Anda di halaman 1dari 101

Asuhan Keperawatan

pasien dengan Gangguan


Saraf Kranial (Trigeminal
neuroglia dan Bell’s palsy)
dan Polyneuropathies
(Guillainbarre syndrom,
Botulism, Tetanus, dan
Neurosyphilis)
KELOMPOK 11 RA

1. Nabila Rezki Utami R011191129


2. Iin Sulastri Putri A C051171503
3. Rostika Salenda Paseleng R011191149
4.Helena Christy Rannu T.R011191083
5. Sulfitra subekti R011191063
6. Nurwahidah R011191089
7. Nur Islamiatul Qadar R011191005
8. Abdiram Permatasari R011191013
Gangguan Saraf Kranial
TRIGEMINAL NEURALGIA
Trigeminal Neurologia (Tic Douloureux) adalah
suatu kondisi dari saraf kranial kelima yang
dicirikan dalam bentuk nyeri paroksismal yang
serupa dengan syok elektrik atau sensasi rasa
terbakar pada area yang dipersarafi oleh satu
atau lebih cabang-cabang saraf trigeminal.
Setiap episode nyeri dapat digambarkan seperti
ditusuk-tusuk, yang berlangsung dari beberapa
detik sampai bermenit-menit, dan menghasilkan
kontraksi beberapa otot muka, yaitu penutupan
yang tiba-tiba dari mata atau kedutan mulut.
Etiologi Trigeminal Neuralgia
Penyebab neuralgia trigeminal bersifat multifaktorial. Kebanyakan kasus bersifat idiopatik,
namun kompresi radiks Trigeminal oleh tumor dan kelainan vaskular juga dapat menyebabkan
Neuralgia trigeminal.

1. Neuralgia trigeminal klasik 2. Neuralgia trigeminal simtomatik


Neuralgia trigeminal klasik dianggap Neuralgia trigeminal simtomatik
memiliki etiologi idiopatik karena memiliki kriteria klinis yang sama
tidak ada penyebab gejala yang dapat dengan neuralgia trigeminal klasik,
diidentifikasi (hampir 80% kasus) atau tapi ada penyebab lain yang
hanya terdapat gambaran kompresi menyebabkan terjadinya gejala,
syaraf oleh jaringan vaskular yang misalnya tumor, vaskular, dan
umumnya terjadi di sekitar area inflamasi.
masuk syaraf trigeminus ke pons.
Manifestasi Klinis Trigeminal Neuralgia
1. Nyeri dirasakan pada kulit
2. Paroksisme dirangsang oleh stimulasi dari
terminal dari cabang- cabang saraf yang
terkena
3. Aliran udara dingin dan tekanan langsung
pada saraf trunkus dapat juga menyebabkan
nyeri
4. Titik pencetus adalah area pasti dimana
sentuhan yang paling ringan dengan segera
mencetuskan paroksisme
Penatalaksanaan Trigeminal Neuralgia
Non Farmakologi (edukasi dan prosedur
perkutan)

Farmakologi
- Karbamazepin 100 – 600 mg/hari
- Baklofen 60 – 80 mg/hari
- Lamotrigin100 – 400 mg/hari
- Pregabalin 150 – 300 mg/hari
- Gabapentin 1200 – 3600 mg/hari
- Fenitoin 200 – 400 mg/hari
- Topiramat 150 – 300 mg/hari
Pemeriksaan Fisik Trigeminal Neuralgia
Pemeriksaan fisik umumnya tidak menunjukan
penemuan apapun, kecuali dilakukan setelah
nyeri muncul. Setelah nyeri muncul dapat
terjadi penurunan fungsi sensorik pada
daerah nyeri. Pemeriksaan fisik yang
dilakukan harus mencangkup pemeriksaan
telinga, mulut, gigi, dan temporomandibular
joint untuk menyingkirkan penyebab nyeri
wajah lainnya.
Pemeriksaan Penunjang Trigeminal Neuralgia
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan
ronsen pada sendi temporomandibular atau
modalitas imaging lainnya seperti CT Scan
atau MRI, terutama jika pada pasien terdapat
abnormalitas dari pemeriksaan fisik telinga,
hidung, tenggorokan, mulut, atau didapatkan
defisit neurologis.
PATHWAY
RENCANA KEPERAWATAN
RENCANA KEPERAWATAN
RENCANA KEPERAWATAN
BELL’S PALSY
Bell’s palsy adalah kelumpuhan akut yang terjadi
pada bagian saraf wajah yang tidak diketahui
penyebabnya .
DEFENISI
Bell’s palsy (paralisis fasial) adalah
kondisi yang diakibatkan oleh kerusakan
saraf kranial ketujuh bagian perifer pada
satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau
paralisis otot fasial. Paralisis bell
menunjukkan tipe paralisis tekanan yang
menyebabkan penyimpangan wajah, peningkatan
lakrimasi (mata berair), dan sensasi yang
sangat menyakitkan pada wajah, di belakang
telinga, dan mata. Pasien mungkin mengalami
kesulitan berbicara dan tidak mampu
untukmakan pada sisi yang sakit. (Baughman &
Hackley, 2000)
BELL’S PALSY ;ANATOMI
Nervus fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari serabut saraf
eferen (motorik dan otonom) dan aferen (sensorik). Komponen motorik
nervus fasialis dibentuk oleh inti motorik nervus fasialis yang terletak
di ventrolateral tegmentum pontis.

Refleks yang berperan dalam nervus fasialis meliputi refleks kornea,


blink (kedip)danstapedius.Padare ekskornea, impuls sensorik dari membran
mukosa kornea berjalan menuju nervus oftalmika ke inti sensorik nervus
trigeminal. Setelah bersinaps ditempat tersebut, impuls berjalan menuju
inti nervus fasialis dan kemudian melalui nervus fasialis menuju muskulus
orbikularis okuli kedua sisi dan menyebabkan tertutupnya kedua mata.
Refleks blink (kedip) dirangsang oleh stimulus visual yang kuat dan
merangsang kolikulus superior untuk mengirimkan impuls menuju inti nervus
fasialis di pons melalui traktus tectobulbar sehingga menyebabkan kedua
mata menutup
ETIOLOGI
Bell’s palsy dapat dikelompokkan sebagai berikut :
● Idiopatik
Sampai sekarang yang disebut Bell’s palsy, belum diketahui secara pasti
penyebabnya. Faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s palsy antara
lain: sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur ditempat terbuka, tidur
di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus,
penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetik.
● Kongenital
Anomali kongenital (sindroma moebius)
Pasca Lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial)
● Didapat
Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan)
Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus
Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster)
Sindroma paralisis nervus fasialis familial
ETIOLOGI BERDASARKAN TEORI
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada
empat teori yang dihubungkan dengan etiologi yaitu:
● Teori Iskemik Vaskuler
Saraf fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena
gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.
● Teori Infeksti Virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes
Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV
(khususnya tipe 1).
● Teori Herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada
keturunan di keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk
terjadi paresis fasialis.
● Teori Imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi
terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian
imunisasi.
PATHWAY
MANIFESTASI KLINIS
Pasien Bell’s palsy biasanya mengeluhkan kelemahan atau kelumpuhan pada separuh
wajahnya pada sisi yang sakit. Keluhan berupa sudut mulut yang jatuh/tidak dapat
terangkat, ketika makan/minum keluar dari sisi mulut, pengecapan terganggu, kebas
pada separuh wajahnya, nyeri pada telinga, sensitif/peka terhadap suara yang
normal tidak menyakitkan (hiperakusis), rasa berdenging pada telinga (tinitus),
produksi air mata berkurang sehingga mata menjadi kering

Jika ditinjau dari letak lesinya, tidak semua gejala dan tanda tersebut muncul.
Terdapat lima letak lesi yang dapat memberikan petunjuk munculnya gejala dan tanda
Bell’s palsy yaitu bila
● lesi setinggi meatus akustikus internus menyebabkan kelemahan seluruh otot
wajah ipsilateral, gangguan pendengaran berupa tuli dan gangguan keseimbangan.
● Pada lesi yang terletak setinggi ganglion genikulatum akan terjadi kelemahan
seluruh otot wajah ipsilateral serta gangguan pengecapan, lakrimasi dan
salivasi.
● Sementara itu lesi setinggi nervus stapedius menyebabkan kelemahan seluruh otot
wajah ipsilateral, gangguan pengecapan dan salivasi serta hiperakusis.
● Selanjutnya pada lesi setinggi kanalis fasialis (diatas persimpangan dengan
korda timpani tetapi dibawah ganglion genikulatum) akan terjadi kelemahan
seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan pengecapan dan salivasi.
● Yang terakhir, lesi yang terletak setinggi foramen stylomastoid akan
menyebabkan kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral. (Yuwono & Yudawijaya,
2016)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan n. fasialis sebagai
berikut :
• Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan
rangsang lebih 3,5mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan n.fasialis
ireversibel.
• Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran listrik pada nervus fasialis
kiri dan kanan.
• Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot wajah.
• Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah
Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula),
rasa asam dan rasa pahit (pil kina). Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit
dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap
pada BP menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya
• Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang di letakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan
kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter; berkurang atau mengeringnya air mata
menunjukkan lesi n.fasialis setinggi ggl. Genikulatum.
PENATALAKSANAAN
• Istirahat terutama pada keadaan akut
Terapi Kortikosteroid (Prednison)
Terapi ini dapat diberikan untuk menurunkan radang dan edema, yang pada ganglionnya
mengurangi kompresi vascular dan memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke saraf
tersebut. Pemberian awal terapi kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi penyakit
semakan berat, mengurangi nyeri, dan membantu mencegah atau menimbulkan denervasi.
Nyeri wajah dikontrol dengan analgetik
Kompres panas pada sisi wajah yang sakit dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan
dan aliran darah sampai ke otot tersebut.
Stimulasi listrik
Fisioterapi
OPERASI
Komplikasi Bells Palsy

● Beberapa komplikasi Bell’s palsy yaitu regenerasi motor inkomplit yang


menyebabkan lumpuhnya beberapa atau seluruh otot wajah, regenerasi
sensorik inkomplit menyebabkan terjadinya disgeusia (gangguan
pengecapan) atau augesia (hilangnya pengecapan) dan disestesia
(gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimulus
normal) dan reinervasi salah nervus fasialis. Reinervasi yang salah
dapat menyebabkan sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti
gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter sudut
mata, kontraksi platisma atau pengerutan dahi saat memejamkan mata.
Crocodile tear phenomenon yang timbul beberapa bulan kemudian akibat
disregenerasi serabut otonom. Contohnya air mata pasien keluar saat
mengkonsumsi makanan;

clonic facial spasm/hemifacial spasm yaitu timbul kedutan secara tiba-
tiba pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah pada stadium
awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi
bersamaan).
● Pengkajian
● Anamnesis
● Riwayat penyakit saat ini
Factor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang
keluhan utama klien. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala
yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk.
Pada pengkajian klien bell’s palsy biasanya didapatkan keluhan
kelumpuhsan otot wajah pada satu sisi.

● Riwayat penyakit dahulu


Factor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang
keluhan utama klien. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala
yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk.
Pada pengkajian klien bell’s palsy biasanya didapatkan keluhan
kelumpuhsan otot wajah pada satu sisi.

● Pemeriksaan Fisik
● B1 (Breathing)
● B2 (Blood)
● B3 (Brain)
● B4 (Bladder)
● B5 (Bowel)
● B6 (Bone)
● Diagnosa Keperawatan
ASUHAN ○ Nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh (00002)
KEPERAWATAN (Domain 2 Nutrisi Kelas 1
Makan)
;DIAGNOSA ○ Defisiensi pengetahuan
(00126) (Domain 5

KEPERAWATAN Persepsi/Kognisi Kelas 4


Kognisi)
○ Gangguan citra tubuh
(00118) (Domain 6
Persepsi Diri Kelas 3
Citra Tubuh)
○ Risiko mata kering
(00219) (Domain 11.
Keamanan/Perlindungan
Kelas 2 Cedera Fisik)
○ Gangguan rasa nyaman
(00214) (Domain 12.
Kenyamanan Kelas 1
Kenyamanan Fisik)
Gangguan Saraf Kranial
Sindrom guillain-Barre
Sindrom Guillain-Barré (SGB) merupakan sekumpulan sindrom yang
termanifestasikan sebagai inflamasi akut poliradikuloneuropati sebagai hasil
dari kelemahan dan penurunan refleks dengan berbagai variasi klinis yang
ditemukan.
SGB merupakan onset akut, gangguan sistem saraf perifer monofasik yang
dimediasi oleh imun (Faculty et al., 2014)
Sindrom Guillain-barre merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak
diketahui yang menyangkut saraf perifer dan cranial. Paling banyak pasien
dengan sindrom ini ditimbulkan oleh adanya infeksi ( pernapasan atau
gastrointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan
neurologic. (Nurarif amin, 2016
Etiologi Sindrom guillain-Barre

Salah satu etiologi hipotesis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun
yang menyerang myelin saraf perifer. ( myelin merupakan subtansi yang ada disekitar atau
menyelimuti akson-akson saraf dan berperan penting pada transmisi impuls syaraf.

Guillain Barre Syndrome belum diketahui secara pasti, tetapi respon alergi atau respon
autoimun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa sindrome tersebut berasal
dari virus. Paling banyak pasien dengan sindroma ini ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernapasan
atau gastrointestinal) 1-4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologis.
Manifestasi Klinis Sindrom guillain-Barre
Sindrom Guillain Barre adalah kondisi heterogen dengan
manifestasi mulai dari yang ringan hingga yang parah. Kelemahan
pada ekstremitas bawah (berkembang kurang lebih secara
simetris) terjadi selama berjam- jam hingga berhari-hari hingga
berminggu-minggu, biasanya memuncak sekitar hari keempat
belas. Paresthesia (mati rasa dan kesemutan) sering terjadi,
dengan kelumpuhan biasanya mengikuti di ekstremitas. Hipotonia
(tonus otot berkurang) dan arefleksia (kurangnya refleks) adalah
manifestasi yang umum.
Manifestasi Klinis Sindrom guillain-Barre

Pada sindrom Guillain Barre, terjadi


disfungsi sistem saraf otonom, dengan
manifestasi hipotensi ortostatik, hipertensi,
dan respons vagal abnormal (bradikardia, blok
jantung, asistol). Disfungsi otonom lainnya
termasuk disfungsi usus dan kandung kemih,
kemerahan pada wajah, dan diaphoresis.
Penatalaksanaan Sindrom guillain-Barre
• Penatalaksanaan sindrom Guillain Barre ditujukan untuk
perawatan suportif, terutama dukungan ventilasi, selama fase
akut.
• Plasmapheresis digunakan dalam 2 minggu pertama.
• Pemberian IV immunoglobulin dosis tinggi (Sandoglobulin)
sama efektifnya dengan pertukaran plasma dan lebih mudah
tersedia. Lebih dari 3 minggu setelah onset penyakit, terapi
plasmaferesis dan imunoglobulin memiliki nilai yang kecil.
Kortikosteroid tampaknya memiliki pengaruh yang kecil pada
prognosis atau durasi penyakit (Lewis, Bucher, Dirksen,
Heitkemper, & Harding, 2014).
Pemeriksaan Fisik Sindrom guillain-Barre
Pada klien Sindrom Guillain Barre biasanya
didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan
denyut nadi terjadi hubungan dengan tanda-
tanda penurunan curah jantung.

• BI (Breathing)
• B2 (Blood)
• B3 (Brain)
• Status mental
Pemeriksaan Penunjang Sindrom guillain-Barre
• Darah lengkap : Terlihatnya leukositosis pada fase awal
• Foto rontgen : Melihat perkembangan tanda-tanda dari gangguan
pernapasan, seperti atelaktasis, pneumonia
• Pemeriksaan Fungsi Paru : untuk menunjukkan adanya penurunan
kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi.(Nurarif amin,
2016)
• CSF (cerebrospinal fluid) melalui pungsi lumbal : untuk melihat adanya
kenaikan protein dan jumlah sel. Profil CSF dapat menunjukkan hasil
normal pada 48 jam pertama . Kenaikan akan terjadi pada akhir minggu
kedua sampai mencapai puncak dalam 4 - 6 minggu.
• Electromyogram (EMG) dan Nerve Conduction Velocity (NCV) : NCV
akan menganalisa kecepatan impuls dan EMG akan merekam aktivitas
otot sehingga mampu mendeteksi kelemahan reflek dan respon saraf.
(Wahyu, 2018)
Komplikasi Sindrom guillain-Barre
Komplikasi yang paling serius adalah kegagalan pernafasan, yang
terjadi saat kelumpuhan berlanjut ke saraf yang menginervasi area
toraks. Pemantauan sistem pernapasan secara konstan dengan
memeriksa kecepatan dan kedalaman pernapasan memberikan
informasi tentang perlunya intervensi segera, termasuk intubasi
dan ventilasi mekanis. Infeksi saluran pernapasan atau saluran
kemih (ISK) dapat terjadi. Imobilisasi akibat kelumpuhan dapat
menyebabkan masalah seperti ileus paralitik, atrofi otot,
trombosis vena dalam, emboli paru, kerusakan kulit,dll
Pathway
RENCANA KEPERAWATAN
RENCANA KEPERAWATAN
RENCANA KEPERAWATAN
RENCANA KEPERAWATAN
RENCANA KEPERAWATAN
RENCANA KEPERAWATAN
“BOTULISM”
 Botulism merupakan intoksikasi seperti halnya
dengan tetanus. Penyakit ini merupakan
penyakit paralisis gawat yang disebabkan oleh
racun (toksin) yang menyerang saraf yang
diproduksi bakteri Clostridium botulinum.
 Etiologi
Botulisme jarang terjadi tetapi merupakan jenis
keracunan makanan yang paling serius. Ini
disebabkan oleh absorpsi gastrointestinal (GI)
dari neurotoxin yang diproduksi oleh
Clostridium botulinum
PATHWAY
Manifestasi klinis
 • Mual, muntah, sakit perut, konstipasi,
kembung.
 • Pada sistem saraf pusat biasanya sakit kepala,
pusing, inkoordinasi otot, kelemahan,
ketidakmampuan untuk berbicara atau menelan,
diplopia, kesulitan bernapas, kelumpuhan,
delirium, koma
 • Penglihatan kabur, kelopak mata terkulai, mulut
kering, kelemahan tungkai bawah, dan vertigo
 Pelaksanaan medis
 Pelaksanaan medis
• Karena risiko terbesar botulism adalah kegagalan
respirasi, pengobatan terutama diarahkan pada
upaya pencegahan dan penanganan penyulir ini.
Paralis bulbar diobati dengan trakeostomi secara dini.
Paralis otot pernapasan menunjukkan kebutuhan
akan ventilasi buatan melalui lubang trakeostomi.
Antioksin yang spesifik mungkin efektif untuk
mengurangi angka kematian akibat botulisme jenis E.
Semua jenis botulism sebaiknya diberikan antitoksin
multivalent karena jenis botulism tidak dapat
dipastikan hanya dari sumber makanan
 Pemeriksaan penunjang
• Diagnosis yang pasti dapat dilakukan jika
toksin botulinum diidentifikasi dalam makanan,
perut atau isi usus, muntah atau kotoran. Racun
kadang-kadang ditemukan dalam darah dalam
kasus akut. Toksin botulinum dapat dideteksi
dengan berbagai teknik, termasuk tes
imunosorben terkait enzim (ELISAs), tes
elektrokimia (ECL)
Pengkajian
• Diagnosis Keperawatan
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
kekuatan otot
2. Gangguan menelan berhubungan dengan kelemahan otot
di lidah
3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan gangguan menelan
4. Konstipasi berhubungan dengan kelemahan otot abdomen
5. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan lidah
tidak dapat digerakkan
6. Gangguan citra tubuh berhubungan kelemahan otot
facialis
7. Risiko jatuh berhubungan dengan pengelihatan kabur dan
berbayang
 Evidance based :
Salah satu intervensi yang dapat dilakukan pada
masalah hambatan mobilitas fisik adalah
perlunya dilakukan peningkatan latihan
kekuatan. Salah satu penelitian yang dilakukan
oleh (Pradana, 2016) mengatakan bahwa untuk
meningkatkan kekuatan otot perlu dilakukan
latihan kekuatan, yang bertujuan untuk
memperbaiki fungsi neurologis dan mencegah
terjadinya kontraktur atau kekakuan otot dengan
terapi fisik dan tehnik-tehnik lain.
TETANUS
Definisi
Menurut (Prajogi & Hartawan, 2019), tetanus adalah suatu
toksemia akut oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin)
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, bermanifestasi
dengan kekakuan otot dan spasme periodik dan berat.
Penyakit ini merupakan salah satu penyakit infeksi yang
membahayakan nyawa, namun dapat dicegah dengan imunisasi,
dan dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang
yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi tetapi
tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan
booster secara berkala.
Etiologi
Gangguan neurologis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin
yang dihasilakan oleh Clostridium tetani.
Kuman ini mengeluarakan toxin yang bersifat neurotoksik
(tetanospasmin) yang menyebabkan kejang otot dan saraf
perifer setempat. Termasuk bakteri gram positif.
Berbentuk batang. Terdapat di tanah, kotoran manusia dan
binatang sebagai spora, debu, instrumen lain. spora
bersifat dorman dapat bertahan bertahun-tahun (>40 tahun).
Manifestasi klinis

Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan


gejala pertama) rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60
hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan
spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari.
Minggu pertama : regiditas, spasme otot. Gangguan
ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan
bertahan 1-2 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lama.
Pemulihan biasa memerlukan 4 minggu (Sudoyo dalam Nurarif &
Kusuma, 2015).
Menurut (Lubis & Lubis, 2017), berdasarkan luas dan lokasi neuron yang
terlibat, penyakit tetanus terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu:

Generalized tetanus Lozalized tetanus Cephalic tetanus

Menurut (Lubis & Lubis, 2017), berdasarkan luas dan lokasi neuron yang
terlibat, penyakit tetanus terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu:

Derajat I Derajat II Derajat III Derajat IV


(ringan) (sedang) (berat) (sangat berat)
Pemeriksaan Penunjang
• EKG : interval CT memanjang karena segment ST. Bentuk
takikardiventrikuler

• Pada tetanus kadar serum 5-6 mg/al atau 1,2-1,5 mmol/L atau lebih
rendah kadar fosfat kadar fosfat dalam serum meningkat

• Sinar X tulang tampak peningkatan denitas foto Rontgen pada


jaringan subkutan atau batas ganglia otak menunjukkan
klasifikasi.
Patofisiologi
Tetanolysin merupakan suatu toksin
yang dikode oleh plasmid Kepentingan
Menurut (Jaya & Aditya, 2018) klinis dari toksin ini tidak
Clostridium tetani menghasilkan diketahui karena sifatnya yang mudah
dua jenis toksin, yaitu dihambat oleh oksigen dan serum
tetanolysin dan tetanospasmin. kolesterol
Tetanolysin merupakan suatu Tetanospasmin adalah toksin yang
berperan dalam manifestasi klinis
hemolisin dan bersifat oxygen
dari tetanus. Begitu toksin ini
labile (mudah diinaktivasi oleh
terikat dengan saraf, toksin tidak
oksigen), sedangkan tetanospasmin dapat dieliminasi. Penyebaran
merupakan suatu neurotoksin yang tetanospasmin dapat melalui hematogen
bersifat heat labile (tidak tahan ataupun limfogen yang kemudian
panas). mencapai targetnya di ujung saraf
motorik.
Penatalaksanaan
Menurut (Lubis & Lubis, 2017) tatalaksana tetanus memiliki tiga
prinsip, yaitu : mematikan organisme dalam tubuh untuk mencegah
pelepasan toksin lebih lanjut, menetralisir toksin dalam tubuh di
luar sistem saraf pusat, dan meminimalkan efek toksin yang telah
masuk ke sistem saraf pusat. Antibiotik pilihan untuk mematikan C.
tetani terutama bentuk vegetatif adalah metronidazole intravena
dengan dosis inisial 15 mg/kgBB/hari dilanjutkan 30 mg/kgBB/ hari
dengan interval 6 jam selama 7-10 hari. Toksin dinetralisir dengan
anti-tetanus serum (ATS), dosis yang dianjurkan 100.000 IU, dengan
50.000 IU diberikan secara intravena dan 50.000 IU diberikan
secara intramuskuler. Dapat juga diberikan Human Tetanus Globulin
(HTG) 3.000-6.000 IU intramuskuler. Untuk mengatasi kejang,
diberikan diazepam dengan dosis inisial 0,1-0,3 mg/kgBB intravena
dengan interval 2-4 jam. Dosis diturunkan bertahap sesuai kondisi
klinis, sebesar 20% dosis setiap 2 hari atau antara 5-10 mg/hari.
Penatalaksanaan

Pengkajian

• Identitas

• Keluhan utama

• Riwayat penykit sebelumnya

• Riwayat pengobatan

• Riwayat psikososial
Penatalaksanaan

Pemeriksaan Fisik

• Keadaan umum

- kesadaran

- tanda-tanda vital

• Sistem pernapasan

• Sistem persarafan
Diagnosis Keperawatan

• Ketidakfektifan bersihan jalan napas b.d penumpukan sekret,


penurnan reflek batuk
• Nyeri akut b.d spasme otot
• Hipertermia b.d proses inflamsi
• Ketidakseimbangan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh b.d
kesulitan menelan
• Hambatan mobilitas fisik b.d kekakuan otot
• Ansietas b.d hospitalisasi
• Risiko cedera b.d spasme otot
ASUHAN
KEPERAWATAN
NEUROSIFILLIS
DEFINISI

Neurosifilis merupakan infeksi pada


sistem saraf pusat yang disebabkan oleh invasi
sawar darah otak oleh Treponema pallidum.
Neurosifilis umum terjadi pada sifilis
tersier,tetapi dapat pula terjadi pada stadium
lain, termasuk stadium primer. Neurosifilis di
kelompokkan menjadi 4 jenis yaitu: (1)
asimtomatik; (2) meningeal; (3) parenkimatosa;
dan (4) gumatosa.

2
ETIOLOGI

Neurosifilis merupakan penyakit komplikasi dari sifilis dan HIV yang


merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan
seksual. Sifilis dapat meningkatkan risiko transmisi HIV melalui ulkus
genital yang diakibatkannya. Neurosifilis lebih sering mengenai
pasien sifilis dengan koinfeksi HIV karena pada infeksi HIV terjadi
gangguan imunitas selular, fungsi makrofag dan limfosit B sehingga
mengubah perjalanan alamiah penyakit sifilis. HIV dapat menginfeksi
sel neuroglia dan merusak lapisan meninges sehingga memudahkan
Treponema pallidum untuk melakukan penetrasi pada sawar darah
otak. Kondisi imunosupresi yang bersifat sementara pada awal infeksi
Treponema pallidum dapat mengganggu respons pejamu terhadap
HIV.

3
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis yang sering dijumpai pada
sifilis sekunder adalah ruam makulopapular
difus yang biasanya terjadi enam minggu
setelah lesi primer timbul. Lesi yang lokalisata
dapat timbul pada telapak tangan dan kaki
berupa papula dan plak simetris disertai
skuama kolaret yang disebut Biette’s collarette.
Lesi biasanya tidak gatal, meskipun rasa gatal
dapat timbul pada sekitar 40% pasien. Pada
sifilis sekunder koinfeksi HIV dapat terjadi
perubahan gambaran klinis berupa ruam kulit
yang tidak khas, keterlibatan organ dalam yang
lebih progresif, dan berkembang lebih cepat
menjadi neurosifilis.

4
KOMPLIKASI Bentuk komplikasi yang ditimbulkan
dari neurosifilis dapat berupa neurosifilis
dini yang terdiri dari neurosifilis
asimtomatik dan neurosifilis meningeal
serta neurosifilis lanjut yang terdiri dari
neurosifilis parenkimatosa dan gumatosa.
Pada neurosifilis asimtomatik tidak
ditemukan tanda dan gejala kerusakan
sistem saraf pusat. Neurosifilis asimtomatik
dapat mengawali perkembangan neurosifilis
ke arah simtomatik dengan puncak kejadian
12-18 bulan setelah terinfeksi. Pada
neurosifilis meningeal didapatkan tanda dan
gejala meningitis seperti demam, nyeri
kepala, kaku kuduk, kejang, delirium dan
kelumpuhan saraf kranialis.

5
PATHWAY

6
PATHWAY

7
PATHWAY

8
PENATALAKSANAAN
Terapi farmakologi pada neurosifilis berbeda
dengan terapi yang diberikan untuk sifilis. Benzatin penisilin
tidak direkomendasikan untuk terapi neurosifilis karena
konsentrasinya pada LCS terlalu rendah untuk membunuh
Treponema pallidum. Terapi yang direkomendasikan oleh CDC
untuk neurosifilis asimtomatik dan simtomatik adalah
pemberian penisilin G kristalin dalam akua 18-24 juta unit per
hari yang diberikan 3-4 juta unit setiap 4 jam intravena (IV)
selama 10-14 hari.
ASUHAN KEPERAWATAN
NEUROSIFILIS

PENGKAJIAN DIAGNOSIS KEPERAWATAN


1. Nyeri akut b.d nyeri tajam dan
samar pada kaki
1. Identitas 2. Ketidakefektifan pola napas b.d
2. Riwayat Penyakit Hiperventilasi
3. Gangguan menelan b,d
3. Riwayat Kesehatan Masa
kelemahan otot lidah
Lalu 4. erusakan Integritas kulit b.d
4. Riwayat Kesehatan terbentuknya ulkus
5. Hambatan mobilitas fisik b.d
Keluarga
penurunan kekuatan otot
5. Riwayat Psikososial dan 6. Resiko Infeksi b.d pembentukan
Spiritual ulkus digenitalia
7. Risiko jatuh b.d gangguan
pengelihatan

10
INTERVENSI KEPERAWATAN

11
DIAGNOSIS OUTCOME INTERVENSI

Nyeri akut b.d nyeri tajam dan Hasil yang diharapkan setelah Pemberian analgesic:
samar pada kaki (Domain 12, kelas dilakukan tindakan keperawatan Observasi
1) …x24 jam nyeri dapat teratasi 1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keparahan
Definisi: Pengalaman sensori Kriteria hasil : nyeri sebelum mengobati pasien
danemosional tidak menyenangkan 2. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
berkaitan dengan kerusakan jaringan 1. Mengenali kapan nyeri terjadi frekuensi obat analgesic yang diresepkan
actual atau potensial, atau yang 2. Menggunakan analgesik yang 3. Cek adanya riwayat alergi obat
digambarkan sebagai kerusakan direkomendasikan Terapeutik
(International Association for the 3. Menggambarkan faktor penyebab 1.Berikan kebutuhan kenyamanan dan aktivitas lain yang
study of pain); awitan yang tiba- tiba dapat membantu relaksasi untuk memfasilitasi penurunan
atau lambat dengan intensitas ringan nyeri
hingga berat, dengan berakhrinya 2.Tentukan kebutuhan frekuensi untuk melakukan
dapat diantisipasi atau diprediksi, dan pengkajian ketidaknyamanan pasien dan
dengan durasi kurang dari 3 bulan mengimplementasikan rencana
monitor
Batasan karakteristik: 3. Dokumentasikan respon terhadap analgesik dan adanya
efek samping
• Diaphoresis Edukasi
• Perilaku distraksi 1. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
• Perilaku ekspresif 2. Ajarkan penggunan teknik non farmakologi
• Ekspresi wajah nyeri Kolaborasi
• Fokus pada diri sendiri Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat dan tim
kesehatan lainnya untuk penurunan nyeri

12
DIAGNOSIS OUTCOME INTERVENSI

Ketidakefektifan pola napas b.d Setelah dilakukan intervensi Bantuan Ventilasi


Hiperventilasi (Domain 4, Kelas 4, keperawatan selama…x24 jam Aktivitas :
kode diagnosis 00032) diharapkan status pernapasan klien Observasi :
Definisi: menjadi normal dengan indicator : • Monitor pernapasan dan status oksigenasi.
Inspirasi dan/ atau ekspirasi yang (Status pernapasan: ventilasi) • Monitor kelelahan otot pernapasan.
tidak memberi ventilasi yang adekuat Terapeutik:
• Frekuensi napas normal • Posisikan pasien untuk mengurangi
Batasan karakteristik: • Irama pernapasan normal dyspnea.
- Pola napas abnormal • Akumulasi sputum tidak ada • Pertahankan kepatenan jalan napas.
- Hiperventilasi • Posisikan untuk memfasilitasi pencocokan ventilasi/perfusi
- Takipnea (good lung down)
• Posisikan untuk meminimalkan upaya
bernapas (mengangkat kepala tempat tidur)
Edukasi :
• Ajarkan teknik pernapasan dengan mengerucutkan
bibir dengan tepat
•Ajarkan terknik pernapasan, dengan tepat.
Kolaborasi :
Beri obat (misalnya broncodilator) yang meningkatkan
patensi jalan napas dan pertukaran gas.

13
DIAGNOSIS OUTCOME INTERVENSI

Gangguan menelan b.d kelemahan Status menelan : fase oral Terapi menlan
otot lidah (Domain 2, kelas 1, kode Aktivitas-aktivitas :
diagnosis 00103) Setelah dilakukan asuhan perawatan Observasi
Definisi : fungsi abnormal mekanisme 3x24 jam, - Monitor berat badan
menelan yang dikaitkan dengan status menelan klien dapat meningkat - Monitor tanda-tanda kelemahan selama makan, minum
deficit struktur atau fungsi oral, faring dari 1 menjadi 4 dengan dan menelan
atau esofagus - Monitor pergerakan lidah pasien selama makan
kriteria hasil: Terapeutik/tindakan mandiri
Batasan Karakteristik : - Bantu pasien untuk duduk tegak (sebisa mungkin
1. Mampu mempertahankan makanan mendekati 90 derajat) untuk makan/latihan makan
1.Mengunyah tidak efisien di mulut Sediakan permen tusuk/loli untuk meningkatkan
2.Pembentukan lobus terlalu lambat 2. Pembentukan bolus sesuai pada kekuatan lidah
3.Kerja lidah tidak efektif pada waktunya - Instruksikan pasien untuk meraih sisa makanan pada
pembentukan lobus 3. Kemampuan mengunyah bibir atau dagu dengan lidah
meningkat - Bantu pasien menyingkirkan makanan sisa di bibir dan
Kondisi terkait : 4. Pengantaran lobus ke hipofaring dagu jika pasien tidak mampu menjulurkan lidahnya
Gangguan neuromuskular disesuaikan dengan reflek menelan Edukasi
- Ajarkan pasien untuk mengucapkan kata “ash” untuk
meningkatkan elevasi langit- langit halus, jika
memungkinkan
Kolaborasi
- Konsultasikan dengan terapis dan/atau dokter untuk
meningkatkan konsistensi makanan pasien secara
bertahap

14
DIAGNOSIS OUTCOME INTERVENSI

Kerusakan Integritas kulit b.d Integritas jaringan: kulit dan Pengecekan Kulit
terbentuknya ulkus membrane mukosa Aktivitas- aktivitas:
(Domain 11, Kelas 2, Kode Kriteria hasil: Observasi
diagnosis 00046) • Suhu kulit normal • Monitor warna dan suhu kulit
Definisi: • Elastisitas, tekstur dan • Monitor kulit untuk adanya kelebihan dan
Kerusakan pada epidermis dan ketebalan kulit normal kelembaban
atau dermis • Tidak adanya jaringan parut • Monitor infeksi pada daerah edema
Batasan karakteristik • Integritas kulit normal • Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan
adanya kemerahan, kehangatan ekstrim, edema,
• Nyeri akut drainase
• Gangguan integritas kulit • Monitor warna dan suhu kulit
• Kemerahan • Dokumentasikan perubahan membran mukosa
Terapeutik
• Lakukan langkah-langkah-langkah untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut
Edukasi
• Ajarkan anggota keluarga mengenai tanda tanda
kerusakan kulit degan tepat

15
DIAGNOSIS OUTCOME INTERVENSI

Hambatan mobilitas fisik b.d Pergerakan Peningkatan latihan : latihan kekuatan


penurunan kekuatan otot Setelah dilakukan asuhan perawatan Aktivitas-aktivitas :
3x24 jam, pergerakan klien dapat Observasi
(Domain 4, Kelas 2, Kode Diagnosis meningkat dari 1 menjadi 4 dengan - Lakukan skrining kesehatan sebelum memulai latihan
00085) untuk mengidentifikasi risiko dengan menggunakan skala
Definisi : Keterbatasan dalam kriteria hasil: kesiapan latihan fisik terstandar atau mlengkapi
gerakan fisik atau satu atau lebih pemeriksaan riwayat kesehatan dan fisik
ekstremitas secara mandiri dan 1. Keseimbangan tidak terganggu Terapeutik/tindakan mandiri
terarah 2. Gerakan otot tidak terganggu - Bantu mengembangkan program latihan kekuatan yang
Batasan Karakteristik : 3. Klien dapat bergerak dengan sesuai dengan tingkat kebugaran otot, hambatan
1. Penurunan keterampilan motoric mudah musculoskeletal, tujuan kesehatan fungsional, sumber
2. Penurunan rentang gerak peralatan pelatihan, kecenderungan pribadi
3. Gerakan spastik dan dukungan social
- Bantu untuk menentukan tingkat kenaikan kinerja otot
Faktor Risiko : (misalnya jumlah resistensi dan jumlah pengulangan serta
1. Penurunan kekuatan otot latihan)
- Instruksikan untuk melakukan tiga sesi latihan untuk setiap
Kondisi terkait : kelompok otot setiap satu minggu sampai tujuan latihan
Gangguan neuromuskular tercapai dan kemudian tingkatkan programnya
Edukasi
- Demonstrasikan sikap tubuh yang baik dsn tingkatkan
bentuk latihan dalam setiap kelompok otot
Kolaborasi
- Kolaborasikan dengan keluarga dan tenaga kesehatan
yang lain (misalnya, terapis aktivitas, pelatih fisiologis,
terapis okupasional, terapis fisik) dalam merencanakan, 16
mengerjakan dan monitor
program latihan otot
DIAGNOSIS OUTCOME INTERVENSI

Resiko Infeksi b.d Kontrol risiko: proses infeksi Kontrol infeksi


pembentukan ulkus digenitalia Aktivitas-aktivitas
• Mampu mengidentifikasi factor risiko Terapi :
(Domain 11, Kelas 1,Kode diagnosis infeksi
00004) • Mampu mengidentifikasi tanda dan • Berikan terapi antibiotik yang sesuai
Definisi: gejala infeksi • Berikan lingkungan yang bersih dan nyaman
• Mampu mempertahankan
Rentan mengalami invasi dan lingkungan yang bersih Edukasi
multiplikasi organisme patogenik
yang dapat mengganggu kesehatan • Ajarkan pasien dan anggota keluarga mengenai
bagaimana menghindari infeksi
Batasan karakteristik: • Ajarkan pasien dan keluarga cara mengenali tanda dan
gejala infeksi dan kapan harus melaporkan kepada
• Gangguan integritas kulit penyedia perawatan kesehatan
• Malnutrisi
• Gangguan peristalsis
• Kurang pengetahuan untuk
menghindari pajanan patogen

17
DIAGNOSIS OUTCOME INTERVENSI

Risiko jatuh b.d gangguan Fungsi sensori : penglihatan Peningkatan komunikasi : kurang penglihatan
pengelihatan Aktivitas-aktivitas
Setelah dilakukan asuhan perawatan Observasi
(domain 11, kelas 2, kode diagnosis 3x24 jam, fungsi sensori penglihatan - Monitor impilkasi terhadap fungsional pasien dengan
00155) klien dapat meningkat dari 1 menjadi penglihatan yang kurang (misalnya risiko cidera)
4 dengan Terapeutik/tindakan mandiri
Definisi : peningkatan rentan jatuh, - Sediakan ruang dengan pencahayaan yang memadai
yang dapat menyebabkan bahaya kriteria hasil: - Berikan alat bantu untuk hidup sehari hari
fisik dan gangguan kesehatan - Beri pengganti penglihatan (misalnya huruf braile, jam
1. ketajaman pandangan tidak tangan yang bias bersuara)
Factor Risiko : terganggu Edukasi
1. penurunan kekuatan ekstremitas 2. lapangan pandang tidak terganggu - Bantu pasien meningkatkan stimulasi indera-indera lainnya
bawah 3. penglihatan ganda tidak ada (misalnya menikmati aroma rasa dan tekstur)
2. kesulitan gaya berjalan 4. pandangan kabur tidak ada Kolaborasi
3. hambatan mobilitas - Bantu orang tua, keluarga, pendidik dan pengasuh yang
terlibat dengan klien untuk mendapatkan kebutuhan-
Kondisi terkait : kebutuhan terkait berbagai informasi
gangguan visual - Bantu orang tua, keluarga, pendidik dan pengasuh untuk
mengembangkan system
komunikasi fungsional dan reliabel

18
EVIDENCE BASED

Salah satu intervensi yang dapat dilakukan pada


masalah ketidakefektifan pola napas adalah perlunya diberikan
broncodilator untuk meningkatkan patensi jalan napas dan
pertukaran gas. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh
(Rasmawati & dr. I Gusti Agung Gede Utara Hartawan, 2017) yaitu
bronkodilator adalah obat yang memiliki mekanisme kerja dengan
merelaksasi otot pernafasan dan melebarkan jalan nafas (bronkus).

19

Anda mungkin juga menyukai