Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, bahwasanya
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS (SRAN) tahun
2015-2019 dapat diselesaikan dengan baik. Ini adalah dokumen perencanaan yang
disusun mengacu ke Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
tahun 2015-2019 serta visi misi Pemerintah dan Kabinet Kerja.
Proses penyusunan dokumen ini dimulai dengan kajian paruh waktu pelaksanaan
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010-2014,
sejak tahun 2012 hingga tahun 2013. Pengkajian dilakukan melalui pengumpulan
informasi mulai dari kajian tematik yang digunakan untuk pengembangan roadmap
dan pelaksanaan program, selanjutnya digunakan untuk menggambarkan situasi
epidemiologi dan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.
Seluruh kajian dilakukan melalui serangkaian pertemuan konsultasi mulai dari tingkat
daerah hingga nasional dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Hal ini
untuk memastikan bahwa semua pihak berpartisipasi dengan aktif memberikan
masukan dan analisis dalam proses untuk memahami kondisi terkini, yang pada
gilirannya akan menjadi materi strategis dalam pengembangan SRAN 2015-2019.
Di tingkat global, dokumen ini juga diharapkan menjadi bagian penting dalam
pelaksanaan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yang terintegrasi,
terarah, intensif dan komprehensif bagi kita untuk mencapai komitmen Sustainable
Development Goals pasca tahun 2015 dan ASEAN Getting to Zeroes, dimana Indonesia
menjadi leading country.
Mengingat Peraturan Presiden nomor 75 tahun 2006 saat ini dalam proses revisi
untuk kelembagaan KPAN maka Strategi dan Rencana Aksi Nasional ini belum dapat
ditetapkan melalui peraturan menteri. Namun isi dokumen ini dapat digunakan
sebagai acuan, yang memang telah digunakan pada tahun 2014-2015 untuk
penyusunan New Funding Model, Global Fund. Ke depan dalam penggunaan SRAN
ini perlu penyesuaian dengan memperhatikan adanya perkembangan terbaru,
seperti sasaran-sasaran SDGs, kebijakan pemerintah dan perkembangan data HIV/
AIDS terkini.
Dengan segala senang hati kami sangat terbuka terhadap segala masukan dan saran
untuk perbaikan dokumen ini.
Dengan terbitnya dokumen ini, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan
sebesar-besarnya kepada berbagai pihak atas itikad, kerja keras serta dedikasinya
dalam proses penyusunan.
Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberi kemudahan dan
bimbingan-Nya dalam tiap upaya kita untuk mencapai derajat kesejahteraan seluruh
rakyat Indonesia. Dengan demikian, kita akan mampu menciptakan manusia Indonesia
yang sehat dan berkualitas serta produktif.
Januari 2015
Bab 1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 1
1.2. Perubahan Lingkungan 1
1.3 Penyusunan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2015-2019 2
B. Critical Enablers 46
4.5. Lingkungan yang Mendukung 46
4.5.1. Integrasi Perlindungan HAM dan Keberpihakan Jender 46
4.5.2. Penguatan Sistem Komunitas 49
4.5.3. Penguatan Sistem Kesehatan 50
4.5.4. Pembelajaran Horisontal 53
4.6. Keberlanjutan Kepemimpinan dan Pendanaan 54
4.7. Penguatan Penelitian dan Kualitas Data serta Akselerasi
Penggunaan Inovasi dan Teknologi Baru 55
4.8. Penguatan Kemitraan Internasional: Bilateral dan Multilateral 55
4.9. Penanggulangan HIV dalam Kebencanaan 56
PENDAHULUAN
1
BAB 1
Pendahuluan
2
PENDAHULUAN
BAB 1.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Pendahuluan
PENDAHULUAN
Penanggulangan AIDS tahun 2007-2010 adalah dokumen strategi pertama yang
menggunakan perencanaan berbasis biaya. Kemudian, SRAN tahun 2010-2014
yang disusun berdasarkan arahan kebijakan RPJMN 2010-2014, telah digunakan
sebagai acuan bagi semua pelaksana penanggulangan AIDS termasuk mitra kerja
pembangunan nasional dan internasional.
3
SRAN untuk 5 tahun mendatang, disusun mengacu pada RPJMN 2015-2019, dalam
kerangka pembangunan yang berkelanjutan, untuk mempertahankan momentum
penanggulangan HIV dan AIDS yang sedang bergerak menuju kemandirian
pendanaandan integrasi program ke dalam sistem pemerintah dan masyarakat.
Dokumen ini terdiri dari 7 Bab, yang diawali dengan Bab 1 Pendahuluan, termasuk
kerangka pikir serta proses penyusunannya; Bab 2 Situasi epidemi serta upaya
penanggulangan; Bab 3 Visi, tujuan, target dan strategi; Bab 4 Rencana aksi; Bab 5
Monitoring dan evaluasi; Bab 6 Pelaksanaan SRAN di daerah; dan Bab 7 Kebutuhan
sumber daya, termasuk mobilisasi sumber daya manusia dan sumber pendanaan.
Perubahan lingkungan yang terjadi baik secara nasional maupun global menjadi
bahan pertimbangan untuk penetapan kebijakan ke depan. Beberapa perubahan
lingkungan yang terjadi adalah sebagai berikut:
Pertemuan Tingkat Tinggi Majelis Umum PBB tahun 2011 mengadopsi Komitmen
Politik tentang HIV dan AIDS dan menetapkan target global yang akan dicapai pada
tahun 2015.
KTT ASEAN tahun 2011 di Bali yang dipimpin oleh Indonesia, mengadopsi Deklarasi
Komitmen Getting to Zero, yang memperkuat komitmen dan target tingkat global.
Negara-negara anggota ASEAN bersama-sama menetapkan target dalam inisiatif yang
disebut dengan ASEAN Cities Getting to Zero. Dalam inisiatif ini, Indonesia berperan
sebagai leading country, dan bersama-sama anggota ASEAN, merencanakan dan
berbagi praktik terbaik untuk mengatasi epidemi HIV di kota-kota terpilih.
Indonesia secara aktif mendukung resolusi ESCAP regional dan berkomitmen untuk
meningkatkan akses universal terhadap HIV dan AIDS melalui pengobatan, perawatan
dan dukungan secara intensif.
dengan 3 Zero (Zero infeksi baru, Zero kematian terkait AIDS, Zero stigma dan
diskriminasi) telah dipandang sebagai tujuan yang aspirasional. Ke depan MDGs akan
digantikan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Disini, HIV dan AIDS
diintegrasikan sebagai salah satu tujuan kesehatan dan pembangunan sosial.
4 Perubahan penting lainnya adalah krisis ekonomi global, yang berakibat pada
berkurangnya pendanaan HIV dan AIDS. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran
pada banyak negara yang masih bergantung dari pendanaan luar negeri. Oleh sebab
itu, demi keberlanjutan program penanggulangan HIV dan AIDS penting untuk
menyiapkan exit strategy dari ketergantungan pendanaan luar negeri.
SRAN penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2015-2019 disusun berdasarkan hasil
evaluasi pelaksanaan SRAN sebelumnya tahun 2010-2014, dan sejalan dengan
kerangka RPJMN tahun 2015-2019. Penyusunan SRAN tahun 2015-2019 dilakukan
mengikuti kerangka pikir sebagaimana diuraikan pada gambar 1.1.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Kepemimpinan
dan Tata Kelola Visi:
(Nasional -
Daerah) Strategi: Tujuan Khusus:
Berakhirnya
Penguatan Akses l Pencegahan
epidemi HIV
dan Kualitas kombinasi HIV sebagai ancaman
Penguatan Sistem kesehatan
Pencegahan l Perawatan,
Kesehatan dan masyarakat tahun
Pengembangan
HIV dan AIDS dukungan dan
Komprehensif pengobatan 2030
SDM
melalui berkualitas
Ketersediaan Obat, Continum of Care l Pencegahan
Tujuan Umum:
Alat Kesehatan dan PMTS-LKB untuk penularan ibu ke
Logistik Populasi Kunci di anak Percepatan
Daerah Prioritas l Mitigasi dampak pencapaian 3 zero
Penguatan (zero infeksi baru,
Komunitas
sosial dan
ekonomi zero kematin akibat
Lingkungan sosial AIDS, zero stigma &
PENDAHULUAN
l
l Keberlanjutan diskriminasi)
Sumberdaya dan program
Pendanaan
5
Dimensi Pendukung Dimensi Upaya
Critical Enablers (Intervensi)
* Diadaptasi dari Landasan Pikir Sistem Kesehatan Nasional (Perpres nomor 72 tahun 2012).
* Tahun 2013 * Tahun 2013-2014 * Konsultasi VI, 7 April *KPAN, Tim Penyusun, Konsultan dan
2014 (Pokja KPAN, Tim Pembahas (K/L, Tim Penyusun
K/L, Komunitas, Komunitas, Mitra SRAN dan
Mitra Nasional dan Mitra Nasional dan Concept Note
Internasional) Internasional) untuk NFM
dilakukan dalam pengembangan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2015-
2019:
1. Kajian Paruh Waktu Pelaksanaan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS tahun
2010-2014 yang mencakup berbagai sumber informasi, termasuk hasil kajian-
6 kajian tematik, hasil survei dan surveilans serta hasil-hasil penelitian.
n Konsultasi nasional pertama pada 14 Juni 2013 mengenai kajian paruh waktu dari
10 target Pertemuan Tingkat Tinggi Sidang Umum PBB 2011 yang mengadopsi
Deklarasi Politik tentang HIV dan AIDS.
n Konsultasi nasional ketiga diadakan pada 3 Oktober 2013, yang secara spesifik
mengidentifikasi isu-isu dan membuat rekomendasi untuk memperbaiki
pelaksanaan SRAN 2010-2014, serta membuat rekomendasi dan mengidentifikasi
prioritas SRAN 2015-2019.
n Konsultasi kelima diadakan pada minggu pertama bulan Desember 2013 bersama
lembaga yang bertanggung jawab pada pelaksanaan dan pengembangan
SRAN 2015-2019 dan penyelarasannya dengan pengembangan nasional dan
perencanaan sektoral.
PENDAHULUAN
sampai dengan pertengahan tahun 2014.
BAB 2
Epidemi dan
Penanggulangan
HIV dan AIDS
BAB 2.
Secara global epidemi HIV mengalami penurunan, dimana perkiraan jumlah infeksi
baru pada orang dewasa dan anak-anak menjadi sekitar 2,3 juta pada tahun 2012,
atau 33% penurunan sejak tahun 2001. Infeksi baru pada anak-anak berkurang
menjadi 260 ribu pada tahun 2012, atau turun 52% dari tahun 2001. Kematian akibat
AIDS turun 30% sejak puncaknya tahun 2005, sejalan dengan meningkatnya akses ke
pengobatan ARV.
Demikian pula di tingkat Asia-Pasifik, pada tahun 2012 diperkirakan ada 350 ribu infeksi
baru, atau turun 26% sejak tahun 2001. Lebih banyak orang yang pernah mendapat
10
pengobatan ARV, yaitu sekitar 1,25 juta orang pada tahun 2012. Jika mengikuti
persyaratan minum obat sesuai pedoman WHO tahun 2010, cakupan pengobatan
ARV di regional Asia-Pasifik adalah 51%, peningkatan 46% dari tahun 2009.
Gambar 2.1. HIV Terkonsentrasi pada Populasi Kunci dan Kota di Asia Pasifik
Perkiraan prevalensi HIV pada populasi umum di seluruh Indonesia adalah 0,4% pada
tahun 2012, sementara di Tanah Papua 2,3%. Berikut ini adalah peta epidemi HIV pada
penduduk dewasa di masing-masing provinsi, dimana prevalensi berkisar antara 0,1%
sampai dengan 3,5%.
Gambar 2.2. Peta Epidemi HIV di Indonesia, Tahun 2012
Umumnya terkonsentrasi pada populasi kunci, kecuali Tanah Papua sudah sampai ke populasi umum.
Prevalensi HIV di Indonesia 0,4% dan Tanah Papua 2,3%.
Estimasi jumlah ODHA sekitar 590 ribu orang
EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
12
Tingkat epidemi HIV di Indonesia berbeda-beda baik menurut area geografis maupun
populasi kunci. Secara umum HIV terkonsentrasi pada populasi kunci kecuali di Tanah
Papua sudah memasuki populasi umum. Semuanya pada saat ini menunjukkan tanda
tanda stabilisasi epidemi. Kecenderungan pertumbuhan prevalensi HIV di masa
yang akan datang relatif lebih kecil dibandingkan proyeksi pertumbuhan epidemi
yang dilakukan 5 tahun yang lalu. Namun demikian, pemodelan secara matematika
menunjukkan bahwa epidemi HIV masih akan terus meningkat, jika tidak dilakukan
upaya yang lebih intensif untuk menekan laju pertumbuhan ini.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Hasil STBP, SSH dan SCP ini memberikan informasi tentang prevalensi HIV dan infeksi
13
menular seksual (IMS) pada populasi kunci seperti di bawah ini:
Penasun
Prevalensi HIV pada penasun menunjukkan penurunan dari 53% di tahun 2007
menjadi 41% di tahun 2011. Pada kelompok lokasi sampel yang berbeda (Tangerang,
Yogyakarta, Pontianak) tampak terjadi kenaikan prevalensi HIV rata-rata dari 27% di
tahun 2009 menjadi 39,5% di tahun 2013. Pada periode waktu yang sama, proporsi
penasun berbagi alat suntik pada saat terakhir menyuntik mengalami kenaikan di 3
kabupaten/kota tersebut, yaitu 18% menjadi 26% di Yogyakarta, 36% menjadi 47% di
Tangerang, dan 23% menjadi 45% di Pontianak.
LSL
Data yang sama menunjukkan adanya peningkatan prevalensi HIV pada LSL yang
signifikan. Pada STBP 2007 dan 2011, prevalensi HIV pada LSL naik dari 5,3% menjadi
12%, dan STBP 2009 dan 2013 naik dari 7% menjadi 12,8%. Hasil STBP 2013 menunjukkan
prevalensi HIV tertinggi pada LSL ditemukan di lokasi survei Kota Tangerang, Kota
Yogyakarta, dan Kota Makassar antara 19%-20%. Prevalensi gonore juga mengalami
peningkatan di 3 kabupaten/kota tersebut dari 17% menjadi 21% dan klamidia
meningkat dari 17% menjadi 23%. Keadaan ini sangat mungkin berhubungan dengan
masih rendahnya konsistensi penggunaan kondom saat hubungan seks anal terakhir
seperti ditunjukkan di Kota Surabaya yaitu dari 75,9% pada STBP 2011 menjadi 53%
pada SSH/SCP 2013.
Waria
Hasil STBP 2007 dan SSH/SCP 2013 menunjukkan bahwa prevalensi HIV pada waria
mengalami penurunan yang cukup berarti yaitu dari 23,8% menjadi 19% di 22
kabupaten/kota dimana Kota Malang tercatat mengalami penurunan yang paling
signifikan dari 16,8% menjadi 9,2%.
Sejalan dengan penurunan prevalensi HIV pada waria, terjadi pula penurunan
prevalensi IMS seperti yang dilaporkan pada STBP 2011 dan SSH/SCP 2013 di beberapa
lokasi survei. SSH/SCP 2013 mengindikasikan prevalensi sifilis menurun signifikan dari
EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
27,5% menjadi 16,2% pada waria. Perubahan yang signifikan terjadi di Kota Malang
dan Bandung dimana prevalensi sifilis turun masing-masing dari 26,4% menjadi 14%
dan dari 20,8% menjadi 4,2%. Penurunan prevalensi IMS lainnya juga terjadi pada STBP
2009 dan 2013 pada wilayah survei yang berbeda. Prevalensi klamidia turun dari 24%
menjadi 19,8% pada waria di Kota Malang, Kota Samarinda, Kota Pontianak, dan Kota
Makassar. Prevalensi gonore juga mengalami penurunan pada periode waktu yang
sama.
Penurunan prevalensi IMS pada WPS juga tercatat pada STBP 2009 dan STBP 2013 di 9
lokasi survei lainnya (Kota Palembang, Yogyakarta, Tangerang, Pontianak, Samarinda,
Bitung, Makassar, Sorong, dan Mimika). Prevalensi klamidia turun dari 39,5% menjadi
30,8% pada WPSTL dan dari 42,4% menjadi 40% pada WPSL. Prevalensi gonore
mengalami penurunan pada periode waktu yang sama.
komersial terakhir secara umum di lokasi survei dari 49,6% menjadi 65,5%. Tercatat
pula bahwa penurunan yang signifikan dari proporsi ini terjadi di Kota Bandung dari
35,1% menjadi 12,5% dan di Kota Malang dari 44,9% menjadi 24,2%.
Tanah Papua 15
Berdasarkan hasil STBP tahun 2013 pada populasi umum usia 15-49 tahun di
Tanah Papua, 2,3% populasi terinfeksi HIV dimana 2,3% pada laki-laki dan 2,2%
pada perempuan. Hasil survei juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara
sirkumsisi pada laki-laki dengan infeksi HIV, dimana infeksi HIV terjadi pada 2,4% laki-
laki yang tidak disirkumsisi dan 0,1% pada laki-laki yang disirkumsisi. Pada perempuan,
asosiasi yang signifikan terjadinya infeksi HIV adalah pada orang yang melakukan
hubungan seks dengan imbalan pada satu tahun terakhir sebesar 3,5%, sedangkan
2,2% perempuan terinfeksi HIV tidak melakukannya. Secara statistik tidak ada
perbedaan signifikan antara prevalensi HIV pada STBP tahun 2006 (2,4%) dan 2013
(2,3%) di Tanah Papua.
Prevalensi sifilis aktif dilaporkan sebesar 4,7% pada laki-laki dan 4,2% pada perempuan.
Diantara laki-laki yang tidak sirkumsisi ditemukan prevalensi cukup tinggi yaitu 4,8%
jika dibandingkan dengan laki-laki yang disirkumsisi sebesar 1,1%.
Hasil STBP juga menunjukkan perilaku seksual berisiko masih terus terjadi di Tanah
Papua, seperti melakukan hubungan seks dengan pasangan tidak tetap pada satu
tahun terakhir, termasuk dengan pasangan seks yang diberikan imbalan pada laki-
laki sebesar 12,7% dan perempuan 3,6%. Penggunaan kondom pada hubungan seks
komersial terakhir pada laki-laki mengalami kenaikan signifikan dari 14,1% (STBP 2006)
menjadi 40,3% (STBP 2013). Hal ini mengindikasikan adanya kenaikan yang positif
pada perilaku seks yang aman.
Gambar 2.5. Proyeksi Jumlah Infeksi Baru di Wilayah Non Papua tanpa
Intervensi sesudah 2013 sd tahun 2030
16
Pada wilayah di luar Papua, tampak bahwa pada periode tahun 2010-2014, jumlah total
infeksi baru pertahun relatif stabil pada kisaran 60 ribu orang. Perhitungan matematis
ini menggunakan data STBP sampai dengan tahun 2013. Jumlah infeksi baru pada
Penasun menurun kemudian tampak stabil, dan menetap pada WPS. Penambahan
yang besar sampai dengan tahun 2030 adalah pada kalangan LSL. Jika tidak dilakukan
intervensi yang intensif mulai saat ini - berdampak pada semakin tingginya infeksi
baru pada wanita risiko rendah.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Gambar 2.6. Proyeksi Jumlah Infeksi Baru di Tanah Papua tanpa Intervensi
sesudah 2013 sd tahun 2030
18
Pertemuan konsultasi nasional dalam rangka Kajian Paruh Waktu bertujuan mengkaji
implementasi SRAN 2010-2014 terkait cakupan, efektivitas dan keberlanjutan program,
dengan tema sebagai berikut: a) Pencegahan (Transmisi Seksual; Pengurangan Dampak
Buruk Penggunaan NAPZA Suntik; Pengurangan Dampak Buruk di Lapas; Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak; Pencegahan HIV pada Remaja); b) Pengobatan,
Dukungan dan Perawatan (termasuk tes HIV); c) Mitigasi Dampak (termasuk asuransi
sosial); d) Penciptaan Lingkungan Kondusif (termasuk HAM, stigma dan diskriminasi);
dan e) Kemitraan dan Keterlibatan Komunitas.
Laporan Kajian Paruh Waktu mencatat perkembangan positif selama tahun 2010-
2014. Hal ini termasuk percepatan implementasi program Pencegahan HIV Melalui
Transmisi Seksual (PMTS); Pengenalan Layanan Komprehensif Berkesinambungan
(LKB); Implementasi peningkatan jumlah tes HIV dan akses pengobatan ARV pada
tahun 2013-2015; Memperluas kriteria minum obat ARV menjadi CD4 350, ditambah
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Target 70% pendanaan HIV dan AIDS dari sumber domestik pada tahun 2014
tampaknya belum tercapai. Lebih dari 50% pendanaan masih bersumber dari
luar negeri. Rencana memperluas program penanggulangan HIV dan AIDS yang
telah dimulai tidak akan berhasil tanpa kelanjutan dukungan luar negeri dan tanpa
meningkatkan pendanaan dari sumber domestik, termasuk pendanaan pemerintah
pusat dan daerah serta meningkatkan pengobatan yang dicakup JKN melalui BPJS.
AIDS Epidemic Modeling (AEM) dan Investment Case Analysis (ICA) dipakai dalam Kajian
Paruh Waktu, yang memberikan pilihan strategis yang menjadi dasar pengembangan
SRAN 2015-2019. Pemodelan dilakukan pada kombinasi hasil dari 3 intervensi
yang dianggap memiliki dampak yang besar terhadap epidemi: (1) Model Layanan
Komprehensif Berkesinambungan (LKB) yang merupakan integrasi pemberian
layanan yang berkesinambungan mulai dari tingkat komunitas seperti PMTS, (2)
Perluasan Strategic Use of ARV (SUFA), dan (3) Perluasan praktik-praktik terbaik untuk
meningkatkan cakupan dan efektivitas intervensi. Perhitungan ini memasukkan 141
kabupaten/ kota prioritas yang saat ini masih menerima
dukungan dana GFATM, dimana di dalamnya terdapat
75 kabupaten/ kota pelaksana program LKB dengan
Intervensi yang optimal
tambahan SUFA (Strategic Use of ARV). Keseluruhan 141
untuk tahun 2015-2019:
kabupaten/ kota prioritas ini sudah sejak akhir tahun 2013
dipersiapkan untuk melaksanakan LKB pada akhir tahun
2014.
Memilih
Dalam analisis, dibuat beberapa skenario epidemi HIV, baik sebagian yaitu
EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
Hasil analisis dampak epidemiologis dari ICA ini menggunakan: 1) Jumlah infeksi
baru per tahun; 2) Jumlah infeksi HIV yang bisa dicegah; 3) Jumlah ODHA; 4) Jumlah
kematian terkait AIDS; 5) Jumlah kematian yang dicegah; dan 6) Jumlah DALY yang
diselamatkan.
Analisis kemudian dilakukan untuk melihat efektivitas dari biaya yang dikeluarkan dan
keuntungan epidemiologisnya, dan melihat kembalinya hasil investasi untuk program
AIDS terhadap perhitungan ekonomi mengenai biaya yang tidak harus dikeluarkan di
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Berdasarkan data hasil IBBS tahun 2007 dan 2011 ditemukan bahwa pekerja seks
remaja/ orang muda (KAP muda) dibawah usia 25 tahun lebih rendah terpapar
program pencegahan dibandingkan dengan yang diatas 25 tahun . dalam hal
penggunaan kondom usia 25 tahun juga lebih rendah dan melakukan tes HIV. 21
Sedangkan untuk LSL muda juga lebih rendah terpapar program pencegahan dan
untuk penasun muda juga lebih rendah melakukan tes HIV.
Strategi dan Rencana
Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Strategi dan
National Strategy
Rencana
and Aksi
Action
Nasional
Plan 2015-2019
2015-2019
PENANGGULANGAN
HIV AND AIDS RESPONSE
HIV DAN
IN INDONESIA
AIDS DI INDONESIA
ACTION
VISI, PLANDAN STRATEGI
TUJUAN
2
233
BAB 3
dan AIDS; berfokus pada populasi kunci (termasuk remaja populasi kunci dan pekerja
migran) di daerah geografis yang paling berisiko; memperkuat dan mempertahankan
layanan terintegrasi yang efektif secara biaya dan berkualitas tinggi; lingkungan
kondusif yang bebas stigma dan diskriminasi, sensitif jender dan berorientasi pada
Hak Asasi Manusia; serta menerapkan prinsip tata kelola yang baik, transparansi dan
akuntabilitas.
Visi
Tujuan umum
SRAN penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2015-2019 ditujukan untuk percepatan
pencapaian 3 Zero (Zero infeksi baru, Zero kematian terkait AIDS dan Zero stigma dan
diskriminasi) dengan cara mencegah penularan HIV; meningkatkan dengan segera
akses pengobatan HIV, meningkatkan retensi pengobatan, meningkatkan kualitas
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
hidup ODHA; mitigasi dampak sosial ekonomi epidemi HIV pada individu, keluarga
dan masyarakat untuk menjaga produktivitas dan sumber daya manusia Indonesia.
Tujuan khusus
Dalam rangka mencapai visi dan tujuan di atas, ada 4 (empat) skenario penanggulangan
AIDS. Asumsi masing-masing skenario didasarkan pada cakupan program dan
efektifitasnya.
26
Dari 4 pilihan strategis di atas, skenario 3 (tiga) menunjukkan pilihan yang paling
optimal. Idealnya, semua 141 kabupaten/ kota prioritas melaksanakan upaya dengan
tingkat kinerja tinggi, namun, selain terkendala oleh tingginya kebutuhan sumber
dana, mencapai kesiapan yang maksimal dari keseluruhan kabupaten/ kota dalam
waktu singkat tampaknya belum mampu dilaksanakan. Jika ditargetkan semua
kabupaten/ kota berkinerja pada tingkat medium, beberapa kota sesungguhnya
dapat menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik. Oleh sebab itu, skenario ketiga,
dipilih karena upaya untuk mendorong kinerja yang tinggi dapat difokuskan pada
kabupaten/ kota prioritas tertinggi, yaitu yang telah menjalankan inisiatif SUFA.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Adapun pelaksanaan SUFA ini dilakukan secara bertahap, mulai dari 13 kabupaten/
kota, saat ini sudah bergerak menjadi 47 kabupaten/ kota hingga tahun 2016; dan
pada awal tahun 2017, total 75 kabupaten/ kota harus sudah melaksanakan SUFA
dibawah payung LKB secara berkualitas.
Pilihan strategis ini, mencakup minimal 70% penjangkauan terhadap populasi kunci,
dimana pada pengguna NAPZA suntik dapat mencapai 80%. Sedangkan jumlah
infeksi baru turun 38% pada tahun 2019, jika dibandingkan jumlah infeksi baru pada
tahun 2014.
27
Dengan memilih skenario 3 (tiga), diharapkan jumlah ODHA pada tahun 2019
berkurang 8,4% dan berkurang 50% pada tahun 2030. Untuk mencapai hal itu, maka
minimal 40% dari ODHA yang memenuhi syarat (sesuai dengan Permenkes nomor 21
tahun 2013), dapat menerima pengobatan ARV.
Gambar 3.3. Jumlah Kematian ODHA Dewasa per Tahun, 2015-2030
Skenario baseline: 48 ribu th 2019 dan 72 ribu th 2030
Skenario pilihan: 37 ribu th 2019 (turun 20%) dan 41 ribu th 2030 (turun 25%)
Jumlah kematian akibat AIDS yang dapat dicegah: 10 ribu th 2019 dan 31 ribu th 2030
VISI, TUJUAN DAN STRATEGI
28
Dasar ini memperhitungkan seberapa besarkah cakupan yang dapat dicapai pada
tahun 2030, sebagai berikut:
a. Baseline (kondisi saat ini), karena merupakan kondisi yang terjadi saat ini, cakupan
tidak mengalami perubahan.
b. LKB kinerja medium, untuk daerah GF konsensus adalah cakupan yang akan
dicapai 75% pada tahun 2030, untuk daerah non GF adalah 40%.
c. LKB kinerja tinggi, untuk daerah GF konsensus adalah cakupan yang akan dicapai
80% pada tahun 2030, untuk daerah non GF adalah 40%.
d. LKB kinerja tinggi di semua kabupaten/ kota, konsensus adalah cakupan yang akan
dicapai adalah 80% pada tahun 2030.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Target dan hasil yang harus dicapai di akhir pelaksanaan SRAN 2015-2019 dibagi
dalam 6 tujuan:
n Mengurangi jumlah infeksi baru hingga 50% dari proyeksi tahun 2014 bila tidak
ada intervensi
n Meningkatkan kualitas layanan ARV (jumlah dan ketersediaan ARV untuk anak)
Adherance ARV
n Layanan HIV, kesehatan seksual dan reproduksi, dukungan sebaya, kekerasan dan
TB terintegrasi dalam struktur layanan
n Mengeliminasi infeksi HIV pada bayi yang terlahir dari ibu HIV positif
n Meningkatkan akses informasi dan layanan KSR pada perempuan usia reproduksi
n Agar semua perempuan hamil melakukan test HIV
n Semua perempuan hamil dengan HIV positif dan anak mereka di kabupaten/ kota
prioritas mendapat ARV profilaksis, dan ibu mereka menerima ART seumur hidup
n Orang terinfeksi atau terdampak HIV, termasuk anak, janda, WBP yang
membutuhkan, memiliki akses untuk mitigasi dampak termasuk kesehatan,
pendidikan, psikososial dan pemberdayaan ekonomi.
n Memastikan pelibatan aktif masyarakat sipil, termasuk orang yang terinfeksi dan
terdampak HIV, orang muda termasuk orang muda populasi kunci dan organisasi
berbasis komunitas, serta kelompok perempuan dan waria yang lebih strategis
dalam perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, monitoring dan evaluasi program.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
n Meningkatnya kapasitas, kualitas dan efektivitas sumber daya manusia terkait HIV,
memasukkan HIV dan AIDS dalam kurikulum di semua jenjang pendidikan dan
pengembangan pusat-pusat pelatihan untuk pembelajaran horizontal.
n Adanya sistem surveilans yang berfungsi dan data yang terharmonisasi dari berbagai
sumber. Monitoring dan evaluasi program difokuskan pada (1) penanganan 31
masalah dalam proses dan kualitas layanan, (2) memantau riam (cascade) layanan
HIV, (3) kesenjangan berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dan gender.
n Meningkatkan peran sektor swasta dalam hal pendanaan dan layanan kesehatan
dalam kerangka PPM (public private mix).
3.4. Strategi
Pencegahan Komprehensif
Pengertian pencegahan komprehensif adalah agar jangan sampai seseorang tertular
virus HIV, yang apabila ia menjadi tertular HIV agar ia dapat segera dicegah tidak
masuk ke tahap AIDS serta tidak menjadi sumber penularan baru, dan kemudian
dapat dimitigasi dampak sosial ekonomi pada ODHA.
kesehatan seperti IMS dan tes HIV serta layanan rujukan yang komprehensif, seperti
LKB sampai dengan upaya mempertahankan pengobatan. COC dapat dipadankan
sebagai integrasi PMTS-LKB.
Populasi Kunci
Pengertian populasi kunci di sini adalah agar kelompok ini menjadi sasaran primer
atau fokus dari pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Populasi harus dapat
mengakses program yang dijalankan secara efisien dan efektif, untuk menurunkan
32 epidemi HIV. Mereka ini terdiri dari WPS dan pelanggannya, Penasun, LSL, Waria, LBT,
serta pasangan mereka.
Daerah Prioritas
Pengertian daerah prioritas adalah agar penanggulangan AIDS juga harus berfokus di
daerah geografi dengan tingkat risiko penularan HIV yang tinggi, beban penyakit HIV
dan AIDS yang tinggi sehingga program dapat dijalankan dengan efisien dan efektif
pula untuk menurunkan epidemi HIV.
Belajar dari pelaksanaan sebelumnya, dari total 511 kabupaten/ kota di Indonesia, 141
kabupaten/ kota menunjukkan beban epidemi HIV yang lebih besar sehingga perlu
menjadi prioritas target geografis upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
untuk mencapai dampak epidemiologis yang bermakna.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
n Dukungan kerja KPA Provinsi dan Kabupaten/ Kota untuk memastikan integrasi HIV
dalam proses perencanaan kegiatan di provinsi dan kabupaten/ kota agar didanai
oleh APBD.
Mengkombinasi berbagai bentuk pencegahan yang terbukti efektif dan dapat diterima
oleh komunitas dan masyarakat sekitarnya adalah satu langkah yang harus semakin
diperkuat di masa yang akan datang. Pencegahan kombinasi tidak hanya berfokus
pada pencegahan melalui intervensi perubahan perilaku, namun juga dengan
intervensi biomedis melalui pengobatan, pencegahan positif, pengobatan sebagai
pencegahan, profilaksis pra dan paska pajanan, pengurangan dampak buruk NAPZA,
PMTS, sirkumsisi, konseling, kesetaraan jender, kebijakan yang mendukung, penguatan
lingkungan yang kondusif, serta mobilisasi sosial komunitas dan masyarakat.
VISI, TUJUAN DAN STRATEGI
Secara khusus LKB bertujuan untuk menguatkan sistem kesehatan yang terintegrasi
dengan sistem komunitas agar dapat meningkatkan cakupan promosi, pencegahan
dan pengobatan terkait HIV, diantaranya adalah sebagai berikut:
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
n Memperluas layanan HIV bagi populasi kunci pada fasilitas layanan kesehatan
primer dan komunitas, termasuk TB, IMS, Kesehatan Seksual dan Reproduksi,
kekerasan, dan Hepatitis.
n Secara kontekstual, PMTS dan SUFA harus dilaksanakan dalam kerangka konsep
LKB.
Kegiatan HIV perlu diintegrasikan segera lebih baik pada kegiatan berbasis
komunitas terutama di Tanah Papua, dimana epidemi sudah pada populasi umum.
Sebagai contoh, layanan berbasis komunitas perlu diperluas sebagai perpanjangan
dari layanan perawatan, dukungan dan pengobatan yang berbasis pada layanan
kesehatan; layanan Posyandu perlu dikaitkan dengan layanan sosial dan medis untuk
ODHA; kader dari komunitas perlu diberdayakan untuk melakukan konseling untuk
meningkatkan kepatuhan pengobatan TB dan HIV.
anak yang terinfeksi dan terdampak HIV dan AIDS dapat mengakses layanan yang
memberikan perlindungan sosial, pendidikan dan kesehatan. Dalam rangka
tersedianya layanan yang memadai, tidak hanya langkah-langkah advokasi yang perlu
dilakukan untuk memperkuat lembaga yang mampu memberikan dukungan, tetapi
juga memperhatikan peningkatan kapasitas dan keahlian mitra terkait dalam bidang
pengasuhan anak, perawatan, dan pemberdayaan ekonomi, serta perlindungan
hukum bagi ODHA.
Stigma, diskriminasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) diakui secara luas
menjadi penghalang bagi respon nasional yang efektif terhadap HIV. ODHA masih
kerap ditolak dan diusir dari keluarga dan komunitas. Hak atas pendidikan dan hak atas
pekerjaan ODHA masih sering disangkal. Maraknya pelanggaran HAM menyebabkan
pencegahan dan pelayanan kesehatan HIV menjadi kurang efektif. Ketika ODHA
dan populasi kunci takut akan diskriminasi, mereka akan enggan melakukan tes HIV,
termasuk mengakses layanan kesehatan HIV. Ketidaksetaraan jender dan kekerasan
berbasis jender, perempuan cenderung sulit menghindari relasi yang penuh paksaan
dan kekerasan, semua ini membuat mereka rentan terhadap HIV.
Guna mewujudkan program pencegahan, layanan dan dukungan HIV yang efektif,
maka penghalang Hak Asasi Manusia tersebut harus diatasi dengan mengintegrasikan
perlindungan dan promosi HAM dan keberpihakan jender ke dalam respons HIV,
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
meningkatkan program yang sudah berjalan yang mengatasi halangan Hak Asasi
Manusia tersebut, dan memastikan bahwa program-program HIV tidak berpotensi
maupun tidak melanggar HAM. Pengintegrasian tersebut harus dilakukan sejak
tahapan perencanaan sampai dengan pemantauan pelaksanaan program HIV.
Mekanisme evaluasi proses atau quality assurance perlu dimiliki oleh semua
pelaksana program, yang berfungsi dengan baik dan dilakukan tepat waktu. Salah
satu peningkatan kualitas yang menjadi fokus ke depan adalah dalam mencari dan
menemukan kasus HIV atau IMS dan memastikan pengobatan dan perawatannya,
sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.
37
8. Mendukung Penguatan Sistem Komunitas
SRAN 2015-2019 bertujuan untuk memastikan keterlibatan aktif dan bermakna dari
ODHA, populasi kunci, kelompok yang mewakili ODHA dan populasi kunci, serta
masyarakat sipil lainnya dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di semua
tingkatan hingga tingkat kecamatan dan desa.
Dukungan untuk penguatan komunitas secara bermakna perlu dilakukan mel
alui kemitraan bersama berbagai pemangku kepentingan di tingkat nasional dan
sub nasional, untuk mendorong partisipasi aktif komunitas dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi upaya penanggulangan AIDS. Upaya
penguatan komunitas perlu dituangkan dalam bentuk alokasi anggaran, peningkatan
kapasitas, bantuan teknis, penguatan manajemen organisasi dan kepemimpinan
yang tersedia di tingkat nasional, provinsi serta kabupaten/ kota. Peningkatan peran
masyarakat dalam pelaksanaan LKB menjadi prioritas bagi SRAN 2015-2019.
Untuk ini, strategi meningkatkan pendanaan lokal perlu diinisiasi pada periode SRAN
2015-2019, misalnya dengan cara berikut:
n Meningkatkan efisiensi biaya yang dapat diperoleh dari pelaksanaan LKB, integrasi
HIV ke layanan kesehatan primer; efisiensi biaya diagnostik, obatdan komoditas
lain; cara penjangkauan yang efektif yang memaksimalkan cakupan dan
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
menghilangkanmissed-opportunity.
n Mendorong dan mengakses peluang pendanaan CSR untuk program HIV: public-
private sector partnership and private philanthropy.
Beberapa prioritas inovasi yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah tes HIV
berbasis komunitas, pemanfaatan Information and Communication Technology (ICT),
penggunaan media sosial, SMS dan internet untuk kegiatan penjangkauan komunitas 39
khususnya bagi populasi tersembunyi dan remaja; serta pencanangan intervensi PreP
bagi LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki).
Terkait dengan informasi strategis, SRAN 2015-2019 perlu terus memperkuat sistem
surveilans, termasuk peningkatan kualitas data dan penelitian baru terkait HIV,
khususnya agar lebih diperhatikan pada tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.
Prioritas utama adalah penguatan sistem data rutin seperti SIHA maupun surveilans
penyakit dan peningkatan kualitas data, serta adanya perhatian khusus untuk
memenuhi kebutuhan data di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota, meningkatkan
kapasitas daerah untuk melakukan integrasi, interpretasi, serta menggunakan data
secara efektif untuk perencanaan maupun pemantauan. Penguatan sistem data
disertai dengan agregasi jender, usia, dan faktor risiko.
Penelitian biomedis/ klinis fokus pada masalah gambaran klinik, perjalanan penyakit,
perawatan serta pengobatan penyakit.
Penelitian epidemiologi fokus pada besaran, penyebaran dan latar belakang biologi,
virology, lingkungan, sedangkan penelitian sosial/ budaya fokus pada fenomena sosial
dalam masyarakat, termasuk perilaku dan struktur sosial masyarakat.
kabupaten/ kota prioritas tinggi. Evaluasi proses dan penelitian operasional dilakukan
untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan penanggulangan AIDS termasuk LKB/
PMTS/ SUFA dan keterlibatan komunitas. Perlu diperhatikan pemantauan efektivitas
pengobatan (melalui CD4 dan viral load), sesuai dengan pedoman.
Regional: Indonesia sebagai anggota ASEAN menjadi Lead Country untuk inisiatif
ASEAN Cities Getting to Zero. Inisiatif ini merupakan operasionalisasi langsung
dari ASEAN Declaration of Commitment: Getting to Zero New HIV Infections, Zero
Related Deaths,Zero Discrimination, yang diadopsi para pimpinan negara anggota
ASEAN (Bali, 17 November 2012). Inisiatif ini menjadi contoh di seluruh dunia untuk
program regional dengan pendekatan lokal (tingkat kabupaten/ kota).
Fund), dimana donor utama pada saat ini berasal dari USAID (Amerika Serikat) dan
DFAT (Australia).
ACTION PLAN
43
BAB 4
Rencana Aksi
BAB 4.
Rencana Aksi
A. Intervensi
Penurunan penularan HIV dilakukan melalui perluasan pencegahan yang efektif. Hal
ini perlu dilakukan pada hubungan seksual risiko tinggi dan penggunaan peralatan
suntik secara bergantian. Perlu perhatian khusus pada pencegahan HIV baru di
kelompok LSL.
RENCANA AKSI
Pencegahan HIV pada populasi kunci di beberapa wilayah dengan kinerja baik,
merupakan hasil kombinasi beberapa faktor berikut: a) Komitmen individu, b) Layanan
ramah klien, c) Pelibatan pihak-pihak pemangku kepentingan, d) Keterlibatan aktif
Dinas Kesehatan dan Puskesmas baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota
44 yang berkerja sama dengan penegak hukum dan tokoh kunci lokalisasi atau lokasi,
e) Keterlibatan LSM dan OMS dalam promosi kondom dan monitoring program
penggunaan kondom; f ) Mobilisasi komunitas melalui intervensi sebaya.
Target perluasan pencegahan pada populasi kunci dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Target Pencegahan, Perubahan Perilaku dan Tes HIV pada Populasi
Kunci (dalam %)
Intervensi struktural PMTS perlu terus diperkuat untuk meningkatkan efektifitas dan
dampak program pencegahan, sehingga dapat menurunkan penularan HIV melalui
transmisi seksual. Promosi kondom di tempat transaksi seksual dan di tempat layanan
IMS perlu terus dilakukan, dengan penguatan berikut:
n Pemanfaatan secara luas media sosial, internet dan SMS untuk menyebarluaskan
informasi dan pesan-pesan komunikasi perubahan perilaku.
RENCANA AKSI
n Peningkatan penyebarluasan informasi dan edukasi pada kalangan pekerja dengan
fokus pada perubahan perilaku pekerja laki-laki risiko tinggi (kategori 4 M, Man Mobile
with Money Macho environment) seperti pekerja sektor perhubungan, kelautan
dan perikanan (maritim), pertambangan dan migas, konstruksi, perkebunan,
pariwisata serta perusahaan yang lokasinya berdekatan dengan lokalisasi/hotspot. 45
Mendekatkan kelompok pekerja 4 M ini dan mendorong peningkatan aksesnya ke
layanan melalui jejaring dengan faskes setempat.
n Mengoptimalkan peran jaringan populasi kunci GWL sebagai sentra koordinasi dan
komunikasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi program HIV dan penelitian
terkait HIV pada komunitas GWL baik di tingkat nasional maupun daerah.
n Memperkuat kapasitas teknis dan keorganisasian para OBK GWL dalam merancang,
mengimplementasikan, mengorganisasikan serta monitoring dan evaluasi
program.
n Mengembangkan program spesifik yang ditujukan untuk GWL usia muda, termasuk
metode pendekatan, pemberdayaan komunitas dan program pencegahan yang
sesuai dengan karakteristik kelompok ini.
n Meningkatkan akses dan pemanfaatan layanan tes HIV melalui pendekatan inovatif
berbasis komunitas GWL dalam bentuk, misalnya menyediakan layanan konseling
dan tes HIV (KTH) berbasis komunitas melalui penggunaan media sosial.
n Meningkatkan akses dan retensi komunitas GWL (termasuk GWL muda, GWL
pekerja seks, dan GWL ODHA) pada layanan KTH, IMS, dengan memperbanyak
layanan perawatan dan pengobatan yang berkualitas, bersahabat dan sesuai
dengan kebutuhan mengacu pada contoh-contoh sukses yang ada.
RENCANA AKSI
n Memperkuat intervensi struktural untuk komunitas GWL yang tergabung pada
panti pijat, spa pria, pondokan waria pekerja seks, klub gay, dan tempat-tempat
yang memiliki struktur hirarki tertentu lainnya.
47
n Pelaksanaan program pre-exposure prophylaxis (PreP) setidaknya dalam bentuk uji
coba.
Meningkatkan intervensi untuk pengguna NAPZA suntik, termasuk WBP melalui hal-
hal berikut:
n Pengembangan layanan pada pekerja seks yang juga pengguna NAPZA serta
pengembangan layanan di Lapas/ Rutan, dimana pendekatan komprehensif dan
berkelanjutan menjadi bagian dari strategi nasional.
n Orang muda pada populasi kunci perlu dijangkau program pencegahan, agar mereka
akses ke layanan kesehatan dengan memaksimalkan peran sebaya, komunitas
muda dan populasi kunci, yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik
khusus orang muda di populasi kunci.
n Memberi dukungan bagi orang muda yang hidup dengan HIV agar patuh berobat.
terkait HIV dan Kesehatan Seksual Reproduksi tanpa hambatan usia dan status
pernikahan seperti yang sudah tertuang dalam PP nomor 61 tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi.
n Studi terkait orang muda populasi kunci perlu dipelajari lebih lanjut untuk
meningkatkan akses pada layanan serta perlindungan hukum.
n Adanya layanan ramah remaja untuk meningkatkan akses orang muda khususnya
orang muda di populasi kunci ke layanan HIV dan Kesehatan Seksual Reproduksi.
n Informasi strategis serta survailens HIV pada populasi umum dan populasi kunci
perlu terpilah berdasarkan kelompok usia 10-14 tahun, 15-19 tahun, 20-24 tahun.
Informasi strategis terpilah ini perlu disertai dengan analisis mendalam.
n Tingkat Pengetahuan:
RENCANA AKSI
l Sebanyak 15% (1999/13419) remaja wanita dan pria usia 15-24 tahun dapat
mengidentifikasi cara penularan HIV melalui seksual dengan benar dan menolak
konsepsi yang salah tentang penularan HIV (SDKI, 2007);
l Sebanyak 13% (370/2942) remaja wanita dan pria usia 15-24 tahun dapat
mengidentifikasi cara penularan HIV melalui seksual dengan benar dan menolak 49
konsepsi yang salah tentang penularan HIV (SDKI, 2002-2003).
l Data SDKI 2007 menunjukkan remaja wanita dan pria usia 15-24 tahun yang
mulai melakukan hubungan seks sebelum usia 15 tahun sebesar 0.0028%
(37/13419);
l Data SDKI 2002-2003 menunjukkan remaja wanita dan pria usia 15-24 tahun
yang mulai melakukan hubungan seks sebelum usia 15 tahun sebesar 0.0003%
(1/2942).
l Sebanyak 0.23% (1/423) pria berusia 20-24 tahun pernah berhubungan seksual
dengan lebih dari satu pasangan dalam 12 bulan terakhir (SDKI, 2007).
n Pekerja seks:
l Sebanyak 25.73% (2007) dan 14.15% (2011) pekerja seks berusia di bawah 25
tahun terpapar program pencegahan, angka ini lebih rendah dibandingkan
dengan pekerja seks berusia 25 tahun ke atas yaitu 30.64% (2007) dan 20.29
(2011);
l Pekerja seks berusia di bawah 25 tahun yang melakukan tes HIV sebesar 27.31%
(2007) dan 78.04% (2011), angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan
pekerja seks berusia di atas 25 tahun yaitu 35.18% (2007) dan 79.81% (2011).
n LSL:
l Sebanyak 37.59% (2007) dan 20.45% (2011) LSL berusia di bawah 25 tahun
terpapar program pencegahan, angka ini lebih rendah dibandingkan dengan
LSL berusia 25 tahun ke atas yaitu 47.89% (2007) dan 25.16% (2011).
n Penasun:
RENCANA AKSI
l Penasun berusia di bawah 25 tahun yang melakukan tes HIV sebesar 36.61%
(2007) dan 83.70% (2011), angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan
penasun berusia di atas 25 tahun yaitu 47.57% (2007) dan 92.05% (2011).
50 4.1.6. Intensifikasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat Kerja dan
Populasi Rentan Lainnya
Pendekatan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS (P2 HIV&AIDS)
di Tempat Kerja terbukti telah meningkatkan penyebarluasan informasi yang benar
pada kalangan pekerja dan pengusaha sehingga membangun kesadaran untuk
meningkatkan komitmen, partisipasi dalam program dan pemahaman untuk tidak
memberikan stigma dan perlakuan diskriminatif kepada pekerja terkait HIV-AIDS serta
dukungan pada pekerja ODHA. Dunia kerja memiliki sumberdaya yang memadai
untuk dimobilisasi dalam pengembangan program di lingkungan kerjanya maupun
berpartisipasi dalam program di masyarakat melalui program Corporate Social
Responsibility (CSR).
Program P2 HIV & AIDS di tempat kerja perlu ditingkatkan efektifitasnya dengan
mengintensifkan program layanan konseling dan tes HIV (KTH) bagi pekerja laki-laki
berisiko tinggo (LBT) melalui program VCT@Work. Pola VCT@Work dikembangkan
melalui jejaring layanan antara perusahaan dengan faskes rujukan setempat dengan
dukungan instansi/stakeholder terkait seperti dinas ketenagakerjaan, dinas kesehatan,
KPA dan LSM. Pendekatan KTH di tempat kerja dapat dilakukan melalui program
pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, donor darah dan layanan kesehatan lainnya
melalui penawaran tes HIV secara selektif terfokus pada populasi pekerja rentan atau
risiko tinggi. Petugas kesehatan (dokter, perawat, analis) di perusahaan yang memiliki
faskes sendiri perlu dilatih untuk meningkatkan kapasitasnya dalam penanggulangan
HIV dan AIDS dan pemberian layanan KTH dan PDP. Pendekatan lain seperti PMTS
paripurna juga perlu dikembangkan lebih banyak dengan mengintegrasikan ke
dalam program P2 HIV & AIDS di tempat kerja.
Untuk memperkuat program P2 HIV & AIDS di tempat kerja dan keberlanjutannya
perlu didukung dengan Pokja HIV-AIDS di Tempat Kerja (Pokja Workplace) yang
menjadi pola jejaring kerjasama antar stakeholder terkait baik instansi pemerintah
seperti instansi ketenagakerjaan, kesehatan, perhubungan, pekerjaan umum,
RENCANA AKSI
pertambangan, perkebunan, kelautan dan perikanan, pariwisata, KPAN/KPA, ILO,
APINDO, SP/SB, IBCA, dan LSM terkait. Pokja Workplace di tingkat pusat perlu
mendorong peningkatan kapasitas program bagi Pokja Workplace pada KPA di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota. KPA provinsi dan kabupaten/kota yang belum
membentuk Pokja Workplace perlu didorong untuk membentuk. Untuk itu perlu 51
didukung dengan kegiatan advokasi dan peningkatan kapasitas dan Pokja di daerah
dan pertemuan koordinasi dan evaluasi nasional Pokja Workplace secara rutin. Pokja
Workplace harus terus diberdayakan dan dilibatkan untuk terus berperan aktif dalam
pelaksanaan program P2-HIV AIDS terutama yang berkaitan dengan sasaran populasi
pekerja dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya. Dengan pola kemitraan yang
baik ini diharapkan akan mendukung pencapaian target nasional secara berkelanjutan
(partnership for sustainability).
Pelaksanaan program pada kalangan pekerja secara umum telah diatur melalui
Keputusan Menteri Tenaga Keja dan Transmigrasi RI No. 68 Tahun 2004 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat Kerja dan Keputusan
Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan No. 20 Tahun 2005 tentang
Petunjuk Teknis (P2 HIV & AIDS) di Tempat Kerja. Prinsip-prinsip kebijakan dalam
regulasi ini sejalan dengan Rekomendasi ILO No 200 Tahun 2010 tentang HIV &
AIDS di Dunia Kerja (HIV/AIDS and The World of Work), yang mewajibkan perusahaan
menjalankan program P2-HIV AIDS di tempat kerja untuk membuat lingkungan
kondusif, memberikan edukasi kepada pekerja, memberikan akses layanan HIV-AIDS
pada pekerja yang terkena dan tidak memberikan stigma dan diskriminasi.
Menteri Ketenagakerjaan RI juga telah mengembangkan program pemberian
penghargaan kepada perusahaan yang menerapkan secara konsisten ketentuan
dalam dua regulasi tersebut dan kepada pihak-pihak terkait yang berperan. Pedoman
pemberian penghargaan Program (P2 HIV & AIDS) di Tempat Kerja diatur melalui
Keputusan Keputusan Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan No.44
Tahun 2012.
Pembelajaran yang baik telah didapatkan melalui Implementasi program P2 HIV &
AIDS di Tempat Kerja yang diintegrasikan (dimasukkan) dalam program perlindungan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Integrasi program HIV & AIDS dengan program
K3 merupakan pendekatan yang strategis. Manajer SDM dan ahli K3 di perusahaan
khususnya ahli K3 (safety and health officer), dokter dan perawat kesehatan kerja di
perusahaan dilibatkan dalam program P2 HIV-AIDS di tempat kerja. Untuk itu perlu
diberikan edukasi dan pelatihan untuk selanjutnya mengembangkan program HIV
& AIDS di perusahaannya. Dengan pola seperti ini diharapkan program ini dapat
berjalan secara berkelanjutan seiring dengan program K3 di perusahaan.
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang RI. No. 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) maka semua pemberi kerja
baik swasta maupun PNS, TNI dan POLRI wajib mengikutsertakan semua pekerja/
karyawannya dalam program BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Kondisi ini
52 dapat menjadi penguat program bagi pekerja/karyawan untuk mendapatkan layanan
kesehatan dan perlindungan terkait HIV-AIDS
Menjadi seorang pekerja migran bukanlah sebuah risiko untuk tertular HIV, tetapi
kondisi-kondisi yang menyertai pekerja migran selama proses migrasi itu yang
menyebabkan kerentanan mereka terhadap penularan HIV. Data HIV dan AIDS di
kalangan pekerja migran Indonesia hingga saat ini belum banyak tersedia, namun
pada tingkat regional, UNAIDS (2008) memperkirakan bahwa pekerja migran laki-laki
dan perempuan Asia dan pasangan mereka memiliki prevalensi HIV empat kali lebih
tinggi dari prevalensi normal yang ditemukan pada rekan-rekan mereka. Himpunan
Pemeriksa Tenaga Kerja Indonesia (HIPTEK) mendapati bahwa dari 145.289 calon
pekerja migran yang pergi ke Timur Tengah pada tahun 2005, 160 (0,11%) di antaranya
terdiagnosis dengan HIV-positif.
Migrasi bukanlah faktor penyebab langsung, tetapi terdapat kaitan antara epidemi
HIV dengan kelompok pekerja migran. Kaitan tersebut umumnya karena kondisi-
kondisi yang terjadi sepanjang perjalanan migrasi dan kurangnya perlindungan yang
diberikan kepada pekerja migran. Pekerja migran kerap menjadi objek pelanggaran
yang terjadi dalam konteks prosedur perekrutan, pekerjaan yang bersifat tidak
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
aman di luar negeri, akses yang terbatas untuk mendapatkan layanan informasi,
dukungan konseling dan test HIV yang belum memenuhi kaidah, perawatan medis,
sistem rujukan penanganan bagi pekerja migran HIV, eksploitasi, diskriminasi dan
penganiayaan, yang dikombinasikan dengan rendahnya kesadaran akan HIV dan
AIDS di kalangan pekerja migran, menempatkan pekerja migran rentan terhadap HIV
dan AIDS. Dimensi penting lainnya mengenai kerentanan ini adalah aspek feminisasi
dimana kebanyakan pekerja migran Indonesia adalah perempuan.
Untuk rencana aksi, fokus secara geografis perlu dilakukan pada daerah pengirim
utama pekerja migran, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/ kota.
Kementrian/ lembaga maupun pemerintah daerah perlu memperbarui pemetaan,
yang sudah dilakukan sebelumnya, untuk mengidentifikasi desa-desa di tingkat
kabupaten/ kota yang merupakan daerah asal pekerja migran. Daerah asal migran
yang secara geografis jauh dari akses pelayanan kesehatan dan informasi perlu
menjadi perhatian khusus. Kondisi negara tujuan yang dipilih pekerja migran
dipertimbangkan sebagai acuan materi informasi mengenai kerentanan yang perlu
disampaikan kepada pekerja migran. Fokus geografis lain adalah daerah-daerah yang
menjadi transit perjalanan pekerja migran ke luar negeri. Daerah tersebut umumnya
RENCANA AKSI
merupakan wilayah perbatasan antara Indonesia dengan negara tujuan, seperti
Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Contohnya, Batam, Kepulauan Riau,
Nunukan. Dan beberapa pelabuhan dan wilayah bandara yang biasa dilalui untuk
bermigrasi.
53
Fokus geografis lainnya adalah tempat-tempat dimana banyak terdapat penampungan
PJTKI/ PPTKIS dan BLKLN (Balai Latihan Kerja Luar Negeri), agar menjadi area program
pencegahan. Sarana kesehatan atau klinik pelaksana tes kesehatan juga menjadi
wilayah yang perlu dijangkau untuk menjamin tersebarnya informasi pencegahan
HIV dan AIDS kepada calon pekerja migran (melalui pelaksanaan konseling). Secara
khusus, implementasi tes HIV menerapkan Keputusan Menteri Kesehatan nomor
029/MENKES/SK/I/2008 tentang Pedoman Penatalaksanaan Konseling dan Testing
HIV bagi CTKI di semua tempat pelaksana tes kesehatan bagi pekerja migran (seperti
klinik anggota HIPTEK, GAMCA). Klinik pelaksana tes kesehatan ini umumnya berada
di daerah transit yaitu kota-kota yang menjadi tempat pemberangkatan langsung ke
luar negeri.
n Perluasan akses dan penyediaan layanan konseling dan tes HIV serta IMS di daerah
pengirim TKI (pemeriksaan kesehatan TKI di daerah masing-masing) termasuk PITC
saat berangkat serta inisiatif untuk penawaran tes berikut konseling saat mereka
kembali bekerja di luar negeri.
n Perbaikan pelaksanaan konseling pada tes HIV di sarana kesehatan pemeriksa CTKI.
