Anda di halaman 1dari 14

Nama : Royfanza Reynaldi

NIM : 2000029145

Prodi: IKM (B)

Resume qurdist pertemuan 8-14

A. Dasar pengatar ilmu hadist


Ulum Hadis (bahasa Arab: ‫علوم الحديث‬, translit. ‘ulūm al-ḥadīṡ) adalah istilah ilmu hadi
ts di dalam tradisi ulama hadis. ‘Ulum al-hadist terdiri dari 2 kata, yaitu ‘ulum dan al-
hadits. Kata ‘ulum dalam bahasa Arab, sebagai bentuk jamak dari ‘ilm, berarti ilmu-il
mu, sedangkan al-hadits di kalangan ulama hadis berarti “segala perbuatan, perkataan,
taqrir, atau sifat yang disandarkan kepada Nabi.” Dengan demikian, gabungan kata ‘ul
umul-hadits mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan denga
n hadis Nabi”.

Hadist bermakna seluruh sikap, perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW dalam
menerapkan ajaran Islam serta mengembangkan kehidupan umat manusia yang benar-
benar membawa kepada kerahmatan bagi semua alam, termasuk manusia dalam
mengaktualisasikan diri dan kehidupannya secara utuh dan bertanggung jawab bagi
keselamatan dalam kehidupannya. Kedudukan al-Sunnah dalam kehidupan dan
pemikiran Islam sangat penting, karenadi samping memperkuat dan memperjelas
berbagai persoalan dalam Alquran, juga banyak memberikan dasar pemikiran yang
lebih kongkret mengenai penerapan berbagai aktivitas yang mesti dikembangkan
dalam kerangka hidup dan kehidupan umat manusia.
Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadis adalah ilmu yang
membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Perawi
adalah orang-orang yang membawa, menerima, dan menyampaikan berita dari Nabi,
yaitu mereka yang ada dalam sanadsuatu hadis.

Ilmu hadits adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan
sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak. Menurut Tengku Muhammad Hasbi A
sh-Shiddieqy: "ilmu hadits, yakni ilmu yang berpautan dengan hadits, banyak ragam
macamnya". Menurut Izzudin Ibnu Jamaah: "Ilmu hadis adalah ilmu tentang kaidah-
kaidah dasar untuk mengetahui keadaan suatu sanad atau matan (hadis).

\
B. Sejarah perkembangan hadist
Sejarah perkembangan ilmu hadis dimulai dari periode Rasulullah SAW, periode saha
bat nabi dan para ulama yang dituliskan dalam beberapa kitab karya para ulama terseb
ut. Banyak sekali jumlah cabang ilmu hadis, para ulama menghitungnya secara beraga
m.
Dalam tataran praktisnya, ilmu hadis sudah ada sejak periode awal Islam atau sejak pe
riode Rasulullah SAW., paling tidak, dalam arti dasar-dasarnya. Ilmu ini muncul bers
amaan dengan mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya perhatian d
an selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka. Berawal
dengan cara yang sangat sederhana , ilmu ini berkembang sedemikian rupa seiring de
ngan perkembangannya masalah yang dihadapi. Pada akhirnya, ilmu ini melahirkan b
erbagai cabang ilmu dengan metodologi pembahasan yang cukup rumit.
Pada periode Rasulullah SAW., kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadis) y
ang menjadi cikal bakal ilmu hadis terutama hadis dirayah dilkukan deengan cara yan
g sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sa
habat lainnya, ia segera menemui Rasulullah SAW atau sahabat lain yang dapat diper
caya untuk mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan
hadis tersebut.
Pada periode sahabat, penelitian hadis yang menyangkut sanad maupun matan hadis s
emakin menampakkan wujudnya. Abu Bakar Ash-Siddiq (573-634 H ; khalifah perta
ma dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun atau Empat Khalifah Besar), misalnya tidak mau m
enerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang, kecuali yang bersangkutan ma
mpu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya.
Demkian pula, Umar bin Al-Khaththab (581-644 H ; khalifah kedua dari Al-Khulafa’
Ar-Rasyidun). Bahkan Umar mengancam akan memberi sanksi terhadap siapa saja ya
ng meriwayatkan hadis jika tidak mendatangkan saksi. Ali bin Abi Thalib (603-661; k
halifah terakhir dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun) menetapkan persyaratan tersendiri. Ia t
idak mau menerima semua hadis yang disampaikan oleh seseorang, kecuali orang yan
g menyampaikannya bersedia diambil sumpah atas kebenaran riwayat tersebut. Meski
pun demikian, ia tidak menuntut persyaratan tersebut terhadap sahabat-sahabat yang p
aling dipercaya kejujuran dan kebenarannya, seperti Abu Bakar As-Shiddiq.
Semua yang dilakukan mereka bertujuan memelihara kemurnian hadis-hadis Rasulull
ah SAW. Di antara sahabat yang terkenal selektif dan tak segan-segan membicarakan
kepribadian sahabat lain dalam kedudukannya sebagai periwayat hadis adalah Anas bi
n Malik (w.95 H), Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas), dan Ubaidah bin Syurahbil Asy-
Sya’bi (17-104 H), dan Muhammad bin Sirin (w.110 H).
Kritik matan juga tampak jelas pada periode sahabat. ‘Aisyah binti Abu Bakar r.a., mi
salnya pernah mengkritik hadis dari Abu Hurairah (w.57 H) dengan matan “Innal-may
yita yu’azzabu bi buka’I ahlihi ‘alaihi” (Sesungguhnya mayat diazab disebabkan ratap
an keluarganya). ‘Aisyah mengatakan bahwa periwayat telah salah dalam menyampai
kan hadis tersebut sambil menjelaskan matan yang sesungguhnya. Suatu ketika Rasul
ullah SAW. melewati sebuah kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si m
ayat sedang meratap di atasnya.
Melihat hal tersebut, Rasulullah SAW. bersabda “mereka sedang meratapi si mayat, s
ementara si mayat sendiri sedang diazab dalam kuburnya.” Lebih lanjut ‘Aisyah berka
ta, “Cukuplah Al-Quran sebagai bukti ketidakbenaran matan hadis yang datang dari A
bu Hurairah karena maknanya bertentangan dengan Al-Quran.” Ia mengutip surat Al-
An’am [6] ayat 16 yang artinya, “… dan seorang yang berdosa tidak akan memikul do
sa orang lain…”
Sejumlah sahabat lainnya juga melakukan hal yang sama, seperti Umar bin Al-Khatht
hab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud), dan Abdullah bin Abba
s. Pada periode Tabiin, penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring denga
n berkembangnya masalah-masalah matam yang mereka hadapi. Demikian pula dikal
angan ulama-ulama hadis selanjutnya.
Pada akhir abad ke-2 H, barulah penelitian atau pengkritikan hadis mengambil bentuk
sebagai ilmu hadis teoritis, di samping bentuk praktis seperti dijelaskan diatas. Imam
Asy-Syafi’I adalah ulama pertama yang mewariskan teori-teori ilmu hadisnya secara t
ertulis sebagaimana terdapat dalam karya momentalnya Ar-Risalah (kitab usul fiqh) d
an Al-‘Umm (kitab fiqh). Hanya saja, teori ilmu hadisnya tidak terhimpun dalam pem
bahasan dua kitab tersebut.
Dalam catatan sejarah perkembangan hadis, diketahui bahwa ulama yang pertama kali
berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu
Muhammad Al-Hasan bin Abdullah Ar-Rahman bin Khalad Ar-Rahmahurmuzi (265-
360 H) dalam kitabnya, Al-Muhaddits, Al-Fashil bain Ar-Rawi wa Al-Wa’i. Menurut
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, kitab ini belum membahas masalah-masalah ilmu hadis seca
ra lengkap. Meskipun demikian, menurutnnya lebih lanjut, kitab ini smpai pada masan
ya merupakan kitab terlengkap, yang kemudian dikembangkan oleh para ulama beriku
tnya.
Kemudian, muncul Al-Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Naisaburi (w. 405
H/1014 M) dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, Ma’rifah ‘Ulum Al-Hadits. Pa
da kitab ini dibahas sebanyak 52 pembahasan. Namu seperti karya Ar-Ramarhumuzi,
karya Al-Hakam ini juga belum sempurna dan kurang sistematis disbanding dengan ki
tab-kitab karya ulama berikutnya.
Kemudian, Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah Ash-Asfahani (w. 430 H/1038 M), muh
addits (ahli hadis) dari Astalun (Persia), berusaha melengkapi kekurangan tersebut me
lalui kitabnya, Al-Mustakhraj ‘Ala Ma’rifa ‘Ulum Al-Hadits. Dalam kitab ini, ia men
gemukakan kaidah-kaidah temuannya yang tidak terdapat dalam kitab Ma’rifah ‘Ulu
m Al-Hadits karya Al-Hakim.
Setelah itu, muncul Abu Bakar Ahmad Al-Khathib Al-Baghdadi (392 H/1002 M-463
H/1071 M) yang menulis dua kitab ilmu hadis, yakni Al-Kifayah fi Qawanin Ar-Riwa
yah dan Al-Fami’ li Adab Asy-Syeikh wa As-Sami’. Selain itu, Al-Baghdadi menulis
sejumlah kitab dalam berbagai cabang ilmu hadis. Menurut Al-Hafiz Abu Bakar bin
Nuqthah, ulama hadis kontemporer dari Mesir yang menulis ilmu hadis setelah Al-Ba
ghdadi pada dasarnya berutang budi kepada karya-karya yang ditinggalkannya.
Selang beberapa waktu, menyusul Al-Qadhi ‘Iyadh bin Musa Al-Yahshibi (w. 544 H)
dengan kitabnya Al-Ilma fi Dabath Ar-Riwayah wa Taqyid Al-Asma’. Berikutnya ada
lah Abu Hafish Umar bin Abd. Majid Al-Mayanji (w. 580 H) dengan kitab Ma la Yas
i’u Al-Muhaddits Fahluh. Berikutnya adalah Abu Amr ‘Usman bin Shalah atau Ibnu S
halah (ahli hadis; w. 642 H/1246 M) dengan kitabnya, ‘Ulum Al-Hadits yang dikenal
dengan Muqaddimah Ibn Ash-Shalah. Kitab ini mendapat perhatian banyak ulama seh
ingga banyak pula yang menulis syarah (ulasan)-nya.
Kitab lainnya yang cukup terkenal diantaranya Tadrib Ar-Rawi oleh Jalaludin As-Suy
uthi, Taudih Al-Afkar oleh Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani As-San’ani (1099 H/1
688 M-1182 H/1772 M), dan Qawa’id At-Tahdis karya Muhammad Jamaluddin bin
Muhammad bin Sa’id bin Qasim Al-Qasimi (1283-1332 H).
E. CABANG-CABANG ILMU HADIS
Banyak sekali jumlah cabang ilmu hadis, para ulama menghitungnya secara beragam.
Ibnu Ash-Shalah menghitungnya 65 cabang, bahkan ada yang menghitung hanya 10 h
ingga 6 cabang tergantung kepentingan penghitung itu sendiri ada yang menghitungny
a secara terperinci dan ada pula yang menghitungnya secara global saja. Cabang- caba
ng Ilmu Hadis yang terpenting baik dilihat dari segi sanad atau matan dapat dibagi me
njadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut :
1. Ilmu Rijal Al-Hadits
Ilmu Rijal Al- Hadits dibagi menjadi dua, yaitu Ilmu Tawarikh Ar- Ruwah dan ilmu
Al-Jarh wa Al-Ta’dil. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Ilmu Tawarikh Ar-Ru
wah adalah ilmu mempelajari waktu yang membatasi keadaan kelaharira, wafat, perist
iwa/kejadian dan lain-lain. Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung (mu
ttasil) atau tidaknya sanad suatu hadis. Maksud persambungan sanad adalah pertemua
n langsung apakah perawi berita itu bertemu langsung dengan pembawa berita atauka
h tidak atau hanya pengakuan saja.
2. Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Dr. Shubhi Ash-Shalih memberikan definisi Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil yaitu ilmu yan
g membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaaan mereka, dari
apa yang mencela mereka atau yang memuji mereka dengan menggunakan kata-kata
khusus. Jadi ilmu ini membahas tentang nilai cacat (al-jarh) atau adilnya (at-ta’dil) se
orang perawi dengan menggunakan ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki hirarki t
ertentu.
3. ‘Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
Dalam bahasa al-‘illah diartikan al-maradh= penyakit. Dalam istilah ilmu hadis ‘Ilmu
‘Ilal Al-Hadits adalah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab yang samar yang me
mbuat kecacatan keshahihan hadis, seperti me-washalkan hadis yang munqathu dan m
e-marfu-kan hadis yang mawquf, memasukan suatu hadis ke hadis yang lain. Tujuan
mempelajari ilmu ini adalah untuk mengetahui siapa diantara periwayat hadis yang ter
dapat illat dalam periwayatannya, dalam bentuk apa dan dimana “illat tersebut terjadi,
dan pada sanad atau pada matan.
4. ‘ilmu Gharib Al-Hadits
‘ilmu Gharib Al-Hadits adalah ilmu yang mempelajari makna matan hadis dari iafal y
ang sulit dan asing bagi kebanyakan manusia, karena tidak umum dipakai orang arab.
Tujuan ilmu ini untuk mengetahui mana katta-kata dalam hadis yang tergolong gharib
dode para ulama memberikan interpretasi kalimat gharib dalam hadis tersebut. Apaka
h melalui perbandingan beberapa sanad dalam hadis yang sama atau melalui jalan lain.
5. ‘Ilmu Mukhtalif Al-Hadist
Dr. Mahmud Ath-Thahan menjelaskan secara sederhana, bahwa Mukhthalif Al-Hadits
Adalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang lahirnya terjadi kontradiksi akan tetapi
dapat dikompromikan, baik dengan cara di-taqyid (pembatasan) yang mutlak, takhshis
h al-‘alam (pengkhususan yang umum), atau dengan yang lain. Tujuan ilmu ini untuk
mengetahui hadis mana saja yang kontra satu dengan yang lain dan bagaimana pemec
ahannya atau langkah-langkah apa yang dilakukan para ulama dalam menyikapi hadi
s-hadis yang kontra tersebut.
6. ‘ilmu Nasikh wa Mansukh
Menurut ulama ushul fikih, nasakh adalah pembatalan hukum syari’ (pembuat syariat)
dengan dalil syara’ yang datang kemudian ‘Ilmu Nasikh wa Mansukh adalah ilmu yan
g membahas tentang hadis-hadis yang menasakh dan yang dinasakh. Tujuan mempela
jari ilmu ini untuk mengetahui salah satu proses hukum yang dihasilkan dari Hadi dal
am bentuk nasikh mansukh dan mengapa terjadi Nasikh Mansukh
7. ‘Ilmu Fann Al-Mubhamat
‘Ilmu Fann Al-Mubhamatadalah ilmu yang membicarakan tentang seseorang yang sa
mar namanya dalam matan atau sanad. Tujuan ilmu ini mengetahui siapa sebenarnya
nama-nama atau identitas orang-orang yang disebutkan dalam matan atau sanad hadis
yang masih samar-samar atau tersembunyi.
8. ‘ilmu Asbat Wurud Al-Hadits
‘ilmu Asbat Wurud Al-Hadits adalah ilmu yang menjelaskan tentang sebab-sebab data
ngnya hadis, latar belakang dan waktu terjadinya. Tujuan mengetahui ilmu ini menget
ahui sebab-sebab dan latar belakang munculnya suatu hadis sehingga dapat mendukun
g dalam pengkajian makna hadis yang dikehendaki.
9. ‘ilmu Tashhif wa Tahrif
‘ilmu Tashhif wa Tahrif adalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang diubah titiknya
(mushahhaf) atau dirubah bentuknya (muharraf). Tujuannya, mengetahui kata-kata ata
u nama-nama yang salah dalam sanad atau matan hadis dan bagaimana sesungguhnya
yang benajar sehingga tidak terjadi kesalahan terus menerus dalam penakilan dan men
getahui derajat kualitas kecerdasan dan ke-dhabith-an seorang perawi.
10. ‘Ilmu Mushthalah Al-Hadits
‘Ilmu Mushthalah Al-Hadits adalah ilmu yang membahas tentang pengertian istilah-is
tilah ahli hadis dan yang dikenal antara mereka. Tujuannya,memudahkan para pengka
ji dan peneliti hadis dalam mempelajari dan riset hadis, karena para pengkaji dan pene
liti tidak akan dapat melakukan kegiatannya dengan mudah tanpa mengetahui istilah-i
stilah yang telah disepakati oleh para ulama.
C. Sanad hadist terdiri dari 2 unsur (sanad dan matan )
Secara umum, sebuah riwayat dapat dikatakan sebagai hadits manakala ia melengkapi
setidaknya lima unsur penting berikut, yaitu rawi, sanad, mukharrij, shiyaghul ada' da
n matan hadits. Rawi adalah informan yang menyampaikan hadits dari Nabi Muhamm
ad SAW yang terdiri atas sahabat, tabi'in, tabi't tabi'in, dan seterusnya.
Sanad adalah silsilah atau kumpulan rawi dari sahabat hingga orang terakhir yang mer
iwayatkannya. Mukharrij adalah rawi terakhir yang menuliskan riwayat yang ia dapat
dalam sebuah catatan/karya pribadinya.
Matan hadits pada hadits di atas adalah redaksi, “Tidak sempurna iman salah seorang
kalian sehingga ia mencintai saudaranya sama seperti dia mencintai dirinya sendiri.”
Redaksi inilah yang nantinya akan diamalkan sebagai hadits Nabi, tentunya setelah m
enganalisa kualitas sanad-nya apakah berstatus sahih, hasan atau dhaif. Wallahu a‘lam.

Sanad
Sanad menurut bahasa adalah sandaran atau tempat bersandar. Sedangkan sanad menu
rut istilah adalah jalan yang menyampaikan kepada jalan hadits. Dikutip dalam buku
"Memahami Ilmu Hadits" oleh Asep Herdi, secara historis, penggunaan sanad sudah
dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digun
akan dalam mengutip hadits-hadits Nabawi, yaitu segala hal yang disandarkan (idlafa
h) kepada Nabi SAW.
Matan
"Matan" atau "al-matn" menurut bahasa adalah mairtafa'a min al-ardi atau tanah yang
meninggi. Sedangkan menurut istilah adalah "kalimat tempat berakhirnya sanad".Berk
enaan dengan matan atau redaksi hadits, maka ada beberapa yang perlu dipahami: - Uj
ung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau buka
n.
- Matan hadits itu sendiri dalam hubungan dengan hadits lain yang lebih kuat sanadny
a (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dala
m Al-Qur'an (apakah ada yang bertolak belakang).

D. Teori matan
sanad itu merupakan orang-orang atau rantai penutur hadis, atau yang meriwayatkan h
adis yang menyampaikan kepada matan. Contoh:
‫ض _ َي‬ ِ ‫َاص ٍم ع َْن أبِي ه َُر ْي _ َرةَ َر‬ ِ ‫ص ْب ِن ع‬ ِ ‫من ع َْن َح ْف‬ ِ ْ‫َح ّدثَنَا ُم َس َّد ٌد َح َّدثَنَايَحْ يَى ع َْن ُعبَ ْي ِدهللاِ_ قَا َل َح َّدثَنِى ُخبَيْبُ بْنُ َع ْب ِد الَّرح‬
َ ‫صلّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلّم قَا َل َس ْب َعةٌ ي ُِظلُّهُ ُم هللاُ تَ َعالَى فِي ِظلِّ ِه يَوْ َم اَل ِظ َّل إاَّل ِظلُّهُ إِ َما ٌم َع ْد ٌل َو َش _ابٌّ ن ََش _أ‬
َ ‫هللاُ َع ْنهُ َع ِن النّبِي‬
ُ ‫__رأةٌ َذ‬
‫ات‬ ٌ َّ‫فِي ِعبَا َد ِة هللاِ َو َر ُج ٌل قَ ْلبُه ُم َعل‬
َ ‫ق فِي الم َسا ِج ِد َو َر ُجاَل ِن تَ َحبَّا فِي هللاِ اجْ تَ َم َعا َعلَ ْي ِه َوتَفَ َّرقَا َعلَ ْي ِه َو َر ُج ٌل َد َع ْتهُ ا ْم‬
‫_ر هللا‬ ُ ِ‫أخفَاهَا َحتَّى اَل تَ ْعلَ َم ِش َمالُه َما تُ ْنف‬
َ _‫ق يَ ِم ْينُهُ َو َر ُج ٌل َذ َك‬ ْ َ‫ص َدقَ ٍة ف‬
َ ِ‫ق ب‬ َ َ‫ب َو َج َما ٍل فَقَا َل إنِّي أخَ افُ هللاَ َو َر َج ٌل ت‬
َ ‫ص َّد‬ ِ ‫َم ْن‬
ٍ ‫ص‬
ْ ‫اض‬
)‫ت َع ْينَاهُ (رواه البخاري‬ َ َ‫خَ الِيًا فَف‬
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan yahyā dari ‘Ubaidill
ah, berkata ‘Ubaidillah, menceritakan kepadaku Khubayb bin ‘Abd al-Rahmān dari ḫa
fsh bin ‘Ậshim dari Abū Hurayrah ra. Dari Nabi SAW, Nabi bersabda: Ada tujuh golo
ngan yang akan mendapatkan naungan Allah, pada hari dimana tidak ada naungan sel
ain naungan-Nya. Yaitu; Seorang imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibada
h kepada Allah, seorang laki-laki yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dua oran
g ynag saling mencuntai karena Allah yang mereka berkumpul karena-Nya dan juga b
erpisah karena-Nya, seorang laki-laki yang dirayu oleh wanita bangsawan lagi cantik
untuk berbuat mesum lalu ia menolak seraya berkata, Aku takut kepada Allah, seoran
g yang bersedekah dengan diam-diam, sehingga tangan kanannya tidak mengetahui ap
a yang disedekahkan oleh tangan kirinya. Dan yang terakhir adalah seorang yang men
etes air matanya saat berdzikir, mengingat dan menyebut nama Allah dalam kesunyia
n”. [3]
Maka sanad hadis di atas adalah:
‫ض _ َي‬ِ ‫َاص ٍم ع َْن أبِي ه َُر ْي _ َرةَ َر‬
ِ ‫ص ْب ِن ع‬ ِ ْ‫َح ّدثَنَا ُم َس َّد ٌد َح َّدثَنَايَحْ يَى ع َْن ُعبَ ْي ِدهللاِ_ قَا َل َح َّدثَنِى ُخبَيْبُ بْنُ َع ْب ِد الَّرح‬
ِ ‫من ع َْن َح ْف‬
‫صلّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلّم‬
َ ‫هللاُ َع ْنهُ ع َِن النّبِي‬
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan yahyā dari ‘Ubaidill
ah, berkata ‘Ubaidillah, menceritakan kepadaku Khubayb bin ‘Abd al-Rahmān dari ḫa
fsh bin ‘Ậshim dari Abū Hurayrah ra. Dari Nabi SAW.”.
Sedangkan ‫ المتن‬menurut bahasa berarti; keras, kuat, sesuatu yang tampak dan yang asl
i.[4] Matan menurut istilah:
‫ما ينتهي إليه السند من الكالم‬
“Perkataan yang disebut pada akhir sanad”[5]
Demikian juga, ʹAlī Muhammad Nashr mengatakan tentang definisi matan:
‫ألفاظ الحديث التي تتقوم بها المعاني‬
“Lafadh-lafadh hadis, yang sebab lafadh-lafadh tersebut terbentuklah makna”[6]
Dengan demikaian tata letak matan dalam struktur utuh penyajian hadis senantiasa jat
uh setelah ujung terakhir sanad”[7]. Jadi matan hadis merupakan materi bertita atau re
daksi yang disampaikan oleh sanad trakhir. Contoh:
‫ض _ َي‬ ِ ‫َاص ٍم ع َْن أبِي ه َُر ْي _ َرةَ َر‬ ِ ‫ص ْب ِن ع‬ ِ ‫من ع َْن َح ْف‬ ِ ْ‫َح ّدثَنَا ُم َس َّد ٌد َح َّدثَنَايَحْ يَى ع َْن ُعبَ ْي ِدهللاِ_ قَا َل َح َّدثَنِى ُخبَيْبُ بْنُ َع ْب ِد الَّرح‬
َ ‫صلّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلّم قَا َل َس ْب َعةٌ ي ُِظلُّهُ ُم هللاُ تَ َعالَى فِي ِظلِّ ِه يَوْ َم اَل ِظ َّل إاَّل ِظلُّهُ إِ َما ٌم َع ْد ٌل َو َش _ابٌّ ن ََش _أ‬
َ ‫هللاُ َع ْنهُ َع ِن النّبِي‬
ُ ‫__رأةٌ َذ‬
‫ات‬ ٌ َّ‫فِي ِعبَا َد ِة هللاِ َو َر ُج ٌل قَ ْلبُه ُم َعل‬
َ ‫ق فِي الم َسا ِج ِد َو َر ُجاَل ِن تَ َحبَّا فِي هللاِ اجْ تَ َم َعا َعلَ ْي ِه َوتَفَ َّرقَا َعلَ ْي ِه َو َر ُج ٌل َد َع ْتهُ ا ْم‬
‫_ر هللا‬ ُ ِ‫أخفَاهَا َحتَّى اَل تَ ْعلَ َم ِش َمالُه َما تُ ْنف‬
َ _‫ق يَ ِم ْينُهُ َو َر ُج ٌل َذ َك‬ ْ َ‫ص َدقَ ٍة ف‬
َ ِ‫ق ب‬ َ َ‫ب َو َج َما ٍل فَقَا َل إنِّي أخَ افُ هللاَ َو َر َج ٌل ت‬
َ ‫ص َّد‬ ِ ‫َم ْن‬
ٍ ‫ص‬
ْ ‫اض‬
)‫ت َع ْينَاهُ (رواه البخاري‬ َ َ‫خَ الِيًا فَف‬
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan yahyā dari ‘Ubaidill
ah, berkata ‘Ubaidillah, menceritakan kepadaku Khubayb bin ‘Abd al-Rahmān dari ḫa
fsh bin ‘Ậshim dari Abū Hurayrah ra. Dari Nabi SAW, Nabi bersabda: Ada tujuh golo
ngan yang akan mendapatkan naungan Allah, pada hari dimana tidak ada naungan sel
ain naungan-Nya. Yaitu; Seorang imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibada
h kepada Allah, seorang laki-laki yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dua oran
g ynag saling mencuntai karena Allah yang mereka berkumpul karena-Nya dan juga b
erpisah karena-Nya, seorang laki-laki yang dirayu oleh wanita bangsawan lagi cantik
untuk berbuat mesum lalu ia menolak seraya berkata, Aku takut kepada Allah, seoran
g yang bersedekah dengan diam-diam, sehingga tangan kanannya tidak mengetahui ap
a yang disedekahkan oleh tangan kirinya. Dan yang terakhir adalah seorang yang men
etes air matanya saat berdzikir, mengingat dan menyebut nama Allah dalam kesunyia
n”. [8]
Maka matan hadis di atas adalah:
‫ق فِي‬ ٌ َّ‫ال َس ْب َعةٌ يُ ِظلُّهُ ُم هللاُ تَ َعالَى فِي ِظلِّ ِه يَ_وْ َم اَل ِظ_ َّل إاَّل ِظلُّهُ إِ َم_ا ٌم عَ_ ْد ٌل َو َش_ابٌّ ن ََش_أ َ فِي ِعبَ_ا َد ِة هللاِ َو َرجُ_ ٌل قَ ْلبُ_ه ُم َعل‬ َ َ‫ق‬
َ‫ال إنِّي أخَافُ هللا‬ َ َ‫ب َو َج َما ٍل فَق‬ ٍ ‫ص‬ ِ ‫ات َم ْن‬
ُ ‫الم َسا ِج ِد َو َر ُجاَل ِن تَ َحبَّا فِي هللاِ اجْ تَ َم َعا َعلَ ْي ِه َوتَفَ َّرقَا َعلَ ْي ِه َو َر ُج ٌل َد َع ْتهُ ا ْم َرأةٌ َذ‬
ْ ‫ض‬
ُ‫ت َع ْينَاه‬ ُ ِ‫أخفَاهَا َحتَّى اَل تَ ْعلَ َم ِش َمالُه َما تُ ْنف‬
َ ‫ق يَ ِم ْينُهُ َو َر ُج ٌل َذ َك َر هللا خَ الِيًا فَفَا‬ ْ َ‫ص َدقَ ٍة ف‬ َ ‫ص َّد‬
َ ِ‫ق ب‬ َ َ‫َو َر َج ٌل ت‬
“Nabi bersabda: Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah, pada har
i dimana tidak ada naungan selain naungan-Nya. Yaitu; Seorang imam yang adil, pe
muda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, seorang laki-laki yang hatinya selalu t
erpaut dengan masjid, dua orang ynag saling mencuntai karena Allah yang mereka ber
kumpul karena-Nya dan juga berpisah karena-Nya, seorang laki-laki yang dirayu oleh
wanita bangsawan lagi cantik untuk berbuat mesum lalu ia menolak seraya berkata, A
ku takut kepada Allah, seorang yang bersedekah dengan diam-diam, sehingga tangan
kanannya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kirinya. Dan yang tera
khir adalah seorang yang menetes air matanya saat berdzikir, mengingat dan menyebu
t nama Allah dalam kesunyian”.
E. Ragam hadist
Secara umum, macam-macam hadist terbagi menjadi 3 yaitu hadist shahih, hadist has
an, dan hadist dhaif.
Sanadnya bersambung. Tiap–tiap periwayatan dalam sanad hadist menerima periwaya
t hadist dari periwayat terdekat sebelumnya. Keadaan ini berlangsung demikian samp
ai akhir anad dari hadits itu.
Periwayatan bersifat adil. Periwayat adalah seorang muslim yang baligh, berakal sehat
selalu memelihara perbutan taat dan menjauhkan diridari perbuatan-perbuatan maksia
t.
Periwayatan bersifat dhabit. Dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa ya
ng telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja ia menghenda
kinya.
Tidak janggal atau Syadz. Adalah hadist yang tidak bertentangan dengan hadist lain y
ang sudah diketahui tinggi kualitas ke-shahih-annya.
Terhindar dari 'illat (cacat). Adalah hadits yang tidak memiliki cacat, yang disebabkan
adanya hal-hal yang tidak baik atau yang kelihatan samar-samar. agar aspek pemaham
an agama (spiritualitas ) harus mampu menjadi filter terhadap bahaya modernisasi sec
ara fungsional dan profesional. Tela’ah rasional ilmiyah dan penghayatan ruhaniyah a
kan peran agama penting dilakukan, terutama berkaitan dengan bagaimana para peme
luk agama itu mampu beraktualisasi dengan pekembangan kehidupan yang terus mela
ju dengan cepat. Modernisasi kehidupan adalah keniscayaan yang tak bisa ditawar-ta
war lagi. Peran dan fungsi agama ( Iman ) secara substansial mutlak ditantang kearah
spiritualitas dan religiusitas yang akan memberi makna bagi kehidupan modern. Unt
uk itu sangat tepat apa yang telah disepakati oleh Ulama kita dalam kaedah usul fiqih
,”al-muhafazhah ‘alaal-qadim al-salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah “ ( Memelih
ara nilai yang baik dan merumuskan nilai yang baru yang lebih baik ), layak dipertimb
angkan sebagai solusi bagi desakan modernisasi global tersebut.
Kehidupan manusia dengan asfek sosial yang berbeda perlu di kaji ulang. Untuk kem
bali di revitalisasi dan reorientasi sesuai petunjuk Al-Quran. Manusia mutlak memerlu
kan bimbingan dan petunjuk, dan petunjuk itu telah turun berada di tengah-tengah kit
a saat ini, yaitu Al-Quranul karim. Al-Quran adalah kitab suci yang sarat nilai dan me
rupakan petunjuk ( hudan ) bagi kehidupan manusia. Al-Quran bukan karya manusia s
eperti kitab lainnya. Sampai hari ini dan bahkan sampai kapanpun Al-Quran tidak aka
n bisa di tiru , diubah ataupun bahkan dihilangkan di permukaan bumi karena dipeliha
ra oleh Sang Maha Pencipta yaitu Allah swt sebagaimana Firman-Nya :
Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Ka
mi benar-benar memeliharanya ( Qs. Al-Hijr 9).

Sebagai petunjuk , Al-Quran memberikan pedoman tentang maslahat kehidupan manu


sia secara menyeluruh, baik yang menyangkut dengan kehidupan peribadi, keluarga d
an bahkan sampai kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Al-Quran berbi
cara dalam seluruh kontek kehidupan manusia, baik kehidupan sebelum manusia lahir
setelah dan bahkan sampai pada kehidupan mendatang di alam baqa atau di akhirat
kelak. Karena pesan moral Al-Quran menyentuh seluruh asfek kehidupan manusia , te
ntu tidak diragukan lagi sudah barang tentu saatnya kita harus merujuk kembali kepad
a petunjuk Al-Quran tentang kehidupan ini.

F. Prinsip -prinsip dalam memahami hadist ( matan )


Hadist yaitu segala seusatu atau perkataan yang keluar dari mulut Rasulullah Shalalla
hu Alaihi Wasalam, dalam Al Quran hadist diartikan sebagai perkataan/ kisah yang te
rucap dari mulut, peristiwa tentang sejarah, kabar mengenai berita yang terhubung de
ngan peristiwa zaman silam, masa kini dan datang, tentang kehidupam dan tentang ke
agamaan. Sehingga menurut istilah hadist yaitu segala hal, baik dari perkataan, perbua
tan, taqrir, sirah serta sifat yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Dan diriwayatk
an melalui sanad hadist ke para sahabat, tabiin, pengikutnya, dan terus menerus hingg
a sampai di kita saat ini.
Unsur-unsur hadist yang harus dipenuhi untuk mengetahui tingkatannya adalah :
1. Sanad hadist
Sanad artinya tempat bersandar, maksudnya adalah silsilah tersambungnya matan seb
uah hadist, yaitu rangkaian orang-orang yang menyampaikan hadist ini dari Rasululla
h hingga perawi terakhirnya.
2. Matan hadist
Matan artinya materi atau isi dari hadist itu, maksudnya adalah isi / materi/ lafadz dari
hadist yang dimaksud setelah selesai sanad hadist tersebut.

AL ghozali menyampaikan ada 3 prinsip untuk memahami matan hadist, yaitu dengan
pengujian dengan al quran, pengujian dengan hadist dan pengujian dengan fakta histo
ris dan fakta ilmiah. a. pengujian dengan AL quran, yaitu isi hadist harus sesuai denga
n ajaran Al Quran, serta selaras informasinya dengan apa yang terdapat dalam Al Qur
an.

b. Pengujian dengan hadist, yaitu isi hadist harus berkaitan dengan hadist lain, atau ad
a kesamaan dengan hadist lain, tanpa ada kontradiksi didalamnya.

c. Pengujian dengan fakta, fakta historis yaitu adanya kejadian sehingga adanya hadist
tersebut yang mana kejadian dan isi hadist tidak bertentangan atau jauh menyimpang,
kemudian fakta ilmiah , yaitu isi hadist tidak boleh bertentangan dengan ilmu pengeta
huan.

3. Rawi hadist
Rawi adalah orang yang meriwayatkan hadist, maka untuk mengetahui derajat hadist
ini perlu dilihat siapa saja perawinya, apakah ia dapat dipercaya dari segi kelimuan, a
khlak dan sebagainya.

4. Mukharij
Mukharij adalah orang yang telah mengumpulkan dan mencatat hadist dalam sebuah
kitab. Sederhananya mukharijadlaah perawi hadist yang telah membukukan dan meng
mpulkan hadist-hadist dalam sebuah kitab.

G. Upaya untuk menjelaskan matan hadist .


Prinsip prinsip Metodologi Memahami Hadis Memahami hadis tidak semudah dengan
membalikkan telapak tangan, sehingga ulama melakukan kajian secara serius mengen
ai bagaimana cara untuk memahami hadis. Dari itu para ulama memberikan beberapa
prinsip umum sebagaimana tulisan dari Abdul Mustaqim7 dalam memahami hadis Na
bi saw.: 1. Prinsip jangan terburu buru menolak hadis yang dianggap bertentangan den
gan akal, sebelum melakukan penelitian yang mendalam. 2. Prinsip memahami hadis
secara tematik (maudhu’i) sehingga memperoleh gambaran utuh mengenai tema yang
dikaji Ali Mustafa Yaqub menyatakan hadist.saling menafsirkan karena sumbernya ad
alah Raasulullah dan untuk memahaminya harus dengan melihat riwayat yan
g lain. 3. Prinsip bertumpu pada analisis kebahasaan,mempertimbangkan struktur tek
s dan konteks. 4. Prinsip membedakan Antara ketentuan hadis yang bersifat legal for
mal dengan aspek yang bersifat ideal moral (baca: sesatu yang hendak dituju), membe
dakan sarana dan tujuan. 5. Prinsip bagaimana membedakan hadis yang bersifat lokal
kultural, temporal dan universal. 6. Mempertimbangkan kedudukan Nabi saw. apakah
beliau sebagai manusia biasa, nabi atau rasul, hakim, panglima perang, ayah dan lain s
ebagainya. Sehingga pengkaji dan peneliti hadis harus cermat menangkap makna yan
g terkandung dibalik teks tersebut. 7. Meneliti dengan seksama tentang kesahihan had
is, baik sanad dan matan, serta berusaha memahami segala aspek yang terkait dengan
metode pemahaman hadis. 8. Memastikan bahwa teks hadis tersebut tidak bertentang
an dengan nash yang lebih kuat. 9. Menginterkoneksikan dengan teori teori sains mo
dern untuk memperoleh kejelasan makna tentang isyarat isyarat ilmiah yang terkadun
g dalam hadis hadis sains.8 Beberapa poin mengenai prinsip prinsip memahami hadis
Nabi tersebut bukanlah merupakan hal yang final, boleh dikembangkan pada hal yang
lebih luas sesuai dengan kebutuhan memahami hadis Nabi.

CARI 2 HADIST

HADIST 1

Kami perintahkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.

Dari Abu Amr Asy-Syaibani, dia berkata, "Pemilik rumah ini meriwayatkan kepadaku
-sambil memberikan isyarat dengan tangannya ke rumah Abdullah- dia berkata,  

ُ ‫الص _الَةُ َعلَى َو ْقتِهَا قُ ْل‬


‫ت ثُ َّم‬ َّ : ‫ أَيُّ ْال َع َم ِل أَ َحبُّ إِلَى هللاِ َع َّز َو َجلَّ؟ قَ__ا َل‬:‫ت النبي صلى هللا عليه وسلم‬ ُ ‫َسأ َ ْل‬
ُ‫اس_تّ َز ْدتُه‬
ْ ‫_و‬ ِ َ‫ فَ َح َّد ْثنِي بِ ِه َّن َول‬: ‫ ثُ َّم أَيٌّ ؟ قَا َل ثُ َّم ْال ِجهَا ِد فِي َسبِي ِْل هللاِ قَا َل‬: ‫ت‬
ُ ‫ قُ ْل‬، ‫ ثُ َّم بِرُّ ْال َوالِ َدي ِْن‬: ‫أَيٌّ ؟ قَا َل‬
‫لَزَا َدنِى‬    
'Saya bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Apakah perbuatan yang pali
ng dicintai Allah Azza wa Jalla?." Nabi menjawab, "Shalat pada waktunya". Kemudia
n saya bertanya lagi, "Lalu apa?." Rasulullah menjawab, 'Kemudian berbuat baik kepa
da kedua orang tad'. Lalu saya kembali bertanya, "Lalu apa?" Rasulullah menjawab,
"Kemudian jihad dijalan Allah'." Abdullah berkata, 'Rasulullah menerangkan perkara
tersebut kepadaku. Sekiranya aku meminta tambahan kepadanya, maka niscaya beliau
akan menambahnya untukku.'"

Shahih, disebutkan di dalam kitab Al Irwa (1197), (Bukhari, 9. Kitab Mawaqitush-Sh


alat, 5- Bab Fadhlus-Shalati li Waqtiha. Muslim, 1-Kitab Al Iman, hadis 137,138,139
dan 140)
https://www.carihadis.com/Shahih_Adabul_Mufrad_Terjemah/1

HADIST 2
Berbuat baik kepada ibu

Dari Bahaz bin Hakim, dari bapaknya, dari kakeknya, aku berkata

  ‫ثُ َّم‬:‫ت‬ ُ ‫ قُ ْل‬،َ‫ أّ َّمك‬: ‫ثُ َّم َم ْن أَبّرُّ ؟ قَ__ا َل‬:‫ت‬ُ ‫ قُ ْل‬،َ‫ أُ َّمك‬:‫ثُ َّم َم ْن أَبَرُّ ؟ قَا َل‬:‫ت‬
ُ ‫ قُ ْل‬،َ‫ أُ َّمك‬: ‫يَا رسول هللا َم ْن أَبَرُّ ؟ قَا َل‬
َ ‫ب فَاْألَ ْق َر‬
‫ب‬ َ ‫ ثُ َّم ْاألَ ْق َر‬،َ‫ أَبَاك‬:‫ َم ْن أَبَرُّ ؟ قَا َل‬  
"Wahai Rasulullah! Siapa yang harus saya perlakukan dengan baik?" Rasulullah menj
awab, "Ibumu". Saya bertanya lagi, "Siapa yang harus saya perlakukan dengan baik?"
Rasulullah menjawab, "Ibumu" Lalu saya bertanya, "Siapa yang harus saya perlakuka
n dengan baik?" Rasulullah menjawab, "Ibumu". Saya bertanya, "Siapa yang harus sa
ya perlakukan dengan baik?." Rasulullah menjawab, "Bapakmu, kemudian kerabat ya
ng terdekat, lalu kerabat yang terdekat."  

Hasan, di dalam kitab Al Inva (2232, 829), dan di dalam (Sunan Tirmidzi, 25- Kitab
Al Birru wa Ash-Shilat, 1- Bab Ma Ja'a fi Birril-Walidain).  

https://www.carihadis.com/Shahih_Adabul_Mufrad_Terjemah/2

Anda mungkin juga menyukai