KEPERAWATAN KRITIS
oleh
Ninuk Profita Sari 162310101127
Anindianti Sukma 162310101133
Elisya Nurri Syani 162310101154
Annisah Dwi Intan N 162310101166
Fatihul Matlub Ulum 162310101179
Sri Yuni Wulandari 162310101183
Sukma Ningrum 162310101194
Fatimatul Munawwaroh 162310101200
Yurin Ainur Azifa 162310101220
Galuh Yulia Asmara Putri 162310101226
Dita Ras Pambela Putri 162310101233
Muhammad Musyafa F S 162310101242
Ken Rangga Galang A 162310101249
Rosita Milandani 162310101258
Dies Rut Setyoningsih 162310101260
Nisrina Na’ilah Rahmatika 162310101263
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Delirium merupakan suatu sindrom serebral organik dengan penyebab
yang tidak spesifik. Karakteristik delirium adalah gangguan fungsi kesadaran,
atensi, persepsi, berpikir, memori, psikomotor, emosi, serta pola istirahat
tidur. Delirium pascaoperasi adalah perubahan akut pada karakteristik kognisi
dengan fluktuasi kesadaran serta kurangnya perhatian dalam 30 hari.
Delirium emergensi sama seperti deliriun pascaoperasi, namun terjadi segera
pada fase pemulihan dari anastesi (Rakhman, 2016).
Sindrom delirium adalah kondisi yang sering dijumpai pada pasien
geriatri di rumah sakit. Sindrom ini sering tidak terdiagnosis dengan baik saat
pasien berada di rumah (akibat kurangnya kewaspadaan keluarga) maupun
saat pasien sudah berada di unit gawat darurat atau unit rawat jalan. Gejala
dan tanda yang tidak khas merupakan salah satu penyebabnya. Setidaknya
32% - 67% dari sindrom ini tidak terdiagnosis, padahal kondisi ini dapat
dicegah. Literature lain menyebutkan bahwa 70% dari kasus sindrom
delirium tidak terdiagnosis atau salah terapi. Sindrom delirium sering muncul
sebagai keluhan utama atau tak jarang justru terjadi pada hari pertama pasien
dirawat dan menunjukkan gejala yang berfluktuasi (dr. Ketut, 2017).
Sindrom delirium memiliki banyak nama, beberapa literature
menggunakan istilah seperti acute mental status change, altered mental
status, reversible dementia, toxic/metabolic encephalopathy, organic brain
sybdrome, dysergasticreaction dan acute confusional state. Untuk
keseragaman istilah agar terjamin standardisasi identifikasi gejala dan tanda
maka makalah ini menggunakan istilah sindrom delirium (dr. Ketut, 2017).
Delirium juga dikenal sebagai sindrom akut, psikosis infektif akut, reaksi
organik akut, maupun sindrom psiko-organik akut (Jayalangkara, 2016). Jadi,
delirium merupakan sindrom otak akut yang berlangsung singkat yang disebabkan
oleh riwayat penyakit otak / sistemik ataupun penggunaan zat.
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi Delirium Menkes 2015 dibagi menjadi :
2) Delirium disebabkan oleh penyebab yang tidak tercatat pada seksi ini (deprivasi
sensorik)
2.3 Epidemiologi
Epidemiologi delirium secara nasional di Indonesia belum diketahui.
Secara global diperkirakan prevalensi delirium pada pasien rawat inap adalah 10-
40%. Delirium sering terjadi setelah penyakit akut, operasi, atau rawat inap.
Prevalensi delirium pada pasien rawat inap adalah 10–40%. Pada pasien lansia
pasca operasi, prevalensinya adalah 30–50%. Sementara itu, sekitar 80% pasien
ICU yang memakai ventilator mengalami delirium.[8] Hampir 20% pasien yang
menjalani perawatan jangka panjang mengalami delirium.[9] Namun, prevalensi
delirium di luar rumah sakit cukup rendah, hanya 1–2%.
Indonesia, data prevalensi dan insiden delirium di Indonesia masih belum
ada. Penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2004
mengatakan bahwa prevalensi delirium di ruang rawat inap geriatrik adalah 23%.
Penelitian lainnya pada tahun 2012 mengatakan insiden delirium sebesar 18,8%.
2.4 Etiologi
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola
gejala serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien.
Penyebab utama adalah berasal dari penyakit susunan saraf pusat (seperti
epilepsy), penyakit sistemik (seperti gagal jantung), dan intoksikasi atau reaksi
putus obat maupun zat toksik. Penyebab delirium terbanyak terletak diluar sistem
saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Neurotransmiter yang dianggap
berperan adalah asetilkolin, serotonin, serta glutamat. Area yang terutama terkena
adalah formasio retikularis. Faktor predisposisi terjadinya delirium, antara lain:
a) Usia
b) Kerusakan otak
c) Riwayat delirium
d) Ketergantungan alkohol
e) Diabetes
f) Kanker
g) Gangguan panca indera
h) Malnutrisi
i) Alkohol, obat-obatan dan bahan beracun
j) Efek toksik dari pengobatan
k) Kadar elektrolit, garam dan mineral (misalnya kalsium, natrium atau
magnesium) yang tidak normal akibat pengobatan, dehidrasi atau penyakit
tertentu
l) Infeksi Akut disertai demam
m) Hidrosefalus bertekanan normal, yaitu suatu keadaan dimana cairan yang
membantali otak tidak diserap sebagaimana mestinya dan menekan otak
n) Hematoma subdural, yaitu pengumpulan darah di bawah tengkorak yang
dapat menekan otak.
o) Meningitis, ensefalitis, sifilis (penyakit infeksi yang menyerang otak)
p) Kekurangan tiamin dan vitamin B12 • Hipotiroidisme maupun
hipotiroidisme
q) Tumor otak (beberapa diantaranya kadang menyebabkan linglung dan
gangguan ingatan)
r) Patah tulang panggul dan tulang-tulang panjang
s) Fungsi jantung atau paru-paru yang buruk dan menyebabkan rendahnya
kadar oksigen atau tingginya kadar karbon dioksida di dalam darah
t) Stroke
2. 5 Zat Psikoaktif
Diketahui bahwa zat adiktif atau narkoba atau napza adalah zat psikoaktif
yang bekerja pada SSP (Susunan Syaraf Pusat) dan berpengaruh terhadap proses
mental (Ghodse, 2002; Kemenkes. 2014). Zat adiktif akan mengakibatkan
seseorang yang mengkonsumsinya menjadi senang atau hilang rasa nyerinya
(Doweiko, 2002; Kemenkes. 2014). Namun yang patut dicatat adalah adanya
proses neuroadaptasi yaitu beradaptasinya sel syaraf terhadap pasokan zat adiktif
karena struktur kimia yang serupa antara neurotransmitter dengan zat tersebut.
Efek lebih jauh adalah terjadinya toleransi yaitu diperlukan jumlah zat yang lebih
dari biasanya guna memberikan efek yang diharapkan, yang kemudian akan
menimbulkan gejala putus obat ataupun intoksikasi (Doweiko, 2002; Diaz, 1997;
Kemenkes. 2014).
1. Depresan adalah zat atau jenis obat yang berfungsi mengurangi aktifitas
fungsional tubuh. Jenis ini dapat membuat pemakai merasa tenang bahkan
tertitur atau tak sadarkan diri misalnya opioda, opium atau putau , morfin,
heroin, kodein opiat sintesis.
2. Stimulan adalah zat atau obat yang dapat merangsang fungsi tubuh dan
meningkatkan gairah kerja serta kesadaran misalnya : kafein, kokain, nikotin
amfetamin atau sabu-sabu.
3. Halusinogen zat atau obat yang menimbulkan efek halusinasi yang bersifat
merubah perasaan dan fikiran misalnya : Ganja, Jamur Masrum Mescaline,
psilocybin, LSD
2.7 Patofisiologi
Dalam patofisiologi delirium, ada berbagai hipotesis berkaitan dengan
mekanisme terjadinya derilium sendiri. Menurut Maldonado (2017) ada 5
mekanisme terjadinya derilium:
2.9 Diagnosa
1. Domain 5. Persepsi/kognisi Kelas 4. Kognisi. Kode Diagnosis 00129.
Konfusi Kronik bd Gangguan Kepribadian, perubahan pada minimal satu
fungsi kognitif dibandingkan memori, ketidakmampuan melakukan
aktivitas sehari-hari dan gangguan fungsi sosial.
2. Domain 11. Keamanan/perlindungan. Kelas 3. Perilaku kekerasan. Kode
diagnosis 00140.Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri
3. Domain 12. Kenyamanan kelas 3. Kenyaman sosial. Kode diagnosis
00053. Isolasi sosial bd minat yang tidak sesuai dengan perkembangan
2.10 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan fisik dan neurologis
Pemeriksaan fisik ini bertujuan untuk memeriksa gangguan atau penyakit yang
bisa menyebabkan delirium, dan untuk menentukan tingkat kesadaran pasien.
Pada pemeriksaan neurologis, dokter akan memeriksa kondisi penglihatan,
keseimbangan, koordinasi, dan refleks.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai kondisi mental, perhatian, dan daya
berpikir penderita melalui sesi wawancara, pengujian, dan penyaringan.
3. Pemeriksaan penunjang.
2.11 Tatalaksana
a. Nonfarmakologis
Tatalaksana non farmakologi yang penting adalah memberikan dukungan fisik,
sensorik dan lingkungan. Dukungan fisik dibutuhkan agar pasien delirium tidak
terjebak dalam situasi mencelakai dirinya sendiri. Pasien delirium biasanya
akan terbantu dnegan adanya teman atau saudara diruangan yang sama atau
orang yang dekat dengannya. Orientasi teratur terhadap orang, tempat dan
waktu dapat membantu pasien delirium merasa nyaman.
b. Farmakologis
1. Antipsikotik Tipikal
Haloperidol merupakan pilihan utama. Haloperidol digunakan karena dapat
diberikan secara aman melalui jalur oral maupun parenteral. Pada usia lansia
atau delirium hipoaktif dimulai dengan dosis 0,5 – 1 mg/12 jam sedangkan
untuk usia muda dan keadaan agitasi yang berat serta delirium hiperaktif
dengan dosis 10 mg/2 jam IV.
2. Antipsikotik Atipikal
Dosis risperidon untuk orang tua 0,25-0.5 mg/ 12 jam, olanzapin 2,5-5 mg
malam hari, queitapin 12,5 mg malam hari. Olanzapin dan queitapin alternatif
pengganti haloperidol. Olanzapin berisiko meningkatkan kadar glukosa serum,
selain itu olanzapin mempunyai efek antikolinergik potensial yang merupakan
kontraindikasi pada delirium. Olanzapin dan risperidon tersedia dalam sediaan
oral.
3. Benzodiazepin
Pada pasien yang mengalami agitasi dan tidak responsif terhadap monoterapi
antipsikotik dapat digunakan diazepam 5-10 mg IV, dapat diulang sesuai
kebutuhan. Pasien delirium dengan gejala putus alkohol diberi tiamin 100
mg/hari dan asam folat 1 mg/hari. Bendoziazepin memberikan efek sedasi
berlebih, depresi pernapasan, ataksia dan amnesia
4. Preparat Anestetik
Propofol dapat digunakan pada pasien yang tidak responsif terhadap
psikotropik tipikal. Efek sampingnya berupa depresi pernapasan. Propofol
bekerja cepat dan waktu paruhnya singkat. Dosis maksimum 75 µg/kg/menit.
Efek samping lain berupa hipertrigleseridemia, bradikardi, peningkatan enzim
pankreas dan asam laktat.
2.12 Pathway
Penilaian Kognitif
Kartikasari, Rizka. 2014. Delirium Yang Diinduksi Oleh Alkohol Atau Psikoaktif
Lainnya. Dari website
https://id.scribd.com/document/241659472/DELIRIUM-YANG-
DIINDUKSI-OLEH-ALKOHOL-ATAU-ZAT-PSIKOAKTIF-LAINNYA-
docx
Livia,P.2017.EpidemiologiDelirium.https://www.alomedika.com/penyakit/psikiat
i/delirium/epidemiologi.“Diakses pada” 19 Mei 2019.
Sudoyo. Aru W. dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jili I Edisi IV. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta