Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH DELIRIUM

KEPERAWATAN KRITIS

oleh
Ninuk Profita Sari 162310101127
Anindianti Sukma 162310101133
Elisya Nurri Syani 162310101154
Annisah Dwi Intan N 162310101166
Fatihul Matlub Ulum 162310101179
Sri Yuni Wulandari 162310101183
Sukma Ningrum 162310101194
Fatimatul Munawwaroh 162310101200
Yurin Ainur Azifa 162310101220
Galuh Yulia Asmara Putri 162310101226
Dita Ras Pambela Putri 162310101233
Muhammad Musyafa F S 162310101242
Ken Rangga Galang A 162310101249
Rosita Milandani 162310101258
Dies Rut Setyoningsih 162310101260
Nisrina Na’ilah Rahmatika 162310101263

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Delirium merupakan suatu sindrom serebral organik dengan penyebab
yang tidak spesifik. Karakteristik delirium adalah gangguan fungsi kesadaran,
atensi, persepsi, berpikir, memori, psikomotor, emosi, serta pola istirahat
tidur. Delirium pascaoperasi adalah perubahan akut pada karakteristik kognisi
dengan fluktuasi kesadaran serta kurangnya perhatian dalam 30 hari.
Delirium emergensi sama seperti deliriun pascaoperasi, namun terjadi segera
pada fase pemulihan dari anastesi (Rakhman, 2016).
Sindrom delirium adalah kondisi yang sering dijumpai pada pasien
geriatri di rumah sakit. Sindrom ini sering tidak terdiagnosis dengan baik saat
pasien berada di rumah (akibat kurangnya kewaspadaan keluarga) maupun
saat pasien sudah berada di unit gawat darurat atau unit rawat jalan. Gejala
dan tanda yang tidak khas merupakan salah satu penyebabnya. Setidaknya
32% - 67% dari sindrom ini tidak terdiagnosis, padahal kondisi ini dapat
dicegah. Literature lain menyebutkan bahwa 70% dari kasus sindrom
delirium tidak terdiagnosis atau salah terapi. Sindrom delirium sering muncul
sebagai keluhan utama atau tak jarang justru terjadi pada hari pertama pasien
dirawat dan menunjukkan gejala yang berfluktuasi (dr. Ketut, 2017).
Sindrom delirium memiliki banyak nama, beberapa literature
menggunakan istilah seperti acute mental status change, altered mental
status, reversible dementia, toxic/metabolic encephalopathy, organic brain
sybdrome, dysergasticreaction dan acute confusional state. Untuk
keseragaman istilah agar terjamin standardisasi identifikasi gejala dan tanda
maka makalah ini menggunakan istilah sindrom delirium (dr. Ketut, 2017).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan derilium?
2. Apa saja faktor-faktor prnyrbab derilium?
3. Bagaimana gejala dan kondisi saat mengalami derilium?
4. Bagaimana contoh kasus dan analisis diagosa gangguan derilium?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahmi definisi derilium
2. Mengetahui dan memahami faktor-faktor penyebaba derilium
3. Mengetahu dan memahami gejala dan kondisi saat mengalami derilium
4. Mengetahui dan memahami contoh kasus dan analisa diagnosa gangguan
derilium.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Delirium


Delirium merupakan gangguan mental yang berlangsung singkat biasanya
mencerminkan keadaan toksik, yang ditandai oleh ilus, kegirangan, kurang
istirahat dan inkoheren (Batticaac, 2008). Menurut Jayalangkara (2016) delirium
merupakan sindrom otak akut dengan onset penyakit yang biasanya cepat, hilang
timbul, seringkali cepat sembuh namun juga berlarut yang biasanya penyebab
utamanya yaitu adanya riwayat penyakit otak/ sistemik ataupun penggunaan zat.

Delirium juga dikenal sebagai sindrom akut, psikosis infektif akut, reaksi
organik akut, maupun sindrom psiko-organik akut (Jayalangkara, 2016). Jadi,
delirium merupakan sindrom otak akut yang berlangsung singkat yang disebabkan
oleh riwayat penyakit otak / sistemik ataupun penggunaan zat.