RENCANA AKSI
n Pengembangan dan pelaksanaan sistem rujukan layanan bagi pekerja migran yang
terinfeksi HIV (baik hasil tes HIV di sarana kesehatan pada masa pra-penempatan,
maupun yang dideportasi karena terinfeksi HIV pada saat penempatan).
54
n Pengembangan kebijakan dan pelaksanaan kerjasama dengan negara penerima
untuk layanan lintas negara.
n Dukungan sosial dan ekonomi bagi pekerja migran HIV yang miskin.
n Peningkatan pengetahuan dan keterlibatan staf kedutaan (KJRI, KBRI) terkait HIV
dan AIDS bagi pekerja migran.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Menjadi PNS atau TNI/POLRI bukanlah sebuah risiko untuk tertular HIV, tetapi kondisi-
kondisi tertentu yang menyertai pekerjaannya memberikan risiko tersendiri untuk
penularan HIV dan IMS. Pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS di lingkungan
TNI, mengacu pada Peraturan Panglima TNI no. 64 tahun 2010 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penanggulangan HIV dan AIDS di Lingkungan TNI.
Sesuai dengan tujuan pengendalian HIV di lingkungan TNI dan Indonesia, yaitu
menurunkan angka kesakitan, kematian, dan diskriminasi serta meningkatkan
kualitas hidup ODHA, maka diperlukan upaya pengendalian serta layanan HIV berupa
perawatan dukungan dan pengobatan termasuk di fasilitas kesehatan TNI, dengan
RENCANA AKSI
upaya meliputi :
Fasilitas kesehatan TNI yang telah memberikan layanan HIV di Indonesia terdapat
di 13 provinsi dengan jumlah 23 diantara 124 RS TNI seluruh angkatan. Fasilitas
kesehatan TNI tidak hanya memberikan layanan kepada TNI dan keluarganya tetapi
juga memberikan layanan kepada masyarakat umum disekitarnya.
Gambar 4.1. Peta sebaran faskes TNI yang memberikan layanan HIV
Pusat Angkatan Udara) Dr Harjo Lukito, Yogyakarta dan regional Timur di RSAL (Rumah
Sakit Angkatan Laut) Dr Ramelan, Surabaya.
Sumber daya manusia kesehatan di layanan HIV pada fasilitas kesehatan TNI , dapat
56 dilihat pada grafik dibawah ini :
Gambar 4.2 Sumber Daya manusia di layanan HIV pada faskes TNI
Keterangan :
MK = Manajer Kasus
IMAI = Integrated Management of Adolescent and Adult Illness
PITC = Provider-Initiated Testing And Counselling
PMTCT = Prevention Of Mother-To-Child Transmission
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Rencana pengembangan layanan HIV-AIDS di faskes TNI dapat dilihat pada tabel di
bawah ini :
RENCANA AKSI
10. Petugas PITC 73 103 133 163 193 123
11. Petugas PMTCT/PPIA 6 20 35 50 70 100
Strategi untuk pencegahan HIV di Tanah Papua sesungguhnya sama dengan wilayah
Indonesia lainnya, namun usaha khusus perlu dilakukan:
n Pendidikan HIV harus diberikan kepada populasi umum mapupun populasi kunci.
berlipat ganda dibanding mencegah penularan pada satu orang yang tidak terinfeksi
HIV karena pencegahannya hanya kepada satu orang. Pencegahan bagi orang
dengan HIV yang telah mengetahui status HIV-nya, mencegah mutasi HIV dengan
menghindari re-infeksi HIV dan menjadikannya tetap sehat. Upaya yang perlu
58 dilakukan sebagai daya ungkit pencegahan, dengan melibatkan orang dengan HIV
yang telah mengetahui status HIV-nya adalah sebagai berikut:
n ODHA yang telah mengetahui status HIV-nya harus dirujuk ke layanan pencegahan
terintegrasi dengan layanan konseling berkelanjutan melalui Konseling dan Tes
HIV (KTH) serta layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (KSR).
RENCANA AKSI
n Surat Edaran nomor GK/Menkes/001/I/2013 tentang Layanan Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak menyatakan Pelaksanaan kegiatan PPIA
diintegrasikan pada layanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana
(KB) dan Konseling Remaja; setiap perempuan yang datang ke layanan KIA-KB dan 59
remaja yang mendapat layanan kesehatan diberi informasi tentang PPIA.
n Penggunaan ARV bagi ibu hamil dengan HIV positif dan penggunaan profilaksis
bagi bayi baru lahir dari ibu HIV positif.
n Membuka akses pilihan kontrasepsi bagi laki-laki dengan HIV positif dan
pasangannya selain kondom.
n Pada tahun 2013, lebih dari 25% dari bayi yang lahir dari ibu HIV positif menerima
tesvirologi HIV dalam waktu 2 bulan kelahiran (angka ini tidak dilaporkan
sebelumnya).
n Sampai Oktober tahun 2014, terdapat 915 layanan (163 Rumah sakit, 743 Puskesmas
dan 9 Klinik di 33 Provinsi) melaporkan telah melakukan tes HIV pada ibu hamil
(data P2PL tahun 2014).
n Memperluas akses deteksi dini bagi bayi yang terlahir dari ibu positif HIV.
RENCANA AKSI
n Mengintegrasikan layanan IMS dan HIV di fasilitas antenatal dan integrasi layanan
TB-HIV, dan HIV-Hepatitis.
RENCANA AKSI
n Mengembangkan intervensi yang dapat mengurangi stigma di tempat layanan,
tempat kerja, sarana pendidikan, dan masyarakat luas.
n Mendorong keterlibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama sebagai bagian dari
kampanye anti stigma dan diskriminasi. 61
62 n Membuat strategi di tingkat lokal untuk mencegah transmisi HIV vertikal dan
memperluas layanan bagi perempuan hamil dan anak yang terdiagnosis HIV.
n Pemberian dukungan teknis di tingkat lokal, termasuk PMTS, tes IMS rutin, VCT,
rujukan.
n Program mitigasi dampak perlu memanfaatkan skema jaminan kesehatan dan sosial.
Koordinasi dan kerjasama dengan penyedia jaminan untuk mengkonsolidasikan
pedoman dan standarisasi bersama BPJS dan Kementerian Kesehatan untuk
memperluas cakupan diagnostik dan pengobatan HIV.
n Anak dengan HIV dan anak dari ODHA mendapatkan perlindungan sosial,
RENCANA AKSI
pemenuhan atas hak anak, termasuk hak atas pendidikan dan kesehatan, serta
dukungan psiko-sosial. Orang tua atau keluarga yang mengasuh anak dengan
HIV dan anak dari ODHA mendapatkan peningkatan kapasitas dan keahlian dalam
bidang perawatan dan pemberdayaan ekonomi.
63
n Menghilangkan hambatan biaya pengobatan bagi ODHA dan populasi kunci
melalui penyertaan layanan HIV yang lebih luas ke dalam JKN.
n Memperkuat mekanisme menyesuaikan diri bagi ODHA dan Populasi Kunci dengan
lingkungan sosial dan pemberdayaan ekonomi melalui peningkatan kapasitas
organisasi ODHA, penyediaan layanan mitigasi bagi perempuan ODHA yang sulit
dijangkau, meningkatkan akses terhadap layanan yang bersahabat dan dukungan
sosial dan ekonomi bagi rumah tangga yang terdampak HIV dan pengasuhnya.
n Pendokumentasian dampak dari kebijakan nasional dan daerah terkait HIV dan
AIDS terhadap populasi kunci.
n Perlunya sistem pendataan dan monitoring berbagai upaya mitigasi dampak sosial
dan ekonomi yang sudah dilaksanakan (bersumber dana pusat dan kabupaten/
kota) serta kesepahaman terkait prosedur program mitigasi yang ramah orang
64 terinfeksi & populasi kunci (antara lain pembukaan status kepada kelompok
terbatas).
B. Critical Enablers
4.5.1.1. Perencanaan
n Peningkatan kapasitas ODHA dan populasi kunci dalam hal advokasi kebijakan,
advokasi keuangan, serta hal-hal lainnya yang mampu mendukung terwujudnya
keterlibatan yang bermakna dari ODHA dan populasi kunci dalam perencanaan
program dan pengembangan kebijakan.
n Telah cukup banyak tersedia kebijakan yang kondusif dan berkaitan dengan
penanggulangan AIDS (lebih dari 100 kebijakan tingkat nasional yang tersedia
saat ini), mekanisme implementasi adalah bagian yang perlu menjadi perhatian
penting pada fase berikutnya dalam response terhadap penanggulangan AIDS,
diperlukan mekanisme dan upaya yang lebih baik terhadap struktur dan budaya
hukum sehingga tujuan dari kebijakan tersebut dapat terpenuhi.
RENCANA AKSI
4.5.1.2. Pemantauan
n Meningkatkan kesadaran ODHA dan populasi kunci mengenai isu hukum, Hak
Asasi Manusia dan keberpihakan jender melalui penyuluhan maupun pelatihan
Hak Asasi Manusia dan jender baik di tingkat nasional maupun di tingkat provinsi
dan kabupaten/ kota.
RENCANA AKSI
n Penguatan sistem komunitas (CSS) dalam penanggulangan AIDS bertujuan
untuk mencapai hasil kesehatan yang lebih baik dengan partisipasi aktif populasi
terdampak serta organisasi berbasis masyarakat dalam melakukan disain,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi layanan dan kegiatan yang berkaitan dengan
pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan bagi ODHA. Peningkatan 67
kapasitas komunitas terkait pelaksanaan LKB dan keterkaitannya dengan intervensi
Pengurangan Dampak Buruk, PMTS dan SUFA perlu semakin ditingkatkan.
LKB bertujuan untuk menguatkan sistem kesehatan yang terintegrasi dengan sistem
komunitas agar dapat meningkatkan cakupan pencegahan dan pengobatan IMS dan
HIV; memperluas layanan HIV bagi populasi kunci pada fasilitas layanan kesehatan
primer dan komunitas; meningkatkan respon tenaga kesehatan; memperluas
pengobatan ARV melalui layanan yang terdesentralisasi; dan mitigasi dampak sosial-
ekonomi.
Dibutuhkan sistem rujukan yang baik dari layanan pencegahan berbasis komunitas ke
layanan kesehatan dan sebaliknya, untuk memastikan populasi kunci yang terjangkau
memperoleh layanan yang komprehensif mulai dari intervensi perubahan perilaku,
ke akses tes HIV dan konseling, sampai ke pengobatan ARV dan dukungan psiko-
sosial untuk mempertahankan pengobatan dan memperbaiki kualitas hidup ODHA.
Peningkatan kapasitas komunitas untuk mendorong kemitraan yang sejajar dengan
layanan kesehatan serta Komisi Penanggulangan AIDS setempat perlu menjadi
perhatian.
Pemberdayaan komunitas populasi kunci dan ODHA adalah kunci untuk kemandirian
melakukan akses layanan HIV dan AIDS yang berkelanjutan yang didasarkan atas
kebutuhan komunitas untuk hidup sehat, baik untuk melindungi diri dari infeksi HIV
maupun untuk menjaga kualitas hidup ODHA.
68
Dukungan perlu diberikan terhadap mobilisasi kelompok populasi kunci seperti
Penasun, Pekerja Seks, LSL, Waria dan ODHA. Khususnya untuk terciptanya kelompok
dukungan sebaya yang memberikan lingkungan yang aman dan kondusif bagi
penjangkauan untuk pencegahan, pengobatan, dukungan dan perawatan sebaya
dalam penanggulangan AIDS.
RENCANA AKSI
Implementasi kebijakan untuk memperluas tes HIV dan inisiasi dini ARV kepada
populasi kunci (SUFA) diperluas dari 13 kabupaten/ kota menjadi 75 kabupaten/ kota
pada tahun 2015. Untuk melakukan antisipasi peningkatan tes HIV dan inisiasi dini
ART di tingkat kabupaten/ kota, Puskesmas perlu ditingkatkan kapasitasnya untuk
dapat memulai pengobatan ARV dengan mentoring klinis dari Rumah Sakit setempat. 69
Dalam kerangka tersebut, jaringan layanan LKB perlu diperkuat dan diperluas untuk
mencakup lebih dari 5 Puskesmas di tingkat kabupaten/ kota khususnya di kabupaten/
kota dengan kinerja tinggi. Kelompok kerja LKB perlu dikuatkan di tingkat kabupaten/
kota dengan koordinasi yang erat antara layanan dan pencegahan berbasis komunitas
seperti PMTS dan Pengurangan Dampak Buruk NAPZA.
Integrasi layanan HIV dan Kespro termasuk IMS dalam konteks PMTS perlu
mendapatkan perhatian khusus terutama di tingkat layanan primer. IMS dan HIV
harus diintegrasikan ke dalam layanan kesehatan seksual dan reproduksi, dan layanan
HIV juga perlu terintegrasi dengan layanan kesehatan ibu dan anak serta layanan
kesehatan jiwa dalam konteks pemulihan adiksi untuk pengguna NAPZA.
Integrasi layanan HIV dan TB perlu mendapatkan perhatian khusus, tidak hanya di
rumah sakit, tetapi juga layanan primer. Masih banyak tantangan dihadapi dalam
rangka mengkombinasikan kedua layanan ini, walaupun banyak di antara pasien
HIV adalah juga terinfeksi TB, dan sebaliknya, pasien TB adalah ODHA. Tidak hanya
pedoman dan tatalaksana kolaborasi TB-HIV perlu diperbarui, tetapi juga upaya
peningkatan kapasitas dan penyiapan infrastrukturnya, baik dalam hal manajemen
maupun sumber daya manusianya. Kelompok Kerja TB-HIV perlu dikuatkan di tingkat
kabupaten/ kota untuk mendorong koordinasi yang lebih erat antar layanan TB dan
HIV di sektor kesehatan.
Kolaborasi TB-HIV di beberapa lokasi membutuhkan tindakan yang lebih intensif,
seperti di lingkungan pemasyarakatan, ataupun di berbagai lokasi di Tanah Papua.
Untuk membantu percepatan ketersediaan layanan TB-HIV yang berkualitas,
dibutuhkan dukungan teknis. Beberapa rumah sakit yang memiliki kerjasama erat
dengan perguruan tinggi setempat dapat menjadi model dalam pengembangan
integrasi yang lebih menyeluruh, termasuk rujukan dan dukungan sosial terkait
kepatuhan minum obat.
Penguatan diperluas bagi pengumpulan data rutin seperti Sistem Informasi HIV dan
AIDS (SIHA) maupun sistem surveilans penyakit, untuk memenuhi kebutuhan data
yang berkualitas di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota khususnya di 75 kabupaten/
kota dengan kinerja tinggi, dan meningkatkan kapasitas daerah untuk melakukan
integrasi, interpretasi, dan menggunakan data secara efektif untuk perencanaan
maupun pemantauan.
Infrastruktur dan kapasitas sumber daya Puskesmas untuk berpartisipasi aktif dalam
SIHA perlu terus ditingkatkan, khususnya dalam memperbaiki keteraturan pelaporan
dan interkonektivitas data di tingkat Puskesmas.
Pelaporan informasi kesehatan perlu dibuat secara real-time dan sistematis melalui
HIV Zero Portal dengan memberikan fokus pada pemantauan laporan cascade mulai
dari pencegahan, tes HIV, pengobatan HIV hingga retensi pengobatan di tingkat
nasional, provinsi serta kabupaten/ kota. Pengembangan indikator layanan ramah
komunitas perlu menjadi perhatian sektor kesehatan.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Evaluasi proses secara rutin perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan
penanggulangan AIDS khususnya LKB/ PMTS/ SUFA.
Perlu ada pengukuran kualitas hidup ODHA sebagai dampak dari program dengan
menggunakan instrumen yang teruji. Pengembangan indikator layanan ramah
komunitas perlu menjadi perhatian sektor kesehatan.
RENCANA AKSI
Dukungan juga perlu diberikan untuk eksplorasi dan ekspansi penggunaan ICT
dalam melakukan intervensi berbasis komunitas. Alat monitoring pasokan berbasis
komunitas seperti iMonitor+ perlu digunakan untuk mendapatkan umpan balik
terhadap perbaikan manajemen mata rantai pasokan (SCM) khususnya kondom,
pelicin, alat suntik steril, dan ARV serta obat-obatan terkait HIV. 71
Peningkatan manajemen pengetahuan perlu menjadi salah satu prioritas SRAN 2015-
2019, khususnya dalam upaya penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten/ kota untuk
memfasilitasi pembelajaran secara horizontal antar kabupaten/ kota di Indonesia.
SRAN 2015-2019 mencakup sejumlah strategi dan rencana aksi yang memerlukan
kepemimpinan, koordinasi dan manajemen lintas sektor baik di tingkat nasional
72 dan kabupaten/ kota. Kementerian Dalam Negeri berperan penting baik di tingkat
nasional maupun di tingkat kabupaten/ kota untuk meningkatkan kepemimpinan
daerah untuk penanggulangan AIDS yang efektif sebagai bagian dari pembangunan
daerah setempat.
tidak hanya di tingkat nasional namun juga di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota
bagi upaya penanggulangan AIDS. Peran kabupaten/ kota diharapkan menjadi
lebih penting di masa depan karena mereka akan diharapkan untuk (1) mengelola
pelaksanaan dan perluasan LKB dan (2) memberikan alokasi pendanaan lokal dengan
proporsi yang lebih besar.
Peningkatan pendanaan lokal perlu diinisiasi pada periode SRAN 2015-2019, misalnya
dengan cara berikut:
n Meningkatkan efisiensi biaya pada pelaksanaan LKB, integrasi HIV ke layanan primer;
mengurangi biaya diagnostik, obat dan komoditas lain; model penjangkauan yang
meminimalisasimissed-opportunity.
RENCANA AKSI
kota, misalnya melalui matching funds, dimana penambahan dana lokal
disandingkan dengan tambahan dana nasional; atau challenge grants, dimana
kabupaten/ kota dapat mengusulkan perluasan atau peningkatan kualitas layanan
akan menerima dana.
n Melakukan eksplorasi peluang kemitraan sektor swasta (CSR) baik melalui hibah 73
filantropis maupun dengan bentuk kerjasama publik-privat.
Prioritas utama adalah penguatan kualitas data melalui sistem data rutin seperti SIHA
maupun surveilans penyakit dan perhatian khusus di tingkat provinsi dan kabupaten/
kota. Salah satu wujud penguatan kualitas data adalah agregasi jender, usia, dan faktor
risiko. Upaya mengedepankan penelitian yang mampu memberikan rekomendasi
kongkrit bagi peningkatan kualitas program melalui penelitian operasional
(operational research) dan penelitian implementasi (implementation research).
Inovasi dan teknologi baru tidak hanya diperoleh melalui penelitian, maka perlu ada
mekanisme untuk melakukan eksplorasi inovasi dan teknologi baru yang dapat diuji
serta diimplementasikan di Indonesia.
Beberapa prioritas inovasi yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah tes HIV
berbasis komunitas, pemanfaatan Information and Communication Technology (ICT),
penggunaan media sosial, SMS dan internet untuk kegiatan penjangkauan komunitas
khususnya bagi populasi tersembunyi dan remaja; serta pencanangan intervensi PreP
bagi LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki).
Penguatan kemitraan diarahkan untuk memastikan kapasitas terkait HIV dan AIDS para
pemangku kepentingan di lingkungan pemerintahan maupun masyarakat sipil di
Indonesia mencapai tingkatan yang dibutuhkan. Tidak hanya dalam hal teknis, tetapi
juga upaya untuk membawa upaya penanggulangan AIDS yang ada di Indonesia
RENCANA AKSI
dikenal dunia internasional dan secara aktif menjadi leading country untuk mencapai
tujuan penanggulangan HIV dan AIDS khususnya yang dicanangkan oleh negara-
negara di regional Asia Pasifik, maupun Asia Tenggara.
Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Bencana alam yang sering terjadi
dapat memberikan dampak negatif pada program HIV yang sedang berlangsung,
catatan bisa hilang, ART dan pasokan komoditas terganggu, fasilitas kesehatan rusak,
serta pasokan listrik dan air terputus untuk waktu yang lama. Perpindahan populasi
akibat bencana cenderung meningkatkan kerentanan populasi kunci yang sudah
rentan. Perencanaan kontingensi dan kesiapsiagaan diperlukan untuk mengatasi
dampak negatif dari bencana pada program HIV. SRAN 2015-2019 harus mencakup
kesiapsiagaan darurat dan perencanaan kontingensi untuk memastikan pelaksanaan
program HIV di negara rawan bencana seperti Indonesia.
RENCANA AKSI
Gambar 4.3. Peran Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota
BAB 5
Monitoring
dan Evaluasi
BAB 5.
Monitoring dan Evaluasi
Telah dinyatakan pada bab sebelumnya, mengenai target dan hasil yang yang
diharapkan, bahwa cakupan program penanggulangan AIDS yang komprehensif
diharapkan dapat mencapai sasaran universal access pada tahun 2019. Atas dasar ini
MONITORING DAN EVALUASI
sasaran-sasaran tahunan ditetapkan agar populasi kunci dan mereka yang terinfeksi
HIV dapat mengakses layanan-layanan pencegahan dan pengobatan.
Bagi WPS dan Penasun sasaran universal access akan dicapai pada tahun 2019. Bagi LSL
pada tahun 2019, target program pencegahan baru akan mencapai 60%. Diharapkan
pada tahun 2019 perilaku aman sudah dijalankan oleh 70%-80% populasi kunci, dan
perilaku tersebut perlu dipertahankan seterusnya. Perilaku aman populasi kunci,
baik mengenai pencegahan maupun pengobatan, merupakan satu wujud penting
78 efektifitas program. Diharapkan pada akhir tahun 2019, sedikitnya 80% populasi kunci
yang berperilaku seksual berisiko sudah menggunakan kondom secara konsisten,
80% Penasun sudah tidak bertukar alat suntik secara konsisten, 50% ODHA yang
membutuhkan sudah menggunakan ARV secara berkesinambungan. Diharapkan
pada akhir tahun 2019, kebutuhan pendanaan program HIV dan AIDS sudah terpenuhi
dan 70% bersumber dari dalam negeri. Ketersediaan dana merupakan salah satu
indikator yang penting untuk menunjukkan adanya keberlangsungan program.
Sumber: Kemkes RI
Tabel 5.4. Target Tahunan Cakupan Pengobatan, termasuk Pengobatan untuk
Pencegahan (dalam %)
Sumber: Kemkes RI
Sumber: Kemkes RI
Sumber: Kemkes RI
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Sumber: Kemkes RI
Sumber: TNI
Monitoring dan evaluasi dijalankan mengikuti suatu kerangka kerja sistem yang dapat
menilai setiap tahap pelaksanaan program, mulai dari tahap input, proses kegiatan,
output, hasil sampai dengan dampak program, sebagaimana tergambar pada
diagram berikut:
Gambar 5.1. Kerangka Kerja Monitoring dan Evaluasi
Dampak
Assesmen & Input Kegiatan Output Hasil (Hasil jangka
Perencanaan (Sumberdaya) (Pelayanan) (Hasil Langsung) (Hasil antara) panjang)
Data
pengem- Data biologis, perilaku dan
bangan Data program
sosial berbasis populasi
program
Sumber: Diadaptasi dari Rugg et al (2004). Global advances in HIV/AIDS monitoring and evaluation.
New Direction for Evaluation. Hoboken, NJ Wiley Periodicals. Inc. dalam UNAIDS working
document (2006). M&E of HIV Prevention Programmes for Most-At-Risk Populations.
82
5.2.2. Indikator Input
Indikator input meliputi pengeluaran dana baik oleh mitra pengembangan nasional
maupun internasional, pengembangan kebijakan HIV dan AIDS serta status
implementasi kebijakan tersebut, dan penguatan kelembagaan yang mencakup
kelembagaan KPA (berikut seluruh sektor yang menjadi anggota) baik di tingkat
nasional maupun daerah. Indikator ini penting untuk menilai perkembangan
keberlanjutan program.
Indikator input yang perlu didapatkan dari tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/
kota setidaknya adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan dana nasional (pusat dan daerah) untuk program HIV dan AIDS
berdasarkan kategori sumber pendanaan. Metode pengumpulan data: National
AIDS Spending Assessment (NASA). Frekuensi pengukuran: setiap dua tahun sekali.
Penanggung jawab: Sekretariat KPAN.
2. Terlaksananya penilaian National Commitment and Policy untuk menilai kemajuan
implementasi kebijakan program HIV dan AIDS. Metode pengumpulan data:
pengkajian dengan melakukan diskusi dengan mitra kerja pemerintah dan OMS
di tingkat nasional dengan menggunakan kuesioner NCPI. Frekuensi pengukuran:
setiap dua tahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
3. Jumlah KPAK yang telah memenuhi perkembangan institusi sesuai dengan kriteria
yang ditentukan. Metode pengumpulan data: Penilaian penguatan kelembagaan.
Frekuensi pengukuran: setiap setahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN.
4. Jumlah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang mendapat bantuan dana untuk
program HIV berdasarkan sumber pemerintah dan internasional. Metode
pengumpulan data: pemantauan rutin KPAN. Frekuensi pengukuran: setiap
setahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN
5. Jumlah OMS (Organisasi Masyarakat Sipil) populasi kunci yang mendapat
peningkatan kapasitas dalam pengetahuan dan kemampuan advokasi kebijakan.
Metode pengumpulan data: Diskusi dengan mitra kerja pemerintah dan OMS di
tingkat nasional dengan menggunakan kuesioner NCPI. Frekuensi pengukuran:
setiap dua tahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN.
6. Adanya kebijakan yang non diskriminatif dan sesuai dengan prinsip HAM dan
keseteraan gender pada ODHA, populasi kunci dan kelompok rentan lainnya yang
1. Jumlah rumah sakit yang telah menyediakan layanan perawatan, dukungan dan
pengobatan (PDP) dan pencegahan penularan dari Ibu ke Anak (PPIA). Metode
pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: dua
tahun sekali. Penanggung jawab: Kemenkes.
2. Jumlah Puskesmas dengan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan.
Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran:
satu tahun sekali. Penanggung jawab: Kemenkes.
3. Jumlah Kab/Kota yang memiliki layanan perawatan, dukungan dan pengobatan.
Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran:
satu tahun sekali. Penanggung jawab: Kemenkes.
4. Jumlah Kab/kota dengan fasilitas layanan pencegahan penularan dari ibu ke anak.
Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran:
secara adhoc. Penanggung jawab: Kemenkes.
5. Jumlah Puskesmas dengan fasilitas layanan pencegahan penularan dari ibu ke
anak prong 1 dan 2 serta 1,2,3 dan 4. Metode pengumpulan data: berasal dari data
laporan rutin. Frekuensi pengukuran: secara adhoc. Penanggung jawab: Kemenkes.
5.2.4. Indikator Output
jawab: Kemenkes.
3. Persentase ODHA Dewasa (>14 th) yang memenuhi syarat ART mendapatkan
ART. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan dan estimasi. Frekuensi
pengukuran: triwulanan. Penanggung jawab: Kemenkes.
4. Persentase ODHA Anak (14 th) yang memenuhi syarat ART mendapatkan ART.
Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin dan estimasi. Frekuensi
pengukuran: triwulanan. Penanggung jawab: Kemenkes.
5. Proporsi ODHA yang tetap mengkonsumsi ARV dalam 12 bulan. Metode
84 pengumpulan data: berasal dari data laporan kohort rutin. Frekuensi pengukuran:
setiap tahun. Penanggung jawab: Kemenkes.
6. Persentase pasien koinfeksi TB-HIV yang mendapat pengobatan ARV. Metode
pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran:
triwulanan. Penanggung jawab: Kemenkes.
7. Persentase ibu hamil di tes HIV. Metode pengumpulan data: berasal dari data
laporan rutin. Frekuensi pengukuran: setiap bulan. Penanggung jawab: Kemenkes.
8. Persentase Ibu Hamil HIV mendapat ARV. Metode pengumpulan data: berasal
dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: setiap bulan. Penanggung jawab:
Kemenkes.
9. Persentase bayi lahir hidup dari Ibu HIV mendapat ARV profilaksis. Metode
pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: setiap
bulan. Penanggung jawab: Kemenkes
10. Proporsi rumah tangga miskin yang menerima dukungan ekonomi selama 3 bulan.
Metode pengumpulan data: berasal dari data survey. Frekuensi pengukuran: setiap
tahun dan 5 tahun sekali. Penanggung jawab: Kemensos, dan TNP2K
11. Proporsi ODHA yang mengikuti program JKN. Metode pengumpulan data: berasal
dari data survey khusus. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN.
12. Jumlah kasus kekerasan berbasis gender. Frekuensi pengukuran: setiap tahun.
Metode pengumpulan data: laporan rutin. Penanggung jawab: Kemeneg PP,
Komnas Perempuan, dan IPPI.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Indikator hasil untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan program telah dapat
merubah perilaku berisiko menjadi perilaku aman dari kelompok kunci, baik perilaku
pencegahan maupun perilaku pengobatan. Indikator ini penting untuk menilai
perkembangan efektifitas program.
1. Persentase remaja usia 15-24 tahun populasi umum yang memiliki pengetahuan
komprehensif HIV dan AIDS. Metode pengumpulan data: berasal dari data survey,
SDKI, Riskesdas. Frekuensi pengukuran: setiap lima tahun. Penanggung jawab:
BKKBN, Kemenkes.
2. Persentase populasi kunci yang memiliki pengetahuan komprehensif HIV dan
AIDS. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali
dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN.
SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab:
Kementerian Kesehatan dan KPAN.
15. Prevalensi Sifilis pada populasi kunci. Metode pengumpulan data: Sentinel Sero-
Survey. Frekuensi pengukuran: setiap tahun. Penanggung jawab: Kementerian
Kesehatan.
86 Indikator dampak digunakan untuk melihat dampak program terhadap epidemi HIV,
yang diukur dengan prevalensi HIV pada populasi kunci, dan populasi umum untuk
Tanah Papua.
1. Prevalensi HIV pada ibu hamil usia 15-49 tahun. Metode pengumpulan data:
Sentinel surveilans ANC. Frekuensi pengukuran: setiap tahun. Penanggung jawab:
Kemkes
2. Prevalensi HIV pada populasi kunci. Metode pengumpulan data: Sentinel surveilans,
IBBS. Frekuensi pengukuran: setiap tahun dan empat tahun sekali. Penanggung
jawab: Kemkes
3. Jumlah infeksi HIV baru pada populasi kunci. Metode pengumpulan data: Studi
khusus (Modeling). Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan.
4. Jumlah/persentase ODHA yang mendapatkan diskriminasi dari suami/istri atau
pasangannya, atau anggota keluarga lainnya karena status HIV positif dalam 12
bulan terakhir. Metode pengumpulan data: Studi khusus, studi diskriminasi.
5. Persentase ODHA yang ditolak oleh layanan kesehatan (termasuk layanan
kesehatan gigi), akses pendidikan dan tempat kerja karena status HIV positif.
Metode pengumpulan data: Studi khusus.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
1. Pemantauan Rutin
n Sistem Informasi HIV dan AIDS (Kementerian Kesehatan)
n Monitoring penguatan kelembagaan (KPA)
n Monitoring perkembangan layanan pencegahan (KPA)
2. Surveilans
Surveilans HIV, AIDS dan IMS merupakan tanggung jawab dari Kementerian Kesehatan.
Berbagai bentuk surveilans yang diperlukan antara lain adalah sebagai berikut:
Mengingat biaya pelaksanaan STBP yang cukup mahal, akan dimulai pelaksanaan
integrasi pelaksanaan surveilans sentinel dengan survei cepat perilaku setiap
setahun sekali. Intregasi sentinel surveilans dengan survei cepat perilaku perlu
dilakukan pada kabupaten/ kota prioritas untuk semua populasi kunci secara
berkesinambungan.
n Survei resistensi ARV
n Pemetaan populasi kunci, hotspot dan layanan
n Estimasi jumlah populasi kunci dan ODHA
3. Pemantauan Lainnya
n Monitoring perkembangan layanan mitigasi dampak (Kementerian Sosial)
n Studi khusus
l Stigma diskriminasi
l Studi infeksi baru
l Riset operasional dan riset implementasi (KPA)
l Gender Based Violence
n Monitoring pengeluaran dana (NASA) (KPA)
n National Commitment Policy Instrument. Tools untuk memantau kebijakan terkait
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.
Satu pemantauan yang perlu dilakukan secara intensif dan teratur dari waktu ke waktu
MONITORING DAN EVALUASI
Hubungan kerja antar KPA mulai dari kabupaten/ kota, provinsi sampai dengan
nasional, antara lain dilakukan melalui mekanisme pelaporan rutin. Mekanisme
ini telah berjalan baik untuk memantau perkembangan cakupan program. Secara
sederhana proses pelaporan tersebut digambarkan sebagai berikut:
Data dari daerah dikumpulkan ke tingkat nasional melalui RR on line dan SIHA dengan
menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan yang standar. Data tersebut
kemudian direkapitulasi untuk dianalisis menjadi laporan berkala. KPAN sedang
mengembangkan real time dash board untuk menghasilkan tampilan kinerja data
terkini.
Data yang dihasilkan jangan menjadi bahan laporan semata, tetapi justru harus
digunakan untuk perbaikan program di lapangan. Pemanfaatan data perlu dilakukan
dalam suatu pertemuan koordinasi di setiap tingkat. 89
Data yang lebih komprehensif yang bersifat evaluatif perlu dibahas setiap 6 bulan
atau setiap tahun. Data yang dikumpulkan dari daerah melalui RR online dan SIHA,
kemudian dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan, perbaikan program di setiap
tingkatan melalui situs AIDS portal (www.aidszeroportal.com).
Evaluasi program dilakukan melalui mekanisme kajian kinerja berkala bersama (joint
periodic performance review), yang perlu dilakukan di setiap tingkat KPA. Evaluasi juga
perlu dilakukan di masing-masing sektor, baik pemerintah maupun non pemerintah.
Frekuensi evaluasi perlu dilakukan dalam bentuk kajian setiap 6 bulan, kajian setiap
tahun, kajian paruh waktu rencana aksi (Mid Term Review) dan kajian akhir periode
rencana aksi (Final Review). Indikator utama kinerja program penanggulangan AIDS
terdiri dari coverage, effectiveness dan sustainability.
Dalam kajian paruh waktu dan kajian akhir, evaluasi dilakukan secara lengkap
terhadap perkembangan epidemi dan seluruh bentuk respons yang telah dilakukan.
Evaluasi respons yang lengkap meliputi keterlibatan politis, lingkungan kebijakan,
tata kelola kepemerintahan, kapasitas penyediaan informasi strategik, kapasitas
penyusunan rencana strategik, situasi sumber daya, perkembangan implementasi
program (meliputi cakupan dan efektifitas program, dampak program terhadap
penurunan epidemi) mengenai pencegahan, pengobatan dan mitigasi dampak, serta
mengenai keterlibatan komunitas dan masyarakat.
MONITORING DAN EVALUASI
Setiap kabupaten/ kota prioritas melakukan kerjasama lintas sektor baik pemerintah
maupun non pemerintah untuk menghimpun data secara rutin. Paling sedikit
sudah terdapat satu (1) tenaga penuh waktu di tingkat KPA kabupaten/ kota untuk
melaksanakan ini, yang berhubungan dengan mereka yang mendapat tanggung
jawab mengenai data di masing-masing sektor dan LSM. Hal serupa juga terjadi di
tingkat provinsi dan nasional.
90
Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi sering dijumpai keterbatasan kapasitas
baik pada petugas maupun lembaga pelaksana dalam hal kualitas data dan
keteraturan pelaporan. Hal ini terjadi di semua tingkat mulai dari kabupaten/ kota
sampai nasional. Untuk mengatasi ini perlu dilakukan penguatan kapasitas monitoring
dan evaluasi, termasuk kelembagaan monitoring evaluasi dan juga supervisi paska
pelatihan untuk menjamin manajemen data dan kualitas analisis data. Dengan
demikian pengembangan kapasitas monitoring dan evaluasi perlu direncanakan dan
dianggarkan sebagai bagian yang terintegrasi dalam perencanaan dan implementasi
program.
Pengembangan kapasitas terdiri dari asesmen kapasitas monitoring dan evaluasi yang
ada, penguatan kapasitas KPA termasuk sektor yang menjadi anggota (pemerintah dan
non pemerintah) untuk berbagai jenis kegiatan monitoring dan evaluasi, pelatihan
berbagai kompetensi antara lain manajemen dan analisis data, jaminan mutu data,
kemudian bimbingan teknis, bantuan teknis, dan pengembangan pedoman sesuai
dengan keperluan masing-masing lembaga.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Penguatan monitoring dan evaluasi yang harus digaris bawahi adalah sebagai berikut:
n Harmonisasi sistem M&E di antara penerima dana hibah, termasuk integrasi HIV
ke dalam Sistem Informasi Kesehatan.
91
n Mengembangkan rencana dan pedoman M&E yang disertai dengan rincian
pembiayaan untuk tingkat nasionaldan daerah.
BAB 6
Pelaksanaan SRAN
di Tingkat Daerah
BAB 6.
Pelaksanaan SRAN di Tingkat Daerah
PELAKSANAAN SRAN DI TINGKAT DAERAH
Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa KPA Nasional diketuai oleh Menko Kesra,
bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan mempunyai Sekretaris yang purna
waktu. Tugas dan tanggung jawab Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sesuai
dengan Perpres No 75 / 2006 antara lain: menetapkan kebijakan dan rencana strategis
nasional serta pedoman umum pencegahan, pengendalian dan penanggulangan
AIDS; melakukan koordinasi lintas sektor pemerintahan dan non-pemerintahan; serta
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) untuk 5 tahun mendatang, disusun mengacu
pada RPJMN 2015-2019, dalam kerangka pembangungan yang berkelanjutan,
untuk mempertahankan momentum penanggulangan HIV dan AIDS yang sedang
bergerak menuju kemandirian pendanaan dan integrasi program ke dalam sistem
pemerintahan dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan kerangka reformasi birokrasi
yang bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya negara secara
efektif dan efisien.
6.1. Prinsip
Penanggulangan HIV dan AIDS bersifat lintas sektor dan lintas tingkatan, dengan
demikian memerlukan kepemimpinan politik dan anggaran dari pimpinan daerah.
Kepemimpinan diperlukan dari tingkat nasional sampai ke daerah. Begitu pula
anggota KPA di daerah yang menjadi sektor kunci harus berperan aktif, seperti
Bappeda, Dinkes, Dinsos, Disbudpar dan Disnaker.
Adanya koordinasi efektif penanggulangan AIDS di daerah mulai dari tingkat provinsi,
kabupaten/ kota, hingga ke tingkat layanan dan pelaksana lapangan
Berbagai bentuk koordinasi kelembagaan harus berjalan dengan teratur. Mulai dari
pertemuan koordinasi anggota KPA yang dipimpin langsung oleh Kepala Daerah,
sampai dengan pertemuan-pertemuan berikutnya yang bersifat teknis. Supervisi dan
bimbingan teknis perlu dilakukan untuk memastikan mekanisme koordinasi tersebut
berjalan efektif.
96 Harus ada mekanisme rekruitmen SDM yang profesional untuk menjalankan fungsi-
fungsi manajemen program dan layanan. Petugas-petugas tersebut harus mempunyai
kompetensi untuk menjalankan setiap pedoman teknis dan Prosedur Operasional
Standar.
Pelibatan bermakna populasi kunci seperti pekerja seks dan pelanggannya, LSL, Gay
dan Waria serta pasangannya dan Penasun serta pasangannya dan ODHA merupakan
kunci keberhasilan penanggulangan AIDS di daerah. Pelibatan komunitas populasi
kunci dan ODHA agar dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan sampai
evaluasi. Peran nyata komunitas harus terdokumentasi dengan baik.
Setiap daerah harus memiliki data terkini mengenai perkembangan epidemi dan
kemajuan program HIV dan AIDS setempat. Lebih penting lagi agar data tersebut
digunakan untuk perbaikan dan peningkatan program dan layanan.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Kemitraan lintas sektor untuk penanggulangan AIDS sangat penting. KPA di tingkat
provinsi dan kabupaten/ kota perlu membangun kemitraan dengan semua sektor
pemerintah yang berkaitan dengan HIV dan AIDS, seperti kesehatan, sosial, pendidikan,
kebudayaan dan pariwisata, serta tenaga kerja, perhubungan dan lain-lain.
Kemitraan dengan dunia usaha juga perlu dibangun (PPP-Public Private Partnership)
untuk menyelenggarakan pencegahan HIV di tempat kerja, dan mengembangkan
upaya-upaya yang didukung CSR (Corporate Social Responsibility)untuk komunitas
dan masyarakat sekitar tempat kerja.
Sektor swasta juga perlu dibina untuk mendorong kemitraan public-private dalam
upaya mobilisasi dukungan terhadap program pencegahan, perawatan, dukungan
dan pengobatan serta mitigasi dampak di dunia kerja dan berbagai bentuk tanggung
jawab sosial bagi masyarakat sekitar.
KPA adalah lembaga yang anggotanya bersifat multi sektoral, merupakan forum
untuk menyamakan pandangan bagi pelaksanaan program melalui proses
koordinasi. Koordinasi lintas sektor yang efektif adalah dimensi pendukung untuk
penanggulangan AIDS di daerah.
Koordinasi efektif di tingkat KPA provinsi dan kabupaten/ kota perlu dilakukan dengan
mengikuti Standard Operating Procedure (SOP) koordinasi kelembagaan. SOP
koordinasi kelembagaan perlu diatur setidaknya untuk koordinasi berikut:
4. Pelaporan dan koordinasi dengan Ketua KPA provinsi dan kabupaten/ kota yang
bertujuan untuk mengoptimalkan peran Ketua Komisi Penanggulangan AIDS
dalam memimpin dan mengkoordinasikan pelaksanaan program penanggulangan
AIDS di daerah masing-masing.
6.4.1. Perencanaan
Penanggulangan AIDS perlu menjadi salah satu agenda tetap dalam proses
MUSRENBANG, mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten/ kota hingga tingkat
provinsi. Hal ini perlu menjadi pokok bahasan dalam forum SKPD di setiap tingkatan
pemerintahan. Dalam proses perencanaan, perlu pembagian peran yang maksimal
semua anggota KPA sesuai peraturan pemerintah.
6.4.2. Pembiayaan
Peran provinsi dan kabupaten/ kota sangat penting dalam mengelola pelaksanaan
dan perluasan program prioritas penanggulangan AIDS seperti PMTS, Pengurangan
PELAKSANAAN SRAN DI TINGKAT DAERAH
Dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS, transisi
pembiayaan pencegahan dan pengobatan HIV dalam sistem JKN perlu direncanakan
dengan seksama sebagai upaya keberlanjutan program. Upaya serupa juga perlu
dilakukan di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota mengikuti kebijakan jaminan sosial
yang berlaku di daerah setempat.
Dalam desentralisasi yang paling penting adalah adanya layanan publik yang semakin
dekat dengan masyarakat yang membutuhkan. Prioritas pengembangan layanan di
tingkat kabupaten/ kota sesuai dengan kebijakan penanggulangan AIDS nasional
adalah antara lain untuk perluasan dan penguatan LKB, PMTS, Pengurangan Dampak
Buruk NAPZA dan SUFA/ PDP/ PPIA.
Dalam konteks LKB, prioritasnya adalah desentralisasi layanan HIV hingga ke tingkat
komunitas misalnya di tingkat Puskesmas dan layanan berbasis komunitas, mulai dari
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
layanan pencegahan, tes HIV, serta inisiasi pengobatan dini dan pemberian dukungan
psikososial untuk meningkatkan kepatuhan minum obat, serta mengurangi stigma
dan diskriminasi di masyarakat. Prioritas geografis perlu dilakukan dalam pelaksanaan
program penanggulangan AIDS agar menjadi lebih tepat sasaran, khususnya untuk
mendorong ketersediaan layanan di titik-titik hotspot prioritas di tingkat kabupaten/
kota.
Secara khusus pelaksanaan LKB di tingkat Puskesmas perlu didorong untuk mencapai
integrasi layanan HIV ke dalam layanan kesehatan dasar di Puskesmas seperti layanan
KIA, TB, IMS, Kespro. Hal ini penting untuk meningkatkan kesinambungan dan
Masih dalam konteks pelaksanaan LKB, prioritas perlu diberikan untuk penguatan
ketertautan antara layanan di sektor kesehatan dengan layanan yang berbasis
komunitas. Hal ini penting dilakukan di Tanah Papua, dimana epidemi sudah sampai
ke populasi umum.
Setiap daerah harus memiliki data terkini. Pertama mengenai perkembangan epidemi
PELAKSANAAN SRAN DI TINGKAT DAERAH
HIV, yaitu setidaknya jumlah kasus HIV dan AIDS serta data kematian terkait AIDS,
estimasi dan pemetaan populasi kunci. Kemudian laporan kemajuan penanggulangan
AIDS termasuk data kelembagaan, pendanaan, cascade layanan HIV mulai dari
pencegahan, tes HIV, pengobatan, perawatan dan dukungan, serta mitigasi dampak.
Kegiatan monitoring dan evaluasi agar mengacu pada dokumen perencanaan yang
102 berisikan indikator dan target yang harus dicapai masing-masing mitra pelaksana, baik
SKPD, mitra non-pemerintah atau komunitas. Mekanisme monitoring dan evaluasi
harus berjalan harmonis mulai dari tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/ kota,
dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Monitoring dan evaluasi di tingkat daerah agar difasilitasi oleh KPA melalui mekanisme
Kelompok Kerja Monev (Pokja Monev) di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota. Pokja
monev harus mampu memberikan umpan balik secara rutin di daerah, untuk perbaikan
segera pelaksanaan program. Hasil monitoring dan evaluasi agar dikomunikasikan
pula secara teratur kepada pimpinan daerah dan para pembuat kebijakan untuk
menjadi dasar perencanaan dan pembuatan kebijakan yang mendukung.
Diseminasi data yang real-time secara visual kepada pihak yang lebih luas dan
masyarakat perlu dilakukan memanfaatkan ICT (Information and Communication
Technology). Pengguna ICT perlu dioptimalkan untuk akuntabilitas publik,
mempercepat rekonsiliasi data, memperbaiki ketepatan waktu dan kualitas pelaporan
serta pencatatan program.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
BAB 7
Sumber Daya
dan Pendanaan
BAB 7.
Sumber Daya dan Pendanaan
Ada beberapa usaha strategis yang perlu dilakukan dalam menghadapi tantangan
SRAN 2015-2019:
3. Dengan adanya perluasan penanggulangan AIDS dan integrasi layanan HIV, maka
ada kebutuhan untuk memasukkan isu HIV dalam pendidikan di perguruan tinggi
dan lembaga pelatihan untuk memperkuat pelatihan pra-layanan.
n Jumlah tenaga dari masyarakat sipil yang dibutuhkan program perlu dihitung
oleh masing-masing kabupaten/ kota dengan dukungan teknis dari provinsi.
Perhitungan kebutuhan ini dengan menggunakan informasi mengenai
jumlah populasi kunci maupun ODHA, serta organisasi masyarakat sipil. Dalam
rangka meningkatkan jumlah orang yang dijangkau untuk dirujuk ke layanan
kesehatan, maka SDM dari komunitas perlu ditingkatkan. Untuk Pendidik Sebaya
n Mendampingi orang yang menjalani konseling dan testing HIV, serta memulai
pengobatan ARV, dibutuhkan SDM dari komunitas, yang berperan sebagai
dukungan sebaya. Di kota dengan infrastruktur yang lebih baik, dukungan dari
komunitas dapat berupa tenaga konseling. Ada beberapa sebutan untuk peran
ini, salah satunya yang masih banyak digunakan adalah Manajer Kasus. Tugasnya
tidak hanya mendampingi pada saat diagnostik hingga mulai pengobatan,
tetapi juga dalam kepatuhan minum obat dan mempertahankan pasien dalam
pengobatan. Agar berjalan dengan baik, kegiatan ini perlu dikoordinasi oleh
KPA kabupaten/ kota yang tidak hanya bekerja sama dengan Dinas Kesehatan
serta petugas fasilitas kesehatan, tetapi juga kelompok masyarakat seperti
kader maupun komunitas.
n Pengalihan tugas (task shifting) menjadi elemen penting dalam SRAN 2015-
2019, meliputi (1) perluasan tanggung jawab untuk merawat pasien HIV dari
spesialis/ internis ke dokter umum, (2) tanggung jawab beberapa layanan
bergeser dari dokter ke perawat, dan (3) perawat merangkap teknisi laboratorium
sederhana untuk menyelesaikan kekurangan kapasitas laboratorium yang
menghambat untuk ekspansi pengobatan. Kementerian Kesehatan perlu
membuat kelompok kerja task shifting untuk menjadi dewan pertimbangan
atas pelaksanaan kegiatan ini.
perlu mengambil peran yang lebih besar dan lebih sistematis dalam
membangun kapasitas di tingkat kabupaten/ kota. Staf yang dimaksud di sini,
mempertimbangkan juga tidak hanya pada fasilitas layanan yang statis, tetapi
juga yang bergerak (mobile), secara komprehensif.
Dalam kerangka pendanaan untuk RPJMN, tiga sumber dana penting yang disebutkan
akan ditingkatkan adalah (1) dana publik (pemerintah), termasuk peningkatan peran
dan tanggung jawab pemerintah daerah, (2) peningkatan sumber dari tarif/ pajak
khusus, dan (3) peningkatan peran dunia usaha melalui kemitraan publik-privat
maupun CSR (Corporate Social Responsibility). Sementara itu untuk peningkatan
efektivitasnya, dilakukan beberapa langkah, yaitu (1) pembagian peran dan
kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/ kota; (2) peningkatan
efisiensi dan efektivitas anggaran kesehatan melalui sinergi perencanaan, perencanaan
berbasis bukti dan pengelolaan anggaran kesehatan yang terfokus pada pencapaian
prioritas nasional; dan (3) pengelolaan dan pengembangan Dana Alokasi Khusus
(DAK) bidang kesehatan yang lebih tepat sasaran. Secara eksplisit, penanggulangan
Kondisi Pendanaan Secara Umum. Saat ini peran pendanaan dalam negeri terus
meningkat. Kebutuhan anggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS meningkat
sampai sebesar USD 87,002,697. Pada sisi kuratif terkait dengan penyediaan ARV
peran pendanaan dalam negeri meningkat dari 27% pada tahun 2006 menjadi 43%
pada tahun 2012. Namun demikian, program penanggulangan HIV dan AIDS yang
bersumber dari dana luar negeri masih cukup besar (57%).
Selama ini kebutuhan anggaran bersumber luar negeri untuk penanggulangan HIV
dan AIDS tersebut dipenuhi oleh Global Fund, Departemen Luar Negeri Negara
Australia, Dana Dukungan Amerika Serikat (USAID), Pemerintah Inggris (UK), Badan-
badan PBB dan Organisasi Non Pemerintah Internasional (NGOI). Diperkirakan,
sumber-sumber pendanaan luar negeri tersebut akan berkurang pada periode
2015-2019. Walaupun alokasi anggaran untuk pengobatan bersumber dari anggaran
dalam negeri meningkat pesat pada periode tahun 2006-2012, namun kebutuhan
untuk pelaksanaan program promotif-preventif sebagian besarnya masih sangat
bergantung pada dana bantuan luar negeri. Untuk itu, diperlukan mobilisasi sumber
pendanaan lainnya yang masih tersedia.
Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya, skenario 141 kabupaten/ kota
prioritas yang didalamnya terdapat 47 kabupaten/ kota SUFA sampai dengan tahun
2015-2019
112
Analisis efesiensi pembiayan juga telah diilakukan misalnya dengan integrasi layanan,
(penyederhaan dosis obat) penyerdahanaan prosedur pemeriksaan sehingga tingkat
kesenjangan kebutuhan akan lebih kecil.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Berdasarkan hasil kajian ICA, pada tahun 2015 diperlukan biaya sebesar USD 8.015
untuk mencegah terjadinya satu infeksi baru HIV, pada tahun 2017 USD 4.619 dan
pada tahun 2019 angka ini menurun menjadi USD 2.458 persatu infeksi baru HIV
yang tidak terjadi. Dengan angka sebesar ini, maka total biaya yang dibutuhkan
untuk melakukan program SRAN 2015-2019 secara komprehensif adalah sebesar USD
568.034.000, dengan penghematan sebesar USD 154.320.000 pada pengobatan jika
program dilaksanakan secara efektif.
dukungan dan peran aktif masyarakat (kader, Warga Peduli AIDS, bidan/ perawat
komunitas, layanan terkait IMS dan AIDS pada K3).
116
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
LAMPIRAN
119
Lampiran
LAMPIRAN
120
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
List of Tables
Table 2.1. Trend in HIV Prevalence among Key Populations (%)
Table 2.2. Trends in HIV Prevalence among Key Populations in Papua (%)
Table 2.3. Trends in Programmatic Responses: More Policies, Funding, Services,
Actions and Clients
Table 4.1. Prevention Targets in All Key Populations (%)
Table 5.1. Annual Coverage Targets of Prevention Programmes (in %)
Table 5.2. Annual Coverage of Behaviour-Change Interventions (in %)
Table 5.3. Annual Coverage Targets of Treatment Programmes, including
Treatment as Prevention (in %)
Table 5.4. Annual Coverage Targets for Pregnant Women Receiving ARV (in %)
Table 7.1. Funding Needs and Estimated Funding for 2015-2019 (USD 000s)
List of Diagrams
LAMPIRAN
Diagram 1.1. Framework of NASAP on HIV and AIDS Response 2015-2019
Diagram 1.2. Formulation Process of NASAP for HIV and AIDS Response 2015-2019
Diagram 2.1. Concentration of HIV Epidemic in Key Populations and Cities in Asia
Pacific 121
Diagram 2.2. HIV Prevalence Map in Indonesia in 2012
Diagram 2.3. Projections of New HIV Infections in Regions Other than Papua With
No Intervention after 2013 until 2030
Diagram 2.4. Projections of New HIV Infections in Papua without Intervention after
2013 until 2030
Diagram 3.1. Number of Annual New Infections among Adults, 2013-2030
Diagram 3.2. Number of Adult PLHIV, 2015-2030
Diagram 3.3. Number of Adult PLHIV, 2015-2030
Diagram 4.1. The Role of the National, Provincial and District/City Government
Diagram 5.1. Monitoring and Evaluation Framework
Diagram 5.2. Reporting Flow
Diagram 7.1. Realization of Domestic Funding, 2010-2014, by source (USD)
Diagram 7.2. Funding Needs for HIV and AIDS Response (USD 1,000)
Diagram 7.3. Projections of Funding Need, Availability and Resource Gap, 2015-
2019
Diagram 7.4. Projections of Funding Need, Availability and Resource Gap, 2015-
2019
LAMPIRAN
122
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Daftar Singkatan
LAMPIRAN
BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BPPT Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
CoC Continuum of Care
CSR Corporate Social Responsibility 123
CSS Community System Strengthening
CST Care, Support and Treatment
CTKI Calon Tenaga Kerja Indonesia
EQAS External Quality Assurance Services
ESCAP Economic and Social Commission for Asia and the Pacific
GARPR Global AIDS Response Progress Reporting
GF Global Fund
GWL Gay, Waria dan LSL lainnya
HAM Hak Asasi Manusia
HCPI HIV Cooperation Program for Indonesia
HR Harm Reduction
HIV Human Immunodeficeincy Virus
IBBS Integrated Bio-Behavioural Survey
ICA Investment Case Analysis
ICT Information and Communication Technology
ILO International Labor Organization
IMS Infeksi Menular Seksual
IPPI Ikatan Perempuan Positif Indonesia
JKN Jaminan Kesehatan Nasional
JOTHI Jaringan Orang Terinfeksi HIV
KADIN Kamar Dagang dan Industri
KAPOLRI Kepala Polisi Negara
KBRI Kedutaan Besar Republik Indonesia
KDS Kelompok Dukungan Sebaya
Keppres Keputusan Presiden
KIA Kesehatan Ibu dan Anak
KIE Komunikasi, Informasi dan Edukasi
KJRI Konsulat Jenderal Republik Indonesia
KPA Komisi Penanggulangan AIDS
KPAD Komisi Penanggulangan AIDS Daerah
KPAK Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota
KPAN Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
KPAP Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi
KSR Kesehatan Seksual dan Reproduksi
KTH Konseling dan Tes HIV
KTT Konferensi Tingkat Tinggi
KTP Kartu Tanda Penduduk
K/L Kementerian/Lembaga
LAMPIRAN
LAMPIRAN
SDKI Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
SDM Sumber Daya manusia
SIHA Sistem Informasi HIV dan AIDS
SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah 125
SRAN Strategi dan Rencana Aksi Nasional
STBP Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku
STHP Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku
SUFA Strategic Use For ARV
TB Tuberkulosis
TIPK Tes atas Inisiatif Petugas Kesehatan
TKI Tenaga Kerja Indonesia
TNI Tentara Nasional Indonesia
UNAIDS Joint United Nations Programme on HIV and AIDS
UNGASS United Nations General Assembly Special Session
VCT Voluntary Counseling and Testing
WBP Warga Binaan Pemasyarakatan
WHO World Health Organization
WPS Wanita Pekerja Seks
WPSL Wanita Pekerja Seks Langsung
WPSTL Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung
ICT Information and Communication Technology
IDU Injecting Drug User
LAMPIRAN
126
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
LAMPIRAN 1:
LAMPIRAN
127
LAMPIRAN
128
Lampiran 1: Diagram Peran dan Tanggung Jawab Anggota KPA Nasional dalam Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS
Kebijakan Nasional Program Kesehatan Kebijakan Dalam Pendekatan Agama Pelayanan dan Rehab
Negeri Kesejahteraan Sosial
n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi
pegawai dan keluarga pegawai dan keluarga pegawai dan keluarga pegawai dan keluarga pegawai dan keluarga
n Koordinasi dalam n Pengembangan n Kebijakan desentralisasi n Kebijakan dan n Pelayanan sosial ODHA
pengembangan Program perawatan dan dan alokasi pendanaan pedoman dalam n Pencegahan bagi
kebijakan pengobatan di tingkat pusat, program pencegahan Sub-Populasi Risti dan
penanggulangan HIV n Penguatan sistem provinsi, kabupaten/ penanggulangan HIV Rentan
dan AIDS layanan kesehatan kota dan desa dan AIDS di sektor n Menghilangkan stigma
n Koordinasi dalam n Pengembangan n Mendukung peran keagamaan dan diskriminasi
perencanan, Program pengendalian serta dalam membantu n Koordinasi n Peningkatan SDM
pelaksanaan dan HIV dan AIDS menangani stigma dan pelaksanaan program Penanggulangan HIV
evaluasi n Pengembangan diskriminasi penanggulangan HIV dan AIDS Bidang Sosial
n Koordinasi pembahasan Program surveilans HIV n Koordinasi lembaga dan AIDS di sektor n Peningkatan lingkungan
isu-isu sentral dan AIDS dan IMS kemasyarakatan dalam keagamaan. yang kondusif
n Pembinaan kerja sama n Koordinasi program penanggulangan HIV n Pengembangan n Mendorong peran
antar Kementerian pengurangan dampak dan AIDS pola pembinaan masyarakat dalam
dalam kebijakan HIV dan buruk NAPZA suntik n Peningkatan lingkungan dan program serta mitigasi dampak sosial
AIDS n Pengembangan yang kondusif pemberian penghargaan ekonomi
n Peningkatan lingkungan Program informasi gaya n Mendorong program Pencegahan
yang kondusif hidup sehat pemberdayaan Penanggulangan HIV
n Monitoring dan evaluasi n Peningkatan lingkungan masyarakat dalam dan AIDS di sektor
penanggulangan AIDS yang kondusif penanggulangan AIDS keagamaan yang
oleh lintas sektor dan memfasilitasi peran terintegrasi dengan
masyarakat program penyuluhan
n Peningkatan lingkungan
yang kondusif
Kementerian Kementerian Hukum Kementerian Kementerian Kementerian
Komunikasi dan dan HAM Kebudayaan dan Pendidikan Nasional Tenaga Kerja dan
Informatika Pariwisata Transmigrasi
Pengembangan Pendidikan
Hukum dan UU Pencegahan Kebijakan Nakertrans
Penyebaran Informasi Industri Pariwisata
n Pencegahan bagi pegawai
n Pencegahan bagi
n Pencegahan bagi dan keluarga
pegawai dan keluarga pegawai dan keluarga
n Kebijakan, Pedoman
n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Kurikulum pendidikan
n Peningkatan Teknis dalam peningkatan
pegawai dan keluarga penanganan dan pegawai dan keluarga jasmani, olah raga, dan
program penanggulangan
n Kebijakan dan Strategi penegakan hukum n Kerja sama antar industri kesehatan (termasuk
AIDS di tempat kerja
komunikasi dan penyalahgunaan pariwisata dalam remaja dan perbedaan
n Koordinasi pemangku
sosialisasi HIV dan AIDS narkotika serta obat program pencegahan jender)
kepentingan dalam
n Kampanye media HIV dan AIDS n Kebijakan pendidikan
berbahaya, pembinaan pelaksanaan program,
dan sosial tentang WBP tentang penerapan n Kebijakan pencegahan AIDS bagi
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
pencegahan dan gaya hidup sehat yang penanggulangan HIV monitoring evaluasi di
penanggulangan HIV rendah risiko terhadap dan AIDS pada sektor peduli AIDS melalui
sektor ketenagakerjaan
dan AIDS secara nasional penularan HIV dan pariwisata (khususnya pendidikan formal dan
dan ketransmigrasian
dan internasional penyakit oportunistik. tempat hiburan malam) pendidikan nonformal
n Pengembangan pola
n Peningkatan lingkungan n Peningkatan lingkungan n Pendidikan pencegahan
n Peningkatan koordinasi pembinaan dan program
yang kondusif dan kerja sama multi- yang kondusif HIV dan AIDS bagi
serta pemberian
pihak, pembinaan pelajar, mahasiswa,
penghargaan program
pemasyarakatan WBP pendidik, dan tenaga
penanggulangan
n Memutus mata
kependidikan
HIV & AIDS di sektor
n Kampanye/
rantai peredaran dan ketenagakerjaan dan
penggunaan napza penyebarluasan
ketransmigrasian yang
di lingkungan Lapas/ informasi pencegahan
terintegrasi dengan
Rutan HIV dan AIDS dan
program K3
n Memutus mata rantai
penyakit menular di
n Pemberian penghargaan
penularan HIV dan sekolah, kampus, dan
program AIDS di dunia
infeksi menular lainnya lembaga pendidikan lain
kerja
n Peningkatan lingkungan
n Peningkatan lingkungan n Peningkatan lingkungan
yang kondusif yang kondusif
yang kondusif
LAMPIRAN
129
LAMPIRAN
130
Kementerian Kementerian Kementerian Negara Bappenas Kementerian Negara
Perhubungan Negara Pemuda dan Pemberdayaan Riset dan Teknologi
Olahraga Perempuan
Pemberdayaan
Kebijakan Transportasi Pemberdayaan Perempuan Kebijakan Kebijakan Penelitian
Pemuda Perencanaan
n Pencegahan bagi
n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi pegawai dan keluarga n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi
pegawai dan keluarga pegawai dan keluarga n Koordinasi dan fasilitasi pegawai dan keluarga pegawai dan keluarga
n Kebijakan n Kebijakan pemenuhan hak n Integrasi HIV dan AIDS n Program riset terkait
penanggulangan HIV penanggulangan HIV reproduksi perempuan ke dalam rencana n HIV dan AIDS
dan AIDS pada sektor dan AIDS di kalangan n Koordinasi dalam program pembangunan n Program dukungan riset
pengangkutan darat, pemuda peningkatan akses dan nasional terkait HIV dan AIDS
laut dan udara n Program pencegahan pelayanan pencegahan, n Integrasi program n Peningkatan lingkungan
n Program pencegahan HIV dan AIDS melalui dukungan khusus untuk penanggulangan HIV yang kondusif
HIV dan AIDS pemberdayan pemuda perempuan dan AIDS ke dalam
di lingkungan n Peningkatan lingkungan n Mendorong lingkungan, strategi pengurangan
perhubungan yang kondusif keluarga dan masyarakat kemiskinan
n Peningkatan lingkungan yang kondusif n Monitoring dan
yang kondusif untuk perlindungan evaluasi pencapaian
perempuan terhadap tujuan program
HIV dan AIDS melalui penanggulangan AIDS
upaya pemenuhan hak n Peningkatan lingkungan
reproduksi perempuan yang kondusif
n Koordinasi peningkatan
peran laki-laki dalam
penanggulangan AIDS
dan pembagian tugas
dan tanggung jawab
yang sama dalam
konteks perawatan
penderita HIV dan AIDS
Sekretariat Kabinet TNI POLRI BPPT BKKBN
Dukungan Kebijakan Ketahanan Prajurit Ketahanan Kajian Teknologi Tepat Ketahanan Keluarga
Bhayangkara Negara Guna
n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi
pegawai dan keluarga anggota TNI dan anggota Polri dan pegawai dan keluarga pegawai dan keluarga
n Dukungan kebijakan keluarga keluarga n Pengkajian teknologi n Peningkatan
kepada KPAN n Kebijakan pencegahan n Kebijakan pencegahan tepat guna bagi upaya pencegahan penularan
n Fasilitasi Sidang Kabinet dan penanggulangan dan penanggulangan penanggulangan HIV HIV dan AIDS sesuai
Sesi Khusus HIV dan HIV dan AIDS di jajaran HIV dan AIDS di jajaran dan AIDS dengan tugas dan
AIDS TNI (Darat, Laut dan Kepolisian Negara n Peningkatan lingkungan fungsi
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
LAMPIRAN
131
LAMPIRAN
132
BNN PB. IDI IAKMI PMI Kamar Dagang dan Organisasi ODHA
Industri Nasional
Pengendalian Pengabdian Profesi Pengabdian Profesi Penyediaan Darah Kebijakan AIDS di Kebijakan Penerapan
Narkotika Aman Dunia Kerja MIPA
n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi n Pencegahan bagi
pegawai dan keluarga anggota dan keluarga anggota dan keluarga pegawai dan keluarga anggota dan keluarga anggota dan keluarga
n Koordinasi n Program peningkatan n Program peningkatan n Kebijakan penyediaan n Program HIV dan AIDS di n Program Pemberdayaan
penanggulangan kemampuan dokter kepedulian dan darah dan produk darah dunia kerja ODHA dan OHIDA
HIV dan AIDS pada dalam penanganan HIV kemampuan ahli yang aman n Mobilisasi dana n Program Pendampingan
pengguna NAPZA dan AIDS. kesehatan masyarakat n Program peningkatan n Peningkatan lingkungan ODHA dan OHIDA
n Pelaksanaan program n Program riset HIV tentang HIV dan AIDS pelayanan UTD yang kondusif n Monitoring dan
pengurangan dampak dan AIDS (termasuk n Program riset HIV (termasuk penguatan umpan balik
buruk NAPZA pengkajian kebijakan dan AIDS dan kajian jejaring untuk pelaksanaan program
n Peningkatan lingkungan untuk peran profesi kebijakan publik yang penemuan kasus) penanggulangan AIDS
yang kondusif yang semakin kondusif ) effektif dalam program n Peningkatan lingkungan (termasuk melakukan
n Peningkatan lingkungan penanggulangan AIDS yang kondusif kajian dan memberikan
yang kondusif n Peningkatan lingkungan usulan perbaikan
yang kondusif program)
n Peningkatan lingkungan
yang kondusif
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
LAMPIRAN 2:
LAMPIRAN
133
LAMPIRAN
134
No Logframe Indikator Sub- Baseline Source 2015 2016 2017 2018 2019 Means Of Catatan
Populasi Verification
Tujuan Umum
1. Mencegah dan Jumlah infeksi baru 65,441 ICA 2014, 62,647 55,559 50,475 45,578 40,891 AIDS Epidemic
mengurangi AEM 2014 Model (AEM)
penularan HIV
% infeksi menular WPSL 36 IBBS 2011 32 29 25 22 18 STBP Pencegahan
seksual GO
WPSTL 15 IBBS 2011 13 12 10 9 8 STBP Pencegahan
GO
24 IBBS 2011 22 19 17 14 12 STBP Pencegahan
GO
2. Meningkatkan kualitas
hidup ODHA
3. Mengurangi dampak
sosial ekonomi
epidemi HIV pada
perorangan, keluarga
dan masyarakat
Tujuan Khusus
1. Menyediakan Pop. kunci WPSL 51 ICA 2014 57 63 68 74 80 STBP
Pencegahan HIV yang terjangkau
WPSTL 20 ICA 2014 28 36 44 52 60 STBP
efektif untuk semua program
populasi kunci pencegahan yang Penasun 50 ICA 2014 56 62 68 74 80 STBP
komprehensif dan LSL 20 ICA 2014 28 36 44 52 60 STBP
efektif
Waria 30 ICA 2014 38 46 54 62 70 STBP
Semua 34 41 48 56 63 70 STBP
Populasi
Kunci
No Logframe Indikator Sub- Baseline Source 2015 2016 2017 2018 2019 Means Of Catatan
Populasi Verification
Tujuan Khusus
Perubahan perilaku WPSL 62 ICA 2014 66 70 73 77 80 STBP Penggunaan
untuk pencegahan kondom
penularan HIV
WPSTL 62 ICA 2014 66 70 73 77 80 STBP Penggunaan
tercapai
kondom
LSL 60 ICA 2014 64 68 72 76 80 STBP Penggunaan
kondom
Waria 75 ICA 2014 76 77 78 79 80 STBP
Semua 61,3 68 71 74 77 80 STBP
Populasi
Kunci
(PMTS)
Penasun 30 ICA 2014 27 24 20 17 14 STBP % berbagi alat
suntik
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
LAMPIRAN
135
LAMPIRAN
136
No Logframe Indikator Sub- Baseline Source 2015 2016 2017 2018 2019 Means Of Catatan
Populasi Verification
Tujuan Khusus
2. Menyediakan Cakupan WPSL 3,1 ICA 2014 23 30 38 45 53 Laporan CD4 semua
layanan pengobatan, pengobatan program & AEM
perawatan, dan ARV meningkat
WPSTL 3,8 ICA 2014 15 21 27 33 39 Laporan CD4 semua
dukungan yang dari orang yang
program & AEM
berkualitas, yang memenuhi syarat
mudah diakses, pengobatan Pelanggan 19 ICA 2014 26 31 36 40 45 Laporan CD4 350
terjangkau dan ramah WPS program & AEM
pada pasien LSL - risiko 4,2 ICA 2014 18 24 31 37 43 Laporan CD4 semua
tinggi program & AEM
LSL - risiko 5,5 ICA 2014 7 9 11 14 16 Laporan CD4 semua
rendah program & AEM
Waria 5,7 ICA 2014 24 32 39 47 54 Laporan CD4 semua
program & AEM
Penasun 5,8 ICA 2014 19 25 31 37 43 Laporan CD4 semua
program & AEM
Semua 6,7 19 25 30 36 42
Populasi
Kunci
Perempuan 21,4 ICA 2014 28 32 37 41 46 Laporan CD4 350
risiko lbh program & AEM
rendah
LAMPIRAN 3:
LAMPIRAN
tahun mendatang
2. LKB/ PMTS Medium: mengasumsikan pelaksanaan LKB/ PMTS dengan
tingkat kinerja medium
3. LKB/ PMTS High: mengasumsikan pelaksanaan LKB/ PMTS dengan tingkat 137
kinerja tinggi
4. LKB/ PMTS 75 Kabupaten/ Kota SUFA Kinerja Tinggi ditambah 66 Kabupaten
Kinerja Medium: mengasumsikan pelaksanaan LKB/ PMTS dengan tingkat kinerja
tinggi pada 75 kabupaten/ kota SUFA, dan 66 kabupaten/ kota prioritas lainnya
dengan kinerja medium (daftar kabupaten/ kota ada di lampiran 4)
Mengasumsikan pada Tahun 2020 Tingkat Cakupan dan Efektivitas Komponen
Program Pencegahan selain Pengobatan ARV di Non Papua (angka adalah
persentasi)
LAMPIRAN
Kabupaten/ Kota Dukungan GF Non LKB 60 0 0 0
Kabupaten/ Kota Non Dukungan GF 40 40 40 40
Bobot Total 100 100 100
Kualitas Program Dibandingkan Praktik Terbaik
139
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Tinggi 100 - 100 100
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Medium 75 75 - 75
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Rendah 50 - - -
Kabupaten/ Kota Dukungan GF Non LKB 25 - - -
Kabupaten/ Kota Non Dukungan GF 5 5 5 5
Programme Coverage by 2020
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Tinggi Tidak ada - 80 80
perubahan -
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Medium 75 - 75
sama dengan
Kabupaten/ Kota LKB Kinerja Rendah situasi th - - -
2013
Kabupaten/ Kota Dukungan GF Non LKB - - -
Kabupaten/ Kota Non Dukungan GF 40 40 40
Capaian Cakupan Tahun 2020
WPSL 45 52.5 59.4 56.9
WPSTL 47 53.5 59.9 57.6
Cakupan WPSL Tahun 2020
Penggunaan Kondom 60 67 73 71
Prevalensi IMS (Gonorrhea) 17.4 15.5 13.8 14.4
IFSW-related Results by 2020
Penggunaan Kondom 60 67 73 71
Prevalensi IMS (Gonorrhea) 17.4 13.6 10.7 11.7
Keterangan:
Skenario ini adalah untuk melihat seberapa luas sebenarnya cakupan untuk fokus
pada populasi kunci di kabupaten/ kota dukungan GF. Contoh: untuk menjangkau
80% populasi kunci di kabupaten/ kota dukungan GF, yang mana ini merupakan
bagian dari Indonesia, sehingga sebenarnya cakupannya bukanlah 80%, karena
kabupaten/ kota dukungan GF hanyalah sebagian dari total kabupaten/ kota yang
ada di Indonesia.
Contoh: Disebutkan bahwa target adalah untuk menjangkau 80% daerah dengan
dukungan GF, sehingga cakupan yang sebenarnya di Indonesia adalah:
Berdasarkan data estimasi, jumlah populasi kunci yang berada di daerah dukungan
GF adalah 60% dari total ODHA di Indonesia, sehingga bobot untuk kabupaten/ kota
dukungan GF adalah 60% dan non GF adalah 40%.
LAMPIRAN
80% (cakupan program) x 60% (bobot dari area program) = 48% (cakupuan untuk
140 seluruh wilayah Indonesia)
a. Baseline (Kondisi saat ini), kondisi saat ini adalah ada daerah GF-non LKB dan
daerah non GF, bobotnya adalah 60% untuk daerah dukungan GF dan 40% untuk
non GF.
c. LKB Kinerja Rendah, LKB di daerah dukungan GF berada pada kinerja rendah,
daerah dibagi menjadi dua: GF dan non GF, bobot masih sama dengan skenario di
atas.
d. LKB Kinerja Medium, LKB di daerah dukungan GF berada pada kinerja medium,
daerah dibagi menjadi dua: GF dan non GF, bobot masih sama dengan skenario di
atas.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
e. LKB Kinerja Tinggi, LKB di daerah dukungan GF berada pada kinerja tinggi,
daerah dibagi menjadi dua: GF dan non GF, bobot masih sama dengan skenario di
atas.
LAMPIRAN
b) Skenario tertinggi adalah LKB Performa Tinggi, diasumsikan implementasi
program LKB, SUFA, dan lainnya ditingkatkan di 141 kabupaten/kota dengan
cakupan pencegahan pada populasi kunci sebesar 80% dan 60% cakupan
pengobatan pada tahun 2020 (dengan 75% efektifitas pengobatan). 141
Contoh: Pada WPS cakupan saat ini adalah 50%, penggunaan kondom 60%, dan IMS
30%. Jika cakupan ditingkatkan dari 50% menjadi 80%, seberapa besarkah peningkatan
untuk penggunaan kondom? Dan berapa persen penurunan IMS?
Data dari hasil praktik terbaik akan digunakan dalam kasus ini (hasil penelitian atau
hasil program di daerah tertentu dengan hasil terbaik). Indonesia belum memilikinya
inilah sebabnya data Thailand lah yang kita gunakan. Berdasarkan praktik terbaik di
Thailand, disebutkan bila cakupan di kalangan WPS adalah 80%, penggunaan kondom
80% dan IMS 10%.
Dengan dasar ini, masing-masing skenario tidak akan memiliki kualitas yang sama
(karena kita memiliki daerah dengan kinerja rendah, medium dan tinggi), seberapa
besar perbedaannya dengan praktik terbaik? Ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Baseline (Kondisi saat ini), karena merupakan kondisi yang terjadi saat ini,
cakupannya tidak berubah, itulah sebabnya tidak ada nilai yang tercantum pada
tabel.
c. LKB Kinerja Rendah, untuk daerah dukungan GF, konsensus perubahan dalam
LAMPIRAN
penggunaan kondom dan IMS di kalangan WPS adalah 50% jika dibandingkan
dengan perubahan praktik terbaik, untuk daerah non GF adalah 5%.
142 d. LKB Kinerja Medium, untuk daerah dukungan GF, konsensus perubahan dalam
penggunaan kondom dan IMS di kalangan WPS adalah 75% jika dibandingkan
dengan perubahan praktik terbaik, untuk daerah non GF adalah 5%.
e. LKB Kinerja Tinggi, untuk daerah dukungan GF, konsensus perubahan dalam
penggunaan kondom dan IMS di kalangan WPS adalah sama dengan perubahan
praktik terbaik (100%) dan daerah non GF adalah 5%.
Dasar ini memperhitungkan seberapa besarkah cakupan yang dapat dicapai pada
tahun 2020?
a. Baseline (Kondisi saat ini), karena merupakan kondisi yang terjadi saat ini, cakupan
tidak mengalami perubahan.
b. GF Non LKB, untuk daerah dukungan GF konsensus cakupan adalah 65% pada
tahun 2020, untuk daerah non GF 40%.
c. LKB Kinerja Rendah, untuk daerah GF konsensus adalah cakupan yang akan
dicapai 70% pada tahun 2020, untuk daerah non GF adalah 40%.
d. LKB Kinerja Medium, untuk daerah GF konsensus adalah cakupan yang akan
dicapai 75% pada tahun 2020, untuk daerah non GF adalah 40%.
e. LKB Kinerja Tinggi, untuk daerah GF konsensus adalah cakupan yang akan
dicapai 80% pada tahun 2020, untuk daerah non GF adalah 40%.
