Anda di halaman 1dari 196

Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019

Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia KOMISI


PENANGGULANGAN
AIDS

Strategi dan Rencana


Aksi Nasional 2015-2019

PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Komisi Penanggulangan AIDS


2015

Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional | 2015


Strategi dan Rencana
Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional | | 2015


Strategi dan Rencana
Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional | 2015


Kata Pengantar

Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, bahwasanya
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS (SRAN) tahun
2015-2019 dapat diselesaikan dengan baik. Ini adalah dokumen perencanaan yang
disusun mengacu ke Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
tahun 2015-2019 serta visi misi Pemerintah dan Kabinet Kerja.

Proses penyusunan dokumen ini dimulai dengan kajian paruh waktu pelaksanaan
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010-2014,
sejak tahun 2012 hingga tahun 2013. Pengkajian dilakukan melalui pengumpulan
informasi mulai dari kajian tematik yang digunakan untuk pengembangan roadmap
dan pelaksanaan program, selanjutnya digunakan untuk menggambarkan situasi
epidemiologi dan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.

Seluruh kajian dilakukan melalui serangkaian pertemuan konsultasi mulai dari tingkat
daerah hingga nasional dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Hal ini
untuk memastikan bahwa semua pihak berpartisipasi dengan aktif memberikan
masukan dan analisis dalam proses untuk memahami kondisi terkini, yang pada
gilirannya akan menjadi materi strategis dalam pengembangan SRAN 2015-2019.

Berbeda dengan sebelumnya, pada SRAN 2015-2019 tantangan upaya penanggulangan


AIDS di Indonesia ke depan akan lebih berat. Berkurangnya dukungan pendanaan
internasional adalah salah satunya. Untuk itu peningkatan dana dari dalam negeri
dan keterlibatan dunia usaha menjadi kunci penting. Terbitnya SRAN 2015-2019 ini
agar menjadi pegangan bagi semua pihak, mulai dari Pemerintah Kota, Kabupaten,
Provinsi, Kementerian dan Lembaga, hingga masyarakat sipil, mitra pembangunan
internasional serta dunia usaha untuk terlibat aktif dalam penanggulangan AIDS.

Di tingkat global, dokumen ini juga diharapkan menjadi bagian penting dalam
pelaksanaan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yang terintegrasi,
terarah, intensif dan komprehensif bagi kita untuk mencapai komitmen Sustainable
Development Goals pasca tahun 2015 dan ASEAN Getting to Zeroes, dimana Indonesia
menjadi leading country.
Mengingat Peraturan Presiden nomor 75 tahun 2006 saat ini dalam proses revisi
untuk kelembagaan KPAN maka Strategi dan Rencana Aksi Nasional ini belum dapat
ditetapkan melalui peraturan menteri. Namun isi dokumen ini dapat digunakan
sebagai acuan, yang memang telah digunakan pada tahun 2014-2015 untuk
penyusunan New Funding Model, Global Fund. Ke depan dalam penggunaan SRAN
ini perlu penyesuaian dengan memperhatikan adanya perkembangan terbaru,
seperti sasaran-sasaran SDGs, kebijakan pemerintah dan perkembangan data HIV/
AIDS terkini.

Dengan segala senang hati kami sangat terbuka terhadap segala masukan dan saran
untuk perbaikan dokumen ini.

Dengan terbitnya dokumen ini, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan
sebesar-besarnya kepada berbagai pihak atas itikad, kerja keras serta dedikasinya
dalam proses penyusunan.

Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberi kemudahan dan
bimbingan-Nya dalam tiap upaya kita untuk mencapai derajat kesejahteraan seluruh
rakyat Indonesia. Dengan demikian, kita akan mampu menciptakan manusia Indonesia
yang sehat dan berkualitas serta produktif.

Januari 2015

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

Dr. Kemal N. Siregar


Daftar Isi

Bab 1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 1
1.2. Perubahan Lingkungan 1
1.3 Penyusunan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2015-2019 2

Bab 2. EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS 5


2.2. Epidemi HIV di Indonesia 6
2.3. Penanggulangan Epidemi HIV dan AIDS di Indonesia 11
2.3.1. Perkembangan Program 11
2.3.2. Temuan Kajian Paruh Waktu 12
2.3.3. Temuan Investment Case Analysis 13

Bab 3. VISI, TUJUAN dan STRATEGI 16


3.1. Prinsip Kebijakan 16
3.2. Visi, Tujuan Umum dan Tujuan Khusus 16
3.3. Target dan Hasil Yang Diharapkan 20
3.4. Strategi 23

Bab 4. RENCANA AKSI 32


A. Intervensi 32
4.1. Pencegahan HIV 32
4.1.1. Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual 32
4.1.2. Pengembangan Program Komprehensif GWL
(Gay, Waria, dan LSL lainnya) 33
4.1.3. Pengurangan Dampak Buruk pada Penasun 35
4.1.4. Warga Binaan Pemasyarakatan 35
4.1.5. Orang Muda 35
4.1.6. Pekerja Migran 37
4.1.7. Tanah Papua 39
4.1.8. Pencegahan oleh orang HIV yang telah mengetahui statusnya 40
4.1.9. Pencegahan HIV Pada Populasi Lainnya Terutama Populasi Rentan 41
4.2. Mengurangi Infeksi HIV Vertikal 41
4.2.1. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak 41
4.2.2. Mengurangi Dampak Infeksi HIV pada Anak 42
4.3. Perawatan, Dukungan dan Pengobatan 43
4.3.1. Meningkatkan Aksesibilitas Tes HIV 43
4.3.2. Menanggulangi Stigma dan Diskriminasi 43
4.3.3. Inisiasi dan Retensi Pengobatan 43
4.3.4. Ketersediaan dan Keterjangkauan Obat terkait HIV 44
4.3.5. Akselerasi dan Implementasi SUFA 44
4.3.6. Desentralisasi Layanan HIV ke dalam Sistem Layanan Primer 45
4.4. Mitigasi Dampak 45

B. Critical Enablers 46
4.5. Lingkungan yang Mendukung 46
4.5.1. Integrasi Perlindungan HAM dan Keberpihakan Jender 46
4.5.2. Penguatan Sistem Komunitas 49
4.5.3. Penguatan Sistem Kesehatan 50
4.5.4. Pembelajaran Horisontal 53
4.6. Keberlanjutan Kepemimpinan dan Pendanaan 54
4.7. Penguatan Penelitian dan Kualitas Data serta Akselerasi
Penggunaan Inovasi dan Teknologi Baru 55
4.8. Penguatan Kemitraan Internasional: Bilateral dan Multilateral 55
4.9. Penanggulangan HIV dalam Kebencanaan 56

Bab 5. MONITORING DAN EVALUASI 58


5.1. Target Tahunan Cakupan Program 58
5.2. Kerangka Kerja dan Indikator Utama 62
5.2.1. Kerangka Kerja 62
5.2.2. Indikator Input 62
5.2.3. Indikator Kegiatan 63
5.2.4. Indikator Hasil 65
5.2.6. Indikator Paket Kegiatan 67
5.4. Pengembangan Kapasitas SDM 71
5.5. Penguatan Monitoring dan Evaluasi SRAN 2015-2019 71

Bab 6. PELAKSANAAN SRAN DI TINGKAT DAERAH 73


6.1. Prinsip 74
6.2. Kepemimpinan dan Tata Kelola 75
6.3. Kemitraan dan Koordinasi Lintas Sektor 76
6.4. Perencanaan dan Pembiayaan 77
6.5. Pelaksanaan di Daerah 78
6.6. Monitoring dan Evaluasi di Daerah 80
Bab 7. SUMBER DAYA DAN PENDANAAN 81
7.1. Sumber Daya Manusia 81
7.2. Kebutuhan dan Ketersediaan Dana 83
7.3. Analisis Anggaran 85
7.4. Analisis Investasi 87
7.5. Strategi pemenuhan kebutuhan anggaran serta
kemandirian terhadap ketergantungan dana luar negeri 87
Daftar Singkatan
AIDS Acquired Immuno Deficiency Syndrome
AEM AIDS Epidemic Modeling
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
ARV Obat Anti Retroviral
ART Anti Retroviral Therapy
ASEAN Association of Southeast Asian Nations
Bappenas Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BLKLN Balai Latihan Kerja Luar Negeri
BNN Badan Narkotika Nasional
BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BPPT Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
CoC Continuum of Care
CSR Corporate Social Responsibility
CSS Community System Strengthening
CST Care, Support and Treatment
CTKI Calon Tenaga Kerja Indonesia
EQAS External Quality Assurance Services
ESCAP Economic and Social Commission for Asia and the Pacific
GARPR Global AIDS Response Progress Reporting
GF Global Fund
GWL Gay, Waria dan LSL lainnya
HAM Hak Asasi Manusia
HCPI HIV Cooperation Program for Indonesia
HR Harm Reduction
HIV Human Immunodeficeincy Virus
IBBS Integrated Bio-Behavioural Survey
ICA Investment Case Analysis
ICT Information and Communication Technology
ILO International Labor Organization
IMS Infeksi Menular Seksual
IPPI Ikatan Perempuan Positif Indonesia
JKN Jaminan Kesehatan Nasional
JOTHI Jaringan Orang Terinfeksi HIV
KADIN Kamar Dagang dan Industri
KAPOLRI Kepala Polisi Negara
KBRI Kedutaan Besar Republik Indonesia
KDS Kelompok Dukungan Sebaya
Keppres Keputusan Presiden
KIA Kesehatan Ibu dan Anak
KIE Komunikasi, Informasi dan Edukasi
KJRI Konsulat Jenderal Republik Indonesia
KPA Komisi Penanggulangan AIDS
KPAD Komisi Penanggulangan AIDS Daerah
KPAK Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota
KPAN Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
KPAP Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi
KSR Kesehatan Seksual dan Reproduksi
KTH Konseling dan Tes HIV
KTT Konferensi Tingkat Tinggi
KTP Kartu Tanda Penduduk
K/L Kementerian/Lembaga
Lapas Lembaga Pemasyarakatan
LASS Layanan Alat Suntik Steril
LKB Layanan Komprehensif Berkesinambungan
LSL Lelaki yang berhubungan Seks dengan Lelaki
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
Menko PMK Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
MTR Mid Term Review
NAPZA Narkotika, Psikotropika, Zat Adiktif
NCPI National Commitment and Policy Instrument
NFM New Funding Model
OBK Organisasi Berbasis Komunitas
ODHA Orang Dengan HIV dan AIDS, orang yang telah terinfeksi HIV
OHIDA Orang Hidup Dengan penderita AIDS, umumnya anggota keluarga
OMS Organisasi Masyarakat Sipil
OPSI Organisasi Pekerja Seks Indonesia
PABM Program Adiksi Berbasis Masyarakat
PCB Programme Coordinating Board
Penasun Pengguna NAPZA suntik
Perpres Peraturan Presiden
PITC Provider Initiated Counselling and Testing
PJTKI Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia
PKNI Persaudaraan Korban Napza Indonesia
PMI Palang Merah Indonesia
PMTCT Prevention Mother to Child Transmission
PMTS Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual
Pokja Kelompok Kerja
PP Peraturan Pemerintah
PPIA Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
PPTKIS Pelaksana Penempatan TKI Swasta
PreP Pre-exposure Prophylaxis
PTRM Program Terapi Rumatan Methadon
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat
RAD Rencana Aksi Daerah
RAPBD Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
RAPBN Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Renja Rencana Kerja
Renstra Rencana Strategis
RKA Rencana Kerja dan Anggaran
RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
SCM Supply Chain Management
SDGS Sustainable Development Goals
SDKI Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
SDM Sumber Daya manusia
SIHA Sistem Informasi HIV dan AIDS
SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah
SRAN Strategi dan Rencana Aksi Nasional
STBP Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku
STHP Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku
SUFA Strategic Use For ARV
TB Tuberkulosis
TIPK Tes atas Inisiatif Petugas Kesehatan
TKI Tenaga Kerja Indonesia
TNI Tentara Nasional Indonesia
UNAIDS Joint United Nations Programme on HIV and AIDS
UNGASS United Nations General Assembly Special Session
VCT Voluntary Counseling and Testing
WBP Warga Binaan Pemasyarakatan
WHO World Health Organization
WPS Wanita Pekerja Seks
WPSL Wanita Pekerja Seks Langsung
WPSTL Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung
Strategi dan Rencana
Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

PENDAHULUAN
1

BAB 1

Pendahuluan
2
PENDAHULUAN

BAB 1.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia

Dengan terbitnya Peraturan Presiden nomor 75 tahun 2006 tentang Komisi


Penanggulangan AIDS Nasional dan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 20
tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS
dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di
Daerah maka kedudukan Komisi Penanggulangan AIDS, mulai dari tingkat nasional,
provinsi sampai ke kabupaten/ kota di seluruh Indonesia menjadi semakin kuat untuk
memimpin dan mengelola penanggulangan AIDS secara menyeluruh, sistematis
dan terkoordinasi pada semua tingkatan. Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN)

PENDAHULUAN
Penanggulangan AIDS tahun 2007-2010 adalah dokumen strategi pertama yang
menggunakan perencanaan berbasis biaya. Kemudian, SRAN tahun 2010-2014
yang disusun berdasarkan arahan kebijakan RPJMN 2010-2014, telah digunakan
sebagai acuan bagi semua pelaksana penanggulangan AIDS termasuk mitra kerja
pembangunan nasional dan internasional.
3

SRAN untuk 5 tahun mendatang, disusun mengacu pada RPJMN 2015-2019, dalam
kerangka pembangunan yang berkelanjutan, untuk mempertahankan momentum
penanggulangan HIV dan AIDS yang sedang bergerak menuju kemandirian
pendanaandan integrasi program ke dalam sistem pemerintah dan masyarakat.
Dokumen ini terdiri dari 7 Bab, yang diawali dengan Bab 1 Pendahuluan, termasuk
kerangka pikir serta proses penyusunannya; Bab 2 Situasi epidemi serta upaya
penanggulangan; Bab 3 Visi, tujuan, target dan strategi; Bab 4 Rencana aksi; Bab 5
Monitoring dan evaluasi; Bab 6 Pelaksanaan SRAN di daerah; dan Bab 7 Kebutuhan
sumber daya, termasuk mobilisasi sumber daya manusia dan sumber pendanaan.

1.2. Perubahan Lingkungan

Perubahan lingkungan yang terjadi baik secara nasional maupun global menjadi
bahan pertimbangan untuk penetapan kebijakan ke depan. Beberapa perubahan
lingkungan yang terjadi adalah sebagai berikut:

Pada Tahun 2011

Pertemuan Tingkat Tinggi Majelis Umum PBB tahun 2011 mengadopsi Komitmen
Politik tentang HIV dan AIDS dan menetapkan target global yang akan dicapai pada
tahun 2015.
KTT ASEAN tahun 2011 di Bali yang dipimpin oleh Indonesia, mengadopsi Deklarasi
Komitmen Getting to Zero, yang memperkuat komitmen dan target tingkat global.
Negara-negara anggota ASEAN bersama-sama menetapkan target dalam inisiatif yang
disebut dengan ASEAN Cities Getting to Zero. Dalam inisiatif ini, Indonesia berperan
sebagai leading country, dan bersama-sama anggota ASEAN, merencanakan dan
berbagi praktik terbaik untuk mengatasi epidemi HIV di kota-kota terpilih.

Indonesia secara aktif mendukung resolusi ESCAP regional dan berkomitmen untuk
meningkatkan akses universal terhadap HIV dan AIDS melalui pengobatan, perawatan
dan dukungan secara intensif.

Pada Tahun 2014-2015

Laporan dunia menunjukkan bahwa epidemi HIV di dunia mulai menunjukkan


penurunan. Hal ini menunjukkan keberhasilan pencapaian tujuan ke-6 MDGs. Tujuan
penanggulangan AIDS dunia yang dicanangkan UNAIDS untuk mengakhiri epidemi
PENDAHULUAN

dengan 3 Zero (Zero infeksi baru, Zero kematian terkait AIDS, Zero stigma dan
diskriminasi) telah dipandang sebagai tujuan yang aspirasional. Ke depan MDGs akan
digantikan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Disini, HIV dan AIDS
diintegrasikan sebagai salah satu tujuan kesehatan dan pembangunan sosial.

4 Perubahan penting lainnya adalah krisis ekonomi global, yang berakibat pada
berkurangnya pendanaan HIV dan AIDS. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran
pada banyak negara yang masih bergantung dari pendanaan luar negeri. Oleh sebab
itu, demi keberlanjutan program penanggulangan HIV dan AIDS penting untuk
menyiapkan exit strategy dari ketergantungan pendanaan luar negeri.

1.3. Penyusunan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2015-2019

SRAN penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2015-2019 disusun berdasarkan hasil
evaluasi pelaksanaan SRAN sebelumnya tahun 2010-2014, dan sejalan dengan
kerangka RPJMN tahun 2015-2019. Penyusunan SRAN tahun 2015-2019 dilakukan
mengikuti kerangka pikir sebagaimana diuraikan pada gambar 1.1.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Gambar 1.1. Kerangka Pikir SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS


Tahun 2015-2019*

Kepemimpinan
dan Tata Kelola Visi:
(Nasional -
Daerah) Strategi: Tujuan Khusus:
Berakhirnya
Penguatan Akses l Pencegahan
epidemi HIV
dan Kualitas kombinasi HIV sebagai ancaman
Penguatan Sistem kesehatan
Pencegahan l Perawatan,
Kesehatan dan masyarakat tahun
Pengembangan
HIV dan AIDS dukungan dan
Komprehensif pengobatan 2030
SDM
melalui berkualitas
Ketersediaan Obat, Continum of Care l Pencegahan
Tujuan Umum:
Alat Kesehatan dan PMTS-LKB untuk penularan ibu ke
Logistik Populasi Kunci di anak Percepatan
Daerah Prioritas l Mitigasi dampak pencapaian 3 zero
Penguatan (zero infeksi baru,
Komunitas
sosial dan
ekonomi zero kematin akibat
Lingkungan sosial AIDS, zero stigma &

PENDAHULUAN
l

l Keberlanjutan diskriminasi)
Sumberdaya dan program
Pendanaan

5
Dimensi Pendukung Dimensi Upaya
Critical Enablers (Intervensi)

* Diadaptasi dari Landasan Pikir Sistem Kesehatan Nasional (Perpres nomor 72 tahun 2012).

Penyusunan SRAN dilakukan dengan merujuk ke dokumen-dokumen perencanaan


yang sudah ada, yaitu Rencana Aksi Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak,
Strategi Pencegahan Infeksi Menular Seksual, Rencana Aksi Penanggulangan HIV
dan AIDS pada Lelaki yang Seks dengan Lelaki, Rencana Aksi Pengurangan Dampak
Buruk NAPZA, Rencana Strategi Penanggulangan AIDS pada lingkungan Lembaga
Pemasyarakatan dan Rutan, serta Rencana Aksi Penanggulangan AIDS pada Remaja.
Dokumen perencanaan yang lebih khusus akan dikembangkan mengikuti arahan
SRAN ini, antara lain, untuk Kerjasama Media dan Pemanfaatan Media Sosial, Rencana
Monitoring dan Evaluasi, untuk Pekerja Migran, dan Agenda Penelitian.

Proses Pengembangan SRAN menggunakan prinsip perencanaan berfokus pada


proses yang sistematis melibatkan semua pemangku kepentingan.
Gambar 1.2. Proses Pengembangan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS
Tahun 2015-2019

Kajian Paruh Lokakarya Country


Waktu SRAN Analisis CIA
(Investment Konsultasi Dialogue SRAN
2010-2014 Nasional Finalisasi
Case Analysis) 16 Oktober
2013-2014 2014

* Tahun 2013 * Tahun 2013-2014 * Konsultasi VI, 7 April *KPAN, Tim Penyusun, Konsultan dan
2014 (Pokja KPAN, Tim Pembahas (K/L, Tim Penyusun
K/L, Komunitas, Komunitas, Mitra SRAN dan
Mitra Nasional dan Mitra Nasional dan Concept Note
Internasional) Internasional) untuk NFM

Untuk mendapatkan analisis yang berbasis evidens, beberapa langkah khusus


PENDAHULUAN

dilakukan dalam pengembangan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2015-
2019:

1. Kajian Paruh Waktu Pelaksanaan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS tahun
2010-2014 yang mencakup berbagai sumber informasi, termasuk hasil kajian-
6 kajian tematik, hasil survei dan surveilans serta hasil-hasil penelitian.

2. Pertemuan dan Lokakarya Konsultasi Nasional dilakukan secara bertahap


sejak pertengahan tahun 2013 hingga bulan Oktober 2014. Pembahasan
dilakukan secara sistematis dan tematik, dengan mengundang partisipasi aktif
pemangku kepentingan baik dari tingkat nasional maupun daerah, termasuk unsur
pemerintah, masyarakat sipil, mitra pembangunan nasional dan international.

n Konsultasi nasional pertama pada 14 Juni 2013 mengenai kajian paruh waktu dari
10 target Pertemuan Tingkat Tinggi Sidang Umum PBB 2011 yang mengadopsi
Deklarasi Politik tentang HIV dan AIDS.

n Konsultasi nasional kedua diadakan tanggal 26-28 Agustus 2013 dengan


mengundang seluruh provinsi di Indonesia untuk membahas isu-isu, rekomendasi
serta respon prioritas terhadap HIV dan AIDS dari perspektif pemangku kepentingan
sub-nasional. Diskusi dibagi menjadi 8 tema: (1) Pencegahan HIV melalui transmisi
seksual dan penularan HIV dari ibu ke anak, (2) Pengurangan dampak buruk bagi
Penasun, (3) Sistem kesehatan dan pengobatan yang berkelanjutan, (4) Sistem
masyarakat, (5) Orang muda dan pendidikan HIV dan AIDS, (6) Isu jender, (7)
Perlindungan sosial, dan (8) Kebijakan.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

n Konsultasi nasional ketiga diadakan pada 3 Oktober 2013, yang secara spesifik
mengidentifikasi isu-isu dan membuat rekomendasi untuk memperbaiki
pelaksanaan SRAN 2010-2014, serta membuat rekomendasi dan mengidentifikasi
prioritas SRAN 2015-2019.

n Konsultasi keempat diadakan pada tanggal 29-31 Oktober 2013 dengan


mengundang kementerian/ lembaga serta provinsi dan kabupaten/ kota untuk
mendiskusikan pencegahan penularan seksual dan pengurangan dampak buruk
NAPZA.

n Konsultasi kelima diadakan pada minggu pertama bulan Desember 2013 bersama
lembaga yang bertanggung jawab pada pelaksanaan dan pengembangan
SRAN 2015-2019 dan penyelarasannya dengan pengembangan nasional dan
perencanaan sektoral.

n Analisis Investasi (Investment Case Analysis - ICA), dilakukan dengan pemodelan


matematika menggunakan data survei dan surveilans nasional yang tersedia

PENDAHULUAN
sampai dengan pertengahan tahun 2014.

n Konsultasi keenam dilakukan pada tanggal 7 April 2014 untuk mengumpulkan


masukan tentang apa yang perlu diubah serta memasukkan informasi tambahan
dari Kelompok Kerja (Pokja) KPA Nasional.
7
n Konsultasi ketujuh diselenggarakan pada tanggal 21-22 April 2014 melalui lokakarya
nasional penyusunan SRAN 2015-2019, mengundang seluruh mitra terkait, baik di
tingkat pusat maupun daerah untuk membahas bersama rancangan yang telah
dihasilkan pada proses sebelumnya.

n Konsultasi kedelapan diselenggarakan pada tanggal 27-29 April 2014 berupa


lokakarya nasional LSL, mengundang pemangku kepentingan terkait, kementerian/
lembaga, komunitas, mitra kerja nasional dan international.

n Pertemuan terakhir adalah Country Dialogue Rancangan SRAN 2015-2019


dipimpin oleh Menteri Kesehatan, dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2014,
untuk mendiskusikan rancangan isi SRAN serta mengumpulkan tanggapan dari
perwakilan tingkat nasional baik dari pemerintah maupun dari masyarakat sipil
serta mitra-mitra pembangunan internasional. Semua masukan yang disampaikan
selama pertemuan tersebut, menjadi bahan untuk finalisasi SRAN 2015-2019.
8
Strategi dan Rencana
Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS


9

BAB 2

Epidemi dan
Penanggulangan
HIV dan AIDS
BAB 2.

Epidemi dan Penanggulangan


HIV dan AIDS
EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

2.1. Epidemi HIV Global dan Regional Asia Pasifik

Secara global epidemi HIV mengalami penurunan, dimana perkiraan jumlah infeksi
baru pada orang dewasa dan anak-anak menjadi sekitar 2,3 juta pada tahun 2012,
atau 33% penurunan sejak tahun 2001. Infeksi baru pada anak-anak berkurang
menjadi 260 ribu pada tahun 2012, atau turun 52% dari tahun 2001. Kematian akibat
AIDS turun 30% sejak puncaknya tahun 2005, sejalan dengan meningkatnya akses ke
pengobatan ARV.

Demikian pula di tingkat Asia-Pasifik, pada tahun 2012 diperkirakan ada 350 ribu infeksi
baru, atau turun 26% sejak tahun 2001. Lebih banyak orang yang pernah mendapat
10
pengobatan ARV, yaitu sekitar 1,25 juta orang pada tahun 2012. Jika mengikuti
persyaratan minum obat sesuai pedoman WHO tahun 2010, cakupan pengobatan
ARV di regional Asia-Pasifik adalah 51%, peningkatan 46% dari tahun 2009.

Dengan semakin kuatnya bukti-bukti ilmiah yang mengindikasikan efektivitas


pengobatan ARV sebagai cara pencegahan, maka hal ini mendorong percepatan
perluasan tes HIV dan pengobatan ARV yang segera. Syarat pengobatan diubah agar
pasien dapat lebih awal memulai pengobatan. Dengan mendorong lebih banyak
orang menerima pengobatan lebih dini dan patuh minum obat, maka obat akan
semakin efektif.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Gambar 2.1. HIV Terkonsentrasi pada Populasi Kunci dan Kota di Asia Pasifik

EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS


Sumber: aidsdatahub.org
11

2.2. Epidemi HIV di Indonesia

Kementerian Kesehatan (Kemenkes), berdasarkan hasil pemodelan matematika AIDS


Epidemic Modeling (AEM), memperkirakan pada tahun 2012 di Indonesia ada 591.823
orang yang hidup dengan HIV (ODHA). Jumlah ODHA tertinggi ada di Provinsi DKI
Jaya, provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan di Tanah Papua. Jumlah infeksi HIV yang
dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan pada tahun 2012 mencapai 21.511 orang
dewasa. Sedangkan pada tahun 2013, jumlah infeksi baru HIV yang dilaporkan kepada
Kementerian Kesehatan mencapai 29.037 orang. Peningkatan angka ini merupakan
akibat adanya penambahan jumlah layanan tes HIV yang cukup banyak, pada tahun
2013 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Perkiraan prevalensi HIV pada populasi umum di seluruh Indonesia adalah 0,4% pada
tahun 2012, sementara di Tanah Papua 2,3%. Berikut ini adalah peta epidemi HIV pada
penduduk dewasa di masing-masing provinsi, dimana prevalensi berkisar antara 0,1%
sampai dengan 3,5%.
Gambar 2.2. Peta Epidemi HIV di Indonesia, Tahun 2012
Umumnya terkonsentrasi pada populasi kunci, kecuali Tanah Papua sudah sampai ke populasi umum.
Prevalensi HIV di Indonesia 0,4% dan Tanah Papua 2,3%.
Estimasi jumlah ODHA sekitar 590 ribu orang


EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

12

Sumber: Estimasi jumlah populasi kunci dan ODHA, Kemkes, 2012

Tingkat epidemi HIV di Indonesia berbeda-beda baik menurut area geografis maupun
populasi kunci. Secara umum HIV terkonsentrasi pada populasi kunci kecuali di Tanah
Papua sudah memasuki populasi umum. Semuanya pada saat ini menunjukkan tanda
tanda stabilisasi epidemi. Kecenderungan pertumbuhan prevalensi HIV di masa
yang akan datang relatif lebih kecil dibandingkan proyeksi pertumbuhan epidemi
yang dilakukan 5 tahun yang lalu. Namun demikian, pemodelan secara matematika
menunjukkan bahwa epidemi HIV masih akan terus meningkat, jika tidak dilakukan
upaya yang lebih intensif untuk menekan laju pertumbuhan ini.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Gambar 2.3. Kecenderungan Prevalensi HIV di kalangan Populasi Kunci


2000-2019

EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS


Sumber: Hasil sementara AEM, Kemenkes RI 2014

Hasil STBP, SSH dan SCP ini memberikan informasi tentang prevalensi HIV dan infeksi
13
menular seksual (IMS) pada populasi kunci seperti di bawah ini:

Penasun
Prevalensi HIV pada penasun menunjukkan penurunan dari 53% di tahun 2007
menjadi 41% di tahun 2011. Pada kelompok lokasi sampel yang berbeda (Tangerang,
Yogyakarta, Pontianak) tampak terjadi kenaikan prevalensi HIV rata-rata dari 27% di
tahun 2009 menjadi 39,5% di tahun 2013. Pada periode waktu yang sama, proporsi
penasun berbagi alat suntik pada saat terakhir menyuntik mengalami kenaikan di 3
kabupaten/kota tersebut, yaitu 18% menjadi 26% di Yogyakarta, 36% menjadi 47% di
Tangerang, dan 23% menjadi 45% di Pontianak.

LSL
Data yang sama menunjukkan adanya peningkatan prevalensi HIV pada LSL yang
signifikan. Pada STBP 2007 dan 2011, prevalensi HIV pada LSL naik dari 5,3% menjadi
12%, dan STBP 2009 dan 2013 naik dari 7% menjadi 12,8%. Hasil STBP 2013 menunjukkan
prevalensi HIV tertinggi pada LSL ditemukan di lokasi survei Kota Tangerang, Kota
Yogyakarta, dan Kota Makassar antara 19%-20%. Prevalensi gonore juga mengalami
peningkatan di 3 kabupaten/kota tersebut dari 17% menjadi 21% dan klamidia
meningkat dari 17% menjadi 23%. Keadaan ini sangat mungkin berhubungan dengan
masih rendahnya konsistensi penggunaan kondom saat hubungan seks anal terakhir
seperti ditunjukkan di Kota Surabaya yaitu dari 75,9% pada STBP 2011 menjadi 53%
pada SSH/SCP 2013.
Waria
Hasil STBP 2007 dan SSH/SCP 2013 menunjukkan bahwa prevalensi HIV pada waria
mengalami penurunan yang cukup berarti yaitu dari 23,8% menjadi 19% di 22
kabupaten/kota dimana Kota Malang tercatat mengalami penurunan yang paling
signifikan dari 16,8% menjadi 9,2%.

Sejalan dengan penurunan prevalensi HIV pada waria, terjadi pula penurunan
prevalensi IMS seperti yang dilaporkan pada STBP 2011 dan SSH/SCP 2013 di beberapa
lokasi survei. SSH/SCP 2013 mengindikasikan prevalensi sifilis menurun signifikan dari
EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

27,5% menjadi 16,2% pada waria. Perubahan yang signifikan terjadi di Kota Malang
dan Bandung dimana prevalensi sifilis turun masing-masing dari 26,4% menjadi 14%
dan dari 20,8% menjadi 4,2%. Penurunan prevalensi IMS lainnya juga terjadi pada STBP
2009 dan 2013 pada wilayah survei yang berbeda. Prevalensi klamidia turun dari 24%
menjadi 19,8% pada waria di Kota Malang, Kota Samarinda, Kota Pontianak, dan Kota
Makassar. Prevalensi gonore juga mengalami penurunan pada periode waktu yang
sama.

WPSL dan WPSTL


Prevalensi HIV pada WPSL mengalami penurunan yang signifikan di Jakarta dan
Bandung seperti yang dapat dilihat dari hasil SSH/SCP 2013 dan STBP 2013, yaitu dari
10,5% menjadi 3,8% dan dari 20,7% menjadi 9,4%, sedangkan kota Malang mengalami
peningkatan secara signifikan dari 36,4% menjadi 59,1%.
14
Secara keseluruhan, prevalensi sifilis pada WPSTL menurun dari 9,8% pada STBP 2011
menjadi 5,7% pada SSH/SCP 2013 di 15 lokasi survei. Prevalensi sifilis pada WPSTL
menurun signifikan di 5 dari 15 lokasi survei tersebut, yaitu Deli Serdang dari 16,6%
menjadi 4,8%, Kota Batam dari 11,6% menjadi 3,3%, Kota Bandung dari 10,4% menjadi
2,8%, Kota Surabaya dari 12,4% menjadi 4,6% dan Kota Batang dari 13,4% menjadi
1,2%.

Penurunan prevalensi IMS pada WPS juga tercatat pada STBP 2009 dan STBP 2013 di 9
lokasi survei lainnya (Kota Palembang, Yogyakarta, Tangerang, Pontianak, Samarinda,
Bitung, Makassar, Sorong, dan Mimika). Prevalensi klamidia turun dari 39,5% menjadi
30,8% pada WPSTL dan dari 42,4% menjadi 40% pada WPSL. Prevalensi gonore
mengalami penurunan pada periode waktu yang sama.

Perubahan perilaku merupakan tantangan pada kelompok WPS. Jumlah rata-rata


pelanggan WPSL cenderung mengalami kenaikan pada STBP 2011 dan SSH/SCP 2013.
Penggunaan kondom pada hubungan seks terakhir sangat bervariasi di berbagai
tempat pada kedua survei tersebut. Terjadi penurunan yang signifikan pada proporsi
WPSL dalam penggunaan kondom pada hubungan seks komersial terakhir di Kota
Denpasar, yaitu dari 90% menjadi 76,5%, akan tetapi pada periode waktu yang sama
terjadi kenaikan yang signifikan proporsi penggunaan kondom pada hubungan seks
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

komersial terakhir secara umum di lokasi survei dari 49,6% menjadi 65,5%. Tercatat
pula bahwa penurunan yang signifikan dari proporsi ini terjadi di Kota Bandung dari
35,1% menjadi 12,5% dan di Kota Malang dari 44,9% menjadi 24,2%.

Gambar 2.4. Kecenderungan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2000-2019

EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS


Tanah Papua 15

Berdasarkan hasil STBP tahun 2013 pada populasi umum usia 15-49 tahun di
Tanah Papua, 2,3% populasi terinfeksi HIV dimana 2,3% pada laki-laki dan 2,2%
pada perempuan. Hasil survei juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara
sirkumsisi pada laki-laki dengan infeksi HIV, dimana infeksi HIV terjadi pada 2,4% laki-
laki yang tidak disirkumsisi dan 0,1% pada laki-laki yang disirkumsisi. Pada perempuan,
asosiasi yang signifikan terjadinya infeksi HIV adalah pada orang yang melakukan
hubungan seks dengan imbalan pada satu tahun terakhir sebesar 3,5%, sedangkan
2,2% perempuan terinfeksi HIV tidak melakukannya. Secara statistik tidak ada
perbedaan signifikan antara prevalensi HIV pada STBP tahun 2006 (2,4%) dan 2013
(2,3%) di Tanah Papua.

Prevalensi sifilis aktif dilaporkan sebesar 4,7% pada laki-laki dan 4,2% pada perempuan.
Diantara laki-laki yang tidak sirkumsisi ditemukan prevalensi cukup tinggi yaitu 4,8%
jika dibandingkan dengan laki-laki yang disirkumsisi sebesar 1,1%.

Hasil STBP juga menunjukkan perilaku seksual berisiko masih terus terjadi di Tanah
Papua, seperti melakukan hubungan seks dengan pasangan tidak tetap pada satu
tahun terakhir, termasuk dengan pasangan seks yang diberikan imbalan pada laki-
laki sebesar 12,7% dan perempuan 3,6%. Penggunaan kondom pada hubungan seks
komersial terakhir pada laki-laki mengalami kenaikan signifikan dari 14,1% (STBP 2006)
menjadi 40,3% (STBP 2013). Hal ini mengindikasikan adanya kenaikan yang positif
pada perilaku seks yang aman.

Pemodelan epidemi HIV menggunakan AEM menunjukkan bahwa masih akan


terjadi peningkatan jumlah infeksi baru bila tidak ada penambahan dan peningkatan
intervensi. Berikut ini adalah proyeksi jumlah infeksi baru di wilayah Non Papua dan
Papua bila tidak ada peningkatan intervensi.
EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

Gambar 2.5. Proyeksi Jumlah Infeksi Baru di Wilayah Non Papua tanpa
Intervensi sesudah 2013 sd tahun 2030

16

Pada wilayah di luar Papua, tampak bahwa pada periode tahun 2010-2014, jumlah total
infeksi baru pertahun relatif stabil pada kisaran 60 ribu orang. Perhitungan matematis
ini menggunakan data STBP sampai dengan tahun 2013. Jumlah infeksi baru pada
Penasun menurun kemudian tampak stabil, dan menetap pada WPS. Penambahan
yang besar sampai dengan tahun 2030 adalah pada kalangan LSL. Jika tidak dilakukan
intervensi yang intensif mulai saat ini - berdampak pada semakin tingginya infeksi
baru pada wanita risiko rendah.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Gambar 2.6. Proyeksi Jumlah Infeksi Baru di Tanah Papua tanpa Intervensi
sesudah 2013 sd tahun 2030

EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS


Gambar yang menjelaskan situasi epidemi HIV di Tanah Papua menunjukkan adanya
penurunan jumlah infeksi baru pada periode tahun 2010-2014, dari sekitar total 8 ribu
orang menjadi sekitar 6 ribu orang per tahun. Penurunan terbesar tampak terjadi pada
pelanggan pekerja seks. Namun, jika tidak ada intensifikasi upaya penanggulangan 17
AIDS, maka infeksi baru belum akan turun, bahkan akan cenderung naik lagi.

2.3. Penanggulangan Epidemi HIV dan AIDS di Indonesia

2.3.1. Perkembangan Program

Pada tahun 2006, pemerintah menerbitkan Perpres nomor 75 sebagai tonggak


intensifikasi penanggulangan AIDS, yang dilanjutkan dengan terbitnya berbagai
peraturan kementerian. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia kemudian
terus ditingkatkan dengan memperkuat manajemen dan kapasitas layanan. Koordinasi
multi-sektor dilakukan melalui KPA Nasional dan pengembangan layanan kesehatan
yang dipimpin Kementerian Kesehatan menjadi elemen utama penanggulangan
AIDS, yang meningkatkan keterlibatan masyarakat sipil dan dukungan mitra kerja
pembangunan internasional.

Sejak dilaksanakannya SRAN 2010-2014, telah terjadi pengembangan kapasitas dan


upaya yang memfokuskan sasaran primer pada populasi kunci dan daerah dengan
beban penyakit terbesar. Cakupan program telah meningkat sejalan dengan perluasan
penanggulangan, dan layanan telah tersedia di semua provinsi, di kabupaten/ kota
prioritas, baik layanan pemerintah maupun non pemerintah.
Perubahan kebijakan berdampak pada penguatan kelembagaan, peningkatan
pendanaan, penguatan sistem layanan kesehatan dan sistem komunitas. Berikut ini
adalah beberapa data perkembangan penanggulangan HIV dan AIDS dari tahun 2010
sampai dengan tahun 2013.

Tabel 2.1. Beberapa Perkembangan Program:


Peningkatan Kebijakan, Pendanaan, Layanan, Kegiatan dan Klien
EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS



18


2.3.2. Temuan Kajian Paruh Waktu

Pertemuan konsultasi nasional dalam rangka Kajian Paruh Waktu bertujuan mengkaji
implementasi SRAN 2010-2014 terkait cakupan, efektivitas dan keberlanjutan program,
dengan tema sebagai berikut: a) Pencegahan (Transmisi Seksual; Pengurangan Dampak
Buruk Penggunaan NAPZA Suntik; Pengurangan Dampak Buruk di Lapas; Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak; Pencegahan HIV pada Remaja); b) Pengobatan,
Dukungan dan Perawatan (termasuk tes HIV); c) Mitigasi Dampak (termasuk asuransi
sosial); d) Penciptaan Lingkungan Kondusif (termasuk HAM, stigma dan diskriminasi);
dan e) Kemitraan dan Keterlibatan Komunitas.

Laporan Kajian Paruh Waktu mencatat perkembangan positif selama tahun 2010-
2014. Hal ini termasuk percepatan implementasi program Pencegahan HIV Melalui
Transmisi Seksual (PMTS); Pengenalan Layanan Komprehensif Berkesinambungan
(LKB); Implementasi peningkatan jumlah tes HIV dan akses pengobatan ARV pada
tahun 2013-2015; Memperluas kriteria minum obat ARV menjadi CD4 350, ditambah
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

populasi risiko tinggi (WPS, LSL, Penasun dan Waria),


pasien TB, dan ODHA yang memiliki pasangan berstatus
HIV negatif tanpa melihat nilai CD4, serta pengobatan
Kajian Paruh Waktu SRAN
seumur hidup untuk ODHA wanita hamil. Laporan
2010-2014:
juga menyampaikan terjadinya peningkatan cakupan
layanan melalui peningkatan jumlah unit pelayanan
pencegahan dan pengobatan. Dengan demikian,
jumlah orang yang mengakses layanan tersebut pun Cakupan
meningkat.
pengobatan

EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS


Laporan kajian paruh waktu menyimpulkan bahwa,
walaupun ada penguatan kebijakan dan program,
namun demikian efektifitas pelaksanaan SRAN 2010-
2014 untuk mencapai target dampak epidemi ternyata
pada tahun
belum sepenuhnya memenuhi harapan. Cakupan
pengobatan pada tahun 2012 baru 17% dari perkiraan
2012 baru
17%.
ODHA yang membutuhkan pengobatan, penggunaan
kondom secara konsisten pada WPSL dan pelanggannya
masih belum optimal (di bawah 60%), cakupan PPIA
14-16% (walaupun meningkat, tapi masih dibawah
20%), serta cakupan pengobatan pada anak hanya
15%. Prevalensi HIV pada beberapa Populasi Kunci
belum menunjukkan penurunan, kecuali pada Penasun 19
dan WPSTL. Sementara itu, prevalensi HIV pada LSL
meningkat dua kali lipat.

Target 70% pendanaan HIV dan AIDS dari sumber domestik pada tahun 2014
tampaknya belum tercapai. Lebih dari 50% pendanaan masih bersumber dari
luar negeri. Rencana memperluas program penanggulangan HIV dan AIDS yang
telah dimulai tidak akan berhasil tanpa kelanjutan dukungan luar negeri dan tanpa
meningkatkan pendanaan dari sumber domestik, termasuk pendanaan pemerintah
pusat dan daerah serta meningkatkan pengobatan yang dicakup JKN melalui BPJS.

2.3.3. Temuan Investment Case Analysis

AIDS Epidemic Modeling (AEM) dan Investment Case Analysis (ICA) dipakai dalam Kajian
Paruh Waktu, yang memberikan pilihan strategis yang menjadi dasar pengembangan
SRAN 2015-2019. Pemodelan dilakukan pada kombinasi hasil dari 3 intervensi
yang dianggap memiliki dampak yang besar terhadap epidemi: (1) Model Layanan
Komprehensif Berkesinambungan (LKB) yang merupakan integrasi pemberian
layanan yang berkesinambungan mulai dari tingkat komunitas seperti PMTS, (2)
Perluasan Strategic Use of ARV (SUFA), dan (3) Perluasan praktik-praktik terbaik untuk
meningkatkan cakupan dan efektivitas intervensi. Perhitungan ini memasukkan 141
kabupaten/ kota prioritas yang saat ini masih menerima
dukungan dana GFATM, dimana di dalamnya terdapat
75 kabupaten/ kota pelaksana program LKB dengan
Intervensi yang optimal
tambahan SUFA (Strategic Use of ARV). Keseluruhan 141
untuk tahun 2015-2019:
kabupaten/ kota prioritas ini sudah sejak akhir tahun 2013
dipersiapkan untuk melaksanakan LKB pada akhir tahun
2014.
Memilih
Dalam analisis, dibuat beberapa skenario epidemi HIV, baik sebagian yaitu
EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

untuk Tanah Papua maupun Non Papua. Skenario pertama


adalah baseline, yang dibuat dengan memasukkan data, 75 dari 141
dimulai dari data sejak awal kejadian AIDS di Indonesia
sampai dengan data terakhir yaitu hasil STBP tahun kabupaten/ kota
2013 dan hasil surveilans maupun laporan tahun 2013. prioritas dengan
Proyeksi yang dihasilkan dari pemodelan adalah skenario
jika intervensi yang dilakukan sama dengan yang tingkat kinerja
sudah dilakukan sampai dengan tahun 2013. Beberapa
skenario berikutnya dibuat untuk melihat kondisi dengan
tinggi, yaitu yang
perbedaan intensitas program, yang dilihat dari cakupan memiliki tingkat
program dan kualitas pelaksanaan program.
risiko penularan,
20
Skenario yang maksimal adalah kondisi dengan cakupan
program 80% populasi kunci yang dilakukan di semua
beban penyakit
kabupaten/ kota, dengan tingkat kinerja yang tinggi pula dan kesiapan
yaitu 80% sesuai dengan praktik terbaik pelaksanaan
program HIV. Sementara skenario paling minimal adalah lokal yang tinggi.
sama dengan baseline. Diantara keduanya, pertama
dilakukan analisis jika program penanggulangan HIV dan
AIDS dilakukan di 141 kabupaten/ kota prioritas dengan
tingkat kinerja yang sedang dan kedua memilih sebagian
yaitu 75 dari 141 kabupaten/ kota prioritas tersebut untuk mengimplementasikan
tingkat kinerja yang tinggi, khususnya pada kota dengan tingkat risiko penularan,
beban penyakit, dan kesiapan lokal yang tinggi.

Hasil analisis dampak epidemiologis dari ICA ini menggunakan: 1) Jumlah infeksi
baru per tahun; 2) Jumlah infeksi HIV yang bisa dicegah; 3) Jumlah ODHA; 4) Jumlah
kematian terkait AIDS; 5) Jumlah kematian yang dicegah; dan 6) Jumlah DALY yang
diselamatkan.

Analisis kemudian dilakukan untuk melihat efektivitas dari biaya yang dikeluarkan dan
keuntungan epidemiologisnya, dan melihat kembalinya hasil investasi untuk program
AIDS terhadap perhitungan ekonomi mengenai biaya yang tidak harus dikeluarkan di
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

tahun mendatang karena investasi yang dikeluarkan pada tahun-tahun sebelumnya.


Analisis juga dilakukan untuk perhitungan dana yang dibutuhkan untuk pelaksanaan
penanggulangan AIDS.

Sebagaimana telah diprediksi, semakin cepat melakukan perluasan program dengan


tingkat kinerja yang tinggi, maka ini akan menghasilkan dampak epidemi yang
maksimal. Namun demikian, kebutuhan dana untuk skenario ini juga lebih besar
sehingga ada kesenjangan antara kebutuhan dana dengan ketersediaan dana. Oleh
sebab itu, dengan mencoba beberapa skenario, maka akan dipilih skenario yang

EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS


optimal, yaitu dengan dana yang tersedia (termasuk dana yang akan dimobilisasi-
dengan mempertimbangkan kemungkinannya) dapat dicapai dampak epidemiologis
yang optimal. Oleh sebab itu, sangat penting dalam menetapkan strategi adalah,
menentukan prioritas upaya penanggulangan. Perlu dimaksimalkan efektivitas
dan efisiensi, dengan memilih lokasi dengan tingkat risiko penularan dan beban
penyakit tertinggi serta kesiapan lokal, maka efektivitas dapat dimaksimalkan. Perlu
juga mengkaji kembali satuan biaya program, agar sejauh mungkin dapat dikurangi.
Selain memobilisasi dana luar negeri, ke depan, perlu mobilisasi dana dalam negeri,
khususnya dana daerah.

Berdasarkan data hasil IBBS tahun 2007 dan 2011 ditemukan bahwa pekerja seks
remaja/ orang muda (KAP muda) dibawah usia 25 tahun lebih rendah terpapar
program pencegahan dibandingkan dengan yang diatas 25 tahun . dalam hal
penggunaan kondom usia 25 tahun juga lebih rendah dan melakukan tes HIV. 21

Sedangkan untuk LSL muda juga lebih rendah terpapar program pencegahan dan
untuk penasun muda juga lebih rendah melakukan tes HIV.
Strategi dan Rencana
Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Strategi dan
National Strategy
Rencana
and Aksi
Action
Nasional
Plan 2015-2019
2015-2019
PENANGGULANGAN
HIV AND AIDS RESPONSE
HIV DAN
IN INDONESIA
AIDS DI INDONESIA

ACTION
VISI, PLANDAN STRATEGI
TUJUAN
2
233

BAB 3

Visi, Tujuan dan


Strategi
BAB 3.
Visi, Tujuan dan Strategi

3.1. Prinsip Kebijakan

Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia bertujuan untuk memastikan tercapainya


akses universal terhadap layanan pencegahan, pengobatan dan mitigasi dampak HIV
VISI, TUJUAN DAN STRATEGI

dan AIDS; berfokus pada populasi kunci (termasuk remaja populasi kunci dan pekerja
migran) di daerah geografis yang paling berisiko; memperkuat dan mempertahankan
layanan terintegrasi yang efektif secara biaya dan berkualitas tinggi; lingkungan
kondusif yang bebas stigma dan diskriminasi, sensitif jender dan berorientasi pada
Hak Asasi Manusia; serta menerapkan prinsip tata kelola yang baik, transparansi dan
akuntabilitas.

Dalam pengembangan kebijakan nasional, prinsip-prinsip yang dipegang adalah


24 sebagai berikut: (1) Memperhatikan nilai-nilai agama, budaya serta norma sosial dan
penghargaan terhadap manusia. (2) Merespon masalah sosial dan pembangunan,
secara terstruktur, melibatkan pemangku kepentingan termasuk pemerintah dan
masyarakat sipil. (3) Kemitraan antara masyarakat sipil, ODHA, pemerintah dan mitra
pembangunan. (4) Dukungan sosial dan ekonomi berfungsi memberdayakan ODHA
dan mereka yang terdampak untuk mempertahankan kualitas hidup.(5) Exit strategy
dari ketergantungan sumber dana luar negeri.

3.2. Visi, Tujuan Umum dan Tujuan Khusus

Visi

Mengakhiri epidemi HIV di Indonesia sebagai ancaman terhadap kesehatan


masyarakat pada tahun 2030; dan tercapainya akses pencegahan, pengobatan dan
mitigasi dampak secara merata bagi semua orang yang membutuhkan, tanpa kecuali.

Tujuan umum

SRAN penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2015-2019 ditujukan untuk percepatan
pencapaian 3 Zero (Zero infeksi baru, Zero kematian terkait AIDS dan Zero stigma dan
diskriminasi) dengan cara mencegah penularan HIV; meningkatkan dengan segera
akses pengobatan HIV, meningkatkan retensi pengobatan, meningkatkan kualitas
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

hidup ODHA; mitigasi dampak sosial ekonomi epidemi HIV pada individu, keluarga
dan masyarakat untuk menjaga produktivitas dan sumber daya manusia Indonesia.

Tujuan khusus

1. Menyediakan pencegahan kombinasi HIV yang efektif, termasuk pengobatan


sebagai pencegahan, bagi populasi kunci dan pasangannya;

2. Menyediakan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan yang berkualitas,


mudah diakses, harga terjangkau dan ramah bagi ODHA;

3. Memperluas pengobatan ARV kepada semua ibu hamil di kabupaten/ kota


prioritas untuk menghilangkan penularan vertikal dari orang tua ke bayinya, dan
memberikan akses ke pengobatan ARV kepada semua anak yang terinfeksi HIV;

VISI, TUJUAN DAN STRATEGI


4. Meningkatkan akses untuk mitigasi dampak epidemi HIV, termasuk dukungan
ekonomi dan sosial untuk ODHA, anak-anak dan keluarga terdampak yang hidup
dalam kesulitan;

5. Menciptakan lingkungan kondusif yang mempromosikan penanggulangan HIV


dan AIDS yang efektif dan pemenuhan Hak Asasi Manusia di semua tingkatan,
memberdayakan masyarakat sipil untuk memiliki peran berarti dan mengurangi
stigma dan diskriminasi pada populasi kunci dan ODHA serta mereka yang 25
terdampak HIV dan AIDS. Hal ini termasuk mengembangkan kebijakan, koordinasi,
manajemen, monitoring dan evaluasi epidemi dan penanggulangannya serta
penelitian implementasi dan operasional.

6. Menempatkan penanggulangan HIV dan AIDS nasional dalam mekanisme


program yang berkelanjutan untuk mencapai tujuan jangka menengah dan
jangka panjang.

Dalam rangka mencapai visi dan tujuan di atas, ada 4 (empat) skenario penanggulangan
AIDS. Asumsi masing-masing skenario didasarkan pada cakupan program dan
efektifitasnya.

1. Skenario 1: Skenario baseline dimana diasumsikan tidak ada peningkatan


intervensi pada tahun 2013-2030.

2. Skenario2: LKB Kinerja Medium diasumsikan implementasi program LKB dan


PMTS di 141 kabupaten/ kota dengan cakupan pencegahan pada populasi kunci
sebesar 70% dan 45% cakupan pengobatan pada tahun 2020 (dengan 75%
efektifitas pengobatan).
3. Skenario 3: LKB Kinerja Tinggi di 47 kabupaten/ kota SUFA, dan Kinerja Medium
di 94 Kota sampai dengan tahun 2016; dan 75 kabupaten/ kota SUFA dengan
Kinerja Tinggi dan 66 kabupaten/ kota Kinerja Sedang mulai tahun 2017.

4. Skenario 4: LKB Kinerja Tinggi, dimana diasumsikan implementasi program LKB


dan PMTS serta SUFA dan lainnya diintensifkan di 141 kabupaten/ kota dengan
cakupan pencegahan pada populasi kunci sebesar 80% dan 60% cakupan
pengobatan pada tahun 2020 (dengan 75% efektifitas pengobatan).

Gambar 3.1. Jumlah Infeksi Baru Per Tahun Pada Orang Dewasa, 2013-2030
Skenario baseline: 74 ribu th 2019 dan 102 ribu th 2030
Skenario pilihan: 40 ribu th 2019 (turun 38%) dan 20 ribu th 2030 (turun 69%)
Infeksi baru HIV yang dapat dicegah: 34 ribu th 2019 dan 81 ribu th 2030
VISI, TUJUAN DAN STRATEGI

26

Dari 4 pilihan strategis di atas, skenario 3 (tiga) menunjukkan pilihan yang paling
optimal. Idealnya, semua 141 kabupaten/ kota prioritas melaksanakan upaya dengan
tingkat kinerja tinggi, namun, selain terkendala oleh tingginya kebutuhan sumber
dana, mencapai kesiapan yang maksimal dari keseluruhan kabupaten/ kota dalam
waktu singkat tampaknya belum mampu dilaksanakan. Jika ditargetkan semua
kabupaten/ kota berkinerja pada tingkat medium, beberapa kota sesungguhnya
dapat menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik. Oleh sebab itu, skenario ketiga,
dipilih karena upaya untuk mendorong kinerja yang tinggi dapat difokuskan pada
kabupaten/ kota prioritas tertinggi, yaitu yang telah menjalankan inisiatif SUFA.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Adapun pelaksanaan SUFA ini dilakukan secara bertahap, mulai dari 13 kabupaten/
kota, saat ini sudah bergerak menjadi 47 kabupaten/ kota hingga tahun 2016; dan
pada awal tahun 2017, total 75 kabupaten/ kota harus sudah melaksanakan SUFA
dibawah payung LKB secara berkualitas.

Pilihan strategis ini, mencakup minimal 70% penjangkauan terhadap populasi kunci,
dimana pada pengguna NAPZA suntik dapat mencapai 80%. Sedangkan jumlah
infeksi baru turun 38% pada tahun 2019, jika dibandingkan jumlah infeksi baru pada
tahun 2014.

Gambar 3.2. Jumlah ODHA Dewasa, 2015-2030


Skenario baseline: 778 ribu th 2019 dan 1.081 ribu th 2030
Skenario pilihan: 712 ribu th 2019 (jumlah ODHA akan meningkat dahulu karena efektifitas ARV, dari
baseline 2014 menjadi naik 12%) dan 538 ribu th 2030 (turun 17%)

VISI, TUJUAN DAN STRATEGI


Jumlah ODHA lebih sedikit: 65 ribu th 2019 (turun 8%) dan 543 ribu th 2030 (turun 50%)

27

Dengan memilih skenario 3 (tiga), diharapkan jumlah ODHA pada tahun 2019
berkurang 8,4% dan berkurang 50% pada tahun 2030. Untuk mencapai hal itu, maka
minimal 40% dari ODHA yang memenuhi syarat (sesuai dengan Permenkes nomor 21
tahun 2013), dapat menerima pengobatan ARV.
Gambar 3.3. Jumlah Kematian ODHA Dewasa per Tahun, 2015-2030
Skenario baseline: 48 ribu th 2019 dan 72 ribu th 2030
Skenario pilihan: 37 ribu th 2019 (turun 20%) dan 41 ribu th 2030 (turun 25%)
Jumlah kematian akibat AIDS yang dapat dicegah: 10 ribu th 2019 dan 31 ribu th 2030


VISI, TUJUAN DAN STRATEGI

28

Proyeksi matematika denganpilihanskenario3 (tiga), sebagaimana digambarkan di


atas, menunjukkanpenurunan kematian akibat AIDS15% pada tahun 2019 dan 25%
pada tahun 2030, jika dibandingkan jumlah kematian akibat AIDS pada tahun 2014.

Dasar ini memperhitungkan seberapa besarkah cakupan yang dapat dicapai pada
tahun 2030, sebagai berikut:

a. Baseline (kondisi saat ini), karena merupakan kondisi yang terjadi saat ini, cakupan
tidak mengalami perubahan.

b. LKB kinerja medium, untuk daerah GF konsensus adalah cakupan yang akan
dicapai 75% pada tahun 2030, untuk daerah non GF adalah 40%.

c. LKB kinerja tinggi, untuk daerah GF konsensus adalah cakupan yang akan dicapai
80% pada tahun 2030, untuk daerah non GF adalah 40%.

d. LKB kinerja tinggi di semua kabupaten/ kota, konsensus adalah cakupan yang akan
dicapai adalah 80% pada tahun 2030.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

3.3. Target dan Hasil Yang Diharapkan

Target dan hasil yang harus dicapai di akhir pelaksanaan SRAN 2015-2019 dibagi
dalam 6 tujuan:

Target Tujuan 1: Perluasan dan Peningkatan Pencegahan Kombinasi HIV

n Program pencegahan menjangkau sedikitnya 70% populasi kunci.

n Sedikitnya 40% ODHA mengetahui status HIV

n Mengurangi jumlah infeksi baru hingga 50% dari proyeksi tahun 2014 bila tidak
ada intervensi

VISI, TUJUAN DAN STRATEGI


n Perubahan perilaku melalui penggunaan kondom konsisten pada 80% transmisi
seks berisiko

n 86% Penasun menggunakan alat suntik steril secara konsisten

n Penurunan prevalensi IMS hingga 25% dari 2014

n Pendekatan khusus untuk remaja populasi kunci dan populasi umum


29
Target Tujuan 2: Perluasan dan Peningkatan Mutu Layanan Perawatan,
Dukungan dan Pengobatan

n Meningkatkan cakupan pengobatan ARV hingga 70%

n Meningkatkan cakupan pengobatan ARV untuk pasien TB

n Mengurangi kematian akibat AIDS hingga 50%

n Meningkatkan kualitas layanan ARV (jumlah dan ketersediaan ARV untuk anak)
Adherance ARV

n Layanan HIV, kesehatan seksual dan reproduksi, dukungan sebaya, kekerasan dan
TB terintegrasi dalam struktur layanan

Target Tujuan 3: Eliminasi Infeksi HIV Vertikal

n Mengeliminasi infeksi HIV pada bayi yang terlahir dari ibu HIV positif

n Meningkatkan akses informasi dan layanan KSR pada perempuan usia reproduksi
n Agar semua perempuan hamil melakukan test HIV

n Semua perempuan hamil dengan HIV positif dan anak mereka di kabupaten/ kota
prioritas mendapat ARV profilaksis, dan ibu mereka menerima ART seumur hidup

n Pelibatan laki-laki dalam program pencegahan infeksi HIV vertikal

Target Tujuan 4: Perluasan Cakupan Mitigasi Dampak

n Orang terinfeksi atau terdampak HIV, termasuk anak, janda, WBP yang
membutuhkan, memiliki akses untuk mitigasi dampak termasuk kesehatan,
pendidikan, psikososial dan pemberdayaan ekonomi.

Target Tujuan 5: Penciptaan Lingkungan yang Mendukung


VISI, TUJUAN DAN STRATEGI

n Meningkatnya komitmen (implementasi kebijakan dan anggaran) pemerintah di


tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota pada upaya penanggulangan HIV
yang mandiri dan berkelanjutan.

n Memastikan adanya kebijakan yang mendukung penanggulangan HIV/AIDS


yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM dan memperhatikan kebutuhan laki-
laki, perempuan, waria (responsif gender); memastikan mereka memiliki akses,
partisipasi, kontrol dan manfaat dari kebijakan yang dibuat. (Masuk DO)
30

n Pemerintah bersama dengan masyarakat sipil berperan secara signifikan dalam


upaya penanggulangan HIV dan AIDS, mengubah aturan perundangan yang
bersifat menghukum, kontraproduktif, menghambat akses seperti batas usia,
serta permasalahan Hak Asasi Manusia dan ketidaksetaraan jender, stigma dan
diskriminasi pada populasi kunci, ODHA dan anak yang terinfeksi HIV, orang
terdampak HIV dan AIDS dan kelompok rentan lainnya (warga binaan laki-laki,
perempuan, waria, buruh migran laki-laki, perempuan, waria, anak jalanan,
pasangan dari populasi kunci, orang dengan disabilitas, kaum etnis minoritas,
masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan).

n Memastikan adanya sistem penanganan korban kekerasan pada populasi kunci


(ODHA, perempuan dengan HIV, pekerja seks perempuan dan waria, GWL,
perempuan penasun), anak dengan HIV dan anak dari ODHA, serta korban
kekerasan lainnya yang rentan terhadap infeksi HIV melalui integrasi layanan
kesehatan dan bantuan hukum.

n Memastikan pelibatan aktif masyarakat sipil, termasuk orang yang terinfeksi dan
terdampak HIV, orang muda termasuk orang muda populasi kunci dan organisasi
berbasis komunitas, serta kelompok perempuan dan waria yang lebih strategis
dalam perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, monitoring dan evaluasi program.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

n Memperkuat program multi-sektor di kementerian/lembaga, termasuk


memperluas program pencegahan HIV melalui pendidikan di sekolah dan luar
sekolah serta di tempat kerja.

n Memastikan program pencegahan HIV melalui pendidikan formal dan informal


serta pembangunan kesadaran menggunakan pendekatan yang mudah dijangkau
oleh semua lapisan masyarakat terutama kelompok populasi kunci, kelompok
rentan, kelompok perempuan dan waria, termasuk melalui media sosial dan ICT
secara efektif untuk mempromosikan penanggulangan HIV.

n Meningkatnya kapasitas, kualitas dan efektivitas sumber daya manusia terkait HIV,
memasukkan HIV dan AIDS dalam kurikulum di semua jenjang pendidikan dan
pengembangan pusat-pusat pelatihan untuk pembelajaran horizontal.

VISI, TUJUAN DAN STRATEGI


n Memastikan adanya peningkatan kapasitas dan kesadaran pemerintah, penyedia
layanan, media dan stakeholder lainnya tentang prinsip-prinsip HAM dan
kesetaraan gender di dalam pencegahan dan penanganan HIV dan AIDS.

n Memperbaiki kualitas, penggunaan dan mekanisme berbagi data yang terpilah


berdasarkan umur, jenis kelamin dan gender.

n Adanya sistem surveilans yang berfungsi dan data yang terharmonisasi dari berbagai
sumber. Monitoring dan evaluasi program difokuskan pada (1) penanganan 31
masalah dalam proses dan kualitas layanan, (2) memantau riam (cascade) layanan
HIV, (3) kesenjangan berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dan gender.

n Penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat kabupaten/kota diperkuat melalui


pengembangan kapasitas, penguatan koordinasi, integrasi layanan kesehatan dan
masyarakat, dan desentralisasi layanan serta mobilisasi sumber daya yang tersedia
di daerah.

Target Tujuan 6: Peningkatan Keberlanjutan Program

n Mengidentifikasi dan menggunakan upaya-upaya program yang efektif secara


biaya, termasuk rasionalisasi layanan, pengalihan tugas dan efisiensi biaya
diagnosis, obat-obatan dan komoditas lainnya.

n Meningkatkan proporsi pengeluaran pemerintah pusat, daerah dan swasta untuk


upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.

n Meningkatkan peran sektor swasta dalam hal pendanaan dan layanan kesehatan
dalam kerangka PPM (public private mix).
3.4. Strategi

Strategi utama mengandung 4 (empat) kata kunci berikut:

Pencegahan Komprehensif
Pengertian pencegahan komprehensif adalah agar jangan sampai seseorang tertular
virus HIV, yang apabila ia menjadi tertular HIV agar ia dapat segera dicegah tidak
masuk ke tahap AIDS serta tidak menjadi sumber penularan baru, dan kemudian
dapat dimitigasi dampak sosial ekonomi pada ODHA.

Continuum of Care (CoC)


Pengertian CoC di sini adalah agar sasaran populasi kunci mendapatkan program
penanggulangan AIDS secara berkesinambungan, mulai dari berbagai upaya
pencegahan berbasis komunitas seperti PMTS sampai mendapatkan layanan
VISI, TUJUAN DAN STRATEGI

kesehatan seperti IMS dan tes HIV serta layanan rujukan yang komprehensif, seperti
LKB sampai dengan upaya mempertahankan pengobatan. COC dapat dipadankan
sebagai integrasi PMTS-LKB.

Populasi Kunci
Pengertian populasi kunci di sini adalah agar kelompok ini menjadi sasaran primer
atau fokus dari pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Populasi harus dapat
mengakses program yang dijalankan secara efisien dan efektif, untuk menurunkan
32 epidemi HIV. Mereka ini terdiri dari WPS dan pelanggannya, Penasun, LSL, Waria, LBT,
serta pasangan mereka.

Daerah Prioritas
Pengertian daerah prioritas adalah agar penanggulangan AIDS juga harus berfokus di
daerah geografi dengan tingkat risiko penularan HIV yang tinggi, beban penyakit HIV
dan AIDS yang tinggi sehingga program dapat dijalankan dengan efisien dan efektif
pula untuk menurunkan epidemi HIV.

Berikut ini adalah rincian Strategi PenanggulanganAIDS periode tahun 2015-2019:

1. Menetapkan Prioritas Target Geografis

Sejak pelaksanaan SRAN periode 2010-2014, pemilihan kabupaten/ kota prioritas


telah menjadi salah satu keputusan strategis. Kriteria pemilihan ini didasarkan pada
tingkat risiko penularan HIV dan beban penyakit HIV dan AIDS tertinggi, serta kesiapan
infrastruktur dan komitmen pemerintah kabupaten/ kota.

Belajar dari pelaksanaan sebelumnya, dari total 511 kabupaten/ kota di Indonesia, 141
kabupaten/ kota menunjukkan beban epidemi HIV yang lebih besar sehingga perlu
menjadi prioritas target geografis upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
untuk mencapai dampak epidemiologis yang bermakna.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Di antara kabupaten/ kota tersebut, dipelajari bahwa terdapat kabupaten/ kota


yang lebih berhasil menunjukkan dampak upaya penanggulangan yang signifikan,
yang ternyata mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) berada di kota dengan jumlah
penduduk yang relatif banyak, jumlah populasi kunci dan jumlah ODHA juga termasuk
yang tertinggi di Indonesia, (2) memiliki infrastruktur yang relatif kuat serta ditunjang
dengan komitmen daerah, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat sipilnya,
sehingga dapat menunjukkan kinerja yang tinggi, dan (3) memiliki manajemen
pencatatan dan pengolahan data epidemi setempat yang lebih baik sehingga dapat
digunakan sebagai dasar perencanaan dan pemantauan dampak epidemiologis
upaya penanggulangan.

Pembelajaran ini menyimpulkan perlunya upaya penanggulangan yang ditujukan


pada daerah yang menjadi episentrum epidemi dimana terdapat pula kesiapan
infrastruktur daerah setempat untuk menghasilkan dampak penanggulangan yang

VISI, TUJUAN DAN STRATEGI


optimum. Melalui pendekatan ini dapat diidentifikasi setidaknya 75 kabupaten/ kota
dengan kinerja tinggi dan 66 kabupaten/ kota dengan kinerja medium di antara 141
kabupaten/ kota prioritas, yang perlu didorong untuk secara optimal mengintensifkan
upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah masing-masing. Upaya yang perlu
dilakukan dalam strategi ini antara lain adalah sebagai berikut:

n Penguatan provinsi dan KPA Kabupaten/ Kota dalam perencanaan menetapkan


target dan meningkatkan efektivitas PMTS dan layanan pengobatan (LKB SUFA)
termasuk koordinasi antara layanan kesehatan dengan komunitas populasi kunci. 33

n Dukungan kerja KPA Provinsi dan Kabupaten/ Kota untuk memastikan integrasi HIV
dalam proses perencanaan kegiatan di provinsi dan kabupaten/ kota agar didanai
oleh APBD.

n Mendorong pemangku kepentingan ditingkat daerah sebagai mitra utama dalam


program HIV dan AIDS antara lain layanan kesehatan, pemerintah daerah KPA
Provinsi dan Kabupaten/ Kota dan universitas lokal.

n Membangun jaringan kabupaten/ kota prioritas tinggi dalam memobilisasi


dukungan politik untuk HIV dan fasilitasi pembelajaran secara horizontal untuk
kota lainnya.

n Perhitungan matematika menunjukkan bahwa bila upaya penanggulangan AIDS


di 75 kabupaten/ kota dengan kinerja tinggi melaksanakan upaya penanggulangan
selama periode 2015-2019, maka infeksi baru HIV dapat diturunkan 38% dan
kematian karena AIDS juga dapat diturunkan hingga 20%, jika dibandingkan pada
tahun 2014.
2. Memanfaatkan Pencegahan Kombinasi sebagai Strategi Daya Ungkit

Pencegahan kombinasi adalah pendekatan yang mengkombinasikan pencegahan


penularan baru dan program pengobatan sebagai pencegahan, dalam rangka
mendukung penyediaan layanan yang komprehensif.

Mengkombinasi berbagai bentuk pencegahan yang terbukti efektif dan dapat diterima
oleh komunitas dan masyarakat sekitarnya adalah satu langkah yang harus semakin
diperkuat di masa yang akan datang. Pencegahan kombinasi tidak hanya berfokus
pada pencegahan melalui intervensi perubahan perilaku, namun juga dengan
intervensi biomedis melalui pengobatan, pencegahan positif, pengobatan sebagai
pencegahan, profilaksis pra dan paska pajanan, pengurangan dampak buruk NAPZA,
PMTS, sirkumsisi, konseling, kesetaraan jender, kebijakan yang mendukung, penguatan
lingkungan yang kondusif, serta mobilisasi sosial komunitas dan masyarakat.
VISI, TUJUAN DAN STRATEGI

Untuk menghasilkan daya ungkit yang optimum dari pencegahan kombinasi,


diperlukan penguatan keterkaitan antar berbagai layanan, khususnya layanan
pencegahan yang berbasis komunitas, layanan tes dan konseling HIV, serta layanan
kesehatan umum dan pengobatan IMS, HIV dan AIDS. Dibutuhkan sistem rujukan yang
baik dari layanan pencegahan berbasis komunitas ke layanan kesehatan begitu pula
sebaliknya, untuk memastikan populasi kunci yang terjangkau memperoleh layanan
komprehensif mulai dari intervensi perubahan perilaku, akses ke tes HIV dan konseling,
34 sampai ke pengobatan ARV dan dukungan psiko-sosial untuk mempertahankan
pengobatan dan selanjutnya memperbaiki kualitas hidup ODHA.

Pencegahan kombinasi perlu terintegrasi dalam sistem kesehatan, terutama dalam


layanan publik dan layanan swasta yang dapat diakses oleh masyarakat umum dengan
tujuan untuk menjaring sebanyak mungkin orang yang membutuhkan. Strategi ini
juga perlu diterapkan pada layanan publik yang bersifat khusus, seperti pada Lembaga
Pemasyarakatan, Rumah Tahanan, Lokalisasi, Panti Pijat. Pemilihan tempat-tempat ini
dilakukan dengan memperhatikan tingginya risiko penularan IMS dan HIV.

3. Menguatkan Layanan Komprehensif Berkesinambungan

Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) bertujuan untuk menguatkan sistem


layanan kesehatan yang terintegrasi dengan pencegahan berbasis komunitas seperti
PMTS melalui kerjasama erat antara pemerintah kabupaten/ kota, pengelola layanan
kesehatan, masyarakat sipil, serta komunitas, populasi kunci dan ODHA.

Secara khusus LKB bertujuan untuk menguatkan sistem kesehatan yang terintegrasi
dengan sistem komunitas agar dapat meningkatkan cakupan promosi, pencegahan
dan pengobatan terkait HIV, diantaranya adalah sebagai berikut:
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

n Memperluas layanan HIV bagi populasi kunci pada fasilitas layanan kesehatan
primer dan komunitas, termasuk TB, IMS, Kesehatan Seksual dan Reproduksi,
kekerasan, dan Hepatitis.

n Menjadi rujukan kebutuhan dari komunitas ke layanan dan kembali ke komunitas.

n Meningkatkan respon tenaga kesehatan terhadap penanggulangan HIV dan AIDS.

n Memperluas pengobatan ARV melalui layanan yang terdesentralisasi.

n Mitigasi dampak sosial-ekonomi.

n Secara kontekstual, PMTS dan SUFA harus dilaksanakan dalam kerangka konsep
LKB.

VISI, TUJUAN DAN STRATEGI


Integrasi yang baik antara sistem layanan kesehatan dan pencegahan berbasis
komunitas membutuhkan perencanaan multi-sektoral untuk perluasan layanan,
pemetaan hotspot, pengembangan strategi penjangkauan, dan pengembangan
kemitraan dengan kelompok populasi, dan peningkatan kapasitas layanan kesehatan
di tingkat kabupaten/ kota.

4. Desentralisasi dan Integrasi Layanan HIV


35
Terbukti bahwa pengobatan lebih dini dan kepatuhan minum ARV merupakan salah
satu metode yang efektif dalam upaya pencegahan HIV. Upaya pemberian ARV secara
dini dan perluasan pengobatan telah dimulai melalui inisiatif penggunaan ARV secara
strategis (SUFA). Walaupun demikian, saat ini, kepatuhan minum obat masih menjadi
tantangan yang perlu untuk terus diperhatikan. Integrasi layanan HIV dan TB juga perlu
mendapatkan perhatian khusus, baik di tingkat rumah sakit maupun pada tingkat
layanan primer. Masih banyak tantangan dihadapi dalam rangka mengkombinasikan
kedua layanan ini, tidak hanya pedoman dan tatalaksana kolaborasi TB-HIV yang perlu
diperbarui, tetapi juga upaya peningkatan kapasitas dan penyiapan infrastrukturnya,
baik dalam hal manajemen maupun sumber daya manusianya.

Model LKB-PMTS meningkatkan integrasi layanan terkait HIV dan pencegahan


berbasis komunitas. Lebih lanjut, untuk meningkatkan kesinambungan dan
meningkatkan efisiensi dan efektivitas, layanan HIV harus diintegrasikan pada struktur
layanan kesehatan primer. Layanan IMS dan HIV harus diintegrasikan dengan layanan
Kesehatan Seksual dan Reproduksi, dan layanan HIV diintegrasikan dengan layanan
antenatal dan layanan perawatan kronis, termasuk layanan diagnosis kanker serviks.

Kegiatan HIV perlu diintegrasikan segera lebih baik pada kegiatan berbasis
komunitas terutama di Tanah Papua, dimana epidemi sudah pada populasi umum.
Sebagai contoh, layanan berbasis komunitas perlu diperluas sebagai perpanjangan
dari layanan perawatan, dukungan dan pengobatan yang berbasis pada layanan
kesehatan; layanan Posyandu perlu dikaitkan dengan layanan sosial dan medis untuk
ODHA; kader dari komunitas perlu diberdayakan untuk melakukan konseling untuk
meningkatkan kepatuhan pengobatan TB dan HIV.

5. Mengembangkan dan Memperluas Mitigasi Dampak

Mitigasi dampak dikembangkan dengan cara memaksimalkan sistem terkait


pengamanan sosial yang sudah ada di Indonesia, seperti dengan terus meningkatkan
dukungan bagi populasi kunci dan ODHA untuk dapat memanfaatkan skema jaminan
kesehatan dan sosial.

Fokus pengembangan dan perluasan mitigasi dampak ke depan adalah agar


VISI, TUJUAN DAN STRATEGI

anak yang terinfeksi dan terdampak HIV dan AIDS dapat mengakses layanan yang
memberikan perlindungan sosial, pendidikan dan kesehatan. Dalam rangka
tersedianya layanan yang memadai, tidak hanya langkah-langkah advokasi yang perlu
dilakukan untuk memperkuat lembaga yang mampu memberikan dukungan, tetapi
juga memperhatikan peningkatan kapasitas dan keahlian mitra terkait dalam bidang
pengasuhan anak, perawatan, dan pemberdayaan ekonomi, serta perlindungan
hukum bagi ODHA.

36 Penggalian sumber daya, dapat dilakukan dengan menjajaki berbagai alternatif


di tingkat lokal. Sementara itu, untuk terus memperluas penyediaan dukungan
ini, dokumentasi praktik di daerah dapat menjadi salah satu alat komunikasi dan
pengembangan program.

6. Mewujudkan Lingkungan yang Mendukung bagi Populasi Kunci dan


ODHA

Stigma, diskriminasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) diakui secara luas
menjadi penghalang bagi respon nasional yang efektif terhadap HIV. ODHA masih
kerap ditolak dan diusir dari keluarga dan komunitas. Hak atas pendidikan dan hak atas
pekerjaan ODHA masih sering disangkal. Maraknya pelanggaran HAM menyebabkan
pencegahan dan pelayanan kesehatan HIV menjadi kurang efektif. Ketika ODHA
dan populasi kunci takut akan diskriminasi, mereka akan enggan melakukan tes HIV,
termasuk mengakses layanan kesehatan HIV. Ketidaksetaraan jender dan kekerasan
berbasis jender, perempuan cenderung sulit menghindari relasi yang penuh paksaan
dan kekerasan, semua ini membuat mereka rentan terhadap HIV.

Guna mewujudkan program pencegahan, layanan dan dukungan HIV yang efektif,
maka penghalang Hak Asasi Manusia tersebut harus diatasi dengan mengintegrasikan
perlindungan dan promosi HAM dan keberpihakan jender ke dalam respons HIV,
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

meningkatkan program yang sudah berjalan yang mengatasi halangan Hak Asasi
Manusia tersebut, dan memastikan bahwa program-program HIV tidak berpotensi
maupun tidak melanggar HAM. Pengintegrasian tersebut harus dilakukan sejak
tahapan perencanaan sampai dengan pemantauan pelaksanaan program HIV.

7. Evaluasi Proses dan Standar Mutu untuk Menguatkan Intervensi yang


Berkualitas

Untuk mencapai dampak yang besar dari upaya penanggulangan, dibutuhkan


intervensi yang berkualitas yang diukur dengan evaluasi proses dengan target standar
mutu intervensi.

Peningkatan kualitas perlu dilakukan dengan memperhatikan detail pelaksanaan


program yang diatur dalam pedoman atau prosedur kegiatan. Menambah atau

VISI, TUJUAN DAN STRATEGI


mengurangi satu langkah dalam tata laksana, jika itu merupakan hasil dari evaluasi
tersebut, maka ini dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan.

Mekanisme evaluasi proses atau quality assurance perlu dimiliki oleh semua
pelaksana program, yang berfungsi dengan baik dan dilakukan tepat waktu. Salah
satu peningkatan kualitas yang menjadi fokus ke depan adalah dalam mencari dan
menemukan kasus HIV atau IMS dan memastikan pengobatan dan perawatannya,
sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.
37
8. Mendukung Penguatan Sistem Komunitas

Keterlibatan masyarakat dan pemberdayaan merupakan salah satu prinsip


penanggulangan HIV dan AIDS. Penguatan sistem komunitas (Community System
Strengthening - CSS) dalam penanggulangan AIDS bertujuan untuk mencapai hasil
kesehatan yang lebih baik dengan partisipasi aktif populasi terdampak serta organisasi
berbasis komunitas dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi layanan dan kegiatan yang berkaitan dengan pencegahan, pengobatan,
perawatan dan dukungan bagi ODHA.

Sejak upaya penanggulangan AIDS dimulai di Indonesia, telah ada pengakuan


terhadap peran penting organisasi berbasis komunitas, masyarakat terdampak,
populasi kunci, komunitas dan ODHA dalam penanggulangan AIDS di Indonesia.
Namun keberlanjutan dukungan terhadap komunitas merupakan tantangan seiring
dengan menurunnya dukungan pendanaan internasional.

SRAN 2015-2019 bertujuan untuk memastikan keterlibatan aktif dan bermakna dari
ODHA, populasi kunci, kelompok yang mewakili ODHA dan populasi kunci, serta
masyarakat sipil lainnya dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di semua
tingkatan hingga tingkat kecamatan dan desa.
Dukungan untuk penguatan komunitas secara bermakna perlu dilakukan mel
alui kemitraan bersama berbagai pemangku kepentingan di tingkat nasional dan
sub nasional, untuk mendorong partisipasi aktif komunitas dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi upaya penanggulangan AIDS. Upaya
penguatan komunitas perlu dituangkan dalam bentuk alokasi anggaran, peningkatan
kapasitas, bantuan teknis, penguatan manajemen organisasi dan kepemimpinan
yang tersedia di tingkat nasional, provinsi serta kabupaten/ kota. Peningkatan peran
masyarakat dalam pelaksanaan LKB menjadi prioritas bagi SRAN 2015-2019.

9. Mengelola Pengetahuan dan Keterampilan antar Kabupaten/ Kota

Peningkatan manajemen pengetahuan adalah salah satu prioritas SRAN 2015-


2019, khususnya manajemen pengetahuan upaya penanggulangan AIDS di tingkat
VISI, TUJUAN DAN STRATEGI

kabupaten/ kota untuk memfasilitasi pembelajaran secara horizontal antar kabupaten/


kota di Indonesia.

Peningkatan manajemen pengetahuan perlu dimulai dengan dokumentasi dan


pemetaan kekuatan pelaksanaan upaya penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten/
kota, khususnya di daerah dengan kinerja tinggi. Pemetaan ini menjadi dasar bagi
pengembangan model pembelajaran antar kabupaten/ kota yang terstruktur dan
sistematis.
38
Unit pengelolaan pengetahuan manajemen perlu dibentuk oleh KPAN untuk
memantau pelaksanaan upaya penanggulangan secara umum, serta untuk
membantu proses pemetaan dan dokumentasi yang dibutuhkan. Kriteria pemilihan
lokasi pembelajaran juga perlu dikembangkan.

10. Mendorong Alokasi Dana Penanggulangan AIDS di tingkat Kabupaten/


Kota

Keberlanjutan penanggulangan HIV dan AIDS tergantung pada tingkat pendanaan


yang memadai. Dengan menurunnya dukungan dana luar negeri bagi upaya
penanggulangan AIDS di Indonesia, perlu didorong adanya alokasi dana yang memadai
tidak hanya di tingkat nasional namun juga di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.

Untuk ini, strategi meningkatkan pendanaan lokal perlu diinisiasi pada periode SRAN
2015-2019, misalnya dengan cara berikut:

n Meningkatkan efisiensi biaya yang dapat diperoleh dari pelaksanaan LKB, integrasi
HIV ke layanan kesehatan primer; efisiensi biaya diagnostik, obatdan komoditas
lain; cara penjangkauan yang efektif yang memaksimalkan cakupan dan
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

menghilangkanmissed-opportunity.

n Menambah pendanaan dalam negeri dengan pendekatan baru, misalnya melalui


matching funds, dimana penambahan dana lokal disandingkan dengan tambahan
dana nasional; atau challenge grants, dimana kabupaten/ kota yang mengusulkan
perluasan atau peningkatan kualitas layanan, akan menerima dana, dengan
memastikan adanya mata anggaran HIV tersedia di APBD.

n Mendorong dan mengakses peluang pendanaan CSR untuk program HIV: public-
private sector partnership and private philanthropy.

11. Menguatkan Penelitian, Kualitas Data serta Akselerasi Penggunaan


Inovasi dan Teknologi Baru

VISI, TUJUAN DAN STRATEGI


Inovasi dan teknologi baru dapat meningkatkan efektivitas serta efisiensi intervensi
untuk menanggulangi HIV, selama periode SRAN 2015-2019. Perlu ada mekanisme
untuk melakukan eksplorasi inovasi dan teknologi baru yang dapat diuji serta
diimplementasikan di Indonesia; memperoleh perijinan sesuai hukum yang berlaku;
dan mengembangkan rencana aksi untuk pelaksanaannya.

Beberapa prioritas inovasi yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah tes HIV
berbasis komunitas, pemanfaatan Information and Communication Technology (ICT),
penggunaan media sosial, SMS dan internet untuk kegiatan penjangkauan komunitas 39
khususnya bagi populasi tersembunyi dan remaja; serta pencanangan intervensi PreP
bagi LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki).

Terkait dengan informasi strategis, SRAN 2015-2019 perlu terus memperkuat sistem
surveilans, termasuk peningkatan kualitas data dan penelitian baru terkait HIV,
khususnya agar lebih diperhatikan pada tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.

Prioritas utama adalah penguatan sistem data rutin seperti SIHA maupun surveilans
penyakit dan peningkatan kualitas data, serta adanya perhatian khusus untuk
memenuhi kebutuhan data di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota, meningkatkan
kapasitas daerah untuk melakukan integrasi, interpretasi, serta menggunakan data
secara efektif untuk perencanaan maupun pemantauan. Penguatan sistem data
disertai dengan agregasi jender, usia, dan faktor risiko.

Untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi keberhasilan SRAN 2015-2019


dibutuhkan penelitian dengan area yang cukup luas, termasuk penelitian biomedis/
klinis, epidemiologi, sosial, budaya, perilaku dan penelitian operasional/ implementasi.

Penelitian biomedis/ klinis fokus pada masalah gambaran klinik, perjalanan penyakit,
perawatan serta pengobatan penyakit.

Penelitian epidemiologi fokus pada besaran, penyebaran dan latar belakang biologi,
virology, lingkungan, sedangkan penelitian sosial/ budaya fokus pada fenomena sosial
dalam masyarakat, termasuk perilaku dan struktur sosial masyarakat.

Agenda penelitian 2015-2019 memberikan prioritas pada penelitian operasional/


implementasi yang menunjang kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS yang
mempunyai tujuan: Menghentikan penularan HIV; Memperbaiki kualitas hidup
ODHA; Mengurangi dampak HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat;
dan Menciptakan lingkungan kondusif program yang bebas stigma dan diskriminasi.

Perlu diidentifikasi perguruan tinggi, komunitas, dan institusi penelitian untuk


mendukung penelitian implementasi dan penelitian evaluasi, dengan fokus 75
VISI, TUJUAN DAN STRATEGI

kabupaten/ kota prioritas tinggi. Evaluasi proses dan penelitian operasional dilakukan
untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan penanggulangan AIDS termasuk LKB/
PMTS/ SUFA dan keterlibatan komunitas. Perlu diperhatikan pemantauan efektivitas
pengobatan (melalui CD4 dan viral load), sesuai dengan pedoman.

12. Menguatkan Kemitraan Internasional: Bilateral dan Multilateral

Dengan semakin menguatnya posisi Indonesia dalam kemitraan internasional, maka


40 potensi kolaborasi serta perluasan jejaring kerja pun meningkat pesat. Indonesia
menduduki beberapa posisi strategis di tingkat regional dan global dalam program
penanggulangan HIV dan AIDS, antara lain adalah sebagai berikut:

Global: Indonesia diundang secara khusus oleh PCB UNAIDS (Programme


Coordinating Board) untuk menyampaikan perkembangan penanggulangan AIDS
di Indonesia. Board atau dewan ini beranggotakan 22 negara anggota PBB, dengan
perwakilan dari pemerintah dan masyarakat sipil. Pada tahun 2014, dewan tersebut
diketuai oleh Australia memutuskan untuk kemudian melakukan kunjungan kerja ke
Indonesia, dimana peserta datang dari Afrika (Zimbabwe), Amerika Latin (Brasil) serta
beberapa negara Eropa.

Regional: Indonesia sebagai anggota ASEAN menjadi Lead Country untuk inisiatif
ASEAN Cities Getting to Zero. Inisiatif ini merupakan operasionalisasi langsung
dari ASEAN Declaration of Commitment: Getting to Zero New HIV Infections, Zero
Related Deaths,Zero Discrimination, yang diadopsi para pimpinan negara anggota
ASEAN (Bali, 17 November 2012). Inisiatif ini menjadi contoh di seluruh dunia untuk
program regional dengan pendekatan lokal (tingkat kabupaten/ kota).

Nasional: Indonesia mengelola dana kemitraan untuk HIV (Indonesia Partnership


Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Fund), dimana donor utama pada saat ini berasal dari USAID (Amerika Serikat) dan
DFAT (Australia).

Arah kebijakan Indonesia dalam menguatkan kemitraan internasional ini adalah


dengan mempertahankan peran yang telah disandang hingga saat ini dan terus
berpartisipasi aktif dalam upaya penanggulangan AIDS.

VISI, TUJUAN DAN STRATEGI


41
42
Strategi dan Rencana
Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Strategi dan
National Strategy
Rencana
and Aksi
Action
Nasional
Plan 2015-2019
2015-2019
PENANGGULANGAN
HIV AND AIDS RESPONSE
HIV DAN
IN INDONESIA
AIDS DI INDONESIA

ACTION PLAN
43

BAB 4

Rencana Aksi
BAB 4.

Rencana Aksi

A. Intervensi

4.1. Pencegahan HIV

Penurunan penularan HIV dilakukan melalui perluasan pencegahan yang efektif. Hal
ini perlu dilakukan pada hubungan seksual risiko tinggi dan penggunaan peralatan
suntik secara bergantian. Perlu perhatian khusus pada pencegahan HIV baru di
kelompok LSL.
RENCANA AKSI

Pencegahan HIV pada populasi kunci di beberapa wilayah dengan kinerja baik,
merupakan hasil kombinasi beberapa faktor berikut: a) Komitmen individu, b) Layanan
ramah klien, c) Pelibatan pihak-pihak pemangku kepentingan, d) Keterlibatan aktif
Dinas Kesehatan dan Puskesmas baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota
44 yang berkerja sama dengan penegak hukum dan tokoh kunci lokalisasi atau lokasi,
e) Keterlibatan LSM dan OMS dalam promosi kondom dan monitoring program
penggunaan kondom; f ) Mobilisasi komunitas melalui intervensi sebaya.

Target perluasan pencegahan pada populasi kunci dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Target Pencegahan, Perubahan Perilaku dan Tes HIV pada Populasi
Kunci (dalam %)

Indikator Populasi Baseline Sumber 2015 2016 2017 2018 2019


Kunci Data
Cakupan program Semua 34 STBP 41 48 56 63 70
pencegahan
komprehensif
Perubahan perilaku Semua 61 STBP 68 71 74 77 80
untuk mencegah
penularan HIV
Populasi kunci yang Semua 29 STBP 34 40 45 50 56
mendapatkan tes
HIV
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

4.1.1. Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual

Intervensi struktural PMTS perlu terus diperkuat untuk meningkatkan efektifitas dan
dampak program pencegahan, sehingga dapat menurunkan penularan HIV melalui
transmisi seksual. Promosi kondom di tempat transaksi seksual dan di tempat layanan
IMS perlu terus dilakukan, dengan penguatan berikut:

n Pengembangan pesan-pesan baru untuk komunikasi perubahan perilaku sebagai


bagian dari strategi komunikasi HIV dan AIDS secara keseluruhan.

n Pemanfaatan secara luas media sosial, internet dan SMS untuk menyebarluaskan
informasi dan pesan-pesan komunikasi perubahan perilaku.

n Memperluas jaringan penyebarluasan informasi dan pesan komunikasi perubahan


perilaku diantara populasi kunci. Mengadopsi model penjangkauan yang
melibatkan populasi kunci dan ODHA dapat memfasilitasi perubahan perilaku dan
peningkatan akses ke layanan.

RENCANA AKSI
n Peningkatan penyebarluasan informasi dan edukasi pada kalangan pekerja dengan
fokus pada perubahan perilaku pekerja laki-laki risiko tinggi (kategori 4 M, Man Mobile
with Money Macho environment) seperti pekerja sektor perhubungan, kelautan
dan perikanan (maritim), pertambangan dan migas, konstruksi, perkebunan,
pariwisata serta perusahaan yang lokasinya berdekatan dengan lokalisasi/hotspot. 45
Mendekatkan kelompok pekerja 4 M ini dan mendorong peningkatan aksesnya ke
layanan melalui jejaring dengan faskes setempat.

n Peningkatan penggunaan kondom konsisten agar tidak hanya dibebankan pada


WPS maupun Waria, namun juga melibatkan mucikari dan pelanggan, melalui
dua strategi utama: (1) Kampanye pada populasi umum melalui layanan publik,
program sosialisasi di tempat kerja yang dibiayai oleh sektor swasta, yang dirancang
untuk mengurangi stigma penggunaan kondom, (2) Kampanye kondom dengan
sasaran tempat kerja dimana laki-laki 4M terkonsentrasi.

n Penapisan dan pengobatan IMS perlu diperluas berintegrasi dengan layanan


Kesehatan Seksual dan Reproduksi (KSR), yang secara otomatis akan meningkatkan
jumlah puskesmas yang memberikan layanan IMS.

n Intervensi biomedis, termasuk pengobatan sebagai pencegahan, pre-expsoure


prophylaxis; meningkatkan akses ke tes HIV.

n Intervensi dengan mempertimbangkan dan memasukkan struktur hirarki dan


sosial di masyarakat untuk melancarkan pelaksanaan program.
n Penjangkauan yang melibatkan populasi kunci dengan prinsip kesebayaan.

n Mengoptimalkan peran jaringan komunitas pekerja seks sebagai sentra koordinasi


dan komunikasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan penelitian terkait
HIV baik di tingkat nasional maupun daerah.

4.1.2. Pengembangan Program Komprehensif GWL (Gay, Waria, dan LSL


lainnya)

Meningkatnya epidemi HIV di kalangan GWL perlu menjadi perhatian khusus.


Intervensi perlu dibuat lebih komprehensif dengan komponen yang terintegrasi
sebagai berikut:

n Menetapkan definisi operasional GWL dalam program HIV di Indonesia, termasuk


definisi operasional istilah terjangkau baik dalam konteks peer outreach ataupun
cyber outreach.
RENCANA AKSI

n Mengoptimalkan peran jaringan populasi kunci GWL sebagai sentra koordinasi dan
komunikasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi program HIV dan penelitian
terkait HIV pada komunitas GWL baik di tingkat nasional maupun daerah.

46 n Mengoptimalkan pelibatan organisasi-organisasi berbasis komunitas GWL dalam


upaya promosi seks aman dan pemanfaatan layanan tes HIV.

n Memperkuat kapasitas teknis dan keorganisasian para OBK GWL dalam merancang,
mengimplementasikan, mengorganisasikan serta monitoring dan evaluasi
program.

n Pemberdayaan komunitas GWL dalam program HIV dengan menginisiasi


pendekatan intervensi perubahan perilaku yang berbasis komunitas.

n Mengembangkan program spesifik yang ditujukan untuk GWL usia muda, termasuk
metode pendekatan, pemberdayaan komunitas dan program pencegahan yang
sesuai dengan karakteristik kelompok ini.

n Mengoptimalkan penggunaan jejaring media sosial dan teknologi media


komunikasi lainnya sebagai metode penjangkauan online/ cyber outreach,
melengkapi metode penjangkauan berbasis hotspot dan peer outreach.

n Mengintegrasikan konsep kesehatan dan hak seksual reproduksi (SRHR) dalam


semua pendekatan dan kegiatan terkait program HIV untuk komunitas GWL.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

n Meningkatkan akses dan pemanfaatan layanan tes HIV melalui pendekatan inovatif
berbasis komunitas GWL dalam bentuk, misalnya menyediakan layanan konseling
dan tes HIV (KTH) berbasis komunitas melalui penggunaan media sosial.

n Meningkatkan akses dan retensi komunitas GWL (termasuk GWL muda, GWL
pekerja seks, dan GWL ODHA) pada layanan KTH, IMS, dengan memperbanyak
layanan perawatan dan pengobatan yang berkualitas, bersahabat dan sesuai
dengan kebutuhan mengacu pada contoh-contoh sukses yang ada.

n Menciptakan lingkungan yang memampukan GWL melalui upaya advokasi yang


terfokus, pelibatan komunitas yang ditujukan pada faktor-faktor struktural (sosial,
politik, hukum, budaya dan ekonomi) yang mempengaruhi kerentanan komunitas
GWL (termasuk GWL muda, GWL pekerja seks, dan GWL ODHA) dan berpotensi
menghambat keberhasilan perluasan program.

n Memperkuat upaya advokasi terhadap kebijakan-kebijakan yang bersifat


kontraproduktif terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan HIV untuk
komunitas GWL di tingkat nasional dan daerah.

RENCANA AKSI
n Memperkuat intervensi struktural untuk komunitas GWL yang tergabung pada
panti pijat, spa pria, pondokan waria pekerja seks, klub gay, dan tempat-tempat
yang memiliki struktur hirarki tertentu lainnya.
47
n Pelaksanaan program pre-exposure prophylaxis (PreP) setidaknya dalam bentuk uji
coba.

n Penelitian implementasi perlu dikembangkan untuk mengidentifikasi metode


yang efektif dalam meningkatkan jangkauan program, akses dan pemanfaatan tes
HIV, dan retensi di layanan perawatan dan pengobatan.

n Penyelenggaraan Community Scientific Forum untuk komunitas, OBK, peneliti


GWL dan mitra kunci sebagai media berbagi untuk mengidentifikasikan
pembelajaran, pengalaman, dan temuan ilmiah dari survei dan penelitian terkait
GWL.

4.1.3. Pengurangan Dampak Buruk pada Penasun

Meningkatkan intervensi untuk pengguna NAPZA suntik, termasuk WBP melalui hal-
hal berikut:

n Paket pengurangan dampak buruk yang komprehensif, seperti peralatan suntik


steril, substitusi oral, akses kondom dan media informasi untuk Penasun dan
pasangan, rujukan ke layanan kesehatan untuk tes HIV, terapi ARV, TB, dan terapi
adiksi, dan ko-infeksi Hepatitis C.
n Perluasan tes HIV bagi Penasun dan pasangannya menjadi salah satu prioritas
penting. Upaya lain adalah melakukan koordinasi dengan petugas kesehatan dan
penegak hukum, komunitas dan Penasun.

n Upaya baru perlu dilakukan untuk menjaring Penasun perempuan, termasuk


mengintegrasikan layanan KSR dan kekerasan dengan HIV, metode penjangkauan
berbasis komunitas yang efektif dan penjajakan pilihan rehabilitasi perempuan
yang ramah perempuan.

n Pengembangan layanan pada pekerja seks yang juga pengguna NAPZA serta
pengembangan layanan di Lapas/ Rutan, dimana pendekatan komprehensif dan
berkelanjutan menjadi bagian dari strategi nasional.

n Mengoptimalkan peran jaringan komunitas Penasun sebagai sentra koordinasi


dan komunikasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan penelitian terkait
HIV baik di tingkat nasional maupun daerah.

4.1.4. Warga Binaan Pemasyarakatan


RENCANA AKSI

n Memperluas penanggulanan HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan, termasuk


pengurangan dampak buruk NAPZA, PPIA di Lapas Perempuan.

48 n Intensifikasi kegiatan untuk menurunkan infeksi baru di Lembaga Pemasyarakatan.

n Mengadvokasi skema perlindungan kesehatan dan sosial dengan memasukan


WBP dalam daftar tanggungan untuk menanggung biaya terkait HIV, termasuk
perubahan administrasi berbasis KTP.

4.1.5 Orang Muda

n Orang muda pada populasi kunci perlu dijangkau program pencegahan, agar mereka
akses ke layanan kesehatan dengan memaksimalkan peran sebaya, komunitas
muda dan populasi kunci, yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik
khusus orang muda di populasi kunci.

n Keterlibatan bermakna orang muda populasi kunci dalam komunikasi multi


sektoral seperti Pokja PMTS, Pokja Harm Reduction, Pokja Jender, Pokja Remaja,
Pokja Tempat Kerja, dan Pokja Teknis HIV lainnya di tingkat nasional, provinsi dan
kabupaten/ kota.

n Memberi dukungan bagi orang muda yang hidup dengan HIV agar patuh berobat.

n Peningkatan akses orang muda ke informasi komprefensif, layanan, pencegahan


Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

terkait HIV dan Kesehatan Seksual Reproduksi tanpa hambatan usia dan status
pernikahan seperti yang sudah tertuang dalam PP nomor 61 tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi.

n Pengembangan strategi komunikasi untuk orang muda.

n Studi terkait orang muda populasi kunci perlu dipelajari lebih lanjut untuk
meningkatkan akses pada layanan serta perlindungan hukum.

n Adanya layanan ramah remaja untuk meningkatkan akses orang muda khususnya
orang muda di populasi kunci ke layanan HIV dan Kesehatan Seksual Reproduksi.

n Informasi strategis serta survailens HIV pada populasi umum dan populasi kunci
perlu terpilah berdasarkan kelompok usia 10-14 tahun, 15-19 tahun, 20-24 tahun.
Informasi strategis terpilah ini perlu disertai dengan analisis mendalam.

n Tingkat Pengetahuan:

RENCANA AKSI
l Sebanyak 15% (1999/13419) remaja wanita dan pria usia 15-24 tahun dapat
mengidentifikasi cara penularan HIV melalui seksual dengan benar dan menolak
konsepsi yang salah tentang penularan HIV (SDKI, 2007);
l Sebanyak 13% (370/2942) remaja wanita dan pria usia 15-24 tahun dapat
mengidentifikasi cara penularan HIV melalui seksual dengan benar dan menolak 49
konsepsi yang salah tentang penularan HIV (SDKI, 2002-2003).

n Hubungan seks sebelum usia 15 tahun:

l Data SDKI 2007 menunjukkan remaja wanita dan pria usia 15-24 tahun yang
mulai melakukan hubungan seks sebelum usia 15 tahun sebesar 0.0028%
(37/13419);
l Data SDKI 2002-2003 menunjukkan remaja wanita dan pria usia 15-24 tahun
yang mulai melakukan hubungan seks sebelum usia 15 tahun sebesar 0.0003%
(1/2942).

n Seks risiko tinggi:

l Sebanyak 0.23% (1/423) pria berusia 20-24 tahun pernah berhubungan seksual
dengan lebih dari satu pasangan dalam 12 bulan terakhir (SDKI, 2007).

n Pekerja seks:

l Sebanyak 25.73% (2007) dan 14.15% (2011) pekerja seks berusia di bawah 25
tahun terpapar program pencegahan, angka ini lebih rendah dibandingkan
dengan pekerja seks berusia 25 tahun ke atas yaitu 30.64% (2007) dan 20.29
(2011);

l Praktik penggunaan kondom di kalangan pekerja seks berusia di bawah 25 tahun


adalah 63.56% (2007) dan 49.53% (2011), angka ini lebih rendah dibandingkan
dengan pekerja seks berusia 25 tahun ke atas yaitu 69.95% (2007) dan 61.70%
(2011);

l Pekerja seks berusia di bawah 25 tahun yang melakukan tes HIV sebesar 27.31%
(2007) dan 78.04% (2011), angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan
pekerja seks berusia di atas 25 tahun yaitu 35.18% (2007) dan 79.81% (2011).

n LSL:
l Sebanyak 37.59% (2007) dan 20.45% (2011) LSL berusia di bawah 25 tahun
terpapar program pencegahan, angka ini lebih rendah dibandingkan dengan
LSL berusia 25 tahun ke atas yaitu 47.89% (2007) dan 25.16% (2011).

n Penasun:
RENCANA AKSI

l Penasun berusia di bawah 25 tahun yang melakukan tes HIV sebesar 36.61%
(2007) dan 83.70% (2011), angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan
penasun berusia di atas 25 tahun yaitu 47.57% (2007) dan 92.05% (2011).

50 4.1.6. Intensifikasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat Kerja dan
Populasi Rentan Lainnya

Pendekatan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS (P2 HIV&AIDS)
di Tempat Kerja terbukti telah meningkatkan penyebarluasan informasi yang benar
pada kalangan pekerja dan pengusaha sehingga membangun kesadaran untuk
meningkatkan komitmen, partisipasi dalam program dan pemahaman untuk tidak
memberikan stigma dan perlakuan diskriminatif kepada pekerja terkait HIV-AIDS serta
dukungan pada pekerja ODHA. Dunia kerja memiliki sumberdaya yang memadai
untuk dimobilisasi dalam pengembangan program di lingkungan kerjanya maupun
berpartisipasi dalam program di masyarakat melalui program Corporate Social
Responsibility (CSR).

Pekerja pada perusahaan/institusi/organisasi yang mempekerjakan karyawan


dominan laki-laki, pekerjaan bersifat sering berpindah atau mobile, lokasi kerja di
remote area atau jauh dari tempat tinggal merupakan kelompok populasi rentan yang
harus mendapat prioritas untuk diintervensi program. Intervensi program di tempat
kerja difokuskan pada kelompok pekerja kategori 4 M seperti sektor perhubungan,
kelautan dan perikanan, pertambangan dan migas, konstruksi, perkebunan, pariwisata,
serta perusahaan yang lokasinya berdekatan dengan lokalisasi atau hotspot.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Program P2 HIV & AIDS di tempat kerja perlu ditingkatkan efektifitasnya dengan
mengintensifkan program layanan konseling dan tes HIV (KTH) bagi pekerja laki-laki
berisiko tinggo (LBT) melalui program VCT@Work. Pola VCT@Work dikembangkan
melalui jejaring layanan antara perusahaan dengan faskes rujukan setempat dengan
dukungan instansi/stakeholder terkait seperti dinas ketenagakerjaan, dinas kesehatan,
KPA dan LSM. Pendekatan KTH di tempat kerja dapat dilakukan melalui program
pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, donor darah dan layanan kesehatan lainnya
melalui penawaran tes HIV secara selektif terfokus pada populasi pekerja rentan atau
risiko tinggi. Petugas kesehatan (dokter, perawat, analis) di perusahaan yang memiliki
faskes sendiri perlu dilatih untuk meningkatkan kapasitasnya dalam penanggulangan
HIV dan AIDS dan pemberian layanan KTH dan PDP. Pendekatan lain seperti PMTS
paripurna juga perlu dikembangkan lebih banyak dengan mengintegrasikan ke
dalam program P2 HIV & AIDS di tempat kerja.

Untuk memperkuat program P2 HIV & AIDS di tempat kerja dan keberlanjutannya
perlu didukung dengan Pokja HIV-AIDS di Tempat Kerja (Pokja Workplace) yang
menjadi pola jejaring kerjasama antar stakeholder terkait baik instansi pemerintah
seperti instansi ketenagakerjaan, kesehatan, perhubungan, pekerjaan umum,

RENCANA AKSI
pertambangan, perkebunan, kelautan dan perikanan, pariwisata, KPAN/KPA, ILO,
APINDO, SP/SB, IBCA, dan LSM terkait. Pokja Workplace di tingkat pusat perlu
mendorong peningkatan kapasitas program bagi Pokja Workplace pada KPA di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota. KPA provinsi dan kabupaten/kota yang belum
membentuk Pokja Workplace perlu didorong untuk membentuk. Untuk itu perlu 51
didukung dengan kegiatan advokasi dan peningkatan kapasitas dan Pokja di daerah
dan pertemuan koordinasi dan evaluasi nasional Pokja Workplace secara rutin. Pokja
Workplace harus terus diberdayakan dan dilibatkan untuk terus berperan aktif dalam
pelaksanaan program P2-HIV AIDS terutama yang berkaitan dengan sasaran populasi
pekerja dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya. Dengan pola kemitraan yang
baik ini diharapkan akan mendukung pencapaian target nasional secara berkelanjutan
(partnership for sustainability).

Pelaksanaan program pada kalangan pekerja secara umum telah diatur melalui
Keputusan Menteri Tenaga Keja dan Transmigrasi RI No. 68 Tahun 2004 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat Kerja dan Keputusan
Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan No. 20 Tahun 2005 tentang
Petunjuk Teknis (P2 HIV & AIDS) di Tempat Kerja. Prinsip-prinsip kebijakan dalam
regulasi ini sejalan dengan Rekomendasi ILO No 200 Tahun 2010 tentang HIV &
AIDS di Dunia Kerja (HIV/AIDS and The World of Work), yang mewajibkan perusahaan
menjalankan program P2-HIV AIDS di tempat kerja untuk membuat lingkungan
kondusif, memberikan edukasi kepada pekerja, memberikan akses layanan HIV-AIDS
pada pekerja yang terkena dan tidak memberikan stigma dan diskriminasi.
Menteri Ketenagakerjaan RI juga telah mengembangkan program pemberian
penghargaan kepada perusahaan yang menerapkan secara konsisten ketentuan
dalam dua regulasi tersebut dan kepada pihak-pihak terkait yang berperan. Pedoman
pemberian penghargaan Program (P2 HIV & AIDS) di Tempat Kerja diatur melalui
Keputusan Keputusan Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan No.44
Tahun 2012.

Pembelajaran yang baik telah didapatkan melalui Implementasi program P2 HIV &
AIDS di Tempat Kerja yang diintegrasikan (dimasukkan) dalam program perlindungan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Integrasi program HIV & AIDS dengan program
K3 merupakan pendekatan yang strategis. Manajer SDM dan ahli K3 di perusahaan
khususnya ahli K3 (safety and health officer), dokter dan perawat kesehatan kerja di
perusahaan dilibatkan dalam program P2 HIV-AIDS di tempat kerja. Untuk itu perlu
diberikan edukasi dan pelatihan untuk selanjutnya mengembangkan program HIV
& AIDS di perusahaannya. Dengan pola seperti ini diharapkan program ini dapat
berjalan secara berkelanjutan seiring dengan program K3 di perusahaan.

Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang RI. No 40 Tahun 2004 tentang


RENCANA AKSI

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang RI. No. 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) maka semua pemberi kerja
baik swasta maupun PNS, TNI dan POLRI wajib mengikutsertakan semua pekerja/
karyawannya dalam program BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Kondisi ini
52 dapat menjadi penguat program bagi pekerja/karyawan untuk mendapatkan layanan
kesehatan dan perlindungan terkait HIV-AIDS

4.1.7. Pekerja Migran

Menjadi seorang pekerja migran bukanlah sebuah risiko untuk tertular HIV, tetapi
kondisi-kondisi yang menyertai pekerja migran selama proses migrasi itu yang
menyebabkan kerentanan mereka terhadap penularan HIV. Data HIV dan AIDS di
kalangan pekerja migran Indonesia hingga saat ini belum banyak tersedia, namun
pada tingkat regional, UNAIDS (2008) memperkirakan bahwa pekerja migran laki-laki
dan perempuan Asia dan pasangan mereka memiliki prevalensi HIV empat kali lebih
tinggi dari prevalensi normal yang ditemukan pada rekan-rekan mereka. Himpunan
Pemeriksa Tenaga Kerja Indonesia (HIPTEK) mendapati bahwa dari 145.289 calon
pekerja migran yang pergi ke Timur Tengah pada tahun 2005, 160 (0,11%) di antaranya
terdiagnosis dengan HIV-positif.

Migrasi bukanlah faktor penyebab langsung, tetapi terdapat kaitan antara epidemi
HIV dengan kelompok pekerja migran. Kaitan tersebut umumnya karena kondisi-
kondisi yang terjadi sepanjang perjalanan migrasi dan kurangnya perlindungan yang
diberikan kepada pekerja migran. Pekerja migran kerap menjadi objek pelanggaran
yang terjadi dalam konteks prosedur perekrutan, pekerjaan yang bersifat tidak
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

aman di luar negeri, akses yang terbatas untuk mendapatkan layanan informasi,
dukungan konseling dan test HIV yang belum memenuhi kaidah, perawatan medis,
sistem rujukan penanganan bagi pekerja migran HIV, eksploitasi, diskriminasi dan
penganiayaan, yang dikombinasikan dengan rendahnya kesadaran akan HIV dan
AIDS di kalangan pekerja migran, menempatkan pekerja migran rentan terhadap HIV
dan AIDS. Dimensi penting lainnya mengenai kerentanan ini adalah aspek feminisasi
dimana kebanyakan pekerja migran Indonesia adalah perempuan.

Untuk rencana aksi, fokus secara geografis perlu dilakukan pada daerah pengirim
utama pekerja migran, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/ kota.
Kementrian/ lembaga maupun pemerintah daerah perlu memperbarui pemetaan,
yang sudah dilakukan sebelumnya, untuk mengidentifikasi desa-desa di tingkat
kabupaten/ kota yang merupakan daerah asal pekerja migran. Daerah asal migran
yang secara geografis jauh dari akses pelayanan kesehatan dan informasi perlu
menjadi perhatian khusus. Kondisi negara tujuan yang dipilih pekerja migran
dipertimbangkan sebagai acuan materi informasi mengenai kerentanan yang perlu
disampaikan kepada pekerja migran. Fokus geografis lain adalah daerah-daerah yang
menjadi transit perjalanan pekerja migran ke luar negeri. Daerah tersebut umumnya

RENCANA AKSI
merupakan wilayah perbatasan antara Indonesia dengan negara tujuan, seperti
Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Contohnya, Batam, Kepulauan Riau,
Nunukan. Dan beberapa pelabuhan dan wilayah bandara yang biasa dilalui untuk
bermigrasi.
53
Fokus geografis lainnya adalah tempat-tempat dimana banyak terdapat penampungan
PJTKI/ PPTKIS dan BLKLN (Balai Latihan Kerja Luar Negeri), agar menjadi area program
pencegahan. Sarana kesehatan atau klinik pelaksana tes kesehatan juga menjadi
wilayah yang perlu dijangkau untuk menjamin tersebarnya informasi pencegahan
HIV dan AIDS kepada calon pekerja migran (melalui pelaksanaan konseling). Secara
khusus, implementasi tes HIV menerapkan Keputusan Menteri Kesehatan nomor
029/MENKES/SK/I/2008 tentang Pedoman Penatalaksanaan Konseling dan Testing
HIV bagi CTKI di semua tempat pelaksana tes kesehatan bagi pekerja migran (seperti
klinik anggota HIPTEK, GAMCA). Klinik pelaksana tes kesehatan ini umumnya berada
di daerah transit yaitu kota-kota yang menjadi tempat pemberangkatan langsung ke
luar negeri.

a. Peningkatan Pengetahuan Pekerja Migran tentang HIV dan AIDS

n Perluasan penyebaran informasi pencegahan di daerah asal pengirim maupun di


daerah transit.

n Peningkatan kualitas pelaksanaan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN).

n Peningkatan kualitas pelaksanaan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP).


n Penyediaan layanan informasi dan rujukan di luar negeri (dapat dimulai dengan
program orientasi pasca kedatangan KBRI/ KJRI, layanan hotline telepon 24 jam,
rujukan layanan kesehatan yang bersahabat dengan pekerja migran).

n Perluasan pemberdayaan masyarakat serta pekerja migran (dan keluarganya)


terkait pencegahan yang berbasis komunitas.

n Pelaksanaan konseling HIV dan AIDS dalam pemeriksaan kesehatan CTKI.

b. Perbaikan Sistem Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi Pekerja


Migran (dan Keluarga) yang Terinfeksi HIV

n Perluasan akses dan penyediaan layanan konseling dan tes HIV serta IMS di daerah
pengirim TKI (pemeriksaan kesehatan TKI di daerah masing-masing) termasuk PITC
saat berangkat serta inisiatif untuk penawaran tes berikut konseling saat mereka
kembali bekerja di luar negeri.

n Perbaikan pelaksanaan konseling pada tes HIV di sarana kesehatan pemeriksa CTKI.
RENCANA AKSI

n Pengembangan dan pelaksanaan sistem rujukan layanan bagi pekerja migran yang
terinfeksi HIV (baik hasil tes HIV di sarana kesehatan pada masa pra-penempatan,
maupun yang dideportasi karena terinfeksi HIV pada saat penempatan).
54
n Pengembangan kebijakan dan pelaksanaan kerjasama dengan negara penerima
untuk layanan lintas negara.

n Jaminan kualitas bagi sarana kesehatan melalui kunjungan monitoring berkala.

c. Mitigasi Dampak Sosial-Ekonomi

n Memastikan seluruh pekerja migran terinfeksi HIV memiliki jaminan kesehatan


(Jamkesmas, Jamkesda atau asuransi lainnya).

n Dukungan sosial dan ekonomi bagi pekerja migran HIV yang miskin.

d. Penciptaan Lingkungan yang Kondusif

n Perbaikan Undang Undang Penempatan dan Perlindungan TKI sehingga aspek


perlindungan semakin membaik (termasuk perlindungan dari infeksi HIV).

n Peningkatan pengetahuan dan keterlibatan staf kedutaan (KJRI, KBRI) terkait HIV
dan AIDS bagi pekerja migran.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

n Penyediaan sistem manajemen informasi yang handal terkait penempatan dan


perlindungan TKI.

n Penerapan perencanaan, prioritas dan implementasi program berbasis data


(khususnya advokasi pada 107 kabupaten/ kota prioritas pengirim dan daerah
transit TKI).

Menjadi PNS atau TNI/POLRI bukanlah sebuah risiko untuk tertular HIV, tetapi kondisi-
kondisi tertentu yang menyertai pekerjaannya memberikan risiko tersendiri untuk
penularan HIV dan IMS. Pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS di lingkungan
TNI, mengacu pada Peraturan Panglima TNI no. 64 tahun 2010 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penanggulangan HIV dan AIDS di Lingkungan TNI.

Sesuai dengan tujuan pengendalian HIV di lingkungan TNI dan Indonesia, yaitu
menurunkan angka kesakitan, kematian, dan diskriminasi serta meningkatkan
kualitas hidup ODHA, maka diperlukan upaya pengendalian serta layanan HIV berupa
perawatan dukungan dan pengobatan termasuk di fasilitas kesehatan TNI, dengan

RENCANA AKSI
upaya meliputi :

a. Pencegahan dilakukan dengan membentuk tenaga peer leader dikalangan TNI


yang bertugas terutama dalam pencegahan HIV dan AIDS dan sosilaisasi tentang
HIV dan AIDS 55
b. Penemuan kasus secara dini; Mandatory test, VCT/PITC di faskes TNI
c. Perawatan Dukungan dan Pengobatan yang dilaksanakan oleh faskes TNI
b. Menciptakan lingkungan kondusif: Advokasi kepada pimpinan TNI seluruh
angkatan.
c. Monitoring dan Evaluasi; laporan rutin bulanan, Triwulan, dan Semester, serta
Survey Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) setiap 4 tahun sekali, Sistem Informasi
Kesehatan Preventif Pencegahan HIV (Sikesprev) untuk sistem pelaporan kegiatan
peer leader pencegahan HIV di lingkungan TNI yang berbasis Web dan SMS
Gateway.

Fasilitas kesehatan TNI yang telah memberikan layanan HIV di Indonesia terdapat
di 13 provinsi dengan jumlah 23 diantara 124 RS TNI seluruh angkatan. Fasilitas
kesehatan TNI tidak hanya memberikan layanan kepada TNI dan keluarganya tetapi
juga memberikan layanan kepada masyarakat umum disekitarnya.
Gambar 4.1. Peta sebaran faskes TNI yang memberikan layanan HIV

Pengembangan sistem rujukan internal di kalangan faskes TNI sendiri, meliputi


regionalisasi dengan pusat referal di Indonesia Barat adalah RSPAD (Rumah Sakit Pusat
Angkatan darat) Gatot Soebroto, Jakarta. Regional Tengah di RSPAU (Rumah Sakit
RENCANA AKSI

Pusat Angkatan Udara) Dr Harjo Lukito, Yogyakarta dan regional Timur di RSAL (Rumah
Sakit Angkatan Laut) Dr Ramelan, Surabaya.

Sumber daya manusia kesehatan di layanan HIV pada fasilitas kesehatan TNI , dapat
56 dilihat pada grafik dibawah ini :

Gambar 4.2 Sumber Daya manusia di layanan HIV pada faskes TNI

Keterangan :
MK = Manajer Kasus
IMAI = Integrated Management of Adolescent and Adult Illness
PITC = Provider-Initiated Testing And Counselling
PMTCT = Prevention Of Mother-To-Child Transmission
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Rencana pengembangan layanan HIV-AIDS di faskes TNI dapat dilihat pada tabel di
bawah ini :

Tabel 4.2. Rencana Capaian Program Perawatan, Dukungan dan Pengobatan


HIV di Faskes TNI

No Populasi Kunci Baseline (%) 2015 2016 2017 2018 2019


1. Rumah Sakit Layanan HIV 23 28 33 38 43 48
2. VCT di Faskes TNI 36.476 46.476 56.476 66.476 76.476 86.476
3. Konselor HIV 75 95 115 135 155 175
4. Dokter terlatih layanan HIV 109 149 189 229 269 309
5. Perawat terlatih layanan HIV 128 168 208 248 288 328
6. Bidan terlatih layanan HIV 20 60 100 140 180 220
7. Manajer Kasus 21 61 101 141 181 221
8. Tenaga Farmasi 16 36 56 76 96 116
9. Petugas IMAI 41 61 81 101 121 141

RENCANA AKSI
10. Petugas PITC 73 103 133 163 193 123
11. Petugas PMTCT/PPIA 6 20 35 50 70 100

4.1.8. Tanah Papua

Penanggulangan HIV di Tanah Papua harus mempertimbangkan sejumlah tantangan 57


seperti mobilitas sumber daya, petugas kesehatan dan pasien yang sulit mengakses
layanan karena kondisi geografis, keterbatasan akses internet dan infrastuktur
transportasi yang terbatas. Begitu pula lingkungan sosial-politik yang menantang.
Tanah Papua berbeda dengan daerah lain di Indonesia karena HIV sudah menyebar
ke populasi umum.

Strategi untuk pencegahan HIV di Tanah Papua sesungguhnya sama dengan wilayah
Indonesia lainnya, namun usaha khusus perlu dilakukan:

n Penawaran tes HIV wajib dilakukan untuk semua ibu hamil.

n PPIA dengan opsi B+ harus diimplementasikan secara luas di seluruh kabupaten/


kota.

n Pendidikan HIV harus diberikan kepada populasi umum mapupun populasi kunci.

n Memprioritaskan semua anak muda dalam pemberian informasi HIV yang


komprehensif melalui pendidikan kecakapan hidup di sekolah dan luar sekolah,
akses ke layanan kesehatan, dan metode pencegahan seperti kondom.
n Perhatian khusus diperlukan untuk meningkatkan retensi pasien terhadap
pengobatan. Berbagai strategi yang efektif harus diidentifikasi dan
diimplementasikan, terutama berkenaan dengan jarak dari rumah ke layanan
kesehatan, tingkat melek pengobatan, kesadaran akan kesehatan, budaya, dan
faktor sosial dan ekonomi.

n Intervensi struktural melibatkan tokoh agama dan adat dalam penanggulangan


HIV.

n Pengadaan logistik HIV dari tingkat nasional dalam implementasinya harus


disesuaikan dengan keadaan antropologi masyarakat dan struktur geografis Tanah
Papua.

4.1.8. Pencegahan oleh orang HIV yang telah mengetahui statusnya

Penekanan pencegahan masih terbatas pada pencegahan penularan di kalangan


orang yang belum mengetahui status HIV-nya. Mencegah penularan HIV pada
seorang yang sudah terinfeksi HIV mempunyai potensi mencegah penularan yang
RENCANA AKSI

berlipat ganda dibanding mencegah penularan pada satu orang yang tidak terinfeksi
HIV karena pencegahannya hanya kepada satu orang. Pencegahan bagi orang
dengan HIV yang telah mengetahui status HIV-nya, mencegah mutasi HIV dengan
menghindari re-infeksi HIV dan menjadikannya tetap sehat. Upaya yang perlu
58 dilakukan sebagai daya ungkit pencegahan, dengan melibatkan orang dengan HIV
yang telah mengetahui status HIV-nya adalah sebagai berikut:

n ODHA yang telah mengetahui status HIV-nya harus dirujuk ke layanan pencegahan
terintegrasi dengan layanan konseling berkelanjutan melalui Konseling dan Tes
HIV (KTH) serta layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (KSR).

n ODHA yang telah mengetahui status HIV-nya dijangkau untuk mendapatkan


edukasi pilihan pencegahan dan kegiatan pencegahan positif melalui kelompok-
kelompok ODHA dengan peran dukungan sebaya.

n Tersedianya informasi tentang seks aman, infeksi ulang, pilihan kesehatan


reproduksi, dampak pengobatan ARV, menyuntik yang aman tersedia pada setiap
layanan HIV termasuk rumah sakit, PKM, klinik KB, LSM dan kelompok dukungan
ODHA.

n Pemberdayaan ODHA sebagai fasilitator sebaya dalam menginisiasi prinsip


pencegahan positif sebagai bagian dari intervensi perubahan perilaku.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

4.2. Mengurangi Infeksi HIV Vertikal

4.2.1. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak

n Menggunakan Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan sifilis dari


Ibu Ke Anak Bagi Petugas Kesehatan (2014), Pedoman Manajemen Program
Pencegahan Penularan HIV dan sifilis dari Ibu ke Anak (2015), Peraturan Menteri
Kesehatan nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS serta Surat
Edaran nomor GK/Menkes/001/I/2013 tentang Layanan Pencegahan Penularan
HIV dari Ibu ke Anak sebagai acuan utama dalam pencegahan penularan HIV
vertikal dan memastikan implementasinya sesuai standar di daerah.

n Peraturan Menteri Kesehatan nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan


HIV dan AIDS menyatakan bahwa Tes dan Konseling HIV dianjurkan sebagai
bagian dari pemeriksaan laboratorium rutin saat pemeriksaan asuhan antenatal
atau menjelang persalinan pada semua ibu hamil yang tinggal di daerah dengan
epidemi meluas dan terkonsentrasi; dan ibu hamil dengan keluhan keluhan IMS
dan tuberkulosis di daerah epidemi rendah.

RENCANA AKSI
n Surat Edaran nomor GK/Menkes/001/I/2013 tentang Layanan Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak menyatakan Pelaksanaan kegiatan PPIA
diintegrasikan pada layanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana
(KB) dan Konseling Remaja; setiap perempuan yang datang ke layanan KIA-KB dan 59
remaja yang mendapat layanan kesehatan diberi informasi tentang PPIA.

n Penggunaan ARV bagi ibu hamil dengan HIV positif dan penggunaan profilaksis
bagi bayi baru lahir dari ibu HIV positif.

n Penyediaan layanan PPIA, terutama di Tanah Papua dan kota-kota.

n Penerapan KTIP (PITC) di layanan KIA untuk mempercepat upaya pencegahan.

n Membuka akses pilihan kontrasepsi bagi laki-laki dengan HIV positif dan
pasangannya selain kondom.

n Meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan, termasuk Bidan tentang PPIA.

n Mengoptimalkan peran jaringan komunitas perempuan positif untuk koordinasi


dan komunikasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan penelitian terkait
HIV baik di tingkat nasional maupun daerah.

n Melalui kebijakan yang kuat dan implementasi pedoman yang komprehensif


sejak 2012, termasuk dengan pengintegrasian PPIA ke dalam layanan ANC, telah
memperkuat cakupan dan pelaksanaan PPIA serta meningkatkan deteksi jumlah
ibu hamil yang HIV positif.
n Pada tahun 2014 sebanyak 268.308 ibu hamil berusia di atas 15 tahun menerima
konseling dan tes HIV serta memperoleh hasil tes mereka dalam 12 bulan terakhir.
Angka ini lebih dari dua kali lipat cakupan tahun 2013 yaitu sebesar 100.296. Namun
dari wanita yang dinyatakan positif, baru 78,8% (1624/2061) yang menerima ART
untuk mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak, meningkat dari 51,86%
(1544/3135) pada tahun 2013.

n Pada tahun 2013, lebih dari 25% dari bayi yang lahir dari ibu HIV positif menerima
tesvirologi HIV dalam waktu 2 bulan kelahiran (angka ini tidak dilaporkan
sebelumnya).
n Sampai Oktober tahun 2014, terdapat 915 layanan (163 Rumah sakit, 743 Puskesmas
dan 9 Klinik di 33 Provinsi) melaporkan telah melakukan tes HIV pada ibu hamil
(data P2PL tahun 2014).

4.2.2. Mengurangi Dampak Infeksi HIV pada Anak

n Memperluas akses deteksi dini bagi bayi yang terlahir dari ibu positif HIV.
RENCANA AKSI

n Meningkatkan cakupan pengobatan pediatrik, termasuk pelatihan staf layanan


kesehatan.

n Menyediakan layanan kepatuhan minum obat untuk anak, termasuk penyediaan


60
layanan yang peka terhadap perkembangan psikologis dan kognitif anak, layanan
tumbuh kembang, pengungkapan status HIV dan layanan transisi dari anak ke
dewasa.

4.3. Perawatan, Dukungan dan Pengobatan

4.3.1. Meningkatkan Aksesibilitas Tes HIV

n Penjangkauan dan rujukan ke layanan tes.

n Menggunakan cara-cara yang inovatif dalam menjangkau populasi kunci sehingga


berdampak pada peningkatan jumlah orang yang melakukan tes HIV, termasuk
penggunaan media sosial.

n Menormalkan tes HIV dan mendukung komunitas untuk menggunakan teknologi


baru untuk tes HIV.

n Menjaga jumlah pasien dalam cascade perawatan dan pengobatan termasuk


infeksi TB-Hepatitis.

n Pelaksanaan TPIK pada fasilitas kesehatan di 141 kabupaten/ kota prioritas.


Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

n Meningkatkan kapasitas laboratorium dan manajemen rantai pasokan.

n Memastikan ketersediaan ARV pediatrik, termasuk pilihan rejimen, formulasi ARV,


serta menyediakan pedoman bagi penyedia layanan kesehatan dan pengasuh
anak.

n Ketersediaan layanan pemantauan klinis dan laboratoris termasuk sediaan tes


resistensi dan diagnosis dini bagi bayi.

n Mengintegrasikan layanan IMS dan HIV di fasilitas antenatal dan integrasi layanan
TB-HIV, dan HIV-Hepatitis.

4.3.2. Menanggulangi Stigma dan Diskriminasi

n Mengambil upaya yang berorientasi pada penghapusan stigma dari petugas


layanan kesehatan kepada ODHA dan populasi kunci melalui pendidikan,
sensitisasi, dan penegakan kebijakan.

RENCANA AKSI
n Mengembangkan intervensi yang dapat mengurangi stigma di tempat layanan,
tempat kerja, sarana pendidikan, dan masyarakat luas.

n Mendorong keterlibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama sebagai bagian dari
kampanye anti stigma dan diskriminasi. 61

4.3.3. Inisiasi dan Retensi Pengobatan

n Pemberdayaan ODHA dengan dukungan sebaya untuk mendorong inisiasi dan


kepatuhan minum obat.

n Mengintegrasikan tes dan layanan HIV untuk meningkatkan cakupan layanan


melalui desentralisasi dengan membentuk 475 puskesmas satelit yang dapat
memberilan layanan ART, dengan monitoring dari rumah sakit pengampu.

n Desentralisasi harus didukung oleh pengalihan tugas sehingga layanan dapat


dilakukan mulai dari rumah sakit rujukan sampai puskesmas.

4.3.4. Ketersediaan dan Keterjangkauan Obat terkait HIV

n Menjamin ketersediaan ARV lini 2.

4.3.5. Akselerasi dan Implementasi SUFA

n Meningkatkan jumlah orang yang melakukan tes, perawatan dan mendapatkan


ARV bagi orang yang memenuhi syarat dan meningkatkan retensi dan kepatuhan.
n Peningkatan kapasitas dari 75 kabupaten/ kota prioritas dalam mengelola sistem
LKB dan mengimplementasikan SUFA.

n Tim nasional dukungan teknis perlu terus bertanggungjawab dalam perencanaan,


supervisi, mentoring, monitoring berbasis data real-time, evaluasi SUFA, serta
dukungan intensif bagi 75 kabupaten/ kota prioritas.

n Menyediakan fasilitator atau narasumber bagi kabupaten/ kota prioritas yang


membutuhkan untuk mendukung perencanan, pemetaan, membangun
kemitraan, sistem rujukan, pemantauan dan evaluasi, advokasi anggaran bagi
pembeli obat, peralatan tes, reagen, serta dukungan bagi komunitas.

n Mendukung kabupaten/ kota prioritas untuk menyiapkan rencana tahunan


dengan target pengobatan yang lebih ambisius.

n Peningkatan kapasitas Dinas Kesehatan di 75 kabupaten/ kota prioritas SUFA


untuk meningkatkan kualitas dukungan teknis didaerahnya, terutama dalam hal
merespon cascade pengobatan dan desentralisasi layanan.
RENCANA AKSI

n Pelibatan populasi kunci untuk memperkuat pemetaan, perencanaan dan


penyediaan layanan.

62 n Membuat strategi di tingkat lokal untuk mencegah transmisi HIV vertikal dan
memperluas layanan bagi perempuan hamil dan anak yang terdiagnosis HIV.

n Mengembangkan model tes berbasis komunitas untuk meningkatkan jumlah


tes antara lain dengan cara meningkatkan layanan penjangkauan, layanan tes
yang lebih dekat dengan target sasaran, pemanfaatan media sosial, metode
penjangkauan dan rujukan yang lebih efektif, dan memperkuat dukungan
kapasitas laboratorium dan supply chain management.

4.3.6. Desentralisasi Layanan HIV ke dalam Sistem Layanan Primer

Desentralisasi layanan HIV ke dalam sistem layanan primer, konsep LKB-PMTS


mendorong integrasiutuh layanan IMS, HIV serta Kesehatan Seksual dan Reproduksi,
serta layanan Antenatal dan layanan penyakit kronis termasuk layanan diagnostik
kanker serviks dan TB:

n Peningkatan dan penguatan desentralisasi layanan HIV ke Puskesmas.

n Pembentukan Pokja dan rencana terinci perlu disiapkan segera.

n Kebijakan yang menghambat perluasan SUFA perlu ditinjau.


Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

n Integrasi TB-HIV merupakan prioritas, termasuk pembentukan pokja TB-HIV.

n Pemberian dukungan teknis di tingkat lokal, termasuk PMTS, tes IMS rutin, VCT,
rujukan.

n Mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk memperkuat implementasi


panduan layanan dan monitoring kepatuhan minum obat.

n Desentralisasi kegiatan terkait HIV dengan kegiatan berbasis komunitas.

4.4. Mitigasi Dampak

n Program mitigasi dampak perlu memanfaatkan skema jaminan kesehatan dan sosial.
Koordinasi dan kerjasama dengan penyedia jaminan untuk mengkonsolidasikan
pedoman dan standarisasi bersama BPJS dan Kementerian Kesehatan untuk
memperluas cakupan diagnostik dan pengobatan HIV.

n Anak dengan HIV dan anak dari ODHA mendapatkan perlindungan sosial,

RENCANA AKSI
pemenuhan atas hak anak, termasuk hak atas pendidikan dan kesehatan, serta
dukungan psiko-sosial. Orang tua atau keluarga yang mengasuh anak dengan
HIV dan anak dari ODHA mendapatkan peningkatan kapasitas dan keahlian dalam
bidang perawatan dan pemberdayaan ekonomi.
63
n Menghilangkan hambatan biaya pengobatan bagi ODHA dan populasi kunci
melalui penyertaan layanan HIV yang lebih luas ke dalam JKN.

n Menyediakan kesempatan pendidikan, layanan kesehatan, dukungan gizi dan


dukungan ekonomi untuk ODHA dan keluarganya. Kriteria untuk menentukan
kebutuhan mitigasi perlu dibuat.

n Memperkuat mekanisme menyesuaikan diri bagi ODHA dan Populasi Kunci dengan
lingkungan sosial dan pemberdayaan ekonomi melalui peningkatan kapasitas
organisasi ODHA, penyediaan layanan mitigasi bagi perempuan ODHA yang sulit
dijangkau, meningkatkan akses terhadap layanan yang bersahabat dan dukungan
sosial dan ekonomi bagi rumah tangga yang terdampak HIV dan pengasuhnya.

n Pendokumentasian dampak dari kebijakan nasional dan daerah terkait HIV dan
AIDS terhadap populasi kunci.

n Mempromosikan akses mediasi dan perlindungan hukum bagi ODHA, termasuk


akses terhadap layanan kesehatan.
n Penyusunan panduan mengenai cara penyediaan layanan dan perlindungan bagi
ODHA, serta petunjuk teknis yang jelas bagi rumah sakit dan penyedia layanan
kesehatan lainnya.

n Mempromosikan akses terhadap JKN dengan meningkatkan pengetahuan


populasi kunci dan komunitas terkait prosedur/ tatacara menjadi anggota JKN.

n Mendorong untuk dilakukannya perencanaan pengintegrasikan pelayanan HIV ke


dalam JKN dan melakukan advokasi terkait pembiayaan dalam hal pengobatan
dan pencegahan HIV ke dalam JKN.

n Pemberdayaan masyarakat yang telah ditetapkan dalam berbagai kebijakan


pemerintah adalah strategi penting untuk menghilangkan diskriminasi terhadap
orang terinfeksi HIV dan sekaligus sebagai bentuk mekanisme partisipasi masyarakat
dari tingkat bawah dalam mendukung akses layanan kesehatan dan sosial dari
mereka yang terinfeksi. Pelaksanaan Warga Peduli AIDS, Pokja AIDS Kecamatan dan
berbagai nama lainnya adalah model yang perlu dipastikan pelaksanaannya pada
kabupaten/ kota prioritas di seluruh Indonesia.
RENCANA AKSI

n Perlunya sistem pendataan dan monitoring berbagai upaya mitigasi dampak sosial
dan ekonomi yang sudah dilaksanakan (bersumber dana pusat dan kabupaten/
kota) serta kesepahaman terkait prosedur program mitigasi yang ramah orang
64 terinfeksi & populasi kunci (antara lain pembukaan status kepada kelompok
terbatas).

B. Critical Enablers

4.5. Lingkungan yang Mendukung


4.5.1. Integrasi Perlindungan HAM dan KeberpihakanJender

4.5.1.1. Perencanaan

n Peningkatan kapasitas ODHA dan populasi kunci dalam hal advokasi kebijakan,
advokasi keuangan, serta hal-hal lainnya yang mampu mendukung terwujudnya
keterlibatan yang bermakna dari ODHA dan populasi kunci dalam perencanaan
program dan pengembangan kebijakan.

n Memastikan adanya keterlibatan ODHA dan populasi kunci, maupun kelompok


yang mewakili kepentingan ODHA dan populasi kunci secara bermakna dalam
setiap tahapan perencanaan program maupun kebijakan.

n Mendorong lahirnya serangkaian peraturan perundang-undangan yang


menguatkan perlindungan Hak Asasi Manusia ODHA dan populasi kunci, terutama
di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

n Penegakan peraturan yang kondusif dalam melindungi kelompok masyarakat


yang tidak terinfeksi HIV tetapi rentan terinfeksi karena kelemahan posisi ekonomi
dan relasi gender mereka terhadap kelompok yang memiliki perilaku recklessly
(seperti ibu rumah tangga dan pekerja seks perempuan) menjadi tantangan untuk
ditegakkan. Hal ini menjadi bagian dari dikenalkannya intervesi secara struktural
pada SRAN 2010-2014 tetapi masih sangat sedikit bentuk pelaksanaannya yang
effektif di lapangan. Beberapa good practice yang langsung berkenaan dengan
upaya ini perlu diterapkan secara bertahap sehingga faktor penentu sosial yang
menghambat upaya pencegahan penularan HIV ini dapat diselesaikan pada
periode SRAN 2015-2019.

n Telah cukup banyak tersedia kebijakan yang kondusif dan berkaitan dengan
penanggulangan AIDS (lebih dari 100 kebijakan tingkat nasional yang tersedia
saat ini), mekanisme implementasi adalah bagian yang perlu menjadi perhatian
penting pada fase berikutnya dalam response terhadap penanggulangan AIDS,
diperlukan mekanisme dan upaya yang lebih baik terhadap struktur dan budaya
hukum sehingga tujuan dari kebijakan tersebut dapat terpenuhi.

RENCANA AKSI
4.5.1.2. Pemantauan

n Perlu dikembangkan indikator program penanggulangan AIDS yang dapat


melihat tingkat pemenuhan Hak Asasi Manusia dan keberpihakan jender, termasuk
diantaranya kualitas jender. 65

n Melakukan audit kebijakan dan program di tingkat nasional, provinsi dan


kabupaten/ kota sampai desa yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak
Asasi Manusia dan kesetaraan jender.

n Menyesuaikan kebijakan daerah dengan kebijakan nasional, sehingga terwujudnya


kebijakan yang saling mendukung satu dengan yang lainnya, dengan tetap
memperhatikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan kesetaraan jender, guna
memastikan keberpihakan jender dan perlindungan hak-hak perempuan, ODHA
dan populasi kunci dalam bidang pekerjaan, pendidikan dan kesehatan.

n Mengembangkan dokumentasi tentang dampak hukum kebijakan dan program


penanggulangan HIV dan AIDS pada perempuan, populasi kunci ODHA baik
tingkat nasional dan kabupaten/ kota.

n Melakukan studi indeks stigma untuk mengembangkan dokumentasi dasar untuk


stigma dan diskriminasi yang dialami ODHA dan populasi kunci.

n Mendorong lahirnya panduan yang dapat mengoptimalkan kepatuhan maupun


kesesuaian peraturan di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota terhadap standar
Hak Asasi Manusia internasional.
4.5.1.3. Peningkatan Kapasitas

n Menyelenggarakan pelatihan secara berkala dan bertahap bagi pelaksana


program (termasuk staf KPA tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/ kota),
petugas kesehatan dan penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa, sipir penjara
dan petugas layanan publik lainnya guna meningkatkan pemahaman mengenai
isu HIV dan sensitivitas terhadap ODHA dan populasi kunci.

n Meningkatkan kesadaran ODHA dan populasi kunci mengenai isu hukum, Hak
Asasi Manusia dan keberpihakan jender melalui penyuluhan maupun pelatihan
Hak Asasi Manusia dan jender baik di tingkat nasional maupun di tingkat provinsi
dan kabupaten/ kota.

n Menyediakan peluang terselenggaranya pelatihan-pelatihan yang bertujuan


meningkatkan kapasitas ODHA dan populasi kunci dalam hal advokasi, hukum dan
lainnya yang mendukung pemberdayaan hukum terhadap ODHA dan populasi
kunci.
RENCANA AKSI

n Menciptakan paralegal berbasis komunitas yang berkualitas guna meningkatkan


akses terhadap keadilan bagi ODHA dan populasi kunci.

n Memastikan keterjangkauan ODHA dan populasi kunci terhadap akses keadilan,


66 termasuk bantuan hukum cuma-cuma dengan mengoptimalkan kerjasama antara
ODHA, populasi kunci serta pihak yang relevan dengan organisasi penyedia jasa
bantuan hukum, baik yang didanai oleh pemerintah maupun yang tidak.

n Mengupayakan terciptanya unit kerja khusus perlindungan Hak Asasi Manusia


pada lembaga penanggulangan AIDS (KPA Nasional, Provinsi, Kabupaten/ Kota)
dengan tugas untuk memastikan pelaksanaan program penanggulangan HIV
sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia internasional.

4.5.1.4 Mobilisasi Sosial

n Mengambil upaya guna meningkatkan kesadaran masyarakat umum dan para


pemangku kepentingan terkait AIDS, jender dan Hak Asasi Manusia, termasuk hak-
hak perempuan ODHA dan populasi kunci lainnya.

n Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya penanggulangan


kekerasan berbasis jender untuk mengurangi kerentanan terhadap HIV dan AIDS.

n Melakukan pendekatan pada organisasi yang menyediakan layanan dukungan


psiko-sosial, serta layanan-layanan lain yang dapat membantu melaksanakan
mitigasi dampak bagi ODHA dan populasi kunci, serta memberikan pemahaman
pada organisasi mengenai peran penting mereka dalam penanggulangan HIV.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

n Melakukan pendekatan kepada media massa dan jurnalis sekaligus memberikan


pemahaman HIV, Hak Asasi Manusia dan jender guna meningkatkan sensitivitas
terhadap isu HIV dan populasi kunci dalam pemberitaan-pemberitaan yang
dilakukan.

n Pendidikan mengenai keberagaman termasuk pilihan orientasi seksual, perlu


ditingkatkan melalui kampanye memerangi homofobia dan transphobia yang
menghambat intervensi HIV dan AIDS.

n Mendorong ODHA dan populasi kunci untuk memperkuat kerjasama dengan


organisasi masyarakat sipil yang bekerja dalam isu perlindungan HAM dan
keberpihakan jender baik di tingkat nasional maupun internasional.

4.5.2. Penguatan Sistem Komunitas


4.5.2.1 Penguatan Perencanaan dan Pemantauan Program yang Inklusif dan
Partisipatif

RENCANA AKSI
n Penguatan sistem komunitas (CSS) dalam penanggulangan AIDS bertujuan
untuk mencapai hasil kesehatan yang lebih baik dengan partisipasi aktif populasi
terdampak serta organisasi berbasis masyarakat dalam melakukan disain,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi layanan dan kegiatan yang berkaitan dengan
pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan bagi ODHA. Peningkatan 67
kapasitas komunitas terkait pelaksanaan LKB dan keterkaitannya dengan intervensi
Pengurangan Dampak Buruk, PMTS dan SUFA perlu semakin ditingkatkan.

n Pemantauan pelaksanaan program berbasis komunitas seperti halnya iMonitor+


penting untuk dilakukan agar dapat menciptakan mekanisme umpan balik bagi
pelaksanaan penanggulangan AIDS baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/
kota dan hingga di tingkat layanan. Perlu ada pengukuran kualitas hidup ODHA
sebagai dampak dari program dengan menggunakan instrumen yang teruji.
Pengembangan indikator layanan ramah komunitas perlu menjadi perhatian.

4.5.2.2 Penguatan Ketertautan (linkage) antara Layanan Pencegahan Berbasis


Komunitas dan Layanan Kesehatan pada Umumnya dan Khusus (layanan
pencegahan berbasis komunitas?)

LKB bertujuan untuk menguatkan sistem kesehatan yang terintegrasi dengan sistem
komunitas agar dapat meningkatkan cakupan pencegahan dan pengobatan IMS dan
HIV; memperluas layanan HIV bagi populasi kunci pada fasilitas layanan kesehatan
primer dan komunitas; meningkatkan respon tenaga kesehatan; memperluas
pengobatan ARV melalui layanan yang terdesentralisasi; dan mitigasi dampak sosial-
ekonomi.
Dibutuhkan sistem rujukan yang baik dari layanan pencegahan berbasis komunitas ke
layanan kesehatan dan sebaliknya, untuk memastikan populasi kunci yang terjangkau
memperoleh layanan yang komprehensif mulai dari intervensi perubahan perilaku,
ke akses tes HIV dan konseling, sampai ke pengobatan ARV dan dukungan psiko-
sosial untuk mempertahankan pengobatan dan memperbaiki kualitas hidup ODHA.
Peningkatan kapasitas komunitas untuk mendorong kemitraan yang sejajar dengan
layanan kesehatan serta Komisi Penanggulangan AIDS setempat perlu menjadi
perhatian.

Peningkatan kapasitas juga perlu dilakukan untuk mendukung komunitas


meningkatkan kualitas intervensi dan layanan yang dilakukan, khususnya untuk
menjangkau populasi kunci dengan pendidikan perilaku sehat, mendorong akses tes
dan konseling HIV; mendorong inisiasi dini pengobatan serta memberikan dukungan
psiko-sosial untuk retensi dalam pengobatan. Dukungan perlu diberikan dengan
penggunaan ICT dalam melakukan intervensi berbasis komunitas.

4.5.2.3 Pemberdayaan Komunitas Populasi Kunci dan ODHA


RENCANA AKSI

Pemberdayaan komunitas populasi kunci dan ODHA adalah kunci untuk kemandirian
melakukan akses layanan HIV dan AIDS yang berkelanjutan yang didasarkan atas
kebutuhan komunitas untuk hidup sehat, baik untuk melindungi diri dari infeksi HIV
maupun untuk menjaga kualitas hidup ODHA.
68
Dukungan perlu diberikan terhadap mobilisasi kelompok populasi kunci seperti
Penasun, Pekerja Seks, LSL, Waria dan ODHA. Khususnya untuk terciptanya kelompok
dukungan sebaya yang memberikan lingkungan yang aman dan kondusif bagi
penjangkauan untuk pencegahan, pengobatan, dukungan dan perawatan sebaya
dalam penanggulangan AIDS.

4.5.2.4. Dukungan Aktivisme, Advokasi dan Mobilisasi Sosial oleh Komunitas


Dalam Rangka Pemenuhan HAM dan Keberpihakan Jender

Komunitas memiliki peran penting dalam melakukan pemantauan pelaksanaan


program berbasis komunitas sebagai mekanisme umpan balik bagi pelaksanaan
penanggulangan AIDS baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/ kota hingga
di tingkat layanan. Umpan balik komunitas dapat menjadi kerangka advokasi dan
mobilisasi sosial oleh komunitas untuk mendorong akuntabilitas dan perbaikan dalam
upaya penanggulangan AIDS baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/ kota.

Dukungan Pendanaan Komunitas bagi Keberlanjutan Program Penanggulangan AIDS


Penguatan komunitas perlu dilakukan dengan kemitraan bersama berbagai pemangku
kepentingan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/ kota dan desa. Penguatan
komunitas perlu diterjemahkan dalam bentuk alokasi anggaran yang berkelanjutan.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Kebijakan yang mendukung perlu didorong untuk menjamin keberlanjutan program


penanggulangan AIDS berbasis komunitas. Kapasitas komunitas dan pemangku
kepentingan lain di tingkat provinsi, kabupaten/ kota perlu ditingkatkan dalam hal
perencanaan dan pembiayaan layanan terkait HIV yang berbasis komunitas.

4.5.3. Penguatan Sistem Kesehatan

4.5.3.1. Memperkuat Layanan HIV melalui LKB

Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) bertujuan untuk menguatkan


sistem layanan kesehatan primer (Puskesmas) yang terintegrasi dengan pencegahan
berbasis komunitas seperti PMTS dan Pengurangan Dampak Buruk NAPZA melalui
kerjasamaantara pemerintah kabupaten/ kota, pengelola layanan kesehatan,
masyarakat sipil, komunitas serta populasi kunci dan ODHA. Ini semua agar dapat
meningkatkan cakupan pencegahan dan pengobatan IMS dan HIV, memperluas
layanan HIV bagi populasi kunci pada fasilitas layanan kesehatan primer dan komunitas,
serta memperluas pengobatan ARV melalui layanan yang terdesentralisasi.

RENCANA AKSI
Implementasi kebijakan untuk memperluas tes HIV dan inisiasi dini ARV kepada
populasi kunci (SUFA) diperluas dari 13 kabupaten/ kota menjadi 75 kabupaten/ kota
pada tahun 2015. Untuk melakukan antisipasi peningkatan tes HIV dan inisiasi dini
ART di tingkat kabupaten/ kota, Puskesmas perlu ditingkatkan kapasitasnya untuk
dapat memulai pengobatan ARV dengan mentoring klinis dari Rumah Sakit setempat. 69
Dalam kerangka tersebut, jaringan layanan LKB perlu diperkuat dan diperluas untuk
mencakup lebih dari 5 Puskesmas di tingkat kabupaten/ kota khususnya di kabupaten/
kota dengan kinerja tinggi. Kelompok kerja LKB perlu dikuatkan di tingkat kabupaten/
kota dengan koordinasi yang erat antara layanan dan pencegahan berbasis komunitas
seperti PMTS dan Pengurangan Dampak Buruk NAPZA.

Integrasi layanan HIV dan Kespro termasuk IMS dalam konteks PMTS perlu
mendapatkan perhatian khusus terutama di tingkat layanan primer. IMS dan HIV
harus diintegrasikan ke dalam layanan kesehatan seksual dan reproduksi, dan layanan
HIV juga perlu terintegrasi dengan layanan kesehatan ibu dan anak serta layanan
kesehatan jiwa dalam konteks pemulihan adiksi untuk pengguna NAPZA.

Integrasi layanan HIV dan TB perlu mendapatkan perhatian khusus, tidak hanya di
rumah sakit, tetapi juga layanan primer. Masih banyak tantangan dihadapi dalam
rangka mengkombinasikan kedua layanan ini, walaupun banyak di antara pasien
HIV adalah juga terinfeksi TB, dan sebaliknya, pasien TB adalah ODHA. Tidak hanya
pedoman dan tatalaksana kolaborasi TB-HIV perlu diperbarui, tetapi juga upaya
peningkatan kapasitas dan penyiapan infrastrukturnya, baik dalam hal manajemen
maupun sumber daya manusianya. Kelompok Kerja TB-HIV perlu dikuatkan di tingkat
kabupaten/ kota untuk mendorong koordinasi yang lebih erat antar layanan TB dan
HIV di sektor kesehatan.
Kolaborasi TB-HIV di beberapa lokasi membutuhkan tindakan yang lebih intensif,
seperti di lingkungan pemasyarakatan, ataupun di berbagai lokasi di Tanah Papua.
Untuk membantu percepatan ketersediaan layanan TB-HIV yang berkualitas,
dibutuhkan dukungan teknis. Beberapa rumah sakit yang memiliki kerjasama erat
dengan perguruan tinggi setempat dapat menjadi model dalam pengembangan
integrasi yang lebih menyeluruh, termasuk rujukan dan dukungan sosial terkait
kepatuhan minum obat.

4.5.3.2 Meningkatkan Kapasitas SDM Kesehatan Khususnya untuk Meningkatan


Pengetahuan Teknis, Memberikan Layanan Berkualitas dan Mendorong
Terciptanya Layanan Ramah Komunitas

Investasi perlu dialokasikan untuk mendorong terciptanya layanan berkualitas dan


ramah komunitas. Pelatihan dan dukungan di tingkat layanan hingga di tingkat layanan
primer perlu diberikan untuk meningkatan kemampuan teknis dalam memberikan
layanan terkait HIV dengan mentoring klinis secara terstruktur. Pelatihan dan dukungan
perlu diberikan dengan fokus untuk menurunkan stigma dan diskriminasi terhadap
perempuan, ODHA, populasi kunci. Secara khusus perlu pula diberikan dukungan
RENCANA AKSI

untuk peningkatan kapasitas terkait Hak Asasi Manusia dan Jender.

Penguatan laboratorium melalui pelaksanaan sistem EQAS, termasuk upaya


peningkatan kualitas program.
70
4.5.3.3. Meningkatkan Kualitas Informasi Kesehatan dan Program HIV, serta
Kapasitas Pengelolaan dan Analisis Data Khususnya di Provinsi dan
Kabupaten/ Kota

Penguatan diperluas bagi pengumpulan data rutin seperti Sistem Informasi HIV dan
AIDS (SIHA) maupun sistem surveilans penyakit, untuk memenuhi kebutuhan data
yang berkualitas di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota khususnya di 75 kabupaten/
kota dengan kinerja tinggi, dan meningkatkan kapasitas daerah untuk melakukan
integrasi, interpretasi, dan menggunakan data secara efektif untuk perencanaan
maupun pemantauan.

Infrastruktur dan kapasitas sumber daya Puskesmas untuk berpartisipasi aktif dalam
SIHA perlu terus ditingkatkan, khususnya dalam memperbaiki keteraturan pelaporan
dan interkonektivitas data di tingkat Puskesmas.

Pelaporan informasi kesehatan perlu dibuat secara real-time dan sistematis melalui
HIV Zero Portal dengan memberikan fokus pada pemantauan laporan cascade mulai
dari pencegahan, tes HIV, pengobatan HIV hingga retensi pengobatan di tingkat
nasional, provinsi serta kabupaten/ kota. Pengembangan indikator layanan ramah
komunitas perlu menjadi perhatian sektor kesehatan.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Evaluasi proses secara rutin perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan
penanggulangan AIDS khususnya LKB/ PMTS/ SUFA.

Perlu pula diperhatikan pemantauan efektivitas pengobatan melalui pemeriksaan CD4


dan viral load sesuai dengan pedoman WHO dengan menyertakan Early Warning
Indicators Monitoring, Surveillance of pre-treatment, HIV DR/ PDR dan Surveillance of
Acquired HIVDR/ ADR.

Perlu ada pengukuran kualitas hidup ODHA sebagai dampak dari program dengan
menggunakan instrumen yang teruji. Pengembangan indikator layanan ramah
komunitas perlu menjadi perhatian sektor kesehatan.

Perlu keterlibatan perguruan tinggi untuk mendukung penelitian implementasi dan


penelitian evaluasi, dengan fokus di 75 kabupaten/ kota prioritas.

4.5.3.4 Menguatkan Manajemen Rantai Pasokan (SCM) bagi Pencegahan dan


Pengobatan HIV

RENCANA AKSI
Dukungan juga perlu diberikan untuk eksplorasi dan ekspansi penggunaan ICT
dalam melakukan intervensi berbasis komunitas. Alat monitoring pasokan berbasis
komunitas seperti iMonitor+ perlu digunakan untuk mendapatkan umpan balik
terhadap perbaikan manajemen mata rantai pasokan (SCM) khususnya kondom,
pelicin, alat suntik steril, dan ARV serta obat-obatan terkait HIV. 71

4.5.3.5. Menguatkan Kapasitas Perencanaan dan Pembiayaan Sektor Kesehatan


untuk AIDS di tingkat Provinsi, Kabupaten/ Kota

Keberlanjutan upaya penanggulangan HIV dan AIDS tergantung pada tingkat


pendanaan yang memadai untuk mendukung dan memperkuat upaya
penanggulangan. Dengan menurunnya dukungan dana luar negeri bagi upaya
penanggulangan AIDS di Indonesia, perlu didorong adanya alokasi dana yang
memadai tidak hanya di tingkat nasional namun juga di tingkat provinsi, kabupaten/
kota bagi upaya penanggulangan AIDS nasional.

Sektor kesehatan perlu memperkuat kapasitas perencanaan dan pembiayaan untuk


penanggulangan AIDS tidak hanya di tingkat nasional namun juga di tingkat provinsi,
kabupaten/ kota. Dengan implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
dikelola oleh BPJS, transisi pembiayaan pencegahan dan pengobatan HIV oleh JKN
dalam sistem BPJS perlu direncanakan dengan seksama sebagai upaya keberlanjutan
program. Rencana transisi yang serupa juga perlu direncanakan di tingkat provinsi
atau kabupaten/ kota mengikuti kebijakan jaminan sosial yang berlaku di daerah
setempat.
4.5.4. Pembelajaran Horisontal

Peningkatan manajemen pengetahuan perlu menjadi salah satu prioritas SRAN 2015-
2019, khususnya dalam upaya penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten/ kota untuk
memfasilitasi pembelajaran secara horizontal antar kabupaten/ kota di Indonesia.

Peningkatan manajemen pengetahuan perlu dimulai dengan dokumentasi dan


pemetaan kekuatan pelaksanaan upaya penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten/
kota, khususnya di daerah dengan kinerja tinggi. Pemetaan ini menjadi dasar bagi
pengembangan pembelajaran antar kabupaten/ kota yang terstruktur dan sistematis.

Unit pengelolaan pengetahuan manajemen perlu dibentuk oleh KPAN untuk


memantau pelaksanaan upaya penanggulangan secara umum, serta untuk
membantu proses pemetaan dan dokumentasi yang dibutuhkan. Kriteria pemilihan
lokasi pembelajaran juga perlu dikembangkan.

4.6. Keberlanjutan Kepemimpinan dan Pendanaan


RENCANA AKSI

4.6.1. Mobilisasi Kepemimpinan dan Kemitraan

SRAN 2015-2019 mencakup sejumlah strategi dan rencana aksi yang memerlukan
kepemimpinan, koordinasi dan manajemen lintas sektor baik di tingkat nasional
72 dan kabupaten/ kota. Kementerian Dalam Negeri berperan penting baik di tingkat
nasional maupun di tingkat kabupaten/ kota untuk meningkatkan kepemimpinan
daerah untuk penanggulangan AIDS yang efektif sebagai bagian dari pembangunan
daerah setempat.

Kementerian Keuangan dan BAPPENAS di tingkat nasional serta BAPPEDA di tingkat


provinsi dan kabupaten/ kota, berperan penting dalam perencanaan penanggulangan
AIDS sebagai bagian dari pembangunan nasional dan daerah setempat.

Kementerian Kesehatan berperan penting untuk memastikan sinergi yang baik


antara layanan kesehatan dan layanan terkait HIV lintas sektor baik di tingkat nasional
maupun di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.

4.6.2. Desentralisasi Pembiayaan

Keberlanjutan upaya penanggulangan HIV dan AIDS tergantung pada tingkat


pendanaan yang memadai untuk mendukung dan memperkuat upaya
penanggulangan. SRAN 2015-2019 mengikuti kebijakan desentralisasi pemerintahan di
Indonesia, yang mendelegasikan tanggung jawab pelaksana pemerintahan ke tingkat
provinsi dan kabupaten/ kota. Dengan menurunnya dukungan dana luar negeri bagi
upaya penanggulangan AIDS di Indonesia, perlu adanya alokasi dana yang memadai
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

tidak hanya di tingkat nasional namun juga di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota
bagi upaya penanggulangan AIDS. Peran kabupaten/ kota diharapkan menjadi
lebih penting di masa depan karena mereka akan diharapkan untuk (1) mengelola
pelaksanaan dan perluasan LKB dan (2) memberikan alokasi pendanaan lokal dengan
proporsi yang lebih besar.

Peningkatan pendanaan lokal perlu diinisiasi pada periode SRAN 2015-2019, misalnya
dengan cara berikut:

n Meningkatkan efisiensi biaya pada pelaksanaan LKB, integrasi HIV ke layanan primer;
mengurangi biaya diagnostik, obat dan komoditas lain; model penjangkauan yang
meminimalisasimissed-opportunity.

n Peningkatan pendanaan penanggulangan AIDS di tingkat provinsi dan kabupaten/


kota.

n Membuat pendekatan baru dalam kemitraan pembangunan bersama kabupaten/

RENCANA AKSI
kota, misalnya melalui matching funds, dimana penambahan dana lokal
disandingkan dengan tambahan dana nasional; atau challenge grants, dimana
kabupaten/ kota dapat mengusulkan perluasan atau peningkatan kualitas layanan
akan menerima dana.

n Melakukan eksplorasi peluang kemitraan sektor swasta (CSR) baik melalui hibah 73
filantropis maupun dengan bentuk kerjasama publik-privat.

4.7 Penguatan Penelitian dan Kualitas Data serta Akselerasi Penggunaan


Inovasi dan Teknologi Baru

Prioritas utama adalah penguatan kualitas data melalui sistem data rutin seperti SIHA
maupun surveilans penyakit dan perhatian khusus di tingkat provinsi dan kabupaten/
kota. Salah satu wujud penguatan kualitas data adalah agregasi jender, usia, dan faktor
risiko. Upaya mengedepankan penelitian yang mampu memberikan rekomendasi
kongkrit bagi peningkatan kualitas program melalui penelitian operasional
(operational research) dan penelitian implementasi (implementation research).

Pendekatan yang perlu ditindaklanjuti sebagai berikut:

n Mengidentifikasi perguruan tinggi, komunitas, dan institusi penelitian untuk


mendukung penelitian implementasi dan penelitian evaluasi, dengan fokus 75
kabupaten/ kota prioritas tinggi.

n Meningkatkan kapasitas daerah dalam mengintegrasi, menginterpretasi serta


menggunakan data secara efektif bagi perbaikan kualitas pelaksanaan program.
n Meningkatkan kerjasama luar negeri dalam bidang penelitian

Inovasi dan teknologi baru tidak hanya diperoleh melalui penelitian, maka perlu ada
mekanisme untuk melakukan eksplorasi inovasi dan teknologi baru yang dapat diuji
serta diimplementasikan di Indonesia.

Beberapa prioritas inovasi yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah tes HIV
berbasis komunitas, pemanfaatan Information and Communication Technology (ICT),
penggunaan media sosial, SMS dan internet untuk kegiatan penjangkauan komunitas
khususnya bagi populasi tersembunyi dan remaja; serta pencanangan intervensi PreP
bagi LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki).

4.8. Penguatan Kemitraan Internasional: Bilateral dan Multilateral

Penguatan kemitraan diarahkan untuk memastikan kapasitas terkait HIV dan AIDS para
pemangku kepentingan di lingkungan pemerintahan maupun masyarakat sipil di
Indonesia mencapai tingkatan yang dibutuhkan. Tidak hanya dalam hal teknis, tetapi
juga upaya untuk membawa upaya penanggulangan AIDS yang ada di Indonesia
RENCANA AKSI

dikenal dunia internasional dan secara aktif menjadi leading country untuk mencapai
tujuan penanggulangan HIV dan AIDS khususnya yang dicanangkan oleh negara-
negara di regional Asia Pasifik, maupun Asia Tenggara.

74 Upayapenguatankemitraan dengan organisasi internasional baik bilateral maupun


multilateralini bertujuan untuk memberikan kontribusi bagi penanggulangan AIDS
di dalam negeri. Langkah-langkah penting yang perlu dilakukan,di antaranya adalah
sebagai berikut:

Pemberian dukungan teknis (technical assistance)danpenyebaran pengetahuan serta


pemahaman mengenai pelaksanaan (transfer of knowledge dan know-how)baik bagi
pemerintah maupun masyarakat sipil berdasarkan perkembangan global mutakhir
(update). Dengan semakin meningkatnya kapasitas lokal maka keberlanjutan dari
program lebih terjaga. Langkah ini akan dilakukan dalam satu gugus tugas (task
force), sebagaimana yang telah dilakukan dalam periode SRAN sebelumnya, dan
memastikan kapasitas dan pelaksanaan kegiatan terus berjalan dengan terjadinya
pergantian struktur pemerintahan di Indonesia.

Penyebaran hasilpenelitian/ studi terakhirberbasis bukti (evidence-based) yang sudah


dipublikasikandi tingkat global yang terpublikasi (seperti konferensi atau pertemuan
internasional atau regional) dapat diakses oleh masyarakat di Indonesia. Satu
contoh yang terakhir adalah pendekatan Treatmentas Prevention yang merupakan
operasionalisasi dari Penelitian HPTN 052 yang diakui sebagaiScience Breakthrough of
the year 2011kemudian diadopsi olehIndonesia melalui pendekatan SUFA (Strategic
Use of ARV).
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Penguatan posisi Indonesia di platform internasional baik melalui program pemerintah


maupun program dari masyarakat sipil (jejaring KAP, LSM lokal) memberikan
kesempatan kepada Indonesia untuk terlibat aktif serta berkontribusi dalam berbagai
pertemuan tingkat dunia dan regional.

4.9. Penanggulangan HIV dalam Kebencanaan

Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Bencana alam yang sering terjadi
dapat memberikan dampak negatif pada program HIV yang sedang berlangsung,
catatan bisa hilang, ART dan pasokan komoditas terganggu, fasilitas kesehatan rusak,
serta pasokan listrik dan air terputus untuk waktu yang lama. Perpindahan populasi
akibat bencana cenderung meningkatkan kerentanan populasi kunci yang sudah
rentan. Perencanaan kontingensi dan kesiapsiagaan diperlukan untuk mengatasi
dampak negatif dari bencana pada program HIV. SRAN 2015-2019 harus mencakup
kesiapsiagaan darurat dan perencanaan kontingensi untuk memastikan pelaksanaan
program HIV di negara rawan bencana seperti Indonesia.

RENCANA AKSI
Gambar 4.3. Peran Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota

Pemerintah Pusat Provinsi Kabupaten/Kota

n Kementerian menyiapkan kebijakan n Dukungan teknis dan n Meningkatkan


pemahaman 75
bagi program efektif sesuai tugas dan koordinasi pelaksanaan
fungsi. PMTS-LKB mengenai HIV dan
n Kerjasama erat dengan Kemendagri n Menjamin sistem AIDS serta upaya
dan Bappenas. informasi strategis penanggulangannya.
n Assesmen kelembagaan untuk berfungsi dan n Meningkatkan
penguatan KPAN dalam pelaksanaan pemanfaatan data pengelolaan partisipatif
SRAN. untuk perencanaan dan untuk PMTS-LKB,
n Peningkatan kapasitas KPA dan pemantauan. melibatkan semua pihak.
kelompok masyarakat sipil di semua n Peningkatan pelibatan n Mengurangi stigma dan
tingkat. populasi kunci dan diskriminasi.
n Penguatan sistem informasi strategis. ODHA n Melibatkan masyarakat
n Mengelola pengetahuan. n Mengkoordinasi sipil, populasi kunci
n Mengelola peningkatan pelibatan pelibatan sektor dan ODHA dalam
populasi kunci dan ODHA pemerintah perencanaan dan
n Mengkoordinasi pelibatan sektor n Advokasi untuk pelaksanaan kegiatan.
pemerintah perubahan positif dalam n Meningkatkan
n Mengkoordinasi pelibatan sektor swasta menyiapkan lingkungan mekanisme informasi
kondusif dan pendanaan strategis bagi
lokal perencanaan dan
pemantauan.
Strategi dan Rencana
Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

MONITORING DAN EVALUASI


77

BAB 5

Monitoring
dan Evaluasi
BAB 5.
Monitoring dan Evaluasi

5.1. Target Tahunan Cakupan Program

Telah dinyatakan pada bab sebelumnya, mengenai target dan hasil yang yang
diharapkan, bahwa cakupan program penanggulangan AIDS yang komprehensif
diharapkan dapat mencapai sasaran universal access pada tahun 2019. Atas dasar ini
MONITORING DAN EVALUASI

sasaran-sasaran tahunan ditetapkan agar populasi kunci dan mereka yang terinfeksi
HIV dapat mengakses layanan-layanan pencegahan dan pengobatan.

Bagi WPS dan Penasun sasaran universal access akan dicapai pada tahun 2019. Bagi LSL
pada tahun 2019, target program pencegahan baru akan mencapai 60%. Diharapkan
pada tahun 2019 perilaku aman sudah dijalankan oleh 70%-80% populasi kunci, dan
perilaku tersebut perlu dipertahankan seterusnya. Perilaku aman populasi kunci,
baik mengenai pencegahan maupun pengobatan, merupakan satu wujud penting
78 efektifitas program. Diharapkan pada akhir tahun 2019, sedikitnya 80% populasi kunci
yang berperilaku seksual berisiko sudah menggunakan kondom secara konsisten,
80% Penasun sudah tidak bertukar alat suntik secara konsisten, 50% ODHA yang
membutuhkan sudah menggunakan ARV secara berkesinambungan. Diharapkan
pada akhir tahun 2019, kebutuhan pendanaan program HIV dan AIDS sudah terpenuhi
dan 70% bersumber dari dalam negeri. Ketersediaan dana merupakan salah satu
indikator yang penting untuk menunjukkan adanya keberlangsungan program.

Target tahunan untuk cakupan program pencegahan, perubahan perilaku dan


pengobatan pada populasi kunci dapat dilihat pada tabel-tabel berikut:
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Tabel 5.1. Target Tahunan Cakupan Program Pencegahan* (dalam %)


Populasi Kunci Baseline (%) 2015 2016 2017 2018 2019
WPSL 51 57 63 68 74 80
WPSTL 20 28 36 44 52 60
LSL 20 28 36 44 52 60
Waria 30 38 46 54 62 70
Penasun 50 56 62 68 74 80
Semua Populasi Kunci 34 41 48 56 63 70

* Sumber : Investment Case Analysis, 2014


1 Indikator untuk mengukur cakupan Program Pencegahan pada Populasi Kunci adalah: Pemberian
Peer edudation, materi KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) dan alat pencegahan HIV berupa kondom,
pelicin dan alat suntik steril sesuai kebutuhan

MONITORING DAN EVALUASI


Tabel 5.2. Target Tahunan Cakupan Perubahan Perilaku (dalam %)
Populasi Kunci Baseline (%) 2015 2016 2017 2018 2019
WPSL*) 62 66 70 73 77 80
WPSTL*) 62 66 70 73 77 80
LSL*) 60 64 68 72 76 80
Waria*) 75 76 77 78 79 80
Penasun**) 70 73 76 80 83 86
Semua Populasi Kunci 61 68 71 74 77 80 79

* Sumber : Investment Case Analysis, 2014


Indikator untuk mengukur cakupan Program Perubahan Peri Laku pada PS, LSL dan Waria adalah:
Penggunaan kondom pada hubungan sex seminggu atau sebulan terakhir (berbeda pada PS, LSL,
Waria karena tergantung ada frekuensi hubungan sex berisikonya
** Persentase Penasun yang tidak berbagi alat suntik.

Tabel 5.3. Target Tahunan Cakupan Testing Populasi Kunci (dalam %)

Indikator Baseline (%) 2015 2016 2017 2018 2019


Persentase WPS yang dites HIV 23,4 25 35 50 60 80
Persentase Waria yang dites HIV 12,8 26 50 80 80 80
Persentase LSL yang dites HIV 10,5 25 40 60 70 80
Persentase Penasun yang dites HIV 12,0 26 50 80 80 80
Persentase Pelanggan yang dites 3,9 4,5 6 7 8 10
HIV
Persentase Pasien TB yang di tes 3 20 30 40 50 60
HIV
Persentase Pasien IMS yang di tes 9 17 33 52 72 96
HIV

Sumber: Kemkes RI
Tabel 5.4. Target Tahunan Cakupan Pengobatan, termasuk Pengobatan untuk
Pencegahan (dalam %)

Indikator Baseline (%) 2015 2016 2017 2018 2019


Persentase ODHA Dewasa (>14 17 20 25 30 35 40
th) yang memenuhi syarat ART
mendapatkan ART)
Persentase ODHA Anak (<14 14 35 50 60 80 80
th) yang memenuhi syarat ART
mendapatkan ART)
Proporsi ODHA yang tetap 70 72 75 78 82 85
mengkonsumsi ARV dalam 12 bulan
Persentase pasien koinfeksi TB HIV 49 100 100 100 100 100
yang mendapat pengobatan ARV
MONITORING DAN EVALUASI

Sumber: Kemkes RI

Tabel 5.5. Rencana Pengembangan Cakupan Pengobatan

Indikator Baseline (%) Pertambahan Pertahun


2015 2016 2017 2018 2019
Jumlah RS yang telah menyediakan 352 30 70 70 70 55
80 layanan PDP dan PPIA
Jumlah Puskesmas yang telah 83 250 300 350 400 175
menyediakan layanan PDP
Jumlah K/K yang memiliki layanan 213 50 60 70 80 35
PDP

Sumber: Kemkes RI

Tabel 5.6. Target Tahunan Cakupan PPIA (dalam %)

Indikator Baseline (%) 2015 2016 2017 2018 2019


Cakupan Ibu Hamil di tes HIV 5,3 20 40 60 80 80
Persentase Ibu Hamil HIV mendapat 78,8 80 90 100 100 100
ARV
Persentase bayi lahir hidup dari Ibu 91,64 95 100 100 100 100
HIV mendapat ARV profilaksis

Sumber: Kemkes RI
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Tabel 5.7. Target Rencana Pengembangan PPIA

Indicator 2015 2016 2017 2018 2019


Jumlah Kab/kota dengan fasilitas 263 323 393 473 508
layanan PPIA
Jumlah PKM PPIA:

a. Prong 1 dan 2 9.419 9.419 9.419 9.419 9.419


b. Prong 1,2,3 & 4 333 633 983 1.383 1.558

Sumber: Kemkes RI

MONITORING DAN EVALUASI


Tabel 5.8. Target Tahunan Pencegahan HIV di Lingkungan TNI (dalam %)

Indikator B a s e l i n e 2015 2016 2017 2018 2019


(%)
Persentase anggota 30 40 50 60 70 80
TNI yang menjalankan (131.863) (175.818) (219.772) (263.727) (307.681) (351.636)
penapisan HIV
Persentase anggota TNI 30 40 50 60 70 80
yang dijangkau oleh peer (131.863) (175.818) (219.772) (263.727) (307.681) (351.636)
Leader 81
Peer Leader Pencegahan 17 31 48 65 83 100
HIV dan AIDS (2.478) (4.478) (7.038) (9.598) (12.164) (14.652)

Pengetahuan Komprhensif 10,5 21 35 50 65 80


Pencegahan HIV dan AIDS (46.152) (92.304) (153.840) (219.772) (285.704) (351.636)
personel TNI

Sumber: TNI

5.2. Kerangka Kerja dan Indikator Utama

5.2.1. Kerangka Kerja

Monitoring dan evaluasi dijalankan mengikuti suatu kerangka kerja sistem yang dapat
menilai setiap tahap pelaksanaan program, mulai dari tahap input, proses kegiatan,
output, hasil sampai dengan dampak program, sebagaimana tergambar pada
diagram berikut:
Gambar 5.1. Kerangka Kerja Monitoring dan Evaluasi

Dampak
Assesmen & Input Kegiatan Output Hasil (Hasil jangka
Perencanaan (Sumberdaya) (Pelayanan) (Hasil Langsung) (Hasil antara) panjang)

l Estimasi l Dana Program: l Tenaga terlatih l Pengetahuan l Prevalensi HIV


l Pemetaan l Kebijakan l PMTS l Populasi remaja l Kematian AIDS
l Analisis l Sistem l HR dan PBAM terjangkau l Pengetahuan l Stigma &
epidemi Komunitas l LKB l Kondom populasi kunci diskriminasi
l Analisis respon l Kelembagaan l SUFA terdistribusi l Pemakaian l Kualitas hidup
l Fasilitas l PMTCT l Tes terlaksana kondom ODHA
l TB/HIV l Klien terlayani l Pemakaian alat
l Pengetahuan l Alat suntik steril suntik
remaja terdistribusi l Prevalensi IMS
l Mitigasi
dampak
MONITORING DAN EVALUASI

Data
pengem- Data biologis, perilaku dan
bangan Data program
sosial berbasis populasi
program

Sumber: Diadaptasi dari Rugg et al (2004). Global advances in HIV/AIDS monitoring and evaluation.
New Direction for Evaluation. Hoboken, NJ Wiley Periodicals. Inc. dalam UNAIDS working
document (2006). M&E of HIV Prevention Programmes for Most-At-Risk Populations.
82
5.2.2. Indikator Input

Indikator input meliputi pengeluaran dana baik oleh mitra pengembangan nasional
maupun internasional, pengembangan kebijakan HIV dan AIDS serta status
implementasi kebijakan tersebut, dan penguatan kelembagaan yang mencakup
kelembagaan KPA (berikut seluruh sektor yang menjadi anggota) baik di tingkat
nasional maupun daerah. Indikator ini penting untuk menilai perkembangan
keberlanjutan program.

Indikator input yang perlu didapatkan dari tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/
kota setidaknya adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan dana nasional (pusat dan daerah) untuk program HIV dan AIDS
berdasarkan kategori sumber pendanaan. Metode pengumpulan data: National
AIDS Spending Assessment (NASA). Frekuensi pengukuran: setiap dua tahun sekali.
Penanggung jawab: Sekretariat KPAN.
2. Terlaksananya penilaian National Commitment and Policy untuk menilai kemajuan
implementasi kebijakan program HIV dan AIDS. Metode pengumpulan data:
pengkajian dengan melakukan diskusi dengan mitra kerja pemerintah dan OMS
di tingkat nasional dengan menggunakan kuesioner NCPI. Frekuensi pengukuran:
setiap dua tahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

3. Jumlah KPAK yang telah memenuhi perkembangan institusi sesuai dengan kriteria
yang ditentukan. Metode pengumpulan data: Penilaian penguatan kelembagaan.
Frekuensi pengukuran: setiap setahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN.
4. Jumlah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang mendapat bantuan dana untuk
program HIV berdasarkan sumber pemerintah dan internasional. Metode
pengumpulan data: pemantauan rutin KPAN. Frekuensi pengukuran: setiap
setahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN
5. Jumlah OMS (Organisasi Masyarakat Sipil) populasi kunci yang mendapat
peningkatan kapasitas dalam pengetahuan dan kemampuan advokasi kebijakan.
Metode pengumpulan data: Diskusi dengan mitra kerja pemerintah dan OMS di
tingkat nasional dengan menggunakan kuesioner NCPI. Frekuensi pengukuran:
setiap dua tahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN.
6. Adanya kebijakan yang non diskriminatif dan sesuai dengan prinsip HAM dan
keseteraan gender pada ODHA, populasi kunci dan kelompok rentan lainnya yang

MONITORING DAN EVALUASI


diimplementasikan secara efektif di nasional dengan menggunakan instrument
NCPI. Metode pengumpulan data: Diskusi dengan mitra kerja pemerintah dan OMS
di tingkat nasional dengan menggunakan kuesioner NCPI. Frekuensi pengukuran:
setiap dua tahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN.

5.2.3 Indikator Kegiatan

Indikator kegiatan mencakup pelaksanaan program nasional, yaitu perluasan


dan peningkatan pencegahan kombinasi HIV, perluasan dan peningkatan mutu 83
layanan perawatan, dukungan dan pengobatan, pengurangan infeksi HIV vertical,
perluasan cakupan mitigasi dampak, penciptaan lingkungan yang mendukung serta
peningkatan keberlanjutan program.

1. Jumlah rumah sakit yang telah menyediakan layanan perawatan, dukungan dan
pengobatan (PDP) dan pencegahan penularan dari Ibu ke Anak (PPIA). Metode
pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: dua
tahun sekali. Penanggung jawab: Kemenkes.
2. Jumlah Puskesmas dengan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan.
Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran:
satu tahun sekali. Penanggung jawab: Kemenkes.
3. Jumlah Kab/Kota yang memiliki layanan perawatan, dukungan dan pengobatan.
Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran:
satu tahun sekali. Penanggung jawab: Kemenkes.
4. Jumlah Kab/kota dengan fasilitas layanan pencegahan penularan dari ibu ke anak.
Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran:
secara adhoc. Penanggung jawab: Kemenkes.
5. Jumlah Puskesmas dengan fasilitas layanan pencegahan penularan dari ibu ke
anak prong 1 dan 2 serta 1,2,3 dan 4. Metode pengumpulan data: berasal dari data
laporan rutin. Frekuensi pengukuran: secara adhoc. Penanggung jawab: Kemenkes.
5.2.4. Indikator Output

Indikator output adalah cakupan program khususnya terhadap populasi kunci.


Cakupan program nasional diukur terhadap seluruh populasi kunci yang dijangkau
oleh program pencegahan, program perawatan, dukungan dan pengobatan serta
pengurangan infeksi HIV vertikal. Rincian target tahunan indikator cakupan program
terdapat pada table 5.1 5.8. indikator ini penting untuk menilai secara berkala
perkembangan program di lapangan.

1. Persentase populasi kunci yang terjangkau program pencegahan. Metode


pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin dan estimasi (Kemkes). Frekuensi
pengukuran: setiap tahun. Penanggung jawab: OMS dan sekretariat KPAN.
2. Persentase ODHA yg mengetahui status HIV. Metode pengumpulan data: berasal
dari data laporan rutin dan estimasi. Frekuensi pengukuran: bulanan. Penanggung
MONITORING DAN EVALUASI

jawab: Kemenkes.
3. Persentase ODHA Dewasa (>14 th) yang memenuhi syarat ART mendapatkan
ART. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan dan estimasi. Frekuensi
pengukuran: triwulanan. Penanggung jawab: Kemenkes.
4. Persentase ODHA Anak (14 th) yang memenuhi syarat ART mendapatkan ART.
Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin dan estimasi. Frekuensi
pengukuran: triwulanan. Penanggung jawab: Kemenkes.
5. Proporsi ODHA yang tetap mengkonsumsi ARV dalam 12 bulan. Metode
84 pengumpulan data: berasal dari data laporan kohort rutin. Frekuensi pengukuran:
setiap tahun. Penanggung jawab: Kemenkes.
6. Persentase pasien koinfeksi TB-HIV yang mendapat pengobatan ARV. Metode
pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran:
triwulanan. Penanggung jawab: Kemenkes.
7. Persentase ibu hamil di tes HIV. Metode pengumpulan data: berasal dari data
laporan rutin. Frekuensi pengukuran: setiap bulan. Penanggung jawab: Kemenkes.
8. Persentase Ibu Hamil HIV mendapat ARV. Metode pengumpulan data: berasal
dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: setiap bulan. Penanggung jawab:
Kemenkes.
9. Persentase bayi lahir hidup dari Ibu HIV mendapat ARV profilaksis. Metode
pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: setiap
bulan. Penanggung jawab: Kemenkes
10. Proporsi rumah tangga miskin yang menerima dukungan ekonomi selama 3 bulan.
Metode pengumpulan data: berasal dari data survey. Frekuensi pengukuran: setiap
tahun dan 5 tahun sekali. Penanggung jawab: Kemensos, dan TNP2K
11. Proporsi ODHA yang mengikuti program JKN. Metode pengumpulan data: berasal
dari data survey khusus. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN.
12. Jumlah kasus kekerasan berbasis gender. Frekuensi pengukuran: setiap tahun.
Metode pengumpulan data: laporan rutin. Penanggung jawab: Kemeneg PP,
Komnas Perempuan, dan IPPI.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

5.2.5. Indikator Hasil

Indikator hasil untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan program telah dapat
merubah perilaku berisiko menjadi perilaku aman dari kelompok kunci, baik perilaku
pencegahan maupun perilaku pengobatan. Indikator ini penting untuk menilai
perkembangan efektifitas program.

1. Persentase remaja usia 15-24 tahun populasi umum yang memiliki pengetahuan
komprehensif HIV dan AIDS. Metode pengumpulan data: berasal dari data survey,
SDKI, Riskesdas. Frekuensi pengukuran: setiap lima tahun. Penanggung jawab:
BKKBN, Kemenkes.
2. Persentase populasi kunci yang memiliki pengetahuan komprehensif HIV dan
AIDS. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali
dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN.

MONITORING DAN EVALUASI


3. Persentase remaja wanita dan pria usia 15-24 tahun yang mulai melakukan
hubungan seks sebelum usia 15 tahun. Metode pengumpulan data: SDKI remaja.
Frekuensi pengukuran: 5 tahun sekali. Penanggung jawab: BKKBN dan BPS.
4. Persentase wanita dan pria (15-49 tahun) memiliki pasangan seks lebih dari satu
dan menggunakan kondom pada hubungan seks terakhir. Metode pengumpulan
data: SDKI. Frekuensi pengukuran: 5 tahun sekali. Penanggung jawab: BPS.
5. Persentase wanita pekerja seks yang melaporkan menggunakan kondom dengan
klien terakhir mereka. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran:
4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan 85
KPAN.
6. Persentase wanita pekerja seks yang melaporkan menggunakan kondom dengan
klien seminggu terakhir mereka. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi
pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian
Kesehatan dan KPAN
7. Persentase LSL yang melaporkan menggunakan kondom pada hubungan seks
anal terakhir. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun
sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN.
8. Persentase LSL yang melaporkan menggunakan kondom secara konsisten pada
hubungan seks anal dalam sebulan terakhir. Metode pengumpulan data: IBBS,
SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab:
Kementerian Kesehatan dan KPAN.
9. Persentase Waria yang melaporkan menggunakan kondom pada hubungan seks
anal terakhir . Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4
tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan
KPAN.
10. Persentase Waria yang melaporkan menggunakan kondom secara konsisten pada
hubungan seks anal dalam seminggu terakhir. Metode pengumpulan data: IBBS,
SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab:
Kementerian Kesehatan dan KPAN.
11. Persentase pengguna NAPZA suntik (Penasun) yang melaporkan penggunaan
kondom pada hubungan seks terakhir. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP.
Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab:
Kementerian Kesehatan dan KPAN.
12. Persentase pengguna NAPZA suntik (Penasun) yang melaporkan penggunaan
kondom konsisten pada hubungan seks sebulan terakhir. Metode pengumpulan
data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali.
Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN.
13. Persentase pengguna NAPZA suntik (Penasun) yang menggunakan alat suntik
steril pada saat menyuntik terakhir. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi
pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian
Kesehatan dan KPAN.
14. Persentase pengguna NAPZA suntik (Penasun) yang menggunakan alat suntik
steril pada saat menyuntik sebulan terakhir. Metode pengumpulan data: IBBS,
MONITORING DAN EVALUASI

SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab:
Kementerian Kesehatan dan KPAN.
15. Prevalensi Sifilis pada populasi kunci. Metode pengumpulan data: Sentinel Sero-
Survey. Frekuensi pengukuran: setiap tahun. Penanggung jawab: Kementerian
Kesehatan.

5.2.5. Indikator Dampak

86 Indikator dampak digunakan untuk melihat dampak program terhadap epidemi HIV,
yang diukur dengan prevalensi HIV pada populasi kunci, dan populasi umum untuk
Tanah Papua.

1. Prevalensi HIV pada ibu hamil usia 15-49 tahun. Metode pengumpulan data:
Sentinel surveilans ANC. Frekuensi pengukuran: setiap tahun. Penanggung jawab:
Kemkes
2. Prevalensi HIV pada populasi kunci. Metode pengumpulan data: Sentinel surveilans,
IBBS. Frekuensi pengukuran: setiap tahun dan empat tahun sekali. Penanggung
jawab: Kemkes
3. Jumlah infeksi HIV baru pada populasi kunci. Metode pengumpulan data: Studi
khusus (Modeling). Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan.
4. Jumlah/persentase ODHA yang mendapatkan diskriminasi dari suami/istri atau
pasangannya, atau anggota keluarga lainnya karena status HIV positif dalam 12
bulan terakhir. Metode pengumpulan data: Studi khusus, studi diskriminasi.
5. Persentase ODHA yang ditolak oleh layanan kesehatan (termasuk layanan
kesehatan gigi), akses pendidikan dan tempat kerja karena status HIV positif.
Metode pengumpulan data: Studi khusus.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

5.3. Mekanisme Monitoring dan Evaluasi

5.3.1. Metode Pengumpulan Data

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional bekerjasama dengan Kementrian


Kesehatan dan seluruh sektor pemerintah serta organisasi masyarakat sipil dan
mitra kerja internasional, melakukan monitoring dan evaluasi secara nasional untuk
menghasilkan indikator kinerja serta informasi yang bersifat strategik. Setidaknya
metode pengumpulan data yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Pemantauan Rutin
n Sistem Informasi HIV dan AIDS (Kementerian Kesehatan)
n Monitoring penguatan kelembagaan (KPA)
n Monitoring perkembangan layanan pencegahan (KPA)

MONITORING DAN EVALUASI


n Monitoring perkembangan layanan pengobatan (Kementerian Kesehatan)
n Monitoring cakupan program

2. Surveilans
Surveilans HIV, AIDS dan IMS merupakan tanggung jawab dari Kementerian Kesehatan.
Berbagai bentuk surveilans yang diperlukan antara lain adalah sebagai berikut:

n Surveilans Sentinel HIV


Kementerian Kesehatan menetapkan surveilans sentinel HIV dilakukan sekali 87
setahun. Saat ini surveilans sentinel HIV dilakukan terhadap populasi kunci.
Surveilans sentinel pada ibu hamil perlu dilakukan pada area geografis tertentu
sesuai dengan tingkat epidemi. Surveilans sentinel melalui ANC dilakukan dengan
menetapkan beberapa tempat yang dapat dipantau secara rutin sebagai proxy
menilai prevalensi HIV di populasi umum.

n Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP)


STBP, termasuk di dalamnya survei IMS, telah dilakukan pada beberapa provinsi
yang diikuti kecenderungannya.

Mengingat biaya pelaksanaan STBP yang cukup mahal, akan dimulai pelaksanaan
integrasi pelaksanaan surveilans sentinel dengan survei cepat perilaku setiap
setahun sekali. Intregasi sentinel surveilans dengan survei cepat perilaku perlu
dilakukan pada kabupaten/ kota prioritas untuk semua populasi kunci secara
berkesinambungan.
n Survei resistensi ARV
n Pemetaan populasi kunci, hotspot dan layanan
n Estimasi jumlah populasi kunci dan ODHA
3. Pemantauan Lainnya
n Monitoring perkembangan layanan mitigasi dampak (Kementerian Sosial)
n Studi khusus
l Stigma diskriminasi
l Studi infeksi baru
l Riset operasional dan riset implementasi (KPA)
l Gender Based Violence
n Monitoring pengeluaran dana (NASA) (KPA)
n National Commitment Policy Instrument. Tools untuk memantau kebijakan terkait
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.

5.3.2. Monitoring dan Pelaporan

Satu pemantauan yang perlu dilakukan secara intensif dan teratur dari waktu ke waktu
MONITORING DAN EVALUASI

adalah mengenai perkembangan cakupan program di lapangan yaitu di lingkup


kabupaten/ kota.

Hubungan kerja antar KPA mulai dari kabupaten/ kota, provinsi sampai dengan
nasional, antara lain dilakukan melalui mekanisme pelaporan rutin. Mekanisme
ini telah berjalan baik untuk memantau perkembangan cakupan program. Secara
sederhana proses pelaporan tersebut digambarkan sebagai berikut:

88 Gambar 5.2. Alur Pelaporan


Mekanisme pelaporan penanggulangan AIDS diatur dalam Pasal 13 Perpres nomor


75 tahun 2006 dan Pasal 12 Permendagri nomor 20 tahun 2007. Pelaksana program
di lapangan melaporkan kegiatannya ke sektor terkait di masing-masing kabupaten/
kota. Selanjutnya data dari seluruh sektor terhimpun di KPA kabupaten/ kota, untuk
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

segera digunakan untuk pengendalian lapangan. Laporan kemudian disampaikan


setiap bulan ke KPA Provinsi, dan ke KPA tingkat nasional. Pada akhirnya laporan
ditujukan kepada Presiden. Mekanisme pelaporan ini juga digunakan untuk memenuhi
komitmen global, misalnya pelaporan GARPR, Universal Access dan MDG.

Data dari daerah dikumpulkan ke tingkat nasional melalui RR on line dan SIHA dengan
menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan yang standar. Data tersebut
kemudian direkapitulasi untuk dianalisis menjadi laporan berkala. KPAN sedang
mengembangkan real time dash board untuk menghasilkan tampilan kinerja data
terkini.

Perencanaan monitoring dan evaluasi dimulai dengan asesmen, monitoring dan


evaluasi di setiap tingkat untuk mengidentifikasi kesenjangan dalam sistem, rencana
kerja disusun untuk memperbaiki kelemahan yang ditemukan dari asesmen.

MONITORING DAN EVALUASI


Mutu kualitas data dijamin dengan adanya program jaga mutu kualitas data dan
penilaian mutu kualitas data.

5.3.3. Pemanfaatan Informasi

Data yang dihasilkan jangan menjadi bahan laporan semata, tetapi justru harus
digunakan untuk perbaikan program di lapangan. Pemanfaatan data perlu dilakukan
dalam suatu pertemuan koordinasi di setiap tingkat. 89

Hubungan kerja secara horizontal di masing-masing tingkat KPA sangat penting


untuk secara bersama menggunakan data yang diperoleh dari sektor-sektor relevan,
untuk pengambilan keputusan. Data capaian program yang dianalisis setiap bulan di
kabupaten/ kota dapat dijadikan dasar untuk perbaikan program lapangan dengan
segera. Selanjutnya, pertemuan monitoring di provinsi perlu dilakukan paling sedikit
setiap 3 bulan dan setiap 6 bulan di tingkat nasional.

Data yang lebih komprehensif yang bersifat evaluatif perlu dibahas setiap 6 bulan
atau setiap tahun. Data yang dikumpulkan dari daerah melalui RR online dan SIHA,
kemudian dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan, perbaikan program di setiap
tingkatan melalui situs AIDS portal (www.aidszeroportal.com).

5.3.4. Evaluasi Program

Evaluasi program dilakukan melalui mekanisme kajian kinerja berkala bersama (joint
periodic performance review), yang perlu dilakukan di setiap tingkat KPA. Evaluasi juga
perlu dilakukan di masing-masing sektor, baik pemerintah maupun non pemerintah.
Frekuensi evaluasi perlu dilakukan dalam bentuk kajian setiap 6 bulan, kajian setiap
tahun, kajian paruh waktu rencana aksi (Mid Term Review) dan kajian akhir periode
rencana aksi (Final Review). Indikator utama kinerja program penanggulangan AIDS
terdiri dari coverage, effectiveness dan sustainability.

Dalam kajian paruh waktu dan kajian akhir, evaluasi dilakukan secara lengkap
terhadap perkembangan epidemi dan seluruh bentuk respons yang telah dilakukan.
Evaluasi respons yang lengkap meliputi keterlibatan politis, lingkungan kebijakan,
tata kelola kepemerintahan, kapasitas penyediaan informasi strategik, kapasitas
penyusunan rencana strategik, situasi sumber daya, perkembangan implementasi
program (meliputi cakupan dan efektifitas program, dampak program terhadap
penurunan epidemi) mengenai pencegahan, pengobatan dan mitigasi dampak, serta
mengenai keterlibatan komunitas dan masyarakat.
MONITORING DAN EVALUASI

5.4. Pengembangan Kapasitas SDM

Setiap kabupaten/ kota prioritas melakukan kerjasama lintas sektor baik pemerintah
maupun non pemerintah untuk menghimpun data secara rutin. Paling sedikit
sudah terdapat satu (1) tenaga penuh waktu di tingkat KPA kabupaten/ kota untuk
melaksanakan ini, yang berhubungan dengan mereka yang mendapat tanggung
jawab mengenai data di masing-masing sektor dan LSM. Hal serupa juga terjadi di
tingkat provinsi dan nasional.
90
Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi sering dijumpai keterbatasan kapasitas
baik pada petugas maupun lembaga pelaksana dalam hal kualitas data dan
keteraturan pelaporan. Hal ini terjadi di semua tingkat mulai dari kabupaten/ kota
sampai nasional. Untuk mengatasi ini perlu dilakukan penguatan kapasitas monitoring
dan evaluasi, termasuk kelembagaan monitoring evaluasi dan juga supervisi paska
pelatihan untuk menjamin manajemen data dan kualitas analisis data. Dengan
demikian pengembangan kapasitas monitoring dan evaluasi perlu direncanakan dan
dianggarkan sebagai bagian yang terintegrasi dalam perencanaan dan implementasi
program.

Pengembangan kapasitas terdiri dari asesmen kapasitas monitoring dan evaluasi yang
ada, penguatan kapasitas KPA termasuk sektor yang menjadi anggota (pemerintah dan
non pemerintah) untuk berbagai jenis kegiatan monitoring dan evaluasi, pelatihan
berbagai kompetensi antara lain manajemen dan analisis data, jaminan mutu data,
kemudian bimbingan teknis, bantuan teknis, dan pengembangan pedoman sesuai
dengan keperluan masing-masing lembaga.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

5.5. Penguatan Monitoring dan Evaluasi SRAN 2015-2019

Penguatan monitoring dan evaluasi yang harus digaris bawahi adalah sebagai berikut:

n Penguatan sistem surveilans, melalui Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku


(STHP), surveilans ANC, pemetaan populasi kunci dan hot spots, estimasi populasi
kunci, proyeksi HIV menggunakan pemodelan matematika dan Investment Case
Analysis, serta sumber data lain yang tersedia (sumber data sentinel/ rutin),
termasuk data yang dihasilkan oleh populasi kunci/ komunitas. Perlu dipastikan
agar data yang tersedia dapat diakses dan digunakan secara optimal oleh semua
pihak sebagai acuan pengembangan strategi operasional di tingkat lokal.

n Penyediaan data penanggulangan HIV untuk setiap tingkatan daerah untuk


perbaikan program, advokasi dan perencanaan berbasis bukti.

MONITORING DAN EVALUASI


n Kemitraan dan Koordinasi M&E, dimana terdapat pembagian peran yang jelas
antara pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota, serta pihak terkait lainnya, diantaranya
mitra pembangunan bilateral, LSM internasional, lembaga multilateral, lembaga
PBB, the Global Fund.

n Harmonisasi sistem M&E di antara penerima dana hibah, termasuk integrasi HIV
ke dalam Sistem Informasi Kesehatan.
91
n Mengembangkan rencana dan pedoman M&E yang disertai dengan rincian
pembiayaan untuk tingkat nasionaldan daerah.

n Mengembangkan pangkalan data berbasis kohort untuk menyediakan data


cascade yang dapat digunakan sebagai sumber data penelitian yang berkualitas
dan juga untuk aktivitas monitoring dan evaluasi program.
92
Strategi dan Rencana
Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

PELAKSANAAN SRAN DI TINGKAT DAERAH


93

BAB 6

Pelaksanaan SRAN
di Tingkat Daerah
BAB 6.
Pelaksanaan SRAN di Tingkat Daerah
PELAKSANAAN SRAN DI TINGKAT DAERAH

Dengan semangat Reformasi Birokrasi Kabinet Kerja 2014-2019, Kementerian


Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memulai upaya reorganisasi
dan restrukturisasi pemerintahan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumber
daya negara secara efektif dan efisien. Sebagai bagian dari proses tersebut, salah
satunya dipandang perlu penataan ulang berbagai lembaga negara non-struktural
yang telah dibentuk melalui berbagai ketetapan dan pertimbangan dimasa lampau.

Seiring dengan transisi reformasi Indonesia untuk demokrasi, pembentukan lembaga


negara non-struktural sering kali merupakan upaya perpanjangan tangan pemerintah
untuk mengakomodasi partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam pembangunan
nasional. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sebagai salah satu lembaga negara
non-struktural, pertama kali dicanangkan melalui Keputusan Presiden Nomer 36
94 Tahun 1994 tentang pembentukan KPA di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/
kota. Pencanangan KPA oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1994 dilakukan
dengan pemahaman bahwa berdasarkan pengalaman global dan regional, dalam
rangka pencegahan dan penanggulangan AIDS di Indonesia secara menyeluruh,
perlu dibentuk suatu komisi yang bersifat lintas sektor pemerintahan dengan nama
Komisi Penanggulangan AIDS.

Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 kemudian semakin memperkuat kedudukan


Komisi Penanggulangan AIDS Nasional untuk mendorong partisipasi lintas sektor yang
lebih luas dalam penanggulangan AIDS nasional, tidak hanya dari sektor pemerintahan
namun juga dari komunitas terdampak, masyarakat sipil, akademisi, keagamaan
dan swasta. Perluasan partisipasi bermacam sektor dilakukan untuk mengantisipasi
dampak yang lebih besar dari epidemi AIDS di bidang kesehatan, sosial, politik dan
ekonomi dimasa yang akan datang.

Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa KPA Nasional diketuai oleh Menko Kesra,
bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan mempunyai Sekretaris yang purna
waktu. Tugas dan tanggung jawab Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sesuai
dengan Perpres No 75 / 2006 antara lain: menetapkan kebijakan dan rencana strategis
nasional serta pedoman umum pencegahan, pengendalian dan penanggulangan
AIDS; melakukan koordinasi lintas sektor pemerintahan dan non-pemerintahan; serta
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

memberikan arahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Kabupaten/


Kota dalam rangka pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS

Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) untuk 5 tahun mendatang, disusun mengacu
pada RPJMN 2015-2019, dalam kerangka pembangungan yang berkelanjutan,
untuk mempertahankan momentum penanggulangan HIV dan AIDS yang sedang
bergerak menuju kemandirian pendanaan dan integrasi program ke dalam sistem
pemerintahan dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan kerangka reformasi birokrasi
yang bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya negara secara
efektif dan efisien.

PELAKSANAAN SRAN DI TINGKAT DAERAH


Oleh karena itu, evaluasi lembaga negara non-struktural termasuk terhadap
keberadaan, tugas pokok dan fungsi Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sebagai
bagian dari reformasi birokrasi merupakan proses yang perlu dilakukan secara
menyeluruh. Dengan harapan, dapat dihasilkan bentuk pengelolaan penanggulangan
AIDS nasional yang lebih efisien dengan tetap mengedepankan kemampuan untuk
melakukan mobilisasi dan koordinasi penanganggulangan AIDS lintas sektor secara
efektif.

Sebagaimana SRAN 2010-2014 sebelumnya, maka SRAN 2015-2019 disusun untuk


menjadi acuan bagi semua sektor, baik pemerintah maupun masyarakat, baik mitra
pembangunan nasional maupun internasional, serta baik di tingkat nasional maupun
di daerah. SRAN selain dipakai di tingkat nasional, justru yang lebih penting adalah agar 95
dilaksanakan dengan baik di daerah kabupaten/ kota sampai ke tingkat masyarakat,
untuk dapat segera menurunkan epidemi HIV.

6.1. Prinsip

Di tingkat nasional SRANmemberikan arahan untuk mengintegrasikan isu HIV ke


dalam rencana pembangunan sektor-sektor pemerintah, untuk dijabarkan menjadi
berbagai panduan teknis dan rencana kegiatan dan anggaran kementerian/
lembaga. Pemerintah daerah bersama-sama dengan para pemangku kepentingan
agar menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) masing-masing yang sejalan dengan
SRAN. Selanjutnya agar ini dipakai untuk penyusunan RAPBD, sehingga semuanya
berkontribusi pada pencapaian target dan tujuan nasional.

Prinsip-prinsip untuk pelaksanaanSRAN di daerah adalah sebagai berikut:

n Adanya komitmen politik dan anggaran untuk penanggulangan AIDS


oleh pimpinan daerah

Penanggulangan HIV dan AIDS bersifat lintas sektor dan lintas tingkatan, dengan
demikian memerlukan kepemimpinan politik dan anggaran dari pimpinan daerah.
Kepemimpinan diperlukan dari tingkat nasional sampai ke daerah. Begitu pula
anggota KPA di daerah yang menjadi sektor kunci harus berperan aktif, seperti
Bappeda, Dinkes, Dinsos, Disbudpar dan Disnaker.

n Adanya keselarasan penanggulangan AIDS di daerah dengan kebijakan


penanggulangan AIDS nasional

Isu HIV harus masuk ke dalam dokumen-dokumen perencanaan di daerah,


untuk menjamin keberlanjutan program. Hal ini dimulai dengan memasukkan
penanggulangan AIDS ke dalam RPJMD, yang kemudian diturunkan menjadi Renstra
SKPD dan Renja SKPD, untuk kemudian masuk dalam RKA SKPD.
PELAKSANAAN SRAN DI TINGKAT DAERAH

Adanya koordinasi efektif penanggulangan AIDS di daerah mulai dari tingkat provinsi,
kabupaten/ kota, hingga ke tingkat layanan dan pelaksana lapangan

Berbagai bentuk koordinasi kelembagaan harus berjalan dengan teratur. Mulai dari
pertemuan koordinasi anggota KPA yang dipimpin langsung oleh Kepala Daerah,
sampai dengan pertemuan-pertemuan berikutnya yang bersifat teknis. Supervisi dan
bimbingan teknis perlu dilakukan untuk memastikan mekanisme koordinasi tersebut
berjalan efektif.

n Adanya kompetensi para petugas manajemen program dan layanan

96 Harus ada mekanisme rekruitmen SDM yang profesional untuk menjalankan fungsi-
fungsi manajemen program dan layanan. Petugas-petugas tersebut harus mempunyai
kompetensi untuk menjalankan setiap pedoman teknis dan Prosedur Operasional
Standar.

n Adanya pelibatan bermakna komunitas populasi kunci

Pelibatan bermakna populasi kunci seperti pekerja seks dan pelanggannya, LSL, Gay
dan Waria serta pasangannya dan Penasun serta pasangannya dan ODHA merupakan
kunci keberhasilan penanggulangan AIDS di daerah. Pelibatan komunitas populasi
kunci dan ODHA agar dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan sampai
evaluasi. Peran nyata komunitas harus terdokumentasi dengan baik.

n Adanya informasi strategis yang dapat memberikan umpan balik bagi


perbaikan program dan layanan di kabupaten/ kota

Setiap daerah harus memiliki data terkini mengenai perkembangan epidemi dan
kemajuan program HIV dan AIDS setempat. Lebih penting lagi agar data tersebut
digunakan untuk perbaikan dan peningkatan program dan layanan.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

6.2. Kepemimpinan dan Tata Kelola

Kepemimpinan dan tata kelola penanggulangan AIDS di tingkat provinsi dan


kabupaten/ kota merupakan tanggung jawab Kepala Daerah sebagai Ketua Komisi
Penanggulangan AIDS di daerah masing-masing. Komitmen pimpinan daerah untuk
penanggulangan AIDS perlu diikuti dengan tata kelola formal dalam hal perencanaan
dan penganggaran lintas sektor untuk penanggulangan AIDS, mulai dari pencegahan,
perawatan, dukungan dan pengobatan serta mitigasi dampak sampai dengan
penciptaan lingkungan kebijakan yang mendukung.

PELAKSANAAN SRAN DI TINGKAT DAERAH


Dalam pelaksanaannya, Ketua Komisi Penanggulangan AIDS daerah dibantu oleh
Sekretariat dengan tim kerja yang direkrut secara profesional. Tugas pokok dan fungsi
Sekretariat KPA di daerah adalah memberikan dukungan pada KPA agar berfungsi
dalam penyusunan kebijakan, pengelolaan pelaksanaan penanggulangan, mobilisasi
sumber daya, koordinasi pelaksanaan, kerja sama, penyebarluasan informasi, fasilitasi
KPA di bawahnya, pembentukan kelompok peduli AIDS, serta monitoring dan evaluasi
pelaksanaan penanggulangan AIDS.

Penanggulangan AIDS memerlukan kepemimpinan yang kuat, karena program


memerlukan pendekatan lintas sektor dan lintas tingkatan. Kepemimpinan tersebut
memerlukan kemampuan komunikasi yang baik. Penguatan kepemimpinan untuk
penanggulangan AIDS perlu menjadi prioritas. Kepemimpinan dibutuhkan mulai
dari tingkat provinsi, kabupaten/ kota, pada seluruh sektor anggota KPA seperti 97
Bappeda, Dinkes, Dinsos, Disdik, Disbudpar, Disnaker, sampai dengan para pemangku
kepentingan di lokasi hotspot termasuk Kepala Desa/ Lurah/ RW dan RT serta pemuka
agama dan tokoh masyarakat.

6.3. Kemitraan dan Koordinasi Lintas Sektor

6.3.1. Kemitraan Penanggulangan AIDS di Daerah

Kemitraan lintas sektor untuk penanggulangan AIDS sangat penting. KPA di tingkat
provinsi dan kabupaten/ kota perlu membangun kemitraan dengan semua sektor
pemerintah yang berkaitan dengan HIV dan AIDS, seperti kesehatan, sosial, pendidikan,
kebudayaan dan pariwisata, serta tenaga kerja, perhubungan dan lain-lain.

Kemitraan dengan sektor non pemerintah, seperti LSM dan kelompok-kelompok


komunitas merupakan pintu masuk untuk dapat menjangkau populasi berisiko
terinfeksi HIV, yaitu pekerja seks dan pelanggannya, pengguna NAPZA, LSL, Gay, Waria
serta pasangan intim mereka.

Kemitraan dengan dunia usaha juga perlu dibangun (PPP-Public Private Partnership)
untuk menyelenggarakan pencegahan HIV di tempat kerja, dan mengembangkan
upaya-upaya yang didukung CSR (Corporate Social Responsibility)untuk komunitas
dan masyarakat sekitar tempat kerja.

Sektor swasta juga perlu dibina untuk mendorong kemitraan public-private dalam
upaya mobilisasi dukungan terhadap program pencegahan, perawatan, dukungan
dan pengobatan serta mitigasi dampak di dunia kerja dan berbagai bentuk tanggung
jawab sosial bagi masyarakat sekitar.

6.3.2. Koordinasi Penanggulangan AIDS di Daerah


PELAKSANAAN SRAN DI TINGKAT DAERAH

KPA adalah lembaga yang anggotanya bersifat multi sektoral, merupakan forum
untuk menyamakan pandangan bagi pelaksanaan program melalui proses
koordinasi. Koordinasi lintas sektor yang efektif adalah dimensi pendukung untuk
penanggulangan AIDS di daerah.

Koordinasi efektif di tingkat KPA provinsi dan kabupaten/ kota perlu dilakukan dengan
mengikuti Standard Operating Procedure (SOP) koordinasi kelembagaan. SOP
koordinasi kelembagaan perlu diatur setidaknya untuk koordinasi berikut:

1. Koordinasi Pengurus Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) provinsi dan kabupaten/


kota yang dipimpin Kepala Daerah bertujuan memastikan seluruh anggota KPA
memahami dan menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing, dalam upaya
98 mengendalikan epidemi HIV di daerah masing-masing.

2. Koordinasi antar pemangku kepentingan, diantaranya dengan SKPD/ lembaga,


dengan Populasi Kunci dan pertemuan lain sesuai kebutuhan yang bertujuan
untuk memastikan seluruh kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak terkait dapat
berjalan dengan baik.

3. Pertemuan koordinasi PMTS-LKB yang bertujuan untuk memastikan seluruh


pelaksana memahami peran dan fungsinya masing-masing dalam menjalankan
program PMTS-LKB serta mendorong terjadinya koordinasi dalam pencapaian
tujuan.

4. Pelaporan dan koordinasi dengan Ketua KPA provinsi dan kabupaten/ kota yang
bertujuan untuk mengoptimalkan peran Ketua Komisi Penanggulangan AIDS
dalam memimpin dan mengkoordinasikan pelaksanaan program penanggulangan
AIDS di daerah masing-masing.

5. Supervisi, pembinaan dan pengawasan yang bertujuan untuk memastikan Komisi


Penanggulangan AIDS provinsi dan kabupaten/ kota dan seluruh mitra kerjanya
sudah memahami tugas dan fungsinya dalam menjalankan program serta
mendorong terjadinya koordinasi dalam pencapaian tujuan.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

6. Pertemuan koordinasi internal Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS yang


bertujuan untuk meningkatkan kinerja internal Sekretariat dalam mengelola
permasalahan program maupun kelembagaan sedini mungkin.

6.4. Perencanaan dan Pembiayaan

6.4.1. Perencanaan

KPA di daerah perlu memperkuat kapasitas perencanaan penanggulangan AIDS lintas

PELAKSANAAN SRAN DI TINGKAT DAERAH


sektor di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota. Dalam era desentralisasi, perencanaan
penanggulangan AIDS di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota perlu dilakukan secara
terintegrasi dengan perencanaan pembangunan daerah melalui mekanisme yang
bersifat inklusif dan partisipatif melibatkan lintas sektor, LSM, komunitas terdampak
HIV, populasi kunci dan ODHA serta mitra pembangunan lainnya.

Penanggulangan AIDS perlu menjadi salah satu agenda tetap dalam proses
MUSRENBANG, mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten/ kota hingga tingkat
provinsi. Hal ini perlu menjadi pokok bahasan dalam forum SKPD di setiap tingkatan
pemerintahan. Dalam proses perencanaan, perlu pembagian peran yang maksimal
semua anggota KPA sesuai peraturan pemerintah.

Sebagai panduan penanggulangan AIDS secara nasional, SRAN perlu diterjemahkan 99


ke dalam bentuk dokumen perencanaan di daerah sesuai ketentuan desentralisasi.
Integrasi SRAN pada dokumen perencanaan di daerah perlu diterjemahkan dalam
bentuk program kerja dalam RPJMD dan selanjutnya dalam Renstra SKPD dan Renja
SKPD, sehingga dapat menjadi dasar untuk masuk dalam RKA SKPD. Integrasi ke dalam
perencanaan di daerah penting untuk menjamin keberlanjutan program. Integrasi
akan membuat SKPD terkait memiliki peluang untuk dapat menganggarkan program
penanggulangan AIDS. Perlu didorong keberadaan Perda AIDS dan produk-produk
hukum di daerah (seperti Pergub, Perbup dan Perwali) yang dapat mendukung
integrasi dalam perencanaan di daerah.

Kemajuan penanggulangan AIDS di daerah harus dapat terpantau dengan baik,


karenanya setiap daerah juga perlu menetapkan target pencapaian program
penanggulangan AIDS lintas sektor dengan pembagian tugas dan tanggung jawab
yang jelas antar pelaksana program.

Perencanaan penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten/ kota perlu dibuat dengan


mempertimbangkan realitas beban epidemi di wilayahnya, khususnya pada populasi
kunci seperti pekerja seks dan pelanggannya, LSL, Gay dan Waria serta pasangannya,
dan pengguna NAPZA suntik serta pasangannya. Perencanaan tingkat kabupaten/
kota perlu membuat skala prioritas sesuai beban epidemi di setiap wilayah kerja hingga
tingkat kecamatan dan desa. Pemantauan beban epidemi HIV di tingkat kabupaten/
kota perlu dilakukan secara berkala melalui kegiatan teknis seperti pemetaan populasi
kunci.

6.4.2. Pembiayaan

Peran provinsi dan kabupaten/ kota sangat penting dalam mengelola pelaksanaan
dan perluasan program prioritas penanggulangan AIDS seperti PMTS, Pengurangan
PELAKSANAAN SRAN DI TINGKAT DAERAH

Dampak Buruk NAPZA, LKB dan SUFA/ PDP/ PPIA.

Pemenuhan anggaran biaya yang memadai diperlukan bagi upaya penjangkauan


populasi kunci oleh layanan berbasis komunitas; penguatan ketertautan antara
layanan sektor kesehatan dan yang berbasis komunitas; penyediaan reagen tes HIV
dan pengobatan HIV serta infeksi oportunistik penyerta seperti IMS, TB dan Hep-C;
serta untuk pembiayaan Sekretariat KPA.

Untuk itu, KPA di daerah perlu meningkatkan alokasi pendanaan penanggulangan


AIDS di tingkat kabupaten/ kota; baik melalui SKPD terkait maupun melalui
mekanisme pembiayaan oleh pemerintah untuk lembaga swadaya masyarakat. Perlu
pula melakukan eksplorasi peluang kemitraan sektor swasta (CSR) baik melalui hibah
100 filantropis maupun dengan bentuk kerjasama public-private. Dengan mengalirnya
alokasi anggaran secara langsung ke tingkat desa, KPA perlu pula mendorong adanya
perencanaan dan penganggaran di tingkat desa sebagai kontribusi pemangku
kepentingan di tingkat desa bagi penanggulangan AIDS.

Dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS, transisi
pembiayaan pencegahan dan pengobatan HIV dalam sistem JKN perlu direncanakan
dengan seksama sebagai upaya keberlanjutan program. Upaya serupa juga perlu
dilakukan di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota mengikuti kebijakan jaminan sosial
yang berlaku di daerah setempat.

6.5. Pelaksanaan di Daerah

Dalam desentralisasi yang paling penting adalah adanya layanan publik yang semakin
dekat dengan masyarakat yang membutuhkan. Prioritas pengembangan layanan di
tingkat kabupaten/ kota sesuai dengan kebijakan penanggulangan AIDS nasional
adalah antara lain untuk perluasan dan penguatan LKB, PMTS, Pengurangan Dampak
Buruk NAPZA dan SUFA/ PDP/ PPIA.

Dalam konteks LKB, prioritasnya adalah desentralisasi layanan HIV hingga ke tingkat
komunitas misalnya di tingkat Puskesmas dan layanan berbasis komunitas, mulai dari
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

layanan pencegahan, tes HIV, serta inisiasi pengobatan dini dan pemberian dukungan
psikososial untuk meningkatkan kepatuhan minum obat, serta mengurangi stigma
dan diskriminasi di masyarakat. Prioritas geografis perlu dilakukan dalam pelaksanaan
program penanggulangan AIDS agar menjadi lebih tepat sasaran, khususnya untuk
mendorong ketersediaan layanan di titik-titik hotspot prioritas di tingkat kabupaten/
kota.

Secara khusus pelaksanaan LKB di tingkat Puskesmas perlu didorong untuk mencapai
integrasi layanan HIV ke dalam layanan kesehatan dasar di Puskesmas seperti layanan
KIA, TB, IMS, Kespro. Hal ini penting untuk meningkatkan kesinambungan dan

PELAKSANAAN SRAN DI TINGKAT DAERAH


meningkatkan efisiensi dan efektivitas layanan HIV pada struktur layanan kesehatan
primer.

Masih dalam konteks pelaksanaan LKB, prioritas perlu diberikan untuk penguatan
ketertautan antara layanan di sektor kesehatan dengan layanan yang berbasis
komunitas. Hal ini penting dilakukan di Tanah Papua, dimana epidemi sudah sampai
ke populasi umum.

Dalam desentralisasi, pelaksanaan layanan publik di tingkat provinsi hingga


kabupaten/ kota adalah tanggung jawab dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
setempat yang terkait, bersama dengan mitra pelaksana kegiatan di daerah. Untuk
meningkatkan kualitas dan efektivitas pelaksanaan penanggulangan AIDS di daerah,
KPA perlu mendorong adanya mekanisme pemantauan/supervisi secara berkala 101
untuk setiap unit kerja tersebut sesuai dengan standar mutu yang telah disepakati.

Pelatihan dilaksanakan sesuai kebutuhan; daerah harus mampu mendefinisikan


kebutuhan dan tantangan kapasitas. Selain peningkatan kapasitas teknis dalam
memberikan layanan, peningkatan standar mutu dan kualitas yang dipandang cukup
penting adalah untuk mendorong layanan yang lebih ramah komunitas termasuk pada
populasi kunci, ODHA, perempuan dan remaja. Bila terdapat kebutuhan peningkatan
kapasitas, KPA juga perlu mendorong adanya perencanaan kegiatan dan anggaran
rutin untuk komponen tersebut. Supervisi/ bimtek secara berjenjang menjadi upaya
penting peningkatan kapasitas dan kompetensi.

Peningkatan kapasitas untuk memobilisasi serta memberdayakan masyarakat dan


komunitas untuk berpartisipasi aktif dalam upaya penanggulangan AIDS di tingkat
kabupaten/ kota juga merupakan kegiatan yang penting, khususnya untuk mendorong
akuntabilitas layanan dan juga semakin mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap
populasi kunci dan ODHA. Kegiatan ini perlu didorong di tingkat kecamatan dan
desa, khususnya dengan meningkatnya sumber dana ke desa. Kegiatan yang dapat
dilakukan antara lain pembentukan Pokja di Kecamatan dan penguatan WPA di desa/
kelurahan, program pencegahan dan dukungan oleh desa/kelurahan terutama untuk
mobilisasi atau mendorong akses ke layanan melalui peningkatan health seeking
behavior dari masyarakat.
Peningkatan kapasitas komunitas populasi kunci dilakukan antara lain melalui
pelatihan terkait perencanaan, pelibatan dalam pertemuan; pelibatan akan bermakna
seiring meningkatnya kapasitas wakil-wakil populasi kunci. Keterwakilan komunitas
dalam perencanaan, kegiatan, evaluasi agar disepakati di kalangan komunitas
sehingga dapat memunculkan wakil terbaik dari komunitas itu sendiri.

6.6. Monitoring dan Evaluasi di Daerah

Setiap daerah harus memiliki data terkini. Pertama mengenai perkembangan epidemi
PELAKSANAAN SRAN DI TINGKAT DAERAH

HIV, yaitu setidaknya jumlah kasus HIV dan AIDS serta data kematian terkait AIDS,
estimasi dan pemetaan populasi kunci. Kemudian laporan kemajuan penanggulangan
AIDS termasuk data kelembagaan, pendanaan, cascade layanan HIV mulai dari
pencegahan, tes HIV, pengobatan, perawatan dan dukungan, serta mitigasi dampak.

Mekanisme pembaharuan data harus berjalan secara berkala, seperti pemetaan,


estimasi, pelaporan dan pencatatan rutin dan pelaporan supervisi. Ini semua dalam
satu kerangka monitoring dan evaluasi yang mampu memberikan informasi strategis
bagi perencanaan dan perbaikan pelaksanaan program di daerah. Monitoring dan
evaluasi terintegrasi dalam sistem yang sudah ada di SKPD.

Kegiatan monitoring dan evaluasi agar mengacu pada dokumen perencanaan yang
102 berisikan indikator dan target yang harus dicapai masing-masing mitra pelaksana, baik
SKPD, mitra non-pemerintah atau komunitas. Mekanisme monitoring dan evaluasi
harus berjalan harmonis mulai dari tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/ kota,
dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Monitoring dan evaluasi di tingkat daerah agar difasilitasi oleh KPA melalui mekanisme
Kelompok Kerja Monev (Pokja Monev) di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota. Pokja
monev harus mampu memberikan umpan balik secara rutin di daerah, untuk perbaikan
segera pelaksanaan program. Hasil monitoring dan evaluasi agar dikomunikasikan
pula secara teratur kepada pimpinan daerah dan para pembuat kebijakan untuk
menjadi dasar perencanaan dan pembuatan kebijakan yang mendukung.

Diseminasi data yang real-time secara visual kepada pihak yang lebih luas dan
masyarakat perlu dilakukan memanfaatkan ICT (Information and Communication
Technology). Pengguna ICT perlu dioptimalkan untuk akuntabilitas publik,
mempercepat rekonsiliasi data, memperbaiki ketepatan waktu dan kualitas pelaporan
serta pencatatan program.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

PELAKSANAAN SRAN DI TINGKAT DAERAH


103
104
Strategi dan Rencana
Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

SUMBER DAYA DAN PENDANAAN


105

BAB 7

Sumber Daya
dan Pendanaan
BAB 7.
Sumber Daya dan Pendanaan

7.1. Sumber Daya Manusia

Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan dimensi pendukung yang


penting untuk dapat mencapai tujuan SRAN 2015-2019. Sumber daya manusia yang
SUMBER DAYA DAN PENDANAAN

mumpuni diperlukan untuk menjamin kualitas pelaksanaan SRAN. Desentralisasi


pengobatan HIV ke layanan kesehatan primer sangat memerlukan penguatan SDM.
Penguatan SDM juga diperlukan pada upaya pencegahan yang berbasis komunitas.

Ada beberapa usaha strategis yang perlu dilakukan dalam menghadapi tantangan
SRAN 2015-2019:

1. Mengkoordinasikan upaya-upaya pengembangan sumber daya manusia melalui


kelompok kerja khusus.
106
2. Setiap mitra pelaksana agar menyusun rencana pengembangan SDM untuk
perluasan layanan, peningkatan cakupan dan meningkatkan efektivitas intervensi
yang diuraikan dalam SRAN 2015-2019. Rencana tersebut mencakup kegiatan
penyegaran dan pelatihan staf baru.

3. Dengan adanya perluasan penanggulangan AIDS dan integrasi layanan HIV, maka
ada kebutuhan untuk memasukkan isu HIV dalam pendidikan di perguruan tinggi
dan lembaga pelatihan untuk memperkuat pelatihan pra-layanan.

4. Menggunakan konsep tenaga kerja multiplier akan sangat penting untuk


memenuhi kebutuhan sumber daya manusia. Ini berlaku pada staf lini depan yang
memberikan pelayanan di fasilitas kesehatan dan layanan berbasis masyarakat,
serta SDM yang bertanggung jawab untuk melakukan pelatihan. Pertimbangan
utama dalam hal ini adalah sebagai berikut:

n Peningkatan keterlibatan populasi kunci, ODHA dan organisasi masyarakat sipil


pelaksanaan penanggulangan AIDS merupakan multiplier tenaga kerja yang
penting. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, SDM membutuhkan
keterampilan dasar agar dapat menjalankan fungsinya sebagai petugas
lapangan, pendidik sebaya maupun promotor, dan penyedia dukungan dan
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

layanan lainnya di lingkungan masyarakat. Misalnya keterampilan-keterampilan


yang mencakup (1) pemahaman yang akurat mengenai penularan dan
pencegahan HIV, (2) komunikasi dan advokasi, (3) pemahaman dasar sistem
kesehatan, termasuk titik masuk untuk layanan HIV, (4) pemahaman dasar
tentang penyedia dan layanan dukungan sosial dan mitigasi dampak serta
bagaimana layanan tersebut dapat diakses, termasuk BJPS.

n Jumlah tenaga dari masyarakat sipil yang dibutuhkan program perlu dihitung
oleh masing-masing kabupaten/ kota dengan dukungan teknis dari provinsi.
Perhitungan kebutuhan ini dengan menggunakan informasi mengenai
jumlah populasi kunci maupun ODHA, serta organisasi masyarakat sipil. Dalam
rangka meningkatkan jumlah orang yang dijangkau untuk dirujuk ke layanan
kesehatan, maka SDM dari komunitas perlu ditingkatkan. Untuk Pendidik Sebaya

SUMBER DAYA DAN PENDANAAN


(PE), misalnya, pada WPSL dan waria dibutuhkan sejumlah orang dengan rasio
(jumlah PE terhadap orang yang dijangkau) berkisar 1:20 sampai dengan 1:50.
Pada Penasun, rasio diperkirakan antara 1:10 sampai 1:20. Pada WPSTL seperti
yang berada pada bisnis hiburan, dapat mengembangkan pendekatan peer
leader selain pendidik sebaya dimana rasionya dapat berkisar antara 1:5-1:30.
Untuk melaksanakan program tersebut, dukungan Dinas Pariwisata sangat
dibutuhkan. Pada LSL, jumlah tenaga dari komunitas, untuk pendidik sebaya
misalnya, yang dibutuhkan akan tergantung pada pendekatan program.
Jika berbasis website/ internet, maka rasionya bisa mencapai lebih dari 1:50,
sementara dengan pendekatan konvensional, face-to-face, akan berkisar antara 107
1:15 sampai 1:30.

n Mendampingi orang yang menjalani konseling dan testing HIV, serta memulai
pengobatan ARV, dibutuhkan SDM dari komunitas, yang berperan sebagai
dukungan sebaya. Di kota dengan infrastruktur yang lebih baik, dukungan dari
komunitas dapat berupa tenaga konseling. Ada beberapa sebutan untuk peran
ini, salah satunya yang masih banyak digunakan adalah Manajer Kasus. Tugasnya
tidak hanya mendampingi pada saat diagnostik hingga mulai pengobatan,
tetapi juga dalam kepatuhan minum obat dan mempertahankan pasien dalam
pengobatan. Agar berjalan dengan baik, kegiatan ini perlu dikoordinasi oleh
KPA kabupaten/ kota yang tidak hanya bekerja sama dengan Dinas Kesehatan
serta petugas fasilitas kesehatan, tetapi juga kelompok masyarakat seperti
kader maupun komunitas.

n Untuk mendorong terjadinya koordinasi multi-pihak dalam pemenuhan


kebutuhan SDM, maka KPA kabupaten/ kota perlu mengambil peran sebagai
penggerak. Pelibatan komunitas diperkuat dengan memperkuat jaringan
populasi kunci serta peran masyarakat sipil lainnya untuk mendukung LKB
dan SUFA. Dinas Kesehatan perlu memperkuat pemberian layanan berkualitas
dengan ketertautan penguatan sistem komunitasnya. Sementara pendanaan
untuk SDM dari sumber dana daerah perlu diperkuat melalui proses
perencanaan dan penganggaran.

n Pengalihan tugas (task shifting) menjadi elemen penting dalam SRAN 2015-
2019, meliputi (1) perluasan tanggung jawab untuk merawat pasien HIV dari
spesialis/ internis ke dokter umum, (2) tanggung jawab beberapa layanan
bergeser dari dokter ke perawat, dan (3) perawat merangkap teknisi laboratorium
sederhana untuk menyelesaikan kekurangan kapasitas laboratorium yang
menghambat untuk ekspansi pengobatan. Kementerian Kesehatan perlu
membuat kelompok kerja task shifting untuk menjadi dewan pertimbangan
atas pelaksanaan kegiatan ini.

n Adanya penambahan jumlah staf untuk peningkatan kapasitas. Staf provinsi


SUMBER DAYA DAN PENDANAAN

perlu mengambil peran yang lebih besar dan lebih sistematis dalam
membangun kapasitas di tingkat kabupaten/ kota. Staf yang dimaksud di sini,
mempertimbangkan juga tidak hanya pada fasilitas layanan yang statis, tetapi
juga yang bergerak (mobile), secara komprehensif.

5. Untuk memaksimalkan efisiensi diperlukan adanya pelatihan, pembinaan,


mentoring yang harus dikaitkan dengan sistem QA/ QI sehingga peningkatan
kapasitas juga diikuti dengan peningkatan mutu yang berkelanjutan.

108 7.2. Kebutuhan dan Ketersediaan Dana

Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2015-2019 membutuhkan pendanaan yang


berkelanjutan dari berbagai sumber baik dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat,
swasta maupun mitra pembangunan internasional. Saat ini, penanggulangan HIV
dan AIDS menghadapi tantangan berkenaan dengan kemandirian pendanaan yang
berkelanjutan.

RPJMN 2015-2019. RPJMN 2015-2019 menetapkan bahwa kesehatan merupakan


salah satu program kunci pembangunan jangka menengah periode ini dalam
Pembangungan Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan adalah butir ketiga dari 10 butir isu strategis RPJMN
2015-2019. Dalam Sasaran Pokok-nya, ditetapkan bahwa Prevalensi HIV pada
populasi dewasa status awal adalah 0,43% dengan target <0,5% pada tahun 2019.
Mempertimbangkan bahwa salah satu arah kebijakan RPJMN 2015-2019 adalah
reformasi yang difokuskan pada penguatan upaya kesehatan dasar (primary health
care) yang berkualitas melalui upaya promotif dan preventif serta pengembangan
sistem Jaminan Kesehatan Nasional, maka dalam rangka pengendalian penyakit
menular, termasuk HIV dan AIDS, adalah dengan beberapa strategi utama, antara
lain, peningkatan surveilans, epidemiologi kasus dan pemutusan rantai penularan,
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

pemanfaatan teknologi preventif tepat guna, dan pemberdayaan masyarakat.

Dalam kerangka pendanaan untuk RPJMN, tiga sumber dana penting yang disebutkan
akan ditingkatkan adalah (1) dana publik (pemerintah), termasuk peningkatan peran
dan tanggung jawab pemerintah daerah, (2) peningkatan sumber dari tarif/ pajak
khusus, dan (3) peningkatan peran dunia usaha melalui kemitraan publik-privat
maupun CSR (Corporate Social Responsibility). Sementara itu untuk peningkatan
efektivitasnya, dilakukan beberapa langkah, yaitu (1) pembagian peran dan
kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/ kota; (2) peningkatan
efisiensi dan efektivitas anggaran kesehatan melalui sinergi perencanaan, perencanaan
berbasis bukti dan pengelolaan anggaran kesehatan yang terfokus pada pencapaian
prioritas nasional; dan (3) pengelolaan dan pengembangan Dana Alokasi Khusus
(DAK) bidang kesehatan yang lebih tepat sasaran. Secara eksplisit, penanggulangan

SUMBER DAYA DAN PENDANAAN


HIV dan AIDS disebutkan dalam kerangka kelembagaan lintas sektor/ lintas bidang.

Langkah ke depan dengan fokus penanggulangan HIV dan AIDS sebagaimana


diarahkan dalam RPJMN adalah sebagai berikut:

n Peningkatan pendanaan. Peningkatan pengeluaran biaya pemerintah pusat


dan daerah untuk kesehatan; serta kerjasama dengan swasta dan masyarakat sipil.

n Peningkatan allocative dan technical efficiency pembiayaan. Melalui upaya


promotif, preventif, pemberdayaan masyarakat dan pembayaran melalui SJSN, 109
serta melalui kemampuan perencanaan dan pengelolaan anggaran.

n Kelembagaan. Melalui koordinasi lintas sektor dan institusionalisasi SDGs


(Sustainable Development Goals).

n Kerangka Regulasi. Melalui penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM,


Nomenklatur anggaran, serta Rencana Aksi Daerah (RAD) dalam sistem
perencanaan, yang merupakan peran penting Kementerian Dalam Negeri.

Kondisi Pendanaan Secara Umum. Saat ini peran pendanaan dalam negeri terus
meningkat. Kebutuhan anggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS meningkat
sampai sebesar USD 87,002,697. Pada sisi kuratif terkait dengan penyediaan ARV
peran pendanaan dalam negeri meningkat dari 27% pada tahun 2006 menjadi 43%
pada tahun 2012. Namun demikian, program penanggulangan HIV dan AIDS yang
bersumber dari dana luar negeri masih cukup besar (57%).

Selama ini kebutuhan anggaran bersumber luar negeri untuk penanggulangan HIV
dan AIDS tersebut dipenuhi oleh Global Fund, Departemen Luar Negeri Negara
Australia, Dana Dukungan Amerika Serikat (USAID), Pemerintah Inggris (UK), Badan-
badan PBB dan Organisasi Non Pemerintah Internasional (NGOI). Diperkirakan,
sumber-sumber pendanaan luar negeri tersebut akan berkurang pada periode
2015-2019. Walaupun alokasi anggaran untuk pengobatan bersumber dari anggaran
dalam negeri meningkat pesat pada periode tahun 2006-2012, namun kebutuhan
untuk pelaksanaan program promotif-preventif sebagian besarnya masih sangat
bergantung pada dana bantuan luar negeri. Untuk itu, diperlukan mobilisasi sumber
pendanaan lainnya yang masih tersedia.

Kondisi Pendanaan Daerah. Sebagai upaya untuk mengurangi jumlah penularan


baru, upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan berikut:

n Sistem perencanaan pembangunan nasional yang diatur dalam Undang-undang


Nomor 25 Tahun 2004;
SUMBER DAYA DAN PENDANAAN

n Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 444.24/2259/sj tentang penguatan


kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan
AIDS di daerah.

Berikut ini adalah realisasi tahunan pendanaan dalam negeri.

Gambar 7.1. Realisasi Pendanaan Dalam Negeri, 2010-2014,


berdasarkan sumber (USD)
110

Kondisi di atas menunjukkan bahwa pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS di


daerah selama tahun 2010-2014 masih cenderung stagnan dan bahkan mengalami
penurunan bila inflasi dimasukkan dalam perhitungan.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Kondisi ini memberi gambaran yang mengarah pada perlunya penguatan


dan peningkatan yang bermakna dukungan pendanaan daerah untuk upaya
penanggulangan HIV dan AIDS. Provinsi dan kabupaten/ kota harus mampu
menunjukkan kapasitasnya dalam mengatasi masalah HIV dan AIDS ini.
Pendekatan yang digunakan untuk menghadapi hal ini adalah merujuk pada aturan
perundangan yang berlaku sebagaimana yang sudah diterapkan dalam proses
perencanaan dan penganggaran yang menjadi area tanggung jawab Bappenas dan
Bappeda setempat.

7.3. Analisis Anggaran

Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya, skenario 141 kabupaten/ kota
prioritas yang didalamnya terdapat 47 kabupaten/ kota SUFA sampai dengan tahun

SUMBER DAYA DAN PENDANAAN


2016, dan 75 kabupaten/ kota SUFA dimulai tahun 2017, maka dilakukan perhitungan
kebutuhan biaya. Kebutuhan biaya ini dihitung dengan mempertimbangkan
situasi epidemi di Indonesia. Berikut ini adalah total kebutuhan pendanaan untuk
penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2015-2019, yang dipilah berdasarkan upaya
pencegahan komprehensif pada populasi kunci serta pengobatan ARV pada pasien
ODHA yang memenuhi syarat.

Gambar 7.2. Kebutuhan Pembiayaan Penanggulangan HIV dan AIDS


(USD 1,000)
111

Sebagaimana tampak di atas, kebutuhan anggaran untuk penanggulangan HIV dan
AIDS pada periode 2015-2019 diperkirakan akan terus meningkat. Jika dibandingkan
dengan anggaran yang tersedia datanya hingga penulisan ini, maka berikut ini adalah
gambaran kesenjangan pendanaan antara kebutuhan dan ketersediaan. Perhitungan
mengenai ketersediaan dana dilakukan dengan memasukkan dana dalam negeri
dengan asumsi pertumbuhan 20% per tahun pada dana pusat, dan peningkatan 20%
dana daerah. Sementara itu, dana dalam negeri yang berasal dari swasta diperkirakan
adalah sekitar 3,4%-4% dari total pendanaan untuk HIV dan AIDS, termasuk dari layanan
kesehatan swasta, bantuan swasta, dan CSR. Ketersediaan dana juga mencakup dana
luar negeri dari Global Fund dan dana bilateral lainnya, yang berjumlah sekitar hampir
50% dari total dana untuk HIV dan AIDS.

Gambar 7.3. Proyeksi Kebutuhan, Ketersediaan dan Kesenjangan Dana Tahun


SUMBER DAYA DAN PENDANAAN

2015-2019

112

Gambar di atas menunjukkan bahwa pada 3 tahun pertama (2015-2017), kesenjangan


pendanaan relatif kecil, bahkan, dalam perhitungan, tahun 2015 masih ada dana yang
bisa dimanfaatkan lebih. Namun demikian, dengan akan berakhirnya dukungan
pendanaan dari Global Fund, maka diperkirakan akan terjadi kesenjangan yang besar
pada tahun 2018 dan tahun 2019.

Analisis efesiensi pembiayan juga telah diilakukan misalnya dengan integrasi layanan,
(penyederhaan dosis obat) penyerdahanaan prosedur pemeriksaan sehingga tingkat
kesenjangan kebutuhan akan lebih kecil.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

7.4. Analisis Investasi

Berdasarkan hasil kajian ICA, pada tahun 2015 diperlukan biaya sebesar USD 8.015
untuk mencegah terjadinya satu infeksi baru HIV, pada tahun 2017 USD 4.619 dan
pada tahun 2019 angka ini menurun menjadi USD 2.458 persatu infeksi baru HIV
yang tidak terjadi. Dengan angka sebesar ini, maka total biaya yang dibutuhkan
untuk melakukan program SRAN 2015-2019 secara komprehensif adalah sebesar USD
568.034.000, dengan penghematan sebesar USD 154.320.000 pada pengobatan jika
program dilaksanakan secara efektif.

7.5. Strategi pemenuhan kebutuhan anggaran serta kemandirian


terhadap ketergantungan dana luar negeri

SUMBER DAYA DAN PENDANAAN


Untuk memenuhi kebutuhan anggaran penanggulangan HIV dan AIDS, diperlukan
beberapa langkah yang saling melengkapi dan bertujuan tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan jangka pendek per tahun, tetapi juga melihat upaya ini sebagai langkah
yang mengarah pada keberlanjutan program dengan pemberdayaan lokal yang pada
gilirannya mandiri dari pada ketergantungan dukungan dana luar negeri. Langkah-
langkah tersebut adalah sebagai berikut:

n Menggunakan payung kebijakan nasional serta aturan perundangan sebagai


titik tolak strategi terkait pendanaan. RPJMN dan berbagai Peraturan Menteri
untuk mendukung perencanaan daerah. Contoh kebijakan sektoral adalah Surat 113
Edaran Menteri Kesehatan untuk kabupaten/ kota untuk menyediakan reagent
testing agar tercukupi kebutuhan dalam rangka peningkatan jumlah orang yang
mengetahui status HIV-nya.

n Memperkuat kapasitas daerah (provinsi dan kabupaten/ kota), untuk


melaksanakan program yang berdampak pada epidemi, berkualitas, didukung
tenaga berkompeten dan mandiri. Bimbingan teknis yang memadai diberikan
secara bertingkat mengikuti pedoman dan tata laksana yang dikeluarkan oleh
masing-masing sektor. Contoh peningkatan kapasitas daerah dalam sektor
ketenagakerjaan adalah, bimbingan agar komunitas di daerah dapat masuk dalam
dunia kerja, melalui eliminasi diskriminasi seleksi karyawan, penguatan ekonomi
masyarakat, dan pengalihan jenis pekerjaan yang berisiko.

n Efisiensi dan menurunkan biaya program contohnya mengurangi


biaya penjangkauan dengan alternatif metode penjangkuan yang lebih
murah; mengurangi 2 kali tes fungsi hati per tahun untuk pemantauan ART;
mempertahankan pasien dalam penggunaan ARV lini pertama sehingga menekan
jumlah pasien yang masuk ke lini 2 (menjadi hanya sekitar 4%); penyesuaian
biaya yang terlalu tinggi dibandingkan dengan di negara lain; mengurangi
biaya tambahan yang hingga saat ini masih dibantu dana luar negeri (misalnya,
insentif tenaga kesehatan, biaya transportasi pasien); dan integrasi layanan HIV ke
Puskesmas, serta meningkatkan cakupan JKN.

n Mengawal upaya-upaya memperkuat integrasi program penanggulangan


HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan nasional dan pelaksanaannya melalui
Jaminan Kesehatan Nasional, yang juga mencakup upaya promotif dan preventif.
Dibutuhkan kombinasi upaya yang bersifat advokasi di tingkat pusat maupun
daerah, dengan pelaksanaan praktik baik di daerah untuk memperluas populasi
kunci akses ke JKN.

n Memperkuat kegiatan yang berbasis komunitas dan masyarakat. Termasuk


di dalamnya memperkuat pendekatan sebaya (seperti pendidik sebaya, konseling
berbasis komunitas, dukungan sebaya, peer leader, penjangkau sebaya), serta
SUMBER DAYA DAN PENDANAAN

dukungan dan peran aktif masyarakat (kader, Warga Peduli AIDS, bidan/ perawat
komunitas, layanan terkait IMS dan AIDS pada K3).

n Meningkatkan penggunaan teknologi baru. Misalnya, mengembangkan


teknologi pencegahan yang memungkinkan masyarakat membayar sendiri
upaya pencegahan. Contoh lain adalah upaya-upaya tingkat lembaga untuk
menyediakan obat-obat dengan harga yang lebih murah. Melalui perhitungan
yang lebih teliti serta persiapan aturan pemerintah, produksi dalam negeri dapat
merupakan salah satu cara untuk menurunkan harga obat ARV. Metode-metode
114 baru untuk meningkatkan pendanaan, seperti matching fund, juga dapat dimulai
dari beberapa kota yang sudah siap.

n Meningkatkan koordinasi penggunaan dana privat untuk AIDS. Fasilitas


dan tenaga kesehatan swasta, termasuk dari lembaga non pemerintah, telah
menjadi bagian dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Di Tanah Papua,
perlu adanya pemanfaatan kerjasama melalui perusahaan swasta khususnya pada
kota pelabuhan/ dalam koridor ekonomi untuk dapat menyediakan HCT dan dapat
memberikan layanan pendidikan pencegahan serta rujukan pengobatan bagi
masyarakat. Selain sudah terlebih dahulu ada gerakan organisasi berbasis agama
telah menjadi salah satu penggerak tersedianya layanan untuk HIV. Dukungan
dan kerjasama dari pemerintah setempat menjadi sangat penting untuk memberi
pembinaan, termasuk dalam penetapan standar pelayanan, maupun dalam
mengembangkan program yang tepat sasaran serta dapat diperluas sebagai
praktik baik di lokasi yang lain. Pemberian dana filantropis ataupun penggunaan
dana CSR untuk AIDS dalam skala yang kecil juga sudah terlaksana. Ke depan,
pengelolaan yang lebih baik serta koordinasi dengan pemerintah daerah perlu
terus ditingkatkan.
Tabel 7.4. Kebutuhan Pendanaan dan Estimasi PendanaanTahun 2015-2019 (USD 000s)

Kriteria Asumsi Tahun


2015 2016 2017 2018 2019 Total
Kebutuhan Dana 104,714 123,074 143,826 164,002 184,706 720,322
Estimasi Pendanaan (Total): 82,262 84,940 89,887 69,095 75,586 401,770
Pendanaan Dokumen Perhitungan Pen- 58.5% 48,107 54.7% 46,454 51.7% 46,454 28.9% 20,000 26.5% 20,000 181,015
Internasional danaan NFM Maret 2014
Total Pendanaan 41.5% 34,155 45.3% 38,486 48.3% 43,433 71.1% 49,095 73.5% 55,586 220,755
Nasional
Dana Pemerintah 96.6% 33,000 96.4% 37,100 96.2% 41,770 95.9% 47,099 95.7% 53,191
Pusat Th 2015 diasumsikan masih 75.8% 25,000 74.1% 27,500 72.4% 30,250 70.6% 33,275 68.8% 36,603
sama dengan th 2014 dengan
tingkat pertumbuhan 10% per
tahun.
Provinsi dan Th 2015 diasumsikan masih 24.2% 8,000 25.9% 9,600 27.6% 11,520 29.4% 13,824 31.2% 16,589
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019

Kabupaten/ Kota sama dengan th 2014dengan


tingkat pertumbuhan 20% per
tahun.
Kemitraan 3.4% 1,155 3.6% 1,386 3.8% 1,663 4.1% 1,996 4.3% 2,395
Layanan Asumsi = 2% dari pendanaan 0.8% 660 0.9% 792 1.1% 950 1.7% 1,140 1.8% 1,369
Kesehatan Swasta APBN dan APBD th 2015;
tingkat pertumbuhan 20% per
tahun.
Bantuan Swasta Asumsi = 1% dari pendanaan 0,4% 330 0,5% 396 0,5% 475 0,8% 570 0,9% 684
APBN dan APBD th 2015;
tingkat pertumbuhan 20% per
tahun.
CSR Asumsi =0.5% dari pendan- 0,2% 165 0,2% 198 0,3% 238 0,4% 285 0,5% 342
aan APBN dan APBD th 2015;
tingkat pertumbuhan 20% per
tahun.
Kesenjangan Dana 22,452 38,134 53,939 94,907 109,120 318,552

SUMBER DAYA DAN PENDANAAN


115
SUMBER DAYA DAN PENDANAAN

116
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

SUMBER DAYA DAN PENDANAAN


117
118
Strategi dan Rencana
Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

LAMPIRAN
119

Lampiran
LAMPIRAN

120
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

List of Tables
Table 2.1. Trend in HIV Prevalence among Key Populations (%)
Table 2.2. Trends in HIV Prevalence among Key Populations in Papua (%)
Table 2.3. Trends in Programmatic Responses: More Policies, Funding, Services,
Actions and Clients
Table 4.1. Prevention Targets in All Key Populations (%)
Table 5.1. Annual Coverage Targets of Prevention Programmes (in %)
Table 5.2. Annual Coverage of Behaviour-Change Interventions (in %)
Table 5.3. Annual Coverage Targets of Treatment Programmes, including
Treatment as Prevention (in %)
Table 5.4. Annual Coverage Targets for Pregnant Women Receiving ARV (in %)
Table 7.1. Funding Needs and Estimated Funding for 2015-2019 (USD 000s)

List of Diagrams

LAMPIRAN
Diagram 1.1. Framework of NASAP on HIV and AIDS Response 2015-2019
Diagram 1.2. Formulation Process of NASAP for HIV and AIDS Response 2015-2019
Diagram 2.1. Concentration of HIV Epidemic in Key Populations and Cities in Asia
Pacific 121
Diagram 2.2. HIV Prevalence Map in Indonesia in 2012
Diagram 2.3. Projections of New HIV Infections in Regions Other than Papua With
No Intervention after 2013 until 2030
Diagram 2.4. Projections of New HIV Infections in Papua without Intervention after
2013 until 2030
Diagram 3.1. Number of Annual New Infections among Adults, 2013-2030
Diagram 3.2. Number of Adult PLHIV, 2015-2030
Diagram 3.3. Number of Adult PLHIV, 2015-2030
Diagram 4.1. The Role of the National, Provincial and District/City Government
Diagram 5.1. Monitoring and Evaluation Framework
Diagram 5.2. Reporting Flow
Diagram 7.1. Realization of Domestic Funding, 2010-2014, by source (USD)
Diagram 7.2. Funding Needs for HIV and AIDS Response (USD 1,000)
Diagram 7.3. Projections of Funding Need, Availability and Resource Gap, 2015-
2019
Diagram 7.4. Projections of Funding Need, Availability and Resource Gap, 2015-
2019
LAMPIRAN

122
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Daftar Singkatan

AIDS Acquired Immuno Deficiency Syndrome


AEM AIDS Epidemic Modeling
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
ARV Obat Anti Retroviral
ART Anti Retroviral Therapy
ASEAN Association of Southeast Asian Nations
Bappenas Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BLKLN Balai Latihan Kerja Luar Negeri
BNN Badan Narkotika Nasional

LAMPIRAN
BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BPPT Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
CoC Continuum of Care
CSR Corporate Social Responsibility 123
CSS Community System Strengthening
CST Care, Support and Treatment
CTKI Calon Tenaga Kerja Indonesia
EQAS External Quality Assurance Services
ESCAP Economic and Social Commission for Asia and the Pacific
GARPR Global AIDS Response Progress Reporting
GF Global Fund
GWL Gay, Waria dan LSL lainnya
HAM Hak Asasi Manusia
HCPI HIV Cooperation Program for Indonesia
HR Harm Reduction
HIV Human Immunodeficeincy Virus
IBBS Integrated Bio-Behavioural Survey
ICA Investment Case Analysis
ICT Information and Communication Technology
ILO International Labor Organization
IMS Infeksi Menular Seksual
IPPI Ikatan Perempuan Positif Indonesia
JKN Jaminan Kesehatan Nasional
JOTHI Jaringan Orang Terinfeksi HIV
KADIN Kamar Dagang dan Industri
KAPOLRI Kepala Polisi Negara
KBRI Kedutaan Besar Republik Indonesia
KDS Kelompok Dukungan Sebaya
Keppres Keputusan Presiden
KIA Kesehatan Ibu dan Anak
KIE Komunikasi, Informasi dan Edukasi
KJRI Konsulat Jenderal Republik Indonesia
KPA Komisi Penanggulangan AIDS
KPAD Komisi Penanggulangan AIDS Daerah
KPAK Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota
KPAN Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
KPAP Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi
KSR Kesehatan Seksual dan Reproduksi
KTH Konseling dan Tes HIV
KTT Konferensi Tingkat Tinggi
KTP Kartu Tanda Penduduk
K/L Kementerian/Lembaga
LAMPIRAN

Lapas Lembaga Pemasyarakatan


LASS Layanan Alat Suntik Steril
LKB Layanan Komprehensif Berkesinambungan
124 LSL Lelaki yang berhubungan Seks dengan Lelaki
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
Menko PMK Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan
MTR Mid Term Review
NAPZA Narkotika, Psikotropika, Zat Adiktif
NCPI National Commitment and Policy Instrument
NFM New Funding Model
OBK Organisasi Berbasis Komunitas
ODHA Orang Dengan HIV dan AIDS, orang yang telah terinfeksi HIV
OHIDA Orang Hidup Dengan penderita AIDS,
umumnya anggota keluarga
OMS Organisasi Masyarakat Sipil
OPSI Organisasi Pekerja Seks Indonesia
PABM Program Adiksi Berbasis Masyarakat
PCB Programme Coordinating Board
Penasun Pengguna NAPZA suntik
Perpres Peraturan Presiden
PITC Provider Initiated Counselling and Testing
PJTKI Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia
PKNI Persaudaraan Korban Napza Indonesia
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

PMI Palang Merah Indonesia


PMTCT Prevention Mother to Child Transmission
PMTS Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual
Pokja Kelompok Kerja
PP Peraturan Pemerintah
PPIA Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
PPTKIS Pelaksana Penempatan TKI Swasta
PreP Pre-exposure Prophylaxis
PTRM Program Terapi Rumatan Methadon
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat
RAD Rencana Aksi Daerah
RAPBD Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
RAPBN Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Renja Rencana Kerja
Renstra Rencana Strategis
RKA Rencana Kerja dan Anggaran
RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
SCM Supply Chain Management
SDGS Sustainable Development Goals

LAMPIRAN
SDKI Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
SDM Sumber Daya manusia
SIHA Sistem Informasi HIV dan AIDS
SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah 125
SRAN Strategi dan Rencana Aksi Nasional
STBP Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku
STHP Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku
SUFA Strategic Use For ARV
TB Tuberkulosis
TIPK Tes atas Inisiatif Petugas Kesehatan
TKI Tenaga Kerja Indonesia
TNI Tentara Nasional Indonesia
UNAIDS Joint United Nations Programme on HIV and AIDS
UNGASS United Nations General Assembly Special Session
VCT Voluntary Counseling and Testing
WBP Warga Binaan Pemasyarakatan
WHO World Health Organization
WPS Wanita Pekerja Seks
WPSL Wanita Pekerja Seks Langsung
WPSTL Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung
ICT Information and Communication Technology
IDU Injecting Drug User
LAMPIRAN

126
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

LAMPIRAN 1:

Diagram Peran dan Tanggung Jawab


Anggota KPA Nasional dalam Upaya
Penanggulangan HIV dan AIDS

LAMPIRAN
127
LAMPIRAN

128
Lampiran 1: Diagram Peran dan Tanggung Jawab Anggota KPA Nasional dalam Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS

Kementerian Kementerian Kementerian Dalam Kementerian Agama Kementerian Sosial


Koordinator PMK Kesehatan Negeri

Kebijakan Nasional Program Kesehatan Kebijakan Dalam Pendekatan Agama Pelayanan dan Rehab
Negeri Kesejahteraan Sosial

n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi
pegawai dan keluarga pegawai dan keluarga pegawai dan keluarga pegawai dan keluarga pegawai dan keluarga
n Koordinasi dalam n Pengembangan n Kebijakan desentralisasi n Kebijakan dan n Pelayanan sosial ODHA
pengembangan Program perawatan dan dan alokasi pendanaan pedoman dalam n Pencegahan bagi
kebijakan pengobatan di tingkat pusat, program pencegahan Sub-Populasi Risti dan
penanggulangan HIV n Penguatan sistem provinsi, kabupaten/ penanggulangan HIV Rentan
dan AIDS layanan kesehatan kota dan desa dan AIDS di sektor n Menghilangkan stigma
n Koordinasi dalam n Pengembangan n Mendukung peran keagamaan dan diskriminasi
perencanan, Program pengendalian serta dalam membantu n Koordinasi n Peningkatan SDM
pelaksanaan dan HIV dan AIDS menangani stigma dan pelaksanaan program Penanggulangan HIV
evaluasi n Pengembangan diskriminasi penanggulangan HIV dan AIDS Bidang Sosial
n Koordinasi pembahasan Program surveilans HIV n Koordinasi lembaga dan AIDS di sektor n Peningkatan lingkungan
isu-isu sentral dan AIDS dan IMS kemasyarakatan dalam keagamaan. yang kondusif
n Pembinaan kerja sama n Koordinasi program penanggulangan HIV n Pengembangan n Mendorong peran
antar Kementerian pengurangan dampak dan AIDS pola pembinaan masyarakat dalam
dalam kebijakan HIV dan buruk NAPZA suntik n Peningkatan lingkungan dan program serta mitigasi dampak sosial
AIDS n Pengembangan yang kondusif pemberian penghargaan ekonomi
n Peningkatan lingkungan Program informasi gaya n Mendorong program Pencegahan
yang kondusif hidup sehat pemberdayaan Penanggulangan HIV
n Monitoring dan evaluasi n Peningkatan lingkungan masyarakat dalam dan AIDS di sektor
penanggulangan AIDS yang kondusif penanggulangan AIDS keagamaan yang
oleh lintas sektor dan memfasilitasi peran terintegrasi dengan
masyarakat program penyuluhan
n Peningkatan lingkungan
yang kondusif
Kementerian Kementerian Hukum Kementerian Kementerian Kementerian
Komunikasi dan dan HAM Kebudayaan dan Pendidikan Nasional Tenaga Kerja dan
Informatika Pariwisata Transmigrasi

Pengembangan Pendidikan
Hukum dan UU Pencegahan Kebijakan Nakertrans
Penyebaran Informasi Industri Pariwisata
n Pencegahan bagi pegawai
n Pencegahan bagi
n Pencegahan bagi dan keluarga
pegawai dan keluarga pegawai dan keluarga
n Kebijakan, Pedoman
n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Kurikulum pendidikan
n Peningkatan Teknis dalam peningkatan
pegawai dan keluarga penanganan dan pegawai dan keluarga jasmani, olah raga, dan
program penanggulangan
n Kebijakan dan Strategi penegakan hukum n Kerja sama antar industri kesehatan (termasuk
AIDS di tempat kerja
komunikasi dan penyalahgunaan pariwisata dalam remaja dan perbedaan
n Koordinasi pemangku
sosialisasi HIV dan AIDS narkotika serta obat program pencegahan jender)
kepentingan dalam
n Kampanye media HIV dan AIDS n Kebijakan pendidikan
berbahaya, pembinaan pelaksanaan program,
dan sosial tentang WBP tentang penerapan n Kebijakan pencegahan AIDS bagi
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

sistem pelaporan dan


remaja dan pemuda
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019

pencegahan dan gaya hidup sehat yang penanggulangan HIV monitoring evaluasi di
penanggulangan HIV rendah risiko terhadap dan AIDS pada sektor peduli AIDS melalui
sektor ketenagakerjaan
dan AIDS secara nasional penularan HIV dan pariwisata (khususnya pendidikan formal dan
dan ketransmigrasian
dan internasional penyakit oportunistik. tempat hiburan malam) pendidikan nonformal
n Pengembangan pola
n Peningkatan lingkungan n Peningkatan lingkungan n Pendidikan pencegahan
n Peningkatan koordinasi pembinaan dan program
yang kondusif dan kerja sama multi- yang kondusif HIV dan AIDS bagi
serta pemberian
pihak, pembinaan pelajar, mahasiswa,
penghargaan program
pemasyarakatan WBP pendidik, dan tenaga
penanggulangan
n Memutus mata
kependidikan
HIV & AIDS di sektor
n Kampanye/
rantai peredaran dan ketenagakerjaan dan
penggunaan napza penyebarluasan
ketransmigrasian yang
di lingkungan Lapas/ informasi pencegahan
terintegrasi dengan
Rutan HIV dan AIDS dan
program K3
n Memutus mata rantai
penyakit menular di
n Pemberian penghargaan
penularan HIV dan sekolah, kampus, dan
program AIDS di dunia
infeksi menular lainnya lembaga pendidikan lain
kerja
n Peningkatan lingkungan
n Peningkatan lingkungan n Peningkatan lingkungan
yang kondusif yang kondusif
yang kondusif

LAMPIRAN
129
LAMPIRAN

130
Kementerian Kementerian Kementerian Negara Bappenas Kementerian Negara
Perhubungan Negara Pemuda dan Pemberdayaan Riset dan Teknologi
Olahraga Perempuan

Pemberdayaan
Kebijakan Transportasi Pemberdayaan Perempuan Kebijakan Kebijakan Penelitian
Pemuda Perencanaan

n Pencegahan bagi
n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi pegawai dan keluarga n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi
pegawai dan keluarga pegawai dan keluarga n Koordinasi dan fasilitasi pegawai dan keluarga pegawai dan keluarga
n Kebijakan n Kebijakan pemenuhan hak n Integrasi HIV dan AIDS n Program riset terkait
penanggulangan HIV penanggulangan HIV reproduksi perempuan ke dalam rencana n HIV dan AIDS
dan AIDS pada sektor dan AIDS di kalangan n Koordinasi dalam program pembangunan n Program dukungan riset
pengangkutan darat, pemuda peningkatan akses dan nasional terkait HIV dan AIDS
laut dan udara n Program pencegahan pelayanan pencegahan, n Integrasi program n Peningkatan lingkungan
n Program pencegahan HIV dan AIDS melalui dukungan khusus untuk penanggulangan HIV yang kondusif
HIV dan AIDS pemberdayan pemuda perempuan dan AIDS ke dalam
di lingkungan n Peningkatan lingkungan n Mendorong lingkungan, strategi pengurangan
perhubungan yang kondusif keluarga dan masyarakat kemiskinan
n Peningkatan lingkungan yang kondusif n Monitoring dan
yang kondusif untuk perlindungan evaluasi pencapaian
perempuan terhadap tujuan program
HIV dan AIDS melalui penanggulangan AIDS
upaya pemenuhan hak n Peningkatan lingkungan
reproduksi perempuan yang kondusif
n Koordinasi peningkatan
peran laki-laki dalam
penanggulangan AIDS
dan pembagian tugas
dan tanggung jawab
yang sama dalam
konteks perawatan
penderita HIV dan AIDS
Sekretariat Kabinet TNI POLRI BPPT BKKBN

Dukungan Kebijakan Ketahanan Prajurit Ketahanan Kajian Teknologi Tepat Ketahanan Keluarga
Bhayangkara Negara Guna

n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi
pegawai dan keluarga anggota TNI dan anggota Polri dan pegawai dan keluarga pegawai dan keluarga
n Dukungan kebijakan keluarga keluarga n Pengkajian teknologi n Peningkatan
kepada KPAN n Kebijakan pencegahan n Kebijakan pencegahan tepat guna bagi upaya pencegahan penularan
n Fasilitasi Sidang Kabinet dan penanggulangan dan penanggulangan penanggulangan HIV HIV dan AIDS sesuai
Sesi Khusus HIV dan HIV dan AIDS di jajaran HIV dan AIDS di jajaran dan AIDS dengan tugas dan
AIDS TNI (Darat, Laut dan Kepolisian Negara n Peningkatan lingkungan fungsi
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019

n Peningkatan lingkungan Udara) n Program pencegahan yang kondusif n Penyebaran komunikasi,


yang kondusif n Program pencegahan penanggulangan HIV Informasi dan Edukasi
penanggulangan HIV dan AIDS di Jajaran (KIE) kepada berbagai
dan AIDS di jajaran TNI Kepolisian Negara kelompok masyarakat
(darat, laut, udara) n Menciptakan n Penyusunan dan
n Peningkatan lingkungan lingkungan pelaksanaan kegiatan
yang kondusif kondusif bagi upaya penanggulangan
penanggulangan HIV masalah kesehatan
dan AIDS Nasional. reproduksi (termasuk
penyediaan alat
pencegahan infeksi
menular seksual, ie:
kondom)
n Pelaksanaan program
dan kegiatan kesehatan
reproduksi remaja
n Peningkatan lingkungan
yang kondusif

LAMPIRAN
131
LAMPIRAN

132
BNN PB. IDI IAKMI PMI Kamar Dagang dan Organisasi ODHA
Industri Nasional

Pengendalian Pengabdian Profesi Pengabdian Profesi Penyediaan Darah Kebijakan AIDS di Kebijakan Penerapan
Narkotika Aman Dunia Kerja MIPA

n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi
pegawai dan keluarga anggota dan keluarga anggota dan keluarga pegawai dan keluarga anggota dan keluarga anggota dan keluarga
n Koordinasi n Program peningkatan n Program peningkatan n Kebijakan penyediaan n Program HIV dan AIDS di n Program Pemberdayaan
penanggulangan kemampuan dokter kepedulian dan darah dan produk darah dunia kerja ODHA dan OHIDA
HIV dan AIDS pada dalam penanganan HIV kemampuan ahli yang aman n Mobilisasi dana n Program Pendampingan
pengguna NAPZA dan AIDS. kesehatan masyarakat n Program peningkatan n Peningkatan lingkungan ODHA dan OHIDA
n Pelaksanaan program n Program riset HIV tentang HIV dan AIDS pelayanan UTD yang kondusif n Monitoring dan
pengurangan dampak dan AIDS (termasuk n Program riset HIV (termasuk penguatan umpan balik
buruk NAPZA pengkajian kebijakan dan AIDS dan kajian jejaring untuk pelaksanaan program
n Peningkatan lingkungan untuk peran profesi kebijakan publik yang penemuan kasus) penanggulangan AIDS
yang kondusif yang semakin kondusif ) effektif dalam program n Peningkatan lingkungan (termasuk melakukan
n Peningkatan lingkungan penanggulangan AIDS yang kondusif kajian dan memberikan
yang kondusif n Peningkatan lingkungan usulan perbaikan
yang kondusif program)
n Peningkatan lingkungan
yang kondusif
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

LAMPIRAN 2:

Target Program Tahunan

LAMPIRAN
133
LAMPIRAN

134
No Logframe Indikator Sub- Baseline Source 2015 2016 2017 2018 2019 Means Of Catatan
Populasi Verification

Tujuan Umum
1. Mencegah dan Jumlah infeksi baru 65,441 ICA 2014, 62,647 55,559 50,475 45,578 40,891 AIDS Epidemic
mengurangi AEM 2014 Model (AEM)
penularan HIV
% infeksi menular WPSL 36 IBBS 2011 32 29 25 22 18 STBP Pencegahan
seksual GO
WPSTL 15 IBBS 2011 13 12 10 9 8 STBP Pencegahan
GO
24 IBBS 2011 22 19 17 14 12 STBP Pencegahan
GO
2. Meningkatkan kualitas
hidup ODHA
3. Mengurangi dampak
sosial ekonomi
epidemi HIV pada
perorangan, keluarga
dan masyarakat
Tujuan Khusus
1. Menyediakan Pop. kunci WPSL 51 ICA 2014 57 63 68 74 80 STBP
Pencegahan HIV yang terjangkau
WPSTL 20 ICA 2014 28 36 44 52 60 STBP
efektif untuk semua program
populasi kunci pencegahan yang Penasun 50 ICA 2014 56 62 68 74 80 STBP
komprehensif dan LSL 20 ICA 2014 28 36 44 52 60 STBP
efektif
Waria 30 ICA 2014 38 46 54 62 70 STBP
Semua 34 41 48 56 63 70 STBP
Populasi
Kunci
No Logframe Indikator Sub- Baseline Source 2015 2016 2017 2018 2019 Means Of Catatan
Populasi Verification

Tujuan Khusus
Perubahan perilaku WPSL 62 ICA 2014 66 70 73 77 80 STBP Penggunaan
untuk pencegahan kondom
penularan HIV
WPSTL 62 ICA 2014 66 70 73 77 80 STBP Penggunaan
tercapai
kondom
LSL 60 ICA 2014 64 68 72 76 80 STBP Penggunaan
kondom
Waria 75 ICA 2014 76 77 78 79 80 STBP
Semua 61,3 68 71 74 77 80 STBP
Populasi
Kunci
(PMTS)
Penasun 30 ICA 2014 27 24 20 17 14 STBP % berbagi alat
suntik
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019

Populasi WPSL 45 IBBS 2011 51 57 63 69 75 STBP


kunci yang
WPSTL 23 IBBS 2011 27 32 36 41 45 STBP
mendapatkan tes
HIV LSL 25 IBBS 2011 29 33 37 41 45 STBP
Waria 37 IBBS 2011 45 52 60 67 75 STBP
Penasun 38 IBBS 2011 41 45 48 52 55 STBP
LBT 6,6 IBBS 2011 13 20 27 33 40 STBP
Semua 29 34 40 45 50 56
Populasi
Kunci
Akses PPIA Ibu Hamil 26 GARP 2014 37 48 58 69 80 Laporan
HIV-positif bulanan ART

LAMPIRAN
135
LAMPIRAN

136
No Logframe Indikator Sub- Baseline Source 2015 2016 2017 2018 2019 Means Of Catatan
Populasi Verification

Tujuan Khusus
2. Menyediakan Cakupan WPSL 3,1 ICA 2014 23 30 38 45 53 Laporan CD4 semua
layanan pengobatan, pengobatan program & AEM
perawatan, dan ARV meningkat
WPSTL 3,8 ICA 2014 15 21 27 33 39 Laporan CD4 semua
dukungan yang dari orang yang
program & AEM
berkualitas, yang memenuhi syarat
mudah diakses, pengobatan Pelanggan 19 ICA 2014 26 31 36 40 45 Laporan CD4 350
terjangkau dan ramah WPS program & AEM
pada pasien LSL - risiko 4,2 ICA 2014 18 24 31 37 43 Laporan CD4 semua
tinggi program & AEM
LSL - risiko 5,5 ICA 2014 7 9 11 14 16 Laporan CD4 semua
rendah program & AEM
Waria 5,7 ICA 2014 24 32 39 47 54 Laporan CD4 semua
program & AEM
Penasun 5,8 ICA 2014 19 25 31 37 43 Laporan CD4 semua
program & AEM
Semua 6,7 19 25 30 36 42
Populasi
Kunci
Perempuan 21,4 ICA 2014 28 32 37 41 46 Laporan CD4 350
risiko lbh program & AEM
rendah

Lelaku 19,1 ICA 2014 26 31 36 40 45 Laporan CD4 350


program & AEM
risiko lbh
rendah
3. Meningkat akses ODHA yang ODHA N/A 20 27 35 42 50 Penelitian/
untuk mitigasi mengakses Kajian
dampak epidemi dukungan sosial
dan ekonomi
4. Menciptakan Dukungan Pengeluaran 42 NASA 2013 48 53 59 64 70 NASA
lingkungan yang pendanaan nasional
mendukung untuk nasional untuk
mempromosikan program HIV
upaya
Dukungan
penanggulangan HIV
kebijakan untuk
dan AIDS yang efektif
program HIV
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

LAMPIRAN 3:

Data Intervensi Cakupan dan


Efektivitas Program 4 Skenario
Pemodelan

Kisaran dari dampak potensial diproyeksikan menggunakan pemodelan 4 skenario


dengan parameter asumsi sebagai berikut: (Sumber: Laporan Analisis Investasi/ ICA,
2014)
1. Baseline: Data dan trend dari STBP sampai dengan tahun 2013, serta cakupan
pengobatan ARV sampai tahun 2013, selanjutnya diasumsikan konstan ke tahun-

LAMPIRAN
tahun mendatang
2. LKB/ PMTS Medium: mengasumsikan pelaksanaan LKB/ PMTS dengan
tingkat kinerja medium
3. LKB/ PMTS High: mengasumsikan pelaksanaan LKB/ PMTS dengan tingkat 137
kinerja tinggi
4. LKB/ PMTS 75 Kabupaten/ Kota SUFA Kinerja Tinggi ditambah 66 Kabupaten
Kinerja Medium: mengasumsikan pelaksanaan LKB/ PMTS dengan tingkat kinerja
tinggi pada 75 kabupaten/ kota SUFA, dan 66 kabupaten/ kota prioritas lainnya
dengan kinerja medium (daftar kabupaten/ kota ada di lampiran 4)
Mengasumsikan pada Tahun 2020 Tingkat Cakupan dan Efektivitas Komponen
Program Pencegahan selain Pengobatan ARV di Non Papua (angka adalah
persentasi)

Populasi Kunci dan Intervensi Baseline Skenario


Medium Tinggi 75 SUFA
Bobot Jenis Kabupaten/ Kota
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Tinggi 0 0 60 28
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Medium 0 60 0 32
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Rendah 0 0 0 0
Kabupaten/ Kota Dukungan GF Non LKB 60 0 0 0
Kabupaten/ Kota Non Dukungan GF 40 40 40 40
Bobot Total 100 100 100 100
Kualitas Program Dibandingkan Praktik Terbaik
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Tinggi 100 - 100 100
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Medium 75 75 - 75
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Rendah 50 - - -
Kabupaten/ Kota Dukungan GF Non LKB 25 - - -
LAMPIRAN

Kabupaten/ Kota Non Dukungan GF 5 5 5 5


Cakupan Program Tahun 2020
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Tinggi Tidak ada
perubahan -
138 Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Medium 80 80 75
sama dengan
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Rendah situasi th - - -
2013
Kabupaten/ Kota Dukungan GF Non LKB - - -
Kabupaten/ Kota Non Dukungan GF 40 40 40
Input Cakupan Tahun 2020
WPSL 51 55.9 61.1 59.1
WPSTL 25 41.1 54.1 49.3
Penasun 50 55.4 60.8 58.8
LSL 41.8 54.3 49.7
Waria 46.1 55.8 52.3
Capaian WPSL Tahun 2020
Penggunaan Kondom 62 68 73 71
Prevalensi IMS (Gonorrhea) 37.2 29.8 23.5 25.7
Capaian LSL Risiko Tinggi Tahun 2020
Penggunaan Kondom 60 73 78 76
Prevalensi IMS (Gonorrhea) 14.9 11.5 8.7 9.6
Capaian Penasun Tahun 2020
Penggunaan Kondom 60 69 73 72
Prevalensi IMS (Gonorrhea) 24 13.6 9.8 11
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Capaian Penasun Tahun 2020


Persentasi Penasun Berbagi Alat Suntik 30 20 14 16
Berbagi Suntikan (diantara yang berbagi) 72 57 45 48
Cakupan Waria Risiko Tinggi Tahun 2020
Penggunaan Kondom 75 78.8 80.8 80.1
Prevalensi IMS (Gonorrhea) 27.2 11.7 7.1 8.5

Mengasumsikan pada Tahun 2020 Tingkat Cakupan dan Efektivitas Komponen


Program Pencegahan selain Pengobatan ARV di Tanah Papua
(angka adalah persentasi)

Populasi Kunci dan Intervensi Baseline Skenario


Medium Tinggi 75 SUFA
Bobot Jenis Kabupaten/ Kota
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Tinggi 0 0 60 28
Kabupaten/Kota LKB Kinerja Medium 0 60 0 32
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Rendah 0 0 0 0

LAMPIRAN
Kabupaten/ Kota Dukungan GF Non LKB 60 0 0 0
Kabupaten/ Kota Non Dukungan GF 40 40 40 40
Bobot Total 100 100 100
Kualitas Program Dibandingkan Praktik Terbaik
139
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Tinggi 100 - 100 100
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Medium 75 75 - 75
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Rendah 50 - - -
Kabupaten/ Kota Dukungan GF Non LKB 25 - - -
Kabupaten/ Kota Non Dukungan GF 5 5 5 5
Programme Coverage by 2020
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Tinggi Tidak ada - 80 80
perubahan -
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Medium 75 - 75
sama dengan
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Rendah situasi th - - -
2013
Kabupaten/ Kota Dukungan GF Non LKB - - -
Kabupaten/ Kota Non Dukungan GF 40 40 40
Capaian Cakupan Tahun 2020
WPSL 45 52.5 59.4 56.9
WPSTL 47 53.5 59.9 57.6
Cakupan WPSL Tahun 2020
Penggunaan Kondom 60 67 73 71
Prevalensi IMS (Gonorrhea) 17.4 15.5 13.8 14.4
IFSW-related Results by 2020
Penggunaan Kondom 60 67 73 71
Prevalensi IMS (Gonorrhea) 17.4 13.6 10.7 11.7
Keterangan:

1. Bobot Menurut Tipe Kabupaten/ Kota: pembobotan untuk melihat


berapa sebenarnya cakupan program di Indonesia.

Skenario ini adalah untuk melihat seberapa luas sebenarnya cakupan untuk fokus
pada populasi kunci di kabupaten/ kota dukungan GF. Contoh: untuk menjangkau
80% populasi kunci di kabupaten/ kota dukungan GF, yang mana ini merupakan
bagian dari Indonesia, sehingga sebenarnya cakupannya bukanlah 80%, karena
kabupaten/ kota dukungan GF hanyalah sebagian dari total kabupaten/ kota yang
ada di Indonesia.

Contoh: Disebutkan bahwa target adalah untuk menjangkau 80% daerah dengan
dukungan GF, sehingga cakupan yang sebenarnya di Indonesia adalah:

Berdasarkan data estimasi, jumlah populasi kunci yang berada di daerah dukungan
GF adalah 60% dari total ODHA di Indonesia, sehingga bobot untuk kabupaten/ kota
dukungan GF adalah 60% dan non GF adalah 40%.
LAMPIRAN

Jadi, pertanyaan di atas dapat dijawab dengan:

80% (cakupan program) x 60% (bobot dari area program) = 48% (cakupuan untuk
140 seluruh wilayah Indonesia)

Dengan dasar ini, masing-masing skenario didefinisikan sebagai seberapa besar


sebenarnya cakupan yang ingin kita capai:

a. Baseline (Kondisi saat ini), kondisi saat ini adalah ada daerah GF-non LKB dan
daerah non GF, bobotnya adalah 60% untuk daerah dukungan GF dan 40% untuk
non GF.

b. GF Non-LKB, hanya GF, tetapi kondisinya meningkat dibandingkan kondisi saat


ini, daerah masih dibagi menjadi 2: GF dan non GF, bobot yang digunakan masih
sama dengan bobot di atas.

c. LKB Kinerja Rendah, LKB di daerah dukungan GF berada pada kinerja rendah,
daerah dibagi menjadi dua: GF dan non GF, bobot masih sama dengan skenario di
atas.

d. LKB Kinerja Medium, LKB di daerah dukungan GF berada pada kinerja medium,
daerah dibagi menjadi dua: GF dan non GF, bobot masih sama dengan skenario di
atas.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

e. LKB Kinerja Tinggi, LKB di daerah dukungan GF berada pada kinerja tinggi,
daerah dibagi menjadi dua: GF dan non GF, bobot masih sama dengan skenario di
atas.

f. LKB Kinerja Tinggi di Semua Kabupaten/ Kota, LKB di seluruh wilayah


Indonesia berada pada kinerja tinggi, sehingga daerah tidak dibagi berdasarkan
bobot, bobot adalah 100%, atau dapat dikatakan tidak memerlukan bobot.

g. LKB/PMTS Kinerja Tinggi di 75 Kab/Kota Prioritas: LKB di daerah 75 Kb/Kota


dukungan GF berada pada kinerja tinggi, LKB di 66 KAB/kota berapa pada kinerja
medium

Untuk menjawab tujuan di atas, dikembangkan 4 model skenario intervensi untuk


mengukur dampak intervensi. Asumsi dalam masing-masing skenario didasarkan
pada capaian program dan efektifitasnya.

a) Skenario baseline diasumsikan tidak ada perubahan/peningkatan intervensi pada


tahun 2013-2030.

LAMPIRAN
b) Skenario tertinggi adalah LKB Performa Tinggi, diasumsikan implementasi
program LKB, SUFA, dan lainnya ditingkatkan di 141 kabupaten/kota dengan
cakupan pencegahan pada populasi kunci sebesar 80% dan 60% cakupan
pengobatan pada tahun 2020 (dengan 75% efektifitas pengobatan). 141

c) Skenario LKB Performa Medium diasumsikan diasumsikan implementasi program


LKB, SUFA, dan lainnya ditingkatkan di 141 kabupaten/kota dengan cakupan
pencegahan pada populasi kunci sebesar 70% dan 45% cakupan pengobatan
pada tahun 2020 (dengan 75% efektifitas pengobatan).

d) Skenario LKB Performa Tinggi 75 Kab/Kota, Medium 66 Kota, diasumsikan 75 kab/


kota prioritas melaksanakan skenario LKB Performa Tinggi dan 66 kota lainnya
melaksanakan skenario LKB Performa Medium.

2. Kualitas Program Dibandingkan Praktik Terbaik:

Dasar intervensi di AEM:

Jika cakupan ditingkatkan pada populasi kunci A, seberapa besarkah peningkatan


perilaku yang dapat kita capai?

Contoh: Pada WPS cakupan saat ini adalah 50%, penggunaan kondom 60%, dan IMS
30%. Jika cakupan ditingkatkan dari 50% menjadi 80%, seberapa besarkah peningkatan
untuk penggunaan kondom? Dan berapa persen penurunan IMS?
Data dari hasil praktik terbaik akan digunakan dalam kasus ini (hasil penelitian atau
hasil program di daerah tertentu dengan hasil terbaik). Indonesia belum memilikinya
inilah sebabnya data Thailand lah yang kita gunakan. Berdasarkan praktik terbaik di
Thailand, disebutkan bila cakupan di kalangan WPS adalah 80%, penggunaan kondom
80% dan IMS 10%.

Dengan dasar ini, masing-masing skenario tidak akan memiliki kualitas yang sama
(karena kita memiliki daerah dengan kinerja rendah, medium dan tinggi), seberapa
besar perbedaannya dengan praktik terbaik? Ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Baseline (Kondisi saat ini), karena merupakan kondisi yang terjadi saat ini,
cakupannya tidak berubah, itulah sebabnya tidak ada nilai yang tercantum pada
tabel.

b. GF Non-LKB, untuk daerah dukungan GF, konsensus perubahan dalam


penggunaan kondom dan IMS di kalangan WPS adalah 25% jika dibandingkan
dengan perubahan praktik terbaik, untuk daerah non GF adalah 5%.

c. LKB Kinerja Rendah, untuk daerah dukungan GF, konsensus perubahan dalam
LAMPIRAN

penggunaan kondom dan IMS di kalangan WPS adalah 50% jika dibandingkan
dengan perubahan praktik terbaik, untuk daerah non GF adalah 5%.

142 d. LKB Kinerja Medium, untuk daerah dukungan GF, konsensus perubahan dalam
penggunaan kondom dan IMS di kalangan WPS adalah 75% jika dibandingkan
dengan perubahan praktik terbaik, untuk daerah non GF adalah 5%.

e. LKB Kinerja Tinggi, untuk daerah dukungan GF, konsensus perubahan dalam
penggunaan kondom dan IMS di kalangan WPS adalah sama dengan perubahan
praktik terbaik (100%) dan daerah non GF adalah 5%.

f. LKB Kinerja Tinggi di Semua Kabupaten/ Kota, konsensus perubahan dalam


penggunaan kondom dan IMS di kalangan WPS sama dengan praktik terbaik
(100%).
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

3. Cakupan Program pada Tahun 2020

Dasar ini memperhitungkan seberapa besarkah cakupan yang dapat dicapai pada
tahun 2020?

a. Baseline (Kondisi saat ini), karena merupakan kondisi yang terjadi saat ini, cakupan
tidak mengalami perubahan.

b. GF Non LKB, untuk daerah dukungan GF konsensus cakupan adalah 65% pada
tahun 2020, untuk daerah non GF 40%.

c. LKB Kinerja Rendah, untuk daerah GF konsensus adalah cakupan yang akan
dicapai 70% pada tahun 2020, untuk daerah non GF adalah 40%.

d. LKB Kinerja Medium, untuk daerah GF konsensus adalah cakupan yang akan
dicapai 75% pada tahun 2020, untuk daerah non GF adalah 40%.

e. LKB Kinerja Tinggi, untuk daerah GF konsensus adalah cakupan yang akan
dicapai 80% pada tahun 2020, untuk daerah non GF adalah 40%.

LAMPIRAN
f. LKB Kinerja Tinggi di Semua Kabupaten/ Kota, konsensus adalah cakupan
yang akan dicapai adalah 80% pada tahun 2020.
143
LAMPIRAN

144
Mengasumsikan pada Tahun 2020 Tingkat Cakupan dan Efektivitas Pengobatan
ARV di Non Papua (angka adalah persentasi untuk tingkat nasional)

Populasi Kunci Baseline Skenario


Medium Tinggi 75 SUFA
Cakupan Memenuhi Cakupan Memenuhi Cakupan Memenuhi Cakupan Memenuhi
syarat syarat syarat syarat
WPSL 3.1 CD4 all 48.4 CD4 All 54.5 CD4 All 52.9 CD4 All
WPSTL 3.8 CD4 all 34.6 CD4 All 40.9 CD4 All 39.2 CD4 All
Pelanggan WPS 19 CD4 350 37.2 CD4 350 47.7 CD4 350 44.9 CD4 350
Perempuan Risiko Rendah 21.4 CD4 350 37.9 CD4 350 48.4 CD4 350 45.6 CD4 350
Lelaki Risiko Rendah 19.1 CD4 350 37.2 CD4 350 47.7 CD4 350 45 CD4 350
Efektivitas Pengobatan ARV 75% pengurangan tingkat infektivitas pada orang yang menerima pengobatan ARV untuk semua skenario

Mengasumsikan pada Tahun 2020 Tingkat Cakupan dan Efektivitas Pengobatan


ARV di Tanah Papua (angka adalah persentasi untuk tingkat nasional)

Populasi Kunci Baseline Skenario


Medium Tinggi 75 SUFA
Cakupan Memenuhi Cakupan Memenuhi Cakupan Memenuhi Cakupan Memenuhi
syarat syarat syarat syarat
WPSL 3.5 CD4 All 57.2 CD4 All 61.1 CD4 All 60.1 CD4 All
WPSTL 3.2 CD4 All 53.3 CD4 All 57.5 CD4 All 56.4 CD4 All
Pelanggan WPS 12.4 CD4 350 30 CD4 350 38.7 CD4 350 36.4 CD4 350
Perempuan Risiko Rendah 18.2 CD4 350 31.7 CD4 350 40.5 CD4 350 38.2 CD4 350
Lelaki Risiko Rendah 11.7 CD4 350 29.8 CD4 350 38.5 CD4 350 36.2 CD4 350
Efektivitas Pengobatan ARV 75% pengurangan tingkat infektivitas pada orang yang menerima pengobatan ARV untuk semua skenario
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

LAMPIRAN 4:

Daftar Kabupaten/ Kota Prioritas

47 Kabupaten/ Kota SUFA (Kinerja Tinggi Tahun 2015-2016)


1. Kota Medan. 14. Bandung. 27. Kota Malang. 38. Kota Bitung*.
2. Deli Serdang. 15. Kota Tasikmalaya 28. Kota Surabaya. 39. Kota Makassar.
3. Kota Pekanbaru. 16. Tasikmalaya. 29. Banyuwangi. 40. Manokwari
4. Kota Jakarta Barat. 17. Kota Cirebon. 30. Kota Kediri 41. Sorong.
5. Kota Jakarta Timur 18. Cirebon. 31. Jember. 42. Kota Sorong.
6. Kota Jakarta Pusat. 19. Indramayu. 32. Kota Cilegon. 43. Merauke.
7. Kota Jakarta Utara. 20. Kota Semarang 33. Badung. 44. Jayawijaya.
8. Kota Jakarta Selatan. 21. Semarang. 34. Buleleng. 45. Jayapura
9. Kota Bekasi. 22. Tegal. 35. Kota Denpasar 46. Mimika.
10. Bekasi 23. Kota Tegal. 36. Kota Banjarmasin. 47. Kota Jayapura

LAMPIRAN
11. Kota Bogor. 24. Kota Surakarta. 37. Kota Manado.
12. Kota Depok. 25. Kota Yogyakarta 36. Banjarmasin Cit
13. Kota Bandung. 26. Malang. 37. Kota Manado.
145

Menjadi 76 Kabupaten/ Kota SUFA (Kinerja Tinggi Tahun 2016-2019)


48. Kota Padang 56. Ciamis 64. Batang 72. Kota Mataram
49. Kota Jambi 57. Garut 65. Cilacap 73. Kota Pare-pare
50. Kota Palembang 58. Karawang 66. Kendal 74. Fakfak
51. Kota Bandar 59. Kuningan 67. Sidoarjo 75. Nabire
Lampung
52. Kota Batam 60. Majalengka 68. Kediri 76. Paniai
53. Kota Tanjung 61. Subang 69. Jombang
Pinang
54. Tangerang 62. Sumedang 70. Kota Pontianak
55. Bogor 63. Banyumas 71. Kota Singkawang
To a Total of 141 Priority Districts/Cities (Medium Performance
in 2015-2019)
77. Kota Banda Aceh 94. Cianjur 111. Pemalang 128. Kota Palangkaraya
78. Kota Lhokseumawe 95. Bandung Barat 112. Brebes 129. Kota Balikpapan
79. Labuhan Batu 96. Kota Sukabumi 113. Kota Magelang 130. Kota Samarinda
80. Simalungun 97. Kota Cimahi 114. Kota Salatiga 131. Kota Tarakan
81. Kota Solok 98. Kota Banjar 115. Bantul 132. Kota Tomohon
82. Kota Bukittinggi 99. Kebumen 116. Sleman 133. Palu
83. Indragiri Hilir 100. Wonosobo 117. Tulungagung 134. Jeneponto
84. Bengkalis 101. Magelang 118. Serang 135. Sidenreng
Rappang
85. Rokan Hilir 102. Boyolali 119. Kota Tangerang 136. Kota Kendari
86. Kota Dumai 103. Klaten 120. Lombok Tengah 137. Kota Bau-bau
87. Ogan Komering Ilir 104. Sukoharjo 121. Lombok Timur 138. Kota Gorontalo
88. Banyu Asin 105. Karanganyar 122. Sikka 139. Kota Ambon
89. Kota Prabumulih 106. Sragen 123. Kota Kupang 140. Kota Ternate
90. Rejang Lebong 107. Grobogan 124. Pontianak 141. Sukabumi
LAMPIRAN

91. Kota Bengkulu 108. Pati 125. Sanggau


92. Kota Pangkal 109. Jepara 126. Kotawaringin
Pinang Timur
146 93. Karimun 110. Demak 127. Kotawaringin
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

LAMPIRAN 5:

Temuan Utama Kajian Paruh Waktu


SRAN 2010-2014

PMTS n Target SRAN 2010-2014 untuk PMTS adalah 80% WPS dijangkau
program yang efektif, dan 60% dari populasi ini berperilaku aman
terkait penularan HIV.

n PMTS sebagai program nasional dicanangkan sejak tahun 2009.


Perluasan PMTS bertujuan untuk terus meningkatkan cakupan
program khususnya di lokasi transaksi seksual. Pada tahun 2013,
LBT (Lelaki Berisiko Tinggi/ High Risk Men) dan LSL (Lelaki yang seks
dengan lelaki) dimasukkan dalam konsep besar PMTS khususnya di

LAMPIRAN
kabupaten/ kota dan provinsi prioritas dikarenakan beban penyakit
yang tinggi.

n Beberapa hal, yang menjadi kekhawatiran adalah terus


meningkatnya prevalensi HIV pada LSL. Rencana Aksi Nasional 147

Penanggulangan HIV dan AIDS pada GWL yang merupakan


penjabaran dari SRAN 2010-2014 belum dapat dilaksanakan secara
luas. Stigma dan diskriminasi pada beberapa situasi belum dapat
diatasi, dan hambatan untuk meng-akses layanan terus memberi
dampak pada LSL dan waria, khususnya mereka yang masih
muda sehingga tidak berupaya mencari layanan pencegahan
dan pengobatan, termasuk layanan IMS dan HIV konseling dan
tes. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS multi-sektor dalam hal
kepemimpinan dan penyediaan sumber daya juga masih sangat
terbatas. Sejumlah kabupaten/ kota dan provinsi belum maksimal
melaksanakan PMTS karena kurangnya koordinasi antar sektor,
DPRD setempat tidak merasa yakin akan pentingnya PMTS, dan
kurangnya pemahaman mengenai akses untuk memperolah
pendanaan lokal untuk PMTS di antara staf pemerintah daerah.

n Terdapat contoh pelaksanaan kerja yang baik dilaporkan dari


beberapa tempat yang merupakan hasil dari kombinasi beberapa
faktor pendukung: a) didorong oleh orang yang berkomitmen; b)
tersedianya layanan yang ramah kepada klien; c) keterlibatan pihak-
pihak yang mendukung; d) staf dari Puskesmas dan Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota/ Provinsi secara aktif terlibat bekerjasama dengan
Satpol PP atau Polisi setempat, dan para pemilik tempat hiburan
yang menjual jasa seks; e) tingginya penggunaan kondom pada
lokasi ini karena ada upaya dari LSM, dan juga untuk secara dekat
memantau distribusi kondom; f ) intervensi sebaya sebagai awal
dan kemudian bergeser pada mobilisasi komunitas secara lebih
meluas.

HR Penasun n Target SRAN 2010-2014 untuk program HR adalah untuk mencapai


100% Penasun dengan program yang efektif, dan 60% populasi ini
berperilaku aman. SRAN juga bertujuan untuk mencapai cakupan
100% bagi WBP di Lapas/ Rutan memperoleh program yang efektif.

n HR menyediakan beberapa bentuk layanan termasuk Layanan Alat


Suntik Steril (LASS), Terapi Rumatan Metadon (TRM), dan Pemulihan
Adiksi berbasis Masyarakat (PABM). Program HR diinisiasi melalui
koordinasi yang erat dengan masyarakat sipil, bekerja sama dengan
BNN, Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan. Ketersediaan
LAMPIRAN

paket layanan komprehensif HR masih berbeda-beda di beberapa


daerah, dan kualitas layanannya pun masih perlu terus untuk
ditingkatkan. Alat suntik steril juga dapat diperoleh melalui apotek
148 dan layanan farmasi lainnya, sehingga menjadi salah satu alternatif
Penasun mendapatkannya selain dari program LASS.

n Data IBBS menunjukkan dampak positif dari pelaksanaan kegiatan


HR, mengindikasikan semakin banyaknya Penasun yang tidak
berbagi alat suntik, dan tergambarkan dengan menurunnya
prevalensi HIV. Namun demikian, masih ada kondisi dimana
di beberapa daerah penularan HIV di tempat tertentu masih
meningkat pesat, dan hal ini menunjukkan bahwa epidemi HIV
pada penasun masih belum stabil.

HR WBP n Berbagai kegiatan dari program ini telah dilaksanakan di Lapas/


Rutan di Indonesia, termasuk pada saat pra pembebasan, termasuk
TRM, Konseling dan Tes HIV (KTH), promosi dan pendidikan terkait
HIV dan AIDS.

n Ditjen Pas melalui Lapas-lapas yang terpilih telah menyediakan dan


menyelia inisiasi pengobatan ARV untuk WBP. Akses ke program HR
di Lapas Narkotika adalah terus memperbaiki layanan, khususnya
untuk TRM, KTH, tetapi LASS tidak disediakan.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

n Prevalensi HIV yang tinggi dan ketergantungan obat di antara


WBP di Lapas Narkotika, dikombinasi dengan berbagi alat suntik,
membuat Lapas merupakan salah satu lokasi yang berisiko tinggi
terjadinya penularan HIV.

PPIA n Target SRAN untuk program PPIA adalah 100% ibu hamil
yang diketahui HIV positif, menerima pengobatan ARV, untuk
menghapuskan penularan dari ibu ke bayinya; 100% bayi yang lahir
dari ibu yang HIV positif menerima pengobatan ARV.

n Cakupan PPIA masih rendah, bahkan di Tanah Papua dimana epidemi


pada penduduk umum meningkatkan kemungkinan terjadinya
penularan dari ibu ke bayinya. Cakupan ARV dari ibu yang HIV
positif dan bayinya, masih belum cukup untuk menekan terjadinya
infeksi. Tingkat penggunaan kondom yang rendah meningkatkan
risiko penularan HIV pada populasi kunci, termasuk LBT yang
berhubungan dengan beberapa pasangan, dan penularan kepada
pasangan seksual populasi kunci, secara potensial meningkatkan

LAMPIRAN
penularan HIV dari ibu ke bayinya.

n Berbagai upaya dilakukan untuk intensifikasi tes di layanan


kesehatan ibu dan anak. Pada saat ini, layanan HIV tidak memberi 149
informasi yang cukup mengenai kesehatan reproduksi dan seksual
kepada ODHA yang membutuhkan, seperti informasi perencanaan
kehamilan, kontrasepsi, pilihan melahirkan, dan pemberian ASI
pada bayi. Pada saat yang bersamaan, layanan KIA hanya sedikit
memberi informasi mengenai HIV, dan jarang menawarkan Tes HIV.

Orang n Target SRAN 2010-2014 dalam pencegahan pada orang muda


Muda adalah 80% remaja sekolah dan luar sekolah dijangkau dengan
program pencegahan efektif, dan 60% orang muda mempraktekkan
perilaku hidup sehat.

n Penyebaran informasi HIV dan pengembangan program dalam


konteks remaja dan orang muda pada umumnya, maupun orang
muda yang berperilaku berisiko tampak terus menjadi lebih baik
di tingkat nasional, sejumlah provinsi dan kabupaten/ kota telah
mengintegrasikan HIV dan kesehatan reproduksi dalam kurikulum
pendidikan, serta menyediakan layanan yang ramah remaja. Namun
demikian, pencegahan HIV pada orang muda dan remaja populasi
kunci belum memperoleh perhatian yang cukup bermakna,
meskipun mereka adalah yang paling rentan di antara LSL, WPS,
Waria, dan Penasun, dan memiliki akses paling sedikit pada layanan
yang ramah remaja.

n Cakupan pencegahan HIV adalah yang terendah untuk kelompok


usia paling muda. Remaja populasi kunci adalah yang paling sedikit
dijangkau oleh petugas penjangkau ataupun yang mendapatkan
akses pada layanan IMS dan tes HIV.

PDP n Target SRAN 2010-2014 ditetapkan 80% untuk penjangkauan


dan 60% efisiensi dalam mengakses perawatan, dukungan dan
pengobatan.

n Pengobatan kini menjadi isu utama dalam penanggulangan HIV,


yaitu dengan semakin meningkatnya bukti efektivitas pengobatan
ARV secara dini dan kepatuhan minum obat yang juga menjadi
bagian dari metode pencegahan penularan baru yang efektif.
LAMPIRAN

n Beberapa kemajuan di Indonesia terkait upaya memperluas


pengobatan telah dilakukan. Cakupan telah meningkat, akses
pada tes dan pengobatan, walaupun belum merata dari daerah ke
150 daerah lain, tetapi tersedia di semua provinsi.

n Pedoman Pengobatan ARV Nasional untuk orang dewasa, juga


pedoman PPIA, telah diperbarui, dan konsisten dengan pedoman
pengobatan yang dikeluarkan WHO tahun 2010 (batas inisiasi
pengobatan ARV adalah jumlah CD4 350, dan PPIA dengan pilihan
B+). Persyaratan mulai pengobatan telah diperluas kepada semua
populasi kunci, tanpa melihat jumlah CD4. Namun demikian
kepatuhan minum obat masih menjadi masalah.

n Pelaksanaan Strategic Use of ARV (SUFA) secara bertahap terus


diperkuat dengan mempercepat perluasan tes HIV dan memperbaiki
cakupan pengobatan ARV dan retensi pengobatan. Layanan yang
diperluas pada tingkat komunitas, fasilitas puskesmas, dilekatkan
pada RS yang menyediakan pengobatan ARV.

n LKB sebagai platform untuk upaya penanggulangan HIV bertujuan


agar layanan kesehatan dan layanan tingkat komunitas bekerja
bersama untuk mencapai pelaksanaan upaya penanggulangan HIV
dan AIDS yang lebih efisien. Mobilisasi dan partisipasi komunitas
menjadi penting untuk mengadvokasi kepatuhan minum obat.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

n Integrasi HIV dalam layanan kesehatan diharapkan terus


meningkatkan cakupan pengobatan ARV, yang masih rendah
tetapi berdasarkan informasi dari Kementerian Kesehatan saat ini
tampak bertambah cepat. Integrasi HIV pada layanan Kesehatan
Ibu dan Anak, Kesehatan Seksual dan Reproduksi, dan TB terus
meningkat dengan kerja-kerja pendukung dari strategi sub-
sektor. Strategi TB/ HIV dikaji dan diperbaiki untuk disesuaikan
dengan pendekatan LKB, termasuk dalam melibatkan secara aktif,
komunitas. Koordinasi antara program HIV dan TB akan diintensifkan
dengan pengembangan proposal NFM yang memadukan TB-HIV
dari Global Fund.

Mitigasi n HIV memiliki dampak sosial yang besar pada masyarakat. Namun
Dampak demikian, upaya untuk mengukur dampak khusus HIV pada
penduduk dan menggunakan informasi untuk memformulasi
kebijakan dan program mitigasi dampak masih sangat terbatas di
Indonesia.

LAMPIRAN
n Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sejak awal
tahun 2014 akan mencakup perawatan kesehatan, kecelakaan
kerja, kematian dan pensiun untuk semua orang. ARV akan terus
disediakan oleh Kementerian Kesehatan di luar sistem jaminan 151
sosial. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, pada akhir tahun
2019 seluruh penduduk akan sudah tercakup.

Lingkungan n Hak Asasi Manusia, stigma dan diskriminasi terus menjadi


Mendukung tantangan dalam upaya penanggulangan HIV yang efektif. Ada
kebutuhan untuk pengembangan lingkungan kebijakan yang
memberdayakan dan mendukung upaya penanggulangan HIV dan
memberi perhatian lebih untuk HAM bagi ODHA dan orang yang
terdampak oleh HIV dan AIDS.

n Masalah jender dalam pelaksanaan SRAN 2010-2014 dikaji pada


tahun 2013. Tantangan yang perlu ditangani adalah termasuk
kurangnya pendekatan yang sensitif jender dan berdasarkan HAM,
yang tampaknya masih terjadinya stigma dan diskriminasi sehingga
menghambat mereka yang membutuhkan untuk mengakses
layanan HIV.
n Perdagangan manusia, khususnya perdagangan perempuan
dan kerentanan terhadap penularan HIV yang disebabkan oleh
kekerasan berbasis jender adalah masalah yang sangat serius.
Pelibatan jaringan nasional untuk LSL, Pekerja Seks, Penasun dalam
perencanaan dan pelaksanaan SRAN, serta memastikan anggaran
yang responsif gender bertujuan untuk menangani kebutuhan
perempuan, lelaki dan waria.

Kemitraan n Kemitraan telah menjadi simbol dari upaya HIV dan AIDS, berada
dalam tugas koordinasi dan pengelolaan KPAN. Kemitraan antara
sektor pemerintah dan masyarakat sipil beriringan dengan
kemitraan komunitas internasional, donor, dan penyedia dukungan
teknis, seperti badan PBB untuk organisasi non pemerintah
bertaraf internasional. Sumbangan Global Fund dan pemerintah
Australia, Inggris dan Amerika Serikat serta dukungan teknis dari
badan PBB telah diarahkan untuk mengembangkan kapasitas dan
keterampilan di Indonesia dalam rangka penanggulangan HIV dan
AIDS.
LAMPIRAN

n Keterlibatan sektor swasta terus meningkat, baik sebagai penyedia


layanan, pendukung pendanaan, atau mendukung semakin
152 besarnya tanggung jawab perusahaan dan organisasi untuk
melaksanakan upaya pencegahan dan pengobatan terkait HIV
dan AIDS untuk karyawannya. Contoh dan model potensial untuk
memperluas kemitraan sektor swasta adalah pembentukan
Dana Kesehatan oleh pimpinan organisasi bisnis setempat, yang
kemudian disandingkan dengan mitra internasional.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Pelibatan n Keterlibatan dan pemberdayaan komunitas adalah salah satu dari


Komunitas prinsip-prinsip utama upaya penanggulangan HIV dan AIDS, dan
salah satu prasyarat untuk pelaksanaan LKB, PMTS dan SUFA yang
efektif. Jaringan komunitas dan organisasi masyarakat sipil, termasuk
organisasi profesi dan non-pemerintah telah berpartisipasi dalam
pembahasan konsultasi sepanjang pelaksanaan SRAN 2010-2014
dan dalam pengembangan SRAN 2015-2019.

n Jaringan nasional populasi kunci IPPI, GWL-INA, JOTHI, PKNI,


dan OPSI telah dibentuk dengan dukungan dari KPAN dan dari
berbagai pemberi dana bantuan. Jaringan-jaringan ini dan Spiritia
adalah anggota KPAN yang mewakili Populasi Kunci, termasuk
Perempuan HIV Positif, ODHA, Pekerja Seks, dan Gay/ LSL/ Waria.
Entitas organisasi masyarakat sipil bekerja di provinsi dan ikut dalam
berbagai penelitian operasional pada populasi kunci. Keberlanjutan
pelaksanaan program memang masih menjadi pembahasan,
apalagi dengan semakin berkurangnya pendanaan luar negeri.

LAMPIRAN
153
LAMPIRAN

154
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

LAMPIRAN 6:

Peraturan Perundangan
yang Mendukung Program
Penanggulangan HIV dan AIDS
TAHUN PERKEMBANGAN KEBIJAKAN HIV DAN AIDS
2006 n Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (Peraturan
Presiden Republik Indonesia nomor 75 tahun 2006) - Menyangkut
kelembagaan di nasional dan daerah.

2007 n Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan


Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka Penanggulangan HIV dan
AIDS di Daerah (Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 20 tahun

LAMPIRAN
2007).

n Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS melalui


Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika
155
dan Zat Adiktif Suntik (Peraturan Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat RI nomor 2 tahun 2007).

2010 n Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS
Tahun 2010-2014 (Peraturan Menteri Koordinator Kesejahteraan
Rakyat nomor 8 tahun 2010).

2011 n Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga


Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial (Surat Edaran Mahkamah
Agung nomor 3 tahun 2011).

2012 n Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif HIV IMS


Berkesinambungan.

n Kesepakatan Bersama Menkes, Mendagri, Mendikbud, Menag


dan Mensos Republik Indonesia nomor 432 tahun 2012 tentang
Peningkatan Pengetahuan Komprehensif HIV dan AIDS pada
Penduduk Usia 15-24 Tahun.
TAHUN PERKEMBANGAN KEBIJAKAN HIV DAN AIDS

2013 n Penanggulangan HIV dan AIDS (Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia nomor 21 tahun 2013) Menyangkut pula
Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS).

n Pelaksanaan Pengendalian HIV AIDS dan Infeksi Menular Seksual


(IMS) (Surat Edaran Menteri Kesehatan nomor 129 tahun 2013)
Menyangkut pula peningkatan diagnosis dini dengan penawaran
tes HIV melalui Tes dan Konseling atas Inisiatif Petugas (TKIP/ PITC)
dan inisiasi dini ART tanpa melihat nilai CD4 (Strategic Use of ART).

n Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (Peraturan


Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 51 tahun 2013).

n Penguatan Kelembagaan dan Pemberdayaan Masyarakat dalam


Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah (Instruksi Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia nomor 444.24/2259/SJ tahun 2013).
LAMPIRAN

156
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Berikut ini adalah kebijakan nasional penanggulangan HIV dan AIDS dari berbagai
kementerian dan lembaga:

1. Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden

1) Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan


AIDS.
2) Keputusan Presiden nomor 75 tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional.
3) Undang Undang nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
4) Undang Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
5) Undang Undang nomor 11 tahun 2009 tentang Kesehatan.
6) Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 3 tahun 2010 tentang Program
Pembangunan yang Berkeadilan.
7) Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor
dan Penjelasan Pelaksanaan Wajib Lapor.

2. Mahkamah Agung
1) Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 7 tahun 2009 tentang Penempatan

LAMPIRAN
Pemakai Narkoba ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.
2) Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2010 tentang Penempatan
Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam
Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. 157
3) Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 3 tahun 2011 tentang Penempatan
Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan
Rehabilitasi Sosial.

3. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat


1) MoU Menko Kesra dan BNN tentang Harm Reduction tahun 2003.
2) Permenkokesra nomor 2 tahun 2007 tentang Kebijakan Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS Melalui Pengurangan Dampak Buruk
Penggunaaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik.
3) Permenkokesra nomor 5 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPA
Nasional.
4) Permenkokesra nomor 7 tahun 2007 tentang Strategi Nasional Penanggulangan
HIV dan AIDS 2007-2010.
5) Permenkokesra nomor 3 tahun 2007 tentang Susunan, Tugas dan Fungsi
Keanggotaan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.
6) Permenkokesra nomor 6 tahun 2007 tentang Tim Pelaksana Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional.
7) Kepmenkokesra nomor 21 tahun 2009 tentang Pengangkatan Penerima Hibah
Utama dana Bantuan GFATM Ronde 8 Komponen AIDS pada KPA Nasional.
8) Kepmenkokesra nomor 8 tahun 2010 tentang Strategi dan Rencana Aksi
Nasional Penanggulangan AIDS tahun 2010-2014.
9) Kepmenkokesra nomor 33 tahun 2013 tentang Tim Pelaksana KPA.

4. Kementerian Kesehatan

Sebagai sektor utama pelaksana program pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS berbagai kebijakan telah dikeluarkan yang dikategorikan sebagai berikut:

4.1 Kebijakan Institusi


1) Kepmenkes nomor 128 tahun 2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan
Masyarakat.
2) Kepmenkes nomor 496 tahun 2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah
Sakit.
3) Kepmenkes nomor 631 tahun 2005 tentang Pedoman Peraturan Internal Staf
Medis di Rumah Sakit.
4) Permenkes nomor 1144 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan.
LAMPIRAN

4.2 Kebijakan Pencegahan


1) Kepmenkes nomor 585 tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi
Kesehatan di Puskesmas.
158 2) Modul Pelatihan Bagi Tenaga Promosi Kesehatan di Puskesmas, Depkes RI, 2008.
3) Permenkes nomor 1501 tahun 2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu
yang dapat menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan.
4) Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak, 2011.
5) Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu, Kemkes RI, 2011.
6) Kesepakatan Bersama Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama dan Menteri Sosial Republik
Indonesia nomor 432 tahun 2012; 44.24-875 tahun 2012; nomor 13 tahun 2012;
nomor 7 tahun 2012; nomor 2 tahun 2012 tentang Peningkatan Pengetahuan
Komprehensif HIV dan AIDS pada penduduk usia 15 sampai dengan 24 tahun.
7) Permenkes nomor 51 tahun 2013 tentang Pencegahan Penularan dari Ibu ke
Anak (PPIA).
8) Surat Edaran Menkes nomor 1 tahun 2013 tentang Layanan Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA).

4.3 Kebijakan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan


1) Permenkes nomor 1199 tahun 2004 tentang akses ARV.
2) Permenkes nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.
3) Kepmenkes nomor 1190 tahun 2004 tentang Pemberian Gratis Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) dan Obat Anti Retroviral (ARV) untuk HIV dan AIDS.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

4) Kepmenkes nomor 1507 tahun 2005 tentang Pedoman Pelayanan Konseling


dan Testing HIV dan AIDS secara Sukarela (Voluntary Counselling and Testing).
5) Kepmenkes nomor 1508 tahun 2005 tentang Rencana Kerja Jangka Menengah
Perawatan, Dukungan dan Pengobatan untuk ODHA serta Pencegahan HIV
dan AIDS Tahun 2005-2009.
6) Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan, 2005.
7) Kepmenkes nomor 241 tahun 2006 tentang Standar Pelayanan Laboratorium
Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik.
8) Kepmenkes nomor 279 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Upaya
Keperawatan Kesehatan Masyarakat di Puskesmas.
9) Kepmenkes nomor 369 tahun 2007 tentang Standar Profesi Bidan.
10) Kepmenkes nomor760 tahun 2007 tentang Penetapan Lanjutan Rumah Sakit
Rujukan Bagi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA).
11) Kepmenkes nomor 812 tahun 2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif.
12) Permenkes nomor 269 tahun2008 tentang Rekam Medis.
13) Permenkes nomor 290 tahun 2008 tentang persetujuan Tindakan Kedokteran.
14) Kepmenkes nomor 129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah
Sakit.
15) Kepmenkes nomor 296 tahun 2008 tentang Pedoman Pengobatan Dasar di

LAMPIRAN
Puskesmas.
16) Kepmenkes nomor 350 tahun 2008 tentang Penetapan Rumah Sakit Pengampu
dan Satelit Program Terapi Rumatan Metadon serta Pedoman Program Terapi
Rumatan Metadon. 159
17) Permenkes nomor 269 tahun 2009 tentang rekam medis.
18) Permenkes nomor 658 tahun 2009 tentang Jejaring Laboratorium Diagnosis
Penyakit Infeksi New-Emerging dan Re-Emerging.
19) Kepmenkes nomor 60 tahun 2009 tentang Tim Pelatih Konseling dan Testing
HIV/AIDS secara Sukarela (VCT).
20) Kepmenkes nomor 364 tahun 2009 tentang Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis (TB).
21) Kepmenkes nomor 374 tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Nasional.
22) Kepmenkes nomor 1278 tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi
Pengendalian Penyakit TB dan HIV.
23) Pedoman Nasional Pemeriksaan Laboratorium mendukung Sistem
Kewaspadaan Dini dan Respons, Depkes RI, 2009.
24) Permenkes nomor 2 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.
25) Permenkes nomor 2 tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik
Perawat.
26) Permenkes nomor 340 tahun 2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit.
27) Permenkes nomor 411 tahun 2010 tentang Laboratorium Klinik.
28) Permenkes nomor 1190 tahun 2010 tentang Izin Edar Alat Kesehatan dan
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.
29) Permenkes nomor 1438 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran.
30) Permenkes nomor 1464 tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Bidan.
31) Kepmenkes nomor 422tahun 2010 tentang Pedoman Penatalaksanaan Medik
Gangguan Pengguna Napza.
32) Kepmenkes nomor 908 tahun 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Keperawatan Keluarga.
33) Pedoman Tes HIV dan Konseling Terintegrasi di Layanan Kesehatan (2010).
34) Permenkes nomor 28 tahun 2011 tentang Klinik.
35) Permenkes nomor 1097 tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Pelayanan
Kesehatan Dasar Jamkesmas.
36) Permenkes nomor 1171 tahun 2011 tentang Sistem Informasi Rumah Sakit.
37) Permenkes nomor 1691 tahun 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
38) Permenkes nomor 2052 tahun 2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran.
39) Permenkes nomor 2406 tahun2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik.
40) Permenkes nomor 2415 tahun 2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu,
LAMPIRAN

Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.


41) Permenkes nomor 2582 tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan.
42) Kepmenkes nomor 782 tahun 2011 tentang Rumah Sakit Rujukan ODHA.
43) Kepmenkes nomor 1305 tahun 2011 tentang Institusi Penerima Wajib Lapor.
160 44) Pedoman Tes HIV dan Konseling atas Inisiasi Petugas Kesehatan (2011).
45) Pedoman Konseling dan Tes HIV (2011).
46) Pedoman Nasional Tata Laksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada
Orang Dewasa (2011).
47) Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual (2011).
48) Permenkes nomor 59 tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional
Kesehatan 2013.
49) Permenkes nomor 1 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Perorangan.
50) Permenkes nomor 4 tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Promosi Kesehatan
Rumah Sakit.
51) Permenkes nomor 12 tahun 2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit.
52) Permenkes nomor 29 tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan nomor 416 tahun 2011 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan bagi
Peserta PT Askes (Persero).
53) Permenkes nomor 36 tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran.
54) Permenkes nomor 37 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Laboratorium
Pusat Kesehatan Masyarakat.
55) Permenkes nomor 40 tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Program
Jaminan Kesehatan Masyarakat.
56) Permenkes nomor 46 tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan


Narkotika yang dalam Proses atau yang telah diputus oleh Pengadilan.
57) Permenkes nomor 48 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Bank Sel Punca
Darah Tali Pusat.
58) Kepmenkes nomor 451 tahun 2012 tentang Rumah Sakit Rujukan bagi Orang
dengan HIV dan AIDS.
59) Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan
(2012).
60) Permenkes nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.
61) Surat Edaran Menkes nomor 129 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pengendalian
HIV-AIDS dan Infeksi Seksual Menular (IMS).

4.4 Kebijakan Mitigasi Dampak


1) Kepmenkes nomor 1059 tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Imunisasi.
2) Kepmenkes nomor 567 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengurangan Dampak Buruk Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA).
3) Kepmenkes nomor 2171 tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Wajib Lapor

LAMPIRAN
Pecandu Narkotika.
4) Pedoman Eliminasi Stigma dan Diskriminasi (2012).

4.5 Kebijakan Lingkungan Kondusif


1) Kepmenkes nomor 725 tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan 161
Pelatihan di Bidang Kesehatan.
2) Kepmenkes nomor 1116 tahun 2003 tentang Pedoman penyelenggaraan
Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
3) Kepmenkes nomor 1479 tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular
Terpadu.
4) Kepmenkes nomor 1441 tahun 2005 tentang Pokja Pengendalian HIV dan AIDS
Departemen Kesehatan, Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
5) Kepmenkes nomor 3 tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan Tahun 2010 2014.
6) Kepmenkes nomor 1932 tahun 2011 tentang Kelompok Kerja Pengendalian
HIV AIDS Kementerian Kesehatan.
7) Kepmenkes nomor 2500 tahun 2011 tentang Daftar Obat Esensial Nasional
2011.
8) Kepmenkes nomor 359 tahun 2012 tentang Kelompok Kerja Pengendalian HIV-
AIDS dan IMS Kementerian Kesehatan.
5. Kementerian Dalam Negeri
1) Permendagri nomor 59 tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
2) Permendagri nomor 32 tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009.
3) Permendagri nomor 20 tahun 2007 tentang Pedoman umum Pembentukan
Komisi Penanggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Rangka
Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah.
4) Inmendagri nomor 444.24/2259/SJ tentang Penguatan Kelembagaan dan
Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di daerah.
5) Permendagri nomor 21 tahun 2013 tentang fasilitasi pencegahan penggunaan
narkoba.

6. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi


1) Kepmenakertrans nomor 68 tahun 2004 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV dan AIDS ditempat kerja
2) Keputusan Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan nomor 20 tahun
2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pencegahan dan Penanggulangan
LAMPIRAN

HIV dan AIDS di tempat Kerja.


3) Permenakertrans nomor 11 tahun 2005 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap NARKOBA (P4GN) di
162
Tempat Kerja.
4) Kepdirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan nomor 3 tahun 2006
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan P4GN Di Tempat Kerja.
5) Permenakertrans nomor 20 tahun 2012 tentang Perubahan Atas
Permenakertrans nomor 12 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran
Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan
Sosial Tenaga Kerja.
6) Keputusan Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan nomor 44 tahun
2012 tentang Pedoman Pemberian Penghargaan dalam Penanggulangan HIV
dan AIDS di Tempat Kerja.
7) Kebijakan Waskita HIV dan AIDS tahun 2013.

7. Kementerian Sosial
1) Permensos nomor 56 tahun 2009 tentang Pelayanan Rehabilitasi.
2) Permensos nomor 3 tahun 2012 tentangStandar Lembaga Rehabilitasi Korban
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya.
3) Permensos nomor 26 tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Korban
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya.
4) Kepmensos nomor 31 tahun 2012 tentang Penunjukan Lembaga Rehabilitasi
Sosial Korban Penyalahgunaan Napza sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

(IPWL) bagi Korban Penyalahgunaan Napza.


5) Kepmensos nomor 36 tahun 2013 tentang Penunjukan IPWL.

8. Kementerian Pekerjaan Umum


1) Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum nomor 13 tahun 2012 tentang
Program Penanggulangan HIVdan AIDS pada Sektor Konstruksi di Lingkungan
Kementerian Pekerjaan Umum.

9. Kementerian Agama
1) Kesepakatan Bersama Menkes; Mendagri; Mendikbud;Menteri Sosial dan
Menteri Agama nomor 7 tahun 2012 tentang Peningkatan Pengetahuan
Komprehensif HIV dan AIDS pada Penduduk Usia 15 sampai dengan 24 tahun.

10. Badan Narkotika Nasional


1) Peraturan Kepala BNN nomor 2 tahun 2011 tentang Tata Cara Penanganan
Tersangka atau Terdakwa Penyalahguna, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu
Narkotika.

11. Kementerian PP dan PA

LAMPIRAN
1) Permeneg PP dan PA nomor 9 tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan
Penganggaran dalam Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS yang
Responsif Gender.
2) Permeneg PP dan PA nomor 2 tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak 163
Korban Kekerasan.
3) Permeneg PP dan PA nomor 5 tahun 2011 tentang Kebijakan Pemenuhan Hak
Pendidikan Anak.
4) Permeneg PP dan PA nomor 7 tahun 2011 tentang Kebijakan Peningkatan
Ketahanan Keluarga Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus.

12. Tentara Nasional Indonesia


1) Peraturan Panglima TNI nomor Perpang/64/X/2010 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penanggulangan HIV dan AIDS di Lingkungan TNI.
2) Juklak Panglima TNInomor 64 tahun 2010 tentang Penanggulangan HIV dan
AIDS di Lingkungan TNI.
3) Juknis nomor 680 tahun 2012 tentang Bujuknis Penatalaksanaan Kasus HIV dan
AIDS di Lingkungan TNI.

13. Kementerian Pendidikan Nasional


1) Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah.
2) Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Konselor.
3) Permendiknas nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Konselor.

14. Bappenas
1) Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional nomor 19 tahun 2009 tentang
Pembentukan Forum Perencanaan dan Penganggaran Penanggulangan HIV
dan AIDS.

15. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)


1) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional nomor 429
tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencegahan IMS, HIV dan AIDS
melalui Program KB Nasional.

16. Lain-lain
1) Komunikasi Efektif Dokter-Pasien, Konsil Kedokteran Indonesia, 2006.
2) Keputusan KKI nomor 18 tahun 2006 tentang Buku Penyelenggaraan Praktik
Kedokteran yang Baik di Indonesia.
3) Keputusan KKI nomor 21A tahun 2006 tentang Pengesahan Standar Kompetensi
LAMPIRAN

Dokter.
4) SK PB IDI nomor 221 tahun 2002 tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran
Indonesia (Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode
164 Etik Kedokteran Indonesia; MKEK IDI).
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

Daftar Pustaka

n Adi Santika, S. A. (2012). Review terhadap Peraturan Perundang-undangan terkait


Penanggulangan HIV dan AIDS.
n Analisis Kohort Dampak ART 2010-2014 dari 147 Rumah Sakit di 32 Provinsi di
Indonesia. Kementerian Kesehatan, Sub Direktorat AIDS.
n Ariawan, I. (2013). Analisis Situasi Epidemi HIV di Indonesia. Universitas Indonesia,
KPAN.
n Badan Narkotika Nasional, Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (2012).
Studi Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba di Lingkungan Pekerja di
Indonesia.
n Badan Narkotika Nasional, Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (2011).
Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba
pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di Indonesia.

LAMPIRAN
n BKKBN. (2013). Pencegahan Masalah Kesehatan Reproduksi, Kumpulan Booklet
Materi KIE (Intervention in Reproductive Health).
n BKKBN. (2013). Petunjuk Pelaksanaan Peningkatan Pemakaian Kondom Dual
Proteksi.
n BKKBN. (2013). Siklus Hidup Kesehatan Reproduksi Manusia, Panduang Materi 165
Pengelola Programme KB.
n BPS, Kemenkes, BKKBN, Measure DHS ICF International. (2012). Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia.
n Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. (2008). Riset Kesehatan Dasar: Laporan Nasional 2007.
n Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu-Anak, Direktorat Bina Kesehatan
Ibu, Kementerian Kesehatan. (2013). Rencana Aksi PPIA Tahun 2013-2017.
n Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. (2012). Laporan NASA.
n Gambit Praptoraharjo, K. N. (2013). A Review of Needles and Syringes Programmes
in Indonesia. KPAN, UNODC, UNDP.
n GFATM. (2013). Laying the groundwork: Preparing for the New Funding Model.
n Hirnschall, G. (2013). 2013 WHO Consolidated ARV Guidelines, Summary of Major
Recommendations and Estimated Impact.
n Ikatan Perempuan Positif Indonesia. (2013). Kasus Kekerasan terhadap Perempuan
dengan HIV & AIDS di 3 Provinsi.
n Ikatan Perempuan Positif Indonesia. (2011). Kualitas dan Rekomendasi Perbaikan
Layanan PPIA bagi Perempuan terinfeksi HIV di 4 kota di Indonesia.
n Ikatan Perempuan Positif Indonesia. (2010). Kualitas dan Rekomendasi Perbaikan
Layanan PPIA bagi perempuan terinfeksi HIV di Empat kota di Indonesia.
n Ikatan Praktisi Intervensi Perubahan Perilaku Indonesia/IPIPPI. (2013). Laporan
Pemetaan 10 Kabupaten/Kota untuk Percepatan Pencegahan Melalui Transmisi
Seksual (PMTS) Paripurna.
n Institusi Angsamerah. (2013). Laporan Kegiatan Evaluasi Capaian Programme HIV
pada GWL di Indonesia, 10 provinsi prioritas tahun 2010-2014.
n Jeffrey Grierson, S. M. (2012). Networks of MSM in Indonesia: a 2-mode study of
MSM and sites of engagement.
n Kementerian Dalam Negeri. (n.d.). Peraturan Nomor 19 tahun 2011.
n Kementerian Dalam Negeri. (2011). Pelayanan Sosial Terpadu di Tingkat Daerah,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19.
n Kementerian Dalam Negeri. (2014). Peraturan Daerah Nomor 6.
n Kementerian Dalam Negeri. (2014). Peraturan Daerah, Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 4.
n Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Pemasyarakatan. (2010).
Prevalensi HIV dan Sifilis dan Studi Perilaku Berisiko pada Narapidana di Lapas dan
Pusat Penahanan di Indonesia.
n Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Pemasyarakatan. (2012).
Prevalensi HIV dan Sifilis dan Studi Perilaku Berisiko pada Narapidana di Lapas dan
Pusat Penahanan di Indonesia.
LAMPIRAN

n Kementerian Kesehatan. (2006). Survei Terpadu Biologis dan Perilaku di Tahah


Papua.
n Kementerian Kesehatan. (2007). Survei Terpadu Biologis dan Perilaku.
166 n Kementerian Kesehatan. (2007). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1235.
n Kementerian Kesehatan. (2010). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 156.
n Kementerian Kesehatan. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 156.
n Kementerian Kesehatan. (2011). Survei Terpadu Biologis dan Perilaku.
n Kementerian Kesehatan. (2011). Survei Cepat Pengetahuan Komprehensif HIV di 5
Kota di 5 Provinsi.
n Kementerian Kesehatan. (2012). Pemodelan Matematika Epidemi HIV di Indonesia
2011-2016.
n Kementerian Kesehatan. (2012). Estimasi Besar Populasi Kunci HIV and Orang
Dengan HIV dan AIDS (ODHA) 2012.
n Kementerian Kesehatan. (2012). Peraturan Presiden Nomor 72 Tentang Sistem
Kesehatan Nasional.
n Kementerian Kesehatan. (2013). Survei Terpadu Biologis dan Perilaku.
n Kementerian Kesehatan. (2013). Survei Terpadu Biologis dan Perilaku di Tahah
Papua.
n Kementerian Kesehatan. (2013). Laporan Kementerian Kesehatan untuk Global
Funds sampai dengan Juni 2013.
n Kementerian Kesehatan. (2013). Pedoman Pelaksanaan Programme Pengurangan
Dampak Buruk Penyalahgunaan Napza Suntik.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

n Kementerian Kesehatan. (2013). Rencana Aksi Percepatan Penurunan Angka


Kematian Ibu di Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu-Anak,
Direktorat Bina Kesehatan Ibu.
n Kementerian Kesehatan. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69, Tarif
Asuransi Kesehatan Nasional.
n Kementerian Kesehatan, BPS Bureau. (2006). Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di
Tanah Papua 2006 .
n Kementerian Kesehatan, GTZ, DFID. (2008). Toolkit: Community Empowerment in
MNH.
n Kementerian Kesehatan, KPAN, WHO, UNAIDS. (2012). Policy Brief: Investing in HIV
Control in Indonesia (for internal circulation).
n KPAN. Survei Kualitas Program Pencegahan bagi WPS dan Penasun di 6 provinsi di
Indonesia.
n KPAN. (April 2010). Desain Program, HIV dan Pencegahan IMS dan and Perawatan
untuk GWL di Indonesia (Draft).
n KPAN. (2011). Efektivitas Layanan terkait Harm Reduction di Indonesia.
n KPAN. (2011). Rangkuman Hasil Penelitian Pengguna Napza Suntik 2007-2011.
n KPAN. (2011). Respon HIV dan AIDS in Indonesia 2006-2011. Laporan 5 Tahun
Implementasi Peraturan Presiden Nomor 75/2006 tentang Komisi Penanggulangan

LAMPIRAN
AIDS Nasional.
n KPAN. (2012). Hasil Survei Terpadu HIV dan AIDS dan Perilaku TNI 2012.
n KPAN. (2012). Perencanaan Bersama Menuju 2013-2014: Kemitraan dalam
Implementasi Program HIV dan AIDS. 167
n KPAN. (2012). Rencana Aksi AIDS Nasional: Untuk Remaja Berisiko Usia 15-24.
n KPAN. (2013). Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS
pada GWL 2010-2014.
n KPAN. (2013). Perkembangan Epidemi HIV pada Populasi Kunci di Indonesia.
n KPAN. (2013). Pertemuan Konsultasi Nasional Kajian Paruh Waktu Strategi dan
Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014.
n KPAN. (2013). Pertemuan Konsultasi Nasional tingkat Provinsi Kajian Paruh Waktu
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014.
n KPAN. (2013). Populasi Kunci Remaja dan Akses Mereka ke Layanan HIV, Penilaian
Formatif di 9 Lokasi di Indonesia.
n KPAN. (2013, November 8). Kajian Paruh Waktu Strategi dan Rencana Aksi Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014.
n KPAN. (2013). Laporan KPAN untuk Global Fund sampai dengan Juni 2013.
n KPAN. (2013). Perkembangan Cakupan Programme Penanggulangan HIV dan AIDS
terhadap Populasi Kunci sampai dengan Desember 2012.
n KPAN. (2013). Deklarasi PBB terkait HIV dan AIDS 2011, Laporan Kajian Paruh Waktu
10 Target di Indonesia.
n KPAN, AusAID. (2013). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pengobatan
ARV pada ODHA di Indonesia.
n KPAN, Kementerian Kesehatan, UNAIDS, UNICEF, WHO. (2012). Road Map to reduce
HIV-related morbidity and mortality and maximize the prevention benefits of
scalling-up access to ARVs: Rapid Scalling-up of HIV Testing and Treatment in High
Burden Districts 2013-2015.
n KPAN, Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (2011). Survei Manajemen
Rantai Pasokan Kondom dan Pelicin.
n KPAN, UNICEF. (2011). Populasi Kunci Remaja dan Akses Mereka ke Layanan HIV,
Penilaian Formatif di 9 Lokasi di Indonesia.
n KPAN, UNAIDS. (2012). Ringkasan Visi dan Misi Jaringan Nasional Populasi Berisiko.
n KPAN, UNAIDS. (2012). Briefing Note: Respon Masyarakat terhadap HIV dan AIDS .
n KPAN, UNAIDS. (2012). Ringkasan Penggagas dan Kelompok Dukungan untuk
ODHA.
n KPAN, UNAIDS, WHO, UNICEF, AusAID. (2013). Joint Assessment of National Men
who have Sex with Men & Transgender People Programme.
n KPAP Bali. (2013). Survei Perilaku dan Kepuasan Layanan Program Pencegahan HIV.
n Nadia, S. (n.d.). Strategi untuk Mengurangi Kecacatan dan Kematian ODHA dan
Peningkatan Keuntungan Pencegahan ARV.
n Nahdatul Ulama (NU). Laporan NU (PR) untuk Global Funds sampai dengan Juni
LAMPIRAN

2013.
n Pemerintah Kota Bandung, KPAK Bandung. (2012). Buku Pedoman Pembentukan
Forum Warga Peduli AIDS Tingkat Kecamatan dan Kelurahan Kota Bandung
(Guidelines to establish Community Based Care for AIDS). Bandung.
168 n Pemerintah Kota Bandung, KPAK Bandung. (2012-2016). Rencana Strategis
Penanggulangan HIV AIDS Kota Bandung. Bandung.
n Octavery Kamil, I. I. (2011). Analisis Perlindungan Sosial HIV di Indonesia. Universitas
Kristen Atma Jaya, Pusat Penelitian HIV dan AIDS .
n Partha Muliawan, K. T. (2011). Concurrent Seksual Partnership pada Pelanggan
Pekerja Seks Perempuan di Bali. YKP, PS IKM Universitas Udayana, KPAN, HCPI.
n Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). (2013). Laporan PKBI (PR) untuk
Global Funds sampai dengan Juni 2013.
n Peter Heywood, M. B. (2013). Institutiontal Analysis of HIV Control Programme in
Indonesia. KPAN, HCPI/AusAID.
n Puskesmas Tebet, Jakarta Selatan. (2013). Data Program HIV dan AIDS di Puskesmas
Tebet, Jakarta Selatan.
n Preble, E. A. (2011). Penilaian PPIA di Jakarta and Tanah Papua Indonesia. UNICEF.
n Preble, E. A. (2012). Penilaian PPIA di Jakarta and Tanah Papua Indonesia. UNICEF.
n Presentasi Direktur Bina Kesehatan dan Perawatan Ditjen PAS Dalam Rangka
Evaluasi Program HCPI. (2011).
n Putu Aryani, P. C. (2012). Fisibilitas Pelaksanaan Program Tes and Pengobatan pada
Pekerja Seks Perempuan di Bali.
n Riset Kesehatan Dasar 2010. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

n Rugg et al (2004). Global advances in HIV/AIDS monitoring and evaluation. New


Direction for Evaluation. Hoboken, NJ Wiley Periodicals. Inc. dalam UNAIDS working
document (2006). M&E of HIV Prevention Programmes for Most-At-Risk Populations
n Sawitri, M. A. (2009). Estimasi Jumlah Pengguna Jarum Suntik di Bali.
n Spiritia, R. M. (2011). Penelitian mengenai Peran Dukungan Sebaya dalam
Meningkatkan Kualitas Hidup di Indonesia. Universitas Muhammadyah Prof. Dr.
Hamka, Lembaga Penelitian dan Pengembangan.
n Steen, R. (2013). Making Localisasi Safer: Preliminary findings from review of
interventions in 5 locations.
n Sutrisna, A. (2011). Dampak Sosial-Ekonimi dari HIV pada individu dan rumah
tangga di 7 Provinsi di Indonesia. JOTHI, KPAN, BPS, UNDP, ILO, UNV.
n Swasti Health Resources Center. (2013). Result focused Technical Support and
Capacity Building, Assessment and a Coordinated and Integrated Plan.
n UNAIDS. (2012). UNAIDS Guidance Note on HIV and Sex Work.
n UNAIDS. (2012). UNAIDS report on the global AIDS Epidemic 2013.
n UNAIDS. (2013). Guidance on National AIDS Strategies Implementaion for Results,
Third Generation Nationa Strategic Planning, NSP-3Gl.
n UNAIDS. (2013). Location, Location, Connecting People Faster to HIV Services.

LAMPIRAN
n UNAIDS. (2013). Treatment 2015.
n UNAIDS, WHO. (July 2012). Country Ownership for a Sustainable AIDS Response:
from Principles to Practice.
n UNDP. (2011). Socio-Economic Impact of HIV at the Household Level in Asia: a
Regional Analysis of the Impact on Women adn Girls. 169

n UNDP. (2011). The Socio-Economic Impact of HIV at the Household Level in Asia: A
Regional Analysis of the Impact on Women and Girls.
n UNFPA, PEPFAR, UNDP, GF, MEASURE Evaluation, ICASO. (2013). Operational
Guidelines for Monitoring and Evaluation of HIV Programme for Sex Workers, Men
who have Sex with Men and Transgender People. Volume: National and Sub-
National Levels.
n United Nations. (2013). United Nations General Assembly Political Declaration on
HIV/AIDS.
n Universitas Indonesia, Pusat Penelitian Jender dan Seksualitas. (2013). Analisis
Situasi Keterkaitan Layanan Kespro-HIV di Kota Jayapura and Merauke.
n Universitas Padjadjaran, Pokja HIV, Research & Community Service Laboratory.
(2013). Hambatan, Tantangan dan Praktik Baik dalam Menawarkan Pengobatan
Antiretroviral.
n WHO, Kementerian Kesehatan. (2011). External Review on Opioid Substitution
Therapy Implementation in Indonesia .
n WHO, UNAIDS, UNODC. (2004). Evidence for action on HIV/AIDS and injecting drug
use. Policy Brief: Antiretroviral Therapy and Injecting Drug Users.
n WHO, UNAIDS, UNODC. (2004). Evidence for action on HIV/AIDS and injecting
drug use. Policy Brief: Provision of Sterile Injecting Equipment to Reduce HIV
Transmission.
n WHO, UNAIDS, UNODC. (n.d.). Evidence for action on HIV/AIDS and injecting drug
use. Policy Brief: Reduction of HIV Transmission in Prison. 2004 .
n WHO, UNAIDS, UNODC. (2004). Evidence for action on HIV/AIDS and injecting
drug use. Policy Brief: Reduction of HIV Transmission through Drug-Dependence
Treatment.
n WHO, UNAIDS, UNODC. (2004). Evidence for action on HIV/AIDS and injecting drug
use. Policy Brief: Reduction of HIV Transmission through Outreach.
n www.aidsdatahub.org
n Zulbahary, T. (2012). Menuju Penanggulangan AIDS yang Responsif Gender: Kajian
atas Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2010-2014. KPAN, Pokja Jender.
LAMPIRAN

170
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

LAMPIRAN
171
SUMBER DAYA DAN PENDANAAN

172
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

SUMBER DAYA DAN PENDANAAN


173
SUMBER DAYA DAN PENDANAAN

174
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

SUMBER DAYA DAN PENDANAAN


175

Anda mungkin juga menyukai