2.2 Klasifikasi
Klasifikasi Delirium Menkes 2015 dibagi menjadi :

a. Delirium Akibat Kondisi Medis Umum

1) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap


lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian

2) Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan


berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia

3) Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung


berfluktuasi dalam sehari 4) Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
laboratorium bahwa gangguan disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung
suatu KMU

Kondisi Medis Umum


Kondisi Medis umum yang melatar belakangi delirium dapat bersifat fokal atau
sistemik, misalnya:

1) Penyakit SSP (trauma kepala, tumor, pendarahan, hematoma, abses,


nonhemoragik stroke, transien iskemia, kejang dan migrain, dan lain-lain).

2) Penyakit sistemik (misalnya, infeksi, perubahan status cairan tubuh, defisiensi


nutrisi, luka bakar, nyeri yang tidak dapat dikontrol, stroke akibat panas, dan di
tempat tinggi (> 5000 meter)

3) Penyakit jantung (misalnya, gagal jantung, aritmia, infark jantung, bedah


jantung)

4) Gangguan metabolik (misalnya, ketidakseimbangan elektrolit, diabetes,


hipo/hiperglikemia)

5) Paru (misalnya, COPD, hipoksia, gangguan asam basa)

6) Obat yang digunakan (misalnya, steroid, medikasi jantung, antihipertensi,


antineoplasma, antikolinergik, SNM, sinrom serotonin)

7) Endokrin (misalnya, kegagalan adrenal, abnormalitas tiroid atau paratiroid)

8) Hematologi (misalnya, anemia, leukemia, diskrasia)

9) Renal (misalnya, gagal ginjal, uremia)

10) Hepar (misalnya, gagal hepar, sirosis, hepatitis)

b. Delirium Akibat Intoksikasi Zat

1) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap


lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian.

2) Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan


berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
3) Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari. 4) Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
laboratorium, sebagai berikut:

a) Simtom 1) dan 2) terjadi selama intoksikasi zat atau penggunaan medikasi

b) Intoksikasi zat adalah etiologi terkait dengan delirium

c. Delirium Akibat Putus Zat

1) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap


lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian.

2) Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan


berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia

3) Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung


berfluktuasi dalam sehari.

4) Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, sebagai


berikut:

a) Simtom A dan B terjadi selama atau segera setelah putus zat

d. Delirium Akibat Etiologi Beragam

1) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap


lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian.

2) Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan


berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia

3) Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung


berfluktuasi dalam sehari. 4) Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
laboratorium, bahwa :
a) Delirium memiliki lebih dari satu etiologi, misalnya lebih dari satu KMU,
KMU + intoksikasi zat, atau efek samping obat.

e. Delirium Yang Tidak Dapat Dispesifikasi

1) Kriteria untuk tipe delirium tertentu tidak terpenuhi. Misalnya: manifestasi


delirium diduga akibat KMU, penyalahgunaan zat tetapi tidak cukup bukti untuk
menegakkan etiologi spesifik.

2) Delirium disebabkan oleh penyebab yang tidak tercatat pada seksi ini (deprivasi
sensorik)

2.3 Epidemiologi
Epidemiologi delirium secara nasional di Indonesia belum diketahui.
Secara global diperkirakan prevalensi delirium pada pasien rawat inap adalah 10-
40%. Delirium sering terjadi setelah penyakit akut, operasi, atau rawat inap.
Prevalensi delirium pada pasien rawat inap adalah 10–40%. Pada pasien lansia
pasca operasi, prevalensinya adalah 30–50%. Sementara itu, sekitar 80% pasien
ICU yang memakai ventilator mengalami delirium.[8] Hampir 20% pasien yang
menjalani perawatan jangka panjang mengalami delirium.[9] Namun, prevalensi
delirium di luar rumah sakit cukup rendah, hanya 1–2%.
Indonesia, data prevalensi dan insiden delirium di Indonesia masih belum
ada. Penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2004
mengatakan bahwa prevalensi delirium di ruang rawat inap geriatrik adalah 23%.
Penelitian lainnya pada tahun 2012 mengatakan insiden delirium sebesar 18,8%.

Berbagai penelitian membuktikan bahwa delirium meningkatkan


mortalitas. Laju mortalitas pasien delirium yang dirawat adalah 9–34,5%.
Dibandingkan kelainan neuropsikiatri lainnya, delirium memiliki mortalitas yang
lebih tinggi dalam setahun pertama setelah pasien keluar dari rumah sakit (52,2%
vs 29,9%, p = 0,01; hazard ratio = 1,7). Mortalitas yang lebih tinggi terjadi pada
pasien lansia pascaoperasi. Delirium berhubungan dengan periode rawat inap
yang lebih panjang, kejadian komplikasi, peningkatan biaya, dan disabilitas
jangka panjang. Komplikasi berupa penurunan kognitif permanen sering dijumpai
pada pasien delirium yang dirawat di ICU. Selain itu, gangguan psikiatri menetap
lebih sering terjadi pada pasien yang mengalami delirium saat dirawat.

2.4 Etiologi
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola
gejala serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien.
Penyebab utama adalah berasal dari penyakit susunan saraf pusat (seperti
epilepsy), penyakit sistemik (seperti gagal jantung), dan intoksikasi atau reaksi
putus obat maupun zat toksik. Penyebab delirium terbanyak terletak diluar sistem
saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Neurotransmiter yang dianggap
berperan adalah asetilkolin, serotonin, serta glutamat. Area yang terutama terkena
adalah formasio retikularis. Faktor predisposisi terjadinya delirium, antara lain:

a) Usia
b) Kerusakan otak
c) Riwayat delirium
d) Ketergantungan alkohol
e) Diabetes
f) Kanker
g) Gangguan panca indera
h) Malnutrisi
i) Alkohol, obat-obatan dan bahan beracun
j) Efek toksik dari pengobatan
k) Kadar elektrolit, garam dan mineral (misalnya kalsium, natrium atau
magnesium) yang tidak normal akibat pengobatan, dehidrasi atau penyakit
tertentu
l) Infeksi Akut disertai demam
m) Hidrosefalus bertekanan normal, yaitu suatu keadaan dimana cairan yang
membantali otak tidak diserap sebagaimana mestinya dan menekan otak
n) Hematoma subdural, yaitu pengumpulan darah di bawah tengkorak yang
dapat menekan otak.
o) Meningitis, ensefalitis, sifilis (penyakit infeksi yang menyerang otak)
p) Kekurangan tiamin dan vitamin B12 • Hipotiroidisme maupun
hipotiroidisme
q) Tumor otak (beberapa diantaranya kadang menyebabkan linglung dan
gangguan ingatan)
r) Patah tulang panggul dan tulang-tulang panjang
s) Fungsi jantung atau paru-paru yang buruk dan menyebabkan rendahnya
kadar oksigen atau tingginya kadar karbon dioksida di dalam darah
t) Stroke

2. 5 Zat Psikoaktif
Diketahui bahwa zat adiktif atau narkoba atau napza adalah zat psikoaktif
yang bekerja pada SSP (Susunan Syaraf Pusat) dan berpengaruh terhadap proses
mental (Ghodse, 2002; Kemenkes. 2014). Zat adiktif akan mengakibatkan
seseorang yang mengkonsumsinya menjadi senang atau hilang rasa nyerinya
(Doweiko, 2002; Kemenkes. 2014). Namun yang patut dicatat adalah adanya
proses neuroadaptasi yaitu beradaptasinya sel syaraf terhadap pasokan zat adiktif
karena struktur kimia yang serupa antara neurotransmitter dengan zat tersebut.
Efek lebih jauh adalah terjadinya toleransi yaitu diperlukan jumlah zat yang lebih
dari biasanya guna memberikan efek yang diharapkan, yang kemudian akan
menimbulkan gejala putus obat ataupun intoksikasi (Doweiko, 2002; Diaz, 1997;
Kemenkes. 2014).

Bila zat adiktif digunakan dengan benar di bawah pengawasan medis,


maka efeknya dimaksud sebagai terapi. Tetapi bila zat itu dikonsumsi oleh
seseorang di luar maksud medis dan atau penelitian, hal tersebut dapat disebut
sebagai salah guna (“drug/substance abuse”) yaitu penggunaan yang persisten atau
sporadis berlebih dan inkonsisten dengan atau tak berhubungan dengan pemakaian
medis yang diterima (Kemenkes. 2014). Hal ini menuntun pada definisi zat adiktif
yang dikembangkan oleh WHO yaitu menjadi zat psikoaktif yang dipakai dan
menyebabkan kerusakan kesehatan, baik mental maupun fisik (harmful use)
(Ghodse, 2002; Kemenkes. 2014). Dalam DSM IV (Diagnostic Statistical on
Mental Disorders) yang dimaksud dengan penyalahgunaan adalah apabila
individu menggunakan zat psikoaktif sedikitnya dalam satu bulan dengan pola
yang menetap (Kemenkes. 2014). Menurut efek yang di timbulkan zat adiktif di
bagi dalam 3 golongan:

1. Depresan adalah zat atau jenis obat yang berfungsi mengurangi aktifitas
fungsional tubuh. Jenis ini dapat membuat pemakai merasa tenang bahkan
tertitur atau tak sadarkan diri misalnya opioda, opium atau putau , morfin,
heroin, kodein opiat sintesis.
2. Stimulan adalah zat atau obat yang dapat merangsang fungsi tubuh dan
meningkatkan gairah kerja serta kesadaran misalnya : kafein, kokain, nikotin
amfetamin atau sabu-sabu.
3. Halusinogen zat atau obat yang menimbulkan efek halusinasi yang bersifat
merubah perasaan dan fikiran misalnya : Ganja, Jamur Masrum Mescaline,
psilocybin, LSD

2.6 Delirium yang diinduksi Zat Psikoaktif


Delirium adalah suatu sindrom dengan gejala pokok adanya gangguan
kesadaran yang biasanya tampak dalam bentuk hambatan pada fungsi kognitif.
Sindrom ini juga dikenali oleh nama-nama lain seperti acute confuional state.
Delirium pada putus alcohol merupakan bentuk putus zat yang paling parah, yang
mana delirium bisa disebut juga dengan delirium tremens (DT). Delirium pada
putus alcohol merupakan suatu hal yang kegawatdaruratan medis yang dapat
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Pasien dengan delirium
bisa membahayakan dirinya sediri maupun oranglain karena pasien dengan
delirium dapat menyerang atau bunuh diri dan juga bisa bertindak menurut
halusinasi atau pikiran wahamnya seolah-olah benar-benar ada bahaya.

Gambaran delirium pada intoksikasi alcohol mencakup hiperaktivitas


otonom sseperti takikardi, diaphoresis, demam, ansietas, insomnia, hipertensi,
distorsi persepi (paling sering terjadi seperti halusinasi visual atau taktil), dan
tingkat aktivitas psikomotor yang berfluktuasi (berkisar dari hipereksabilitas
sampai letargi). Gambaran delirium akibat benzodiazepine dan barbiturate mirip
dengan gambaran delirium akibat alcohol. Delirium yang disebabkan oleh
penggunaan amfetamin biasanya muncul akibat penggunaan dosis tinggi atau
terus menerus sehingga deprivasi tidur mempengaruhi tampilan klinis. Delirium
akibat intoksikasi kanabis ditandai dengan hendaya kognisi dan tugas performa
yang nyata. Bahkan dengan dosis kanabis yang sedang dapat mengganggu
memori, persepsi, koorniasi motoric, dan atensi. Dosis tinggi yang juga
mengganggu tingkat kesadaran pengguna menimbylkan efek nyata pada
pengukuran kognitif.

2.7 Patofisiologi
Dalam patofisiologi delirium, ada berbagai hipotesis berkaitan dengan
mekanisme terjadinya derilium sendiri. Menurut Maldonado (2017) ada 5
mekanisme terjadinya derilium:

1. Usia (hipotesis penuaan neuron)


Proses penuaan menyebabkan berbagai perubahan pada otak, yaitu
penurunan aliran darah dan densitas vaskular; berkurangnya neuron;
perubahan pada sistem transduksi sinyal; serta perubahan neurotransmiter
pengatur stres (stress-regulating neurotransmitters). Perubahan ini dapat
menyebabkan defisit kognitif, termasuk delirium. Hipotesis ini juga
menjelaskan kerentanan kelompok lansia mengalami delirium saat
mengalami distres
2. Peradangan (hipotesis neuroinflamasi)
Inflamasi perifer (akibat infeksi, operasi, atau trauma) dapat menginduksi
sel parenkim otak untuk melepaskan sitokin inflamasi. Akibatnya, terjadi
disfungsi neuron dan sinaps. Pada pasien delirium, ditemukan peningkatan
kadar CRP, IL-6, TNF-α, IL-1RA, IL-10, dan IL-8
3. Oksidasi (hipotesis stress oksidatif)
Distres pada tubuh (misalnya: infeksi, sakit berat, atau kerusakan jaringan)
akan meningkatkan konsumsi oksigen sehingga ketersediaan oksigen
dalam darah menurun. Tubuh melakukan kompensasi dengan menurunkan
metabolisme oksidatif di otak. Akibatnya, terjadi disfungsi otak yang
menimbulkan gejala delirium. Kondisi ini juga memicu terbentuknya
oksigen dan nitrogen reaktif yang memperparah kerusakan jaringan otak.
Kerusakan ini bersifat menetap dan menyebabkan komplikasi berupa
penurunan kognitif permanen
4. Gklukokortikoid (hipotesis neuroendokrin)
Hipotesis ini menyatakan bahwa delirium merupakan reaksi stres akut
akibat kadar kortisol yang tinggi. Hormon ini berhubungan dengan
peningkatan sitokin proinflamasi di otak dan kerusakan neuron. Hipotesis
neuroendokrin juga menjelaskan timbulnya delirium pada pasien yang
mendapat glukokortikoid eksogen
5. Tidur (disregulasi rirme sirkardian atau hipotesis disregulasi melatonin)
Gangguan siklus sirkadian dapat memengaruhi kualitas dan fisiologi tidur.
Kekurangan tidur dapat memicu munculnya delirium, defisit memori, dan
psikosis.
Melatonin adalah hormon pengatur siklus sirkadian. Suatu studi
menunjukkan adanya hubungan antara kadar melatonin yang rendah dan
kejadian delirium. Studi lain mengatakan bahwa pemberian melatonin
eksogen pada pasien rawat inap mengurangi insiden delirium

Selain dari 5 mekanisme diatas, derilium juga bisa disebabkan oleh


ketidakseimbangan neurotransmiter, terutama asetilkolin dan dopamin.
Kadar asetilkolin ditemukan menurun pada pasien delirium. Kadar ini kembali
normal setelah pasien tidak lagi delirium. Selain itu, obat-obatan antikolinergik
(penghambat asetilkolin) terbukti dapat menyebabkan delirium.
Dopamin dan asetilkolin memiliki hubungan resiprokal (berlawanan). Terjadi
peningkatan kadar dopamin pada delirium. Pemberian obat golongan penghambat
dopamin juga dapat mengurangi gejala delirium.
selain asetilkolin dan dopamin, kadar Serotonin meningkat pada ensefalopati
hepatik dan delirium septik. Agonis serotonin (obat golongan halusinogen) juga
dapat menyebabkan delirium. Selain itu, Glutamat dalam kadar tinggi
berhubungan dengan kejadian delirium. Pada beberapa kondisi, misalnya hipoksia
dan gagal hati, terjadi peningkatan Ca2+. Akibatnya, terjadi pelepasan glutamat
berlebihan yang merusak neuron`
Pada delirium, terjadi perubahan kadar gamma-aminobutyric acid (GABA) dan
histamin. Perubahan dapat berupa peningkatan atau penurunan, tergantung
penyebab delirium.

2.8 Manifestasi Klinis


 Gangguan berpikir
Gangguan berpikir adalah salah satu tanda yang bisa dilihat pada pasien
delirium. Seorang lansia dengan delirium biasanya memiliki pemikiran
yang lambat dan tidak rasional. Mereka selalu keluar dengan ide yang
tidak jelas dan mencampuradukkan pikiran. Selain itu, lansia dengan
delirium mengalami gangguan bicara. Mereka cenderung memilih kata-
kata yang tidak akurat dalam berbicara. Kebanyakan, kata-kata mereka
salah dan tidak pantas.
 Disorientasi
disorientasi merupakan keadaan kebingungan mental tentang waktu,
tempat atau identitas. Pasien tidak akan dapat menjawab dengan benar
pertanyaan-pertanyaan mengenai tahun berjalan, di mana mereka berada
dan dengan siapa mereka berbicara.
 Defisit memori
Memori merupakan tempat sensasi, kesan, dan gagasan disimpan dan
diingat. Memori dapat diklasifikasikan ke dalam memori jangka pendek
dan memori jangka panjang. Pasien delirium dapat ditandai dengan
kehilangan memori jangka pendek atau kehilangan memori jangka
panjang.
 Gangguan bahasa
Gangguan bahasa adalah salah satu gangguan kognisi yang terjadi pada
delirium terlepas dari kekurangan memori, disorientasi, kemampuan
visuospatial, atau persepsi.
 Labilitas emosional
Pada lansia dengan delirium, suasana hati mereka akan berfluktuasi dari
waktu ke waktu. Kadang-kadang, mereka akan berada dalam kondisi
euforia tetapi kadang-kadang dalam suasana depresi dan marah secara
bersamaan. Mereka juga bisa menjadi orang yang paling ditakuti dan
suasana hati mereka berubah dalam waktu singkat. Melalui pengamatan
pasien, gangguan afektif, seperti ketakutan, kemarahan, lekas marah,
kesedihan, euforia, atau apatis mungkin hadir. Untuk menentukan apakah
pasien dalam suasana hati yang abnormal, selain mengamati suasana hati
dan ekspresi wajah mereka, presentasi klinis insomnia, kehilangan nafsu
makan dan penarikan adalah bukti bahwa suasana hati tidak baik yang
mengarah pada depresi.
 Gangguan siklus tidur
Gangguan siklus tidur berupa insomnia, atau pada kasus yang berat tidak
dapat tidur sama sekali atau siklus tidurnya terbalik yaitu mengantuk siang
hari. Gejala memburuk pada malam hari dan mimpi yang mengganggu
atau mimpi buruk yang dapat berlanjut menjadi halusinasi
setelah bangun tidur
 Perhatian berkurang
Kurang perhatian didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk
mempertahankan perhatian pada rangsangan eksternal dan
ketidakmampuan untuk mengalihkan perhatian ke rangsangan baru.
 Persepsi abnormal
Salah satu gejala klinis delirium adalah persepsi abnormal yang dapat
berupa ilusi, halusinasi dan delusi yang terletak di bawah gejala psikotik.
 Gangguan motorik
Gangguan perilaku motorik pada pasien delirium dapat berupa pengalihan
aktivitas yang tidak terduga, waktu bereaksi yang lebih panjang, arus
pembicaran yang bertambah atau berkurang, reaksi terperanjat yang
meningkat.

2.9 Diagnosa
1. Domain 5. Persepsi/kognisi Kelas 4. Kognisi. Kode Diagnosis 00129.
Konfusi Kronik bd Gangguan Kepribadian, perubahan pada minimal satu
fungsi kognitif dibandingkan memori, ketidakmampuan melakukan
aktivitas sehari-hari dan gangguan fungsi sosial.
2. Domain 11. Keamanan/perlindungan. Kelas 3. Perilaku kekerasan. Kode
diagnosis 00140.Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri
3. Domain 12. Kenyamanan kelas 3. Kenyaman sosial. Kode diagnosis
00053. Isolasi sosial bd minat yang tidak sesuai dengan perkembangan
2.10 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan fisik dan neurologis

Pemeriksaan fisik ini bertujuan untuk memeriksa gangguan atau penyakit yang
bisa menyebabkan delirium, dan untuk menentukan tingkat kesadaran pasien.
Pada pemeriksaan neurologis, dokter akan memeriksa kondisi penglihatan,
keseimbangan, koordinasi, dan refleks.

2. Pemeriksaan kondisi kejiwaan.

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai kondisi mental, perhatian, dan daya
berpikir penderita melalui sesi wawancara, pengujian, dan penyaringan.

3. Pemeriksaan penunjang.

Dokter mungkin akan menyarankan beberapa pemeriksaan lain untuk mengetahui


adanya gangguan dalam tubuh. Di antaranya adalah pemeriksaan darah atau urin
untuk uji fungsi hati, menilai kadar hormon tiroid, paparan zat NAPZA atau
alkohol. Selain itu, tes pencitraan juga dapat dilakukan, berupa pencitraan kepala
dengan CT scan atau MRI, elektroensefalogramdan foto Rontgen dada. Jika
dibutuhkan, analisis cairan serebrospinal akan dilakukan guna memastikan
diagnosis delirium.

2.11 Tatalaksana
a. Nonfarmakologis
Tatalaksana non farmakologi yang penting adalah memberikan dukungan fisik,
sensorik dan lingkungan. Dukungan fisik dibutuhkan agar pasien delirium tidak
terjebak dalam situasi mencelakai dirinya sendiri. Pasien delirium biasanya
akan terbantu dnegan adanya teman atau saudara diruangan yang sama atau
orang yang dekat dengannya. Orientasi teratur terhadap orang, tempat dan
waktu dapat membantu pasien delirium merasa nyaman.

b. Farmakologis
1. Antipsikotik Tipikal
Haloperidol merupakan pilihan utama. Haloperidol digunakan karena dapat
diberikan secara aman melalui jalur oral maupun parenteral. Pada usia lansia
atau delirium hipoaktif dimulai dengan dosis 0,5 – 1 mg/12 jam sedangkan
untuk usia muda dan keadaan agitasi yang berat serta delirium hiperaktif
dengan dosis 10 mg/2 jam IV.
2. Antipsikotik Atipikal
Dosis risperidon untuk orang tua 0,25-0.5 mg/ 12 jam, olanzapin 2,5-5 mg
malam hari, queitapin 12,5 mg malam hari. Olanzapin dan queitapin alternatif
pengganti haloperidol. Olanzapin berisiko meningkatkan kadar glukosa serum,
selain itu olanzapin mempunyai efek antikolinergik potensial yang merupakan
kontraindikasi pada delirium. Olanzapin dan risperidon tersedia dalam sediaan
oral.
3. Benzodiazepin
Pada pasien yang mengalami agitasi dan tidak responsif terhadap monoterapi
antipsikotik dapat digunakan diazepam 5-10 mg IV, dapat diulang sesuai
kebutuhan. Pasien delirium dengan gejala putus alkohol diberi tiamin 100
mg/hari dan asam folat 1 mg/hari. Bendoziazepin memberikan efek sedasi
berlebih, depresi pernapasan, ataksia dan amnesia
4. Preparat Anestetik
Propofol dapat digunakan pada pasien yang tidak responsif terhadap
psikotropik tipikal. Efek sampingnya berupa depresi pernapasan. Propofol
bekerja cepat dan waktu paruhnya singkat. Dosis maksimum 75 µg/kg/menit.
Efek samping lain berupa hipertrigleseridemia, bradikardi, peningkatan enzim
pankreas dan asam laktat.
2.12 Pathway

Penilaian Kognitif

Skrining untuk delirium: proses yang terlibat ulangi fungsi kognitif


apakah normal, atau tidak tolak skor 2 atau lebih
ada perubahan dari dalam semua pengaturan saat:
poin (jika menggunakan
penilaian sebelumnya - perubahan mendadak dalam perilaku MMSE, AMT)
atau kognitif
Atau jika tingkat
- Penurunan mendadak dalam kinerja adl
kecurigaannya
- kemunduran mendadak pada kondisi tinggi
orang tersebut

dalam perawatan komunitas dan residen


ketika: Menduga delirium
penilaian fungsi kognitif dasar
- penduduk atau klien yang berisiko lebih - Diagnosis formal menggunakan alat
menilai fungsi kognitif mungkin
tinggi mengalami delirium, seperti dan / atau
melibatkan penggunaan alat seperti MMSE
sekembalinya dari perawatan di rumah - Beri tahu pakar delirium diagnosis-
atau AMT saat masuk ke pengaturan
sakit; atau ketika benar-benar tidak sehat perawat atau staf medis, dokter umum
perawatan kesehatan
dalam pengaturan rumah sakit berisiko
tinggi:

jika fungsi kognitif abnormal atau


berubah dari penilaian sebelumnya atau
tingkat kecurigaan yang tinggi bahwa
orang tersebut mengalami delirium
2.13 Intervensi

No Diagnosa NOC NIC Rasional


keperawatan
1. Domain 5. Tujuan umum : 1. Ciptakan lingkungan 1. Agar klien kooperatif selama
Persepsi/ Kognisi Klien dapat meningkatkan terapeutik (bina hubungan terapi
Kelas 4. Kognisi kemampuan dalam saling percaya) 2. Mengidentifikasi respon klien
Konfusi kronik mengintrepretasikan stimulus 2. Anjurkan klien untuk terhadap stimulus
mendiskusikan perasaan 3. Mengidentifikasi respon klien
Tujuan khusus : dan rangsangan teradap halusinasi yang muncul
1. Klien dapat mengenali 3. Beri kesepakatan pada
perasaan yang nyata klien untuk mendiskusikan
terjadi halusinasinya
2. Klien dapat mengenali
halusinasi yang terjadi
2. Domain 11. Tujuan umum : 1. Pertahankan agar 1. Agar kondisi klien lebih tenang
Keamanan/ Klien tidak membahayakan lingkungan klien pada 2. Agar menstimulasi kepercayaan
perlindungan dirinya selama dirumah sakit tingkat stimulus yang klien pada perasaan yang nyata
Kelas 3. Perilaku rendah (penyinaran 3. Agar klien dapat menilai realita
kekerasan Tujuan khusus : rendah, sedikit orang, secara adequat
Risiko perilaku 1. Klien dapat berorientasi dekorasi yang sederhana
kekerasan terhadap persepsi yang dan tingkat kebisingan
terhadap diri nyata yang rendah)
sendiri 2. Klien dapat mengenali 2. Ciptakan lingkungan
kesalahan persepsinya psikososial (bina
hubungan saling percaya)
3. Kembangkan orientasi
kenyataan (bantu klien
untuk mengenal
persepsinya)
3. Domain 12. Tujuan umum : 4. Ciptakan lingkungan 1. Agar menstimulasi kepercayaan
Kenyamanan Klien dapat secara sukarela terapeutik (bina hubungan klien pada perasaan yang nyata
Kelas 3. meluangkan waktu bersama saling percaya) 2. Hal ini dapat membuat klien
Kenyamanan klien lainnya dan perawat dalam 5. Perlihatkan penguatan merasa menjadi orang yang
sosial aktivitas kelompok di unit rawat positif pada klien (temani berguna
Isolasi sosial inap klien untuk 3. Agar klien dapat meningkatkan
memperlihatkan dukungan kesadaran diri terhadap hubungan
Tujuan khusus : selama aktivitas kelompok dengan orang lain, waktu dan
1. Klien merasa percaya yang mungkin sukar bagi lingkungan lain
diri untuk ikut serta klien)
dalam interaksi sosial di 6. Orientasikan klien pada
rumah sakit waktu, tempat dan orang
asing
BAB III
KESIMPULAN

Delirium adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan kesadaran


dan kognisi yang terjadi secara akut dan berfluktuasi. Delirium memiliki banyak
penyebab yang semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan
dengan tingkat kesadaran dan gangguan kognitif pasien. Penyebab utama delirium
adalah penyakit susunan saraf pusat, penyakit sistemik, serta intoksikasi maupun
keadaan putus zat psikoaktif. Penegakan diagnosis delirium yang diinduksi zat
psikoaktif dapat ditegakkan berdasarkan criteria diagnosis, pemeriksaan fisik,
laboratorium, serta pemeriksaan EEG. Tatalaksana dapat berupa non farmakologis
dan farmakologis. Non farmakologis terdiri dari memberikan dukungan fisik,
sensorik, dan lingkungan. Tatalaksana farmakologis dapat diberikan haloperidol
ataupun benzodiazepine (kecuali pada delirium akibat benzodiazepine).
DAFTAR PUSTAKA
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Dewanto, G., W, J, Suwono., B, Riyanto., dan Y, Turana. 2009. Diagnosis dan


Tatalaksana Penyakit Syaraf. Jakarta: EGC.

Jayalangkara, Tanra. 2016. Gangguan Mental Organik.


https://med.unhas.ac.id/kedokteran/en/wp-content/uploads/2016/10/GMO-
bahan-kuliah-psikiatri-neuropsikiatri.pdf [Diakses pada 19 Mei 2019]

Kartikasari, Rizka. 2014. Delirium Yang Diinduksi Oleh Alkohol Atau Psikoaktif
Lainnya. Dari website
https://id.scribd.com/document/241659472/DELIRIUM-YANG-
DIINDUKSI-OLEH-ALKOHOL-ATAU-ZAT-PSIKOAKTIF-LAINNYA-
docx

Kemenkes. 2014. Gambaran Umum Penyalahgunaan Narkoba Di Indonesia. Pusat


Data dan Informasi.

Livia,P.2017.EpidemiologiDelirium.https://www.alomedika.com/penyakit/psikiat
i/delirium/epidemiologi.“Diakses pada” 19 Mei 2019.

Maldonado JR. Delirium pathophysiology: An updated hypothesis of the etiology


of acute brain failure. Int J Geriatr Psychiatry. 2017;1–30.

Mat, L. N. I., et al. 2018. Clinical Manifestations Of Delirium In Elderly. MNJ.


Vol. 4(2): 78-85.

Menkes. 2015. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa. Jakarta

Sudoyo. Aru W. dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jili I Edisi IV. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta

Willy, Tjin.2018. Delirium. https://www.alodokter.com/delirium. Diakses pada 19


Mei 2019.

Anda mungkin juga menyukai