LAMPIRAN
f. LKB Kinerja Tinggi di Semua Kabupaten/ Kota, konsensus adalah cakupan
yang akan dicapai adalah 80% pada tahun 2020.
143
LAMPIRAN
144
Mengasumsikan pada Tahun 2020 Tingkat Cakupan dan Efektivitas Pengobatan
ARV di Non Papua (angka adalah persentasi untuk tingkat nasional)
LAMPIRAN 4:
LAMPIRAN
11. Kota Bogor. 24. Kota Surakarta. 37. Kota Manado.
12. Kota Depok. 25. Kota Yogyakarta 36. Banjarmasin Cit
13. Kota Bandung. 26. Malang. 37. Kota Manado.
145
LAMPIRAN 5:
PMTS n Target SRAN 2010-2014 untuk PMTS adalah 80% WPS dijangkau
program yang efektif, dan 60% dari populasi ini berperilaku aman
terkait penularan HIV.
LAMPIRAN
kabupaten/ kota dan provinsi prioritas dikarenakan beban penyakit
yang tinggi.
PPIA n Target SRAN untuk program PPIA adalah 100% ibu hamil
yang diketahui HIV positif, menerima pengobatan ARV, untuk
menghapuskan penularan dari ibu ke bayinya; 100% bayi yang lahir
dari ibu yang HIV positif menerima pengobatan ARV.
LAMPIRAN
penularan HIV dari ibu ke bayinya.
Mitigasi n HIV memiliki dampak sosial yang besar pada masyarakat. Namun
Dampak demikian, upaya untuk mengukur dampak khusus HIV pada
penduduk dan menggunakan informasi untuk memformulasi
kebijakan dan program mitigasi dampak masih sangat terbatas di
Indonesia.
LAMPIRAN
n Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sejak awal
tahun 2014 akan mencakup perawatan kesehatan, kecelakaan
kerja, kematian dan pensiun untuk semua orang. ARV akan terus
disediakan oleh Kementerian Kesehatan di luar sistem jaminan 151
sosial. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, pada akhir tahun
2019 seluruh penduduk akan sudah tercakup.
Kemitraan n Kemitraan telah menjadi simbol dari upaya HIV dan AIDS, berada
dalam tugas koordinasi dan pengelolaan KPAN. Kemitraan antara
sektor pemerintah dan masyarakat sipil beriringan dengan
kemitraan komunitas internasional, donor, dan penyedia dukungan
teknis, seperti badan PBB untuk organisasi non pemerintah
bertaraf internasional. Sumbangan Global Fund dan pemerintah
Australia, Inggris dan Amerika Serikat serta dukungan teknis dari
badan PBB telah diarahkan untuk mengembangkan kapasitas dan
keterampilan di Indonesia dalam rangka penanggulangan HIV dan
AIDS.
LAMPIRAN
LAMPIRAN
153
LAMPIRAN
154
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
LAMPIRAN 6:
Peraturan Perundangan
yang Mendukung Program
Penanggulangan HIV dan AIDS
TAHUN PERKEMBANGAN KEBIJAKAN HIV DAN AIDS
2006 n Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (Peraturan
Presiden Republik Indonesia nomor 75 tahun 2006) - Menyangkut
kelembagaan di nasional dan daerah.
LAMPIRAN
2007).
2010 n Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS
Tahun 2010-2014 (Peraturan Menteri Koordinator Kesejahteraan
Rakyat nomor 8 tahun 2010).
156
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Berikut ini adalah kebijakan nasional penanggulangan HIV dan AIDS dari berbagai
kementerian dan lembaga:
2. Mahkamah Agung
1) Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 7 tahun 2009 tentang Penempatan
LAMPIRAN
Pemakai Narkoba ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.
2) Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2010 tentang Penempatan
Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam
Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. 157
3) Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 3 tahun 2011 tentang Penempatan
Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan
Rehabilitasi Sosial.
4. Kementerian Kesehatan
Sebagai sektor utama pelaksana program pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS berbagai kebijakan telah dikeluarkan yang dikategorikan sebagai berikut:
LAMPIRAN
Puskesmas.
16) Kepmenkes nomor 350 tahun 2008 tentang Penetapan Rumah Sakit Pengampu
dan Satelit Program Terapi Rumatan Metadon serta Pedoman Program Terapi
Rumatan Metadon. 159
17) Permenkes nomor 269 tahun 2009 tentang rekam medis.
18) Permenkes nomor 658 tahun 2009 tentang Jejaring Laboratorium Diagnosis
Penyakit Infeksi New-Emerging dan Re-Emerging.
19) Kepmenkes nomor 60 tahun 2009 tentang Tim Pelatih Konseling dan Testing
HIV/AIDS secara Sukarela (VCT).
20) Kepmenkes nomor 364 tahun 2009 tentang Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis (TB).
21) Kepmenkes nomor 374 tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Nasional.
22) Kepmenkes nomor 1278 tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi
Pengendalian Penyakit TB dan HIV.
23) Pedoman Nasional Pemeriksaan Laboratorium mendukung Sistem
Kewaspadaan Dini dan Respons, Depkes RI, 2009.
24) Permenkes nomor 2 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.
25) Permenkes nomor 2 tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik
Perawat.
26) Permenkes nomor 340 tahun 2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit.
27) Permenkes nomor 411 tahun 2010 tentang Laboratorium Klinik.
28) Permenkes nomor 1190 tahun 2010 tentang Izin Edar Alat Kesehatan dan
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.
29) Permenkes nomor 1438 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran.
30) Permenkes nomor 1464 tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Bidan.
31) Kepmenkes nomor 422tahun 2010 tentang Pedoman Penatalaksanaan Medik
Gangguan Pengguna Napza.
32) Kepmenkes nomor 908 tahun 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Keperawatan Keluarga.
33) Pedoman Tes HIV dan Konseling Terintegrasi di Layanan Kesehatan (2010).
34) Permenkes nomor 28 tahun 2011 tentang Klinik.
35) Permenkes nomor 1097 tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Pelayanan
Kesehatan Dasar Jamkesmas.
36) Permenkes nomor 1171 tahun 2011 tentang Sistem Informasi Rumah Sakit.
37) Permenkes nomor 1691 tahun 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
38) Permenkes nomor 2052 tahun 2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran.
39) Permenkes nomor 2406 tahun2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik.
40) Permenkes nomor 2415 tahun 2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu,
LAMPIRAN
LAMPIRAN
Pecandu Narkotika.
4) Pedoman Eliminasi Stigma dan Diskriminasi (2012).
7. Kementerian Sosial
1) Permensos nomor 56 tahun 2009 tentang Pelayanan Rehabilitasi.
2) Permensos nomor 3 tahun 2012 tentangStandar Lembaga Rehabilitasi Korban
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya.
3) Permensos nomor 26 tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Korban
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya.
4) Kepmensos nomor 31 tahun 2012 tentang Penunjukan Lembaga Rehabilitasi
Sosial Korban Penyalahgunaan Napza sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
9. Kementerian Agama
1) Kesepakatan Bersama Menkes; Mendagri; Mendikbud;Menteri Sosial dan
Menteri Agama nomor 7 tahun 2012 tentang Peningkatan Pengetahuan
Komprehensif HIV dan AIDS pada Penduduk Usia 15 sampai dengan 24 tahun.
LAMPIRAN
1) Permeneg PP dan PA nomor 9 tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan
Penganggaran dalam Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS yang
Responsif Gender.
2) Permeneg PP dan PA nomor 2 tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak 163
Korban Kekerasan.
3) Permeneg PP dan PA nomor 5 tahun 2011 tentang Kebijakan Pemenuhan Hak
Pendidikan Anak.
4) Permeneg PP dan PA nomor 7 tahun 2011 tentang Kebijakan Peningkatan
Ketahanan Keluarga Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus.
14. Bappenas
1) Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional nomor 19 tahun 2009 tentang
Pembentukan Forum Perencanaan dan Penganggaran Penanggulangan HIV
dan AIDS.
16. Lain-lain
1) Komunikasi Efektif Dokter-Pasien, Konsil Kedokteran Indonesia, 2006.
2) Keputusan KKI nomor 18 tahun 2006 tentang Buku Penyelenggaraan Praktik
Kedokteran yang Baik di Indonesia.
3) Keputusan KKI nomor 21A tahun 2006 tentang Pengesahan Standar Kompetensi
LAMPIRAN
Dokter.
4) SK PB IDI nomor 221 tahun 2002 tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran
Indonesia (Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode
164 Etik Kedokteran Indonesia; MKEK IDI).
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Daftar Pustaka
LAMPIRAN
n BKKBN. (2013). Pencegahan Masalah Kesehatan Reproduksi, Kumpulan Booklet
Materi KIE (Intervention in Reproductive Health).
n BKKBN. (2013). Petunjuk Pelaksanaan Peningkatan Pemakaian Kondom Dual
Proteksi.
n BKKBN. (2013). Siklus Hidup Kesehatan Reproduksi Manusia, Panduang Materi 165
Pengelola Programme KB.
n BPS, Kemenkes, BKKBN, Measure DHS ICF International. (2012). Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia.
n Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. (2008). Riset Kesehatan Dasar: Laporan Nasional 2007.
n Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu-Anak, Direktorat Bina Kesehatan
Ibu, Kementerian Kesehatan. (2013). Rencana Aksi PPIA Tahun 2013-2017.
n Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. (2012). Laporan NASA.
n Gambit Praptoraharjo, K. N. (2013). A Review of Needles and Syringes Programmes
in Indonesia. KPAN, UNODC, UNDP.
n GFATM. (2013). Laying the groundwork: Preparing for the New Funding Model.
n Hirnschall, G. (2013). 2013 WHO Consolidated ARV Guidelines, Summary of Major
Recommendations and Estimated Impact.
n Ikatan Perempuan Positif Indonesia. (2013). Kasus Kekerasan terhadap Perempuan
dengan HIV & AIDS di 3 Provinsi.
n Ikatan Perempuan Positif Indonesia. (2011). Kualitas dan Rekomendasi Perbaikan
Layanan PPIA bagi Perempuan terinfeksi HIV di 4 kota di Indonesia.
n Ikatan Perempuan Positif Indonesia. (2010). Kualitas dan Rekomendasi Perbaikan
Layanan PPIA bagi perempuan terinfeksi HIV di Empat kota di Indonesia.
n Ikatan Praktisi Intervensi Perubahan Perilaku Indonesia/IPIPPI. (2013). Laporan
Pemetaan 10 Kabupaten/Kota untuk Percepatan Pencegahan Melalui Transmisi
Seksual (PMTS) Paripurna.
n Institusi Angsamerah. (2013). Laporan Kegiatan Evaluasi Capaian Programme HIV
pada GWL di Indonesia, 10 provinsi prioritas tahun 2010-2014.
n Jeffrey Grierson, S. M. (2012). Networks of MSM in Indonesia: a 2-mode study of
MSM and sites of engagement.
n Kementerian Dalam Negeri. (n.d.). Peraturan Nomor 19 tahun 2011.
n Kementerian Dalam Negeri. (2011). Pelayanan Sosial Terpadu di Tingkat Daerah,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19.
n Kementerian Dalam Negeri. (2014). Peraturan Daerah Nomor 6.
n Kementerian Dalam Negeri. (2014). Peraturan Daerah, Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 4.
n Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Pemasyarakatan. (2010).
Prevalensi HIV dan Sifilis dan Studi Perilaku Berisiko pada Narapidana di Lapas dan
Pusat Penahanan di Indonesia.
n Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Pemasyarakatan. (2012).
Prevalensi HIV dan Sifilis dan Studi Perilaku Berisiko pada Narapidana di Lapas dan
Pusat Penahanan di Indonesia.
LAMPIRAN
LAMPIRAN
AIDS Nasional.
n KPAN. (2012). Hasil Survei Terpadu HIV dan AIDS dan Perilaku TNI 2012.
n KPAN. (2012). Perencanaan Bersama Menuju 2013-2014: Kemitraan dalam
Implementasi Program HIV dan AIDS. 167
n KPAN. (2012). Rencana Aksi AIDS Nasional: Untuk Remaja Berisiko Usia 15-24.
n KPAN. (2013). Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS
pada GWL 2010-2014.
n KPAN. (2013). Perkembangan Epidemi HIV pada Populasi Kunci di Indonesia.
n KPAN. (2013). Pertemuan Konsultasi Nasional Kajian Paruh Waktu Strategi dan
Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014.
n KPAN. (2013). Pertemuan Konsultasi Nasional tingkat Provinsi Kajian Paruh Waktu
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014.
n KPAN. (2013). Populasi Kunci Remaja dan Akses Mereka ke Layanan HIV, Penilaian
Formatif di 9 Lokasi di Indonesia.
n KPAN. (2013, November 8). Kajian Paruh Waktu Strategi dan Rencana Aksi Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014.
n KPAN. (2013). Laporan KPAN untuk Global Fund sampai dengan Juni 2013.
n KPAN. (2013). Perkembangan Cakupan Programme Penanggulangan HIV dan AIDS
terhadap Populasi Kunci sampai dengan Desember 2012.
n KPAN. (2013). Deklarasi PBB terkait HIV dan AIDS 2011, Laporan Kajian Paruh Waktu
10 Target di Indonesia.
n KPAN, AusAID. (2013). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pengobatan
ARV pada ODHA di Indonesia.
n KPAN, Kementerian Kesehatan, UNAIDS, UNICEF, WHO. (2012). Road Map to reduce
HIV-related morbidity and mortality and maximize the prevention benefits of
scalling-up access to ARVs: Rapid Scalling-up of HIV Testing and Treatment in High
Burden Districts 2013-2015.
n KPAN, Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (2011). Survei Manajemen
Rantai Pasokan Kondom dan Pelicin.
n KPAN, UNICEF. (2011). Populasi Kunci Remaja dan Akses Mereka ke Layanan HIV,
Penilaian Formatif di 9 Lokasi di Indonesia.
n KPAN, UNAIDS. (2012). Ringkasan Visi dan Misi Jaringan Nasional Populasi Berisiko.
n KPAN, UNAIDS. (2012). Briefing Note: Respon Masyarakat terhadap HIV dan AIDS .
n KPAN, UNAIDS. (2012). Ringkasan Penggagas dan Kelompok Dukungan untuk
ODHA.
n KPAN, UNAIDS, WHO, UNICEF, AusAID. (2013). Joint Assessment of National Men
who have Sex with Men & Transgender People Programme.
n KPAP Bali. (2013). Survei Perilaku dan Kepuasan Layanan Program Pencegahan HIV.
n Nadia, S. (n.d.). Strategi untuk Mengurangi Kecacatan dan Kematian ODHA dan
Peningkatan Keuntungan Pencegahan ARV.
n Nahdatul Ulama (NU). Laporan NU (PR) untuk Global Funds sampai dengan Juni
LAMPIRAN
2013.
n Pemerintah Kota Bandung, KPAK Bandung. (2012). Buku Pedoman Pembentukan
Forum Warga Peduli AIDS Tingkat Kecamatan dan Kelurahan Kota Bandung
(Guidelines to establish Community Based Care for AIDS). Bandung.
168 n Pemerintah Kota Bandung, KPAK Bandung. (2012-2016). Rencana Strategis
Penanggulangan HIV AIDS Kota Bandung. Bandung.
n Octavery Kamil, I. I. (2011). Analisis Perlindungan Sosial HIV di Indonesia. Universitas
Kristen Atma Jaya, Pusat Penelitian HIV dan AIDS .
n Partha Muliawan, K. T. (2011). Concurrent Seksual Partnership pada Pelanggan
Pekerja Seks Perempuan di Bali. YKP, PS IKM Universitas Udayana, KPAN, HCPI.
n Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). (2013). Laporan PKBI (PR) untuk
Global Funds sampai dengan Juni 2013.
n Peter Heywood, M. B. (2013). Institutiontal Analysis of HIV Control Programme in
Indonesia. KPAN, HCPI/AusAID.
n Puskesmas Tebet, Jakarta Selatan. (2013). Data Program HIV dan AIDS di Puskesmas
Tebet, Jakarta Selatan.
n Preble, E. A. (2011). Penilaian PPIA di Jakarta and Tanah Papua Indonesia. UNICEF.
n Preble, E. A. (2012). Penilaian PPIA di Jakarta and Tanah Papua Indonesia. UNICEF.
n Presentasi Direktur Bina Kesehatan dan Perawatan Ditjen PAS Dalam Rangka
Evaluasi Program HCPI. (2011).
n Putu Aryani, P. C. (2012). Fisibilitas Pelaksanaan Program Tes and Pengobatan pada
Pekerja Seks Perempuan di Bali.
n Riset Kesehatan Dasar 2010. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
LAMPIRAN
n UNAIDS. (2013). Treatment 2015.
n UNAIDS, WHO. (July 2012). Country Ownership for a Sustainable AIDS Response:
from Principles to Practice.
n UNDP. (2011). Socio-Economic Impact of HIV at the Household Level in Asia: a
Regional Analysis of the Impact on Women adn Girls. 169
n UNDP. (2011). The Socio-Economic Impact of HIV at the Household Level in Asia: A
Regional Analysis of the Impact on Women and Girls.
n UNFPA, PEPFAR, UNDP, GF, MEASURE Evaluation, ICASO. (2013). Operational
Guidelines for Monitoring and Evaluation of HIV Programme for Sex Workers, Men
who have Sex with Men and Transgender People. Volume: National and Sub-
National Levels.
n United Nations. (2013). United Nations General Assembly Political Declaration on
HIV/AIDS.
n Universitas Indonesia, Pusat Penelitian Jender dan Seksualitas. (2013). Analisis
Situasi Keterkaitan Layanan Kespro-HIV di Kota Jayapura and Merauke.
n Universitas Padjadjaran, Pokja HIV, Research & Community Service Laboratory.
(2013). Hambatan, Tantangan dan Praktik Baik dalam Menawarkan Pengobatan
Antiretroviral.
n WHO, Kementerian Kesehatan. (2011). External Review on Opioid Substitution
Therapy Implementation in Indonesia .
n WHO, UNAIDS, UNODC. (2004). Evidence for action on HIV/AIDS and injecting drug
use. Policy Brief: Antiretroviral Therapy and Injecting Drug Users.
n WHO, UNAIDS, UNODC. (2004). Evidence for action on HIV/AIDS and injecting
drug use. Policy Brief: Provision of Sterile Injecting Equipment to Reduce HIV
Transmission.
n WHO, UNAIDS, UNODC. (n.d.). Evidence for action on HIV/AIDS and injecting drug
use. Policy Brief: Reduction of HIV Transmission in Prison. 2004 .
n WHO, UNAIDS, UNODC. (2004). Evidence for action on HIV/AIDS and injecting
drug use. Policy Brief: Reduction of HIV Transmission through Drug-Dependence
Treatment.
n WHO, UNAIDS, UNODC. (2004). Evidence for action on HIV/AIDS and injecting drug
use. Policy Brief: Reduction of HIV Transmission through Outreach.
n www.aidsdatahub.org
n Zulbahary, T. (2012). Menuju Penanggulangan AIDS yang Responsif Gender: Kajian
atas Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2010-2014. KPAN, Pokja Jender.
LAMPIRAN
170
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
LAMPIRAN
171
SUMBER DAYA DAN PENDANAAN
172
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
174
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA