Anda di halaman 1dari 139

Seven Legend’s (Chapter 

1)
October 4, 2014 btsff_indonesia42 Comments

Title                 : Seven Legend’s (Chapter 1)

Author             : Jung Ri Young

Cast                 : BTS All Member

Genre              : Family, Brothership

Rating             : G

Length             : Chaptered

Disclaimer       : BTS belong to BigHit, parents and God

Special poster by Imjustagirls

Ini adalah sebuah kisah klasik. Sebuah kisah mengenai sisi lain kehidupan makhluk-makhluk
dunia atas. Kehidupan yang telah lama dianggap tabu oleh sebagian besar umat manusia. Namun,
siapa sangka kehidupan itu ada? Kehidupan itu nyata, bahkan rasa sakitpun bisa dengan mudah
mereka rasakan.

Tujuh bersaudara

Tujuh kesatria

Tujuh anak raja

Penguasa negeri langit tentu membutuhkan keturunan sebagai penerus tahta singgasananya.
Keturunan laki-laki. Ya, raja negeri langit membutuhkan anak laki-laki. Dan betapa besar
kekuasaan seorang raja. Dari seorang istri dan empat selirnya, seluruhnya melahirkan putra.
Putra-putra tangguh yang menunggu waktu untuk menerima tahta.

*____*

4 Desember 1992

Negeri langit bergembira. Untuk pertama kali, permaisuri melahirkan seorang putra. Putra
pertama dari kerajaan langit yang digadang sebagai calon raja selanjutnya. Dialah Kim Seokjin.
Putra mahkota yang tumbuh menjadi pemuda nyaris sempurna. Tampan, lembut dan tenang.
Seokjin adalah tipe seorang lelaki penyayang. Ia sangat peduli terhadap kelangsungan hidup
rakyatnya. Tak heran jika Seokjin sering terlihat di rumah-rumah penduduk. Melihat langsung
bagaimana kehidupan di luar istana. Bahkan ia tak segan membantu rakyat yang kekurangan. Itu
sebabnya ia mendapat begitu banyak cinta di negerinya. Semua berharap ialah yang akan
meneruskan tahta kerajaan langit kelak.

9 Maret 1993

Min Yoongi. Putra raja dari seorang selir istana. Kelahirannya cukup menggegerkan negeri langit
karena saat itu euforia atas kelahiran putra pertama belum mereda. Hanya terpaut beberapa bulan
dengan Kim Seokjin. Yoongi adalah bayi beruntung yang kelahirannya mendapat pengakuan
oleh raja. Ia ditetapkan sebagai putra sah kerajaan. Itu artinya ia memiliki kesempatan yang sama
dengan Seokjin –saudara tirinya- untuk mendapatkan tahta. Yoongi bermulut pedas. Ia selalu
bicara sesuai apa yang ia pikirkan. Namun, jangan mengira dia jahat. Hanya saja, ia tak mampu
menyembunyikan perasaannya. Terlalu jujur dan tak suka berbasa-basi.

18 Februari 1994
Satu tahun setelah kelahiran Yoongi, raja mengumumkan putra sah dari selirnya yang lain.
Dialah Jung Hoseok. Seorang anak yang tumbuh menjadi lelaki ceria. Seorang putra mahkota
yang tak pernah segan berbagi kebahagiaan dengan siapa saja. Sering kali, ia menjadi pemecah
kekakuan hubungan Seokjin dan Yoongi. Ia mendapat banyak cinta dari kedua kakaknya.
Terlebih, karena sifat easy goingnya itu.

12 September 1994

Seokjin pantas berbahagia. Hidup bersama dua saudara tiri pasti terasa sangat berat –walaupun ia
belum merasakan kala itu-. Setelah dua tahun kelahirannya, sang ibu memberinya seorang adik.
Adik laki-laki yang tumbuh sebagai pemuda tangguh. Kim Namjoon. Putra kedua dari
permaisuri itu memiliki sifat sangat berbeda dengan kakaknya. Jika Seokjin sering terlihat dalam
kegiatan sosial, Namjoon akan dengan mudah ditemukan di antara kerumunan balap kuda.

13 Oktober 1995
Satu tahun berlalu. Kembali selir kerajaan mendapat kehormatan karena putra yang dilahirkan di
angkat sebagai putra sah raja. Seorang anak bermata kecil yang tumbuh menjadi lelaki
berkekuatan di atas rata-rata. Mereka memanggilnya Park Jimin. Kesadarannya sebagai putra
seorang selir membuat sifat angkuh jauh dari dirinya. Ia seorang penurut. Sangat menghormati
kakak-kakaknya. Dan yang pasti, Jimin seorang penyayang yang tak akan tega membiarkan
seekor semut mati terinjak. Tidak akan.

30 Desember 1995

Tak mau ketinggalan, pada tahun itu permaisuri juga melahirkan putra untuk sang raja. Putra
bungsu yang menjadi kesayangan istana kerajaan langit. Kim Taehyung, ia memiliki visual
segarang Namjoon. Tetapi, hati Taehyung tak berbeda dengan kakak pertamanya, Seokjin. Di
balik wajah sangarnya, ia hanyalah seorang anak yang sangat polos. Siapapun akan tergerak
untuk melindunginya jika sudah mengenal Taehyung. Tak heran jika Seokjin sangat
menyayanginya.
1 September 1997

Mereka salah. Yah, negeri langit salah jika mengira Taehyung adalah putra bungsu raja. Tak
disangka, dua tahun setelah kelahiran putra dari permaisuri itu, seorang selir melahirkan putra
bernama Jeon Jungkook. Jungkook tumbuh begitu cepat. Bahkan di usianya yang masih tujuh
belas tahun, ia sudah lebih tinggi dari sebagian kakak-kakaknya –Yoongi, Jimin, dan Taehyung-
Tak hanya tubuhnya yang cepat tumbuh, pemikiran Jungkook juga tak seperti anak seusianya.
Bahkan menurut Yoongi, Jungkook telah dewasa sebelum waktunya.

Mereka bertujuh. Mereka hidup bersama layaknya saudara kandung di dalam istana. Tak pernah
ada yang mempermasalahkan siapa saudara siapa, siapa anak siapa. Yang mereka tahu, mereka
bertujuh adalah satu keluarga utuh yang memiliki ayah ibu yang menyayangi mereka.

Raja dan Ratu tak pernah membedakan ketujuhnya. Hingga suatu saat, ketika seseorang di antara
mereka telah memasuki masa di mana seharusnya sudah mengikuti pelatihan khusus sebagai
calon penerus tahta, sang Raja mengalami dilema. Penguasa negeri langit itu bimbang memilih
salah satu di antara mereka.

*_____*

“Anda tidak bisa memilih Kim Seokjin untuk menjadi raja selanjutnya, paduka. Maafkan saya.”
seorang penasehat istana menunduk kala mengucapkan kalimat itu. Terlihat jelas ia menyesal.

“Aku tahu. Aku sudah memikirkannya ribuan kali dan inilah yang membuat pikiranku terganggu,
Penasehat Lee.”
“Kenapa, Yang Mulia? Kenapa kau tak memberikan Seokjin kesempatan? Seokjin seorang Putra
Mahkota. Sudah sepantasnya ia yang mendapat tahta itu!” protes Permaisuri. Wanita itu tak
menyetujui usul Penasehat istana.

“Kau tahu benar apa alasannya.”

“Tapi…”

“Ini hanya akan menyakitinya. Ini terlalu memberatkannya. Tidakah kau merasa iba sebagai
seorang ibu?”

Permaisuri lantas bungkam atas penuturan suaminya. Matanya mulai berkaca-kaca. Sekuat
tenaga wanita itu menahan tangis ketika seorang putra mendekatinya.

“Ibu..” lelaki kecil itu berseru sambil memamerkan senyum lebarnya. “Ibu ayo keluar. Aku akan
menunjukkan hasil buruanku hari ini.” ucapnya semangat. Tak ketinggalan tangannya yang
menarik-narik tangan sang Ratu.

“Apa yang kau dapatkan hari ini nak? babi? rusa?” Ratu yang mengikuti putranya bertanya tak
kalah antusias.

“Singa! Aku mendapatkan seekor singa, ibu!” balasnya cepat.

“KIM TAEHYUNG DIMANA KAU????” tiba-tiba sebuah suara menggelegar dari luar istana.
Sudah bisa ditebak, itu adalah suara Namjoon. Taehyung yang merasa dirinya dipanggil hanya
diam membeku. Lantas memandang ibunya dengan wajah kosong.

“Kenapa, Tae?”

“……”

“Taehyung?”

“Aku…aku ketahuan hyung.” bisiknya. Raut mukanya mendadak pucat.

“Ketahuan? memangnya apa yang kau lakukan?”

Kembali Taehyung diam. Bola matanya mulai terlihat gelisah. Tanpa aba-aba, dia berlari
kencang menyusuri lorong istana. Meninggalkan ibunya yang mengerutkan alis.

“Hyuuuuung…”

Dengan cekatan ia membuka pintu kamar dan menutupnya kembali. Mengunci hingga ia benar-
benar yakin tak akan ada orang masuk dari luar. Taehyung melangkahkan kaki lebar-lebar.
Berjalan menghampiri kakaknya yang sedang tiduran membaca buku.
“Ada apa?” tanya sang kakak tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang sedang ia baca.

“Hyung..gawat…hyuung.”

“Apa yang gawat?”

“Namjoon hyung akan membunuhku!” balas Taehyung resah.

“Itu tidak akan terjadi.” jawab kakaknya tenang.

“Aku sungguh-sungguh, hyung. Dia sedang mencariku. Dia akan membunuhku sebentar lagi!”

“Jangan berlebihan.”

“Hyuuuung. Aku serius. Apa kau tega? Apa kau senang jika kelak aku tak ada?” sang kakak
memutar bola mata sambil menghembuskan nafas berat. Kemudian menurunkan buku yang
menutupi wajah untuk mengintip adik kecilnya.

“Kim Taehyung, Namjoon tidak sejahat itu. Bisakah kau buang semua pikiran-pikiran
negatifmu? Lagipula alasan apa yang membuatnya ingin membunuhmu, eoh?”

Taehyung diam, mencerna kata demi kata yang terucap dari bibir kakaknya. Tangannya sibuk
memainkan sprai kasur. Terlihat jelas ia masih gelisah.

“Hyung, lihat itu.” tunjuknya pada barisan senjata yang tergantung pada dinding kamar mereka.
Senjata khusus milik putra-putra istana yang hanya boleh digunakan pada saat-saat tertentu.
Semuanya lengkap. Semua berjejer rapi sesuai dengan urutan kepemilikan masing-masing.
Hingga pada barisan paling tengah, dimana senjata milik Namjoon berada, mata sang kakak
mendelik heboh.

“Taehyung??!” pekiknya.

Orang yang dipanggil hanya meringis kecut sambil mengusap tengkuknya sendiri.

“Seokjin hyung, sekarang kau tahu maksudku kan?”

Seokjin yang sedari tadi dibuat bingung oleh tingkah aneh Taehyung kini mengerti. Mengapa
adik kecilnya begitu ketakutan, mengapa adik kecilnya itu sangat khawatir hingga meminta
perlindungannya.

“Apa lagi yang kau lakukan dengan belati milik Namjoon?” tanya Seokjin.

“Aku..”

“Mm??”
“Aku hanya…meminjamnya.” Taehyung melirih. Matanya tak berani menatap Seokjin.

“Kim Taehyung.” Panggil Seokjin. Taehyung mendongak.

“Kau tahu itu tidak boleh.  Itu dilarang. Kau hanya bisa mengeluarkan senjata itu untuk berlatih
dengan orang-orang suruhan Ayah. Itupun pada waktu yang telah ditentukan. Mengapa kau tak
pernah mendengarkan?”

“Hyuung. Seokjin hyuuung. Apa Taehyung ada di dalam?” terdengar bunyi ketukan pintu yang
disusul dengan suara anak laki-laki. Taehyung kembali menegang. Ia meraih tangan Seokjin
dengan tatapan puppy eyes-nya. Memohon pada hyungnya agar dilindungi.

“Seokjin hyung? kenapa pintunya dikunci?” anak itu semakin gencar mengetuk pintu kamar.
Memaksa Seokjin untuk merespon sebelum kekuatan anak itu menghancurkan pintu ruangan
dimana mereka bertujuh tidur.

“Taehyung tidak ada disini, Jimin. Mungkin dia bersama Hoseok. Cari dia di lapangan
belakang.” jawab Seokjin setengah berteriak. Di sampingnya, Taehyung mendesah lega.

“Tidak ada hyung. Sungguh, aku harus cepat-cepat menemukan Taehyung sebelum Namjoon
hyung semakin murka.”

“Namjoon? apa yang terjadi sebenarnya?”

“Taehyung berburu singa dengan belati milik Namjoon hyung. Singa itu tidak mati. Hanya
terluka pada bagian kakinya. Jika saja ayah tahu, Namjoon hyung pasti dihukum. Dan ini semua
gara-gara tingkah bodoh Taehyung!”

“Apa???” Seokjin mendelik. Melemparkan tatapan tak percaya pada adiknya yang meringkuk di
sampingnya. Anak ini benar-benar.

“Dimana Namjoon sekarang?”

“Ada di lapangan belakang, hyung. Yoongi hyung sedang menenangkannya, sedangkan


Jungkook dan Hoseok hyung sedang mengobati singa itu.”

“Baiklah, tunggu sebentar. Aku segera kesana.”

*____*

Seokjin segera bergegas setelah memastikan Taehyung berada di tempat yang aman. Jika saja ia
tega, ia sudah menyeret anak itu ke lapangan belakang. Menyerahkan pada Namjoon agar anak
itu di hukum. Namun, Seokjin tak sampai hati. Seberapapun menyebalkan Taehyung, ia hanya
melihat kepolosan pada diri adiknya itu. Dan membiarkan Namjoon yang sedang murka bertemu
Taehyung bukanlah pilihan yang tepat. Itu hanya akan mengeruhkan suasana.

“Aarrrggghhh!!!! lepaskan aku, Yoongi hyung! aku harus mencari Taehyung! Aku harus
memukul kepalanya!”

“Tenanglah, Namjoon. Jimin sedang mencari Taehyung. Jangan menyusahkanku atau kau yang
kupukul!”

“Tapi hyung. Ini sudah kesekian kali dia mengkambing hitamkanku! Dia itu iblis. Benar-benar
seperti anak setan!” balas Namjoon masih meronta. Berani bertaruh, saat ini Yoongi sudah ingin
sekali menendang bokong adiknya itu.

“Siapa yang kau sebut anak setan, Namjoon?” Seokjin menginterupsi. Ia berjalan menghampiri
kedua anak yang sedang berkutat satu sama lain. Yang satu meronta, yang satu memegangi
sekuat tenaga.

“Hyung, kau pasti tahu dimana Taehyung. Beri tahu aku, hyung. Jangan menyembunyikannya.”

“Aku tak tahu dimana Taehyung.”

“Tidak mungkin. Kau selalu melindungi bocah tengik itu. Dimana dia hyung? katakan padaku.”

“Tidak, sampai kau berhenti menyusahkan Yoongi.”

“Ya, dia benar-benar menyusahkanku!” sahut Yoongi cepat. Namjoon melirik, menyadari raut
muka lelah di wajah kakaknya itu. Perlahan ia berhenti meronta.

“Maafkan aku.”

“Kenapa tidak dari tadi!” cibir lelaki berkulit pucat itu.

Seokjin duduk bersila di atas rerumputan hijau. Kemudian menyuruh kedua adiknya mengikuti.
Masih dengan raut muka tenang, ia memandang mereka bergantian.

“Kau bisa membersihkan belatimu, lalu meletakan kembali pada tempatnya. Itu tidak akan
membuang-buang tenaga seperti apa yang baru saja kau lakukan, Namjoon.”

“Lalu bagaimana dengan singa itu??” tunjuknya ke tepi lapang. Dimana Jungkook dan Hoseok
berada.

“Biarkan Taehyung mengurusnya. Dia pasti senang memelihara singa itu.”

Mata keduanya melebar. “Kau bercanda, hyung. Tanpa singa saja Taehyung selalu
membahayakan orang-orang di sekitarnya. Apalagi dengan adanya hewan buas itu? bisa-bisa ia
melepaskan rantai singa dan membiakan hewan itu memangsa kita satu persatu.” protes Yoongi.
Ia terlihat kesal dengan usulan tak masuk akal dari kakak tertua mereka.

“Itu benar. Pikiran Taehyung aneh. Kelakuannya tak bisa ditebak.” sambung Namjoon
menyetujui.

Seokjin bergeming. Memikirkan jalan lain yang lebih masuk akal. Namun sepertinya otaknya
sedang tak bisa diajak bekerja sama.

“Kita tak akan tahu sampai kita mencoba. Beri Taehyung kesempatan. Jika ia tak bisa merawat
singa itu, aku akan memerintahkan prajurit mengembalikannya ke hutan.”

“Hyuung…”

“Tak ada penolakan. Apa salahnya sesekali mempercayai adik kalian sendiri.”

“Mempercayai Taehyung? bahkan aku lebih percaya pada babi liar daripada Taehyung!”
Namjoon mencibir sebal. Tentu saja tanpa sepengetahuan kakak tertuanya. Ia kemudian bangkit
untuk mengambil belatinya. Membersihkan lalu menyimpan di kamar mereka seperti yang
Seokjin intruksikan.

“Kau sembunyikan dimana adik kesayanganmu itu?” Yoongi bertanya tanpa mengalihkan
pandangan dari kedua adiknya yang lain. Jungkook dan Hoseok yang sedang merawat singa.

“Aku hanya menyuruhnya menemani ibu keliling istana. Dan bisakah kau berhenti
memanggilnya adik kesayanganku? Itu terdengar seperti aku membeda-bedakan kalian.”

Yoongi tersenyum mendengus. “Kenyataannya kau memang membedakan Taehyung dengan


adik-adikmu yang lain, hyung.”

“Apa maksudmu, Yoongi? kau iri dengan Taehyung? Ingin kumanjakan juga?” Seokjin
mengerling.

Yoongi hanya tertawa mendengar nada menggoda kakaknya. “Haha, yang benar saja!” balasnya
sambil berdiri. Seokjin ikut tertawa kecil. Memperhatikan Yoongi yang berjalan menjauh.
Menghampiri Jungkook dan Hoseok di pinggir lapang.

*____*

Mendengarkan solusi kakak tertua memang selalu membuat Taehyung  bisa bernafas lega.
Taehyung bersyukur. Seokjin selalu ada untuknya walau kakak-kakaknya yang lain selalu
berusaha memburunya. Bahkan ia sempat heran. Apa yang salah dengannya? Mengapa saudara-
saudaranya bertingkah seperti itu kepadanya? Ah, mungkin mereka hanya iri dengan dirinya
yang hidup begitu sempurna. Mungkin. Hanya mungkin.

Taehyung masih dengan setia mengikuti ibunya keliling istana. Melihat satu persatu kegiatan
yang dilakukan para pekerja kerajaan. Ia tak bersuara, hanya sesekali mengangguk ketika orang-
orang menyapa mereka berdua.

“Dimana saudaramu yang lain, Taehyung?” untuk pertama kali Ratu berbicara pada putranya.

“Tidak tahu, ibu. Aku hanya melihat Seokjin hyung pergi ke lapang  tadi.”

“Seokjin keluar?” Ratu terlihat kaget mendengar penuturan Taehyung.

“Mm..” Taehyung mengangguk polos. “Apa itu aneh?”

Ratu kemudian bergegas menghampiri salah seorang pelayan. Membisikan sesuatu dengan
gelisah. Pelayan itu mengangguk lalu pergi. Berlari tergesa-gesa meninggalkan Ratu-nya.
Taehyung yang melihat itu semua diam tak mengerti. Memiringkan kepala seolah itu bisa
menjawab pertanyaan yang tiba-tiba muncul di otaknya.

“Ada apa, ibu? sepertinya ibu gelisah?”

Ratu diam sejenak, kemudian tersenyum pada putranya. Senyum yang menurut Taehyung sangat
dipaksakan. “Tidak ada. Ayo kita lanjutkan berkeliling.”

Tiba-tiba suasana diantara mereka menjadi canggung. Sesekali Taehyung melirik ibunya. Ratu
terlihat gelisah. Raut mukanya mendadak pucat. Tapi kenapa? Apa yang salah? Apa ini ada
hubungannya dengan Seokjin hyung?

Sibuk dengan pikirannya sendiri. Taehyung tak menyadari seseorang muncul dari belokan lorong
istana. Orang itu menyeringai.

“Ah, kena kau Kim Taehyung!”

“Kutu loncat!” Taehyung hampir terjungkal menerima tepukan di bahunya. Ia menoleh,


mendapati salah seorang saudaranya tengah mendelik.

“Hehe..” ia nyengir lebar.

“Simpan senyumanmu itu untuk merayu Namjoon hyung nanti, Tae. Aku tak membutuhkannya.”
ucapnya sambil menarik kerah baju Taehyung. Taehyung yang mendadak seperti anak kucing
hanya bisa pasrah. Melawan Jimin? Oh, itu tak akan membuahkan hasil sedikitpun.

“Ada apa ini? kalian jangan bermain-main di dalam istana. Pergilah ke lapangan belakang.” Sang
ibu menginterupsi.
“Ibu..Jimin menyakitiku. Aduh..sakit ibu, tolong aku.”

“Tidak-tidak. Kami hanya sedang bermain-main, bu. Ah, Taehyung maaf jika sakit. Ayo kita ke
lapangan belakang.” buru-buru Jimin mengelak. Sembari menyeret baju belakang Taehyung, ia
berbisik. “Jangan berani-berani berlindung jika tak ingin ku adukan pada ayah dan ibu. Ingat
singa itu tidak mati, Tae!”

Dan seketika bahu Taehyung melorot.

“Habislah riwayatku..”

Bruukkk

Dukkk

“Akkh…”

Suara debuman keras menggema di sisi kiri lapangan belakang. Tempat dimana mereka biasa
keluar masuk menuju dalam istana. Taehyung mengaduh, disusul dengan suara rintihan dua
orang lain.

“Yak! Park Jimin mengapa menubrukku, hah?” Yoongi mendelik sembari membentak.
Sementara Jimin masih tersungkur di depannya.

“Aduuuh..sakit. Hiks.” Mata Yoongi beralih pada adiknya yang lain. “Kau juga. Kenapa malah
menangis?”

“Kim Taehyung bodoh! kenapa menjegal kakiku? Kau mau kabur? huh?” Jimin yang telah
bangkit ikut mengomel. Kesal dengan ulah Taehyung yang membuatnya mendapat bentakan dari
Yoongi.

“Siapa suruh kau berjalan terlalu cepat. Kakiku kan jadi bingung! Kau pikir kakiku punya
mata?” Taehyung menggerutu. Ia hanya duduk menengadah mengamati dua orang yang
menyudutkannya.

Keduanya hanya bisa memutar bola mata mendengar jawaban Taehyung. Sudah pasti, anak itu
memiliki berbagai alibi konyol untuk lari dari masalah.

“Dimana Namjoon hyung? Aku ingin menyerahkan bocah ini padanya, hyung.”
Yoongi mendesah. “Sudahlah. Jangan bawa dia pada Namjoon.” ucapnya yang membuat
Taehyung berbinar.

Ah, mimpi apa dia semalam? Yoongi membelanya? ckck. “Bawa saja dia pada singa itu. Biar
dimakan!” sambungnya dengan penuh penekanan. Kemudian lelaki berkulit pucat itu berlalu
meninggalkan kedua adiknya.

“Hyuuuung…kau tega sekali!” Taehyung menggerutu yang disusul tawa lebar dari Jimin.

“Kau memang pantas dimakan singa. Hahaha..”

“Taehyung, Jimin? kalian sedang apa?”

“Seokjin hyuuung. Yoongi hyung jahat. Jimin juga. Hueee…”

“Yak! kenapa aku juga diadukan? tadi kan Yoongi hyung yang menyuruhku membawamu pada
singa itu.”

“Tapi kau juga mentertawakanku! Seokjin hyung, tadi Jimin mentertawakanku. Lihat, bahkan
lututku sedang berdarah seperti ini gara-gara Jimin. Hiks..hiks..”

“Taehyung! Jangan mengadu yang tidak-tidak! Jangan percaya anak ini, hyung. Tadi kami jatuh
menabrak Yoongi hyung. Lututku juga terluka, tapi aku tidak secengeng Taehyung.” balas Jimin
memperlihatkan lututnya yang tergores.

Seokjin hanya mengangguk kecil. “Sudahlah, kalian selalu saja bertengkar. Hoseok! Kemari.
Tolong obati Taehyung dan Jimin!” Teriaknya pada adik yang sedang di pinggir lapang. Hoseok
dan Jungkook mengangguk, lalu berlari menuju mereka.

“Sudah, jangan menangis. Kau itu laki-laki. Bagaimana kau bisa disebut pangeran jika kau
cengeng seperti itu.” Seokjin mengelus pelan puncak kepala Taehyung.

“Tapi Jimin tadi menertawakanku. Jimin menyebalkan.”

“Yak! Aku tidak menyebalkan!”

“Memangnya apa yang membuatmu tertawa, Jimin?”

“Itu hyung. Tadi Yoongi hyung menyuruhku membawa Taehyung pada singa.”

Alis Seokjin mengkerut. “Untuk apa?”

“Biar Taehyung dimakan katanya.”

“Hmmpptt..” hampir saja Seokjin terbahak mendengar penuturan adiknya. Ia menutup rapat
mulutnya. Menahan tawa agar Taehyung tak lagi merajuk.
“Tuh kan. Hyung juga tertawa. Hyung tidak kasihan padaku? huh?”

“Tidak-tidak. Hyung tidak tertawa. Kalau begitu hyung masuk dulu.” buru-buru ia pergi sebelum
Taehyung semakin kesal. Ia melangkah lebar-lebar menuju istana. Nafasnya mendadak sesak.
Penglihatannya mengabur.

“Ah, Jangan. Tolong jangan sekarang!” batinnya pada diri sendiri.

“Itu apa?” baik Taehyung maupun Jimin bergidik melihat peralatan yang sedang dipegang
Hoseok. Kain kumal yang telah berlumuran darah, ditambah bulu-bulu halus yang menempel
membuat siapapun yang melihat akan merasa jijik. Di belakangnya, Jungkook membawa
mangkuk yang entah berisi apa. Sepertinya sangat berharga hingga ia memegangnya dengan
sangat hati-hati.

“Kemari, Tae. Aku obati lukamu.” Hoseok menarik sebelah tangan Taehyung, namun serta merta
di tepis oleh anak itu.

“Tidak mau. Itu..itu menjijikan.” tolaknya cepat.

“Aku mengobati Jimin hyung saja.” Jungkook yang sedari tadi diam akhirnya menghampiri
Jimin. Mengeluarkan kain bersih dari sakunya dan mulai mengompres luka Jimin dengan cairan
yang ia pegang.

Taehyung hanya memandang adiknya dengan tatapan kosong. Bibirnya mengerucut.

“Kenapa cemberut, eoh?” Hoseok menyikutnya. Taehyung kemudian mendongak, menatap


Hoseok nanar.

“Kenapa kain untuk mengobati Jimin sangat bersih? sedangkan kau mau mengobatiku dengan
kain berdarah seperti itu?”

“Ini hanya bekas untuk mengobati singa. Ini tidak semenjijikan apa yang ada di otakmu, Tae.”

Mata Taehyung melebar. “Yang benar saja, hyung! Kau pikir aku singa juga?” ucapnya tak
terima.

“Mm. Kau saudaranya singa!” balas Hoseok cepat, yang disusul kikikan Jimin dan Jungkook.

“Ish, kenapa semua orang menyebalkan! Seokjin hyuuuung….”


.

“Hyung?” Namjoon menghampiri Seokjin yang tengah sempoyongan menuju kamar. Tak hanya
itu, beberapa pelayan juga ikut memapahnya.

“Kau kenapa?” tanya Namjoon heran. Seokjin hanya menggeleng. Tak mengucap sepatah
katapun untuk menjawab pertanyaan sang adik. Ia kemudian merebahkan diri pada ranjangnya.

“Seokjin hyung kenapa?” tak mendapat jawaban dari sang kakak, Namjoon masih tak menyerah.
Ia menuntut pada para pelayan yang membantunya tadi. Pelayan itu melirik Seokjin, tak berani
berucap tanpa seijin putra mahkota.

“Seokjin hyung kelelahan, Namjoon. Dia butuh istirahat.” tiba-tiba suara lain menyahut. Semua
menoleh ke arah pintu. Ke arah sumber suara. Tak terkecuali Seokjin yang sangat terkejut.

“Keluarlah, biarkan Seokjin hyung beristirahat.” ucapnya lagi.

“Ah, begitu. Baiklah. Ayo kita keluar.” perintah Namjoon pada semua orang yang berada di
kamar.

“Eh? Yoongi hyung, kau tak ikut keluar?” Namjoon heran ketika hendak menutup pintu.
Pasalnya, Yoongi masih tak bergeming.

“Aku akan keluar setelah mengambil peralatanku.” ucapnya.

“Oh. Yasudah.” balas Namjoon lagi. Lalu pintu benar-benar tertutup.

“Dimana ramuannya?” Yoongi membuka lemari ketika keadaan telah tenang. Tangannya terulur,
mencari-cari sesuatu. Alis Seokjin mengkerut mendengarnya.

“Ramuan apa?”

“Ck! Sudahlah hyung. Jangan bermain-main di saat genting seperti ini. Tubuhmu
membutuhkannya. Cepat beritahu aku dimana ramuannya.”

“Ada di bawah.” sahut Seokjin lemah.

“Wah, kau pintar sekali menyembunyikan sesuatu, hyung.” sindir Yoongi setelah mendapat
ramuan yang ia cari. Ia kemudian membukanya, membantu Seokjin meminum obat andalannya.
Beberapa menit setelah meneguk, Seokjin merasa sedikit lega. Setidaknya, sakit di kepalanya
berangsur membaik, dan nafasnya mulai bisa teratur. Masih dengan mata tertutup, ia dapat
merasakan Yoongi berjalan menjauh.

“Terimakasih.” gumaman pelan itu masih dapat ia dengar. Yoongi berhenti melangkah, berbalik
menatap kakaknya yang ia pikir sudah terlelap. “Istirahatlah, hyung.”

“Mm. Tapi sejak kapan kau tahu aku seperti ini?” tanya Seokjin lemah.

“Sejak kau selalu gelisah tiap malam hari. Dan…sejak hidungmu pertama kali mengeluarkan
darah.”

Seokjin membuka mata mendengar jawaban Yoongi. Ia menatap adiknya tak percaya. “Itu
berarti sudah lama.”

“Memang. Selama kau menyembunyikan dari kami.” balas Yoongi santai.

“Jangan lupakan bahwa ranjangku paling dekat denganmu, hyung. Aku selalu tahu betapa sulit
kehidupanmu selama ini.” ucapan itu terlontar sebelum Yoongi keluar dari kamar. Meninggalkan
Seokjin yang termangu.

Ia tak percaya Yoongi telah mengetahuinya. Selama ini, hampir setiap malam Seokjin memang
tak bisa tidur. Ia tersiksa, menderita karena perasaan sakit itu selalu datang menyergap. Bahkan
pernah beberapa kali ia harus menahan pusing karena darah segar terus menerus keluar dari
hidungnya. Seokjin pikir ia telah menyembunyikannya dengan sempurna. Mengingat selama ini
tak ada yang pernah memergoki tubuhnya yang koleps menjelang tengah malam. Ia juga terus
menerus memohon pada kedua orang tuanya untuk menyembunyikan hal ini. Terutama pada
keenam adiknya. Ia tak mau mereka khawatir. Ia tak mau mereka bersedih. Terlebih, Seokjin
adalah putra tertua yang menjadi panutan sekaligus sandaran bagi mereka.

Namun siapa sangka? siapa mengira bahwa salah seorang adiknya telah mengetahui. Bahkan
Yoongi tahu ini sudah lama. Dan ia bersikap seolah-olah itu hal biasa. Oh, Demi Tuhan ini
membuatnya sedikit banyak menjadi gelisah.

“Seokjin!” Lamunan lelaki itu buyar ketika sebuah suara terdengar. Permaisuri membuka pintu,
melangkah ke arahnya dengan tergesa.

“Ibu.” Seokjin mendudukan diri dan bersandar pada ranjang. Senyumnya terulas begitu saja.
Bisa dipastikan, kali ini ibunya akan menanyai banyak hal atas ambruknya ia di belakang istana.

“Apa yang terjadi? kau lupa meminumnya? di mana yang sakit, eoh?”

“Ibu…”

“Apa kepalamu masih pusing? Hidungmu…hidungmu tidak mengeluarkan darah lagi kan?”
“Bu, aku baik-baik saja.”

“Jangan berbohong, nak. Ibu benar-benar khawatir.”

“Sungguh. Aku baik-baik saja. Yoongi membantuku menemukan ramuan itu. Tubuhku sudah
seperti sedia kala.”

“Yoongi?” sang ibu terkejut mendengar penuturan putra pertamanya.

Seokjin mengangguk. “Mm..”

“Ba-bagaimana bisa Yoongi membantumu? Apa dia….tahu?” permaisuri terlihat sangat berhati-
hati menanyakannya. Takut menyinggung perasaan Seokjin. Anak itu hanya mengangguk pelan.

Permaisuri menghembuskan nafas berat. Menatap Seokjin dengan raut prihatin. Ia melihat
putranya kembali tersenyum. “Tak apa bu. Suatu saat, entah itu cepat atau lambat, mereka juga
akhirnya akan tahu aku segera pergi.”

“Seokjin!”

“Ibu tak perlu menghawatirkanku. Aku baik-baik saja. Aku hanya ingin bersama mereka hingga
waktuku habis.”

“Cukup, Seokjin. Jangan berkata seolah kau benar-benar akan pergi. Cukup.” permaisuri
berkaca-kaca mendengar penuturan putranya. Kenyataan bahwa Seokjin tak memiliki waktu
lama sungguh membuat wanita itu terpukul. Ditambah sikap tabahnya, permaisuri benar-benar
merasa iba dan ingin sekali menggantikan posisi putra sulungnya. Jika saja ia bisa. Jika saja
dewa mengijinkan.

“Jangan menangis. Aku mohon jangan menangis apapun yang terjadi.” Seokjin mengusap pelan
sungai kecil yang mengalir di pipi permaisuri. “Ibu adalah satu-satunya wanita yang ku hormati.
Aku menyayangimu, bu. Jangan membuatku merasa bersalah karena ibu selalu menangisiku.”

Dan isakan itu berubah menjadi raungan keras sang permaisuri. Ia meraih tubuh putranya.
Mendekap erat dalam pelukan. Ia menyayangi Seokjin. Sangat menyayanginya bahkan melebihi
apapun. Tapi mengapa takdir seolah mempermainkan keluarganya? Seokjin anak baik. Yah, dia
terlalu baik untuk mendapat nasib seburuk ini.

Tanpa mereka sadari, diam-diam seseorang dibalik pintu mendengar percakapan mereka. Orang
itu membekap mulut. Menahan isakan yang hampir pecah menjadi sebuah tangis. Tubuhnya
melorot begitu saja. Sama seperti hatinya yang tak sanggup menopang kesedihan yang tiba-tiba
menyelimuti.

“Hyung…” cepat-cept orang itu menghapus air mata ketika mendengar seseorang yang lain
memanggil.
“Yoongi hyung kau kenapa?”

“Oh, Jeon Jungkook. Ada apa?”

“Kau menangis, hyung?” orang yang dipanggil Jungkook tak mengiraukan pertanyaan Yoongi.
Ia mendekat, menatap hyungnya dengan tatapan menyelidik.

“Tidak, Jungkook. Hyung tidak menangis. Hanya saja mata hyung terkena debu. Ugh, sakit
sekali.”

“Benarkah?”

“Mm..kau mau apa?” Yoongi berusaha mengalihkan pembicaraan. Tapi ia tahu, Jungkook tak
mudah dibohongi seperti adik-adiknya yang lain.

“Ingin tidur.” balas Jungkook santai. Ia kemudian mengulurkan tangan untuk membuka pintu.

“Jungkook, jangan!” Yoongi buru-buru mencegah ketika tangan adiknya meraih gagang pintu. Ia
menyeret Jungkook menjauh.

“Temani hyung melihat kakakmu yang menyebalkan itu. Ayo. Dimana Taehyung?”

“Hyuung…apa sih? Aku ingin istirahat. Lepas hyung. Aduh.”

“Ayolah Jeon Jungkook. Taehyung tak boleh dibiarkan begitu saja. Kita harus menjaganya.”

“Tapi Taehyung hyung sudah dijaga oleh Jimin hyung dan Hoseok hyung. Aku lelah. Aku malas
berurusan dengan Taehyung hyung lagi.”

“Yak! sejak kapan kau jadi tidak sopan seperti itu? dia juga kakakmu.”

“Bukankah kau yang mengajarkanku untuk tidak terlalu baik dengan Taehyung hyung? Ish,
hyung bagaimana sih.”

“Ah..Anu..itu.. bukan begitu maksudku. Aku berkata seperti itu karena tidak ingin kau
terkontaminasi virus alien Taehyung. Bukankah ia selalu menyuruh-nyuruhmu untuk hal-hal
aneh? Nah, maksudku agar dia tak mengajarimu yang tidak-tidak. Yah, begitu.”

Jungkook hanya bisa memajukan bibir mendengar ucapan Yoongi. Dalam hati ia menggerutu.
“Bukankah hyung ini juga suka menyuruh-nyuruhku? Ish. Bahkan dia lebih parah dari
Taehyung hyung.”

Yoongi mengerutkan alis ketika sampai lapangan belakang. Di tempat itu, Jimin dan Hoseok
masih duduk bersila sambil berteduh. Terlihat juga Jimin yang masih sedikit meringis sambil
meniup-niup luka yang ia dapat akibat bertabrakan dengannya. Yoongi ikut meringis, sedikit
banyak ia merasa bersalah karena tadi sempat membentak adiknya itu. Bahkan Yoongi tak
sempat mengucapkan kata maaf sedikitpun.

“Lukamu sudah membaik, Jimin?” Yoongi ikut duduk di samping mereka, melepaskan pegangan
tangannya pada Jungkook.

“Hyung ingat jika aku terluka? Ku kira hyung tak sadar!”

“Hei, jangan marah. Maafkan aku. Aku tadi terlalu emosi.”

Jimin memajukan bibir. “Selalu saja emosi.” gerutunya rendah.

“Oh, ayolah Park Jimin. Aku tahu kau adikku yang paling baik. Kau sudah tak marah kan? Kau
memaafkanku, eoh?”

“Iya..iya.. Ish, jangan mengacak rambutku seperti itu, hyung.” Jimin menampik tangan Yoongi
yang berada di puncak kepalanya.

“Ngomong-ngomong dimana Namjoon?” Hoseok yang sedari tadi diam memperhatikan kini
angkat suara. Yah, sejak Namjoon kalap dan berteriak-teriak karena ulah Taehyung, ia memang
tak lagi terlihat. Menghilang begitu saja.

“Apa hyung lupa? Hari ini kan ada jadwal balap kuda. Tentu saja Namjoon hyung sudah pergi ke
perkumpulan. Dia pasti hendak memamerkan unicorn-nya.” sahut Jungkook.

“Hei. Unicorn kan bukan kuda?!”

“Aku tahu hyung. Tapi menurut Namjoon hyung itu sama saja. Aku curiga dengan isi otaknya.
Jangan-jangan tak jauh berbeda dengan Taehyung hyung.”

“Jangan bicara seperti itu Jungkook! Hormati kakak-kakakmu.”

“Iya iya. Aku juga menghormatimu kok.”

Ceekkiiiittt

“Arrgghh Jeon Jungkook kenapa mencubit pipiku! Yak!”

“Bwahahahaa..” semua tertawa karena ulah maknae mereka yang mendadak usil.

.
“Bagaimana keadaan Seokjin?” Raja bertanya pada istrinya. Sejak mendengar kabar putra
sulungnya koleps, penguasa negeri langit terus termangu. Khawatir jika sesuatu yang buruk
segera terjadi.

“Dia membaik. Dia sedang beristirahat sekarang.”

“Mm..syukurlah.” desah sang Raja. “Tapi bagaimana bisa ia keluar istana? bukankah Seokjin
tahu keadaannya semakin memburuk? Apa dia sengaja membuat semua orang khawatir?”

“Yang Mulia…”

“Apa kau tak mengawasinya dengan baik? Seokjin masih terlalu lemah untuk meninggalkan
tempatnya. Ia butuh banyak energi positif untuk kesembuhannya. Kau tahu benar akan hal itu!”

“Yang Mulia. Ini tidak seperti apa yang ku perkirakan. Aku sudah memastikannya tidak keluar
ruangan. Bahkan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Seokjin sedang mengumpulkan
energi dalam dirinya. Tapi..”

“Tapi dia akhirnya keluar ruangannya. Kau berniat membunuhnya?”

“Aku sendiri tak tahu apa yang membuat Seokjin memutuskan keluar ruangan. Maafkan aku.
Ampuni aku.”

“Ayah.” pasangan yang sedang berdebat itu menoleh ketika seorang anak memanggilnya.

“Jangan salahkan ibu. Maafkan kecerobohanku. Aku..aku tidak akan mengulanginya.” lirih
Seokjin lebih menyerupai gumaman. Anak itu menunduk, memperlihatkan penyesalan
terdalamnya. Raja dan Ratu negeri langit hanya bisa bertatapan satu sama lain. Mana mungkin
mereka akan menyalahkan Seokjin? Mereka terlalu takut membuat putra sulungnya sedih.
Mereka tak ingin menambah beban penderitaan yang telah lama menyiksa putranya itu.

“Kembalilah ke kamarmu, Seokjin. Pusatkan pikiran untuk mengumpulkan energimu. Kami


sedang berusaha mencari mutiara hitam itu. Percayalah, kau akan sembuh. Tunggu sebentar
lagi.”

Seokjin hanya tersenyum kecut mndengarnya. Sudah puluhan kali ayahnya berkata seperti itu.
Membicarakan tentang mutiara hitam yang bisa menyembuhkannya. Tapi nyatanya? Ia sendiri
bahkan ragu mutiara hitam itu ada. Ia tak berharap lebih. Cukup menghabiskan waktu dengan
orang tua dan keenam adiknya sudah cukup untuk menebus kesakitan ini. Yah, Seokjin telah
merelakan takdir hidupnya berjalan seperti yang telah digariskan.

.
Taehyung berjalan mengendap-endap di dalam lorong istana. Matanya menelisik tajam tiap sudut
bangunan, mengantisipasi jika bertemu seseorang yang sedang ia hindari. Ia bahkan hanya
sedikit menapakan kakinya pada lantai. Mengurangi suara langkah yang bisa saja membuatnya
tertangkap.

“Hyung?” sebuah seruan hampir saja membuat Taehyung terjungkal. Ia menoleh, sambil
memegangi dadanya yang tiba-tiba saja berdebar karena terkejut.

“Ck! Jangan mengagetkanku seperti itu!” gerutunya rendah.

Anak yang memanggilnya hanya bisa mengerutkan alis. “Memangnya kenapa? Kau sedang
apa?” tuntutnya heran.

“Namjoon hyung dimana?” Taehyung malah balik bertanya. Anak yang ditanyai lantas
tersenyum mengerti.

“Ah, kau masih takut dimarahi Namjoon hyung ternyata. Tenang saja hyung. Namjoon hyung
sedang keluar istana.”

“Benarkah?”

“Mm.”

“Sungguh? awas jika kau berbohong. Kupastikan singa peliharaanku memakanmu, Jeon
Jungkook.”

“Ck! Apa hyung lupa? aku dan Hoseok hyung yang mengobatinya. Jangan berlagak kau sudah
dapat menaklukannya.” Jungkook malah balik meremehkan. Membuat bibir Taehyung
mengerucut kesal.

“Ayo pergi.” Jungkook kembali bersuara. Menarik tangan kanan Taehyung dengan kasar.

“Hei, aku mau ke kamar. Kenapa diajak keluar lagi.” namun sepertinya Jungkook berlagak tuli.
Ia tak menghiraukan protesan hyungnya itu. Malah semakin kuat menarik Taehyung hingga
lapangan belakang. Ugh, lagi-lagi lapangan belakang. Sepertinya putra-putra kerajaan langit
sangat menyukai tempat itu. Apa tak ada tempat lain di istana?

Hoseok, Jimin dan Yoongi menoleh ketika dirasa ada seseorang yang datang. Mereka sempat
menautkan alis melihat Jungkook berjalan bersama saudara ajaib mereka. Siapa lagi jika bukan
Kim Taehyung? Sebenarnya sangat malas bagi mereka membahas anak itu. Namun tingkah
Jungkook yang sedang menarik Taehyung, dan raut muka kesal yang tercetak pada wajah
Taehyung membuat berbagai pertanyaan menggelitik mereka.

“Kau bilang kau ingin menemani Seokjin hyung? kenapa membawa iblis ini keluar?” Yoongi
yang pertama kali bersuara. Disusul anggukan saudara-saudaranya yang lain.
“Aku lupa sesuatu.” balas Jungkook singkat. Melewati begitu saja ketiga hyungnya yang
menyimpan tanda tanya.

“Hyung, namaku Taehyung. Kim Taehyung. Jangan panggil aku iblis, oke?” Taehyung
menyempatkan diri mengingatkan Yoongi di sela-sela tarikan Jungkook. Miris sekali, belum
terlalu tua, hyung keduanya itu sudah melupakan namanya.

“Ya. Kim Taehyung si iblis pembuat onar!” sahut Yoongi lagi.

“Kalau begitu kau saudara iblis. Min Yoongi saudara iblis. Hehe.” Cengiran tanpa dosa merekah
di bibir Taehyung. Sembari menjauh, ia masih melihat Yoongi melotot ke arahnya. Mungkin
bersiap mengutuknya jika saja Jungkook tak segera menyeretnya pergi.

“Kau..!!!”

“Ck..ck..ck..Taehyung benar-benar. Sabar hyung, aku sarankan jangan terlalu emosi


menghadapinya.”

“Aku bukan Seokjin hyung, Hoseok. Aku tak bisa bersabar jika berhadapan dengan anak itu.”

“Ya, benar. Hanya Seokjin hyung yang mampu menghadapi Taehyung.” Yoongi mengangguk
mendengar ucapan Jimin.

“Jimin benar. Taehyung hanya mau mendengarkan ucapan Seokjin hyung. Taehyung terlalu
bergantung pada Seokjin hyung. Lalu bagaimana jika nanti Seokjin hyung— Astaga Yoongi!!
Apa yang kau pikirkan? Tidak-tidak! Seokjin hyung baik-baik saja. Ya. Dia akan selalu baik-
baik saja” Yoongi merutuki otaknya yang mulai berfikiran macam-macam.

“Apa maksudmu membawaku kemari?” Taehyung melepas genggaman Jungkook pada


pergelangannya. Rasanya pegal. Anak itu memiliki tenaga cukup besar ternyata.

“Ayo lakukan sesuatu.” bukan menjawab, si bungsu malah memerintah. Oh, sungguh. Kurang
ajar sekali dia.

“Melakukan apa?” Taehyung menyahut sewot.

“Tentu saja melakukan sesuatu pada peliharaan barumu. Dia tanggung jawabmu sekarang.”
Jungkook tak kalah sewot.
“Oh.” sahut Taehyung singkat. Ia kemudian berjongkok. Membuka jeruji besi yang
memerangkap singa itu. Ia kemudian mengulurkan tangan untuk mengelus puncak kepala
berbulunya. De Javu? Sepertinya iya. Karena Seokjin memang sering sekali melakukannya pada
Taehyung. Kekeke~

Keduanya berpandangan ketika singa itu menunduk. Menikmati belaian lembut tangan
Taehyung. Jungkook terpana, sedangkan Taehyung menyeringai sebagai tanda kemenangannya.
Yeah, singa itu kelihatannya menyukai Taehyung.

“Whooaa…kau menaklukannya hanya dengan belaian, hyung.”

“Tae…hyung??” rupanya tak hanya Jungkook, saudara-saudaranya yang lain tak kalah terkejut
ketika singa itu menunduk pada pemilik barunya. Mereka berkumpul. Menyaksikan kedekatan
keduanya. Bahkan hewan buas itu lebih menyerupai kucing daripada singa. Terlalu jinak.

“Jimin-aaah…baik-baik dengan hyung, eoh? Kita akan hidup bersama mulai sekarang. Jangan
menjadi hewan yang jahat. Nanti hyung akan memberikanmu daging rusa. Kau mau?” celoteh
Taehyung kemudian.

Plaaakk!!!! Yoongi memukulnya.

“Yaakk!!” Hoseok membentak.

“Heoll!!!” Jungkook menggeleng.

dan sudah tentu Jimin mengumpat. “Sialan! Bagaimana bisa kau memberikan namaku untuk
singa itu TaeTae!!!”

“Aduuuh…Seokjin hyung. Aku dianiaya lagi. Hiks..hiks.” Taehyung memegangi belakang


kepalanya yang terasa berdenyut. Sungguh, pukulan hyungnya itu bukan main. Ia merasa ingin
pingsan saat ini juga.

“Tidak usah menangis. Mau ku pukul lagi?” ancam Yoongi kesal. Taehyung buru-buru
menggeleng. Tubuhnya mengkerut mendapat pelototan dari hyungnya. Ugh, andai saja Seokjin
hyung di sini. Pasti anak pendek itu sudah Taehyung adukan.

“Pokoknya aku tak terima jika dia dinamakan Jimin. Aku tidak mau disamakan dengan singa!”
Jimin kembali menyuarakan protesnya yang sempat tertunda. Disusul dengan anggukan dari
Jungkook.

“Benar. Jimin hyung juga pangeran. Keterlaluan sekali kau memberi nama singa sama dengan
namanya, hyung.”

“Tapi nama Jimin paling bagus.”


“Tidak mau! Sebagus apapun namaku aku tidak mau berbagi nama dengan singa!! Hyuuuung,
lakukan sesuatu!”

“Tae, kau jahat jika memberinya nama Jimin. Ayolah, ganti saja. Dalbong? Heebum? atau kau
bisa cari yang lain.” Hoseok mulai membujuk adiknya. Tetapi Taehyung tetap saja menggeleng.

“Aku hanya mau dia diberi nama Jimin.”

“Yak! Kau anak nakal! Sini kupukul jika kau tetap saja keras kepala!”

“Pukul aku sekali, Yoongi hyung. Lalu biarkan aku memberinya nama Jimin.”

“KIM TAEHYUUUNG!!!!!”

Seokjin menggeleng-gelengkan kepala di kamarnya. Samar-samar, ia mendengar adik-adiknya


meneriakan nama Taehyung dengan penuh kekesalan. Kali ini apalagi yang dilakukan adik
kecilnya itu? Ah, pasti Taehyung berbuat ulah lagi.

Sebenarnya, dia sangat ingin menghampiri. Berkumpul dengan mereka dan bermain-main
bersama. Rasanya sudah sangat lama ia tak lagi melakukannya. Namun apa daya. Kondisinya
semakin hari semakin lemah. Dan keluar istana hanya akan memperburuk keadaan. Ia tak mau
adik-adiknya menyadari penurunan kesehatannya. Cukup Yoongi saja. Ya, karena anak itu
memang telah tahu lebih awal.

Tak terasa setitik air jatuh dari ujung mata Seokjin. Ia mendongak. Menahan butiran-butiran lain
yang ingin menyusul keluar. Memikirkan kondisinya saat ini sungguh terasa seperti menelan pil
pahit. Ingin sekali menyesalinya, tapi untuk apa? Ingin sekali memprotesnya, tapi pada siapa? Ini
sudah menjadi takdirnya dan dia tak dapat mengelak. Lebih tepatnya, ia sudah berjanji untuk
tidak mengelak. Karena hal itu justru akan menjadi beban dan kesedihan tersendiri yang tak akan
ada habisnya.

“Mutiara hitam. Dimana sebenarnya mutiara hitam itu berada?”

.
“Sampai kapan kau akan membuang-buang waktumu untuk berpacu kuda, Namjoon?” Raja
menghadang langkah Namjoon yang baru saja kembali ke istana. Tubuhnya penuh debu,
wajahnya terlihat kusam menahan lelah. Penguasa negeri langit tahu, putranya itu belum bisa
meninggalkan perkumpulan balap kuda.

“Aku lelah, Ayah. Bisakah kita tidak membahasnya sekarang?”

“BERHENTI DAN DENGARKAN AKU!” bentaknya ketika Namjoon melangkah. Ia bahkan


sama sekali tak menatap ayahnya.

“Kau adalah salah satu kandidat raja yang akan menggantikanku. Beginikah sikapmu? Lalu
bagaimana jika kau memimpin nanti?”

“Aku?” Namjoon menunjuk dirinya heran. “Mengapa harus aku, ayah? Istana ini memiliki tujuh
putra mahkota tapi kenapa harus aku?”

“Kau tanya kenapa? tentu saja karena kau adalah satu dari ketujuh putra mahkota yang kau
sebutkan tadi.”

“Ya. Tapi maksudku, masih ada Seokjin hyung yang tertua. Atau Yoongi hyung yang tegas.
Bahkan ayah bisa memilih adik kecil kita Jungkook. Ayah tahu sendiri dia sangat cerdas. Dia
bahkan bisa lebih bijaksana dari keenam kakak-kakaknya.”

“Lalu apa gunanya ibumu melahirkanmu? Bersiap mengikuti kepelatihan. Kalian semua
memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi raja.”

Braakkk

Pintu kamar terbuka keras dengan paksa. Menimbulkan bunyi bising yang berhasil membuat
Seokjin terperanjat. Ia membuka mata, membenarkan posisi tidurnya dengan bersandar pada
ranjang.

“Ada apa Namjoon?” tanya Seokjin pelan. Ia melihat muka adiknya merah padam. Sudah pasti,
anak itu sedang dalam keadaan tidak baik.

“Jangan bicara padaku hyung. Aku sedang marah.” ucapnya dengan penuh penekanan. Namjoon
kemudian melangkah. Menjatuhkan diri pada ranjang pribadinya. Seokjin yang sedari tadi
memperhatikan hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Kemarahan memang membuatmu puas sesaat, Namjoon. Tapi ingat, api amarah bisa membakar
dirimu sendiri kapan saja. Redakan amarahmu. Belajarlah mengendalikan emosi.”

“Kau bisa berkata seperti itu karena semua kesenanganmu tak pernah ditentang ayah, hyung.”

Alis Seokjin berkerut. “Apa kau sedang membicarakan tentang balap kuda?”

“Iya.”

“Oh.” balasnya singkat. “Ayah hanya tak ingin kau terjerumus pada hal-hal buruk, Namjoon.
Percayalah. Ayah tak pernah menentang putra-putranya tanpa alasan bukan?”

“Maksudmu?” tanya Namjoon tak mengerti.

“Lihat Taehyung. Dia tak diperkenankan memegang senjata karena tingkahnya yang terkadang
berlebihan. Ayah tak ingin Taehyung celaka. Begitu juga Jimin. Dia terlalu baik pada siapapun,
maka dari itu ayah tak pernah mengijinkannya keluar istana seorang diri. Ayah takut Jimin
dimanfaatkan orang jahat. Yoongi, Hoseok, Jungkook. Mereka memiliki kelemahan dalam
dirinya yang sudah tentu membuat ayah khawatir. Tidak hanya kau.”

Namjoon termenung. Memikirkan ucapan kakak kandungnya. Sepertinya benar yang dikatakan
Seokjin. Hanya saja, dia yang terlalu bodoh untuk menyadarinya.

“Lalu bagaimana denganmu?” tuntutnya.

Seokjin tersenyum kecut. “Apa akhir-akhir ini kau melihatku keluar istana?” ia malah balik
bertanya. Membuat Namjoon menggeleng kepala.

“Yah, begitulah. Aku tak bisa keluar istana. Bahkan menghadiri bakti sosial yang sudah ku
rancang sendiri aku tak bisa. Kau tahu persis aku gemar berkeliling. Tapi sekarang? Ayah
melarangku, Namjoon.”

“Ayah melarangmu keluar? Kenapa? Apa kau sedang dihukum?” sahutnya heran. Tentu saja.
Setahu Namjoon, Seokjin selalu melakukan hal yang baik. Kenapa bisa ia dilarang keluar?

“Ya. Aku sedang dihukum.” lirih Seokjin.

“Aku di hukum dewa lewat penyakit ini, Namjoon.” lanjutnya dalam hati.

.
“Mutiara hitam itu hanya ada tiga. Dua berada di dunia atas. Sedangkan sisanya berada di dunia
bawah.” seorang kakek pintar yang dipanggil ke istana terkait informasi mutiara hitam itu
bersuara. Menjelaskan keberadaan benda yang sedang dicari raja.

Raja sendiri masih bisu. Tak menyahut sepatahpun pada kakek itu.

“Maaf kakek, kami semua tahu dua mutiara hitam milik dunia atas telah digunakan oleh raja
sebelumnya. Tapi bagaimana dengan mutiara hitam dunia bawah?” sang penasehat istana
menginterupsi. Menyuarakan pemikiran rajanya.

“Kehidupan dunia bawah berbeda dengan kehidupan dunia atas. Mereka hidup tanpa kekuatan
seperti kita. Mereka tak membutuhkan mutiara hitam itu. Bahkan, hampir seluruh penduduk
dunia bawah tak mengerti apapun tentang benda itu.” jelasnya kemudian. Sang raja mendongak.
Merasa mendapat kekuatannya kembali setelah mengetahui fakta itu. Secercah harapan kembali
muncul untuk menyelamatkan putra sulungnya.

“Jadi mutiara hitam di dunia bawah masih ada?” tanya Raja antusias. Kakek itu mengangguk.
Membuat sang raja mengulas senyum. Seokjin bisa sembuh!

“Perintahkan prajurit turun ke dunia bawah, penasehat Lee. Secepatnya!” titahnya tegas.

Penasehat istana itu mengangguk patuh. Hampir beranjak sebelum kakek itu kembali bersuara.

“Tidak semudah itu, paduka. Hanya orang-orang suci yang bisa menembus batas dunia atas dan
dunia bawah.”

“Maksud kakek? Aku dulu pernah sekali turun ke dunia bawah. Itu sangat mudah.”

“Benar. Itu karena paduka dulu adalah seorang pangeran.”

Raja itu bungkam sesaat. Lalu melebarkan mata.

“Jadi maksud kakek, hanya pangeran yang mampu menembus batas dunia itu?”

“Ya. Karena seorang pangeran ditakdirkan menjadi manusia suci yang selalu ada dalam
pengawasan dewa.”

“Lalu aku harus memerintahkan putra-putraku sendiri yang turun mengambil mutiara itu?”

“Hanya itu cara yang ada, paduka. Biarkan para putra mahkota mencari mutiara hitam yang kau
inginkan.”

“Mencari? Apa maksud kakek mencari? bukankah mutiara hitam selalu berada di lembah suci?”
“Sudah kukatakan dunia atas tidak seperti dunia bawah. Jika keberadaan mutiara di dunia atas
sudah pasti di lembah suci, keberadaan di dunia bawah tidak bisa dipastikan. Mereka harus
berusaha mencarinya.”

Raja mendesah keras. Antusiasme mendapatkan mutiara hitam turun begitu saja mendengar
penjabaran sang kakek. Membiarkan purta-putranya turun ke dunia bawah saja sudah
memberatkan hatinya. Apalagi menyuruh mereka mencari mutiara hitam yang tak pernah
diketahui keberadaannya. Apa mereka mampu?

“Sejujurnya aku sedikit keberatan jika harus menurunkan mereka ke bumi. Bukan apa-apa. Tapi
mereka belum sepenuhnya dewasa. Aku takut terjadi sesuatu jika tanpa pengawasan dari
pengawal kerajaan.” keluh sang Raja.

Sedetik kemudian, terdengar jawaban dari salah seorang putranya. “Kami mampu ayah.
Percayakan semua pada kami. Mutiara hitam itu pasti bisa kami temukan.” ucapnya tegas
membuat seisi ruangan terperanjat.

Yoongi menarik keras telinga adiknya. Sedangkan sang pemilik telinga itu hanya bisa meringis
kesakitan. Tak sanggup melawan kakaknya yang galak itu.

“Hyung, sakit. Nanti telingaku lepas bagaimana?”

“Hanya tinggal mencari telinga gajah untuk menyambungnya. Beres kan?”

“Hyuuung…Telinga gajah terlalu besar. Itu tidak cocok dengan wajah tampanku.”

“MAKANYA DIAM JIKA TAK INGIN TELINGAMU LEPAS, TAEHYUNG!!”

Taehyung meringis ketika telinganya mulai berdengung. Mulutnya menggerutu. Meratapi nasib
buruknya memiliki saudara sejahat Yoongi.

“Sebenarnya kau mau membawaku kemana? Dari tadi berputar-putar. Lagipula aku punya
tangan, kenapa kau menyeret telingaku seperti ini? Ini, pegang tanganku saja.” protesnya
mengulurkan tangan.

“Aku akan mengadukanmu pada ayah karena membuat Jimin menangis.”

“APA?” pekiknya heboh. “Hyuuuung. Kau jahat sekali.”

“Biar saja. Kau yang terlebih dahulu jahat. Apa-apaan memberi nama singa itu dengan nama
Jimin. Dia pasti sakit hati, bodoh!”

“Sudah kubilang itu karena nama Jimin bagus. Apa itu salah?”

“S.a.l.a.h.b.e.s.a.r.!” jawab Yoongi penuh penekanan.


Taehyung tak sengaja menabrak kakaknya karena Yoongi berhenti tiba-tiba. Ia kembali
menggerutu. Sedangkan Yoongi diam di tempatnya.

“Tae…kembalilah ke kamarmu.” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan. Ia juga melepas


pegangan tangannya pada telinga Taehyung.

“Maksud hyung?”

“Kita selesaikan urusan kita nanti. Kembali ke kamar.” ucapnya tegas.

Taehyung heran sekaligus senang. Setidaknya, kali ini ia bebas. Tak peduli maksud Yoongi
membiarkannya pergi begitu saja. Padahal tadi jelas-jelas kakaknya ingin mengadukannya pada
ayah. Ah, masa bodoh.

“Benar ya hyung? Aku pergi sekarang. Awas, akan ku adukan kau pada Seokjin hyung.”

“Terserah. Cepat pergi!”

Taehyung buru-buru berlari. Kemudian menghilang dibalik koridor israna. Sedangkan Yoongi
mulai mengendap-endap dinding ruangan. Samar-samar, ia mendengar percakapan ayahnya
entah dengan siapa. Ia tak bisa menebak.

“Lalu aku harus memerintahkan putra-putraku sendiri yang turun mengambil mutiara itu?”
ayahnya bersuara.

“Ah, mutiara hitam. Itu pasti mutiara hitam yang dapat menyembuhkan Seokjin hyung!”
batinnya. Mendengar itu, ia semakin antusias menguping percakapan mereka.

“Hanya itu cara yang ada, paduka. Biarkan para putra mahkota mencari mutiara hitam yang kau
inginkan.”

“Jadi hanya putra mahkota yang bisa mencarinya?”

“Mencari? Apa maksud kakek mencari? bukankah mutiara hitam selalu berada di lembah suci?”

“Sudah kukatakan dunia atas tidak seperti dunia bawah. Jika keberadaan mutiara di dunia atas
sudah pasti di lembah suci, keberadaan di dunia bawah tidak bisa dipastikan. Mereka harus
berusaha mencarinya.”

“Apa? Mutiara hitam itu berada di dunia bawah? Ah, kenapa jauh sekali? Tapi jika itu untuk
kesembuhan Seokjin hyung mau tak mau aku harus turun. Ini demi Seokjin hyung.”

Yoongi merasakan jeda yang cukup lama sebelum ayahnya kembali bersuara.
“Sejujurnya aku sedikit keberatan jika harus menurunkan mereka ke bumi. Bukan apa-apa. Tapi
mereka belum sepenuhnya dewasa. Aku takut terjadi sesuatu jika tanpa pengawasan dari
pengawal kerajaan.”

“Heh? Apa maksud ayah? Jika bukan kami para putra mahkota yang turun lalu siapa lagi?
Siapa yang akan mengusahakan kesembuhan Seokjin hyung? Tidak-tidak. Ini tidak boleh di
biarkan.”

Yoongi bergegas membuka pintu utama kerajaan. Membuat semua orang menoleh ke arahnya. Ia
melihat ayahnya terperanjat. Mungkin tak menyangka jika dirinya akan menginterupsi seperti
itu.

“Kami mampu ayah. Percayakan semua pada kami. Mutiara hitam itu pasti bisa kami temukan.”
ucapnya tegas.

“Yoongi? sejak kapan kau berada di situ? Kau menguping pembicaraan kami?”

“Tidak penting mempermasalahkan aku menguping atau tidak. Ini untuk kesembuhan Seokjin
hyung, ayah. Mengapa ayah menyia-nyiakan kesempatan ini? Kami bukan anak kecil lagi. Ayah
bisa mengandalkanku untuk menjaga adik-adikku di dunia bawah nanti. Aku janji akan
membawa mutiara hitam dan mereka kembali dengan selamat, ayah. Biarkan kami turun.”

“Pikirkan ini baik-baik Yoongi. Dunia bawah berbeda dengan dunia kita. Kau harus
mempertimbangkan ini matang-matang.”

“Tidak ada lagi yang perlu dipertimbangkan jika itu untuk kesembuhan saudaraku sendiri.
Tidakkah ayah ingin Seokjin hyung sembuh?”

“Kau yakin mampu melakukannya?”

Yoongi bergegas memberi anggukan kuat. Seolah menunjukan pada ayahnya betapa ia siap
menerima resiko apapun yang akan di hadapinya. Dan disitu, Raja menyadari bahwa ia tak dapat
mencegah keinginn putra keduanya.

Min Yoongi yang keras kepala.

Terkadang ia memang menyebalkan. Namun saat ini kekukuhannya itulah yang akan membuka
jalan untuk menemukan mutiara hitam di dunia bawah. Menyelamatkan saudaranya yang sedang
sekarat.

“Jaga adik-adikmu di dunia bawah nanti.”

Yoongi mengulas senyum mendengar keputusan akhir ayahnya. Ia bahagia. Setidaknya Raja
memberi kesempatan padanya untuk membuktikan bahwa ia dapat di andalkan. Tetapi yang
terpenting, ia memiliki kesempatan untuk membantu kakaknya. Demi apapun ini adalah
keinginan terbesarnya setelah melihat keadaan Seokjin yang semakin memburuk.
“Tunggu sebentar lagi, Seokjin hyung. Kau akan sembuh.”

Rencana itu ia susun matang-matang. Ia banyak berbagi pikiran dengan adiknya, Hoseok. Ya, itu
karena ia tak mungkin berbagi dengan Seokjin. Bahkan ia sangat berhati-hati agar Seokjin tak
mengetahui rencana mereka untuk turun ke dunia bawah. Ia berani bersumpah jika Seokjin tahu
akan hal ini, saudara tertuanya itu pasti tak akan mengijinkan mereka semua turun ke dunia
bawah. Apalagi tujuan mereka adalah untuk kesembuhan Seokjin sendiri. Pastilah ia akan
menentangnya mentah-mentah.

“Kau yakin harus kita berenam yang turun, hyung?” Hoseok bertanya pada Yoongi.

“Apa maksudmu? tentu saja.”

“Maksudku, apa tidak sebaiknya hanya aku, kau dan Namjoon saja yang mencari mutiara hitam
itu? Aku terlalu khawatir jika harus mengajak ketiga adik kita yang lain.”

“Ya, sebenarnya aku juga khawatir dengan mereka. Tetapi—“

“Bukankah tidak adil jika hanya kalian saja yang berkorban? Hyung, kau tak menganggapku?”

Mereka berdua terkejut ketika adik kecil mereka datang menginterupsi. Raut mukanya mengeras.
Sepertinya ia telah mendapat firasat bahwa saudaranya itu akan meninggalkannya.

“Jungkook, dengarkan aku. Aku hanya khawatir terjadi sesuatu yang buruk di dunia bawah.”

“Jika sesuatu yang buruk terjadi maka aku akan berdiri di sampingmu untuk melawannya! Aku
sudah cukup mahir menggunakan senjata. Aku bukan anak kecil lagi, Hoseok hyung!”

“Dia benar, Hoseok. Kita akan semakin kuat jika bersama-sama.” Yoongi menepuk pundak
adiknya.

Kali ini Hoseok menyerah. Hanya diam tak membantah ucapan mereka. Dalam hati, ia berharap
apa yang mereka katakan benar adanya.

“Ayo, kita beri pengertian pada Jimin, Namjoon dan Taehyung. Mereka juga harus bersiap untuk
turun ke dunia bawah bersama kita besok.” putus Yoongi kemudian. Ia bergegas pergi yang
diikuti kedua adiknya di belakang.

.
.

“Seokjin hyung sakit?” hampir ketiganya memberikan reaksi yang sama dengan Hoseok dan
Jungkook ketika Yoongi memberitahu keadaan Seokjin pada mereka. Yoongi mengangguk kecil.
Memasang raut muka bahwa ia sedang tidak bercanda.

“Kalau begitu aku siap untuk turun ke dunia bawah.” tekad Jimin diikuti oleh Namjoon dan
Taehyung. Yoongi tersenyum melihat kesungguhan mereka. Ia bersyukur, ikatan mereka cukup
kuat. Sehingga mereka rela berjuang untuk kesembuhan Seokjin.

“Istirahatlah, besok pagi kita akan berangkat sebelum Seokjin hyung bangun.”

“Baik hyung.” ucapnya serentak. Satu persatu, mereka melangkah menuju tempat peristirahatan
masing-masing. Bersiap mengumpulkan tenaga untuk perjalanan panjang menuju dunia bawah.
Ini adalah pengalaman pertama bagi mereka. Sudah pasti mereka sangat antusias.

“Kau juga pergi istirahat, Tae. Jangan melamun saja di sini.” Yoongi menegur Taehyung yang
masih saja duduk terdiam. Tak bergeming sedikitpun.

“Apa Seokjin hyung sakit parah?” lirihnya tanpa mengalihkan pandangan. Yoongi tertenggun.
Menatap Taehyung dalam.

“Ya. Hanya mutiara hitam yang bisa menyembuhkannya.”

“Sejak kapan Seokjin hyung sakit? Apa ia sengaja menyembunyikannya dariku?”

“Jangan berprasangka buruk, Tae. Seokjin hyung hanya tak mau kita semua khawatir.”

“Seokjin hyung memang tak pernah membuatku khawatir. Tapi sekarang ia membuatku merasa
bersalah, hyung! Bagaimana bisa aku tidak tahu bahwa Seokjin hyung sedang sakit? Ah,
mungkin aku yang terlalu bodoh! Hiks…”

“Taehyung…”

Yoongi mencoba menahan tubuhnya tetapi Taehyung terlebih dulu pergi. Langkahnya lebar-
lebar. Ia menyeka dengan kasar air matanya yang tiba-tiba jatuh. Untuk pertama kali, ia
membenci dirinya sendiri. Dan untuk pertama kali pula ia menangisi saudaranya itu. Jika
biasanya Seokjin selalu menenangkan Taehyung yang sedang menangis, kali ini Seokjin
sendirilah yang membuatnya mengeluarkan banyak air mata. Apa ini karma? Apa ini balasan
karena Taehyung selalu saja merepotkan Seokjin?

“Hiks..”
Taehyung tak dapat mengontrol emosinya sampai larut malam. Matanya enggan terpejam.
Tubuhnya sengaja ia miringkan menghadap Jungkook yang sudah terlelap agar ia lebih leluasa
mengeluarkan kesedihannya. Ya, karena jika ia menghadap sisi yang lain, bisa jadi Seokjin tahu
ia tak sedang tidur. Bahkan mungkin Taehyung akan semakin merasa bersalah jika memandang
langsung kakak tertuanya itu.

Seokjin hyung, maafkan aku.

Jangan menghukumku seperti ini.

Aku tahu aku sering melakukan kesalahan.

Aku tahu aku sering merepotkanmu.

Apa hyung lelah menjagaku?

Apa ini karena aku yang selalu membuatmu pusing?

Ini semua karenaku?

Seokjin hyung jangan tinggalkan aku…

Taehyung kembali mengusap air matanya ketika ia mendengar langkah mendekat. Ia


memejamkan mata. Berpura-pura tidur agar tak dicurigai. Sedetik kemudian, ia terkejut karena
seseorang merebahkan diri di ranjangnya. Tepat di belakangnya.

Tangan itu meraih selimut yang tak digunakan dengan benar oleh Taehyung. Menariknya ke atas
hingga menutupi tubuh Taehyung dan tubuhnya sendiri. Ia merengkuh Taehyung dalam
pelukannya.

Hati Taehyung mencelos.

“Selamat tidur adik kecilku. Hyung menyayangimu.” ucapnya pelan sembari mengelus puncak
kepala Taehyung. Taehyung tetap terpejam. Menggigit bibir bawah ketika ia merasakan sakit di
hatinya. Biasanya ia sangat menyukai jika Seokjin melakukan ini. Ia merasa bahwa Seokjin
sangat menyayanginya. Namun saat ini, ia berfikiran lain atas perlakuan Seokjin padanya.
Atmosfer segera berubah setelahnya.

Sesak.

Ia membenci fakta bahwa ternyata Seokjin melakukannya karena kakaknya itu tak memiliki
banyak waktu untuk bersamanya.

Aku juga menyayangimu, hyung. Sangat menyayangimu. Tetaplah disampingku seperti ini.

.
“Bolehkah aku tidur bersamamu juga?” tiba-tiba Namjoon menjatuhkan diri di ranjang
Taehyung. Membuat tempat itu semakin penuh sesak. Baik Seokjin maupun Taehyung sontak
menoleh ke arahnya. Tak biasanya anak itu bergabung untuk tidur bersama. Bahkan pernah
sekali ia menendang Taehyung ketika adiknya itu tak sengaja tidur di ranjangnya –Taehyung
pikir itu ranjang Seokjin-

“Sempit hyung.” rengek Taehyung yang lebih menyerupai gumaman. Namjoon hanya membalas
dengan jitakan pelan pada puncak kepalanya. Belum sempat Taehyung membalas, Seokjin yang
berada di tengah-tengah dengan cekatan menghentikan gerakan tangannya. Mengantisipasi agar
tak terjadi pertengkaran di tengah malam seperti ini.

“Jika kalian tidur bersama untuk berkelahi, lebih baik aku kembali ke ranjangku.”

“Jangaann!!” seru keduanya hampir bersamaan. Seokjin tersenyum geli mendengar kekompakan
mereka.

“Kalian sebenarnya kenapa? tak biasanya seperti ini?” ungkapnya masih sambil tersenyum.

“Kenapa? apa ada yang salah? hyung kan memang sering menemaniku tidur.” balas Taehyung.

“Ya! memangnya kau saja yang mau tidur bersama Seokjin hyung? Aku juga adik Seokjin
hyung. Aku mau tidur bersama kalian juga.”

“Tapi aku tidak suka tidur denganmu. Kau bau, Namjoon hyung.”

“Dasar kutu loncat! Kutendang kau keluar baru tahu rasa. Biar tidur di luar saja bersama singamu
itu.”

“Jimin, hyung. Singaku namanya Jimin.”

“APPAAA??” pekik Namjoon dan Seokjin. Keduanya lantas serentak mencubit Taehyung
dengan gemas.

“Ya, Kim Taehyung. Bagaimana bisa kau memberinya nama Jimin?”

“Sudahlah, semua orang sudah menanyaiku tentang itu. Bahkan Yoongi hyung hampir merobek
telingaku gara-gara aku menamainya seperti itu. Tapi bagaimanapun, aku tetap akan
menamainya Jimin. Bukan Park Jimin, tapi Kim Jimin. Ya, karena dia adalah peliharaan Kim
Taehyung. Hehehe…”

Baik Seokjin maupun Namjoon hanya bisa melongo mendengar ocehan adiknya. Keduanya
menggelengkan kepala. Tak menyangka jika Taehyung memiliki pemikiran segila itu.

“Mau sampai kapan kau membuat semua orang darah tinggi seperti ini, Kim Taehyung.”
pungkas Seokjin mencapit hidung adiknya.
“Aaaaaw…jangan mencubitiku terus, hyung. Ayo tidur. Namjoon bau juga tidur.”

Plaaakk

“Aduh!”

“Panggil aku hyung.”

“Apa kau saat ini iri, Yoongi?”

Yoongi tersenyum kecut kala kalimat itu menggema di otaknya. Ia menggelengkan kepala seolah
itu bisa menyangkal segala perasaan yang berkecamuk di hatinya. Sedari tadi, ia hanya bisa
memperhatikan ketiga bersaudara itu berbincang. Berbagi cerita dalam kehangatan yang
diberikan satu sama lain.

Yoongi tahu persis, mereka bertiga bukan tipe saudara yang akan menunjukan rasa sayangnya
secara verbal. Bahkan Taehyung dan Namjoon lebih sering menghabiskan waktu mereka untuk
bertengkar. Yah, terkecuali Seokjin. Sudah tak diragukan lagi betapa pedulinya ia pada saudara-
saudaranya. Tak hanya pada Namjoon dan Taehyung yang notabene adalah Saudara
kandungnya. Tetapi pada saudaranya yang lain juga. Itulah mengapa Seokjin sangat dicintai di
kerajaan langit. Dan itu pula alasan kegelisahan hati Yoongi akhir-akhir ini.

Yoongi mengingat dengan jelas. Saat ia terbangun di tengah malam. Ia menoleh ke arah samping
dan mendapati Seokjin duduk dengan kepala menengadah. Awalnya, ia berfikir bahwa Seokjin
sedang berlatih. Mengasah kekuatan batin yang baru saja diajarkan langsung oleh ayah mereka.
Namun Yoongi salah. Ia tertenggun ketika Seokjin meraih kain dan mengusapnya pada bagian
hidung.

Hidung Seokjin berdarah.

Ia sempat terbelalak sebelum akhirnya kembali mengontrol diri. Berusaha tetap terlelap agar
Seokjin tak memergoki bahwa sedari tadi ia memperhatikan. Ia menyaksikan bagaimana
saudaranya itu mengerang. Memegangi kepala untuk melawan rasa sakit yang mendera.

Erangan itu perlahan mulai melemah. Menyisakan rintihan-rintihan kecil yang terdengar
memilukan di telinganya. Yoongi kembali mengintip. Mendapati Seokjin yang tengah bersandar
dengan kesadaran yang telah hilang entah kemana. Hati kecilnya selalu mendorongnya untuk
mengulurkan tangan. Membantu kakaknya yang tiba-tiba koleps. Namun akal sehatnya selalu
menolak. Seokjin pasti tak ingin ia tahu. Seokjin pasti ingin merahasiakan ini semua.
Perdebatan kecil dalam dirinya selalu berakhir dengan umpatan dan segala sumpah serapah yang
ia tujukan pada dirinya sendiri.

Betapa ia adalah orang terbodoh di dunia

Betapa ia adalah saudara terjahat yang pernah ada

Ia merasakan berbagai macam penyesalan karena hanya bisa melihat tanpa melakukan apa-apa.

“Jika saja egoku tak setinggi ini” Yoongi kembali mengejek pecundang yang bersemayam
dalam dirinya. Ia tahu, sampai kapanpun ia tak akan pernah bisa menunjukan kepeduliannya
pada Seokjin. Ia terlalu takut. Ia terlalu gengsi dan merasa tak percaya diri melakukannya. Oleh
sebab itu, ketika ia memiliki kesempatan untuk mencari mutiara hitam di dunia bawah, ia tak
akan menyia-nyiakannya.

“Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu”

Pagi terasa tiba lebih cepat dari biasanya. Jungkook si putra bungsu adalah orang pertama yang
membuka mata. Ia menguap lebar sambil sesekali meregangkan otot-otot tubuhnya. Baru saja ia
akan beranjak, matanya terpaku pada pemandangan janggal di depannya.

Jika biasanya ia menemukan ranjang milik Taehyung –yang tepat berada di samping ranjangnya-
dihuni oleh dua orang, kali ini ia memastikan penglihatannya karena merasa ada yang salah.

Tiga?

Ia tertenggun melihat Namjoon meringkuk di samping Seokjin. Sedangkan Taehyung seperti tak
mau kalah, memeluk kakak tertuanya erat. Pemandangan yang langka. Alih-alih merasa senang,
Jungkook hanya bisa tersenyum miris melihatnya.

Beginikah rasanya takut kehilangan?

Pertanyaan yang seketika muncul di otaknya, bersamaan dengan munculnya rasa sakit di hatinya.
Ia memang tak bersaudara kandung dengan mereka. Tapi bukankah Seokjin juga saudaranya?
Bukankah wajar jika ia juga merasakan ketakutan ini? Bagaimana jika nanti ia gagal mendapat
mutiara hitam itu? Apakah Seokjin benar-benar tak bisa selamat? Apakah ia benar-benar harus
kehilangan kakak tertuanya? Selamanya?

“Ayo bersiap!”
Lamunannya buyar saat Hoseok merengkuh dan menyeretnya pelan.

“Sepertinya Taehyung dan Namjoon hyung dalam kesulitan sekarang. Seokjin hyung benar-
benar tak melepaskan sedikitpun tubuh mereka.” Jimin mendesah saat melapor pada Yoongi.
Mereka sudah berkumpul. Tetapi Taehyung dan Namjoon belum juga beranjak dari kamar
karena semalam mereka tidur bersama Seokjin. Tentu saja, jika mereka memaksakan bangun,
Seokjin pasti akan ikut membuka mata.

“Bagaimana hyung? atau kita tinggalkan Namjoon dan Taehyung saja? Waktu kita tak banyak.”

“Tidak, Hoseok. Kita tunggu mereka di luar. Kita sudah berjanji akan bersama-sama kan?”

“Yoongi hyung benar. Ayo hyung.” ajak putra bungsu.

Beberapa langkah kemudian, mereka dihentikan oleh sebuah suara dari belakang.

“Kalian sudah bersiap?”

Mereka serentak mengangguk.

“Sangat siap, ayah!”

Raja tersenyum mendengar jawaban mereka.

“Hati-hati anakku. Yoongi, ibu percaya kau bisa menjaga adik-adikmu. Lindungi mereka selama
di dunia bawah. Apapun yang terjadi, kalian harus tetap bersama.”

“Tentu ibu. Aku tidak akan membiarkan adik-adikku terluka. Aku akan membawa pulang
mereka dengan selamat. Dan juga, aku akan membawa mutiara hitam itu untuk Seokjin hyung.”

“Ya. Dan kalian, dengarkan apa kata kakak kalian. Jangan menyusahkannya. Eh? dimana
Namjoon dan Taehyung? Mereka tak ikut?”

“Kami di sini ibu!”

Taehyung dan Namjoon berjalan tergopoh menghampiri mereka. Dengan tergesa, Namjoon
menarik tangan adiknya yang masih setengah terlelap.

“Taehyung susah sekali dibangunkan! Dia seperti mayat!” gerutunya sebal. Taehyung yang
disampingnya tak mengindahkan. Malah bersender pada tubuh kakaknya itu.
“Yak, Kim Taehyung buka matamu! Kita akan turun ke dunia bawah!”

“Yoongi hyung, kenapa kau selalu membentakku? Aku masih mengantuk.”

“Jika kau lelah, kau bisa tinggal di sini, Tae. Menemani Seokjin hyung. Kau tak perlu turun ke
dunia bawah.” saran Raja dengan bijak. Seketika mata Taehyung membuka selebar-lebarnya.

“Tidak, ayah. Aku sudah bangun. Lihat? Mataku sudah terbuka kan? iya kan?”

Jimin membuka mata setelah dirasa cahaya menelusup kelopaknya. Seolah memaksa
kesadarannya untuk kembali. Hal pertama yang ia lakukan adalah meraba kepala. Ia meringis,
merintih rendah karena bagian itu terasa berdenyut-denyut menyakitkan.

“Arrgghh…”

Seperti ada puluhan burung beterbangan dan berputar-putar di atasnya. Ia merasakan pening
bukan kepalang.

Sebenarnya kenapa?

“Aku benci turun ke dunia bawah!” gerutunya entah pada siapa.

Dalam hati ia menyalahkan sang ayah yang menendangnya begitu saja ketika ia berdiri di
ambang batas dunia atas dan dunia bawah. Sehingga membuat tubuh kecilnya terpelanting
mengikuti gravitasi dengan posisi kepala di bawah.

Ya.

Kepala Jimin adalah bagian tubuh pertama yang menyentuh dunia bawah. Oh, keterlaluan sekali
ayahnya!

Sadar tak ada yang menyahut protesnya, ia segera mengedarkan pandangan. Seingatnya, ia turun
tidak seorang diri. Ia bersama seluruh saudaranya –kecuali Seokjin tentu saja– dan seharusnya—

“Hei, di mana mereka?” serunya heran. Perasaan panik perlahan mulai menjalar ke seluruh
tubuhnya.

“Yoongi hyung? Hoseok hyung?”

Jimin berlarian kesana kemari namun hasilnya tetap nihil. Tidak ada siapa-siapa. Ia tidak
menemukan satupun saudaranya. Hanya pepohonan dan suara gemerisik daun teriup angin yang
menemani.
“Mati aku!”

“Hyung, sebenarnya mereka di mana?” rengekan si bungsu benar-benar membuat kepalanya


hampir meledak.

Yoongi masih diam. Bersikap tenang walau dalam hati ia merasakan kebingungan yang tak kalah
besar dengan Jungkook.

“Aku bahkan tidak tahu ini tempat apa.” batinnya melihat keadaan sekitar.

Banyak manusia lalu lalang di depannya. Dan yang membuatnya merasa risih, mereka selalu
melihat ke arah Yoongi dan Jungkook berada dengan pandangan yang sulit di artikan.

“Apa kalian adalah model untuk Hanbok keluaran terbaru? Aigoo, tampan sekali. Tapi sepertinya
Chuseok masih lama. Terlalu dini membeli pakaian tradisional itu.”

Seorang wanita paruh baya menghampiri Jungkook. Mencubiti pipinya dengan gemas. Mata
Yoongi melebar. Ia mencoba menyelamatkan adiknya dari orang itu.

“Hyuuuung…singkirkan orang ini. Arrghh!!”

“Hoseok, bangun!” Namjoon masih giat menggoyang-goyangkan tubuh Hoseok. Berharap


saudaranya itu segera membuka mata.

“Apa dia mati, hyung?” ujar Taehyung menyuarakan pendapatnya. Pasalnya, sudah sejak
beberapa jam yang lalu mereka sadar dari masa transisi dunia atas ke dunia bawah. Tapi Hoseok
belum juga bangun. Jangankan membuka mata, bernafaspun sepertinya tidak.

“Jangan mengada-ada! Dia hanya pingsan. Yak, Jung Hoseok! apa kau benar-benar lupa cara
membuka mata?”

Sekali lagi Namjoon harus menelan kekesalan karena lelaki di hadapannya sama sekali tak
bergeming. Ia mulai menyerah, membiarkan tubuh Hoseok tergeletak tanpa repot-repot
memindahkan pada tempat yang lebih layak. Ya, mereka bertiga tersesat di pelataran rumah
dengan papan besar bertuliskan ‘DIJUAL’.

“Hyung, kita bisa menempati rumah ini. Lihat, rumah ini sedang mencari pemilik baru!”

Ucapan Taehyung meredakan kekesalan Namjoon. Ia menoleh, mengamati bangunan yang sedari
tadi diabaikannya. Ia berada di dunia baru, dan saudara-saudaranya hilang entah kemana. Oh, itu
sudah cukup untuk membuat fikiran kakak kedua Kim Taehyung melayang dan tidak fokus sama
sekali.

“Kau benar, Tae! Syukurlah, ternyata dunia bawah membuat otakmu sedikit berfungsi.” ujarnya
mengacak rambut Taehyung.

Sementara adiknya mencibir di belakang, Namjoon mulai berkeliling untuk mencari pemilik
rumah. Berniat melakukan negosiasi agar ia bisa secepatnya memiliki rumah itu. Satu yang saat
ini sangat ia inginkan. Berbaring di ranjang empuk dan melepas lelah.

Persetan dengan ketiga saudara yang lain. Toh mereka telah belajar telepati.

“Hoseok hyung, Yoongi hyung, Namjoon hyung. Hiks..hiks..kalian di mana?? Taehyung,


Jungkook. Hiks..kenapa kalian menghilang begitu saja??”

Rengekan Jimin menjadi satu-satunya suara yang terdengar di tempat itu. Hari mulai gelap, dan
ia belum juga menemukan satupun saudaranya.

Ia tak begitu bodoh, sudah berusaha berkeliling mencari mereka. Ia juga mengamati keadaan
sekitar kalau-kalau ada tempat untuk berlindung. Tentu saja ia membutuhkan tempat. Sebentar
lagi malam tiba dan ia berada di tengah hutan. Ia harus mencari penginapan jika tak ingin
diterkam binatang buas ketika tidur nanti.

“Yoongi hyung!”

Jimin tersentak ketika suara seseorang menggema. Suara itu sangat jauh namun terdengar begitu
jelas. Seseorang memanggil Yoongi. Dan ia yakin seratus persen bahwa itu suara Namjoon.

“Namjoon hyung? benar itu suara Namjoon hyung kan?” gumamnya senang. “Namjoon hyung,
kau di mana?” teriaknya kemudian.
Jimin kembali diam. Membiarkan suaranya memantul ke segala penjuru hutan dan berharap
sampai pada telinga Namjoon. Beberapa saat kemudian, bahunya menurun karena tak mendapat
jawaban.

Ia menghirup udara banyak-banyak, lalu menghembuskannya dalam bentuk teriakan


menggelegar “NAMJOON HYUUUUNG!!!!”

“Park Jimin. Bisa tidak kau memelankan suaramu? Aku ada di kepalamu, bodoh!” sahut
Namjoon malas.

Butuh tiga detik bagi Jimin untuk mencerna jawaban Namjoon, lalu detik berikutnya ia meringis
menyadari kebodohannya.

“Kau memakai telepati hyung? hehe… maaf. Ngomong-ngomong kau di mana?”

“Aku di dalam rumah baruku. Taehyung sedang membersihkan diri, dan Hoseok masih tertidur.
Ah, transformasi ke dunia bawah benar-benar melelahkan. Sepertinya aku akan tidur lebih awal
hari ini.”

“APPPAA?? Kalian bertiga berkumpul? Dan sudah mendapat rumah baru? Yak! Kau keterlaluan
hyung!” sudah pasti Jimin emosi mendengar jawaban Namjoon. Apa-apaan ini? Kenapa mereka
bisa bersantai-santai sementara dirinya—

“Ck! memangnya kau sendiri di mana?”

“Kau tak akan percaya jika aku mengatakannya. Aku ada di tengah hutan. Dan aku sendirian.
Aku sendirian hyung. Ini pasti gara-gara ayah menendangku terlalu keras. Aku jadi terpisah
dengan kalian.”

“Hahaha…Kasihan sekali.”

Jimin merengut. “Hanya itu?”

“Lantas aku harus apa?”

“Kau tak ingin mencariku? Hyung, aku benar-benar sendiri. Aku tak tahu harus melakukan apa.”

“Jangan gila, Jimin. Hari sudah mulai gelap. Segera cari penginapan. Dan besok pagi cari aku
di…emm… di Seoul. Ya. Aku berada di Seoul.”

“Seoul? di mana itu Seoul? aku benar-benar tidak tahu, hyung.”


Belum habis rengekan Jimin pada kakaknya, ia dikejutkan oleh kehadiran orang lain.

“Hei, kau berbicara sendiri?”

DEG

Jimin hanya mampu terpaku di tempatnya. Seperti maling yang tertangkap basah tengah
mencuri, ia tak berani menyahut.

“Apa seseorang bisa terserang bisu mendadak? Aku mendengarmu berbicara sendiri. Tetapi saat
ku tanya kau malah diam.”

“Jelas-jelas kau mendengarku bicara. Bagaimana bisa kau menyebutku bisu? Gadis aneh!”
gerutunya rendah. Namun suara rendahnya ternyata masih dapat terdengar oleh gadis
dihadapannya itu.

“Berapa umurmu?” sang gadis mengubah topik.

“Dua puluh. Aku baru berulang tahun belum lama ini.”

Plaakk!!!!

“Aww!! Yak! kenapa tiba-tiba menamparku?”

“Kau lebih muda dariku. Jangan sekali-kali berbicara tidak sopan apalagi meneriaki mukaku
seperti itu. Dan apa itu yang kau pakai? Hahaha. Hanbok? Kau memakai hanbok di tengah hutan
seperti ini? Oh Tuhan mengapa semakin banyak orang gila berkeliaran.”

Jimin mengamati pakaiannya ketika gadis itu mencela. Ia memang merasa kesal, namun
sepertinya marah-marah bukan tindakan yang tepat. Ia berasumsi bahwa pakaian dunia atas dan
dunia bawah berbeda. Ia maklum.

“Terserah apa katamu, noona. Tapi bisakah kau membantuku sekarang?”

Tawa lebar gadis itupun mereda. ia memandang Jimin heran. Oh, sudah pasti ia heran. Sedetik
yang lalu mereka baru saja beradu mulut. Dan sekarang Jimin meminta bantuan? Terkutuklah
Park Jimin yang tak tahu diri ini.

“Apa aku tidak salah dengar? Kau meminta bantuanku?”

Tak peduli pertanyaan bernada meremehkan dari gadis itu, Jimin tetap mengangguk.
Menggerakan kepalanya kencang disertai tatapan puppy eyes yang telah ia pelajari dari
saudaranya ketika sedang merajuk. Ah, siapa lagi kalau bukan Kim Taehyung?!

“Apa yang kau inginkan?” tanya gadis itu lagi.


“Biarkan aku menginap di rumahmu malam ini. Aku tersesat. Aku lupa jalan kembali.”

“Sudah ku duga. Hari hampir gelap dan kau masih berada di hutan. Sudah kutebak kau tersesat.”

“Ya, dan aku terpisah dari saudara-saudaraku. Aku benar-benar membutuhkan tempat
bermalam.”

Gadis itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Terlihat berfikir sejenak sebelum
berucap “Baiklah. Hanya satu malam.”

“Yes!! Terimakasih, noona.” soraknya dengan mata berbinar. Ia benar-benar lega. Gadis yang
terlihat galak ini ternyata berhati malaikat. Yah, kecuali mulut pedasnya tentu saja.

“Jangan menatapku seperti itu. Kau terlihat seperti Minki.”

Alis Jimin berkerut. “Minki? siapa?”

“Anjingku di rumah!” ucapnya sambil berlalu.

“Ish, menyebalkan” gerutu Jimin sebal. Ia kemudian berlari kecil menyusulnya. “Hei, tunggu aku
noona. Kau belum memberitahu namamu.”

“Panggil aku Soojung. Choi Soojung.”

“Maafkan hyung, Jungkook. Hyung hanya bisa menyewa tempat ini.” Yoongi menyempatkan
diri berbicara pada adiknya sebelum tidur.

Jungkook menoleh, memandang kakaknya yang sedang menghadap langit-langit ruangan.

“Aku mengerti. Aku pernah membaca bahwa makhluk bumi bertransaksi dengan uang, bukan
koin emas seperti kita.”

“Ya. Aku lega kau mengerti. Sangat susah menemukan orang yang mau dibayar dengan emas.”

“Tak apa, hyung. Ayo kita tidur. Aku lelah sekali.”

Yoongi mengangguk pelan. Kemudian menyusul Jungkook memejamkan mata.

Dua puluh menit berlalu, ia kembali membuka kelopaknya. Ia tak bisa tidur tanpa saudara-
saudaranya yang lain. Rasanya ada yang kurang.
Di mana mereka sekarang?

Apa mereka juga mendapatkan penginapan sepertinya?

Bagaimana jika mereka dalam bahaya?

Pertanyaan-pertanyaan itu kembali terngiang di otaknya. Ia hampir frustasi karena tak ada
satupun dari mereka yang menjawab telepatinya.

“Apa kami terpisah sangat jauh?”

Ia bergumam sambil sesekali merapatkan selimut yang dipakai berdua dengan Jungkook.

“Aku bahkan mengingkari janjiku pada hari pertama menginjakan kaki di dunia bawah. Aku tak
bisa menjaga adik-adikku.”

Ia masih melanjutkan monolognya itu, “Maafkan aku, ibu.”

Tak terasa gigiya mulai bergemeletuk. Ia menggigil. Udara malam benar-benar dingin.

“Ugh, angin Pantai Jeju ekstrem sekali. Untunglah di langit tak ada tempat seperti ini.”

“Kau tinggal sendirian, noona?”

Jimin kembali membuka percakapan dengan Soojung. Berusaha lebih tahu. Pasalnya, sejak ia
tiba dirumahnya, Jimin tak melihat satupun anggota keluarga yang tinggal.

Namun ternyata ia melihat gadis yang sedang menyantap makan malamnya itu menggeleng.

“Aku tinggal bersama saudaraku. Dia akan pulang segera.”

“Oh.” sahut Jimin singkat.

“Jika dia pulang nanti, bersikaplah lebih sopan. Dia memiliki temperamen buruk. Juga, dia tak
suka orang asing masuk rumah ini.”

Jimin mengangguk mengerti. Tapi diam-diam ia sedikit khawatir.

Bagaimana jika saudara Soojung benar-benar tak menyukainya?


Bagaimana jika ia nanti di usir?

“Ugh Park Jimin buang jauh-jauh pemikiran burukmu itu.”

Beberapa saat setelah mereka membereskan makan malam, terdengar bunyi gemuruh yang
memekakan telinga. Jimin panik. Ia segera berlari mencerkam lengan Soojung.

“Noona, apa itu? Suara apa itu?” serunya cemas.

Ia menatap nanar Soojung. Namun gadis itu malah memutar bola mata dengan malas.

“Apa kau tak pernah mendengar suara motor? Itu kakakku. Dia baru pulang.”

“Motor?”

“Aish, jangan berlagak seperti orang bodoh! Tunggu di sini. Aku harus membuka pintu.” gerutu
Soojung sambil berlalu. Meninggalkan Jimin dengan sejuta pertanyaan di otaknya.

Ia sedang bersiap untuk tidur ketika Soojung kembali, mengetuk pintu kamarnya.

“Park Jimin, bisa keluar sebentar? Kau harus bertemu kakakku dulu.”

“Sudahlah Soojung. Siapapun itu aku sedang tak ingin menemuinya. Aku lelah!”

Suara rendah yang menyahut Soojung membuat Jimin tersentak. Ia memang berada di dalam
kamar. Ia memang tak melihatnya, tapi—

Braaakk!!!

Jimin bergegas membuka pintu kamar. Sehingga menimbulkan bunyi gaduh. Di hadapannya, ia
melihat Soojung yang sedang berdiri mematung, mungkin terkejut karena ulahnya. Tapi itu
bukan tujuannya.

“Noona, siapa yang berbicara denganmu itu?”

Alis Soojung mengkerut. “Siapa? bukankah kau yang sedang bicara denganku?”

“Bukan itu. Maksudku, siapa yang baru saja bicara denganmu sebelumnya? sebelum aku
membuka pintu?”

Terdengar jelas nada menuntut dari setiap kata yang Jimin ucapkan. Dan itu membuat Soojung
sedikit heran. Ia lalu menunjuk pintu kamar yang tertutup.

“Itu kakakku, Leo oppa.”

“Sungguh?”
“Tentu saja. Untuk apa aku membohongimu? Kurang kerjaan saja.”

Jimin tak percaya begitu saja pada ucapan Soojung. Ia melangkah. Berinisiatif membuktikan
sendiri bahwa Soojung tidak berbohong.

Mata Soojung yang sedari tadi memperhatikan Jimin mulai melebar. Jimin menggedor dengan
keras pintu kamar Leo. Dan oh, itu bukanlah ide bagus mengingat Leo bisa murka kapan saja.

“YAK!!”

Gedoran Jimin terhenti ketika pintu terbuka keras dari dalam. Orang yang bernama Leo itu
ternyata lebih tinggi darinya, sehingga membuat Jimin mau tidak mau harus mendongak. Di
sana, tampak raut wajah merah padam penuh kekesalan.

“KAU BENAR-BENAR TIDAK TAHU DIRI! KAU SUDAH MENUMPANG, MASIH


MEREPOTKAN! APA KAU BENAR-BENAR TIDAK PUNYA OTAK???” teriaknya
menggelegar.

Jimin merasakan lengan Soojung menariknya dari belakang. Memaksa Jimin untuk mundur.
Tapi, ia masih kukuh di sana. Berdiri mematung menghadap kakak laki-laki Soojung.

Seharusnya ia merasa takut. Seharusnya ia gentar dibentak oleh orang tak dikenal seperti itu.
Namun nyatanya tidak. Nyatanya Jimin hanya mampu membeku dengan air mata yang hampir
tumpah.

Bukan karena ia takut menghadapi Leo. Tapi karena visual Leo itu sendiri.

Alih-alih seperti preman atau gangster pada umumnya, ia malah mengingatkannya pada
seseorang.

Wajahnya

Suaranya

Bahkan segala yang ia ingat benar-benar ada pada diri Leo.

Ia bergetar, bersamaan dengan air matanya yang mulai menggenang. Dengan suara pelan, Jimin
masih sempat bergumam.

“Seokjin hyung??”

“Seokjin hyung? Jadi…jadi kau ikut turun ke dunia bawah?”

Jimin mengeja dengan susah payah tiap kata yang ia lontarkan. Jantungnya masih berdegup
kencang. Syaraf-syarafnya seakan menegang melihat visual di depannya. Ia tak menyangka,
sungguh. Jadi, usahanya turun ke dunia bawah dengan sembunyi-sembunyi adalah hal percuma?
Jadi Seokjin mengikuti mereka sampai sejauh ini?

“Apa yang kau bicarakan?” sekali lagi Jimin membatu mendengar jawaban Seokjin. Dingin dan
ketus. Ia bahkan menganga ketika sosok itu membanting keras pintu kamarnya.

Brraakk!!!

“Sudah kubilang bersikap sopan pada kakakku, anak nakal! Leo oppa mudah tersinggung. Dia
sangat temperamental!” kesal Soojung dari belakang. Mau tak mau Jimin menoleh, memandang
aneh pada gadis di hadapannya.

“Bagaimana bisa kau memanggilnya Leo? Dia Seokjin hyung. Dia kakakku, noona!”

“Huh? Seokjin? Siapa Seokjin?”

“Kakakku.”

Soojung tertawa mendengus. “Kakak pantatmu! Lihat itu. Ah, itu juga.”

Ia menunjuk sebuah gambar berukuran cukup besar di dinding. Lalu beralih pada gambar yang
terdapat di atas meja, gambar yang lebih kecil dan diberi bingkai cukup indah.

Jimin tak pernah memperhatikan sebelumnya. Maka dari itu, ketika ia melihat dengan seksama,
matanya tak bisa tak melotot. Di sana ada potret Choi Soojung, gadis yang saat ini berdiri di
sampingnya. Tapi ia tak sendiri. Ia berdua, bersama pemuda yang ia yakini sebagai Seokjin.

“B-bagaimana mungkin?” gumamnya tak percaya.

Soojung hanya berkacak pinggang. Lalu menghembuskan nafas malas.

“Apa kau tak pernah dengar, Jimin? Di dunia ini, kita pasti memiliki kembaran. Entah itu ada di
mana. Sebenarnya aku tak pernah percaya hal itu sebelumnya. Tapi melihatmu seperti ini, aku
jadi sedikit yakin. Mungkin kakakmu adalah ‘kembaran’ Leo oppa.”

“Tidak mungkin, noona.”

“Apanya yang tidak mungkin? Kau sendiri yang mengira Leo oppa adalah kakakmu.”

“Tapi Seokjin hyung berasal dari dunia atas. Sedangkan Leo ada di dunia bawah. Itu tidak masuk
akal!” jeritnya dalam hati.

.
.

Pertemuannya dengan Leo membuat Jimin tak bisa tidur. Ia hanya bersandar di ranjang.
Mengumpulkan konsentrasi agar bisa mengoneksikan pikiran dengan saudara-saudaranya. Jimin
ingin berbagi cerita. Dan sepertinya, mereka juga harus tahu akan hal ini.

“Jika ini Park Jimin yang mengganggu tidurku, aku bersumpah akan mencincangmu habis-
habisan!”

Jimin melotot kesal mendengar jawaban yang sangat tak diharapkan muncul di kepalanya. Suara
bass yang semakin terdengar besar karena gerutuan. Ia bisa menebak bahwa itu suara Taehyung.

“Sebelum kau mencincangku, kau yang akan ku pukul terlebih dahulu, Kim Taehyung!”

“Silahkan jika kau bisa menemukanku.”

“Baik. Kupegang kata-katamu!”

“Jika kau ingin curhat dengan Taehyung kenapa kau juga mengoneksikan pikiran denganku?
Park Jimin, bodoh!” suara lain terdengar lebih kesal dari Jimin. Sepertiya itu Hoseok yang
merasa terganggu tidurnya.

“Hyung, kau juga sudah tidur? Aku ingin bercerita, hyung.”

“Cerita saja. Tak perlu heboh seperti itu.”

“Dengarkan aku. Kau juga pasti akan menjerit heboh sebentar lagi. Aku berada di rumah
penduduk. Dan kau tahu siapa yang aku temui di sini—”

“Gadis cantik?”

“Jangan potong kalimatku!” kesal Jimin. Pasalnya Hoseok tak menanggapi dengan serius segala
ucapannya.

“Disini aku bertemu Seokjin hyung!”

krik

krik

.
krik

“APPPAAA???”

Seperti yang diharapkan, Jimin mendengar kelima saudaranya serempak mengucapkan kata
tanya itu sambil menjerit.

Jimin mengangguk-angguk keras, kemudian berhenti karena sadar mereka tak bisa melihatnya.

“B-bagaimana mungkin kau bertemu Seokjin hyung, Jimin. Apa kau bercanda?”

“Tidak, Yoongi hyung. Aku serius.”

“Ck! Yoongi hyung, jangan percaya Jimin. Diam-diam dia pandai membual. Paling dia sedang
mencari sensasi karena dia terpisah sendirian.”

“YAK KIM TAEHYUNG! KAU…”

“Benar dugaanku kan, pendek?”

“Tidak seperti itu! Taehyung, aku serius. Hyungdeul, percaya padaku. Aku benar-benar
menemukan Seokjin hyung di sini.”

Tak ada jawaban atas ucapan menggebu seorang Park Jimin. Mereka semua diam, membuat
Jimin semakin kesal.

“Jadi kalian tak percaya?” lirih Jimin akhirnya.

Hoseok buru-buru menjawab, “Bukan begitu, Jimin. Hanya saja, itu tidak mungkin terjadi.”

“Apanya yang tidak mungkin, hyung? jelas-jelas aku bertemu dengannya.”

“Lalu apa yang kalian lakukan setelah bertemu?” potong Namjoon.

“Dia…” Jimin berhenti untuk mengingat-ingat kembali pertemuannya dengan Leo. Detik
berikutnya ia menghembuskan nafas berat. “Dia memarahiku.” lirihnya.

“APAA? Mengapa dia memarahimu? Yak! katakan dengan jelas, Park Jimin!” Yoongi bertanya
heboh. Tentu saja, dia adalah orang pertama yang akan merasa tidak rela jika adiknya dimarahi
orang lain. Meskipun ia sendiri juga suka marah-marah sebenarnya.

“Iya, hyung. Ketika aku memanggilnya Seokjin hyung, dia membentakku. Dia bilang dia bukan
Seokjin hyung.”
“Lalu jika bukan Seokjin hyung, dia siapa?” Taehyung mulai penasaran.

“Dia bilang namanya Leo. Kakak Soojung noona. Dan saat ini aku menginap di rumah mereka.”

Terdengar hembusan nafas berat dari seberang, lalu Jimin mendengar suara Hoseok.

“Park Jimin, aku baru tahu jika kau sama bodohnya dengan Taehyung. Jika keadaannya seperti
itu, berarti yang kau temui memang bukan Seokjin hyung. Mungkin saja mereka hanya mirip.”

“Ya, pasti hanya orang yang mirip Seokjin hyung.” tambah Namjoon.

“Aku juga berfikir demikian, dongsaengdeul. Sudah, jangan diperpanjang. Lebih baik kita
istirahat. Sudah malam.” pungkas Yoongi.

“Baiklah.” gumam Jimin menurut. Walaupun ia masih tidak puas karena gagal meyakinkan
saudaranya, ia tetap mengikuti perintah Yoongi.

“Tapi hyung, Apa Jungkook tidak bersama kalian? Sepertinya aku tidak mendengar suaranya
sejak tadi.”

“Dia tidur, Jimin. Adik kecil kita kelelahan.”

Keesokan harinya, Jimin benar-benar tak bisa membuka mata karena efek begadang semalaman.
Ia masih meringkuk di balik hangatnya selimut tebal. Tak peduli pada sinar matahari yang telah
menggodanya untuk segera bangun. Eksistensinya sebagai seorang putra mahkota kerajaan langit
seketika hilang dalam dirinya. Yang ia ingat, saat ini ia berada di dunia bawah. Ia tak perlu takut
melanggar etika dengan hal-hal memalukan . Salah satunya adalah dengan bangun kesiangan.

BYYYUUURRRR….

Seperti ditusuk ribuan jarum tak kasat mata. Jimin merasakan nyeri di seluruh tubuhnya. Sontak
ia terbangun. Mengedarkan mata ke seluruh penjuru ruangan. Maniknya berhenti pada satu titik
di sampingnya.

“A-apa y-ang ka-u l-akuk-an?” ucap Jimin terbata. Giginya bergemeletuk. kedua tangannya
memeluk erat tubuhnya sendiri. Namun matanya tak lepas dari orang disampingnya, yang berdiri
angkuh sembari membawa sebuah gayung.

Detik berikutnya Jimin sadar. Ia baru saja disiram air. Air es yang dinginnya menggigit seluruh
lapisan epidermisnya.
“Sudah siang. Cepat keluar dari rumahku.” ucapnya sarkatis.

Jimin hanya berkedip-kedip bingung “Heh?”

“Jangan berlagak bodoh. CEPAT KELUAR DARI RUMAHKU!!!”

Jimin meringis ketika tangan kekar itu menyeretnya kasar. Memaksa ia untuk segera keluar. Di
lain sisi, Leo yang menjadi ‘tersangka’ tak peduli bahkan ketika Soojung meneriaki aktivitas
mereka.

“Oppa..!”

“Diam, Soojung. Jangan ikut campur!”

Bruuukk!!

Tubuh kecil Jimin terhempas begitu saja ketika Leo melepaskan cengkramannya. Lelaki itu
kemudian menepuk-nepuk kedua tangannya. Seolah baru saja memegang barang kotor yang
penuh dengan debu.

“Apa kau tak bisa memperlakukanku lebih manusiawi, hyung-nim?” gerutu Jimin sambil berdiri.
Soojung juga membantunya.

“Aku tak suka orang asing ada di rumahku. Cepat pergi. Kembali pada tempat asalmu.”

“Tempat asalku di langit, Leo Choi. Aku tidak bisa pergi kesana sekarang!” Ucap Jimin, tapi
tentu saja ia hanya berani mengatakannya dalam hati.

“Aku tak tahu jalan pulang, hyungnim.”

Baik Leo maupun Soojung memandang Jimin heran.

“Bagaimana bisa kau melupakan jalan menuju rumahmu sendiri?” tanya Soojung.

“Entahlah, noona. Aku datang bersama saudara-saudaraku kemarin.”

“Konyol sekali!” Leo mencibir.

“Aku sungguh-sungguh.”

Mereka terdiam setelah melihat sorot kesungguhan dari mata Jimin. Leo dan Soojung bertukar
pandang. Seolah sedang beradu argumen lewat manik masing-masing. Hingga akhirnya—

“Di mana rumahmu?”


Butuh beberapa detik bagi Jimin untuk menjawab pertanyaan sederhana Leo. Ia tampak berfikir.
Mengingat-ingat nama tempat yang diberi tahu oleh Namjoon kemarin.

“Park Jimin, Leo oppa bertanya di mana rumahmu.” timpal Soojung ketika Jimin masih saja
terdiam.

“Sepertinya…di Seoul.”

“Sepertinya? Apa maksudmu sepertinya? Apa kau benar-benar lupa tempat asalmu? Ah, jangan-
jangan kau tak memiliki rumah!”

“Tentu saja punya!” sahut Jimin cepat. “Aku punya rumah, dan aku tinggal bersama lima
saudaraku.” tambahnya berbangga hati.

Namun sepertinya Leo tak memperhatikan sama sekali ucapan Jimin. Ia terlalu sibuk dengan
motornya. Sedetik kemudian, tangannya telah menyeret tubuh kecil Jimin untuk segera naik.

“Cepat naik. Aku akan mengantarkanmu.”

“Heh?”

“Naik ke belakang, anak kecil. Aku akan mengantarkanmu ke Seoul. Apa itu kurang jelas?”
tandas Leo kesal. Lelaki tinggi itu semakin menggeram ketika melihat wajah datar di depannya.

“Bagaimana aku menaikinya, hyungnim? Apa ini seperti naik kuda?”

Seketika Leo dan Soojung hampir terjungkal mendengar pertanyaan polos Jimin. Mereka
berpandangan satu sama lain. Seolah sedang mengatakan bahwa ‘anak ini aneh’. Soojung
kemudian tertawa hambar sembari mendorong tubuhnya. Mendekatkannya dengan motor Leo.

“Jangan bercanda terus-menerus, adik kecil. Naiklah selagi kakakku masih memiliki belas
kasihan padamu.”

“Kita mau kemana, hyung?”

Jungkook yang sedari tadi mengikuti langkah Yoongi mulai bertanya-tanya. Ia bingung.
Pemandangan dunia bawah sungguh berbeda dengan negeri asalnya. Banyak benda besar berlalu
lalang. Suaranya juga bising bukan kepalang. Belum lagi, udara terik yang membuat tubuhnya
berkeringat. Ia benar-benar takjub manusia-manusia di dunia bawah bisa bertahan hidup dengan
keadaan seperti ini.
“Kita harus mencari Namjoon dan yang lain, Kookie.” jawab Yoongi seadanya.

Ia masih berusaha mencari informasi agar segera menemukan akses menuju Seoul. Tangannya
tetap menggandeng erat tangan adiknya selagi mereka berjalan beriringan.

“Tapi aku lelah, hyung. Apa tidak ada kuda yang bisa kita naiki di sini?”

Yoongi tersenyum. Memandang adiknya geli. “Apa kau benar-benar ingin naik kuda? Bukankah
kau takut pada hewan itu?”

Jungkook mengerucutkan bibir mendengar olokan kakaknya. “Setidaknya itu lebih baik daripada
berjalan seperti ini.” gerutunya rendah.

“Iya iya. Hyung mengerti, Jungkook. Ayo, sedikit lagi kita sampai halte. Kita akan naik
kendaraan yang lebih hebat daripada kuda milik Namjoon.”

“Hyung, apa ini tidak papa? ini sungguh aneh. Mana mungkin sebuah ruangan dengan banyak
kursi bisa berjalan sendiri tanpa di dorong?”

“Jungkook, pelankan suaramu. Orang-orang akan menganggapmu aneh jika kau menggerutu
terus-menerus. Dan satu lagi, ini namanya bus. Makhluk dunia bawah menggunakannya untuk
bepergian.” jelas Yoongi.

Jungkook hanya mengangguk pelan. Tangannya tak lepas dari lengan Yoogi. Mencengkram kuat
lengan kakaknya seolah bus itu akan terguling kapan saja.

“Aku tidak mau naik benda ini lagi.” gerutunya. Tampak jelas ia sedang ketakutan.

“Tak apa. Kau bisa tidur selama di perjalanan. Hyung akan membangunkanmu jika sudah sampai
nanti.” ujar Yoongi sembari mengelus puncak kepala adiknya.

“Taehyung cepat habiskan makananmu. Hoseok sudah bersusah payah mendapatkannya, kau
tahu?”
Namjoon hampir mencekik adiknya jika saja Hoseok tak mencegah. Ia gemas. Kelewat kesal
hingga ingin menggigit kepala Taehyung saat ini juga.

Apa anak ini tidak tahu? Bahkan untuk mendapat sepiring makanan di dunia bawah saja sangat
susah. Hoseok harus menjual koinnya terlebih dahulu. Belum lagi, jarak rumahnya dari pusat
perbelanjaan benar-benar jauh. Tak ada kuda. Tak ada hewan berlari cepat itu untuk Hoseok
naiki sehingga mau tidak mau ia harus merelakan kakinya pegal akibat berjalan terlalu jauh.

“Aku sudah mencobanya, hyung. Tapi makanan ini benar-benar tak cocok di perutku.” balas
Taehyung tak kalah kesal.

“Siapa peduli makanan ini cocok atau tidak di perutmu? Yang jelas kau harus makan!”

“Sudah, Namjoon.” potong Hoseok. Kemudian ia beralih pada adiknya. “Maafkan hyung, Tae.
Hyung tidak tau jika kau tidak suka makanan ini.”

“Lihat? kau sama sekali tak merasa bersalah? Bahkan Hoseok masih sempat meminta maaf
padamu. Dasar tak tahu diri!”

Pletaakkk!!

“Namjoon…”

“Hyung! Itu sendok untuk makan. Bukan untuk memukul kepalaku!!” teriak Taehyung kesal. Ia
kemudian beranjak meninggalkan kakak-kakaknya menuju kamar sembari mengelus kepala.

“Sakit sekali. Andai saja ada Seokjin hyu—“

Ia buru-buru menggigit bibir bawah untuk menghentikan gerutuannya. Ia mulai termenung.


Berbaring di ranjangnya sembari menerawang. Tak terasa, ini adalah pertama kali ia melewatkan
hari tanpa kakak kesayangannya itu.

Bagaimana kabar Seokjin hyung?

Apa dia sedang kesakitan?

Hyung pasti kesepian tanpa adik-adiknya di sana.

Taehyung menghembuskan nafas dengan kasar. Tangannya refleks memeluk bantal yang ada di
sampingnya. Ia merindukan Seokjin. Ia akui ia sangat ingin Seokjin berada di sisinya sekarang.
Karena baginya, Seokjin adalah satu-satunya orang yang mengerti drinya dengan baik. Tidak
seperti—

“Mau makan atau kau yang kumakan?”


—Namjoon yang selalu mendesis tajam kepadanya. Taehyung buru-buru bangkit dan berlari
melihat kakak keduanya melotot. Tak hanya itu, dia juga mengacungkan kepalannya hingga
menambah kegarangan yang terpancar di wajahnya. Taehyung bergidik, bergegas mencari
perlindungan di balik tubuh Hoseok. Ya, Jung Hoseok adalah opsi kedua tempatnya berlindung
jika tidak ada Seokjin. Dan Taehyung memang tak salah pilih.

“Jangan bertengkar terus-menerus! Aish, Namjoon kau adalah kakaknya. Kau seharusnya
melindungi bukan memburunya seperti itu!”

“Jangan membelanya, Hoseok. Aku benar-benar akan memukulnya kali ini!” desis Namjoon
kalap.

Ia masih mencari celah agar bisa menyeret adiknya yang berada di balik punggung Hoseok.
Sementara Taehyung makin panik karena menyadari Hoseok tak seperti Seokjin yang dihormati
Namjoon. Kakak galaknya itu pasti akan menangkapnya segera.

“Hyung, jauhkan makhluk jelek itu dariku. Aarrghh!!”

“Kau bilang apa? Aku jelek? Aku bahkan seribu kali lebih tampan darimu, Kim Taehyung!”

“Hahahaha…”

“Yak! Jung Hoseok, kenapa kau terbahak, hah?”

“Kau tak tahu diri, Namjoon. Kau bahkan seribu kali lebih jelek dariku.” jawab Hoseok
menyakitkan. Ia kemudian berlari menghindari amukan yang sebentar lagi meledak dari diri
saudaranya. Tawanya semakin kencang. Begitu juga dengan Taehyung yang merasa setuju
dengan ucapan Hoseok.

Dan begitulah cara seorang pangeran menghabiskan waktu pagi di dunia bawah. Tak jauh
berbeda dengan balita yang menemukan mainan barunya.

“Kalian benar-benar!”

Yoongi harus ekstra menahan sabar ketika sampai di tempat ketiga adiknya berada. Ia
memejamkan mata. Mengatur nafasnya yang memburu sembari mengepalkan tangan erat. Ia
ingin marah, jujur saja. Berjam-jam mencari rumah sewa Namjoon bukan kegiatan
menyenangkan. Ditambah adik bungsunya yang terus mengeluh. Dan ketika mereka berdua
sampai, pemandangan seperti inilah yang menyambutnya.
“Hyung, apa ini benar-benar rumah? atau…sebuah gudang?” tanya Jungkook mengeryit. Ia
bergidik melihat isi rumah sewa yang sangat berantakan. Tak hanya perabotan, ketiga
penghuninya-pun terkapar berserakan di lantai. Tertidur.

“Ini bukan gudang, Jungkook. Ini kebun binatang.” sahut Yoongi sambil menyeretnya masuk.

“Maksud hyung?”

Yoongi menunjuk Taehyung, “Itu singa.” Kemudian beralih ke Hoseok. “Dan yang itu kuda.
Benar kan?” ujarnya mengerling. Mencoba mengubah suasana hatinya sendiri.

Jungkook yang mengerti hanya tertawa kecil mendengarnya. “Lalu yang itu apa?” tunjuknya
pada tubuh Namjoon yang juga sedang berbaring.

“Itu gorilla, Kookie. Gorilla jelek yang saaaaangat mengerikan. Kau tak boleh dekat-dekat
dengannya jika tidak mau dicakar-cakar sepertiku dan Hoseok hyung, mengerti?” Taehyung tiba-
tiba bangun, menyahut antusias dan hampir membuat Yoongi dan Jungkook melompat. Mereka
pikir anak itu juga tertidur. Ternyata hanya pura-pura.

“Oh, aku lupa kau adalah aktor yang paling hebat, Kim Taehyung. Kupikir kau juga tidur seperti
mereka.” cibir Yoongi.

“Mereka tidak tidur kok, hyung. Mereka hanya berpura-pura tidur agar tidak disuruh
membersihkan rumah yang sudah seperti kapal pecah ini olehmu.” jawabnya polos.

Seketika Yoongi mendelik. Ia melangkah dan menjambak rambut kedua adiknya yang kebetulan
berdekatan satu sama lain itu dengan kasar.

“Aaaww, hyung sakit.” rengek keduanya.

Taehyung hanya menyunggingkan senyum kemenangan melihat kakak-kakaknya meringis. Ia


bahkan sudah tak takut ketika Namjoon mendelik ke arahnya.

“Dan aku lupa mulutmu seperti kran bocor, Kim Taehyung. Aku benar-benar menyesal
membiarkanmu mengataiku seperti gorilla! Tunggu balasanku!”

“Aku juga menyesal melindungimu, TaeTae!” timpal Hoseok tak kalah kesal.

“Jadi Jimin hyung belum datang?” tanya Jungkook ketika keadaan telah tenang.
Mereka seharusnya sudah beranjak untuk memulai pencarian mutiara hitam. Tapi nyatanya yang
bisa mereka lakukan sekarang hanyalah duduk berkumpul. Memikirkan dimana saudaranya yang
bernama Park Jimin berada. Tak ada satupun yang menjawab. Mereka sama sekali tak tahu.
Bahkan kekuatan pikiran yang menjadi satu-satunya cara mereka berkomunikasi mulai memudar
di dunia bawah.

Yoongi adalah orang pertama yang menyadarinya. Ia tahu, cepat atau lambat mereka akan
dihadapkan pada kesulitan ini. Atau bahkan kesulitan-kesulitan lain yang membuat mereka
berfikir untuk menyerah. Tapi ia telah bertekad. Ia tak akan menyerah secepat ini. Ia memiliki
lima saudara yang mendukung dan akan membantunya kapan saja. Bukankah itu cukup untuk
membautnya bertahan?

Terlebih, di atas semua itu, ia memiliki satu saudara lain yang sedang sekarat di dunia atas.
Menunggunya kembali membawa mutiara hitam yang dapat menyembuhkannya. Pantaskah jika
ia mengeluh hanya karena masalah sekecil ini?

“Jimin pasti datang. Tunggu sebentar lagi.” gumamnya mantap. Seolah ia sedang meyakinkan
keempat adiknya yang saat ini sedang khawatir.

Tapi kenyataannya, hati Yoongi sendirilah yang butuh diyakinkan. Ia kelewat cemas. Ia sungguh
tak ingin sesuatu buruk terjadi pada salah satu saudaranya bahkan sebelum pencarian mutiara
hitam itu dimulai.

“Bagaimana jika ia tidak datang sampai besok, hyung?” tanya Hoseok.

“Tentu saja kita terpaksa meninggalkannya, Hoseok.” timpal Namjoon cepat.

Yoongi langsung mendongak. Menatap adiknya seolah ia tak setuju dengan ucapan yang baru
saja Namjoon katakan.

“Kau tidak setuju, hyung? Baiklah.” gumamnya takut-takut.

Yoongi mendesah pelan. “Apapun yang terjadi kita harus tetap bersama, Namjoon. Jangan
meninggalkan Jimin lagi. Dia pasti kebingungan harus terpisah seorang diri.”

“Lalu bagaimana dengan Seokjin hyung?” ucap Taehyung tiba-tiba. “Jika kita terlalu lama
menunggu Jimin lalu bagaimana dengan Seokjin hyung??? Dia sekarat di sana dan kita
bersantai-santai menunggu Jimin yang entah berada di mana? APA KAU TAK PUNYA
PERASAAN, HYUNG? DIA LEBIH MEMBUTUHKAN KITA! HIDUPNYA BERGANTUNG
PADA KITA SEKARANG DAN KAU MASIH TEGA MEMBUATNYA MENUNGGU
LEBIH LAMA??”

“TAEHYUNG HENTIKAN!!!” bentak Namjoon tak kalah keras.


“BENAR HYUNG. AKU HARUS MENGHENTIKANNYA. AKU AKAN MENGHENTIKAN
RASA SAKIT YANG SELAMA INI MEMBUAT KAKAKKU MENDERITA. AKU AKAN
MENGHENTIKANNYA DENGAN ATAU TANPA KALIAN!!”

Blaammm!!!

Mereka semua hanya bisa tertenggun ketika Taehyung membanting keras pintu ruangan.

Hoseok berusaha keras mengejar langkah kaki Taehyung yang kian menjauh. Nafasnya mulai
sesak, pun tubuhnya yang hampir tak sanggup lagi menahan lelah. Tapi ia mengabaikannya. Ia
tak peduli bahkan jika harus pingsan sekalipun. Prioritasnya kini hanya menghentikan adiknya
yang sedang menangis dan menghindarinya.

“Taehyung…berhenti! Hyung lelah.” serunya sambil masih berlari.

Tapi anak yang dipanggil tak menyahut. Terus menghindari Hoseok yang tertinggal di belakang.

“Tolong, Taetae. Jangan tinggalkan kami. Kami minta maaf.” teriaknya lebih kencang.

Sepertinya kali ini berhasil. Taehyung seketika menghentikan langkah kakinya. Membiarkan
Hoseok merengkuh tubuh kecilnya.

“Jangan pergi. Jangan membuatku khawatir seperti ini.” gumamnya pelan.

Taehyung bergeming dalam pelukan kakaknya. Tak menyahut sepatah katapun. Pikirannya
terlalu berkecamuk dan ia tak sanggup lagi memikirkan yang lain.

Ia butuh Seokjin.

Sekali lagi butiran bening mengalir membentuk sungai kecil di pipi Taehyung. Ia terisak.
Melorotkan tubuhnya hingga terduduk di atas tanah berdebu yang ia pijak. Kedua tangannya
memeluk kaki yang sengaja ia tekuk. Kepalanya yang berdenyut juga ia letakan di atas lututnya.

Ia tak kuat lagi.

Tujuan mereka ke dunia bawah adalah untuk menyembuhkan kakaknya. Tapi apa yang mereka
lakukan?

“Menangislah, Taehyung. Hyung tahu kau adalah orang yang paling terpukul atas apa yang
terjadi pada Seokjin hyung.” hibur Hoseok mengelus puncak kepala adiknya.

Ia tahu persis, ia tak dapat memberikan solusi apapun atas kesedihan Taehyung. Ia tahu persis,
sikap Taehyung hanya semata-mata ingin segera menyelamatkan Seokjin. Bukan hanya
Taehyung, ia dan seluruh saudaranya juga pasti berfikir demikian.

“Aku membencimu, hyung. Aku membenci kalian!”


Hoseok tersenyum kecil. “Benarkah? tapi aku mencintaimu.” balasnya mengelus puncak kepala
Taehyung.

Taehyung mendongak. Menatap Hoseok nanar seolah-olah hyungnya itu telah mengatakan
sesuatu yang menjijikan.

“Jangan merayuku! Aku masih normal!” tandasnya membuat mata Hoseok melebar.

“Bodoh! Aku mencintaimu sebagai adikku, Tae. Lagipula siapa yang mau berkencan dengan
anak cengeng sepertimu? Kau tidak akan laku.”

“Siapa peduli.”

“Kita sudah berbutar-putar delapan kali, pendek. Sebenarnya rumahmu dimana?”

Leo menggerutu kesal sembari masih mengendarai sepeda motornya. Di belakang, Jimin hanya
bisa memajukan bibir karena harus mendengarkan omelan pedas dari kakak laki-laki Choi
Soojung itu.

Salahkan saja Namjoon dan saudara-saudaranya yang lain. Jimin bebar-benar tak tahu dimana
rumah yang mereka maksud. Seingatnya, Namjoon hanya mengatakan bahwa ia harus
mencarinya ke Seoul. Tapi ternyata? Hei, Seoul adalah sebuah kota besar!

Walaupun tak seluas kota di negerinya, ia tetap saja tak bisa menemukan mereka dengan mudah
karena ini pertama kali Jimin menginjakan kaki di wilayah dengan bangunan-bangunan tinggi
menjulang. Rasanya, ia ingin sekali mengamuk dan mencekik leher Namjoon yang sampai saat
ini tak bisa ia hubungi lewat pikiran.

“Ah, tapi itu bukan hal yang baik, Park Jimin. Kau bisa kualat jika berlaku kurang ajar pada
kakakmu sendiri.”

Sebuah suara muncul di kepalanya untuk mengingatkan. Jimin mengangguk. Eh? Tapi—

Suara?

Sebuah suara???

Mata Jimin melebar dan seketika ia mengumpat keras.


“JEON JUNGKOOK, KAU MAU MATI????  JANGAN SEENAKNYA MEMBACA PIKIRAN
ORANG! KAU MELANGGAR PERATURAN!!!!”

Leo hampir terjungkal dan segera menghentikan laju motornya setelah mendengar umpatan kasar
dari arah belakang.

“YAK! APA KAU GILA? MENGAPA TIBA-TIBA BERTERIAK, HAH???”

Demi Tuhan, Jimin hanya bisa merutuki dirinya sendiri yang telah lancang mengumpat keras di
dekat Leo. Ia terlalu emosi karena Jungkook membaca pikirannya. Dan lupa bahwa saat ini ia
sedang bersama dengan manusia galak dari dunia bawah.

Ugh!

“Ma-maafkan aku, hyungnim.” ucapnya terpaksa menunduk.

Leo terlihat semakin frustasi. Wajahnya kian mengeruh dan sesekali terdengar hembusan nafas
berat dari dirnya.

“Aku lelah.” celetuk Leo.

Jimin hanya bisa menggigit bibir bawah mendengarnya. Sebenarnya ia juga lelah. Tetapi itu
mungkin tak sebanding dengan Leo yang terus berusaha membantunya mencari tempat tinggal
saudara-saudaranya. Leo bahkan rela berputar-putar kota Seoul sampai matahari terbenam
seperti ini karena ia tak mau meninggalkan Jimin sendirian. Yah, walaupun umpatan dan sumpah
serapah pedas tak henti-hentinya keluar dari mulut lelaki tinggi itu.

“Jimin hyung, sepertinya posisi kita sudah dekat. Aku bahkan bisa membaca pikiranmu dengan
jelas.”

Kembali suara Jungkook menggema di kepalanya. Kali ini Jimin diam tak bergeming. Takut
terjadi salah paham lagi dengan Leo. Ia hanya membalas ucapan adiknya dengan membatin tanpa
sepengetahuan Leo.

“Jika memang kita sudah dekat, keluarlah dari rumah bodohmu itu, Jungkook. Aku benar-benar
tak tahu posisi kalian!”

“Baiklah-baiklah. Tunggu sebentar, aku akan keluar dan mencarimu.”

Jimin sedikit lega karena adiknya menurut. Ia hanya harus berdiam di tempat dan menunggu
Jungkook menemukannya.

“Kita istirahat disini saja, hyungnim. Kau pasti sangat lelah.” ucap Jimin pelan.

Leo tak bersusah-susah untuk memandang Jimin. Ia hanya mengangguk sekilas. Dan kembali
menekuni kegiatannya berselancar di dunia maya untuk mengusir kebosanan. Tubuhnya juga
bersandar dengan santainya di tembok keliling yang membatasi pelataran sebuah rumah dengan
jalan raya.

“Jimin hyung?”

Keduanya mendongak setelah mendengar suara memanggil Jimin. Jungkook berdiri di depan
pintu gerbang dengan senyuman lebar menghiasi wajah polosnya.

“JEON JUNGKOOK….!!!!”

Tak mau kalah, Jimin berteriak heboh karena merasa lega. Akhirnya, ia bertemu saudaranya.

“Apa-apaan ini? Jadi ini rumahmu, anak pendek? Lalu kenapa kau tak masuk dari tadi? bodoh
sekali!” gerutu Leo tak percaya. Jika memang ini rumah Jimin, seharusnya anak itu bisa
mengenali dengan mudah kan?

Jimin berbalik menghadap Leo, memamerkan cengiran lebar tak berdosa.

“Maafkan aku hyungnim.”

“Ck! terserah kau saja. Aku mau pulang.” pungkasnya bersiap menaiki motor.

Belum juga menyalakan mesin, perhatian Leo teralihkan pada sosok adik kecil Jimin yang terus
menatapnya. Mengintimidasi dengan manik innocent yang membuatnya seolah sedang
terhakimi.

“Apa yang kau lihat?” ujar Leo ketus. Jimin yang mulai menyadari buru-buru mengalihkan
pandangan Jungkook. Merangkulnya dan berusaha memutus kontak matanya pada Leo.

“Itu Seokjin hyung kan?” ucap Jungkook rendah. Jimin menggeleng.

“Apa Seokjin hyung pernah bicara kasar padamu? Jelas itu bukan Seokjin hyung, Jungkook.”
jelasnya tak kalah pelan.

Keheranan Leo belum berakhir ketika dua orang lain berjalan menghampirinya. Memandang Leo
tak kalah heran seperti yang dilakukan Jungkook tadi.

“YAK! Kenapa semua orang melihatku seperti itu? Kau pikir aku tontonan, hah??!”

Hoseok dan Taehyung yang tadinya ingin mendekat mundur seketika. Terkejut atas bentakan
Leo yang tiba-tiba.

“Hanya karena kau telah membantu adikku, tak semestinya kau membentak-bentak mereka
seenaknya, tuan!”
Semuanya menoleh ke arah rumah sewa, dimana Yoongi telah berdiri angkuh dengan kepala
mendidih di ambang pintu. Ia memerintah Namjoon untuk membawa adik-adiknya masuk ke
dalam rumah.

Leo yang merasa diajak bicara tersenyum mendengus. “Ini balasanmu setelah aku membantu
adikmu menemukan saudara-saudara bodohnya? Cih, keterlaluan sekali!”

Yoongi melangkah mendekat, mempersempit jarak dengan orang yang telah membangkitkan
emosinya. Sekuat tenaga ia mengontrol perasaannya agar tak menimbulkan keributan dan
masalah baru bagi mereka.

“Baiklah. Aku berterimakasih karena kau telah membawa adikku kembali. Tapi kuharap kau tak
pernah muncul lagi di hadapan kami.” desisnya tajam.

Kemudian ia meraih tubuh Taehyung yang masih bergeming seorang diri di samping Leo.

“Ayo, Taehyung. Masuk ke dalam!”

Dengan berat hati, Taehyung menuruti perintah Yoongi walau sesekali ia masih menoleh ke
belakang.

“Hyung….”

“Jadi dia yang kau sebut mirip Seokjin hyung, Jimin?”

Jimin hanya mengangguk kecil. Tak terlalu merespon introgasi saudara-saudaranya. Ia lelah
setelah melakukan perjalanan panjang mencari rumah ini.

Hei, bayangkan saja! Jimin dan Leo bahkan berangkat ke Seoul pagi-pagi buta! Satu-satunya hal
yang ingin ia lakukan saat ini hanyalah tidur. Melemaskan otot-ototnya yang kaku sembari
melepas lelah.

“Boleh aku istirahat, hyung? Aku lelah sekali.” pintanya memelas.

Yoongi sudah hampir mengangguk sebelum Taehyung buru-buru menginterupsi.

“Tidak! Kau tidak boleh tidur, Park Jimin! Kita akan berangkat mencari mutiara hitam!”

“Tae, ini sudah malam.” bisik Hoseok.


“Tidak, Hoseok hyung. Waktu kita telah banyak terbuang untuk menunggu Jimin.”

“Tolonglah, Taehyung. Aku sudah tak punya tenaga lagi. Aku butuh istirahat.”

“Salah sendiri datang terlambat!” celetuk Taehyung tanpa dosa.

“Yak! Aku juga tak ingin terpisah terlalu jauh! Salahkan ayah yang sudah menendangku.
Salahkan beliau saja!” balas Jimin kalap.

Jungkook yang ada di sebelah Jimin tak tahan lagi “Ck! Jimin hyung, sudah kubilang kau akan
kualat jika selalu berfikiran buruk seperti itu. Apalagi terhadap ayah. Ayo istirahat. Aku juga
ingin tidur.”

“Benar. Tidurlah dulu. Besok kita berangkat.” tambah Namjoon yang diikuti anggukan Yoongi
dan Hoseok.

Mata Taehyung melebar. Mendelik sengit ketika Jimin dan Jungkook berangkulan menuju
kamarnya.

“Ya ya ya, Jeon Jungkook …Siapa yang menyuruhmu membawa Jimin pergi?!” kesalnya.

“Tidak ada.” balas Jungkook acuh.

“Huh? Kau mulai kurang ajar pada hyung-mu ini, anak kecil?????”

“Tubuhku bahkan lebih tinggi darimu, Taetae hyung. Aku bukan anak kecil lagi.” sanggahnya.

Taehyung mengepalkan tangan sembari menggeram kesal. “JEON JUNGKOOOOOK!!!!”

Kemudian ia beralih mendekati kakak-kakaknya.  “Hyung, lihat kelakuan adik kita. Lihat!
Betapa tidak sop— Yak! Hyungdeul kenapa kalian juga ikut pergi. Hyuuuung, aku belum selesai
bicara. Arrgghh!!!!”

Dan sepertinya dunia mereka kembali. Kembali mengucilkan Taehyung yang selalu bertingkah
seperti seorang alien planet lain.

Sebal.

Ya.
Itulah yang saat ini dirasakan seorang Kim Taehyung. Tak ada yang mendengarkannya, tak ada
yang menggubrisnya, bahkan tak ada yang mempedulikan perasaannya yang tengah meledak-
ledak itu.

Kelima saudaranya tertidur pulas di ranjang paling besar yang ada di rumah ini. Mereka memilih
untuk tidur bersama alih-alih menempati dua kamar kosong yang lain. Dan sudah dapat
dipastikan rasanya. Mereka harus berdesakan berebut lahan agar bisa menikmati tidur nyaman.

Taehyung mengeser posisinya untuk kesekian kali. Memilih terlentang menghadap langit-langit
ruangan. Matanya mengerjap-erjap beberapa kali.

Bagaimana bisa ia tidur dalam keadaan terjepit tubuh Jungkook dan Namjoon seperti ini?

Dalam hati ia mengutuk ide bodoh sang kakak, Yoongi yang telah mengusulkan acara tidur
bersama ini.

“Haahh….!!!”

Ia membuang nafas keras karena merasa paru-parunya membutuhkan stok oksigen yang lebih.

Malam semakin larut dan bukannya ia mengantuk, ia malah semakin merasa pengap di
tempatnya.

Oke, Taehyung memang tak suka tidur sendirian. Dia selalu meminta Seokjin menemaninya
ketika di dunia atas. Tapi bukan berarti kini ia harus ditemani lima tubuh lain yang bahkan
membuat ia menutup matapun menjadi susah.

Tidak.

Ia tidak menyukainya.

Jika tahu seperti ini, ia lebih baik tidur sendiri, bergulung-gulung bebas dengan bantal guling
empuk yang kini tengah berada di pelukan Hoseok.

Ugh!

“Aku juga ingin memeluk bantal itu, Hoseok hyung. Huhuhu..”

Ia membatin dengan tatapan memelas pada bantal empuknya.

Ditengah rengekannya, tiba-tiba..

Bruukkk
 

“Akhh..”

Sebuah kaki besar mendarat mulus tepat di atas perutnya. Disusul dengan tangan Jungkook yang
melingkari leher Taehyung seakan-akan ingin mencekiknya.

“Astaga anak ini kenapa brutal sekali kalau tidur! Ugh perutku..” gerutunya sembari mengelus
perut yang terasa berdenyut-denyut itu.

“Hmmpt..sebaiknya aku tidur saja! Selamat tidur semuanya. Selamat tidur Seokjin hyung.”

“Selamat tidur, Taehyungie.”

Seokjin mengulas senyum kecil di tempatnya. Rasa sakit dan lelahnya seakan sirna mendengar
suara adik kecilnya menggema di kepala. Seokjin memang mengawasinya, selalu. Tanpa
sepengetahuan mereka, ia selalu mengikuti pergerakan mereka lewat kekuatan pikiran yang ia
miliki.

Mungkin awalnya ia marah. Sangat murka terhadap adik-adiknya yang pergi meninggalkannya.
Apalagi, mereka berenam pergi ke dunia bawah demi dirinya.

Oh, kakak macam apa yang tega mengantarkan adik-adiknya pada bahaya?

Iapun sempat protes terhadap orang tuanya yang mengijinkan Yoongi dan lainnya mencari
mutiara hitam. Ia memang ingin sembuh. Sangat ingin. Tapi bukan dengan cara seperti ini.

Ia tidak akan menukarkan kesembuhannya dengan keselamatan adik-adiknya.

Ia lebih memilih mati daripada melihat adik-adiknya terluka.

Seokjin hampir frustasi, kesehatannya semakin menurun. Bahkan ia tak mau berbicara kepada
siapapun di dalam istana.

Hingga titik dimana ia merasa benar-benar ingin mati, penguasa kerajaan langit tak tinggal diam.
Raja meminta maaf, begitupun dengan permaisuri. Mereka menjanjikan sesuatu yang membuat
Seokjin kembali mendongakan kepala.
 

Flashback

“Aku mengijinkanmu mengawasi mereka, Seokjin. Jangan merasa bersalah lagi. Kau bisa
menjaganya dari jauh. Kau bisa mengawasi mereka setiap saat. Tapi Ayah mohon, jangan
biarkan mereka tahu kau mengawasinya.”

“Tapi, Ayah—”

“Beri mereka kesempatan. Beri adik-adikmu kesempatan untuk menemukan mutiara hitam itu.”
tandas sang Raja.

Seokjin mengurungkan niatnya untuk kembali membantah. Menelan habis segala protes yang tak
sejalan dengan keinginannya. Ia mulai berfikir kembali. Menerima kenyataan bahwa ia memang
seharusnya memberikan mereka kesempatan.

Flashback End

Tak sependapat bukan berarti tak bisa dijalankan. Nyatanya sampai saat ini ia masih membiarkan
adik-adiknya di sana. Mengamati segala tingkah yang sangat ia rindukan. Sesekali Seokjin
tersenyum kecil melihat kehebohan adik-adiknya.

Tak jauh berbeda dengan di istana. Mereka masih saja bertingkah konyol yang terkadang
membuat siapapun yang melihat akan merasa sakit kepala.  Ingin sekali rasanya ia mengulurkan
tangan dan menjewernya satu persatu agar mereka berhenti menyusahkan Yoongi. Adik
tertuanya itu pasti sangat pusing harus menjaga lima anak hiperaktif. Ah, apalagi Yoongi bukan
tipikal penyabar. Dia pasti kewalahan.

Namun di lain sisi, tak jarang Seokjin merasa air matanya ingin segera tumpah. Seheboh apapun
mereka, adik-adiknya masih tetap memikirkannya. Mereka memiliki pemikiran masing-masing
untuk menyembuhkannya dan terkadang hal tersebut memicu pertengkaran di antara mereka.

Hatinya seperti di remas-remas.

Ia tidak suka.

“Hei, hyung tak papa. Cepatlah kembali dan jangan membuat hyung semakin khawatir.”
Leo terbangun dengan nafas terengah-engah. Peluh bercucuran keluar dari dahinya. Mengalir
hingga membasahi dagu dan lehernya. Tangannya terulur. Meraba-raba meja yang berada di
samping tempat tidur. Ia mengangkat gelas dan meneguk habis seluruh isinya.

“Oppa!” Soojung yang baru saja mendengar teriakan dari kamar kakaknya segera menghampiri.
Menerobos masuk tanpa permisi.

“Oppa baik-baik saja?” tanyanya panik. Leo hanya mengangguk di tempatnya.

“Hi-hidungmu, oppa. Hidungmu berdarah.”

Soojung buru-buru mengambil tissue untuk menyeka dua lubang hidung yang mengucurkan
cairan kental berwarna merah. Ia melihat kesadaran Leo semakin menurun. Matanya mulai
terpejam dengan tubuh kelewat lemah. Nafas Soojung ikut memburu. Ia tak tahu harus berbuat
apa. Yang bisa ia lakukan hanya membiarkan Leo bersandar di pundaknya sambil merintih
pelan.

Sakit.

Soojung tahu Leo pasti kesakitan. Bahkan melihatnya seperti ini saja ia bisa merasakan
bagaimana keadaan Leo. Apalagi merasakannya langsung?

“Oppa bertahanlah…” lirihnya sambil terisak.

Sebisa mungkin ia tak menangis. Tapi keadaan yang terpapar di depannya sungguh membuatnya
tak kuasa menahan kristal-kristal bening itu untuk tidak mengalir. Tubuhnya bergetar hebat.
Antara ketakutan dan kesedihan yang yang berkecamuk menjadi satu.Tiba-tiba ia teringat
sesuatu.

Ramuan. Ya, di mana ramuan itu?

Soojung menarik laci nakas dan mengobrak abrik isinya. Mencari tabung kecil yang terbuat dari
bambu berisi ramuan yang bisa mengurangi kesakitan kakaknya. Ia menemukannya.

“Oppa, buka mulutmu.”

Ia menuangkan sedikit demi sedikit hingga cairan itu berpindah ke mulut Leo. Membiarkannya
bereaksi dan berharap Leo tak kesakitan lagi.

“Soo…jung-ah, ma…af.”

Soojung menggelengkan kepala menyangkal ucapan Leo. Ah, lebih tepatnya Seokjin yang
berada dalam tubuh Leo. Sampai saat ini ia masih belum percaya bahwa pemuda di hadapannya
adalah gabungan antara kakaknya Leo dan sahabat kecilnya sewaktu ia masih berada di dunia
atas. Seorang pangeran negeri langit yang dulu sangat ia segani dan hormati.  Kim Seokjin.
“Bertahanlah Leo Oppa, bertahanlah juga, Pangeran Seokjin.”

Ia hanya bisa berucap tulus untuk menguatkan keduanya. Kim Seokjin dalam keadaan lemah. Ia
tahu itu. Dan keadaannya akan semakin lemah karena Leo tak mampu menguatkannya. Leo
membencinya dan berusaha berontak atas jiwanya yang nyaris terenggut oleh keberadaan
Seokjin dalam tubuhnya.

Mungkin Leo akan menganggap bahwa Kim Seokjin adalah pemuda yang paling tak tahu diri di
dunia ini. Ia meminjam tubuhnya. Dengan tanpa dosa memaksanya berbagi raga hanya demi
kepentingannya. Tapi ada alasan lain mengapa ia tak dapat menolak. Sebuah masa lalu yang tak
akan mungkin ia lupakan. Dan kini membuatnya bungkam walau Seokjin memonopoli tubuhnya
seperti ini.

Flashback

“Apa yang terjadi dengannya?” Seokjin menerobos kerumunan massa di salah satu rumah warga.
Ia terperangah. Seseorang tengah berbaring lemah di atas lantai.

“Ah, Pangeran. Dia muntah darah. Dia selalu menganiaya unicorn milik adiknya. hingga
membuat hewan itu menyerang balik padanya. Perutnya tertusuk dan kemungkinan ia terluka
parah.”

“Lalu kenapa kalian membiarkannya. Cepat, bantu aku mengobatinya!”

“Jangan! Dia akan mengamuk jika seseorang mendekat, Pangeran.”

Seokjin melihat raut takut dan ngeri dari seluruh penduduk yang ada di sana. Tak ada satupun
yang berani mendekat. Membiarkan pemuda yang terluka itu hanya merintih dan sesekali
mengumpat kasar. Ah, sepertinya orang itu memang bukan pemuda baik-baik. Pantas saja.

“Kalau begitu tinggalkan tempat ini. Jika kalian tak berani membantunya tolong pulanglah.
Jangan mengerubungi orang yang sedang sekarat seperti ini.”

Ucapannya bagai titah yang tak terbantah. Semua serentak mengangguk. Kemudian
meninggalkan tempat itu dengan teratur.

Dia tertinggal di sana. Gadis kecil yang selalu membantunya berkegiatan sosial di tengah rakyat
negeri langit. Choi Soojung. Ia mengenal dengan baik karena Soojung memang memiliki pribadi
yang menyenangkan. Ramah dan mudah diajak berteman. Namun, apa yang sedang ia lakukan
di tempat ini? meringkuk sembari terisak-isak. Mungkinkah—

“Soojung? Apa dia saudaramu?”

Soojung tak mendongak. Mempertahankan posisinya dan semakin mengkerut di pojok ruangan.
Hanya anggukan kecil yang menjadi jawaban atas pertanyaan Seokjin.
“Astaga. Inikah Leo yang kau ceritakan padaku? Kakakmu?”

Soojung mengangguk lagi. Kali ini disusul dengan tangisan yang kian memilukan. Melihat
kakaknya tak berdaya seperti ini benar-benar membuat hatinya teriris.

Seokjin tak tahu harus berbuat apa. Ia masih mematung sembari memperhatikan tubuh Leo yang
telah ia pindahkan di atas ranjang. Otaknya terus berfikir. Apa yang harus ia lakukan?

Selang beberapa lama, tabib kerajaan tiba atas permintaan pangeran langit tersebut. Seokjin
memerintahkannya untuk memeriksa Leo. Sementara Soojung di sampingnya. Ikut
memperhatikan dengan air mata yang telah mengering.

“Berjanjilah, Pangeran. Kau harus menyembuhkan kakakku.” pintanya memelas.

Seokjin menunduk mendengarnya. Mempertemukan maniknya dengan manik coklat milik


Soojung. Ada kekhawatiran yang tercetak jelas di sana. Seokjin bisa mengerti. Karena ia tahu
persis gadis itu hanya memiliki Leo dalam hidupnya.

Dengan keyakinan yang tak begitu kuat, ia tetap mengangguk. Ia menyanggupinya walau ia
sendiri tak tahu apa yang akan terjadi pada Leo setelah ini. Setelah ia tertusuk tanduk unicorn
dan mengeluarkan banyak darah. Tetapi ia tak peduli. Menenangkan Soojung lebih penting saat
ini daripada semua itu. Bukankah ini juga termasuk tanggung jawabnya sebagai putra seorang
pemimpin?

“Bagaimana keadaannya?” Seokjin segera menghampiri tabib yang telah selesai memeriksanya.
Orang tua itu menggeleng. Memberi isyarat buruk pada kedua orang di depannya.

“Apa maksud anda? Apa kakakku tak bisa tertolong?” tanya Soojung panik.

“Kalian tahu? makhluk negeri langit memiliki satu kristal kehidupan dalam dirinya?”

“Ya. Kami tentu mengetahuinya.”

“Dan kalian tahu apa yang akan terjadi jika kristal itu hancur?”

“Orang itu akan mati dalam waktu kurang dari satu tahu— tunggu, apa maksud anda kristal
kehidupan yang ada dalam tubuh kakakku telah hancur?”

Baik Seokjin maupun Soojung terperangah setelahnya. Kristal kehidupan adalah kunci hidup
bagi makhluk dunia atas. Mereka tak akan hidup tanpanya. Dan yang pasti, sangat jarang ada
kristal kehidupan yang hancur tanpa sengaja. Karena letak kristal itu memang berada dalam
tubuh pemiliknya masing-masing. Jauh dari jangkauan.

“Maafkan saya, Pangeran. Saya tak bisa menyembuhkannya.” ucap tabib itu untuk terakhir kali.
Janji tetaplah janji. Seokjin tahu ia telah melakukan kesalahan fatal pada Soojung. Iapun kini
harus menanggungnya.

“Choi Soojung, jangan pernah ceritakan semua ini pada siapapun. Berjanjilah. Maka aku akan
menyelamatkan Leo secepatnya.”

Soojung tak mengerti maksud ucapan sang pangeran. Namun ia tetap mengangguk. Ia tak peduli.
Yang terfikirkan dalam otaknya saat ini hanyalah keselamatan Leo. Kakak laki-lakinya.

Lama Seokjin terdiam di tempatnya. Hingga menit berlalu, Soojung terkejut ketika Seokjin
memuntahkan butiran kristal dari mulutnya.

Mata Soojung melebar.

“I-ini? Tidak pangeran! Ini tidak benar!” ia berbicara setengah menjerit dengan keadaan panik.

Seokjin mengeluarkan kristal kehidupan miliknya. Memberikannya pada Leo sebelum tubuhnya
sendiri tumbang.

“Pa-pangeran!!! Bangun pangeran!!!”

Flashback End

“Bagaimana keadaanmu, Pangeran?” Soojung berhenti menyeka kening Leo yang masih
mengeluarkan peluh. Sementara pemuda itu mulai kembali dari alam bawah sadarnya.

“Aku sudah baikan, Soojung. Terimakasih.”

“Ah, ini benar kau ternyata.” balas Soojung tersenyum. Tentu saja ia harus membedakan siapa
yang berbicara dengannya. Karena sosok di hadapannya adalah dua orang dalam satu tubuh yang
sama.

“Ya. Leo tak selemah ini, tentu saja.”

Soojung mengangguk kecil sembari masih mengulas senyum. Seokjin benar. Jika ini Leo
pastilah pemuda itu sudah memaki-maki. Atau bahkan mungkin mengamuk karena ia juga harus
merasakan sakit yang Seokjin rasakan.

“Sakitmu bertambah parah, Pangeran. Apa sebaiknya kau tak kembali ke dunia atas? Raja
mungkin sedang khawatir.”

“Tidak, Soojung. Aku sudah berjanji untuk tidak meninggalkan mereka —adik-adikku.”

“Pangeran bisa mengandalkanku untuk menjaga mereka. Prioritas utama mereka adalah
menyembuhkan Pangeran. Bukankah semua akan sia-sia jika Pangeran sendiri tak menjaga
kesehatan seperti ini?”
Seokjin memajukan bibir sedikit. Merasa bahwa ucapan Soojung benar. Tapi bagaimanapun
naluri sebagai kakak tak pernah mengijinkan dirinya kembali. Dia harus di sini. Dekat dengan
adik-adiknya yang mengelana tanpa pegangan.

“Kau perhatian sekali pada mereka. Apa kau masih menyukainya, Soojung? Adikku?”

Pipi Soojung sontak merona mendengar ucapan sang Pangeran. Menampilkan semburat merah
muda yang tak dapat ia tutupi. Bagaimana mungkin pemuda itu berkata demikian? Bagaimana
mungkin Kim Seokjin masih mengingat bahwa ia pernah menyukai salah satu adiknya? Bahkan
setelah hampir satu tahun berlalu. Dan hei! Soojung kini telah memutuskan pindah ke dunia
bawah. Ternyata Seokjin tetap masih mengingatnya. Ah, ini memalukan!

“Pangeran, apa kau  lapar? Aku akan membuatkan sesuatu untukmu.” ucap Soojung akhirnya
mengalihkan pembicaraan.

Sejurus kemudian ia melarikan diri dari kamar itu. Berusaha menghindari topik yang selalu
membuatnya salah tingkah seperti ini.

Seokjin terkekeh di tempatnya. “Ternyata kau masih memendamnya.”

“Mutiara itu berwarna hitam. Memiliki diameter sepanjang dua centimeter. Dan ia terlindungi
oleh kotak pandora yang wujudnya tidak pasti.”

“Tunggu, Yoongi hyung. Apa maksudmu tidak pasti?” Hoseok bertanya karena merasa tidak
paham.

“Maksudku kotak itu bisa berbentuk apa saja. Entah itu benar-benar seperti kotak perhiasan, atau
bentuk apapun yang bahkan kita sendiri tak menyangka. Aku membaca dalam sejarah kuno,
terakhir kali mutiara hitam ditemukan yaitu di dalam kuncup bunga tulip.”

“APPPPAAA???” kelima bersaudara itu menjerit heboh. Mendelik tak percaya dengan
penjelasan Yoongi.

“Bagaimana mungkin bunga tulip bisa menyimpan mutiara hitam?” protes Jimin.

“Dan jika kotak pandora berbentuk bunga, bisakah kalian bayangkan berapa banyak kuncup
bunga di dunia ini?” tambah Taehyung.

“Kita pasti akan gila mencarinya!” imbuh Jungkook sembari menggeleng.


Keenamnya kemudian terdiam. Sibuk berspekulasi dalam pikiran masing-masing. Mayoritas
wajah mereka menyiratkan mimik tak percaya bahkan mendekati keputus asaan.

Bagaimana mungkin mereka menemukan mutiara hitam itu? Ya Tuhan!

“Hyung…” setelah hampir seperempat jam, Namjoon angkat suara. “Bukankah ada petunjuk
yang lebih spesifik untuk menemukan mutiara itu? Maksudku, jika orang-orang terdahulu bisa
menemukan kotak pandora yang bentuknya bahkan tidak diketahui, pasti ada hal lain yang bisa
menuntun mereka menemukan kotak pandora itu, kan?”

Semuanya serentak menoleh ke arah Namjoon. Merasa mendapat sedikit pencerahan atas kalimat
yang baru saja diucapkannya. Darimana saudaranya itu mendapat kesimpulan yang begitu
brilian? Mungkinkah balap kuda mampu mengasah otak pangeran bertemperamen labil itu?

“Daebak!” gumam Jungkook setengah menganga. Mata bulatnya kian melebar seolah tak
percaya jika itu Namjoon yang mengatakannya.

“Aku setuju denganmu, Namjoon. Pasti ada cara untuk menemukannya.” angguk Hoseok.

Yoongi yang terdiam juga ikut mengangguk setuju. Baru saja ia hendak membuka mulut,
Taehyung lebih dulu menyambar.

“Insting?” Taehyung memiringkan kepala, seolah berfikir, “Bukankah negeri kita sangat peka
terhadap kekuatan pikiran? Siapa tahu dalam mencari kotak pandora juga membutuhkan
kemampuan itu untuk menemukannya. Bagaimana?”

Dan lagi-lagi mereka menganga. Bukan hanya Jeon Jungkook, kali ini seluruh orang yang
sedang duduk melingkar mendaratkan pandangannya pada seorang Kim Taehyung. Hei,
bukankah anak ini sedikit idiot? sejak kapan otaknya berfungsi?

“Tae?”

“Apa?”

“Kupikir kau sedang normal hari ini. Pertahankan keadaanmu yang seperti ini.”

Taehyung memajukan bibirnya sebal. Ucapan Yoongi tentu sebuah sindiran. Ia sangat paham.
Namun ia tak sedang dalam mood untuk bertengkar.  Toh berkelahi dengan Yoongi tak akan
membuat Taehyung menang. Yoongi licik, ingat itu.

“Aku sebenarnya bisa lebih pintar jika kau tak menganiayaku setiap saat, hyung.”

“Cih, apa hubungannya?”

“Karena otakku bisa saja selamat jika kau tak suka memukuli kepalaku!”
.

Hoseok memutuskan kembali berjalan kaki untuk membeli sarapan. Saudara-saudaranya yang
lain belum memutuskan kemana mereka akan pergi. Tapi ia sendiri sudah merasa lapar bukan
main. Jadi Yoongi menyuruh Hoseok dan Jungkook untuk membelinya sementara yang lain
masih berdiskusi.

“Apa masih jauh, hyung?”

Hoseok hanya mengangguk sekenanya. Ia sudah bersiap, sebentar lagi adik kecilnya pasti akan
mengeluh. Lihat saja.

“Hyu—“

“Kau pasti akan berkata jika kau lelah. Iya kan?” tebak Hoseok memotong ucapan adiknya.

Jungkook menggeleng pelan. “Tidak. Lihat itu.” tunjuknya pada suatu arah.

Hoseok mengikuti jari telunjuk Jungkook yang terulur. Di sana, tampak seorang nenek sedang
ragu-ragu melangkah. Terlihat takut menyeberang jalan. Ia mengulas senyum simpul. Ternyata
adiknya memperhatikan sekitarnya.

“Kau mau membantunya?”

Jungkook mengangguk cepat. Kemudian segera berlari menuju nenek itu ketika Hoseok
memberikan isyarat mengijinkan. Sepertinya ia sudah tak sabar. Atau mungkin kuatir jika nenek
tua itu celaka jika dibiarkan terlalu lama di pinggir jalan.

“Nenek, ayo pegang tanganku. Aku akan membantumu menyeberang.”

Jungkook mengulurkan tangan kanannya dengan senyum mengembang. Menampilkan ekspresi


setulus mungkin untuk meyakinkannya. Nenek itu mendongak. Untuk beberapa detik
membiarkan tangan Jungkook sebelum menerima ajakannya.

Tangan kanannya menggenggam erat telapak tangan Jungkook, sedangkan tangan kirinya
memeluk seekor anak anjing yang tertidur sangat pulas.

“Nenek mau kemana?” Jungkook bertanya selepas sampai ujung zebracross.

Nenek itu mengarahkan telunjuknya pada sudut sebuah gang kecil.


“Itu rumah nenek, sudah dekat. Terimakasih sudah membantu. Cepat kembali, kakakmu pasti
sudah menunggu.”

Jungkook menoleh sekilas pada Hoseok di seberang. Lalu memberi isyarat sebelum akhirnya ia
terkekeh kecil.

“Tak apa. Kakakku mau menunggu. Dia orang yang sabar,kalau nenek ingin tahu.”

Jungkook tak pernah tahu ada tempat seperti ini di dunia bawah. Ruangan yang sangat luas
dengan perabotan yang kelewat minim. Ia rasa ia kini memasuki sebuah gudang, bukan rumah
seperti apa yang ia pikirkan sebelumnya.

“Aku akan mengambilkanmu minuman. Tunggu sebentar.”

Jungkook mengangguk seadanya. Matanya kemudian beralih pada anjing yang baru saja
diletakan di atas matras—satu-satunya perabotan yang ada di ruangan ini.

“Bukankah ini Cihuahua? Lucu sekali.” ia berjongkok. Mengulurkan tangan hendak membelai
anjing kecil peliharaan sang nenek.

“Chimera nak, itu seekor Chimera. Apa kau tak bisa mengenalinya?”

Jungkook tak tahu pasti sejak kapan tubuhnya terhempas. Menubruk keras dinding ruangan kala
anjing kecil yang ia kenali sebagai Cihuahua berubah menjadi monster berkepala tiga yang
sangat mengerikan.

Ia mengerang. Merasakan nyeri di seluruh tubuhnya ketika satu dari tiga kepala Chimera itu
mengoyak pergelangan kakinya.

“Ti…dak.”

Tak ada waktu untuk menangis, tak ada waktu untuk memikirkan apa yang terjadi hingga ia
terjebak dalam keadaan ini. Semua tak masuk akal. Ini di luar kendalinya. Tapi Jungkook tahu
sesuatu sedang mengancam nyawanya sekarang.

“Serahkan mutiara hitam itu, anak dewa!” suara sang nenek bagai lengkingan neraka yang
mengoyak gendang telingannya. Mendadak kewajaran mulai mengabur berganti dengan segala
hal di luar logika.
Jungkook mengerang lagi. Mencoba bergerak kala makhluk setinggi dua puluh kaki itu  hendak
menyerangnya kembali. Satu-satunya hal yang terbesit di kepalanya adalah mengkoneksikan
pikiran dengan Jung Hoseok, saudara yang keberadaannya paling terjangkau. Batinnya memohon
–pun tubuhnya yang bersimbah darah ikut merintih memanggil siapapun yang bisa
menolongnya. Tapi semua seakan tak berarti kala—

Buukk!!!

—makhluk itu menghempaskan kembali tubuhnya untuk yang kesekian kali. Kesadaran mulai
menjauh darinya. Tubuhnya mulai tak bersahabat. Ia kehilangan seluruh energi setelah
terpontang-panting tanpa bisa melawan.

“Hyung…”

Bibir Jungkook masih merintih. Pendengarannya hanya bisa menangkap potongan-potongan


ucapan tentang mutiara hitam dari mulut nenek jahat yang menjebaknya.

“A…ku…tak…pu…nya.”

“Kau punya!” tegasnya sembari mencerkam baju yang Jungkook kenakan.

Pangeran muda itu menggeleng. Ia memang tak punya. Tapi mengapa nenek itu mencari mutiara
hitam? Sejak kapan dirinya dan saudara-saudaranya diintai oleh makhluk mengerikan seperti ini?

Hoseok mulai gelisah di tempatnya. Sudah hampir tiga puluh menit, namun adiknya belum juga
kembali. Ia merasa sesuatu yang tidak beres tengah terjadi.

“Jeon Jungkook, apa kau lupa aku sedang menunggumu?”

Ia mengumpat dalam hati. Berharap Jungkook mendengarnya dan segera kembali. Namun tak
disangka suara Yoongi-lah yang menyahutnya.

“Cepat kembali, Hoseok. Kita menemukannya!”

Ia tersentak mendengarnya. Jantungnya berdebar-debar. Mereka menemukannya? Secepat itu?


Astaga, bukankah ini tidak mungkin?

Ia refleks mengayunkan kaki lebar-lebar. Mengarahkan motoriknya menuju rumah sewa. Sedetik
kemudian ia berhenti, berbalik, lalu berputar-putar panik.
“Jeon Jungkook kau dimana? Aish!!!”

Keputusan sederhana akhirnya diambil tanpa berpikir resikonya. Ia meninggalkan Jungkook.


Sendiri. Berharap adik bungsunya segera kembali dan menyusulnya.

Kelima pasang mata itu berbinar tanpa ingin berkedip sedikitpun.  Fokus mereka mengarah pada
benda bulat berlapis karbon hitam yang memantulkan cahaya di sekitarnya. Jimin menggeleng
takjub. Merasa ia tak mampu lagi menutup mulutnya yang terlanjur menganga sejak beberapa
sekon. Di sampingnya, Taehyung hampir menangis saking merasa haru. Ia tak menyangka,
mutiara hitam itu tak harus didapatnya dari pertarungan atau apapun yang mengancam
nyawanya.

Tak ada pertumpahan darah, tak ada air mata yang mengiringi mutiara hitam ini hingga
tergenggam indah di telapak tangannya. Ia menatap saudaranya satu persatu. Menyunggingkan
senyum paling tulus yang pernah ia miliki. Namjoon dengan binar mata yang tak dapat
disembunyikan. Jimin yang masih menganga, Hoseok yang tak berkedip, dan Yoongi.

Ia memang bukan orang yang pandai membaca raut wajah seseorang. Tapi ia tahu persis Yoongi
juga bahagia. Bahkan jika boleh jujur, mungkin Yoongi adalah orang yang paling bersyukur atas
ditemukannya mutiara hitam itu.

Flashback

“Yoongi hyung, aku baru tahu kau menyukai hewan seperti itu.”

Taehyung berkacak pinggang melihat Yoongi berjongkok membelakanginya. Sudah hampir lima
menit kakak keduanya itu bergumul memberi makan seekor kucing yang biasa berlalu lalang di
dekat rumah sewa.

“Kenapa? Kau terkejut?”

Taehyung mendecih tanpa permisi. Dilipatnya kedua tangan di depan dada sembari masih berdiri
di samping kakaknya.

“Bukankah dia seperti kita, Tae? Berkeliaran tanpa orang tua.” Yoongi berucap lagi, kemudian
terkekeh sendiri.

“Kupikir kita lebih beruntung, hyung. Dia sendirian, sedangkan kita berenam.”

“Ya. Dia lebih berani daripada kita.”


Ketertarikan mulai mengusik hati kecil Kim Taehyung. Ia beringsut. Mengikis jarak hingga
telapaknya menyentuh bulu halus binatang malang tersebut.

“Anak kucing yang manis. Dia mengingatkanku pada Kim Jimin. Ah, Jimin pasti kesepian di
sana.”

“Singamu, maksudnya?”

“Eum.” Taehyung mengangguk.

“Dia cantik sekali. Liha matanya, hyung. Indah sekali.”

Yoongi memperhatikan objek yang ditunjuk adiknya. Ia tersenyum kecil. “Benar, matanya—Tae,
matanya…”

Mereka berdua membeku untuk sepersekian sekon. Kemudian terbelalak tak percaya.

“MUTIARA HITAM!!!”

Seokjin mengacak lembut surai cokelat milik Choi Soojung. Menunjukan betapa ia
berterimakasih kepada gadis remaja itu. Tubuh lemahnya masih dikawal beberapa pengawal
kerajaan langit. Namun raut bahagia tak mampu pudar kendati sesak di dadanya kian
menghimpit menyakitkan.

“Hati-hati, pangeran. Dan…aku yakin kau akan segera sembuh.”

Pemuda itu kembali mengulas senyum tulus. Sisa-sisa tenaganya mungkin akan habis setelah ini.
Ia tak begitu peduli lantaran kabar bahagia tentang adiknya yang menemukan mutiara hitam
telah ia terima beberapa jam yang lalu. Mungkin setelah ini, hatinya akan meledak saking
bahagia bisa bertemu keenam saudaranya yang lain.

Seokjin merindukan mereka, bahkan di atas keinginannya untuk terbebas dari penyakit terkutuk
yang masih setia bersemayam di tubuhnya. Rasa ingin bertemu yang mengendap sekian lama
membuat hatinya tak sabar untuk segera kembali ke dunia atas. Ia ingin menyambut mereka;
memeluk Yoongi, Hoseok, dan Namjoon, menjitak lembut kepala Jimin, mengacak surai
Taehyung serta mencubit pipi chubby si bungsu Jungkook. Semua kini terasa begitu nyata di
depan mata. Sebentar lagi, hanya menunggu hitungan hari—atau bahkan kurang?

Sekali lagi ia melambaikan tangan sebelum pengawal kerajaan membawanya ke dunia atas.
Soojung masih tersenyum di seberang, bersama Leo yang berdiri angkuh di belakangnya. Kilatan
mata itu tak dihiraukan oleh sang pangeran. Seokjin tetap tenang walau Leo menelanjanginya
dengan tatapan menusuk yang terarah tepat ke retinanya.

“Ayo. Aku sudah siap.”

.
.

Hening masih setia menggelayuti kelima raga di ruangan itu. Hanya desau angin sesekali
berbisik tak berarti. Embusannya menciptakan semilir yang menerpa wajah-wajah kaku para
pangeran negeri langit. Mereka masih terpenjara geming. Tak berlaku layaknya manusia pada
umumnya. Suatu kekhawatiran menyebabkan raut-raut itu semakin menegang.

Taehyung yang meringkuk di ceruk sofa berkedip-kedip bingung. Matanya tertuju pada satu titik
yang menjadi objek pencarian mereka beberapa pekan belakangan. Mutiara hitam masih
berpendar-pendar di dalam tempatnya. Seakan berbahagia telah menemukan tempat semestinya.
Benda itu pun kini sedang menunggu nasib selanjutnya. Apakah nanti akan bersemayam di tubuh
manusia? Atau kembali bersembunyi di dalam kotak pandora?

Invasi kebisuan agaknya masih enggan membebaskan jiwa mereka. Seakan akal sehat tak
diijinkan masuk dan mengendalikan raga-raga sang pangeran negeri langit. Kakak tertua mereka
akhirnya mengambil alih suasana. Menggumamkan sederet kalimat yang mungkin juga
berkecamuk di kepala mereka.

“Jeon Jungkook kemana?”

Satu per satu mereka mulai bereaksi. Menunjukan ketertarikan atas percakapan yang mulai
dibuka.

“Maafkan aku. Seharusnya aku tak meninggalkannya seperti itu.”

Jika ada yang harus disalahkan, itu memang kecerobohan Hoseok yang meninggalkan si bungsu
di luar sana. Selebrasi mengenai ditemukannya mutiara hitam pun seakan turut andil hingga
mereka tak menyadari keabsenan Jungkook saat itu, membuat semua kepala yang tersisa
menggeleng tak setuju akan pernyataan Hoseok baru saja.

“Tidak, Hoseok. Ini salah kita semua.” bantah Yoongi.

Tangannya menepuk-nepuk punggung adiknya yang mulai kembali gelisah. Hoseok merasa
bagaimanapun Jungkook tadi pergi bersamanya. Sudah menjadi tanggung jawab Hoseok untuk
menjaga adiknya. Dan hantaman keras seakan mengoloknya kala tugas sederhana itu tak mampu
dilaksanakan.

“Jangan khawatir, hyung. Jungkook bukan anak bodoh yang bisa tersesat begitu saja. Ia pasti
akan kembali sebentar lagi.” Jimin ikut bersuara.

Kendati hatinya juga tak kalah khawatir, namun ia tetap menyunggingkan senyuman. Mencoba
membagi sedikit keyakinan yang tersisa.
“Justru karena itu kita semua khawatir, Jim. Jungkook tak sebodoh itu untuk menemukan jalan
pulang. Kecuali…dia sedang dalam masalah.”

Statement lugas dari Namjoon mendapat protesan berupa tatapan tajam seluruh saudaranya.
Mereka tak setuju—atau lebih tepatnya tak ingin setuju dengan pernyataan Namjoon. Keyakinan
mereka seakan terkikis begitu saja. Mereka tak bisa membohongi diri. Pada kenyataannya,
kekhawatiran terus membelenggu seiring detak waktu yang terus berlalu.

“Tunggu di sini. Aku akan mencarinya.”

Ucapan Yoongi tentu saja mendapat perhatian penuh. Mereka serempak berdiri, kemudian
berseru kompak. “Hyung, aku ikut!”

Lampu jalanan kota Seoul telah memancarkan cahaya. Menyambut datangnya malam yang mulai
mengambil alih posisi. Rembulan bersinar dengan sempurna di atas sana. Mengawasi kelima
gerak gerik pangeran bersaudara yang kehilangan salah satu bagiannya. Peluh mulai mengalir di
sekitar tubuh mereka. Sensasi menggigil tak dapat dihindari ketika angin malam berembus sepoi-
sepoi menerpa kelimanya.

Tak ada tanda-tanda keberadaan Jungkook. Adik kecil mereka seolah hilang begitu saja ditelan
bumi. Atau alam sengaja menyembunyikannya hingga mereka tak mampu mendeteksi. Taehyung
membuang napas lelah. Hanya dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, mereka telah
mengalami banyak hal. Mungkin setelah ini, ia akan mencatat hari ini sebagai salah satu hari
yang tak terlupakan olehnya.

Oh, apa Taehyung sempat memikirkan yang lain? Ia kembali sadar bahwa tujuannya berkeliaran
hingga malam adalah untuk mencari adik satu-satunya.

“Jungkook…”

Pekikan suara Jimin membuyarkan konsentrasi mereka. Taehyung buru-buru melemparkan


pandangannya sejurus dengan arah pandang Jimin. Matanya memicing, mengatur fokus hingga
ia menangkap siluet yang sangat familiar tertatih ke arahnya.

“Astaga, Jeon Jungkook!”

Jerit keempat saudaranya membuat Taehyung ikut tersentak di tempatnya. Yoongi dan Hoseok
adalah yang pertama menghampiri. Kemudian ia berlari kecil menyusul bersama Namjoon dan
Jimin yang terlihat begitu panik.
“Jungkook…ya Tuhan…bagaimana…kenapa…” Yoongi meracau mendapati tubuh adiknya
merosot dalam pelukannya. Tiba-tiba saja melupakan tatanan kalimat yang telah ia pelajari sejak
masih kanak-kanak. Jantungnya berdebar-debar, raganya turut merasa lemas melihat adiknya
ditemukan dalam keadaan begitu mengenaskan.

“Hyung, apa yang terjadi dengan Jungkook?” suara Jimin bergetar.

Namjoon berinisiatif membawa tubuh itu di balik punggungnya. Lalu bergegas kembali ke
rumah sewa. Yoongi masih membisu, sedangkan Hoseok telah menangis tersedu-sedu entah
sejak beberapa waktu.

Taehyung merasa dunianya sedang berputar. Darah dalam otaknya berdesir hebat. Pikirannya
begitu kacau. Kebahagiaan yang mereka rasakan beberapa waktu lalu kini bagai mimpi buruk
yang menyambarnya tanpa aba-aba.

Diraihnya tangan Hoseok dalam genggaman. Lalu dengan sabar ia menuntun kakaknya itu
mengikuti saudaranya yang telah menjauh. Ia turut menangis—diam-diam. Menumpahkan
kesedihan yang tiba-tiba meruntuhkan harapan yang terlanjur membubung tinggi. Mutiara hitam
itu kini serasa tak berarti.

“Apa yang harus kita lakukan, hyung?” mata sembab Jimin mengerjap beberapa kali. Memaksa
beradu tatap dengan Yoongi yang menjadi sandaran mereka saat ini.

Sang kakak tahu dia seharusnya berbuat sesuatu. Namun nyatanya pemuda berkulit pucat itu kini
tak mampu berkutik. Dipandangnya tubuh Jungkook yang masih terbaring di pangkuan
Namjoon. Luka-luka itu begitu dalam. Seakan ada sesuatu yang telah mengoyak seluruh tubuh
adik kecilnya.

“Hyung…” Taehyung kini ikut bersuara. Tangannya terulur mengalung di pundak Yoongi. Ia
sangat paham bagaimana perasaan kakaknya saat ini. Yoongi akan menyalahkan dirinya sendiri
karena janjinya pada raja dan ratu negeri langit.

“Maafkan aku,” lirih Yoongi hampir tak terdengar. Kepalanya yang terasa berat ia tundukkan
dalam-dalam. Ia mulai terisak. Rintihannya membuat adik-adiknya merasa tercekat. Di dalam
rumah ini, kembali mereka menangis bersama-sama. Tanpa kata-kata. Hanya air mata sebagai
wujud betapa pedulinya mereka terhadap satu sama lain.

.
.

Perasaan tak enak mulai menjalar di seluruh tubuh Seokjin. Sedaritadi ia mondar-mandir di
dalam kamar. Menunggu kedatangan keenam saudaranya yang hendak naik ke negeri langit.
Bukan gembira seperti yang beberapa waktu lalu ia rasakan, kini ia lebih merasa was-was.
Batinnya menyuarakan sesuatu tidak baik sedang terjadi. Namun otaknya serta merta menampik
segala pikiran negatif itu. Tak mau memercayai apapun tentang hal buruk yang mungkin sedang
menimpa mereka.

“Kau hanya terlalu bersemangat, Kim Seokjin.” gumamnya pada diri sendiri. Ia terus saja
meyakinkan diri selagi kakinya melangkah menuju aula istana. Bergabung dengan ayah ibunya.

“Kau sudah bersiap?” sang ibu menyambutnya dengan senyuman.

Ia menunduk hormat, kemudian duduk di samping singgasana ayahnya. Ada raut janggal ketika
matanya menatap raja. Lelaki paruh baya itu terlihat tegang tak seperti biasa. Pun dengan ibunya
yang tak bisa duduk dengan tenang. Membuat perasaan takut dalam diri Seokjin kembali muncul
ke permukaan.

“Apa sesuatu buruk terjadi, ayah?” Seokjin memberanikan diri bertanya. Cukup lirih, namun
mampu menarik perhatian kedua orang tuanya itu.

Ayahnya menggeleng, “Semoga saja tidak. Ayah hanya khawatir.”

“Mereka telah melalui perjalanan panjang, Seokjin. Berbahagialah menyambut kedatangan adik-
adikmu.” ratu terlihat mencoba menenangkan. Namun raut gelisah itu tak mampu disembunyikan
—setidaknya Seokjin bisa melihat dengan jelas ibunya sedang tak tenang.

“Ayah dan ibu tidak bohong?”

Pertanyaan Seokjin tak membutuhkan jawaban dari siapapun. Ia menemukannya sendiri.


Jawaban itu datang sendiri seiring keenam adiknya datang bersama pengawal kerajaan yang
menjemput mereka. Matanya memanas. Jerit tangis ratu negeri langit bagai nyanyian mimpi
buruk yang terus menghantuinya. Menyayat hati di setiap ritmenya

Seokjin limbung. Ditatapnya tubuh adik bungsunya yang berada di dekapan kedua tangan
Namjoon. Jungkook tergolek tak bergerak di sana. Di depan dada Namjoon yang
membopongnya. Matanya terpejam dengan damai. Luka-luka disekujur tubuhnya seolah
bercerita tentang betapa tak mudah perjuangan mereka di luar sana.
Isak tangis mengiringi langkah kelima pangeran negeri langit yang mulai mendekat. Membawa
serta adik kecil mereka yang telah mengorbankan hartanya yang paling berharga; nyawa.

Ratu jatuh tak sadarkan diri. Bagaimanapun ia adalah seorang ibu yang terpukul kehilangan anak
bungsu kebanggaannya. Hoseok, Yoongi, dan Jimin, mereka masih menangis dalam diam
sembari membantu Namjoon membaringkan raga tak berdosa yang telah kehilangan jiwanya.
Taehyung berdiri di sana. Menghampiri kakak yang sangat ia rindukan. Didekapnya tubuh
Seokjin yang histeris atas ketidakmampuannya mengendalikan diri. Ia tersenggal-senggal,
merasa hatinya teremas-remas menghadapi fakta paling menyakitkan yang pernah ia hadapi.

“Hyuuung…” Taehyung masih terus mencoba menenangkan. Tak tega melihat kakaknya begitu
terluka hingga ia merasa sembilu turut bersemayam menancap dadanya. Perih, sesak. Akhir ini
sangat jauh dari ekspektasi yang ia harapkan. Tangisan ini sangat berbeda dari apa yang ia
bayangkan. Mutiara hitam pun seolah tak mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik walau
barang sejenak.

Jeon Jungkook pergi meninggalkan duka terdalam bagi keluarga paling berkuasa di dunia atas.

Waktu terasa berjalan begitu lambat. Seakan tahu bahwa mereka masih enggan berpisah.
Keluarga itu tak beranjak dari tempatnya. Setia bergumul dalam duka yang terus membuat hati
siapa saja semakin terluka.

“Maafkan aku, ibu…”

Yoongi tak henti-hentinya menggumamkan kalimat itu. Ia bersalah. Merasa bahwa petaka yang
terjadi adalah akibat kelalaiannya. Hatinya dirajam pisau tak kasat mata. Air mata yang meleleh
dari anggota keluarganya seperti hendak menenggelamkannya dalam-dalam. Rintihan
ketidakrelaan mereka bagai petir yang membumihanguskan secercah hasil dari susah payah
usahanya. Ia tak sanggup lagi. Raungan kepedihan itu akhirnya lolos dari bibirnya yang bergetar.
Turut mengasihani diri sendiri serta mengiringi kepergian adik kecilnya. Kesayangannya.

Raut tenang nan damai itu sangat berbanding terbalik dengan yang ditinggalkan. Pada saatnya,
mereka tahu Jungkook telah menemukan jalannya. Atau mungkin sudah berbahagia melepas rasa
sakit yang tak mampu ditanggungnya. Mestinya mereka turut merasa lega. Namun ternyata untuk
berbesar hati mengikhlaskannya adalah perkara tersulit yang bahkan tak akan sanggup mereka
lakukan. Saat ini, selamanya.

Bruukk
Tubuh lemah Seokjin tak mampu lagi menahan tekanan demi tekanan yang datang silih berganti.
Ia jatuh tak sadarkan diri. Disusul dengan riuh panik seluruh penghuni istana yang sedang
berkumpul di sana.

“Hyuuung, bertahanlah!”

Entah sampai kapan penderitaan ini akan berakhir. Kepergian pangeran termuda menghantam
hati siapa saja yang menyaksikannya. Raja, sang pemimpin dengan kasta tertinggi di negeri itu
bahkan tak berdaya dibuatnya. Bahu kokoh penopang rakyat negeri langit bahkan bergetar kala
harus menghadap jasad putra kecilnya. Masih teringat jelas dalam nostalgia. Jungkook muda
yang tak pernah merengek kepadanya. Seorang calon pewaris tahta yang tahu dan tak pernah
mengeluh akan tugas-tugasnya. Adik bungsu yang penurut pada keenam kakaknya. Serta seorang
putra yang sangat berbakti pada orang tuanya. Kendati ia adalah seorang pangeran, tak sekalipun
dalam hidupnya dihabiskan untuk bermanja-manja. Ia tahu tugas-tugasnya. Ia sadar tanggung
jawabnya.

Pada akhirnya, Jeon Jungkook membuktikan pada semua yang ada. Bahwa ia menyelesaikan
tugas mulia yang diembannya. Ia—beserta kelima kakak yang mendapat titah raja, berhasil
memenuhi janji dan kembali menghadap penguasanya. Menyerahkan mutiara hitam pada
kakaknya yang sedang menunggu dengan siksa sakit yang mendera. Jungkook tak ingkar janji. Ia
kembali walau nyawa dalam dirinya tak mampu dibawa serta. Dikorbankannya.

Bukankah ia pangeran terbaik yang pernah ada?

Jangan menangis, hyung. Jungkook menukar hidupnya untuk kehidupan kalian yang lebih baik.

Kicauan sang pheonix mengusik ketenangan seorang pangeran yang masih terpejam.
Menariknya dengan paksa dari alam bawah sadar. Kelopak mata itu lambat laun mulai terbuka.
Mempersilahkan sinar mentari pagi beradu dengan manik kecoklatan miliknya. Taehyung—yang
saat itu berbaring di atas ranjang menggeliat sejenak, kemudian termangu sebelum berjengit
karena burung kesayangan ayahnya hinggap di dekatnya.

Bulu-bulu indah berwarna merah keemasan itu panjang menjuntai. Cakar kokohnya keunguan.
Mencerkam kuat ranjang kayu yang sedang ia tiduri. Taehyung mengelus lembut paruh besarnya.
Ia tersenyum simpul; mengapa burung phoenix begitu beruntung ditakdirkan hidup dalam
keabadian? Kicauannya yang serupa nyanyian surga begitu menenangkan hatinya yang masih
tergores luka. Ia hendak menangis lagi. Namun kenyataan ini terlalu bodoh untuk terus diratapi.
“Bukankah Jungkook sudah bahagia di alam sana?”

Ia mulai bermonolog sendiri. Mengajak sang phoenix berbagi cerita kelam yang menghancurkan
separuh kehidupannya.

“Jungkook tak perlu bereinkarnasi sepertimu, phoenix. Dia abadi, disini—“ ia menunjuk tepat di
dadanya. “—benar ‘kan, phoenix?”

Air matanya mengalir tanpa permisi. Diabaikannya liquid bening yang mulai menganak sungai
di pipinya. Ia tahu hari-harinya akan semakin berat. Namun janji menjadi pangeran yang kuat
untuk kerajaan langit telah mengikat. Memaksanya untuk tetap bergelut dalam tekad.

“Taehyung…”

Oh, itu suara ibunya. Cepat-cepat ia menyeka kelopaknya yang basah. Ibu pasti tak mau
melihatnya tenggelam dalam kepedihan.

“Kau sudah bangun?”

Taehyung tersenyum. Mengangguk seadanya.

“Akhir-akhir ini dia tidur seperti mayat, bu. Taehyung bahkan mendengkur seperti guntur.
Berisik sekali.” Yoongi muncul di belakang. Mengoloknya.

“Disaat seperti ini kau masih sempat mencibirku, hyung?” sahut Taehyung sarkatis.

Kekesalan mulai membuncah melihat raut meremehkan kakaknya. Hatinya sedikit geram. Bisa-
bisanya ia bercanda disaat seperti ini? Demi jenggot Merlin, ini tidak lucu sama sekali!

“Cepat bersihkan dirimu. Kita semua sudah lapar, tahu!”

Yoongi pergi setelah selesai meletakkan setumpuk pakaian yang ia kenakan selagi di dunia atas.
Melihat baju-baju itu teronggok di atas meja, membuatnya kembali mengingat adik kecilnya
yang telah tiada. Napasnya terbuang perlahan. Hatinya tak ingin lagi larut dalam kepedihan.

“Kami menunggumu untuk sarapan bersama. Cepat bergegas, Taehyung.” pungkas sang ibu.

“Taehyung…Lambat sekali, sih!”

“Yak, Kim Taehyung! Kau manusia atau siput?”


“Jika kau tak bergegas aku akan menghabiskan jatah makanmu!”

“Kuhitung sampai tiga jika kau tak kunjung kemari kubuang semua makananmu. Satu…dua…
Yak, Kim Taehyung! aku sudah hampir menyebutkan tiga! Aish!”

Teriakan demi teriakan terus bersahutan di luar sana. Meneriaki satu nama yang sama. Kim
Taehyung bukannya tuli atau apa. Ia hanya tak cukup bersemangat menghadapi paginya. Sisa-
sisa tenaga yang ia miliki seolah tak cukup bahkan untuk sekedar menyahut protesan saudaranya.
Ah, mungkin mereka sudah kepalang murka. Siapa peduli?

Tungkainya mengayun dengan ritme tak begitu cepat. Menetapkan ruang makan sebagai arah
tujuan. Mereka telah berkumpul di sana—seperti biasa. Hanya menunggunya untuk memulai
rutinitas sarapan pagi mengawali hari.

“Dasar lambat!” umpat Namjoon.

“Kebiasaan tidur mayatnya mulai lagi.” Yoongi menimpali.

“Duduk disebelahku, Tae. Kau terlihat pucat.” seru Seokjin. Agaknya kakaknya itu satu-satunya
yang peduli. Selain ayah ibunya yang tersenyum menyambutnya.

“Hyuung, cepat duduk. Aku sudah lapar, tahu!” si bungsu merengek.

Ia hendak menarik kursinya sebelum matanya melotot tak percaya.

“Jungkook!” pekiknya keras. Pupilnya melebar mendapati adiknya sedang menatap dengan mata
bulatnya.

“Tutup mulutmu, Tae. Lalat akan masuk jika kau menganga seperti itu.” Hoseok tak bisa untuk
tak memprotes ekspresi Taehyung yang dirasa terlalu berlebih. Memangnya apa yang salah
dengan Jungkook?

“Ba-bagaimana bisa kau di sini?”

“Eh? Aku? Bagaimana? Kau kenapa sih, hyung?”

Raut heran Jungkook berbanding lurus dengan kebingungan Taehyung. Alis mereka sama-sama
mengkerut. Merasa heran namun untuk keadaan yang berbeda.

Bagaimana bisa Jungkook ada di ruang makan? Dia sudah meninggal!

Ada apa dengan Taetae hyung? Apa salahnya aku di sini?”

“Berhenti saling menatap seperti itu. Kalian menjijikan!” protes Jimin. “Lebih baik ayo kita
mulai sarapan.”
.

Tunggu, ini tidak benar. Keadaan ini terlalu janggal untuk bisa dimengerti. Taehyung masih saja
berpikir keras bagaimana bisa adiknya kembali ke dalam istana. Mungkinkah dewa Hades
memberinya ijin kunjungan keluarga? Apa hal-hal seperti itu bisa terjadi? Namun menilik cerita
bagaimana kejamnya dewa pengurus jiwa-jiwa yang telah meninggal itu agaknya sangat tak
masuk akal jika membiarkan Jungkook pergi dari alamnya.

Ditatapnya si bungsu yang berada tepat disampingnya. Masih menikmati sarapan pagi dengan
khidmat. Ada perasaan lega yang menjalar di seluruh tubuhnya. Namun rasa takut perlahan turut
muncul bersamanya. Bagaimana jika setelah ini Jungkook meninggalkannya lagi?

“Jungkook…bagaimana hidupmu di sana?” bibirnya meloloskan pertanyaan yang sedaritadi


mengusik hatinya.

“Di mana maksudmu, hyung?”

“Di alam sana. Kau sudah bertemu dengan Hades? Apa dia menyiksamu? Atau menempatkanmu
di dalam surga?”

Denting sendok yang beradu dengan piring serempak berhenti. Mereka menatap Taehyung
heran. Merasa tak mengerti dengan kalimat yang baru saja ia katakan.

“Hyuuung! Kau pikir aku sudah mati, hah??!” Jungkook berteriak tak terima. Kekesalannya
memuncak ke ubun-ubun. Ia bahkan merasa tak bersalah meloloskan jeritan di depan muka
kakaknya.

Pletaakk!!

“Apa maksudmu? Bagaimana bisa Jungkook bertemu Hades? Dia belum mati, bodoh!”

Hoseok menggeram sembari melayangkan sendoknya. Membuat Kim Taehyung mengaduh


sembari mengelus kepala.

“Taehyung pasti sudah gila.”

“Dia gila sejak lama, ingat hyung.”

Kini Taehyung bagai manusia terbodoh yang pernah ada. Realita yang tersaji di depannya tak
mampu menjelaskan kerumitan yang menggelayuti otaknya. Pikirannya dipenuhi berbagai
macam pertanyaan yang membuat dirinya merasa gila.
.

Ia pasti melewatkan sesuatu.

“Sungguh, Jungkook sudah mati. Dia diserang entah apa, lalu kita menemukannya di tengah
jalanan kota Seoul. Benar ‘kan?” Ia coba mengklarifikasi.

Semua mengangguk mendengar cerocosannya

“Ya.”

“Lalu kita membawanya ke rumah sewa. Yoongi hyung menangis tersedu-sedu. Jimin dan
Namjoon hyung mencoba mengobati lukanya. Hoseok hyung bahkan tak bisa berhenti
menyalahkan dirinya. Aku benar ‘kan? Iya ‘kan, hyung?”

Mereka mengangguk lagi.

“Lalu kita melakukan perjalanan ke dunia atas. Jungkook mengerang sepanjang jala—“

“Cih, jangan berpura-pura kau mengingat perjalanan ke dunia atas, Tae. Kau bahkan tidur
sebelum pengawal kerajaan menjemput kita!” potong Yoongi seenaknya.

Taehyung berhenti mengoceh. Merenungkan perkataan kakaknya.

“Aku…tidur?”

“Ya. Dan kau baru bangun tadi pagi. Dasar mayat!”

“Jadi…”

“Jadi?”

“Jadi semua itu?”

“JADI SEMUA ITU HANYA TERJADI DI MIMPIMU, TAEHYUNG!!!”

Mereka berteriak kompak. Kelewat geram menghadapi adiknya yang mulai bertingkah.  Seokjin
yang sedaritadi mendengarkan terkekeh pelan. Dijitaknya kepala Taehyung dengan gemas.

“Mimpimu pasti mengerikan. Jungkook bahkan sampai meninggal. Astaga, patas saja kau
menangis di tengah tidurmu semalaman.”

Jungkook yang menjadi objek ternista di mimpi Taehyung mengerucutkan bibir sebal. Bisa-
bisanya kakaknya setega itu mempimpikan ia meninggal. Keterlaluan!
Kini Taehyung mengerti. Semua petaka buruk yang menimpanya bukan hal nyata. Matanya
berkedip-kedip pelan. Mencoba menerima dan siap mendapat olokan karena mimpi bodohnya.

“Lihat, Taehyung seperti orang bodoh. Sungguh!”

“HAHAHAHA.”

Sang phoenix berkicau lagi. Mendengungkan nada indah sembari menggoyangkan paruh
keemasannya. Nyanyiannya kini bahkan lebih indah dari suara-suara surga yang ia bayangkan.
Taehyung duduk bersandar, memperhatikan burung keabadian yang sedang bergembira di
tempatnya. Dari arah timur, ia melihat kakaknya -Namjoon- sedang bergurau dengan kuda putih
bertanduk satu—unicorn kebanggaannya.

“Tak ikut bermain?”

Suara dari arah belakang membuyarkan fokus manik kecoklatan miliknya. Ia menengadah,
mendapati kakak tertua mendekat menghampiri.

“Duduk di sini, hyung.” Taehyung menepuk-nepuk tempat di sebelahnya.

Seokjin menurut saja. Rasanya, ingin sekali ia menghabiskan seluruh waktunya untuk adik
kecilnya. Tak sekali pun ia akan melepaskan lagi bocah polos ini untuk berkeliaran menantang
bahaya di luar sana.

“Apa yang kau pegang? selidik Taehyung.

“Kalung.”

Seokjin mengangkat untaian tembaga berliontin clover kristal hijau zamrud. Taehyung
bergumam ‘indah’ lalu mengulurkan tangan hendak menjangkaunya sebelum Seokjin melarang.

“Ini milik Yoongi.”

“Eh? Yoongi hyung memiliki kalung seperti itu? Sejak kapan?”

“Kau tak perlu tahu.”

Jawaban Seokjin membuat bibir Taehyung mengerucut hampir lima centi. Namun ia tak mampu
membantah. Melihat kakaknya tersenyum gamblang seperti itu, mau tak mau ia turut bahagia.
“Jadi…” ucapnya, “mutiara hitam itu sudah berada di sini?” sembari menunjuk dada Seokjin.

Seokjin mengangguk, mengacak surai adik kecilnya, “terimakasih, kau sudah berusaha.”

“Hyung, harusnya kau lebih berterimakasih padaku. Aku berkorban lebih banyak dari dia.”
Jungkook muncul entah dari mana. Menunjuk Taehyung yang ia anggap telah merebut ucapan
yang seharusnya ditujukan padanya.

“Yak! Sopan sedikit. Aku hyungmu!”

“Hyung yang tega menganggap adiknya telah meninggal!”

Tepat sasaran. Taehyung meringis, tertusuk oleh kalimat tajam Jeon Jungkook. Serta merta ia
merangkul adiknya dan berucap, “Maaf…mimpiku terasa begitu nyata hingga tak bisa
membedakan dengan realita.”

Jungkook tak menyahut. Hanya berkomat-kamit menunjukkan ekspresi sebalnya. Tingkah


keduanya yang begitu menggemaskan mau tak mau membuat Seokjin kembali terkekeh di
tempatnya.

“Kalian tahu, aku begitu merindukan saat-saat seperti ini sampai rasanya mau mati.”

“Benarkah? Lalu kenapa hyung masih hidup sampai sekarang?”

Jungkook dan Taehyung terbahak-bahak usai mendengar ucapan Jimin yang datang bersama
Hoseok dan Yoongi. Turut bergabung dan mengerjai kakak pertamanya dengan leluasa. Seokjin
yang sadar akan tingkah jahil adiknya mulai meladeni.

“Jadi kau ingin hyung mati, Jim?”

“Eh-eum…itu…” anak berotot itu salah tingkah.

Kembali mereka terbahak melihat ekspresi tersudut salah satu saudaranya itu.

“Sepertinya hyung kita sudah pandai berakting, saudara-saudara.”

5 years latter

.
Gejolak euforia negeri langit belum berakhir. Hari ini, negeri di atas awan itu tengah
memeriahkan suatu moment yang lama mereka tunggu. Pengangkatan penguasa baru dari tujuh
kandidat yang dimiliki raja sebelumnya akhirnya terlaksana. Menyongsong mahkota yang telah
diturunkan oleh penguasa terakhir, sang ayahanda.

Dia berdiri gagah di altar singgasana. Menghadap para rakyatnya yang turut merayakan hari
bahagia. Sekaligus merajut harap akan negeri yang makmur di bawah pimpinannya.

Raja baru mereka, Kim Namjoon.

Mereka bertepuk serentak. Menyoraki Raja Kim yang tersenyum pada siapa saja. Eksistensinya
terasa begitu lengkap dengan enam saudara yang turut menemani di sampingnya. Tak kalah
bahagia.

“Aku tak menyangka Namjoon hyung menerima tahta.” Park Jimin, yang berdiri di dekat Min
Yoongi berbisik pelan. Lelaki yang lebih tua terkekeh geli. Jika ada orang paling beruntung di
dunia, itu adalah dia, Min Yoongi. Kewajiban itu nyaris saja harus ditopangnya jika saja
Namjoon tak menyetujui naik pangkat.

Ah, licik memang. Namun Yoongi bersumpah ia hanya tak pantas memimpin kerajaan ini. Ia
terlalu temperamental untuk menjadi seorang raja. Begitu menurutnya.

Kim Seokjin yang baru saja selesai membantu ayahnya melakukan serah terima kekuasaan tak
ayal ikut terkikik mendengarnya. Hei, dia juga seorang kandidat raja yang ‘melarikan diri’ dari
tugasnya itu. Sungguh.

Trauma akan penyakit yang di derita masih membayangi hidupnya. Seolah-olah bisa merenggut
nyawanya kapan saja. Dan ia tak mau mengambil resiko untuk menjadi raja yang meninggalkan
rakyatnya karena mati muda. Oh, itu tidak lucu sama sekali, kawan!

Pesta pora menjadi puncak kemeriahan perayaan di kerajaan langit. Balai istana dipenuhi oleh
rakyat yang dilanda bahagia. Bersenang-senang bersama keluarga kerajaan yang berbaik hati
membukakan pintu untuk mereka.

“Samchon, a..pel!”

Jungkook menunduk ketika kakinya ditarik-tarik oleh salah seorang keponakan kecilnya.
Merengek minta apel yang berada di atas meja. Bocah berusia tiga tahun itu berkedip-kedip
menggemaskan dan membuat Jungkook ingin membopongnya.

“Yoorin sayang, mau apel yang mana?” Jungkook bertanya lembut. Mencium gemas pipi cucu
tunggal istana.

Yang ditanya tertawa kegelian. Lalu menunjuk sebutir apel merah di atas meja.

Dengan cekatan pangeran bungsu itu mencomotnya dan menyerahkan pada keponakan tercinta.
“Terimakasih, samchon!” gadis cilik itu memekik girang, lalu balik mencium pipi Jungkook
sebagai tanda terimakasihnya.

“Ah…manisnya.” celetuk seorang yang melihat kedekatan dua saudara itu.

“Lihatlah-lihatlah, kau menggoda kekasihku lagi, Yoorin!” seorang gadis berponi menghampiri
mereka. Mencibir keduanya.

“Dia anak kecil, Rei. Dan harus kuakui dia lebih menggemaskan darimu.” Jungkook terkekeh,
merasa senang telah menggoda kekasihnya.

Gadis yang dipanggil Rei itu manyun sejenak, lalu ikut mencubit hidung Yoorin gemas.

“Samchon-mu sama sekali tak romantis, Yoo. Dia menyebalkan.”

“Tapi samchon tampan!” celetukan ringan dari bocah itu membuat Jungkook kembali tergelak.
Kemudian mengaduh karena Rei mencubit keras lengannya.

“Yoorin kami sangat jujur. Jangan mempengaruhinya.”

Di serambi, Jimin mengajak Taehyung berbagi pendapat. Sesekali mereka berdebat kecil karena
merasa tak sepakat.

“Tidak, Jim. Dia pasti sudah bersuami. Jangan bodoh.”

“Oh, Taehyung. Sepertinya kau yang bodoh. Dia terlalu seksi untuk ukuran gadis yang telah
bersuami. Ayolah, buka matamu.”

Taehyung mengeryitkan kening. Bibirnya berkomat-kamit mengumpati saudaranya yang begitu


ngotot.

“Terserah. Aku tak peduli.” Putusnya acuh. Agaknya mengobrol tentang wanita bersama Jimin
adalah keputusan yang salah. Ia sedikit menyesal dalam hati. Diam-diam matanya menjelajah
barang kali ada seseorang yang menyelamatkannya dari lelaki mesum ini.

“Hai, kakak ipar! Butuh bantuan?” ia menghampiri wanita yang sedang membawa nampan
makanan. Terlihat kesulitan karena perut yang sudah membuncit.
“Aigoo, kau seharusnya beristirahat sejenak dan tidak mengandung lagi. Yoorin masih terlalu
kecil untuk memiliki adik, noona.” Taehyung bergumam sembari mengambil alih nampan, yang
disambut dengan senyuman oleh kakak iparnya.

“Salahkan hyungmu, Tae. Sepertinya dia masih belum cukup memiliki seorang putri.”

“Mungkin hyung berencana memenuhi istana dengan anak-anaknya.” Jimin menyeletuk.


Kemudian ikut bangkit dan berjalan ke dalam istana.

Sesampainya di dalam, mereka menghampiri keluarga yang sudah berkumpul. Yoorin ada di
pangkuan Seokjin. Bercengkrama dan sesekali mengunyah buah-buahan yang dijejalkan oleh
Yoongi yang duduk di sebelah. Jungkook tak mau kalah dengan bertingkah lucu untuk membuat
keponakannya terbahak-bahak. Dengan presensi Rei di sampingnya.

“Gadis itu terus menempel pada Jeon Jungkook.” Taehyung mengomentari.

“Aku mendengar, oppa!”

Ia meringis ketika Rei menatapnya sebal.

“Jangan mengganggu calon istriku, hyung.”

“Kau dengar, oppa? Lebih baik kau mencari calon istri sebelum Jungkook oppa menikahiku. Kau
tidak mau dikata tak laku karena adikmu akan segera menikah sedangkan kau sendiri masih
lajang, bukan?” Oh, mulut cerewet Rei beraksi lagi. Menyudutkan Taehyung tanpa dosa.

“Tak perlu. Aku akan menikahi gadis cantik ini ketika ia dewasa nanti.” Jawabnya mengerling
pada si kecil Yoorin. Tak lama kemudian—

Buukkk

—pukulan keras mendarat mulus di kepalanya.

“Berani mengencani putiku, kubunuh kau, Kim Taehyung!”

“Hyung, tapi hanya dia gadis idealku.”

“Aku tak sudi memiliki menantu sepertimu. Nikahi saja Jimin!”

“Yak, Hoseok hyung! Kenapa aku dibawa-bawa?”

“Bukan kau, maksudku Jimin singa itu. Ah, dia sudah tua sekarang.”

Hoseok bergumam sembari mencomot tubuh mungil Yoorin dari pangkuan Seokjin. Kemudian
menatapnya, “Jung Yoorin, jangan mau berkencan dengan Taehyung samchon! Dia bukan orang
baik, oke?”
Si kecil mengangguk-angguk tak mengerti. Hanya mematuhi apa yang ayahnya katakan.

“Hoseok, kau membuatku semakin ingin memiliki putri kecil juga!” itu suara Yoongi,
menginterupsi adegan ayah dan anak yang masih berlangsung.

“Siapa suruh tak lekas menikahi Soojung. Jika kau mau, dia sudah siap kok. Bukan begitu, Choi
Soojung?”

Ah, jangan lupakan gadis itu. Choi Soojung kini kembali ke dunia atas. Menyetujui ajakan
Yoongi yang memintanya kembali untuk hidup bersamanya. Agaknya, Kalung Clover hijau
zambrud yang ia titipkan pada Seokjin menyadarkan Yoongi betapa mereka masih saling
mencintai.

Soojung tersenyum kikuk. Tak tahu respon apa yang ia berikan. Sedangkan Cassie menyikutnya
untuk menggoda.

“Jangan menggodanya, Cass. Kau juga seharusnya siap menikah tahun ini. Aku tak bisa
menunggu terlalu lama lagi.”

Giliran Seokjin mengerling, membuat gadis yang telah resmi bertunangan dengannya kian
merona. Ya, sebagai pasangan pangeran tertua, ia harusnya tak terus menerus menunda
pernikahan hingga Hoseok mendahului mereka.

“Apa kalian sedang bersenang-senang membicarakan pernikahan? Hei, raja akan menikah
terlebih dahulu. Tak ada yang boleh mendahuluiku seperti Jung Hoseok ini!”

Kim Namjoon, raja mereka mengucapkan titah pertamanya. Yang terdengar begitu menggelikan
karena ini sebenarnya masalah pribadi. Tetapi, Hei! Dia tak boleh kalah dari pangeran-pangeran
ini. Dia harus segera menikah agar tak menjadi raja tanpa permaisuri.

“Baiklah, Paduka Raja. Silahkan menikah tahun ini.”

[BTS Hidden Card: T] Let Go – Oneshot


June 19, 2018 btsff_indonesiaLeave a comment
Title: Let Go

Author: kinarachiya

Cast: BTS’s Jungkook (as Prince Jungkook), Hana (OC), and Violet (as Princess
Violet/OC)

Genre: Romance, Friendship, Slice of Life

Length: OneShot (4.778k words)

Rating: PG-15

Disclaimer: Idea in this story is pure mine. And inspired by Akagami no Shirayuki hime
(anime), but the plot is different, just the setting “Clarines Kingdom” is taken from that.

Summary:

Untuk seseorang yang aku cintai, benang merah yang telah terjerat erat, tak bisa aku abaikan
begitu saja

Aku yang tak bisa menggapaimu, marilah berjalan di jalan yang terpisah, mari kita bertemu lagi
di masa depan dengan senyuman di wajah kita (BTS-Let Go)

Hari itu, seperti biasa ia melihat sinar mentari dari jendela rumahnya. Tak seperti gadis pada
umumnya ia lebih mengurung diri bersama buku-buku yang telah ia kumpulkan sejak sebulan
yang lalu. Berkelana kesana-kemari untuk mencari pengetahuan yang ingin ia dapatkan. Tak
peduli pada hujan yang lebat, salju yang menggunung dan juga musim panas yang membakar, ia
akan terus melampauinya demi mendapatkan apa yang ia cari selama ini. Ia memang bukan anak
bangsawan, maka dari itu pendidikan sangatlah sulit ia dapatkan, mau tak mau ia harus pergi ke
negeri tetangga untuk mendapatkan buku dari kakeknya. Membacanya, dan akhirnya ia tertarik
lalu membawanya pulang ke rumah. Tak  mudah, ada banyak prajurit penjaga gerbang yang
selalu menengok kesana kemari─barangkali ada penyusup yang masuk.

Tok tok

Suara dari pintu rumahnya berbunyi. Ia yang sibuk mengebet satu demi satu lembaran buku itu,
menghentikan aktivitasnya. Perasaannya mulai kalut, ia teringat akan kata sahabatnya kemarin.

“Hana, kau tahu, aku sempat melihat prajurit kerajaan datang ke rumahmu.”

Hana yang sibuk memasak makanannya itu, berhenti sejenak, mencoba mencerna apa yang
dikatakan sahabatnya. Apa mungkin ini terkait dengan kaburnya ia dari wilayah?

“Oh iya, kau kemarin pergi ke rumah kakekmu bukan?”

Hana mengangguk. “Benar. Aku sangat penasaran dengan buku yang pernah ia ceritakan
padaku. Maka dari itu—“

“Gawat!” Sahabatnya itu menggoyang-goyangkan bahunya keras. “Sepertinya para prajurit itu
tahu kau pergi! Kau bisa saja dihukum mati!”

“Eh?” Kedua mata Hana membulat, wajahnya pucat, ia tak tahu harus bagaimana sekarang
jika itu terjadi apa lagi ia tak punya tempat tinggal lagi selain rumahnya dan rumah kakeknya,
kalau ia kabur ke tempat kakeknya itu mungkin saja terjadi tapi sebelum itu ada anak nakal
yang selalu berada di rumah itu, untuk meminjam buku dari kakeknya saja ia harus ekstra hati-
hati apa lagi—

“Hana!”

“Maaf, akan aku pikirkan kembali” Hana mengulas senyuman.

Hana mengembalikan kesadarannya. Ia mencoba menerima kenyataan yang terjadi. Detik demi
detik berlalu, begitupun dengan suara ketukan pintu rumahnya. Selama ini ia menghabiskan
masa mudanya sendirian bersama buku-bukunya, ia tak tahu siapa ayah dan ibunya tahu-tahu ia
dirawat oleh sahabat ibunya yang ditinggal suaminya di medan perang itu, beliau tak bisa
melanjutkan hidup lebih lama, dan rumah ini pun diwariskan padanya di umur 17 tahun. Saat ini,
adalah waktu para gadis untuk mencari perhatian ke lelaki perjaka, namun tidak bagi Hana, ia
bahkan tak tertarik dengan dunia itu, yang ia inginkan hanyalah mengejar pendidikan menuju
negeri Eropa, ia ingin pergi kesana. Apapun yang terjadi!

Ia berjalan menuju pintu dengan hati-hati, perasaan waswas terus menyelimutinya, ia


mengangkat tangannya meraih knop pintu kayu itu dan..

“Apakah kau adalah Hana?”


Pria itu bertopeng, menutupi setengah wajahnya, matanya yang tertutupi itu terasa mengerikan
bagi gadis itu.

“Anda, si-siapa?”

Pria itu tak menjawab hanya menunduk dalam. Berlangsung cukup lama, Hana menanyakannya
kembali.

“Maaf, anda—“

“Jungkook. Namaku Jungkook.”

 “Ah..”Bola mata Hana bergerak ke kanan. “Jungkook, apa yang ingin kau bicarakan padaku?”

“Jadilah istriku.”

“Ha?” Hana terkejut bukan main. Ini yang pertama, seorang pria melamarnya—tidak selama ini
sebenarnya ada saja pria yang ingin mendekatinya namun mereka tak ada satupun yang serius
dengannya, sebenarnya ia tak dibuat kesal hanya saja ia merasa dipermainkan. Dan ini, apa yang
harus ia lakukan? Bagaimana jika pria bernama Jungkook itu tidak serius dengannya?

“Aku ingin kau menjadi istriku. Aku telah memperhatikanmu sejak bulan kemarin. Aku sangat
menyukai senyumanmu, kau selalu terlihat ceria ketika bercengkrama dengan para anak kecil di
balai desa, maka—“

“Jungkook, kau tahu..” Hana sebenarnya tak enak karena menyelanya, namun ia tak ingin
mendengar ocehan tak penting darinya. “Aku punya banyak kerjaan lain maka—“

“Aku serius denganmu Hana! Jadilah istriku!” Jungkook menaikkan volume suaranya, Hana
sempat terkejut bahkan mematung sesaat sambil memegang dada kirinya yang berdetak kencang
itu.

“A-aku—“

“Aku memberimu waktu sampai tiga hari ke depan”

Hana menatap kedua matanya.

“Aku menunggumu di balai desa” katanya lalu pergi begitu saja meninggalkannya. Jubah putih
yang menempel di punggungnya melambai, memperlihatkan betapa kharismanya pria bernama
Jungkook itu. Tak lama, Jungkook melirik kearahnya dan mengeluarkan senyumnya.

Dia tersenyum padaku?

Hana menutup pintu kayu itu rapat-rapat. Menyandarkan punggungnya pada dinding di
belakang. Kedua matanya berfokus pada lantai kayu yang ia pijak, jantungnya berdegup kencang
selagi ia mengingat suara pria itu. Dia sangat menyukai suaranya, mengagumkan! Ia tak pernah
mendengar suara yang begitu mempesona itu dari pria-pria di sekitarnya. Dan lagi, penekanan
pada setiap kata-katanya seolah menggambarkan dirinya yang tegas dan penuh kewibawaan.

Hana jatuh cinta pada suaranya.

Namun tetap saja, ia tak ingin memperpanjang durasinya untuk memikirkan pria itu, ia harus
tahu diri, siapa dia dan apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia memegang dada kirinya yang
masih berdegup itu, ia memerasnya, lalu teringat akan sesuatu..

Hana menurunkan tangannya dari dada kirinya, tubuhnya melemas seketika. Air matanya
berjatuhan begitu saja, ia tak bisa menahan perasaan sedih ini, andai saja ayah dan ibunya ada—

Ia mungkin bisa membicarakan ini pada mereka.

Ia mungkin bisa melihat senyuman merekah dari mereka

Tapi untuk saat ini apa yang bisa ia lakukan? Apakah menerima lamaran dari pria yang tak
sempat ia kenal itu adalah pilihan terbaik? Hana menggelengkan kepalanya keras.

“Bagaimana ini?” katanya sambil melihat langit-langit atap rumahnya

Hana masih ingat dengan orang bernama Jungkook itu. Pria yang tiba-tiba melamarnya di pintu
rumah, ia tak  menyangka bahwa takdir akan datang secepat ini, dan lagi ia selalu tak terpikirkan
untuk menjawabnya, selama ini ia sedang sibuk untuk persiapan tes seleksi untuk Ahli Herba
istana. Lalu bagaimana jika waktu hari itu tiba di depannya, apa yang harus ia katakan padanya?
Hatinya sudah hancur karena tak bisa menceritakan hal ini pada orangtuanya, dan lagi ia
mengalami masa-masa sulit saat meneliti kembali tumbuhan herba yang cocok untuk
pengobatan, sudah banyak para bangsawan gila yang mengambil tumbuhan herba di hutan
terlarang itu dan akhirnya yang tersisa hanyalah serpihan-serpihan sampah yang berserakan di
tanah. Ia tak bisa membayangkan jika hal ini akan terus berlanjut di masa untuk anak-anaknya
kelak, tak peduli siapa Pangeran dari negeri ini ia ingin menuntut keadilan atas apa yang terjadi
ini.

Ngomong-ngomong tentang pangeran, banyak dari masyarakat yang tak mengetahuinya. Saat
hari penobatan pun katanya tak banyak yang datang hanya sebagian dari tokoh-tokoh masyarakat
dan sesepuh di negeri ini, walupun begitu ada berita bahwa pangeran itu masih sangatlah muda
dan sikapnya dingin. Baginya, ini adalah kesempatan emas untuk bisa mengobrol langsung
dengannya, karena mereka seumur. Hana sangat menunggu saat-saat itu.

Selagi menunggu kesempatan itu, ia berjalan menuju istana. Bersiap untuk seleksi ujian Ahli
Herba, tak peduli banyaknya peserta yang berpartisipasi ia akan selalu memperbaharui
pengetahuannya dan menambah ilmunya. Itulah yang ia impikan, mengambil banyak ilmu dari
orang hebat dan selanjutnya ia akan menolong banyak orang. Ia sangat senang jika obat-obat
yang ia buat dari tanaman herba itu dapat bermanfaat bagi banyak orang, namun pemerintah
kerajaan belum membuat peraturan mengenai produksi obat-obatan di kalangan masyarakat,
karena biasanya mereka mengimpor dari negeri tetangga.

Hana melewati taman yang berada di belakang istana, ada banyak jenis tanaman herba disana.
Kedua matanya berbinar saat melihatnya, ia menghampirinya sambil berlari kecil.

“Wah, bahkan disini ada jahe, kencur dan serai”

“Bahkan ada buah candu sekalipun!

“Keren sekali taman ini!”

Namun ada beberapa hal yang sangat mengganjal pikirannya, tumbuhan herba di hutan terlarang
menghilang begitu saja dan disini ada banyak sekali tumbuhan yang biasanya tumbuh di hutan
terlarang, apa mungkin?

“Itu tidak mungkin, kan?” Hana menenangkan dirinya sendiri, ia tersenyum saat menekuk kedua
lututnya dan meraba tanaman buah candu.

“Siapa kau?”

Suara berat ini..

Hana menoleh, ia mendapati pria berjubah putih serta pedang yang  terletak di pinggang kirinya.

“Hana?”

“Eh, Jangan-jangan kau..”

“Apa kah kau sebegitu mudahnya melupakan seseorang?”

Hana menunduk, lagi-lagi ia memusatkan pikiran pada jawaban yang akan disampaikan padanya,
tenggang waktunya masih tersisa satu hari, dan jantungnya sangat berdegup kencang hari ini.

“Maaf Jungkook, aku..”

“Apa kau mengikuti seleksi ahli herba?”

Hana mengangguk. “Tentu saja, aku sangat menyukai tanaman!” jawabnya girang

“Begitu, kah?” Jungkook tersenyum simpul. “Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan
disini?”

“Aku tak sengaja melewati taman ini, dan tertarik pada setiap tanaman yang berada disini.
Sangat indah dan tertata, pengelolaannya begitu cermat dan bernilai”
“Terima kasih, Hana”

Hana penasaran denagn gaya bahasa Jungkook, ia lebih berkelas dan berwibawa dibanding
kemarin.”Jungkook, apa yang kau lakukan disini?”

“Hm, aku?” Jungkook menunjuk dirinya sendiri. “Kau mau berjanji padaku?”

“Janji?” Kedua alis Hana terangkat. “ Apa maksudmu?”

“Jangan terkejut ya” Jungkook mengedipkan salah satu matanya.

“Hah?”

Jungkook tak menjawab pertanyaannya begitu saja. Ia pergi melewatinya. Menyisakan begitu
banyak pertanyaan di benak Hana.

Apa yang ia ingin tunjukkan padaku?

Hana memperhatikan pria itu berjalan menjauhinya, punggung tegapnya begitu jelas dan
mempesona. Aura yang ia keluarkan sangat membuat medan magnet dalam dirinya begitu
terangsang untuk terus memperhatikannya. Begitu Jungkook melewati koridor, seorang
pengawal menghampirinya.

“Pangeran Jungkook!”

P-pangeran?

Hana menutup mulutnya, ia ingin mendengar pembicaraan mereka yang mulai berbaur dengan
zat-zat dalam udara, sehingga membuatnya menjadi samar.

“Pangeran, Raja akan segera datang, beliau meminta anda menunggu di altar”

Jungkook tersenyum. “Baiklah, aku akan kesana. Terima kasih”

Jungkook dan pengawalnya itu pergi, dengan berjalan tepat di belakang Jungkook sambil
menengok ke kiri dan kanan, melihat-lihat bahwa situasi telah aman.

Disisi lain, Hana, terus-terusan diselimuti perasaan tak mengenakkan di hatinya, ia merasa
bersalah selama ini, ia menganggap Jungkook adalah pria biasa yang sering ia temui di desa dan
akan berbuat seenaknya padanya, namun pada kenyataannya, ia sangat ramah dan baik hati.
Betapa bimbangnya dirinya sekarang.

Lagi-lagi, ia dilema akan jawabannya untuk menerima lamarannya


“Jungkook adalah pangeran..”

Hana bergumam selagi berjalan pulang menuju rumahnya. Ia tak merasa tersaingi saat seleksi
tadi, justru ia memikirkan betapa kebetulannya hari ini ia dipertemukan oleh pria itu. Ia tak ingin
mengakui bahwa sekarang tingkat sentimentalnya sedang mendominasinya, ia terus berpikir
bagaimana jika ia menolak lamarannya, apakah Jungkook akan mengusirnya dari negerinya atau
mungkin ia akan mendapat hukuman.

“Tidak, tidak!” Ia menggeleng kepalanya keras. Hana berusaha menghilangkan prasangka


buruknya, hal ini akan mempersulitnya untuk berkonsentarsi untuk seleksi di hari terakhir besok.

“Kejar dia!!”

Sekelompok pengawal kerajaan berlarian buru-buru menaiki kuda mereka, mengejar seseorang
yang ia belum melihat batang hidungnya. Sekilas kedua matanya terbuka lebar, seorang pria
berambut panjang serta pakaian lusuhnya berusaha lari menghindari pengawal berkuda itu. Hana
merasakan ada yang bergejolak di dadanya, ia memegang dada kirinya.

Ada apa ini?

“Hana!”

Jungkook, pria yang berada di atas kuda itu mendekatinya. Ia perlahan menuruni tunggangannya
dan mendekati Hana di sebelahnya.

“Mau pulang?”

Hana mengangguk. “A-anu, pangeran apa—“

“Panggil saja aku Jungkook, lalu apa yang ingin kau tanyakan?”

Hana menjadi gugup, ia merasa rendah berda di depannya, mungkin ini karena perbedaan derajat
dengannya, seorang gadis biasa dan pangeran, apa ini mungkin terjadi di dunia nyata? Ia pikir
selama ini hanya dunia dongeng saja yang bisa menyatukan gadis biasa dan pangeran.

“Mm, itu, siapa pria itu?”

Jungkook memicingkan matanya pada kumpulan pengawal yang mengajarnya. “Pencuri. Dia
menyusup ke ruang rahasia dan berusaha mengambil harta pajak para warga sekitar”

“Eh?” Hana tak percaya dengan apa yang dikatakannya. “Kenapa dia melakukan itu?”

“Entahlah..” Bola mata Jungkook berotasi kearahnya. “Kau bisa ikut denganku”

“Maksudmu?”
“Aku akan mengantarmu pulang ke rumah” jawabnya sambil tersenyum

“Tapi aku—“

“Tak apa, ayo! “ Jungkook mengulurkan tangan kirinya padanya, dengan senyuman yang terlukis
di wajahnya, Hana menerima uluran tangannya dan menggenggamnya erat saat menaiki
tunggangan kuda. Walaupun ia sendiri merasa tak nyaman saat duduk menyamping di depannya.

“Aku akan mengantarmu dengan selamat” Suara Jungkook terdengar jelas di telinganya, jarak
antara dia dengannya sudah begitu rapat dan hampir tak beruang, ia mengakui betapa hangatnya
saat kedua tangan pria itu menarik tali di samping tubuhnya untuk mengendalikan kuda yang
mereka tunggangi. Berkali-kali Hana menahan nafasnya, dan berkali-kali juga ia menahan
degupan jantungnya yang terus menerus mengencangkan suaranya.

Aku ingin cepat turun dari sini!

Han atak terima dengan perlakuan tak adil dari Jungkook. Menurutnya hal ini sangat beresiko
baginya, melewati pasar dan menjadi pusat perhatian para warga di sekitarnya, Hana menjadi
melemah tak berdaya, ini akan terus menerus menguras energinya, melihat pandangan para
teman-temannya yang tak sengaja berpapasan dengannya. Ia memejamkan kedua matanya dan
bersandar pada dada bidang milik Jungkook.

“Hana?”

Jungkook hanya bisa fokus pada pekerjaannya, ia hanya ingin cepat-cepat sampai menuju rumah
Hana dan menangkap si pencuri itu.

Tak bisa dimaafkan! Jungkook mengumpat.

 “Pangeran”

Seorang pengawal memanggilnya di depan pintu ruangan yang berisi meja dan rak-rak buku
mengelilinginya. Jungkook yang tadi sibuk membaca laporan yang diberikan pengawal yang
setia berdiri di sebelahnya,  terpaksa terganggu oleh panggilan itu.

“Masuklah”

Pengawal itu masuk, dan membungkukkan badannya. “Raja meminta anda untuk menemuinya di
altar”

Ada apa lagi, ini?

“Baik, saya akan pergi kesana..” Selagi Jungkook menjawab dan bersiap berdiri dari kursinya,
dua pengawal yang berada disisinya itu ikut membungkuk. “Kalian tak usah megikutiku..”
Saat Jungkook pergi dari luar ruangan itu, kedua pengawal yang berada di dalam rungan itu
saling memberikan raut wajah penasaran.

“Apakah Jungkook akan dijodohkan?”

“Entahlah, kalau perjodohan itu sudah pasti, hanya saja Jungkook selalu menolaknya. Kau sudah
tahu bukan ia telah melamar gadis itu?

“Iya aku mengetahuinya, hanya saja, itu sangat mendadak, bagaimana jika keputusan perjodohan
itu benar adanya—“

“Kalau ada seorang gadis yang jatuh cinta dengannya itu wajar, namun dengan apa yang terjadi
saat ini, aku punya firasat buruk tentang hubungan mereka..” Pria bertubuh lebih pendek dari
teman disebelahnya itu menyentuh dagunya, ia telah memikirkan jauh-jauh tentang peraasaan
gadis yang telah dilamar Jungkook itu.

“Tapi Jungkook sungguh menyukainya, dan mungkin saja—“

“Itu tak mungkin! Perintah seorang raja adalah mutlak, sekalipun yang menolaknya itu adalah
anaknya sendiri”

“Dunia memang kejam” gumamnya sambil menatap langit-langit indah bersama burung-burung
yang  berterbangan bebas disana.

Jungkook meremas rambutnya. Ia duduk di celah jendela tepat di dalam ruangannya. Pohon
menjulang tinggi yang setara dengan tiga lantai itu menemani harinya di siang bolong ini.
perasaan Jungkook sangat kalut, ia tak bisa membayangkan apa yang bisa ia lihat dari reaksi
gadis itu.

Hana.

Ia merindukannya. Besok adalah hari mereka bertemu kembali, tepatnya menuju pertemuan
keempat. Jungkook sangat mengingat pertemuan-pertemuan dengan gadis itu selama dua hari ini.
ia tak mudah untuk melupakan hal penting seperti itu, selagi masih berhubungan dengan Hana
dan juga ibu kandungnya, ia tak akan melupakannya sama sekali.

Malam itu, Jungkook tak sengaja melakukan patroli bersama dua pengawal setianya yang
sekaligus sahabat karibnya.

“Jungkook, tempat itu ramai sekali” Hoseok, sahabatnya yang selalu terlihat bahagia dan
enggan menunjukkan kesedihannya, menunjuk kearah balai desa yang dipenuhi lampu-lampu
sederhana dari obor yang tertancap di sekitar dindingnya.
“Bukankah disana sedang ada bagi-bagi obat gratis ya? Aku sempat mendenagrnya dari
penduduk sekitar” Seokjin menambahkan. Ia sangat dewasa dalam menghadapi situasi dan
selalu berpikir dingin dan enggan terburu-buru dalam memutuskan. Karena sikapnya yang
seperti itu, Jungkook sangat mengandalkannya di situasi genting yang dia sama sekali tidak bisa
menyelesaikannya. Biasanya Seokjin memberi beberapa saran, dan nantinya Jungkook sendiri
lah yang akan memutuskan.

“Mari kita pergi kesana” Jungkook menggiring kudanya menuju balai desa itu.

Setelah menaruh kuda-kuda mereka di sisi disamping balai desa itu, Jungkook memimpin
mereka untuk memasuki tempat tersebut.

“Selamat da—“

Seorang gadis muda yang sepertinya seumuran dengan Jungkook menunduk malu setelah
mengetahui siapa yang datang.

“Pangeran..” Ia memberi hormat dengan membungkuk kearahnya.

“Sudah, sudah, kau bisa kembali ke tempatmu..” Jungkook berujar sembari mengulas senyuman
manis di wajahnya, sontak gadis itu terpesona olehnya. Tak disangka pangeran memiliki sisi
ramah yang tak terpikirkan olehnya. Karena menurut masyarakat sekitar pangeran sekarang
sangat dingin dan tak berperasaaan, namun justru itu berkebalikan dari apa yang ia lihat
sekarang. Benar-benar mengagumkan! Gadis itu diam-diam terus memujinya.

Di dalam ruangan itu semua orang membungkuk kearahnya, namun denagn cepat Jungkook
menolak untuk menerima penghormatan itu. Ia sendiri tak menyukainya dan lebih suka untuk
bersikap biasa saja seperti bertemu dengan seorang temannya

Fokus Jungkook terarah pada gadis berambut pendek yang sibuk mengobrol dengan anak-anak
kecil yang mengelilinginya. Senyuman manisnya begitu menyetrum jantungnya, Jungkook
merasa ada hal aneh pada dirinya saat ini.

  “Paman!” Gadis kecil di belakangnya, memanggilnya.

“Mau makan kue ini?”

Jungkook tersenyum mendengarnya, namun tak berarti bagi Hoseok dan Seokjin melemahkan
penjagaan. Mereka secara terang-terangan sempat mengusir gadis kecil itu, namun Jungkook
menahannya.

“Seokjin, Hoseok. Biarkan aku berinteraksi dengan penduduk sekitar”

“Tapi Jung—“

“Hoseok! Turuti perintah pengeran” Seokjin mengingatkannya.


Dan saat itu juga setelah satu gigitan tertelan tepat di kerongkongannya, ia merasa ada yang
mengganjal disana. Namun lagi-lagi ada beberapa sisa dari gigitan tersebut yang telah menuju
lambungnya, sisanya ia muntahkan dan bersamaan dengan itu, tubuhnya melemas.

Seluruh penghuni balai desa itu menjadi panik. Mereka bergerombol menghampiri Jungkook,
namun kedua pengawalnya segera menahannya dan membuat ruang luas untuk inspirasi
Jungkook.

“Jungkook, apa perlu aku—“

“Maaf!” Seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mereka. Ia pun dengan seenaknya sempat
menyerobot barisan “Saya kenal denagn gejala ini dan kebetulan memiliki penawarnya”

“Kau yakin dengan perkataanmu itu?” Seokjin menanyakannya.

“I-iya! Saya telah memberi penawar tersebut pada sahabat saya—“ Ia buru-buru menggeret
gadis muda yang sempat memberi salam pintu balai desa itu.

“Perkenalkan nama saya, Haru. Saya memang telah mengonsumsi obat racikan buatan sahabat
saya, dan tak ada efek samping disana”

“Jadi intinya kau menjadi kelinci percobaan untuk sahabatmu sendiri—“ Perkataan sarkasme
Seokjin terpotong oleh Jungkook yang memanggilnya.

“Seokjin! Biarkan gadis itu memberi obatnya padaku!”

“Tapi Jungkook—“ Hoseok tak ingin sesuatu buruk menimpa Jungkook.

“Tak apa, selagi ia—“Jungkook memuntahkan sesuatu dari mulutnya.

“Lihat! Racunnya telah bereaksi berlebihan! Izinkan aku menolongnya” Gadis rambut pendek
itu menata tajam Seokjin. Kedua bola mata yang penuh keyakinan itu, membuat Seokjin mundur
satu langkah dan menepi untuk mempersilahkan gadis itu melewatinya.

“Kamu, meskipun aku tak tahu namamu, izinkan aku memasukkan obatku ini ke dalam
mulutmu” Gadis berambut pendek itu meminta izin padanya dan memasukkan dengan pelan
cairan berwarana hijau pekat ke dalam  mulutnya.

Jungkook membuat raut wajah tak biasa saat menelan cairan tersebut. “Ini pahit sekali..tapi—“

“Tapi apa?” Gadis itu penasaran dengan respon dari obatnya. Walaupun lelaki di depannya ini
adalah sampel percobaan ketiga dari ramuan buatannya, ia masih penasaran dengan hasilnya.

Siapa kah yang pertama? Tentu saja dirinya sendiri. Ia sedikit memberi bumbu pada
perkataannya tadi, agar semua orang percaya pada perkataannya, dan dengan begitu ia bisa
membagikan ramuan buatannya pada masyarakat dengan gratis.
“Perut saya telah membaik. Sudah tidak bergejolak kembali” Jungkook berujar dengan jujur
dan penuh senyuman yang menghiasi wajahnya.

“Syukurlah..” Gadis rambut pendek itu mengulas senyuman manis di wajahnya.

Dan wajah Jungkook memerah karenanya, disaat bersamaan Hoseok menahan tawa.

Hoseok, awas saja kau! Jungkook diam-diam mengetahuinya dan mengumpat.

Sejak kejadian itu, Jungkook semakin penasaran dengannya. Ia bahkan meminta bantuan kedua
pengawalnya yang merupakan sahabat baiknya itu untuk mencari tahu tentangnya. Ia memang
tak terlalu mengenalnya, tapi karena ia ingin meminang gadis itu, ia hanya mengetahui satu hal
yang membuatnya semakin menyukainya, yaitu gadis itu memiliki hobi yang sama dengannya.
Meracik obat dari tanaman. Sejak saat itu, ia membuka seleksi ahli herba dengan maksud
tersembunyi untuk bertemu dengannya. Dan  tak disangka, perasannya terus berkembang.

Jungkook mengakhiri kenangan yang berputar di otaknya itu. untuk saat ini ia ingin merancang
kata-kata untuk Hana besok. Ia bukan pria penyair seperti Namjoon, sepupunya atau pria tukang
gombal seperti Jimin, sahabat dekatnya dari negeri tetangga. Biarpun begitu ia sangat menyukai
buku, di waktu luang ia diam-diam mengunjungi perpustakaan ayahnya, ketertarikannya pada
tanaman membuatnya terinspirasi untuk membuat taman buatan di halaman belakang istananya.

Melarikan diri.

Satu hal yang terpikirakn oleh Hana. Ia tak paham mengapa ia melakukannya, namun usulan dari
sahabatnya Haru telah menetap erat di otaknya dan sekrang ia hanya terdiam memandang
matahari terbit.

“Indah sekali”

“Benar, kuasa Pencipta begitu indah”

Eh?

Hana menoleh pada gadis berambut kucir kuda di sebelahnya. Nada yang terkesan datar dan
hanya berusaha mengungkapkan kalimat mengandung kata indah itu hanya berupa kata.
Berlainan dengan ekspresi wajahnya yang begitu kaku seperti robot.

Cantik! Puji Hana dalam hati. Ia benar-benar terpesona oleh kecantikan yang terpancar dari
wajahnya.

“Apa kau sering berkunjung kesini—“


“Cukup. Aku harus melanjutkan perjalananku” Ia berbalik begitu saja, tak peduli pada Hana
yang merasa kesal dengannya.

Aku sama sekali tak tahu ada gadis kasar seperti dirinya Hana menghembus napas beratnya.

“Yosh, kembali ke realita!” Hana mengepalkan tangannya. “Dan aku harus—“

“…memberikan jawaban padanya” Kalimat terakhir berkesan tak mengenakkan hatinya.


Bagaimanapun ia harus segera memutuskan jawabannya.

Apa aku harus membawa buku?

Hana terus saja bergumam di dalam hati. Melihat-lihat buku yang sudah terkumpul banyak di
raknya. Ia mulai memilih buku yang pas untuk dibacanya saat waktu luang. Ia benci menunggu,
namun jika itu Jungkook yang menyuruhnya—

“Tidak, tidak! Apa yang sudah aku pikirkan” Ia menggelang kepalanya keras.

“Ada apa, adikku?” Taehyung, kakaknya kandungnya baru saja datang dari negeri jauh berdiri
bersandar pada pintu kamarnya. “Kau terlihat sangat bingung” dengan senyuman miring
menghiasi wajahnya ia berjalan mendekati adiknya.

“Kak, kau tahu, aku suka buku”

“Lalu?”

“Apa aku tidak sopan jika menunggu sambil membaca buku?”

“Kenapa? Kau terlihat begitu gugup”

Skakmat! Membaca buku adalah topeng untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.
Biarpun begitu ia telah menyukai buku sejak kanak-kanak. Dan tak bisa jauh dari mereka untuk
waktu yang lama, tidak mau tahu pokoknya satu hari ia harus membaca minimal satu buku,
itulah janjinya pada dirinya sendiri.

“Aku tak tahu apa ia akan datang menemuiku atau tidak—“

“Lalu bagaimana dengan jawabanmu?”

“Hah? Kenapa kakak begitu penaaran, ini bukan urusan kakak—“

“Pernikahanmu adalah urusanku juga. Biarpun aku berterima kasih pada pangeran Jungkook
yang telah mencabut tuduhanku sebagai pencuri, aku harus mencari tahu tentangnya” Taehyung
bersedekap dada. Beruntung, sebuah surat telah ia terima. Taehyung begitu terkejut setelah pihak
kerajaan telah mengetahui alamat ia tinggal saat ini. Entah dengan siapa ia harus berterima kasih,
tapi firasatnya pada hari ini sangat buruk.

Karena ia bermimpi bahwa adiknya menangis sampai air matanya habis.

Apa itu artinya? Apa ada kaitannya dengan saat ini?

Hana melangkahkan kakinya memasuki balai desa. Ia membuka pintu itu perlahan. Pintunya
memang sengaja tak dikunci karena ia telah menghubungi si penjaga yang merupakan kakek
yang tinggal di sebelahnya.

Suara pintu terdorong ke dalam terdengar. Hana menutup pintunya pelan begitu sudah berada di
dalam.

“Fuhh..” Ia menghembuskan nafas beratnya. Ia mencoba untuk tetap tenang dan tersenyum. Satu
buku tebal yang berada di tangannya, ia pegang dengan erat. Menunggu pangeran itu, bukanlah
suatu pekerjaan yang melelahkan hanya saja jika ia membuang waktunya untuk melakukan hal
yang tidak-tidak, bisa jadi—

“Seperti biasa kau begitu rajin ya, Hana..”

Hana menutup mulutnya sekilas, lalu melihat lurus ke depan. “P-pangeran?”

Jungkook tersenyum. “Hei, apa kabar? Sudah lama aku tak melihatmu”

“I-itu..” Entah kenapa Hana tiba-tiba saja menjadi gugup. Semburat merah di wajahnya tak bisa
ia sembunyikan begitu saja, karena sudah terlanjur menjatuhkan bukunya yang lumayan berat itu

“Ah—“ Saat tangan hendak mengambil buku tersebut tak sengaja tangan Jungkook memegang
tangannya itu.

Hana mematung sesaat. Ia tak bisa menggerakkan angoota tubuhnya sama sekali.

Sreet

Jungkook menarik tangannya dan mengecup punggung tangannya. “Aku merindukanmu, Hana
…” ia menatap Hana yang masih mematung itu. kedua matanya membulat dan wajahnya terlihat
sangat terkejut dengan perlakuannya barusan.

“Hana? Kau baik-baik saja?” Jungkook menjadi khawatir padanya. karena kulit gadis itu begitu
dingin, dan ia menggenggamnya begitu kuat untuk mengalirkan panas dari tubuhnya menuju
tubuh tangan gadis itu.

“Aku—“ dengan tangannya masih digenggam olehnya, Hana menunduk. “Baik-baik saja”
Tiba-tiba sentuhan dengan aliran listrik begitu tinggi menyetrum kulit wajahnya. Hana
mendongak, wajah pria itu tepat berada di depanya. Jarak yang begitu dekat, ia mampu melihat
wajah tampannya yang sangat menawan. Sempat terjatuh pada ketampanannya, namun ia
tersadar saat ibu jari Jungkook bergerak di bibir bawahnya dan mengusapnya lembut.

“Engh, Jungkook?” tak sengaja Hana menyebut namanya, namun bukannya menjawab justru
bibirnya dibungkam sempurna oleh bibirnya.

Pagi yang menyejukkan di hari ini membuat nuansa tersendiri bagi mereka. Burung-burung yang
masih menyanyikan lagu terdengar begitu jelas di telinga mereka. Begitupun dengan hembusan
angin yang begitu lembut menyentuh wajah keduanya.

Tak butuh waktu lama, Jungkook melepaskan ciumannya. Namun, ia dikejutkan dengan Hana
yang menangis, air matanya begitu deras mengalir di wajahnya.

“Hana?”

“Jungkook, aku mencintaimu … “ Kedua mata Jungkook membulat sempurna. Tak disangka
pengakuan gadis itu datang secepat ini.

“ … dan aku mulai memahami perasaan yang disebut cinta ini. Jantungku sering berdebar saat
tak sengaja wajahmu terlintas di benakku. Tapi, aku takut kau akan kecewa padaku, jika kau
melihatku menangis seperti ini.  Aku bukan gadis bangsawan, pakaianku pun sangat sederhana.
Aku bukan gadis hebat yang pandai memanah dan menunggangi kuda. Maka dari itu,
menikahlah dengan putri Violet yang telah menuggumu di istana”

Deg

Jungkook tercengang mendengar pengakuan gadis itu. Ia tak menyangka jika berita
perjodohannya telah menyebar sampai sejauh ini, bahkan Hana mengetahui siapa putri yang akan
dijodohkan dengannya itu.

“Aku bertemu dengannya saat di hutan. Ia sangat cantik dan berkharisma. Tatapannya penuh
keyakinan dan tubuhnya begitu tegap sepertimu. Sangat berbeda denganku, kecil dan tidak
berkharisma sama sekali.” Mendengar Hana yang sedang membandingkan dirinya itu, Jungkook
terdiam seribu bahasa. Ia mengerti sekali perasaan Hana saat ini, namun apa yang bisa ia perbuat
sekarang?

“Kau adalah pengeran yang hebat, Jungkook. Aku mengagumimu. Aku percaya kau bisa
memerintah negeri Clarines ini dengan baik. Maka dari itu, kau mesti mendapatkan yang terbaik
pula” Hana memaksakan bibirnya untuk tersenyum walaupun dalam hatinya ia terus berteriak tak
jelas bahkan tangisan diam memenuhi ruang hatinya.

“Hana!” Jungkook memanggil namanya dengan tegas.


“Aku menginginkanmu! Dengan gelar bangsawan ini aku tak bisa melindungi diriku sendiri
begitu pula rakyatku. Aku sangat berterimakasih saat kau menolongku di tempat ini. Tempat
yang aku janjikan padamu untuk menjawab lamaranku. Dan tempat ini juga yang akan menjadi
saksi bersejarah bahwa aku pernah menyukaimu dan memintamu menjadi istriku … ”

Deg

Jantung Hana berdebar lebih kencang dari biasanya. Ia pun bisa merasakan kejujuran ketulusan
dari ucapannya yang begitu menenangkan.

“Aku berterimakasih padamu. Sebelum perpisahan kita, apa aku boleh menanyakan satu hal
padamu?”

“A-apa yang ingin kau tanyakan?”

“Jika aku tak dijodohkan, apa kau akan menrimaku? Biarpun aku ini adalah seorang pangeran?”

Hana hanya diam ditempat. Mulutnya begitu tertutup. Namun, entah kenapa hatinya tak sejalan
dengan pikirannya, yang memilih untuk diam—

“Aku menerimanya. Siapapun dirimu, karena aku mencintaimu tanpa alasan”

“Terima kasih, Hana … ”

Di akhir perpisahan manis ini mereka hanya saling melempar senyuman, dan karena jaraknya
wajah mereka yang begitu dekat, lumatan manis kembali memenuhi bibir mereka.

Tanpa disadari. Wajah kaku gadis cantik itu menunjukkan dirinya di kaca jendela. Ia hanya
memandang adegan manis itu dengan tatapan kosong.

“Apakah sesedih itu saat kau ditinggalkan oleh orang yang kau cintai?”

Pertanyaan yang begitu seenaknya dan langsung menghujam keras hatinya yang sedah rapuh,
Hana hanya terdiam dan enggan meresponnya.

“Kenapa kau mau menangisinya?”

Hana lagi-lagi terdiam.

Logikanya sejalan dengan gadis itu. Kenapa mesti menangis? Bukankah banyak pria diluar sana
yang jauh lebih mengagumkannya darinya?

“Aku juga tidak tahu. Kenapa aku bisa sejauh ini. Violet, terima kasih telah menanangkanku.”
Violet mengerutkan dahinya. “Memangnya apa yang sudah aku lakukan untukmu?”

Hana hanya tersenyum.

Violet. Sahabatnya dari negeri seberang. Perbedaan status yang begitu tinggi antara dirinya
dengannya, membuat nyalinya ciut untuk hanya sekedar mengajaknya bicara. Namun, perlahan
Violet terbuka, dan membuka pintu tersendiri untuk Hana. Mereka semakin dekat. Sampai kabar
perjodohan dirinya tersebar luas.

“Aku dengar, kau dijodohkan. Apa itu benar?” Hana menekuk lututnya. Ia mengambil tempat
duduk tepat di sebelah Violet yang sibuk membereskan anak panahnya yang berserakan itu.

“Benar. Aku tak bisa menolaknya. Ayahku sangat menginginkannya, kalau saja aku bukan
anaknya mungkin perintah ini tidak akan pernah ada—“

“Violet. Kau beruntung memiliki orang tua yang lengkap. Aku dan Haru sering merasa iri
denganmu yang begitu sempurna dan—“

“Hana. Aku tahu kau sedang dilema. Tapi aku tetap saja tak bisa menikahinya. Aku belum siapa
dengan segala resiko kedua negeri yang akan bersatu itu”

“Kumohon … ” Hana memintanya bersama isakan tangisnya, ia menatap Violet yang terkejut
dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.”Menikahlah dengannya. ini adalah permintaan dari
sahabatmu, Violet, kumohon … ”

Violet hanya diam. Ia hanya bisa meluruskan pandangannya pada pemandangan negeri ini dari
atas bukit.

“Violet .. .” Hana mendekatinya, dan memeluk tubuhnya. “Aku mencintainya, tapi aku tak bisa
bersamanya. Ini sama saja seperti aku ditinggal oleh kedua orang tuaku dan ibu angkatku.”

Lagi, Violet terdiam. Mulutnya membisu. Namun, tangan lembutnya mengelus pelan rambut
pendeknya yang sangat halus dan harum itu.

“Iya, aku akan menerimanya. Aku akan menikahinya untukmu, Hana” Violet tersenyum
kemudian saat pandangan mereka bertemu.

“Terima kasih, Violet … ”

Kenangan yang tak sengaja berputar bersama di otak  mereka, pada akhirnya membuat mereka
saling melempar senyuman.

Sejak hari pernikahan di negerinya, Clarines, Hana memutuskan untuk pergi menemui kerabat
dekatnya di negeri tetangga. Adik dari ibu angkatnya itu sempat memberi surat padanya, bahwa
temannya akan pergi ke Eropa. Dengan perasaan yang bahagia itu, Hana menerima ajakan teman
bibi angkatnya itu untuk menemaninya. Dan tentunya, Taehyung pun akan menemani adiknya itu
selama perjalanan.

Negeri Eropa adalah impiannya.

Ia ingin menuntut ilmu sebanyak-banyaknya disana.

Dan dengan begitu ia kembali ke negeri asalnya ia berjanji akan membuat obat gratis untuk
masyarakat sekitar yang merasa kesusahan saat mencari obat. Beruntungnya, Haru, sahabatnya
mampu mengimbanginya dan menjadi pengganti dirinya.

Hanya ini lah yang bisa Hana lakukan untuk negerinya.

Negeri dimana ia dilahirkan.

Sekaligus, tempat pertamanya untuk menemukan cinta yang sesungguhnya.

Kedua orang tuanya, ibu angkatnya, kedua sahabatnya dan Jungkook sekalipun.

Selamat tinggal, negeriku dan cintaku

-end

Note:

1. Herba (Terna);  tumbuhan yang batangnya lunak karena tidak membentuk kayu. Biasanya


sebutan ini hanya dikenakan bagi tumbuhan yang berukuran kecil (kurang dari dua meter) dan
tidak dikenakan pada tumbuhan nonkayu yang merambat (digolongkan tumbuhan merambat)
(Wikipedia)
2. Buah candu; Papaver somniferum, poppy opium, adalah tanaman zat narkotik yang adiktif.
Opium mentah ini bisa diproses secara sederhana hingga menjadi candu siap konsumsi, kalau
getah ini diekstrak lagi, akan dihasilkan morfin. Morfin yang diekstrak lebih lanjut akan
menghasilkan heroin (Wikipedia) dan sangat penting di dunia medis sebagai zat anti rasa
sakit.
3. Inspirasi; masuknya O2 ke dalam tubuh.

The Shaman: Loyality and Sacrifice


– Oneshot
June 19, 2018 btsff_indonesia1 Comment
The Shaman: Loyality and Sacrifice

wheresmywatermelon | Supernatural, Romance, Historical | Oneshoot | T | Min Yoongi | I only


own the plot, poster thx to my beloved potato, Toto!<3 I don’t have any intend to degrade any
culture.

“Lebih baik aku dipasung dalam kesepian seumur hidup daripada harus mengkhianati titah
Tuanku.”

Semburat mentari mulai muncul, memancarkan indahnya langit biru yang memberi rona
semangat pada semua penduduk. Mulai dari bermacam batu giok yang terpoles halus sampai
sepatu khas buatan tangan terjajar rapih di pinggir jalan kota Sinsi. Benar saja, sisi perdagangan
kota ini tidak pernah redup meski uang yang didapatpun  tidak seberapa.

Dengan banyaknya perlindungan dari Yang Mulia Hwanung untuk kota ini, untuk apa mereka
meminta lebih?

Meski rasa syukur sudah diemban oleh kebanyakan orang, masih saja ada rasa kepelikan yang
dirasakan penduduk. Tak bisa dipungkiri, kemiskinan adalah hal yang tidak bisa diberantas
sehebat apapun seseorang memimpin.
Seorang anak nampak terpaku di depan kios perhiasan, maniknya menatap lekat benda yang kini
tersemat di jari manis seorang gadis. Tapi ia bukan berpikir tentang betapa indahnya warna dan
corak alami cincin itu, melainkan berapa porsi makanan yang bisa ia dapat jika menjualnya.

Anak itu memalingkan tatap, menyadarkan nalarnya yang sempat berbisik intensi jahat. Tetapi
pada akhirnya ia menyerah pada keadaan.

Ia mendekati kios itu secara perlahan, menyatu dalam segerombolan wanita yang masing-masing
sibuk menganggumi perhiasan pilihannya, dan pada akhirnya anak itu membawa dua buah cincin
giok berwarna hijau.

Melihat sang empu toko nampak tidak senang melihatnya, anak itu cepat-cepat melarikan diri
sebelum satu kepal tangan hampir mengenainya.

Orang-orang di belakang anak itupun berteriak, “Pencuri! Pencuri perhiasan!”, seraya dengan
sekuat tenaga mengejarnya. Anak itu menabrak semua yang ada di depannya seperti lembu yang
habis diusik, dia tidak mampu berpikir tentang tata krama dan memilih mementingkan
keselamatannya untuk hari ini.

Sampailah ia pada gang buntu, orang-orang dewasa di depannya nampak menyeringai puas
sambil menekan seluruh sendi jari tangannya. Anak itu lantas menyodorkan dua cincin yang
sedari tadi berada dalam genggamannya sambil bergetar hebat, ia tidak mau tidur dengan sekujur
tubuhnya babak belur.

Namun orang-orang itu nampaknya tidak mau memenuhi permintaan damai yang anak itu
inginkan, mereka malah menarik kerah baju anak itu dengan kasar, membuat anak itu melenguh
kesakitan.

“Kau kira bisa lolos dengan mudahnya setelah membuatku lari sejauh ini, bocah sialan?” ujar
salah satu orang itu dengan mata yang membelalak, anak itu hanya membalasnya dengan terus
menggeleng-geleng dengan tatapan yang terus tertuju ke bawah.

Pada ujung mata anak itu, ia bisa melihat sebuah kepalan terangkat mengarah padanya, namun
tiba-tiba terhenti dengan genggaman seseorang.

“3 orang pria dewasa melawan 1 anak kecil, kalian sudah gila atau bagaimana?”

“Y-Yang Mulia!”

Mendengar nada pria itu yang tadinya terdengar begitu angkuh dan berat tiba-tiba berubah
menjadi bergetar dan halus membuat anak itu seketika mendongak dengan mata yang membulat,
nyatanya sosok yang ada di depannya adalah orang terakhir yang ia harapkan di situasi ini, Sang
Pemberkat Sinsi, Yang Mulia Hwanung.
“Yang Mulia! Anak ini pantas mendapatkan hukuman karena ia habis mencuri dagangan
hamba!” ujar salah satu orang itu, melepas genggamannya dari kerah anak itu lalu membungkuk
menghadap Hwanung.

“Hm, mencuri, ya? Siapa namamu, nak?”

Anak itu spontan merasa bulu kuduknya merinding, nada Hwanung sebenarnya begitu halus
namun ada sesuatu yang membuat kehadirannya saja mampu membuat seseorang merasa begitu
kecil.

Anak itu menggeleng pelan sambil menunduk. Hwanung lantas mengangkat kedua alisnya.

“Engkau tidak punya nama? Orang tuamu kemana?”

Anak itu kembali menggeleng, meski dalam nalar tidak begitu mengerti apa yang Hwanung
sedang tanyakan.

Hwanung nampak mengulurkan tangannya, meraih kepala anak itu dengan perlahan. Meskipun
anak itu sempat mundur karena rasa takut, namun pada akhirnya telapak tangan Hwanung
berhasil menyentuh keningnya. Sentuhan Hwanung sedikit membuat anak itu seperti tersengat,
tapi disisi lain juga terasa hangat.

“Ah, engkau anak yatim piatu, ya,” Hwanung sempat berpikir sejenak, “bagaimana kalau engkau
tinggal di istana mulai sekarang? Itu, tempat yang ada di tepi gunung,” tambahnya sambil
menunjuk-nunjuk ke belakangnya.

Lagi-lagi, anak itu tidak mengerti apa yang Hwanung maksudkan, namun entah mengapa
batinnya seolah memerintahnya untuk mengangguk. Maka ia turutilah nalurinya, anak itu
mengangguk perlahan sambil memainkan tangannya dalam jengah.

“Mulai hari ini, engkau harus mengabdi seluruh hidupmu padaku,” Hwanung mengelus pelan
rambut anak itu, “sepertinya engkau menyukai benda yang berkilau, bagaimana kalau namamu
Min Yoongi?”

“Min … Yoon … Gi?” Ujar anak itu perlahan, bahkan seperti dieja.

“Ta-tapi Yang Mulia! Apa Yang Mulia yakin akan membawa seorang pencuri ke istana?”

“Memangnya kenapa? Bahkan seorang pembunuh bisa menjejakkan kakinya di sana, tidak ada
dosa yang tidak bisa diampuni di istanaku,” ujar Hwanung sambil tersenyum.

“Ini,” Hwanung dengan ajaibnya mengeluarkan satu kantung kecil dari telapak tangannya,
“pergunakan baik-baik. Belikan keluargamu sesuatu yang enak, ya.”
Dengan pemandangan orang-orang di belakangnya menangis bahagia dengan kantung kecil yang
sudah terbuka, Hwanung pergi bersama anak yang bernama Min Yoongi itu dengan rasa hormat
mengelilingi perjalanan pulang mereka.

***

“Yoongi!”

“Yang Mulia.” Yoongi segera menjawab panggilan tuannya dengan hormat.

“Lihatlah keringatmu yang terus bercucuran dari pelipis. Wah, engkau sudah bekerja dengan
keras hari ini,” Hwanung tersenyum puas sambil menatap Yoongi yang sedikit terengah-engah.

“Suatu kehormatan bagiku untuk bisa melayani Yang Mulia, tentu saja hamba tidak bisa menyia-
nyiakan kebaikan Yang Mulia dengan seenaknya berleha-leha, Yang Mulia,” ujar Yoongi
dengan senyum merekah di wajahnya, masih dalam keadaan menunduk.

Tiba-tiba Hwanung menatap Yoongi dengan sendu, “Yoongi, apakah engkau tahu? Kalau
engkau adalah bawahanku yang paling kupercaya?”

“Sungguh kehormatan terbesar bahwa manusia biasa seperti hamba bisa menjadi orang Yang
Mulia  paling percaya, hamba berjanji dengan seluruh jiwa bahwa hamba tidak akan pernah
mengkhianatinya.”

“Aku tahu,” Hwanung nampak mengangguk puas, “karena itu aku akan mempercayakan tugas
berat ini padamu.”

“Yoongi, aku akan memberimu keabadian.”

Yoongi seketika langsung mendongak tak percaya, namun ia kembali menunduk karena
mengingat posisinya. “Yang Mulia, hamba tidak pantas untuk mendapat pemberian sehebat itu.
Bahkan jasa hamba untuk Yang Mulia hanya sekedar terhitung jari.”

“Oh tidak, Yoongi. Keabadian itu tidak sehebat yang engkau pikirkan. Itu adalah pilihan hidup
yang sangat kesepian dan menyiksa batin,” ujar Hwanung.

“Aku ingin engkau menjaga kepercayaan sekaligus warisan budaya ini, jagalah kelestarian
syamanisme seperti hidupmu sendiri, Yoongi,” Hwanung menahan nafasnya sejenak, “dan
janganlah menikah selama engkau menjalani tugas ini, aku mendapat pesan dari surga bahwa
keturunanmu akan merusak semua yang engkau jaga kelak nanti.”

Yoongi sempat berpikir sejenak, membayangkan kehidupan panjangnya tanpa kehadiran kasih
seorang wanita ataupun tawa dari seorang anak, tapi dengan cepat Yoongi langsung menepis
semua perasaan yang hampir menguasainya dan mengganti itu semua dengan loyalitasnya,
“Baik, Yang Mulia,” ia mengangguk mantap, sambil merasakan sebuah kekuatan tiba-tiba
mengalir ke seluruh tubuhnya.
***

Yoongi nampak terengah-engah, sedari tadi kakinya seolah mau menyerah setelah mengitari
hutan ini. Ia melihat ke belakangnya, makhluk itu masih mengejarnya tanpa lelah, auranya
bahkan lebih buruk dari sebelumnya.

Yoongi memang abadi, tapi keabadian tidak menjamin akan membawa rasa sakit pergi. Tubuh
Yoongi kini sudah dipenuhi banyak luka, sebagian dari lukanya nampak begitu dalam sampai
terus-terusan mengeluarkan darah.

Sebuah ranting nampak tidak mau bersahabat dengan Yoongi, membuatnya tersandung ketika ia
lengah. Makhluk itu mendekati Yoongi perlahan-lahan dengan geraham yang tidak mau berhenti
bergetar dalam rasa lapar. Yoongi lantas berdoa dalam batinnya, ia berdoa bukan untuk
kesalamatannnya melainkan untuk sebuah kekuatan dari para roh leluhur yang menyertainya.

Ketika makhluk itu hendak menikam Yoongi, seorang wanita nampak menyerang makhluk itu
duluan, membuatnya tersungkur dan melenguh kesakitan. Hal itu membuat Yoongi mendelik,
kini di dalam nalarnya ia bertanya-tanya; makhluk macam apa yang mampu menjatuhkan hewan
yang kerasukan roh jahat?

Makhluk itu kembali berdiri dengan tegak, merubah haluannya untuk menikam wanita itu. Lagi-
lagi wanita itu mampu menyeimbangi kekuatannya, menangkap kaki kiri makhluk itu hanya
dengan tangannya—tanpa menggunakan perlindungan apapun. Yoongi memanfaatkan situasi
tersebut dengan menggoyangkan kerincing bel di genggamannya, meminta bantuan roh gunung
yang sedari tadi setia menawarkan bantuannya, membuat makhluk itu hilang fokus karena rasa
pusing yang dialaminya.

Wanita itu lantas membanting makhluk itu dengan keras, memberi sedikit bercak darah ke
arahnya. Yoongi menatap wanita itu dengan rasa takut tercemin dalam matanya, ia tidak bisa
berbohong bahwa wanita itu terlihat sangat berbahaya dengan bercak darah menghiasi tubuhnya.

Secara perlahan wanita itu lantas membalikkan badannya—menghadap ke arah Yoongi, menjilat
jari manisnya sambil mengulurkan tangan, “Kau tidak apa-apa?”

Yang Yoongi tahu sebelum ia jatuh dalam kegelapan, nalarnya spontan memuja paras wanita itu
karena keindahannya.

***

Yoongi perlahan membuka pelupuk matanya, sedikit mengernyit karena cahaya matahari yang
tiba-tiba merasuki pupilnya. Pandangannya dihadapkan oleh seorang wanita cantik, dengan mata
menyerupai bulan sabit dan senyumnya yang indah.

“Kau sudah bangun?” tanya wanita itu, bahkan nada bicaranya terdengar begitu indah di dalam
rungu Yoongi.
Yoongi terdiam, masih berusaha memproses apa yang terjadi padanya sampai dirinya bisa
terbangun di sebuah gua yang nampak tak layak huni.

“Maaf karena ketidaknyamanannya, ini pertama kalinya aku memiliki tamu seorang manusia.”

Ucapan wanita itu lantas membuat Yoongi mengernyit, “Maksudmu?”

“Um, biasanya yang datang kemari hanya sahabatku, Beom, ataupun beberapa binatang lainnya,”
ujar wanita itu dengan polos dan menyodorkan setengah tempurung kelapa yang berisi air,
“takutnya kau haus.”

Yoongi menyambut tempurung kelapa itu dengan rasa ragu menyertainya, tetapi pada akhirnya
meminumnya juga—tenggorokkannya terasa kering sedari tadi. Ketika ia sedang enak-enaknya
meminum air itu, Yoongi tersedak dengan kedua matanya yang mendelik seolah melihat sesuatu
yang sangat mengagetkan, “T-tunggu! Apa temanmu yang bernama ‘Beom’ itu adalah seekor
harimau?”

Wanita itu mengangguk, menjawab pertanyaan Yoongi sesuai ekspetasi terburuknya.

“Itu … um, Beom ada di sana,” ujar Yoongi sambil menunjuk ke belakang wanita itu, jari
telunjuknya terlihat sedikit bergetar.

Wanita itu cepat-cepat membalikkan badannya, menemukan seekor harimau sedang


menunggunya dengan sabar, “Beom!” pekiknya sambil merangkul harimau itu dengan riang.

Yoongi tiba-tiba merasa bingung luar biasa, bingung antara harus ketakutan atau merasa aneh
melihat pemandangan di depannya. Persahabatan seorang wanita yang mampu membunuh
binatang yang kerasukan roh jahat dan seekor harimau? Sebenarnya apa yang sudah terjadi di
dunia ini?

“Beom, aku menemukan pria ini sedang diserang seekor serigala. Dia terluka parah jadi aku
membawanya kesini,” ujar wanita itu, bertingkah seolah memperkenalkan Yoongi kepada
harimau itu.

Harimau itu nampak mendekati Yoongi dengan perlahan, nampak mengendus-endus. Jangan
tanya soal keadaan Yoongi, dia terus berjalan mundur sambil berdoa pada semua roh leluhur
yang ada untuk keselamatannya.

Sampailah Yoongi di ujung gua itu, lisannya tidak bisa berhenti komat-kamit karena jarak
keduanya makin menipis. Tetapi pada akhirnya harimau itu hanya menjilat Yoongi, lalu kembali
ke samping wanita itu dengan tenang.

Wanita itu langsung tertawa terbahak-bahak melihat banyaknya rasa takut yang tercermin dalam
raut Yoongi, ia bahkan sampai menepuk-nepuk badan harimau itu saking tidak bisa menahan
tawanya, “Demi Tuhan, ini pertama kalinya aku melihat seorang manusia ketakutan seperti rusa
yang hendak dimangsa!”
Yoongi merapihkan pakaiannya lalu berdeham, nampak warna merah muda terlukis pada
pipinya, “Bukankah normal bagi manusia untuk merasa takut pada predator seperti Beom? Tidak
ada bahan yang bisa ditertawakan di sini.”

Wanita itu pelan-pelan menghentikan tawanya, “Maaf, aku tidak bermaksud menghinamu.
Bagaimanapun juga ini kali pertama aku bisa berinteraksi dengan manusia semenjak aku menjadi
salah satu dari kalian, tolong dimaklumi.”

Yoongi diam sejenak, sebuah memori tiba-tiba terlintas dalam nalarnya, “Apa kau adalah
Ungnyeo? Si beruang yang meminta pada Yang Mulia Hwanung untuk menjadi manusia?”

“Iya, namaku Ungnyeo. Senang berkenalan denganmu, manusia.”

Yoongi mengangguk-angguk puas mendengar jawaban wanita yang bernama Ungnyeo itu,
pantas saja ia mampu membunuh seekor serigala yang kerasukan, kekuatan yang tidak mungkin
datang dari seorang manusia biasa.

“Panggil saja aku Yoongi, terima kasih atas bantuanmu kemarin,” Yoongi mengulurkan
tangannya, “ini cara bagaimana manusia berkenalan, mereka berjabat tangan.”

Ungnyeo mengangguk-angguk selagi melihat tangannya tersemat dalam genggaman Yoongi,


nampak percik kebahagiaan bersemayam di manik indahnya.

Tak lama Yoongi melepaskan tangan  Ungnyeo, mengingat rasa canggung mulai memenuhi
ruang itu. Ungnyeo secara terang-terangan menampikan rasa kecewa ketika tangan kanannya tak
merasakan sentuhan dari Yoongi lagi, membuat Yoongi merasa sedikit terhibur melihat
tingkahnya.

“Ungnyeo-ssi, mungkin aneh untukku bertanya hal ini ketika kita baru saja saling mengenal.
Tapi semenjak aku melihat kegigihanmu dalam berdoa dan memenuhi semua syarat dari Yang
Mulia Hwanung hanya untuk menjadi manusia membuatku terus bertanya-tanya, kenapa kau
begitu ingin menjadi manusia?”

Ungnyeo nampak berpikir sejenak lalu tersenyum lemas, “Karena aku iri melihat mereka, para
manusia maksudku.”

“Mereka bisa mengerti satu sama lain karena memiliki bahasa yang menyatukan mereka, bisa
menjelma menjadi banyak hal, belum lagi kecerdasan yang telah diilhami Tuhan untuk mereka,”
Ungnyeo menghela nafas sekejap, “mereka terlihat begitu keren dan tidak kesepian.”

“Aku berteman dengan Beom karena kami sama-sama tidak mampu menemukan kaum kami
yang lain, setiap hari kami berteriak tanpa lelah hanya untuk mencari mereka namun tidak ada
yang mampu menjawab karena tidak ada yang mengerti. Setiap harinya kami habiskan dengan
bertahan hidup, rasanya begitu monoton namun takdir Tuhan sudah berkata seperti ini,”
tambahnya.
Yoongi termenung mendengar jawaban Ungnyeo yang nampak tak tersirat kebohongan
sedikitpun, teringat dirinya di masa lalu yang kerap bertanya-tanya untuk apa ia lahir di dunia
ketika ia di takdirkan untuk sendirian. Padahal pada kenyataannya kelak akan ada manusia yang
mengulurkan tangannya, karena ia mampu mengerti semua rasa sepi yang menggerogoti jiwa
Yoongi secara perlahan, Yang Mulia Hwanung, sang tuan yang tak pernah kenal lelah
membimbing Yoongi untuk menjadi lebih baik.

Yoongi perlahan memejamkan matanya, mengucap rasa syukur pada dewa Hwanin atas
anugerah yang diberikannya yaitu kehadiran putranya sendiri, Yang Mulia Hwanung. Seketika
angin berhembus pelan ke arah Yoongi, seolah membelainya perlahan sebagai bentuk
komunikasi dari langit.

Senyum kecil lantas terlukis dalam paras Yoongi, dengan perlahan ia membuka matanya untuk
menemukan Ungnyeo sedang menatapnya dengan tersenyum, “Apa kau sedang berpikir hal yang
menyenangkan? Kau tahu, kau harus banyak tersenyum. Senyummu itu indah sekali.”

Yoongi sempat terkejut mendengar ucapan Ungnyeo yang terdengar begitu polos tanpa maksud
berlebih, namun hati Yoongi memahaminya dengan maksud lain ditandai degup jantungnya yang
kini mulai tidak teratur. Senyummu juga indah, lebih dari apapun yang ada di dunia ini, pikir
Yoongi.

***

3 hari sudah berlalu, luka-luka yang Yoongi alami nampak terlihat lebih baik ditambah keadaan
batin dan raganya yang sudah pulih. Yoongi menelan pahit yang mencekik tenggorokannya, ini
saatnya untuk berpisah dengan wanita cantik ini.

Ungnyeo nampak terlihat tertidur pulas dengan tubuhnya yang tengkurap, berlindung pada Beom
yang merelakan tubuhnya untuk menjadi bantal. Senyum secara spontan merekah pada paras
Yoongi ketika melihat pemandangan di depannya, dalam nalarnya ia langsung bertanya; apa ini
terakhir kalinya ia mampu melihat wanita ini? Apa hari-hari selanjutnya akan kembali ia jalani
tanpa mendengar tawanya lagi?

Yoongi menggelengkan kepalanya, menepis semua pertanyaan itu dengan rasa pasrah.
Setidaknya untuk terakhir kalinya, ia ingin melakukan sesuatu sebagai bentuk terima kasihnya
untuk semua yang wanita ini telah lakukan untuknya selama ini.

Yoongi berjalan sedikit jauh dari gua, sampai pada akhirnya menetap untuk menatap langit
malam dengan serius dan emosi yang dalam. Ia memejamkan matanya, menggerakkan kerincing
bel yang ada di genggamannya, menari-nari di bawah rembulan yang menjadi saksi bisu salam
perpisahannya.

Yoongi mulai bernyanyi, mengucap semua pujian dan doanya pada semua roh leluruh yang
bersaksi, ia meminta perlindungan untuk wanita itu dan semua makhluk yang tinggal di hutan
ini. Roh-roh leluhur yang ada di tempat itu nampak satu-persatu merasuki tubuh Yoongi,
memberi restunya pada permintaan yang Yoongi beri.
Dengan gerak tari terakhirnya Yoongi tidak lupa menyampaikan seluruh rasa terima kasihnya
pada semua roh leluhur yang berjanji, perlahan ia membuka matanya dan menghela nafas karena
lelah yang menguasai seluruh raganya.

Ia lantas meninggalkan hutan itu tanpa menengok kembali ke tempat wanita itu berada, dalam
hatinya ia juga ikut mengubur perasaan yang mulai tumbuh di dalamnya dengan senyum lemas.

***

Yoongi kira ia tidak akan pernah melihat Ungnyeo lagi, tapi lagi-lagi ia di hadapkan dengan
figurnya yang nampak lebih kurus dari sebelumnya.

Ketika ia menerima tugas dari Hwanung untuk melihat kondisi spiritual hutan ini, Yoongi tidak
pernah mengira bahwa pemandangan Ungnyeo sedang bersedih adalah salah satu hal yang ia
saksikan. Pertama kalinya Yoongi melihat wanita itu adalah ketika kedua tangannya saling
bertemu di hadapan pohon suci betula, kepalanya menunduk dengan raut bersedih.

Doanya para mahkluk untuk Hwanung kerap terdengar oleh Yoongi yang notabene muridnya,
setelah cukup lama Yoongi memandang Ungnyeo dengan sendu, ia mampu mendengar suara
yang familiar, berbisik dalam ruang nalar; Yang Mulia Hwanung, raja langit yang selalu berbaik
hati pada semua makhluk, kumohon dengarlah doa hamba. Mohon berkahilah hamba dengan
kehadiran seorang anak, hamba berjanji akan memberi seluruh yang Yang Mulia inginkan
dengan seluruh kemampuan.

Hari demi hari berlalu, Ungnyeo tidak pernah berhenti mengucap doa. Begitu juga Yoongi yang
terus menerus memperhatikannya selagi waktu berlalu, namun tidak pernah ada keberanian
dalam dirinya untuk mendekati wanita itu dan merangkulnya ke dalam pelukan hangat. Yoongi
hanya bisa terus menerus menatapnya dalam campuran emosi yang bahkan tak pernah sampai
pada wanita itu.

Hingga suatu hari datanglah sebuah sosok yang Yoongi selalu hormati, Hwanung yang datang
menghampiri Ungnyeo dengan kabar baik dari lisannya, “Maukah engkau menjadi istriku dan
tinggal selamanya bersamaku di istana? Aku berjanji dengan seluruh hidupku bahwa aku akan
membuatmu bahagia,” ujar Hwanung sambil memegang tangan Ungnyeo dengan penuh cinta.

Kedua maniknya menyaksikan peristiwa itu sendiri, ketika wanita yang ia cintai jatuh ke dalam
pelukan orang yang memegang teguh janji kesetian Yoongi padanya.

Ia merasakan patah hatinya yang pertama kala itu, rasanya begitu pahit dan sama lelahnya ketika
ia melakukan ritual besar yang memerlukan seluruh stamina dan batinnya. Yoongi tidak pernah
mengira bahwa seorang manusia bisa menyebabkan luka yang sedalam ini pada hatinya, bahkan
rasanya untuk mengingat setiap memori tentang wanita itu akan menjadi sebuah pisau yang
menikam hatinya.
Tetapi Yoongi juga bersyukur bahwa dari semua manusia yang ada di dunia ini wanita itu bisa
mendapatkan kasih sayang dari Hwanung, satu-satunya manusia yang Yoongi akui pasti
ketulusannya.

Yoongi perlahan menghilang ke semak-semak, menghapus jejak sambil melirih ucapan selamat
kepada pasangan kekasih itu.

***

Bila saja semua mahkluk di bumi ini dapat menyaksikan bagaimana Yoongi menghadapi hidup
dengan kesetiaannya pada Hwanung dan Ungnyeo—wanita yang ia cintai, rasanya bumi akan
dihadang banjir bandang karena air mata makhluk di dalamnya yang bersimpati pada hati
Yoongi.

Bahkan para roh leluhur tahu pasti bagaimana hati Yoongi teremas setiap melihat kemesraan
pasangan itu tanpa diberi tahu olehnya. Yoongi menyaksikan semuanya, bagaimana Hwanung
selalu memuji kecantikan istrinya dan berakhir bertingkah mesra tanpa memedulikan sekitarnya,
tapi tidak pernah sekalipun Yoongi bersumpah serapah dalam nalarnya, berpikir andai saja dia
adalah pria beruntung itu.

Yoongi telah pasrah pada takdir yang membawanya, karena menurutnya melihat senyum wanita
itu sudah cukup membuat hatinya bahagia.

Sampailah pada saat kota Sinsi diberkahi anugerah dari Hwanung, karena sang putera mahkota,
Dangun, telah sampai dengan selamat di dunia. Saat itu juga keluarlah titah dari lisan Hwanung
ketika kedua maniknya bersitatap dengan putranya, “Yoongi, tolong bimbinglah Dangun untuk
menjadi raja yang hebat.”

Yoongi lantas ikut menatap pasang mata polos anak itu sambil tersenyum, “Dengan senang hati,
Yang Mulia.”

Bahkan tanpa titah tuannya, Yoongi pasti akan menjaga anak ini bagaikan darah dagingnya
sendiri, karena bagaimanapun juga Dangun adalah anak dari wanita yang ia cintai.

Yoongi dengan sabar membimbing Dangun, perlahan membangun pribadi anak itu menjadi
sosok yang bagaikan cerminan ayahnya sendiri. Entah semua itu terjadi karena doa yang Yoongi
panjatkan pada semua roh leluhur di hari kelahiran Dangun atau memang karena usaha gigih dan
niat kuat yang Yoongi emban.

Ia tahu pasti setiap perubahan yang terjadi pada Dangun di masa pertumbuhannya, mulai dari
kali pertama Dangun berjalan dengan kedua kakinya ketika Yoongi hendak meninggalkan kamar
anak itu—dengan dua kaki kecilnya Dangun mengejar Yoongi karena ketidakrelaan melihat
pamannya berhenti bermain dengannya— sampai Dangun cukup besar untuk belajar memanah
yang selalu berakhir tepat pada target, membuat Yoongi tak henti-hentinya merasa bangga
melihat bagaimana Dangun menjadi pria yang hebat.
Suatu hari, matahari nampak memancarkan cahayanya begitu terik sampai-sampai Dangun harus
menyipitkan kedua matanya ketika membidik target. Ia hendak melepas panahnya namun
terhenti ketika sebuah tangan berdiri di atas kepalanya, seolah-olah melindungi pandangan
Dangun dari silaunya sinar matahari.

Dangun melepas panahnya, yang menancap tepat pada target yang telah ia bidik sedari tadi. Ia
langsung memalingkan tatapnya ke arah pria di sampingnya, ditemuilah Yoongi yang sedang
tersenyum bangga pada Dangun.

“Paman!” pekik Dangun dengan senyum lebar di wajahnya.

“Wah, aku bangga sekali padamu, Dangun-ah. Kau sangat berbakat sekali dalam memanah—
tidak, kau bahkan berbakat di banyak bidang,” ujar Yoongi seraya menepuk perlahan punggung
Dangun.

“Tentu saja aku tidak akan bisa mencapai itu semua tanpa bantuan paman, paman memang yang
terbaik!”

“Bahkan sekeras apapun aku berusaha, semua ini tidak akan terwujud bila kau tidak bersungguh-
sungguh, Dangun-ah. Terus pertahankan kesungguhanmu itu, ya?”

“Baiklah, paman,” Dangun mengangguk-angguk seperti anak kecil bahkan ketika umurnya
hendak mencapai tujuh belas tahun, ia memang selalu bertingkah bagaikan anak kecil setiap kali
berada di sekitar pamannya.

“Paman, kau itu adalah pria yang sangat hebat, aku yakin banyak sekali dari kaum wanita yang
mengantri untuk mendapatkan hati paman. Tidak pernah berniat untuk menjadikan salah satu
dari mereka sebagai istri? Aku ingin melihat paman versi kecil!”

Yoongi langsung terdiam, sadar bahwa anak ini belum mengetahui apa-apa tentang dirinya—
tentang tugas yang harus ia emban selama hidupnya, “Dangun-ah, jangan kaget, ya?”

“Memangnya ada apa? Jangan bilang paman sudah menikah secara diam-diam?!” ujar Dangun
panik, membuat Yoongi tertawa mendengar asumsi konyolnya.

“Paman tidak boleh menikah, Dangun-ah. Itu yang dikatakan surga kepada Ayahmu.”

Dangun lantas mendelik, “Memangnya ada sangkut paut apa sampai paman dilarang menikah?”

Yoongi dengan perlahan memberitahu tentang keabadiannya sampai tugas seumur hidupnya,
menjaga syamanisme agar tidak hilang kelestariannya. Sampailah keduanya ke alasan mengapa
Yoongi tidak bisa menikah, saat itu juga Dangun nampak termenung—hilang dalam pikirannya
yang mulai merasuk tanpa izin.
“Pantas saja paman tidak pernah mempunyai kerutan seperti Ibu,” ujar Dangun dengan gambaran
rupa Ungnyeo terlintas pada nalarnya, “itu juga menjelaskan separah apapun paman terluka,
paman selalu menenangkanku dengan kalimat, ‘Aku tidak akan pernah mati’.”

“Paman, bagaimana paman bisa menahan semua rasa kesepian itu? Apa paman tidak pernah
lelah menjalani hidup seperti ini?” tanya Dangun lagi dengan kekhawatiran tersirat dalam
rautnya.

Yoongi kali ini mengelus perlahan rambut Dangun, “Lebih baik aku dipasung dalam kesepian
seumur hidup daripada harus mengkhianati titah Tuanku.”

Dangun lantas merasa campur aduk, ada perasaan terkejut, kagum dan sedih ketika mendengar
ucapan pamannya itu. Ia langsung berdoa pada langit, menginginkan kebahagiaan dan segala
berkah yang terbaik untuk selalu dianugerahi kepada pria dengan loyalitas luar biasa di depannya
ini.

***

Dangun nampak menunduk dalam rasa sedih meskipun dengan sekuat tenaga memasang topeng
di depan rakyatnya. Semua jerit tangis sampai bunyi para rakyat menepuk dadanya untuk
menepis kesedihan luar biasa dapat terdengar di depan istana kala itu.

Ungnyeo, ratu mereka, baru saja menghembuskan nafas terakhirnya pagi tadi.

Langit bahkan ikut menangis, menandakan seolah alam dalam kondisi berduka karena
kehilangan presensi wanita cantik ini. Tetapi rakyat tidak pernah berpikir betapa dinginnya sore
itu meskipun tubuh mereka sudah basah kuyup, yang ada di pikiran mereka hanyalah keinginan
agar Ungnyeo bisa beristirahat di tempat yang terbaik.

Tetapi tidak ada yang tahu, bahwa ada seorang pria yang begitu terpukul dengan kepergian
Ungnyeo. Yoongi mungkin tidak terlihat akan menangis seperti yang lainnya, bahkan postur
tubuhnya tetap tegap dan selalu setia menghibur Dangun yang terus menunduk dalam duka.

Tapi kalau Yoongi boleh mengekspresikan dirinya saat ini, melepas seluruh topengnya yang ia
buat sedari dulu tanpa meninggalkan celah, Yoongi rasanya ingin berteriak sampai langit
mendengar betapa besar kesedihannya saat ini.

Hatinya sedari tadi terus teremas, apalagi ketika kedua maniknya menyaksikan saat-saat terakhir
wanita itu ketika ruhnya hendak meninggalkan bumi. Nalarnya tidak pernah berhenti mengulang
ucapan Ungnyeo saat itu, dengan meremas lengan Yoongi dalam rasa sakit ia berbisik, “Tolong
jaga Dangun,  Yoongi-ssi.”

Namun akal rasional Yoongi tahu pasti, bahwa terjebak dalam kesedihan bukanlah penyelesaian
terbaik. Maka pada saat ini juga Yoongi memutuskan, untuk menyampaikan salam
perpisahannya dengan caranya sendiri.
Memakai sinbok (baju syaman) terbaiknya, Yoongi memejamkan mata dan menggoyangkan
kerincing belnya. Ia mulai menari-nari dan bernyanyi, menggapai semua perhatian roh leluhur
dengan doa yang ia panjatkan dari lisannya.

Ampunilah wanita ini, berikanlah tempat terbaik untuknya di akhirat nanti, Yoongi terus
menerus mengulang kalimat itu tanpa peduli seberapa lama waktu sudah berlalu. Kakinya
bahkan sudah terluka karena menari tanpa alas kaki, berharap dirinya mampu bersatu dengan
semua ciptaan Tuhan di hari yang berduka ini.

Tidak pernah dalam hidupnya ia dirasuki bermacam roh leluhur tanpa jeda seperti hari ini,
menyebabkan kekuatan raga dan spiritualnya digunakan hampir seluruhnya. Tapi Yoongi
terkejut ketika salah satu roh yang merasukinya adalah wanita itu, Ungnyeo nampak begitu
bahagia dalam alam bawah sadar Yoongi.

Mereka berdua saling mendekati, merangkul satu sama lain untuk terakhir kalinya. Ungnyeo
lantas melirih, “Terima kasih,” ketika figurnya menghilang ditarik oleh para roh leluhur ke
akhirat. Yoongi terus menatap mata Ungnyeo sampai rupa cantiknya hilang menyatu dengan
cahaya, lantas Yoongi berbisik di alam bawah sadarnya, “Selamat tinggal, aku mencintaimu.”

-the end.

I AM NOT A LIAR

Title                  : I Am Not a Liar

Author  : Firstrysm

Genre    : Romance, Sad, Mythology

Lenght  : Oneshoot

Rating   : PG-17

Casts     :           – Min Yoongi

– Shin Nayoung

Surai panjang hitam itu tersibak oleh angin sore dari danau. Si pemilik surai itu menatap lembut
langit yang mulai jingga secara perlahan. Kepalanya bahkan rela mendongak agar dapat
merasakan rayuan angin itu di wajah cantiknya. Ini lah satu dari hobinya yang selalu ia lakukan
setiap senja.

            Shin Nayoung, gadis berusia hampir 18 tahun–jika ia tak salah hitung–itu
menggumamkan kekagumannya pada matahari yang mulai bersembunyi di balik awan jingga itu.
Terkadang, kedua kaki telanjangnya ikut menghentak rumput di bawahnya saking indahnya
pemandangan yang bahkan selalu ia lihat setiap hari itu. Dan selalu gadis itu menghela napas
panjang ketika matahari telah sempurna menghilang dari pandangannya.

            Kepalanya menunduk, namun tak menghentikan angin untuk menyisir rambutnya yang
sedikit ikal itu ke belakang. Kedua matanya menatap gaun putihnya yang menyapu rumput
ketika ia beranjak dari tempat ia berdiri. Hatinya selalu merasa sedih ketika matahari telah
meninggalkannya. Membuatnya teringat akan kejadian 13 tahun yang lalu.

            Saat itu, ayahnya terlihat begitu bahagia. Mengajaknya ke sebuah hutan yang belum
pernah dijamah oleh orang, begitu katanya. Nayoung yang notabene masih berusia di bawah
lima tahun itu hanya mengiyakan dan berpikir bahwa itu akan menyenangkan. Bermain petak
umpet bersama ayahnya di tengah hutan adalah hal pertama yang ia bayangkan.

                “Kita bermain petak umpet, ya. Ayah akan bersembunyi dan Nayoung, anakku, harus
mencari Ayah. Setuju?” Di sela napas memburunya, pria itu berusaha tersenyum. Menutupi
ketakutan yang melingkupi kepalanya.

                Kening gadis itu bertaut. Menatap pepohonan rindang yang menutupi sinar matahari
yang masuk. “Tetapi, ini sangat gelap, Yah,” ujarnya. Ia masih ingat beberapa kali ia
menendang akar pohon besar yang membuatnya hampir terjatuh. Beruntung di sana ayahnya
ada dan menggandengnya. Bagaimana jika ia terjatuh dan ayahnya tidak tahu?

                Dengan kasar, pria itu menelan ludah. “Nayoung pasti bisa. Bukan kah Nayoung
ingin menjadi pemadam kebakaran? Di dalam gedung yang terbakar kau bahkan tidak bisa
melihat apapun. Anggap saja ini sebagai latihan pertamamu. Bagaimana?”

                Ditatapnya dengan ragu pria yang tengah cemas seraya menatap jam tangan yang
melingkar di tangannya. Perkataan ayahnya memang benar. Ia menimbang keputusan yang
akan ia ambil seraya sesekali bergidik ketika suara serangga menggaung di dekatnya.

                “Baiklah, aku akan menghitung,” ujarnya kemudian lantas berjalan hati-hati menuju
salah satu pohon besar di sampingnya. Kedua tangannya ia gunakan untuk menutup matanya
saat ia telah sepenuhnya menghadap ke pohon besar itu. “Aku akan mulai.”

                Satu persatu angka mulai keluar dari mulut mungilnya mengalahkan suara daun yang
bergesekkan satu sama lain. Sesekali gadis itu tertawa kecil. “Jangan sembunyi jauh-jauh!”
serunya ketika ia hendak menyebutkan angka terakhir.

                Tubuh mungil itu berbalik tepat sesaat sesudah ia menyebutkan angka terakhir.
Diedarkannya mata sayunya itu ke seluruh penjuru hutan. Namun, sepanjang matanya
memandang, yang ia lihat hanyalah batang-batang pohon raksasa yang mengepungnya. Dengan
hati-hati, ia melangkah, tak ingin terjatuh.

                Daun-daun kering di bawahnya memperdengarkan suara yang menyenangkan ketika


ia menginjaknya. Hal itu membuatnya semakin semangat. Ia mengabaikan rasa takutnya akan
suara serangga yang mengusiknya sedari tadi. Tujuan utamanya sekarang hanyalah
mendapatkan ayahnya kembali.

                Kaki pendeknya itu membawanya semakin dalam masuk ke dalam hutan. Mulai lah ia
rasakan kekhawatiran ketika menyadari sedari tadi ia tak mengenali tempat ia berada. Ia pikir,
hutan tempatnya ia sekarang berdiri semakin gelap dan jarak antar pohonnya pun semakin
rapat. “Ayah?”

                Suara kepakan sayap yang amat besar di belakangnya tiba-tiba membuatnya semakin
gentar. Ia yakin kepakan itu bukan lah kepakan burung. Bibirnya bergetar, ia sangat ketakutan.
“Ayah,” cicitnya menahan diri untuk berhenti dan mencari tahu apa yang terjadi di
belakangnya.

                Namun, apa yang ia pikirkan tak sejalan dengan tubuhnya. Kedua kakinya justru
membawanya berbalik. Kedua matanya seketika membelalak mendapati sesosok pria dewasa
bersayap terbang ke arahnya. Tanpa bisa ia hindari, tubuh besar itu telah menabraknya hingga
membuatnya terjatuh.

                Kedua matanya terkatup rapat, tak berani menatap sosok yang ia yakini tengah
mengukung tubuhnya. Walaupun ia merasakan sebuah tangan besar yang mulai membantunya
berdiri, ia tak kunjung membuka matanya. Bibirnya bahkan terlihat berkomat-kamit
menggumamkan doa yang ia pelajari di Gereja.

                Merasakan tak ada pergerakan penyiksaan yang ia bayangkan sebelumnya, gadis itu
membuka matanya perlahan. Irisnya kini dipenuhi wajah sosok tersebut. Wajah pucat nan tegas
itu membuatnya mematung. Sekali melihat, ia dapat merasakan pria itu memiliki kelembutan di
balik mata elangnya.

                Tanpa sadar, tangan Nayoung terangkat untuk meraba pipi porselen milik sosok itu.
Sungguh, ia bahkan melupakan rasa takutnya tadi. Hatinya hanya ingin terus mengeksplorasi
wajah tampan yang tak dapat dinalar oleh pikiran manusia. Wajah yang menurut Nayoung
terlihat sangat berharga jika diberikan kepada makhluk mortal sepertinya. Terlihat abadi.

                Sayap hitam milik makhluk itu yang semula terbuka mulai turun dan menutup.
Sentuhan lembut yang diciptakan oleh Nayoung membuat sosok itu kemudian memperbaiki
duduknya dan memejamkan matanya. Belum pernah ia merasa sedamai ini hanya karena
sentuhan manusia.

                “Suga,” gumam Nayoung tanpa menghentikan gerakannya mengusap pipi sang
makhluk tersebut. Untuk sejenak, biar lah ia menikmati kegiatannya ini dan melupakan
kecemasannya tadi.

                Kepala makhluk itu meneleng ke samping sambil masih menatap gadis kecil di
hadapannya itu. “Suga?” Ia membeo.
                Ia mengangguk kecil. “Guruku pernah berkata bahwa jika aku hendak menyebutkan
gula, katakan lah sugar.” Ketika mendapati tatapan tajam itu menjadi semakin teduh padanya,
Nayoung tertawa kecil. Entah karena apa, yang jelas kini ia merasa amat tenang dan bahagia.
“Dan paman terlihat sangat manis.”

                Tanpa sekalipun merasa penasaran dengan asal-usul makhluk di hadapannya itu,
Nayoung hanya bisa tersenyum menatap damainya sosok di depannya itu. Bahkan tanpa ia
sadari pula, tubuhnya telah bergerak untuk memeluk tubuh yang jauh lebih besar darinya itu.
Hingga merasakan aliran hangat yang disalurkan oleh tubuh sang sosok itu.

                Tubuh sosok tersebut kaku di tempat. Ia benar-benar tak percaya akan ada seseorang
yang sama sekali tidak takut padanya. Seingatnya, hanya dengan menunjukkan sayap hitam
legam dan mata penuh intimidasi, seekor tupai rela hibernasi lebih awal dari jadwal yang
ditentukan. Atau mungkin serigala yang memilih tidak melolong di malam hari hanya untuk
menghormatinya yang sedang tertidur. Namun, gadis ini dengan mudahnya menaklukan
reputasi itu.

                Tangan lebar itu mulai bergerak mengusap punggung Nayoung yang memeluk
tubuhnya yang terbalut jubah kelabu itu. “Apa yang kau lakukan sendirian di sini, Gadis
Kecil?” tanyanya dengan penuh kelembutan–setelah sekian lama ia tak berbicara pada
siapapun.

                Mendadak, gadis itu melepaskan pelukannya. Menampilkan wajah paniknya yang
sudah sempat ia lupakan. “Aku mencari Ayah,” ujarnya lirih lantas mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Namun, yang ia dapati hanya lah gelap. Membuatnya semakin
ingin menangis karena telah berjalan sejauh ini ke dalam hutan.

                Melihat raut wajah Nayoung yang menjadi panik itu menggetarkan hatinya. Meskipun
tak begitu jelas ia lihat karena hutan semakin gelap seiring berjalannya waktu, ia masih dapat
merasakan hawa ketakutan di sekitar Nayoung.

                Tangan kanannya kemudian beranjak ke punggungnya–tepatnya ke sayapnya–dan


mencabut satu bulu sayapnya. Melafalkan beberapa mantra ke dalamnya sebelum kemudian
memberikannya ke tangan Nayoung. Sepanjang hidupnya, ia tak pernah sebaik ini memberikan
bulunya ke pada makhluk mortal.

                Ditatapnya bulu hitam yang bahkan lebih panjang dari ukuran telapak tangannya itu
dengan kebingungan. “Untuk apa kau memberiku bulu sayapmu?” tanyanya tanpa
memalingkan pandangannya dari benda yang masih asing di matanya itu.

                “Untuk berjaga-jaga saja.” Dengan wajahnya yang dingin, makhluk itu menatap
wajah menggemaskan Nayoung yang masih mengamati bentuk bulu sayapnya. “Jika kau tak
kunjung menemukan ayahmu, tancapkan bulu itu ke tanah,” ujarnya kemudian tersenyum tipis
menyadari gadis itu terlalu menggemaskan baginya.
                Kepala Nayoung mendongak untuk menatap wajah sang sosok yang telah tersamarkan
oleh gelap hutan tersebut. “Lalu, apa kau akan membantuku menemukan ayahku?” tanyanya
lagi, kini terdengar lebih antusias.

                Dengan satu gerakan cepat, pria–atau mungkin bukan pria–itu berdiri. “Aku akan
mengajakmu ke gubukku,” ucapnya enteng. Sekilas melirik seekor tupai–yang selama ini takut
padanya–sedang mengintip di balik pohon dan menatap takjub padanya. Ia meringis kesal, ia
pikir, tupai itu tengah mencibirnya yang bisa tunduk dan tersenyum. “Kau pasti akan merasa
lelah berkelana di dalam hutan yang luas ini. Singgah lah di sana agar kau bisa istirahat
sebentar.”

                Gadis itu melotot ketika sang makhluk membalikkan badan. “Kau akan pergi?” Nada
suaranya menyiratkan ketakutan. Ya, suasana hutan yang kian mencekam itu tak akan pernah
luput membuat setiap orang yang berada di dalamnya merasa gentar.

                Sayap lebar hitam itu kembali terbuka lebar. Menunjukkan bahwa di balik itu terdapat
kuasa terpendam yang tak pernah terdefinisikan. “Berburu. Aku tinggal di hutan, sudah pasti
aku harus mencari makanku sendiri dengan berburu.”

                “Tunggu.” Tepat sebelum makhluk itu menjejakkan kakinya dari tanah, gadis itu
menahan. Membuat sang pemilik sayap itu berbalik, menunggunya untuk segera menyampaikan
maksud di balik tatapan cemas itu. “Apa aku boleh memanggilmu ‘Suga’?”

                Tawa keras yang menggaung di seluruh sudut hutan itu membuat serangga-serangga
dan burung yang tengah bersembunyi di dahan pohon itu berterbangan tanpa arah. Bahkan
tupai yang tadinya menguping pembicaraan itu kini sudah kabur menuju tempat
persembunyiannya.

                “Namaku Min Yoongi. Tetapi, ‘Suga’ terdengar bagus juga,” ujarnya kemudian
setelah menghentikan tawanya.

                Tepat setelah berkata seperti itu, sayap raksasa itu mengangkat tubuh jangkung
tersebut menyibak daun-daun pohon yang menutupi sinar senja masuk ke dalam hutan.
Meninggalkan Nayoung yang masih terdiam dengan sebuah bulu di tangan mungilnya.

            “Shin Nayoung!”

            Seruan keras itu memecah kenangannya 13 tahun yang lalu. Gadis–yang kini lebih tinggi
62 cm dibandingkan saat pertama kalinya ia datang ke hutan–itu mengangkat wajahnya. Segera
ia memenuhi irisnya dengan sosok makhluk bersayap hitam. Kedua sudut bibirnya juga ikut
terangkat. Untuk sesaat, ia melupakan kesedihannya karena matahari telah menghilang di
seberang danau.

            Sosok itu, Min Yoongi, sama sekali tak berubah. Masih sama seperti Min Yoongi yang
memberinya bulu hitam penyelamat. Berambut hitam legam dengan kulit pucat dan kedua
matanya yang memicing layaknya elang. Min Yoongi sama sekali tak menua. Tak sama
dengannya yang kini telah berubah menjadi gadis remaja.

            Tak sama pula dengan Nayoung yang kini menatapnya bahagia, Min Yoongi justru
berwajah datar dan dingin. Kedua tangannya terlihat berlumuran darah. Sudah pasti ia baru saja
pulang dari berburu. Biasanya, memang ia akan selalu menunggu gadis itu pulang untuk
membantunya memasak daging rusa buruannya. Namun, dari sorot matanya, ia berharap
Nayoung dapat mengerti bahwa ia ingin menyampaikan sesuatu yang amat pelik.

            Dengan langkah lebarnya, Nayoung mendekati Min Yoongi yang masih terdiam
menatapnya. “Apa kau mendapat buruan yang besar, Suga?” tanyanya ketika jarak mereka telah
kurang dari satu meter.

            Darah segar yang terlihat melumuri tangan besar Min Yoongi memang nampak lebih
banyak dari malam-malam sebelumnya. Dan biasanya memang jika di tangan makhluk itu
terdapat banyak darah, maka buruan yang di dapat sangat lah besar. Bahkan keduanya pernah
makan daging harimau dewasa setelah sebelumnya Min Yoongi melewati pertarungan yang
cukup sengit.

            Namun, nampaknya Min Yoongi tak berniat untuk menjawab pertanyaan Nayoung.
Sosok itu justru semakin mendekatkan tubuhnya ke gadis itu. Menghidu aroma bunga yang
selalu ia hirup ketika ia berdekatan dengan Nayoung. Juga jangan lupakan jantung imortalnya
yang berdegup semakin kencang.

            Merasa ada yang salah dengan sosok di hadapannya menarik gadis itu untuk mengusap
kedua pipi porselen milik Min Yoongi. Meskipun pria itu sudah sering menampilkan wajah es
tersebut, Nayoung merasa tak biasanya aura Min Yoongi terasa sesuram ini.

            “Kenapa?” Gadis itu mengamati wajah tegas aristokrat itu hingga mendongak. Jenjang
tinggi badan mereka membuat Nayoung harus berusaha ketika ingin menatap lurus ke arah iris
legam milik Min Yoongi.

            Susah payah, Min Yoongi menghirup napas senormal mungkin. Namun sialnya,
keberadaan Nayoung selalu saja berhasil melumpuhkannya. Membuatnya selalu merasa ingin
mengutuk dirinya sendiri yang payah itu. Bahkan otaknya selalu lambat dalam memproses kala
tatapan sayu itu tepat menusuk bola matanya.

            Dengan lembut, tangan besar miliknya merengkuh pinggang ramping milik Nayoung
agar lebih mendekat ke arahnya. Tak lagi peduli dengan gaun putih Nayoung yang kini pasti
telah berlumur darah. Ia hanya ingin menelisik lebih teliti ke setiap sudut wajah cantik tanpa cela
itu.

            Kedua pipi Nayoung terlihat memerah mendapat perlakuan sesederhana itu. Kedua sudut
bibirnya tak bisa tahan untuk tidak terangkat menanggapi tatapan memuja dari Min Yoongi
padanya.
            “Hari ini kau tidak perlu membantuku menyiapkan makan malam,” ujar Min Yoongi
dengan suara beratnya.

            Pundak Nayoung terangkat merasakan telinganya seperti digelitik oleh suara yang
membelai daun telinganya itu. “Kenapa?” Sungguh, ia tak tahu lagi harus berbuat apa selain
bertanya.

            “Masuk lah ke kamar dan berdandan lah yang cantik.” Jemari Min Yoongi terulur untuk
menyibak anak rambut yang menghalangi pandangannya mengeksplorasi wajah ayu itu.
Membuat bau anyir darah yang mengering itu seketika memenuhi indera penciuman Nayoung.

            Kedua alis Nayoung bertaut. Tidak biasanya Min Yoongi memintanya untuk berdandan.
Namun, tak ada gunanya membantah. Toh, apapun yang telah dikatakan oleh Min Yoongi pasti
harus terjadi.

            Tanpa perlawanan lagi, gadis itu akhirnya mengangguk walaupun masih ada pertanyaan-
pertanyaan yang mengganjal. Langkahnya perlahan menghantarnya memasuki satu-satunya
rumah di tengah hutan itu.

***

Seorang pria yang berusia lebih dari 30 tahun itu terengah ketika kakinya telah membawanya
keluar dari hutan yang mencekam tersebut. Wajahnya yang memerah dan berkeringat itu sedikit
menyisakan rasa cemas dan juga ketakutan ketika untuk terakhir kalinya menatap ke arah pagar
besi karatan yang berfungsi sebagai pintu masuk tersebut.

                Saat kakinya hendak berlari menuju mobil birunya yang terparkir tepat di depannya,
rasa bersalah kembali menyelimutinya. Bukannya dirinya tidak tahu bahwa meninggalkan anak
gadisnya yang masih sangat kecil itu adalah perbuatan yang salah besar. Tetapi, rasa sedih
ditinggal mati oleh istrinya terus membayangi. Ia pikir, bagaimana bisa ia hidup jika tidak
bersama wanita yang ia cintai? Terlebih, fakta bahwa istrinya meninggal karena melahirkan
anaknya membuatnya diam-diam membenci darah dagingnya sendiri.

                “Sudah selesai. Aku telah meninggalkannya di dalam hutan. Ia akan mati ketakutan
sebentar lagi,” gumamnya dengan suara yang bergetar. Membantah keinginan nuraninya untuk
berbalik dan membawa anaknya kembali pulang bersamanya.

                Di tempat lain, Min Yoongi, makhluk hasil percobaan gila para malaikat yang
memiliki ambisi untuk menyaingi Sang Kreator Agung itu merasa telinganya menangkap sebuah
suara. Suara yang terdengar begitu dinamis dan gegabah itu membuat kedua matanya memicing
dan sayapnya terbuka lebar. Kijang? gumamnya dalam hati.
                Sayap hitam itu mengepak kuat menunjukkan keagungannya. Membawa tubuh yang
setara dengan sayap tegas itu terbang mendekati asal suara. Dalam hati, ia sungguh berharap
buruannya ini akan memuaskan perutnya malam ini.

                Dalam kegelapan, kedua irisnya memantulkan bayangan yang bergerak cepat
menjauhi hutan. Dengan gerakan yang sangat cepat, ia mendaratkan kaki telanjangnya tepat di
punggung pemilik bayangan tersebut.

                “Akh!“

                Suara pekikan dari pemilik bayangan itu membuat Min Yoongi membulatkan matanya.
Mana ada binatang menghasilkan suara pekikan sejelas itu? pikirnya. Dengan cepat ia bangkit
dari tubuh lemah di bawahnya itu. Dengan hati-hati mengamati dari atas sampai bawah tubuh
itu.

                Sosok yang kepalanya terantuk batu hingga mengeluarkan darah itu membuat Min
Yoongi terdiam di tempat. Dia manusia. Tangannya perlahan membawa tubuh besar itu
berbalik. Memperlihatkan sesosok pria yang memelototkan matanya lebar dengan darah yang
mengucur deras dari kepalanya. Pria itu mati karena batu yang menabrak kepalanya sangat
keras.

                Dapat Min Yoongi lihat di balik wajah terkejut itu, ada sisa-sisa rasa ketakutan dan
juga rasa kecemasan yang mendalam. Seketika makhluk buatan itu teringat akan anak kecil di
dalam hutan yang baru saja ia temui. Sebuah pertanyaan terangkai di kepalanya. Dan untuk
menjawabnya, ia meletakkan tangan penuh uratnya ke dada kiri sang korban.

                “Ia ayah anak itu.”

                Tepat ketika ia sedang menyadari hal besar itu, tiba-tiba ia merasakan tanah
tempatnya berpijak bergetar pelan. Kepalanya yang mewakili keegoisannya itu mendongak
menatap langit. Baru saja anak yang ia temui tadi menancapkan bulunya ke tanah.

                Sayapnya yang tadinya tertekuk itu mulai terbuka. Menariknya menuju tempat dimana
bulu itu tertancap. Namun, hatinya sedikit memuntir. Ketika ia sadar panggilan anak itu terasa
begitu putus asa dan ia di sini justru membunuh objek keputusasaan itu, ia menggeram dalam
diam. Untuk pertama kali dalam hidupnya 100 tahun terakhir, ia merasa benci pada dirinya
sendiri.

***

 
Suara percikan khas ketika kayu dibakar menyapa pendengaran Shin Nayoung. Gadis dengan
gaun hitam selutut–yang menampakkan kaki jenjangnya–dengan anggun menuruni satu persatu
anak tangga rumah tua itu hingga suara deritan kayu terdengar memecah keheningan malam.

            Ujung gaun itu berayun lembut mengikuti gerakan pemiliknya. Angin malam yang
senantiasa datang untuk menyapa Nayoung kini meniup tubuh mungilnya. Mengusak lembut
rambut ikal tergerai itu ke belakang hingga menampakkan leher telanjangnya. Walaupun tanpa
riasan, wajah polos gadis itu mampu membuat siapapun pria di dunia merasa jatuh hati pada
pandangan pertama.

            Telapak kaki telanjang itu melangkah lebih dekat ke arah asal suara api. Belum ada
aroma daging yang biasanya ia cium ketika jam makan malam tiba. Tetapi, hanya dengan
mendengar suara api, ia bisa merasakan perutnya bergejolak ingin diisi.

            Dari jauh, punggung bersayap menyapa pandangannya. Membuat hatinya mulai bergegup
kencang walaupun ia sudah terbiasa dengan hal yang satu ini. Dan sialnya, tak hanya jantungnya
yang menunjukkan keabnormalan, tetapi juga kedua pipinya yang mulai merona. Ia yakin, betapa
pun pekatnya malam itu, makhluk itu masih dapat melihat pipi tomatnya.

            Merasa diperhatikan, sang pemilik sayap raksasa itu membalikkan badannya. Min
Yoongi tersenyum tipis sebelum kemudian kembali mengedarkan pandangannya pada danau di
hadapannya. Menunggu gadis itu menyejajarinya dan ikut menatap bayangan bulan di luasnya
permukaan danau tersebut.

            “Malam ini kita makan babi?” Suara lembut di samping Min Yoongi sedikit menyentak
makhluk itu. Min Yoongi menoleh ke arah babi yang kini terikat di sebilah kayu yang ia tata
sedemikian rupa tepat di atas api kemudian mengangguk kecil.

            Keduanya berdiri berdampingan menatap lurus ke depan. Seolah-olah mereka tengah
menatap masa depan yang menanti untuk didekap. Namun, percaya lah. Pikiran Min Yoongi
lebih kompleks daripada pikiran Shin Nayoung.

            Min Yoongi kemudian berjalan perlahan menuju kayu pohon yang tumbang dekat api.
Membuat ujung jubahnya menyapu tanah kering di bawahnya. Setelah mendudukkan dirinya di
atas kayu tersebut, ia mengisyaratkan Nayoung untuk duduk di sampingnya–mengubah objek
pemandangan mereka yang semula danau yang tenang menjadi api yang bergejolak.

            Tak ada perlawanan dari sang gadis. Nayoung terlihat dengan senang hati mendekat ke
arah Min Yoongi dan duduk manis di sampingnya. Beberapa kali ia harus mencoba untuk tidak
terlalu terpesona dengan wajah Min Yoongi yang mengilap karena cahaya api. Wajah yang kian
memancarkan aura dingin meskipun di pelipisnya terdapat keringat yang meluncur.

            “Aku bertanya padamu dan jawab lah dalam sudut pandang manusia.” Tanpa
mengalihkan pandangan dari babi besar yang tadi sempat ia remukkan kepalanya itu, Min
Yoongi kembali melanjutkan, “Mana yang lebih kau suka, orang yang menutupi sesuatu yang
besar darimu atau terbuka padamu meskipun itu sangat menyakitimu?”
            Mendapat pertanyaan yang menurutnya cukup aneh itu membuat Nayoung sedikit
menerawang ke atas. Menatap daun-daun yang menaunginya sesaat, kemudian menjawab, “Jika
aku bisa memilih, aku lebih memilih yang pertama. Yeah, aku benci orang-orang yang
mengatakan bahwa lebih baik mereka mengetahui kejujuran itu dan terluka daripada ditipu. Aku
pikir, pasti pernah ada di dalam benak mereka rasa sesal karena telah mendengarkan kejujuran
yang menyakitkan itu.”

            Mendengarnya, Min Yoongi menghela napas cukup berat. Kepalanya tertunduk dalam
walaupun ia tak tahu apa alasannya ia begitu lemah saat mendengarkan jawaban dari Nayoung.
Tidak, bukannya ia kecewa. Ia bahkan sudah tahu jawaban Nayoung tanpa perlu ia bertanya
seperti tadi. Instingnya lah yang mengatakannya. Hanya saja, mendengar Nayoung semakin
memperjelas hal itu membuat hatinya sedikit mencelus.

            “Itu lah alasanku tetap terdiam selama ini.” Tatapan elangnya menatap lamat-lamat iris
Nayoung. Berharap hanya dengan saling menatap, ia bisa menjelaskan semua hal-hal berat yang
akan ia sampaikan malam ini. Namun, ia tahu persis batas kemampuan makhluk mortal seperti
Nayoung tidak lah bisa menyamai kemampuan angelic-nya.

            Tangan besarnya yang kini telah bersih dari noda darah itu terangkat. Mengusap lembut
rahang milik Nayoung dengan begitu hati-hati. Mungkin saja rahang itu akan retak jika ia benar-
benar menyalurkan emosinya saat itu pula. “Aku selalu ingin menjaga perasaanmu.” Katanya,
“Terakhir kali aku menatap wajah kecewa dan putus asa, aku sudah bersumpah aku tidak akan
pernah lagi melihat ekspresi menyakitkan itu.”

            Kening Nayoung bertaut. Ada yang salah di sini. Mulai dari ekspresi janggal Min Yoongi
yang sarat akan kecemasan dan kini tangan besar yang kokoh itu tak biasanya bergetar hebat
ketika menyentuhnya. “Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?” tanyanya.

            Min Yoongi terdiam sesaat. Mengamati ekspresi Nayoung lebih dalam lagi sebelum
kemudian bertanya, “Apa sekarang kau adalah tipe manusia yang kedua, yang ingin
mendengarkan kejujuran menyakitkan?”

            “Bisakah kau memberitahuku terlebih dahulu apa konsekuensi yang akan ku tanggung
jika aku mendengarnya darimu?” sahut Nayoung cepat. Bahkan tanpa ada jeda pernapasan sekali
pun. Tangannya menghentikkan gerakan membelai Min Yoongi di rahangnya. Memberi tekanan
agar makhluk di hadapannya itu lebih tegas.

            Rahang Min Yoongi menegas. Sedikit tak suka kegiatannya dihentikan secara paksa.
Kedua matanya kembali tajam menusuk iris Nayoung. Membuat gadis itu gentar sesaat.
“Perpisahan,” gumamnya, tak suka dengan suaranya yang kini terdengar melankolis.

            Tatapan Nayoung membulat mendengarnya. Mungkin jika mata itu bisa berbicara, akan
dengan cepat mengeluarkan sederetan pertentangan yang tak terbantahkan. Namun, sekali lagi,
gadis itu tak mampu berkata-kata ketika wajah Min Yoongi benar-benar serius tak tergugat.
            Kini Min Yoongi terbatuk keras demi melonggarkan tenggorokannya yang sempat
membuatnya terdengar sumbang. Pria itu menarik tangannya kembali serta melemparkan
pandangannya ke arah babi yang terlihat begitu damai meskipun tubuhnya hampir hangus.
“Konsekuensinya kita tidak akan pernah bertemu lagi,” tegasnya untuk terakhir kalinya.

            “Kau akan meninggalkanku?”

            “Kau boleh menyebutku egois.” Suaranya terdengar cukup keras dan sempat
membangunkan tupai yang meringkuk di dalam lubang tanah. “Makhluk sepertiku hanya lah
ciptaan para malaikat ambisius yang kemudian mendapat murka dari Sang Kreator Agung. Aku
adalah makhluk buangan yang bukan berarti aku tidak memiliki aturan dalam hidup. Aku
mempunyai banyak sekali aturan yang harus kutepati, seperti tidak boleh menampakkan diri
pada manusia.” Kini suaranya melirih. Hampir mencicit layaknya binatang pengerat yang
mendamba makanan. “Dan aku telah melanggarnya.”

            Nayoung tak bisa berkata apapun selain menggeleng pelan. Min Yoongi pasti sedang
bercanda dengannya, ‘kan? Tidak mungkin pria itu begitu tega membuatnya kebingungan seperti
ini. Tetapi, Min Yoongi bukan lah tipe makhluk yang suka bercanda. Bahkan tidak pernah
sekalipun dalam hidup Nayoung melihat pria itu bercanda dengannya. Membosankan memang.
Tetapi, itu lah yang gadis itu sukai.

            “Aturan yang ku langgar yang kedua adalah,” digantungnya kalimat itu. Min Yoongi
kembali menatap tajam Nayoung yang mulai mengkerut. “aku telah jatuh cinta pada manusia
pertama yang kutemui.”

            Suara selembut angin yang melewati telinga Nayoung seketika membuat bulu lehernya
berdiri. Sebenarnya ada berapa hal lagi yang baru akan terungkap malam ini yang tidak biasanya
Min Yoongi lakukan? “Apa yang akan terjadi jika kau melanggar aturan itu?” Dengan takut-
takut, gadis itu menatap sudut mata Min Yoongi yang meruncing.

            Tanpa disadari, demi melampiaskan emosi dalam dadanya, Min Yoongi telah
menancapkan kuku-kukunya ke dalam kayu yang ia duduki. Membuat beberapa jarinya
mengeluarkan darah akibat kayu yang juga ikut menusuk kulitnya.

            Meskipun saat ini melihat tepat ke arah mata Nayoung begitu susah, Min Yoongi
memaksakannya. Ia harus menyelesaikan semuanya malam ini. “Jika aku sudah melanggar 3 saja
aturan yang ada, aku akan menghilang. Semua makhluk bumi tidak akan pernah mengingatku.
Termasuk kau, Shin Nayoung,” jelasnya dengan nada yang sesekali goyah.

            Kepala Nayoung kembali menggeleng. “Kau hanya melanggar 2 aturan, ‘kan? Apa
dengan tinggal dengan manusia juga melanggar aturan?” Pertanyaan menuntutnya dibalas
gelengan lemah dari Min Yoongi, yang sontak saja membuat Nayoung cukup lega. Cukup.

            Namun, ketika tangan besar itu kembali terulur untuk menarik pinggang rampingnya
untuk mendekat, membuatnya kembali harus meneguk ludahnya kasar. Tidak, bukan saatnya ia
harus tersipu dengan perlakuan lembut itu. Ia justru kini merasa takut. Takut jika tiba-tiba tangan
besar itu berhenti mendekapnya.

            Wajah Min Yoongi semakin mendekat ke arah wajah yang diliputi kecemasan berlebihan
itu. Tatapannya menyapu seluruh sudut wajah polos itu. “Aku akan melanggar aturan yang
ketiga. Dilarang mengungkapkan perasaan kepada manusia,” lirihnya kemudian bergerak untuk
mengecup bibir mungil di hadapannya.

            Kecupan itu berlangsung cukup lama. Begitu menggambarkan kesedihan mendalam
antara kedua pasangan terlarang itu. Bahkan tak ada satu pun dari mereka yang berniat untuk
menyudahinya. Masih sibuk merasakan gelenyar aneh namun nyaman di sekitar perut mereka.

            Namun, akal sehat Min Yoongi masih bisa berjalan. Ia menjauhkan wajahnya perlahan
ketkka ia merasakan tubuhnya sedikit mengejang dan sayapnya lumpuh. Hukumannya akan
segera berlangsung.

            “Suga?” Nayoung terlihat mengerutkan keningnya. Entah itu untuk mempertanyakan apa
yang baru saja terjadi atau memprotes Min Yoongi yang secara tiba-tiba memutus ciuman
pertama mereka.

            Makhluk itu tak juga ingin melepaskan rengkuhannya pada tubuh mungil Nayoung yang
terasa sangat pas untuknya. Sehingga ia membiarkan kedua tangannya memeluk tubuh itu. Toh,
sebentar lagi, ia tak akan bisa memeluk apa pun.

            “Untuk malam ini, biar lah aku membuka semuanya. Sebelum aku benar-benar
menghilang dari hadapanmu agar kau tidak lagi merasa terkhianati. Aku bukan lah makhluk yang
diciptakan untuk mengkhianati.”

            Tanpa bisa dihindari, kedua pelupuk mata Nayoung meloloskan air mata pertamanya.
Hanya mendengar suara tegas itu melunak membuatnya takut setengah mati. Bagaimana bila
tiba-tiba dirinya begitu lemah dan tak ada lagi yang merengkuhnya seperti ini? Tangannya
beranjak untuk mencengkeram jubah Min Yoongi. “Suga.”

            “Ada satu kebohongan lagi yang aku sembunyikan darimu. Kau pasti tak akan pernah
memaafkanku karena ini.” Min Yoongi menutup matanya erat merasakan separuh sayapnya
mulai tak bisa digerakkan. “Alasan mengapa kau tidak pernah bertemu lagi dengan ayahmu
adalah aku. Aku membunuhnya,” ungkapnya dengan napas putus-putus.

            Matanya terbuka separuh, menatap wajah terkejut Nayoung kemudian tertawa sumbang.
Sekujur tubuhnya hampir mati rasa saat ini. Sungguh, ia tidak tahu hukuman yang ia terima akan
semenyakitkan ini. “Aku tahu kau pasti membenciku. Apalagi aku tidak bisa
mempertanggungjawabkan perlakuan jahatku.”

            Hati Nayoung terasa diguncang-guncang sekarang. Ia tak tahu harus merasa benci atau
merasa prihatin pada makhluk di hadapannya ini. Yang pasti, yang ia rasakan saat ini adalah
sakit. Mungkin tidak akan sesakit Min Yoongi saat ini. Tetapi, sakit yang diderita Nayoung
bahkan dapat membuat gadis itu melompat ke danau kapan saja.

            “Saat itu, aku benar-benar tidak tahu jika sosok yang sedang berlari menembus kabut itu
adalah manusia–ayahmu. Aku mendorongnya hingga ia terjatuh. Tanpa bisa kuhindari,
kepalanya telah terantuk batu hingga mengeluarkan banyak sekali darah. Saat itu, aku benar-
benar dalam dilema. Di saat yang bersamaan, kau memanggilku dengan jeritan putus asamu. Jika
tubuhku bisa terbelah, pasti bukan kau saja yang menjadi prioritasku.”

            Keadaan Nayoung saat ini benar-benar tak terdefinisikan. Ia saat ini tak dapat fokus
dengan penjelasan panjang Min Yoongi. Yang membuatnya lebih panik saat ini adalah sayap
Min Yoongi yang kini meranggas dengan cepat. “Suga, sayapmu,” cicitnya hampir tanpa suara.

            Kedua mata tajam itu kini terlihat sangat payah kala menatap bulu-bulu sayapnya yang
mulai mengotori rumput tempatnya berpijak. “Aku rasa ini akan berjalan cepat.” Tangannya
mengambil tangan Nayoung yang berada di jubahnya dan mengarahkannya pada bulu yang
masih menancap di kerangka sayapnya. “Ambilah bulu terakhirku,” ujarnya dengan suara lemah.

            “Tidak, Suga.” Melihat bulu-bulu itu terlepas dari tempatnya yang semestinya saja sudah
membuatnya panik, apalagi harus mencabutnya dengan tangannya sendiri.

            “Aku perintahkan padamu, Shin Nayoung,” bentak Min Yoongi dengan tenaga seadanya
yang tetap mampu menghipnotis Nayoung untuk melakukan yang ia suruh sebelum bulu terakhir
itu jatuh.

            Kini Nayoung terlihat semakin tidak bisa mengontrol emosinya. Pundaknya naik turun
dengan cepat mengikuti isakan tangis yang sebenarnya ia tidak tahu untuk hal apa sebenarnya ia
menangis. Hanya dengan melihat kerangka yang dulunya pernah melambangkan keagungan
dengan bulu-bulu hitam legam yang menancap di sana dan kini tinggal tulangnya saja membuat
Nayoung tak bisa menahan tangisnya untuk tidak pecah. Dan salah satu bulu yang pernah ia lihat
keagungannya itu berada di genggamannya.

            Tangan milik Min Yoongi beralih menggenggam pergelangan tangan Nayoung yang kini
memegang bulunya. “Walaupun bukan aku sendiri yang akan datang mewujudkan harapanmu,
minta lah hal yang paling penting yang kau butuhkan saat ini,” ucapnya hampir sefrekuensi
dengan suara di sekitarnya.

            “Apa kau tahu? Semua kejahatan yang kau sebutkan tadi bahkan tidak lebih jahat dari
ini.” Nayoung hampir menjerit mengungkapkan ketidakadilan yang ia terima dalam hidupnya.
Bahkan makhluk yang ia percaya dan mampu membuatnya lupa dengan kecemasan tertingginya
kini melepaskannya begitu saja.

            Min Yoongi merasakan jantungnya semakin diremas dan hanya separuh dari kapasitas
oksigen yang dapat ia hirup. Namun, disaat seperti ini, menatap wajah Nayoung membuatnya
lebih tenang. Sesakit apapun itu. “Ada banyak yang ku suka darimu, yang akan sangat aku
rindukan meskipun aku sudah tak dapat mendefinisikan diriku sendiri.” Untuk sekian lama ia
hidup di dunia, baru pertama kali ini ia tersenyum begitu tulus. “Aku tidak ingin kau menderita
sendiri. Jadi, minta lah untuk menghapus semua ingatanmu akan diriku. Atau minta lah waktu
untuk berputar kembali dan membawamu kepada Shin Nayoung 13 tahun yang lalu dan jangan
temui aku.”

            “Tidak!” Nayoung kembali berteriak. Kedua tangannya mendekap tubuh Min Yoongi
yang mulai tak seimbang.

            Tubuh Min Yoongi perlahan-lahan menjadi tak kasat mata. Kulitnya bahkan tak bisa lagi
merasakan dekapan erat Nayoung. “Kau akan berdosa karena telah mencintai makhluk buangan
sepertiku. Jadi tolong lupakan aku. Maafkan aku, Shin Nayoung. Saranghae,” bisiknya sebelum
menguap menjadi asap. Sama seperti api di sampingnya.

            “Tidak!” Jatuh lah semua air yang tertahan di pelupuk mata Nayoung. Ia menjerit frustasi
menatap asap yang mengepul hingga menabrak daun-daun di atasnya. Persetan dengan daging
babi yang kini telah sepenuhnya menghitam itu, bahkan hatinya jauh lebih panas dan perih.

            Ia mendekatkan bulu dalam genggamannya ke dekat mulutnya. “Jangan, jangan buat aku
melupakan Suga. Biarkan aku terus mengingat setiap memori meskipun itu begitu menyakitkan.
Biarkan aku terus mencintainya. Biarkan setiap rindu yang akan kuhadapi menggerus dadaku,”
katanya dengan terpatah-patah. Kemudian ia menancapkan bulu itu ke tanah dengan sangat
yakin.

            Namun, tak seperti biasanya, tanah di bawahnya tak bergetar seperti ketika pertama kali
ia menggunakan bulu pemberian Min Yoongi. Dengan gerakan panik dan terburu-buru, gadis itu
menancapkan semua bulu yang gugur itu di tanah sehingga membentuk kumpulan bulu hitam
yang tampak lemah tanpa penyokongnya.

            Tubuh Nayoung menjadi lemah. Tak terbendung lagi jeritan sakit dari dalam hatinya
yang terdalam. Ia membiarkan tubuhnya terjatuh dan kotor. Toh, ia sudah tak lagi bisa menjalani
hidup. Ia tak punya alasan. “Aku tidak bisa hidup tanpanya,” gumamnya.

            Setelah cukup lama ia terdiam menikmati rasa sakit di dadanya, ia kemudian bangkit.
Wajahnya yang bengkak terlihat sangat datar menatap babi yang kini tak lagi bisa dimakan.
“Pembohong.”

            Ia kemudian berbalik. Memutuskan untuk tidur atau mungkin merencanakan bagaimana
ia akan mengakhiri hidupnya besok pagi.

Namun, sesuatu menahannya. Membuat lututnya lemas hingga dirinya jatuh terduduk.

            Di hadapannya terdapat sesosok pria jangkung dengan perawakan mirip Min Yoongi.
Namun, kali ini tanpa sayap di punggungnya. Dari rambut, jubah, wajahnya yang dingin, dan
kulitnya yang pucat, ia yakin di hadapannya ini adalah Min Yoongi, Suga-nya.

            Dia memang Suga-nya.


            Perlahan, sosok itu tersenyum tipis. “Sudah kubilang. Aku diciptakan bukan untuk
mengkhianati.”

Anda mungkin juga menyukai