Anda di halaman 1dari 108

BAB I

PENDAHULUAN

Dewasa ini khususnya sejak gerakan reformasi berlangsung di Indonesia terdapat


gerakan untuk merevitalisasi Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan, dan hal
ini tidak salah bahkan justru menunjukkan gejala yang menggembirakan. Forum-
forum ilmiah di Berbagai tempat telah diselenggarakan baik oleh masyarakat umum
maupun kalangan akademisi. Tidak terkecuali lembaga negara yaitu MPR
mencanangkan empat pilar berbangsa yang salah satunya adalah
Pancasila.Memang ada perdebatan tentang istilah pilar tersebut, karena selama ini
dipahami bahwa Pancasila adalah dasar negara, namun semangat untuk
menumbuhkembangkan lagi Pancasila perlu disambut dengan baik. Undang
undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang
belum lama disahkan, secara eksplisit juga menyebutkan bahwa terkait dengan
kurikulum nasional setiap perguruan tinggi wajib menyelenggarakan mata kuliah
Pancasila, Kewarganegaraan, Agama dan Bahasa Indonesia. Menindaklanjuti
undang undang tersebut, Dikti juga menawarkan berbagai hibah pembelajaran untuk
keempat mata kuliah tersebut.

Dikti juga menawarkan berbagai hibah pembelajaran untuk keempat mata kuliah
tersebut. Dan laporan ini merupakan bagian dari program yang dirancang oleh Dikti
dalam hal ini Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan.Apabila dilakukan jejak
pendapat dikalangan mahasiswa biasanya mereka cenderung tidak menyukai empat
mata kuliah yang dikenal sebagai Mata Kuliah Kepribadian (MPK) ini. Beberapa
alasannya adalah pertama, mata kuliah ini bukan mata kuliah sesuai dengan bidang
studi mereka, kedua, materinya tidak up to date, hanya mengulang apa yang pernah
mereka dapatkan di jenjang pendidikan sebelumnya, ketiga, metode
pembelajarannya yang tidak variatif dan inovatif sehingga menimbulkan kebosanan.
Alasan yang pertama perlu diberikan penjelasan kepada mahasiswa bahwa
mempelajari ilmu sesuai dengan bidangnya saja tidaklah cukup untuk bekal ketika
mereka lulus kuliah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 60%
keberhasilan seseorang tidak ditentukan pada penguasaan bidang ilmunya, namun
pada kepribadiannya. Dengan menyadari pentingnya kepribadian ini diharapkan
mahasiswa lebih tertarik pada mata kuliah ini.

Alasan kedua yaitu materi tidak up to date sebenarnya hal ini lebih terkait dengan
masalah SDM (dosen pengampu).Bahan-bahan pendukung perkuliahan yang terkait
dengan Pancasila sangat banyak.Tulisan dalam jurnal, majalah, buku maupun
internet sangat mencukupi untuk digunakan sebagai bahan ajar.Persoalan
sebenarnya juga tidak dapat ditimpakan sepenuhnya kepada dosen karena realitas
di lapangan jumlah dosen Pancasila sangat terbatas, sehingga yang terjadi satu
dosen dapat mengajar banyak kelas atau dosen yang tidak berkompeten mengajar
Pancasila.Persoalan materi terkait pula dengan metode pembelajaran yang berujung
pada SDM juga.Sehinggga perlu kiranya kedepan dilakukan up grading bagi
pengajar Pancasila dan pelatihan untuk calon dosen pengajar
Pancasila.Keberadaan Rancangan Pembelajaran Pendidikan Pancasila ini tentunya
sangat penting untuk memberikan panduan umum tentang bagaimana mengajarkan
Pancasila kepada mahasiswa. Rancangan ini sudah memilahkan antara Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan yang sebelumnya dijadikan satu,
sehingga memperjelas pokok bahasan apa saja yang perlu disampaikan kepada
1
mahasiswa terkait dengan Pendidikan Pancasila ini. Selain itu gambaran tentang
metode pembelajaran juga diharapkan dapatmemberikan inspirasi untuk
dikembangkan lebih lanjut.

2
BAB II
KONSEP PENDUKUNG CAPAIAN DALAM PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN PANCASILA DI PERGURUAN TINGGI

A. Dasar-Dasar Pendidikan Pancasila

1. Dasar Filosofis

Ketika Republik Indonesia diproklamasikan pasca Perang Dunia kedua, dunia


dicekam oleh pertentangan ideologi kapitalisme dengan ideologi
komunisme.Kapitalisme berakar pada faham individualisme yang menjunjung tinggi
kebebasan dan hak-hak individu; sementara komunisme berakar pada faham
sosialisme atau kolektivisme yang lebih mengedepankan kepentingan masyarakat di
atas kepentingan individual.Kedua aliran ideologi ini melahirkan sistem kenegaraan
yang berbeda.Faham individualisme melahirkan negara-negara kapitalis yang
mendewakan kebebasan (liberalisme) setiap warga, sehingga menimbulkan perilaku
dengan superioritas individu, kebebasan berkreasi dan berproduksi untuk
mendapatkan keuntungan yang maksimal.Sementara faham kolektivisme
melahirkan negara-negara komunis yang otoriter dengan tujuan untuk melindungi
kepentingan rakyat banyak dari eksploitasi segelintir warga pemilik kapital.

Pertentangan ideologi ini telah menimbulkan ‘perang dingin’ yang dampaknya terasa
di seluruh dunia.Namun para pendiri negara Republik Indonesia mampu melepaskan
diri dari tarikan-tarikan dua kutub ideologi dunia tersebut, dengan merumuskan
pandangan dasar (philosophische grondslag) pada sebuah konsep filosofis yang
bernama Pancasila.Nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila bahkan bisa
berperan sebagai penjaga keseimbangan (margin of appreciation) antara dua
ideologi dunia yang bertentangan, karena dalam ideologi Pancasila hak-hak individu
dan masyarakat diakui secara proporsional.Rumusan tentang Pancasila tidak
muncul dari sekedar pikiran logis-rasional, tetapi digali dari akar budaya masyarakat
bangsa Indonesia sendiri.Maka Bung Karno hanya mengaku diri sebagai penggali
Pancasila, karena nilai-nilai yang dirumuskan dalam Pancasila itu diambil dari nilai-
nilai yang sejak lama hadir dalam masyarakat Nusantara. Oleh karena itulah
Pancasila disebut mengandung nilai-nilai dasar filsafat (philosophischegrondslag),
merupakan jiwa bangsa (volksgeist) atau jati diri bangsa (innerself of nation), dan
menjadi cara hidup (way of life) bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Dengan
demikian nilai-nilai dalam Pancasila merupakan karakter bangsa, yang menjadikan
bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Pendidikan Pancasila perlu
karena dengan cara itulah karakter bangsa dapat lestari, terpelihara dari ancaman
gelombang globalisasi yang semakin besar.

2. Dasar Sosiologis

Bangsa Indonesia yang penuh kebhinekaan terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa
yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau, secara sosiologis telah mempraktikan
Pancasila karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan kenyataan-
kenyataan (materil, formal, dan fungsional) yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Kenyataan objektif ini menjadikan Pancasila sebagai dasar yang mengikat setiap
warga bangsa untuk taat pada nilai-nilai instrumental yang berupa norma atau
hukum tertulis (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat) maupun
yang tidak tertulis seperti adat istiadat, kesepakatan atau kesepahaman, dan
3
konvensi. Kebhinekaan atau pluralitas masyarakat bangsa Indonesia yang tinggi,
dimana agama, ras, etnik, bahasa, tradisi-budaya penuh perbedaan, menyebabkan
ideologi Pancasila bisa diterima sebagai ideologi pemersatu.Data sejarah
menunjukan bahwasetiap kali ada upaya perpecahan atau pemberontakan oleh
beberapa kelompok masyarakat, maka nilai-nilai Pancasilalah yang dikedepankan
sebagai solusi untuk menyatukan kembali. Begitu kuat dan ‘ajaibnya’ kedudukan
Pancasila sebagai kekuatan pemersatu, maka kegagalan upaya pemberontakan
yang terakhir (G30S/PKI) pada 1 Oktober 1965 untuk seterusnya hari tersebut
dijadikan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Bangsa Indonesia yang plural secara
sosiologis membutuhkan ideologi pemersatu Pancasila.Oleh karena itu nilai-nilai
Pancasila perlu dilestarikan dari generasi ke generasi untuk menjaga keutuhan
masyarakat bangsa. Pelestarian nilai-nilai Pancasila dilakukan khususnya lewat
proses pendidikan formal, karena lewat pendidikan berbagai butir nilai Pancasila
tersebut dapat disemaikan dan dikembangkan secara terencana dan terpadu.

3. Dasar Yuridis

Pancasila sebagai norma dasar negara dan dasar negara Republik Indonesia yang
berlaku adalah Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pembukaan UUD NRI Tahun 1945) junctis
Keputusan Presiden RI Nomor 150 Tahun 1959 mengenai Dekrit Presiden
RI/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Tentang Kembali Kepada Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Naskah Pembukaan UUD NRI 1945
yang berlaku adalah Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang disahkan/ditetapkan
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945.
Sila-sila Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 secara
filosofis-sosiologis berkedudukan sebagai Norma Dasar Indonesia dan dalam
konteks politis-yuridis sebagai Dasar Negara Indonesia.Konsekuensi dari Pancasila
tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, secara yuridis konstitusional
mempunyai kekuatan hukum yang sah, kekuatan hukum berlaku, dan kekuatan
hukum mengikat.

Nilai-nilai Pancasila dari segi implementasi terdiri atas nilai dasar, nilai instrumental,
dan nilai praksis. Nilai dasar terdiri atas nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai
Kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai dasar ini terdapat pada
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, dan Penjelasan UUD NRI Tahun 1945
mengamanatkan bahwa nilai dasar tersebut harus dijabarkan konkret dalam Batang
Tubuh UUD NRI Tahun 1945, bahkan pada semua peraturan perundang-undangan
pelaksanaannya. Peraturan perundang-undangan ke tingkat yang lebih rendah pada
esensinya adalah merupakan pelaksanaan dari nilai dasar Pancasila yang terdapat
pada Pembukaan dan batang tubuh UUD NRI Tahun 1945, sehingga perangkat
peraturan perundang-undangan tersebut dikenal sebagai nilai instrumental
Pancasila.Jadi nilai instrumental harus merupakan penjelasan dari nilai dasar;
dengan kata lain, semua perangkat perundang-undangan haruslah merupakan
penjabaran dari nilai-nilai dasar Pancasila yang terdapat pada Pembukaan dan
batang tubuh UUD NRI Tahun 1945.

Para penyusun peraturan perundang-undangan (legal drafter) di lembaga-lembaga


legislatif, eksekutif, dan yudikatif dari tingkat pusat hingga daerah adalah orang-
orang yang bertugas melaksanakan penjabaran nilai dasar Pancasila menjadi nilai-
4
nilai instrumental.Mereka ini, dengan sendirinya, harus mempunyai pengetahuan,
pengertian dan pemahaman, penghayatan, komitmen, dan pola pengamalan yang
baik terhadap kandungan nilai-nilai Pancasila. Sebab jika tidak, mereka akan
melahirkan nilai-nilai instrumental yang menyesatkan rakyat dari nilai dasar
Pancasila. Jika seluruh warga bangsa taat asas pada nilai-nilai instrumental, taat
pada semua peraturan perundang-undangan yang betul-betul merupakan
penjabaran dari nilai dasar Pancasila, maka sesungguhnya nilai praksis Pancasila
telah wujud pada amaliyah setiap warga. Pemahaman perspektif hukum seperti ini
sangat strategis disemaikan pada semua warga negara sesuai dengan usia dan
tingkat pendidikannya, termasuk pada para penyusun peraturan perundang-
undangan. Oleh karena itu menjadi suatu kewajaran, bahkan keharusan, jika
Pancasila disebarluaskan secara massif antara lain melalui pendidikan, baik
pendidikan formal maupun nonformal.

Penyelenggaraan pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi lebih penting lagi


karena Perguruan Tinggi sebagai agen perubahan yang melahirkan intelektual-
intelektual muda yang kelak menjadi tenaga inti pembangunan dan pemegang
estafet kepemimpinan bangsa dalam setiap strata lembaga dan badan-badan
negara, lembaga-lembaga daerah, lembaga-lembaga infrastruktur politik dan sosial
kemasyarakatan, lembaga-lembaga bisnis, dan lainnya.

B. Tujuan Penyelenggaraan Dengan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di


Perguruan Tinggi

Diharapkan dapat tercipta wahana pembelajaran bagi para mahasiswa untuk secara
akademik mengkaji, menganalisis, dan memecahkan masalah-masalah
pembangunan bangsa dan negara dalam perspektif nilai-nilai dasar Pancasila
sebagai ideologi dan dasar negara Republik Indonesia. Pendidikan Pancasila
sebagai bagian dari pendidikan Nasional bertujuan untuk mewujudkan tujuan
Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan nasional yang ada merupakanrangkaian
konsep, program, tata cara, dan usaha untuk mewujudkan tujuan nasional yang
diamanatkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa. Jadi tujuan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi pun
merupakan bagian dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara
spesifik tujuan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi adalah
untuk : 1. Memperkuat Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan ideologi bangsa
melalui revitalisasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai norma dasar kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Memberikan pemahaman dan
penghayatan atas jiwa dan nilai-nilai dasar Pancasila kepada mahasiswa sebagai
warga negara Republik Indonesia, serta membimbing untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 3. Mempersiapkan
mahasiswa agar mampu menganalisis dan mencari solusi terhadap berbagai
persoalan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui sistem
pemikiran yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. 4.
Membentuk sikap mental mahasiswa yang mampu mengapresiasi nilai-
nilaiPancasila dalam realitas kehidupan 5. Memiliki karakter ilmuwan dan
profesional Pancasilais yang memiliki komitmen atas kelangsungan hidup dan
kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5
BAB III
METODE PEMBELAJARAN DAN MATRIKS KEGIATAN
MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

A. Metode Pembelajaran

Pilihan strategi pengembangan metode pembelajaran Pendidikan Pancasila yang


berbasis kompetensi dengan pendekatan Student Active Learning membawa
konsekuensi perubahan paradigma metode pembelajaran. Arah perubahannya
adalah sebagai berikut;

Dari: a. Berpusat pada pengajar menjadi : a. Berpusat pada mahasiswa


(Metode Instruksi) -----> (Metode Konstruksi)
b. Paradigma: mengajar menjadi : b. Paradigma: belajar
c. Apa yang dipikirkan menjadi : c. Apa yang dipelajari
d. Mengetahui apanya menjadi : d. Mengetahui bagaimananya
(Transfer of knowledge) -----> (Transfer of value)

Dengan pendekatan Student Active Learning, mahasiswa lebih banyak melakukan


eksplorasi daripada secara pasif menerima informasi yang disampaikan oleh
pengajar. Keuntungannya mahasiswa tidak hanya memperoleh pengetahuan dan
keterampilan yang berkaitan dengan bidang keahliannya saja, tetapi juga
berkembang keterampilan komunikasi, bekerja dalam kelompok, insiatif, berbagi
informasi, dan penghargaan terhadap orang lain. Metode pendekatan Student Active
Learning ini meliputi antara lain:
1) Studi kasus Pada metode pembelajaran ini mahasiswa diberikan kasus yang
perlu dicari pemecahan masalahnya sesuai dengan pokok bahasan yang sedang
dibahas.
2) Diskusi Penyajian bahan pelajaran dilakukan dengan cara mahasiswa
ditugaskan untuk membahas dan bertukar pendapat mengenai topik atau
masalah tertentu untuk memperoleh suatu pengertian bersama yang lebih jelas
dan teliti.
3) Seminar Mahasiswa diminta untuk mempersiapkan makalah/paper, kemudian
mempresentasikannya di depan mahasiswa lainnya dan dalam kesempatan ini
akan memperoleh masukan dan pertanyaan baik dari sesama mahasiswa
lainnya maupun dari staf pengajar.
4) Debat Suatu metode pembelajaran dengan cara mahasiswa dibagi ke dalam
beberapa kelompok dan setiap kelompok terdiri dari 4 orang. Di dalam kelompok
tersebut mahasiswa melakukan perdebatan tentang topik tertentu.
5) Kerja lapangan Suatu cara penyajian bahan pelajaran dengan membawa
mahasiswa langsung kepada objek atau pokok bahasan yang akan dipelajari di
luar kelas.
6) Bermain peran Bermain peran adalah salah satu permainan pendidikan yang
digunakan untuk menjelaskan perasaan, sikap, perilaku dan nilai dengan tujuan
untuk menghayati peran, sudut pandang dan cara berpikir orang lain dengan
memainkan peran orang lain.
7) Simulasi Suatu cara penguasaan bahan pelajaran melalui pengembangan
imajinasi dan penghayatan mahasiswa. Pengembangan imajinasi dan
penghayatan dilakukan mahasiswa dengan memerankannya sebagai tokoh
hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu
orang, hal itu tergantung kepada apa yang diperankan.
6
8) Tugas kelompok Metode pembelajaran dengan memberikan tugas kepada
mahasiswa yang telah dibuat kelompok, misalnya dalam bentuk karangan atau
makalah, kliping dan/atau mengamati suatu kejadian.
9) Permainan Merupakan cara penyajian bahan pengajaran dimana mahasiswa
melakukan permainan untuk memperoleh atau menemukan pemahaman dan
konsep tertentu. Metode permainan ini dapat dilakukan secara individual atau
kelompok.
10) Collaborative Learning (CL) Merupakan proses belajar kelompok, di mana setiap
anggota menyumbangkan informasi, pengetahuan, pengalaman, ide, sikap,
pendapat, kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya, untuk secara
bersama-sama saling meningkatkan pemahaman seluruh anggota.
11) Problem-Based Learning (PBL) Metode belajar yang menggunakan masalah
yang komplek dan nyata untuk memicu pembelajaran sebagai langkah awal
dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru.
12) Bola salju menggelinding Dalam pembelajaran ini mahasiswa melakukan tugas
individu kemudian berpasangan. Dari pasangan tersebut kemudian mencari
pasangan yang lain sehingga semakin lama anggota kelompok semakin besar
bagai bola salju yang menggelinding. Metode ini digunakan untuk mendapatkan
jawaban yang dihasilkan dari mahasiswa secara bertingkat. Dimulai dari
kelompok yang lebih kecil berangsur-angsur kepada kelompok yang lebih besar
sehingga pada akhirnya akan memunculkan dua atau tiga jawaban yang telah
disepakati oleh mahasiswa secara kelompok. Pilihan terhadap metode tersebut
tergantung dari kebutuhan, kesiapan staf pengajar, sarana, dan prasarana yang
ada pada masing-masing perguruan tinggi.

B. Matrik Kegiatan MK Pancasila (SAP)

KEMAMPUAN POKOK BAHASAN BENTUK KRITERIA BOBOT


MING- YANG DAN SUB BAHASAN PEMBELAJARAN PENILAIAN NILAI
GU KE DIHARAPKAN (INDIKATOR)
1–2 Mampu Pendahuluan, konsep - Ceramah Kejelasan 10%
menjelaskan pendukung capaian dalam - Diiskusi Pemahaman
dan memahami penyelenggaraan pendidikan di
perguruan tinggi, metode
pembelajaran dan matrik
kegiatan mata kuliah:
a. Dasar pendidikan pancasila
b. Tujuan penyelenggaran
pendidikan Pancasila di
perguruan tinggi
c. Metode pembelajaran
d. Matrik Kegiatan perkuliaham
3–4 Mampu Pancasila dalam kajian Sejarah - Ceramah Kejelasan 10%
menjelaskan Bangsa Indonesia: - Pemutaran Pemahaman
dan memahami e. Era PraKemerdekaan Film-film
f. Era Kemerdekaan dokumenter
g. Era Orde lama - Diiskusi
h. Era OrdeBaru
i. Era Reformasi

7
5–6 Mampu Pancasila sebagai Dasar - Ceramah Kejelasan dalam 10%
Menganalisis Negara: - Studi Kasus mengkritisi/
dan a.Hubungan Pancasila dengan mengevaluasi
mengevaluasI Pembukaan UUD NRI Tahun kebijakan
1945 pemerintah yang
b.Penjabaran Pancasila dalam sesuai/tdk
Batang Tubuh UUD NRI tahun sesuai dengan
1945 Pancasila
c.Implementasi Pancasila dlm
pembuatan kebijakan Negara
dalam bidang Politik,
Ekonomi, sosial, budaya dan
Hankam
7–8 Mampu Pancasila sebagai Ideologi - Ceramah Kekritisan dan 10%
menganalisis & Negara: - Diskusi ketajaman
membandingkan a. Pengertian Ideologi Kelompok analisis
b. Pancasila dan Ideologi
Dunia
c. Pancasila dan Agama
9 –10 Mampu Pancasila sebagai Sistem - PBL (Program Kemampuan 15%
Memahami dan Filsafat: Base Learning meng-ungkap
Menjelaskan a. Pengertian Filsafat and Inquiry) hakikat sila-sila
b. Filsafat Pancasila Pancasila
c. Hakikat Sila- sila Pancasila berda-sar
problem yg
ditemui
11 –12 Mampu Pancasila sebagai Sistem Etika: - Ceramah Mempraktekan 15%
Memahami dan a. Pengertian Etika - Pemutaran sikap, tindakan
menjadikan pola b. Etika Pancasila film–film sesuai nilai
hidup c. Pancasila sebagai solusi dokumenter Pancasila
problem bangsa, seperti - Diskusi dengan
korupsi, kerusakan menunjukkan
lingkungan, dekadensi moral, bukti kegiatan.
dll
13- 14 Mampu Pancasila sebagai Dasar - PBL (Program Menemukan dan 20%
Menganalisis Nilai Pengembangan Ilmu: Base Learning mengungkapkan
dan menjadi a.Nilai ketuhanan sebagai dasar and Inquiry) problem
pola hidup pengembangan ilmu keilmuan yang
b.Nilai kemanusiaan sebagai sesuai/tidak
dasar pengembangan ilmu sesuai dengan
c.Nilai persatuan sebagai dasar nilai-nilai
pengembangan ilmu Pancasila
d.Nilai kerakyatan sebagai dasar
pengembangan ilmu
e.Nilai keadilan sebagai dasar
pengembangan ilmu
15- 16 Mampu Pancasila sebagai paradigma - Ceramah Menemukan dan 10%
Menganalisis kehidupan dalam - Diskusi mengungkapkan
dan bermasyarakat, berbangsa, dan problem
membandingkan bernegara: keilmuan yang
a. Latare belakang, pengertian sesuai/tidak
paradigma sesuai dengan
c. Pancasila sebagai paradigma nilai-nilai
pembangunan nasional, Demokrasi
poleksosbudhankam, hukum Pancasila
& ham, reformasi, beragama.
d. Aktualisasi Pancasila dlm
kehidupan kampus

8
BAB IV
PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH

A. Pengantar.

Presiden Soekarno pernah mengatakan “jangan sekali-kasli meninggalkan sejarah”.


Dari Perkataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang
beragam bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama
Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan "Historia Vitae Magistra”, yang bermakna,
“sejarah memberikan kearifan”. Pengertian yang lebih umum yaitu “sejarah
merupakan guru kehidupan”.

Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan


suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan
cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu dalam bahaya (Soekarno,
1989:64). Pentingnya cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran
bangsa diperkuat oleh cendekiawan politisi Amerika Serikat John Gardner, “No
nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless that
something has moral dimensions to sutain a great civilation” (tidak ada bangsa yang
dapat mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan
sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang
peradaban besar). (Madjid dalam Latif, 2011:42).

Begitu kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila
terus berjaya sepanjang masa. Hal tersebut disebabkan ideologi Pancasila tidak
hanya sekedar “confirm and deepen” identitas bangsa Indonesia. Ia lebih dari itu. Ia
adalah identitas bangsa sendiri sepanjang masa. Sejak Pancasila digali kembali dan
dilahirkan kembali menjadi dasar dan ideologi negara, maka ia membangunkan dan
membangkitkan identitas yang “darmant”, yang “tertidur” dan yang “terbius” selama
kolonialisme. (Abdulgani, 1979:22).

B. Pancasila Pra Kemerdekaan

Untuk memahami Pancasila secara kronologis baik menyangkut rumusannya


maupun peristilahannya maka pengertian Pancasila tersebut meliputi lingkup
pengertian sebagai berikut: Pengertian Pancasila secara etimologis, Pengertian
Pancasila secara historis, Pengertian Pancasila secara terminologis.

Sebelum kita membahas isi arti dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara maka
terlebih dahulu perlu dibahas asal kata dan istilah Pancasila beserta makna yang
terkandung di dalamnya. Secara etimologis istilah "Pancasila" berasal dari bahasa
Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa rakyat biasa adalah
bahasa Prakerta.

Menurut Muhammad Yamin dalam bahasa Sansekerta perkataan Pancasila memiliki


dua macam arti secara leksikal yaitu : “panca" artinya "lima" dan “syila" vokal i
pendek artinya "batu sendi ","alas", atau “dasar". Sedangkan “syiila” vokal i
panjang artinya "peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang
senonoh”. Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama
bahasa Jawa diartikan “susila“ yang memiliki hubungan dengan moralitas. Oleh
karena itu kata "Pancasila” yang dimaksudkan adalah istilah "Panca Syila” dengan
9
vokal i pendek yang memiliki makna leksikal "berbatu sendi lima“ atau secara
harfiah “dasar yang memiliki lima unsur". (Yamin, 1960 : 437).

Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang Dr. Radjiman


Widyodiningrat. Selaku Ketua Badan dan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK) pada tanggal 29 Mei 1945 meminta kepada sidang untuk mengemukakan
dasar (negara) Indonesia merdeka, permintaan itu menimbulkan rangsangan
anamnesis yang memutar kembali ingatan para pendiri bangsa ke belakang; hal ini
mendorong mereka untuk menggali kekayaan kerohanian, keperibadian dan
wawasan kebangsaan yang terpendam lumpur sejarah (Latif, 2011:4). Begitu
lamanya penjajahan di bumi pertiwi menyebabkan bangsa Indonesia hilang arah
dalam menentukan dasar negaranya. Dengan permintaan Dr. Radjiman inilah, figur-
figur negarawan bangsa Indonesia berpikir keras untuk menemukan kembali jati diri
bangsanya.

Pada sidang pertama BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 – 1 Juni 1945 tampillah berturut-
turut untuk berpidato menyampaikan usulan tentang dasar negara. Pada tanggal 29
Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin mendapat kesempatan yang pertama untuk
mengemukakan pemikirannya tentang dasar negara di hadapan sidang lengkap
Badan Penyelidik. Pidato Mr. Muh. Yamin itu berisikan lima asas dasar negara
Indonesia merdeka yang diidam-idamkan sebagai berikut :
1). Peri Kebangsaan
2). Peri Kemanusiaan
3). Peri KeTuhanan
4). Peri Kerakyatan
5). Kesejahteraan Rakyat
Selanjutnya Prof. Dr. Soepomo pada tanggal 30 Mei 1945 mengemukakan teori-teori
negara, yaitu:
1). Teori negara perseorangan (individualis),
2). Faham negara kelas
3). Faham negara integralistik.
Kemudia disusul oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang mengusulkan
lima dasar negara yang terdiri dari :
1). Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia
2). Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3). Mufakat atau Demokrasi
4). Kesejahteraan sosial
5). Ketuhanan Yang Maha Esa (Berkebudayaan). (Kaelan, 2000:37-40).

Pada pidato tanggal 1 Juni 1945 tersebut Ir. Soekarno mengatakan’ “Maaf, beribu
maaf! Banyak anggota telah berpidato mereka itu diutarakan hal-hal yang
sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu buykan
dasarnya Indonesia merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka
Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda : “Philosofische grond-slag ituah
pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-
dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia kekal dan abadi” (Bahar,
1995:63).

Begitu hebatnya Ir. Soekarno dalam menjelaskan Pancasila dengan runtut, logis dan
koheren, namun dengan rendah hati Ir. Soekarno membantah apabila disebut
sebagai pencipta Pancasila. Selanjutnya beliau mengusulkan bahwa kelima sila
tersebut dapat diperas menjadi "Tri Sila" yang rumusannya :
10
1). Nasional yaitu "Nasionalisme dan Internasionalisme"
2). Sosio Demokrasi yaitu "Demokrasi dengan Kesjahteraan rakyat"
3). Ketuhanan Yang Maha Esa

Adapun "Tri Sila" tersebut masih dapat diperas lagi menjadi "Eka Sila" atau satu sila
yang intinya adalah "gotong-royong". Pada tahun 1947 pidato Ir. Soekarno tersebut
diterbitkan dan dipublikasikan dan diberi judul "Lahirnya Pancasila", sehingga dahulu
pernah populer bahwa tanggal I Juni adalah hari lahirnya Pancasila.

Kemudian, dibentuklah suatu panitia kecil berjumlah delapan orang untuk menyusun
dan mengelompokkan semua usulan tersebut. Panitia delapan terdiri dari:
1. Ir. Soekarno
2. Drs. Moh Hatta
3. Sutardjo
4. K.H. Wachid Hasyim
5. Ki Bagus Hadikoesoemo
6. Oto Iskandardinata
7. Moh. Yamin
8. Mr. A.A. Maramis

Setelah para panitia kecil yang berjumlah delapan orang tersebut bekerja meneliti
dan mengelompokkan usulan yang masuk, diketahui ada perbedaan pendapat dari
para anggota sidang tentang hubungan antara agama dan negara. Para anggota
sidang yang beragama Islam menghendaki bahwa negara berdasarkan syariat
Islam, sedangkan golongan nasionalis menghendaki bahwa negara tidak
mendasarkan hukum salah satu agama tertentu. Untuk mengatasi perbedaan ini
maka dibentuk lagi suatu panitia kecil yang berjumlah sembilan orang (dikenal
sebagai Panitia Sembilan), yang anggotanya berasal dari golongan nasionalis, yaitu:
1. Ir. Soekarno (Ketua)
2. Mr. Moh Yamin
3. K.H Wachid Hasyim
4. Drs. Moh. Hatta
5. K.H. Abdul Kahar Moezakir
6. Mr. Maramis
7. Mr. Soebardjo
8. Abikusno Tjokrosujoso
9. H. Agus Salim

Panitia sembilan bersidang tanggal 22 Juni 1945 dan menghasilkan kesepakatan


atau suatu persetujuan yang menurut istilah Ir,. Soekarno adalah suatu modus,
kesepakatan yang dituangkan di dalam Mukadimah (Preambule) Hukum Dasar,
alinea keempat dalam rumusan dasar negara sebagai berikut:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan;
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Moh. Yamin mempopulerkan kesepakatan tersebut dengan nama Piagam Jakarta.

11
Pada sidang kedua BPUPKI tanggal 10 Juli 1945 Ir. Soekarno diminta menjelaskan
tentang kesepakatan tanggal 22 Juni 1945 (Piagam Jakarta). Oleh karena sudah
mencapai kesepakatan maka pembicaraan mengenai dasar negara dianggap sudah
selesai. Selanjutnya dibicarakan mengenai materi undang-undang dasar (pasal demi
pasal) dan penjelasannya. Penyusunan rumusan pasal-pasal UUD diserahkan
kepada Mr. Soepomo. Demikian pula mengenai susunan pemerintahan negara yang
terdapat dalam Penjelasan UUD. Sidang BPUPKI kedua ini juga berhasil
menentukan bentuk negara jika Indonesia merdeka. Bentuk negara yang disepakati
adalah republik dipilih oleh 55 dari 64 orang yang hadir dalam sidang. Wilayah
negara disepakati bekas Hindia Belanda ditambah Papua dan Timor Portugis (39
suara).

Sementara itu kedudukan Jepang yang terus menerus terdesak, karena serangan
balik Sekutu. Komando Tentara Jepang di wilayah Selatan mengadakan rapat pada
akhir Juli 1945 di Singapura. Disetujui dalam rapat tersebut bahwa kemerdekaaan
bagi Indonesia akan diberikan pada tanggal 7 September 1945, setahun setelah
pernyataan Koiso. Akan tetapi dalam bulan Agustus terjadi perubahan cepat dan
tanggal 7 Agustus Jendral Terauchi menyetujui pembentukan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI = Dokuritzu Zyunbi Iinkai) yang bertugas melanjutkan
tugas BPUPKI dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan karena akan
diadakannya pemindahan kekuasaan dari Jepang kepada bangsa Indonesia.

Anggota PPKI terdiri dari 21 orang dengan ketua Ir. Soekarno dan Wakil Ketua Drs.
Moh. Hatta. Secara simbolis PPKI dilantik oleh Jendral Terauchi dengan
mendatangkan Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Rajiman Wedyodiningrat, bekas
ketua BPUPKI ke Saigon pada tanggal 9 Agustus 1945. Dalam pidatonya Terauchi
mengatakan cepat lambatnya kemerdekaan bisa diberikan tergantung kerja PPKI.
Dalam pembicaraan Terauchi dengan para pempimpin Indonesia tanggal 11
Agustus 1945, ia mengatakan bahwa kemerdekaan akan diberikan tanggal 24
Agustus 1945. Akan tetapi perkembangan cepat justru terjadi setelah bom atom
dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki.

Setelah kembali dari Saigon pada tanggal 14 Agustus 1945 di Kemayoran Ir.
Soekarno mengumumkan bahwa Indonesia akan merdeka sebelum jagung
berbunga dan kemerdekaan itu bukan merupakan hadiah dari Jepang melainkan
hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri.Oleh karena itu Ir. Soekarno atas
tanggung jawab sendiri menambah jumlah anggota yang lain sebanyak 18 orang
sehingga jumlah seluruhnya ada 21 orang. Agar sifat panitia persipan kemerdekaan
itu berubah menjadi badan pendahuluan bagi Komite Nasional. Selain dari Jawa,
tujuh orang anggota khusus didatangkan dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan
Bali agar representatif mewakili rakyat Indonesia yang tersebar di Nusantara.
Setelah itu anggota PPKI masih ditambah enam orang lagi wakil golongan yang
terpenting dalam masyarakat Indonesia. Adapun enam orang tersebut adalah 1)
Wiranatakusuma, 2) Ki Hadjar Dewantara, 3) Mr. Kasman Singodimedjo, 4) Sajuti
Malik, 5) Mr. Iwa Kusuma Sumantri, 6) Achmad Soebardjo.
C. Pancasila Era Kemerdekaan
Dalam pelaksanaan proklamasi sendiri ternyata terdapat perbedaan antara golongan
tua dan golongan muda tentang kapan pelaksanaan pernyataan kemerdekaan
Indonesia. Golongan muda yang lebih agresif menghendaki kemerdekaan
diproklamasikan secepatnya. Yang termasuk golongan muda adalah: Soekarni,

12
Adam Malik, Kusnaini, Sutan Syahrir, Sayuti Malik, Soedarsono, Soepomo, dll.
Sutan Syahrir sebagai tokoh pertama yang menginginkan diproklamasikannya
kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta tanpa menunggu janji Jepang, karena
ia telah mendengar siaran radio tentang kekalahan Jepang. Perbedaan itu
memuncak dengan diamankannya Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta ke
Rengasdengklok oleh para pemuda agar tidak mendapat pengaruh Jepang. Untuk
merealisasikan tekad tersebut maka pada tanggal 16 Agustus 1945 terjadi
perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks
proklamasi yang berlangsung singkat, mulai pukul 02.00-04.00 dini hari. Teks
Proklamasi disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Soebardjo di
ruang makan Laksamana Tadashi Maeda tepatnya di jalan Imam Bonjol No. 1
Jakarta. Konsepnya sendiri ditulis oleh Ir. Soekarno. Sukarni (dari golongan muda)
mengusulkan agar yang menandatangani teks Proklamasi itu adalah Ir. Soekarno
dan drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Kemudian teks Proklamasi
Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Teks Proklamasi tersebut adalah
sebagai berikut :

Sidang pertama PPKI dilaksanakan setelah Proklamasi Kemerdekaan, dipimpin oleh


ketua Ir. Soekarno dan wakil ketua Drs. Moh. Hatta dan dihadiri anggota sejumlah
25 orang. Agenda sidang mengenai pengesahan Undang-Undang Dasar. Ir.
Soekarno sebagai ketua meminta agar anggota sidang mengikuti garis-garis besar
yang telah dirancang dalam sidang kedua BPUPKI. Oleh karena kerja sidang yang
kilat, maka perubahan-perubahan kecil dikesampingkan dulu supaya hari itu juga
sudah ada UUD, presiden dan wakil presiden. Sidang pertama PPKI 18 Agustus
1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan
menetapkan:
1. Piagam Jakarta sebagai rancangan Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI
pada tanggl 14 Juli 1945 dilakukan beberapa perubahan pada sila pertama (tujuh
buah kata dihilangkan dan diganti dengan kata-kata Yang Maha Esa) dan
beberapa perubahan pada rancangan UUD disahkan sebagai Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945
tersebut terdiri atas dua bagian yaitu Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh
UUD 1945 yang berisi 16 Bab, 37 pasal, 4 Pasal Aturan Peralihan. dan 2 ayat
Aturan Tambahan. Dalam bagian Pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat
13
alinea tersebut tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut: a. Ketuhanan Yang
Maha Esa; b. Kemanusiaan yang adil dan beradab; c. Persatuan Indonesia; d.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan; e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 inilah
yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara Republik
Indonesia, yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh rakyat Indonesia.
2. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yakni Ir. Soekarno dan Drs.
Moh. Hatta.
3. Menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai Badan
Musyawarah Darurat.

Sidang kedua tanggal 19 Agustus 1945, PPKI membuat pembagian daerah propinsi,
termasuk pembentukan 12 departemen atau kementerian. Sidang ketiga tanggal 20,
membicarakan agenda badan penolong keluarga korban perang, satu di antaranya
adalah pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 22 Agustus 1945
diselenggarakan sidang PPKI keempat. Sidang ini membicarakan pembentukan
Komite Nasional Partai Nasional Indonesia. Setelah selesai sidang keempat ini,
maka PPKI secara tidak langsung bubar, dan para anggotanya menjadi bagian
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Anggota KNIP ditambah dengan pimpinan-
pimpinan rakyat dari semua golongan atau aliran dari lapisan masyarakat Indonesia.

Pada masa awal bangsa Indonesia setelah memproklamasikan kemerdekaannya


mengalami berbagai macam gangguan terutama dalam upaya untuk
mempertahankan kemerdekaannya. Pada masa ini kolonialisme Belanda berupaya
untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia dengan membonceng tentara
Sekutu. Selain itu juga telah terjadi berbagai macam pembrontakan yang bersumber
pada pertentangan ideologi yang ingin mengubah negara kesatuan Republik
Indonesia dengan ideoiogi lainnya antara lain pembrontakan PKI di Madiun tahun
1948, PRRI Permesta, DII/TII dan lain sebagainya.

Sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 belum dapat dilaksanakan. Pada


waktu ini dibentuklah DPA sementara sedangan DPR dan MPR belum dapat
dibentuk karena harus melalui Pemilu. Waktu itu masih diberlakukan pasal Aturan
Peralihan pasal IV yang menyatakan sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut
Undang-Undang Dasar, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan
sebuah komite nasional".

Pada saat itu terjadilah suatu perkembangan ketatanegaraan Indonesia yaitu (1)
berubahnya fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat dari pembantu Presiden
menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis
besar haluan negara. Hal ini berdadsarkan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal
16 Oktober 1945. Selain itu dikeluarkan juga Maklumat Pemerintah tanggal 14
Nopember 1945. yang isinya perubahan sistem pemerintahan negara dari sistem
Kabinet Presidensial menjadi sistem Kabinet Parlementer, berdasarkan usul Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Akibat perubahan tersebut
pemerintahan menjadi tidak stabil. Perdana menteri hanya mampu bertahan
beberapa bulan serta berulang kali terjadi pergantian.

Tanggal 3 November 1945 dikeluarkan juga suatu maklumat yang ditanda tangani
oleh wakil presiden yang isinya tentang pembentukan partai partai politik. Hal ini
14
bertujuan agar berbagai aliran yang ada dalam masyarakat dapat diarahkan kepada
peduangan untuk memperkuat mepertahan kemerdekaan dengan persatuan dan
kesatuan.

Sejak tanggal 14 Nopember 1945 kekuasaan pemerintah (eksekutit) dipegang oleh


Perdana Menteri sebagai pimpinan kabinet. Secara bersama sama atau sendiri-
sendiri. Perdana Menteri atau para Menteri itu bertanggung jawab kepada KNIP.
yang berfungsi sebagai DPR dan tidak bertanggung jawab kepada Presiden
sebagaimana dikehendaki oleh UUD 1945. Hal ini berakibat kepada semakin tidak
stabiInya negara Republik Indonesia baik di bidang politik, ekonomi, pemerintahan
maupun keamanan.

Semangat ideologi liberal itu kemudian memuncak dengan dibentuknya negara


federal yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat dengan berdasar pada
Konstitusi RIS. pada tanggal 27 Desember 1941. Konstitusi RIS tersebut sebagai
hasil kesepakatan Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag negeri Belanda.
Syukurlah konstitusi itu tidak berlangsung lama dan bangsa Indonesia kembali
bersatu pada tahun 1950.

Dalam RIS tersebut masih terdapat negara bagian Republik Indonesia yang beribu
kota di Yogyakarta, kemudian terjadilah suatu persetujuan antara negara RI
Yogyakarta dengan negara RIS yang akhirnya untuk kembali, membentuk, negara
kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Undang-Undang Dasar
Sementara sejak 17 Agustus 1950. Isi UUDS ini berbeda dengan UUD 1945
terutama dalam sistem pemerintahan negara yaitu menganut sistem Parlementer,
sedangkan UUD 1945 terutama dalam sistem pemerintahan negara yaitu menganut
sistem Presidensial.

Pada bulan September 1955, dan Desember 1955 diadakan Pemilihan umum, yang
masing-masing untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Konstituante. Tugas konstituante adalah untuk membentuk menyusun Undang-
Undang Dasar yang tetap sebagai pengganti UUDS 1950 sebagai berikut:
1. Untuk mengambil putusan tentang Rancangan Undang-Undang Dasar baru
sekurang kurangnya 2/3 jumlah anggota konstituate harus hadir.
2. Rancangan tersebut diterima jika disetujui oleh sekurang-kurang 2/3 dari jumlah
anggota yang hadir.
3. Rancangan yang telah diterima oleh Konstituante dikirimkan kepada Presiden
untuk disakan oleh Pemerintah.
4. Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengan segera serta
mengumumkan Undang-Undang Dasar itu dengan keluhuran.

Dalam kenyataannya Konstituante selama dua tahun bersidang belum mampu


menghasilkan suatu kesepakatan tentang Undang-Undang Dasar yang baru. Hal ini
dikarenakan dalam sidang Konstituante muncullah suatu usul untuk mengembalikan
Piagam Jakarta dalam Pembukaan UUD baru. Oleh karena itu presiden pada
tanggal 22 April 1959 memnyampaikan pidatonya di depan sidang Dewan
Konstituante untuk kembali kepada UUD 1945 dan hal ini diperkuat dengan suatu
alasan bahwa sidang Konstituante telah mengalami jalan buntu, terutama setelah
lebih dari separuh anggota Dewan Konstituante menyatakan untuk tidak akan
menghadiri sidang lagi.
Atas dasar kenyataan tersebut maka Presiden mengeluarkan Dekrit yang
didasarkan pada suatu hukum darurat negara. Hal ini mengingat keadaan
15
ketatanegaraan yang membahayakan kesatuan persatuan keselamatan serta
keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959:


1. Menetapkan pembubaran Konstituante.
2. Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal
penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara
1950.
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas
Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan, serta Dewan Pertimbangan Agung
Sementara. akan diselengggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Dekrit itu diumumkan oleh Presiden dari Istana Merdeka di hadapan rakyat pada
tanggal 5 Juli 1959. pada hari Minggu pukul 17.00. Dekrit tersebut termuat dalam
Keputusan Presiden No. 150 tahun 1959 dan diumumkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia No.75 tahun 1959

D. Pancasila Era Orde Lama

Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu maka UUD 1945 berlaku
kembali di negara Republik Indonesia. Sekalipun UUD 1945 secara yuridis formal
sebagai hukum dasar tertulis yang berlaku di Indonesia namun realisasi
ketatanegaraan Indonesia tidak melaksanakan makna dari UUD 1945 itu sendiri.
Sejak itu mulailah kekuasaan Orde Lama berjalan yang secara ideologis terlihat
adanya berbagai macam penyimpangan ideologi yang dituangkan dalam berbagai
bidang kebijaksanaan dalam negara. Dikukuhkannya ideologi Nasakom, di
paksakannya doktrin negara dalam keadaan revolusi. Oleh karena revolusi adalah
permanen maka Presiden sebagai kepala negara yang sekaligus juga sebagai
pemimpin besar revolusi diangkat menjadi pemimpin besar revolusi, sehingga
Presiden masa jabatannya juga seumur hidup. Penyimpangan ideologi maupun
konstitusional ini berakibat pada penyimpangan-penyimpangan konstitusional
lainnya sebagai berikut.
1. Demokrasi Indonesia diarahkan menjadi demokrasi terpimpin yang dipimpin oleh
Presiden. sehingga praktis bersifat otoriter, pada hal sebenarnya di negara
Indonesia berdasarkan Pancasila yang berasaskan kerakyataan sehingga
seharusnya rakyat sebagai pemegang serta asal mula kekuasaan Negara,
demikian juga sebagaimana tercantun dalam UUD 1945.
2. Oleh karena Presiden merupakan pemimpin besar revolusi maka memiliki
wewenang yang melebihi sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang Dasar
1945 yaitu mengeluarkan produk hukum yang setingkat dengan Undang-Undang
tanpa melalui persetujuan DPR dalam bentuk penetapan Presiden.
3. Dalam tahun 1960 karena DPR tidak dapat menyetujui Rancangan Pendapatan
dan Belanja Negara yang diajukan oleh Pemerintah kemudian Presiden waktu itu
membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan kemudian membentuk DPR Gotong
Royong. Hal ini jelas-jelas sebagai pelanggaran konstitusional yaitu kekuasaan
eksekutif di atas kekuasaan legistatif.
4. Pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi negara dijadikan menteri negara, yang
berarti sebagai pembantu Presiden.
Selain penyimpangan-penyimpangan tersebut masih banyak penyimpangan-
penyimpangan dalam pelaksanaan ketatanegaman yang seharusnya berdasarkan
16
pada UUD 1945. Karena pelaksanaan yang inskonstitusional itulah maka berakibat
pada ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, terutama dalam bidang
keamanan. Puncak dari kekuasaan Orde Lama tersebut ditandai dengan
pemberontakan G.30.S.PKI. Syukur Alhamduliliah pembrontakan itu dapat
digagalkan oleh rakyat Indonesia terutama oleh generasi muda.
Dengan dipelopori oleh pemuda, pelajar dan mahasiswa rakyat Indonesia
menyampaikan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) yang meliputi:
1. Bubarkan PKI.
2. Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI.
3. Turunkan harga/perbaikan ekonomi.

Gelombang gerakan rakyat semakin besar. sehingga Presiden tidak mampu lagi
mengendalikannya maka keluarlah Surat Perintah 11 Maret 1966 yang memberikan
wewenang kepada Letnan Jendral Soeharto untuk mengambil langkah-langkah
dalam mengembalikan keamanan negara. Sejak peristiwa inilah sejarah
ketatanegaraan Indonesia dikuasai oleh kekuasaan Orde Baru (Darmodihardjo.
1979)

E. Pancasila Era Orde Baru

Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto pada awalnya untuk mengembalikan


keadaan setelah pembrontakan PKI bertekad untuk mempelopori pembangunan
nasional Indonesia sehingga Orde Baru juga sering diistilahkan dengan Orde
Pembangunan. Untuk itu MPRS mengeluarkan berbagai macam keputusan penting
antara lain sebagai berikut.
1. Tap MPRS No.XII/MPRS/1966 tentang kabinet Ampera,yang isinya
menyatakan agar Presiden menugasi pengemban super Semar yakni Jendral
Soeharto, untuk segera membentuk Kabinet Ampera.
2. Tap MPRS No. XVIII/MPRS/1966 yang dengan pemintaan maaf. menarik kembali
pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi menjadi Presiden seumur hidup.
3. Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai sumber
tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan.
4. Tap MPRS No. XXl/MPRS/1966 mengenal penyederhanaan kepartaian,
keormasan dan kekaryaan..
5. Tap. MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia
dan pernyataan tentang partai tersebut sebagai partai terlarang diseluruh wilayah
negara indonesia dan larangan pada setiap kegiatan untuk menyebar luaskan
atau mengembangkan faham ajaran komunisme/Marxisme Leninisme.

Pada saat itu bangsa lndonesia dalam keadaan yang. tidak menentu baik yang
menyangkut bidang pofitik. ekonomi maupun keamanan. Dalam keadaan yang
demikian inilah pada bulan Februari 1967 DPRGR mengeluarkan suatu resolusi
yaitu meminta MPR(S) agar mengadakan sidang istimewa untuk meminta
pertangung iawaban Presiden. Menanggapi resolusi DPRGR inilah maka MPRS
kemudian mengadakan sidang istimewa pada bulan Maret 1967. Sidang Istimewa
tersebut mengambil suatu keputusan sebagai berikut.
1. Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggung jawaban
konstitusional dan tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPR(S)
sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap MPR(S).
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
2. Sidang menetapkan berlakunya Tap. No. XV/MPR.S/1966 tentang
pemilihan/penunjukan Presiden dan wakil Presiden serta tata cara pengangkatan
17
Pejabat Presiden Jendral Soeharto. Pengembangan TAP MPRS
NoIX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-
Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilihan Umum.

Pada masa awal kekuasaan Orde Baru berupaya untuk memperbaiki nasib bangsa
dalam berbagai bidang antara lain dalam bidang politik ekonomi sosial budaya
maupun keamanan Dalam kaitan dengan itu di bidang, politik dilaksanakanlah
pemilu yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 1969 tentang
Pemilihan Umum. Undang-Undang No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Pemusyawaratan Rakyat. Dengan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.

Atas dasar ketentuan undang-undang tersebut kemudian pemerintah Orde Baru


berhasil mengadakan Pemilu pertama. Dengan hasil pemilu pertama tersebut
pemerintah bertekad untuk memperbaiki nasib bangsa Indonesia. Pada awalnya
bangsa Indonesia memang, merasakan atas perubahan peningkatan nasib bangsa
dalam berbagai bidang melalui suatu program negara yang, dituangkan dalam
GBHN yang disebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Hal ini wajar dirasakan oleh
bangsa Indonesia karena sejak tahun 1945 setelah kemerdekaan nasib bangsa
Indonesia senantiasa dalam kesulitan dan kemiskinan.

Di era ini arah pemahaman terhadap Pancasila mulai diperbaiki. Pada peringatan
hari lahir Pancasila 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan Pancasila telah
banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan
Pancasila. Lebih lanjut Soeharto mengatakan Pancasila bukan hanya semboyan
untuk dikumandangkan, dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila
harus diamalkan (Setiardja, 1994:5). Selanjutnya pada tahun 1968 Soeharto
mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang menjadi panduan
dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu :
Satu : Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Dua : Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tiga : Persatuan Indonesia
Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan
Lima : Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selanjutnya pada tanggal 22 Maret 1978 ditetapkan ketetapan (disingkat TAP) MPR
Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetya Pancakarsa) yang populer disingkat dengan P4, salah satu pasalnya
tepatnya pasal 4 menjelaskan, P4 merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara
Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan
lembaga kemasyarakatan, baik pusat maupun di daerah dan dilaksanakan secara
bulat dan utuh. Adapun nilai dan norma yang terkandung dalam P4 berdasarkan
ketetapan tersebut meliputi 36 butir.

A. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa


1. Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
2. Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-
penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
18
3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama
dan kepercayaannya.
4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

B. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab


1. Mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban
antara sesama manusia.
2. Saling mencintai sesama manusia.
3. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
6. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
7. Berani membela kebenaran dan keadilan.
8. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia,
karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan
bangsa lain.

 C. Sila Persatuan Indonesia


1. Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa
dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
2. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
3. Cinta Tanah Air dan Bangsa.
4. Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia.
5. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika.

D. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam


Permusyawaratan / Perwakilan
1. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan.
5. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan
hasil musyawarah.
6. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang
luhur.
7. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

E. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia


1. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap
dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong.
2. Bersikap adil.
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Menghormati hak-hak orang lain.
5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
6. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
7. Tidak bersifat boros.
8. Tidak bergaya hidup mewah.
9. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
19
Namun demikian lambat laun program-program Negara bukannya diperuntukkan
kepada rakyat melainkan demi kekuasaan. Mulailah ambisi kekuasaan orde baru
menjalar keseluruh sendi-sendi kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Kekuasaan
Orde Baru Menjadi otoritor namun seakan-akan dilaksanakan secara demokratis.
Penafsiran dan penuangan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 tidak
dilaksanakan sesuai dengan amanat sebagaimana tertuang dan terkandung dalam
Undang-Undang Dasar tersebut melainkan dimanipulasikan demi kekuasaan.
Bahkan Pancasila pun diperalat demi legitimasi kekuasaan dan tindakan Presiden.
Hal ini terbukti dengan adanya ketetapan N4PR No. II/MPR/1978. tentang P4 yang
dalam kenyataanya sebagai media untuk propaganda kekuasaan Orde Baru.

Realisasi UUD 1945 praktis lebih banyak memberikan porsi atas kekuasaan
Presiden, walaupun sebenarnya UUD 1945 tidak mengamanatkan demikian. Bahkan
secara tidak langsung kekuasaan legislatif di bawah kekuasaan Presiden. Hal ini
secara politis di dituangkan dalam mekanisme peraturan perundan-undangan
terutama yang, menyangkut pemilihan, pengangkatan serta susunan keanggotaan
MP, DPR, DPRD serta pelaksanaan Pemilu. Prkatek ini telah dilaksanakan oleh
penguasa Orde Baru yang dituangkan kedalam peraturan perundang-undangan
sebagai berikut: UU Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU.
No.16/1969 jo UU No.5/1975 dan UU RI. No.2/1985). UU. Tentang Partai Politik dan
Golongan Karya (UU No.31/1975, jo. UU. No.3/ 985). UU. Tentang Pemilihan Umum
(UU No. 15/1969 jo UU. No.2/1980. dan UU. No. 1/1985).

Dengan Undang-undang Politik sebagaimana tersebut di atas maka praktis secara


politis kekuasaan legislatif di bawah Presiden. Terlebih lagi oleh karena sistem polilik
yang demikian maka hak asasi rakyat dibatasi bahkan ditekan demi kekuasaan,
sehingga amanat sehagaimana tentang dalam Pasal 28 UUD 1945 tidak
direalisasikan secara konsekuen. Oleh karena kekuasaan politik Orde Baru di
Bawah Soeharto semakin sulit untuk dikontrol, kemudian tatkala terjadi krisis
ekonomi khususnya di Asia Tenggara. maka di Indonesia krisis ekonomi tersebut
berkembang menjadi krisis kepercavaan berikutnya menjalar kepada krisis politik.
Atas dasar kenyataan penyimpangan ketatanegaraan secara politis tersebut maka
generasi muda di bawah pelopor garda terdepan mahasiswa mengadakan Gerakan
Reformasi untuk mengembalikan dan menata negara kearah tatanan negara yang
demokratis.

D. Pancasila Era Reformasi

Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin
besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan
Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang
dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.

Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998
yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan
mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar
dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri
dari jabatannya.

1. Krisis politik

20
Pemerintah orde baru, meskipun mampu mengangkat Indonesia dari keterpurukan
ekonomi dan memberikan kemajuan, gagal dalam membina kehidupan politik yang
demokratis, terbuka, adil, dan jujur. Pemerintah bersikap otoriter, tertutup, dan
personal. Masyarakat yang memberikan kritik sangat mudah dituduh sebagai anti-
pemerintah, menghina kepala negara, anti-Pancasila, dan subversive. Akibatnya,
kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis tidak pernah terwujud dan
Golkar yang menjadi partai terbesar pada masa itu diperalat oleh pemerintah orde
baru untuk mengamankan kehendak penguasa.

Praktik KKN merebak di tubuh pemerintahan dan tidak mampu dicegah karena
banyak pejabat orba yang berada di dalamnya. Dan anggota MPR/DPR tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik dan benar karena keanggotaannya ditentukan
dan mendapat restu dari penguasa, sehingga banyak anggota yang bersikap ABS
daripada kritis.

Sikap yang otoriter, tertutup, tidak demokratis, serta merebaknya KKN menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat. Gejala ini terlihat pada pemilu 1992 ketika suara
Golkar berkurang cukup banyak. Sejak 1996, ketidakpuasan masyarakat terhadap
orba mulai terbuka. Muncul tokoh vokal Amien Rais serta munculnya gerakan
mahasiswa semakin memperbesar keberanian masyarakat untuk melakukan kritik
terhadap pemerintahan orba.

Masalah dwifungsi ABRI, KKN, praktik monopoli serta 5 paket UU politik adalah
masalah yang menjadi sorotan tajam para mahasiswa pada saat itu. Apalagi setelah
Soeharto terpilih lagi sebagai Presiden RI 1998-2003, suara menentangnya makin
meluas dimana-mana. Puncak perjuangan para mahasiswa terjadi ketika berhasil
menduduki gedung MPR/DPR pada bulan Mei 1998. Karena tekanan yang luar
biasa dari para mahasiswa, tanggal 21 Mei 1998 Presiden menyatakan berhenti dan
diganti oleh wakilnya BJ Habibie.

2. Krisis ekonomi

Krisis moneter yang menimpa dunia dan Asia Tenggara telah merembet ke
Indonesia, sejak Juli 1997, Indonesia mulai terkena krisis tersebut. Nilai rupiah
terhadap dollar Amerika terus menurun. Akibat krisis tersebut, banyak perusahaan
ditutup, sehingga banyak pengangguran dimana-mana, jumlah kemiskinan
bertambah. Selain itu, daya beli menjadi rendah dan sulit mencari bahan-bahan
kebutuhan pokok.

Sejalan dengan itu, pemerintah melikuidasi bank-bank yang bermasalah serta


mengeluarkan KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) untuk menyehatkan bank-
bank yang ada di bawah pembinaan BPPN. Dalam praktiknya, terjadi manipulasi
besar-besaran dalam KLBI sehingga pemerintah harus menanggung beban
keuangan yang semakin besar. Selain itu, kepercayaan dunia internasional semakin
berkurang sejalan dengan banyaknya perusahaan swasta yang tak mampu
membayar utang luar negeri yang telah jatuh tempo. Untuk mengatasinya,
pemerintah membentuk tim ekonomi untuk membicarakan utang-utang swasta yang
telah jatuh tempo. Sementara itu, beban kehidupan masyarakat makin berat ketika
pemerintah tanggal 12 Mei 1998 mengumumkan kenaikan BBM dan ongkos
angkutan. Dengan itu, barang kebutuhan ikut naik dan masyarakat semakin sulit
memenuhi kebutuhan hidup.

21
3. Krisis sosial

Krisis politik dan ekonomi mendorong munculnya krisis dalam bidang sosial.
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah serta krisis ekonomi yang ada
mendorong munculnya perilaku yang negatif dalam masyarakat. Misalnya:
perkelahian antara pelajar, budaya menghujat, narkoba, kerusuhan sosial di
Kalimantan Barat, pembantaian dengan isu dukun santet di Banyuwangi dan
Boyolali serta kerusuhan 13-14 Mei 1998 yang terjadi di Jakarta dan Solo.

Akibat kerusuhan di Jakarta dan Solo tanggal 13, 14, dan 15 Mei 1998,
perekonomian kedua kota tersebut lumpuh untuk beberapa waktu karena banyak
swalayan, pertokoan, pabrik dibakar, dirusak dan dijarah massa. Hal tersebut
menyebabkan angka pengangguran membengkak. Beban masyarakat semakin
berat serta tidak ada kepastian tentang kapan berakhirnya krisis tersebut sehingga
menyebabkan masyarakat frustasi. Kondisi tersebut membahayakan karena mudah
diadu domba, mudah marah, dan mudah dihasut untuk melakukan tindakan anarkis.

Pemerintahan orde baru jatuh dan muncul era reformasi. Namun reformasi dan
keterbukaan tidak diikuti dengan suasana tenang, aman, dan tentram dalam
kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Konflik antar kelompok etnis bermunculan di
berbagai daerah seperti Kalimantan Barat. Konflik tersebut dilatarbelakangi oleh
masalah-masalah sosial, ekonomi dan agama. Rakyat sulit membedakan apakah
sang pejabat bertindak sebagai eksekutif atau pimpinan partai politik karena adanya
perangkapan jabatan yang membuat pejabat bersangkutan tidak dapat
berkonsentrasi penuh pada jabatan publik yang diembannya.

Banyak kasus muncul ke permukaan yang berkaitan dengan pemberian batas yang
tegas pada teritorial masing-masing wilayah, seperti penerapan otonomi
pengelolaan wilayah pengairan. Pemerintah tidak lagi otoriter dan terjadi
demokratisasi di bidang politik (misalnya: munculnya parpol-parpol baru), ekonomi
(misalnya: munculnya badan-badan umum milik swasta, tidak lagi melulu milik
negara), dan sosial (misalnya: rakyat berhak memberikan tanggapan dan kritik
terhadap pemerintah). Peranan militer di dalam bidang politik pemerintahan terus
dikurangi (sejak 2004, wakil militer di MPR/DPR dihapus).

Setelah Orde Baru bisa dilumpuhkan dengan kekuatan mahasiswa, seakan hawa
segar arus demokrasi di Indonesia mulai membuka lembaran baru. Tuntutan
terhadap reformasi pemerintahan ini tentu saja dari ketidakpuasan rakyat dengan
pemerintah sebelumnya. Seperti terpasungnya kebebasan pers dan berpendapat,
tidak berjalannya sistem DPR-MPR secara baik, adanya dominasi kekuatan militer,
praktek KKN yang merajalela dalam tubuh pemerintah, dan yang paling mendesak
ketika itu adalah tuntutan pemulihan perekonomian negara saat terjadinya krisis
moneter. Tuntutan itu akhirnya dapat terwujud dengan pengunduran diri Presiden
Soeharto dari kursi pemerintahan pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian
digantikan oleh BJ. Habibie. Meskipun sempat terjadi penolakan dari sebagian
mahasiswa dengan dipilihnya BJ. Habibie sebagai presiden yang menggantikan
Soeharto dengan dalih BJ. Habibie juga bagian dari rezim Orde Baru, tapi pelantikan
presiden BJ Habibie tetap dilaksanakan.

Wajah baru Indonesia telah terwujud. Kebebasan pers, berpendapat maupun


berpolitik layaknya air terjun yang mengalir deras. Sistem Demokrasi Terpimpin yang
diterapkan pada Orde Lama dan Demokrasi Pancasila pada Orde Baru sudah
22
tergantikan dengan sistem Demokrasi baru yang bercermin kepada Barat. Hal ini
tentu saja ditanggapi baik dan didukung sekali oleh elemen-elemen Barat. Karena
sitem Demokrasi yang baru itu sudah terpengaruh dengan budaya pola hidup serta
pola pikir Barat.

Negara Indonesia yang bisa dikatakan berumur sangat dini di tahun 1998, memang
sangat berani melakukan reformasi sistem pemerintahan. Perjuangan reformasi ini
ternyata tidak sia-sia begitu saja. Di mana sekarang rakyat Indonesia bisa
merasakan kebebasan-kebebasan yang sekian lama terkekang. Mungkin itu adalah
salah satu catatan indah dalam sejarah pemerintahan Indonesia.

Awal keberhasilan gerakan reformasi tersebut adalah ditandai dengan mundurnya


presiden Soeharto dari kekuasaan kepresidenan dan diganti oleh Wakil Presiden
Prof. Dr. Bj. Habibie pada tanggal 21 Mei 1998. Pemerintahan Habibie inilah yang
merupakan Pemerintahan Transisi yang akan membawa bangsa Indonesia untuk
melakukan reformasi secara menyeluruh terutama menata ketatanegaraan
Indonesia sesuai dengan UUD 1945. Bangsa Indonesia menilai bahwa
penyimpangan atas makna UUD 1945 yang telah dilakukan oleh pemerintahan Orde
Baru selain karena moral penguasa Negara, juga terdapat berbagai kelemahan yang
terkandung dalam beberapa pasal UUD 1945. Oleh karena itu selain melakukan
reformasi dalam bidang politik melalui suatu mekanisme peraturan perundang-
undangan, juga dikarenakan terdapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang mudah
diinterpretasikan secara ganda (multi interpretable), sehingga bangsa Indonesia
merasa perlu untuk mengadakan amandemen terhadap beberapa pasal dalam UUD
1945.

Berbagai macam produk peraturan perundang-undangan yang telah dihasilkan,


dalam reformasi hukum antara lain UU Politik Tahun 1999, yaitu UU. No.2 tahun
1999 tentang Partai Politik, UU. No 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan UU.
No 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU
Otonomi Daerah yang meliputi UU. No.25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, UU. No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pernerintahan Pusat dan Daerah dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari KKN. Atas dasar hasil
reformasi bangsa Indonesia mampu mengadakan Pemilu pada tahun 1999, yang
kemudian mengahasilkan MPR, DPR serta DPRD yang benar-benar merupakan
hasil aspirasi rakyat secara demokratis.

Setelah Orba tumbang muncul pula fobia terhadap Pancasila. Dasar negara yaitu
Pancasila seolah untuk sementara waktu dilupakan karena dianggap hampir selalu
identik dengan rezim orde baru. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal
dan satu-satu sumber nilai dan kebenaran. Negara menjadi menjadi maha tahu
mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam kebenak
masyarakat melalui indoktrinasi (Ali, 2009:50). Namun pada hakekatnya Pancasila
sudah disepakati untuk menjadi dasar negara Republik Indonesia dan ini secara
normatif tercantum dalam TAP MPR Nomor XVIII/MPR/1998 pasal 1 menyebutkan
bahwa “Pancasila sebagaimana yang dimaksud dalam pembukaan UUD 1945
adalah dasar negara dari negara kesatuan Republik indonesia harus dilaksanakan
secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (MD, 2011). Ketetapan ini terus
dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia akan menghadapi amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.

23
Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber
hukum yang ditetapkan dalam TAP MPR Nomor III/MPR/2000 pasal 1 ayat (3) yang
menyebutkan, “Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang
tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan
batang tubuh UUD 1945.

24
BAB V
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia mempunyai implikasi bahwa


Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan
secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai
dasar negara (Suhadi, 1998). Cita-cita hukum atau suasana kebatinan tersebut
terangkum di dalam empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
di mana keempatnya sama hakikatnya dengan Pancasila. Empat pokok pikiran
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut lebih lanjut terjelma ke dalam
pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945. Barulah dari pasal-pasal Undang-Undang
Dasar 1945 itu diuraikan lagi ke dalam banyak peraturan perundang-undangan
lainnya, seperti misalnya ketetapan MPR, undang-undang, peraturan pemerintah
dan lain sebagainya.

Pancasila dalam kedudukan ini sering disebut sebagai Dasar Filsafat atau Dasar
Falsafah Negara (Philosofische Grondslag) atau (staatsidee), dalam pengertian ini
Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan
negara atau dengan kata lain Pancasila merupakan suatu dasar untuk mengatur
penyelenggaraan negara. Konsekuensinya seluruh pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara terutama segala peraturan perundang-undangan
termasuk proses reformasi dalam segala bidang dewasa ini, dijabarkan dari nilai-
nilai Pancasila. Maka Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Pancasila merupakan sumber kaidah hukum negara yang secara konstitusional
mengatur Negara Republik Indonesia beserta seluruh unsur-unsurnya, yaitu rakyat,
wilayah, serta pemerintahan negara.

Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang meliputi
suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai,
norma serta kaidah baik moral maupun hukum negara, dan menguasai hukum dasar
baik yang tertulis (Undang-Undang Dasar), maupun yang tidak tertulis (convensi).
Dalam kedudukannya sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai kekuatan
mengikat secara hukum.

Sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai sumber tertib hukum atau
sebagai sumber tertib hukum Indonesia maka Pancasila tercantum dalam ketentuan
tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945, kemudian dijelmakan atau dijabarkan lebih
lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945,
dan pada akhirnya dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945, serta hukum positif
lainnya. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara tersebut dapat dirinci sebagai
berikut :
a. Pancasila sebagai dasar negara adalah merupakan sumber dari segala sumber
hukum (sumber tertib hukum) Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan
asas kerohanian tertib hukum Indonesia yang dalam Pembukaan UUD 1945
dijelmakan lebih lanjut kedalam empat pokok pikiran.
b. Meliputi suasana kebatinan (Geistlichenhintergrund) dari Undang-Undang
Dasar 1945.
c. Mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara (baik hukum dasar tertulis
maupun tidak tertulis), mengandung norma yang mengharuskan Undang-Undang
Dasar mengandung perintah yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain
penyelenggara negara (termasuk para penyelenggara partai dan golongan
25
fungsional) untuk memelihara budi pekerti (moral) kemanusiaan yang luhur dan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Hal ini sebagaimana
tercantum dalam pokok pikiran keempat yang bunyinya sebagai
berikut :”……..Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”
d. Merupakan semangat bagi Undang-Undang Dasar 1945, bagi penyelenggara
negara, para pelaksana pemerintah (juga para penyelenggara partai dan
golongan fungsional). Hal ini dapat dipahami karena semangat adalah penting
bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, karena masyarakat dan negara
Indonesia senantiasa tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan
zaman dan dinamika masyarakat. Dengan semangat yang bersumber pada asas
kerohanian negara sebagai andangan hidup bangsa, maka dinamika masyarakat
dan negara akan tetap diliputi dan diarahkan asas kerohanian negara.

Dasar formal kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia


tersimpul dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang bunyinya sebagai
berikut :”….maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia”.

Pengertian kata “…..dengan berdasar kepada….” hal ini secara yuridis memiliki
makna sebagai dasar negara. Walaupun dalam kalimat terakhir dalam pembukaan
UUD 1945 tidak tercantum kata ‘Pancasila’ secara eksplisit namun anak kalimat
“….dengan berdasar kepada…” ini memiliki makna dasar negara adalah Pancasila.
Hal ini di dasarkan atas interprestasi historis sebagai mana telah di tentukan oleh
BPUPKI bahwa dasar negara Indonesia itu disebut dengan istilah Pancasila.

Sebagaimana telah di tentukan oleh pembentuk negara bahwa tujuan utama telah
dirumuskanya Pancasila adalah sebagai dasar negara Republik Indonesia. Oleh
karna itu fungsi pokok Pancasila adalah sebagai dasar negara Repoblik Indonesia.
Hal ini sesuai dengan dasar yuridis sebagai mana tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945, ketetapan No.XX/MPRS/1966.(Jo.Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan
Ketetapan No.IX/MPR/1978). Dijelaskan bahwa Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum, atau sumber tertib hukum Indonesia yang pada hakikatnya
adalah merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta
cita-cita moral yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia.
Selanjutnya dikatakannya bahwa cita-cita tersebut adalah meliputi cita-cita
mengenai kemerdekaan Individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan
sosial, perdamaian nasional dan mondial, cita-cita politik mengenai sifat, bentuk dan
tujuan negara, cita-cita moral mengenai kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan
sebagai pengejawantahan dari budi nurani manusia.

Dalam proses reformasi dewasa ini MPR melalui sidang Istimewa tahun 1998,
mengembalikan kedudukan pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
yang tertuang dalam Tap. No.XVIII/MPR/1998, oleh karena itu segala agenda dalam
proses reformasi yang meliputi berbagai bidang selain mendasarkan pada
kenyataan aspirasi rakyat (sila IV) juga harus mendasarkan pada nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Reformasi tidak mungkin menyimpang dari nilai
26
KeTuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, serta keadilan, bahkan harus
bersumber kepadanya.

A. Hubungan Antara Pernbukaan UUD 1945 Dengan Batang Tubuh Undang-


Undang Dasar 1945

Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa Pokok Pikiran itu meliputi suasana
kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia serta
mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum
dasar tertulis (UUD) dan hukum dasar tidak tertulis (convensi), sedangkan Pokok
Pikiran itu dijelmakan dalam pasal-pasal UUD 1945. Maka dapatlah disimpulkan
bahwa suasana kebatinan Undang-Undang Dasar 1945 tidak lain adalah bersumber
atau dijiwai oleh dasar filsafat negara Pancasila yang merupakan inti dari
Pembukaan UUD 1945. Disinilah arti dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara
Republik Indonesia.

Selanjutnya dapat disimpulkan juga bahwa pembukaan UUD 1945 mempunyai


fungsi atau hubungan langsung dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini sesuai
dengan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, karena Pokok Pikiran yang
dijelmakan pada pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu terkandung dalam
pembukaan UUD 1945.

Demikian juga dengan tetap menyadari keagungan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dan dengan memperhatikan hubungan antara Pembukaan UUD 1945
dengan Batang Tubuhnya itu sendiri, maka dapatlah disimpulkan bahwa Pembukaan
UUD 1945 yang memuat Pancasila Dasar Filsafat Negara, dengan Undang-Undang
Dasar 1945 ( batang tubuhnya ) adalah satu kesatuan. Walaupun dapat dipisahkan,
namun merupakan rangkaian kesatuan nilai dan norma yang terpadu. Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya terkandung Pokok-pokok Pikiran
Persatuan Indonesia, Keadilan sosial, Kedaulatan Rakyat berdasarkan atas
Permusyawaratan/Perwakilan, serta KeTuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang inti sarinya merupakan penjelmaan dari
filsafat Pancasila. Adapun Pancasila itu sendiri memancarkan nilai-nilai luhur yang
telah mampu memberikan semangat kepada UUD 1945.

B. Hubungan Antara Pancasila dengan Pembukaan UUD 1945

Perlu dijelaskan lagi bahwa inti dari Pembukaan UUD 1945 pada hakikatnya
terdapat dalam alinea IV, sebab segala aspek penyelenggaraan pemerintahan
negara yang berdasarkan Pancasila terdapat dalam Pembukaan alinea IV. Oleh
karena itu justru dalam Pembukaan itulah secara yuridis formal Pancasila ditetapkan
sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia. Maka hubungan antara
Pembukaan UUD 1945 adalah bersifat timbal balik yakni sebagai berikut:

1. Hubungan Secara Formal

Dengan dicantumkannya Pancasila secara formal di dalam Pembukaan UUD 1945,


maka Pancasila memperoleh kedudukan sebagai norma dasar hukum positif,
dengan demikian tata kehidupan bernegara tidak hanya bertopang pada asas-asas
sosial, ekonomi, politik akan tetapi dalam perpaduannya dengan keseluruhan asas
yang melekat padanya, yaitu perpaduan asas-asas kultural, religius dan asas-asas
kenegaraan yang unsurnya terdapat dalam Pancasila. Jadi berdasarkan tempat
27
terdapatnya Pancasila secara formal dapat disimpulkan rumusan Pancasila sebagai
Dasar Negara Republik Indonesia adalah seperti yang tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945 alinia IV. Dan sebaliknya Pancasila yang berfungsi sebagai falsafah
bangsa yang rumusannya terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 menjiwai dari
pada Pembukaan UUD 1945.

2. Hubungan Secara Material

Hubungan Pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila selain hubungan yang bersifat
formal, sebagaimana dijelaskan di atas juga mempunyai hubungan secara material
sebagai adalah berikut : “Bilamana kita tinjau kembali proses perumusan Pancasila
dan Pembukaan UUD 1945, maka secara kronologis materi yang dibahas oleh
BPUPKI yang pertama-tama adalah dasar filsafat Pancasila, baru kemudian
Pembukaan UUD 1945. Setelah pada sidang pertama BPUPKI membicarakan dasar
filsafat negara Pancasila, berikutnya adalah membicarakan Pembukaan UUD 1945
(Preambul), yang disusun oleh Panitia 9 yang hasilnya terkenal dengan sebutan
Piagam Jakarta.

Jadi berdasarkan urut-urutan tertib hukum Indonesia, Pembukaan UUD 1945 adalah
sebagai tertib hukum yang tertinggi, adapun tertib hukum Indonesia bersumberkan
pada Pancasila, atau dengan kata lain Pancasila sebagai sumber tertib hukum
Indonesia. Hal ini berarti secara material tertib hukum Indonesia dijabarkan dari nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila sebagal sumber tertib hukum
Indonesia meliputi sumber nilai, sumber materi, sumber bentuk dan sifat.

Selain itu dalam hubungannya dengan hakikat dan kedudukan Pembukaan UUD
1945 sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental, maka sebenarnya secara
material yang merupakan esensial atau inti sari dari Pokok Kaidah Negara yang
Fundamental tersebut tidak lain adalah Pancasila (Notonagoro, tanpa tahun : 40).

C. Penjabaran Pancasila dalam Batang Tubuh UUD RI Tahun 1945

Menurut penjelasan resmi Pembukaan UUD 1945, bahwa Pembukaan UUD 1945
yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila mempunyai fungsi atau hubungan
langsung dengan UUD 1945, ialah Pembukaan UUD 1945 mengandung pokok-
pokok pikiran yang diciptakan, dijelmakan dalam Batang Tubuh Undang-Undang
Dasar 1945 dalam pasal-pasalnya. Dalam penjelasan resmi Pembukaan UUD 1945,
empat pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu sebagai
berkut :
1. Pokok Pikiran Pertama :

“Negara”.. begitu bunyinya.. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh


tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Pokok pikiran ini menegaskan bahwa dalam 'Pembukaan' diterima aliran
pengertian negara persatuan. Negara yang melindungi dan meliputi segenap
bangsa dan wilayah seluruhnya. Jadi negara mengatasi segala faham golongan,
mengatasi segala faham perorangan, negara menurut pengertian Pembukaan
UUD 1945 tersebut menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia
seluruhnya. Hal ini menunjukkan pokok pikiran persatuan. Dengan pengertian
yang lazim, penyelenggara negara dan setiap warga negara wajib

28
mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan ataupun
perorangan. Pokok pikiran ini merupakan penjabaran Sila Ketiga Pancasila.

2. Pokok Pikiran Pokok Pikiran Kedua

“Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat “.


Pokok pikiran ini menempatkan suatu tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai
dalam Pembukaan, dan merupakan suatu kausa finalis (sebab tujuan), sehingga
dapat menentukan jalan serta aturan-aturan mana yang harus dilaksanakan
dalam Undang-Undang Dasar untuk sampai pada tujuan itu yang didasari dengan
bekal persatuan. Ini merupakan pokok pikiran keadilan sosial yang didasarkan
pada kesadaran bahwa manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama
untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat. Pokok pikiran
ini merupakan penjabaran Sila Kelima Pancasila.

3. Pokok Pikiran Ketiga

“Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan


permusyawaratan /perwakilan “.
Pokok pikiran ini dalam 'Pembukaan' mengandung konsekuensi logis bahwa
sistem negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasarkan
atas kedaulatan rakyat dan berdasarkan permusyawaratan/perwakilan. Memang
aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia. Ini adalah pokok pikiran
kedaulatan rakyat, yang menyatakan bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pokok pikiran ini merupakan
penjabaran Sila kempat Pancasila.

4. Pokok Pikiran Keempat


“Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar
harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara
negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang
teguh cita-cita moral rakyat yang luhur“.. Pokok pikiran ini merupakan penjabaran
Sila Kesatu dan kedua Pancasila.

Pokok pikiran ini menuntut konsekuensi logis bahwa UUD mengandung isi yang
mewajibkan Pemerintah dan penyelenggara negara lainnya untuk memelihara budi
pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang
luhur, dengan berdasarkan pada nilai-nilai KeTuhanan dan nilai-nilai
Kemanusiaan. Dari keempat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 di atas
dapat diklasifikasikan menjadi dua fungsi yaitu : untuk pokok pikiran pertama,
kedua, dan ketiga merupakan fundamen politik negara, dan untuk pokok pikiran
keempat merupakan fundamen moral negara.

Antara fundamen politik dan fundamen moral selalu berhubungan secara harmonis,
dan tidak dapat dipisahkan. Fundamen moral menjiwai fundamen politik, dan
sebaliknya fundamen politik dijiwai oleh fundamen moral. Sebagai fondamen moral,
pokok pikiran keempat secara jelas menjabarkan bentuk rumusan hukum Tuhan,
hukum kodrat, dan hukum etis. Hukum Tuhan adalah aturan-aturan hidup manusia
yang bersumber dari firman Tuhan, tujuan yang ingin dicapai adalah kebahagiaan
hidup di dunia maupun di akhirat. Hukum kodrat adalah aturan hidup yang
merupakan hasil pemikiran manusia atas dasar tuntutan hati nurani yang merdeka,
29
tujuan yang hendak dicapai adalah terciptanya rasa keadilan. Sedangkan hukum etis
adalah aturan hidup bersama berdasarkan nilai baik dan buruk yang telah
disepakati bersama, tujuan yang hendak dicapai dengan hukum etis ini adalah
terciptanya tata kehidupan yang sesuai dengan peradaban yang telah disepakati
bersama.

Dalam pembahasan ini hanya akan dibahas pasal-pasal penting yang perlu
diketahui dan dikaji oleh mahasiswa. Adapun selengkapnya silakan untuk
membaca pada naskah UUD 1945 yang telah diamandemen ke 4. Undang-
Undang Dasar 1945 setelah diamandemen terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, dan 3
Pasal Aturan Peralihan serta 2 Pasal Aturan Tambahan. Adapun isi pokok batang
tubuh UUD 1945 adalah sebagai berikut :

1. Bentuk dan Kedaulatan ( Bab I UUD 1945 )

Dalam Pasal I ayat 1 UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik. Dari ketentuan pasal ini jelaslah bahwa bentuk
negara Indonesia ialah Negara kesatuan. dan bentuk Pemerintahan Indonesia
adalah Republik, dengan Presiden sebagai kepala negara yang dipilih dari dan oleh
rakyat untuk suatu jangka waktu tertentu.

Kemudian dalam Pasal I ayat 2 disebutkan bahwa “ kedaulatan adalah di tangan


rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar“.Berdasarkan UUD 1945,
rakyat mempunyai kekuasaan tertinggi, adapun dalam teknik pelaksanaannya diatur
berdasarkan ketentuan dalam pasal-pasal UUD 1945. Sebagai contoh yaitu
Presiden/dan atau Wakil Presiden dalam satu pasangan dipilih secara langsung
oleh rakyat (lihat Pasal 6A ayat 1 UUD 1945 ).

2. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) (Bab II UUD 1945)

Dalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945 menetapkan bahwa “MPR terdiri atas anggot
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan
umum, diatur lebih lanjut dengan undang-undang “. Memperhatikan susunan
keanggotaan MPR tesebut di atas, sudah tidak ada lagi anggota yang berasal dari
unsur penggangkatan sebagaimana yang pernah terjadi pada masa orde baru. Jadi
mulai masa bakti 2004/2009 semua anggota MPR dipilih oleh rakyat secara
demokratis, melalui proses pemilihan umum yang langsung, umum bebas, rahasia,
jujur dan adil. Pasal 2 ayat 2 UUD 1945 menetapkan “MPR bersidang sedikitnya
sekali dalam lima tahun di ibukota negara “Ketentuan ini menunjukkan kemungkinan
dalam hal-hal tertentu MPR dapat saja bersidang lebih dari satu kali. Sidang MPR di
luar didang lima tahunan lazimnya disebut “Sidang Istimewa“. Dalam UUD 1945
sidang di luar lima tahunan memang dimungkinkan terjadi, yaitu dalam hal
sebagaimana ketentuan dalam UUD 1945 yaitu : Pasal 7B ayat 6, Pasal 8 ayat 2
dan 3, dan Pasal 37. Pasal 2 ayat 3 UUD 1945 menetapkan “Segala putusan PMR
ditetapkan dengan suara terbanyak“.

Dalam Pasal 3 ayat 1 UUD 1945 ditetapkan “Majelis Permusyawaratan Rakyat


berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar“. Mekanisme
perubahan Undang-Undang Dasar lebih lanjut baca Pasal 37 UUD 1945. Pasal 3
ayat 3 UUD 1945 menetapkan “Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut Undang-Undang Dasar“.
30
Adapun langkah-langkah pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat 3 tersebut di atas, diatur lebih
lanjut dalam Pasal 7B UUD 1945. Dalam Pasal 7B ayat 1 ditetapkan “Usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih
dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus apakah pendapat/permintaan Dewan Perwakilan Rakyat
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
(baca lebih lanjut Pasal 7B ayat 2 s/d ayat 7 UUD 1945).

Memperhatikan ketentuan di atas, menunjukkan bahwa proses pemberhentian


Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh MPR, lebih mengedepankan muatan hukum
dari pada politisnya. Jadi walaupun seluruh anggota DPR tidak suka (tidak percaya)
kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden, mungkin Presiden dan/atau Wakil
Presiden dianggap kurang tepat dalam menentukan kebijakan, DPR tidak semudah
begitu saja minta kepada MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa minta
pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden atas kebijakan yang oleh
DPR dianggap salah itu. Sebab pendapat DPR tersebut terlebih dahulu diuji
kebenarannya oleh Mahkamah Konstitusi

Apabila keputusan Mahkamah Konstitusi ternyata Presiden dan/atau Wakil Presiden


tidak bersalah, maka DPR tidak dapat mengajukan usul kepada MPR untuk
mengadakan sidang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebagai
kesimpulan berkaitan dengan MPR, maka dalam UUD 1945 diatur tentang
wewenang dan kewajiban MPR, yang antara lain adalah sebagai berikut :

a. Wewenang MPR

1) Mengubah dan menetapkan UUD (Pasal 3 ayat 1)


2) Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presden menurut UUD (Pasal 3 ayat 3
yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 7B)

b. Kewajiban MPR

a) Mengadakan sidang sedikitnya sekali dalam lima tahun.(Pasal 2 ayat 2)


b) Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 3 ayat 2)
c) Mengadakan sidang untuk memutus pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presden sebagaimana yang diusulkan DPR (Pasal 7B ayat 6)
d) Memilih Wakil Presiden, apabila terjadi kekosongan Wakil Presiden (Pasal 8 ayat
2)
e) Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila kedunya berhalangan tetap (Psl 8
ayat 3).

3. Kekuasaan Pemerintahan Negara (Bab III UUD )945)

Dalam pasal 4 ayat 1 UUD 1945 disebutkan “Presiden Republik Indonesia


memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD“. Berdasarkan ketentuan
tersebut Presiden adalah kepala kekuasaan Eksekutif, dengan demikian maka
sistem pemerintahan kita adalah menganut sistem Kabinet Presidensiil. Dalam
31
menjalankan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden (Pasal
4 ayat 2). Hanya saja UUD 1945 tidak menetapkan pembagian tugas secara
terperinci, kecuali ketentuan “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil
Presiden sampai habis masa jabatannya”. (Pasal 8 ayat 1).

Jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan satu pasangan dipilih secara
langsung oleh rakyat (Pasal 6A ayat 1). Jadi Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
lagi dipilih dan diangkat oleh MPR, sehingga tidak lagi bertanggungjawab kepada
MPR. Dalam Pasal 5 ayat 1 disebutkan “Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan rakyat“. Dari ketentuan ini jelas bahwa
Presiden kecuali memegang kekuasaan eksekutif, Presiden RI bersama-sama DPR
juga menjalankan kekuasaan legislatif.

Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan


Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti undang-undang” (Pasal 22 ayat 1).
Peraturan ini disebut juga PERPPU yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
dengan undang-undang walaupun tanpa mendapat persetujuan DPR sebelumnya.
Tetapi PERPPU itu harus mendapat persetujuan DPR dalam sidang berikutnya
(Pasal 22 ayat 2), apabila disetujui status hukumnya berubah menjadi UU.
Sebaliknya bila DPR tidak menyetujui PERPPU tersebut harus dicabut (Pasal 22
ayat 3). Sebagai pemegang kekuasaan menjalankan pemerintahan, Presiden berhak
menetapkan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan undang-undang (Pasal 5
ayat 2).

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kebali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali
masa jabatan (Pasal 7). Batasan maksimal dua kali masa jabatan bagi seseorang
menduduki jabatan Presiden, dimaksudkan untuk menjamin adanya regenerasi
dalam pemerintahan, terpeliharanya kehidupan yang demokratis, serta untuk
menghindari adanya rekayasa politik dari kelompok/rezim tertentu yang secara
terselubung menjadikan seseorang menjabat sebagai presiden seumur hidup,
sebagaimana yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Soeharto memegang
jabatan sebagai Presiden selama 32 tahun.

Selain Presiden memegang jabatan sebagai Kepala Pemerintahan, juga memegang


jabatan sebagai Kepala Negara, hal ini diatur dalam UUD 1945 dalam Pasal 10
sampai dengan 16 UUD 1945.

4. Kementerian Negara ( Bab V UUD 1045 )

Dalam pasal 17 UUD 1945 ditegaskan hahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri
negara (Pasal 17 ayat 1). Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh
presiden (Pasal 17 ayat 2). Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan (Pasal 17 ayat 3). Pembentukan, perubahan, dan pembubaran
kementerian negara diatur dalam undang-undang (Pasal 17 ayat 4).

Berdasarkan pasal ini terlihat jelas bahwa Menteri Negara adalah pembantu
Presiden, mereka tidak bertanggungjawab kepada DPR, melainkan kepada
Presiden. Oleh karena itu kedudukan Menteri-menteri Negara tidaklah tergantung
kepada DPR. Dalam pengertian ini sistem UUD 1945 menganut sistem Kabinet
Presidensiil.
32
Perlu kita cermati, walaupun UUD 1945 menganut sistem Kabinet Presidensiil,
dimana Menteri Negara tidak bertanggungjawab kepada DPR, melainkan kepada
Presiden, ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 17 ayat 2 yakni “Menteri-
menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden”. Akan tetapi kemurnian
penerapan sistem Kabinet Presidensiil di negara kita patut kita pertanyakan. Karena
dalam Pasal 17 ayat 4 justru mengurangi kemandirian Presiden dalam rangka
membentuk, mengubah, serta membubarkan kementerian negara. Dalam Pasal 17
ayat 4 UUD 1945 ditetapkan “Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
kementerian negara diatur dalam undang-undang“.

Dengan diaturnya Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian


negara dengan undang-undang, berarti baik secara hukum maupun politis campur
tangan DPR cukup besar. Sehingga dalam praktek kenegaraan kita, sangat
memungkinkan terjadinya politik dagang sapi.

5. Pemerintahan Daerah (Bab VI UUD 1945)

Disebutkan dalam Pasal 18 ayat 1 UUD 1945 yaitu “Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang“. Pasal ini mengatur
tentang pembagian pemerintahan di Negara Republik Indonesia, yang dibagi atas
daerah provinsi, daerah provinsi dibagi lagi menjadi beberapa daerah kabupaten dan
kota. Oleh Pemerintahan Pusat masing-masing pemerintahan daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan kota diberi kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (Psl 18 ayat 2).

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tujuan pemberian
otonomi yang seluas-luasnya adalah memberi kesempatan kepada masing-masing
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota untuk memberdayakan potensi
daerah semaksimal mungkin.

Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah atau desa
dari pemerintah provinsi, kabupaten adan kota dan atau desa serta dari pemerintah
kabupaten dan kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dengan
pemberian otonomi seluas-luasnya kepada pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten dan kota, tidak berarti sudah tidak ada lagi hubungan antara
pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Sebab dengan tugas
pembantuan, berarti pemerintahan yang kedudukannya berada di bawahnya atas
dasar perintah, dalam hal-hal tertentu membantu kelancaran tugas-tugas atau
program yang dibuat oleh pemerintahan yang kedudukannya lebih tinggi, sehingga
pertanggungjawaban tetap berada pada pemerintahan yang lebih tinggi
kedudukannya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan pembagian pemerintahan


provinsi, pemerintahan provinsi dibagi lagi menjadi pemerintahan kabupaten dan
kota, maka di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak mengenal adanya negara
dalam negara, karena memang bukan negara federal (serikat). Pembagian
pemerintahan daerah adalah sekedar suatu desentralisasi dengan pemberian

33
otonomi yang luas untuk melancarkan jalannya pembangunan daerah sesuai
dengan karakter daerah masing-masing.

6. Asas Polah Hubungan antara Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan


Daerah

Dalam pembahasan pemerintahan daerah kita kenal ada dua asas pola hubungan
antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah yaitu :

a. Asas Desentralisasi

Menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2004 yaitu Undang-undang tentang Otonomi


Daerah, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini
prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada daerah baik menyangkut penentuan
kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut segi-segi
pembiayaan.

b. Asas Dekonsentrasi

Menurut Undang-undang No. 32 tahun 2004 yaitu Undang-undang tentang Otonomi


Daerah, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada instansi
vertikal di wilayah tertentu. Oleh karena tidak semua urusan pemerintahan (pusat)
diserahkan kepada daerah. Menurut asas dekonsentrasi urusan-urusan yang
dilimpahkah oleh pemerintah (pusat) kepada pejabat-pejabat di daerah menurut
asas dekonsentrasi ini tetap menjadi tanggungjawab pemerintah pusat baik
mengenai perencanaan pelaksanaan maupun pembiayaannya.
Dengan Pemberian otonomi yang luas kepada daerah, tidak berarti semua urusan
pemerintahan diserahkan kepada daerah. Sebab sesuai Undang-undang No. 32
tahun 2004 ada batasan, di mana dalam bidang-bidang tertentu tetap menjadi
urusan pemerintahan pusat, hal ini diatur dalam Pasal 10 ayat 3 intinya “Urusan
pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi: politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agam”.

7. Dewan Perwakilan Rakyat (Bab VII UUD 1945)

Mengenai DPR diatur dalam pasal 19 sampai dengan pasal 22B UUD 1945.
Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum (Pasal 19 ayat 1), Susunan DPR
diatur dengan undang-undang (Pasal 19 ayat 2), DPR bersidang sedikitnya sekali
dalam setahun (Pasal 19 ayat 3).
DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat 1). Setiap
undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama (Pasal 20 ayat 2). Jika rancangan undang-undang tidak mendapat
persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan DPR pada masa itu (Pasal 20 ayat 3).

Dalam Pasal 20 ayat 5 menetapkan “Dalam hal rancangan undang-undang yang


telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga
puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan “.
34
Dari Pasal 20 ayat 5 ini menunjukkan nuansa kedaulatan ada di tangan rakyat dan
nilai demokrasi lebih dikedepankan. Walaupun secara konstitusional DPR bukan
lembaga pemegang kedaulatan rakyat, namun DPR sebagai wakil rakyat yang
dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, menunjukkan suara rakyat tidak
dapat diabaikan begitu saja, sehingga RUU yang diajukan oleh DPR dan telah
disetujui oleh Presiden, walaupun dalam waktu tiga puluh hari belum disahkan oleh
Presiden, maka rancangan undang-undang tersebut tetap sah menjadi undang-
undang dan wajib diundangkan.

Pasal 20A ayat 1 s/d ayat 3 UUD 1945 mengatur tentang hak-hak yang dimiliki
oleh DPR dalam rangka menjalankan tugas pengawasan, terhadap tugas-tugas
Presiden yaitu antara lain sebagai berikut :
a. Hak Interpelasi = Hak minta keterangan kepada presiden
b. Hak Angket = Hak mengadakan penyelidikan
c. Hak Amandemen = Hak mengadakan perubahan atas RUU yang
diajukan presiden.
d. Hak Inisiatif = Hak mengajukan usul RUU
e. Hak Menyatakan Pendapat = Hak kebebasan menyatakan pendapat da
lam rapat-rapat DPR ( terbuka/tertutup )
f. Hak Imunitet = Hak kekebalan hukum atas pernyataan-
nya dalam rapat-rapat DPR
g.Hak Budget = Hak ikut serta dalam pembahasan dan
penetapkan APBN

8. Dewan Perwakilan Daerah (Bab VIIA UUD 1945)

Dalam Pasal 22C ayat 1 disebutkan “Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui
pemiluhan umum“. Kedudukan DPD adalah sederajad dengan DPR, dan keduanya
adalah sama-sama menjadi anggota MPR. Keberadaan DPD adalah sebagai
lembaga negara yang baru, yang bertujuan untuk meningkatkan pemberdayaan
pelaksanaan pemberian otonomi daerah yang seluas-luasnya oleh pemerintahan
pusat kepada pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota.

DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun (Pasal 22C ayat 3). DPD
mempunyai kesamaan fungsi dengan DPR yaitu antara lain :
a. DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang materinya berkaitan dengan
otonomi daerah, (lihat Pasal 22D ayat 1).
b. DPD ikut membahas RUU yang materinya berkaitan dengan otonomi daerah,
serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU-APBN dan RUU yang
berkaitan pajak, dan pendidikan. (lihat Pasal 22D ayat 2).
c. DPD mempunyai hak pengawasan atas pelaksanaan UU yang berkaitan dengan
otonomi daerah. (lihat Pasal 22D ayat 3).

9. Pemilihan Umum (Bab VIIB UUD 1945)

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana demokrasi, yang dilaksanakan 5


tahun sekali, untuk memilih anggata DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. (lihat Pasal 22E ayat 1 dan 2 UUD
1945). Dalam Pasal 22E ayat 3 disebutkan “Peserta pemilu untuk memilih
anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik“. Pasal ini maksudnya yaitu
35
pemilu adalah sebagai pesta demokrasi yang diikuti oleh partai-partai politik yang
dinyatakan memenuhi syarat sebagai peserta pemilu. Adapun tujuannya adalah
masing-masing partai politik sedapat mungkin memperoleh kursi di DPR dan DPRD
sebanyak-banyaknya.

Dalam konteks politik, bagi partai-partai politik yang mampu meraih kursi terbanyak
di parlemen, maka partai tersebut akan memperoleh kesempatan yang lebih besar
pula untuk mengendalikan jalannya pemerintahan. Oleh karena itu calon anggota
DPR dan DPRD yang diajukan (didaftarkan) oleh partai politik kepada Komisi
Pemilihan Umum (KPU), KPUD Provinsi dan atau KPUD Kabupatan/Kota adalah
orang-orang yang lolos seleksi pada masing-masing partai peserta pemilu. Sehingga
KPU/KPUD sifatnya hanya menerima daftar nama beserta nomor urut calon anggota
DPR/DPRD dari masing-masing partai peserta pemilu.

Pasal 22E ayat 4 disebutkan “Peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah
perseorangan“. Setiap anggota DPR/DPRD misinya adalah sebagai wakil partai di
parlemen, sehingga mereka terikat oleh aturan-aturan partai yang mengirimkannya.
Berbeda dengan DPD, ia bukan atas nama partai, tetapi atas nama perseorangan.
Namun dalam proses pengajuan calon anggota DPD dapat dilaksanakan secara
perseorangan dan atau diajukan oleh partai. Satu hal yang menjadi catatan penting
adalah “calon DPD yang diajukan oleh partai, tetap bukan merupakan wakil partai”.
Apabila seseorang berminat menjadi calon anggota DPD dari perseorangan, ia
harus mendaftarkan diri ke KPU melalui KPUD Provinsi dengan menyebutkan
provinsi yang diwakili. Dalam pendaftaran ini disertai dengan syarat-syarat
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Salah satu syaratnya diatur dalam Pasal
11 ayat 1 bagian (a) ditetapkan “Provinsi yang berpenduduk lebih dari 1000.000
(satu juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 1000 (seribu) orang
pemilih “. Adapun bukti dukungan yang dimaksud adalah berupa tanda tangan atau
cap jempol dan foto copy KTP atau identitas yang sah.

10. Hal Keuangan (Bab VIII UUD 1945)

Kebijakan pemerintah di bidang keuangan adalah merupakan kebijakan yang


menyangkut nasib rakyat banyak, oleh karena itu dalam Pasal 23 ayat 1 UUD 1945
ditetapkan “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari
pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang yang
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat“. Kemudian dalam Pasal 23 ayat 2 menetapkan “Rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden
untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD“.

Berdasarkan pasal tersebut di atas peran rakyat dalam pembahasan RUU-APBN


melalui wakilnya di DPR cukup dominan, hal ini terbukti bahwa RUU-APBN yang
diusulkan oleh Presiden setiap tahun harus dibahas secara bersama-sama dengan
DPR dan juga dalam pembahasan tersebut harus memperhatikan pula masukan dari
DPD. Mengingat begitu besarnya peran rakyat melalui DPR dalam pembahasan
RUU-APBN, sehingga “apabila DPR tidak menyetujui RUU-APBN yang diusulkan
oleh Presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu“. ( Pasal 23 ayat 3
UUD 1945 ).

36
11. Badan Pemeriksa Keuangan (Bab VIIIA UUD 1945)

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan lembaga negara dengan tugas


khusus untuk memeriksa tanggung jawab keuangan negara, apakah telah
digunakan sesuai dengan yang telah disetujui DPR. Kedudukan Badan ini terlepas
dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah dan Lembaga Negara lainnya, karena jika
Badan ini tunduk kepada Pemerintah atau Lembaga Negara lainnya tidak mungkin
dapat melakukan kewajibannya secara obyektif. Namun demikian Badan ini tidak
berdiri di atas Lembaga Negara lainnya. (lihat Pasal 23E ayat 1).

Dalam Pasal 23E ayat 2 ditetapkan “Hasil pemeriksaan keuangan negara


diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD, sesuai dengan kewenangannya“. Dari
pasal ini bermakna bahwa BPK mempunyai hubungan dengan DPR, DPD, dan
DPRD dalam bentuk penyerahan hasil pemeriksaan semua pelaksanaan APBN
oleh BPK kepada DPR, DPD, dan DPRD. Maksud penyerahan hasil pemeriksaan
BPK kepada DPR, DPD, dan DPRD, yaitu wujud dari rasa keterbukaan mulai sejak
pembahasan RUU-APBN hingga pelaksanaan APBN sebagaimana yang
dikehendaki oleh Pasal 23 ayat 1 UUD 1945.

Selain itu maksud penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPR, DPD, dan
DPRD adalah sebagai bahan penilaian khususnya oleh DPR dan DPD untuk
menjalankan haknya yaitu “hak pengawasan“. Dan juga hasil pemeriksaan BPK itu
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pembahasan RUU-APBN tahun
berikutnya. Makna lain dari keberadaan BPK adalah merupakan upaya untuk
menjamin terciptanya aparatur negara yang bersih dan berwibawa. Oleh karena itu
apabila hasil pemeriksaan ada aparatur negara yang patut diduga melakukan tidak
pidana korupsi atau tindak pidana lain yang merugikan negara, maka masalahnya
dapat diberitahukan kepada pihak Kepolisian, Kejaksaan atau Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).

12. Kekuasaan Kehakiman (Bab IX UUD 1945)

Menurut Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan


yang merdeka untuk menyeleggarakan peradilan, guna menegakkan hukum dan
keadilan“. Dari pasal tersebut menunjukkan kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang bebas yang terlepas dari pengaruh pihak manapun termasuk
Pemerintah dan Lembaga Negara lainnya. Pasal 24 Ayat 2 “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi“.

Memperhatikan isi Pasal 24 ayat 2 di atas menunjukkan ada perkembangan baru


dalam lembaga peradilan di Indonesia, yaitu kekuasaan kehakiman selain dipegang
oleh Mahkamah Agung juga dipegang oleh suatu lembaga peradilan yang
sebelumnya (tahun 2001) tidak dikenal dalam sistem pemerintahan Indonesia yaitu
Mahkamah Konstitusi. Kedua lembaga ini bersifat bebas dan mandiri, serta
mempunyai kewenangan yang berbeda.

Dalam Pasal 24A ayat 1 ditetapkan “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh
37
undang-undang“. Dalam perkembangan lembaga peradilan, guna untuk menjaga
kewibawaan lembaga peradilan serta menegakkan pelaksanaan kode etik peradilan
dengan tujuan agar terwujudnya peradilan yang bersih, maka dibentuklah sebuah
komisi di lingkup lembaga peradilan namun tidak berada dalam struktur lembaga
peradilan yaitu “Komisi Yudisial“. Dalam Pasal 24 B ayat 1 disebutkan “Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim“.

13. Warga Negara (Bab X UUD 1945)

Dalam pasal 26 UUD 1945 disebutkan. bahwa yang menjadi warganegara ialah
orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan
dengan Undang-Undang sebagai warga negara. Hal ini berarti bahwa yang dapat
menjadi warga negara Indonesia adalah juga dari orang-orang dari keturunan
bangsa lain (bangsa asing). Hal tersebut diatur dalam suatu Undang-Undang,
kewarganegaraan (antara lain UU No. 62 tahun 1958). Selaniutnya pasal 27 UUD
1945 mengandung hak-hak asasi manusia . Dalam pasal ini ditegaskan sebagi
berikut: “segala warga negara bersamaan kedudukannya di muka hukum dan
pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”. Ketentuan inipun mengandung asas
demokrasi dalam negara, yang berarti tidak membeda-bedakan warga negara yang
satu dengan yang lain tanpa memandang kedudukan, jabatan, keturunan ataupun
kekayaannya. Semuanya berhak atas perlindungan hukum atas diri pribadi, jiwa,
kehormatan dan harta bendanya. Sebaliknya tipa-tiap warga negara dibebani
kewajiban untuk mentaati peraturan yang dikeluarkan oleh negara, tertib hukum
harus dilaksanakan tanpa kerkecuali.

Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusian. Ketentuan ini adalah sesuai dengan sila kelima Pancasila, yakni
Keadilan sosial,bagi seluruh rakyat Indonesia.Adapun hak-hak warga negara yang
lainnya yang merupakan hak asasi manusia tercantum dalam pasal 23 UUD 1945
yang menyatakan bahwa, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-
Undang.

14. Agama (Bab X1 UUD 1945)

Dalam pasal 29 UUD 1945 diatur perihal keyakinan warga negara dalam kehidupan
kegamaan sebagai berikut:
a. Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa (pasal 29 ayat 1).
b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing dan
kepercayaannya itu (Pasal 29 UUD 1945 ayat 2).

Ketentuan pasal ini adalah sebagai pelaksanaan dari sila pertama dari dasar negara
Pancasila. Dalam Ketetapan MPR No. IVMPRJ1983 ditegaskan,bahwa atas dasar
kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa maka
perikehidupan beragama dan perikehidupan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa adalah selaras dengan pengahayatan dan pengamalan Pancasila,

38
15. Pertahanan Negara (Bab XII UUD 1945)

Pasal 30 UUD 1945 menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib
ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Dengan demikian adalah merupakan
suatu hak dan kewajiban serta tanggungjawab setiap warga negara Indonesia untuk
ikut serta dalarn pertahan negara, mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Kita telah memperoleh kemerdekaan Indonesia ini dengan perjuangan dan


pengorbanan jiwa dan harta yang tidak scdikit. Olch karena itulah kitapun wajib
mempertahankan Tanah Air ini dengan segala pengorbanan. Tidak boleh sejengkal
tanah ibu pertiwi ini diduduki kembali oleh pihak penjajah. Masa penjajahan telah
lampau telah merampas kemerdekaan bangsa oleh karena itu harus diperjuangkan
dan hal ini sesuai dengan bunyi Pembukaan UUD 1945 yaitu : Bahwa
sesungguh-nya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu,
maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan peri keadilan.

16. Pendidikan (Bab X111 UUD 1945)

Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran dan Pemerintah


mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang
diatur dengan Undang-Undang, demikian bunyi pasal 31 UUD 1945. Dalam dunia
yang moderen ini, masalah pendidikan dan pengajaran tidak dapat diabaikan lagi.
Suatu rencana pembangunan negara tidak dapat dilaksanakan tanpa rakyat yang
berpendidikan. Oleh karena itu masalah pendidikan di Indonesia, tidak saja
merupakan tanggungjawab pemerintah, akan tetapi juga merupakan tanggungjawab
seluruh orang tua dan masyarakat. Dalam hubungan ini pihak swasta perlu
diikutsertakan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Sudah barang tentu
harus diadakan peraturan-peraturan yang memberi saluran yang benar mengenai
hal itu, misalnya jangan sampai terjadi ada badan-badan pendidikan yang merugikan
rakyat. Selain itu pendidikan haruslah bersifat nasional dan mendatangkan kebaikan
untuk nusa dan bangsa.

Dalam Ketetapan No II/MPRJ1998 sudah ditegaskan, bahwa pendidikan nasional


berdasarkan Pancasila, dan berlangsung seumur hidup dan dilakukan dalam
lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Selain pendidikan pemerintah
juga memajukan kebudayaan nasional (pasal 32). Hubungan antara. pasal 31 dan
32 itu sangat erat karena pendidikan adalah sangat menentukan tumbuli
berkembangnya kebudayaan dalam masyarakat. Pendidikan adalah untuk
mengembangkan akal, rasa, kehendak dan ketaqwaan manusia terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.

17. Kesejahteraan Sosial (Bab XIV UUD 1945)

Dalam pasal 33 UUD 1945 dinvatakan sebagai berikut:


1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajad
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

39
Kemudian dalam pasal 34 ditegaskan, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara.
Ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai realisasi penjabaran sila kelima
Pancasila, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu juga
merupakan manifestasi hak-hak warga negara Indonesia.

18. Bendera dan Bahasa (Bab XV UUD 1945)

Pasal 35 UUD 1945 menegaskan bahwa Bendera Bangsa Indonesia ialah Sang
Merah Putih, sedangkan pasal 36 UUD 1945 menyatakan bahwa Bahasa negara
ialah Bahasa Indonesia. Bendera Sang merah Putih, Bahasa Indonesia dan
Lambang Negara Garuda Pancasila merupakan piranti-piranti persatuan dan
kesatuan Bangsa dan Negara Indonesia.

19. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (Bab XVI UUD 1945)

Pasal terakhir dari UUD 1945 yaitu pasal 37 menyatakan sebagai berikut:
a. Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota
MPR hadir.
b. Putusan diambil dengan persetujuan sekuranig-kurangnya 2/3 daripada jumlah
anggota yang hadir.

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa Undang-Undang dasar wajib kita menjunjung


tinggi, karena ia merupakan modal dan ketentuan yang kita buat sendiri. Dengan
UUD itu pulalah Negara Republik Indonesia kita tegakkan dan kita perjuangkan serta
keadilan, kebenaran dan demokrasi terus kita laksanakan. Akan tetapi
bagaimanapun juga UUD tetap merupakan alat untuk mencapai tujuan kita, yakni
suatu masyarakat madani berdasarkan Pancasila. Dengan demikian perlu diberikan
suatu jalan keluar untuk kemungkinan dilakukan suatu perubahan UUD jika seluruh
rakyat memang menghendakinya kecuali Pembukaan UUD 1945, karena hakikat
kedudukan Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai Pokok Kaidah negara yang
Fundamental dan hakikatnya terlekat pada kelangsungan hidup negara.
Tentang perubahan UUD 1945 yaitu pasal-pasalnya, harus pula melalui suatu badan
yang tertinggi dalam negara Republik Indonesia, yaitu MPR sesuai dengan asas
kedaulatan rakyat, dan jika mendapat persetujuan dari jumlah terbanyak dari
anggota-anggota MPR, dan menurut ketetapan No. I/MPR/ 1973, sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR harus hadir dan putusan diambil sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah yang hadir. Untuk mencegah kesalah tafsiran di masa
depan serta demi efektivitas UUD 1945 itu, perubahan lampiran dari UUD 1945
hendaklah dilakukan secara tersendiri yang merupakan lampiran dari UUD 1945
yang berlaku.

20. Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan

Aturan Peralihan dalam UUD 1945 terdiri atas 4 pasal sebagai berikut:
Pasal I : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan
menyelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah
Indonesia.
Pasal II : Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Pasal III : Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia
Persiapan Kemredekaan lndonesia.
40
Pasal IV : Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Pertimbangan
Agung dibentuk menurut UUD, segala kekuasaan dijalankan oleh
Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.

Pada akhir UUD 1945 ditentukan Aturan Tambahan yang terdiri atas 2 ayat yang
berbunyi sebagai berikut :
a) Dalam enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya. Presiden
Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Dasar ini.
b) Dalam enam bulan setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini
bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.

Aturan Peralihan itu adalah termasuk lingkungan Hukum Transitoir,yaitu hukum


yang berlaku dalam suatu masa peralihan (peralihan dari suatu Pemerintahan
Negara kepada Pemerintahan negara yang lain). Pasal-pasal ini perlu untuk
mencegah kekosongan (vacuum) dalam Pemerintahan dan perundang-undangan
dalam suatu negara. Aturan Peralihan dari UUD 1945 adalah sangat penting, oleh
karena itu Pembentuk UUD 1945 yang mempunyai pandangan jauh ke depan dan
menyadari keadaan luar biasa setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua termasuk
situasi Indonesia waktu itu. Sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD
1945, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite
Nasional (Pasal IV).

Ditetapkan pula bahwa untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh
Panitia, Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi. masa peralihan ini dibatasi
oleh UUD 1945 (Aturan Tambahan) untuk selama masa 12 bulan. Dalam enam
bulan sesudah berakhirnya Peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia
mengatur dan menylenggarakan segala hal yang ditetapkan, oleh UUD 1945 (antara
lain pembentukan MPR). Dan "Dalam enam bulan sesudah MPR dibentuk, Majelis
itu bersidang untuk menetapkan UUD".

Dengan demikian sejak permulaan UUD 1945 telah dianggap sebagai UUD
sementara, dan wewenang untuk menetapkan UUD Negara Republik Indonesia
berada di tangan MPR hasil Pemilu (pasal 3 UUD 1945). Ketetapan No.
XX/MPRS/1966 telah menetapkan kedudukan UUD 1945 dan kemudian telah
dikokohkan/ditetapkan oleh Ketetapan MPR No. VI/MPR/1973 pada tanggal 22
Maret 1973, sehingga sejak tanggal tersebut UUD 1945 telah kehilangan sifat
sementaranya. (Kansil, 1980: 230,250).

41
BAB VI
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI

A. Pengertian Asal Mula Pancasila

Pancasila sebagai dasar filsatat serta ideologi bangsa dan negara Indonesia
bukan tebentuk secara mendadak serta bukan hanya diciptakan oleh seseorang
sebagaimana yang terjadi pada ideologi-ideologi lain di dunia, namun terbentuknya
Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia.
Secara kausalitas Pancasila sebelum disyahkan menjadi dasar filsafat
negara nilai-nilainya telah ada dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang
berupa nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan dan nilai-nilai religius. Kemudian pendiri
negara Indonesia mengangkat nilai-nilai tersebut dan dirumuskan secara
musyawarah mufakat berdasarkan moral yang luhur antara lain dalam sidang-sidang
BPUPKI Pertama, Sidang Panitia Sembilan yang kemudian menghasilkan Piagam
Jakarta yang memuat Pancasila pertamakali, kemudian dibahas lagi dalam sidang
BPUPKI Kedua. Setelah kemerdekan Indonesia sebelum sidang resmi PPKI,
Pancasila sebagai calon dasar filsafat negara dibahas serta disempurnakan kembali
dan akhirnya pada tanggai 18Agustus 1945 disyahkan oleh PPKI sebagai dasar
filsafat negara Republik Indonesia.

Oleh Karena itu agar memiliki pengetahuan yang lengkap tentang proses terjadinya
Pancasila, maka secara ilmiah harus ditinjau berdasarkan proses kausalitas. Secara
kausalitas asal mula Pancasila dibedakan atas dua macam yaitu: asal mula yang
langsung dan asal mula yang tidak langsung. Adapun pengertian asal mula tersebut
adalah sebagai berikut:

1. Asal Mula yang Langsung

Pengertian asal mula secara ilmiah filsafati dibedakan atas empat macam yaitu:
Kausa Materialis, Kausa Formalis, Kausa Efficient dan Kausa Finalis (Bagus, 1991 :
158). Teori kausalitas ini dikembangkan oleh Aristoteles, adapun berkaitan dengan
asal mula yang Iangsung tentang Pancasila adalah asal mula yang langsung
terjadinya Pancasila sebagai dasar filsafat Negara, yaitu asal mula yang sesudah
dan mejelang Proklamasi Kemerdekaan yang dirumuskan oleh para pendiri negara
sejak sidang BPUPKI Pertama. Panitia Sembilan, Sidang BPUPKI Kedua, serta
sidang PPKI sampai pengesahannya. Adapun rincian asal Mula langsung Pancasila
tersebut menurut Notonagoro adalah sebagai berikut:

a. Asal mula bahan (Kuasa Materialis)


Bangsa Indonesia adalah sebagai asal dari nilai-niai Pancasila. selinga
Pancasila itu pada hakikatnya nilai-nilai yang merupakan unsur-unsur Pancasila
diawali dari bangsa Indonesia yang berupa nilai-nilai adat-istiadat kebuadayaan
serta nilai-nilai religius yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa
Indonesia. Dengan demikian asal bahan Pancasila adalah pada bangsa
Indonesia sendiri yang terdapat dalam kepribadian dan pandangan hidup.
b. Asal mula bentuk (Kausa Formalis)
Hal ini dimaksudkan bagaimana asal mula bentuk atau bagaimana bentuk
Pancasila itu dirumuskan sebagaimana temuat dalam Pembukaan UUD 1945.
Asal mula bentuk Pancasila adalah dikemukakan oleh Ir. Soekarno serta

42
anggota BPUPKI lainnya, yang merumuskan dan membahas Pancasila terutama
dalam hal bentuk rumusan serta nama Pancasila.
c. Asal mula karya (Kausa Efficient )
Kausa effisien atau asal mula karya yaitu asal mula yang menjadikan Pancasila
dari calon dasar negara menjadi dasar Negara.Adapun asal mula karya adalah
PPKI sebagai pembentuk negara dan atas kuasa pembentuk negara yang
mengesahkan Pancasila menjadi dasar negara yang sah, setelah dilakukan
pembahasan baik dalam sidang-sidang BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI.
d. Asal mula tujuan (Kausa Finalis)
Pancasila diartikan dan dibahas dalam sidang-sidang para pendiri negara,
tujuannya adalah untuk dijjadikan sebagai dasar negara. Oleh karena itu asal
mula tujuan tersebut adalah para anggota BPUPKI dan Panitia Sembilan
termasuk Soekarno dan Hatta yang menentukan tujuan dirumuskannya
Pancasila sebelum ditetapkan oleh PPKI sebagai dasar negara yang sah.
Demikian pula para pendiri negara tersebut juga berfungsi sebagai kausa
sambungan karena yang merumuskan dasar filsafat negara.

2. Asal Mula yang Tidak Langsung

Secara kausalitas asal mula yang tidak langsung Pancasila adalah asal mula
sebelum proklamasi kemerdekaan. Berarti bahwa asal mula nilai-nilai Pancasila
yang terdapat dalam adat istiadat, dalam kebudayaan serta dalam nilai-nilai agama
bangsa Indonesia. Sehingga dengan demikian asal mula tidak langsung Pancasila
adalah terdapat pada kepribadian serta dalam pandangan hidup sehari-hari bangsa
Indonesia. Maka asal mula tidak langsung Pancasila bila mana dirinci adalah
sebagai berikut :
(1) Unsur-unsur dalam pancasila tersebut sebelum secara langsung dirumuskan
menjadi dasar filsafat negara (nilai-nilainya yaitu nilai Ketuhanan, nilai
Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan, dan nilai Keadilan) telah ada
dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum
membentuk negara.
(2) Nilai-nilai tersebut terkandung dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia
sebelum membentuk negara, yang berupa nilai-nilai adat istiadat, nilai
kebudayaan serta nilai-nilai religius. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman dalam
memecahkan problema kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.
(3) Dengan dermikian dapat disimpulkan bahwa asal mula tidak langsung Pancasila
pada hakikatnya bangsa Indonesia sendiri, atau dengan lain perkataan bangsa
Indonesia sebagai ‘Kausa Materialis’ atau sebagai asal mula tidak langsung
nilai-nilai pancasila.

Demikianlah tinjauan pancasila dari segi kausalitas, sehingga memberikan dasar-


dasar ilmiah bahwa pancasila itu pada hakikatnya adalah sebagai pendangan hidup
bangsa Indonesia, yang jauh sebelum bangsa Indonesia membentuk Negara, nilai-
nilai tersebut telah tercermin dan teramalkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu
tinjauan kausalitas tersebut memberikan bukti secara ilmiah bahwa Pancasila bukan
merupakan hasil perenungan atau hasil pemikiran seseorang, atau sekelompok
orang dan bahkan Pancasila juga bukan merupakan hasil sintesa paham-paham
besar dunia, melainkan nilai-nilai Pancasila secara tidak langsung telah terkandung
dalam pandangan hidup bangsa Indonesia.

43
3. Bangsa Indonesia ber-Pancasila Dalam “Tri Prakara”

Berdasarkan tinjauan Pancasila secara kausalitas tersebut diatas maka memberikan


pemahaman perspektif pada kita bahwa proses terbentuknya Pancasila melalui
suatu proses yang cukup panjang dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Dengan
demikian kita mendapatkan suatu kesatuan pemahaman bahwa Pancasila sebelum
disahkan oleh PPKI sebagai Dasar Filsafat Negara Indonesia secara yuridis, dalam
kenyataanya unsur-unsur Pancasila telah ada pada bangsa Indonesia, telah melekat
pada bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari berupa adat istiadat, nilai-nilai
kebudayaan serta nilai-nilai religius. Nilai-nilai tersebut yang kemudian diangkat dan
dirumuskan para pendiri Negara, diolah, dibahas yang kemudian disahkan oleh
PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Berdasarkan pengertian tersebut maka pada
hakikatnya bangsa Indonesia ber Pancasila dalam tiga asas atau “Tri Prakara” yang
rinciannya adalah sebagai berikut :

Pertama : Bahwa unsur-unsur Pancasila sebelum disahkan menjadi dasar filsafat


negara secara yuridis sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai
asas-asas dalam adat-istiadat dan kebudayaan dalam arti luas
(Pancasila Asas kebudayaan).
Kedua : Demikian juga unsur-unsur Pancasila telah terdapat pada bangsa
Indonesia sebagai asas-asas dalam agama-agama (nilai-nilai rligius)
(Pancasila Asas Religius).
Ketiga : Unsur-unsur tadi kemudian diolah, dibahas dan dirumuskan secara
seksama oleh para pendiri negara dalam sidang-sidang BPUPKI,
Panitia Sembilan. Setelah bangsa Indonesia merdeka rumusan
Pancasila calon dasar negara tersebut kemudian disahkan oleh PPKI
sebagai Dasar Filsafat Negara Indonesia dan terwujudlah Pancasila
sebagai asas kenegaraan (Pancasila Asas Kenegaraan).

Oleh karena itu Pancasila yang terwujud dalam tiga asas tersebut atau “Tri Prakara”
yaitu Pancasila Asas kebudayaan, Pancasila asas religius, serta Pancasila sebagai
asas kenegaraan, yang dalam kenyataanya tidak dapat dipertentangkan karena
ketiganya terjalin dalam suatu proses kausalitas, sehingga ketiga hal tersebut pada
hakikatnya merupakan unsur-unsur yang membentuk pancasila. (Notonagoro, 1975:
16,17).

4. Hubungan antara Filsafat dan Idiologi

Filsafat sebagai pandangan hidup pada hakekatnya merupakan sistem nilai yangs
secara epistemologis kebenarannya telah diyakini sehingga telah dijadikan dasar
atau pedoman bagi manusia dalam memandang realitas alam semesta, manusia,
masyarakat, bangsa dan negara, tentang makna hidup, serta sebagai dasar dan
pedoman bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam hidup
dan kehidupan, filsafat dalam pengertian yang demikian ini telah menjadi suatu
sistem cita-cita atau keyakinan-keyakinan (Bilieve System) yangtelah menyangkut
praksis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia atau suatu kelompok
masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya. Hal itu berarti bahwa filsafat telah
beralih dan menjelma menjadi idiologi (Ruslan Abdul Gani, 1996).

Tiap Ideologi sebagai suatu rangkaian kesatuan cita-cita yang mendasar dan
menyeluruh yang jalin menjalin menjadi suatu sistem pemikiran (system of thought)
yang logis, adalah sumber pada filsafat, dengan kata lain ideologi adalah suatu
44
system of thought, mencari nilai, norma dan cita-cita yang bersumber kepada
filsafat, yang bersifat mendasar dan nyata untuk diakutalisasikan artinya secara
potensial mempunyai kemungkinan pelaksanaan yang tinggi, sehingga dapat
memberi pengaruh positif, karena mampu membangkitkan dinamika masyarkat
tersebut secara nyata kearah kemajuan. Ideologi dapat dikatakan pula sebagai
konsep operasionalisasi dari suatu pandangan atau filsafat hidup akan merupakan
norma ideal yang melandasai ideologi, karena norma itu akan dituangkan dalam
perilaku, dalam kelembagaan sosial, politik, ekonomi, pertahanan keamaan dan
sebagainya. Jadi filsafat sebagai dasar dan sumber bagi perumusan ideologi yang
juga menyangkut strategi dan doktrin dalam menghadapi permasalahan yang timbul
di dalam kehidupan bangsa dan Negara, termasuk di dalamnya menentukan sudut
pandang dan sikap dalam menghadapi berbagai aliran atau sistem filsafat yang lain.

Dari uraian di atas, maka permasalahan ideologi merupakan permasalahan yang


disamping berkadar kefilsafatan sekaligus menyangkut praksis. Ideologi memiliki
kadar kefilsafatan karena bersifat cita-cita dan normatif dan sekaligus praksis karena
menyangkut operasionalisasi, strategi dan doktrin, sebab ideologi juga menyangkut
hal-hal yang berdasarkan suatu ajaran yang menyeluruh tentang makna dan nilai-
nilai hidup yang dituangkan secara konkrit seperti bagaimana manusia harus
bersikap dan bertindak. Ideologi itu tidak hanya menuntut agar setiap warga negara
bertindak adil, saling tolong menolong, saling menghormati antar sesama manusia,
lebih mengutakmakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi atau
kepentingan golongan dan sebagainya, melainkan juga ideologi akan menuntut
ketaatan konkrit, harus melaksanakan ini atau itu, dan bahkan sering kali menuntut
dengan mutlak orang harus bersikap dan bertindak tertentu.

Dari tradisi sejarah filsafat barat dapat di buktikan bahwa tumbuhnya idiologi seperti
liberalisme, kapitalisme, marxisme, leninisme, maupun nazisme dan facisme, adalah
bersumber pada aliran-aliran filsafat yang berkembang disana. Persepsi mengenai
kebebasan yang tumbuh pada zaman renaissance dan aufklarung mengakibatkan
tumbuh dan berkembangnya ideologi liberal dan kapitalis di barat. Demikian pula
dengan pemikiran pemikiran Karlmax dan Hegel yang historis materialistik dan
dialistik telah menumbuh suburkan ideologi marxisme, leanilisme, komunisme, di
negara-negara sosialis komunis. Begitu pula dengan pemikiran Nietzche tentang
Ubermnech (Superman) dan Wille zurmacht (Kehendak untuk berkuasa) telah
mendorong Hitler untuk mengembangkan nazisme yang meliteristis. Namun harus
dikemukakan pula bahwa ada aliran-aliran filsafat terutama yang timbul di barat yang
tidak berfungsi sebagai idiologi dalam suatu negara. Begitu pula bahwa ada juga
negara-negara yang tidak menganut pada suatu idiologi tertentu. Hanya unsur-unsur
suatu aliran filsafat yang dikembangkan secara aktif, sistematik dan dilaksanakan
dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang menjelma menjadi ideologi.
Demikianlah sifat-sifat ideologi yang sebenarnya memiliki ciri khas dan
implementasinya masing-masing tergantung pada proses terbentuknya ideologi
tersebut.

5. Makna Ideologi Bagi Bangsa dan Negara

Manusia dalam mewujudkan tujuannya untuk meningkatkan harkat dan martabatnya


dalam kenyataannya senantiasa membutuhkan orang lain. Oleh karena itu manusia
membutuhkan suatu lembaga bersama untuk melindungi hak nya, dan dalam
pengertian inilah manusia membentuk suatu negara. Negara sebagai lembaga
kemasyarakatan, sebagai organisasi hidup manusia senantiasa memiliki cita-cita,
45
harapan, ide-ide serta pemikiran-pemikiran yang secara bersama merupakan suatu
orientasi yang bersifat dasariyah bagi semua tindakan dalam hidup kenegaraan.

Komplek pengetahuan yang berupa ide-ide, pemikiran-pemikiran, gagasan-gagasan,


harapan serta cita-cita tersebut merupakan suatu nilai yang dianggap benar dan
memiliki derajad yang tinggi dalam negara. Hal ini merupakan suatu landasan bagi
seluruh warga negara untuk memahami alam, serta menentukan sikap dasar untuk
bertindak dalam hidupnya. Pada hakikatnya ideologi adalah merupakan hasil refleksi
manusia akan kemampuannya mengadakan distensi terhadap dunia kehidupannya.
Oleh karena itu maka terdapat suatu yang bersifat dialektis antara ideologi dengan
masyarakat negara. Di satu pihak membuat ideologi semakin realistis dan dipihak
lain mendorong masyarakat makin mendekati bentuk yang ideal. Ideologi
mencerminkan cara berpikir masyarakat, bangsa maupun negara, namun juga
membentuk masyarakat menuju cita-citanya (Poespowardojo, 1991).

Dengan demikian ideologi sangat menentukan eksistensi suatu bangsa dan negara.
Ideologi membimbing bangsa dan negara untuk mencapai tujuannya melalui
berbagai realisasi pembangunan. Hal ini disebabkan di dalam ideologi terkandung
suatu orientasi praktis. Selain sebagai sumber motifasi ideologi juga merupakan
sumber semangat dalam berbagai kehidupan negara. Ideologi akan menjadi realistis
m anakala terjadi orientasi yang bersifat dinamis antara masyarakat bangsa dengan
ideologi, karena dengan demikian ideologi akan bersifat terbuka dan antisipatif
bahkan bersifat reformatif dalam arti senantiasa mampu mengadaptasi perubahan-
perubahan sesuai dengan aspirasi bangsanya. Namun jikalau perlakuan terhadap
ideologi diletakkan sebagai nilai yang sakral bahkan diletakkan sebagai sumber
legitimasi kekuasaan maka dapat dipastikan ideologi akan menjadi tertutup, kaku,
baku, dokmatis dan menguasai kehidupan bangsanya. Oleh karena itu agar benar-
benar ideologi mampu menampung aspirasi para pendukungnya untuk mencapai
tujuan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka ideologi tersebut
haruslah bersifat dinamis, terbuka, antisipatif yang senantiasa mampu
mengadaptasikan dirinya dalam perkembangqan zaman. Inilah peranan penting
ideologi bagi bangsa dan negara agar bangsa dapat mempertahankan
eksistensinya.

B. Pancasila Sebagai Ideologi Yang Reformatif, Dinamis dan Terbuka

Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku, dan tertutup, namun bersifat
reformatif, dinamis dan terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila
adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan
dalam perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan terknologi serta dinamika
perkembangan inspirasi masyarakat, keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti
mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung didalamnya, namun mengeksplitkan
wawasannya secara lebih kongrit, sehingga memiliki kemampuan yang reformatif
untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang senantiasa berkembang seiring
dengan aspirasi rakyat.

Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang medasar yang besifat
tetap dan tidak berubah sehingga tidak langsung bersifat oprasional, oleh karena itu
setiap kali harus dieksplisitkan. Eksplisitasi dilakukan dengan menghadapkan pada
berbagai masalah yang selalu silih berganti, melalui refleksi yang rasional sehingga
terungkap makana oprasionalnya. Dengan demikian penjabaran ideologi
dilakasanakan dengan interpretasi yang kritis dan rasional (Soeryanto, 1991 :59).
46
Sebagai suatu contoh keterbukaan ideologi Pancasila antara lain dalam kaitannya
dengan kebebasan beserikat, berkumpul. Sekarang terdapat 48 partai politik dalam
kaitan dengan ekonomi (misalnya ekonomi kerakyatan), demikian pula dalam
kaitannya dengan pendidikan, hukum, kebudayaan, iptek, hamkam dan bidang
lainnya.

Berdasarkan pengertian tentang ideologi terbuka tersebut nilai-nilai yang terkandung


dalam idiologi pancasila sebagai ideologi terbuka adalah sebagai berikut :

1. Nilai Dasar:

Yaitu hakikat kelima sila pancasila yaitu Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,


kerakyatan dan keadilan. Nilai dasar tersebut adalah merupakan esensi dari sila-sila
pancasila yang sifatnya universal, sehingga dalam nilai dasar tersebut terkandung
cita-cita, tujuan serta nilai-nilai yang baik dan benar. Nilai dasar ideologi tersebut
tertuang dalam pembukaan UUD 1945, sehingga oleh karena pembukaan memuat
nilai-nilai dasar ideologi pancasila maka pembukaan UUD 1945 merupakan suatu
norma dasar yang merupakan tertib hukum tertinggi, sebagai sumber hukum positif
sehingga dalam negara memiliki kedudukan sebagai “Staatsfundamentalnorm” atau
pokok kadiah negara yang fundemental yang terletak pada mental kelangsungan
hidup negara. Sebagai ideologi terbuka nilai dasar inilah yang bersifat tetap dan oleh
karena pembukaan UUD 1945 juga memuat nilai-nilai dasar tersebut maka
pembukaan UUD 1945 juga memiliki sifat yang tetap dan terletak pada
kelangsungan hidup negara, sehingga mengubah pembukaan UUD 1945 yang
memuat nilai dasar ideologi pancasila tersebut sama halnya dengan pembubaran
negara. Adapun nilai dasar tersebut kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal UUD
1945 yang didalamnya terkandung lembaga-lembaga penyelenggara negara,
hubungan antar lembaga penyelenggaraan negara serta tugas dan wewenangnya.

2. Nilai Instrumental :

Yaitu merupakan arahan, kebijakan, strategi, sasaran serta lembaga


pelaksanaannya. Nilai instrumental ini merupakan eksplisitasi penjabaran lebih lanjut
dari nilai-nilai dasar dalam rangka penyesuaian dalam pelakasanaan nilai-nilai dasar
ideologi pancasila. Misalnya GBHN yang 5 tahun sekali senantiasa disesuaikan
dengan perkembangan zaman serta aspirasi masyarakat, Undang-Undang,
Departemen-departemen sebagai lembaga pelaksanaan dan lain sebagaianya.
Pada sapek ini senantiasa dapat dilakukan perubahan. (Reformatif).

3. Nilai Praktis

Yaitu merupakan realisasi nilai-ailai instrumental dalam suatu realisasi pengamalan


yang bersifat nyata dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara (lihat BP-7 Pusat, 1994 : 8). Dalam realisasi praksis inilah maka
penjabaran nilai-nilai Pancasila senantiasa berkembang dan selalu dapat dilakukan
perubahan dan perbaikan (reformasi) sesuai dengan perkembangan zaman ilmu
pengetahuan dan teknologi serta aspirasi masyarakat.

Suatu ideologi selain memiliki aspek-aspek yang bersifat ideal yang berupa cita-cita,
pemikiran-pemikiran serta nilai-nilai yang dianggap baik, juga harus memiliki norma
yang jelas, karena ideologi harus mampu direalisasikan dalam kehidupan praksis

47
yang merupakan suatu pengamalan nyata. Oleh karena itu Pancasila sebagai suatu
ideologi yang bersifat terbuka memiliki tiga. dimensi yaitu :
1. Dimensi Idealistis, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila yang
bersifat sistematis, rasional dan menyeluruh, yaitu hakikat nilai-nilai yang
terkandung dalam sila-sila Pancasila yaitu Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan. Hakikat nilai-nilai Pancasila tersebut bersumber pada
filsafat Pancasila (nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Pancasila). Karena
setiap ideologi bersumber pada suatu nilai-nilai filosofis atau sistem filsafat
(Soeryanto, 1991 : 59). Kadar serta idealisme yang terkandung dalam Pancasila
mampu memberikan harapan, optimisme serta mampu menggugah motivasi
para pendukungnya untuk berupaya. mewujudkan apa yang. dicita-citakan
(Koento Wibisono, 1989).
2. Dimensi Normatif, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu
dijabarkan dalam suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam norma-
norma kenegaraan. Dalam pengertian ini Pancasila terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 yang merupakan norma tertib hukum tertinggi dalam
negara Indonesia serta merupakan Staats Fundamental Norm (Pokok Kaidah
Negara Yang Fundamental). Dalam pengertian ini ideologi Pancasila agar
mampu dijabarkan ke dalam langkah operasional, maka perlu memiliki norma
yang jelas (lihat Soeryanto, 1991).
3. Dimensi Realistis, yaitu suatu ideologi harus mampu mencerminkan realitas yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu Pancasila selain
memiliki dimensi nilai-nilai ideal serta normatif maka Pancasila harus mampu
dijabarkan dalam kehidupan masyarakat secara nyata (kongkrit) baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam penyelengaraan negara. Dengan demikian
Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak bersifat utopis yang hanya berisi ide-ide
yang bersifat mengawang, tapi melahikan suatu ideologi yang bersifat realistis
artinya mampu dijabarkan dalam segala aspek kehidupan nyata.

Berdasarkan dimensi yang dimiliki oleh Pancasila sebagai ideologi terbuka. maka
sifat ideologi Pancasila tidak bersifat utopis yaitu hanya merupakan sistem ide-ide
belaka yang jauh dari kehidupan sehari-hari secara nyata. Demikian pula ideologi
Pancasila bukanlah merupakan suatu “doktrin” belaka yang bersifat tertutup yang
merupakan norma-norma yang berlaku, melainkan di samping memiliki idelisme,
Pancasila juga bersifat nyata dan reformatif yang mampu melakukan perubahan.
Akhirnya Pancasila juga bukan merupakan ideologi yang “pragmatis” yang hanya
menekankan segi praktis-praktis belaka tanpa adanya aspek idealisme. Ideologi
Pancasila yang bersifat terbuka pada hakikatnya merupakan nilai-nilai dasar (hakikat
sila-sila Pancasila) yang bersifat universal dan tetap, adapun penjabaran dan
realisasinya senantiasa dieksplisitkan secara dinamis, reformatif dan senantiasa
mampu melakukan perubahan sesuai dengan dinamika aspirasi masyarakat.

C. Perbandingan Ideologi Pancasila dengan Paham Ideologi Besar lainnya di Dunia

1. Ideologi Pancasila

Suatu ideologi pada suatu bangsa pada hakikatnya memiliki ciri khas serta
karakteristik masing-masing sesuai dengan sifat dan ciri khas bangsa itu sendiri.
Namun demikian dapat juga terjadi bahwa ideologi pada suatu bangsa datang dari
luar dan dipaksakan keberlakuannya pada bangsa tersebut sehingga tidak
menceminkan kepribadian dan karakteristik bangsa tersebut. Ideologi Pancasila
sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia berkembang melalui suatu proses
48
yang cukup panjang. Pada awalnya secara kausafitas bersumber dari nilai-nilai yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu dalam adat-istiadat, serta dalam agama-agama
bangsa Indonesia dan dijadikan sebagai pandangan hidup bangsa. oleh karena itu
nilai-nilai Pancasila yang berasal dari nilai-nilai pandangan hidup bangsa telah
diyakini kebenarannya kemudian diangkat oleh bangsa Indonesia sebagai dasar
filsafat negara ini kemudian menjadi ideologi bangsa dan negara. Oleh karena itu
ideologi Pancasila ada pada kehidupan bangsa dan melekat pada kelangsungan
hidup bangsa dalam rangka bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Ideologi Pancasila mendasarkan pada hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial, oleh karena itu dalam ideologi Pancasila mengakui
kebebasan dan kemerdekaan individu, namun dalam hidup bersama juga harus
mengakui hak dan kebebasan orang lain secara bersama sehingga dengan
demikian harus juga mengakui hak-hak masyarakat. Selain itu bahwa manusia
menurut Pancasila berkedudukan sesuai kodratnya sebagai makhluk pribadi dan
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu nilai-nilai Ke Tuhanan
senantiasa menjiwai kehidupan manusia dalam hidup bernegara dan
bermasyarakat. Kebebasan manusia dalam demokrasi tidak melampaui nilai-nilai Ke
Tuhanan, bahkan nilai Ke Tuhanan terjelma dalam bentuk moral dalam ekspresi
kebebasan manusia.

Berdasarkan sifatnya, ideologi Pancasila bersifat terbuka yang berarti senantiasa


mampu mengantisipasi perkembangan aspirasi rakyat, menyesuaikan dengan
perkembangan zaman. Ideologi Pancasila senantiasa merupakan wahana bagi
tercapainya tujuan bangsa.

2. Negara Pancasila

Manusia dalam merealisasikan dan meningkatkan harkat dan martabatnya tidaklah


mungkin untuk dipenuhinya sendiri, oleh karena itu manusia sebagai makhluk sosial
senantiasa membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Dalam pengertian inilah
manusia membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut negara. Namun
demikian dalam kenyataannya sifat-sifat negara satu dengan lainnya memiliki
perbedaan dan hal ini sangat ditentukan oleh Pemahaman ontologis hakikat
manusia sebagai pendukung pokok negara, sekaligus sebagai tujuan adanya suatu
negara.

Bangsa Indonesia dalam panggung sejarah berdirinya negara di dunia memiliki


suatu ciri khas yaitu dengan mengangkat nilai-nilai yang telah dimilikinya sebelum
membentuk suatu negara modern. Nilai-nilai tersebut adaIah berupa nilai-nilai adat-
istiadat, kebudayaan, serta nilai religius yang kemudian dikristalisasikan menjadi
suatu sistem:nilai yang disebut Pancasila.

Dalam upayanya untuk membentuk suatu perseketuan hidup yang disebut negara
maka bangsa Indonesia mendasarkan pada suatu pandangan hidup yang telah
dimilikinya yaitu PancasiIa. Berdasarkan ciri khas serta proses dalam rangka
membentuk suatu negara, maka bangsa Indonesia mendirikan suatu negara yang
memiliki suatu karakteristik, ciri khas yang karena ditentukan oleh keanekaragaman
sifat dan karakternya, maka bangsa Indonesia mendirikan suatu negara yang
berdasarkan Filsafat Pancasila, yaitu suatu Negara Persatuan, suatu Negara
Kebangsaan serta suatu Negara yang Bersifat Integralistik. Hakikat serta pengertian
sifat-sifat negara tersebut adalah sebagai berikut:
49
a. Paham Negara Persatuan

Bangsa dan negara Indonesia adalah terdiri atas berbagai macam unsur yang
membentuknya yaitu suku, bangsa, kepulauan, kebudayaan, golongan serta agama
yang secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan. Oleh karena itu negara
Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan sebagai suatu negara
Persatuan sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Negara
Persatuan Republik yang Berkedaulatan Rakyat. Ditegaskan kembali dalam Pokok
Pikiran Pertama “…bahwa negara Indonesia adalah negara persatuan yang
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”.

Hakikat negara persatuan dalam pengertian ini adalah negara yang merupakan
suatu kesatuan dari unsur-unsur yang membentuknya, yaitu Rakyat yang terdiri atas
berbagai macam etnis, suku bangsa, golongan, kebudayaan, serta agama. Wilayah,
yang terdiri atas beribu-ribu pulau yang sekaligus juga memiliki sifat dan katakter
yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu negara persatuan adalah merupakan suatu
kesatuan dari unsur-unsur yang menyusunnya, yang merupakan satu negara, satu
rakyat, satu wilayah dan tidak terbagi-bagi misalnya seperti negara serikat, satu
Pemerintrahan, satu tetib hukum yaitu tertib hukum nasional, satu kesatuan bahasa,
serta satu bangsa yaitu bangsa Indonesia.

Pengertian Persatuan Indonesia lebih lanjut dijelaskan secara resmi dalam


Pembukaan UUD 1945 yang termuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun 11 No.
7: bahwa bangsa Indonesia mendirikan negara Indonesia dipergunakan aliran
pengertian “Negara persatuan” yaitu negara yang mengatasi segala paham
golongan dan paham perseorangan. Jadi Negara persatuan bukanlah negara yang
berdasarkan individualisme sebagimana yang diterapkan di negara liberal, dimana
negara hanya merupakan suatu ikatan individu saja. Demikian juga negara
persatuan bukanlah negara yang berdasarkan klass, atau staat slass (negara kelas)
yang hanya mendasarkan pada satu golongan saja, melainkan negara persatuan
pada hakikatnya adalah Negara yang mengatasi segala golongan dan paham yang
ada. Oleh karena itu negara persatuan adalah negara yang memiliki sifat persatuan
yang sama, negara yang berdasarkan kekeluargan, tolong menolong atas dasar
keadilan sosial.

b. Bhineka Tunggal Ika

Sebagairnana diketahui bahwa walaupun bangsa Indonesia terdiri atas. Beberapa


macam suku bangsa yang memiliki karakter, kebudayaan serta adatistiadat Yang
beraneka ragam. namun keseluruhannya merupakan suatu kesatuan dan persatuan,
negara dan bangsa Indonesia. Penjelmaan persatuan bangsa dan wilayah negara
Indonesia tersebut disimpulkan dalam PP. No 66 Tahun J951, 17 dktober dan
diundangkan tanggai 28 nopember 1951 dan termuat dalam Lembaran Negara No.
II/Tahun 1951 yaitu dengan lambang Negara dan bangsa burung Garuda Pancasila
dengan selogan Bhinneka Tunggal.

Hakikat makna Bhinneka Tunggal Ika yang memberikan suatu pengertian bahwa
meskipun bangsa dan negara Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa
yang memiliki adat-istiadat, kebudayaan serta karakter yang berbeda-beda, memiliki
agama yang berbeda-beda dan terdiri atas. beribu.-ribu kepulauan wilayah
nusantara Indonesia, namun keseluruhanya adalah merupakan suatu persatuan
yaitu persatuan bangsa dan negara Indonesia. Perbedaan itu adalah merupakan
50
suatu bawaan kodrat manusia sebagai makhluk Tahart yang Maha Esa, namun
perbedaan itu bukannya untuk dipenentangkan dan diperuncingkan melainkan
perbadaan itu untuk dipersatukan disintesakan dalam suatu sintesa Yang positif
dalam suatu negara kebersamaan, negara persatuan Indonesia (Notonagoro. 1975 :
106).

3. Paham Negara Kebangsaan

Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia adalah juga sebagai
makhluk Tuhan yang Maha Esa yang juga memiliki sifat dan kodrat sebagai makhluk
individu, yang memiliki kebebasan sekaligus juga sebagai makhluk sosial yang
senantiasa membutuhkan orang lain. Oleh karena itu dalam upaya untuk
merealisasikan harkat dan martabatnya secara sempurna maka manusia
memerlukan persekutuan hidup dalam suatu wilayah tertentu serta membentuk
suatu tujuan tertentu. Dalam pengertian inilah maka manusia yang hidup dalam
suatu wilayah tertentu serta memiliki tujuan tertentu dalam pengertian ini disebut
sebagai negara.

Menurut Muhammad Yamin bangsa Indonesia dalam merintis terbentuknya suatu


bangsa dalam panggung politik internasional, yaitu suatu bangsa modern, memiliki
kemerdekaan dan kebebasan berlangsung melalui tiga fase. Pertama yaitu zaman
kerajaan Sriwijaya, Kedua : Negara Kebangsaan zaman majapahit. Kedua zaman
negara kebangsaaan tersebut adalah merupakan kebangsaan lama, dan pada
gilirannya masyarakat Indonesia membentuk suatu Nationale Staat, atau suatu Etat
Nationale (fase Ketiga), yaitu Negara yang berdasar atas Ke Tuhanan Yang Maha
Esa serta Kemanusiaan (Sekarang negara proklamasi 17 Agustus 1945).

a. Hakikat Bangsa

Manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa pada hakikatnya memiliki sifat
kondrat sebagai mahluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu bangsa pada
hakikatnya adalah merupakan suatu penjelamaan dari kemanusiannya. Hal ini
disadari bahwa manusia tidaklah mungkjin untuk hidup menyendiri, sehingga ia
senantiasas memerlukan orang lain. Suatu bangsa bukanlah merupakan suatu
manifestasi kepentingn individu saja yang diikat secara imperatif dengan satu
peraturan perundang-undangan sebagaimana dilakukan oleh negara liberal.
Demikian juga suatu bangsa Indonesia tidak mendasarkan pada deklarasi
kemerdekaan individu sebagaimana negara liberal. Demikian pula bukan pula suatu
totalitas kelompok masyarakat yang menenggelamkan hak-hak individu
sebagaimana terjadi pada bangsa sosialis komunis.

Manusia membentuk suatu bangsa karena untuk memenuhi hak kodradnya yaitu
sebagai individu dan makhluk sosial, oleh karena itu deklarasi Bangsa Indonesia
tidak mendasarkan pada deklarasi kemerdekaan individu sebagaimana yang terjadi
di negara liberal. Demikian pula deklarasi bangsa Indonesia bukanlah merupakan
suatu manifesto bangsa komunal sebagaimana dilakukan oleh kalangan paham
sosialis komunis.

Deklarasi bangsa indonesia adalah suatu pernyataan tuntutan hak kodrat manusia
sebagai makhluk individu dan mahkluk sosial dan untuk itu dalam pembukaan UUD
1945 dinyatakan bahwa “…Kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Pernyataan
tersebut merupakan suatu penyataan universal hak kodrat manusia sebagai bangsa,
51
sebagai manusia dalam merealisasikan sifat kodratnya sebagai makhluk individu
dan mahkluk sosial

b. Teari Kebangsaan

Dalam pertumbuhan dan perkembangn suatu bangsa atau juga disebut sebagai
“Nation”. terdapat berbagai macam teori besar yang merupakan bahan komparasi
bagi para pendiri negara ldonesia untuk mewujudkan suatu bangsa yang memiliki
sifat dan karakter tersendiri. Teori-teori kebangsaan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Teori Hans Kohn

Hans Kohn sebagai scorang ahli antropologi etnis mengemukan teorinya tentang
bangsa. Dikatakannya bahwa bangsa terbentuk karena persamaan bahasa, ras,
agama, peradahan, wilayah, negara dan kewarganegaraan. Suatu bangsa
tumbuh dan berkembang dari anasir-anasir serta akar-akar yang terbentuk
melalui suatu proses sejarah.

Nampaknya teori kebangsaan yang mendasarkan ras, bahasa, serta unsur-unsur


lain yang sifatnya primordial, dewasa ini sudah tidak mendapat tempat di
kalangan bangsa-bangsa di dunia. Serbia yang berupaya untuk membangun
bangsa berdasarkan kesamaan ras, bahasa dan agama nampaknya mengalami
tantangan dunia internasional. Demikian pula Israel yang ingin membangun
Zionis Raya berdasarkan ras Yahudi mendapat tantangan dunia internasional,
sehingga kemelut politik di Timur Tengah tidak kunjung reda karena sikap keras
kepala Israel. Namun demikian bangsa Amerika yang di dalamnya terdiri atas
multi ras bahkan hampir seluruh ras, warna kulit, agama, dan lainnya, namun
mereka berdiri secara kokoh bahkan menjadi negara raksasa dewasa ini.

2) Teori Kebangsaan Ernest Renan

Hakikat bangsa atau Nation ditinjau secara ilmiah oleh Ernest Renan seorang ahli
dari Academmie Francaise, Perancis (pada tahun 1982), mengatadakan kajian
ilmiah tentang bangsa berdasarkan psykologi etnis. Setelah mengadakan tinjauan
historis tentang pertumbuhan masyarakat manusia zaman Purba, zaman
Pertengahan sampai abad XIX tentang bentuk-bentuk pergaulan hidup beserta
timbul tenggelamnya berbagai bangsa, akhirnya beliau sampai pada penegasan
tentang prinsip-prinsip bangsa. Menurut Renan pokok-pokok pikiran tentang
bangsa adalah sebagai berikut:
a) Bahwa bangsa adalah suatu jiwa, suatu asas kerokhanian.
b) Bahwa bangsa adalah suatu solidaritas yang besar
c) Bangsa adalah suatu hasil sejarah.
d). Bangsa adalah bukan sesuatu yang abadi.
e) Wilayah dan ras bukanlah suatu penyebab timbulnya bangsa. Wilayah
memberikan ruang di mana bangsa hidup, sedangkan manusia membentuk
jiwanya. Dalam kaitan inilah maka Renan kemudian tiba pada suatu
kesimpulan bahwa bangsa adalah : suatu jiwa, suatu asas kerokhanian.

Lebih lanjut Ernest Renan menegaskan bahwa faktor-faktor yang membentuk jiwa
bangsa adalah kesuksesan dan kemuliaan di masa lampau, suatu keinginan
hidup bersama baik di masa sekarang dan di masa yang akan datang, serta
penderitaan-penderitaan bersama.
52
3) Teori Geopolitik oleh Frederich Ratzel

Suatu teori kebangsaan yang baru yang mengungkapkan hubungan antara wilayah
geografi dengan bangsa yang dikembangkan oleh Frederich Ratzel dalam bukunya
yang berjudul 'Political Geography' (1987). Teori tersebut menyatakan bahwa negara
adalah merupakan suatu organisme yang hidup. Agar supaya suatu bangsa itu
hidup subur dan kuat maka memerlukan suatu ruangan untuk hidup, dalam bahasa
Jerman disebut 'Lebensraum'. Negara-negara besar menurut Ratzel memiliki
semangat ekspansi militerisme serta optimisme. Teori Ratzel ini bagi negara-negara
modern terutama di Jerman mendapat sambutan yang cukup hangat, namun sisi
negatifnya menimbulkan semangat kebangsaan yang chauvinistis (Polak, 1960: 71)

4) Negara Kebangsaan Pancasila

Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang sejak
zaman kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan saat penjajahan oleh bangsa asing
selama tiga setengah abad. Unsur masyarakat yang membentuk bangsa Indonesia
terdiri atas berbagai macam suku bangsa, berbagai macam adat istiadat
kebudayaan dan agama yang berdiam dalam suatu wilayah yang terdiri atas ribuan
pulau. Oleh karena itu, kondisi yang beraneka ragam tersebut bukanlah merupakan
suatu perbedaan untuk dipertentangkan, melainkan perbedaan justru merupakan
suatu daya tarik kea rah suatu kerjasama persatuan dan kesatuan sehingga
keanekaragaman itu justru menciptakan kerjasama yang luhur. Sintesa persatuan
dan kesatuan tersebut kemudian dituangkan dalam suatu dasar kerohanian yang
merupakan suatu kepribadian dan jiwa bersama, yaitu Pancasila.

Oleh karena itu prinsip-prinsip nasionalisme Indonesia yang berdasarkan Pancasila


adalah bersifat 'majemuk tunggal'. Adapun unsur-unsur yang membentuk
nasionalisme (bangsa) Indonesia adalah sebagai berikut:
a) Kesatuan Sejarah, bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang dari suatu proses
sejarah, yaitu sejak zaman prasejarah, zaman Sriwijaya, Majapahit kemudian
datang penjajah, tercetus Sumpah Pemuda 1928 dan akhirnya
memproklamasikan sebagai bangsa yang merdeka pada tangggal 17 Agustus
1945, dalam suatu wilayah negara Republik Indonesia.
b) Kesatuan Nasib, yaitu bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki kesamaan
nasib yaitu penderitaan penjajahan selama tiga setengah abad dan
memperjuangkan demi kemerdekaan secara bersama dan akhirnya mendapatkan
kegembiraan bersama atas karunia Tuhan yang Maha Esa tentang kemerdekaan.
c) Kesamaan Kebudayaan, walaupun bangsa Indonesia memiliki keanekraragaman
kebudayaan, namun keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yaitu
kebudayaan nasional Indonesia. Jadi kebudayaan nasional Indonesia tumbuh
dan berkembang di atas akar-akar kebudayaan daerah yang menyusunnya.
d) Kesatuan Wilayah, bangsa Indonesia hidup dan mencari penghidupan dalam
wilayah Ibu Pertiwi, yaitu satu tumpah darah Indonesia.
e) Kesatuan Asas Keroanian, bangsa Indonesia sebagai satu bangsa memiliki
kesamaan cita-cita. kesamaan pandangan hidup dan filsafat berakar dari
pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri yaitu Pandangan Hidup Pancasila
(Notonagoro. 1975 : 106).

53
4. Paham Negara Integrallistilk

Pancasila sebagai asas kerokhanian bangsa dan negara Indonesia pada hakikatnya
merupakan suatu asas kebersamaan, asas kekeluargaan serta religiusitas. Dalam
pengertian inilah maka bangsa Indonesia dengan keanekaragamannya tersebut
membentuk suatu kesatuan integral sebagai suatu bangsa yang merdeka.

Bangsa Indonesia yang membentuk suatu persekutuan hidup dengan


mempersatukan keanekaragaman yang dimilikinya dalam suatu kesatuan integral
yang disebut negara Indonesia. Soepomo pada sidang pertama BPUPKI tanggal 31
Mei 1945, mengusulkan tentang paham integralistik yang dalam kenyataan
objektivnya berakar pada budaya bangsa. Namun hendaklah dibedakan dengan
konsep negara integralistik, sebagaimana dikembangkan oleh Spinoza, Adam Muller
dan Hegel. Bangsa Indonesia terdiri atas manusia-manusia sebagai individu,
keluarga-keluarga, kelompok-kelompok, golongan-golongan, suku-suku bangsa,
yang hidup dalam suatu wilayah yang terdiri atas beribu-ribu pulau yang memiliki
kekayaan budaya yang beranekaragam, keseluruhannya itu merupakan suatu
kesatuan integral baik lahir maupun batin (Kaelan, 1996 : 132). Kesatuan integral
bangsa dan negara Indonesia tersebut dipertegas dalam Pokok Pikiran
pertama,”…...negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia". Bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu penjelmaan dari
sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam
pengertian yang demikian ini maka manusia pada hakikatnya merupakan makhluk
yang saling tergantung , sehingga hakikat manusia itu bukanlah total individu dan
juga bukan total makhluk sosial. Relasi yang saling tergantung tersebut
menunjukkan bahwa manusia adalah merupakan suatu totalitas makhluk individu
dan makhluk sosial. adapun penjelmaan dalam wujud persekutuan hidup bersama
adalah terwujud dalam suatu bangsa yang memiliki kesatuan yang integralistik
(Abdul Kadir Besar, 1975 :77,78).

Dalam pengertian ini paham integralistik memberikan suatu prinsip bahwa negara
adalah suatu kesatuan integral dari unsur-unsur yang menyusunnya, negara
mengatasi semua golongan, bagian-bagian, yang membentuk negara, negara tidak
memihak pada suatu golongan walaupun golongan tersebut merupakan golongan
terbesar, negara dan bangsa adalah untuk semua unsur yang membentuk kesatuan
tersebut.

Dalam hubungannya dengan masyarakat maka paham integralistik menggambarkan


suatu masyarakat sebagai suatu kesatuan organis yang integral yang setiap anggota
bagian, lapisan, kelompok, golongan yang ada di dalamnya, satu dengan yang lain
saling berhubungan erat dan merupakan satu kesatuan hidup. Eksistensi setiap-
unsur hanya berarti dalam hubungannya dengan keseluruhan, setiap anggota,
bagian, lapisan, kelompok dan golongan dalam masyarakat itu memiliki tempat,
fungsi, dan kedudukan masing-masing yang diakui, dihormati dan dihargai. Paham
ini beranggapan bahwa setiap unsur merasa berkewajiban akan terciptanya
keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan bersama.

Paham integralistik yang terkandung dalam Pancasila meletakkan asas


kebersamaan hidup, mendambakan keselarasan dalam hubungan antar individu
maupun masyarakat. Dalam pengertian ini paham negara integralistik tidak memihak
kepada yang kuat, tidak mengenal dominasi mayoritas dan juga tidak mengenal
tirani minoritas. Maka di dalamnya terkandung nilai kebersamaan, kekeluargaan, ke
54
"binneka-tunggal-ikaan”, nilai religiusitas serta selaras (Ensiklopedi Pancasila, 1995 :
274).

Berdasarkan pengertian paham integralistik tersebut maka rincian pandangan


tersebut adalah sebagai berikut :
a) Negara merupakan suatu susunan masyarakat yang integral.
b) Semua golongan, bagian dan anggotanya berhubungan erat satu dengan
lainnya.
c) Semua golongan, bagian dan anggotanya merupakan persatuan masyarakat
yang organis.
d) Yang terpenting dalam kehidupan bersama adalah perhimpunan bangsa
seluruhnya.
e) Negara tidak memihak kepada sesuatu golongan atau perseorangan.
f) Negara tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat kekuasaan.
g) Negara tidak hanya untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan saja.
h) Negara menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagal suatu kesatuan
integral.
i) Negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai suatu
kesatuan yang tak dapat dipisahkan (Yamin, 1959).

5. Negara Pancasila Adalah Negara Kebangsaan yang Berketuhanan Yang Maha


Esa

Dasar ontologis negara kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah


hakikat manusia Monopluralis. Manusia secara filosofis memiliki unsur “susunan
kodrat” jasmani (raga) dan rokhani (jiwa). Sifat kodrat sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial, serta kedudukan kodrat sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
serta sebagai makhluk pribadi. Penjelmaan hakikat manusia “monopluralis” tersebut
dalam suatu persekutuan hidup yang disebut bangsa dan negara yaitu suatu negara
kebangsaan yang integralistik dan ber Ketuhanan yang Maha Esa (Iihat Notonagoro,
1975).

Sesuai dengan makna negara kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila


adalah kesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan negara, maka memiliki sifat
kebersamaan, kekeluargaan serta religiusitas. Dalam pengertian inilah maka negara
Pancasila pada hakikatnva adalah Negara Kebangsaan yang Berketuhanan Yang
Maha Esa. Landasan pokok sebagai pangkal tolak paham tersebut adalah Tuhan
sebagai Sang Pencipta segala sesuatu, kodrat alam semesta sebagai ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa adalah keteraturan alam semesta, keselarasan antara mikro
kosmos dan makro kosmos, keteraturan, kesatuan saling hubungan dan saling
ketergantungan antara satu dengan lainnya, atau dengan lain perkataan kesatuan
integral (Ensiklopedi Pancasila, 1995 : 274)

Oleh karena setiap individu yang hidup dalam suatu bangsa adalah sebagai
makhIuk Tuhan dan untuk itu bangsa dan negara sebagai totalitas yang integral
adalah BerkeTuhanan, demikian pula setiap warganya juga BerkeTuhanan Yang
Maha Esa. Rumusan Ketuhanan yang Maha Esa sebagaimana terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945, telah memberikan sifat yang khas kepada Negara
Kebangsaan Indonesia, yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisahkan
dan antara agama dengan negara demikian juga bukan merupakan negara agama
yaitu negara yang mendasarkan atas agama tertentu. Negara kebangsaan
Indonesia adalah negara yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa menurut dasar
55
kemanusiaan yang adil dan beradab, yaitu Negara Kebangsaan yang memelihara
budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita rakyat yang luhur,
yang berarti bahwa negara menjunjung tinggi manusia sebagai makhluk Tuhan,
dengan segala hak dan kewajibannya.

Negara tidak memaksa dan tidak memaksakan agama karena agama adalah
merupakan suatu keyakinan bathin yang tercermin dalam hati sanubari dan tidak
dapat dipaksakan. Tidak ada satu agamapun yang membenarkan untuk
memaksakan kepada orang lain untuk menganutnya. Dengan perkataan lain, negara
menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

Kebebasan beragama dan kebebasan agama adalah merupakan hak asasi manusia
yang paling mutlak, karena langsung bersumber pada martabat manusia yang
berkedudukan kodrat sebagai pribadi dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang
Maha Esa. Oleh karena itu kebebasan ini bukanlah merupakan pemberian negara,
bukan pula merupakan pemberian golongan. Hak dan kebebasan itu merupakan
suatu pilihan pribadi masing-masing manusia yang disertai tanggung jawab pribadi.
Setiap umat beragama memiliki kebebasan untuk menggali dan meningkatkan
kehidupan spiritualnya dalam masing-masing agama, Negara wajib memelihara budi
pekerti vang luhur dari setiap warga negara pada umumnya dan para penyelenggara
negara khususnya, berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

a. Hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila pertama Pancasila sebagai dasar filsafat negara adalah 'KeTuhanan Yang
Maha Esa'. Oleh karena sebagai dasar negara maka sila tersebut merupakan
sumber nilai, dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, baik
yang bersifat material maupun spiritual. Dengan Iain perkataan bahwa segala aspek
penyelenggaraan negara harus sesuai dengan hakikat nilai-nilai yang berasal dari
Tuhan baik material maupun spiritual. Bilaimana dirinci masalah-masalah yang
menyangkut penyelenggaraan negara dalam arti material antara lain, bentuk negara,
tujuan negara, tertib hukum, dan sistem negara. Adapun yang bersifat spiritual
antara lain moral negara, dan moral penyelenggara negara.

Hal ini ditegaskan oleh Moh. Hatta, bahwa sila 'Ketuhanan Yang Maha esa'
merupakan dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk
menyelenggarakan yang baik bagi masyarakat dan penyelenggara negara. Dengan
dasar sila Ketuhanana Yang Maha Esa ini, maka politik negara mendapat dasar
moral yang kuat, sila ini yang menjadi dasar yang memimpin ke arah jalan
kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan (Hatta, Panitia Lima,
1980). Hakikat 'Ketuhanan yang Maha Esa' secara ilmiah filosofis mengandung
makna terdapat kesesuaian hubungan antara Tuhan, Manusia dengan negara,
hubungan tersebut baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Manusia
kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena
itu terdapat hubungan sebab akibat yang langsung antara Tuhan dengan manusia
karena manusia adalah sebagai rnakhluk Tuhan. Adapun hakikat Tuhan adalah
sebagai 'causaprima' (sebab pertama), adapun manusia diciptakan oleh Tuhan
karena mausia adalah sebagai makhluk Tuhan (Kaelan dalam Ensiklopedi
Pancasila, 1995 : 110-115).

56
Dalam hubungannya dengan negara maka antara manusia dengan negara terdapat
hubungan sebab akibat yang langsung karena negara adalah merupakan lembaga
kemanusiaan, lembaga kemasyarakatan yang dibentuk oleh manusia dan segala
tujuannya untuk manusia. Adapun kedudukan kodrat manusia adalah sebagai
makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa oleh karena itu antara
negara dengan Tuhan terdapat hubungan sebab akibat yang tidak langsung.
Konsekuensinya negara kebangsaan, menurut Pancasila adalah negara
kebangsaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu setiap warga negara
juga Berketuhanan Yang Maha Esa dalam arti memiliki kebebasan dalam rnemeluk
agama sesuai dengan keimanan dan ketaqwaannya masing-masing (Pasal 29) ayat
(1) dan ayat (2).

Dalam kaitan dengan tertib hukum Indonesia maka secara material nilal Ketuhanan
Yang Maha Esa harus merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi hukum
positif di Indonesia dalam pengertian ini dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat nilai-
nilai hukum Tuhan (Alinea III), hukum kodrat (Alinea I), dan hukum etis (Alinea III).
Nilai-nilai hukum tersebut merupakan suatu sumber materi dan nilai bagi setiap
perumusan dan produk hukum positif di Indonesia (Kaelan dalam Ensiklopedi
Pancasila, 1995: 116).

b. Hubungan Negara dengan Agama

Negara pada hakikatnya adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama


sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial. Oleh karena itu sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar
negara, sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horisontal
dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama.
Oleh karena itu negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena
manusia adalah sebagai pendiri negara serta untuk mencapai tujuan manusia itu
sendiri.

Namun perlu disadari bahwa manusia sebagai warga hidup bersama, berkedudukan
kodrat sebagai makhIuk pribadi dan sebagal makhluk Tuhan yang Maha Esa.
Sebagai makhluk pribadi ia dikarunia kebebasan atas segala kehendak
kemanusiaannya, sehingga hal inilah yang merupakan suatu kebebasan asasi yang
merupakan karunia dari Tuhan yang Maha Esa. Sebagai makhluk Tuhan yang Maha
Esa ia memiliki hak dan kewajiban untuk memenuhi harkat kemanusiaannya yaitu
menyembah kepada Tuhan yang Maha Esa. Manifestasi hubungan manusia dengan
Tuhannya adalah terwujud dalam agama, negara adalah merupakan produk
manusia yang merupakan hasil budaya manusia, sedangkan agama adalah
bersumber pada wahyu yang sifatnya mutlak. Dalam hidup keagamaan manusia
memiliki hak-hak dan kewajiban yang didasarkan atas keimanan dan ketaqwaannya
terhadap Tuhannya, sedangkan dalam negara manusia memiliki hak-hak dan
kewajiban secara horisontal dalam hubungannya dengan manusia lain.

Berdasarkan pengertian kodrat manusia tersebut maka terdapat berbagai macam


konsep tentang hubungan negara dengan agama, dan hal ini sangat ditentukan oleh
dasar ontologis manusia masing-masing. Oleh karena itu berikut ini perlu dibahas
berbagai macam konsep hubungan negara dengan agama yang pada gilirannya
sebagai bahan komparasi dalam memahami hubungan negara dengan agama
dalam Negara Pancasila atau Negara Kebangsaan yang Berketuhanan yang Maha
Esa.
57
1) Hubungan Negara dengan Agama Menurut Paham Theokrasi

Hubungan negara dengan agama menurut paham Theokrasi bahwa antara


negara dengan agama tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama,
pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata
kehidupan dalam masyarakat, bangsa dan negara didasarkan atas firman-firman
Tuhan. Dengan demikian agama menguasai masyarakat politis, (Heuken dalam
Suhadi, 1998 : 114).

2) Hubungan Negara dengan Agama menurut Paham Sekulerisme

Paham sekulerisme membedakan dan memisahkan antara agama dan negara.


Oleh karena itu dalam suatu negara yang berpaham sekulerisme bentuk, sistem,
serta segala aspek kenegaraan tidak ada hubungannya dengan agama.
Sekulerisme berpandangan bahwa negara adalah masalah-masalah
keduniawian hubungan manusia dengan manusia, adapun agama adalah urusan
akhirat yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan.

Dalam negara yang berpaham sekulerisme sistem, norma-norma terutama


norma-norma hukum positif dipisahkan dengan nillai-nilai dan norma-norma
agama. Konsekuensinya hukum positif sangat ditentukan oleh komitmen warga
negara sebagai pendukung pokok Negara, walaupun ketentuan hukum positif itu
bertentangan dengan agama. Negara adalah urusan hubungan horisontal antar
manusia dalam mencapai tujuannya, adapun agama adalah menjadi urusan
umat masing-masing agama. Walaupun dalam negara sekuler membedakan
antara negara dengan agama, namun lazimnya warga negara diberikan
kebebasan dalam memeluk agama masing-masing.

3) Hubungan Negara dengan Agama Menurut Pancasila

Menurut Pancasila negara adalah berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa atas
dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Hal ini termuat dalam Penjelasan
Pembukaan UUD 1945 yaitu Pokok Pikiran keempat, Rumusan yang demikian
ini menunjukkan pada kita bahwa negara Indonesia berdasarkan Pancasila
adalah bukan negara sekuler yang memisahkan negara dengan agama, karena
hal ini tercantum dalam Pasal 29 ayat (1), bahwa negara adalah berdasar atas
Ketuhanan yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa negara sebagai persekutuan
hidup adalah Berketuhanan yang Maha Esa. Konsekuensinya segala aspek
dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara harus sesuai dengan hakikat
nilai-nilai yang berasal dari Tuhan. Nilai-nilai yang berasal dari Tuhan yang pada
hakikatnya adalah merupakan Hukum Tuhan dan merupakan sumber material
bagi segala norma, terutama bagi hukum positif di Indonesia.

Demikian pula makna yang terkandung dalam Pasal 29 ayat (1) tersebut juga
mengandung suatu pengertian bahwa negara Indonesia adalah bukan hanya
mendasarkan pada suatu agama tertentu atau bukan negara agama dan juga
bukan negara Theokrasi. Negara Pancasila pada hakikatnya mengatasi segala
agama dan menjamin kehidupan agama dan umat beragama, karena beragama
adalah hak asasi yang bersifat mutlak. Dalam praktek kenegaraan negara
terdapat dua macam pengertian negara Theokrasi, yaitu Negara Theokrasi
Langsung dan Negara Theokrasi Tidak Langsung.

58
a) Negara Theokrasi Langsung

Dalam sistem negara Theokrasi langsung kekuasaan adalah langsung


merupakan otoritas Tuhan. Adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak
Tuhan, dan yang memerintah adalah Tuhan. Dalam sejarah Perang Dunia II,
rakyat Jepang rela mati berperang demi Kaisarnya, karena menurut
kepercayaannya Kaisar adalah sebagai anak Tuhan. Negara Tibet dimana
pernah terjadi perebutan kekuasaan antara Pancen Lama dan Dalai Lama
adalah sebagai penjelmaan otoritas Tuhan dalam negara dunia.

Doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran berkembang dalam negara Theokrasi


langsung, sebagai upaya untuk memperkuat dan meyakinkan rakyat terhadap
kekuasaan Tuhan dalam negara (Kusnardi, 1995 : 60). Dalam sistem negara
yang demikian maka agama menyatu dengan negara dalam arti seluruh sistem
negara, norma-norma negara adalah langsung merupakan otoritas langsung dari
Tuhan melalui wahyu.

b) Negara Theokrasi Tidak Langsung

Berbeda dengan sistem negara Theokrasi yang langsung, negara Theokrasi


tidak langsung bukan Tuhan sendiri yang memerintah dalam negara, melainkan
Kepala Negara atau Raja, yang memiliki otoritas atas nama Tuhan. Kepala
Negara atau Raja memerintah negara atas kehendak Tuhan, sehingga
kekuasaan dalam negara merupakan suatu karunia dari Tuhan. Dalam sejarah
kenegaraan kerajaan Belanda, raja mengemban tugas suci, yaitu kekuasaan
yang merupakan amanat Tuhan (mission sacre). Raja mengemban tugas suci
dari Tuhan untuk memakmurkan rakyatnya. Politik yang demikian inilah yang
diterapkan belanda terhadap wilayah jajahannya sehingga dikenal dengan
Ethische Politik (polltik etis). Kerajaan belanda mendapat amanat dari Tuhan
untuk bertindak sebagai wali dari wilayah jajahan lndonesia (Kusnardi, 1995 :
63).

Negara merupakan penjelmaan dari kekuasaan Tuhan, dan oleh karena


kekuasaan Raja dalam negara adalah merupakan kekuasaan yang berasal dari
Tuhan maka sistem dan norma-norma dalam negara dirumuskan berdasarkan
firman-firman Tuhan. Demikianlah kedudukan agama dalam negara Theokrasi di
mana firman Tuhan, norma agama serta otoritas Tuhan menyatu dengan negara
dengan pengertian negara kebangsaan maka negara Pancasila adalah negara,
yang melindungi seluruh agama di seluruh wilayah tumpah darah.

Pasal 29 ayat (2) memberikan kebebasan kepada seluruh warga negara untuk
memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keimanan dan
ketaqwaan masing-masing. Negara kebangsaan yang berketuhanan yang Maha
Esa adalah negara yang merupakan penjelmaan dari hakikat kodrat manusia
sebagai individu, makhluk, sosial dan manusia adalah sebagai pribadi dan
makhluk Tuhan yang Maha Esa. Bilamana dirinci maka hubungan negara
dengan agama menurut negara Pancasila adalah sebagai berikut :
(1) Negara adalah berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.
(2) Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang Berketuhanan yang Maha
Esa. Konsekuensinya setiap warga memiliki hak asasi untuk memeluk dan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing.

59
(3) Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekulerisme karena hakikatnya manusia
berkedudukan kodrat sebagai makhluk Tuhan.
(4) Tidak ada tempat bagi pertentangan agama, golongan agama, antar dan
inter pemeluk agama serta antar pemeluk agama.
(5) Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karena ketaqwaan itu bukan hasil
paksaan bagi siapapun juga.
(6) Oleh karena itu harus memberikan toleransi terhadap orang lain dalam
menjalankan agama dalam negara.
(7) Segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus sesuai
dengan nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa terutama norma-norma hukum
positif maupun norma moral baik moral negara maupun moral para
penyelenggara negara.
(8) Negara pada hakikatnya adalah merupakan “…berkat rakhmat Allah yang
Maha Esa. (Bandingkan dengan Notonagoro, 19 75).

6. Negara Pancasila Adalah Negara Kebangsaan Berkemanusiaan

Negara Berkemanusiaan yang Adil dan Beradab pada hakikatnya menurut


pandangan filsafah Pancasila adalah merupakan suatu perseketuan hidup manusia,
yang merupakan suatu penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial serta manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Negara
adalah lembaga kemanusiaan, lembaga kemasyarakatan yang bertujuan demi
tercapainya harkat dan martabat manusia serta kesejahteraan lahir maupun bathin.
Sehingga tidak mengherankan jikalau manusia adalah merupakan subjek
pendukung pokok negara. Oleh karena itu negara adalah suatu Negara Kebangsaan
yang Berketuhanan yang Maha Esa, dan Berkemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Konsekuensinya segala aspek dalam penyelengaraan negara, sifat-sifat dan


keadaan negara harus sesuai dengan hakikat manusia. Sifat-sifat dan keadaan
negara tersebut adalah meliputi (1) bentuk negara, (2) tujuan negara, (3) organisasi
negara, (4) kekuasaan negara, (5) penguasa negara (6) warga negara, masyarakat,
rakyat dan bangsa (lihat Notonagoro, 1975). Negara dalam pengertian ini
menempatkan manusia sebagai dasar ontologis, sehingga manusia adalah sebagai
asal mula negara dan kekuasaan negara. Manusia adalah merupakan paradigma
sentral dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, terutama dalam pembangunan
negara (Pembangunan Nasional).

Sebagai negara yang berkemanusiaan, maka negara “…melindungi seluruh


warganya serta seluruh tumpah darahnya..". Hal ini berarti negara melindungi
seluruh manusia sebagai warganya tidak terkecuali. Oleh karena itu negara harus
melindungi hak-hak asasi manusia, serta mewujudkannya dalam suatu sistem
peraturan perundang-undangan negara. Hal ini sebagaimana termuat dalam UUD
1945 pasal 27, 28, 29, 30 dan 31. Negara berkewajiban mengembangkan harkat
dan martabat manusia, bahkan negara harus menempatkan moral kemanusiaan
sebagai moral negara dan penyelenggara pemerintahan negara.

Negara Pancasila sebagai Negara Kebangsaan yang Berkemanusiaan yang Adil


dan Beradab, mendasarkan nasionalisme (kebangsaan) berdasarkan hakikat kodrat
manusia. Kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan yang berkemanusiaan, bukan
suatu kebangsaan yang Chauvinistic. Kebangsaan Indonesia yang berdasarkan
Pancasila mengakui kebangsaan yang berkemanusiaan. Hal ini berarti bagi bangsa
Indonesia mengakui bahwa bangsa adalah sebagai penjelmaan kodrat manusia
60
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, oleh karena itu bangsa Indonesia
mengakui bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai bagian dari umat manusia. Maka
dalam pergaulan dunia internasional bangsa Indonesia mengembangkan suatu
pergaulan antar bangsa dalam masyarakat internasional berdasarkan atas kodrat
manusia, serta mengakui kemerdekaan bangsa sebagai hak yang dimiliki oleh
hakikat manusia sebagai induvidu maupun makhluk sosial. Oleh karena itu
penjajahan atas bangsa adalah pelanggar atas hak kodrat manusia sebagai bangsa
dan tidak sesuai dengan keadilan.

7. Negara Pancasila Adalah Negara Kebangsaan Berpersatuan

Bangsa dan Negara Indonesia adalah terdiri atas berbagai macam unsut yang
membentuknya yaitu suku bangsa,kepulauan,kebudayaan,golongan sertaagama
yang secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan.Oleh karena itu Negara
Indonesia adalah Negara yang berdasarkan pancasila sebagai suatu Negara
persatuan sebagaimana termuat dalam pembukaanUUD 1945, Negara Persatuan
Republik Indonesia yang Berkedaulatan Rakyat ditegaskan kembali dalam pokok
Pikiran Pertama “……. Bahwa Negara Indonesia adalah Negara persatuan yang
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.”
Hakikat Negara persatuan dalam pengertian ini adalah Negara yang merupakan
suatu kesatuan dari unsure-unsur yang membentuknya,yaitu rakyat yang terdiri atas
berbagai macam etnis suku bangsa,golongan, kebudayaan,serta
agama.Wilayah,yang terdiri atas beribu-ribu pulau yang sekaligus juga memiliki sifat
dan karakter .Oleh karena itu Negara persatuan adalah merupakan satu Negara,
satu rakyat, satu wilayah dan tidak berbagi-bagi misalnya seperti Negara serikat,
satu pemerintahan, satu tertib hukum yaitu tertib hukum nasional, satu bahasa serta
satu bangsa Indonesia.

Pengertian ’persatuan Indonesia’ lebih lanjut di jelaskan secara resmi dalam UUD
1945 yang termuat dalam berita Republik Indonesia Tahun II No 7,bahwa bangsa
Indonesia mendirikan Negara Indonesia di pergunakan aliran pengertian ‘Negara
Persatuan’yaitu Negara yang mengatasi segala paham golongan dan paham
perseorangan.Jadi ‘Negara Persatuan ’bukanlah Negara yang berdasarkan
individualism sebagaimana diterapkan di Negara liberal dimana Negara hanya
merupakan suatu ikatan idividu saja.Demikian Negara persatuan bukanlah Negara
yang berdasarkan klass, atau ‘klass staat’(Negara kelas)yang hanya berdasarkan
satu golongan saja.negara persatuan pada hakikatnya adalah Negara yang
mengatasi segala golongan,Negara melindungi seluruh warganya yang terdiri atas
berbagai macam golongan serta paham.Negara persatuan pada hakikatnya
mendasarkan pada hakikat sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk
social.Oleh karena itu negarapersatuan adalah Negara yang memiliki sifat persatuan
bersama,Negara yang berdasarkan kekeluargaan,tolong-menolong atas dasar
keadilan social.

Bhineka Tunggal Ika sebagaimana diketahui mempunyai makna bahwa walaupun


bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang memiliki karakter,
kebudayaan serta adat istiadat yang beraneka ragam,namun keseluruhannya
merupakan suatu kesatuan dan persatuan negara dan bangsa Indonesia.
Penjelmaan persatuan bansa dan wilayah negara Indonesia tersebut disimpulkan
dalam PP.No 66 Tahun 1951,17 Oktoberdan diundangkan tanggal 28 November
1951 dan termuat dalam Lembaran Negara No II/Tahun 1951 yaitu dengan lambang
negara dan bangsa burung garuda pancasila dengan selokan Bhineka tunggal ika.
61
Hakikat makna Bhineka tunggal ika memberikan suatu pengertian bahwa meskipun
bangsa dan Negara Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa yang
memiliki ada- istiadat, kebudayaan serta karakter yang berbeda-beda, memiliki
agama yang berbeda-beda dan terdiri atas beribu-ribu kepulauan wilayah nusantara
Indonesia, namun keseluruhannya adalah merupakan suatu persatuan yaitu
persatuan bangsa dan negara Indonesia. Perbedaan itu adalah merupakan suatu
bawaan kodrat manusia sebai makhluk Tuhan yang Maha Esa, namun perbedaan
itu untuk dipersatukan disintesakan dalam suatu sintesa yang positif dalam suatu
Negara kebersamaan Negara persatuan Indonesia (Notonagoro,1975:106).

a. Paham Negara kebangsaan. 

Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia didunia adalah sebagai
makhluk Tuhan yang Maha Esa yang memiliki sifat kodrat sebagai makhluk individu
yang memiliki kebebasan dan juga sebagai makhluk sosial yang senantiasa
membutuhkan orang lain. Oleh karena itu dalam upaya untuk merealisasikan harkat
dan martabatnya secara sempurna maka manusia membentuk suatu persekutuan
hidup dalam suatu wilayah tertentu serta memiliki suatu tujuan tertentu. Dalam
pengertian inilah maka manusia membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut
sebagai bangsa, dan bangsa yang hidup dalam suatu wilayah tertentu serta memiliki
tujuan tertentu maka pengertian ini disebut sebagai Negara. 

Menurut Muhammad Yamin, bangsa Indonesia dalam merintis terbentuknya suatu


bangsa dalam panggung politik internasional, yaitu suatu bangsa yang modern yang
memiliki kemerdekaan dan kebebasan, berlangsung melalui 3 pase pertama, yaitu
jaman kebangsaan sriwijaya, kedua, Negara kebangsaan jaman majapahit, kedua
jaman kebangsaan tersebut adalah merupakan kebangsaan lama,dan ketiga pada
giliranya masyarakat Indonesia membentuk suatu Nationale Staat, atau suatu Etat
Nationale, yaitu suatu nagara kebangsaan Indonesia modern menurut susunan
kekeluargaan berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa serta kemanusiaan
(sekarang Negara Proklamasi 17 Agustus 1945). 

b. Hakikat bangsa. 

Manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa pada hakikatnya memiliki sifat
kodrat sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu Bangsa pada
hakikatnya adalah merupakan suatu penjelmaan dari sifat kodrat manusia tersebut
dalam merealisasikan harkat dan martabat kemanusiaannya. Hal ini disadari bahwa
manusia tidaklah mungkin untuk menyendiri sehingga ia senantiasa memerlukan
orang lain. Suatu bangsa bukanlah merupakan suatu manifestasi kepentingan
individu saja yang diikat secara inperatif dengan suatu peraturan perundang-
undangan sebagaimana dilakukan oleh Negara Liberal. Demikian juga suatu bangsa
bukanlah suatu totalitas kelompok masyarakat yang menenggelamkan hak-hak
individu sebagaimana terjadi pada bangsa sosialis komunistis.
Manusia membentuk suatu bangsa karena untuk memenuhi hak kodratnya yaitu
sebagai individu dan makhluk sosial, Oleh karena itu deklarasi bangsa Indonesia
tidak mendasarkan pada deklarasi kemerdekaan individu sebagaimana Negara
Liberal. Demikian pula deklarasi bangsa Indonesia bukanlah merupakan suatu
manifesto bangsa komunal sebagaimana dilakukan oleh kalangan paham sosialis
komunis.

62
Oleh karena itu deklarasi bangsa Indonesia sebagai suatu pernyataan hak kodrat
manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Maka dalam pembukaan
UUD 1945 dinyatakan bahwa “….kemerdekaan adalah hak segala bangsa
…”pernyataan tersebut merupakan suatu pernyataan universal hak kodrat manusia
sebagai bangsa,manusia dalam merealisasikan sifat kodratnya sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial.

8. Negara Pancasila adalah Negara Kebangsaan Yang Berkerakyatan

Negara menurut filsafat Pancasila adalah dari oleh dan untuk rakyat. Hakikat rakyat
adalah sekelompok manusia yang bersatu yang memiliki tujuan tertentu dan hidup
dalam suatu wilayah negara. Oleh karena itu negara harus sesuai dengan hakikat
rakyat. Rakyat adalah sebagai pendukung pokok dan sebagai asal mula kekuasaan
negara.

Negara kebangsaan yang berkedaulatan rakyat berarti bahwa kekuasaan tertinggi


adalah di tangan rakyat dan dalam sistem kenegaraan dilakukan oleh suatu majelis
yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 0leh karena itu negara kebangsaan
yang berkedaulatan rakyat adalah suatu negara demokrasi. Rakyat adalah
merupakan suatu penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk
sosial. Oleh karena itu demokrasi Pancasila adalah demokrasi 'monodualis' artinya
sebagai makhluk individu menurut hak dan sebagai makhluk sosial harus disertai
tanggungjawab. Oleh karena itu dalam menggunakan hak-hak demokrasi dalam
negara kebangsaan yang berkerakyatan adalah hak-hak demokrasi yang (1) disertai
tanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan sesuai dengan harkat dan martabat manusia, (3) menjamin dan
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, serta (4) disertai dengan tujuan
untuk mewujudkan suatu keadilan sosial, yaitu kesejahteraan dalam hidup bersama.

Demokrasi monodualis yang mendasarkan individu dan makhIuk sosial bukanlah


demokrasi liberal yang hanya mendasarkan pada kodrat manusia sebagai individu
saja, dan bukan pula demokrasi klass yang hanya mengakui manusia sebagai
makhluk sosial belaka. Demokrasi monodualis mengembangkan demokrasi
kebersamaan, berdasarkan asas kekeluargaan, kebebasan individu diletakkan
dalam rangka tujuan atas kekjahteraan bersama. Pokok-pokok 'Kerakyatan' dari
demokrasi Pancasila dalam negara dapat dirinci sebagal berikut :
(1) Manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat mempunyai
kedudukan dan hak yang sama
(2) Dalam menggunakan hak-haknya selalu memperhatikan dan
mempertimbangkan kepentingan negara dan masyarakat,
(3) Karena mempunyai kedudukan, hak serta kewajiban yang sama maka pada
dasarnya tidak dibenarkan memaksakan kehendak pada fihak lain.
(4) Sebelum mengambil keputusan, terlebih dahulu diadakah musyawarah.
(5) Keputusan diusahakan ditentukan secara musyawarah.
(6) Musyawarah untuk mencapai mufakat, diliputi oleh suasana dan semangat
kekeluargaan. (Suhadi, 1998).

9. Negara Pancasila adalah Negara Kebangsaan Yang Berkeadilan Sosial

Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang berkeadilan sosial yang berada
bahwa negara sebagai penjelmaan manusia sebagai Makhluk Tuhan yang Maha
Esa, sifat kodrat individu dan makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan suatu
63
keadilan dalam hidup bersama (Keadilan Sosial). Keadilan sosial tersebut didasari
dan dijiwai oleh hakikat keadilan manusia sebagai makhluk yang beradab (sila II).
Manusia pada hakikatnya adalah adil dan beradab, yang berarti manusia harus adil
terhadap diri sendiri, adil terhadap Tuhannya, adil terhadap orang lain dan
masyarakat, serta adil terhadap lingkungan alamnya.

Dalam hidup bersama baik dalam masyarakat bangsa, dan negara harus terwujud
suatu keadilan (Keadilan Sosial), yang meliputi tiga hal yaitu: (1) keadilan distributif
(keadilan membagi), yaitu negara terhadap warganya, (2) keadilan legal (keadilan
bertaat), yaitu warga terhadap negaranya agar mentaati peraturan perundangan,
dan (3) keadilan komulatif (keadilan antar sesama warga negara), yaitu hubungan
keadilan antara warga satu dengan,lain secara timbal balik (Notonagoro, 1975).

Sebagai suatu negara berkeadilan sosial maka negara Indonesia yang berdasarkan
Pancasila sebagai suatu negara kebangsaan, bertujuan untuk melindungi segenap
warganya dan seluruh tumpah darah memajukan kesejahteraan umum, serta
mencerdaskan warganya (tujuan khusus). Adapun tujuan dalam pergaulan antar
bangsa di masyarakat internasional bertujuan : ”........ikut menciptakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdakaan perdamaian abadi dan keadilan sosial).
Dalam pengertian ini maka negara Indonesia sebagai negara kebangsaan adalah
berdasar keadilan sosial dalam melindungi dan mensejahterakan warganya,
demikian pula dalam Pergaulan masyarakat internasional berprinsip dasar pada
kemerdekaan serta keadilan dalam hidup masyarakat.

Realisasi dan perlindungan keadilan dalam hidup bersama dalam suatu negara
kebangsaan, mengharuskan negara untuk menciptakan suatu peraturan perundang-
undangan. Dalam pengertian inilah maka negara kebangsaan yang berkeadilan
sosial harus merupakan suatu negara yang berdasarkan atas hukum. Sehingga
sebagai suatu negara hukum harus terpenuhi adanya tiap syarat pokok yaitu: (1)
pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia. (2) peradilan yang bebas,
dan (3) legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

Konsekuensinya sebagai suatu negara hukum yang berkeadilan sosial maka negara
Indonesia. harus mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia yang tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, Pasal 29
ayat (2), Pasal 31 ayat (1). Demikianlah sebagai suatu negara yang berkeadilan
maka negara berkewajiban melindungi hak-hak asasi warganya, sebaliknya warga
negara berkewajiban mentaati peraturan perundang-undangan sebagai manifestasi
keadilan legal dalam hidup bersama. Dalam realisasinya Pembangunan Nasional
adalah merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan negara, sehingga
Pembangunan Nasional harus senantiasa meletakkan asas keadilan, sebagai dasar
operasional serta dalam penentuan berbagai macam kebijaksanaan dalam
pemerintahan negara.

D. Ideologi Liberal

Pada akhir abad ke-18 di Eropa terutama di Inggris, terjadilah suatu revolusi di
bidang ilmu pengetahuan kemudian berkembang ke arah revolusi teknologi dan
industri. Perubahan tersebut membawa perubahan orientasi kehidupan masyarakat
baik di bidang sosial, ekonomi maupun politik. Paham liberalisme berkembang dari
akar-akar rasionalisme yaitu paham yang meletakkan rasio sebagai sumber
kebenaran tertinggi, materialisme yang meletakkan materi sebagai sumber
64
kebenaran tertinggi, empirisme yang mendasarkan atas kebenaran fakta empiris
(yang dapat ditangkap dengan indra manusia), serta individualisme yang meletakkan
nilai dan kebebasan individu sebagai nilai tertingggi dalam kehidupan masyarakat
dan negara.

Berpangkal dari dasar ontologis bahwa manusia pada hakikatnya adalah sebagai
makhluk individu yang bebas. Menurut paham liberalisme memandang bahwa
manusia sebagai makhluk pribadi yang utuh dan lengkap dan terlepas dari manusia
lainnya. Manusia sebagai individu memiliki potensi dan senantiasa berjuang untuk
dirinya sendiri. Dalam pengertian inilah maka dalam hidup masyarakat bersama
akan menyimpan potensi konflik, manusia akan menjadi ancaman bagi manusia
lainnya yang menurut istilah Hobbes disebut "homo homini lupus" sehingga manusia
harus membuat suatu perlindungan bersama. Atas dasar kepentingan inilah maka
kemudian manusia membentuk negara bersama-sama dengan orang lain dan untuk
itu maka diperlukan suatu peraturan hukum demi kepentingan bersama. Negara
menurut liberalisme harus tetap menjamin kebebasan individu dan untuk itu maka
manusia secara bersama-sama mengatur negara.

Atas dasar ontologis hakikat manusia tersebut maka dalam kehidupan masyarakat
bersama yang disebut negara kebebasan individu sebagai basis demokrasi bahkan
hal ini merupakan unsur yang fundamental. Dasar-dasar demokrasi inilah yang
merupakan referensi model demokrasi di berbagai negara pada awal abad ke-19
(Poespowardoyo, 1989). Namun demikian dalam kapasitas manusia sebagai rakyat
dalam negara maka sering terjadi perbedaan persepsi. Liberalisme tetap pada suatu
prinsip bahwa rakyat adalah merupakan ikatan dari individu-individu yang bebas,
dan ikatan hukumlah yang mendasari kehidupan bersama dalam negara.

Berdasarkan latarbelakang timbulnya paham, liberalisme yang merupakan sintesa


dari beberapa paham antara lain paham materialisme, rasionalisme, empirisme dan
individualisme maka dalam penerapan ideologi tersebut dalam negara senantiasa
didasari oleh aliran-aliran serta paham-paham tersebut secara keseluruhan.
Kebebasan manusia dalam realisasi demokrasi senantiasa mendasarkan atas
kebebasan individu di atas segala-galanya. Rasio merupakan hakikat tingkatan nilai
tertinggi dalam negara sehingga dimungkinkan akan melampaui tingkatan
kedudukan nilai religius. Hal ini harus dipahami karena demokrasi akan mencakup
seluruh sendi-sendi kehidupan dalam masyarakat bangsa dan negara, antara lain
bidang politik, ekonomi, social, kebudayaan, ilmu pengetahuan bahkan kehidupan
keagamaan atau kehidupan religius. Atas dasar inilah perbedaan sifat serta karakter
bangsa sering menimbulkan gejolak dalam menerapkan demokrasi yang hanya
mendasakan pada paham liberalisme. Termasuk di Indonesia sendiri pada era
reformasi ini yang tidak semua orang memahami makna demokrasi, sehingga
penerapan yang dipaksakan yang tidak sesuai dengan kondisi objektif bangsa dan
dalam kenyataanya menimbulkan banyak konflik.

Pemahaman atas eksistensi rakyat dalam suatu negara inilah yang merupakan
sumber perbedaan konsep, antara lain terdapat konsep yang menekankan bahwa
rakyat adalah sebagai suatu kesatuan integral dari elemen-elemen yang menyusun
negara bahkan komunisme menekankan bahwa rakyat adalah merupakan suatu
totalitas di atas eksistensi individu.

65
E. Hubungan Negara dengan Agama Menurut Paham Liberalisme

Negara liberal pada hakikatnya mendasarkan pada kebebasan individu Negara


adalah merupakan alat atau sarana individu, sehingga masalah agama dalam
negara sangat ditentukan oleh kebebasan individu. Paham liberalisime dalam
pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh paham rasionalisme yang mendasarkan
atas kebenaran rasio, materialisme yang mendasarkan atas hakikat materi,
emipirsme dan juga mendasarkan atas kebenaran pengalaman indra serta
individualisme yang mendasarkan atas kebebasan individu (Soeryanto, 1989: 185).

Negara memberi kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama dan


menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Namun dalam
negara liberal juga diberi kebebasan untuk tidak percaya terhadap Tuhan atau
atheis, bahkan negara liberal memberi kebebasan warganya untuk menilai dan
mengkritik agama misalnya tentang Nabi, Rasul, Kitab Suci bahkan Tuhan
sekalipun, contoh misalnya Salman Rusdi yang mengkritik kitab suci dengan tulisan
ayat-ayat setan, karena menurut paham liberal bahwa kebenaran individu adalah
sebagai sumber kebenaran tertinggi.

Nilai-nilai agama dalam negara dipisahkan dan dibedakan dengan negara,


keputusan dan ketentuan kenegaraan terutama peraturan perundang-undangan
sangat ditentukan oleh kesepakatan individu-individu sebagai warga negaranya,
walaupun ketentuan tersebut bertentangan dengan norma norma agama. Misalnya
UU Aborsi di negara Irlandia tetap diberlakukan walaupun ditentang oleh Gereja dan
Agama lainnya, karena UU tersebut merupakan hasil referendum.
Berdasarkan pandangan filosofis tersebut hampir dapat dipastikan bahwa dalam
sistem negara liberal membedakan dan memisahkan antara negara dengan agama
atau bersifat sekuler.

F. Ideologi Sosislisme Komunis

Berbagai macam konsep dan paham sosialisme sebenaraya hanya paham


komunismelah sebagai paham yang paling jelas dan Iengkap. Paham ini adalah
sebagai bentuk reaksi atas perkembangan masyarakat kapitalis yang merupakan
hasil dari ideologgi liberal. Berkembangnya paham individualisme, liberalisme yang
berakibat munculnya masyarakat kapitalis menurut paham ini mengakibatkan
penderitaan rakyat sehingga komunisme muncul sebagai reaksi atas penindasan
rakyat kecil oleh kalangan kapitalis yang didukung pemerintah.
Bertolak belakang dengan paham liberalisme individualisme, maka komunisme yang
dicetuskan melalui pemikiran Karl Marx memandang bahwa hakikat, kebebasan dan
hak individu ini tidak ada. Ideologi komunisme mendasarkan pada suatu keyakinan
bahwa manusia pada hakikatnya adalah hanya makhluk sosial saja. Manusia pada
hakikatriya adalah merupakan sekumpulan relasi sehingga yang mutlak adalah
komunitas dan bukannya individualitas. Hak milik pribadi tidak ada karena hal ini
akan menimbulkan kapitalisme yang pada gilirannya akan melakukan penindasan
pada kaum proletar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa individaisme merupakan
sumber penderitaan rakyat: Oleh karena itu hak milik individual harus diganti dengan
hak milik kolektif. individualisme diganti sosialisme komunis. Oleh karena tidak
adanya hak individu maka dapat dipastikan bahwa menurut paham komunisme
bahwa demokrasi individualis itu tidak ada yang ada adalah hak komunal.

66
Dalam masyarakat terdapat kelas-kelas yang saling berinteraksi secara dialektis,
yaitu kelas kapitalis dan kelas proletar buruh. Walaupun kedua hal tersebut
bertentangan namun saling membutuhkan. KeIas kapitalis senantiasa melakukan
penindasan atas kelas buruh oleh karena itu harus dilenyapkan. Hal ini dapat
dilakukan hanya dengen melalui suatu revolusi. Hal inilah yang merupakan konsep
kaum komunis untuk melakukan suatu perubahan terhadap struktur masyarakat.
Untuk merubah suatu supra struktur masyarakat harus dilakukan dengan mengubah
secara revolusi infrastruktur masyarakat. Menurut komunisine ideologi hanya
diperuntukkan bagi masyarakat secora keseluruhan. Etika ideologi komunisme
adalah mendasarkan suatu kebaikan hanya pada kepentingan demi keuntungan
kelasnya dan oleh karena itu segala cara dapat dihalalkan.

Dalam kaitannya dengan negara bahwa negara adalah sebagai manifestasi dari
manusia sebagai makhluk komunal. Mengubah masyarakat secara revolusioner
harus berakhir dengan kemenangan pada pihak kelas proletar. Sehingga pada
gilirannya pemerintahan negara harus dipegang oleh orang- orang yang meletakkan
kepentingannya pada kelas proletar. Oleh karena itu pemerintahan negara adalah
sebagai alat kelas proletar. Demikian juga hak asasi dalam negara hanya berpusat
pada hak kolektif. sehingga hak individual pada hakikatnya adalah tidak ada. Atas
dasar pengertian inilah maka sebenarnya komunisme adalah anti demokrasi dan
hak asasi manusia.

G. Hubungan Negara dengan Agama Menurut Faham Komunisme

Paham komunisme dalam memandang hakikat hubungan negara dengan agama


mendasarkan pada pandangan filosofis materialisme dialektis dan materialisme
historis. Hakikat kenyataan tertinggi menurut paham komunis adalah materi berada
pada ketegangan intern secara dinamis bergerak dari keadaan (tesis) ke keadaan
lain (antitesis) kemudian menyatukan (sintesis) ke tingkat yang lebih tinggi. Dalam
pengertian inilah menurut Komunisme yang dipelopori oleh K. Marx, menyatakan
bahwa manusia adalah merupakan suatu hakikat yang menciptakan dirinya sendiri
dengan menghasilkan sarana-sarana kehidupan sehingga sangat menentukan
dalam perubahan sosial, politik. ekonomi, kebudayaan bahkan agama.

Dalam pengertian ini maka komunisme berpaham atheis, karena manusia ditentukan
oleh dirinva sendiri. Agama menurut komunisme adalah suatu kesadaran diri bagi
manusia ketika ia belum menemukan dirinya. Manusia adalah dunia manusia yang
kemudian menghasilkan masyarakat negara. Agama menurut komunisme adalah
realisasi fantastis makhluk manusia, agama adalah keluhan makhluk tertindas, oleh
karena itu menurut komunisme Marxis, agama adalah merupakan candu masyarakat
(Marx, dalam. Louis Leahy, 1992 :97,98).

Negara yang berpaham komunisme adalah bersifat atheis bahkan bersifat antitheis,
malarang dan menekan kehidupan agama. Nilai yang tertinggi dalam negara adalah
materi, karena manusia sendiri pada hakikatnya adalah materi.

H. Perbandingan Ideologi Pancasila dengan Ideologi Lain

67
Aspek
IDEOLOGI
Liberalisme Komunisme Sosialisme Pancasila

- Demokrasi liberal - Demokrasi rakyat - Demokrasi untuk - Demokrasi


- Hukum untuk - Berkuasa mutlak kolektivitas Pancasila
Politik & melindungi satu parpol - Diutamakan - Hukum untuk
Hukum individu - Hukum untuk kebersamaan menjunjung
- Dalam politik melanggengkan - Masyarakat tinggi
Mementingkan komunis sama dengan keadilan dan
individu negara keberadaan
individu dan
masyarakat
- Peran negara - Peran negara - Peran negara ada - Peran negara
kecil dominan untuk ada untuk tidak
- Dominasi swasta - Demi kolektivitas pemerataan terjadi monopoli,
Ekonomi - Kapitalisme berarti demi - Keadilan dan lain-lain
- Monopolisme negara distributif yang yang merugikan
- Persaingan - Monopoli negara diutamakan rakyat
bebas

- Agama urusan - Agama candu - Agama harus - Bebas memilih


pribadi masyarakat mendorong salah satu
- Bebas beragama - Agama harus berkembangnya agama
- Bebas memilih Dijauhkan dari kebersamaan - Agama harus
Agama agama masyarakat - Diutamakan menjiwai dalam
- Bebas tidak - Atheis kebersamaan kehidupan
beragama - Masyarakat bermasyarakat,
sama dengan berbangsa dan
negara bernegara

- Individual lebih - Individu tidak - Masyarakat lebih - Individu diakui


penting dari penting penting dari pada keberadaannya
pd masyarakat- - Masyarakat tidak individu - Hubungan
- Masyarakat penting individu dan
diabdikan bagi - Kolektivitas yang masyarakat
individ dibentuk negara dilandasi 3 S
Pandangan lebih penting (selaras, serasi,
terhadap seimbang )
individu & - Masyarakat ada
masyarakt karena ada
individu –
individu akan
punya arti
apabila hidup
ditengah
masayarakt

68
BAB VII
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

A. Pengertian Filsafat

Secara ilmu pengetahuan, banyak orang memandang bahwa filsafat adalah


merupakan bidang ilmu yang unit, kompleks dan sulit dipahami secara definitif.
Namun demikian sebenarnya pendapat yang demikian ini tidak selamanya benar.
Selama manusia hidup sebenanya tidak seorangpun dapat menghindar dari
kegiatan berfilsafat. Dengan lain perkataan setiap orang dalam hidupnya senantiasa
berfilsafat, sehingga berdasarkan kenyataan tersebut maka sebenarnya filsafat itu
sangat mudah dipahami. Jikalau orang berpandapat bahwa dalam hidup ini
materilah yang essensial dan mutlak. maka orang tersebut berfilsafat materialisme.
Jikalau seseorang berpandangan bahwa kebenaran pengetahuan sumbernya rasio
maka orang tersebut berfilsafat rasionalisme, demikian juga jikalau seseorang
berpandangan bahwa dalam hidup ini yang terpenting adalah kenikmatan,
kesenangan dan kepuasan lahiriah maka paham ini disebut hedonism. Demikian
juga jikakalau seseorang berpandangan bahwa dalam hidup masyarakat maupun
negara yang terpenting adalah kebebasan individu, atau dengan lain perkataan
bahwa manusia adalah sebagai makhluk individu yang bebas maka orang tersebut
berpandangan individualisme liberallisme.

Secara etimologis istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani “Philein” yang artinya
cinta dan "sophos " yang artinya hikmah atau kebijaksanaan atau wisdom (Nasution.
1973). Jadi secara harfiah istilah “filsafat" mengandung makna cinta kebijaksanaan.
Dan nampaknya hal ini sesuai dengan sejarah timbulnya ilmu pengetahuan yang
sebelumnya dibawah naungan filsafat. Namun demikian jikalau kita membahas
pengertian filsafat dalam hubungannya dengan lingkup bahasannya maka
mencakup banyak bidang bahasan antara lain tentang manusia dan alam,
pengetahuan etika, logika, dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan maka muncul pula filsafat yang berkaitan dengan bidang-bidang ilmu
tertentu antara lain filsafat politik, social, hukum, bahasa, ilmu pengetahuan, agama,
dan bidang-bidang ilmu lainnya.

Keseluruhan arti filsafat yang meliputi berbagai masalah tersebut dapat


dikelompokan menjadi dua macam sebagai berikut:

1. Filsafat sebagai produk yang mencakup pengertian:


a. Filsafat sebagai jenis pengetahuan ilmu konsep pemikiran pemikiran dari para
filsufat pada zaman dahulu yang lazimnya merupakan suatu aliran atau
sistem filsafat tertentu misalnya rasionalisine materialisnie pragmatisme dan
lain sebagainya.
b. Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai
hasil dari aktivitas berfilsafat. Jadi mamisia mencari suatu kebenaran yang
timbul dari persoalan yang bersumber pada akal manusia.

2. Filsafat sebagai suatu proses. yang dalam hal ini filsafat diartikan dalam bentuk
suatu aktivitas berfilsafat dalam proses pemecahan suatu pemasalahan dengan
menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objeknya.
Dalam pengertian ini filsafat merupakan suatu sistem pengetahuan yang yang
bersifat dinamis. Filsafat dalam pengertian ini tidak lagi hanya merupakan suatu
69
kumpulan dogma yang hanya diyakini ditekuni dan dipahami sebagai suatu nilai
tertentu tetapi lebih merupakan suatu aktivitas berfilsafat, suatu proses yang
dinamis dengan menggunakan suatu metode tersendiri.

Adapun cabang-cabang filsafat yang pokok adalah sebagai berikut:


1. Metafisika, yang membahas tentang hal-hal yang bereksistensi di balik fisis. yang
meliputi bidang-bidang ontologi, kosmologi dan antropologi.
2. Epistemologi, yang berkaitan dengan persoalan hakikat pengetahuan.
3. Metodologi, yang berkaitan dengan persoalan hakikat metode dalam ilmu
pengetahuan.
4. Logika, yang berkaitan dengan persoalan filsafat berfikir yaitu rumus-rumus dalil-
dalil berfikir yang benar.
5. Etiks, yang berkaitan dengan moralitas tingkah laku manusia.
6. Estetika, yang berkaitan dengan persoalan hakikat keindahan.

Berdasarkan cabang-cabang filsafat inilah kemudian muncullah berbagai macam,


aliran dalam filsafat.

B. Rumusan Kesatuan Sila-sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem

Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu sistem
filsafat. Pengertian sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling
berhubungan, saling bekerja sama untuk suatu tujuan tertentu dan secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Sistem lazimnya memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
 Suatu kesatuan bagian-bagiannya
 Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri
 Saling berhubungan dan saling ketergantungan
 Keseluruhanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (tujuan
sistem)
 Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore dan Voich 1974)

Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila pancasila setiap sila pada
hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri namun secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang sistematis.

1. Rumusan Pancasila yang Bersifat Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal;

a. Sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa adalah meliputi dan menjiwai sila-sila
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Sila kedua : kemanusiaan Yang adil dan beradab adalah diliputi dan dijiwai oleh
sila Ketuhanan Yang Maha Esa, meliputi dan menjiwai sila persaman Indonesia,
kerakyatan vang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, serta keadilan sosial bagi seturuh rakyat Indonesia.
c. Sila ketiga . Persatuan Indonesia adalah diliputi dan dijiwai sila Ketuhanan vang
Maha Esa, Kemanusiaan Yang adil dan beradab, meliputi dan menjiwai sila
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
d. Sila keempat: Kerakyatan Yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ketuhanan
70
Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, serta
meliputi dan menjiwai sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
e. Sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah diliputi dan
dijiwai oleh sila-sila Ke Tuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakiIan serta keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

2. Nilai-nilai Pancasila sebagai Suatu Sistem

Arti isi sila-sila Pancasila pada hakikatnya dapat dibedakan atas hakikat Pancasila
sebagai pedoman pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara yaitu sebagai dasar
negara yang bersifat umum dan kolektif, serta realisasi pengalaman Pancasila
bersifat khusus dan kongkrit. Hakikat Pancasila adalah merupakan nilai, adapun
sebagai pedoman negara adalah merupakan realisasi kongkrit Pancasila. Substansi
Pancasila dengan kelima sila-nya yang terdapat pada ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, keadilan, merupakan suatu sietem nilai. Prinsip dasar yang
mengandung kualitas tertentu itu merupakan cita-cita dan harapan atau hal yang
akan dicapai oleh bangsa Indonesia yang akan diwujudkan menjadi kenyataan
kongkrit dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Namun
disamping itu prinsip-prinsip dasar tersebut juga sebenarnya diangkat dari
kenyataan riil. Prinsip-prinsip dasar tersebut telah menjelma dalam tertib social,
tertib masyarakat, dan tertib kehidupan bangsa indonesia yang dapat ditemukan
dalam adat-istiadat, kebudayaan serta kehidupan keagamaan bangsa Indonesia.
Yang Demikian itu sesuai dengan isi yang terkandung dalam Pancasila, dan secara
ontologis mengandung tiga pokok dalam kehidupan manusia yaitu bagaimana
seharusnya manusia itu terhadap Tuhan yang Maha Esa , terhadap dirinva sendiri
serta terhadap manusia lain dan masyarakat, sehingga dengan demikian maka
dalam Pancasila itu terkandung implikasi moral yang terkandung dalam substansi
Pancasila dan merupakan suatu nilai.

Nilai-nilai yang terkandung dalam sila 1 s/d 5 merupakan cita-cita harapan dan
dambaan bangsa Indonesia yang akan diwujudkannya dalam kehidupannya. Sejak
dahulu cita-cita tersebut telah didambakan oleh bangsa Indonesian agar teerwujuud
dalam suatu masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja,
dengan penuh harapan diupayakan terealisasi dalam sikap tingkah laku dan
perbuatan setiap manusia Indonesia.

Bangsa Indonesia dalam hal ini merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila. Hal ini
dapat dipahami berdasarkan pengertian bahwa yang berketuhanan, yang
berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan yang berkeadilan
pada hakikatnya adalah manusia. Sebagai pendukung Pancasila, maka bangsa
Indonesia itulah yang menghargai, mengakui, menerima Pancasila sebagai suatu
dasar-dasar nilai. Pangakuan, penghargaan,dan penerimaan itu telah menggejala
serta termanifestasi dalam sikap tingkah laku dan perbuatan manusia dan bangsa
Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengemban nilai-
nilai Pancasila.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan dalam hal
kuantitas maupun kualitasnya, namun nilai-nilai itu merupakan suatu kesatuan saling
berhubungan serta saling melengkapi. Hal ini sebagaimana kita pahami bahwa sila-
sila Pancasila itu pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang bulat dan utuh
71
atau merupakan suatu kesatuan organik bertingkat dan berbentuk piramidal. Nilai-
nilai itu berhubungan secara erat dan nilai-nilai yang satu tidak dapat dipisahkan dari
yang lainnya, sehingga nilai-nilai itu masing-masing merupakan bagian yang integral
dari suatu sistem nilai yang dimiliki bangsa Indonesia, yang akan memberikan pola
atau patroon bagi sikap tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia. Pancasila
merupakan suatu sistem nilai dapat dilacak dari sita-sila Pancasila yang merupakan
suatu sistem. Sila-sila itu merupakan suatu kesatuan organik. Antara sila satu dan
lainnya dalam Pancasila itu saling berkaitan dan berhubungan secara erat. Adanya
sila yang satu berkait dengan sila lainnya. Dalam pengertian yang demikian ini pada
hakikatnya Pancasila itu merupakan suatu sistem nilai dalam artian, bahwa bagian-
bagian atau sila-silanya saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu
struktur yang menyeluruh.

Nilai - nilai yang terkandung dalam Pancasila termasuk nilai kerokhanian yang
tertinggi adapun nilai-nilai tersebut berturut-turut nilai ketuhanan adalah termasuk
nilai yang tertinggi karena nilai ketuhanan adalah bersifat mutlak. Berikutnya sila
kemanusiaan adalah sebagai pengkhususan nilai ketuhanan karena manusia adalah
makhluk Tuhan yang Maha Esa sedangkan manusia adalah sebagai makhluk
Tuhan. Nilai ketuhanan dan nilai kemanusiaan dilihat dari tingkatannya adalah lebih
tinggi dari pada nilai-nilai kenegaraan yang terkandung dalam ketiga sila lainnya
yaitu sila persatuan, sila kerakyatan dan sila keadilan, karena ketiga nilai tersebut
berkaitan dengan kehidupan kenegaraan, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam
pokok pikiran keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa….”negara
adalah berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa berdasarkan kemanusiaan
Yang adil dan beradab". Adapun nilai-nilai kenegaraan yang terkandung dalam
ketiga sila tersebut berturut-turut memiliki tingkatan sebagai berikut : nilai persatuan
dipandang dari tingkatannya adalah memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari pada
nilai kerakyatan dan nilai keadilan social, karena persatuan adalah merupakan
syarat mutlak adanya rakyat dan terwujudnya keadilan. Berikutnya nilai kerakyatan
didasari nilai Ketuhanan, kemanusiaan dan nilai persatuan lebih tinggi dan
mendasari nilai keadilan sosial karena kerakyatan adalah sebagai sarana
terwujudnya suatu keadilan sosial, barulah kemudian nilai keadilan sosial adalah
sebagai tujuan dari keempat sila lainnya.

Suatu hal yang perlu diperhatikan yaitu meskipun nilai-nilai yang terkandung dalam
sila-sila Pancasila berbeda-beda dan memiliki tingkatan serta luas yang berbeda-
beda pula namun keseluruhan nilai tersebut merupakan suatu kesatuan dan tidak
saling bertentangan. Perlu diperhatikan dalam realisasinya baik dalam kehidupan
sehari-hari dalam masyarakat, bangsa, dan Negara, terutama dalam penjabarannya
dibidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia tingkatan nilai-nilai tersebut harus
ditaati, sebab bilamana tidak demikian maka akan bertentangan dengan hakikat
landasan sila-sila Pancasila. Misalnya dalam realisasi kenegaraan terutama dalam
suatu peraturan perundang-undangan maka nilai-nilai ketuhanan adalah yang
tertinggi dan bersifat mutlak, maka itu hukum positif di Indonesia yang berdasarkan
Pancasila ini tidak dapat bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan.

72
BAB VIII
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

A. Pengantar

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai
sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hokum,
norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam filsafat Pancasila
terkandung di dalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar,
rasional, sistematis dan komperhensif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini
merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran filsaf itu tidak secara
langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu
tindakan atau aspek praksis melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar .

Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental


dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Adapun manakala nilai-nilai tersebut akan dijabarkan yang bersifat
praksis atau kehidupan yang nyata dalam kehidupan masyarakat, bangsa maupun
Negara, maka nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma
yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi (1)
norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur
dari sudut baik maupun buruk, sopan ataupun tidak sopan, susila atau tidak susila.

Dalam kapasitas inilah maka nilai-nilai Pancasila telah dijabarkan dalam suatu
norma-norma moralitas atau norma-norma etika sehingga Pancasila merupakan
sistem etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) Norma hukum
yaitu suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu tempat
dan waktu tertentu dalam pengertian ini peraturan hukum yang dimaksud adalah
peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka
Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum di negara
Indonesia. Sebagai sumber dari segala sumber hukum nilai-nilai Pancasila yang
sejak dahulu telah merupakan suatu pandangan hidup merupakan suatu filsafat
hidup, dan merupakan suatu cita-cita moral yang luhur, yang terwujud dalam
kehidupan sehari-hari bangsa Indoenesia sebelum membentuk negara. Atas dasar
pengertian inilah maka nilai-nilai Pancasila sebenarnya berasal dari bangsa
Indonesia sendiri atau dengan lain perkataan bangsa Indonesia sebagai asal (kausa
materialis) nilai-nilai Pancasila.

Jadi sila-slia Pancasila pada hakikatnva bukanlah merupakan suatu pedoman yang
langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-
nilai etika yang merupakan sumber norma baik meliputi norma moral maupun norma
hukum yang pada gilirannya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma- norma etika,
moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.
B. Pengertian Etika

Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi beberapa cabang menurut
lingkungan bahasannya masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua
kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Kelompok pertama
mempertanyakan segala sesuatu yang ada sedangkan kelompok kedua membahas
bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Jadi filsafat teoritis
mempertanyakan dan berusaha mencari jawabannya tentang segala sesuatu.
73
misalnya hakikat manusia, alam, hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan, tentang
pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui, tentang yang transenden dan lain
sebagainya. Dalam hal ini filsafat teoritis pun juga mempunyai maksud-maksud dan
berkaitan erat dengan hal-hal yang bersifat praktis, karena pemahaman yang dicari
menggerakkan kehidupannya.

Etika termasuk Kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu
ettika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah
suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu
ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang
bertanggungawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno,1987). Etika
umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku baik setiap tindakan manusia,
sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi
etika individual yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika
sosial yang membahas kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup
masyarakat. yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.

Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya
membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai susila dan
tidak susila, baik dan buruk. Sebagai bahasan khusus, etika membicarakan sifat-
sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini
dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat
yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak
susila. Sebenarnya etika lebih hanyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar
pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Dapat
juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan
dengan tingkah laku manusia.

C. Pengertian, Nilai, Norma dan Moral

1. Pengertian Nilai

Nilai atau value (Bhs. Inggris) termasuk pengertian filsafat. Persoalan-persoalan


tentang nilai dibahas dan dipelaiari salah satu cabang filsafat yaitu Filsafat Nilai
(Axiology, Theory of Value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-
nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak
yang artinya “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness), dan kata kerja
yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan
penilaian. (Frankena, 229).

Di dalam Dictionary of Sociology an Related Sciences dikemukakan hahwa nilai


adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau
kelompok (The believed capacity of any object to satisfy a human desire). Jadi nilai
itu pada hakekatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek,
bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas
yang melekat pada sesuatu itu. Misainya: bunga itu indah, perbuatan itu susila.
Indah, susila adalah sifat atau kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan.
Dengan demikian maka nilai itu sehenarnya adalah suatu kenyataan yang

74
“tersembunyi” di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Adanya nilai itu karena adanya
kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai (wertrager).

Menilai berarti menimbang suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu


dengan sesuatu yang lain, kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan.
Keputusan itu merupakan keputusan nilai yang dapat menyatakan berguna atau
tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah.
Keputusan nilai yang dilakukan oleh subyek penilaian tentu berhubungan dengan
unsur-unsur yang ada pada manusia sebagai subyek penilai, yaitu unsur-unsur
jasmani, akal, rasa, karsa (kehendak) dan kepercayaan. Sesuatu itu dikatakan
bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah, baik, dan lain
sebagainya.
Di dalam nlai itu sendiri terkadung cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan
dan keharusan. Maka apabila kita berbicara tentang nilai, sebenarnya kita berbicara
tentang hal yang ideal; tentang hal yang merupakan cita-cita, harapan dambaan dan
keharusan. Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang das Sollen, bukan das
Sein, dan kita masuk ke bidang makna normatif, bukan kognitif, kita masuk ke dunia
ideal dan bukan dunia real. Meskipun demikian, diantara keduanya antara das
Sollen dan das Sein, antara yang bermakna normatif dan kognotif, antara dunia ideal
dan dunia real itu saling berhubungan atau saling berkait secara erat. Artinya bahwa
das Sollen itu harus menjelma menjadi das Sein, yang ideal harus menjadi real,
yang bermakna normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang
merupakan fakta. (Kodhi. 1989 : 21)

2. Hierarkhi Nilai

Terdapat berbagai macam pandangan tentang nilai dan hal ini sangat tergantung
pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang
pengertian serta hierarkhi nilai. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa
nilai yang tertinggi adalah nilai material, kalangan hedonis berpandangan bahwa
nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Pada hakikatnya segala sesuatu itu
bernilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut
dengan manusia. Banyak usaha untuk menggolong-golongkan nilai tersebut dan
penggolongan tersebut amat beranekaragam, tergantung pada sudut pandang
dalam rangka penggolongan itu.

Max Scheler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama luhurnya dan
sama tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya ada yang lebih tinggi dan ada yang
lebih rendah dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya, nilai-
nilai dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan sebagai berikut :
a. Nilai-nilai kenikmatan : dalam tingkat ini terdapat deretan nilai-nilai yang
mengenakkan dan tidak mengenakkan (die Wertreihe des Angenehmen und
Unangehmen), yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
b. Nilai-nilai kehidupan : dalam tingkat ini terdapat deretan nilai-nilai yang penting
bagi kehidupan (Werte des vitalen Fuhlens) misalnya kesehatan, kesegaran
jasmani, kesejahteraan umum.
c. Nilai-nilai kejiwaan : dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte)
yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan.
Nilai-nilai semacam ini ialah keindahan, kebenaran,dan pengetahuan murni yang
dicapai dalam filsafat.

75
d. Nilai-nilai kerohanian dalam tingkat ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci
dan tak suci (wermodalitat des Heiligen und Unheiligen). Nilai-nilai semacam ini
terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.

Walter G. Everet menggolong-golongkan nilai-nilai manusiawi kedalam depalan


kelompok yaitu :
a. Nilai-nilai ekonomis (ditujukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang
dapat dibeli)
b. Nilai-nilai kejasmanian (membantu pada kesehatan, efesiensi dan keindahan dari
kehidupan badan).
c. Nilai-nilai hiburan (nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat
menyumbangkan pada pengayaan kehidupan).
d. Nilai-nilal sosial (berasal mula dari berbagai bentuk perserikatan manusia).
e. Nilai-nilai watak (keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang
diinginkan).
f. Nilai-nilai estetis (nitai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni)
g. Nilai-nilai intelektual (nilai-nilai pengetahuan dan pengejaran kebenaran).
h. Nilai-nilai keagamaan.

Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu:


a. Nilal material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani
manusia, atau kebutuhan material ragawi manusia.
b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat
mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.Nilai
kerohanian ini dapat dibedakan atas empat macam :
1) Nilai kebenaran. yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
2) Nilai keindahan atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan
(aesthetis, gevoel, rasa) manusia.
3) Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (Will,
Wollen, karsa) manusia.
4) Nilai religius, yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak. Nilai
religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.

Masih hanyak lagi cara pengelompokan nilai misalnya seperti yang dilakukan N.
Rescher, yaitu pembagian nilai berdasarkan pembawa nilai (trager), hakekat
keuntungan yang diperoleh, dan hubungan antara pendukung nilai dan keuntungan
yang diperoleh. Begitu pula dengan pengelompokan nilai menjadi nilai intrinsik dan
ekstrinsik : nilai objektif dan nilai subyekti,. nilai positif dan nilai negatif (disvalue) dan
sebagainya.

Dari uraian mengenai macam-macam nilai di atas, dapat dikemukakan pula bahwa
yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang berujud material saja, akan
tetapi juga sesuatu yang berwujud non-material atau immaterial. Bahkan sesuatu
yang immaterial itu dapat mengandung nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi
manusia. Nilai-nilai material relatif lebih mudah diukur, yaitu dengan menggunakan
alat indra maupun alat pengukur seperti berat, panjang, luas dan sebagainya.
Sedangkan nilai kerohanian/spiritual lebih sulit mengukurnya. Dalam menilai hal-hal
kerohaniani spiritual, yang menjadi alat ukurnya adalah hati nurani manusia yang
dibantu oleh alat indra, cipta, rasa, karsa dan keyakinan manusia.

76
Notonagoro berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerohanian,
tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital.
Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerohanian itu juga
mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, nilai
vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau nilai estetis, nilai kebaikan atau nilai
moral, maupun nilai kesucian yang sistematik hirarkhis, yang dimulai dari sila
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan (Darmodiharjo, 1978).

Selain nilai-nilai yang dikemukan oleh para tokoh aksiologi tersebut menyangkut
tentang wujud dan macamnya, nilai-nilai tersebut juga berkaitan dengan tingkatan-
tingkatannya. Hal ini kita lihat secara objektif karena nilai-nilai tersebut menyangkut
segala aspek kehidupan manusia. Ada sekelompok lainnya yang memiliki
kedudukan atau hierarkhi yang lebih tinggi di bandingkan dengan nilai-nilai lainnya,
ada yang lebih rendah bahkan ada tingkatan nilai yang bersifat mutlak. Namun
demikian hal ini sangat tergantung pada filsafat dari masyarakat atau bangsa
sebagai subjek pendukung nilai-nilai tersebut. Misalnya bagi bangsa Indonesia nilai
religius merupakan suatu nilai yang tertinggi dan mutlak, artinya nilai religius
tersebut hierarkhinya di atas segala nilai yang ada dan tidak dapat diklasifikasi
berdasarkan akal manusia karena pada tingkatan tertentu nilai tersebut bersifat di
atas dan di luar kemampuan jangkauan akal pikir manusia. Namun demikian bagi
bangsa yang menganut paham sekuler nilai yang tertinggi adalah pada akal pikiran
manusia, sehingga nilai ketuhananpun di bawah otoritas akal manusia.

D. Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis

Dalam kaitannya dengan derivasi atau penjabarannya maka nilai dapat


dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu nilai dasar, nilai instrumental dan nilai
praksis.

1. Nilai Dasar

Walaupun nilai memiliki sifat abstrak artinya tidak dapat diamati melalui indra
manusia, namun dalam realisasinya nilai berkaitan dengan tingkah laku atau segala
aspek kehidupan manusia yang bersifat nyata (praksis). Namun demikian setiap nilai
memiliki nilai dasar (dalam bahasa ilmiahnya disebut dasar ontologis), yaitu
merupakan hakikat, essensi, intisari atau makna yang terdalam dari nilai-nilai
tersebut. Nilai dasar ini bersifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan
objektif segala sesuatu, misalnya hakikat Tuhan, manusia atau segala sesuatu
lainnya. Jikalau nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan maka nitai-nilai
tersebut bersifat mutlak karena hakikat Tuhan adalah kausa prima (sebab pertama),
sehingga segala sesuatu diciptakan (berasal) dari Tuhan. Demikian juga jikalau nilai
dasar itu berkaitan dengan hakikat manusia maka nilai-nilai tersebut harus
bersumberkan pada hakikat manusia, sehinggga jikalau nilai-nilai dasar
kemanusiaan itu dijabarkan dalam norma hukum maka diistilahkan sebagai hak
dasar (hak asasi). Demikian pula hakikat nilai dasar itu dapat juga berlandaskan
pada hakikat sesuatu benda, kuantitas, kualitas, aksi, relasi, ruang maupun waktu.
Demikianlah sehingga nilai dasar dapat juga disebut sebagai sumber norma yang
pada gilirannya dijabarkan atau direalisasikan dalam suatu kehidupan yang bersifat
praksis. Konsekuensinya walaupun dalam aspek praksis dapat berbeda-beda
namun secara sistematis tidak dapat bertentangan dengan nilai dasar yang
merupakan sumber penjabaran norma serta realisasi praksis tersebut.
77
2. Nilai Instrumental

Untuk dapat direalisasikan dalam suatu kehidupan praksis maka nilai dasar tersebut
di atas harus memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai
instrumental inilah yang merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat
diarahkan. Bilamana nilai instrumental tersebut berkaitan dengan tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari, maka hal itu akan merupakan suatu norma
moral, namun jikalau nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi
ataupun negara maka nilai-nilai instrumental itu merupakan suatu arahan,
kebijaksanaan atau strategi yang bersumber pada nilai dasar. Sehingga, dapat juga
dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar.

3. Nilai Praksis

Nilai praksis pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai
instrumental dalam kehidupan yang nyata, sehingga nilai praksis ini merupakn
perwujudan dari nilai dasar, dan nilai Instrumental. Realisasi dari nilai praksis yang
bersumber dari nilai dasar, dan nilai instrumental itu juga dapat dimungkinkan
berbeda-beda wujudnya, namun demikian tidak bisa menyimpang atau bahkan tidak
dapat bertentangan. Artinya oleh karena nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai
praksis itu merupakan suatu sistem perwujudannya tidak boleh menyimpang dari
nilai tersebut.

E. Hubungan Nilai, Norma dan Moral

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa nilai adalah kualitas dari sesuatu yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan
manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan
bertingkah laku baik disadari maupun tidak.

Nilai berbeda dengan fakta, fakta dapat diobservasi melalui suatu verifikasi empiris,
sedangkan nilai bersifat abstrak yang banya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti
dan dihayati oleh manusia. Nilai berkaitan juga dengan harapan, cita-cita, keinginan
dan segala sesuatu pertimbangan internal (batiniah) manusia. Nilai dengan demikian
tidak bersifat kongkrit yaitu tidak dapat ditangkap dengan indra manusia, dan nilai
dapat bersifat subjektif maupun objektif. Bersifat subjektif manakala nilai tersebut
diberikan oleh subjek (dalam hal ini manusia sebagai pendukung pokok nilai), dan
bersifat objektif jikalau nilai tersebut telah melekat pada sesuatu yang terlepas dari
penilaian manusia.

Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku
manusia, maka perlu lebih dikongkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih
objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku
secara kongkrit. Wujud yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan
suatu norma. Terdapat berbagai macam norma dan dari berbagai macam norma
tersebut maka norma hukumlah yang paling kuat keberlakuannya, karena dapat
dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal misalnya penguasa atau penegak
hukum.
Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah
moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian
seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang
78
terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah
lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai
penuntun sikap dan tingkah laku manusia.

Hubungan antara moral dengan etika memang sangat erat sekali dan kadangkala
kedua hal tersebut disamakan begitu saja. Namum sebenarnya kedua hal tersebut
memiliki perbedaan. Moral yaitu merupakan suatu ajaran -ajaran ataupun wejangan-
wejangan, patokan-patokan kumpulan peraturan, baik lisan maupun tertulis tentang
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.
Sedangkan etika adalah suatu cabang filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral tersebut
(Krammer, 1988 dalam Darmodihardjo 1996). Atau juga sebagaimana dikemukan
oleh De Vos (1987). bahwa etika dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang
kesusilaan. Adapun yang dimaksud dengan kesusilaan adalah identik dengan
pengertian moral. sehingga etika pada hakikatnya adalah sebagai ilmu pengetahuan
yang membahas tentang prinsip-prinsip moralitas.

Setiap orang memiliki moralitasnya sendiri-sendiri, tetapi tidak demikian halnya


dengan etika. Tidak semua orang perlu melakukan pemikiran yang krisis terhadap
moralitas. Terdapat suatu kemungkinan bahwa seseorang mengikuti begitu saja
pola-pola moralitas yang ada dalam suatu masyarakat tanpa perlu merefleksikannya
secara kritis.

Etika tidak berwenang menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh
seseorang. Wewenang ini dipandang berada di tangan pihak pihak yang
memberikan ajaran moral. Hal inilah yang menjadi kekurangan dari etika jikalau
dibandingkan dengan ajaran moral. Sekalipun demikian dalam etika seseorang
dapat mengerti mengapa dan atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-
norma tertentu. Hal yang terakhir inilah yang merupakan kelebihan etika jikalau
dibandingka dengan moral.

Hal ini dapat dianalogikan bahwa ajaran moral sebagai buku petunjuk tentang
bagaimana kita memperlakukan sebuah mobil dengan baik. sedangkan etika
memberikan pengertian pada kita tentang struktur dan teknologi mobil itu sendiri.
Demikianlah hubungan yang sistematik antara nilai norma dan moral yang pada
gilirannya ketiga aspek tersebut terwujud dalam suatu tingkah laku praksis dalam
kehidupan manusia.

F. Pancasila sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa Dan Negara Republik
Indonesia

1. Dasar Filosofis

Pancasila sebagai dasar filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya


merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena sebagai suatu
dasar filsafat maka sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat
hierarkhis dan sistematis. Dalam pengertian inilah maka sila-sila Pancasila
merupakan suatu sistem filsafat. Oleh karena merupakan suatu sistem filsafat maka
kelima sila bukan terpisah-pisahkan dan memiliki makna sendiri-sendiri melainkan
memiliki essensi makna yang utuh.

79
Dasar pemikiran filosofis dari sila-sila Pancasila dan sebagai dasar filsafat negara
mengandung makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kemanusiaan
kemasyarakatan serta kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan
bertolak dari suatu pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu persekutuan
hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan manusia. Sehingga dapat pula
diistilahkan bahwa negara adalah organisasi kemasyarakatan dalam hidup manusia
dengan sosial atau masyarakat hukum. Adapun negara yang didirikan oleh manusia
itu berdasarkan pada kodrat bahwa manusia sebagai warga dari negara sebagai
persekutuan hidup dan mempunyai kedudukan sesuai dengan kodratnya sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa (hakikat sila pertama). Negara yang merupakan
persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa pada
hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan harkat dan martabat manusia sebagai
makhuk yang berbudaya atau makhluk yang beradab (hakikat sila kedua). Untuk
terwujudnya suatu negara sebagai organisasi hidup manusia maka harus
membentuk, persatuan ikatan hidup bersama sebagai suatu bangsa (hakikat sila
ketiga). Terwujudnya persatuan dalam suatu negara akan melahirkan rakyat sebagai
suatu bangsa yang hidup dalam suatu wilayah negara tertentu, sehingga dalam
hidup kenegaraan itu haruslah mendasarkan pada nilai bahwa rakyat merupakan
asal-mula kekuasaan Negara, maka merupakan suatu keharusan bahwa negara
harus bersifat demokratis yang berkaitan dengan hak serta kekuasan negara. Maka
merupakan suatu keharusan bahwa negara harus dijamin baik sebagai individu
maupun secara bersama (hakikat Sila keempat). Untuk mewujudkan tujuan negara
sebagai tujuan bersama dari seluruh warga negaranya maka dalam hidup
kenegaraan harus mewujudkan jaminan perlindungan bagi seluruh warganya,
sehingga untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dijamin berdasarkan
suatu prinsip keadilan yang timbul dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial) dan
ini adalah (hakikat sila kelima). NiIai-nilai inilah yang merupakan suatu nilai dasar
bagi kehidupan kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan.

Dalam hubunganya dengan pengertian nilai sebagaimana tersebut di atas maka


Pancasila tergolong nilai kerokhanian, akan tetapi nilai kerokhanian yang mengakui
adanya nilai material dan nilai vital karena pada hakikatnya menurut Pancasila
bahwa manusia adalah jasmani dan rokhani. Selain itu dalam Pancasila yang
merupakan nilai-nilai kerokhanian itu didalamnya terkandung nilai-nilai lainnya
secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, vital, kebenaran (kenyataan),
estetis, etis maupun nilai religius. Hal ini dapat dibuktikan pada nilai-nilai Pancasila
yang tersusun secara hierarkhis piramidal yang bulat dan utuh.

Selain itu secara kausalitas bahwa nilai-nilai Pancasila adalah bersifat objektif dan
juga subjektif . Artinya essensi nilai-nilai Pancasila adalah bersifat universal yaitu
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Sehingga
dimungkinkan dapat diterapkan pada negara lain walaupun barangkali namanya
bukan Pancasila. Artinya jikalau suatu negara menggunakan prinsip filosofi bahwa
negara Ber KeTuhanan, Berperikemanusiaan, Berpersatuan, Berkerakyatan, dan
Berkeadilan, maka negara tersebut pada hakikatnya menggunakan dasar filsafat
dari nilai-nilai sila-sila Pancasila.

Nilai-nilai Pancasila bersifat objektif dapat dijelaskan sebagai berikut :


1. Rumusan dari sila-sila Pancasila itu sendiri sebenarnya hakikat maknanya yang
terdalam menunjukkan adanya sifat-sifat umum universal dan abstrak, karena
merupakan suatu nilai.
80
2. lnti dari nilal-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan
manusia Indonesia dan mungkin juga pada bangsa lain baik dalam adat
kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan maupun dalam kehidupan keagamaan.
3. Pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, menurut ilmu hukum
memenuhi syarat sebagai pokok kaidah negara yang fundamental negara
sehingga merupakan suatu sumber hukum positif Indonesia. Oleh karena itu
dalam hierarkhi tertib hukum Indonesia berkedudukan sebagai tertib hukum yang
tertinggi. Oleh karena itu tidak dapat diubah secara hukum sehingga terlekat pada
kelangsungan hidup negara. Oleh karena itu jikalau nilai-nilai Pancasila yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu diubah maka sama halnya dengan
pembubaran negara Proklamasi 1945, hal ini sebagaimana terkandung dalam
ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966, diperkuat Tap NoV/MPR/1973,jo.Tap
No.IX/MPR/1978

Sebaliknya nilai-nilai subjektif pancasila dapat diartikan bahwa keberadaan nilai-nilai


Pancasila itu bergantung atau terlekat pada pada Bangsa Indonesia sendiri. Hal itu
dijelaskan sebagai berikut :
a) Nilai-nilai pancasila timbul dari bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia
sebagai klausa materialis. Nilai-nilai tersebut seblagai hasil pemikiran, penilaian
kritis, serta hasil refleksi filosofis bangsa Indonesia.
b) Nilai-nilai pancasila merupakan filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia
sehingga merupakan jati diri bangsa, yang diyakini sebagai sumber nilai atas
kebenaran, kebaikan, keadilan, dan kebijaksanaan dalam hidup bemasyarakat
berbangsa dan bernegara.
c) Nilai-nilai Pancasila di dalamnya terkandung, ketujuh nilai-nilai kerokhanian yaitu
nilai kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, etis, estetis dan nilai religius,
yang manifestasinya sesuai dengan budi nurani bangsa Indonesia karena
bersumber pada kepribadian bangsa (lihat Darmodihardjo. 1996).
Nilai-nilal Pancasila itu bagi bangsa Indonesia menjadi landasan dasar serta
motivasi atas segala perbuatan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
kehidupan kenegaraan. Dengan kata lain bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan
das Sollen atau cita-cita tentang kebaikan Yang harus diwujudkan menjadi suatu
kenyataan atau das Sein.

2. Nilai-Nilai Pancasila sebagai Nilai Fundamental Negara

Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia pada hakikatnya


merupakan suatu sumber dari segala sumber hukum dalam negara Indonesia.
Sebagai suatu sumber dari segala sumber hukum secara objektif merupakan suatu
pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum, serta cita-cita moral yang luhur yang
meliputi suasana kejiwaan, serta watak bangsa Indonesia, yang pada tanggal 18
Agustus 1945 telah dipadatkan dan diabstraksikan oleh para pendiri negara menjadi
Lima Sila dan ditetapkan secara yuridis formal menjadi dasar filsafat negara
Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan No.
XX/MPRS/1966.

Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 secara yuridis


memiliki kedudukan sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental. Adapun
Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya, memuat nilai-nilai Pancasila mengandung
Empat Pokok Pikiran yang bilamana, jika dianalisis makna yang terkandung di
dalamnya tidak lain adalah merupakan derivasi atau penjabaran dari nilai-nilai
Pancasila.
81
Pokok Pikiran pertama menyatakan bahwa, negara Indonesia adalah negara
persatuan, yaitu negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, mengatasi segala paham golongan maupun perseorangan. Hai ini
merupakan penjabaran Sila Ketiga.

Pokok Pikiran kedua menyatakan bahwa negara, hendak mewujudkan suatu


keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini negara berkewajiban
mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh warga negara, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pokok Pikiran ini sebagai penjabaran Sila
Kelima.

Pokok Pikiran ketiga menyatakan bahwa negara berkedaulatan rakyat. berdasarkan


atas kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan. Hal ini menunjukkan bahwa
negara Indonesia adalah negara demokrasi yaitu kedaulatan berada di tangan
rakyat. Hal ini sebagai penjabaran Sila Keempat.

Pokok Pikiran keempat menyatakan bahwa, negara berdasarkan atas Ketuhanan


Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini
mengandung arti bahwa negara Indonesia menjunjung tinggi keberadaan semua
agama dalam pergaulan hidup negara. Hal ini merupakan penjabaran Sila Pertama
dan Kedua.

Hal itu dapat disimpulkan bahwa keempat pokok pikiran tersebut tidak lain
merupakan perwujudan dari sila-sila Pancasila. Pokok pikiran ini sebagai dasar
fundamental dalam pendirian negara yang realisasi berikutnya perlu diwujudkan atau
dijelmakan lebih lanjut dalam pasal-pasal UUD 1945. Dengan perkataan lain bahwa
dalam penjabaran sila-sila Pancasila ke dalam peraturan perundang-undangan
bukanlah secara langsung dari sila-sila Pancasila, melainkan melalui pembukaan
UUD 1945 yaitu pada Empat Pokok Pikiran dan barulah kemudian dijelmakan dalam
pasal-pasal UUD 1945, dan lebih lanjut dijabarkan dalam berbagai macam peraturan
perundang-undangan serta hukum positif di bawahnya.

Dalam pengertian seperti inilah maka sebenarnya dapat disimpulkan bahwa


Pancasila merupakan dasar yang fundamental bagi negara Indonesia terutama
dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Selain itu bahwa nilai-nilai
Pancasila juga merupakan suatu landasan moral etik dalam kehidupan kenegaraan.
Hal ini ditegaskan dalam Pokok Pikiran keempat yang menyatakan bahwa negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan berdasar atas kemanusiaan yang
adil dan beradab. Hal ini mengandung arti bahwa dalam kehidupan kenegaraan
harus didasarkan pada moral etik yang bersumber pada nilai-nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa dan menjunjung moral kemanusiaan yang beradab. Oleh karena itu nilai-
nilai Pacasila yang dituangkan dalam Pokok Pikiran keempat ini merupakan suatu
dasar fundamental moral dalam kehidupan kenegaraan. Konsekuensinya dalam
segala aspek kehidupan Negara, antara lain dalam pemerintahan negara.

Pembangunan Negara, pertahanan keamanan negara, politik negara serta


pelaksanaan demokrasi harus senantiasa berdasarkan pada moral Ketuhanan dan
kemanusiaan. Selain itu dasar fundamental moral dalam kehidupan kenegaraan
tersebut juga meliputi moralitas para penyelenggara negara dan seluruh warga
negara. Bahkan dasar fundamental moral yang dituangkan dari nilai- nilai pancasila

82
tersebut juga harus mendasari moral dalam kaitannya dengan politik luar negeri
Indonesia.

Oleh karena itu bagi bangsa Indonesia dalam era reformasi dewasa ini seharusnya
rendah hati untuk mawas diri bahwa dalam upaya untuk memperbaiki kondisi dan
nasib bangsa ini hendaklah didasarkan pada moralitas yang terutama dalam pokok
Pikiran keempat tersebut yaitu moral Ketuhanan dan kemanusiaan.

G. Makna Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila

Sebagai suatu dasar filsafat negara maka sila-sila Pancasila merupakan suatu
sistem nilai oleh karena itu sila-sila Pancasila itu pada hakikatnya merupakan suatu
kesatuan. Meskipun dalam setiap sila terkandung nilai-nilai yang memiliki perbedaan
antara satu dengan lainnya namun kesemuanya itu tidak lain merupakan suatu
kesatuan yang sistematis. Oleh karena itu meskipun dalam uraian berikut ini
menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila namun kesemuanya itu
tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan sila-sila lainnya. Adapun nilai-nilai
yang terkandung dalam setiap sila adalah sebagai berikut:

1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila
lainnya. Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung nilai bahwa negara yang
didirikan adalah sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebgai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan
dan penyelenggaraan negara bahkan moral Negara, moral penyelengara Negara,
politik Negara, pemerintah negara, hukum dan peraturan perundang-undangan
negara, kebebasan dan hak asasi warga negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa.

Konsekuensinya realisasi kemanusiaan terutama dalam kaitannya dengan hak-hak


dasar kemanusiaan (hak asasi manusia) setiap warga negara memiliki kebebasan
untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keimanan dan
kepercayaannya masing-masing. Hal ini telah dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945
ayat (2), sekaligus juga sebagai perwujudan. kebebasan atau demokrasi dalam
kehidupan keagamaan. Namun demikian kebebasan dalam kehidupan. keagamaan
harus disertai dengan sikap moral untuk saling menghargai dalam memeluk agama
dan dalam kehidupan keagamaan. Negara adalah mendasarkan pada hakikat
kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan oleh
karena itu nilai-nilai Ketuhanan adalah merupakan nilai yang tertinggi dan bersifat
mutlak. Kebebasan manusia harus diletakkan dalam kerangka kedudukan manusia
sebagai makhluk Tuhan, oleh karena itu tidak ada tempat bagi paham atheisme.
Demikian juga kebebasan akal manusia juga harus diletakkan di bawah nilai
Ketuhanan, konsekuensinya tidak ada tempat bagi kritik atas dasar akal terhadap
nilai KeTuhanan Yang Maha Esa.

Demikianlah kiranya nilai-nilai etik yang terkandung dalam sila Ketuhanan Yang
Maha Esa yang dengan sendirinya sila pertama tersebut mendasari dan menjiwai
keempat sila lainnya.

83
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab secara sistematis didasari dan dijiwai oleh
sila Ketuhanan Yang Esa, serta mendasari dan menjiwai ketiga sila berikutnya. Sila
kemanusiaan sebagai dasar fundamental dalam kehidupan negara, kenegaraan,
kebangsaan dan kemasyarakatan. Nilai kemanusiaan ini bersumber pada dasar
filosofis antropologis yang menyatakan bahwa hakikat manusia adalah susunan
kodrat rokhani (jiwa) dan raga (fisik), sifat kodrat individu dan makhluk sosial,
kedudukan kodrat makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa.

Dalam sila kemanusiaan terkandung nilai-nilai bahwa negara menjunjung tinggi


harkat dari martabat manusia sebagai makhluk yang. Beradab, oleh karena itu
dalam kehidupan kenegaraan terutama dalam peratun perundang-undangan negara
harus mewujudkan tujuan kepentingan harkat dan martabat manusia, terutama hak-
hak kodrat manusia sebagai hak dasar (hak asasi) harus dijamin dalam peraturan
perundang undangan negara. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah
mengandung nilai suatu kesadaran sikap moral dan tingkah laku manusia yang
didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungannya dengan norma-
norma dan kebudayaan pada umumnya, baik terhadap diri sendiri, terhadap sesama
manusia maupun terhadap lingkungannya. Nilai kemanusiaan yang beradab adalah
perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral dan
beragama.

Dalam kehidupan kenegaraan harus senantiasa dilandasi oleh moral kemanusiaan


antara lain dalam kehidupan pemerintahan Negara, politik, ekonomi, hokum, sosial,
budaya, pertahan dan keamanan serta dalam kehidupan keagamaan. Oleh karena
itu dalam kehidupan bersama dalam negara harus dijiwai oleh moral kemanusiaan
untuk saling menghargai sekalipun terdapat suatu perbedaan karena hal itu
merupakan suatu bawaan kodrat manusia untuk saling menjaga keharmonisan
dalam kehidupan bersama.

Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung suatu makna bahwa hakikat
manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil. Hal ini
mengandung suatu pengertian bahwa hakikat manusia harus adil dalam
hubungannya dengan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil terhadap
masyarakat bangsa dan Negara, serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Konsekuensinva nilai yang terkandung dalam Kemanusiaan vang adil dan beradab
adalah menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menghargai atas
kesamaan hak dan derajat tanpa membedakan suku, ras, keturunan, status sosial
maupun agama, mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia,
tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap sesama manusia, meqjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, dan berani membela keadilan dan kebenaran atas dasar
kemanusiaan (Darmodihardjo. 1996). Selanjutnya nilai-nilai tersebut harus
dijabarkan dalam segala aspek kehidupan negara termasuk juga dalam GBHN
sebagai realisasi pembangunan nasional.

3. Persatuan Indonesia

Nilai yang terkandung dalam sila Persatuan Indonesia tidak dapat dipisahkan
dengan keempat sila lainnya karena seluruh sila merupakan suatu kesatuan yang
84
bersifat sistematis. Sila Persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dan Kemnausinan yang adil dan beradab serta mendasari dan
menjiwai sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Dalam sila Persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai
penjelamaan sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial. Negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama di
antara elemen-elemen yang membentuk Negara, yang berupa suku, ras, kelompok,
golongan maupun kelompok agama. Oleh karena itu perbedaan adalah merupakan
bawaan kodrat manusia dan juga merupakan ciri khas elemen-elemen yang
membentuk negara. Konsekuensinya negara adalah beraneka ragam tetapi satu,
mengikatkan diri dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam suatu selogan
Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan bukannya untuk diruncingkan menjadi konflik dan
permusuhan melainkan diarahkan pada suatu sintesa yang saling menguntungkan
yaitu persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama.

Negara mengatasi segala paham golongagan, etnis, suku, ras, individu dan
golongan agama. Mengatasi dalam arti menjadi wahana atas tercapainya harkat dan
martabat seluruh warganya. Negara memberikan kebebasan atas individu,
golongan, suku, ras, maupun golongan agama untuk merealisasikan seluruh
potensinya dalam kehidupan bersama yang bersifat integral. Oleh karena itu tujuan
negara dirumuskan untuk melindungi segenap warganya dan seluruh tumpah
darahnya, memajukan kesejahteraan umum (kesejahteraan seluruh warganya)
mencerdaskan kehidupan warganya serta dalam kaitannya dengan pergaulan
dengan bangsa-bangsa lain di dunia untuk mewujudkan suatu ketertiban dunia yang
berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

5. Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /


Perwakilan

Nilai yang terkandung dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan didasari oleh Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab serta persatuan Indonesia,
dan mendasari serta menjiwai sila Keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.
Nilai filosofis yang terkandung di dalamnya adalah bahwa hakikatnya negara adalah
sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhIuk sosial.
Hakikat rakyat adalah merupakan sekelompok manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa yang bersatu dan bertujuan mewujudkan harkat dan martabat
manusia dalam suatu wilayah negara. Rakyat adalah merupakan subjek
pendukung, pokok negara. Negara adalah dari, oleh dan untuk rakyat, oleh karena
itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Sehingga dalam sila
kerakyatan terkandung nilai demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan
dalam hidup negara. Maka nilai-niali demokrasi yang terkandung dalam sila kedua
adalah (I) Adanya kebebasan yang harus disertai dengan tanggung jawab baik
terhadap masyarakat dan maupun secara moral terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. (3) Menjamin dan
memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama. (4) Mengakui atas
perbededaan individu, kelompok ras, suku, agama, karena perbedaan adalah
merupakan suatu bawaan kodrat manusia. (5) Mengakui adanya persamaan hak
yang melekat pada setiap individu, kelompok, ras, suku maupun Agama. (6)
Mengarahkan perbedaan dalam suatu kerja sama kemanusian yang beradab. (7)
85
Menjunjung tinggi asas musyawarah sebagai moral kemanusiaan yang beradab. (8)
Mewujudkan dan mendasarkan suatu keadilan dalam kehidupan sosial agar
tercapainya tujuan bersama.

Demikianlah nilai-nilai yang terkandung dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijiksanaan dalam permusyawaratan perwakilan Selanjutnya nilai-nilai
tersebut dijelmakan dalam kehidupan bersama yaitu kehidupan kenegaraan baik
menyangkut aspek moralitas kenegaraan, aspek politik, maupun aspek hukum dan
perundang-undangan.

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Nilai yang terkandung dalam sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, serta Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dalam sila kelima tersebut
terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan negara sebagai tujuan dalam hidup
bersama. Maka di dalam sila kelima tersebut terkandung nilai keadilan yang harus
terwujud dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial). Keadilan tersebut didasari
dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan
manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan
masyarakat, bangsa dan negaranya serta hubungan manusia dengan Tuhannya.
Konsekuensinya nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam hidup bersama
adalah meliputi (1) keadilan disitributif yaitu suatu hubungan keadilan antara negara
terhadap warganya, dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan
dalam bentuk keadilan membagi kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan
dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban. (2) Keadilan legal
yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap Negara, dan dalam
masalah ini pihak warga negara yang wajib memenuhi keadilan yaitu dalam bentuk
mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Negara. (3) Keadilan
komutatif yaitu suatu huhungan keadilan antara warga satu dengan lainnya secara
timbal balik.

Nilai-nilai Keadilan tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan
dalam hidup bersama kenegaran yaitu untuk mewujudkan tujuan negara dengan
mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya serta melindungi seluruh warganya
dan seluruh wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya. Demikian pula nilai-ilai
keadilan tersebut dijadikan sebagai dasar dalam pergaulan antar negara sesama
bangsa di dunia, dengan prinsip ingin menciptakan ketertiban hidup bersama dalam
suatu peraulan anar bangsa di dunia, dengan berdasarkan suatu prinsip
kemerdekaan bagi setiap bangsa, perdamaian abadi serta keadilan dalam hidup
bersama (keadilan sosial).

86
BAB IX
PANCASILA SEBAGAI 
DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU

.A. Dasar Pengembangan Ilmu

Anadaikan para ilmuwan dalam pengembangan ilmu konsisten akan janji awalnya, yaitu
untuk mencerdsaskan manusia, memartabatkan manusia dan mensejahterakan
manusia, maka pengembangan ilmu yang didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuannya
sendiri tak perlu menimbulkan ketegangan-ketegangan antara ilmu (teknologi) dan
masyarakat.

Fakta yang kita saksikan saat ini ilmu-ilmu empiris mendapatkan tempatnya yang sentral
dalam kehidupan manusia karena dengan teknologi modern yang dikembangkannya
dapat memenuhi kebutuhan praktis hidup manusia. Ilmu-ilmu empiris tersebut tumbuh
dan berkembang dengan cepat melebihi ritme pertumbuhan dan perkembangan
peradaban manusia. Ironisnya tidak diimbangi dengan kesiapan mentalitas sebagian
masyarakat, khususnya di Indonesia.

Teknologi telah merabah berbagai bidang kehidupan manusia secara ekstensif dan
mempengaruhi sendi-sendi kehidupan manusia secara intensif, termasuk merubah pola
pikir dan budaya manusia, bahkan nyaris menggoyahkan eksistensi kodrati manusia
(Iriyanto, 2005). Misalnya, anak-anak sekarang dengan alat-alat permainan yang serba
teknologis seperti playstation, mereka sudah dapat terpenuhi hasrat hakikat kodrat
sosialnya hanya dengan memainkan alat permainan tersebut secara sendirian. Mereka
tidak sadar dengan kehidupan yang termanipulasi teknologi menjadi manusia
individualis.

Problematika  keilmuan  dalam  era  millenium  ketigatidak lepas dari sejarah


perkembangan ilmu pada masa-masa sebelumnya. Karena itu untuk mendapatkan
pemahaman yang komprehensif perlu dikaji aspek ksejarahan dan aspek-aspek
lainnya terkait ilmu dan teknologi. Dari sini, problematika keilmuan dapat segera
diantisipasi dengan merumuskan kerangka dasar nilai bagi pengembangan ilmu.
Kerangka dasar nilai ini harus menggambarkan suatu sistem filosofi kehidupan
masyarakat, yang sudah mengakar dan membudaya dalam kehidupan masyarakat
Indonesia, yaitu nilai-nilai Pancasila.

Pada dasarnya manusia adalah makhluk berpikir. Aristoteles menyatakan dengan


istilah animal rationale. Oleh karena kemampuan berpikir ini manusia dapat
memahami dan menghasilkan ilmu pengetahuan. Pengetahuan ini diperoleh karena
adanya interaksi antara manusia sebagai subjek yang mengetahui dan objek yang
diketahui. Pengetahuan manusia ada yang diperoleh secara spontan dan ada yang
diperoleh secara sistematis-reflektif. Pengetahuan spontan diperoleh manusia
secara langsung berdasarkan hasil tangkapan inderawi yang bersifat sangat terikat
oleh perubahan ruang dan waktu. Sedangkan pengetahuan reflektif diperoleh
manusia melalui proses panjang trial and error, diuji berulang-ulang secara kritis,
disusun secara sistematis menjadi sistem pengetahuan yang kebenarannya bersifat
umum, relatif tidak terikat ruang dan waktu. Pengetahuan reflektif itu ada banyak
macamnya, yaitu ilmu-ilmu empiris, ilmu filsafat, ilmu agama, teknologi dan seni.

87
Ilmu-ilmu empiris memfokuskan diri pada gejala-gejala alam dan sosial secara
mendalam, tetapi bersifat spesifik (parsial). Dalam sejarah pengetahuan manusia,
pengetahuan ilmiah bersifat komulatif dan berkembang terus menerus. Dalam dunia
ilmiah dikenal tiga kelompok besar ilmu, yaitu ilmu-ilmu alam (natural sciences),
ilmu-ilmu sosial (social sciences), dan ilmu-ilmu kemanusiaan/humaniora (the
humanities). Dari tiga cabang besar ini dibagi lagi menjadi disiplin ilmu masing-
masing yang mempunyai cirri/karakteristik dan metodologi tersendiri untuk
menemukan dan mengungkapkan pengetahuan baik yang menyangkut tentang
alam, manusia, dan juga Tuhan.

Ilmu filsafat adalah pengetahuan yang bersifat radikal (mandasar) dan umum
menyangkut masalah-masalah hakiki tentang manusia, alam dan Tuhan. Ilmu
agama adalah pengetahuan manusia yang didasarkan pada sumber utama berupa
kitab suci dengan landasan keyakinan iman. Teknologi adalah pengetahuan
manusia yang awalnya ditujukan untuk mempermudah manusia dalam
memanfaatkan hasil-hasil alam, mengolah dan juga mengeksploitasi alam. Seni
adalah pengetahuan dan ekspresi rasa keindahan manusia sebagai makhluk estetis.

Pancasila sebagai pengetahuan manusia merupakan pengetahuan yang reflektif,


bukan pengetahuan spontan. Proses penemuan pengetahuan Pancasila ini
diperoleh melalui kajian empiris dan filosofis terhadap berbagai ide atau gagasan,
peristiwa dan fenomena sosio-kultural religius masyarakat Indonesia.

Pancasila sebagai pengetahuan ilmiah-filosofis dapat dipahami dari sisi verbalis,


konotatif, denotatif. Pengetahuan verbalis dimaksudkan upaya memahami Pancasila
dari aspek rangkaian kata-kata yang diucapkan, contoh pengucapan Pancasila
dalam upacara bendera, dalam pidato, dan penyebutan-penyebutan yang lain.
Pemahaman ini masih terbatas rangkaian kata-kata, belum dimaknai secara
mendalam dan interpretatif sebagai kesatuan makna yang bersifat komprehensif
(utuh menyelu-ruh).Pengetahuan konotatif dimaksudkan upaya memahami
Pancasila dengan menggunakan ratio. Pancasila dipahami, ditafsirkan dan dimaknai
dengan menggunakan metode ilmiah. Kajian ilmiah merupakan salah satu
pemahaman konotatif. Pemahaman denotatif terhadap Pancasila berkaitan dengan
fakta, realita yang menunjukkan adanya perwujudan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan dapat berupa perbuatan, tindakan ataupun bukti-bukti fisik. Contoh:
adanya berbagai tempat ibadah menunjukkan pemahaman konkritisasi dari
pemahaman sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa

Untuk memahami pemahaman penjelasan di atas, dapat dilihat dalam skema di


bawah ini:
- Konotatif, - Verbalis, - Denotatif. Sisi verbalis dan sisi konotatif mempunyai
hubungan langsung, artinya apa yang diucapkan dapat diinterpretasikan, dan dicari
makna-nya oleh setiap orang. Sisi verbalis dan sisi denotatif tidak terhubung secara
langsung, karena apa yang dikatakan tidak mesti langsung terwujud dalam
kenyataan. Dalam rangka interpretasi terhadap Pancasila sering terjadi distorsi
makna oleh sebagian orang, misalnya: kata “kekeluargaan” dalam bahasa politik dan
sosio-budaya sering disalahartikan menjadi kroni, atau persekongkolan yang
akhirnya memunculkan fenomena korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam kehidupan
sehari-hari juga sering terjadi ketidaksesuaian antara pengetahuan yang dimiliki
dengan perbuatan atau tingkah laku seseorang. Misal: Seseorang mengetahui
bahwa merokok itu memba-hayakan kesehatan, tetapi apa yang diketahuinya tidak
langsung menunjukkan pada perbuatannya (toh ia tetap saja merokok). Demikian
88
pula para aparatur negara mengetahui bahwa Pancasila menjadi sumber nilai dan
sumber hukum dalam menjalankan tugasnya, tetapi banyak juga aparatur negara
yang melanggar hukum yang telah diketahuinya tersebut, bahkan yang dibuatnya
sendiri.

B. Kebenaran ilmiah dalam Pancasila

Pengetahuan manusia tidak akan mencapai pengetahuan yang mutlak, termasuk


pengetahuan tentang Pancasila, karena keterbatasan daya pikir dan kemampuan
manusia. Pengetahuan manusia bersifat evolutif, terus-menerus berkembang dan
bertambah juga dapat berkurang. Pengetahuan yang dikejar manusia identik dengan
pengejaran kebenaran. Oleh karena itu kalau seseorang memperoleh pengetahuan,
maka diandaikan pengetahuan yang diperolehnya adalah benar.

Ada beberapa kriteria tentang kebenaran yang sejak dulu dijadikan acuan para
ilmuwan dalam mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan manusia merupakan
proses panjang yang dimulai dari purwa-madya-wasana (awal-proses-akhir). Akhir
proses pengetahuan manusia diungkapkan melalui pernyataan-pernyataan yang
benar. Dari kriteria ini diperoleh empat macam teori kebenaran:
1. Teori kebenaran koherensi
2. Teori kebenaran korespondensi
3. Teori kebenaran pragmatisme
4. Teori kebenaran konsensus

Kebenaran koherensi ditandai dengan pernyataan yang satu dengan pernyataan


yang lain saling berkaitan, konsisten, dan runtut (logis). Pernyataan yang satu
dengan yang lain tidak boleh bertentangan. Contoh penerapan kebenaran koherensi
dalam ilmu sejarah adalah:
Tahun 1908 merupakan tonggak sejarah kebangkitan nasional, karena pada masa-
itu lahirnya sebuah organisasi modern yang kemudian diikuti oleh organisasi-
organisasi yang lain yang bersifat melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan
cara yang berbeda (non-fisik) dari masa sebelumnya. Kesadaran berbangsa mulai
tumbuh sejak masa itu dan mengkristal dalam diri para pemuda dengan
diikrarkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa pernyataan yang terkandung di dalamnya
bersifat koheren dan logis, karena tidak ada pernyataan yang saling bertentangan
satu sama lain.
Contoh kebenaran koherensi Pancasila: Pancasila merupakan dasar negara RI.
Oleh karena itu segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
bersumber dari Pancasila dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Ibaratnya seperti air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan.

Kebenaran korespondensi ditandai dengan adanya kesesuaian antara pernyataan


dan kenyataannya. Contoh pernyataan benar secara korespondensi: Indonesia
terletak pada posisi silang dunia. Hal ini sesuai dengan kondisi geografis Indonesia
yang berada diantara dua benua, yaitu benua Asia dan Australia dan dua samudera,
yaitu samudera Indonesia dan Pasifik. Contoh kebenaran korespondensi untuk
Pancasila, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai (cocok) dengan kenyataan
bahwa terdapat berbagai penyembahan terhadap Sang Pencipta, menjalankan
perintahNya dan menjauhi segala laranganNya sesuai dengan agama yang
diyakininya.
89
Apabila seseorang warga negara Indonesia menyatakan bahwa Pancasila sebagai
pandangan hidupnya, tetapi perbuatannya tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
berarti orang tersebut melakukan kebohongan. Akhir-akhir ini justru fenomena
demikian banyak terjadi di masyarakat sehingga antara kata dan perbuatan tidak
seiring sejalan, tidak ada kesatuan antara pernyataan dan kenyataan. Jika ini terus
terjadi maka Pancasila hanya menjadi rangkaian kata-kata yang indah yang berifat
verbalis belaka yang tidak berarti.
Kebenaran pragmatis berdasarkan kriteria bahwa pernyataan-pernyataan yang
dibuat harus membawa kemanfaatan bagi sebagian besar umat manusia.
Pernyataan harus dapat ditindaklanjuti dalam perbuatan (dapat dilaksanakan) dan
dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Contoh: dalam ilmu kedokteran
ditemukannya DNA (Deoxyribonucleic Acid), yaitu material genetik dari jaringan
organisme. Dengan diketemukannya DNA akan memudahkan berbagai pihak,
misalnya kepolisian untuk melacak asal-usul genetik seseorang.

Contoh kebenaran pragmatis dalam Pancasila dapat dilihat dari fungsi nyata
Pancasila sebagai pemersatu bangsa dari keanekaragaman etnis, agama, budaya,
bahasa daerah yang ada di Indonesia. Tanpa adanya Pancasila sebagai pemersatu
bangsa, maka yang akan terjadi adalah disintegrasi bangsa.

Kebenaran konsensus didasarkan pada kesepakatan bersama. Suatu pernyataan


dikatakan benar apabila disepakati oleh masyarakat atau komunitas tertentu yang
menjadi bagian dari proses konsensus. Akan tetapi tidak semua kesepakatan umum
itu menjadi konsensus yang benar, karena ada syarat-syarat tertentu untuk
terwujudnya kebenaran konsensus. Menurut Jurgen Habermas, ada empat syarat
untuk mencapai konsensus, yaitu keterpahaman, diskursus/wacana,
ketulusan/kejujuran dan otoritas. Keterpahaman (intelligibility) artinya bahwa
pernyataan-pernyataan yang dikemukakan dalam proses komunikasi dapat
dipahami oleh semua partisipan dalam forum yang dilaksanakan. Keterpahaman ini
dapat diperoleh apabila masing-masing partisipan menggunakan bahasa yang
komunikatif sehingga terhindar dari kesalahpahaman. Diskursus atau wacana
artinya ada dialog antar-ide dalam proses komunikasi dengan azas kesetaraan,
masing-masing partisipan berkedudukan sama, tidak boleh ada pihak yang merasa
paling berkuasa dan paling benar. Kejujuran / ketulusan artinya bahwa semua
kepentingan masing-masing partisipan harus dikemukakan, tidak ada yang
disembunyikan agar semua pihak dapat mengetahui secara gamblang maksud dan
kepentingan masing-masing. Dalam hal ini akan muncul empati dan saling
pengertian antara masing-masing partisipan. Otoritas artinya bahwa dalam proses
mencapai konsensus dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan atau
kompetensi dalam bidangnya sehingga ada pertang-gungjawaban atas pernyataan-
pernyataan yang dikemukakan.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, banyak teori-teori yang dikemukakan oleh


para ilmuwan yang diperoleh berdasarkan konsensus ilmiah antar-ilmuwan
(komunitas ilmiah) di bidang masing-masing, misalnya: teori demokrasi disepakati
sebagai bentuk pemerintah yang paling baik diantara sistem pemerintahan yang ada
sekarang ini. Contoh: kebenaran konsensus dalam Pancasila ya Pancasila itu
sendiri sebagai konsensus nasional yang disepakati oleh para pendiri bangsa pada
tanggal 18 Agustus 1945. Sebagaimana diketahui bahwa rumusan Pancasila
sebelum disyahkan telah mengalami berbagai perubahan rumusan yang dilakukan
berbagai sidang (dialog/wacana).
90
C. Ciri-ciri Berpikir Ilmiah-Filsafati dalam Pembahasan Pancasila

Ilmu pengetahuan merupakan kumpulan usaha manusia untuk memahami


kenyataan sejauh dapat dijangkau oleh daya pemikiran manusia berdasarkan
pengalaman secara empirik dan reflektif. Ada syarat-syarat tertentu yang harus
dipenuhi sehingga pengetahuan itu dapat dikatakan sebagai suatu ilmu.
Poedjawijatna menyebutnya sebagai syarat ilmiah (Kaelan, 1998), yaitu:
1. Berobjek
2. Bermetode
3. Bersistem
4. Bersifat umum / universal.

1). Berobjek

Syarat pertama bagi suatu kajian ilmiah adalah berobjek. Objek dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu objek material dan objek formal. Objek material atau
sasaran kajian adalah bahan yang dikaji dalam pencarian kebenaran ilmiah. Objek
formal adalah pandang pendekatan (perspektif) atau titik tolak dalam mendekati
objek material.
Objek material dalam membahas Pancasila sebagai kajian ilmiah dapat bersifat
empiris maupun non-empiris. Objek material tersebut adalah pernyataan-
pernyataan, pemikiran, ide/konsep, kenyataan sosio-kultural yang terwujud dalam
hukum, teks sejarah, adat-istiadat, sistem nilai, karakter, kepribadian manusia /
masyarakat Indonesia sejak dahulu sampai sekarang. Objek material ini dapat
terwujud di dalam pemikiran para tokoh pendiri negara maupun tokoh-tokoh ilmuwan
dan politisi, negarawan Indonesia. Juga dapat ditelusuri dari berbagai peninggalan
sejarah, dalam teks-teks sejarah dan simbol-simbol yang menjadi ciri khas bangsa
Indonesia. Di samping itu kajian ilmiah juga dapat dilakukan terhadap berbagai
aktivitas dan perilaku manusia Indonesia sekarang ini dari berbagai bidang, seperti
politik, hukum, ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Objek formal dalam membahas
Pancasila dapat dilakukan dari perspektif ilmu-ilmu seperti hukum (yuridis), politik,
sejarah, filsafat, sosiologi dan antropologi maupun ekonomi. Pada hakikatnya
Pancasila dibahas dari berbagai macam sudut pandang, sudut pandang hukum dan
kenegaraan, maka terdapat pembahasan tentang Pancasila Yuridis Kenegaraan,
sudut pandang sejarah akan memperoleh pembahasan tentang Sejarah Pancasila
Melalui objek formal ini akan diperoleh berbagai macam pengetahuan tentang
Pancasila yang bersifat deskriptif, kausalitas, normatif dan esensial. Obyek forma
atau sudut pandang apa Pancasila itu dibahas, yang pada hakekatnya Pancasila
dapat dibahas dalam berbagai sudut pandang, yaitu dari sudut pandang “moral”
maka terdapat bidang pembahasan “moral Pancasila” , dari sudut pandang
“ekonomi” maka terdapat bidang pembahasan “ekonomi Pancasila”, dari sudut
pandang filsafat, maka terdapat bidang pembahasan Filsafat Pancasila dan
sebagainya.

Untuk mengetahui lingkup kajian ilmiah terhadap Pancasila dapat digunakan


pertanyaan-pertanyaan ilmiah sebagaimana halnya dalam pengkajian lainnya.
Pertanyaan ilmiah “bagaimana” akan diperoleh jawaban ilmiah berupa pengetahuan
deskriptif. Pertanyaan “mengapa” akan diperoleh jawaban pengetahuan kausal, yaitu
suatu pengetahuan yang memberikan jawaban tentang sebab dan akibat. Dalam
kaitannya dengan kajian tentang Pancasila, maka pengetahuan sebab akibat

91
berkaitan dengan kajian proses kasualitas terjadinya Pancasila yang meliputi empat
kausa, yaitu: causa materialis, causa formalis, causa effisiens dan causa finalis.
Causa materialis Pancasila adalah sebab bahan yang menjadikan Pancasila itu ada,
yaitu sistem nilai dan budaya masyarakat Indonesia. Causa formalis adalah sebab
bentuk yang menjadikan Pancasila ada yaitu rumusan Pancasila yang berurutan
mulai dari sila pertama sampai dengan sila kelima sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945. Causa effisiens adalah sebab karya atau proses kerja
sehingga Pancasila itu ada, yaitu proses sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Causa
finalis adalah sebab tujuan diadakannya Pancasila, yaitu sebagai dasar negara R.I.

Pertanyaan “ke mana” akan menghasilkan jawaban berupa pengetahuan normatif.


Pengetahuan ini senantiasa berkaitan dengan suatu ukuran, standar serta norma-
norma. Dalam membahas Pancasila tidak cukup hanya berupa hasil deskripsi atau
hasil kausalitas belaka, melainkan perlu untuk dikaji norma-normanya, karena
Pancasila itu untuk diamalkan, direalisasikan serta diimplementasikan dalam
perbuatan. Untuk itu harus ada norma-norma yang jelas terutama dalam norma
hukum sebagai pedoman hidup bernegara yang berdasar Pancasila. Dengan kajian
normatif ini dapat dibedakan secara normatif realisasi atau pengamalan Pancasila
yang seharusnya dilakukan (das Sollen) dari Pancasila dan realisasi Pancasila
dalam kenyataan faktualnya (das Sein) yang senantiasa berkaitan dengan dinamika
kehidupan serta perkembangan zaman.

Pertanyaan “Apa” akan menghasilkan jawaban yang bersifat esensial, yaitu suatu
pengetahuan yang terdalam, pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu. Hal ini
terutama dikaji dalam bidang filsafat. Oleh karena itu kajian Pancasila secara
essensial pada hakikatnya untuk mendapatkan suatu pengetahuan tentang intisari
atau makna yang terdalam dari sila-sila Pancasila atau secara ilmiah filosofis untuk
mengkaji hakikat sila-sila Pancasila.

2). Bermetode

Setiap ilmu harus memiliki metode, yaitu seperangkat cara atau sistem pendekatan
dalam rangka pembahasan objek materialnya untuk mendapatkan kebenaran yang
objektif. Metode ilmiah ada berbagai macam tergantung pada objek yang diselidiki
atau dikaji. Misalnya, metode dalam sosiologi ada berupa survey, tetapi ada pula
yang bersifat grounded research (penelitian kualitatif di lapangan). Metode dalam
ilmu ekonomi lebih bersifat aplikasi dari matematika. Metode dalam ilmu hukum
antara lain adalah interpretasi. Demikian pula halnya dengan Pancasila, jika
Pancasila dibahas dari sudut sejarah maka metode yang dipakai adalah metode ilmu
sejarah, di antaranya kritik naskah dan interpretasi (hermeneutik). Selain itu untuk
mengkaji Pancasila secara filosofis dapat digunakan metode analisis-sintesis.
Metode analisis-sintesis adalah menguraikan dan memerinci pernyataan-pernyataan
sehingga jelas makna yang terkandung di dalamnya untuk kemudian disimpulkan
(sintesis) menjadi suatu pengetahuan yang baru. Metode induksi dan deduksi juga
merupakan metode berpikir yang sering digunakan dalam pengetahuan ilmiah yang
dapat digunakan untuk mengkaji Pancasila. Contoh penggunaan metode analisisi-
sintesis untuk mencari kebenaran Pancasila, yaitu: sila Ketuhanan Yang Maha Esa
diperinci menjadi bagian yang lebih kecil, sehingga diperoleh rincian kata-kata:
ketuhanan, yang, maha, esa. Kata Ketuhanan dapat diperinci menjadi: ke – tuhan –
an. Kemudian dicari makna yang terdalam dari masing-masing kata tersebut.
Selanjutnya makna masing-masing kata digabungkan menjadi satu pengertian yang

92
lebih komprehensif (utuh menyeluruh) yang dapat digunakan sebagai pedoman
dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Metode induksi adalah metode berpikir yang dimulai dari hal-hal yang bersifat
khusus, kejadian atau peristiwa khusus dan kejadian berulang-ulang untuk kemudian
ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Penerapan metode induksi dalam Pancasila
dapat dicontohkan sebagai berikut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dirumuskan oleh
para pendiri negara sebagai pernyataan umum. Sila ini diperoleh dari hasil berpikir
induksi setelah melihat dan menyimpulkan dari peristiwa dan kebiasaan sebagian
besar masyarakat Indonesia di berbagai daerah di tanah air yang menunjukkan
adanya keyakinan agama, tempat-tempat ibadah dan orang-orang yang beribadah
sebagai wujud kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh para pendiri
negara fenomena dan peristiwa di masyarakat tersebut disimpulkan secara umum
dalam bentuk generalisasi bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
berketuhanan Yang Maha Esa.

Metode deduksi adalah metode berpikir yang bertitik tolak dari hal-hal yang bersifat
umum atau pernyataan umum untuk ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Contoh
penerapan metode deduksi dalam mengkaji Pancasila adalah dalam silogisme
sebagai berikut.
Pernyataan umum : Semua bangsa di dunia berhak merdeka
Pernyataan khusus : Indonesia adalah sebuah bangsa
Kesimpulan : Indonesia berhak untuk merdeka
Pernyataan tersebut merupakan alinea-alinea dari Pembukaan Undang-undang
1945. Pernyataan umum merupakan alinea pertama, pernyataan khusus merupakan
alinea kedua, dan kesimpulan merupakan alinea ketiga.

Metode hermeneutika merupakan metode menafsirkan. Objek materialnya adalah


pernyataan-pernyataan, teks, dan simbol. Tujuan dari metode ini adalah untuk
memperoleh makna yang terdalam (hakikat) dari hal yang ditafsirkan. Prinsip yang
digunakan dalam metode ini adalah: konteks dan isi teks. Kajian ilmiah tentang
Pancasila banyak menggunakan metode hermeneutika. Contoh: menafsirkan teks
Undang-undang Dasar 1945. Untuk memahami makna terdalam (hakikat) Undang-
undang Dasar UUD 1945 maka dapat dikaji bagaimana konteks atau keterkaitan-nya
perumusan yang terjadi pada masa itu. Undang-undang tersebut dibuat dalam
keadaan perjuangan kemerdekaan para pendiri negara yang dipenuhi dengan cita-
cita dan hasrat yang sangat besar untuk segera merdeka. Dari penafsiran
berdasarkan konteksnya maka dapat diketahui suasana kebatinan dari Undang-
undang Dasar 1945. Sedangkan dari isi teksnya maka dapat dipahami hakikat
Undang-undang Dasar yaitu sebagai hukum dasar tertulis dimana Pembukaannya
merupakan pokok kaidah negara yang fundamental.

3. Bersistem

Pengetahuan ilmiah seharusnya merupakan suatu kesatuan yang bulat dan utuh.
Bagian-bagiannya harus saling berhubungan dan ketergantungan (interelasi dan
interdependensi). Pemahaman Pancasila secara ilmiah harus merupakan satu
kesatuan dan keutuhan, bahkan Pancasila itu sendiri pada dasarnya juga
merupakan suatu kebulatan yang sisitematis, logis dan tidak ada pertentangan di
dalam sila-silanya (Kaelan, 1998). Syarat bersistem yang dipenuhi oleh Pancasila
menunjukkan bahwa Pancasila merupakan hasil pemikiran para pendahulu negara
yang dirumuskan dengan kecermatan yang tinggi dan bersifat logis. Sila-sila
93
Pancasila tersusun secara logis sehingga membentuk suatu pemikiran yang
sistematis. Notonagoro mengatakan bahwa sila-sila Pancasila tersusun secara
hierarkis piramidal dan bersifat majemuk-tunggal. Hierarkis piramidal maksudnya
sila-sila Pancasila ditempatkan sesuai dengan luas cakupan dan keberlakuan
pengertian yang terkandung di dalam sila-silanya. Sila pertama diletakkan pada
urutan pertama, karena pengertian ketuhanan maknanya sangat luas, terutama
menunjuk pada eksistensi Tuhan sebagai Pencipta, asal usul segala sesuatu atau
dalam istilah Aristoteles disebut sebagai Causa Prima (Penyebab Pertama).
Kemanusiaan ditempatkan pada urutan kedua, karena pengertian manusia itu
sangat luas tetapi jika dibandingkan dengan konsep ketuhanan sudah lebih sempit
cakupannya. Manusia hanyalah sebagian dari ciptaan Tuhan, di samping makhluk
lain yang ada di alam semesta. Inti sila ketiga adalah persatuan, yang cakupan
pengertiannya lebih sempit dari sila pertama dan kedua, karena persatuan
menunjukkan adanya kelompok-kelompok manusia sebagai makhluk sosial atau
zoon politicon. Kelompok ini dapat realitasnya membentuk satuan ras, etnis, bangsa
dan negara. Jadi, adanya kelompok mensyaratkan adanya manusia yang
merupakan ciptaan Tuhan.

Sila keempat berintikan kerakyatan, artinya dalam sebuah kelompok manusia yang
bersatu (bangsa yang menegara) memerlukan sebuah sistem pengelolaan hidup
bersama dengan adanya kedaulatan. Tata kelola negara modern sekarang ini
umumnya menggunakan prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi). Demokrasi
merupakan salah satu cara dari berbagai macam model pemerintahan yang ada
sekarang. Demokrasi yang dikembangkan di Indonesia adalah demokrasi yang
mendahulukan musyawarah untuk mencapai mufakat berdasarkan pada hikmah
kebijaksanaan, walaupun tidak menutup diri terhadap pengambilan suara terbanyak
(voting) dalam membuat keputusan-keputusan.
Sila kelima berintikan keadilan, merupakan sila yang paling khusus cakupan
pengertiannya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan
bersatu membentuk bangsa dan negara dengan sistem demokrasi mempunyai
tujuan bersama yaitu untuk mencapai keadilan keadilan. Dengan demikian sila
kelima ini merupakan realisasi dari eksistensi manusia yang hidup berkelompok
dalam sebuah negara.
Gambaran seperti ini oleh Notonagoro disebut sebagai hierarkis piramidal
sebagaimana tampak dalam gambar berikut ini:

4. Universal

Kebenaran suatu pengetahuan ilmiah relatif berlaku secara universal, artinya


kebenarannya tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Demikian pula, kajian terhadap
pancasila dapat ditemukan bahwa nilai-nilai terdalam yang terkandung dalam
masing-masing sila Pancasila bersifat universal, yaitu: ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan dan keadilan. Nilai-nilai ini dapat diketemukan dalam
pemahaman masyarakat di seluruh dunia, hanya saja terdapat perbedaan dalam
penggunaan kata-katanya. Kata ketuhanan memiliki makna yang hampir sama
dengan religiusitas, kata kemanusiaan analog dengan kata humanisme, persatuan
analog dengan nasionalisme, kerakyatan analog dengan demokrasi, sedangkan
keadilan analog dengan kesejahteraan.
Arti universal tidak sama dengan absolut, karena pengetahuan manusia tidak akan
pernah mencapai kebenaran mutlak. Pemilik kebenaran mutlak hanyalah Tuhan
Yang Maha Esa.

94
Disamping Pancasila memiliki nilai-nilai dasar yang berlaku universal, Pancasila juga
memiliki nilai-nilai yang berlaku hanya untuk rakyat Indonesia yang berwujud
Undang-undang Dasar 1945.

D. Bentuk dan Susunan Pancasila

1. Bentuk Pancasila

Bentuk Pancasila di dalam pengertian ini diartikan sebagai rumusan Pancasila


sebagaimana tercantum di dalam alinea IV Pembukaan UUD‟45. Pancasila sebagai
seuatu sistem nilai mempunyai bentuk yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Merupakan kesatuan yang utuh
Semua unsur dalam Pancasila menyusun suatu keberadaan yang utuh. Masing-
masing sila membentuk pengertian yang baru. Kelima sila tidak dapat dilepas
satu dengan lainnya. Walaupun masing-masing sila berdiri sendiri tetapi
hubungan antar sila merupakan hubungan yang organis.
b. Setiap unsur pembentuk Pancasila merupakan unsur mutlak yang membentuk
kesatuan, bukan unsur yang komplementer. Artinya, salah satu unsur (sila)
kedudukannya tidak lebih rendah dari yang lain. Walaupun sila Ketuhanan
merupakan sila yang berkaitan dengan Tuhan sebagai causa prima, tetapi tidak
berarti sila lainnya hanya sebagai pelengkap.
c. Sebagai satu kesatuan yang mutlak, tidak dapat ditambah atau dikurangi. Oleh
karena itu Pancasila tidak dapat diperas, menjadi trisila yang meliputi sosio-
nasionalisme, demokrasi, ketuhanan, atau eka sila yaitu gotong royong
sebagaimana dikemukakan oleh Ir. Soekarno.

2. Susunan Pancasila

Pancasila sebagai suatu sistem nilai disusun berdasarkan urutan logis keberadaan
unsur-unsurnya. Oleh karena itu :
a. Sila Pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) ditempatkan pada urutan yang paling
atas, karena bangsa Indonesia meyakini segala sesuatu itu berasal dari Tuhan
dan akan kembali kepadaNya. Tuhan dalam bahasa filsafat disebut dengan
Causa Prima, yaitu Sebab Pertama, artinya sebab yang tidak disebabkan oleh
segala sesuatu yang disebut oleh berbagai agama dengan “Nama” masing-
masing agama.
b. Sila Kedua (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab) ditempatkan setelah
ketuhanan, karena yang akan mencapai tujuan atau nilai yang didambakan
adalah manusia sebagai pendukung dan pengemban nilai-nilai tersebut. Manusia
yang bersifat monodualis, yaitu yang mempunyai susunan kodrat yang terdiri dari
jasmani dan rohani. Makhluk jasmani yang unsur-unsur: benda mati, tumbuhan,
hewan. Rohani yang terdiri dari unsur-unsur: akal, rasa, karsa. Sifat kodrat
manusia, yaitu sebagai makhluk individu, dan makhluk sosial. Kedudukan kodrat,
yaitu sebagai makhluk otonom, dan makhluk Tuhan. Setelah prinsip kemanusiaan
dijadikan landasan, maka untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan manusia-
manusia itu perlu untuk bersatu membentuk masyarakat (negara), sehingga perlu
adanya persatuan (sila ketiga).
c. Sila Ketiga (Persatuan Indonesia) erat kaitannya dengan nasionalisme. Rumusan
sila ketiga tidak mempergunakan awalan ke dan akhiran an, tetapi awalan per
dan akhiran an. Hal ini dimaksudkan ada dimensi yang bersifat dinamik dari sila
ini. Persatuan atau nasionalisme Indonesia terbentuk bukan atas dasar
persamaan suku bangsa, agama, bahasa, tetapi dilatarbelakangi oleh historis dan
95
etis. Historis artinya karena persamaan sejarah, senasib sepenanggungan akibat
penjajahan. Etis, artinya berdasarkan kehendak luhur untuk mencapai cita-cita
moral sebagai bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Oleh
karena itu persatuan Indonesia, bukan sesuatu yang terbentuk sekali dan berlaku
untuk selama-lamanya. Persatuan Indonesia merupakan sesuatu yang selalu
harus diwujudkan, diperjuangkan, dipertahankan, dan diupayakan secara terus-
menerus. Semangat persatuan atau nasionalisme Indonesia harus selalu
dipompa, sehingga semakin hari semakin kuat.
d. Sila Keempat (Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan), merupakan cara-cara yang harus ditempuh ketika
suatu negara ingin mengambil kebijakan. Kekuasaan negara diperoleh bukan
karena warisan, tetapi berasal dari rakyat. Jadi rakyatlah yang berdaulat.
e. Sila Kelima (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia) ditempatkan pada
sila terakhir, karena sila ini merupakan tujuan dari negara Indonesia yang
merdeka.

Oleh karena itu masing-masing sila-sila mempunyai makna dan peran sendiri-
sendiri. Semua sila berada dalam keseimbangan dan berperan dengan bobot yang
sama. Akan tetapi karena masing-masing unsur mempunyai hubungan yang
organis, maka sila yang di atas menjiwai sila yang berada di bawahnya. Misalnya,
sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai dan meliputi sila ke dua, ke tiga, ke empat,
ke lima. Sila ke dua dijiwai sila pertama, menjiwai sila ke tiga, ke empat, dan ke lima.
Demikian seterusnya untuk sila ke tiga, ke empat, dan ke lima.

Susunan sila-sila pancasila merupakan kesatuan yang organis, satu sama lain
membentuk suatu sistem yang disebut dengan istilah majemuk tunggal
(Notonagoro). Majemuk tunggal artinya Pancasila terdiri dari 5 sila tetapi merupakan
satu kesatuan yang berdiri sendiri secara utuh. Selanjutnya, Notonagoro
berpendapat bahwa bentuk dan susunan Pancasila seperti tersebut di atas adalah
hierarkis-piramidal. Hierarkhis berarti tingkat, sedangkan piramidal dipergunakan
untuk menggambar-kan hubungan bertingkat dari sila-sila Pancasila dalam urutan
luas cakupan (teba berlakunya pengertian) dan juga isi pengertian. Hukum logika
yang mendasari pemikiran ini adalah bahwa antara luas cakupan pengertian (teba
berlakunya pengertian) dan isi pengertian berbanding terbalik. Hal ini berarti, bahwa
jika isi pengertiannya sedikit, maka teba berlakunya pengertian itu sangat luas.
Misalnya, kata meja mempunyai isi pengertian yang sedikit, sehingga teba
berlakunya pengertian meja sangat luas, yaitu meliputi berbagai macam meja,
kualitas meja, bentuk meja, dll. Akan tetapi jika kata meja ditambah dengan isi
pengertian, yaitu dengan kata tamu, maka teba berlakunya pengertian itu semakin
sempit, karena di luar meja tamu tidak tercakup dalam pengertian itu.

Jika dilihat dari esensi urutan ke lima sila Pancasila, maka sesungguhnya
menunjukkan rangkaian tingkat dalam luas cakupan pengertian (teba berlakunya
pengertian) dan isi pengertiannya. Artinya, sila yang mendahului lebih luas cakupan
pengertiannya (teba berlakunya pengertian) dengan isi pengertian yang sedikit, dari
sila sesudahnya atau sila yang berada di belakang merupakan pengkhususan atau
bentuk penjelmaan dari sila-sila yang mendahuluinya.

Pancasila sebagai satu kesatuan sistem nilai, juga membawa implikasi bahwa
antara sila yang satu dengan sila yang lain saling mengkualifikasi. Hal ini berarti
bahwa antara sila yang satu dengan yang lain, saling memberi kualitas, memberi
bobot isi. Misalnya Ketuhanan Maha Esa adalah Ketuhanan yang Maha Esa yang
96
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian juga untuk sila kedua,
kemanusiaan yang adil dan beradab, yang berketuhanan yang maha esa,
berpersatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, dan ini berlaku seterusnya untuk sila-sila yang lain.

E. Refleksi terhadap Kajian Ilmiah tentang Pancasila di Era Global

Kajian ilmiah tentang Pancasila sejak disyahkan tanggal 18 Agustus 1945 sampai
saat ini mengalami pasang surut. Notonagoro, Driyarkara merupakan tokoh-
tokoh/ilmuwan yang mengawali pengkajian Pancasila secara ilmiah populer dan
filosofis. Pemikiran Notonagoro tentang Pancasila menghasilkan suatu telaah yang
sangat bermakna bagi perkembangan Pancasila sebagai dasar negara.

Walaupun demikian, masih terbuka bahan dialog dan kajian kritis terhadap
Pancasila sehingga diperoleh interpretasi baru untuk memperoleh makna terdalam
dari sila-sila Pancasila. Artinya, Pancasila sebagai dasar falsafah negara tidak boleh
menjadi ideologi yang beku sehingga seluruh komponen bangsa, terutama
mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa dan intelektual muda dapat
memberikan ide-ide baru dan kreatif untuk merevitalisasi Pancasila dalam realitas
kehidupan berbangsa di era global.

Di era global dengan ciri dunia tanpa batas, dunia datar (dunia maya) secara
langsung maupun tidak langsung banyak ideologi asing yang gencar menerpa
masyarakat Indonesia. Hal ini terkadang tidak disadari oleh masyarakat kita, bahkan
mereka banyak yang menganggap bahwa nilai-nilai dan ideologi asing justru
menjadi pandangan hidupnya seperti materialisme, hedonisme, konsumerisme.
Materialisme dalam hal ini diartikan sebagai sikap hidup yang mengagungkan materi
atau benda-benda. Ukuran keberhasilan atau kesuksesan seseorang dipandang dari
sudut materi yang dimiliki (uang, harta benda/kekayaan) sehingga sering
mengabaikan etos kerja dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian lama
kelamaan orang menjadi kurang menghargai orang lain dari sisi spiritualitasnya
(seseorang dihargai karena kekayaan materi, bukan kekayaan batin yang dimiliki).

Hedonisme adalah suatu paham dan sikap hidup yang mengejar kenikmatan dan
kesenangan duniawi dengan orientasi pada pemuasan kebutuhan hidup secara fisik,
seperti senang menikmati makanan mahal/berkelas, gaya hidup metropolit dengan
dunia gemerlap di mana seks bebas, merokok, narkoba, minum alkohol menjadi
bagian yang sering tak dapat dipisahkan.

Gejala yang lain, kecenderungan masyarakat Indonesia yang tampak menggejala


saat ini adalah konsumerisme, yaitu suatu sikap dan gaya hidup yang lebih senang
berposisi sebagai pengguna (konsumen) daripada produsen. Kecenderungan
konsumtif yang berlebihan ditandai dengan membeli atau memiliki barang-barang
yang sebenarnya tidak dibutuhkan, melainkan sekedar karena diinginkan.

Dengan adanya gejala tersebut di atas semakin diperlukan sebuah kajian kritis
terhadap Pancasila sebagai sumber nilai bagi kehidupan masyarakat Indonesia.
Diharapkan masyarakat kita semakin kritis dalam menentukan pilihan-pilihan
pandangan hidup, sikap dan gaya hidupnya yang selaras dengan nilai-nilai
97
Pancasila sebagai bagian dari budaya bangsa. Dengan demikian, masyarakat
Indonesia memiliki prinsip-prinsip hidup yang kokoh, orientasi hidup yang jelas
dalam bersikap dan berperilaku sehingga tidak terombang-ambing mengikuti arus
global.

BAB X
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM
BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA

A. Latar Belakang

Paradigma dapat diartikan sebagai keutuhan konseptual yang sarat akan muatan
ajaran,teori,dalil,bahkan juga pandangan hidup,untuk dijadikan dasar dan arah
pengembangan segala hal. Dalam istilah ilmiah,paradigma kemudian berkembang
dalam berbagai bidang kehidupan manusia dan ilmu pengetahuan lain, misalnya
politik, hukum, ekonomi, budaya, serta bidang-bidang lainnya.

Pada dasarnya, konsep “paradigma” yang pertama kalinya dipopulerkan oleh


Thomas Kuhn, berarti sebuah model berpikir dalam ilmu pengetahuan. Paradigma
besara manfaatnya, oleh karena konsep ini mampu menyederhanakan dan
menerangkan suatu kompleksitas fenomena menjadi separangkat konsep dasar
yang utuh. Paradigma tidaklah statis, karena ia bisa diubah jika paradigma yang ada
tidak dapat lagi menerangkan kompleksitas fenomena yang hendak diterangkannya
itu.

Masalah yang paling dasar dalam wacana kita sekarang ini adalah mempertanyakan
– dan menjawab – sudahkah Pancasila merupakan sebuah paradigma yang mapu
menerangkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia
pada umumnya, dan kehidupan sosial politik pada khususnya? Bukankah kritik yang
paling sering kita dengar adalah bahwa nilainilai yang dikandung Pancasila itu baik,
hanya terasa bahwa sila-silanya bagaikan terlepas satu sama lain dan
penerapannya dalam kenyataan yang masih belum sesuai dengan kandungan
normanya. Jika kritik itu benar, bukankah hal itu berarti bahwa Pancasila masih
belum merupakan suatu paradigma, atau jika sudah pernah menjadi paradigma, ia
tidak mampu lagi menerangkan kenyataan politik di Indonesia dewasa ini.

Jika memang demikian halnya, bukankah kewajiban kita bersama


mengembangkannya sedemikian rupa sehingga mampu menerangkan kompleksitas
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernagara di Indonesia ini.

B. Pengertian Paradigma

Pengertian Paradigma Istilah paradigma dalam dunia ilmu pengetahuan


dikembangkan oleh Thomas.S.Khun dalam bukunya The Structure of Scientific
Revolution (1970:49). Secara testimologis paradigma diartikan sebagai asumsi-
asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoritis yang umum (merupakan sumber nilai).
Dengan demikian maka paradigma merupakan sumber hokum,metoda yang
diterapkan dalam ilmu pengetahuan,sehingga sangat menentukan sifat,ciri dan
karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.

98
Paradigma dapat diartikan sebagai keutuhan konseptual yang sarat dengan muatan
ajaran,teori,dalil,bahkan juga pandangan hidup untuk dijadikan dasar dan arah
pengembangan segala hal. Dalam istilah ilmiah, paradigma kemudian berkembang
dalam berbagai bidang kehidupan manusia dan ilmu pengetahuan lain, misalnya
politik, hukum, ekonomi, budaya, serta bidang-bidang lainnya. Istilah paradigma
kemudian berkembang menjadi terminology yang mengandung konotasi pengertian
sumber nilai, pola pikir, orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan dari
suatu perkembangan, perubahan serta proses pembangunan.

1. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional

Pancasila harus dipahami sebagaisatu kesatuan organis, dimana masing-masing


silanya saling menjiwai atau mendasari sila-sila lain, mengarahkan dan mambatasi.
Pemahaman pancasila juga harus diletakkan dalam suatu kesatuan integrative
dengan pokok-pokok pikiran yang digariskan di dalam pembukaan UUD 1945. tanpa
pemahaman seperti tersebut, akan kehilangan maknanya, pancasila dapat
ditafsirkan secara subyektif, menjadi terdistorsi dan kontraproduktif.

Manusia adalah subyek pendukung pokok sila-sila Pancasila dan pendukung


negara. Negara adalah organisasi atau persekutuan hidup manusia,maka Negara
dalam mewujudkan tujuannya melalui pembangun nasional guna mewujudkan
tujuannya seluruh warganya harus dikembalikan pada dasar-dasar hakekat manusia
monopluralis, yaitu susunan kodrat manusia jiwa dan badan, sifat kodrat manusia,
individu dan sosial kedudukan kodrati manusia sebagai makhluk yang berdiri sendiri
dan makhluk ciptaan Tuhan YME.

Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung konsekuensi


bahwa dalam segala pembangunan nasional harus berdasarkan pada hakikat nilai-
nilai pancasila dan hakikat nilai-nilai pancasila harus berdasarkan pada hakikat
manusia. Maka pembangunan nasional untuk hakikat kodrat manusia dan harus
meliputi aspek jiwa (akal, rasa dan kehendak),aspek badan,aspak individu, aspek
makhluk sosial,aspek pribadi dan aspek kehidupan Ketuhanannya. Kemudian
pembangunan nasional dijabarkan ke berbagai bidang pragmatis seperti ekonomi,
politik, hukum, pendidikan, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, kehidupan
agama dan lain-lain.

a. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pada hakikatnya merupakan hasil


kreativitas rohani (jiwa) manusia. Atas dasar kreativitas akalnya, manusia
mengembangkan IPTEK untuk mengolah kekayaan alam yang diciptakan Tuhan
Yang Maha Esa. Tujuan dari IPTEK adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan
peningkatan harkat dan martabat umat manusia, maka IPTEK pada hakikatnya tidak
bebas nilai, namun terkait nilai-nilai. Pancasila telah memberikan dasar nilai-nilai
dalam pengembangan IPTEK, yaitu didasarkan moral Ketuhanan dan Kemanusiaan
yang adil dan beradab.

IPTEK yang kita letakkan di atas Pancasila sebagai paradigmanya, perlu kita pahami
dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologi, epistemologis, dan
aksiologinya.
1) Ontologis : Hakikat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan aktivitas
manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya untuk mencari dan
99
menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan harus dipandang
secara utuh, dalam dalam dimensinya sebagai masyarakat, sebagai proses dan
sebagai produk. Sebagai masyarakat menunjukkan banyaknya academic
community yang dalam hidup kesehariannya para warganya mempunyai concern
untuk terus menerus menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sebagai
proses menggambarkan suatu aktivitas warga masyarakat ilmiah yang melalui
abstraksi, spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, konparasi, dan
eksplorasi mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk
adalah hasil yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya-karya ilmiah
beserta impilikasinya yang berwujud fisik ataupun non fisik.
2) Epistemologi : Bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
dijadikan “metode berfikir”, dalam arti menjadikan dasar dan arah di dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, parameter kebenaran serta
pemanfaatan hasil-hasil yang dicapainya ialah nilai-nilai yag terkandung dalam
Pancasila itu sendiri.
3) Aksiologi : Bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut di atas,
kemanfaatan dan efek pengembangan IPTEK secara negatif tidak bertentangan
dengan ideal Pancasila dan secara positif mendukung untuk mewujudkan nilai-
nilai ideal Pancasila.

Dengan menggunakan Pancasila sebagai paradigma, merupakan keharusan bahwa


Pancasila harus dipahami secara benar, karena pada gilirannya nilai-nilai Pancasila
menjadi asumsi-asumsi dasar bagi pamahaman di bidang ontologis, epistemologis
dan aksiologisnya.

b. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Poleksosbudhankam.

Pembangunan nasional dirinci di berbagai bidang antara lain politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan yang penjabarannya tertuang pada GBHN.
Pembangunan yang sifatnya humanistis dan pragmatis harus mendasarkan pada
hakikat manusia dan harkat manusia sebagai pelaksana sekaligus tujuan
pembangunan, sebagai pengembangan Poleksosbudhankam, maka pembangunan
pada hakikatnya membangun manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya,
secara lengkap, meliputi seluruh unsur hakikat manusia yang monopluralis.

1) Pancasila sebagai paradigma pembangunan politik Pengembangansistem politik


negara harus berdasarkan pada kekuasaan yang bersumber pada penjelmaan
hakikat manusia sebagai makhluk individu, sosial yang terjelma sebagai rakyat.
Rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara, maka kekuasaan negara harus
berdasarkan kekuasaan rakyat, bukannya kekuasaan perseorangan atau
kelompok. Manusia sebagai subjek negara, maka kehidupan politik dalam suatu
negara harus benar-benar untuk merealisasikan tujuan demi harkat dan martabat
manusia.
Sistem politik negara Pancasila memberikan dasar-dasar moralitas politik negara,
seperti diungkap para pendiri negara, misalnya Muh. Hatta mengharuskan dasar
moral untuk negara, bukan berdasar kekuasaan, maka dalam sistem politik
negara termasuk para elit politik, para penyelenggara negara harus tetap
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur dan memegang budi pekerti
kemanusiaan atau terus mendasarkan moralitas sebagaimana tertuang dalam
nilai sila-sila Pancasila.

2) Pancasila sebagai paradigma pembangunan ekonomi


100
Dalam pembangunan ekonomi perlu didasari bahwa pembangunan ekonomi
bukan hanya mengejar pertumbuhan saja, tetapi demi kemanusiaan, dan
kesejahteraan seluruh bangsa, didasarkan atas kekeluargaan seluruh bangsa.
Menurut Mubyarto, pembangunan ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan nilainilai
moral kemanusiaan, ekonomi kerakyatan yaitu ekonomi yang humanistik dngan
dengan mendasarkan pada tujuan demi kesejahteraan rakyat secara luas.
Tujuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan manusia agar lebih sejahtera, maka
ekonomi harus mendasarkan pada kemanusiaan, ekonomi harus menghindarkan
diri dari persaingan bebas, dari monopoli, ekonomi harus menghindari yang
menimbulkan penindasan manusia satu dengan yang lainnya.

3) Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial budaya

Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial budaya, artinya nilai-nilai


yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat kita sendiri, yaitu
nilai-nilai Pancasila itu sendiri (kristalisasi, nilai-nilai adat istiadat, tradisi, budaya,
pustaka, dan keagamaan) dijadikan dasar/landasan pengembangan sosial
budaya. Prinsip etika Pancasila bahwa nilai-nilai Pancasila diangkat dari harkat
dan martabat manusia sebagai malkhluk berbudaya.

Menurur Koentowijoyo, (1986), Pancasila sebagai sumber normatif bagi


peningkatan humanisasi dalam bidang sosial budaya. Sebagai kerangka
kesadaran, Pancasila dapat merupakan dorongan untuk universalisasi, artinya
melepaskan simbol-simbol dari keterkaitan struktur dan transendentalisasi, yaitu
meningkatkan derajat kemerdekaan manusia dan kebebasan spiritual.

Kepentingan politik demi kekuasaan mengakibatkan masyarakat melakukan aksi


tidak beradab, tidak manusiawi dan tidak human, sehingga meningkatkan
fanatisme etnis di berbagai daerah yang mengakibatkan lumpuhnya
keberadaban. Untuk menghindari aksi demikian, maka pengembangan sosial
budaya harus berdasarkan nilai-nilai Pancasila yaitu nilai-nilai kemanusiaan, nilai
Ketuhanan dan nilai keberadaban.

4) Pancasila sebagai paradigma pengembangan Pertahanan Keamanan


Pertahanan dan keamanan negara harus mendasarkan pada tujuan terjaminnya
harkat dan martabat manusia atau terjaminnya hak asasi manusia, bukan untuk
kekuasaan, agar tidak melanggar HAM. Demi tegaknya HAM bagi warga negara,
maka diperlukan perundang-undangan negara, baik untuk mengatur ketertiban
warga maupun melindungi hak-hak warganya.

Negara bertujuan melindungi segenap wilayah negara dan warganya, maka


keamanan menjadi syarat tercapainya kesejahteraan warga negara dan
pertahanan negara demi tegaknya integritas seluruh warga begara. Dalam hal ini
diperlukan aparat keamanan negara dan penegak hukum negara. Pertahanan
dan keamanan harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Pancasila, yaitu demi
terciptanya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan YME (sila I dan
II), demi kepentingan seluruh warga negara (sila III), mampu menjamin hak-hak
dasar, persamaan derajat dan kebebasan kemanusiaan (sila IV) dan harus dapat
mewujudkan keadilan dalam masyarakat (sila V).

101
c. Pancasila sebagai paradigma pembaharuan hukum dan pengembangan hak
asasi manusia.

Runtuhnya Orde Baru tanggal 21 Mei 1998 ditandai dengan rusaknya bidang
hukum. Produk hukum baik materi maupun penegakannya semakin jauh dari nilai-
nilai kemanutsiaan,kerakyatan,dan keadilan. Padahal Pancasila merupakan cita-cita
hukum, kerangka berfikir, sumber nilai dan sumber arah penyusunan dan perubahan
hukum positif di Indonesia, sehingga fungsi Pancasila sebagai paradigma hukum
atau berbagai pembaharuan hukum di Indonesia. Produk hukum dapat berubah dan
diubah sesuai perkembangan jaman, perkembangan IPTEK dan perkembangan
aspirasi rakyat, namun sumber nilai (nilai-nilai Pancasila) harus tetap tidak berubah.

Pancasila harus tetap menjadi sumber norma, sumber nilai dan kerangkan berfikir
dalam pembaharuan hukum, agar hukum dapat aktual atau sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
Sebagai paradigma pembaharuan hukum, maka Pancasila adalah cita-cita hukum
yang berkedudukan sebagai staf undamentalnorm di dalam negara Indonesia.
Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-nilai religius, nilai hukum kodrat, nilai
hukum moral, pada hakekatnya merupakan sumber material hukum positif
Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan
perundang-undangan Indonesia yang tersusun secara hierarkis. (Kaelan,2001)
Pancasila sebagai paradigma pembaharuan hukum merupakan sumber norma dan
sumber nilai, bersifat dinamik nyata ada dalam masyarakat, baik menyangkut
aspirasinya, kemajuan peradabannya, maupun kemajuan IPTEK.

Oleh karena itu, upaya untuk pembaharuan hukum benar-benar mampu


pengantarkan manuia Indonesia ketingkat harkat dan martabat yang lebih tinggi
menuju perwujudan hak asasi manusia (HAM) yang selaras, serasi dan seimbang
dengan hakekatnya sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab. Indonesia
adalah negara hukum, maka segala tindakan kenegaraan harus diatur oleh
ketentuan-ketentuan yuridis, sehingga ada supremasi hukum, menjamin hak-hak
asasi .manusia dan hak-hak asasi manusia dijunjung tinggi serta dilindungi. Secara
obyektif, HAM merupakan kewenangan-kewenangan pokok yang melekat pada
manusia sebagai manusia, artinya yang harus diakui dan dihormati oleh masyarakat
dan negara, sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama serta
sebagai makhluk yang berbudi pekerti luhur dan berkarsa merdeka.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.39 Tahun tentang HakAsasi


Manusia, di dalam konsiderannya yang dimaksud Hak Asasi Manusia ialah
seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan YME dam merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Selain hak asasi
manusia, UU No.39 Tahun 1999 juga menentukan Kewajiban Dasar Manusia, yaitu
seperangkat kewajiban jika tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan
tegaknya Hak Asasi Manusia.

Lebih lanjut UU tersebut menegaskan, demi tegaknya hak asasi manusia, maka
semua bentuk pelanggaran HAM yang dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok
orang atau penguasa negara dan aparat negara baik yang disengaja maupun tidak
disengaja harus dihindari.

102
d. Pancasila sebagai paradigma reformasi

Inti reformasi adalah memelihara segala yang sudah baik dari kinerja bangsa dan
negara dimasa lampau, mengoreksi segala kekurangannya,sambil merintis
pembaharuan untuk menjawab tantangan masa depan. Pelaksanaan kehidupan
berbangsa dan bernegara masa lalu memerlukan identifikasi, mana yang masih
perlu pertahankan dan mana yang harus diperbaiki. Hal ini mutlak diperlukan dalam
upaya pemantapan kebijaksanaan nasional untuk menyongsong dan mencapai
masa depan bangsa yang aman dan sejahtera.

Pancasila yang merupakan lima aksioma yang disarikan dari kehidupan masyarakat
Indonesia jelas akan mantap jika diwadahi dalam sistem politik yang demokratis,
yang dengan sendirinya menghormati kemajemukan masyarakat Indonesia.
Pemilihan umum, salah satu sarana demokrasi yang penting, baru dipandang bebas
apabila dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Peranan Pancasila dalam era reformasi harus nampak sebagai paradigma


ketatanegaraan, artinya Pancasila menjadi kerangka pikir atau pola pikir bangsa
Indonesia, khususnya sebagai Dasar Negara. Pancasila sebagai landasan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini berarti bahwa setiap gerak langkah bangsa
dan negara Indonesia haru selalu dilandasi oleh sila-sila yang terdapat dalam
Pancasila. Sebagai negara hukum setiap perbuatan, baik dari warga masyarakat,
maupun dari pejabat-pejabat dan jabatan-jabatan harus berdasarkan hukum yang
jelas. Jadi hukum yang dibentuk tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila.

Reformasi politik pada dasarnya berkenaan dengan masalah kekuasaan yang


memang diperlukan oleh negara maupun untuk menunaikan dua tugas pokok yaitu
memberikan kesejahteraan dan menjamin keamanan bagi seluruh warganya.
Reformasi politik terkait dengan reformasi dalam bidang-bidang kehidupan lainnya,
seperti bidang hukum, ekonomi, sosial budaya serta hakamnas. Misalnya, dalam
bidang hukum, segala kegiatan politik harus sesuai dengan kaidah hukum, oleh
karena itu hukum harus dibangun secara sistematik dan terencana sehingga tidak
ada kekosongan hukum dalam bidang apapun. Jangan sampai ada UU tetapi tidak
ada PP pelaksanaanya yang sering kita alami selama ini.

Kualitas kewarganegaraan yang tinggi dikalangan para pemimpin selain dapat


memahami dan menjabarkan sila-sila Pancasila yang abstrak, tetapi juga mampu
memimpin rakyat yang memang hidup dalam lingkungan primondialnya masing-
masing agar tidak keliru memberi makna kekuasaan bagi seorang pemimpin.
Kekuasaaan adalah kemampuan untuk mendorong orang lain untuk melaksanakan
kemauan penguasa. Kekuasaan tidak akan terasa sebagai paksaan kalau
penggunaannya disertai dengan kewibawaan, yaitu penerimaan kekuasaan itu
secara sadar dan sukarela oleh mereka yang dikuasai. Dengan lain perkataan,
sesungguhnya kekuasaan yang mantap adalah kekuasaan yang bersifat
demokratis.

e. Pancasila sebagai paradigma dalam kehidupan beragama

Salah satu sumber materi perumusan Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun
sebagai Pandangan hidup bangsa dan negara RI adalah sejarah perjuangan dan
perkembangannya di masa lalu. Khusus yang berkenaan dengan nilai-nilai
103
kehidupan bersama dalam masyarakat, pada masa kejayaan kerajaan Majapahit
warga masyarakat penganut agama Hindu dan agama Budha hidup berdampingan
dengan damai. Kedamaian tersebut, salah satu acuannya adalah sesuai dalam
buku Sutasoma oleh Empu Tantular (1365) yaitu ”Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana
Dharma Mangrua” yang artinya walaupun berbeda, satu jua adanya, sebab tidak
ada agama yang mempunyai tujuan yang berbeda. Sesati ini dipenggal menjadi
dua, Bhinneka Tunggal Ika menjadi nama lambang negara Indonesia dan Tan Hana
Dharma Mangrua menjadi nama lambang Lemhannas.

Kalimat kedua pada hakikatnya bermakana ”agama pada prinsipnya sama hanya
wujud pengabdiannya kepada Tuhan yang berbeda”. Jika prinsip ini dihayati dan
diamalkan oleh warga masyarakat Indonesia yang terdiri dari ratusan suku bangsa,
adat istiadat yang beraneka ragam, dan agama/kepercayaan yang berbeda maka
akan mewujudkan sikap dan perilaku dalam kehidupan bermasyarakat termasuk
toleransi kehidupan antar pemeluk agama.

Pancasila yang menjadi sumber tertib hukum naional, nilai-nilai yang dikandungnya
bersifat abstrak dituangkan ke dalam kaidah atau norma-norma hukum yang
mengatur kehidupan negara sebagai lembaga dan kesejahteraan sosial kepada para
warga negara sebagai anggota masyarakat.

Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dijabarkan kedalam pasal 29 UUD 1945 menjamin
hak warga negara memeluk agama dan kepercayaan masing-masing. Berkenaan
dengan hak tersebut, harus disadari bahwa hak akan dinikmati jika diimbangi
dengan kewajiban yang harus dilaksanakan. Jadi toleransi kehidupan antar pemeluk
agama dalam masyarakat akan terwujud jika para pemeluk agama menyadari
adanya kewajiban yang merupakan keharusan untuk menghormati pemeluk agama
yang berbeda dengan agama yang dianutnya.

Dalam hubungan antara negara dengan agama ditegaskan bahwa tidak ada agama
negera, tetapi negara berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti
bahwa semua agama dan kepercayaan kepada Tuhan, hidup dan diakui oleh
negara, mendapat tempat yang layak dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sendi pokok dari
setiap agama dan kepercayaan kepada Tuhan.

f. Aktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Kampus

Pancasila pada aktualitasnya di negara Republik Indonesia dijadikan dasar filsafat


negara, pandangan hidup bangsa dan ideologi naisonal, maka nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya harus terus-menerus meresap dalam kehidupan manusia
Indonesia dan mewujudkan dalam sikap dan perilaku kehidupannya sehari-hari.

Aktualisasi Pancasila secara obyektif ialah terwujud dalam bidang kehidupan


kenegaraan yaitu meliputi kelembagaan negara antara lain legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, juga bidang pragmatis yaitu politik, ekonomi, sosial budaya, hukum
(penjabaran ke dalam undang-undang), GBHN, pendidikan dan hankam.

Aktualisasi Pancasila secara subyektif adalah perwujudan kesadaran inidvidu antara


manusia Indonesia sebagai warga negara Indonesia yang taat dan pauh, baik aparat
penyelenggara negara, penguasa negara maupun elit politik dalam meaksanakan
104
kegiatan-kegiatan politiknya selalu berlandaskan moral Ketuhanan dan
Kemanusiaan sesuai yang terkandung dalam Pancasila. Kampus adalah tempat
hunian atau perkampungan masyarakat ilmiah atau masyarakat intelektual, maka
harus mengamalkan budaya akademik tidak terjebak dalam politik peraktis atau
legitimasi kepentingan penguasa. Masyarakat kampus harus berpegang pada
komitmen moral yang bersumber pada ketuhanan dan kemanusiaan,
bertanggungjawab secara moral, bertanggungjawab terhadap bangsa dan
negaraeraan serta mengabdi untuk kesejahteraan kemanusiaan.

Kampus dalam wujud Perguruan Tinggi mengemban tugas dan misi pokok
pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat (Tridharma Perguruan Tinggi).
Pendidikan dilaksanakan di ruang kuliah melalui pendidikan ini ilmu pengetahuan
dan teknologi diberikan kepada para mahasiswa untuk menyiapkan, membentuk dan
menghasilkan SDM yang berkualitas, Penelitian dilakukan di laboratorium, di
lapangan, di perusahaan, di rumah sakit atau di mana saja, penelitian bersifat
obyektif dan ilmiah, baik kaidah serta untuk menemukan kebenaran ilmiah atau
menyelesaikan masalah dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian.
Penelitian harus berpegang pada moral kejujuran yang bersumber pada nilai-nilai
Pancasila. Hasil Penelitian bermanfaat bagi kemanusiaan dan kesejahteraan
manusia demi harkat dan martabat manusia.

Pengabdiaan kepada masyarakat dilaksanakan di luar kampus ditengah-tengah


masyarakat, di arena kehidupan riil masyarakat luas. Hal ini merupakan wahana
kegiatan memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam memberikan sumbangsih kepada
masyarakat. Kegiatan pengabdiaan kepada masyarakat demi kesjahteraan umat
manusia, demi pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan, maka harus
dijiwai nilai-nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan sesuai yang terkandung dalam
Pancasila.

Warga Perguruan Tinggi adalah insan-insan yang memiliki wawasan dan integrasi
ilmiah, maka masyarakat akademik harus selalu mengembangkan buadaya
akademik atau budaya ilmiah yang berupa esensi dari aktivitas perguruan tinggi.
Ciri-ciri mayarakat ilmiah sebagai budaya akademik menurut Suhadi,(1998:214)
adalah kritis, kreatif, analitis, obyaktif, kontruktif, dinamik, dialogis, menghargai
prestasi ilmiah/akademik, bebas dari prasangka, menghargai waktu, menghargai
dan menjunjung tinggi tradisi ilmiah, berorientasi ke masa depan, menerima kritik
dan kemitraan.

105
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali, 1984, Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup
Bangsa, CV. Rajawali, Jakarta.
Abdul Gani, Ruslan, 1998, “Pancasila dan Reformasi”, Makalah Seminar
Nasional KAGAMA, 8 Juli 1998, Yogyakarta.
Bahar, Saafroedin, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.),
1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan
Bakry, Noor Ms., 2010, Pendidikan Pancasila, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Darmodiharjo, Darji Prof. SH, Santiaji pancasila (Edisi Refisi) CETAKAN ke 10,
usaha nasional, surabaya, 1991
Dirjen Dikti Depdiknas, Kapita selekta pendidikan pancasila, Proyek peningkatan
tenaga akademik, jakarta 2002
Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik
Indonesia, Jakarta.
Iriyanto, Ws, 2009, Bahan Kuliah Filsafat Ilmu, Pascasarjana, Semarang
Kaelan, 2000, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta. _____, 2012, Problem
Epistemologis Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Paradigma, Yogyakarta.
Kaelan, Pendidikan Pancasila Paradigma, Yogyakarta, 2001
Kaelan, 2005. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
Kunto   Wibisono,   1985,   Arti   Perkembangan   Menurut
Positivisme, Gadjah Mada Press, Yogyakarta
Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas
Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
MD, Moh. Mahfud, 2011, “Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Menegakkan
Konstitusionalitas Indonesia”, Makalah pada Sarasehan Nasional
2011 di Universitas Gajah Mada Yogyakarta tanggal 2-3 Mei 2011.
Notosusanto, Nugroho, 1981, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, PN Balai
Pustaka, Jakarta.
Setiardja, A. Gunawan, 1994, Filsafat Pancasila Bagian II: Moral Pancasila,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Soekarno, 1989, Pancasila dan Perdamaian Dunia, CV Haji Masagung, Jakarta.
Sutardjo, 1992, Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
Tarsito, Bandung
Suwarno, 1993, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.
MPR RI, 2011, Panduan Pemasyarakatan Undang-UndangDasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta.
Notonagoro, 1975, Pancasila secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tujuh,
Jakarta.
Oesman, Oetojo dan Alfian (Ed.), 1990, Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai
Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, BP-7
Pusat, Jakarta.
Poespowardojo, Soerjono, 1989, Filsafat Pancasila: Sebuah Pendekatan Sosio-
Budaya, PT Gramedia, Jakarta.
Rambu-Rambu MPK di Perguruan Tinggi, Ditjen Dikti Departemen Pendidikan
Nasional Renstra UNY 2006-2010
Roem, Muhammad dan Agus Salim, 1977, Ketuhanan Yang Maha Esa dan
Lahirnya Pancasila, Bulan Bintang, Jakarta.

106
Suamo,PJ,DR,S.H Pancasila budaya Bangsa Indonesia, penelitian pancasila
dengan pendekatan historis, filosofis dan sosio-yuridis kenegaraan, kanisius,
yogyakarta, 1993
T.  Yacob,  1993,  Manusia,  Ilmu  dan  Teknologi,  PT.  Tiara
Wacana, Yogyakart
Tim  Dosen  Filsafat  Ilmu  UGM,  1997,  Pengantar  Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
Van Melsen, 1985, Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita, Kanisius,
Yogyakarta
Van  Peursen,  1987,  Susunan  Ilmu  Pengetahuan,  Kanisius, Yogyakarta.
Yamin, Muhammad, 1954, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia,
Djambatan, Jakarta/ Amsterdam.
Zubair, Achmad Charris, 1990, Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta

107
108

Anda mungkin juga menyukai