boleh diberikan bersama
makanan. Makanan ini cukup dalam semua zat gizi kecuali
kalsium.
2) Pada keadaan berat:
Hentikan makan/minum per oral sementara (24–48 jam).

136
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Infus dekstrosa 10% atau 5% : RL = 2 : 1, 40 tetes/menit.
Obat :
a) vitamin B i.v : Vitamin B1, B2 dan B6 masing-masing
50–100 mg/hari/infus, dan Vitamin B12 200
mcg/hari/infus,
b) klorpromazin 25–50 mg perhari bersifat penenang
minor sekaligus antiemetik
c) Antasida tab tiap 8 jam
Pertimbangkan untuk dirujuk ke rumah sakit.

f. KIE
1) Tujuan terapi: mengobati emesis supaya tidak terjadi
hiperemesis.
2) Pencegahan:
a) Penerangan bahwa kehamilan dan persalinan merupakan
proses fisiologis, sehingga pasien tidak perlu takut
untuk hamil.
b) Makan sedikit-sedikit, tetapi sering. Hindari makanan
berminyak dan berbau. Makan makanan dalam keadaan
panas atau sangat dingin.
c) Perlu adanya dukungan dan perhatian dari suami atau
keluarga.

137
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
40. HIPERTENSI
Kompetensi : 3A (anak); 4
Laporan Penyakit : 1200 ICD X : I10

a. Definisi
Hipertensi adalah tekanan darah yang sama atau melebihi 140
mmHg (sistolik) dan/atau sama atau melebihi 90 mmHg
(diastolik) pada seseorang yang tidak sedang makan obat
antihipertensi. Secara umum, hipertensi merupakan suatu
keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di
dalam arteri menyebabkan meningkatnya risiko terhadap stroke,
aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan
ginjal.

b. Penyebab
1) Hipertensi primer: 90–95% tidak diketahui penyebabnya.
2) Hipertensi sekunder: 5–10%.
a) Beberapa perubahan pada jantung dan pembuluh darah
kemungkinan bersama-sama menyebabkan
meningkatnya tekanan darah.
b) Penyakit ginjal.
c) Kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu
(misalnya pil KB).
d) Feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal
yang menghasilkan hormon epinefrin (adrenalin) atau
norepinefrin (noradrenalin).
e) Kegemukan (obesitas), gaya hidup yang tidak aktif
(malas berolah raga), stres, alkohol atau garam dalam
makanan.
f) Stres cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah
untuk sementara waktu, jika stres telah berlalu, maka
tekanan darah biasanya akan kembali normal.

c. Gambaran Klinis
Pada pengukuran tekanan darah dan jika pada pengukuran
pertama memberikan hasil yang tinggi, maka tekanan darah
diukur kembali dan kemudian diukur sebanyak 2 kali pada 2
hari berikutnya untuk meyakinkan adanya hipertensi. Hasil
138
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
pengukuran bukan hanya menentukan adanya tekanan darah
tinggi, tetapi juga digunakan untuk menggolongkan beratnya
hipertensi. Kriteria Diagnosis Hipertensi dapat dilihat pada
Tabel 13.

Tabel 13. Kriteria Diagnosis Hipertensi sesuai Klasifikasi US


JNC 7
Klasifikasi TD Sistolik TD Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 dan <80
Pre-hipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi stage I 140-159 atau 90-99
Hipertensi stage II ≥ 160 atau ≥ 100
*TD: tekanan darah
Keterangan: US JNC = Joint National Committee

d. Diagnosis
Tekanan darah diukur setelah seseorang duduk/berbaring 5
menit.
Apabila pertama kali diukur tinggi (≥140/90 mmHg) maka
pengukuran diulang 2x pada 2 hari berikutnya untuk
meyakinkan adanya hipertensi.

e. Penatalaksanaan
1) Langkah awal biasanya adalah mengubah pola hidup pasien
(Tabel 14):
a) Menurunkan berat badan sampai batas ideal.
b) Mengubah pola makan pada pasien diabetes,
kegemukan atau kadar kolesterol darah tinggi.
c) Mengurangi pemakaian garam sampai < 2,3 g natrium
atau 6 g natrium klorida tiap harinya (disertai dengan
asupan kalsium, magnesium dan kalium yang cukup)
dan mengurangi konsumsi alkohol.
d) Olah raga aerobik yang tidak terlalu berat.

139
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e) Pasien hipertensi esensial tidak perlu membatasi
aktivitasnya selama tekanan darahnya terkendali.
f) Berhenti merokok.
2) Terapi obat pada hipertensi dimulai dengan salah satu obat
berikut ini:
a) Hidroklorotiazid (HCT) 12,5–25 mg perhari dosis
tunggal pada pagi hari (Pada hipertensi dalam
kehamilan, hanya digunakan bila disertai
hemokonsentrasi/edema paru).
b) Atenolol mulai dari 25–50 mg sehari sekali.
c) Kaptopril 12,5–25 mg tiap 8-12 jam.
d) Amlodipin mulai dari 5 mg tiap 24 jam, bisa dinaikkan
10 mg tiap 24 jam.
3) Hipertensi pada anak langsung dirujuk.

Tabel 14. Modifikasi Gaya Hidup pada Kondisi Hipertensi


Modifikasi Rekomendasi Rerata penurunan
TDS
Penurunan beratJaga berat badan ideal (BMI: 18,5 - 24,9 kg/m2) 5–20 mmHg/ 10
badan kg
Diet Diet kaya buah, sayuran, produk rendah lemak 8–14 mmHg
dengan jumlah lemak total dan lemak jenuh yang
rendah
Pembatasan Kurangi hingga <100 mmol per hari (2.4 g 2–8 mmHg
intake natrium natrium atau 6 g natrium klorida)
Aktivitas fisikAktivitas fisik aerobik yang teratur (mis: jalan 4–9 mmHg
aerobik cepat) 30 menit sehari, hampir tiap hari dalam
seminggu
Pembatasan Laki-laki: dibatasi hingga < 2 kali per hari. 2–4 mmHg
konsumsi alkohol Wanita dan orang yang lebih kurus: Dibatasi
hingga <1 kali per hari

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: menurunkan tekanan darah senormal
mungkin

140
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
2) Terapi dilakukan secara terus-menerus, pengobatan tidak
dihentikan meskipun tekanan darah telah normal.
3) Cari juga faktor risiko kardiovaskuler lainnya
a) Merokok
b) Obesitas (IMT > 30 kg/m2)
c) Inaktivitas fisik
d) Dislipidemia
e) Diabetes melitus
f) Mikroalbuminuria atau LFG <60 ml/menit/1,73 m2
g) Usia (laki-laki > 55 tahun, perempuan >65 tahun)
h) Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini
(first degree relatives laki-laki <55 tahun, perempuan
<65 tahun)
4) Efek samping:
a) Propranolol kontra indikasi untuk pasien asma.
b) Kaptopril kontraindikasi pada kehamilan selama janin
hidup dan pasien asma.
c) Pada penggunaan penghambat ACE atau antagonis
reseptor angiotensin II: evaluasi kreatinin dan kalium
serum (hentikan bila kreatinin meningkat >25% atau
kreatinin meningkat 0,3 mg/dl atau hiperkalemi)

141
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
41. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Kompetensi : 3A; 4
Laporan Penyakit : 1200 ICD X : O13

a. Definisi
Hipertensi yang terjadi selama kehamilan.

b. Penyebab
Belum diketahui secara pasti.

c. Gambaran Klinis
Tekanan darah diastolik merupakan indikator dalam penanganan
hipertensi dalam kehamilan, oleh karena tekanan diastolik
mengukur tahanan perifer dan tidak tergantung pada keadaan
emosional pasien.
Diagnosis hipertensi dibuat jika tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg pada 2 pengukuran berjarak 1 jam atau lebih.
Hipertensi dalam kehamilan dapat dibagi dalam:
1) Hipertensi karena kehamilan, jika hipertensi terjadi pertama
kali sesudah kehamilan 20 minggu, selama persalinan
dan/atau dalam 48 jam post partum.
2) Hipertensi kronik, jika hipertensi terjadi sebelum kehamilan
20 minggu.

d. Diagnosis
Penegakan diagnosis hipertensi dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Diagnosis Hipertensi Karena Kehamilan dan


Hipertensi Kronik
DIAGNOSIS TEKANAN DARAH TANDA LAIN
HIPERTENSI KARENA KEHAMILAN
- Hipertensi Tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg atauProteinuria (-)
kenaikan 15 mmHg dalam 2 pengukuran Kehamilan > 20 minggu
berjarak 1 jam
- Preeklampsia Idem Proteinuria 1+
Ringan

142
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
- Preeklampsia Tekanan darah diastolik > 110 mmHg Proteinuria 2+ Oliguria
Berat Hiper-refleksia
Gangguan penglihatan
Nyeri epigastrium
- Eklampsia Hipertensi Kejang
HIPERTENSI KRONIK
- Hipertensi Hipertensi Kehamilan < 20 minggu
kronik
- Superimposed Hipertensi kronik Proteinuria dan tanda lain
preeclampsia dari preeklampsia

1) Hipertensi Karena Kehamilan


a) Lebih sering terjadi pada primigravida. Keadaan
patologis telah terjadi sejak implantasi, sehingga timbul
iskemia plasenta yang kemudian diikuti dengan
sindroma inflamasi.
b) Risiko meningkat pada:
(1) Masa plasenta besar (gemelli, penyakit trofoblast)
(2) Hidramnion
(3) Diabetes melitus
(4) Isoimunisasi rhesus.
(5) Faktor herediter.
(6) Autoimun: SLE.
c) Hipertensi karena kehamilan:
(1) Hipertensi tanpa proteinuria atau edema.
(2) Preeklampsia ringan.
(3) Preeklampsia berat.
(4) Eklampsia.
d) Hipertensi dalam kehamilan dan preeklampsia ringan
sering ditemukan tanpa gejala, kecuali peningkatan
tekanan darah. Prognosis menjadi lebih buruk dengan
terdapatnya proteinuria. Edema tidak lagi menjadi suatu
tanda yang sahih untuk preeklampsia.
e) Preeklampsia Berat didiagnosis pada kasus dengan
salah satu gejala berikut:
(1) Tekanan darah diastolik > 110 mmHg.
(2) Proteinuria ≥ 2+.
143
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(3) Oliguria < 400 mL per 24 jam.
(4) Edema paru: napas pendek, sianosis dan
adanya ronkhi.
(5) Nyeri daerah epigastrium atau kuadran atas
kanan perut.
(6) Gangguan penglihatan: skotoma atau
penglihatan yang berkabut.
(7) Nyeri kepala hebat yang tidak berkurang
dengan pemberian analgetika biasa.
(8) Hiperrefleksia.
(9) Mata: spasme arteriolar, edema, ablasio
retina.
(10) Koagulasi: koagulasi intravaskuler disseminata,
sindrom HELLP.
(11) Pertumbuhan janin terhambat.
(12) Otak: edema serebri.
(13) Jantung: gagal jantung.

f) Eklampsia ditandai oleh gejala preeklampsia berat dan


kejang
(1) Kejang dapat terjadi dengan tidak tergantung pada
beratnya hipertensi.
(2) Kejang bersifat tonik-klonik, menyerupai kejang
pada epilepsi grand mal.
(3) Koma terjadi setelah kejang dan dapat berlangsung
lama (beberapa jam)

2) Hipertensi Kronik
a) Hipertensi kronik dideteksi sebelum usia kehamilan 20
minggu
b) Superimposed preeclampsia adalah hipertensi kronik
dan preeklampsia.

e. Penatalaksanaan
1) Pada Puskesmas non PONED: Segera dirujuk ke
Puskesmas PONED / RS
2) Pada Puskesmas PONED:
144
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a) Hipertensi Dalam Kehamilan Tanpa Proteinuria
Jika kehamilan < 35 minggu, lakukan pengelolaan
rawat jalan:
(1) Lakukan pemantauan tekanan darah, proteinuria dan
kondisi janin tiap minggu.
(2) Jika tekanan darah meningkat, kelola sebagai
preeklampsia.
(3) Jika kondisi janin memburuk atau terjadi
pertumbuhan janin yang terhambat, rawat dan
pertimbangkan terminasi kehamilan.

b) Preeklampsia Ringan
(1) Jika kehamilan < 35 minggu dan tidak terdapat
tanda perbaikan selama ANC.
(a) Lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat
jalan:
 Lakukan pemantauan tekanan darah,
proteinuria, refleks dan kondisi janin
 Lebih banyak istirahat
 Diet biasa
 Tidak perlu pemberian obat
(b) Jika tidak memungkinkan rawat jalan, rawat di
rumah sakit:
 Diet biasa
 Lakukan pemantauan tekanan darah 2x
sehari, proteinuria 1x sehari
 Tidak memerlukan pengobatan
 Tidak memerlukan diuretik, kecuali jika
terdapat edema paru, dekompensasi jantung
atau gagal ginjal akut
 Jika tekanan darah diastolik turun sampai
normal, pasien dapat dipulangkan,
nasehatkan untuk istirahat dan perhatikan
tanda preeklampsia berat, periksa ulang 2
145
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
kali seminggu dan jika tekanan diastolik
naik lagi rawat kembali.
 Jika tidak terdapat tanda perbaikan tetap
dirawat.
 Jika terdapat tanda pertumbuhan janin
terhambat, pertimbangkan terminasi
kehamilan.
 Jika proteinuria meningkat, kelola sebagai
preeklampsia berat.
1
(2) Jika kehamilan > 35 minggu, pertimbangkan
terminasi kehamilan
(a) Jika serviks matang, lakukan induksi dengan
Oksitosin 5 UI dalam 500 mL Ringer Laktat/
Dekstrose 5% i.v 10 tetes/menit atau dengan
prostaglandin.
(b) Jika serviks belum matang, berikan
prostaglandin, misoprostol atau kateter Foley
atau lakukan terminasi dengan seksio sesarea.

c) Preeklampsia Berat dan Eklampsia


Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama,
kecuali bahwa persalinan harus berlangsung dalam 6
jam setelah timbulnya kejang pada eklampsia.

(1) Pengelolaan kejang:


(a) Beri obat anti kejang (anti konvulsan).
(b) Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan
napas, penghisap lendir, masker oksigen,
oksigen).
(c) Lindungi pasien dari kemungkinan trauma.
(d) Aspirasi mulut dan tenggorokan.
(e) Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi
Trendelenburg untuk mengurangi risiko
aspirasi.

146
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(f) Berikan O2 4–6 L/menit.

(2) Pengelolaan umum


(a) Jika tekanan darah diastolik >110 mmHg,
berikan antihipertensi sampai tekanan darah
diastolik antara 90–100 mmHg.
(b) Pasang infus Ringer Laktat dengan jarum besar
no.16 atau lebih.
(c) Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai
terjadi overload.
(d) Kateterisasi urin untuk pengukuran volume dan
pemeriksaan proteinuria.
(e) Infus cairan dipertahankan 1,5–2 L/24 jam.
(f) Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang
disertai aspirasi dapat mengakibatkan kematian
ibu dan janin.
(g) Observasi tanda vital, refleks dan denyut
jantung janin tiap 1 jam.
(h) Auskultasi paru untuk mencari tanda edema
paru. Adanya krepitasi merupakan tanda adanya
edema paru. Jika ada edema paru, hentikan
pemberian cairan dan berikan diuretik (misal
furosemid 40 mg i.v.).
(i) Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan.
Jika pembekuan tidak terjadi setelah 7 menit,
kemungkinan terdapat koagulopati.

(3) Anti konvulsan


Magnesium sulfat (MgSO4) merupakan obat pilihan
untuk mencegah dan mengatasi kejang pada
preeklampsia dan eklampsia (Tabel 16). Alternatif
lain adalah diazepam, dengan risiko terjadinya
depresi neonatal (Tabel 17).

147
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Tabel 16. Magnesium Sulfat Untuk Preeklampsia dan Eklampsia
Alternatif I
Dosis awal - MgSO4 4 g i.v. sebagai larutan 40% selama 5 menit.
- Segera dilanjutkan dengan 15 mL MgSO4 (40%) 6 g dalam
larutan Ringer Asetat/ Ringer Laktat selama 6 jam
- Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan MgSO4 (40%) 2
g i.v. selama 5 menit
Dosis Pemeliharaan - MgSO4 1 g/jam melalui infus Ringer Asetat / Ringer Laktat
yang diberikan sampai 24 jam post partum
Alternatif II
Dosis awal - MgSO4 4 g i.v. sebagai larutan 40% selama 5 menit
Dosis pemeliharaan - Diikuti dengan MgSO4 (40%) 5 g i.m. dengan 1 mL Lignokain
(dalam semprit yang sama)
- Pasien akan merasa agak panas pada saat pemberian MgSO4
Sebelum pemberian- Frekuensi pernapasan minimal 16 kali/menit
MgSO4 ulangan,- Refleks patella (+)
lakukan - Urin minimal 30 mL/jam dalam 4 jam terakhir
pemeriksaan:
Hentikan - Frekuensi pernapasan < 16 kali/menit
pemberian MgSO4,- Refleks patella (-)
jika: - Bradipnea (<16 kali/menit)

Siapkan antidotum Jika terjadi henti napas:


- Bantu pernapasan dengan ventilator
- Berikan Kalsium glukonas 1 g (20 mL dalam larutan 10%) i.v.
perlahan-lahan sampai pernapasan mulai lagi

Tabel 17. Diazepam Untuk Preeklampsia dan Eklampsia


Dosis awal - Diazepam 10 mg i.v. pelan-pelan selama 2 menit
- Jika kejang berulang, ulangi pemberian sesuai dosis awal

148
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Dosis - Diazepam 40 mg dalam 500 mL larutan Ringer Laktat melalui
pemeliharaan infus, dengan 15 tetesan/menit
- Depresi pernapasan ibu baru mungkin akan terjadi bila dosis >
30 mg/jam
- Jangan berikan melebihi 100 mg/jam

(4) Anti hipertensi


(a) Obat pilihan adalah nifedipin, yang diberikan 5–
10 mg oral yang dapat diulang sampai 8 kali/24
jam.
(b) Jika respons tidak membaik setelah 10 menit,
berikan tambahan 5 mg nifedipin sublingual.

(5) Persalinan
(a) Pada preeklampsia berat, persalinan harus
terjadi dalam 24 jam, sedangkan pada eklampsia
dalam 6 jam sejak gejala eklampsia timbul.
(b) Jika terjadi gawat janin atau persalinan tidak
dapat terjadi dalam 12 jam (pada eklampsia),
lakukan seksio sesarea.
(c) Jika seksio sesarea akan dilakukan, perhatikan
bahwa:
- Tidak terdapat koagulopati (koagulopati
merupakan kontra indikasi anestesi spinal).
- Anestesia yang aman/terpilih adalah
anestesia umum untuk eklampsia dan spinal
untuk PEB. Dilakukan anestesia lokal, bila
risiko anestesi terlalu tinggi.
(d) Jika serviks telah mengalami pematangan,
lakukan induksi dengan oksitosin 2–5 UI dalam
500 mL dekstrose 10 tetes/menit atau dengan
cara pemberian prostaglandin/misoprostol.

(6) Perawatan post partum


(a) Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam post
partum atau kejang yang terakhir.

149
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(b) Teruskan terapi hipertensi jika tekanan diastolik
masih > 90 mmHg.
(c) Lakukan pemantauan jumlah urin.
(7) Rujukan
Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap, jika:
(a) Terdapat oliguria (< 400 mL/24 jam)
(b) Terdapat sindroma HELLP (Haemolysis,
Elevated Liver enzymes, Low Platellets count).
(c) Koma berlanjut lebih dari 24 jam setelah
kejang.

d) Hipertensi Kronik
(1) Jika pasien sebelum hamil sudah mendapatkan
pengobatan dengan obat anti hipertensi dan
terpantau dengan baik, lanjutkan pengobatan
tersebut.
(2) Jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg atau
tekanan sistolik ≥ 160 mmHg, berikan anti
hipertensi.
(3) Jika terdapat proteinuria, pikirkan superimposed
preeklampsia.
(4) Istirahat.
(5) Lakukan pemantauan pertumbuhan dan kondisi
janin.
(a) Jika tidak terdapat komplikasi, tunggu
persalinan sampai aterm.
(b) Jika terdapat preeklampsia, pertumbuhan janin
terhambat atau gawat janin, lakukan:
- Jika serviks matang, lakukan induksi
dengan oksitosin 2–5 UI dalam 500 mL
dekstrose melalui infus 10 tetes/menit atau
dengan prostaglandin.
- Jika serviks belum matang, berikan
prostaglandin, misoprostol atau kateter
Foley.
150
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(c)Observasi komplikasi seperti solusio plasenta
atau superimposed preeklampsia.
Ringkasan penanganan hipertensi dapat dilihat pada
Tabel 18.

Tabel 18. Ringkasan Penanganan Hipertensi


Hipertensi karenaPreeklampsia Preeklampsia Hipertensi Kronik
kehamilan ringan berat/Eklampsia

- Rawat jalan 1 x- Rawat jalan - Pastikan gejala dan- Rawat jalan


seminggu - Istirahat baring tanda preeklampsia- Istirahat cukup
- Pantau TD,- Diet biasa berat - Bila TD > 160/110
proteinuria, - Tak perlu obat - Nifedipin 10 mg dan beri antihipertensi
kesejahteraan - Bila tidak ada MgSO4 4 g i.v- Tidak ada perbaikan,
janin perbaikan rujuk sebagai larutan 40% rujuk ke RS
- Tunggu persalinan selama 5 menit.
- Siapkan peralatan
untuk kejang
- Kateter urin
- Rujuk ke RS

f. KIE
1) Tujuan terapi: mengontrol tekanan darah sehingga tidak
terjadi kejang.
2) Pencegahan:
151
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a) Pembatasan kalori, cairan dan diet rendah garam tidak
dapat mencegah hipertensi karena kehamilan, malah
dapat membahayakan janin.
b) Yang lebih perlu diperhatikan adalah deteksi dini dan
penanganan cepat tepat. Pasien harus kontrol secara
reguler dan teratur dan diberi penerangan yang jelas
kapan harus kembali ke pelayanan kesehatan.
c) Perlu adanya dukungan dan perhatian dari suami atau
keluarga
d) Pemasukan cairan terlalu banyak akan menyebabkan
edema paru.

42. HIV-AIDS
Kompetensi : 2
Laporan Penyakit : 04 ICD X : B20-B24

a. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
merupakan golongan retrovirus yang merusak sistem kekebalan
tubuh manusia sehingga menyebabkan penyakit AIDS.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome. “Acquired”
artinya tidak diturunkan, tetapi ditularkan dari satu orang ke
orang lainnya; “Immune” adalah sistem kekebalan tubuh
terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau
kurang; dan “Syndrome” adalah kumpulan tanda dan gejala
penyakit) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang muncul
akibat rusaknya sistem kekebalan tubuh sehingga manusia
menjadi rentan dan mudah tertular penyakit.

152
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b. Gambaran Klinis
Stadium klinis HIV-AIDS menurut WHO dapat dilihat pada
Tabel 19.

Tabel 19. Stadium Klinis HIV-AIDS menurut WHO


Stadium Berat Badan Gejala
(BB)
Stadium I (Asimtomatik, Tidak adaTidak ada gejala atau hanya Limfadenopati
Periode Jendela/ Window penurunan Generalisata Persisten
Period) BB
Skala aktivitas : normal
Stadium II (sakit ringan) Penurunan - Luka sekitar bibir (cheilitis angularis)
Skala aktivitas :BB 5-10% - Lesi kulit yang gatal (seborrhea atau prurigo)
simtomatis, aktivitas
normal - Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- ISPA berulang, misal sinusitis, tonsillitis, otitis
dan faringitis
- Sariawan berulang
Stadium III (sakit sedang) Penurunan - Bercak putih dimulut (oral hairy leukoplakia)
Skala aktivitas : selama 1BB > 10% - Diare, kandidiasis vaginal, panas yang tidak
bulan terakhir tinggal diketahui penyebabnya > 1 bulan
ditempat tidur < 50%
- Infeksi bakterial yang berat (misalnya
pneumonia)
- TB paru dalam 1 tahun terakhir
Stadium IV (sakitHIV wasting- kandidiasis esofagus
berat) /AIDS syndrome - herpes simpleks > 1 bulan
Skala aktivitas : selama 1
bulan terakhir berbaring - limfoma
ditempat tidur > 50% - toksoplasmosis otak
- diare kriptospridiosis > 1 bulan
- cytomegalovirus
- sarkoma kaposi
- ca cerviks infasif
- PCP
- TB ekstrapulmonal
- meningitis criptococcus
- ensefalopati HIV

c. Penularan

153
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Virus HIV terdapat didalam cairan tubuh terutama darah, cairan
vagina, sperma dan air susu ibu.
Penularan virus HIV dapat terjadi melalui:
1) Hubungan seksual yang tidak aman yaitu berganti-ganti
pasangan tanpa pelindung (kondom) atau hubungan seksual
dengan pasangan yang terinfeksi HIV-AIDS tanpa
menggunakan kondom.
2) Jarum suntik dan peralatan lain (alat kedokteran, jarum tatto,
alat tindik, pisau cukur, dan lain-lain) yang tidak steril dan
digunakan bersama-sama. Selain itu penularan virus HIV
melalui darah juga dapat terjadi melalui tranfusi darah dan
transplantasi organ tubuh yang tercemar HIV.
3) Penularan dari ibu yang menderita HIV-AIDS ke anak
selama kehamilan, persalinan dan menyusui.

d. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan Laboratorium
dan Klinis (berdasarkan stadium klinis) serta penggalian faktor
risiko.

e. Infeksi Oportunistik (IO) – Penyakit terkait HIV


Adalah infeksi yang mengambil manfaat dari melemahnya
sistem kekebalan tubuh. Pada tahun-tahun pertama epidemi
HIV-AIDS, IO menyebabkan banyak kesakitan dan kematian.
Namun setelah ada terapi antiretroviral (ART), lebih sedikit
orang yang meninggal akibat IO.
IO yang paling umum terjadi adalah:
1) Kandidiasis (thrush) adalah infeksi jamur pada mulut,
tenggorokan atau vagina. Kandidiasis dapat meluas sampai
esofagus pada pasien AIDS.
2) Virus Sitomegalia (cytomegalovirus/CMV) adalah infeksi
virus yang menyebabkan penyakit mata yang dapat
menimbulkan kebutaan.
3) Virus Herpes Simpleks dapat menyebabkan herpes pada
mulut atau alat kelamin.
4) Malaria adalah umum di beberapa daerah di Indonesia.
Penyakit ini menjadi lebih sering terjadi dan lebih parah
pada orang yang terinfeksi HIV.

154
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
5) Mycobacterium Avium Complex (MAC/MAI) adalah infeksi
bakteri yang dapat menyebabkan demam kambuhan, rasa
sakit yang umum, masalah pencernaan, dan kehilangan berat
badan yang parah.
6) Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) adalah infeksi jamur
yang dapat menyebabkan pneumonia (radang paru) yang
berbahaya.
7) Toksoplasmosis adalah infeksi protozoa otak. Nyeri kepala
biasanya disebabkan toksoplasmosis.
8) Tuberkulosis (TB) adalah infeksi bakteri yang menyerang
paru, dan dapat menyebabkan meningitis (radang selaput
otak).

f. Penatalaksanaan
ART (Anti Retroviral Therapy) yaitu terapi yang diberikan
kepada ODHA dengan menggunakan obat anti HIV (ARV=Anti
Retro Viral). Tujuan utama ART adalah untuk menjaga agar
jumlah virus HIV didalam tubuh pada tingkat yang rendah, dan
mengurangi atau memulihkan kerusakan pada sistem kekebalan
tubuh akibat infeksi HIV, sehingga dapat mengurangi angka
kesakitan dan kematian akibat HIV serta meningkatkan mutu
hidup pengidap ODHA.
1) Persyaratan pemberian ART:
a) HIV positif dengan dokumentasi tertulis
b) Memenuhi persyaratan medis
Jika tes CD4 tersedia:
(1) CD4 < 350 sel/mm3 pada tanpa memandang stadium
klinisnya
(2) Stadium klinik 3 dan stadium 4 tanpa memandang
jumlah CD4
(3) Pemeriksaan jumlah CD4 diperlukan untuk
mengidentifikasi pasien dengan stadium klinik 1
dan 2 yang perlu memulai terapi ARV
(4) Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan
TB aktif tanpa memandang jumlah CD4
Jika tes CD4 tidak tersedia
(1) Stadium klinik 3 WHO
(2) Stadium klinik 4 WHO
c) IO sudah diobati atau stabil

155
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d) Pasien siap untuk pengobatan ARV
e) Tersedia tim klinik yang mendukung perawatan kronik
f) Ketersediaan obat yang dapat dipercaya

2) Jenis-jenis obat ART:


a) Golongan NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor)
Berfungsi menghambat replikasi DNA virus. Cara kerja
NRTI dengan mencegah perubahan genetik virus dari
RNA menjadi DNA. Jenis obat yang termasuk
golongan ini diantaranya :
(1) AZT (Aksidiotimidin) atau ZDV (Zidovudin)
(2) 3TC (Lamivudin)
(3) D4T (Stavudin)
(4) Tenofir
b) Golongan NNRTI (Non Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor)
Berfungsi sama dengan NRTI tapi dengan cara yang
berbeda. Cara kerja NNRTI dengan mencegah
masuknya HIV kedalam inti sel yang terinfeksi,
sehingga HIV tidak dapat membuat turunan-turunan
virus. Jenis obat yang termasuk dalam golongan ini
adalah:
(1) EFP (Efavirenz)
(2) NVP(Nevirapin)
(3) DLV (Delavirdin)
c) Golongan PI (Protease Inhibitor)
Berfungsi memotong virus baru dengan potongan
khusus sehingga tidak dapat dirakit menjadi virus yang
siap bekerja. Jenis obat yang termasuk dalam golongan
ini adalah :
(1) NTV (Nevinavir)
(2) IDV (Indinavir)
(3) RTV (Ritonavir)
(4) APV (Amphenavir)
(5) TAZ (Tazanavir)
(6) LPV (Lopinavir)

3) Kepatuhan ART
156
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a) Kepatuhan dalam ART berhubungan erat dengan
disiplin pribadi yang tinggi untuk menghindari resistensi
obat. Dalam ART terdapat 5 kepatuhan yaitu:
(1) Patuh dalam jenis obat yang tepat
(2) Patuh dengan cara minum yang tepat
(3) Patuh dengan waktu minum yang tepat
(4) Patuh dengan dosis obat yang tepat.
(5) Patuh dengan masa terapi yang tepat.
b) Kepatuhan pengobatan (adherence) penting karena
menentukan kesuksesan terapi, yaitu:
(1) Viral load atau jumlah virus HIV menurun.
(2) CD4 meningkat.
(3) Angka kesakitan dan kematian menurun.
c) Dampak dari adherence yang buruk adalah:
(1) Resistensi terhadap obat.
(2) Peningkatan biaya pengobatan.

g. Penatalaksanaan HIV-AIDS di tingkat Puskesmas


1) Menyediakan layanan konseling pencegahan HIV-AIDS.
2) Menyediakan layanan kesehatan bagi ODHA (Orang
Dengan HIV-AIDS) dengan perawatan dasar berbasis
masyarakat atau berbasis rumah serta memberikan
dukungan kepatuhan berobat ARV.
3) Menyediakan layanan VCT atau konseling dan test HIV
secara sukarela untuk memberikan dukungan psikologis dan
informasi untuk merubah perilaku berisiko serta membuka
akses untuk mendapatkan pelayanan perawatan dan
pengobatan HIV-AIDS di tingkat layanan kesehatan
rujukan.
4) Menyediakan layanan laboratorium rapid test dan
hematologi lengkap.
5) Pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
(Prevention Mother to Child Transmission=PMTCT) di
tingkat Puskesmas menyediakan layanan Prong 1 dan 2.
a) Adapun kegiatan pada Prong I adalah konseling
perubahan perilaku untuk mencegah penularan HIV-
AIDS pada remaja dan mengurangi stigma/diskriminasi
terhadap ODHA.

157
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b) Sedangkan kegiatan pada Prong II adalah promosi dan
distribusi kondom pada kelompok risiko tinggi,
konseling pasangan suami istri yang salah satunya
terinfeksi HIV.
6) Pelayanan IO dan penatalaksanaan TB-HIV dibawah
pengawasan dokter RS rujukan ODHA.
7) Menyediakan layanan ART dibawah pengawasan RS
rujukan ART, berupa:
a) Penentuan stadium klinis
b) Memulai ARV, IO dan OAT.
c) Kepatuhan pengobatan.
d) Paduan (kombinasi) obat ARV.
e) Identifikasi efek samping obat ARV.
8) Mengintensifkan penemuan kasus TB dan menjamin
pengendalian infeksi TB, serta menyediakan layanan
konseling dan testing HIV bagi pasien TB.
9) Menyediakan layanan perawatan paliatif bekerjasama
dengan keluarga ODHA dan RS rujukan.
10) Menyediakan layanan konseling dan tatalaksana gizi pada
ODHA.
11) Merujuk kasus HIV-AIDS dengan komplikasi berat ke RS
rujukan ODHA.
12) Melakukan pencatatan dan pelaporan, serta monitoring dan
evaluasi sesuai pedoman.

h. KIE
Bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap yang
dapat mendorong perubahan perilaku dalam mengurangi risiko
terinfeksi HIV serta menyediakan dan memberikan informasi
yang benar dan tepat guna. Peningkatan pengetahuan
komprehensif tentang HIV-AIDS pada penduduk usia 15-24
tahun sangat penting sebagai bekal untuk mencegah terjadinya
HIV-AIDS. Promosi Kondom pada kelompok perilaku seksual
berisiko juga sangat penting untuk mencegah penularan HIV-
AIDS.
Pencegahan penularan HIV-AIDS yang terbaik adalah :

158
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
1) Pencegahan Pola “A” (Abstinance), yaitu Puasa Seks,
artinya seseorang tidak melakukan hubungan seksual
sebelum atau diluar nikah.
2) Pencegahan Pola “B” (Be faithful), yaitu saling setia dengan
satu pasangan, artinya hubungan seksual dilakukan hanya
dengan satu pasangan tetap (suami/istri).
3) Pencegahan Pola “C” (Condom). Kondom merupakan salah
satu alat pencegah penularan HIV melalui hubungan
seksual.
4) Pencegahan Pola “D” (Don’t inject), yaitu tidak
menyalahgunakan narkoba suntik. Penyalahgunaan narkoba
juga menjadi salah satu jalan yang potensial untuk
menularkan HIV karena ada kebiasaan buruk diantara
pengguna narkoba yaitu menggunakan jarum suntik secara
bersama-sama.
5) Pencegahan Pola “E” (Education), yaitu pendidikan
mengenai HIV-AIDS untuk menanggulangi penyebaran
HIV-AIDS.

i. HIV PADA ANAK

1) Diagnosis Klinis:
a) Gejala yang menunjukkan kemungkinan infeksi
HIV.
(1) Infeksi berulang: tiga atau lebih episode infeksi
bakteri yang lebih berat (seperti pneumonia,
meningitis, sepsis, selulitis) pada 12 bulan terakhir,
(2) Thrush: eritema pseudomembran putih di langit-
langit mulut, gusi dan mukosa pipi, pasca masa
neonatal, ditemukannya thrush tanpa pengobatan
antibiotik, atau berlangsung lebih dari 30 hari
walaupun telah diobati, atau kambuh, atau meluas
melebihi bagian lidah – kemungkinan besar
merupakan infeksi HIV. Juga khas apabila meluas
sampai di bagian belakang kerongkongan yang
menunjukkan kandidiasis esophagus.
(3) Parotitis kronik: pembengkakan parotitis unilateral
atau bilateral selama ≥ 14 hari dengan atau tanpa
diikuti rasa nyeri atau demam.
159
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(4) Limpadenopati generalisata: terdapat pembesaran
kelanjar getah bening pada dua atau lebih daerah
ekstra inguinal tanpa penyebab jelas yang
mendasarinya.
(5) Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa
adanya infeksi virus yang bersamaan seperti
Sitomegalovirus.
(6) Demam yang menetap dan/atau berulang: demam
(>38°C) berlangsung ≥ 7 hari atau terjadi lebih dari
sekali dalam waktu 7 hari.
(7) Disfungsi neurologis: kerusakan neurologis yang
progresif, mikrosefal, perkembangan terlambat,
hipertonia atau bingung (confusion).
(8) Dermatitis HIV: ruam yang eritematus dan popular,
ruam kulit yang khas meliputi infeksi jamur yang
ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala dan
molluscom contagiosum yang ekstensif.
(9) Penyakit paru supuratif yang kronik (chronic
suppurative lung disease).

b) Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan


infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan pada anak
sakit yang bukan infeksi HIV
(1) Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dan
berlangsung ≥ 14 hari.
(2) Diare persisten: berlangsung ≥ 14 hari
(3) Gizi kurang atau gizi buruk: berkurangnya berat
badan atau menurunnya pertambahan berat badan
secara perlahan tetapi pasti dibandingkan dengan
pertumbuhan yang seharusnya, sebagaimana
tercantum dalam KMS, terutama pada bayi usia < 6
bulan yang disusui dan gagal tumbuh.

c) Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak


dengan infeksi HIV positif
Diduga kuat infeksi HIV jika ditemukan hal berikut ini :
pneumocystis carinii pneumonia (PCP), kandidiasis
esophagus, lymphoid interstitial pneumonia (LIP) atau
160
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Sarkoma Kaposi. Keadaan ini sangat spesifik untuk
anak dengan infeksi HIV.

2) Konseling
Indikasi untuk konseling HIV
Konseling HIV perlu dilakukan pada situasi berikut:
a) Anak yang status HIV-nya tidak diketahui yang
menunjukkan tanda klinis infeksi HIV dan/atau faktor
risiko (misalnya ibu atau saudaranya menderita
HIV/AIDS)
(1) Tentukan apakah akan dilakukan konseling atau
merujuknya
(2) Jika anda yang melakukan konseling sediakan
waktu untuk sesi konseling ini. Minta saran pada
konselor lokal yang berpengalaman, sehingga tiap
nasihat yang diberikan akan konsisten dengan apa
yang nantinya akan diterima ibu dari konselor
profesional.
(3) Jika akan dirujuk, jelaskan pada orang tuanya alasan
mereka dirujuk ke tempat lain untuk konseling.
b) Anak dengan infeksi HIV tetapi respon terhadap
pengobatan kurang baik, atau membutuhkan
penyelidikan lebih lanjut.
Diskusikan hal berikut ini pada saat sesi konseling:
(1) Pemahaman orang tua tentang infeksi HIV
(2) Tatalaksana masalah yang ada saat ini
(3) Peran pengobatan antiretroviral
(4) Perlunya merujuk ke tingkat yang lebih tinggi, jika
perlu
(5) Dukungan dari kelompok di masyarakat, jika ada.
c) Anak dengan infeksi HIV dengan respon yang baik
terhadap pengobatan dan akan dipulangkan (atau
dirujuk ke program perawatan di masyarakat untuk ke
dukungan psikologis).
Diskusikan hal berikut ini pada saat sesi konseling:
(1) Alasan dirujuk ke program perawatan di masyarakat
(2) Pelayanan tindak lanjut
(3) Faktor risiko untuk sakit di kemudian hari.
161
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(4) Imunisasi dan HIV
(5) Ketaatan dan dukungan pengobatan antiretroviral.

3) Pengobatan Antiretroviral (Antiretroviral theraphy =


ART)
Prinsip yang mendasari ART dan pemilihan lini pertama
ARV pada anak pada umumnya sama dengan pada dewasa.
Sangat penting untuk mempertimbangkan:
a) Ketersediaan formula yang cocok yang dapat diminum
dalam dosis yang tepat.
b) Daftar dosis yang sederhana
c) Rasa yang enak sehingga menjamin kepatuhan pada
anak kecil
d) Rejimen ART yang akan atau sedang diminum orang
tuanya.

162
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
43. HORDEOLUM
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 1005 ICD X : H00-H01

a. Definisi
Hordeolum adalah suatu infeksi pada satu atau beberapa
kelenjar di tepi atau di bawah kelopak mata. Bisa terbentuk lebih
dari 1 hordeolum pada saat yang bersamaan. Hordeolum
biasanya muncul dalam beberapa hari dan bisa kambuh secara
spontan.
Hordeolum internum adalah abses akut pada kelopak mata yang
disebabkan oleh infeksi Stafilokokus pada kelenjar Meibomian,
dengan penonjolan mengarah ke konjungtiva.
Hordeolum eksternum disebabkan oleh infeksi stafilokokus
yang memberikan gambaran abses akut yang terlihat pada
folikel bulu mata dan kelenjar Zeis atau Moll. Hordeolum
eksternum sering ditemukan pada anak-anak.

b. Penyebab
Hordeolum adalah infeksi akut pada kelenjar minyak di bawah
kelopak mata yang disebabkan oleh bakteri dari kulit (biasanya
di sebabkan oleh bakteri stafilokokus). Hordeolum sama dengan
jerawat kulit. Kadang timbul bersamaan dengan atau sesudah
blefaritis, bisa juga secara berulang.

c. Gambaran Klinis
1) Biasa berawal dengan kemerahan, nyeri bila ditekan dan
nyeri pada tepi kelopak mata.
2) Mata mungkin berair, peka terhadap cahaya terang dan
pasien merasa ada sesuatu di dalam matanya. Biasanya
hanya sebagian kecil di daerah kelopak yang membengkak,
meskipun ada seluruh kelopak membengkak.
3) Di tengah daerah yang membengkak sering kali terlihat
bintik kecil yang berwarna kekuningan.
4) Bisa terbentuk abses yang cenderung pecah dan melepaskan
sejumlah nanah.
5) Hordeolum Internum:
a) Benjolan pada kelopak mata yang dirasakan sakit.

163
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b) Benjolan dapat membesar ke posterior (konjungtiva
tarsal) atau anterior (kulit).

6) Hordeolum Eksternum:
a) Benjolan yang dirasakan sakit pada kelopak di daerah
margo palpebra.
b) Penonjolan mengarah ke tepi kulit margo palpebra.
c) Kemungkinan terjadi lesi multiple.

d. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik.

e. Penatalaksanaan
1) Hordeolum bisa diobati dengan kompres hangat selama 10
menit sebanyak 4x sehari. Jangan mencoba memecahkan
hordeolum.
2) Pemberian oksitetrasiklin salep mata.
3) Kondisi akut: antibiotik sistemik oral, misalnya tetrasiklin,
eritromisin.

f. KIE
1) Tujuan: mengatasi infeksi.
2) Pencegahan: selalu mencuci tangan terlebih dahulu sebelum
menyentuh di sekitar mata, bersihkan minyak yang
berlebihan di tepi kelopak mata secara perlahan.
3) Alasan rujukan: apabila keadaan nodul residual tetap ada
(lebih dari 2 minggu) setelah infeksi akut perlu dilakukan
rujukan untuk tindakan insisi dan kuretase.

164
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
44. INFEKSI POST-PARTUM
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 105 ICD X : O86

a. Definisi
Infeksi pada dan melalui traktus genitalis setelah persalinan,
ditandai dengan meningkatnya temperatur suhu 38 0C atau lebih
yang terjadi antara hari ke 2 – 10 post partum dan diukur per
oral 4 kali sehari.

b. Penyebab
Dapat disebabkan oleh bakteri Gram negatif maupun positif.
Sebagian besar infeksi terjadi selama proses persalinan.
Beberapa faktor predisposisi: kurang gizi atau malnutrisi,
anemia, higiene buruk, kelelahan, proses persalinan bermasalah
(partus lama/macet, korioamnionitis, persalinan traumatik,
kurang baiknya proses pencegahan infeksi, periksa dalam yang
berlebihan).

c. Gambaran Klinis
1) Pasien biasanya demam dan perineum atau dinding vagina
yang terinfeksi tampak bengkak dan bernanah,
menimbulkan nyeri.
2) Infeksi di bagian lebih dalam dapat berupa endometritis,
salpingitis, parametritis, peritonitis, dan tromboflebitis, yang
pada umumnya dimulai dari endometrium. Lebih berat lagi
dapat terjadi sepsis.

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda yang selalu
didapat serta gejala lain yang mungkin didapat.

e. Penatalaksanaan
1) Pada Puskesmas non PONED: rujuk ke Puskesmas PONED
atau RS
2) Pada Puskesmas PONED:

165
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a) Bila terdapat luka perineum, rawat dengan povidon
iodin 10%, atau kompres Rivanol bila terdapat pus.
b) Berikan antibiotik spektrum luas dalam dosis yang
tinggi:
(1) Ampisilin 2 g i.v, kemudian 1 g tiap 6 jam
(2) Ditambah Gentamisin 5 mg/kgBB i.v. sebagai dosis
tunggal/hari dan metronidazol 500 mg i.v. tiap 8
jam.
(3) Lanjutkan antibiotik ini sampai ibu tidak panas
selama 24 jam.
c) Berikan uterotonika ergometrin i.m. untuk memperkuat
involusi uterus.
d) Pertimbangkan pemberian antitetanus profilaksis.
e) Persiapan transfusi dan rujukan.
f) Bila dicurigai adanya sisa plasenta, lakukan pengeluaran
(digital atau dengan kuret tumpul besar).
g) Bila ada pus intraperitoneal lakukan drainase (kalau
perlu kolpotomi), ibu dalam posisi Fowler.
h) Bila tak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif
dan ada tanda peritonitis generalisata pasien dirujuk ke
RS untuk dilakukan laparotomi dan keluarkan pus. Bila
pada evaluasi uterus nekrotik dan septik lakukan
histerektomi subtotal.

f. KIE
1) Pencegahan:
a) Prinsip universal precaution.
b) Jaga kebersihan tempat persalinan.
2) Konseling ke pasien:
a) Jaga kebersihan diri.
b) Tidak menggunakan obat/ ramuan.

166
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
45. INFLUENZA
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 1302 ICD X : J00

a. Definisi
Influenza tergolong infeksi saluran napas akut (ISPA) yang
biasanya terjadi dalam bentuk epidemi. Disebut common cold
atau selesma bila gejala di hidung lebih menonjol, sementara
influenza dimaksudkan untuk kelainan yang disertai faringitis
dengan tanda demam dan lesu yang lebih nyata.

b. Penyebab
Banyak macam virus penyebabnya, antara lain Rhinovirus,
Coronavirus, virus Influenza A dan B, Parainfluenza,
Adenovirus. Biasanya penyakit ini sembuh sendiri dalam 3–5
hari.

c. Gambaran Klinis
1) Gejala sistemik khas berupa gejala infeksi virus akut yaitu
demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi, dan nafsu
makan hilang, disertai gejala lokal berupa rasa menggelitik
sampai nyeri tenggorokan, kadang batuk kering, hidung
tersumbat, bersin, dan ingus encer.
2) Tenggorokan tampak hiperemia.
3) Dalam rongga hidung tampak konka yang sembab dan
hiperemia.
4) Sekret dapat bersifat serus, seromukus atau mukopurulen
bila ada infeksi sekunder.

d. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


fisik.

e. Penatalaksanaan
1) Anjuran istirahat dan banyak minum sangat penting pada
influenza ini. Pengobatan simtomatis diperlukan untuk
menghilangkan gejala yang terasa berat atau mengganggu.
167
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
2) Parasetamol 500 mg tiap 8 jam untuk menghilangkan nyeri
dan demam.
3) Untuk anak, dosis parasetamol adalah 10 mg/kgBB/kali, tiap
6-8 jam.
4) Dekongestan efedrin.
5) Antibiotik amoksisilin atau eritromisin hanya diberikan bila
terjadi infeksi sekunder.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala.
2) Pencegahan: istirahat cukup, makan makanan bergizi.

168
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
46. KANDIDIASIS
Kompetensi : 4, 3A
Laporan Penyakit : 2001 ICD X : B37

a. Definisi
Kandidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur
Candida sp. Infeksi ini menyerang kulit, mukosa maupun alat
dalam. Beberapa faktor predisposisi seperti kehamilan, obesitas,
DM, pemakaian antibiotik, antiseptik atau kortikosteroid yang
lama, penyakit kronik (HIV-AIDS, TBC, tumor ganas), kurang
gizi, serta kulit yang kotor, lembab, dan basah mempermudah
terjadinya kandidiasis (kandidosis) ini.

b. Penyebab
Agen penyebab paling sering dari kandidiasis murni adalah
Candida albicans.
Bayi dapat terinfeksi melalui vagina saat dilahirkan, atau karena
dot yang tidak steril.

c. Gambaran Klinis
1) Kandidosis pada kulit memberikan keluhan gatal dan perih.
Kelainannya berupa bercak merah dengan maserasi di
daerah sekitar mulut, di lipatan payudara (intertriginosa)
dengan bercak merah yang terpisah di sekitarnya (satelit).
2) Bentuk kronik ditemukan di sela-sela jari kaki, sekitar anus
dan di kuku (paronikia atau onikomikosis).
3) Pada pasien DM biasanya terdapat sebagai vulvo vaginitis.

169
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
4) Tampilan di mukosa mulut dikenal sebagai guam atau oral
thrush yang diselaputi pseudomembran. Daya kecap pasien
berkurang disertai rasa metal.
5) Tampilan di usus dapat berupa diare.
6) Sel ragi dapat dilihat di bawah mikroskop dalam pelarut
KOH 10% atau pewarnaan Gram berupa hyfe.

d. Diagnosis
Bercak putih di mukosa mulut atau lidah, bercak merah pada
kulit dengan maserasi dan bercak satelit.

e. Penatalaksanaan
1) Faktor predisposisi yang dapat diatasi dihilangkan dahulu
dan kebersihan perorangan diperbaiki karena kalau tidak
penyakit ini akan bersifat kronik-residif.
2) Untuk lesi kulit menggunakan mikonazol krim.
3) Kandidosis di mukosa mulut atau lidah menggunakan
gentian violet 1% yang dibuat baru.
4) Cara mengobati luka/trush di mulut:
a) Cuci tangan sebelum mengobati
b) Bersihkan mulut dengan ujung jari yang terbungkus
kain bersih dan telah dicelupkan ke larutan air matang
hangat bergaram (1 gelas air hangat ditambah seujung
sendok teh garam)
c) Olesi rongga mulut dengan gentian violet 1% (bayi
0,25%) yang dibuat baru
d) Cuci tangan kembali
e) Obati luka atau bercak di mulut 3 kali sehari selama 7
hari.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: menghilangkan infeksi
2) Pencegahan: jaga higiene rongga mulut.
3) Jika gentian violet tertelan tidak berbahaya.

170
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
4) Alasan rujuk: kandidiasis oral pada dewasa, perlu dicurigai
kemungkinan immunocompromissed.

171
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
47. KARIES GIGI
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 1501 ICD X : K02

a. Definisi
Karies gigi merupakan suatu penyakit infeksi pada jaringan
keras gigi yang mengakibatkan kerusakan struktur gigi dan
bersifat kronik.

b. Penyebab
Hal –hal yang mendukung terjadinya karies gigi:
1) Gigi yang peka, yaitu gigi yang mengandung sedikit flour
atau memiliki lubang, lekukan maupun alur yang menahan
plak.
2) Bakteri yang paling sering adalah bakteri Streptococcus
mutans.
3) Dalam keadaan normal, di dalam mulut terdapat bakteri.
Bakteri ini mengubah semua makanan (terutama gula
sukrosa) menjadi asam. Bakteri, asam, sisa makanan dan
ludah bergabung membentuk bahan lengket yang disebut
plak, yang menempel pada gigi.
4) Plak paling banyak ditemukan di gigi geraham belakang.
Jika tidak dibersihkan maka plak akan membentuk mineral
yang disebut karang gigi (kalkulus, tartar). Plak dan
kalkulus bisa mengiritasi gusi sehingga timbul gingivitis.

c. Gambaran Klinis
Biasanya, suatu kavitasi di dalam enamel tidak menyebabkan
sakit, nyeri baru timbul jika pembusukan sudah mencapai
dentin. Nyeri yang dirasakan jika meminum dingin atau makan
permen menunjukkan bahwa pulpa masih sehat. Jika pengobatan
dilakukan pada stadium ini maka gigi bisa diselamatkan dan
tampaknya tidak akan timbul nyeri maupun kesulitan menelan.
Suatu kavitasi yang timbul di dekat atau telah mencapai pulpa
menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Nyeri ada
walaupun perangsangnya dihilangkan (contohnya air dingin).
Bahkan gigi terasa sakit meskipun tidak ada perangsang (sakit
gigi spontan).
172
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d. Diagnosis
Gigi berlubang.

e. Penatalaksanaan
1) Gigi dibersihkan dengan semprit air, lalu dikeringkan
dengan kapas dan masukkan pellet kapas yang ditetesi
eugenol.
2) Penanganan selanjutnya yaitu penambalan (restorasi)
dengan tumpatan tetap (amalgam, glass ionomer).
3) Jika dentin yang menutup pulpa sudah tipis maka dapat
dilakukan pulp capping indirect dengan menggunakan
pelapis dentin Ca(OH)2.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi,
menghilangkan gejala, mencegah komplikasi.
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut,
menggosok gigi tiap pagi setelah makan dan malam sebelum
tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun,
makan makanan yang berserat dan berair (sayur dan buah),
kurangi makanan yang mengandung gula.
3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi.

173
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
48. KECACINGAN
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 0703 ICD X : B76-B79

Manusia merupakan hospes defenitif beberapa nematoda usus


(cacing perut), yang dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan
masyarakat. Diantara cacing perut terdapat sejumlah spesies yang
ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths). Diantara
cacing tersebut yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris
vermicularis), cacing tambang (Ankylostoma Duodenale, Necator
americanus), dan cacing cambuk (Trichuris Trichuria). Jenis-jenis
cacing tersebut banyak ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia.
Pada umumnya telur cacing bertahan pada tanah yang lembab,
tumbuh menjadi telur yang infektif dan siap untuk masuk ke tubuh
manusia yang merupakan hospes defenitifnya.

ANKILOSTOMIASIS (Infeksi Cacing Tambang)


Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : ICD X : B76.0

a. Definisi
Infeksi cacing tambang adalah penyakit yang disebabkan cacing
Ancylostoma duodenale dan/atau Necator americanus. Cacing
tambang mengisap darah sehingga menimbulkan keluhan yang
berhubungan dengan anemia, gangguan pertumbuhan terutama
pada anak dan dapat menyebabkan retardasi mental.

b. Penyebab
Ancylostoma duodenale dan/atau Necator americanus.

c. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi antara beberapa minggu sampai beberapa
bulan tergantung dari beratnya infeksi dan keadaan gizi
pasien.
2) Pada saat larva menembus kulit, pasien dapat mengalami
dermatitis. Ketika larva lewat di paru dapat terjadi batuk-
batuk
3) Akibat utama yang disebabkan cacing ini ialah anemia yang
kadang demikian berat sampai menyebabkan gagal jantung.
174
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam feses
segar atau biakan feses dengan cara Harada-Mori.

e. Penatalaksanaan
1) Albendazol 400 mg dosis tunggal, tetapi tidak boleh
digunakan selama hamil.
2) Pirantel pamoat 10 mg/kgBB/hari selama 3 hari.
3) Mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 100 mg tiap 12 jam
selama 3 hari berturut-turut.
4) Sulfas ferosus 1 tablet tiap 8 jam untuk orang dewasa atau
10 mg/kgBB/kali untuk anak untuk mengatasi anemia.

f. KIE
Pencegahan penyakit ini meliputi sanitasi lingkungan dan
perbaikan higiene perorangan terutama penggunaan alas kaki.
Albendazol tidak boleh pada wanita hamil.

ASKARIASIS (Infeksi Cacing Gelang)


Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : ICD X : B77.9

a. Definisi
Askariasis atau infeksi cacing gelang adalah penyakit parasitik
yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides.

b. Penyebab
Ascaris lumbricoides.

c. Gambaran Klinis
1) Pada infeksi masif dapat terjadi gangguan saluran cerna
yang serius antara lain obstruksi total saluran cerna. Cacing
gelang dapat bermigrasi ke organ tubuh lainnya misalnya
saluran empedu dan menyumbat lumen sehingga berakibat
fatal.

175
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
2) Telur cacing menetas di usus menjadi larva yang kemudian
menembus dinding usus, masuk ke aliran darah lalu ke paru
dan menimbulkan gejala seperti batuk, bersin, demam,
eosinofilia, dan pneumonitis askaris. Larva menjadi cacing
dewasa di usus halus dalam waktu 2 bulan.
3) Cacing dewasa di usus halus memakan nutrien sehingga
berakibat kurang gizi dan gangguan tumbuh kembang.
4) Bila cacing masuk ke saluran empedu maka dapat
menyebabkan kolik dan ikterus.
5) Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi
malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi.
Sering kali infeksi ini baru diketahui setelah cacing keluar
spontan bersama feses atau dimuntahkan.
6) Bila cacing dalam jumlah besar menggumpal dalam usus
dapat terjadi obstruksi usus (ileus), yang merupakan
kedaruratan dan pasien perlu dirujuk ke rumah sakit.

d. Diagnosis
Diagnosis askariasis ditegakkan dengan menemukan Ascaris
dewasa atau telur Ascaris pada pemeriksaan feses.

e. Penatalaksanaan
1) Pirantel pamoat 10 mg/kgBB dosis tunggal.
2) Mebendazol 500 mg dosis tunggal. Tidak dianjurkan untuk
anak <2 tahun.
3) Albendazol 400 mg dosis tunggal, tetapi tidak boleh
digunakan oleh wanita hamil. Tidak dianjurkan untuk anak
<2 tahun. Merupakan obat pilihan pada gejala sistemik.
4) Bila pasien menderita beberapa spesies cacing, askariasis
harus diterapi lebih dahulu dengan pirantel pamoat.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: membunuh cacing dan mencegah
penyebaran
2) Efek samping: mebendazol dan albendazol dapat
menyebabkan eratic migration sehingga dapat mengganggu
pernapasan.
3) Pencegahan:
176
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a) Pengobatan massal 6 bulan sekali di daerah endemik
(>20%) atau di daerah yang rawan askariasis. Bila
<20% 1 tahun sekali
b) Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik,
higiene keluarga dan higiene pribadi seperti:
(1) Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, sehabis
bermain, setelah buang air besar.
(2) Menggunting kuku secara rutin tiap minggu.
(3) Tidak menggunakan feses sebagai pupuk tanaman.
(4) Sayuran segar (mentah) yang akan dimakan sebagai
lalapan, harus dicuci bersih dengan air mengalir.
(5) Buang air besar di jamban untuk melokalisir infeksi,
tidak di kali atau di kebun.

FILARIASIS
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 0702 ICD X : B74.9

a. Definisi
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular kronik
yang disebabkan sumbatan cacing filaria di kelenjar getah
bening, menimbulkan gejala klinis akut berupa demam berulang,
radang kelenjar getah bening, edema dan gejala kronik berupa
elefantiasis.

b. Penyebab
Di Indonesia ditemukan 3 spesies cacing filaria, yaitu
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori yang
masing-masing sebagai penyebab filariasis bancrofti, filariasis
malayi dan filariasis timori. Beragam spesies nyamuk dapat
berperan sebagai penular (vektor) penyakit tersebut.

c. Cara Penularan
Seseorang tertular filariasis bila digigit nyamuk yang
mengandung larva infektif cacing filaria. Nyamuk yang
menularkan filariasis adalah Anopheles, Culex, Mansonia,
Aedes dan Armigeres. Nyamuk tersebut tersebar luas di seluruh
Indonesia sesuai dengan keadaan lingkungan habitatnya
(got/saluran air, sawah, rawa, hutan).
177
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d. Gambaran Klinik
1) Filariasis tanpa gejala
Umumnya di daerah endemik, pada pemeriksaan fisik hanya
ditemukan pembesaran kelenjar limfe terutama di daerah
inguinal. Pada pemeriksaan darah ditemukan mikrofilaria
dalam jumlah besar dan eosinofilia.

2) Filariasis dengan peradangan


Demam, menggigil, sakit kepala, muntah dan lemah yang
dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
Organ yang terkena terutama saluran limfe tungkai dan alat
kelamin. Pada laki-laki umumnya terdapat funikulitis
disertai penebalan dan rasa nyeri, epididimitis, orkitis dan
pembengkakan skrotum. Serangan akut dapat berlangsung 1
bulan atau lebih. Bila keadaannya berat dapat menyebabkan
abses ginjal, pembengkakan epididimis, jaringan
retroperitoneal, kelenjar inguinal dan otot ileopsoas.

3) Filariasis dengan Penyumbatan


Pada stadium menahun terjadi jaringan granulasi yang
proliferatif serta pelebaran saluran limfe yang luas lalu
timbul elefantiasis. Penyumbatan duktus torasikus atau
saluran limfe perut bagian tengah mempengaruhi skrotum
dan penis pada laki-laki dan bagian luar alat kelamin pada
perempuan. Infeksi kelenjar inguinal dapat mempengaruhi
tungkai dan bagian luar alat kelamin. Elefantiasis umumnya
mengenai tungkai serta alat kelamin dan menyebabkan
perubahan yang luas. Bila saluran limfe kandung kemih dan
ginjal pecah akan timbul kiluria (keluarnya cairan limfe
dalam urin), sedangkan bila yang pecah tunika vaginalis
akan terjadi hidrokel atau kilokel, dan bila yang pecah
saluran limfe peritoneum terjadi asites yang mengandung
kilus. Gambaran yang sering tampak ialah hidrokel dan
limfangitis alat kelamin. Limfangitis dan elefantiasis dapat
diperberat oleh infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur.

e. Diagnosis

178
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Diagnosis filariasis dapat ditegakkan secara klinis. Diagnosis
dipastikan dengan menemukan mikrofilaria dalam darah tepi
yang diambil malam hari (pukul 22.00–02.00 dinihari) dan
dipulas dengan pewarnaan Giemsa. Pada keadaan kronik
pemeriksaan ini sering negatif.

f. Penatalaksanaan
1) Perawatan Umum
Antibiotik atau antimikotik untuk infeksi sekunder dan
abses.
Perawatan elefantiasis dengan mencuci kaki secara teratur
dan merawat luka. Melakukan elevasi tungkai pada waktu
duduk atau tidur.
2) Pengobatan Spesifik
Untuk pengobatan individual diberikan Diethyl
Carbamazine Citrate (DEC) 6 mg/kgBB 3 x sehari selama
12 hari.
Pengobatan massal (rekomendasi WHO) adalah DEC 6
mg/kgBB dan albendazol 400 mg (+ parasetamol) dosis
tunggal, sekali setahun selama 5 tahun.
Untuk program eliminasi filariasis gunakan buku petunjuk
program.

g. KIE
1) Tujuan pengobatan: menghilangkan parasit filaria dari
darah.
Mencegah berkembangbiaknya nyamuk sesuai program
PSN 3M (pemberantasan sarang nyamuk dengan menguras,
menutup, mengubur genangan air).
2) Efek samping DEC: pusing, mual dan demam yang
berkaitan dengan derajat mikrofilaremia dan biasanya
berlangsung selama 3 hari.
3) Alasan rujukan: jika ditemukan efek samping obat, filariasis
sistemik.

OKSIURIASIS
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : ICD X : B80

179
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a. Definisi
Infeksi cacing kremi (oksiuriasis, enterobiasis) adalah infeksi
parasit yang disebabkan Enterobius vermicularis. Parasit ini
terutama menyerang anak-anak; cacing tumbuh dan
berkembang biak di dalam usus.

b. Penyebab
Enterobius vermicularis.

c. Gambaran Klinis
1) Rasa gatal hebat di sekitar anus, kulit di sekitar anus
menjadi lecet atau kasar atau terjadi infeksi (akibat
penggarukan).
2) Rewel (karena rasa gatal).
3) Kurang tidur (biasanya karena rasa gatal yang timbul pada
malam hari ketika cacing betina bergerak ke daerah anus
dan meletakkan telurnya disana).
4) Napsu makan berkurang, berat badan menurun (jarang,
tetapi dapat terjadi pada infeksi berat) rasa gatal atau iritasi
vagina (pada anak perempuan, jika cacing masuk ke dalam
vagina).

d. Diagnosis
Cacing kremi dapat dilihat dengan mata telanjang pada anus
pasien, terutama dalam waktu 1–2 jam setelah anak tertidur pada
malam hari. Cacing kremi aktif bergerak, berwarna putih dan
setipis rambut. Telur maupun cacingnya bisa didapat dengan
menempelkan selotip di lipatan kulit di sekitar anus, pada pagi
hari sebelum anak terbangun. Kemudian selotip tersebut
ditempelkan pada kaca objek dan diperiksa dengan mikroskop.

e. Penatalakasanaan
1) Pirantel pamoat 10 mg/kgBB dosis tunggal diulang 2
minggu kemudian.
2) Mebendazol 100 mg dosis tunggal diulang 2 minggu
kemudian.

180
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3) Albendazol 400 mg dosis tunggal diulang 2 minggu
kemudian.

f. KIE
1) Seluruh anggota keluarga dalam satu rumah harus minum
obat tersebut karena infeksi dapat menyebar dari satu orang
kepada yang lainnya.
2) Pencegahan:
a) Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air
besar.
b) Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku.
c) Mencuci seprei minimal 2 kali/minggu.
d) Menghindari penggarukan daerah anus karena
mencemari jari-jari tangan dan tiap benda yang
dipegang/disentuhnya.

SISTOSOMIASIS
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : ICD X : B65

a. Definisi
Sistomiasis merupakan penyakit parasit (cacing) menahun yang
hidup di dalam pembuluh darah vena, sistem peredaran darah
hati, yaitu pada sistem vena porta, mesenterika superior. Dalam
siklus hidupnya cacing ini memerlukan hospes perantara sejenis
keong Oncomelania hupensis lindoensis yang bersifat amfibi.

b. Penyebab
Cacing trematoda. Penyakit ini ditularkan melalui bentuk
infektif larvanya yang disebut sekaria yang sewaktu-waktu
keluar dari keong tersebut di atas. Larva ini akan masuk ke
dalam tubuh manusia melalui pori-pori kulit yang kontak
dengan air yang mengandung sekaria. Penyakit ini telah lama
diketahui terdapat di Indonesia, pertama kali dilaporkan pada
tahun 1937 oleh Brug dan Tesch. Adapun cacing penyebabnya
adalah Scistosoma japonicum. Daerah endemis sistosomiasis di

181
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Indonesia sampai saat ini terbatas pada daerah Lindu, Napu, dan
Besoa di Propinsi Sulawesi Tengah.

c. Gambaran Klinis
1) Masa tunas 4 – 6 minggu.
2) Pasien memperlihatkan gejala umum berupa demam,
urtikaria, mual, muntah, dan sakit perut. Kadang dijumpai
sindroma disentri.
3) Dermatitis sistosoma terjadi karena serkaria menembus ke
dalam kulit.
4) Pada tingkat lanjut telur yang terjebak dalam organ-organ
menyebabkan mikroabses yang meninggalkan fibrosis
dalam penyembuhannya. Maka dapat terjadi sirosis
hepatitis, hepatosplenomegali, dan hipertensi portal yang
dapat fatal.

d. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan bila ditemukan telur dalam feses,
atau biopsi rektum atau hati. Uji serologi memastikan diagnosis.

e. Penatalaksanaan
Obat terpilih untuk sistosomiasis adalah prazikuantel, dosis
tunggal.

f. KIE
1) Pencegahan: air minum harus dimasak dahulu. Di daerah
endemis, air mandi didiamkan dulu minimal 2 hari dalam
penampungan air.
2) Alasan rujuk: bila terjadi komplikasi.
TAENIASIS / SISTISERKOSIS
Kompetensi : 4 dan 3A
Laporan Penyakit : ICD X : B68

a. Definisi
Taeniasis ialah penyakit zoonosis parasitik yang disebabkan
cacing dewasa Taenia (Taenia saginata, Taenia solium dan
Taenia asiatica). Infeksi larva T. solium disebut sistiserkosis

182
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
dengan gejala benjolan (nodul) di bawah kulit (subcutaneous
cysticercosis). Larva Taenia solium dapat menyebabkan
sistiserkosis otak dan sistiserkosis subkutan.

b. Penyebab
Cacing dewasa Taenia (Taenia saginata, Taenia solium dan
Taenia asiatica); larva T. solium.

c. Penularan
Sumber penularan taeniasis adalah hewan terutama babi, sapi
yang mengandung larva cacing pita (cysticercus). Sumber
penularan sistiserkosis adalah pasien taeniasis solium sendiri
yang fesesnya mengandung telur atau proglotid cacing pita dan
mencemari lingkungan. Seseorang dapat terinfeksi cacing pita
(taeniasis) bila makan daging yang mengandung larva yang
tidak dimasak dengan sempurna, baik larva T.saginata yang
terdapat pada daging sapi (cysticercus bovis) maupun larva
T.solium (cysticercus cellulose) yang terdapat pada daging babi
atau larva T.asiatica yang terdapat pada hati babi. Sistiserkosis
terjadi apabila telur T.solium tertelan oleh manusia. Telur T.
saginata dan T.asiatica tidak menimbulkan sistiserkosis pada
manusia.
Sistiserkosis merupakan penyakit yang berbahaya dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat di daerah endemis.
Hingga saat ini kasus taeniasis/sistiserkosis telah banyak
dilaporkan dan tersebar di beberapa propinsi di Indonesia,
terutama di propinsi Papua, Bali dan Sumatera Utara.

d. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi berkisar antara 8–14 minggu.
2) Sebagian kasus taeniasis tidak menunjukkan gejala
(asimtomatik).
3) Gejala klinis dapat timbul sebagai akibat iritasi mukosa usus
atau toksin yang dihasilkan cacing. Gejala tersebut antara
lain rasa tidak nyaman di lambung, mual, badan lemah,
berat badan menurun, napsu makan menurun, sakit kepala,
konstipasi, pusing, diare dan pruritus ani.
4) Pada sistiserkosis, biasanya larva cacing pita bersarang di
jaringan otak sehingga dapat mengakibatkan serangan

183
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
epilepsi. Larva juga dapat bersarang di subkutan, mata, otot,
jantung dan lain-lain.

e. Diagnosis
Diagnosis taeniasis dapat ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan feses secara mikroskopis. Adanya riwayat
mengeluarkan proglotid (segmen) cacing pita baik pada waktu
buang air besar maupun secara spontan. Pada pemeriksaan feses
ditemukan telur cacing Taenia.

f. Penatalaksanaan
Pasien taeniasis diobati dengan prazikuantel dengan dosis 10
mg/kg BB dosis tunggal. Cara pemberian prazikuantel adalah
sebagai berikut :
1) Satu hari sebelum pemberian prazikuantel, pasien
dianjurkan untuk makan makanan yang lunak tanpa minyak
dan serat.
2) Malam harinya setelah makan malam pasien menjalani
puasa.
3) Keesokan harinya dalam keadaan perut kosong pasien diberi
prazikuantel.
4) Dua sampai 2 1/2 jam kemudian diberikan garam Inggris
(MgSO4), 30 gram untuk dewasa dan 15 g atau 7,5 g untuk
anak anak, sesuai dengan umur yang dilarutkan dalam sirop
(pemberian sekaligus).
5) Pasien tidak boleh makan sampai buang air besar yang
pertama. Setelah buang air besar pasien diberi makan bubur.
6) Feses harus dikumpulkan dalam 24 jam kemudian dikirim
ke laboratorium untuk identifikasi adanya skoleks.
Keberhasilan pengobatan didasarkan atas ditemukannya
skoleks.

g. KIE
1) Pencegahan
a) Menjaga kebersihan lingkungan dan pribadi.
b) Mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air
besar.
c) Tidak makan daging mentah atau setengah matang.
184
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d) Buang air besar di jamban.
e) Memelihara ternak di kandang.
2) Alasan rujuk: Pasien neurosistiserkosis atau komplikasi
sebaiknya dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan lebih
lanjut.

TRIKURIASIS
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : ICD X : B79

a. Definisi
Trikuriasis atau infeksi cacing cambuk adalah penyakit yang
disebabkan oleh cacing Trichuris trichiura.

b. Penyebab
Trichuris trichiura.

c. Gambaran Klinis
1) Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis.
2) Infeksi berat terutama pada anak memberikan gejala diare
yang sering diselingi dengan sindroma disentri. Gejala
lainnya adalah anemia, berat badan turun dan kadang-
kadang disertai prolapsus rekti.

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur cacing di dalam
feses.

e. Penatalaksanaan
1) Mebendazol 100 mg tiap 12 jam selama 3 hari berturut-turut
atau dosis tunggal 500 mg
2) Albendazol 400 mg 3 hari berturut-turut. Tidak boleh
digunakan selama kehamilan.

f. KIE
Pencegahan trikuriasis sama dengan askariasis yaitu buang air
besar di jamban, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan
mentah (lalapan), pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan
perorangan seperti mencuci tangan sebelum makan.
185
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
49. KEILOSIS
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 1505 ICD X : K09-K13

a. Definisi
Keilosis adalah radang dangkal pada sudut mulut yang
menyebabkan sudut mulut pecah-pecah.

b. Penyebab
Biasanya karena defisiensi riboflavin, asam pantotenat dan
piridoksin. Kelainan serupa dapat pula disebabkan oleh mikosis
atau virus herpes.

186
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
c. Gambaran Klinis
Tampak fisur atau luka-luka berkerak di kedua sudut mulut yang
terasa perih bila terkena makanan pedas.

d. Diagnosis
Pecah-pecah pada sudut mulut.

e. Penatalaksanaan
1) Vitamin B-kompleks 1 tablet tiap 8 jam diberikan selama 1
minggu.
2) Dapat ditambahkan vitamin C 50 mg tiap 8 jam.

f. KIE
Pencegahan: konsumsi buah secara teratur.

187
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
50. KEJANG DEMAM
Kompetensi : 4 dan 3A
Laporan Penyakit : ICD X : R56.0

a. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal >38 oC) yang disebabkan oleh
suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5
tahun.
Anak yang pernah pengalami kejang tanpa demam, kemudian
kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam.
Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan
tidak termasuk dalam kejang demam.

b. Penyebab
Faktor risiko berulangnya kejang demam:
1) Riwayat kejang demam dalam keluarga
2) Usia <12 bulan
3) Temperatur yang rendah saat kejang
4) Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80%, sedangkan bila terdapat faktor tersebut
kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%.
Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada
tahun pertama.

c. Gambaran Klinis
Klasifikasi:
1) Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 10
menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang
berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal.
Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam.

2) Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)


Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
188
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a) Kejang lama, adalah kejang yang berlangsung >15
menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara
bangkitan kejang, anak tidak sadar. Kejang lama terjadi
pada 8% kejang demam.
b) Kejang fokal, adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang
umum didahului kejang parsial.
c) Kejang berulang, adalah kejang 2 kali atau lebih dalam
24 jam, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang
berulang terjadi pada 16% diantara anak yang
mengalami kejang demam.

d. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


fisik.
Pada kasus kejang untuk anak <18 bulan dianjurkan untuk
dilakukan pungsi lumbal, dan anak <12 bulan harus dilakukan
pungsi lumbal.

e. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dapat dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya
gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer,
elektrolit dan gula darah.

f. Diagnosis banding
Bila anak berumur kurang dari 18 bulan atau lebih dari 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain
misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi
bersama demam, perlu dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut.

g. Penatalaksanaan
1) Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada
waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang
dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam i.v. dengan dosis 0,3-
0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit
atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
189
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
2) Obat yang praktis dan dapat diberikan di rumah adalah
diazepam per rektal dosis 0,5-0,75 mg/kg; atau diazepam
per rektal 5 mg (untuk anak berat <10 kg atau umur < 3
tahun) dan 10 mg (untuk anak berat >10 kg atau umur >3
tahun).
Bila kejang belum berhenti, diazepam per rektal dosis yang
sama dapat diulang dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2x pemberian diazepam per rektal masih tetap
kejang, pasien harus dirujuk ke RS.
3) Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya
tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam
sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.
4) Pemberian obat saat demam:
a) Antipiretik (parasetamol, ibuprofen)
Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15
mg/kg/kali, dapat diberikan 4x sehari, tidak lebih dari
5x. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, tiap 6-8 jam.
b) Antikonvulsan
Diazepam oral dosis 0,3 mg/kg tiap 8 jam pada saat
demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada
30%-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal
dosis 0,5 mg/kg tiap 8 jam pada suhu >38,5 oC. Dosis
tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel
dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.
Fenobarbital dan karbamazepin pada saat demam tidak
berguna untuk mencegah kejang demam.
5) Pemberian obat rumat:
a) Pemberian obat rumat hanya diberikan bila kejang
demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu):
(1) Kejang lama > 15 menit
(2) Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum
atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis
Todd, cerebral palsy, retardasi mental,
hidrosefalus
(3) Kejang fokal
b) Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
(1) Kejang berulang >2x dalam 24 jam

190
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(2)Kejang demam terjadi pada bayi < 12 bulan
(3)Kejang demam > 4x per tahun
c) Pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus
selektif dan dalam jangka pendek. Pengobatan diberikan
selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan
secara bertahap selama 1-2 bulan. Obat pilihan: asam
valproat dosis 15-40 mg/kg/hari tiap 8-12 jam, atau
fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam tiap 12-24 jam.

h. KIE
1) Tujuan pengobatan: mengurangi/mencegah serangan.
2) Edukasi pada orang tua untuk mengurangi kecemasan:
a) Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya
mempunyai prognosis baik
b) Memberitahukan cara penanganan kejang
c) Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang
kembali
d) Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang
efektif tapi perlu diingat adanya efek samping obat.
3) Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang:
a) Tetap tenang dan tidak panik.
b) Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
c) Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan
kepala miring. Bersihkan muntahan atau lender di mulut
atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit,
jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
d) Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
e) Tetap bersama pasien selama kejang.
f) Berikan diazepam per rektal. Jangan berikan bila kejang
telah berhenti.
4) Bawa ke Puskesmas atau rumah sakit bila kejang
berlangsung 5 menit atau lebih.
5) Vaksinasi: sejauh ini tidak ada kontraindikasi untuk
melakukan vaksinasi terhadap anak yang mengalami kejang
demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat
jarang. Dianjurkan untuk memberi diazepam oral atau rektal
bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau

191
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
MMR. Beberapa dokter anak merekomendasikan
parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.
Efek samping obat: diazepam dosis tinggi dapat
menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat
pada 25-39% kasus.
6) Alasan rujuk: lihat penatalaksanaan.

51. KEPUTIHAN / FLUOR ALBUS (DUH TUBUH VAGINA)


Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 26 ICD X : N89.8

a. Definisi
Keluarnya cairan yang berlebihan dari dalam vagina disertai
dengan gatal/rasa terbakar pada vulva. Dapat disebabkan oleh
infeksi vagina (kolpitis) yang lebih bersifat encer dan radang
serviks (servisitis) yang bersifat muko-purulen.

b. Penyebab
Kolpitis sering disebabkan oleh trikomoniasis, kandidiasis dan
vaginosis bakterial, sedangkan servisitis sering disebabkan oleh
infeksi Neiserria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis.

c. Gambaran Klinis
1) Deteksi infeksi serviks berdasarkan gejala klinis sulit
dilakukan, karena sebagian besar wanita dengan gonore atau

192
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
klamidiasis yang menyebabkan infeksi serviks umumnya
asimtomatik.
2) Wanita dengan faktor risiko (mempunyai lebih dari 1 mitra
seksual atau mitra seksual sedang mengidap IMS dan
sanggama tidak menggunakan kondom) cenderung memiliki
risiko tinggi untuk terjadi infeksi serviks bila dibandingkan
dengan mereka yang tidak berisiko.

d. Diagnosis
1) Gejala duh tubuh (discharge) yang abnormal merupakan
petunjuk kuat infeksi vagina namun merupakan pertanda
lemah untuk infeksi serviks. Jadi semua wanita yang
menunjukkan tanda-tanda duh tubuh vagina (vaginal
discharge) agar diobati juga untuk trikomoniasis dan
bakterial vaginosis sekaligus.
2) Wanita dengan cairan tubuh yang berlebihan disertai dengan
faktor risiko perlu dipertimbangkan untuk diobati sebagai
servisitis yang disebabkan gonore dan klamidiasis.
3) Pemeriksaan secara mikroskopik sangat membantu
diagnosis untuk infeksi serviks.

e. Penatalaksanaan
Pengobatan sindroma duh tubuh vagina karena servisitis sesuai
dengan pedoman penatalaksanaan IMS yang diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal P2PL Kemenkes (Tabel 20 dan Tabel 21).

Tabel 20. Pengobatan Gonore Tanpa Komplikasi dan


Klamidiasis
Pengobatan Gonore Tanpa
Pengobatan Klamidiasis
Komplikasi
Pilihlah salah satu dari beberapa cara pengobatan yang dianjurkan dibawah ini
Siprofloksasin*) 500 mg perDoksisiklin**100 mg per oral tiap 6 jam selama 7 hari
oral, dosis tunggal
Pilihan pengobatan lain

193
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Tetrasiklin**) 500 mg per oral tiap 6 jam, selama 7 hari,
atau
Eritromisin 500 mg tiap 6 jam selama 7 hari (bila ada
kontra-indikasi tetrasiklin)

*) Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, anak usia
<12 tahun dan remaja
**)Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan anak
usia < 12 tahun

Tabel 21. Pengobatan Sindroma Duh Tubuh Vagina karena


Vaginitis (pengobatan program)
Bakterial Vaginosis Kandidosis Vagina
Trikomoniasis
( bukan IMS ) (bukan IMS)
Pilih salah satu dari beberapa cara pengobatan yang dianjurkan dibawah ini

Metronidazol, 2 g perMetronidazol 400 atau 500 mg,


oral, dosis tunggal 2 x sehari, selama 7 hari
Pilihan pengobatan lain
Metronidazol 400 atauMetronidazol, 2 g per oral, dosisNistatin tab vagina100.000
500 mg per oral, 2 xtunggal UI, tiap hari, selama 14 hari
sehari, selama 7 hari

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: pengobatan penyakit dan pemutusan
rantai penularan.
2) Efek samping metronidazol: mual dan lemas. Tetrasiklin
dan doksisiklin tidak boleh diberikan pada ibu hamil.
3) Pencegahan: hindari kontak langsung.
4) Alasan rujuk: jika ditemukan keganasan.

194
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
52. KERACUNAN MAKANAN DAN INSEKTISIDA

BOTULISMUS
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 1903 ICD X : A05.1

a. Definisi
Botulismus merupakan keracunan akibat mengkonsumsi
makanan yang tercemar toksin yang dihasilkan oleh
C.botulinum. Keracunan ini ditandai oleh kelainan
neuromuskuler, jarang terjadi diare. Kematian sekitar 65%.

b. Penyebab
195
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Makanan yang tercemar toksin yang dihasilkan oleh
C.botulinum.

c. Gambaran Klinis
1) Inkubasi penyakit ini kira-kira 18–36 jam, namun dapat
beragam dari beberapa jam sampai 3 hari.
2) Tanda awal adalah rasa lelah dan lemas, serta gangguan
penglihatan.
3) Diare lebih sering tidak ada.
4) Gejala neurologi seperti disartria dan disfagia dapat
menimbulkan pneumonia aspirasi.
5) Otot-otot tungkai, lengan dan badan lemah.
6) Sementara itu daya rasa (sensoris) tetap baik, dan suhu tidak
meningkat.
7) Diagnosis banding yang perlu dipikirkan adalah
poliomielitis, miastenia gravis, dan ensefalitis virus.

d. Diagnosis
Pada anamnesis didapatkan riwayat konsumsi makanan tertentu.
Pemeriksaan fisik ditemukan defisit neurologi.

e. Penatalaksanaan
1) Tindakan penanggulangan: bila perlu, berikan pernapasan
buatan. Jika tidak muntah, usahakan untuk muntah. Jika
perlu, lakukan bilas lambung.
2) Bila terdapat tanda-tanda syok pasang infus glukosa 5% dan
kalau perlu lakukan pernapasan buatan.
3) Pengobatan spesifik, terutama bila timbul gejala dengan
antitoksin.
4) Setelah penanganan kegawatan, pasien harus segera dirujuk
ke rumah sakit.
KERACUNAN BONGKREK
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 1903 ICD X : T62

a. Definisi
Racun bongkrek dihasilkan oleh Bacillus cocovenevans, yaitu
kuman yang tumbuh dari bongkrek yang diproses kurang baik.
196
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Pertumbuhan kuman ini dapat dihambat oleh suasana asam
(diolah dengan daun calincing).

b. Penyebab
Keracunan tempe bongkrek disebabkan oleh toksoflavin dan
asam bongkrek yang dihasilkan oleh Pseudomonas cocovenans
yang dikenal juga sebagai bakteri asam bongkrek. Toksin
tersebut dihasilkan dalam media yang mengandung ampas
kelapa.

c. Gambaran Klinis
1) Gejala timbul 4–6 jam setelah makan tempe bongkrek yaitu
berupa mual dan muntah.
2) Pasien mengeluh sakit perut, sakit kepala dan melihat ganda
(diplopia).
3) Pasien lemah, gelisah dan berkeringat dingin kadang disertai
gejala syok.
4) Pada hari ke-3 sklera menguning, pembesaran hati dan urin
keruh dengan protein (+).

d. Diagnosis
Riwayat konsumsi tempe bongkrek.

e. Penatalaksanaan
1) Pasien harus dirujuk ke rumah sakit, sementara itu bila
pasien masih sadar usahakan mengeluarkan sisa makanan.
2) Berikan norit 20 tablet (digerus dan diaduk dengan air
dalam gelas) sekaligus, dan ulangi 1 jam kemudian.
3) Kalau perlu atasi syok dengan infus glukosa 5% dan
pernapasan buatan.
4) Tidak ada antidotum spesifik.
5) Pasien dirangsang secara mekanis agar muntah. Bila tidak
berhasil lakukan bilas lambung di rumah sakit.

f. KIE
Perhatikan warna tempe,bila jamur tidak tumbuh maka harus
dibuang.
KERACUNAN JENGKOL
Kompetensi : 3B
197
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Laporan Penyakit : 1903 ICD X : T62

a. Definisi
Keracunan akibat terjadinya pengendapan kristal asam jengkol
di saluran kemih. Ciri orang yang rentan pengendapan kristal
asam jengkol ini belum dapat ditentukan.

b. Penyebab
Asam Jengkolat.

c. Gambaran Klinis
1) Bau khas jengkol tercium dari mulut dan urin pasien.
2) Timbul kolik ginjal seperti pada batu ginjal.
3) Pasien mengeluh nyeri sewaktu buang air kecil.
4) Urin pasien merah karena darah (hematuria). Secara
mikroskopis, selain eritrosit tampak kristal asam jengkol
seperti jarum.
5) Dalam keadaan berat terdapat anuria dan mungkin pasien
pingsan karena menahan sakit.

d. Diagnosis
Hematuria, nyeri pada saat buang air kecil.

e. Penatalaksanaan
1) Keracunan ringan dapat diobati dengan minum banyak dan
pemberian Natrium bikarbonat 2 g per oral 4 x sehari
sampai gejala hilang.
2) Pada keracunan berat dengan anuria pasien perlu dirujuk.

f. KIE
Pencegahan: disarankan tidak mengkonsumsi makanan tersebut
berlebihan.

KERACUNAN SINGKONG
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 1903 ICD X : T62

a. Definisi
198
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Keracunan singkong adalah keadaan sakit yang timbul setelah
makan singkong yang ditandai oleh kesadaran yang menurun
dan sianosis. Beberapa jenis singkong mengandung cukup
banyak sianida yang mungkin menimbulkan keracunan. Tanpa
analisa kandungan sianida tidak dapat dipastikan singkong mana
yang berbahaya bila dimakan kecuali dari rasanya.

b. Penyebab
Singkong yang mengandung sianida (HCN).

c. Gambaran Klinis
1) Tanda keracunan timbul akut kira-kira setengah jam setelah
makan singkong beracun.
2) Gejala berawal dengan pusing dan muntah.
3) Dalam keadaan yang berat pasien sesak napas dan kesadaran
menurun.
4) Bibir, kuku, kemudian muka dan kulit berwarna kebiruan
(sianosis). Sianosis perlu dibedakan dengan
methaemoglobinemia yang timbul karena keracunan sulfa,
DDS, nitrat atau nitrit, yang memerlukan pengobatan lain
(metilen-biru).

d. Diagnosis
Berdasarkan tanda dan gejala klinis pada pasien dengan riwayat
makan singkong.

e. Penatalaksanaan
1) Berikan Na-tiosulfat 25% 20 ml secara i.v. perlahan dan
diulangi tiap 7-10 menit sampai gejala teratasi. Dosis total
diberikan sampai pasien bangun, jumlahnya bergantung
pada beratnya gejala.
2) Berikan oksigen dan pernapasan buatan bila terdapat depresi
napas.
3) Pasien perlu diobservasi 24 jam dan dikirim ke rumah sakit
bila keracunannya berat.

f. KIE

199
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Kenali tanda-tanda singkong beracun: rasa pahit. Bila
memberikan singkong pada anak-anak, orang tua harus
memeriksa dulu. Bila ada kasus keracunan pada salah satu
anggota keluarga, periksakan juga anggota keluarga lainnya.

200
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
KERACUNAN INSEKTISIDA
Semua insektisida bentuk cair dapat diserap melalui kulit dan usus
dengan sempurna. Jenis yang paling sering menimbulkan keracunan
di Indonesia adalah golongan organofosfat dan organoklorin.
Golongan karbamat efeknya mirip efek organofosfat, tetapi jarang
menimbulkan kasus keracunan.
Masih terdapat jenis pestisida lain seperti racun tikus (antikoagulan
dan seng fosfit) dan herbisida (parakuat) yang juga sangat toksik.
Kasus keracunan golongan ini jarang terjadi. Penatalaksanaannya
dapat dilihat dalam “ Pedoman Pengobatan Keracunan Pestisida”
yang diterbitkan oleh Bagian Farmakologi FKUI.
KERACUNAN GOLONGAN ORGANOFOSFAT
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 1902 ICD X : T60

a. Definisi
Keracunan organofosfat adalah sakit yang disebabkan oleh
tertelannya zat golongan organofosfat. Golongan organofosfat
bekerja selektif, tidak persisten dalam tanah, dan tidak
menyebabkan resistensi pada serangga. Golongan organofosfat
bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim kolinesterase,
sehingga asetilkolin tidak terhidrolisa.

b. Penyebab
Keracunan pestisida golongan organofosfat disebabkan oleh
asetilkolin yang berlebihan, mengakibatkan perangsangan terus
menerus saraf muskarinik dan nikotinik.
c. Gambaran Klinis
Gejala klinis keracunan pestisida golongan organofosfat pada:
1) Mata: pupil mengecil dan penglihatan kabur.
2) Pengeluaran cairan tubuh: pengeluaran keringat meningkat,
lakrimasi, salviasi dan juga sekresi bronchial.
3) Saluran cerna: mual, muntah, diare dan sakit perut.
4) Saluran napas: batuk, bersin, dispnea dan dada sesak.
5) Kardiovaskular: bradikardia dan hipotensi.
6) Sistem saraf pusat: sakit kepala, bingung, berbicara tidak
jelas, ataksia, demam, konvulsi dan koma.

201
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
7) Otot-otot: lemah, fasikulasi dan kram.
8) Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain edema paru,
pernapasan berhenti, blockade atrioventrikuler dan konvulsi.
d. Diagnosis
Pada anamnesis ditemukan riwayat tertelan insektisida golongan
organofosfat, baik disengaja (pasien depresi berat dan mencoba
bunuh diri) atau tidak disengaja (kecelakaan).
e. Penatalaksanaan
Keracunan akut :
1) Tindakan gawat darurat:
a) Jaga jalan napas dengan tindakan resusitasi.
b) Pantau tanda-tanda vital.
c) Berikan pernapasan buatan dengan alat dan beri
oksigen.
d) Berikan atropin sulfat 2 mg i.v., ulangi tiap 3–8 menit
sampai gejala keracunan parasimpatik terkendali.
e) Sebelum gejala timbul atau setelah diberi atropin sulfat,
kulit dan selaput lendir yang terkontaminasi harus
dibersihkan dengan air dan sabun.
f) Jika tersedia Naso Gastric Tube, lakukan bilas lambung
dengan air.

2) Tindakan umum:
a) Sekresi paru disedot dengan kateter.
b) Hindari penggunaan obat morfin, aminofilin, golongan
barbital, golongan fenotiazin dan obat-obat yang
menekan pernapasan.
f. KIE
Jika keracunan melalui mulut dan kadar enzim kolinesterase
menurun, maka perlu dihindari kontak lebih lanjut sampai kadar
kolinesterase kembali normal.
Pencegahan: konsultasi dengan psikiater pada pasien depresi.
Keluarga perlu berhati-hati dalam penyimpanan bahan-bahan
pestisida atau insektisida.

202
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
KERACUNAN ORGANOKLORIN
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 1902 ICD X : T60

a. Definisi
Keracunan organoklorin adalah sakit yang disebabkan oleh
tertelannya bahan yang mengandung pestisida golongan
organoklorin. Pestisida golongan organoklorin pada umumnya
merupakan racun perut dan racun kontak yang efektif terhadap
larva, serangga dewasa dan kadang-kadang juga terhadap
kepompong dan telurnya. Penggunaan pestisida golongan
organoklorin makin berkurang karena pada penggunaan dalam
waktu lama residunya persisten dalam tanah, tubuh hewan dan
jaringan tanaman.

b. Penyebab
Pestisida golongan organoklorin.
c. Gambaran Klinis
1) Gejala keracunan turunan halobenzen dan analog, terutama
muntah, tremor dan konvulsi.
2) Pada keracunan akut melalui mulut disebabkan oleh 5 g
DDT akan menyebabkan muntah-muntah berat setelah 0,5–1
jam, selain kelemahan dan mati rasa pada anggota badan
yang terjadi secara bertahap, rasa takut, tegang dan diare
juga dapat terjadi.
3) Dengan 20 g DDT dalam waktu 8–12 jam kelopak mata
akan bergerak-gerak disetai tremor otot mulai dari kepal dan
leher, selanjutnya konvulsi klonik kaki dan tangan seperti
gejala keracunan pada strichnin. Nadi normal, pernapasan
mula-mula cepat kemudian perlahan.
d. Diagnosis
Riwayat kontak dengan insektisida golongan organoklorin.
e. Penatalaksanaan
Penanggulangan keracunan pestisida golongan keracunan
organoklorin pada umumnya:
1) Tindakan gawat darurat:
203
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a) Pantau tanda-tanda vital.
b) Berikan minum air sebanyak-banyaknya sampai
muntah.
c) Berikan karbon aktif sebanyak 20 tablet yang digerus
dan dicampur dengan air,
d) Bilas lambung dengan air 2–4 L. Kemudian berikan
obat pencuci perut.
e) Pembersihan usus, juga dapat dilakukan dengan 200 mL
larutan manitol 20 % dengan melalui pipa naso gastrik
(NGT),
f) Jangan diberi lemak atau minyak.
g) Jika kulit juga terkena, bersihkan dengan air dan sabun.
2) Tindakan umum:
a) Untuk mengatasi konvulsi, berikan diazepam 10 mg
secara i.v perlahan. Jika belum menunjukkan hasil
berikan obat yang memblokade neuromuskuler.
b) Atasi hiperaktivitas dan tremor, berikan Natrium
fenobarbital 100 mg s.k tiap jam sampai mencapai
jumlah 0,5 g atau sampai konvulsi terkendali.
c) Jangan diberi obat stimulan terutama epinefrin, karena
dapat menimbulkan fibrilasi ventrikuler.

f. KIE
Tindakan pencegahan :
1) Pestisida sebaiknya disimpan dalam tempat aslinya dengan
etiket yang jelas dan disimpan di tempat yang tidak
terjangkau oleh anak-anak, serta jauh dari makanan dan
minuman.
2) Pada waktu menggunakan pestisida, perlu diikuti dengan
cermat dan tepat, sesuai prosedur dan petunjuk lain yang
telah ditentukan.
3) Hindari kontak atau menghisap pestisida.
4) Pada waktu bekerja dengan pestisida, sebaiknya tidak
sambil makan, minum atau merokok.
5) Tempat atau wadah pestisida yang telah kosong, sebaiknya
dibuang atau dimusnahkan, demikian juga pestisida yang

204
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
tidak berlabel atau etiketnya sudah rusak, sehingga tidak
dapat diketahui dengan pasti.
6) Tergantung pada tingkat toksisitasnya, jika bekerja yang
berhubungan dengan pestisida, sebaiknya tidak lebih dari 4–
5 jam.

53. KERATITIS (ULKUS KORNEA)


Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 1004 ICD X : H16

a. Definisi
Keratitis (Ulkus Kornea) adalah suatu keadaan infeksi pada
kornea yang dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, virus
dan faktor imunologis. Pada umumnya didahului oleh keadaan
trauma pada kornea, penggunaan lensa kontak, pemakaian
kortikosteroid topikal yang tidak terkontrol.

b. Penyebab
1) Infeksi
2) Non Infeksi.

c. Gambaran Klinis
1) Pasien datang dengan keluhan penurunan tajam penglihatan
dan mata merah.
205
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
2) Rasa nyeri dan mengganjal pada mata.
3) Didapatkan lesi putih di kornea.
4) Fotofobia
5) Mata berair, keluarnya sekret

d. Diagnosis
Penurunan visus, lesi pada kornea, palpebra spasme, epifora dan
sekret.

e. Penatalaksanaan
Sebagai terapi awal, berikan kloramfenikol tetes mata tiap 4
jam, sekurang-kurangnya selama 3 hari.
Segera rujuk ke spesialis mata tanpa dilakukan pemasangan
verban.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: mengatasi infeksi sesuai dengan
penyebab dan mencegah kebutaan yang lebih berat.
2) Perhatian:
a) Jangan diberikan obat yang mengandung kortikosteroid
topikal.
b) Jangan mencuci mata dengan air sirih
c) Hentikan penggunaan lensa kontak.

206
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
54. KOLERA
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 0101 ICD X : A00

a. Definisi
Kolera adalah suatu infeksi usus kecil karena bakteri Vibrio
cholerae.
Kolera menyebar melalui air yang diminum, makanan laut atau
makanan lainnya yang tercemar oleh kotoran orang yang
terinfeksi.

b. Penyebab
Bakteri kolera menghasilkan racun yang menyebabkan usus
halus melepaskan sejumlah besar cairan yang banyak
mengandung garam dan mineral. Karena bakteri sensitif
terhadap asam lambung, maka pasien kekurangan asam lambung
cenderung menderita penyakit ini.

c. Gambaran Klinis
1) Gejala dimulai dalam 1–3 hari setelah terinfeksi bakteri,
bervariasi mulai dari diare ringan-tanpa komplikasi sampai
diare berat-yang bisa berakibat fatal. Beberapa orang pasien
yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala.
2) Penyakit biasanya dimulai dengan diare akut encer seperti
air cucian beras yang terjadi secara tiba-tiba, tanpa rasa sakit
disertai mual muntah-muntah.
3) Pada kasus yang berat, diare menyebabkan kehilangan
cairan sampai 1 liter dalam 1 jam. Kehilangan cairan dan
garam yang berlebihan menyebabkan dehidrasi disertai rasa
haus yang hebat, kram otot, lemah dan penurunan produksi
air kemih.
4) Banyaknya cairan yang hilang dari jaringan menyebabkan
mata menjadi cekung dan kulit jari-jari tangan menjadi
keriput.
5) Jika tidak diobati, ketidakseimbangan volume darah dan
peningkatan konsentrasi garam bisa menyebabkan gagal
ginjal, syok dan koma.
6) Gejala biasanya menghilang dalam 3–6 hari. Kebanyakan
pasien akan terbebas dari organisme ini dalam waktu 2
207
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
minggu, tetapi beberapa diantara pasien menjadi pembawa
dari bakteri ini.

d. Diagnosis
1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.
2) Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan
terhadap apusan rektum (rektal swab) atau contoh feses
segar.

e. Penatalaksanaan
Pengobatan:
1) Yang sangat penting adalah segera mengganti kehilangan
cairan, garam dan mineral dari tubuh, dengan menilai
derajat dehidrasi, dengan pemberian oralit sebanyak
perkiraan cairan diare yang keluar. Pemberian cairan
mengacu pada Bab Diare Akut Non Spesifik.
2) Untuk pasien yang mengalami dehidrasi berat, cairan
rehidrasi diberikan melalui infus (cairan Ringer Laktat atau
bila tidak tersedia bisa menggunakan larutan NaCl 0,9%).
Di daerah wabah, kadang-kadang cairan diberikan melalui
selang yang dimasukkan lewat hidung menuju ke lambung.
3) Penggunaan antibiotik
a) Tetrasiklin, dewasa: 500 mg tiap 6 jam selama 3 hari.
b) Trimetoprim (TMP) Sulfamethoxazole (SMX):
Anak-anak: TMP 5 mg/kgBB dan SMX 25 mg/kgBB
(tiap 12 jam selama 3 hari)
Dewasa: TMP 160 mg dan SMX 800 mg (tiap 12 jam
selama 3 hari).
4) Bila dehidrasi sudah diatasi tujuan pengobatan selanjutnya
adalah menggantikan jumlah cairan yang hilang karena
diare dan muntah. Makanan padat bisa diberikan setelah
muntah-muntah berhenti dan nafsu makan sudah kembali.
5) Pengobatan awal dengan tetrasiklin atau antibiotik lainnya
bisa membunuh bakteri dan biasanya akan menghentikan
diare dalam 48 jam.
6) Lebih dari 50% pasien kolera berat yang tidak diobati
meninggal dunia.
208
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Kurang dari 1% pasien yang mendapat penggantian cairan
yang adekuat, meninggal dunia.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: eradikasi kuman, mencegah
komplikasi dehidrasi dan mencegah penularan.
2) Pencegahan:
a) Penjernihan cadangan air dan pembuangan feses yang
memenuhi standar sangat penting dalam mencegah
terjadinya kolera.
b) Usaha lainnya adalah meminum air yang sudah terlebih
dahulu dimasak dan menghindari sayuran mentah atau
ikan dan kerang yang dimasak tidak sampai matang.
3) Petugas wajib melaporkan kasus dugaan kolera kepada
Dinas Kesehatan setempat.

209
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
55. KONJUNGTIVITIS BAKTERIAL
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 1005 ICD X : H10

a. Definisi
Konjungtivitis bakterial sering dijumpai pada anak-anak,
biasanya dapat sembuh sendiri.

b. Penyebab
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh bakteri Staph.
epidermidis, Staph. aureus, Strep. pneumoniae dan H. influenza.
Penyebaran infeksi melalui kontak langsung dengan sekret air
mata yang terinfeksi.

c. Gambaran Klinis
1) Mata terlihat merah.
2) Rasa mengganjal dan panas pada mata.
3) Sekret yang banyak, pada saat bangun tidur kelopak mata
lengket dan sulit dibuka.
4) Kelopak mata bengkak dan berkrusta. Pada keadaan awal
sekret berbentuk serosa (watery) menyerupai konjungtivitis
virus, namun dalam beberapa hari sekret menjadi
mukopurulen, kadang disertai dengan air mata berwarna
merah (darah).
5) Injeksi konjungtiva dapat terlihat dengan jelas.
6) Pada pemeriksaan dengan membuka kelopak mata bawah
dan membalik kelopak mata atas, tampak selaput (membran)
yang dapat dilepaskan dengan menggunakan cottonbuds
(sebelumnya diberikan tetes mata anestesi topikal).

d. Diagnosis
Sekret mukopurulen.

e. Penatalaksanaan
1) Pemberian antibiotik dapat diberikan dalam bentuk tetes
mata dan salep mata. Kloramfenikol tetes mata 1-2 tetes tiap
4-6 jam. Salep mata kloramfenikol dapat diberikan untuk
mendapatkan konsentrasi yang tinggi. Diberikan sebelum
210
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
tidur agar tidak mengganggu aktivitas sehari-hari, karena
pemberian salep mata dapat mengganggu penglihatan.
2) Antibiotik oral (amoksisilin) dapat diberikan bila radang
meluas (terutama pada pasien anak).
f. KIE
1) Tujuan pengobatan: menyembuhkan infeksi dan mencegah
komplikasi.
2) Pembersihan sekret dengan kassa steril yang dibasahi
dengan NaCl atau air matang.
3) Cara pemakaian tetes mata: setelah diteteskan, tutup mata,
tekan daerah punctum lakrimal (kantus medial) di daerah
nasal.

211
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
56. KONJUNGTIVITIS VIRAL
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 1005 ICD X : B30

a. Definisi
Konjungitivitis Viral adalah peradangan pada konjungtiva yang
biasanya disebabkan oleh Adenovirus. Penyakit ini sangat tinggi
tingkat penyebarannya, melalui jalan napas atau sekresi air
mata, baik secara langsung maupun melalui bahan pengantar
seperti handuk, sapu tangan yang digunakan bersama.

b. Penyebab
Infeksi ini disebabkan Adenovirus.

c. Gambaran Klinis
1) Timbul secara akut
2) Mata merah dan berair, biasanya mengenai dua mata
3) Pada konjungtiva terlihat folikel dan sekret serosa (warna
bening)
4) Pada kasus berat dapat terjadi subkonjungtiva, kemosis dan
pseudomembran
5) Bila terjadi keratitis, akan terlihat lesi putih di kornea
berbentuk pungtata di epitel atau sub-epitel, dalam keadaan
berat dapat terjadi di stroma kornea.
6) Dapat terjadi edema kelopak mata
7) Dapat disertai dengan demam, batuk pilek
8) Dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening preaurikuler

d. Diagnosis
Edema palpebra, konjungtiva merah, sekret serosa, tidak terjadi
penurunan visus.

e. Penatalaksanaan
1) Pada umumnya penyakit ini dapat sembuh sendiri.
2) Dapat ditambahkan antibiotik topikal seperti kloramfenikol
tetes mata bila terdapat tanda infeksi sekunder, seperti sekret
menjadi purulen.

212
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
f. KIE
1) Tujuan pengobatan: penyembuhan dan mencegah
komplikasi.
2) Pasien harus istirahat, kurangi aktivitas membaca atau
menonton tv.
3) Pencegahan: hindari kontak dengan penderita.
4) Pemberian kortikosteriod topikal merupakan kontraindikasi.
5) Jika dalam 5-7 hari tidak ada perbaikan, rujuk ke dokter
spesialis mata.

213
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
57. KONJUNGTIVITIS VERNAL
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 1004 ICD X : H10

a. Definisi
Konjungtivitis vernal adalah peradangan pada konjungtiva yang
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas (atopi).
Keratokonjungtivitis vernal biasanya bersifat rekuren, bilateral
dan terjadi pada masa anak-anak yang tinggal di daerah kering
dan hangat. Onset terjadi pada usia > 5 tahun dan berkurang
setelah masa pubertas. Pada umumnya didapatkan riwayat atopi
pada pasien atau keluarga.

b. Penyebab
Riwayat Alergi/Atopi.

c. Gambaran Klinis
1) Gejala utama yang paling sering dikeluhkan adalah rasa
gatal yang diikuti dengan lakrimasi, fotopobia, mengganjal
dan rasa terbakar.
2) Pada anak dijumpai frekuensi berkedip yang meningkat.
3) Pada pemeriksaan dapat terlihat papil di konjungtiva tarsal
superior.
4) Dalam keadaan berat dapat dijumpai Giant Papillae atau
Cobblestone (bila kelopak mata atas dibalik, terlihat
benjolan yang multipel).
5) Di daerah limbus, gambaran klinis yang terlihat adalah
nodul berwarna putih (trantas dot) dan bila kornea terkena
dapat terjadi Shield Ulceration (adanya ulkus di tengah
kornea yang noninfeksius, karena gesekan dari cobblestone).

d. Penatalaksanaan
1) Mast cell stabilizers seperti Natrium kromoglikat tetes mata
2% 1-2 tetes tiap 6-8 jam dapat diberikan untuk mencegah
eksaserbasi akut.
2) Pemberian antihistamin oral dan steroid oral.

e. KIE
214
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
1) Tujuan pengobatan: menghilangkan gejala dan mengurangi
rekurensi.
2) Hindari faktor pencetus seperti debu, serbuk bunga,
perubahan iklim
3) Jangan pernah memberikan kortikosteroid topikal untuk
jangka panjang.
4) Alasan rujukan: bila masih terjadi eksaserbasi akut, kornea
telah terkena atau lebih dari 2 minggu tidak ada perbaikan,
segera rujuk ke dokter spesialis mata.

215
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
58. KONJUNGTIVITIS PURULENTA NEONATORUM
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 1005 ICD X : A54.3

a. Definisi
Radang konjungtiva yang terjadi pada bayi yang baru lahir.
Gejala muncul beberapa jam sampai 28 hari pasca lahir.
Biasanya terjadi pada partus normal.

b. Penyebab
Bayi baru lahir tertular infeksi seperti gonore, klamidia oleh
ibunya ketika melewati jalan lahir.

c. Gejala Klinis
1) Kelopak mata bengkak dan konjungtiva hiperemia hebat.
2) Sekret mata purulen yang kadang bercampur darah.
3) Hasil pemeriksaan sekret atau kerokan konjungtiva dengan
pewarnaan Gram memperlihatkan banyak sekali sel
polimorfonuklear. Kuman N.gonorrhoeae khas tampak
sebagai kokus gram negatif yang berpasangan seperti biji
kopi, tersebar di luar dan di dalam sel.

d. Diagnosis
Pada anamnese didapatkan riwayat keputihan ibu pada saat
hamil.

e. Penatalaksanaan
1) Lakukan pemeriksaan gram pada sekret. Jika ditemukan
gonore, pasien harus dirawat di puskesmas perawatan dan
dipisahkan dari pasien lain untuk menghindari penularan.
Jika non-gonore, dapat dipertimbangkan untuk rawat jalan
di puskesmas
2) Pengobatan harus segera diberikan dengan intensif karena
gonore ini dapat menyebabkan perforasi kornea yang
berakhir dengan kebutaan.
3) Sekret harus dibersihkan tiap jam dengan kassa steril yang
dibasahi dengan NaCl. Kelopak mata dibuka saat

216
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
dibersihkan untuk memastikan sudah tidak ada sekret saat
memberikan salep mata.
4) Kemudian diberi kloramfenikol salep mata tiap jam (untuk
infeksi gonore) atau oksitetrasiklin salep mata tiap 6 jam
(untuk infeksi non-gonore) sampai sekret yang mukopurulen
tidak timbul lagi.
5) Secara sistemik diberikan penisilin prokain 50.000
UI/kgBB/hari i.m. dosis tunggal selama 5 hari (untuk infeksi
gonore).
6) Bila pemeriksaan sekret telah negatif 3 hari berturut-turut,
maka pasien boleh dipulangkan dan pemberian salep mata
diteruskan 3 kali sehari. Seminggu kemudian bila
pemeriksaan sekret masih negatif pengobatan dihentikan
(untuk infeksi gonore).

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk menyembuhkan dan menghindari
komplikasi.
2) Kedua orang tua sebagai sumber infeksi juga harus diperiksa
dan diobati (lihat penatalaksanaan gonore).
3) Penyakit ini sangat menular, hati-hati untuk keluarga dan
tenaga medis.
4) Tiap bayi baru lahir dengan metode partus normal, diberikan
tetes mata atau salep mata kloramfenikol sebagai
pencegahan.
5) Alasan rujuk: jika dalam 24 jam sekret mukopurulen tidak
berkurang.

217
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
59. KUSTA
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 0301 ICD X : A30

a. Definisi
Kusta atau lepra adalah suatu penyakit kulit menular menahun
yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. Serangan
kuman yang berbentuk batang ini biasanya pada kulit, saraf tepi,
mata, selaput lendir hidung, otot, tulang dan buah zakar.

b. Penyebab
Kuman Mycobacterium leprae.

c. Gambaran Klinis
Tanda utama (Cardinal sign):
1) Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih
(hipopigmentasi) yang tak berasa atau kemerahan
(eritematosus) yang mati rasa (makula anestesia).
2) Penebalan saraf tepi.
3) Gejala pada kulit, pasien kusta adalah pada kulit terjadi
benjol-benjol kecil berwarna merah muda atau ungu.
Benjolan kecil ini menyebar berkelompok dan biasanya
terdapat pada mata dan mungkin juga timbul di hidung
hingga menyebabkan perdarahan.
4) Gejala pada saraf, berkurangnya perasaan pada anggota
badan atau bagian tubuh yang terkena. Kadang-kadang
terdapat radang saraf yang nyeri. Adakalanya kaki dan
tangan berubah bentuknya. Jari kaki sering hilang akibat
serangan penyakit ini. Pasien merasa demam akibat reaksi
penyakit tersebut.
5) Gejala pada mata, ditandai dengan mata merah, kehilangan
alis, adanya sekret, dapat disertai dengan penurunan visus.
6) Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk.
Bentuk leproma mempunyai kelainan kulit yang tersebar
secara simetris pada tubuh. Bentuk ini menular karena
kelainan kulitnya mengandung banyak kuman.
7) Ada juga bentuk tuberkuloid yang mempunyai kelainan
pada jaringan saraf yang mengakibatkan cacat pada tubuh.
218
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Bentuk ini tidak menular karena kelainan kulitnya
mengandung sedikit kuman. Di antara bentuk leproma dan
tuberkuloid ada bentuk peralihan yang bersifat stabil dan
mudah berubah-ubah.
8) Penyakit ini ditularkan melalui kontak erat dari kulit ke kulit
dalam waktu yang cukup lama. Namun ada dugaan bahwa
penyakit ini juga dapat ditularkan melalui udara pernapasan
dari pasien yang selaput hidungnya terkena. Tidak semua
orang yang berkontak dengan kuman penyebab akan
menderita penyakit kusta. Hanya sedikit saja yang kemudian
tertulari, sementara yang lain mempunyai kekebalan alami.
9) Masa inkubasi penyakit ini dapat sampai belasan tahun.
Gejala awal penyakit ini biasanya berupa kelainan kulit
seperti panau yang disertai hilangnya rasa raba pada
kelainan kulit tersebut.

d. Diagnosis
Dari gejala klinik dan tes sensitivitas.

e. Penatalaksanaan
Klasifikasi Kusta menurut WHO untuk memudahkan
pengobatan di lapangan:
1) PB ( Pauci Bacillery), lesi <5, tidak ditemukan basil
2) MB ( Multi Bacillary), lesi >5, ditemukan basil
Prinsip Multi Drug Treatment (pengobatan kombinasi Regimen
MDT-Standar WHO)
1) Regimen MDT-Pausibasiler
a) Rifampisin
- Dewasa : 600 mg/bulan, disupervisi
- Berat badan < 35 kg : 450 mg/bulan
- Anak 10 – 14 tahun : 450 mg/bulan (12–15
mg/kgBB/hari)
Rifampisin: diminum di depan petugas (Hari pertama)
- Dewasa : 600 mg/bulan
- Anak 10 – 14 tahun : 450 mg/bulan
- Anak 5 – 9 tahun : 300 mg/bulan
Dapson :
- Dewasa : 100 mg/hari

219
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
- Anak 10 – 14 tahun : 50 mg/hari
- Anak 5 – 9 tahun : 25 mg/hari
Diberikan dalam jangka waktu 6 – 9 bulan.
b) Dapson
- Dewasa : 100 mg/hari
- Berat badan < 35 kg : 50 mg/hari
- Anak 10 – 14 tahun : 50 mg/hari (1–2
mg/kgBB/hari)
- Lama pengobatan: diberikan sebanyak 6 regimen
dengan jangka waktu maksimal 9 bulan.
2) Regimen MDT-Multibasiler
a) Rifampisin
- Dewasa : 600 mg/bulan, disupervisi
Dilanjutkan dengan 50 mg/hari
- Anak 10–14 tahun : 450 bulan (12 – 15
mg/kgBB/bulan)
Rifampisin: diminum di depan petugas (Hari pertama)
- Dewasa : 600 mg/bulan
- Anak 10–14 tahun : 450 mg/bulan
- Anak 5–9 tahun : 300 mg/bulan
Klofazimin :
- Dewasa : 300 mg/bulan
- Anak 10–14 tahun : 150 mg/bulan
- Anak 5–9 tahun : 100 mg/bulan
Dapson :
- Dewasa : 100 mg/hari
- Anak 10–14 tahun : 50 mg/hari
- Anak 5–9 tahun : 25 mg/hari
Diberikan sebanyak 12 blister dengan jangka waktu 12–
18 bulan.
b) Klofazimin
- Dewasa : 300 mg/bulan, disupervisi
Dilanjutkan dengan 50 mg/hari
- Anak 10–14 tahun : 200 mg/bulan, disupervisi.
Dilanjutkan dengan 50 mg selang sehari
c) Dapson
- Dewasa : 100 mg/hari.
220
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
- Berat badan < 35 kg: 50 mg/hari
- Anak 10-14 tahun : 50 mg/hari(1–2
mg/hari/kgBB/hari)
- Lama pengobatan : diberikan sebanyak 24 regimen
dengan jangka waktu maksimal 36 bulan sedapat
mungkin sampai apusan kulit menjadi negatif.
Bila sudah mengenai mata, dapat dilakukan pembersihan
sekret disertai pemberian kloramfenikol tetes mata 1-2 tetes
tiap 6 jam. Bila terjadi penurunan visus, rujuk ke spesialis
mata.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk pengobatan dan memutuskan
rantai penularan.
2) Efek samping klofazimin: kulit berwarna coklat kemerahan
dan akan pulih pasca pengobatan.
3) Pencegahan: melaporkan kasus kusta yang ditemukan.
4) Bila ditemukan kasus reaksi kusta segera dirujuk.
5) Berikan motivasi bahwa penyakit kusta dapat sembuh total.
6) Perlu diberikan pemeriksaan pada seluruh anggota keluarga
pasien kusta.
7) Alasan rujukan: bila terjadi penurunan visus, rujuk ke
spesialis mata.

221
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
60. LEPTOSPIROSIS
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 100 ICD X : A27

a. Definisi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis akut disebabkan oleh
bakteri Leptospira dengan spektrum penyakit yang luas dan
dapat menyebabkan kematian.

b. Penyebab
Leptospirosis disebabkan oleh organisme pathogen dari genus
Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta dalam Famili
Trepanometaceae.
Bakteri ini berbentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan
ujung-ujungnya berbentuk seperti kait sehingga bakteri sangat
aktif baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju–
mundur, maupun melengkung. Ukuran bakteri ini 0,1 µm x 0,6
µm sampai 0,1 µm x 20 µm.

c. Cara Penularan
Kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah tercemar oleh
air seni hewan yang menderita leptospirosis. Bakteri masuk ke
dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata,

222
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
hidung, kulit yang lecet atau makanan yang terkontaminasi oleh
urin hewan terinfeksi leptospira.

d. Gambaran Klinis
Masa inkubasi Leptospirosis antara 2-30 hari, biasanya rata–rata
7-10 hari. Manifestasi klinis dari Leptospirosis sangat bervariasi
mulai dari gejala infeksi subklinik, demam anikterik ringan
seperti influenza sampai dengan yang berat dan berpotensi fatal
(weill’s syndrome).
Terdapat dua sindroma manifestasi klinis:
1) Leptospirosis ringan/leptospirosis anikterik
Dari seluruh kasus Leptospirosis yang ada di masyarakat
sebanyak 85–90% merupakan Leptospirosis anikterik.
Sering terjadi salah diagnosa karena menyerupai influenza,
demam dengue atau penyakit demam akut lainnya.
2) Leptospirosis berat/Leptospirosis ikterik
Diperkirakan sekitar 5–15 % merupakan kasus Leptospirosis
berat dimana perjalanan kliniknya sering progresif dan
menyebabkan gangguan multi organ, yaitu :
a) Stadium Pertama
Demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat
remiten; nyeri kepala; menggigil; mialgia; mual, muntah
dan anoreksia; nyeri kepala dapat berat, mirip yang
terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital
dan fotopobia; nyeri otot terutama di daerah betis
sehingga pasien sukar berjalan, punggung dan paha,
sklera ikterik dan conjunctival suffusion atau mata
merah dan pembesaran kelenjar getah bening, limpa
maupun hati; kelainan mata berupa uveitis dan
iridosiklitis. Gejala yang khas: konjungtivitis tanpa
disertai eksudat serous/porulen (kemerahan pada mata);
rasa nyeri pada otot-otot.
b) Stadium Kedua
Terbentuk antibodi di dalam tubuh pasien; gejala yang
timbul lebih bervariasi dibandingkan dengan stadium
pertama; apabila demam dengan gejala-gejala lain
223
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
timbul kemungkinan akan terjadi meningitis; stadium
ini terjadi biasanya antara minggu ke-2 dan ke-4.

e. Diagnosis
Ada 3 (tiga) kriteria yang ditetapkan dalam mendefinisikan
kasus Leptospirosis yaitu:
1) Kasus Suspek
a) Demam akut (>38.50°C) dengan atau tanpa sakit kepala
hebat disertai mialgia (pegal-pegal), malaise (lemah)
dan/atau Conjuctival suffusion,
b) Ada riwayat kontak dengan faktor risiko (hewan
terinfeksi atau lingkungan yang tercemar bakteri
Leptospira) dalam 2 minggu sebelumnya:
(1) Kontak dengan air yang terkontaminasi kuman
Leptospira/ urine tikus saat terjadi banjir.
(2) Kontak dengan sungai, danau dalam aktivitas
mencuci, mandi berkaitan pekerjaan seperti tukang
perahu, rakit bambu dll.
(3) Kontak di persawahan atau perkebunan berkaitan
dengan pekerjaan sebagai petani/pekerja
perkebunan yang tidak mengunakan alas kaki.
(4) Kontak erat dengan binatang lain seperti sapi,
kambing, anjing yang dinyatakan secara
Laboratorium terinfeksi Leptospira.
(5) Terpapar seperti menyentuh hewan mati, kontak
dengan cairan infeksius saat hewan berkemih,
menyentuh bahan lain seperti plasenta, cairan
amnion, menangani ternak seperti memerah susu,
menolong hewan melahirkan dan lainnya.
(6) Memegang/menangani spesimen hewan/manusia
yang diduga terinfeksi Leptospirosis dalam
laboratorium atau tempat lainnya.
(7) Pekerjaan yang berkaitan dengan kontak dengan
sumber infeksi seperti: dokter hewan, dokter,
perawat, pekerja di pemotongan hewan, petani,
pekerja perkebunan, petugas kebersihan di rumah

224
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
sakit, pembersih selokan, pekerja tambang, pekerja
tambak udang/ikan air tawar, tentara, pemburu.
(8) Kontak dengan sumber infeksi yang berkaitan
dengan hobi dan olah raga seperti: pendaki gunung,
memancing, berenang, arung jeram, trilomba juang
(triathlon) dan lainnya.

2) Kasus Probable
Di Unit Pelayanan Kesehatan Dasar
Kasus suspek disertai minimal dua dari gejala:
a) Nyeri betis (Calf tenderness)
b) Batuk dengan atau tanpa batuk darah
c) Ikterus (kulit kuning)
d) Manifestasi perdarahan (petekie, mimisan, gusi
berdarah, melena, hematoschezia)
e) Iritasi meningeal
f) Anuria/oligouria dan atau proteinuria
g) Sesak napas
h) Aritmia jantung
i) Ruam kulit
Penderita segera dirujuk ke Rumah Sakit

3) Kasus Konfirmasi
Kasus suspek atau kasus probable disertai salah satu dari
berikut ini
a) Isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik
b) PCR positif
c) Sero konversi MAT dari negatif menjadi positif atau
adanya kenaikan titer 4x dari pemeriksaan awal
d) Titer MAT 320 (400) atau lebih pada pemeriksaan satu
sampel
e) Apabila tidak tersedia fasilitias laboratorium :
Hasil positif dengan menggunakan dua tes diagnostik
cepat (RDT) yang berbeda dapat dianggap sebagai kasus
confirm

225
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
f. Penatalaksanaan
1) Kasus suspek ( dapat ditangani di Unit Pelayanan
Dasar):
a) Pilihan: Doksisiklin 2x100 mg selama 7 (tujuh) hari
kecuali pada anak, ibu hamil, atau bila ada
kontraindikasi Doksisiklin.
b) Alternatif (bila tidak dapat diberikan doksisiklin):
Amoksisilin 3x500 mg/hari pada orang dewasa
atau 10-20 mg/kgBB tiap 8 jam pada anak selama 7
(tujuh) hari.
c) Bila alergi Amoksisilin dapat diberikan Makrolid.

2) Kasus probable:
a) Seftriakson 1-2 gram i.v. per hari selama7 (tujuh) hari.
b) Penisilin Prokain 1,5 juta unit i.m. tiap 6 jam selama7
(tujuh) hari
c) Ampisilin 4 x 1 g i.v. per hari selama 7 (tujuh) hari
d) Terapi suportif dibutuhkan bila ada komplikasi: gagal
ginjal, perdarahan organ (paru, saluran cerna, saluran
kemih, serebral), syok dan gangguan neurologi.

g. KIE
Infeksi Leptospirosis dapat terjadi melalui kontak langsung
dengan lingkungan yang terkontaminasi urin rodent (tikus),
binatang karier/pembawa atau binatang sakit Leptospirosis.
1) Hindari kontak langsung dan tidak langsung dengan kencing
binatang.
2) Hindari berenang atau berendam di sungai/danau yang
potensial terkontaminasi urin binatang dan gunakan alat
pelindung saat bekerja sehingga terhindar dari paparan air
yang terkontaminasi.
3) Pada keadaan luka atau kulit lecet sebaiknya gunakan salep
antiseptik sebelum dan sesudah masuk ke air.
4) Pekerja yang berhubungan dengan kebersihan selokan,
perkebunan, pertanian dan peternakan sebaiknya
menggunakan sarung tangan dan sepatu boots.

226
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
5) Air tergenang berpotensi terkontaminasi kuman Leptospira
dan dapat menjadi sumber penularan Leptospirosis pada
manusia.
6) Masyarakat yang tinggal di wilayah banjir dan mengalami
demam dan nyeri otot terutama di bagian betis sebaiknya
diwaspadai kemungkinan terinfeksi Leptospirosis.

61. LUKA BAKAR


Kompetensi : 4 dan 3A
Laporan Penyakit : 1901 ICD X : S02,T02

a. Definisi
Luka Bakar adalah cedera pada jaringan tubuh akibat panas,
bahan kimia maupun arus listrik.

b. Penyebab
Akibat panas, bahan kimia maupun arus listrik.

c. Gambaran Klinis
Beratnya luka bakar tergantung kepada jumlah jaringan yang
terkena dan kedalaman luka:
1) Luka bakar derajat I
Merupakan luka bakar yang paling ringan. Kulit yang
terbakar menjadi merah, nyeri, sangat sensitif terhadap
sentuhan dan lembab atau membengkak. Jika ditekan,
daerah yang terbakar akan memutih; belum terbentuk
lepuhan.
2) Luka bakar derajat II
Menyebabkan kerusakan yang lebih dalam. Kulit melepuh,
dasarnya tampak merah atau keputihan dan terisi oleh cairan
kental yang jernih. Jika disentuh warnanya berubah menjadi
putih dan terasa nyeri.
3) Luka bakar derajat III
Menyebabkan kerusakan yang paling dalam.
Permukaannya bisa berwarna putih dan lembut atau
berwarna hitam, hangus dan kasar. Kerusakan sel darah
merah pada daerah yang terbakar bisa menyebabkan luka
bakar berwarna merah terang. Kadang daerah yang terbakar
melepuh dan rambut/bulu di tempat tersebut mudah dicabut
227
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
dari akarnya. Jika disentuh, tidak timbul rasa nyeri karena
ujung saraf pada kulit telah mengalami kerusakan. Jika
jaringan mengalami kerusakan akibat luka bakar, maka
cairan akan merembes dari pembuluh darah dan
menyebabkan pembengkakan. Kehilangan sejumlah besar
cairan karena perembesan tersebut bisa menyebabkan
terjadinya syok. Tekanan darah sangat rendah sehingga
darah yang mengalir ke otak dan organ lainnya sangat
sedikit.

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan
fisik.

e. Penatalaksanaan
Sekitar 85% luka bakar bersifat ringan dan pasiennya tidak perlu
dirawat di rumah sakit. Untuk membantu menghentikan luka
bakar dan mencegah luka lebih lanjut, sebaiknya lepaskan
semua pakaian pasien. Kulit segera dibersihkan dari bahan kimia
(termasuk asam, basa dan senyawa organik) dengan
mengguyurnya dengan air.

Luka Bakar Ringan


Jika memungkinkan, luka bakar ringan harus segera dicelupkan
ke dalam air dingin. Luka bakar kimia sebaiknya dicuci dengan
air sebanyak dan selama mungkin. Di tempat praktek dokter
atau di ruang emergensi, luka bakar dibersihkan secara hati-hati
dengan sabun dan air untuk membuang semua kotoran yang
melekat. Jika kotoran sukar dibersihkan, daerah yang terluka
diberi obat bius dan digosok dengan sikat. Lepuhan yang telah
pecah biasanya dibuang. Jika daerah yang terluka telah benar-
benar bersih, maka dioleskan krim antibiotik (misalnya perak
sulfadiazin).

Untuk melindungi luka dari kotoran dan luka lebih lanjut,


biasanya dipasang verban. Sangat penting untuk menjaga
kebersihan di daerah yang terluka, karena jika lapisan kulit
paling atas (epidermis) mengalami kerusakan maka bisa terjadi

228
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
infeksi yang dengan mudah akan menyebar. Jika diperlukan,
untuk mencegah infeksi bisa diberikan antibiotik, Untuk
mengurangi pembengkakan, lengan atau tungkai yang
mengalami luka bakar biasanya diletakkan/digantung dalam
posisi yang lebih tinggi dari jantung. Pembidaian harus
dilakukan pada persendian yang mengalami luka bakar derajat II
atau III, karena pergerakan bisa memperburuk keadaan
persendian. Mungkin perlu diberikan obat pereda nyeri selama
beberapa hari. Pemberian booster tetanus disesuaikan dengan
status imunisasi pasien.

f. KIE
Pasien langsung dirujuk jika:
1) Luka bakar yang sedang, berat atau membahayakan nyawa
pasien
2) Luka bakar mengenai wajah, tangan, alat kelamin atau kaki.
3) Terkena arus listrik dan sambaran petir.
4) Pasien akan mengalami kesulitan dalam merawat lukanya
secara baik dan benar di rumah.

5) Pasien berumur < 2 tahun atau > 70 tahun.


6) Terjadi luka bakar pada organ dalam.

229
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
62. MALARIA
Kompetensi : 4 dan 3B
Laporan Penyakit : 0503 ICD X : B54

a. Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah
merah manusia. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk
Anopheles betina. Penyakit ini merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia.

b. Penyebab
Ada 4 jenis plasmodium yang menyebabkan penyakit pada
manusia, yaitu: Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae.

c. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi berkisar 1-2 minggu.
2) Keluhan utama pada malaria tanpa komplikasi: demam,
menggigil, berkeringat dapat disertai sakit kepala, mual,
muntah diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.
3) Gejala pada malaria dengan komplikasi (malaria berat):
gangguan kesadaran, keadaan umum yang lemah, kejang–
kejang, panas sangat tinggi, perdarahan, warna air seni
seperti teh tua dan gejala lainnya.
4) Malaria falciparum yang sering menyebabkan terjadinya
malaria dengan komplikasi (malaria berat)

d. Diagnosis
Diagnosis malaria dilakukan dengan pemeriksaan yaitu :
1) Pemeriksaan dengan mikroskop
Merupakan Gold standard untuk diagnosis pasti malaria.
Dilakukan dengan menemukan parasit dalam pulasan darah
yang diwarnai Giemsa dan diperiksa dengan mikroskop.
Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan membuat sediaan
darah tebal dan tipis.
2) Rapid Diagnostik Test (RDT) dengan mekanisme kerja
berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, yang
230
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
bermanfaat digunakan pada unit gawat darurat, saat kejadian
luar biasa dan daerah terpencil yang tidak terdapat fasilitas
laboratorium. Pemeriksaan ini hanya digunakan pada
fasilitas kesehatan yang tidak ada pemeriksaan mikroskopis
dan dalam keadaan pasien dicurigai dengan malaria berat.
e. Penatalaksanaan
Obat malaria hanya diberikan setelah ada hasil pemeriksaan
konfirmasi dan harus tuntas.
Pengobatan malaria tanpa komplikasi:
1) Malaria Falciparum (Tabel 22 dan Tabel 23)
a) Lini I: Dihidroartemisinin–Piperakuin atau Artesunat+
Amodiakuin dosis tunggal selama 3 hari + primakuin
hari I
Dihidroartemisinin: 2–4 mg/kgbb/hari dan Piperakuin:
16–32 mg/ kgbb/hari.
Atau
Artesunat: 4 mg/kgbb/hari dan Amodiakuin: 10
mg/kgbb/hari
Ditambah dengan: Primakuin: 0,75 mg/kgbb/hari
(1) Primakuin tidak boleh diberikan pada Ibu hamil dan
bayi <1 tahun dan penderita G6PD

Tabel 22. Pengobatan Malaria Falciparum (1)


Jumlah tablet perhari menurut berat badan
<5 kg 6-10 kg11- 17 kg 18-30 31-40 kg 41-59 kg > 60 kg
kg
Hari Jenis
obat
0 -1 2 -11
1-4 5 - 9 10 -14 > 15 > 15
bulan
bulan tahun Tahun tahun tahun tahun

1-3 DHP 1/4 1/2 1 1½ 2 3


4
1 Prima kuin- - 3/4 1½ 2 2 3

Tabel 23. Pengobatan Malaria Falciparum (2)


Jumlah tablet perhari menurut berat badan
Hari Jenis obat <5kg 6-10 kg11-17 kg18-30 31-40 41-49 kg50-59 >60 kg
kg kg kg

231
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
0 -1 2 -11 1 - 4 5-9 10-14 > 15 > 15 > 15
bulan bulan tahun tahun tahun tahun tahun tahun
1-3 4
Artesunat ¼ ½ 1 1½ 2 4
3
Amodia kuin¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4
1 3
Primakuin - - 3/4 1½ 2 2
2

b) Lini II: Kina+Tetrasiklin/ Doksisiklin selama 7 hari +


Primakuin hari I
Kina : 10 mg/kgbb/kali (tiap 8 jam) selama 7 hari
Doksisiklin : 3,5 mg/kgbb/hari diberikan tiap 12 jam ( >
15 tahun)
Doksisiklin : 2,2 mg/kgbb/hari diberikan tiap 12 jam
(8-14 tahun)
Tetrasiklin : 4–5 mg/kgbb/kali (tiap 6 jam) selama 7
hari
Primakuin : 0,75 mg/kgbb/hari
(1) Doksisiklin/Tetrasiklin tidak boleh diberikan pada
anak dengan umur di bawah 8 tahun dan ibu hamil
(2) Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan
bayi < 1 tahun dan penderita G6PD.
(3) Lini kedua diberikan bila apabila pada pemantauan
di hari ke 4-14 gejala klinis semakin memburuk atau
jumlah parasit menetap/semakin banyak

2) Malaria vivax (Tabel 24 dan 25)


a) Lini I :
Dihidroartemisinin–Piperakuin atau
Artesunat+Amodiakuin dosis tunggal selama 3 hari +
primakuin selama 14 hari
Dihidroartemisinin: 2–4 mg/kgbb/hari dan Piperakuin:
16–32 mg/kgbb/hari
Atau
Artesunat: 4 mg/kgbb/hari dan Amodiakuin: 10
mg/kgbb/hari
Ditambah dengan Primakuin: 0,25 mg/kgbb/hari selama
14 hari
232
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(1) Primakuin tidak boleh diberikan pada Ibu hamil dan
bayi <1 tahun dan penderita G6PD.

Tabel 24. Pengobatan Malaria Vivax (1)


Jumlah tablet perhari menurut berat badan
<5 kg 6-10 kg 11- 17 kg18-30 kg31-40 kg 41-59 kg> 60 kg
Hari Jenis obat
0 -1 2 -11 1-4 5-9 10 -14 > 15 > 15
Bulan Bulan Tahun tahun Tahun Tahun Tahun
1-3 DHP 1/4 1/2 1 1½ 2 3 4
1-14 Primakuin - - 1/4 1/2 3/4 1 1

Tabel 25. Pengobatan Malaria Vivax (2)


Jumlah tablet perhari menurut berat badan
<5kg 6-10kg 11-17 kg 18-30 kg 31-40 kg41-49 kg50-59 kg ≥ 60 kg
Hari Jenis obat 0 -1 2 -11 1-4 5-9 10 -14 > 15 > 15 > 15
Bulan Bulan Tahun tahun Tahun Tahun Tahun Tahun

Artesunat ¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4
1-3
Amodiakuin ¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4

1-14 P vivax - - ¼ 1/2 ¾ 1 1 1


Primakuin

b) Lini II :
Kina (3x sehari) selama 7 hari + Primakuin selama 14
hari
Kina: 10 mg/kgbb/kali (3x sehari) selama 7 hari
Primakuin : 0,25 mg/kgbb/hari
(1) Lini kedua diberikan bila apabila pada pemantauan
di hari ke 4-28 gejala klinis semakin memburuk atau
jumlah parasit menetap/semakin banyak.

233
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3) Malaria mix (malaria falciparum+ malaria vivax) (Tabel
24)
Pengobatan diberikan:
Dihidroartemisinin–Piperakuin atau Artesunat+Amodiakuin
dosis tunggal selama 3 hari+primakuin selama 14 hari
Dihidroartemisinin: 2–4 mg/kgbb/hari dan Piperakuin: 16–
32 mg/kgbb/ hari, Atau
Artesunat: 4 mg/kgbb/hari dan Amodiakuin: 10
mg/kgbb/hari
Ditambah dengan Primakuin: 0,25 mg/kgbb/hari selama 14
hari.

Tabel 26. Pengobatan Malaria Mix


Jumlah tablet perhari menurut berat badan
<5 kg
6-10 kg11- 17 kg18-30 kg31-40 kg 41-59 kg > 60 kg

Hari Jenis obat 0 -1 2 -11 1–4 5-9 10 -14 > 15 > 15


Bulan Bulan Tahun tahun Tahun Tahun Tahun
1-3 DHP 1/4 1/2 1 1,5 2 3 4
1-14 Primakuin - - 1/4 1/2 3/4 1 1

Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4 4
1-3
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4 4
1-14 Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1 1

4) Malaria dalam kehamilan


Pada prinsipnya pengobatan malaria pada ibu hamil sama
dengan pengobatan pada orang dewasa lainnya, perbedaan
adalah pada pemberian obat malaria berdasarkan umur
kehamilan. Pada ibu hamil tidak diberikan Primakuin.

234
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Tabel 27. Pengobatan Malaria Pada Ibu Hamil

Umur Kehamilan Pengobatan

Trimester I (0-3 bulan) Kina tablet selama 7 hari

Trimester II (4-6 bulan) ACT tablet selama 3 hari

Trimester III (7-9 bulan) ACT tablet selama 3 hari

f. KIE
1) Tujuan Pengobatan adalah membunuh semua parasit malaria
yang ada didalam tubuh manusia dan memutus rantai
penularan.
2) Efek samping pengobatan:
a) Amodiakuin: mual, muntah, sakit kepala, diare.
b) Kina: tinnitus, gangguan pendengaran,vertigo,
hipotensi, hipoglikemia.
3) Pencegahan:
a) Menghindari gigitan nyamuk dengan penggunaan
kelambu berinsektisida, repellent, baju lengan panjang
dan celana panjang.
b) Membersihkan tempat perindukan nyamuk.
c) Pengobatan harus diberikan sampai tuntas.
d) Alasan rujuk: malaria dengan komplikasi.

Lihat Buku Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria oleh Subdit


Malaria, Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL.

63. MIGREN
Kompetensi : 3A

235
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Laporan Penyakit : 21 ICD X : N13

a. Definisi
Serangan nyeri kepala sesisi yang berulang, beragam beratnya,
lamanya dan kekerapannya mungkin merupakan serangan
migren. Migren klasik diawali selama + 60 menit.

b. Penyebab
Vasodilatasi pembuluh darah di otak.

c. Gambaran Klinis
1) Nyeri kepala khas berdenyut, unilateral dan bertambah berat
setelah aktivitas fisik.
2) Frekuensi lebih dari 5 kali serangan per hari dengan durasi
masing-masing 4-72 jam.
3) Pasien mengeluh mual sampai muntah dan terdapat
anoreksia, fotofobia atau fenofobia.
4) Migren dengan aura mempunyai gejala tambahan:
a) Gejala visual homonim dan/atau gejala sensoris
unilateral.
b) Paling tidak timbul satu macam aura secara gradual 5
menit dan/atau jenis aura yang lainnya 5 menit.
c) Tiap gejala berlangsung 5 menit dan ≤ 60 menit.

d. Diagnosis
1) Migren tanpa aura
2) Migren dengan aura
3) Status migrenosus

e. Penatalaksanaan
1) Hindari faktor pencetus
2) Terapi serangan akut (abortif)
3) Serangan diatasi dengan:
a) Obat spesifik: ergotamin tablet 1 mg kombinasi kafein,
dosis disesuaikan kondisi penyakit.
b) Obat nonspesifik: parasetamol 500 mg atau ibuprofen
400 mg
c) Obat penunjang: metoklopramid tablet
236
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
d) Obat profilaksis (keadaan tertentu): propanolol 10 mg
tiap 8-12 jam atau asam valproat 500 mg tiap 12 jam.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan serangan.
2) Pencegahan: hindari faktor pencetus seperti makanan
tertentu (coklat, MSG), ketegangan emosi dan kelelahan
fisik. Hal-hal itu harus diidentifikasi.
3) Alasan rujukan: pada kasus migren dengan aura, migren
komplikata yang memerlukan terapi profilaksis, migren
dengan intensitas dan frekuensi tinggi.
4) Efek samping pengobatan: palpitasi.

237
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
64. MORBILI (Campak)
Kompetensi : 4 dan 3A
Laporan Penyakit : 0402 ICD X : B05

a. Definisi
Morbili ialah penyakit infeksi virus akut yang bermanifestasi
dalam 3 stadium yaitu stadium kataral, erupsi dan konvalens.

b. Penyebab
Penyebab penyakit campak adalah virus campak atau morbili.
Pada awalnya, gejala campak agak sulit dideteksi.

c. Gambaran Klinis
Secara garis besar penyakit campak dibagi menjadi 3 fase:
1) Fase pertama disebut masa inkubasi yang berlangsung
sekitar 10–12 hari. Pada fase ini anak sudah mulai terkena
infeksi tapi pada dirinya belum tampak gejala apapun.
Bercak-bercak merah yang merupakan ciri khas campak
belum keluar.
2) Pada fase kedua (fase prodormal) barulah timbul gejala
yang mirip penyakit flu seperti batuk, pilek dan demam.
Mata tampak kemerah-merahan dan berair. Bila melihat
sesuatu, mata akan silau (fotofobia). Di sebelah dalam mulut
muncul bintik-bintik putih yang akan bertahan 3–4 hari.
Terkadang anak juga mengalami diare. 1–2 hari kemudian
timbul demam tinggi yang turun naik, berkisar 38–40,5oC.
3) Fase ketiga ditandai dengan keluarnya bercak merah seiring
dengan demam tinggi yang terjadi. Namun bercak tak
langsung muncul di seluruh tubuh melainkan bertahap dan
merambat. Bermula dari belakang telinga, leher, dada,
muka, tangan dan kaki. Warnanya pun khas; merah dengan
ukuran yang tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil.
Bercak-bercak merah ini dalam bahasa kedokterannya
disebut makulopapuler. Biasanya bercak memenuhi seluruh
tubuh dalam waktu sekitar 1 minggu, tergantung pada daya
tahan tubuh masing-masing anak. Umumnya jika bercak
merahnya sudah keluar, demam akan turun dengan
sendirinya. Bercak merah pun makin lama menjadi
238
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
kehitaman dan bersisik (hiperpigmentasi), lalu rontok atau
sembuh dengan sendirinya. Periode ini merupakan masa
penyembuhan yang butuh waktu sampai 2 minggu.

d. Diagnosis
Bercak kemerahan terutama pada bagian atas badan.

e. Penatalaksanaan
Penanganan yang benar
1) Bila campaknya ringan, anak cukup dirawat di rumah. Kalau
campaknya berat atau sampai terjadi komplikasi maka harus
dirawat di rumah sakit.
2) Anak campak perlu dirawat di tempat tersendiri agar tidak
menularkan penyakitnya kepada yang lain. Apalagi bila ada
bayi di rumah yang belum mendapat imunisasi campak.
3) Beri pasien asupan makanan bergizi seimbang dan cukup
untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya. Makanannya
harus mudah dicerna karena anak campak rentan terjangkit
infeksi lain seperti radang tenggorokan, flu atau lainnya.
Masa rentan ini masih berlangsung 1 bulan setelah sembuh
karena daya tahan tubuh pasien yang masih lemah.
4) Pengobatan secara simtomatik sesuai dengan gejala yang
ada.
5) Pemberian fortivikasi vitamin A 50.000 UI untuk anak <6
bulan, 100.000 UI untuk anak 6-11 bulan, 200.000 UI untuk
anak 12 bulan – 5 tahun, untuk mempercepat proses
penyembuhan. Untuk pasien dengan gizi buruk diberikan
vitamin A 3x.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: mengurangi gejala dan mencegah
komplikasi.
2) Pencegahan: pemberian Imunisasi morbili (campak).
3) Alasan rujuk: campak dengan komplikasi.

239
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
65. OTITIS MEDIA AKUT (OMA)
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 1101 ICD X : H65-H66; H72

a. Definisi
Otitis Media Akut (OMA) adalah radang akut telinga tengah
yang terjadi terutama pada bayi atau anak yang biasanya
didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas.

b. Penyebab
Kuman penyebab OMA adalah bakteri pirogenik seperti:
Streptococcus hemolitikus, Pneumococcus atau Haemophylus
influenza.
c. Gambaran Klinik
1) Keluhan dan gejala yang timbul tergantung dari stadium
OMA yaitu:
a) Stadium oklusi tuba
b) Stadium hiperemis
c) Stadium supurasi
d) Stadium perforasi
e) Stadium resolusi
2) Gejala OMA adalah:
a) Anak gelisah atau ketika sedang tidur tiba-tiba
terbangun, menjerit sambil memegang telinganya.
b) Demam dengan suhu tubuh yang tinggi dan kadang-
kadang sampai kejang.
c) Kadang-kadang disertai dengan muntah dan diare.
d. Diagnosis
Tanda OMA adalah:
1) OMA Stadium oklusi tuba
Pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani suram,
refleks cahaya memendek dan menghilang.
2) OMA Stadium hiperemis
Pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani hiperemis
dan edem serta refleks cahaya menghilang.
3) OMA Stadium supurasi
240
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Keluhan dan gejala klinik bertambah hebat.
Pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani menonjol
keluar (bulging) dan ada bagian yang berwarna pucat
kekuningan.
4) OMA Stadium perforasi
Anak yang sebelumnya gelisah menjadi lebih tenang,
demam berkurang.
Pada pemeriksaan otoskopik tampak cairan di liang telinga
yang berasal dari telinga tengah. Membran timpani
perforasi.
5) Stadium resolusi
Pemeriksaan otoskopik, tidak ada sekret/kering dan
membran timpani berangsur menutup.
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan OMA disesuaikan dengan hasil pemeriksaan
dan stadiumnya.
1) Stadium oklusi tuba
a) Berikan antibiotik selama 7 hari:
Amoksisilin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/KgBB, tiap
8 jam atau
Eritromisin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/KgBB, tiap 6
jam.
b) Obat tetes hidung nasal dekongestan.
c) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi.
d) Antipiretik.
2) Stadium hiperemis
a) Berikan antibiotik selama 10–14 hari:
Amoksisilin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/KgBB, tiap
8 jam atau
Eritromisin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/KgBB, tiap 6
jam.
b) Obat tetes hidung nasal dekongestan maksimal 5 hari.
c) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi.
d) Antipiretik, analgetik dan pengobatan simtomatis
lainnya.
3) Stadium supurasi.
a) Segera rawat apabila ada fasilitas perawatan.

241
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Berikan antibiotik ampisilin atau amoksisilin dosis
tinggi parenteral selama 3 hari. Bila ada perbaikan
dilanjutkan dengan pemberian antibiotik peroral selama
14 hari.
b) Bila tidak ada fasilitas perawatan segera rujuk ke dokter
spesialis THT untuk dilakukan miringotomi.
4) Stadium perforasi
a) Berikan antibiotik selama 14 hari.
b) Cairan telinga dibersihkan dengan Solutio H 2O2 3% 2–3
kali.
f. KIE
1) Tujuan pengobatan: eradikasi dan mencegah timbulnya
komplikasi
2) Pencegahan: Pada stadium supurasi dan perforasi, hindari
berenang atau masuknya air ke dalam hidung dan telinga.
3) Alasan rujuk: bila tidak ada perbaikan, ada komplikasi, atau
diperlukan miringotomi rujuk ke dokter spesialis THT.

242
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
66. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK (OMSK)
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 1101 ICD X : H65-H66; H72

a. Definisi
Istilah sehari-hari untuk OMSK dikenal sebagai ‘congek’.
Dalam perjalanan penyakit ini dapat berasal dari OMA stadium
perforasi yang berlanjut, sekret tetap keluar dari telinga tengah
dalam bentuk encer, bening ataupun mukopurulen. Proses hilang
timbul atau terus menerus lebih dari 2 bulan berturut-turut. Tetap
terjadi perforasi pada membran timpani.
1) Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK
adalah :
a) pengobatan terlambat diberikan dan tidak adekuat
b) virulensi kuman tinggi
c) daya tahan tubuh/gizi/higiene kurang
2) OMSK dibagi menjadi 2 tipe :
a) OMSK tipe benigna/mukosa/aman
b) OMSK tipe maligna/tulang/bahaya
Otitis Media sendiri adalah suatu infeksi yang mengenai telinga
bagian tengah (lihat gambar penampang telinga). Infeksi ini
disertai dengan pengeluaran cairan (dapat bening atau keruh)
dari liang telinga sehingga disebut supuratif.
Istilah kronik digunakan apabila penyakit ini hilang timbul atau
menetap selama 2 bulan atau lebih.
Apabila terjadi kekambuhan setelah sebelumnya terjadi
penyembuhan maka disebut mengalami eksaserbasi akut (Acute
exacerbation).
Pada pemeriksaan telinga didapatkan adanya gendang telinga
yang keruh atau robek. Kelainan ini dapat terjadi pada 1 telinga
atau dapat mengenai 2 telinga.

b. Penyebab
Kuman penyebab OMSK antara lain kuman Staphylococcus
aureus (26%), Pseudomonas aeruginosa (19,3%), Streptococcus
epidermidis (10,3%), gram positif lain (18,1%) dan kuman gram
negatif lain (7,8%).
243
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
c. Gambaran klinik
Umumnya pasien mendapat infeksi telinga setelah menderita
infeksi saluran napas atas seperti influenza atau sakit
tenggorokan. Melalui saluran yang menghubungkan antara
hidung dan telinga (tuba Auditorius), infeksi di saluran napas
atas yang tidak diobati dengan baik dapat menjalar sampai
telinga.

d. Diagnosis
1) MSK tipe benigna/aman
Proses peradangan hanya terbatas pada mukosa. Perforasi
membran timpani terletak di sentral, jarang menimbulkan
komplikasi berbahaya.
2) OMSK tipe maligna/bahaya
Proses peradangan mengenai tulang, perforasi membran
timpani terletak di attic atau marginal dan tampak
kolesteatoma.
Tanda klinis lainnya:
a) terlihat adanya abses/fistula retroaurikuler, polip atau
jaringan granulasi di liang telinga yang berasal dari
telinga tengah.
b) terdapat sekret purulen berbau busuk yang khas
OMSK tipe bahaya dapat mengakibatkan terjadinya
komplikasi intrakranial.

e. Penatalaksanaan
1) OMSK tipe benigna/aman
a) Bila aktif, berikan cuci telinga berupa solutio H 2O2 3 %,
2-3 kali
b) Antibiotik selama 7 hari:
(1) Amoksisilin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/kgBB,
tiap 8 jam atau
(2) Eritromisin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/kgBB,
tiap 6 jam
c) Antihistamin apabila ada tanda-tanda alergi
d) Nasehatkan agar tidak berenang dan tidak mengorek
telinga
244
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e) Bila selama 2 bulan tidak kering atau hilang timbul,
rujuk ke dokter spesialis THT.

2) OMSK tipe maligna / bahaya


Apabila belum memungkinkan dirujuk ke spesialis THT,
dilakukan terapi sebagai berikut:
a) Bila aktif, berikan cuci telinga berupa solutio H 2O2 3 %,
2-3 kali
b) Antibiotik selama 14 hari:
(1) Amoksisilin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/kgBB,
tiap 8 jam atau
(2) Eritromisin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/kgBB,
tiap 6 jam.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: eradikasi penyakit, dan mencegah
komplikasi.
2) Pencegahan: hindari masuknya air ke dalam telinga.
3) Alasan rujukan ke dokter spesialis THT:
a) apabila telinga terus berair selama pengobatan
b) terdapat abses retroaurikuler dilalukan insisi dahulu dan
segera rujuk.

245
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
67. PAROTITIS EPIDEMIKA
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 04 ICD X : B26

a. Definisi
Gondongan (Parotitis Epidemika) adalah penyakit infeksi akut
dan menular yang disebabkan virus. Virus menyerang kelenjar
air liur di mulut, terutama kelenjar parotis pada sisi muka tepat
di bawah dan di depan telinga.

b. Penyebab
Virus Mumps.

c. Gambaran Klinis
1) Penyakit ini paling sering terjadi pada usia 5-15 tahun.
Gejalanya, nyeri sewaktu mengunyah dan menelan, apalagi
bila menelan cairan asam seperti cuka dan air jeruk.
2) Pembengkakan nyeri terjadi pada sisi muka dan di bawah
telinga. Kelenjar-kelenjar di bawah dagu juga akan lebih
besar dan membengkak. Pasien juga merasa demam. Suhu
tubuh dapat meningkat hingga 39,5oC. Komplikasi mungkin
terjadi pada anak laki-laki pada umur belasan tahun, nyeri
pada perut dan alat kelamin. Pada pasien remaja perempuan,
nyeri akan terasa juga di bagian payudara. Komplikasi
serius terjadi jika virus gondong menyerang otak dan
susunan saraf. Ini menyebabkan radang selaput otak dan
jaringan selaput otak.
3) Penularan melalui kontak langsung dengan pasien, seperti
tersentuh cairan muntah, air seni atau melalui udara ketika
pasien bersin/batuk.

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik.

e. Penatalaksanaan

246
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
1) Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan secara aktif
dengan pemberian vaksin parotitis atau secara pasif dengan
pemberian gama globulin.
2) Istirahat di tempat tidur hingga suhu tubuh normal kembali.
Makanan yang dikonsumsi adalah yang cair dan lunak. Bila
perlu beri obat penurun panas dan kompres pada bagian
tubuh yang nyeri. Pakailah obat kumur yang baik untuk
membersihkan selaput lendir mulut. Usahakanlah minum
yang banyak dan mengunyah permen karet.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: pencegahan dan penyembuhan
penyakit.
2) Pencegahan: hindari kontak langsung dengan pasien,
melakukan vaksinasi.

247
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
68. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
Kompetensi : 3A; 3B
Laporan Penyakit : 1404 ICD X : J60-J65

a. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang
ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang
tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK
karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis sedangkan
emfisema merupakan diagnosis patologi.

b. Gambaran Klinis
1) Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia
pertengahan.
2) Perkembangan gejala bersifat progresif lambat.
3) Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam
ruangan, luar ruangan dan tempat kerja).
4) Sesak pada saat melakukan aktivitas.
5) Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa
kembali normal).

c. Diagnosis dan Klasifikasi (Derajat) PPOK


Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (foto toraks,
spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK
Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan
dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat (PPOK
ringan, sedang dan berat).
248
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
1) Diagnosis PPOK Klinis ditegakkan apabila:
a) Anamnesis:
(1) Ada faktor risiko:
(a) Usia (pertengahan)
(b) Riwayat pajanan, misal asap rokok, polusi
udara/tempat kerja.
(2) Gejala:
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi.
Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti
karena seringkali dianggap sebagai gejala yang
biasa terjadi pada proses penuaan.
(a) Batuk kronik.
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama
3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan
yang diberikan.
(b) Berdahak kronik.
Kadang kadang pasien menyatakan hanya
berdahak terus menerus tanpa disertai batuk.
(c) Sesak napas, terutama pada saat melakukan
aktivitas.
Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi
dengan sesak napas yang bersifat progressif
lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.
Anamnesis harus dilakukan dengan teliti,
gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak
(Tabel 28).
Tabel 28. Skala Sesak Napas berdasarkan Keterbatasan
aktivitas
(ATS dyspnea index)
Skala sesak Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas
1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
2 Sesak timbul bila berjalan cepat atau berjalan mendaki
3 Berjalan lebih lambat dibanding orang sebaya, karena sesak
4 Harus berhenti untuk bernapas setelah berjalan 50 meter
5 Sesak napas saat memakai/melepaskan pakaian

249
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b) Pemeriksaan fisik:
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan
kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK
ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli.
Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK
derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas
atau perubahan bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
hal-hal sebagai berikut:
(1) Inspeksi
(a) Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
(b) Terdapat cara bernapas purse lips breathing
(seperti orang meniup)
(c) Terlihat penggunaan dan hipertrofi
(pembesaran) otot bantu napas
(d) Pelebaran sela iga
(2) Perkusi
Hipersonor
(3) Auskultasi
(a) Fremitus melemah,
(b) Suara napas vesikuler melemah atau normal
(c) Ekspirasi memanjang
(d) Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
(e) Ronki

c) Pemeriksaan penunjang:
(1) Pemeriksaan penunjang pada diagnosis PPOK
antara lain :
(a) Radiologi (foto toraks)
(b) Spirometri
(c) Laboratorium darah rutin (timbulnya
polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia
kronik)
(d) Analisa gas darah
(e) Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk
pemilihan antibiotik bila terjadi eksaserbasi)

250
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis
masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan
radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan
diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan
diagnosis banding dari keluhan pasien.
(2) Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan:
(a) Paru hiperinflasi atau hiperlusen
(b) Diafragma mendatar
(c) Corakan bronkovaskuler meningkat
(d) Bulla
(e) Jantung pendulum
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-
kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat
pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak
dengan sesak napas terutama pada saat melakukan
aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau
yang lebih tua.
Catatan:
Untuk menegakkan diagnosis PPOK perlu disingkirkan
kemungkinan adanya asma bronkial, gagal jantung
kongestif, TB Paru dan sindrom obstruktif pasca TB
Paru. Penegakan diagnosis PPOK secara klinis
dilaksanakan di puskesmas atau rumah sakit tanpa
fasilitas spirometri. Sedangkan penegakan diagnosis dan
penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan
ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia
(PDPI)/Gold tahun 2005, dilaksanakan di rumah
sakit/fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki
spirometri.
2) Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK
Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan
ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI)/Gold
tahun 2008 (Tabel 29).

Tabel 29. Klasifikasi PPOK Berdasarkan GOLD 2008


Derajat Klinis Faal Paru Keterangan
Derajat I : Sesak kadang-kadang tapiVEP1/ KVP < 70 %. Pasien belum menyadari
PPOK tidak selalu, batuk kronikVEP1 80% prediksi terdapatnya kelainan
251
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Ringan dan berdahak fungsi paru
Derajat II : Perburukan dari penyempitanVEP1/KVP < 70 % Pada kondisi ini pasien
PPOK jalan napas, ada sesak napas50% ≤ VEP1 < 80%datang berobat, karena
Sedang terutama pada saat exercise prediksi eksaserbasi atau keluhan
pernapasan kronik
Derajat III Perburukan penyempitanVEP1/KVP < 70 %
PPOK Berat jalan napas yang semakin30% ≤ VEP1 < 50%
berat, sesak napasprediksi
bertambah, kemampuan
exercise berkurang,
berdampak pada kualitas
hidup
Derajat IV: Penyempitan jalan napasVEP1/ KVP < 70 % Sering disertai
PPOK yang berat VEP1 < 30%. prediksikomplikasi. Pada kondisi
Sangat Berat atau ini kualitas hidup rendah
VEP1 < 50% prediksidan sering disertai
dengan gagal napaseksaserbasi berat /
kronik mengancam jiwa
Keterangan: VEP1 = Volume Ekspirasi Paksa Detik 1
KVP = Kapasitas Vital Paksa

d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK dibedakan atas tatalaksana kronik dan
tatalaksana eksaserbasi, masing-masing sesuai dengan klasifikasi
(derajat) beratnya (Lihat Buku Penemuan dan Tatalaksana PPOK).
Secara umum tata laksana PPOK adalah sebagai berikut:
1) Pemberian obat obatan
a) Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi (MDI),
kecuali pada eksaserbasi digunakan oral atau sistemik
atau preparat tidak tersedia/tidak terjangkau.
Bronkodilator diberikan secara rutin (bila gejala
menetap) atau hanya bila diperlukan (gejala intermitten)
Ada tiga golongan bronkodilator yaitu Agonis β-2
(salbutamol), Antikolinergik (ipratropium bromide), dan
Metilxantin (aminofilin).
Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada
meningkatkan dosis bronkodilator mono
b) Anti inflamasi Steroid, pada:
PPOK yang menunjukkan respons pada uji steroid
252
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
PPOK dengan FEV1 <50% prediksi (stadium lIB dan
III)
Eksaserbasi akut. Pada eksaserbasi dapat digunakan
dalam bentuk oral atau sistemik.
Pilihan utama: metilprednisolon atau prednison. Untuk
penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil hanya
bila uji steroid positif.
c) Obat-obat tambahan lain
1) Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator): ambroksol,
karbosistein, gliserol iodida
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan
sebagai pengobatan simtomatik bila terdapat dahak
yang lengket dan kental.
2) Antioksidan: N-asetil-sistein
3) Imunoregulator (imunostimulator, imunomodulator):
tidak rutin
4) Antitusif: tidak rutin
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat
mengganggu. Penggunaan secara rutin merupakan
kontraindikasi.
5) Vaksinasi: influenza, pneumokokus
6) Antibiotik. Tidak dianjurkan penggunaan jangka
panjang untuk pencegahan eksaserbasi. Pilihan
antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola
kuman setempat.

2) Pengobatan penunjang
a) Rehabilitasi: latihan fisik, latihan endurance, Chest
physiotherapy rehabilitasi psikososial
b) Edukasi
c) Berhenti merokok
d) Latihan fisik dan respirasi
e) Nutrisi: Overweight maupun underweight adalah
masalah. Penurunan BMI adalah faktor risiko
tergantung pada mortalitas pasien PPOK. Pasien yang
mengalami kesulitan bernapas saat makan disarankan
makan dalam jumlah kecil tapi sering. Sedangkan pada
pasien yang kehilangan berat badan, dengan

253
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
memperbaiki keadaan nutrisi, dapat meningkatkan
kekuatan otot pernapasan, diet rendah karbohidrat
3) Terapi oksigen
Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan
jangka panjang atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak
berhati hati dapat menyebabkan hiperkapnia dan
memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada
PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup.
Tata laksana oksigen jangka panjang (>15 jam sehari), yaitu
pada pasien dengan exertional hypoxemia dan nocturnal
hypoxemia
4) Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada
eksaserbasi berat. Ventilasi mekanik noninvasif digunakan
di ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan lanjutan
setelah eksaserbasi pada PPOK berat.
5) Operasi paru
Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau
transplantasi paru (masih dalam proses penelitian di negara
maju).
6) Vaksinasi influenza
Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil.
Vaksinasi influenza diberikan pada:
a) Pasien usia > 60 tahun
b) PPOK sedang dan berat.

e. KIE
Indikasi rujuk atau rawat inap di rumah sakit:
1) Peningkatan intensitas gejala seperti sesak napas
2) PPOK berat sebelumnya
3) Onset dari tanda-tanda fisik baru seperti sianosis, edema
peripheral
4) Kegagalan respon dari eksaserbasi terhadap terapi awal.
5) Komorbiditas signifikan
6) Eksaserbasi sering
7) Aritmia yang baru timbul
8) Diagnosis tidak jelas

254
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
9) Usia tua
10) Perawatan rumah tidak adekuat

255
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
69. PERDARAHAN POST PARTUM
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 1702 ICD X : O46

a. Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan melebihi 500 mL
yang terjadi setelah bayi lahir.
Perdarahan post partum dini yaitu perdarahan setelah bayi lahir
dalam 24 jam pertama persalinan dan perdarahan post partum
lanjut yaitu perdarahan setelah 24 jam persalinan.

b. Penyebab
Perdarahan post partum dapat disebabkan oleh atonia uteri,
robekan jalan lahir, retensio plasenta, sisa plasenta dan kelainan
pembekuan darah.

c. Gambaran Klinis
Dalam persalinan sukar untuk menentukan jumlah darah secara
akurat karena tercampur dengan air ketuban dan serapan pada
pakaian atau kain alas. Oleh karena itu bila terdapat perdarahan
lebih banyak dari normal, sudah dianjurkan untuk melakukan
pengobatan sebagai perdarahan post partum.

d. Diagnosis
Gejala, tanda dan diagnosis perdarahan post partum dapat dilihat
pada Tabel 30.

Tabel 30. Gejala, Tanda dan Diagnosis Perdarahan Post Partum


DIAGNOSIS
GEJALA DAN TANDA TANDA DAN GEJALA LAIN
KERJA
 Uterus tidak berkontraksi dan Syok Atonia uteri
lembek  Bekuan darah pada serviks atau
 Perdarahan segera setelah bayi lahir posisi terlentang akan menghambat
aliran darah ke luar
 Darah segar yang mengalir segera Pucat Robekan jalan
setelah bayi lahir  Lemah lahir
 Uterus kontraksi dan keras  Menggigil
 Plasenta lengkap

256
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
 Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus akibat traksiRetensio
menit berlebihan plasenta
 Perdarahan segera (P3)  Inversio uteri akibat tarikan
 Uterus berkontraksi dan keras  Perdarahan lanjutan

 Plasenta atau sebagian selaput Uterus berkontraksi


Tertinggalnya sebagian
(mengandung pembuluh darah) plasenta
tapi tinggi fundus atau ketuban
tidak lengkap tidak berkurang
 Perdarahan segera (P3)
 Uterus tidak teraba  Neurogenik syok Inversio uteri
 Lumen vagina terisi masa  Pucat dan limbung
 Tampak tali pusat (bila plasenta
belum lahir)
 Sub-involusi uterus  Anemia Endometritis atau sisa fragmen
 Nyeri tekan perut bawah dan pada Demam plasenta (terinfeksi atau tidak)
uterus Late post partum hemorrhage
Perdarahan post partum
 Perdarahan
sekunder
 Lokhia mukopurulen dan berbau

e. Pengelolaan
1) Pengelolaan Umum
a) Selalu siapkan tindakan gawat darurat
b) Tata laksana persalinan kala III secara aktif
c) Minta pertolongan pada petugas lain untuk membantu
bila dimungkinkan
d) Lakukan penilaian cepat keadaan umum ibu meliputi
kesadaran nadi, tekanan darah, pernapasan dan suhu
e) Jika terdapat syok lakukan segera penanganan
f) Periksa kandung kemih, bila penuh kosongkan
g) Cari penyebab perdarahan dan lakukan pemeriksaan
untuk menentukan penyebab perdarahan
h) Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan
dengan kuretase. Dalam kondisi tertentu apabila
memungkinkan, sisa plasenta dapat dikeluarkan secara
manual.

257
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
i) Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati
karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan
kuretase pada abortus.
j) Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta,
dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui
suntikan atau per oral.
k) Antibiotik dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan.
2) Pengelolaan Khusus
a) Pada Puskesmas non PONED:
(1) Stabilisasi
(2) Segera rujuk ke Puskesmas PONED atau RS terdekat

b) Pada Puskesmas PONED: dikelola sesuai diagnosis


kerja.

f. Diagnosis kerja
1) Atonia Uteri
Atonia uteri terjadi bila miometrium tidak berkontraksi.
Uterus menjadi lunak dan pembuluh darah pada daerah bekas
perlekatan plasenta terbuka lebar. Atonia merupakan
penyebab tersering perdarahan post partum, sekurang-
kurangnya 2/3 dari semua perdarahan post partum
disebabkan oleh atonia uteri. Upaya penanganan perdarahan
post partum disebabkan atonia uteri harus dimulai dengan
mengenal ibu yang memiliki kondisi yang berisiko terjadinya
atonia uteri.
Kondisi ini mencakup:
a) Hal-hal yang menyebabkan uterus meregang lebih dari
kondisi normal seperti pada polihidramnion, kehamilan
kembar atau makrosomi
b) Persalinan lama
c) Persalinan terlalu cepat
d) Persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin
e) Infeksi intrapartum
f) Paritas tinggi.

258
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi yang
berisiko ini, maka penting bagi penolong persalinan untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya atonia uteri post
partum. Meskipun demikian, 20% atonia uteri post partum
dapat terjadi pada ibu tanpa faktor-faktor risiko ini. Penting
bagi semua penolong persalinan untuk mempersiapkan diri
dalam melakukan penatalaksanaan awal terhadap masalah
yang mungkin terjadi selama proses persalinan.
Jika tidak mempunyai kemampuan dan fasilitas, semua
keadaan di atas sebaiknya segera dirujuk ke dokter spesialis
obstretik ginekologi Rumah Sakit.
Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah
melakukan penanganan kala tiga secara aktif, yaitu:
a) Menyuntikkan Oksitosin
(1) Memeriksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan
tunggal.
(2) Menyuntikkan Oksitosin 10 UI secara intramuskuler
pada bagian luar paha kanan 1/3 atas setelah
melakukan aspirasi terlebih dahulu untuk memastikan
bahwa ujung jarum tidak mengenai pembuluh darah.
b) Peregangan Tali Pusat Terkendali
(1) Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5–
10 cm dari vulva atau menggulung tali pusat.
(2) Meletakkan tangan kiri di atas simpisis menahan
bagian bawah uterus, sementara tangan kanan
memegang tali pusat menggunakan klem atau kain
kasa dengan jarak 5–10 cm dari vulva.
(3) Saat uterus kontraksi, menegangkan tali pusat dengan
tangan kanan sementara tangan kiri menekan uterus
dengan hati-hati ke arah dorso-kranial.
c) Mengeluarkan plasenta
(1) Jika dengan penegangan tali pusat terkendali tali pusat
terlihat bertambah panjang dan terasa adanya
pelepasan plasenta, minta ibu untuk meneran sedikit
sementara tangan kanan menarik tali pusat ke arah
bawah kemudian ke atas sesuai dengan kurve jalan
lahir hingga plasenta tampak pada vulva.

259
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(2) Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta
belum lahir, pindahkan kembali klem hingga berjarak
± 5–10 cm dari vulva.
(3) Bila plasenta belum lepas setelah mencoba langkah
tersebut selama 15 menit, suntikkan ulang oksitosin
i.m. 10 UI .
(4) Periksa kandung kemih, lakukan kateterisasi bila
penuh.
(5) Tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan tindakan
plasenta manual.
(6) Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan
melahirkan plasenta dengan hati-hati. Bila terasa ada
tahanan, penegangan plasenta dan selaput secara
perlahan dan sabar untuk mencegah robeknya selaput
ketuban.
d) Masase Uterus
Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada
fundus uteri dengan menggosok fundus secara sirkuler
menggunakan bagian palmar 4 jari tangan kiri hingga
kontraksi uterus baik (fundus teraba keras).
e) Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan pasca
persalinan.
(1) Kelengkapan plasenta dan ketuban.
(2) Kontraksi uterus.
(3) Perlukaan jalan lahir.
Jenis uterotonika dan cara pemberiannya dapat dilihat
pada Tabel 31.

Tabel 31. Jenis Uterotonika Dan Cara Pemberiannya

JENIS DAN CARA OKSITOSIN ERGOMETRIN


Dosis dan cara pemberian i.v. : 20 UI dalam 1 L larutan
i.m. atau i.v.
garam (lambat) : 0.2 mg
fisiologis dengan tetesan cepat
i.m. : 10 UI
Dosis lanjutan i.m. : 20 UI dalam 1 LUlangi 0.2 mg i.m.
larutan garam fisiologissetelah 15 menit
260
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
dengan 40 tetes/menit
Dosis maksimal per hari Tidak lebih dari 3 L larutanTotal 1 mg atau 5
dengan Oksitosin dosis
Kontra Indikasi Pemberian i.v. secara cepatPreeklampsia, vitium
atau bolus cordis, hipertensi
2) Perlukaan Jalan Lahir
Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir
lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa
perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir.
Perlukaan jalan lahir terdiri dari:
a) Robekan perineum.
Dibagi atas 4 tingkat:
Tingkat I : robekan hanya pada selaput lendir vagina
dengan atau tanpa mengenai kulit perineum.
Tingkat II :robekan mengenai selaput lendir vagina
dan otot perinei transversalis, tetapi tidak mengenai
sfingter ani.
Tingkat III : robekan mengenai seluruh perineum dan
otot sfingter ani.
Tingkat IV : robekan sampai mukosa rektum.
Kolporeksis adalah suatu keadaan di mana terjadi
robekan di vagina bagian atas, sehingga sebagian serviks
uteri dan sebagian uterus terlepas dari vagina. Robekan
ini memanjang atau melingkar.
Robekan serviks dapat terjadi di satu tempat atau lebih.
Pada kasus partus presipitatus, persalinan sungsang,
plasenta manual, terlebih lagi persalinan operatif
pervaginam harus dilakukan pemeriksaan dengan
spekulum keadaan jalan lahir termasuk serviks.

Pengelolaan:
Episiotomi, robekan perineum dan robekan vulva
Ketiga jenis perlukaan tersebut harus dijahit.
(1) Robekan perineum tingkat I
Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat
dilakukan dengan memakai catgut yang dijahitkan
secara jelujur atau dengan cara jahitan angka delapan
(figure of eight).
261
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(2) Robekan perineum tingkat II
Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan
perineum tingkat I atau tingkat II, jika ada pinggir
robekan yang tidak rata atau bergerigi maka harus
diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan sebelah
kiri dan kanan masing-masing dijepit dengan klem
terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir
robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka
robekan.
Otot-otot dijahit dengan catgut, kemudian selaput
lendir vagina dijahit dengan catgut secara terputus-
putus atau jelujur. Penjahitan mukosa vagina dimulai
dari puncak robekan. Sampai kulit perineum dijahit
dengan benang catgut secara jelujur.
(3) Robekan perineum tingkat III
Pada robekan tingkat III mula-mula dinding depan
rektum yang robek dijahit, kemudian fasial perirektal
dan fasial septum rektovaginal dijahit dengan catgut
kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot
sfingter ani yang terpisah akibat robekan dijepit
dengan klem/pean lurus, kemudian dijahit dengan 2–
3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu lagi.
Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti
menjahit robekan perineum tingkat II.
(4) Robekan perineum tingkat IV
Pada robekan perineum tingkat IV karena tingkat
kesulitan untuk melakukan perbaikan cukup tinggi
dan risiko terjadinya gangguan berupa gejala sisa
dapat menimbulkan keluhan sepanjang
kehidupannya, maka dianjurkan apabila
memungkinkan untuk melakukan rujukan dengan
rencana tindakan perbaikan di rumah sakit
kabupaten/kota.
b) Hematoma vulva.
(1) Penanganan hematoma tergantung pada lokasi dan
besar hematoma. Pada hematoma kecil, tidak perlu
tindakan operatif, cukup dilakukan kompres.

262
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(2) Pada hematoma yang lebih besar, apalagi disertai
dengan anemia dan presyok, perlu segera dilakukan
pengosongan hematoma tersebut. Dilakukan sayatan
di sepanjang bagian hematoma yang paling
terenggang. Seluruh bekuan dikeluarkan sampai
kantong hematoma kosong. Dicari sumber
perdarahan, perdarahan dihentikan dengan mengikat
atau menjahit sumber perdarahan tersebut. Luka
sayatan kemudian dijahit. Dalam perdarahan difus
dapat dipasang drain atau dimasukkan kasa steril
sampai padat dan meninggalkan ujung kasa tersebut
diluar.
c) Robekan dinding vagina.
(1) Robekan dinding vagina harus dijahit.
(2) Kasus kolporeksis dan fistula visikovaginal harus
dirujuk ke rumah sakit.
d) Robekan serviks.
Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9.
Bibir depan dan bibir belakang serviks dijepit dengan
klem Fenster. Kemudian serviks ditarik sedikit untuk
menentukan letak robekan dan ujung robekan.
Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik
dimulai dari ujung robekan untuk menghentikan
perdarahan.
e) Ruptura uteri.

3) Retensio Plasenta
Retensio plasenta ialah plasenta yang belum lahir dalam
setengah jam setelah janin lahir.
Plasenta yang belum lahir dan masih melekat di dinding
rahim karena kontraksi rahim kurang kuat untuk melepaskan
plasenta disebut plasenta adhesiva. Plasenta yang belum lahir
dan masih melekat di dinding rahim karena villi korialisnya
menembus desidua sampai miometrium disebut plasenta
akreta. Plasenta yang sudah lepas dari dinding rahim tetapi
belum lahir karena terhalang oleh lingkaran konstriksi di
bagian bawah rahim disebut plasenta inkarserata.
Perdarahan hanya terjadi pada plasenta yang sebagian atau
seluruhnya telah lepas dari dinding rahim. Banyak atau
263
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
sedikitnya perdarahan tergantung luasnya bagian plasenta
yang telah lepas dan dapat timbul perdarahan. Melalui
periksa dalam atau tarikan pada tali pusat dapat diketahui
apakah plasenta sudah lepas atau belum dan bila lebih dari 30
menit maka kita dapat melakukan plasenta manual.

Prosedur plasenta manual sebagai berikut:


a) Sebaiknya pelepasan plasenta secara manual dilakukan
dalam narkosis, karena relaksasi otot memudahkan
pelaksanaannya terutama bila retensi telah lama.
Sebaiknya juga dipasang infus NaCl 0,9% sebelum
tindakan dilakukan. Setelah desinfektan tangan dan vulva
termasuk daerah seputarnya, labia dibeberkan dengan
tangan kiri sedangkan tangan kanan dimasukkan secara
obstetrik ke dalam vagina.
b) Sekarang tangan kiri menahan fundus untuk mencegah
kolporeksis. Tangan kanan dengan posisi obstetrik menuju
ke ostium uteri dan terus ke lokasi plasenta; tangan dalam
ini menyusuri tali pusat agar tidak terjadi salah jalan (false
route).
c) Supaya tali pusat mudah diraba, dapat diregangkan oleh
pembantu (asisten). Setelah tangan dalam sampai ke
plasenta, maka tangan tersebut dipindahkan ke pinggir
plasenta dan mencari bagian plasenta yang sudah lepas
untuk menentukan bidang pelepasan yang tepat.
Kemudian dengan sisi tangan kanan sebelah kelingking
(ulner), plasenta dilepaskan pada bidang antara bagian
plasenta yang sudah terlepas dan dinding rahim dengan
gerakan yang sejajar dengan dinding rahim. Setelah
seluruh plasenta terlepas, plasenta dipegang dan dengan
perlahan-lahan ditarik keluar.
d) Kesulitan yang mungkin dijumpai pada waktu pelepasan
plasenta secara manual ialah adanya lingkaran konstriksi
yang hanya dapat dilalui dengan dilatasi oleh tangan
dalam secara perlahan-lahan dan dalam nakrosis yang
dalam. Lokasi plasenta pada dinding depan rahim juga
sedikit lebih sukar dilepaskan daripada lokasi di dinding
belakang. Ada kalanya plasenta tidak dapat dilepaskan

264
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
secara manual seperti halnya pada plasenta akreta, dalam
hal ini tindakan dihentikan.

Setelah plasenta dilahirkan dan diperiksa bahwa plasenta


lengkap, segera dilakukan kompresi bimanual uterus dan
disuntikkan ergometrin 0,2 mg i.m atau i.v sampai kontraksi
uterus baik. Pada kasus retensio plasenta, risiko atonia uteri
tinggi oleh karena itu harus segera dilakukan tindakan
pencegahan perdarahan post partum. Apabila kontraksi rahim
tetap buruk, dilanjutkan dengan tindakan sesuai prosedur
tindakan pada atonia uteri. Plasenta akreta ditangani dengan
histerektomi oleh karena itu harus dirujuk ke rumah sakit.

4) Sisa Plasenta
Sisa plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam
rongga rahim dapat menimbulkan perdarahan post partum
dini atau perdarahan pospartum lambat (biasanya terjadi
dalam 6–10 hari pasca persalinan). Pada perdarahan post
partum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan perdarahan
dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim
baik. Pada perdarahan post partum lambat gejalanya sama
dengan subinvolusi rahim yaitu perdarahan.yang berulang
atau berlangsung terus dan berasal dari rongga rahim.
Perdarahan akibat sisa plasenta jarang menimbulkan syok.
Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta,
kecuali bila penolong persalinan memeriksa kelengkapan
plasenta setelah plasenta lahir. Apabila kelahiran plasenta
dilakukan oleh orang lain atau terdapat keraguan akan sisa
plasenta, maka untuk memastikan adanya sisa plasenta
ditentukan dengan eksplorasi dengan tangan, kuret atau alat
bantu diagnostik yaitu ultrasonografi.
Pada umumnya perdarahan dari rongga rahim setelah
plasenta lahir dan kontraksi rahim baik dianggap sebagai
akibat sisa plasenta yang tertinggal dalam rongga rahim.

265
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
70. PERIODONTITIS
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 1503 ICD X : K05-K06

a. Definisi
Peradangan jaringan periodontium yang lebih dalam yang
merupakan lanjutan dari peradangan ginggiva.

b. Penyebab
Sebagian besar periodontitis merupakan akibat dari penumpukan
plak dan karang gigi (tartar) diantara gigi dan gusi.
Akan terbentuk kantong diantara gigi dan gusi, dan meluas ke
bawah diantara akar gigi dan tulang dibawahnya. Kantong ini
mengumpulkan plak dalam suatu lingkungan bebas oksigen
yang mempermudah pertumbuhan bakteri.

c. Gambaran Klinis
1) Perdarahan gusi
2) Perubahan warna gusi
3) Bau mulut (halitosis)
4) Gigi goyah kalau kerusakan tulang penyangganya cukup
luas

d. Diagnosis
Nyeri pada ginggiva.

e. Penatalaksanaan

266
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
1) Karang gigi, saku gigi, food impaction dan penyebab lokal
lainnya harus dibersihkan/diperbaiki.
2) Antibiotik amoksisilin 500 mg + metronidazol 250 mg tiap
8 jam selama 5 hari.
3) Dianjurkan berkumur ½–1 menit dengan larutan povidon
1%, tiap 8 jam.
4) Bila sudah sangat goyah, gigi harus segera dicabut.
5) Analgesik parasetamol jika diperlukan.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi,
menghilangkan gejala, mencegah komplikasi.
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut,
menggosok gigi tiap pagi setelah makan dan malam sebelum
tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun,
makan makanan yang berserat dan berair (sayur dan buah).
3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi. Gunakan
benang gigi untuk membersihkan sisa makanan, hindari
penggunaan tusuk gigi.

267
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
71. PERTUSIS
Kompetensi : 4 dan 3B
Laporan Penyakit : 0304 ICD X : A37

a. Definisi
Pertusis (Batuk Rejan) adalah penyakit akut pada saluran
pernapasan. Biasanya pada anak berumur <5 tahun, terutama
pada anak umur 2–3 tahun.

b. Penyebab
Pertusis disebabkan oleh kuman gram negatif Bordetella
pertusis.

c. Gambaran Klinis
Gejala penyakit ini timbul 1–2 minggu setelah berhubungan
dengan pasiennya dan didahului masa inkubasi selama 7–14
hari. Biasanya penyakit ini berlangsung selama 6 minggu atau
lebih. Itulah sebabnya penyakit tersebut dinamakan batuk
seratus hari.

Dalam perjalanannya, pertusis meliputi beberapa stadium, yaitu


1) Kataralis yang ditandai timbulnya batuk ringan, terutama
pada malam hari, disertai demam dan pilek ringan. Stadium
ini berlangsung 1–2 minggu. Pada stadium kataralis tak
dapat dibedakan dengan ISPA yang disebabkan oleh virus.
2) Stadium kedua adalah spasmodik yang berlangsung 2–4
minggu. Gejalanya, batuk lebih sering, pasien berkeringat,
dan pembuluh darah di muka-leher melebar. Serangan
batuknya panjang biasanya diakhiri dengan bunyi
melengking yang khas (whooping cough) dan disertai
muntah. Sering terjadi perdarahan subkonjungtiva dan/atau
epistaksis. Kuku dan bibir pasien menjadi kebiruan karena
darah kekurangan oksigen. Di luar serangan, pasien tampak
sehat.

268
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3) Pada stadium selanjutnya, yaitu konvalesensi, terjadi selama
2 minggu. Gejalanya, pasien mereda batuknya dan
berangsur-angsur mulai bertambah nafsu makannya.

d. Diagnosis
1) Meningkatnya serum Ig A spesifik Bordetella pertusis
2) Terdeteksi Bordetella pertusis dari spesimen nasofaring
3) Kultur swab nasofaring ditemukan Bordetella pertusis

e. Penatalaksanaan
1) Oksigen
2) Pengobatan pertusis ditujukan pada kuman penyebabnya
dengan pemberian antibiotik yang sesuai, seperti eritromisin
30–50 mg/kgBB tiap 6 jam.
3) Untuk batuk dapat diberikan kodein 0,5 mg/tahun/kali.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: eradikasi dan mencegah timbulnya
komplikasi.
2) Pencegahan: imunisasi DPT (Difteri-Pertusis-Tetanus) dasar
dan ulangan (booster). Imunisasi ini diberikan 3 kali
berturut-turut pada bayi usia 3, 4, 5 bulan.
3) Alasan rujukan: bila ada komplikasi pneumonia, perdarahan
subkonjungtiva dan lain-lain.

269
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
72. PIELONEFRITIS
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 16 ICD X : N20-N23; N30

a. Definisi
Pielonefritis adalah infeksi bakteri pada salah satu atau kedua
ginjal.

b. Penyebab
Disebabkan oleh Escherichia coli (paling sering), selain itu
disebabkan juga antara lain Enterobacter, Klebsiella,
Pseudomonas dan Proteus.

c. Gambaran Klinis
1) Gejala biasanya timbul secara tiba-tiba berupa demam,
menggigil, nyeri di punggung bagian bawah, mual dan
muntah.
2) Beberapa pasien menunjukkan gejala infeksi saluran kemih
bagian bawah, yaitu sering berkemih dan nyeri ketika
berkemih.
3) Bisa terjadi pembesaran salah satu atau kedua ginjal.
Kadang otot perut berkontraksi kuat.
4) Bisa terjadi kolik renalis, dimana pasien merasakan nyeri
hebat yang disebabkan oleh kejang ureter.
5) Kejang bisa terjadi karena adanya iritasi akibat infeksi atau
karena lewatnya batu ginjal.
6) Pada anak-anak, gejala infeksi ginjal seringkali sangat
ringan dan lebih sulit untuk dikenali.
7) Pada infeksi menahun (pielonefritis kronik), nyerinya
bersifat samar dan demam hilang-timbul atau tidak
ditemukan demam sama sekali.
8) Pielonefritis kronik hanya terjadi pada pasien yang memiliki
kelainan utama, seperti penyumbatan saluran kemih, batu
ginjal yang besar atau arus balik air kemih dari kandung
kemih ke dalam ureter (pada anak kecil).

270
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
9) Pielonefritis kronik pada akhirnya bisa merusak ginjal
sehingga ginjal tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya
(gagal ginjal).

d. Diagnosis
1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya yang khas.
2) Pemeriksaan yang dilakukan untuk memperkuat diagnosis
pielonefritis adalah:
a) pemeriksaan urin dengan mikroskop.
b) pembiakan bakteri dalam contoh urin untuk menentukan
adanya bakteri.
3) USG dan rontgen bisa membantu menemukan adanya batu
ginjal, kelainan struktural atau penyebab penyumbatan air
kemih lainnya.

e. Penatalaksanaan
1) Segera setelah diagnosis ditegakkan, diberikan antibiotik.
Terapi kausal dimulai dengan kotrimoksazol 2 tablet tiap 12
jam selama 5 hari, atau amoksisilin 500 mg tiap 8 jam
selama 5 hari, atau siprofloksasin 500 mg tiap 12 jam
selama 5 hari. Antibiotik dapat diperpanjang sampai 21 hari.
2) Pada 4–6 minggu setelah pemberian antibiotik, dilakukan
pemeriksaan urin ulang untuk memastikan bahwa infeksi
telah berhasil diatasi.
3) Pada penyumbatan, kelainan struktural atau batu, mungkin
perlu dilakukan pembedahan dengan merujuk ke rumah
sakit.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: eradikasi dan mencegah timbulnya
komplikasi.
2) Pencegahan: kenali gejala penyakit untuk pengobatan sedini
mungkin.
3) Alasan rujuk: pasien anak dan dewasa yang didiagnosa
pielonefritis, pielonefritis dengan komplikasi atau pada
wanita hamil harus dirujuk.

271
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
73. PIODERMA
Kompetensi : 4 dan 3B
Laporan Penyakit : 2001 ICD X : L00-L08

a. Definisi
Pioderma superfisial dapat berbentuk impetigo atau furunkel.
Furunkolis yang menyatu membentuk kurbunkel. Bentuk lain
pioderma diantaranya folikulitis, ektima, selulitis, flegmon,
pionikia.

b. Penyebab
Impetigo umumnya disebabkan oleh Streptococcus
betahaemoliticus, sedangkan furunkel oleh Staphylococcus
aureus. Beberapa faktor predisposisi umumnya daya tahan tubuh
(anemia, kurang gizi, diabetes melitus) atau adanya kelainan
kulit yang dapat mempercepat terjadinya pioderma.

c. Gambaran Klinis
1) Keadaan umum pasien biasanya baik.
2) Impetigo bentuk krustosa biasanya terjadi pada anak yaitu di
kulit disekitar hidung dan mulut. Tampak vesikel atau
pustula yang cepat pecah dan menyebar ke sekitarnya.
272
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3) Impetigo bentuk vesikosibola disebut juga cacar monyet,
menyerang daerah ketiak, dada, dan punggung. Bentuk ini
sering ditemukan bersama miliaria, hipopion (endapan
nanah di bagian bawah vesikel/bula) dan pada saat
penyembuhan mengering membentuk koleret (warna
kemerahan melingkar di bekas kelainan).
4) Impetigo neonatorium menyerang hampir seluruh kulit,
biasanya disertai demam.
5) Furunkel banyak ditemukan di ketiak atau bokong. Folikel
yang terinfeksi membengkak membentuk nodus bernanah
yang nyeri dengan eritema di sekitarnya. Kelainan ini dapat
menjadi abses atau membentuk fistula. Pada pasien yang
berdaya tahan tubuh rendah misalnya pasien penyakit kronik
(diabetes melitus), furunkel ini sering kambuh dan sukar
sembuh.

d. Diagnosis
1) Pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan Gram
2) Kultur dan resistensi spesimen lesi (misalnya untuk
flegmon, hidradenitis, ulkus).
3) Pemeriksaan penunjang bila diperlukan

e. Penatalaksanaan
1) Pasien berobat jalan kecuali pada erisipelas, selulitis,
flegmon dianjurkan rawat inap.
2) Bila dijumpai pus banyak, asah atau krusta dilakukan
kompres terbuka dengan NaCl 0,9%
3) Pada lesi dalam dan / atau luas diberikan antibiotik sistemik:
a) Lini 1 : golongan penisilin : amoksisilin
b) Lini 2 : golongan makrolid : eritromisin 500
mg tiap 6 jam
4) Antibiotik diberikan 7 hari.

f. KIE
1) Mencari faktor predisposisi:
a) Higiene
b) Menurunnya daya tahan tubuh: kurang gizi, anemia,
penyakit kronik/ metabolik, dan keganasan
273
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
c) Telah ada kelainan kulit primer
2) Pada pioderma letak dalam, perhatikan keadaan umum dan
status imun secara keseluruhan.
3) Alasan rujuk: erisipelas, selulitis, flegmon.

274
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
74. PNEUMONIA KOMUNITAS
Kompetensi : 4 dan 3A (dewasa); 3A (anak)
Laporan Penyakit : 1401 ICD X : J18.9

a. Definisi
Pneumonia komunitas adalah peradangan paru yang disebabkan
oleh infeksi bakteri, virus maupun jamur yang terjadi di
komunitas.
Pneumonia secara klinis dibedakan atas pneumonia lobaris,
bronkopneumonia aspirasi misalnya akibat aspirasi minyak
tanah. Kuman penyebab banyak macamnya dan berbeda
menurut sumber penularan (komunitas/nosokomial).
Jenis komunitas 47–74% disebabkan oleh bakteri, 5–20% oleh
virus atau mikoplasma, dan 17–43% tidak diketahui
penyebabnya. Pengobatan jenis komunitas ini sangat
memuaskan apapun penyebabnya.

b. Penyebab
1) Penyebab pneumonia adalah:
a) Bakteri (paling sering menyebabkan pneumonia pada
dewasa): Streptococcus pneumonia, Staphylococcus
aureus, Legionella atau Hemophilus influenza.
b) Virus: virus influenza, chicken-pox (cacar air)
c) Organisme mirip bakteri: Mycoplasma pneumoniae
(terutama pada anak-anak dan dewasa muda)
d) Jamur tertentu.
2) Pneumonia pada anak-anak paling sering disebabkan oleh
virus pernapasan, dan puncaknya terjadi pada umur 2–3
tahun. Pada usia sekolah, pneumonia paling sering
disebabkan oleh bakteri Mycoplasma pneumoniae.

c. Gambaran Klinis
1) Secara klinis gambaran pneumonia bakterialis beragam
menurut jenis kuman penyebab, usia pasien, dan beratnya
penyakit. Beberapa bakteri penyebab memberikan gambaran
yang khas, misalnya pneumonia lobaris karena S.
pneumoniae, atau empiema dan pneumatokel oleh S. aureus.
2) Klasifikasi pneumonia pada balita sesuai dengan manajemen
terpadu balita sakit yaitu batuk disertai dengan napas cepat
275
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(usia < 2 bulan, > 60 x/menit; 2 bulan – 1 tahun, > 50
x/menit; 1-5 tahun > 40 x/menit)
3) Pada dasarnya gejala klinisnya dapat dikelompokkan atas :
a) gejala umum infeksi: demam, sakit kepala, lesu, dan
lain-lain.
b) gejala umum penyakit saluran pernapasan bawah:
seperti takipneu, dispneu, retraksi atau napas cuping
hidung, sianosis.
c) tanda pneumonia: perkusi pekak pada pneumonia
lobaris, ronki basah halus nyaring pada
bronkopneumonia dan bronkofoni positif.
d) batuk yang mungkin kering atau berdahak mukopurulen,
purulen, bahkan mungkin berdarah.
e) tanda di ekstrapulmonal.
4) Leukositosis jelas pada pneumonia bakteri dan pada sputum
dapat dibiak kuman penyebabnya.
5) Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan foto toraks,
sedangkan uji serologi dapat menentukan jenis infeksi
lainnya. Selain memastikan diagnosis, foto toraks juga dapat
digunakan untuk menilai adanya komplikasi.

d. Diagnosis
1) Sputum produktif yang sudah berkonversi, sesak napas,
demam
2) Pada pemeriksaan dada dengan menggunakan stetoskop,
akan terdengar suara ronki basah, halus, nyaring.
3) Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan gram.
4) Pemeriksaan penunjang: pembiakan dahak, hitung jenis
darah, gas darah arteri.

e. Penatalaksanaan
1) Pasien pneumonia dapat dirawat di rumah, namun bila
keadaannya berat pasien harus dirawat di rumah sakit untuk
mendapat perawatan yang memadai, seperti cairan intravena
bila sangat sesak, oksigen, serta sarana rawat lainnya. Bayi
memerlukan perhatian lebih khusus lagi.
2) Diberikan kotrimoksazol 2 x 2 tablet dewasa (diberikan
selama 3 hari).
276
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Dosis anak:
a) 2–4 bulan : 2 x ¼ tablet dewasa
b) 4–12 bulan : 2 x ½ tablet dewasa
c) 1–3 tahun : 2 x ¾ tablet dewasa
d) 3–5 tahun : 2 x 1 tablet dewasa
3) Antibiotik pilihan kedua adalah amoksisilin atau ampisilin
(diberikan selama 3 hari).
Dosis anak:
a) 2–4 bulan : 2 x ¼ tablet dewasa
b) 4–12 bulan : 2 x ½ tablet dewasa
c) 1–3 tahun : 2 x 2/3 tablet dewasa
d) 3–5 tahun : 2 x ¾ tablet dewasa
4) Pada kasus pneumonia berat balita dimana rujukan tidak
memungkinkan:
a) Berikan antibiotik amoksisilin 45 mg/kgBB/hari selama
10 hari secara oral pada mereka yang masih bisa.
b) Bila pemberian secara oral sudah tidak memungkinkan,
diberikan injeksi amoksisilin/ampisilin dan gentamisin
dengan dosis :
(1) 2 bulan – 5 tahun (ampisilin i.m./i.v. 50 mg/kgBB/6
jam dan gentamisin i.m./i.v. 7,5 mg/kgBB/24 jam)
(2) <2 bulan (ampisilin i.m./i.v. 100 mg/kgBB/24jam
dan gentamisin i.m./i.v. 2,5 mg/kgBB/12 jam)
(3) Bila kondisi membaik, terapi injeksi diteruskan
sampai 5 hari dan sesudahnya dilanjutkan dengan
terapi oral amoksisilin (15 mg/kgBB) tiap 8 jam,
dan terapi injeksi gentamisin i.m. sekali sehari.
5) Pada orang dewasa terapi kausal secara empiris adalah
penisilin prokain 600.000–1.200.000 UI sehari atau
ampisilin 1 g tiap 6 jam terutama pada pasien dengan batuk
produktif.
6) Bila pasien alergi terhadap golongan penisilin dapat
diberikan eritromisin 500 mg tiap 6 jam. Demikian juga bila
diduga penyebabnya mikoplasma (batuk kering).

f. KIE

277
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
1) Tujuan penatalaksanaan: mengurangi gejala,
menyembuhkan penyakit, dan mencegah
transmisi/memutuskan rantai penularan.
2) Beri penjelasan dengan seksama kepada pasien dan
keluarganya bahwa penyakit ini bisa berbahaya.
3) Jika terdapat tanda bahaya pada balita usia <2 bulan berupa
kurang bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor,
wheezzing/mengi, demam atau teraba dingin; pasien harus
segera dibawa ke Puskesmas kembali, kemudian dokter
akan memutuskan tindakan selanjutnya.
4) Pada balita usia 2 bulan - <5 tahun; bila didapatkan tanda
bahaya berupa: tidak bisa minum, kejang, kesadaran
menurun, stridor, dan gizi buruk; pasien harus segera dibawa
ke Puskesmas kembali, kemudian dokter akan memutuskan
tindakan selanjutnya.
5) Dalam perjalanan rujukan, ibu diminta menjaga agar anak
tetap hangat selama perjalanan, tetap berikan minum bila
anak masih bisa minum
6) Alasan rujuk: pada balita usia 2 bulan - < 5 tahun; bila
terdiagnosa klinis pneumonia komunitas maka perlu dirujuk.

278
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
75. PTERIGIUM
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : 1005 ICD X : H00-H01

a. Definisi
Merupakan pertumbuhan abnormal dari konjungtiva, ditandai
dengan penebalan mukosa konjungtiva yang berbentuk segitiga
yang puncaknya di kornea. Secara histopatologi, didapatkan
gambaran degenerasi hialin dengan adanya neovaskularisasi.
Kelainan ini dapat dijumpai pada semua kelompok umur.
Umumnya terdapat di sisi nasal bilateral atau unilateral.

b. Penyebab
Patogenesis pterigium belum jelas, tetapi diduga karena iritasi
kronik terutama karena paparan sinar ultraviolet.

c. Gambaran Klinis
1) Pasien mengeluh mata lekas merah, berair, dan ada rasa
mengganjal. Bila penebalan jaringan ini mencapai pupil
maka penglihatan dapat terganggu.
2) Jaringan ini kaya pembuluh darah, semuanya menuju ke
puncak pterigium.

d. Diagnosis
Penebalan mukosa pada selaput mata.

e. Penatalaksanaan
1) Dalam keadaan meradang diberikan astringen-dekongestan
1 tetes tiap 6-8 jam sehari: kombinasi seng-sulfat 0,25%
dengan fenilefrin 0,12% atau nafazolin 0,7%.
2) Pterigium lanjut yang telah mengganggu penglihatan
memerlukan pembedahan (rujuk ke rumah sakit).

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: mengurangi gejala dan menghindari
faktor risiko terjadinya iritasi.
2) Hindari paparan ultraviolet, misalnya menggunakan sun-
glasses, topi caping.

279
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
76. PULPITIS
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 1502 ICD X : K04

a. Definisi
Pulpitis adalah peradangan pada pulpa gigi yang menimbulkan
rasa nyeri, merupakan reaksi terhadap toksin bakteri pada karies
gigi.

b. Penyebab
Penyebab pulpitis yang paling sering ditemukan adalah
pembusukan gigi, penyebab kedua adalah cedera. Pulpa
terbungkus dalam dinding yang keras sehingga tidak memiliki
ruang yang cukup untuk membengkak ketika terjadi peradangan.
Yang terjadi hanyalah peningkatan tekanan di dalam gigi.
Peradangan yang ringan, jika berhasil diatasi, tidak akan
menimbulkan kerusakan gigi yang permanen. Peradangan yang
berat bisa mematikan pulpa. Meningkatnya tekanan di dalam
gigi bisa mendorong pulpa melalui ujung akar, sehingga bisa
melukai tulang rahang dan jaringan di sekitarnya.

c. Gambaran Klinis
1) Gigi yang mengalami pulpitis akan nyeri berdenyut,
terutama malam hari. Nyeri ini mungkin menjalar sampai ke
daerah sinus dan pelipis (pulpitis gigi atas) atau ke daerah
telinga (pulpitis gigi bawah).
2) Bila kemasukan makanan, karena rangsangan asam, manis,
atau dingin akan terasa sakit sekali. Sakit saat mengunyah
menunjukkan bahwa peradangan telah mencapai jaringan
periapikal.
3) Gigi biasanya sudah berlubang dalam dan pulpa terbuka.

d. Diagnosis
Nyeri dan tanda peradangan.

e. Penatalaksanaan
280
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
1) Lubang gigi dibersihkan dengan ekskavator dan semprit air,
lalu dikeringkan dengan kapas dan dijejali pellet kapas yang
ditetesi eugenol.
2) Berikan analgetik bila diperlukan:
3) Dewasa : parasetamol 500 mg tiap 6-8 jam
4) Anak : parasetamol 10-15 mg/kgBB tiap 6-8 jam
5) Bila sudah ada peradangan jaringan periapikal, lihat Bab
Abses gigi

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi,
menghilangkan gejala, mencegah komplikasi
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut,
menggosok gigi tiap pagi setelah makan dan malam sebelum
tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun,
makan makanan yang berserat dan berair (sayur dan buah).
Bila ada gigi yang berlubang segera ditambal walaupun
tidak merasa sakit.

281
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
77. RABIES
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 0404 ICD X : A82

a. Definisi
Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada
susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies dan
ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing,
kucing dan kera.
Di Indonesia, 98% kasus rabies ditularkan dari gigitan anjing.

b. Penyebab
Virus rabies, termasuk rhabdo virus bersifat neurotrop.

c. Gambaran Klinis
1) Stadium Prodromal
Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa
nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.
2) Stadium Sensoris
Pasien merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada
tempat bekas gigitan. Kemudian disusul dengan gejala
cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang
sensorik.
3) Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik meningkat dengan
gejala hiperhidrosis (banyak berkeringat), hipersalivasi
(banyak air liur), hiperlakrimasi (banyak air mata) dan
dilatasi pupil. Bersamaan dengan stadium eksitasi penyakit
mencapai puncaknya, yang sangat khas pada stadium ini
ialah adanya bermacam-macam fobia, yang sangat terkenal
diantaranya ialah hidrofobia (takut air). Kontraksi otot-otot
faring dan otot-otot pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh
rangsang sensorik seperti meniupkan udara ke muka pasien
(aerophobia) atau dengan menjatuhkan sinar ke mata
(photophobia) atau dengan bertepuk tangan ke dekat telinga
pasien (audiophobia). Pada stadium ini dapat terjadi apneu,
sianosis, kejang dan takikardi, cardiac arrest, tingkah laku
pasien tidak rasional kadang-kadang maniakal disertai
282
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
dengan respons yang berlebihan. Gejala-gejala eksitasi
dapat berlangsung sampai pasien meninggal, tetapi pada saat
kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemas,
sehingga terjadi paresis flaksid otot-otot.

4) Stadium Paralisis.
Sebagian besar pasien rabies meninggal dalam stadium
eksitasi. Kadang-
kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi,
melainkan paralisis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini
karena gangguan saraf tulang belakang yang
memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernapasan.

d. Diagnosis
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium.

e. Penatalaksanaan
1) Penanganan luka gigitan hewan penular rabies
Tiap ada kasus gigitan hewan penular rabies (anjing, kucing,
kera) harus ditangani dengan tepat dan sesegera mungkin.
Untuk mematikan virus rabies yang masuk pada luka
gigitan, cuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air
mengalir) dan sabun selama 10–15 menit, kemudian diberi
alkohol 70%.
2) Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) sesudah digigit (Post
Exposure Treatment). Dosis dan cara pemberian VAR
(Purified Vero Rabies Vaccine = PVRV): diberikan 4 x
suntikan @ 0,5 mL pada hari ke-0 sebanyak 2 dosis
sekaligus di regio deltoideus kanan dan kiri, hari ke-7 dan
21 masing-masing 1 dosis secara i.m. Dosis sama untuk
semua umur.
3) Perawatan rabies pada manusia
a) Pasien dirujuk ke rumah sakit.
b) Sebelum dirujuk, pasien diinfus dengan Ringer Laktat
atau NaCl 0,9%, kalau perlu diberi antikonvulsan dan

283
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
sebaiknya pasien difiksasi selama dalam perjalanan dan
waspada terhadap tindak-tanduk pasien yang tidak
rasional, kadang-kadang maniak disertai saat-saat
responsif.
c) Penanganan luka gigitan dengan pencucian luka,
pemberian antiseptik dan pemberian vaksin antirabies.

f. KIE
1) Sampai saat ini belum ada obat untuk penyakit rabies.
2) Bila terkena cakaran atau gigitan hewan penular rabies
(anjing, kucing, kera) segera melakukan pencucian luka
dengan air mengalir selama 15 menit dan sabun/detergen
kemudian berikan antiseptik (betadine, obat merah) dan
pemberian vaksin antirabies.
3) Pencucian luka dengan sabun untuk melisiskan kapsul dari
virus rabies. Segera berobat ke rabies center untuk
mendapatkan perawatan selanjutnya.
4) Bagi yang memiliki anjing atau kucing peliharaan sebaiknya
tidak diliarkan dan rutin melakukan vaksinasi antirabies.
5) Hewan penggigit sebaiknya ditangkap dan dilakukan
observasi 15 hari.

284
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
78. RINITIS ALERGIKA
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 1302 ICD X : J- 30.4

a. Definisi
Rinitis alergika adalah suatu kelainan hidung yang disebabkan
oleh proses inflamasi mukosa hidung yang dimediasi oleh
hipersensitivitas atau alergi tipe 1 dengan gejala karakteristik
berupa hidung gatal, bersin-bersin, rinorhea dan hidung
tersumbat yang bersifat reversibel secara spontan maupun
dengan pengobatan.

b. Penyebab
Berdasarkan terdapatnya gejala:
1) Rinitis alergi intermiten, bila gejala <4 hari/minggu atau bila
<4 minggu
2) Rinitis alergi persisten, bila > 4 hari/minggu atau >4
minggu.
Serbuk sari di dalam udara yang menyebabkan rinitis alergika
bervariasi, tergantung kepada daerah dan individu. Tanaman
yang sering menyebabkan rinitis alergika adalah pohon-
pohonan, rumput, bunga dan rumput liar. Selain kepekaan
individu dan daerah tempat tumbuhnya tanaman, faktor lain
yang berpengaruh terhadap terjadinya rinitis alergika adalah
jumlah serbuk yang terkandung di dalam udara. Cuaca panas,
kering dan berangin lebih banyak mengandung serbuk, cuaca
dingin, lembab dan hujan menyebabkan serbuk terbuang ke
tanah.

c. Gambaran Klinis
Hidung, langit-langit mulut, tenggorokan bagian belakang dan
mata terasa gatal, baik secara tiba-tiba maupun secara
berangsur-angsur. Biasanya akan diikuti dengan mata berair,
bersin-bersin dan hidung meler. Beberapa pasien mengeluh
sakit kepala, batuk dan mengi (bengek); kehilangan nafsu makan
dan mengalami gangguan tidur. Terjadi peradangan pada
kelopak mata bagian dalam dan pada bagian putih mata
(konjungtivitis). Lapisan hidung membengkak dan berwarna

285
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
merah kebiruan, menyebabkan hidung meler dan hidung
tersumbat.

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik berupa gambaran klinis diatas.

e. Penatalaksanaan
Pengobatan awal untuk rinitis alergika musiman adalah
antihistamin. Pemberian antihistamin kadang disertai dengan
dekongestan (misalnya pseudoefedrin atau fenilpropanolamin)
untuk melegakan hidung tersumbat. Pemakaian dekongestan
pada pasien tekanan darah tinggi harus diawasi secara ketat.
Pemberian amoksisilin atau eritromisin jika ada infeksi
sekunder.
Jika keadaan kronis rujuk ke dokter spesialis THT.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala akibat
paparan alergen dan eradikasi infeksi, perbaikan kualitas
hidup pasien.
2) Pencegahan: hindari alergen (misalnya udara dingin, debu).

286
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
79. SALPINGITIS
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : - ICD X : N70

a. Definisi
Infeksi saluran tuba uterina

b. Penyebab
Salpingitis akut kebanyakan disebabkan oleh infeksi gonore.
Salpingitis kronik dapat berbentuk sebagai piosalping,
hidrosalping atau salpingitis ismika nodosa.
Pada salpingitis akut perlu dipikirkan kemungkinan kehamilan
ektopik atau apendisitis sebagai diagnosis banding.

c. Gambaran Klinis
1) Pasien mengeluh nyeri perut bagian bawah, unilateral atau
bilateral. Nyeri ini bertambah pada gerakan.
2) Kadang terdapat perdarahan di luar siklus dan sekret vagina
berlebihan.
3) Pada yang akut terdapat demam yang kadang disertai
keluhan menggigil.
4) Terdapat nyeri tekan di abdomen bagian bawah disertai
nyeri pada pergerakan serviks. Parametrium nyeri unilateral
atau bilateral.

d. Diagnosis
Nyeri tekan dan kaku daerah tuba pada pemeriksaan dalam
ginekologi.

e. Penatalaksanaan
1) Pasien dianjurkan untuk tirah baring pada posisi Fowler.
2) Berikan antibiotik spektrum luas dalam dosis yang tinggi:
a) Ampisilin 2 g i.v, kemudian 1 g tiap 6 jam.
b) ditambah gentamisin 5 mg/kgBB i.v dosis tunggal/hari
dan metronidazol 500 mg i.v tiap 8 jam.
c) Lanjutkan antibiotik ini sampai pasien tidak demam
selama 24 jam.
3) Pilihan lain: doksisiklin 100 mg tiap 12 jam selama 10 hari.
287
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
4) Jika pasien menggunakan AKDR, maka AKDR tersebut
harus dicabut.
5) Jika tata laksana ini tidak menolong, pasien sebaiknya
dirujuk.

288
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
80. SERUMEN
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : - ICD X : A60. 4

a. Definisi
Kotoran pada liang telinga.

b. Penyebab
Tertimbunnya kotoran pada liang telinga.

c. Gejala Klinis
Keluhan rasa tersumbat di telinga, pendengaran berkurang dan
kadang-kadang berdengung. Pada pemeriksaan liang telinga
tampak serumen dalam bentuk lunak, liat, keras dan padat.

d. Diagnosa
Anamnesis dan pemeriksaan fisik (telinga).

e. Penatalaksanaan
1) Serumen cair
Bila serumen sedikit, bersihkan dengan kapas yang dililitkan
pada pelilit kapas atau disedot dengan pompa penghisap.
2) Serumen lunak
Bila serumen banyak dan tidak ada riwayat perforasi
membran timpani, lakukan irigasi liang telinga dengan air
bersih sesuai dengan suhu tubuh.
Bila ada riwayat perforasi membran timpani, maka tidak
dapat dilakukan irigasi. Bersihkan serumen dengan kapas
yang dililitkan pada pelilit kapas.
3) Serumen liat

289
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Dikait dengan pengait serumen, apabila tidak berhasil
lakukan irigasi dengan syarat tidak ada perforasi membrana
timpani.
4) Serumen keras dan padat
Apabila serumen berukuran besar dan menyumbat liang
telinga, lunakkan terlebih dahulu dengan meneteskan
karbogliserin 10% selama 3 hari, kemudian keluarkan
dengan pengait atau dilakukan irigasi.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: memperbaiki pendengaran akibat
sumbatan serumen.
2) Pencegahan: hindari mengkorek telinga.

290
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
81. SIFILIS
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 31 ICD X : A51

a. Definisi
Sifilis atau yang disebut dengan 'raja singa' disebabkan oleh
sejenis bakteri yang bernama Treponema pallidum. Bakteri yang
berasal dari famili spirochaetaceae ini memiliki ukuran yang
sangat kecil dan dapat hidup hampir di seluruh bagian tubuh.

b. Penyebab
Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput
lendir (misalnya vagina, mulut atau melalui kulit). Spirochaeta
penyebab sifilis dapat ditularkan dari satu orang ke orang yang
lain melalui hubungan genito-genital (kelamin-kelamin) maupun
oro-genital (seks oral). Infeksi ini juga dapat ditularkan oleh
seorang ibu kepada bayinya selama masa kehamilan.

c. Gambaran Klinis
Gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 1–13 minggu setelah
terinfeksi; rata-rata 3–4 minggu. Infeksi bisa menetap selama
bertahun-tahun dan jarang menyebabkan kerusakan jantung,
kerusakan otak maupun kematian.
Infeksi oleh Treponema pallidum berkembang melalui 4
tahapan:

1) Fase Primer.
Terbentuk luka atau ulkus yang tidak nyeri (cangker) pada
tempat yang terinfeksi; yang tersering adalah pada penis,
vulva atau vagina. Cangker juga bisa ditemukan di anus,
rektum, bibir, lidah, tenggorokan, leher rahim, jari-jari tangan
atau bagian tubuh lainnya. Luka tersebut tidak mengeluarkan
darah, tetapi jika digaruk akan mengeluarkan cairan jernih
yang sangat menular. Kelenjar getah bening terdekat
biasanya akan membesar, juga tanpa disertai nyeri. Luka
tersebut hanya menyebabkan sedikit gejala sehingga
seringkali tidak dihiraukan. Luka biasanya membaik dalam

291
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
waktu 3–12 minggu dan sesudahnya pasien tampak sehat
secara keseluruhan.

2) Fase Sekunder.
Fase sekunder biasanya dimulai dengan suatu ruam kulit,
yang muncul dalam waktu 6–12 minggu setelah terinfeksi.
Ruam ini bisa berlangsung hanya sebentar atau selama
beberapa bulan. Meskipun tidak diobati, ruam ini akan
menghilang. Tetapi beberapa minggu atau bulan kemudian
akan muncul ruam yang baru. Pada fase sekunder sering
ditemukan luka di mulut, kelenjar getah bening di seluruh
tubuhnya, peradangan di organ-organ tubuh. Di daerah
perbatasan kulit dan selaput lendir serta di daerah kulit yang
lembab, bisa terbentuk daerah yang menonjol (kondiloma
lata). Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan
(malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah, demam dan
anemia.

3) Fase Laten.
Setelah pasien sembuh dari fase sekunder, penyakit akan
memasuki fase laten dimana tidak nampak gejala sama
sekali. Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau
berpuluh-puluh tahun atau bahkan sepanjang hidup pasien.
Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius kembali
muncul.

4) Fase Tersier.
Pada fase tersier pasien tidak lagi menularkan penyakitnya.
Gejala bervariasi mulai ringan sampai sangat parah, misalnya
sifilis mengenai medulla spinalis (tabes dorsalis).

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Diagnosis
pasti ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan fisik.

e. Penatalaksanaan
1) Obat pilihan: benzatin penisilin G dengan dosis tergantung
stadium:
292
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a) Stadium I dan II : 4,8 juta UI
b) Stadium laten : 7,2 juta UI
2) Cara : injeksi i.m. 2,4 juta UI/ kali dengan interval 1 minggu
3) Obat alternatif:
a) Doksisiklin 100 mg tiap 12 jam, 14 hari untuk fase
awal, 28 hari untuk fase lanjut; atau
b) Eritromisin 500 mg tiap 6 jam
4) Lama pengobatan 30 hari (stadium I dan II) atau waktu yang
lebih lama untuk stadium laten.
5) Evaluasi serologis (VDRL):
1 bulan setelah pengobatan selesai, ulangi tes serologis
sifilis (TSS):
a) Titer turun: tidak diberikan pengobatan lagi
b) Titer naik : pengobatan ulang
c) Titer tetap: observasi 1 bulan
1 bulan setelah observasi:
a) Titer turun : tidak diberi pengobatan
b) Titer naik atau tetap : pengobatan ulang
6) Pemantauan TSS: Pada bulan I, II, VI dan XII dan tiap 6
bulan pada tahun kedua.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: untuk penyembuhan dan
pemutusan rantai penularan.
2) Efek samping: perlu hati-hati kemungkinan reaksi
anafilaktik terhadap benzatin penisilin G. Siapkan perangkat
penanganan reaksi syok anafilaktik.
3) Edukasi tentang penyakit, cara penularan, cara pencegahan
dan pengobatan.
4) Sedapat mungkin penanganan pasangan seksualnya.
5) Merujuk spesimen darah untuk pemeriksaan laboratorium
VDRL dan TPHA untuk penegakan diagnosis pasti.
6) Alasan rujuk: jika terjadi komplikasi atau kondisi parah.

293
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
82. SINDROMA NEFROTIK
Kompetensi : 2
Laporan Penyakit : 16 ICD X : N20-N23; N30

a. Definisi
Sindroma Nefrotik adalah suatu sindroma (kumpulan gejala-
gejala) yang terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang
ginjal dan menyebabkan:
1) proteinuria (protein di dalam air kemih lebih dari 3,5 g tiap
24 jam)
2) menurunnya kadar albumin dalam darah (<3,5 g/dL pada
dewasa dan <2,5 g/dL pada anak)
3) penimbunan garam dan air yang berlebihan
4) meningkatnya kadar lemak dalam darah.
Sindroma ini bisa terjadi pada segala usia. Pada anak, paling
sering timbul pada usia 18 bulan – 4 tahun dan lebih banyak
menyerang anak laki-laki.
Klasifikasi dan penyebab Sindroma Nefrotik dapat dilihat pada
Tabel 32.

Tabel 32. Klasifikasi dan Penyebab Sindroma Nefrotik


Glomerulonefritis primer:
1. GN lesi minimal (GNLM)
2. Glomeruloklerosis fokal (GSF)
3. GN membranosa (GNMN)
4. GN membranoproliferatif ( GNMP)
5. GN proliferatif lain
Glomerulonefritis sekunder akibat:
1. Infeksi (HIV, hepatitis virus B dan C, sifilis, malaria, skistotoma,
tuberkulosis, lepra)
2. Keganasan (Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgin,
mieloma multipel, dan karsinoma ginjal)
3. Penyakit jaringan penghubung: Lupus eritematosus sistemik, artritis
reumatoid, MCTD (mixed connective tissue disease)
4. Efek obat dan toksin
5. Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilamin, probenesid, air
raksa, kaptopril, heroin
294
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
6. Lain-lain: Diabetes melitus, amiloidosis, preeklamsia, rejeksi alograf
kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah

b. Gambaran Klinis
1) Gejala awalnya bisa berupa:
a) berkurangnya nafsu makan
b) pembengkakan kelopak mata
c) nyeri perut
d) pengkisutan otot
e) pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam dan
air
f) air kemih berbusa.
2) Perut bisa membengkak karena terjadi penimbunan cairan
dan sesak napas bisa timbul akibat adanya cairan di rongga
sekitar paru-paru (efusi pleura).
3) Gejala lainnya adalah pembengkakan lutut dan kantung
zakar (pada pria).
Pembengkakan yang terjadi seringkali berpindah-pindah;
pada pagi hari cairan tertimbun di kelopak mata dan setelah
berjalan cairan akan tertimbun di pergelangan kaki.
Pengkisutan otot bisa tertutupi oleh pembengkakan.
4) Pada anak-anak bisa terjadi penurunan tekanan darah pada
saat pasien berdiri dan tekanan darah yang rendah (yang
bisa menyebabkan syok). Tekanan darah pada pasien dewasa
bisa rendah, normal ataupun tinggi.
5) Produksi air kemih bisa berkurang dan bisa terjadi gagal
ginjal karena rendahnya volume darah dan berkurangnya
aliran darah ke ginjal.
6) Kadang gagal ginjal disertai penurunan pembentukan air
kemih terjadi secara tiba-tiba.
7) Kekurangan gizi bisa terjadi akibat hilangnya zat-zat gizi
(misalnya glukosa) ke dalam air kemih.
8) Pertumbuhan anak-anak bisa terhambat. Kalsium akan
diserap dari tulang. Rambut dan kuku menjadi rapuh dan
bisa terjadi kerontokan rambut. Pada kuku jari tangan akan
terbentuk garis horisontal putih yang penyebabnya tidak
diketahui.

295
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
9) Lapisan perut bisa mengalami peradangan (peritonitis).
Sering terjadi infeksi oportunistik (infeksi akibat bakteri
yang dalam keadaan normal tidak berbahaya).
10) Tingginya angka kejadian infeksi diduga terjadi akibat
hilangnya antibodi ke dalam air kemih atau karena
berkurangnya pembentukan antibodi.
11) Terjadi kelainan pembekuan darah, yang akan meningkatkan
risiko terbentuknya bekuan di dalam pembuluh darah
(trombosis), terutama di dalam vena ginjal yang utama. Di
lain pihak, darah bisa tidak membeku dan menyebabkan
perdarahan hebat.

c. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan edem anasarka dan
proteinuria positif 2 (++) atau lebih.

d. Penatalaksanaan
1) Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi penyebabnya.
Mengobati infeksi penyebab sindroma nefrotik bisa
menyembuhkan sindroma ini.
2) Jika penyebabnya adalah penyakit yang dapat diobati
(misalnya penyakit Hodgkin atau kanker lainnya), maka
mengobatinya akan mengurangi gejala-gejala ginjal.
3) Jika penyebabnya adalah kecanduan heroin, maka
menghentikan pemakaian heroin pada stadium awal
sindroma nefrotik, bisa menghilangkan gejala-gejalanya.
4) Jika penyebabnya adalah obat, maka untuk mengatasi
sindroma nefrotik, pemakaian obat harus dihentikan.
5) Jika tidak ditemukan penyebab yang pasti, maka diberikan
prednison 1 mg/kgBB dalam 3 dosis selama 2 bulan
berturut-turut dilanjutkan dengan tappering off diturunkan
10 mg tiap 2 minggu sambil melihat respon klinik. Bila
responsif obat dihentikan dalam waktu 2–3 bulan. Bila
respon tidak baik maka kasus ini perlu dirujuk. Sebelum
memberikan imunosupresif, perlu dipastikan bahwa pasien
tidak menderita tuberkulosis.
6) Pengobatan yang umum adalah diet yang mengandung
protein dan kalium dalam jumlah yang normal dengan
296
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
lemak jenuh dan natrium yang rendah. Terlalu banyak
protein akan meningkatkan kadar protein dalam air kemih.
7) ACE inhibitors (misalnya enalapril, kaptopril dan lisinopril)
biasanya menurunkan pembuangan protein dalam air kemih
dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi
pada pasien yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang
ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar
kalium darah. Jika cairan tertimbun di perut, untuk
mengurangi gejala dianjurkan untuk makan dalam porsi
kecil tetapi sering.
8) Tekanan darah tinggi biasanya diatasi dengan diuretik
furosemid. Diuretik juga dapat mengurangi penimbunan
cairan dan pembengkakan jaringan, tetapi bisa
meningkatkan risiko terbentuknya bekuan darah.
9) Antikoagulan bisa membantu mengendalikan pembentukan
bekuan darah.
10) Pengobatan pada anak adalah sebagai berikut:
Kortikosteroid (prednison) dosis 60 mg/m2 LPB atau 2
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 atau 4 dosis selama 4 minggu.
Bila remisi dosis dilanjutkan dengan 40mg/ m2/LPB atau
1,5mg/kgBB diberikan dosis tunggal pagi hari selang sehari
(alternate day) selama 4 minggu. Bila dalam 4 minggu
pertama tidak responsif maka disebut sebagai Sindrom
nefrotik resisten steroid dan perlu dirujuk.

e. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengatasi
penyebabnya bila diketahui. Mengobati infeksi penyebab
sindroma nefrotik bisa menyembuhkan sindroma ini.
2) Efek samping yang mungkin timbul akibat pengobatan
steroid antara lain hipertensi, mudah terkena infeksi,
hiperglikemia, striae, osteoporosis dan iritasi lambung.
3) Pencegahan untuk menghindari kekambuhan dengan
menghindari infeksi bentuk apa pun (bakteri, virus dan lain-
lain), kelelahan (stress).
4) Alasan rujukan:
a) Pada pasien anak: jika pengobatan dasar tidak
memberikan respon atau timbul efek samping yang
berat.
297
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b) Pada pasien dewasa: sindroma nefrotik harus dirujuk
untuk mencari penyebab.

298
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
83. SINDROMA STEVENS-JOHNSON
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 2002 ICD X : L20-L30

a. Definisi
Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan
gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias
kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata
disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain: sindroma de
Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiforme mayor,
eritema poliforme bulosa, sindroma muko-kutaneo-okular,
dermatostomatitis, dan lain-lain.

b. Penyebab
Reaksi imunologi berat, lebih sering karena obat seperti
kotrimoksazol, karbamazepin.

c. Gambaran Klinis
1) Gejala prodromal berkisar antara 1–14 hari berupa demam,
malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah,
pegal otot dan artralgia yang sangat bervariasi dalam derajat
berat dan kombinasi gejala tersebut.
2) Setelah itu akan timbul lesi di :
a) Kulit berupa eritema, papula, vesikel, atau bula secara
simetris pada hampir seluruh tubuh.
b) Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi,
perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi
mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul
pada membran mukosa, membran hidung, mulut,
anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra.
Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan
gambaran utama.
c) Mata: konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis,
iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka,
pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang
dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler

299
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
merupakan faktor pencetus yang menyebabkan
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan
inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan
kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi
mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
d. Diagnosis
1) Anamnesa: ada riwayat demam yang tidak diketahui
penyebabnya saat pasien minum obat.
2) Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai
dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta
hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis
terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan
pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi,
pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi
dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik
biopsi kulit.

e. Penatalaksanaan
Pada umumnya pasien SSJ datang dengan keadan umum berat
sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah:
1) Hentikan pemberian obat yang dicurigai.
2) Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara
parenteral.
3) Kortikosteroid parenteral: deksametason i.v. 0,15-0,2
mg/kgBB/hari, dapat diberikan sampai 4-6 kali 5 mg/hari,
setelah masa kritis diatasi (2-3 hari), dosis segera diturunkan
cepat (5 mg/hari), setelah dosis rendah bisa diganti per oral
(prednison 2x20 mg/hari) dilanjutkan dengan tappering off.
4) Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal.
Klorfeniramin maleat (klortrimeton) dapat diberikan
dengan dosis untuk anak usia 1–3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk
anak usia 3–12 tahun 15 mg/dosis, tiap 8 jam.

300
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
5) Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan NaCl
0,9%.
6) Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi
kulit.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: pengobatan inisial dan penatalaksanaan
fungsi vital.
2) Segera dilakukan rujukan.
3) Jika Sindroma Stevens-Johnson berulang, dapat menjadi
Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).
4) Dokter perlu menanyakan riwayat alergi obat pada pasien
sebelum memberikan obat.
5) Pasien juga harus secara aktif memberikan informasi bahwa
pernah mengalami Sindroma Stevens-Johnson dan perlu
mengingat jenis obat yang menyebabkannya.

301
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
84. SINUSITIS
Kompetensi : 1; 2; 3A
Laporan Penyakit : 1303 ICD X : J10-J11

a. Definisi
Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena
alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa
terjadi pada salah satu dari keempat sinus.

b. Penyebab
Ostium sinus tersumbat, atau rambut-rambut pembersih (ciliary)
rusak sehingga sekresi mukus tertahan dalam rongga sinus yang
selanjutnya menyebabkan peradangan.

c. Gambaran Klinis
1) Gejala khas dari kelainan pada sinus adalah sakit kepala
yang dirasakan ketika pasien bangun pada pagi hari.
2) Sinusitis akut dan kronik memiliki gejala yang sama, yaitu
nyeri tekan dan pembengkakan pada sinus yang terkena,
tetapi ada gejala tertentu yang timbul berdasarkan sinus
yang terkena:
a) Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi tepat di
bawah mata, sakit gigi dan sakit kepala.
b) Sinusitis frontalis menyebabkan sakit kepala di dahi.
c) Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di belakang dan
diantara mata serta sakit kepala di dahi. Peradangan
sinus etmoidalis juga bisa menyebabkan nyeri bila
pinggiran hidung ditekan, berkurangnya indera
penciuman dan hidung tersumbat.
d) Sinusitis sfenoidalis menyebabkan nyeri yang lokasinya
tidak dapat dipastikan dan bisa dirasakan di puncak
kepala bagian depan ataupun belakang, atau kadang
menyebabkan sakit telinga dan sakit leher.
3) Gejala lainnya adalah:
a) Tidak enak badan.
b) Demam, demam dan menggigil menunjukkan bahwa
infeksi telah menyebar ke luar sinus.

302
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
c) Letih, lesu
d) Batuk, yang mungkin semakin memburuk pada malam
hari.
e) Hidung meler atau hidung tersumbat.
f) Selaput lendir hidung tampak merah dan membengkak,
dari hidung mungkin keluar nanah berwarna kuning atau
hijau.
d. Diagnosis
1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, foto
rontgen sinus dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk
menentukan luas dan beratnya sinusitis, bisa dilakukan
pemeriksaan CT scan.
2) Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen
gigi untuk mengetahui adanya abses gigi.

e. Penatalaksanaan
1) Sinusitis akut
Antibiotik: amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 1-2
minggu, eritromisin 500 mg tiap 8 jam
Untuk sinusitis akut biasanya diberikan:
a) antibiotik untuk mengendalikan infeksi bakteri (terapi
awal umumnya dengan amoksisilin atau kotrimoksazol).
b) obat pereda nyeri untuk mengurangi rasa nyeri.
Dekongestan dalam bentuk tetes hidung atau obat semprot
hidung hanya boleh dipakai selama waktu yang terbatas
(karena pemakaian jangka panjang bisa menyebabkan
penyumbatan dan pembengkakan pada saluran hidung).
Untuk mengurangi penyumbatan, pembengkakan dan
peradangan bisa diberikan obat semprot hidung yang
mengandung steroid.
2) Sinusitis kronik
Diberikan antibiotik dan dekongestan. Untuk mengurangi
peradangan biasanya diberikan obat semprot hidung yang
mengandung steroid.
Jika penyakitnya berat, bisa diberikan steroid per-oral
(melalui mulut).
Hal-hal berikut bisa dilakukan untuk mengurangi rasa tidak
nyaman:

303
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a) Menghirup uap dari sebuah vaporizer atau semangkuk
air panas
b) Obat semprot hidung yang mengandung larutan garam.
c) Kompres hangat di daerah sinus yang terkena.
Jika tidak dapat diatasi dengan pengobatan tersebut, maka
satu-satunya jalan untuk mengobati sinusitis kronik adalah
pembedahan.

304
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
85. SIROSIS HATI
Kompetensi : 2
Laporan Penyakit : 89 ICD X : K74

a. Definisi
Penyakit hati menahun yang secara patologis menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progesif dan
difus, ditandai dengan distorsi arsitektur hepar berupa
nekroinflamasi, pembentukan jaringan ikat disertai nodul
regenerasi.
b. Penyebab
Meliputi antara lain infeksi virus, parasit, obat dan bahan kimia,
kelainan bawaan dan obstruksi bilier. Semua hal yang
menyebabkan jejas pada hati pada akhirnya akan menyebabkan
sirosis hati.
c. Gambaran Klinis
1) Pasien sirosis Child-pugh A dapat tidak memiliki gejala dan
nampak sehat selama bertahun-tahun, namun terdapat tanda-
tanda (stigmata) sirosis. Pasien lainnya mengalami
kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan dan merasa
sakit.
a) Gejala awal sirosis (kompensata):
perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan
berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan
menurun.
b) Gejala lanjut sirosis (dekompensata):
bila terdapat kegagalan hati dan hipertensi portal,
meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan
demam subfebris, perut membesar. Bisa terdapat
gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis,
hematemesis melena, ikterus, perubahan siklus haid,
serta perubahan mental. Pada laki-laki dapat impotensi,
buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas.
2) Pada pemeriksaan fisik dicari stigmata sirosis: palmar
eritema, spider naevi, fetor hepatikum, vena kolateral
dinding perut, ikterus, edema pretibial, asites, splenomegali,
liver nail, clubbing finger, kontraktur dupuytren,
ginekomastia, atrofi testis, hipogonadisme, ukuran hati bisa
305
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
membesar/normal/kecil, asterixis bilateral, demam
subfebris.
3) Malnutrisi biasa terjadi karena buruknya nafsu makan dan
terganggunya penyerapan lemak dan vitamin-vitamin yang
larut dalam lemak, yang disebabkan oleh berkurangnya
produksi garam-garam empedu.
4) Kadang-kadang terjadi batuk darah atau muntah darah
karena adanya perdarahan dari vena varikosa di ujung
bawah kerongkongan (varises esofageal). Pelebaran
pembuluh darah ini merupakan akibat dari tingginya
tekanan darah dalam vena yang berasal dari usus menunju
ke hati. Tekanan darah tinggi ini disebut sebagai hipertensi
portal, yang bersamaan dengan buruknya fungsi hati, juga
bisa menyebabkan terkumpulnya cairan di dalam perut
(asites).
5) Bisa juga terjadi gagal ginjal dan ensefalopati hepatikum.
6) Gejala-gejala penyakit hati lainnya bisa terjadi, seperti:
a) kelemahan otot
b) kemerahan di telapak tangan (eritema palmaris)
c) jari-jari tangan melekuk keatas (kontraktur telapak
tangan)
d) vena-vena kecil yang memberikan gambaran seperti
laba-laba
e) pembesaran payudara dan pinggul pada laki-laki
(ginekomastia)
f) pembesaran kelenjar ludah di pipi
g) rambut rontok
h) buah zakar mengecil (atrofi testis)
i) fungsi saraf abnormal (neuropati perifer).
d. Diagnosis
Anamnesis
1) Mencari penyebab dan faktor risiko dari sirosis:
Lama dan banyaknya minum alkohol, risiko viral hepatitis
(intravena drug user, seks berganti pasangan), riwayat
keluarga dengan penyakit hati, penggunaan obat.
Ditanyakan juga penyebab lainnya seperti:

306
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a) Perlemakan hati non alkoholik (obesitas, dislipidemia,
hiperglikemia, dan sindrom metabolik)
b) Wanita dengan penyakit autoimun
c) Trombosis vena hepatik atau sindroma Budd-Chiari
(riwayat hiperkoagulasi)
d) Riwayat transplantasi stem cell atau bone marrow
e) Dan penyebab yang jarang, seperti:
(1) Primary sclerosing cholangitis (sering terdapat
kolitis useratif)
(2) Defesiensi α1-antitripsin (prematur emfisema)
(3) Hemokromatosis herediter (perubahan kulit, artritis,
DM, hipogonad)
2) USG bisa menunjukkan adanya pembesaran atau pengerutan
hati.
3) Diagnosis pasti dibuat berdasarkan pemeriksaan
mikroskopis dari jaringan hati (biopsi).
Gradasi penyakit sirosis dapat dilihat pada Tabel 33.
Tabel 33. Gradasi Penyakit Sirosis Menggunakan Skor
Child-Turcotte-Pugh
Kriteria 1 2 3
Asites Nihil Mudah dikontrolSulit dikontrol
Ensefalopati Nihil Grade I atau II Grade III atau IV
Bilirubin(mg/dl) <2 2-3 >3
Albumin (g/dl) >3.5 2.8-3.5 <2.8
Waktu protrombin (detik diatas1-3 4-6 >6
waktu protrombin normal)
Klasifikasi
A B C
Jumlah poin total 5-6 7-9 10-15
Prosentase hidup dalam 1 tahun100% 80% 45%
pertama

e. Penatalaksanaan
1) Pengobatan untuk sirosis berupa:
a) Istirahat cukup
b) Diet seimbang (tergantung kondisi klinis)

307
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
c) Pada pasien sirosis dekompensata dengan komplikasi
asites: diet rendah garam.
d) Laktulosa dengan target BAB 2-3 x sehari.
e) Menghilangkan etiologi (misalnya alkohol, pengobatan
hepatitis).
f) Pengobatan komplikasi. Bila terdapat komplikasi rujuk
ke spesialis.
2) Pemantauan:
a) USG hati untuk mencari nodul hepatoma (6–12 bulan 1
x).
b) Endoskopi Esofagogastroduodenoskopi untuk ligasi
profilaksis varises esofagus (frekuensi kontrol
tergantung derajat Varises).
c) Mencari secara aktif tanda–tanda ensefalopati
hepatikum di tiap kunjungan pasien: konsentrasi
menurun, gangguan tidur/perilaku.
f. KIE
1) Tujuan pengobatan: mempertahankan kualitas hidup pasien.
2) Pencegahan: pola makan yang baik dan teratur, kontrol
segera bila ada demam, penurunan konsentrasi, hindari
mengoperasikan kendaraan.
3) Alasan rujukan: mengatasi komplikasi, terapi pembedahan
(seperti untuk shunting vena porta, transplantasi hati, dsb).
4) Sirosis hati merupakan faktor risiko terjadinya hepatoma.
5) Pada pasien dengan hepatitis virus, skrining keluarga untuk
mencari secara aktif infeksi virus hepatitis di keluarga, dan
penyuluhan vaksinasi terutama untuk keluarga dekat
(khusus hepatitis B).
6) Hati-hati pemberian obat yang mengiritasi lambung dan
obat yang dimetabolisme melalui hati.

308
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
86. SISTITIS AKUT
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 16 ICD X : N20-23; N30

a. Definisi
Sistitis adalah infeksi pada kandung kemih. Infeksi kandung
kemih umumnya terjadi pada wanita, terutama pada masa
reproduktif. Beberapa wanita menderita infeksi kandung kemih
secara berulang.

b. Penyebab
E.coli (organisme paling sering, pada 80–90% kasus); juga
Klebsiella, Pseudomonas, grup B Streptococcus dan Proteus
mirabilis.

c. Gambaran Klinis
1) Infeksi kandung kemih biasanya menyebabkan desakan
untuk buang air kecil dan rasa terbakar atau nyeri selama
buang air kecil.
2) Nyeri biasanya dirasakan diatas tulang kemaluan dan sering
juga dirasakan di punggung sebelah bawah.
3) Gejala lainnya adalah nokturia (sering buang air kecil di
malam hari).
4) Urin tampak berawan dan mengandung darah.
5) Kadang infeksi kandung kemih tidak menimbulkan gejala
dan diketahui pada saat pemeriksaan urin (urinalisis untuk
alasan lain.)
6) Sistitis tanpa gejala terutama sering terjadi pada usia lanjut,
yang bisa menderita inkontinensia uri sebagai akibatnya.

d. Diagnosis
1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya yang khas:
disuria, leukosituria dan nitrit urin positif.
2) Diambil contoh urin aliran tengah (midstream), agar urin
tidak tercemar oleh bakteri dari vagina atau ujung penis.
Urin kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk melihat
adanya sel darah merah atau sel darah putih atau zat lainnya.

309
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3) Dilakukan penghitungan bakteri dan dibuat biakan untuk
menentukan jenis bakterinya. Jika terjadi infeksi, maka
biasanya 1 jenis bakteri ditemukan dalam jumlah yang
banyak.
4) Pada pria, urin aliran tengah biasanya cukup untuk
menegakkan diagnosis. Pada wanita, contoh urin ini kadang
dicemari oleh bakteri dari vagina, sehingga perlu diambil
contoh urin langsung dari kandung kemih dengan
menggunakan kateter.
e. Penatalaksanaan
1) Pada usia lanjut, infeksi tanpa gejala biasanya tidak
memerlukan pengobatan.
2) Antibiotik diberikan jika pasien memenuhi kriteria disuria,
leukosituria dan nitrit urin positif
3) Untuk sistitis ringan, langkah pertama yang bisa dilakukan
adalah minum banyak cairan. Aksi pembilasan ini akan
membuang banyak bakteri dari tubuh, bakteri yang tersisa
akan dilenyapkan oleh pertahanan alami tubuh.
4) Pemberian antibiotik peroral seperti kotrimoksazol 480 mg
tiap 12 jam atau siprofloksasin selama 5 hari biasanya
efektif, selama belum timbul komplikasi.
5) Jika infeksinya kebal, biasanya antibiotik diberikan selama
7–10 hari.
6) Gejalanya seringkali bisa dikurangi dengan membuat
suasana urin menjadi basa, yaitu dengan meminum baking
soda yang dilarutkan dalam air.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk eradikasi kuman penyebab.
2) Alasan rujuk: pada kasus komplikasi, anak, wanita hamil,
dan indikasi pembedahan.

310
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
87. SKABIES
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 0704 ICD X : B86

a. Definisi
Skabies atau sering juga disebut penyakit kulit berupa budukan
dapat ditularkan melalui kontak erat dengan orang yang
terinfeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh infestasi
dan sensitisasi terhadap kutu Sarcoptes scabiei var hominis dan
fesesnya pada kulit manusia. Sarcoptes scabiei adalah kutu yang
transparan, berbentuk oval, punggungnya cembung, perutnya
rata dan tidak bermata. Skabies hanya dapat diberantas dengan
memutus rantai penularan dan memberi obat yang tepat.

b. Penyebab
Kutu Sarcoptis scabiei.

c. Gambaran klinik
Penyakit skabies memiliki 4 gejala klinis utama,yaitu:
1) Pruritus nokturna, atau rasa gatal di malam hari, yang
disebabkan aktivitas tungau yang lebih tinggi dalam suhu
lembab.
2) Penyakit ini dapat menyerang manusia secara kelompok.
Mereka yang tinggal di asrama, barak-barak tentara,
pesantren maupun panti asuhan berpeluang lebih besar
terkena penyakit ini. Penyakit ini amat mudah menular
melalui pemakaian handuk, baju maupun seprai secara
311
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
bersama-sama. Skabies mudah menyerang daerah yang
tingkat kebersihan diri dan lingkungan masyarakatnya
rendah.
3) Adanya terowongan-terowongan di bawah lapisan kulit
(kanalikuli), yang berbentuk lurus atau berkelok-kelok,
menimbulkan eritem yang berpasangan. Jika terjadi infeksi
skunder oleh bakteri, maka akan timbul gambaran pustul
(bisul kecil). Kanalikuli ini berada pada daerah lipatan kulit
yang tipis, seperti sela-sela jari tangan, daerah sekitar
kemaluan (pada anak), siku bagian luar, kulit sekitar
payudara, bokong dan perut bagian bawah.
4) Menemukan kutu pada pemeriksaan kerokan kulit secara
mikroskopis, merupakan diagnosis pasti penyakit ini.

d. Diagnosis
Ditegakkan dari anamnesis, manifestasi klinik dan pemeriksaan
penunjang ditemukan 3 dari 4 kriteria sebagai berikut:
1) Gatal malam hari
2) Terdapat pada sekelompok orang
3) Predileksi dan morfologis khas
4) Ditemukan Tungau S.scabies

e. Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit ini menggunakan obat berbentuk krim atau
salep yang dioleskan pada bagian kulit yang terinfeksi. Banyak
sekali obat yang tersedia di pasaran. Namun, ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi antara lain; tidak berbau, efektif
terhadap semua stadium kutu (telur, larva maupun kutu dewasa),
tidak menimbulkan iritasi kulit, juga mudah diperoleh dan
murah harganya.
1) Sistemik
a) Antihistamin klasik sedatif ringan untuk mengurangi
gatal, misalnya klorfeniramin maleat 0,34 mg/kg BB
tiap 8 jam.
b) Antibiotik bila ditemukan infeksi sekunder misalnya
amoksisilin.
2) Topikal
Obatan-obatan yang dapat digunakan antara lain:
312
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a) Lini 1: Permetrin HCl 5%, dioleskan pada kulit dan
dibiarkan selama 10 jam, dapat diulang setelah 1
minggu.
b) Salep 2–4, biasanya dalam bentuk salep atau krim.
Obat ini tidak efektif membunuh stadium telur, dan
penggunaannya harus lebih dari 3 hari berturut-turut.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: penyembuhan dan pemutusan
rantai penularan.
2) Pencegahan: penyuluhan higiene perorangan dan
lingkungan. Hindari kontak dengan pasien serupa.
3) Mencuci bersih bahkan sebagian ahli menganjurkan
merebus handuk, seprai maupun baju pasien skabies,
kemudian menjemurnya hingga kering. Menghilangkan
faktor predisposisi, antara lain dengan penyuluhan mengenai
higiene perorangan dan lingkungan.
4) Menghindari pemakaian baju, handuk, seprai secara
bersama-sama.
5) Mengobati seluruh anggota keluarga, atau masyarakat yang
terinfeksi untuk memutuskan rantai penularan.
6) Dianjurkan kontrol 1 minggu kemudian, bila ada lesi baru
obat topikal dapat diulang kembali.

313
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
88. SKIZOFRENIA dan GANGGUAN PSIKOTIK KRONIK
LAIN
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 68 ICD X : F20

a. Definisi
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa (psikotik),
bermanifestasi sebagai suatu sindroma yang ditandai
penyimpangan yang mendasar dari pikiran, persepsi dan afek
yang tidak sesuai yang menimbulkan penderitaan dan
mempengaruhi fungsi sehari-hari. Dapat timbul eksaserbasi
akut. Perlu untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan
organik (misalnya: demam, riwayat kejang, kemungkinan
intoksikasi NAPZA, trauma kepala).

b. Penyebab
Biopsikososial; yaitu terdiri dari faktor biologis (termasuk
genetik), faktor psikologis (kepribadian, motivasi) dan faktor
sosial (keluarga dan lingkungan).

c. Gambaran Klinis
Pasien mungkin datang dengan keluhan: halusinasi seperti
mendengar suara-suara/melihat bayangan gaib yang tidak
didengar/dilihat oleh orang lain, bicara sendiri, bicara kacau
yang tidak dapat dimengerti, keyakinan yang aneh dan tidak
sesuai dengan realita (contoh: merasa yakin dirinya seorang
malaikat, dikejar-kejar, menerima “pesan” melalui televisi),
gelisah, tidak dapat tidur, sulit berkonsentrasi, keluhan fisik
yang tidak biasa/aneh (misal: merasa ada hewan atau obyek
yang tak lazim di dalam tubuhnya), menarik diri dari lingkungan
sosial, afek tumpul dan tidak serasi.

d. Diagnosis
1) Adanya delusi/waham (keyakinan yang salah dan tidak
sesuai dengan realita).
2) Adanya halusinasi dengar (tersering).
3) Perilaku aneh.
4) Bicara kacau atau tidak dapat dimengerti.
314
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
5) Agitasi atau kegelisahan.
6) Penarikan diri secara sosial, pengabaian diri termasuk
kebersihan.
7) Gejala berlangsung selama paling sedikit 1 bulan yang
mencakup fase aktif dengan atau tanpa fase prodromal
(awal) maupun fase residual (tidak adanya gejala aktif).
8) Tidak ada penyebab organik.

e. Penatalaksanaan
1) Pada kasus eksaserbasi akut atau gaduh gelisah dapat
diberikan haloperidol injeksi 5 mg i.m. dengan atau tanpa
diazepam injeksi 5 mg. Nilai ulang setelah 2 jam, dapat
diulang. Jika pasien telah tenang, dianjurkan untuk kembali
menggunakan terapi oral.
2) Berikan antipsikotik oral haloperidol 5 mg/hari, terbagi
menjadi 2 – 3 kali pemberian. Dapat dinaikkan secara
bertahap setelah 2 – 3 minggu bila belum tampak perbaikan.
Bila telah perbaikan maka dosis dipertahankan hingga
pasien tenang dan kembali dapat mengurus dirinya sendiri.
Bila belum tampak perbaikan, dosis dapat dinaikkan hingga
15 mg/hari. Nilai kembali terapi setelah 6 bulan-1 tahun.
3) Gunakan dosis efektif terkecil untuk mengurangi efek
samping.
4) Pada hal-hal khusus, seperti pasien pasca rawat (rujuk balik)
dengan ketidakpatuhan minum obat, dianjurkan pemberian
injeksi depo lepas lambat haloperidol 50 mg 1 bulan sekali
dengan syarat:
a) Pasien telah stabil menggunakan haloperidol oral
sebelumnya. Jika pasien belum pernah menggunakan
haloperidol oral, dapat dimulai haloperidol oral selama
2 minggu.
b) Tidak ada gangguan fisik.
c) Dapat dimulai dengan dosis 25 mg atau setengah dosis
diinjeksikan i.m untuk 2–4 minggu. (Dilarang
menggunakan secara intravena/ i.v)
d) Setelah 4 minggu injeksi depo dapat dinaikkan menjadi
50 mg atau dosis utuh.

315
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
e) Pada 1-3 bulan pertama (individual), pasien masih
mendapatkan terapi oral dengan dosis yang disesuaikan,
mengingat preparat depo membutuhkan waktu untuk
mencapai kadar plasma yang stabil.
f) Untuk selanjutnya pasien diberikan injeksi i.m. 1 bulan
sekali dosis 50 mg.
g) Jika timbul demam tinggi, peningkatan denyut nadi dan
tekanan darah, CPK meningkat segera hentikan
penggunaan antipsikotik, beri terapi suportif dan segera
rujuk ke RSU atau RSJ yang memiliki layanan
spesialisasi Penyakit Dalam.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: mengurangi gejala, mengurangi
kekambuhan dan mengembalikan fungsi.
2) Efek Samping
a) Efek samping tersering dari haloperidol adalah gejala-
gejala ekstra piramidal seperti: tremor, akut distonia,
rigiditas, dan drooling, diberikan antikolinergik
(triheksifenidil) 2 mg tiap 8-24 jam atau injeksi i.m.
difenhidramin 25 mg (jika berat seperti distonia akut
dengan oculogyric crises), dapat diulang. Jika ada
riwayat efek samping ini, dapat diberikan triheksifenidil
bersamaan dengan pemberian haloperidol.
b) Efek samping tersering klorpromazin adalah hipotensi
ortostatik dan sedasi kuat, hati-hati untuk pemberian
bagi lansia. Tidak diperbolehkan bagi pasien epilepsi,
dapat mencetuskan status epileptikus karena
menurunkan ambang kejang.
3) Jelaskan bahwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa
dengan penyebab biopsikososial.
4) Gejala skizofrenia bisa hilang timbul. Diperlukan kepatuhan
minum obat untuk mencegah kekambuhan. Informasikan
kepada keluarga dan pasien mengenai efek samping.
5) Dukungan keluarga sangat diperlukan untuk ketaatan
terhadap pengobatan dan rehabilitasi yang efektif.
6) Dorong pasien untuk berfungsi pada taraf yang optimal
dalam pekerjaan dan kegiatan sehari-hari.
316
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
7) Organisasi kemasyarakatan bisa memberikan dukungan
yang berarti bagi pasien dan keluarga.
8) Dorong pasien untuk berfungsi pada taraf yang optimal
dalam pekerjaan dan kegiatan sehari-hari.
9) Kurangi stres dan stimulasi. Jangan berargumentasi terhadap
pikiran psikotik. Hindari konfrontasi atau mengkritik.
10) Pada saat gejala lebih berat, sebaiknya istirahat dan
menghindari dari stres.

317
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
89. STOMATITIS AFTOSA (SARIAWAN)
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 1505 ICD X : K12

a. Definisi
Stomatitis aftosa (sariawan) adalah suatu luka terbuka yang
kecil di dalam mulut yang menimbulkan nyeri.

b. Penyebab
Penyebabnya macam-macam misalnya kebersihan mulut yang
buruk, gizi kurang, infeksi kuman, gangguan hormonal
(gingivostomatitis deskuamatif), kelainan darah, pemakaian obat
(stomatitis medikamentosa/venenata) atau makanan yang
merangsang misalnya cabe.
Stomatitis Vincent disebabkan oleh kuman Gram negatif,
sedangkan stomatitis aftosa (sariawan) merupakan salah satu
bentuk yang tidak diketahui penyebabnya.
Beberapa faktor diduga berperan dalam terjadinya sariawan,
misalnya demam, stres, trauma, cemas, gangguan hormonal.

c. Gambaran Klinis
1) Sariawan dapat terjadi di semua bagian mulut. Bila sariawan
ini terletak di dekat faring, pasien biasanya mengeluh sakit
menelan.
2) Stomatitis Vincent atau gingivostomatitis nekrotik biasanya
timbul akut. Pasien mengeluh mulutnya rasa terjadi
perdarahan spontan pada gusi dan gigi sering terasa
memanjang. Ulkus pada stomatitis ini biasanya terdapat di
daerah gusi antargigi dan diselaputi pseudomembran
berwarna kuning keabu-abuan yang mudah diangkat. Tetapi
ulkus ini dapat meluas ke bagian lain mulut sampai ke
faring.

d. Diagnosis
1) Nyeri dan lesi pada rongga mulut.
2) Diagnosis banding:
a) Infeksi oportunistik HIV-AIDS atau
immunocompromised lain
318
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b) Bagian dari autoimun
c) Bagian dari penyakit menular seksual
d) Hand, Foot and Mouth Disease (HFMD)

e. Penatalaksanaan
1) Anjurkan pasien untuk meningkatkan kebersihan mulutnya,
menghindari makan makanan yang merangsang (asam,
pedas), perbanyak makan buah-buahan dan hindari stress.
2) Pemberian suplemen vitamin C
3) Jika sariawan tidak hilang setelah 2 minggu, rujuk ke
Rumah Sakit.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi,
menghilangkan gejala, mencegah komplikasi.
2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut,
menggosok gigi tiap pagi setelah makan dan malam sebelum
tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun,
makan makanan yang berserat dan berair (sayur dan buah).

319
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
90. STROKE
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : ICD X : -

a. Definisi
Stroke menurut Organisasi Kesehatan Dunia, World Health
Organization (WHO) tahun 1970, adalah sindroma klinik yang
ditandai oleh kelainan fungsi otak baik fokal maupun global
(misalnya koma) yang berlangsung lebih dari 24 jam atau
berakhir dengan kematian tanpa penyebab lain kecuali gangguan
pembuluh darah otak.
Sindroma klinik lain yang disebut “Transient Ischaemic Attack”
(TIA) yang gejalanya persis sama seperti stroke, namun
kembali normal dalam waktu 24 jam dan dalam pemeriksaan
pencitraan (imaging) tidak ditemukan kelainan.

b. Penyebab
Stroke menurut patologinya dibagi :
1) Stroke Iskemik terjadi karena kurang atau hilangnya aliran
darah ke otak. Ini disebabkan karena adanya
blockade/hambatan oleh trombosis atau emboli arteri. Angka
kejadiannya 80-85%
a) Stroke infark trombotik
b) Stroke infark emboli
2) Stroke Perdarahan terjadi karena pecahnya pembuluh darah
otak. Angka kejadiannya 15-20%
a) Stroke perdarahan intraserebral
b) Stroke perdarahan sub arachnoid.

c. Faktor Risiko Stroke:


1) Tidak dapat dimodifikasi: usia, ras, jenis kelamin, riwayat
keluarga menderita penyakit vaskuler
2) Dapat dimodifikasi: hipertensi, diabetes mellitus, penyakit
jantung, kegemukan, sindroma metabolik, merokok,
dislipidemi, pernah menderita TIA atau stroke sebelumnya.

d. Gambaran Klinis

320
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Gejala-gejala Stroke terjadi secara mendadak, yaitu:
1) Secara garis besar disebut “AKSI”
a) Asimetri wajah
b) Kelumpuhan sesisi (hemiparese)
c) Sulit bicara (disartri, afasi/disfaria)
d) Inisiatif segera kerumah sakit
2) Sulit merasakan sensasi, gringgingen, kebas tubuh satu sisi
3) Gangguan konsentrasi dan memori
4) Gangguan koordinasi dan keseimbangan tubuh
5) Gangguan penglihatan, pendengaran, mengecap dan
membau.

e. Penatalaksanaan
1) Deteksi
Pengenalan cepat dan reaksi cepat terhadap tanda-tanda
stroke dan TIA dari dokter, petugas medis maupun petugas
terkait karena konsep Time is Brain yang berarti bahwa
pengobatan Stroke merupakan keadaan gawat darurat. Jadi
keterlambatan pertolongan fase prahospital harus dihindari
dengan pengenalan keluhan dan gejala stroke bagi pasien
dan keluarga
2) Pengiriman pasien
Segera panggil ambulans gawat darurat hal ini sangat
berperan penting dalam pengiriman pasien ke fasilitas yang
tepat untuk penanganan stroke.
3) Transportasi/ambulans
Transporasi pengiriman pasien fasilitas kesehatan yang
dituju, petugas ambulans gawat darurat harus mempunyai
kompetensi dalam penilaian pasien stroke pra rumah sakit.
Fasilitas yang harus ada dalam ambulans adalah sebagai
berikut:
a) Personil yang terlatih
b) Peralatan dan obat resusitasi dan gawat darurat.
c) Ambulans dilengkapi dengan peralatan gawat darurat,
a.l. pemeriksaan glukosa (glucometer), Oksigen dan
pemeriksa kadar saturasi O2.
Personil pada ambulans gawat darurat yang terlatih mampu
mengerjakan:
321
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a) pemeriksaan dan menilai tanda-tanda vital
b) tindakan stabilisasi dan resusitasi (Airway, Breathing
Circulation/ABC). Intubasi perlu dipertimbangkan pada
pasien dengan koma yang dalam,hipoventilasi, dan
aspirasi.
c) bila kardiopulmoner stabil pasien diposisikan setengah
duduk
d) pemasangan infus dengan cairan normal salin
e) pemberian oksigen untuk menjamin saturasi > 95%
f) pencatatan waktu onset serangan
g) transportasi secepatnya ( Time is brain).
4) Memanfaatkan jaringan pelayanan stroke komprehensif
yaitu unit gawat darurat, stroke unit atau ICU sebagai
tempat tujuan penanganan definitif pasien stroke.

f. KIE
Pencegahan primer
Pada stroke meliputi upaya perbaikan gaya hidup dan
pengendalian berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada
orang sehat dan kelompok risiko tinggi yang belum pernah
terserang stroke.
Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah:
1) Mengatur pola makan yang sehat
2) Konsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol dapat
meningkatkan risiko terkena serangan stroke.
3) Jenis makanan yang sehat adalah:
a) Makanan biji-bijian a.l; beras merah, bulgur, jagung,
gandum, kacang kedelai
b) Makanan yang bervitamin dan antioksidan: susu,
sayuran, buah
c) Teh hitam dan teh hijau yang banyak mengandung
antioksidan
4) Menambah asupan kalium dan mengurangi natrium
(monosodium glutamate, sodium natrium), makanan
sebaiknya segar
5) Mengutamakan makanan berserat dan protein nabati serta
bervariasi dan perhatikan menu seimbang
322
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
6) Sumber lemak sebaiknya berasal dari sayuran, ikan, buah
polong dan kacang-kacangan serta banyak mengandung
polisakarida seperti nasi, roti, pasta, sereal dan kentang.
7) Hindari makanan yang mengandung gula.
8) Penanganan stress dan beristirahat yang cukup.
a) Istirahat cukup dan tidur teratur sekitar 6–8 jam/hari.
b) Mengendalikan stress dengan cara berpikir positif sesuai
jiwa sehat menurut WHO, menyelesaikan pekerjaan satu
demi satu, bersikap ramah dan mendekatkan diri kepada
Tuhan.
9) Pemeriksaan kesehatan secara teratur dan taat anjuran
dokter dalam hal diet dan obat. Apabila mempunyai faktor
risiko stroke (misalnya: hipertensi, diabetes, dislipidemia)
harus dikendalikan dengan pengobatan dan gaya hidup sehat
(menu makanan seimbang dan tidak merokok/alkohol).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh petugas


pelayanan ambulans:
1) Jangan terlambat membawa pasien ke fasilitas pelayanan
kesehatan
2) Jangan memberi cairan berlebih kecuali pada pasien syok
dan hipotensi.
3) Jangan menurunkan tekanan darah. Hindari hipotensi,
hipovolemi. hipoventilasi atau anoksia.
4) Catat waktu onset serangan.

323
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
91. STRUMA ENDEMIK (GONDOK)
Kompetensi : 3b
Laporan Penyakit : - ICD X : E.01

a. Definisi
Struma adalah istilah untuk pembesaran kelenjar tiroid. Disebut
struma endemik (gondok) bila struma ini ditemukan pada
banyak orang dalam suatu populasi. Ini biasanya terjadi di
daerah yang makanan penduduknya kurang mengandung
iodium. Penyakit ini umumnya muncul pada masa pubertas atau
kehamilan.

b. Penyebab
Pada keadaan tertentu struma disebabkan oleh zat goitrogenik
seperti PAS, sulfonilurea, litium atau iodium dosis tinggi.

c. Gambaran Klinis
Adanya kelainan dishormonogenesis tiroid perlu dicurigai
apabila ditemukan:
1) Gondok yang secara familial terdapat di daerah nonendemis.
2) Adanya kretin di daerah nonendemis.
3) Adanya gondok dengan hipotiroidisme tanpa tanda
Hashimoto.
4) Adanya gondok disertai dengan gangguan pendengaran (tuli
dan sebagainya).
5) Pasien dengan hipotiroidisme ringan datang dengan keluhan
lelah, nyeri otot, rambut rontok atau konstipasi, kadar T4
bebas biasanya rendah atau normal rendah, dengan kadar
TSH meningkat.
6) Sedangkan manifestasi klinik pasien dengan hipotiroidisme
nyata, berupa kurang energi, rambut rontok, intoleransi
dingin, berat badan naik, konstipasi, kulit kering dan dingin,
suara parau, serta lamban dalam berpikir.
7) Pada hipotiroidisme, kelenjar tiroid sering tidak teraba.
Kemungkinan terjadi karena atrofi kelenjar akibat
pengobatan hipertiroidisme memakai yodium radioaktif
sebelumnya atau setelah tiroditiditis autoimun.
324
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Gejala dan tanda hipotiroid dapat dilihat pada Tabel 34.

Tabel 34. Gejala dan Tanda Hipotiroid


No Organ Gejala dan Tanda
1. Otak Lemah, lelah, mengantuk, depresi, kemampuan berbicara
(Gangguan mental) menurun, intelektual menurun, gangguan ingatan, proses
psikis pelan.
2. Mata Sakit kepala, gangguan penglihatan, edema periorbital
3. Telinga , Hidung danSuara serak
Tenggorokan
4. Kelenjar Tiroid Pembesaran tiroid/ Goiter noduler atau difusa (tiroiditis
autoimun kronik, obat anti tiroid, kekurangan atau kelebihan
hormone tiroid)
5. Jantung danTekanan nadi berkurang (bradikardi), hipertensi diastolik,
pembuluh darah kardiak output berkurang
6. Saluran Cerna Sulit buang air besar (Konstipasi), berat badan naik/ gemuk.
7. Sistem Reproduksi Infertilitas, gangguan menstruasi
8. Otot dan saraf Kaku sendi, kesemutan, nyeri sendi
Gerakan otot lemah (hiporefleksia), edema non pitting
(miksedema), ataksia, kramp otot

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis.

e. Penatalaksanaan
1) Pengobatan ditujukan untuk:
a) Mengurangi besarnya kelenjar gondok.
b) Mengoreksi adanya keadaan hipotiroidisme, kalau
memang ada.

325
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
2) Larutan Lugol 5 tetes/hari dalam 1/2 gelas air bersama
dengan iodium 10–15 mg/hari selama beberapa minggu
sampai kelenjar tiroid kembali normal.
3) Selanjutnya pasien dianjurkan menggunakan garam dapur
beriodium.

f. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan adalah :
a) Meringankan keluhan dan gejala
b) Menormalkan metabolisme
c) Mencegah komplikasi dan risiko penyakit jantung
2) Pencegahan: dianjurkan untuk mengkonsumsi garam
beriodium.
3) Alasan rujukan: jika dipertimbangkan perlu tindakan
operasi, tidak ada respon dengan pengobatan yang
diberikan, ada krisis tiroid atau bila ada persangkaan
keganasan.

326
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
92. SYOK ANAFILAKSIS
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : - ICD X : -

a. Definisi
Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian
terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi
hipersensitivitas. Antigen yang bersangkutan terikat pada
antibodi dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi,
pengeluaran histamin dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler
menyeluruh. Terjadi hipovolemia relatif karena vasodilatasi
yang mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan permeabilitas
kapiler menyebabkan edema. Pada syok anafilaktik, bisa terjadi
bronkospasme yang menurunkan ventilasi. Syok anafilaktik
sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena
seperti antibiotik atau media kontras. Sengatan serangga seperti
lebah juga dapat menyebabkan syok pada orang yang rentan.

b. Penyebab
Syok anafilaksis paling sering disebabkan oleh pemberian obat
secara suntikan, tetapi dapat pula disebabkan oleh obat yang
diberikan secara oral atau oleh makanan. Obat suntik yang
paling sering menimbulkan syok anafilaksis antara lain
penisilin, streptomisin, tiamin, ekstrak bali dan kombinasi
vitamin neurotropik.

c. Gambaran Klinis
1) Gejala-gejala pertama: eritema, rasa terbakar pada kulit, rasa
tersengat, takikardi, rasa tebal di faring dan dada, batuk,
mungkin mual dan muntah.
2) Gejala-gejala sekunder: Pembengkakan kulit (khususnya
palpebra dan bibir), urtikaria, edema laring, serak, wheezing,
serangan batuk, nyeri abdomen, mual, muntah, diare,
hipotensi, berkeringat, pucat.
3) Pada kasus-kasus berat, spasme laring, syok, henti napas
dan henti jantung.

d. Diagnosis
327
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Adanya tanda-tanda yang berhubungan dengan syok anafilaktik.

e. Penatalaksanaan
Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat
sebab pasien berada pada keadaan gawat. Sebenarnya,
pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-
obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta
dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita
berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian
atau cacat organ tubuh menetap. Kalau terjadi komplikasi syok
anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral
maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
1) Hentikan segera obat yang dicurigai sebagai penyebab syok
anafilaktik.
2) Segera baringkan pasien pada alas yang keras dan rata. Kaki
diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran
darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung
dan menaikkan tekanan darah.
3) Segera berikan adrenalin 0,3–0,5 mg larutan 1 : 1000 untuk
pasien dewasa atau 0,01 µg/kgBB untuk pasien anak-anak,
i.m. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai
keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan
pemberian infus kontinyu adrenalin 2–4 µg/menit.
4) Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian
adrenalin kurang memberi respons, dapat ditambahkan
aminofilin 5–6 mg/kgBB i.v dosis awal yang diteruskan
0,4–0,9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
5) Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100
mg atau deksametason 5–10 mg intravena sebagai terapi
penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik
atau syok yang membandel.
6) Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
A. Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga
tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk
pasien yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur
agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas,
328
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik
mandibula ke depan, dan buka mulut.
B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas
buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui
mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaktik yang disertai edema laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total
atau parsial. Pasien yang mengalami sumbatan jalan
napas parsial, selain ditolong dengan obat, juga harus
diberikan bantuan napas dan oksigen. Pasien dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong
dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi, atau trakeotomi.
C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada
arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan
kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap
kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya
sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.
7) Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan
jalur i.v untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan
ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta
mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara
larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan
didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat
terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler.
Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka
diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan
volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20–40% dari
volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid,
dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan
kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga
bahwa larutan koloid plasma protein atau dekstran juga bisa
melepaskan histamin.
8) Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila pasien
syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat
329
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan,
maka penanganan pasien di tempat kejadian sudah harus
semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia
dan transportasi pasien harus dikawal oleh dokter. Posisi
waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan
kaki lebih tinggi dari jantung.
9) Kalau syok sudah teratasi, pasien jangan cepat-cepat
dipulangkan, tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama
kurang lebih 4 jam. Sedangkan pasien yang telah mendapat
terapi adrenalin lebih dari 2–3 x suntikan, harus dirawat di
rumah sakit semalam untuk observasi.

Pencegahan:
Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting
dalam tiap pemberian obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk
dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan, antara
lain:
1) Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat
dan tepat.
2) Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang
yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat,
mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kemungkinan
terjadinya syok anafilaktik.
3) Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya
pasien dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut,
tetapi tidak berarti pasti pasien tidak akan mengalami reaksi
anafilaktik. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai
riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi
sebesar 1 – 3% dibandingkan dengan kemungkinan
terjadinya reaksi 60% bila tes kulit positif.
4) Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar
untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi
anafilaktik atau anafilaktoid serta adanya alat-alat bantu
resusitasi kegawatan.
5) Mempertahankan suhu tubuh dipertahankan dengan
memakaikan selimut pada pasien untuk mencegah
kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-
330
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
kali memanaskan tubuh pasien karena akan sangat
berbahaya.

Pemberian Cairan:
1) Jangan memberikan minum kepada pasien yang tidak sadar,
mual-mual, muntah atau kejang karena bahaya terjadinya
aspirasi cairan ke dalam paru.
2) Jangan memberi minum kepada pasien yang akan dioperasi
atau dibius dan yang mendapat trauma pada perut serta
kepala (otak).
3) Pasien hanya boleh minum bila pasien sadar betul dan tidak
ada indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila
pasien menjadi mual atau muntah.
4) Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid
merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi
cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume
interstitial dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti
plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.

f. KIE
Kepada keluarga perlu diberitahukan bahwa kasus ini adalah
kondisi emergensi, dan sedang dilakukan upaya penyelamatan
hidup (life saving)

93. TETANUS
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 0305 ICD X : A-35

a. Definisi
Penyakit sistem saraf yang disebabkan oleh Clostridium tetani,
berlangsung akut dengan karakteristik spasme tonik persisten
dan eksaserbasi singkat.

331
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
b. Penyebab
Bakteri anaerob Clostridium tetani. Spora dari Clostridium
tetani dapat hidup selama bertahun-tahun di dalam tanah dan
kotoran hewan. Jika bakteri tetanus masuk ke dalam tubuh
manusia, bisa terjadi infeksi baik pada luka yang dalam maupun
luka yang dangkal. Setelah proses persalinan, bisa terjadi infeksi
pada rahim ibu dan pusar bayi yang baru lahir (tetanus
neonatorum). Gejala-gejala infeksi ditimbulkan oleh racun yang
dihasilkan oleh bakteri, bukan bakterinya.

c. Gambaran Klinis
1) Gejala khas: kejang pada otot-otot wajah menyebabkan
ekspresi pasien seperti menyeringai (risus sardonikus)
dengan kedua alis yang terangkat.
2) Gejala-gejala biasanya muncul dalam waktu 5–10 hari
setelah terinfeksi, tetapi bisa juga timbul dalam waktu 2 hari
atau 50 hari setelah terinfeksi.
3) Gejala yang paling sering ditemukan adalah kekakuan
rahang dan sulit dibuka (trismus) karena yang pertama
terserang adalah otot rahang.
4) Gejala lain berupa gelisah, gangguan menelan, sakit kepala,
demam, nyeri tenggorokan, menggigil, kejang otot dan kaku
kuduk, lengan serta tungkai.
5) Kekakuan atau kejang otot-otot perut, leher dan punggung
bisa menyebabkan kepala dan tumit pasien tertarik ke
belakang sedangkan badannya melengkung ke depan yang
disebut epistotonus.
6) Kejang pada otot sfingter perut bagian bawah bisa
menyebabkan retensi urin dan konstipasi.
7) Gangguan-gangguan ringan seperti suara berisik, aliran
angin atau goncangan, bisa memicu kejang otot disertai
nyeri dan keringat berlebih.

332
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
8) Selama kejang pasien tidak dapat berbicara karena otot
dadanya kaku atau terjadi kejang tenggorokan sehingga
terjadi kekurangan oksigen yang menyebabkan gangguan
pernapasan. Biasanya tidak terjadi demam. Laju pernapasan
dan denyut jantung serta refleks-refleks biasanya meningkat.
Tetanus juga bisa terbatas pada sekelompok otot di sekitar
luka. Kejang di sekitar luka ini bisa menetap selama
beberapa minggu.

d. Diagnosis
Diduga suatu tetanus jika terjadi kekakuan otot atau kejang pada
seseorang yang memiliki luka. Untuk memperkuat diagnosis
bisa dilakukan pembiakan bakteri dari apusan luka.

e. Penatalaksanaan
Pasien tetanus harus segera dirujuk ke rumah sakit karena ia
harus selalu mendapat pengawasan dan perawatan. Sebelum
dirujuk lakukan hal-hal di bawah ini:
1) Lakukan langkah-langkah ABC
2) Segera diberikan diazepam dosis 10 mg i.v. perlahan 2–3
menit. Dapat diulangi bila diperlukan.
3) Berikan IVFD dekstrose 5% : RL = 1 : 1 tiap 6 jam
4) Bila tersedia, berikan Antitoksin tetanus:
a) Serum antitetanus (ATS) diberikan dengan dosis 20.000
UI/hari i.m. selama 3 – 5 hari. Tes kulit sebelumnya, atau
b) Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG). Dosis 500-
3.000 UI i.m. tergantung beratnya penyakit. Diberikan
dosis tunggal.
5) Berikan penisilin prokain 2 juta UI i.m pada orang dewasa
atau 50.000 UI/kgBB/hari selama 10 hari pada anak untuk
eradikasi kuman. Bila tidak ada atau alergi terhadap
Penilisin dapat diberikan:
a) Eritromisin per oral 500 mg tiap 6 jam, atau
b) Tetrasiklin per oral 500 mg tiap 6 jam.
333
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
6) Cegah penyebaran racun lebih lanjut dengan eksplorasi luka
dan membersihkannya dengan H202 3%. Port d’entre lain
seperti OMSK atau gangren gigi juga harus dibersihkan
dahulu.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: menghilangkan kejang, meningkatkan
kualitas hidup, mencegah komplikasi, mencegah kematian.
2) Diberikan nutrisi dan makanan yang cukup. Bila perlu,
diberikan melalui pipa nasogastrik.
3) Menghindari tindakan/perbuatan yang bersifat merangsang,
termasuk rangsangan suara dan cahaya yang intensitasnya
bersifat intermitten.
4) Mempertahankan/membebaskan jalan napas: pengisapan
lendir oro/nasofaring secara berkala.
5) Posisi/letak pasien diubah-ubah secara periodik.
6) Pemasangan kateter bila terjadi retensi urin.

334
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
94. TETANUS NEONATORUM
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 1803 ICD X : A33

a. Definisi
Tetanus neonaturom adalah penyakit tetanus yang terjadi pada
neonatus (bayi usia <1 bulan). Spora kuman masuk ke dalam
tubuh bayi melalui pintu masuk satu-satunya yaitu tali pusat,
yang dapat terjadi pada saat pemotongan tali pusat ketika bayi
lahir maupun perawatannya sebelum puput (terlepasnya tali
pusat).

b. Penyebab
Kuman Clostridium tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan
toksin (racun) dan menyerang sistem saraf pusat.

c. Gambaran Klinis
1) Bayi biasanya tidak mau menyusu dengan tanda khas mulut
yang mencucu (trismus).
2) Kaku kuduk dan kejang sampai epistotonus sering dijumpai.
3) Perut papan
4) Tidak jarang bayi demam tinggi dan tampak sianosis.

d. Diagnosis
Kejang pada bayi usia <1 bulan dengan gejala khas.

e. Penatalaksanaan
Pasien sebaiknya dirujuk untuk dirawat di rumah sakit karena
sering terjadi komplikasi terutama sepsis. Sebelumnya pasang
infus cairan rumat yaitu glukosa 5% NaCl (4:1) sebanyak
75ml/kgBB/hari, kemudian diberikan:
1) ATS 10.000 UI/hari selama 2 hari berturut-turut.
2) Diazepam i.v. secara perlahan dengan titrasi dosis sampai
kejang hilang, maksimal 2,5 mg; kemudian dilanjutkan
dengan 3–4 mg/kgBB/hari dalam cairan infus.
3) Berikan penisilin prokain 50.000 UI/kgBB
335
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
f. KIE
1) Imunisasi TT pada ibu hamil dan sebelum menikah.
2) Persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan.

336
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
95. TIFUS ABDOMINALIS
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 23 ICD X : A01

a. Definisi
Demam Tifoid atau tifus abdominalis adalah suatu infeksi yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhii atau Salmonela
parathypi yang ditularkan melalui makanan yang tercemar oleh
feses dan urin pasien.

b. Penyebab
Bakteri Salmonella typhii atau Salmonela parathypi.

c. Gambaran Klinis
1) Anamnesis
a) Pada minggu pertama dapat ditemui demam naik secara
bertahap pada minggu pertama lalu demam menetap
(kontinyu). Demam terutama sore/malam hari, dapat
disertai sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare.
b) Pada minggu kedua demam berupa tipe remiten (demam
naik-turun, tetapi suhu tidak pernah mencapai normal).
Keadaan pasien menurun, dapat apatis, bingung,
kehilangan kontak dengan orang sekitarnya, tidak bisa
tidur.
c) Memasuki minggu ketiga, pasien masuk ke tahap
typhoid state, ditandai dengan disorientasi, bingung,
insomnia, dapat pula delirium. Sewaktu-waktu dapat
timbul komplikasi perdarahan atau perforasi (lemah,
pucat, nyeri seluruh perut akibat peritonitis, bahkan
ensefalopati disertai dengan syok). Saat ini pasien
mengalami BAB lembek, berwarna coklat tua atau
kehijauan, berbau (pea soup diarrhea), tapi mungkin
juga masih mengalami konstipasi. Pada akhir minggu
ketiga suhu mulai turun dan normal pada minggu
berikutnya.

2) Pemeriksaan Fisik

337
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
a) Minggu pertama terkadang hanya didapati demam yang
meningkat perlahan-lahan terutama sore/malam hari.
Minggu kedua tanda menjadi lebih jelas berupa
kesadaran berkabut, bradikardi relatif (frekuensi nadi
yang tidak sesuai dengan suhu tubuh pasien; tiap
peningkatan suhu 1oC seharusnya disertai dengan
peningkatan denyut nadi 8-10 x/menit), thyphoid tongue
(lidah kotor di tengah, tepi dan ujung merah, tremor),
organomegali: hepatomegali, splenomegali; nyeri
abdomen disertai perut yang agak membengkak 2-3 cm
di bawah lengkung iga kanan, rose spot/roseolae (jarang
pada orang Indonesia). Pada pemeriksaan abdomen
dapat ditemukan gambaran klasik seperti adonan
(doughy) dan terasa usus yang terisi udara.
b) Pada minggu ke-3 mulai dapat terlihat perubahan
kesadaran (disorientasi, bingung, delirium, supor
bahkan koma). Tanda-tanda perforasi: nyeri seluruh
perut, distensi abdomen, defense muscular (+). Tanda-
tanda perdarahan: melena, hematokesia, sampai dengan
syok dapat terjadi.

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa kurva
panas yang spesifik dan pemeriksaan fisik.

e. Penatalaksanaan
Tirah baring untuk pasien dengan komplikasi. Diet harus
mengandung kalori dan protein yang cukup sebaiknya rendah
serat, makanan lunak.

f. Pengobatan :
1) Dengan antibiotik yang tepat, lebih dari 99% pasien dapat
disembuhkan.
a) Kloramfenikol, Dewasa: 500 mg tiap 6 jam sampai 5
hari bebas demam,
b) Anak : 50-100 mg/kgBB tiap 6 jam sampai 5 hari
bebas demam.

338
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
c) Amoksisilin, Dewasa: 500 mg tiap 6 jam sampai 5 hari
bebas demam,
d) Anak : 50–100 mg/kgBB tiap 6 jam sampai 5 hari
bebas demam.
e) Siprofloksasin, Dewasa: 500 mg tiap 12 jam selama 6
hari.
2) Terapi simtomatik (anti piretik, anti emetik)
3) Roboransia.
4) Terapi cairan, kadang makanan diberikan melalui infus
sampai pasien dapat mencerna makanan.

g. KIE
1) Tujuan penatalaksanaan: eradikasi kuman dan mencegah
komplikasi.
2) Pencegahan:
a) Pencegahan terhadap carier dan kasus relaps.
b) Perbaikan sanitasi lingkungan, higiene makanan dan
higiene perorangan
c) Sebaiknya hindari makan sayuran mentah dan makanan
lainnya yang disajikan atau disimpan di dalam suhu
ruangan. Sebaiknya memilih makanan yang masih panas
atau makanan yang dibekukan, minuman kaleng dan
buah berkulit yang bisa dikupas.
d) Bila timbul efek samping kloramfenikol (ikterus), ganti
antibiotik lain karena kemungkinan terjadi defisiensi
enzim G6PD.
e) Alasan rujukan: jika selama 5 hari terapi tidak
menunjukkan perbaikan atau terjadi
perburukan/komplikasi, dugaan perforasi.

339
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
96. TIROTOKSIKOSIS
Kompetensi : 3A
Laporan Penyakit : - ICD X : E00-E07

a. Definisi
Tirotoksikosis adalah suatu keadaan dimana didapatkan
konsentrasi hormon tiroid yang berlebihan.
Tirotoksikosis dibagi dalam 4 kategori:
1) Kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme
2) Kelainan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme
3) Kerusakan Tiroid: tiroiditis subakut, silent thyroiditis,
amiodaron, paparan radiasi
4) Sumber hormon tiroid ekstratiroidal: thyrotoxicosis factitia,
struma ovarii, karsinoma folikuler fungsional.
Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang disebabkan
produksi hormon tiroid berlebih akibat peningkatan aktivitas
kelenjar tiroid yang meningkat.
Penyebab tirotoksikosis dapat dilihat pada Tabel 35.

Tabel 35. Penyebab Tirotoksikosis


Hipertiroidisme primer Tirotoksikosis tanpaHipertiroidisme
Hipertiroidisme Sekunder
- Penyakit Graves - Hormon tiroid berlebih- TSH-secreting tumor
- Gondok multinodula toksik (tirotoksikosis faktisia) chGH secreting tumor
- Adenoma toksik - Tiroiditis subakut (viral atau- Tirotoksikosis gestasi
- Obat: yodium berlebihan, De Quervain) (trimester pertama)
lithium
- Karsinoma tiroid - Silent thyroiditis - Resistensi hormon
- Struma ovarii (ektopik) - Destruksi kelenjar: tiroid
- Mutasi TSH-r1 Gs amiodaron, I-131, radiasi,
adenoma, infark

Hipertrofi yang paling sering adalah Grave’s disease, struma


multinoduler toksik, dan adenoma toksik.

b. Gambaran Klinis
1) Anamnesis

340
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Perlu diperhatikan usia pasien (pada lansia gejala sering
samar) dan sejak kapan keluhan dirasakan. Dapat dijumpai
hiperaktivitas, iritabilitas dan disforia (berkeringat banyak),
tidak tahan panas, palpitasi, lelah dan lemah, berat badan
menurun namun nafsu makan meningkat, diare, poliuri,
oligomenorea, hilangnya libido, insomnia dan konsentrasi
terganggu, gangguan mental, diplopia, fotofobia.
2) Pemeriksaan fisik
a) Dapat ditemukan : takikardia, aritmia (atrial fibrilasi),
tremor, struma, kadang disertai thrill atau bruit, kulit
hangat dan lembab, kelemahan otot, miopati proksimal,
refleks fisiologis meningkat, retraksi kelopak mata,
eksoftalmus, iritasi mata, rambut semakin halus,
alopecia, ginekomastia.
b) Gambaran klinis Grave’s disease: struma difus,
tiroksikosis, oftalmopati/ eksoftalmus, dermopati lokal,
thyroid acropachy.
3) Pemeriksaan laboratorium penunjang dibutuhkan untuk
kepastian diagnosis dan pemantauan hasil pengobatan,
didapati kadar T3 dan T4 meningkat dan TSHs (Tiroid
Stimulating Hormon sensitive) menurun.

c. Diagnosis
Diagnosis tirotoksikosis sering dapat ditegakkan secara klinis
tanpa pemeriksaan laboratorium, namun pemeriksaan
laboratorium perlu untuk menilai kemajuan terapi.

Komplikasi
Krisis tiroid
Krisis tiroid adalah suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang
paling berbahaya dengan mortalitas amat tinggi. Pada keadaan
ini dijumpai dekompensasi satu atau lebih sistem organ. Hampir
semua kasus diawali oleh faktor pencetus, diantaranya: infeksi,
operasi, trauma, zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus,
stres emosi, penghentian obat antitiroid, tata laksana,
ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru, CVD/stroke, atau
palpasi tiroid terlalu kuat.
Probabilitas Diagnostik untuk Krisis Tiroid dapat dilihat pada
Tabel 36.
341
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Tabel 36. Probabilitas Diagnostik untuk Krisis Tiroid
(Burch-Wartofsky, 1993)
Disfungsi pengaturan panas Disfungsi Kardiovaskuler
Suhu 37,2-37,7 5 Takikardi 99-109 5
37,8-38,3 10 110-119 10
38,4-38,8 15 120-129 15
38,9-39,4 20 130-139 20
39,5-39,9 25 >140 25
>40 30 Gagal Jantung
Efek pada susunan saraf pusat Tidak ada 0
Tidak ada 0 Ringan (edema kaki) 5
Ringan (agitasi) 10 Sedang (ronki basal) 10
Sedang (delirium, psikosis, letargi berat) 20 Berat (edema paru) 15
Berat (koma, kejang) 30 Fibrilasi atrium
Disfungsi gastrointestinal hepar Tidak ada 0
Tidak ada 0 Ada 10
Ringan (diare, nausea/muntah/nyeri perut) 10 Riwayat pencetus
Berat (ikterus tanpa sebab yang jelas) 20 Negatif 0
Positif 10
Kemungkinan krisis tiroid: > 45 highly suggestive, 25-44 suggestive
of impending storm, di bawah 25 kemungkinan kecil (bukan berarti
pasti tidak krisis tiroid).

d. Penatalaksanaan
1) Penggunaan obat antitiroid seperti Propiltiourasil (PTU),
dosis awal 70–200 mg tiap 8 jam selama 6–8 minggu,
pemeliharaan 50–300 mg/hari.
2) Pada keadaan krisis tiroid atau bila dicurigai krisis tiroid,
harus segera dirujuk ke RS. Sebelum dirujuk dapat
dilakukan hal berikut:
a) Perawatan suportif:
(1) Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen)
(2) Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit: Infus Dekstrose 5% dan NaCl 0,9%
(3) Mengatasi gagal jantung: 02, diuretik, digitalis
b) Antagonis aktivitas hormon tiroid:
(1) Blokade produksi hormone tiroid: Propiltiourasil
(PTU) loading dose 600-1000 mg diikuti dosis 200

342
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
mg PTU tiap 4 jam dengan dosis sehari total 1000-
1500 mg)
(2) Blokade ekskresi hormon tiroid: Solutio lugol
(saturated solution of potassium iodida) 10 tetes tiap
6-8 jam
(3) Beta blocker: Propanol 20-40 mg tiap 6 jam PO,
dosis disesuaikan respons (target: frekuensi jantung
<90x/m)
(4) Glukokortikoid: Prednison 25 mg (setara
hidrokortison 100 mg)
c) Pengobatan terhadap faktor presipitasi: seperti
pemberian antibiotik pada kasus infeksi, dll.

e. KIE
1) Tujuan pengobatan: mengontrol hormon tiroid, mencegah
komplikasi terhadap organ tubuh lain.
2) Pengobatan harus teratur dan jangka lama, sebagian pasien
dapat perlahan–lahan diturunkan dosis obat anti-tiroid,
namun pasien tidak boleh menurunkan sendiri obatnya
hanya karena merasa sudah enak.
3) Pemeriksaan kadar hormon tiroid mungkin diperlukan tiap
1–3 bulan sekali untuk memantau keberhasilan terapi dan
perencanaan menurunkan obat–obatan.
4) Kegagalan terapi umumnya karena ketidakpatuhan pasien
makan obat, karena itu pasien perlu diperiksa ulang tiap 2
minggu pada 2 bulan pertama, kemudian tiap bulan sampai
pengobatan selesai.
5) Alasan merujuk : pada komplikasi krisis tiroid setelah
penanganan awal, bila ditemukan komplikasi organ lain
yang membutuhkan penanganan lebih lanjut, bila
dipertimbangkan untuk melakukan pembedahan atau
pemberian iodium radioaktif.

343
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
97. TONSILITIS
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 1301 ICD X : J03

a. Definisi
Tonsil adalah kelenjar getah bening di mulut bagian belakang (di
puncak tenggorokan) yang berfungsi membantu menyaring
bakteri dan mikroorganisme lainnya sebagai tindakan
pencegahan terhadap infeksi.
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil (amandel) yang
dapat menyerang semua golongan umur.
Pada anak, tonsilitis akut sering menimbulkan komplikasi. Bila
tonsilitis akut sering kambuh walaupun pasien telah
mendapatkan pengobatan yang memadai, maka perlu diingat
kemungkinan terjadinya tonsilitis kronik.
Faktor-faktor berikut ini mempengaruhi berulangnya tonsilitis:
rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu),
cuaca, pengobatan tonsilitis yang tidak memadai, dan higiene
rongga mulut yang kurang baik.
344
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Tonsilitis kronik dapat tampil dalam bentuk hipertrofi
hiperplasia atau bentuk atrofi. Pada anak, tonsilitas kronik sering
disertai pembengkakan kelenjar submandibularis adenoiditis,
rinitis dan otitis media.

b. Penyebab
Infeksi bakteri streptokokus atau infeksi virus (lebih jarang).

c. Gambaran Klinik
1) Pasien biasanya mengeluh sakit menelan, lesu seluruh
tubuh, nyeri sendi, dan kadang atalgia sebagai nyeri alih dari
N. IX.
2) Suhu tubuh sering mencapai 40C, terutama pada anak.
3) Tonsil tampak bengkak, merah, dengan detritus berupa
folikel atau membran. Pada anak, membran pada tonsil
mungkin juga disebabkan oleh tonsilitis difteri.
4) Pemeriksaan darah biasanya menunjukkan leukositosis.
5) Pada tonsilitis kronik hipertrofi, tonsil membesar dengan
permukaan tidak rata, kripta lebar berisi detritus. Tonsil
melekat ke jaringan sekitarnya. Pada bentuk atrofi, tonsil
kecil seperti terpendam dalam fosa tonsilaris.
6) Gejala lainnya adalah demam, tidak enak badan, sakit
kepala dan muntah.

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan
fisik. Tonsil membengkak dan tampak bercak-bercak
perdarahan. Ditemukan nanah dan selaput putih tipis yang
menempel di tonsil. Membran ini bisa diangkat dengan mudah
tanpa menyebabkan perdarahan. Dilakukan pembiakan apus
tenggorokan di laboratorium untuk mengetahui bakteri
penyebabnya.

e. Penatalaksanaan

345
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
1) Jika penyebabnya adalah bakteri, diberikan antibiotik per
oral atau suntikan (jika sukar menelan) selama 10 hari.
a) Pemberian antibiotik amoksisilin 500 mg tiap 8 jam
selama 7 hari.
b) Pilihan lain adalah eritromisin 500 mg tiap 8 jam. Dosis
pada anak: eritromisin 40 mg/kgBB/hari, amoksisilin
30–50 mg/kgBB/hari.
2) Analgetik (parasetamol dan ibuprofen) lebih efektif daripada
antibiotik dalam menghilangkan gejala. Antibiotik hanya
sedikit memperpendek durasi gejala dan mengurangi risiko
demam rematik.
3) Tak perlu memulai antibiotik segera, penundaan 1–3 hari
tidak meningkatkan komplikasi atau menunda penyembuhan
penyakit.
4) Bila suhu badan tinggi, pasien harus tirah baring dan
dianjurkan untuk banyak minum. Makanan lunak diberikan
selama nyeri menelan.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: mencegah dan menghindari komplikasi.
2) Pencegahan: menjaga higiene oral.
3) Alasan rujukan:
a) bila tonsilitiskronis yang diindikasikan untuk dilakukan
tonsilektomi
b) Tonsilitis bakteri rekuren (> 4x/tahun) apa pun tipe
bakterinya.
c) Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, septikemia
yang berasal dari tonsil.
d) Obstruksi saluran napas yang disebabkan oleh tonsil
(yang dapat hampir saling bersentuhan satu sama lain),
apneu saat tidur, gangguan oklusi gigi
e) Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian
antibiotik.

346
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
f) bila dicurigai adanya tonsilitis difteri, segera berikan
serum anti difteri (ADS), tetapi bila ada gejala sumbatan
napas, segera rujuk ke RS.
g) Pada tonsilitis kronik, penting untuk memberikan
nasihat agar menjauhi rangsangan yang dapat
menimbulkan serangan tonsilitis akut, misalnya rokok,
minuman/makanan yang merangsang, higiene mulut
yang buruk, atau penggunaan obat kumur yang
mengandung desinfektan.

347
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
97. TRAKOMA
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 40 ICD X : A71

a. Definisi
Trakoma merupakan infeksi mata yang berlangsung lama yang
menyebabkan inflamasi dan jaringan parut pada konjungtiva dan
kelopak mata serta kebutaan.

b. Penyebab
Trakoma terjadi akibat infeksi oleh bakteri Chlamydia
trachomatis. Masa inkubasi berlangsung selama 5–12 hari.

c. Gambaran Klinis
1) Kedua mata tampak merah dan berair. Pasien sukar melihat
cahaya terang (silau) dan merasa gatal di matanya.
2) Pada stadium awal, konjungtiva tampak meradang, merah
dan mengalami iritasi serta mengeluarkan kotoran
(konjungtivitis).
3) Pada stadium lanjut, konjungtiva dan kornea membentuk
jaringan parut sehingga bulu mata melipat ke dalam dan
terjadi gangguan penglihatan.
4) Gejala lainnya adalah:
a) pembengkakan kelopak mata
b) pembengkakan kelenjar getah bening yang terletak tepat
di depan mata
c) kornea tampak keruh.

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan
mata. Apusan mata diperiksa untuk mengetahui organisme
penyebabnya

e. Penatalaksanaan

348
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
Pengobatan meliputi pemberian salep mata antibiotik yang berisi
oksitetrasiklin 1% tiap 12 jam selama 4-6 minggu. Selain itu
diberikan kapsul tetrasiklin per oral 500 mg tiap 6 jam selama 4-
6 minggu.

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk penyembuhan dan pencegahan
komplikasi
2) Jika ada kasus maka dilaporkan segera.
3) Penyakit ini dapat menular melalui udara dan air.
99. TUBERKULOSIS
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 0201 ICD X : H16. 2

a. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu infeksi menular dan menahun dan
bisa berakibat fatal, yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium bovis atau Mycobacterium
africanum. Tuberkulosis paru kini bukan penyakit yang
menakutkan sampai penerita harus dikucilkan, tetapi penyakit
kronik ini dapat menyebabkan cacat fisik atau kematian.
Penularan TB paru hanya terjadi dari pasien tuberkulosis
terbuka.

b. Penyebab
Mycobacterium tuberculosis.

c. Gambaran Klinis
1) Pada awalnya pasien hanya merasakan tidak sehat atau
batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau
lebih.
2) Jumlah dahak biasanya akan bertambah banyak sejalan
dengan perkembangan penyakit. Pada akhirnya dahak akan
berwarna kemerahan karena mengandung darah.
3) Masa inkubasi berkisar antara 4–12 minggu.
349
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
4) Salah satu gejala yang paling sering ditemukan adalah
berkeringat di malam hari tanpa aktivitas.
5) Keluhan dapat berupa demam, malaise, penurunan berat
badan, nyeri dada, batuk darah, sesak napas.
6) Sesak napas merupakan pertanda adanya udara
(pneumotoraks) atau cairan (efusi pleura) di dalam rongga
pleura. Sekitar sepertiga infeksi ditemukan dalam bentuk
efusi pleura.
7) Pada infeksi tuberkulosis yang baru, bakteri pindah dari luka
di paru-paru ke dalam kelenjar getah bening yang berasal
dari paru-paru. Jika sistem pertahanan tubuh alami bisa
mengendalikan infeksi, maka infeksi tidak akan berlanjut
dan bakteri menjadi dorman.
8) Pada anak-anak, kelenjar getah bening menjadi besar dan
menekan tabung bronkial dan menyebabkan batuk atau
bahkan mungkin menyebabkan penciutan paru-paru.
Kadang bakteri naik ke saluran getah bening dan
membentuk sekelompok kelenjar getah bening di leher.
Infeksi pada kelenjar getah bening ini bisa menembus kulit
dan menghasilkan nanah.
d. Diagnosis
1) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA) melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis.
2) Yang seringkali merupakan petunjuk awal dari tuberkulosis
adalah foto rontgen dada. Penyakit ini tampak sebagai
daerah putih yang bentuknya tidak teratur dengan latar
belakang hitam. Rontgen juga bisa menunjukkan efusi
pleura atau pembesaran jantung (perikarditis).
3) Minimal 2 kali sputum BTA (+): didiagnosis sebagai TB
paru BTA (+)
4) Bila BTA (+) 1 kali, maka perlu dilakukan pemeriksaan
rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.

350
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
5) Upaya pertama dalam diagnosis TB paru pada anak adalah
melakukan uji Tuberkulin. Hasil positif yaitu > 10 mm atau
> 15 mm pada anak yang telah mendapatkan BCG,
ditambah dengan gambaran radiologi dada yang
menunjukkan infeksi spesifik, LED yang tinggi, limfadenitis
leher dan limfositisis relatif sudah dapat digunakan untuk
membuat diagnosis kerja TB paru.

e. Penatalaksanaan
1) Pencegahan
a) Sinar ultraviolet pembasmi bakteri, sinar ini bisa
membunuh bakteri yang terdapat di dalam udara.
b) Isoniazid sangat efektif jika diberikan kepada orang-
orang dengan risiko tinggi tuberkulosis, misalnya
petugas kesehatan dengan hasil tes tuberkulin positif,
tetapi hasil rontgen tidak menunjukkan adanya penyakit.
Isoniazid diminum tiap hari selama 6–9 bulan.
c) Di negara-negara berkembang, vaksin BCG digunakan
untuk mencegah infeksi oleh M. tuberculosis.

2) Pengobatan: “DOTS”
Pengobatan TB paru memerlukan panduan antituberkulosis
untuk memperoleh hasil terapi yang baik dan
mencegah/memperkecil kemungkinan timbulnya resistensi.
a) Antibiotik yang paling sering digunakan adalah:
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin; dan
etambutol, isoniazid, rifampisin dan pirazinamid dapat
digabungkan dalam 1 kapsul, sehingga mengurangi
jumlah pil yang harus ditelan oleh pasien.
b) Pemberian etambutol diawali dengan dosis yang relatif
tinggi untuk membantu mengurangi jumlah bakteri
dengan segera. Setelah 2 bulan, dosisnya dikurangi
untuk menghindari efek samping yang berbahaya
terhadap mata.
c) Streptomisin merupakan obat pertama yang efektif
melawan tuberkulosis, tetapi harus diberikan dalam
351
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
bentuk suntikan. Jika diberikan dalam dosis tinggi atau
pemakaiannya berlanjut sampai lebih dari 3 bulan,
streptomisin bisa menyebabkan gangguan pendengaran
dan keseimbangan.
d) Panduan obat untuk orang dewasa yang dianjurkan oleh
Program Direktorat Pengendalian Penyakit Menular
Langsung, Ditjen PPPL adalah sebagai berikut :
(1) Panduan obat jangka panjang terdiri dari
streptomisin, INH + B6, dan pirazinamid untuk
jangka pengobatan 12 bulan.
Cara pemberian :
(a) Tahap intensif : pengobatan tiap hari kerja
selama 4 minggu (24 kali pengobatan) berupa:
streptomisin 0,75 mg, INH 400 mg, Vit. B 6 10
mg dan pirazinamid 1 gram selama 8 minggu
(48 kali pengobatan).
(b) Tahap berselang : pengobatan dilanjutkan 2 kali
seminggu selama 48 minggu (96 kali
pengobatan) dengan streptomisin 0,75 mg, INH
700 mg, ditambah Vit. B6 10 mg.
(2) Panduan obat jangka pendek terdiri dari rifampisin,
etambutol, INH dan vitamin B6 untuk jangka
pengobatan 6–9 bulan.
Cara pemberian :
(a) Tahap intensif: pengobatan tiap hari kerja
selama 4 minggu (24 kali pengobatan) berupa:
rifampisin 450 mg, etambutol 1 g, INH 400 mg
ditambah Vit. B6 10 mg.
(b) Tahap berselang: pengobatan dilanjutkan 2 x
seminggu selama 22 minggu (44 kali
pengobatan) berupa: rifampisin 600 mg, INH
700 mg ditambah Vit. B6 10 mg.
(c) Wanita yang dalam pengobatan jangka pendek
sebaiknya tidak menggunakan pil atau suntikan
KB karena keampuhan pil dan suntikan KB
dapat berkurang sehingga dapat terjadi
kehamilan.
352
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(d) Pasien harus diberitahu bahwa rifampisin
menyebabkan warna merah pada air liur, air
mata, dan air seni.
(e) Pengobatan jangka pendek ini tidak boleh
diberikan pada wanita hamil dan wanita yang
sedang menyusui.
e) Khusus pengobatan TB pada pasien anak diperlukan
kerja sama yang baik dengan orang tua pasien karena
angka drop out cukup tinggi.
f) Panduan terapi yang dianjurkan oleh Program P2M
untuk anak adalah rifampisin selama 6-9 bulan,
etambutol selama 1 tahun, dan INH selama 1,5 tahun.
Bila digunakan kombinasi lain, setidaknya tetap
mengandung INH.
g) Panduan untuk anak:
(1) rifampisin 15 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal
pagi hari
(2) etambutol 15 mg/kgBB tiap 8 jam.
(3) INH 10-20 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal atau
dosis terbagi 2.
h) Selama terapi, kemajuan pengobatan dipantau dengan
pemeriksaan darah dan radiologi. Selain itu perlu
dilakukan pemeriksaan fungsi hati, mengingat efek
rifampisin dan INH terhadap hati.
i) Buku-buku acuan baku hanya menganjurkan
pengobatan intensif selama 6 bulan dengan dosis yang
lebih kecil. Pengobatan berselang dengan dosis besar
hanya dilakukan dengan pertimbangan bahwa ada
ketidakpatuhan pasien, atau kesulitan dalam supervisi
terapi. Akan tetapi, dengan cara itu kemungkinan
toksisitas lebih besar, terutama terhadap hati masih perlu
diteliti lebih lanjut.
j) Panduan terapi untuk dewasa:

353
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
(1) Rifampisin 45 –600 mg, INH 300 mg, pirazinamid
1,2–2 gram dan etambutol 25 mg/kg BB, semua ini
diberikan selama 2 bulan
(2) 4 bulan berikutnya: rifampisin 450–600 mg dan
INH 300 mg.
k) Panduan untuk anak:
(1) Rifampisin 10mg/kgBB/hari, INH 10
mg/kgBB/hari, pirazinamid 15 mg/kgBB/hari
selama 2 bulan pertama.
(2) Dilanjutkan dengan rifampisin dan INH dengan
dosis yang sama selama 4 bulan berikutnya.

f. KIE
Sesuai dengan program P2TB.

100. URTIKARIA
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 2002 ICD X : L20-L30

a. Definisi
Merupakan suatu reaksi (alergi) pada kulit yang umumnya
dalam bentuk edema lokal dan bersifat self-limited atau dapat
sembuh sendiri dalam waktu singkat, meskipun beberapa dapat
berkembang menjadi kronik. Urtikaria disebut akut jika
berlangsung kurang dari 6 minggu, sedangkan urtikaria kronik
biasanya keberlangsungannya lebih dari 6 minggu.

b. Penyebab
Sebagian besar penyebab urtikaria telah diketahui, diantaranya:
1) Alergi terhadap obat, makanan, alergen inhalasi, gigitan atau
sengatan serangga.

354
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
2) Penyakit infeksi (virus, parasit).
3) Agen fisik (panas, dingin, penekanan, matahari).
4) Penyakit sistemik (contoh: lupus eritematosus sistemik).

c. Gambaran Klinis
1) Lesi umumnya berwarna merah muda, edematus dengan
berbagai bentuk dan ukuran dan di sekelilingnya eritema.
2) Lesi umumnya memberi rasa gatal hingga nyeri dan seperti
sensasi terbakar.
3) Jarang bertahan > 12–4 jam.
4) Edema di saluran napas menyebabkan sumbatan jalan napas.

d. Diagnosis
Diagnosis urtikaria umumnya dapat ditegakkan secara klinis,
kecuali terdapat diagnosis banding lain maka diagnosis disokong
oleh hasil pemeriksaan histopatologis pada lesi urtikaria yang
bertahan lebih dari 48 jam.

e. Penatalaksanaan
1) Terapi yang ideal adalah identifikasi dan menghilangkan
penyebab (bila ditemukan).
2) Pengobatan sistemik
a) Diberikan antihistamin (AH) klorfeniramin maleat.
b) Kortikosteroid sistemik diberikan bila terdapat
angioedema atau keterlibatan organ lain, atau urtikaria
kronik. Dosis prednison untuk angiodema 20-40
mg/hari, sedangkan urtikaria kronis 10 mg/hari selama
2-3 minggu dan dosis diturunkan secara bertahap.
3) Pengobatan topikal dengan bedak salisil 2%.

f. KIE
355
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
1) Tujuan pengobatan: untuk menghilangkan keluhan gatal.
2) Efek samping kortikosteroid akan timbul pada penggunaan
jangka panjang dan diluar pengawasan dokter, antara lain
moonface, osteoporosis, gangguan menstruasi, iritasi
lambung, katarak, penurunan daya tahan tubuh, striae dan
lain-lain.
3) Pencegahan: hindari faktor pencetus.

356
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
101. VARISELA
Kompetensi : 4
Laporan Penyakit : 0406 ICD X : B01

a. Definisi
Varisela atau cacar air yang ditandai dengan vesikel di kulit dan
selaput lendir ini sangat mudah menular melalui percikan ludah
dan kontak. Penularan sudah dapat terjadi sejak 24 jam sebelum
timbul kelainan kulit sampai 6 – 7 hari kemudian.

b. Penyebab
Virus Varicella zoster.

c. Gambaran Klinis
1) Masa inkubasi 13 – 17 hari.
2) Gejala awal berupa pusing, sakit kepala, dan demam yang
tidak begitu tinggi. Gejala ini tidak begitu jelas pada anak
balita, tetapi menonjol pada anak usia diatas 10 tahun.
3) Pada orang dewasa keluhan ini dapat berat sekali.
a) Kelainan kulit muncul mula-mula seperti pada morbili,
berupa makula dan papula yang kemudian menjadi
vesikel berisi cairan jernih. Perubahan ini berlangsung
dalam waktu 24 – 48 jam.
b) Ruam biasanya lebih banyak di badan dibandingkan
dengan di anggota gerak. Yang khas pada varisela ini
adalah berbagai macam ruam dapat ditemukan dalam
satu saat.
c) Pada bentuk yang berat kelainan kulit timbul di seluruh
tubuh.

d. Diagnosis
Berdasarkan gambaran klinis dengan bentuk rash yang
karakteristik (fluorosensi yang sifatnya papulo vesikuler yang
multiforme dan proses penjalarannya sentrifugal).

e. Penatalaksanaan
357
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
1) Pengobatan yang diberikan hanya bersifat simtomatis:
parasetamol bila demam sangat tinggi. Jangan memberikan
asetosal pada anak, karena dapat menimbulkan sindroma
Reye.
2) Pasien dianjurkan tetap mandi. Kalium permanganat dan
antiseptik lain tidak dianjurkan.
3) Kemudian beri bedak salisil 2%. Usahakan agar vesikel
tidak pecah dan mengalami infeksi sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder berikan amoksisilin per oral 25 –
50 mg/kgBB/hari atau eritromisin 20-50 mg/kgBB.
5) Obat antivirus bermanfaat bila diberikan <24 jam setelah
timbulnya kelainan kulit.
6) Antivirus dapat diberikan pada usia pubertas, dewasa,
pasien yang tertular orang serumah, neonatus dari ibu yang
menderita varisela 2 hari sebelum – 4 hari sesudah
melahirkan.
7) Dosis asiklovir:
dewasa: 5 x 800 mg sehari selama 7 hari.
bayi dan anak: 4 x 20-40 mg/kgBB (maksimal 800 mg/hari)

f. KIE
1) Tujuan pengobatan: simtomatik (mengurangi gejala).
2) Pencegahan: hindari kontak dengan pasien, menjaga
personal higiene.

358
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
102. XEROFTALMIA
Kompetensi : 3B
Laporan Penyakit : 1005 ICD X : H00-H01

a. Definisi
Xeroftalmia adalah kelainan mata akibat kekurangan vitamin A,
terutama pada anak balita dan sering ditemukan pada pasien gizi
buruk dan gizi kurang.

b. Penyebab
Faktor yang menjadi penyebab tingginya kasus Xeroftalmia di
Indonesia:
1) Konsumsi makanan yang kurang/tidak mengandung cukup
Vitamin A atau pro-vitamin A untuk jangka waktu lama
2) Bayi tidak mendapatkan ASI Eksklusif

359
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
3) Gangguan penyerapan vitamin A
4) Tingginya angka infeksi pada anak (gastroenteritis/diare)

c. Gambaran Klinis
1) Gejala reversible :
a) buta senja (Hemeralopia)
b) xerosis konjungtiva: yaitu konjungtiva yang kering,
menebal, berkeriput, dan keruh karena banyak bercak
pigmen.
c) xerosis kornea: konjungtiva kornea yang kering,
menebal, berkeriput dan keruh karena banyak bercak
pigmen.
d) bercak Bitot: benjolan berupa endapan kering dan
berbusa yang berwarna abu-keperakan berisi sisa-sisa
epitel konjungtiva yang rusak.
2) Gejala irreversible : ulserasi kornea dan sikatriks (scar).

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan
mata.

e. Penatalaksanaan
1) Berikan vitamin A 200.000 UI per oral atau vitamin A
100.000 UI injeksi.
2) Hari berikutnya, berikan vitamin A 200.000 UI per oral.
3) Satu-dua minggu berikutnya, berikan vitamin A 200.000 UI
per oral.
4) Obati penyakit infeksi yang menyertai.
5) Obati kelainan mata, bila terjadi.
6) Perbaiki status gizi.

360
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
f. KIE
1) Tujuan pengobatan: untuk menyembuhkan dan mencegah
kebutaan.
2) Pencegahan: berikan vitamin A pada bayi dan anak tiap 6
bulan, lakukan skrining pada bayi dan anak yang kurang
gizi, diet tinggi vitamin A seperti sayuran dan buah
berwarna merah dan hijau (wortel, tomat, stroberi), ikan,
hati ayam dan lain-lain.
3) Alasan rujuk: bila terjadi ulserasi kornea dan sikatrik.

MENTERI KESEHATAN,

NAFSIAH MBOI

361
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
DAFTAR PUSTAKA

1. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,


Jameson JL. Disease of respiratory system : Asthma.
Harrisson’s: Principle of Internal Medicine. 17 th ed. New York:
McGraw-Hill Companies; 2009 : 1596 – 1607.
2. Current Medical Diagnosis & Treatment, Tierney Lawrance
M.Jr., Mc Dhee Stephen J., Papandakis Maxine A (editor),
2004.
3. Departemen Kesehatan RI, Daftar Obat Esensial Nasional
2011, DitJen Binfar & Alkes, Jakarta, 2011.
4. Departemen Kesehatan RI, Paket Program Pemeberantasan
Rabies Terpadu di Indonesia, DitJen P2MPL, Jakarta, 1996.
5. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengobatran Dasars di
Puskesmas, Ditjen Binfar & Alkes, Jakarta, 2002.
6. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penatalaksanaan Kasus
Malaria di Indonesia, Ditjen P2PL, Jakarta, 2009.
7. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Demam
Tifoid, DitJen P2PL, Jakarta, 2005.
8. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Diabetes
Melitus Dan Penyakit Metabolik, DitJen P2PL, Jakarta, 2006.
9. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Kolera,
DitJen P2PL, Jakarta, 2006.
10. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan Akut, DitJen P2PL, Jakarta, 2006.
11. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK), DitJen P2PL, Jakarta, 2007.
12. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Teknis Penemuan dan
Tatalaksana Penyakit Hipertensi, DitJen P2PL, Jakarta, 2006.
13. Departemen Kesehatan RI, Petunjuk Pemberantasan Antraks
di Indonesia, DitJen P2PL, Jakarta, 2002.

362
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
14. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Umum Program nasional
Pemberantasan Cacingan di Era Desentralisasi, DitJen
P2MPL, Jakarta, 2004.
15. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pemberantasan Penyakit
Frambusia, DitJen P2MPL, Jakarta, 2004.
16. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Tatalaksana Kasus dan
Pemeriksaan Laboratorium Leptopirosis di Rumah Sakit,
DitJen P2PL, Jakarta, 2003.
17. Departemen Kesehatan RI, Pedoman & Protap
Penatalaksanaan Antrak di Indonesia, DitJen P2PL, Jakarta,
2004.
18. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penatalaksanaan
Keracunan Untuk Rumah Sakit, Hasil Kerjasama TIM DitJen
POM, Ditjen YanMed,SPKer RSCM, RSHS, RS Sutomo, RS
Adam malik, Jakarta, 2000.
19. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penatalaksanaan Kasus
Klinis Filariasis, DitJen P2PL, Jakarta, 2006.
20. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penatalaksanaan
Pneumonia Balita, DitJen P2PL, Jakarta, 2007.
21. Departemen Kesehatan RI, Penanggulangan
Kegawatdaruratan Sehari-hari & Bencana, Jakarta, 2006.
22. Departemen Kesehatan RI, Tatalaksana Penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Akut pada Anak, DitJen P2PL, Jakarta.
23. Djoni Djunaedi, Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa, dalam
Kegawatdaruratan Medik di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.
24. Farmakologi dan Terapi, Departemen Farmakologi dan
Terapetik, Edisi V, FKUI, Jakarta, 2007.
25. Goodman & Gilmans, The Pharmacological Basis of
Therapeutics, 10 Th Ed., Mc Graw-Hill Co., New York, 2001.
26. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. GINA Commitee; 2010.

363
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011
27. Guideline Stroke, Kelompok Studi Stroke, Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesis (Perdossi), 2011.
28. Harrison’s et al., Principles Of Internal Medicine, 15 th ed.,
Vol.I, II., Mc Graw Hill Medical Publishing Division, New
York, 2001.
29. Heru Sundaru, Sukamto. Asma Bronkial. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam; 2009: 404–414.
30. IDI, Standar Pelayanan Medis, DitJen Yanmed DepKes,
Jakarta, 1997.

31. Konsensus Nasional III Diagnostik dan Penatalaksanaan Nyeri


Kepala, Kelompok Studi Nyeri Kepala, Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) 2010.

32. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe


2 di Indonesia, PERKENI, 2006.

33. Pedoman Tatalaksanan Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi,


Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2011.

34. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia


(PERDOSKI), Standar Pelayan Medik Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin, Jakarta, 2004.
35. Pusponegoro, dkk. Penyunting. Konsensus Penatalaksanaan
Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta, 2006.
36. WHO, International Statistical Classification of Diseases and
Related Health Problem, 10th rev., Vol I,II,III. Geneva, 1994.

364
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Anda mungkin juga menyukai