PENDAHULUAN
Dikti juga menawarkan berbagai hibah pembelajaran untuk keempat mata kuliah
tersebut. Dan laporan ini merupakan bagian dari program yang dirancang oleh Dikti
dalam hal ini Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan.Apabila dilakukan jejak
pendapat dikalangan mahasiswa biasanya mereka cenderung tidak menyukai empat
mata kuliah yang dikenal sebagai Mata Kuliah Kepribadian (MPK) ini. Beberapa
alasannya adalah pertama, mata kuliah ini bukan mata kuliah sesuai dengan bidang
studi mereka, kedua, materinya tidak up to date, hanya mengulang apa yang pernah
mereka dapatkan di jenjang pendidikan sebelumnya, ketiga, metode
pembelajarannya yang tidak variatif dan inovatif sehingga menimbulkan kebosanan.
Alasan yang pertama perlu diberikan penjelasan kepada mahasiswa bahwa
mempelajari ilmu sesuai dengan bidangnya saja tidaklah cukup untuk bekal ketika
mereka lulus kuliah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 60%
keberhasilan seseorang tidak ditentukan pada penguasaan bidang ilmunya, namun
pada kepribadiannya. Dengan menyadari pentingnya kepribadian ini diharapkan
mahasiswa lebih tertarik pada mata kuliah ini.
Alasan kedua yaitu materi tidak up to date sebenarnya hal ini lebih terkait dengan
masalah SDM (dosen pengampu).Bahan-bahan pendukung perkuliahan yang terkait
dengan Pancasila sangat banyak.Tulisan dalam jurnal, majalah, buku maupun
internet sangat mencukupi untuk digunakan sebagai bahan ajar.Persoalan
sebenarnya juga tidak dapat ditimpakan sepenuhnya kepada dosen karena realitas
di lapangan jumlah dosen Pancasila sangat terbatas, sehingga yang terjadi satu
dosen dapat mengajar banyak kelas atau dosen yang tidak berkompeten mengajar
Pancasila.Persoalan materi terkait pula dengan metode pembelajaran yang berujung
pada SDM juga.Sehinggga perlu kiranya kedepan dilakukan up grading bagi
pengajar Pancasila dan pelatihan untuk calon dosen pengajar
Pancasila.Keberadaan Rancangan Pembelajaran Pendidikan Pancasila ini tentunya
sangat penting untuk memberikan panduan umum tentang bagaimana mengajarkan
Pancasila kepada mahasiswa. Rancangan ini sudah memilahkan antara Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan yang sebelumnya dijadikan satu,
sehingga memperjelas pokok bahasan apa saja yang perlu disampaikan kepada
1
mahasiswa terkait dengan Pendidikan Pancasila ini. Selain itu gambaran tentang
metode pembelajaran juga diharapkan dapatmemberikan inspirasi untuk
dikembangkan lebih lanjut.
2
BAB II
KONSEP PENDUKUNG CAPAIAN DALAM PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN PANCASILA DI PERGURUAN TINGGI
1. Dasar Filosofis
Pertentangan ideologi ini telah menimbulkan ‘perang dingin’ yang dampaknya terasa
di seluruh dunia.Namun para pendiri negara Republik Indonesia mampu melepaskan
diri dari tarikan-tarikan dua kutub ideologi dunia tersebut, dengan merumuskan
pandangan dasar (philosophische grondslag) pada sebuah konsep filosofis yang
bernama Pancasila.Nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila bahkan bisa
berperan sebagai penjaga keseimbangan (margin of appreciation) antara dua
ideologi dunia yang bertentangan, karena dalam ideologi Pancasila hak-hak individu
dan masyarakat diakui secara proporsional.Rumusan tentang Pancasila tidak
muncul dari sekedar pikiran logis-rasional, tetapi digali dari akar budaya masyarakat
bangsa Indonesia sendiri.Maka Bung Karno hanya mengaku diri sebagai penggali
Pancasila, karena nilai-nilai yang dirumuskan dalam Pancasila itu diambil dari nilai-
nilai yang sejak lama hadir dalam masyarakat Nusantara. Oleh karena itulah
Pancasila disebut mengandung nilai-nilai dasar filsafat (philosophischegrondslag),
merupakan jiwa bangsa (volksgeist) atau jati diri bangsa (innerself of nation), dan
menjadi cara hidup (way of life) bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Dengan
demikian nilai-nilai dalam Pancasila merupakan karakter bangsa, yang menjadikan
bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Pendidikan Pancasila perlu
karena dengan cara itulah karakter bangsa dapat lestari, terpelihara dari ancaman
gelombang globalisasi yang semakin besar.
2. Dasar Sosiologis
Bangsa Indonesia yang penuh kebhinekaan terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa
yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau, secara sosiologis telah mempraktikan
Pancasila karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan kenyataan-
kenyataan (materil, formal, dan fungsional) yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Kenyataan objektif ini menjadikan Pancasila sebagai dasar yang mengikat setiap
warga bangsa untuk taat pada nilai-nilai instrumental yang berupa norma atau
hukum tertulis (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat) maupun
yang tidak tertulis seperti adat istiadat, kesepakatan atau kesepahaman, dan
3
konvensi. Kebhinekaan atau pluralitas masyarakat bangsa Indonesia yang tinggi,
dimana agama, ras, etnik, bahasa, tradisi-budaya penuh perbedaan, menyebabkan
ideologi Pancasila bisa diterima sebagai ideologi pemersatu.Data sejarah
menunjukan bahwasetiap kali ada upaya perpecahan atau pemberontakan oleh
beberapa kelompok masyarakat, maka nilai-nilai Pancasilalah yang dikedepankan
sebagai solusi untuk menyatukan kembali. Begitu kuat dan ‘ajaibnya’ kedudukan
Pancasila sebagai kekuatan pemersatu, maka kegagalan upaya pemberontakan
yang terakhir (G30S/PKI) pada 1 Oktober 1965 untuk seterusnya hari tersebut
dijadikan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Bangsa Indonesia yang plural secara
sosiologis membutuhkan ideologi pemersatu Pancasila.Oleh karena itu nilai-nilai
Pancasila perlu dilestarikan dari generasi ke generasi untuk menjaga keutuhan
masyarakat bangsa. Pelestarian nilai-nilai Pancasila dilakukan khususnya lewat
proses pendidikan formal, karena lewat pendidikan berbagai butir nilai Pancasila
tersebut dapat disemaikan dan dikembangkan secara terencana dan terpadu.
3. Dasar Yuridis
Pancasila sebagai norma dasar negara dan dasar negara Republik Indonesia yang
berlaku adalah Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pembukaan UUD NRI Tahun 1945) junctis
Keputusan Presiden RI Nomor 150 Tahun 1959 mengenai Dekrit Presiden
RI/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Tentang Kembali Kepada Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Naskah Pembukaan UUD NRI 1945
yang berlaku adalah Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang disahkan/ditetapkan
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945.
Sila-sila Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 secara
filosofis-sosiologis berkedudukan sebagai Norma Dasar Indonesia dan dalam
konteks politis-yuridis sebagai Dasar Negara Indonesia.Konsekuensi dari Pancasila
tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, secara yuridis konstitusional
mempunyai kekuatan hukum yang sah, kekuatan hukum berlaku, dan kekuatan
hukum mengikat.
Nilai-nilai Pancasila dari segi implementasi terdiri atas nilai dasar, nilai instrumental,
dan nilai praksis. Nilai dasar terdiri atas nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai
Kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai dasar ini terdapat pada
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, dan Penjelasan UUD NRI Tahun 1945
mengamanatkan bahwa nilai dasar tersebut harus dijabarkan konkret dalam Batang
Tubuh UUD NRI Tahun 1945, bahkan pada semua peraturan perundang-undangan
pelaksanaannya. Peraturan perundang-undangan ke tingkat yang lebih rendah pada
esensinya adalah merupakan pelaksanaan dari nilai dasar Pancasila yang terdapat
pada Pembukaan dan batang tubuh UUD NRI Tahun 1945, sehingga perangkat
peraturan perundang-undangan tersebut dikenal sebagai nilai instrumental
Pancasila.Jadi nilai instrumental harus merupakan penjelasan dari nilai dasar;
dengan kata lain, semua perangkat perundang-undangan haruslah merupakan
penjabaran dari nilai-nilai dasar Pancasila yang terdapat pada Pembukaan dan
batang tubuh UUD NRI Tahun 1945.
Diharapkan dapat tercipta wahana pembelajaran bagi para mahasiswa untuk secara
akademik mengkaji, menganalisis, dan memecahkan masalah-masalah
pembangunan bangsa dan negara dalam perspektif nilai-nilai dasar Pancasila
sebagai ideologi dan dasar negara Republik Indonesia. Pendidikan Pancasila
sebagai bagian dari pendidikan Nasional bertujuan untuk mewujudkan tujuan
Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan nasional yang ada merupakanrangkaian
konsep, program, tata cara, dan usaha untuk mewujudkan tujuan nasional yang
diamanatkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa. Jadi tujuan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi pun
merupakan bagian dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara
spesifik tujuan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi adalah
untuk : 1. Memperkuat Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan ideologi bangsa
melalui revitalisasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai norma dasar kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Memberikan pemahaman dan
penghayatan atas jiwa dan nilai-nilai dasar Pancasila kepada mahasiswa sebagai
warga negara Republik Indonesia, serta membimbing untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 3. Mempersiapkan
mahasiswa agar mampu menganalisis dan mencari solusi terhadap berbagai
persoalan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui sistem
pemikiran yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. 4.
Membentuk sikap mental mahasiswa yang mampu mengapresiasi nilai-
nilaiPancasila dalam realitas kehidupan 5. Memiliki karakter ilmuwan dan
profesional Pancasilais yang memiliki komitmen atas kelangsungan hidup dan
kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5
BAB III
METODE PEMBELAJARAN DAN MATRIKS KEGIATAN
MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA
A. Metode Pembelajaran
7
5–6 Mampu Pancasila sebagai Dasar - Ceramah Kejelasan dalam 10%
Menganalisis Negara: - Studi Kasus mengkritisi/
dan a.Hubungan Pancasila dengan mengevaluasi
mengevaluasI Pembukaan UUD NRI Tahun kebijakan
1945 pemerintah yang
b.Penjabaran Pancasila dalam sesuai/tdk
Batang Tubuh UUD NRI tahun sesuai dengan
1945 Pancasila
c.Implementasi Pancasila dlm
pembuatan kebijakan Negara
dalam bidang Politik,
Ekonomi, sosial, budaya dan
Hankam
7–8 Mampu Pancasila sebagai Ideologi - Ceramah Kekritisan dan 10%
menganalisis & Negara: - Diskusi ketajaman
membandingkan a. Pengertian Ideologi Kelompok analisis
b. Pancasila dan Ideologi
Dunia
c. Pancasila dan Agama
9 –10 Mampu Pancasila sebagai Sistem - PBL (Program Kemampuan 15%
Memahami dan Filsafat: Base Learning meng-ungkap
Menjelaskan a. Pengertian Filsafat and Inquiry) hakikat sila-sila
b. Filsafat Pancasila Pancasila
c. Hakikat Sila- sila Pancasila berda-sar
problem yg
ditemui
11 –12 Mampu Pancasila sebagai Sistem Etika: - Ceramah Mempraktekan 15%
Memahami dan a. Pengertian Etika - Pemutaran sikap, tindakan
menjadikan pola b. Etika Pancasila film–film sesuai nilai
hidup c. Pancasila sebagai solusi dokumenter Pancasila
problem bangsa, seperti - Diskusi dengan
korupsi, kerusakan menunjukkan
lingkungan, dekadensi moral, bukti kegiatan.
dll
13- 14 Mampu Pancasila sebagai Dasar - PBL (Program Menemukan dan 20%
Menganalisis Nilai Pengembangan Ilmu: Base Learning mengungkapkan
dan menjadi a.Nilai ketuhanan sebagai dasar and Inquiry) problem
pola hidup pengembangan ilmu keilmuan yang
b.Nilai kemanusiaan sebagai sesuai/tidak
dasar pengembangan ilmu sesuai dengan
c.Nilai persatuan sebagai dasar nilai-nilai
pengembangan ilmu Pancasila
d.Nilai kerakyatan sebagai dasar
pengembangan ilmu
e.Nilai keadilan sebagai dasar
pengembangan ilmu
15- 16 Mampu Pancasila sebagai paradigma - Ceramah Menemukan dan 10%
Menganalisis kehidupan dalam - Diskusi mengungkapkan
dan bermasyarakat, berbangsa, dan problem
membandingkan bernegara: keilmuan yang
a. Latare belakang, pengertian sesuai/tidak
paradigma sesuai dengan
c. Pancasila sebagai paradigma nilai-nilai
pembangunan nasional, Demokrasi
poleksosbudhankam, hukum Pancasila
& ham, reformasi, beragama.
d. Aktualisasi Pancasila dlm
kehidupan kampus
8
BAB IV
PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH
A. Pengantar.
Begitu kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila
terus berjaya sepanjang masa. Hal tersebut disebabkan ideologi Pancasila tidak
hanya sekedar “confirm and deepen” identitas bangsa Indonesia. Ia lebih dari itu. Ia
adalah identitas bangsa sendiri sepanjang masa. Sejak Pancasila digali kembali dan
dilahirkan kembali menjadi dasar dan ideologi negara, maka ia membangunkan dan
membangkitkan identitas yang “darmant”, yang “tertidur” dan yang “terbius” selama
kolonialisme. (Abdulgani, 1979:22).
Sebelum kita membahas isi arti dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara maka
terlebih dahulu perlu dibahas asal kata dan istilah Pancasila beserta makna yang
terkandung di dalamnya. Secara etimologis istilah "Pancasila" berasal dari bahasa
Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa rakyat biasa adalah
bahasa Prakerta.
Pada sidang pertama BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 – 1 Juni 1945 tampillah berturut-
turut untuk berpidato menyampaikan usulan tentang dasar negara. Pada tanggal 29
Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin mendapat kesempatan yang pertama untuk
mengemukakan pemikirannya tentang dasar negara di hadapan sidang lengkap
Badan Penyelidik. Pidato Mr. Muh. Yamin itu berisikan lima asas dasar negara
Indonesia merdeka yang diidam-idamkan sebagai berikut :
1). Peri Kebangsaan
2). Peri Kemanusiaan
3). Peri KeTuhanan
4). Peri Kerakyatan
5). Kesejahteraan Rakyat
Selanjutnya Prof. Dr. Soepomo pada tanggal 30 Mei 1945 mengemukakan teori-teori
negara, yaitu:
1). Teori negara perseorangan (individualis),
2). Faham negara kelas
3). Faham negara integralistik.
Kemudia disusul oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang mengusulkan
lima dasar negara yang terdiri dari :
1). Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia
2). Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3). Mufakat atau Demokrasi
4). Kesejahteraan sosial
5). Ketuhanan Yang Maha Esa (Berkebudayaan). (Kaelan, 2000:37-40).
Pada pidato tanggal 1 Juni 1945 tersebut Ir. Soekarno mengatakan’ “Maaf, beribu
maaf! Banyak anggota telah berpidato mereka itu diutarakan hal-hal yang
sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu buykan
dasarnya Indonesia merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka
Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda : “Philosofische grond-slag ituah
pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-
dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia kekal dan abadi” (Bahar,
1995:63).
Begitu hebatnya Ir. Soekarno dalam menjelaskan Pancasila dengan runtut, logis dan
koheren, namun dengan rendah hati Ir. Soekarno membantah apabila disebut
sebagai pencipta Pancasila. Selanjutnya beliau mengusulkan bahwa kelima sila
tersebut dapat diperas menjadi "Tri Sila" yang rumusannya :
10
1). Nasional yaitu "Nasionalisme dan Internasionalisme"
2). Sosio Demokrasi yaitu "Demokrasi dengan Kesjahteraan rakyat"
3). Ketuhanan Yang Maha Esa
Adapun "Tri Sila" tersebut masih dapat diperas lagi menjadi "Eka Sila" atau satu sila
yang intinya adalah "gotong-royong". Pada tahun 1947 pidato Ir. Soekarno tersebut
diterbitkan dan dipublikasikan dan diberi judul "Lahirnya Pancasila", sehingga dahulu
pernah populer bahwa tanggal I Juni adalah hari lahirnya Pancasila.
Kemudian, dibentuklah suatu panitia kecil berjumlah delapan orang untuk menyusun
dan mengelompokkan semua usulan tersebut. Panitia delapan terdiri dari:
1. Ir. Soekarno
2. Drs. Moh Hatta
3. Sutardjo
4. K.H. Wachid Hasyim
5. Ki Bagus Hadikoesoemo
6. Oto Iskandardinata
7. Moh. Yamin
8. Mr. A.A. Maramis
Setelah para panitia kecil yang berjumlah delapan orang tersebut bekerja meneliti
dan mengelompokkan usulan yang masuk, diketahui ada perbedaan pendapat dari
para anggota sidang tentang hubungan antara agama dan negara. Para anggota
sidang yang beragama Islam menghendaki bahwa negara berdasarkan syariat
Islam, sedangkan golongan nasionalis menghendaki bahwa negara tidak
mendasarkan hukum salah satu agama tertentu. Untuk mengatasi perbedaan ini
maka dibentuk lagi suatu panitia kecil yang berjumlah sembilan orang (dikenal
sebagai Panitia Sembilan), yang anggotanya berasal dari golongan nasionalis, yaitu:
1. Ir. Soekarno (Ketua)
2. Mr. Moh Yamin
3. K.H Wachid Hasyim
4. Drs. Moh. Hatta
5. K.H. Abdul Kahar Moezakir
6. Mr. Maramis
7. Mr. Soebardjo
8. Abikusno Tjokrosujoso
9. H. Agus Salim
11
Pada sidang kedua BPUPKI tanggal 10 Juli 1945 Ir. Soekarno diminta menjelaskan
tentang kesepakatan tanggal 22 Juni 1945 (Piagam Jakarta). Oleh karena sudah
mencapai kesepakatan maka pembicaraan mengenai dasar negara dianggap sudah
selesai. Selanjutnya dibicarakan mengenai materi undang-undang dasar (pasal demi
pasal) dan penjelasannya. Penyusunan rumusan pasal-pasal UUD diserahkan
kepada Mr. Soepomo. Demikian pula mengenai susunan pemerintahan negara yang
terdapat dalam Penjelasan UUD. Sidang BPUPKI kedua ini juga berhasil
menentukan bentuk negara jika Indonesia merdeka. Bentuk negara yang disepakati
adalah republik dipilih oleh 55 dari 64 orang yang hadir dalam sidang. Wilayah
negara disepakati bekas Hindia Belanda ditambah Papua dan Timor Portugis (39
suara).
Sementara itu kedudukan Jepang yang terus menerus terdesak, karena serangan
balik Sekutu. Komando Tentara Jepang di wilayah Selatan mengadakan rapat pada
akhir Juli 1945 di Singapura. Disetujui dalam rapat tersebut bahwa kemerdekaaan
bagi Indonesia akan diberikan pada tanggal 7 September 1945, setahun setelah
pernyataan Koiso. Akan tetapi dalam bulan Agustus terjadi perubahan cepat dan
tanggal 7 Agustus Jendral Terauchi menyetujui pembentukan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI = Dokuritzu Zyunbi Iinkai) yang bertugas melanjutkan
tugas BPUPKI dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan karena akan
diadakannya pemindahan kekuasaan dari Jepang kepada bangsa Indonesia.
Anggota PPKI terdiri dari 21 orang dengan ketua Ir. Soekarno dan Wakil Ketua Drs.
Moh. Hatta. Secara simbolis PPKI dilantik oleh Jendral Terauchi dengan
mendatangkan Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Rajiman Wedyodiningrat, bekas
ketua BPUPKI ke Saigon pada tanggal 9 Agustus 1945. Dalam pidatonya Terauchi
mengatakan cepat lambatnya kemerdekaan bisa diberikan tergantung kerja PPKI.
Dalam pembicaraan Terauchi dengan para pempimpin Indonesia tanggal 11
Agustus 1945, ia mengatakan bahwa kemerdekaan akan diberikan tanggal 24
Agustus 1945. Akan tetapi perkembangan cepat justru terjadi setelah bom atom
dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki.
Setelah kembali dari Saigon pada tanggal 14 Agustus 1945 di Kemayoran Ir.
Soekarno mengumumkan bahwa Indonesia akan merdeka sebelum jagung
berbunga dan kemerdekaan itu bukan merupakan hadiah dari Jepang melainkan
hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri.Oleh karena itu Ir. Soekarno atas
tanggung jawab sendiri menambah jumlah anggota yang lain sebanyak 18 orang
sehingga jumlah seluruhnya ada 21 orang. Agar sifat panitia persipan kemerdekaan
itu berubah menjadi badan pendahuluan bagi Komite Nasional. Selain dari Jawa,
tujuh orang anggota khusus didatangkan dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan
Bali agar representatif mewakili rakyat Indonesia yang tersebar di Nusantara.
Setelah itu anggota PPKI masih ditambah enam orang lagi wakil golongan yang
terpenting dalam masyarakat Indonesia. Adapun enam orang tersebut adalah 1)
Wiranatakusuma, 2) Ki Hadjar Dewantara, 3) Mr. Kasman Singodimedjo, 4) Sajuti
Malik, 5) Mr. Iwa Kusuma Sumantri, 6) Achmad Soebardjo.
C. Pancasila Era Kemerdekaan
Dalam pelaksanaan proklamasi sendiri ternyata terdapat perbedaan antara golongan
tua dan golongan muda tentang kapan pelaksanaan pernyataan kemerdekaan
Indonesia. Golongan muda yang lebih agresif menghendaki kemerdekaan
diproklamasikan secepatnya. Yang termasuk golongan muda adalah: Soekarni,
12
Adam Malik, Kusnaini, Sutan Syahrir, Sayuti Malik, Soedarsono, Soepomo, dll.
Sutan Syahrir sebagai tokoh pertama yang menginginkan diproklamasikannya
kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta tanpa menunggu janji Jepang, karena
ia telah mendengar siaran radio tentang kekalahan Jepang. Perbedaan itu
memuncak dengan diamankannya Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta ke
Rengasdengklok oleh para pemuda agar tidak mendapat pengaruh Jepang. Untuk
merealisasikan tekad tersebut maka pada tanggal 16 Agustus 1945 terjadi
perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks
proklamasi yang berlangsung singkat, mulai pukul 02.00-04.00 dini hari. Teks
Proklamasi disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Soebardjo di
ruang makan Laksamana Tadashi Maeda tepatnya di jalan Imam Bonjol No. 1
Jakarta. Konsepnya sendiri ditulis oleh Ir. Soekarno. Sukarni (dari golongan muda)
mengusulkan agar yang menandatangani teks Proklamasi itu adalah Ir. Soekarno
dan drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Kemudian teks Proklamasi
Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Teks Proklamasi tersebut adalah
sebagai berikut :
Sidang kedua tanggal 19 Agustus 1945, PPKI membuat pembagian daerah propinsi,
termasuk pembentukan 12 departemen atau kementerian. Sidang ketiga tanggal 20,
membicarakan agenda badan penolong keluarga korban perang, satu di antaranya
adalah pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 22 Agustus 1945
diselenggarakan sidang PPKI keempat. Sidang ini membicarakan pembentukan
Komite Nasional Partai Nasional Indonesia. Setelah selesai sidang keempat ini,
maka PPKI secara tidak langsung bubar, dan para anggotanya menjadi bagian
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Anggota KNIP ditambah dengan pimpinan-
pimpinan rakyat dari semua golongan atau aliran dari lapisan masyarakat Indonesia.
Pada saat itu terjadilah suatu perkembangan ketatanegaraan Indonesia yaitu (1)
berubahnya fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat dari pembantu Presiden
menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis
besar haluan negara. Hal ini berdadsarkan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal
16 Oktober 1945. Selain itu dikeluarkan juga Maklumat Pemerintah tanggal 14
Nopember 1945. yang isinya perubahan sistem pemerintahan negara dari sistem
Kabinet Presidensial menjadi sistem Kabinet Parlementer, berdasarkan usul Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Akibat perubahan tersebut
pemerintahan menjadi tidak stabil. Perdana menteri hanya mampu bertahan
beberapa bulan serta berulang kali terjadi pergantian.
Tanggal 3 November 1945 dikeluarkan juga suatu maklumat yang ditanda tangani
oleh wakil presiden yang isinya tentang pembentukan partai partai politik. Hal ini
14
bertujuan agar berbagai aliran yang ada dalam masyarakat dapat diarahkan kepada
peduangan untuk memperkuat mepertahan kemerdekaan dengan persatuan dan
kesatuan.
Dalam RIS tersebut masih terdapat negara bagian Republik Indonesia yang beribu
kota di Yogyakarta, kemudian terjadilah suatu persetujuan antara negara RI
Yogyakarta dengan negara RIS yang akhirnya untuk kembali, membentuk, negara
kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Undang-Undang Dasar
Sementara sejak 17 Agustus 1950. Isi UUDS ini berbeda dengan UUD 1945
terutama dalam sistem pemerintahan negara yaitu menganut sistem Parlementer,
sedangkan UUD 1945 terutama dalam sistem pemerintahan negara yaitu menganut
sistem Presidensial.
Pada bulan September 1955, dan Desember 1955 diadakan Pemilihan umum, yang
masing-masing untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Konstituante. Tugas konstituante adalah untuk membentuk menyusun Undang-
Undang Dasar yang tetap sebagai pengganti UUDS 1950 sebagai berikut:
1. Untuk mengambil putusan tentang Rancangan Undang-Undang Dasar baru
sekurang kurangnya 2/3 jumlah anggota konstituate harus hadir.
2. Rancangan tersebut diterima jika disetujui oleh sekurang-kurang 2/3 dari jumlah
anggota yang hadir.
3. Rancangan yang telah diterima oleh Konstituante dikirimkan kepada Presiden
untuk disakan oleh Pemerintah.
4. Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengan segera serta
mengumumkan Undang-Undang Dasar itu dengan keluhuran.
Dekrit itu diumumkan oleh Presiden dari Istana Merdeka di hadapan rakyat pada
tanggal 5 Juli 1959. pada hari Minggu pukul 17.00. Dekrit tersebut termuat dalam
Keputusan Presiden No. 150 tahun 1959 dan diumumkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia No.75 tahun 1959
Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu maka UUD 1945 berlaku
kembali di negara Republik Indonesia. Sekalipun UUD 1945 secara yuridis formal
sebagai hukum dasar tertulis yang berlaku di Indonesia namun realisasi
ketatanegaraan Indonesia tidak melaksanakan makna dari UUD 1945 itu sendiri.
Sejak itu mulailah kekuasaan Orde Lama berjalan yang secara ideologis terlihat
adanya berbagai macam penyimpangan ideologi yang dituangkan dalam berbagai
bidang kebijaksanaan dalam negara. Dikukuhkannya ideologi Nasakom, di
paksakannya doktrin negara dalam keadaan revolusi. Oleh karena revolusi adalah
permanen maka Presiden sebagai kepala negara yang sekaligus juga sebagai
pemimpin besar revolusi diangkat menjadi pemimpin besar revolusi, sehingga
Presiden masa jabatannya juga seumur hidup. Penyimpangan ideologi maupun
konstitusional ini berakibat pada penyimpangan-penyimpangan konstitusional
lainnya sebagai berikut.
1. Demokrasi Indonesia diarahkan menjadi demokrasi terpimpin yang dipimpin oleh
Presiden. sehingga praktis bersifat otoriter, pada hal sebenarnya di negara
Indonesia berdasarkan Pancasila yang berasaskan kerakyataan sehingga
seharusnya rakyat sebagai pemegang serta asal mula kekuasaan Negara,
demikian juga sebagaimana tercantun dalam UUD 1945.
2. Oleh karena Presiden merupakan pemimpin besar revolusi maka memiliki
wewenang yang melebihi sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang Dasar
1945 yaitu mengeluarkan produk hukum yang setingkat dengan Undang-Undang
tanpa melalui persetujuan DPR dalam bentuk penetapan Presiden.
3. Dalam tahun 1960 karena DPR tidak dapat menyetujui Rancangan Pendapatan
dan Belanja Negara yang diajukan oleh Pemerintah kemudian Presiden waktu itu
membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan kemudian membentuk DPR Gotong
Royong. Hal ini jelas-jelas sebagai pelanggaran konstitusional yaitu kekuasaan
eksekutif di atas kekuasaan legistatif.
4. Pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi negara dijadikan menteri negara, yang
berarti sebagai pembantu Presiden.
Selain penyimpangan-penyimpangan tersebut masih banyak penyimpangan-
penyimpangan dalam pelaksanaan ketatanegaman yang seharusnya berdasarkan
16
pada UUD 1945. Karena pelaksanaan yang inskonstitusional itulah maka berakibat
pada ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, terutama dalam bidang
keamanan. Puncak dari kekuasaan Orde Lama tersebut ditandai dengan
pemberontakan G.30.S.PKI. Syukur Alhamduliliah pembrontakan itu dapat
digagalkan oleh rakyat Indonesia terutama oleh generasi muda.
Dengan dipelopori oleh pemuda, pelajar dan mahasiswa rakyat Indonesia
menyampaikan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) yang meliputi:
1. Bubarkan PKI.
2. Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI.
3. Turunkan harga/perbaikan ekonomi.
Gelombang gerakan rakyat semakin besar. sehingga Presiden tidak mampu lagi
mengendalikannya maka keluarlah Surat Perintah 11 Maret 1966 yang memberikan
wewenang kepada Letnan Jendral Soeharto untuk mengambil langkah-langkah
dalam mengembalikan keamanan negara. Sejak peristiwa inilah sejarah
ketatanegaraan Indonesia dikuasai oleh kekuasaan Orde Baru (Darmodihardjo.
1979)
Pada saat itu bangsa lndonesia dalam keadaan yang. tidak menentu baik yang
menyangkut bidang pofitik. ekonomi maupun keamanan. Dalam keadaan yang
demikian inilah pada bulan Februari 1967 DPRGR mengeluarkan suatu resolusi
yaitu meminta MPR(S) agar mengadakan sidang istimewa untuk meminta
pertangung iawaban Presiden. Menanggapi resolusi DPRGR inilah maka MPRS
kemudian mengadakan sidang istimewa pada bulan Maret 1967. Sidang Istimewa
tersebut mengambil suatu keputusan sebagai berikut.
1. Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggung jawaban
konstitusional dan tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPR(S)
sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap MPR(S).
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
2. Sidang menetapkan berlakunya Tap. No. XV/MPR.S/1966 tentang
pemilihan/penunjukan Presiden dan wakil Presiden serta tata cara pengangkatan
17
Pejabat Presiden Jendral Soeharto. Pengembangan TAP MPRS
NoIX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-
Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilihan Umum.
Pada masa awal kekuasaan Orde Baru berupaya untuk memperbaiki nasib bangsa
dalam berbagai bidang antara lain dalam bidang politik ekonomi sosial budaya
maupun keamanan Dalam kaitan dengan itu di bidang, politik dilaksanakanlah
pemilu yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 1969 tentang
Pemilihan Umum. Undang-Undang No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Pemusyawaratan Rakyat. Dengan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Di era ini arah pemahaman terhadap Pancasila mulai diperbaiki. Pada peringatan
hari lahir Pancasila 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan Pancasila telah
banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan
Pancasila. Lebih lanjut Soeharto mengatakan Pancasila bukan hanya semboyan
untuk dikumandangkan, dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila
harus diamalkan (Setiardja, 1994:5). Selanjutnya pada tahun 1968 Soeharto
mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang menjadi panduan
dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu :
Satu : Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Dua : Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tiga : Persatuan Indonesia
Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan
Lima : Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya pada tanggal 22 Maret 1978 ditetapkan ketetapan (disingkat TAP) MPR
Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetya Pancakarsa) yang populer disingkat dengan P4, salah satu pasalnya
tepatnya pasal 4 menjelaskan, P4 merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara
Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan
lembaga kemasyarakatan, baik pusat maupun di daerah dan dilaksanakan secara
bulat dan utuh. Adapun nilai dan norma yang terkandung dalam P4 berdasarkan
ketetapan tersebut meliputi 36 butir.
Realisasi UUD 1945 praktis lebih banyak memberikan porsi atas kekuasaan
Presiden, walaupun sebenarnya UUD 1945 tidak mengamanatkan demikian. Bahkan
secara tidak langsung kekuasaan legislatif di bawah kekuasaan Presiden. Hal ini
secara politis di dituangkan dalam mekanisme peraturan perundan-undangan
terutama yang, menyangkut pemilihan, pengangkatan serta susunan keanggotaan
MP, DPR, DPRD serta pelaksanaan Pemilu. Prkatek ini telah dilaksanakan oleh
penguasa Orde Baru yang dituangkan kedalam peraturan perundang-undangan
sebagai berikut: UU Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU.
No.16/1969 jo UU No.5/1975 dan UU RI. No.2/1985). UU. Tentang Partai Politik dan
Golongan Karya (UU No.31/1975, jo. UU. No.3/ 985). UU. Tentang Pemilihan Umum
(UU No. 15/1969 jo UU. No.2/1980. dan UU. No. 1/1985).
Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin
besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan
Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang
dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998
yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan
mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar
dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri
dari jabatannya.
1. Krisis politik
20
Pemerintah orde baru, meskipun mampu mengangkat Indonesia dari keterpurukan
ekonomi dan memberikan kemajuan, gagal dalam membina kehidupan politik yang
demokratis, terbuka, adil, dan jujur. Pemerintah bersikap otoriter, tertutup, dan
personal. Masyarakat yang memberikan kritik sangat mudah dituduh sebagai anti-
pemerintah, menghina kepala negara, anti-Pancasila, dan subversive. Akibatnya,
kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis tidak pernah terwujud dan
Golkar yang menjadi partai terbesar pada masa itu diperalat oleh pemerintah orde
baru untuk mengamankan kehendak penguasa.
Praktik KKN merebak di tubuh pemerintahan dan tidak mampu dicegah karena
banyak pejabat orba yang berada di dalamnya. Dan anggota MPR/DPR tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik dan benar karena keanggotaannya ditentukan
dan mendapat restu dari penguasa, sehingga banyak anggota yang bersikap ABS
daripada kritis.
Sikap yang otoriter, tertutup, tidak demokratis, serta merebaknya KKN menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat. Gejala ini terlihat pada pemilu 1992 ketika suara
Golkar berkurang cukup banyak. Sejak 1996, ketidakpuasan masyarakat terhadap
orba mulai terbuka. Muncul tokoh vokal Amien Rais serta munculnya gerakan
mahasiswa semakin memperbesar keberanian masyarakat untuk melakukan kritik
terhadap pemerintahan orba.
Masalah dwifungsi ABRI, KKN, praktik monopoli serta 5 paket UU politik adalah
masalah yang menjadi sorotan tajam para mahasiswa pada saat itu. Apalagi setelah
Soeharto terpilih lagi sebagai Presiden RI 1998-2003, suara menentangnya makin
meluas dimana-mana. Puncak perjuangan para mahasiswa terjadi ketika berhasil
menduduki gedung MPR/DPR pada bulan Mei 1998. Karena tekanan yang luar
biasa dari para mahasiswa, tanggal 21 Mei 1998 Presiden menyatakan berhenti dan
diganti oleh wakilnya BJ Habibie.
2. Krisis ekonomi
Krisis moneter yang menimpa dunia dan Asia Tenggara telah merembet ke
Indonesia, sejak Juli 1997, Indonesia mulai terkena krisis tersebut. Nilai rupiah
terhadap dollar Amerika terus menurun. Akibat krisis tersebut, banyak perusahaan
ditutup, sehingga banyak pengangguran dimana-mana, jumlah kemiskinan
bertambah. Selain itu, daya beli menjadi rendah dan sulit mencari bahan-bahan
kebutuhan pokok.
21
3. Krisis sosial
Krisis politik dan ekonomi mendorong munculnya krisis dalam bidang sosial.
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah serta krisis ekonomi yang ada
mendorong munculnya perilaku yang negatif dalam masyarakat. Misalnya:
perkelahian antara pelajar, budaya menghujat, narkoba, kerusuhan sosial di
Kalimantan Barat, pembantaian dengan isu dukun santet di Banyuwangi dan
Boyolali serta kerusuhan 13-14 Mei 1998 yang terjadi di Jakarta dan Solo.
Akibat kerusuhan di Jakarta dan Solo tanggal 13, 14, dan 15 Mei 1998,
perekonomian kedua kota tersebut lumpuh untuk beberapa waktu karena banyak
swalayan, pertokoan, pabrik dibakar, dirusak dan dijarah massa. Hal tersebut
menyebabkan angka pengangguran membengkak. Beban masyarakat semakin
berat serta tidak ada kepastian tentang kapan berakhirnya krisis tersebut sehingga
menyebabkan masyarakat frustasi. Kondisi tersebut membahayakan karena mudah
diadu domba, mudah marah, dan mudah dihasut untuk melakukan tindakan anarkis.
Pemerintahan orde baru jatuh dan muncul era reformasi. Namun reformasi dan
keterbukaan tidak diikuti dengan suasana tenang, aman, dan tentram dalam
kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Konflik antar kelompok etnis bermunculan di
berbagai daerah seperti Kalimantan Barat. Konflik tersebut dilatarbelakangi oleh
masalah-masalah sosial, ekonomi dan agama. Rakyat sulit membedakan apakah
sang pejabat bertindak sebagai eksekutif atau pimpinan partai politik karena adanya
perangkapan jabatan yang membuat pejabat bersangkutan tidak dapat
berkonsentrasi penuh pada jabatan publik yang diembannya.
Banyak kasus muncul ke permukaan yang berkaitan dengan pemberian batas yang
tegas pada teritorial masing-masing wilayah, seperti penerapan otonomi
pengelolaan wilayah pengairan. Pemerintah tidak lagi otoriter dan terjadi
demokratisasi di bidang politik (misalnya: munculnya parpol-parpol baru), ekonomi
(misalnya: munculnya badan-badan umum milik swasta, tidak lagi melulu milik
negara), dan sosial (misalnya: rakyat berhak memberikan tanggapan dan kritik
terhadap pemerintah). Peranan militer di dalam bidang politik pemerintahan terus
dikurangi (sejak 2004, wakil militer di MPR/DPR dihapus).
Setelah Orde Baru bisa dilumpuhkan dengan kekuatan mahasiswa, seakan hawa
segar arus demokrasi di Indonesia mulai membuka lembaran baru. Tuntutan
terhadap reformasi pemerintahan ini tentu saja dari ketidakpuasan rakyat dengan
pemerintah sebelumnya. Seperti terpasungnya kebebasan pers dan berpendapat,
tidak berjalannya sistem DPR-MPR secara baik, adanya dominasi kekuatan militer,
praktek KKN yang merajalela dalam tubuh pemerintah, dan yang paling mendesak
ketika itu adalah tuntutan pemulihan perekonomian negara saat terjadinya krisis
moneter. Tuntutan itu akhirnya dapat terwujud dengan pengunduran diri Presiden
Soeharto dari kursi pemerintahan pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian
digantikan oleh BJ. Habibie. Meskipun sempat terjadi penolakan dari sebagian
mahasiswa dengan dipilihnya BJ. Habibie sebagai presiden yang menggantikan
Soeharto dengan dalih BJ. Habibie juga bagian dari rezim Orde Baru, tapi pelantikan
presiden BJ Habibie tetap dilaksanakan.
Negara Indonesia yang bisa dikatakan berumur sangat dini di tahun 1998, memang
sangat berani melakukan reformasi sistem pemerintahan. Perjuangan reformasi ini
ternyata tidak sia-sia begitu saja. Di mana sekarang rakyat Indonesia bisa
merasakan kebebasan-kebebasan yang sekian lama terkekang. Mungkin itu adalah
salah satu catatan indah dalam sejarah pemerintahan Indonesia.
Setelah Orba tumbang muncul pula fobia terhadap Pancasila. Dasar negara yaitu
Pancasila seolah untuk sementara waktu dilupakan karena dianggap hampir selalu
identik dengan rezim orde baru. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal
dan satu-satu sumber nilai dan kebenaran. Negara menjadi menjadi maha tahu
mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam kebenak
masyarakat melalui indoktrinasi (Ali, 2009:50). Namun pada hakekatnya Pancasila
sudah disepakati untuk menjadi dasar negara Republik Indonesia dan ini secara
normatif tercantum dalam TAP MPR Nomor XVIII/MPR/1998 pasal 1 menyebutkan
bahwa “Pancasila sebagaimana yang dimaksud dalam pembukaan UUD 1945
adalah dasar negara dari negara kesatuan Republik indonesia harus dilaksanakan
secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (MD, 2011). Ketetapan ini terus
dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia akan menghadapi amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
23
Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber
hukum yang ditetapkan dalam TAP MPR Nomor III/MPR/2000 pasal 1 ayat (3) yang
menyebutkan, “Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang
tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan
batang tubuh UUD 1945.
24
BAB V
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Pancasila dalam kedudukan ini sering disebut sebagai Dasar Filsafat atau Dasar
Falsafah Negara (Philosofische Grondslag) atau (staatsidee), dalam pengertian ini
Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan
negara atau dengan kata lain Pancasila merupakan suatu dasar untuk mengatur
penyelenggaraan negara. Konsekuensinya seluruh pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara terutama segala peraturan perundang-undangan
termasuk proses reformasi dalam segala bidang dewasa ini, dijabarkan dari nilai-
nilai Pancasila. Maka Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Pancasila merupakan sumber kaidah hukum negara yang secara konstitusional
mengatur Negara Republik Indonesia beserta seluruh unsur-unsurnya, yaitu rakyat,
wilayah, serta pemerintahan negara.
Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang meliputi
suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai,
norma serta kaidah baik moral maupun hukum negara, dan menguasai hukum dasar
baik yang tertulis (Undang-Undang Dasar), maupun yang tidak tertulis (convensi).
Dalam kedudukannya sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai kekuatan
mengikat secara hukum.
Sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai sumber tertib hukum atau
sebagai sumber tertib hukum Indonesia maka Pancasila tercantum dalam ketentuan
tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945, kemudian dijelmakan atau dijabarkan lebih
lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945,
dan pada akhirnya dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945, serta hukum positif
lainnya. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara tersebut dapat dirinci sebagai
berikut :
a. Pancasila sebagai dasar negara adalah merupakan sumber dari segala sumber
hukum (sumber tertib hukum) Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan
asas kerohanian tertib hukum Indonesia yang dalam Pembukaan UUD 1945
dijelmakan lebih lanjut kedalam empat pokok pikiran.
b. Meliputi suasana kebatinan (Geistlichenhintergrund) dari Undang-Undang
Dasar 1945.
c. Mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara (baik hukum dasar tertulis
maupun tidak tertulis), mengandung norma yang mengharuskan Undang-Undang
Dasar mengandung perintah yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain
penyelenggara negara (termasuk para penyelenggara partai dan golongan
25
fungsional) untuk memelihara budi pekerti (moral) kemanusiaan yang luhur dan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Hal ini sebagaimana
tercantum dalam pokok pikiran keempat yang bunyinya sebagai
berikut :”……..Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”
d. Merupakan semangat bagi Undang-Undang Dasar 1945, bagi penyelenggara
negara, para pelaksana pemerintah (juga para penyelenggara partai dan
golongan fungsional). Hal ini dapat dipahami karena semangat adalah penting
bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, karena masyarakat dan negara
Indonesia senantiasa tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan
zaman dan dinamika masyarakat. Dengan semangat yang bersumber pada asas
kerohanian negara sebagai andangan hidup bangsa, maka dinamika masyarakat
dan negara akan tetap diliputi dan diarahkan asas kerohanian negara.
Pengertian kata “…..dengan berdasar kepada….” hal ini secara yuridis memiliki
makna sebagai dasar negara. Walaupun dalam kalimat terakhir dalam pembukaan
UUD 1945 tidak tercantum kata ‘Pancasila’ secara eksplisit namun anak kalimat
“….dengan berdasar kepada…” ini memiliki makna dasar negara adalah Pancasila.
Hal ini di dasarkan atas interprestasi historis sebagai mana telah di tentukan oleh
BPUPKI bahwa dasar negara Indonesia itu disebut dengan istilah Pancasila.
Sebagaimana telah di tentukan oleh pembentuk negara bahwa tujuan utama telah
dirumuskanya Pancasila adalah sebagai dasar negara Republik Indonesia. Oleh
karna itu fungsi pokok Pancasila adalah sebagai dasar negara Repoblik Indonesia.
Hal ini sesuai dengan dasar yuridis sebagai mana tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945, ketetapan No.XX/MPRS/1966.(Jo.Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan
Ketetapan No.IX/MPR/1978). Dijelaskan bahwa Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum, atau sumber tertib hukum Indonesia yang pada hakikatnya
adalah merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta
cita-cita moral yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia.
Selanjutnya dikatakannya bahwa cita-cita tersebut adalah meliputi cita-cita
mengenai kemerdekaan Individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan
sosial, perdamaian nasional dan mondial, cita-cita politik mengenai sifat, bentuk dan
tujuan negara, cita-cita moral mengenai kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan
sebagai pengejawantahan dari budi nurani manusia.
Dalam proses reformasi dewasa ini MPR melalui sidang Istimewa tahun 1998,
mengembalikan kedudukan pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
yang tertuang dalam Tap. No.XVIII/MPR/1998, oleh karena itu segala agenda dalam
proses reformasi yang meliputi berbagai bidang selain mendasarkan pada
kenyataan aspirasi rakyat (sila IV) juga harus mendasarkan pada nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Reformasi tidak mungkin menyimpang dari nilai
26
KeTuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, serta keadilan, bahkan harus
bersumber kepadanya.
Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa Pokok Pikiran itu meliputi suasana
kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia serta
mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum
dasar tertulis (UUD) dan hukum dasar tidak tertulis (convensi), sedangkan Pokok
Pikiran itu dijelmakan dalam pasal-pasal UUD 1945. Maka dapatlah disimpulkan
bahwa suasana kebatinan Undang-Undang Dasar 1945 tidak lain adalah bersumber
atau dijiwai oleh dasar filsafat negara Pancasila yang merupakan inti dari
Pembukaan UUD 1945. Disinilah arti dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara
Republik Indonesia.
Demikian juga dengan tetap menyadari keagungan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dan dengan memperhatikan hubungan antara Pembukaan UUD 1945
dengan Batang Tubuhnya itu sendiri, maka dapatlah disimpulkan bahwa Pembukaan
UUD 1945 yang memuat Pancasila Dasar Filsafat Negara, dengan Undang-Undang
Dasar 1945 ( batang tubuhnya ) adalah satu kesatuan. Walaupun dapat dipisahkan,
namun merupakan rangkaian kesatuan nilai dan norma yang terpadu. Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya terkandung Pokok-pokok Pikiran
Persatuan Indonesia, Keadilan sosial, Kedaulatan Rakyat berdasarkan atas
Permusyawaratan/Perwakilan, serta KeTuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang inti sarinya merupakan penjelmaan dari
filsafat Pancasila. Adapun Pancasila itu sendiri memancarkan nilai-nilai luhur yang
telah mampu memberikan semangat kepada UUD 1945.
Perlu dijelaskan lagi bahwa inti dari Pembukaan UUD 1945 pada hakikatnya
terdapat dalam alinea IV, sebab segala aspek penyelenggaraan pemerintahan
negara yang berdasarkan Pancasila terdapat dalam Pembukaan alinea IV. Oleh
karena itu justru dalam Pembukaan itulah secara yuridis formal Pancasila ditetapkan
sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia. Maka hubungan antara
Pembukaan UUD 1945 adalah bersifat timbal balik yakni sebagai berikut:
Hubungan Pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila selain hubungan yang bersifat
formal, sebagaimana dijelaskan di atas juga mempunyai hubungan secara material
sebagai adalah berikut : “Bilamana kita tinjau kembali proses perumusan Pancasila
dan Pembukaan UUD 1945, maka secara kronologis materi yang dibahas oleh
BPUPKI yang pertama-tama adalah dasar filsafat Pancasila, baru kemudian
Pembukaan UUD 1945. Setelah pada sidang pertama BPUPKI membicarakan dasar
filsafat negara Pancasila, berikutnya adalah membicarakan Pembukaan UUD 1945
(Preambul), yang disusun oleh Panitia 9 yang hasilnya terkenal dengan sebutan
Piagam Jakarta.
Jadi berdasarkan urut-urutan tertib hukum Indonesia, Pembukaan UUD 1945 adalah
sebagai tertib hukum yang tertinggi, adapun tertib hukum Indonesia bersumberkan
pada Pancasila, atau dengan kata lain Pancasila sebagai sumber tertib hukum
Indonesia. Hal ini berarti secara material tertib hukum Indonesia dijabarkan dari nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila sebagal sumber tertib hukum
Indonesia meliputi sumber nilai, sumber materi, sumber bentuk dan sifat.
Selain itu dalam hubungannya dengan hakikat dan kedudukan Pembukaan UUD
1945 sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental, maka sebenarnya secara
material yang merupakan esensial atau inti sari dari Pokok Kaidah Negara yang
Fundamental tersebut tidak lain adalah Pancasila (Notonagoro, tanpa tahun : 40).
Menurut penjelasan resmi Pembukaan UUD 1945, bahwa Pembukaan UUD 1945
yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila mempunyai fungsi atau hubungan
langsung dengan UUD 1945, ialah Pembukaan UUD 1945 mengandung pokok-
pokok pikiran yang diciptakan, dijelmakan dalam Batang Tubuh Undang-Undang
Dasar 1945 dalam pasal-pasalnya. Dalam penjelasan resmi Pembukaan UUD 1945,
empat pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu sebagai
berkut :
1. Pokok Pikiran Pertama :
28
mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan ataupun
perorangan. Pokok pikiran ini merupakan penjabaran Sila Ketiga Pancasila.
Pokok pikiran ini menuntut konsekuensi logis bahwa UUD mengandung isi yang
mewajibkan Pemerintah dan penyelenggara negara lainnya untuk memelihara budi
pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang
luhur, dengan berdasarkan pada nilai-nilai KeTuhanan dan nilai-nilai
Kemanusiaan. Dari keempat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 di atas
dapat diklasifikasikan menjadi dua fungsi yaitu : untuk pokok pikiran pertama,
kedua, dan ketiga merupakan fundamen politik negara, dan untuk pokok pikiran
keempat merupakan fundamen moral negara.
Antara fundamen politik dan fundamen moral selalu berhubungan secara harmonis,
dan tidak dapat dipisahkan. Fundamen moral menjiwai fundamen politik, dan
sebaliknya fundamen politik dijiwai oleh fundamen moral. Sebagai fondamen moral,
pokok pikiran keempat secara jelas menjabarkan bentuk rumusan hukum Tuhan,
hukum kodrat, dan hukum etis. Hukum Tuhan adalah aturan-aturan hidup manusia
yang bersumber dari firman Tuhan, tujuan yang ingin dicapai adalah kebahagiaan
hidup di dunia maupun di akhirat. Hukum kodrat adalah aturan hidup yang
merupakan hasil pemikiran manusia atas dasar tuntutan hati nurani yang merdeka,
29
tujuan yang hendak dicapai adalah terciptanya rasa keadilan. Sedangkan hukum etis
adalah aturan hidup bersama berdasarkan nilai baik dan buruk yang telah
disepakati bersama, tujuan yang hendak dicapai dengan hukum etis ini adalah
terciptanya tata kehidupan yang sesuai dengan peradaban yang telah disepakati
bersama.
Dalam pembahasan ini hanya akan dibahas pasal-pasal penting yang perlu
diketahui dan dikaji oleh mahasiswa. Adapun selengkapnya silakan untuk
membaca pada naskah UUD 1945 yang telah diamandemen ke 4. Undang-
Undang Dasar 1945 setelah diamandemen terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, dan 3
Pasal Aturan Peralihan serta 2 Pasal Aturan Tambahan. Adapun isi pokok batang
tubuh UUD 1945 adalah sebagai berikut :
Dalam Pasal I ayat 1 UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik. Dari ketentuan pasal ini jelaslah bahwa bentuk
negara Indonesia ialah Negara kesatuan. dan bentuk Pemerintahan Indonesia
adalah Republik, dengan Presiden sebagai kepala negara yang dipilih dari dan oleh
rakyat untuk suatu jangka waktu tertentu.
Dalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945 menetapkan bahwa “MPR terdiri atas anggot
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan
umum, diatur lebih lanjut dengan undang-undang “. Memperhatikan susunan
keanggotaan MPR tesebut di atas, sudah tidak ada lagi anggota yang berasal dari
unsur penggangkatan sebagaimana yang pernah terjadi pada masa orde baru. Jadi
mulai masa bakti 2004/2009 semua anggota MPR dipilih oleh rakyat secara
demokratis, melalui proses pemilihan umum yang langsung, umum bebas, rahasia,
jujur dan adil. Pasal 2 ayat 2 UUD 1945 menetapkan “MPR bersidang sedikitnya
sekali dalam lima tahun di ibukota negara “Ketentuan ini menunjukkan kemungkinan
dalam hal-hal tertentu MPR dapat saja bersidang lebih dari satu kali. Sidang MPR di
luar didang lima tahunan lazimnya disebut “Sidang Istimewa“. Dalam UUD 1945
sidang di luar lima tahunan memang dimungkinkan terjadi, yaitu dalam hal
sebagaimana ketentuan dalam UUD 1945 yaitu : Pasal 7B ayat 6, Pasal 8 ayat 2
dan 3, dan Pasal 37. Pasal 2 ayat 3 UUD 1945 menetapkan “Segala putusan PMR
ditetapkan dengan suara terbanyak“.
a. Wewenang MPR
b. Kewajiban MPR
Jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan satu pasangan dipilih secara
langsung oleh rakyat (Pasal 6A ayat 1). Jadi Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
lagi dipilih dan diangkat oleh MPR, sehingga tidak lagi bertanggungjawab kepada
MPR. Dalam Pasal 5 ayat 1 disebutkan “Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan rakyat“. Dari ketentuan ini jelas bahwa
Presiden kecuali memegang kekuasaan eksekutif, Presiden RI bersama-sama DPR
juga menjalankan kekuasaan legislatif.
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kebali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali
masa jabatan (Pasal 7). Batasan maksimal dua kali masa jabatan bagi seseorang
menduduki jabatan Presiden, dimaksudkan untuk menjamin adanya regenerasi
dalam pemerintahan, terpeliharanya kehidupan yang demokratis, serta untuk
menghindari adanya rekayasa politik dari kelompok/rezim tertentu yang secara
terselubung menjadikan seseorang menjabat sebagai presiden seumur hidup,
sebagaimana yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Soeharto memegang
jabatan sebagai Presiden selama 32 tahun.
Dalam pasal 17 UUD 1945 ditegaskan hahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri
negara (Pasal 17 ayat 1). Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh
presiden (Pasal 17 ayat 2). Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan (Pasal 17 ayat 3). Pembentukan, perubahan, dan pembubaran
kementerian negara diatur dalam undang-undang (Pasal 17 ayat 4).
Berdasarkan pasal ini terlihat jelas bahwa Menteri Negara adalah pembantu
Presiden, mereka tidak bertanggungjawab kepada DPR, melainkan kepada
Presiden. Oleh karena itu kedudukan Menteri-menteri Negara tidaklah tergantung
kepada DPR. Dalam pengertian ini sistem UUD 1945 menganut sistem Kabinet
Presidensiil.
32
Perlu kita cermati, walaupun UUD 1945 menganut sistem Kabinet Presidensiil,
dimana Menteri Negara tidak bertanggungjawab kepada DPR, melainkan kepada
Presiden, ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 17 ayat 2 yakni “Menteri-
menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden”. Akan tetapi kemurnian
penerapan sistem Kabinet Presidensiil di negara kita patut kita pertanyakan. Karena
dalam Pasal 17 ayat 4 justru mengurangi kemandirian Presiden dalam rangka
membentuk, mengubah, serta membubarkan kementerian negara. Dalam Pasal 17
ayat 4 UUD 1945 ditetapkan “Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
kementerian negara diatur dalam undang-undang“.
Disebutkan dalam Pasal 18 ayat 1 UUD 1945 yaitu “Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang“. Pasal ini mengatur
tentang pembagian pemerintahan di Negara Republik Indonesia, yang dibagi atas
daerah provinsi, daerah provinsi dibagi lagi menjadi beberapa daerah kabupaten dan
kota. Oleh Pemerintahan Pusat masing-masing pemerintahan daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan kota diberi kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (Psl 18 ayat 2).
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tujuan pemberian
otonomi yang seluas-luasnya adalah memberi kesempatan kepada masing-masing
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota untuk memberdayakan potensi
daerah semaksimal mungkin.
Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah atau desa
dari pemerintah provinsi, kabupaten adan kota dan atau desa serta dari pemerintah
kabupaten dan kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dengan
pemberian otonomi seluas-luasnya kepada pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten dan kota, tidak berarti sudah tidak ada lagi hubungan antara
pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Sebab dengan tugas
pembantuan, berarti pemerintahan yang kedudukannya berada di bawahnya atas
dasar perintah, dalam hal-hal tertentu membantu kelancaran tugas-tugas atau
program yang dibuat oleh pemerintahan yang kedudukannya lebih tinggi, sehingga
pertanggungjawaban tetap berada pada pemerintahan yang lebih tinggi
kedudukannya.
33
otonomi yang luas untuk melancarkan jalannya pembangunan daerah sesuai
dengan karakter daerah masing-masing.
Dalam pembahasan pemerintahan daerah kita kenal ada dua asas pola hubungan
antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah yaitu :
a. Asas Desentralisasi
b. Asas Dekonsentrasi
Mengenai DPR diatur dalam pasal 19 sampai dengan pasal 22B UUD 1945.
Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum (Pasal 19 ayat 1), Susunan DPR
diatur dengan undang-undang (Pasal 19 ayat 2), DPR bersidang sedikitnya sekali
dalam setahun (Pasal 19 ayat 3).
DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat 1). Setiap
undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama (Pasal 20 ayat 2). Jika rancangan undang-undang tidak mendapat
persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan DPR pada masa itu (Pasal 20 ayat 3).
Pasal 20A ayat 1 s/d ayat 3 UUD 1945 mengatur tentang hak-hak yang dimiliki
oleh DPR dalam rangka menjalankan tugas pengawasan, terhadap tugas-tugas
Presiden yaitu antara lain sebagai berikut :
a. Hak Interpelasi = Hak minta keterangan kepada presiden
b. Hak Angket = Hak mengadakan penyelidikan
c. Hak Amandemen = Hak mengadakan perubahan atas RUU yang
diajukan presiden.
d. Hak Inisiatif = Hak mengajukan usul RUU
e. Hak Menyatakan Pendapat = Hak kebebasan menyatakan pendapat da
lam rapat-rapat DPR ( terbuka/tertutup )
f. Hak Imunitet = Hak kekebalan hukum atas pernyataan-
nya dalam rapat-rapat DPR
g.Hak Budget = Hak ikut serta dalam pembahasan dan
penetapkan APBN
Dalam Pasal 22C ayat 1 disebutkan “Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui
pemiluhan umum“. Kedudukan DPD adalah sederajad dengan DPR, dan keduanya
adalah sama-sama menjadi anggota MPR. Keberadaan DPD adalah sebagai
lembaga negara yang baru, yang bertujuan untuk meningkatkan pemberdayaan
pelaksanaan pemberian otonomi daerah yang seluas-luasnya oleh pemerintahan
pusat kepada pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota.
DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun (Pasal 22C ayat 3). DPD
mempunyai kesamaan fungsi dengan DPR yaitu antara lain :
a. DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang materinya berkaitan dengan
otonomi daerah, (lihat Pasal 22D ayat 1).
b. DPD ikut membahas RUU yang materinya berkaitan dengan otonomi daerah,
serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU-APBN dan RUU yang
berkaitan pajak, dan pendidikan. (lihat Pasal 22D ayat 2).
c. DPD mempunyai hak pengawasan atas pelaksanaan UU yang berkaitan dengan
otonomi daerah. (lihat Pasal 22D ayat 3).
Dalam konteks politik, bagi partai-partai politik yang mampu meraih kursi terbanyak
di parlemen, maka partai tersebut akan memperoleh kesempatan yang lebih besar
pula untuk mengendalikan jalannya pemerintahan. Oleh karena itu calon anggota
DPR dan DPRD yang diajukan (didaftarkan) oleh partai politik kepada Komisi
Pemilihan Umum (KPU), KPUD Provinsi dan atau KPUD Kabupatan/Kota adalah
orang-orang yang lolos seleksi pada masing-masing partai peserta pemilu. Sehingga
KPU/KPUD sifatnya hanya menerima daftar nama beserta nomor urut calon anggota
DPR/DPRD dari masing-masing partai peserta pemilu.
Pasal 22E ayat 4 disebutkan “Peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah
perseorangan“. Setiap anggota DPR/DPRD misinya adalah sebagai wakil partai di
parlemen, sehingga mereka terikat oleh aturan-aturan partai yang mengirimkannya.
Berbeda dengan DPD, ia bukan atas nama partai, tetapi atas nama perseorangan.
Namun dalam proses pengajuan calon anggota DPD dapat dilaksanakan secara
perseorangan dan atau diajukan oleh partai. Satu hal yang menjadi catatan penting
adalah “calon DPD yang diajukan oleh partai, tetap bukan merupakan wakil partai”.
Apabila seseorang berminat menjadi calon anggota DPD dari perseorangan, ia
harus mendaftarkan diri ke KPU melalui KPUD Provinsi dengan menyebutkan
provinsi yang diwakili. Dalam pendaftaran ini disertai dengan syarat-syarat
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Salah satu syaratnya diatur dalam Pasal
11 ayat 1 bagian (a) ditetapkan “Provinsi yang berpenduduk lebih dari 1000.000
(satu juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 1000 (seribu) orang
pemilih “. Adapun bukti dukungan yang dimaksud adalah berupa tanda tangan atau
cap jempol dan foto copy KTP atau identitas yang sah.
36
11. Badan Pemeriksa Keuangan (Bab VIIIA UUD 1945)
Selain itu maksud penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPR, DPD, dan
DPRD adalah sebagai bahan penilaian khususnya oleh DPR dan DPD untuk
menjalankan haknya yaitu “hak pengawasan“. Dan juga hasil pemeriksaan BPK itu
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pembahasan RUU-APBN tahun
berikutnya. Makna lain dari keberadaan BPK adalah merupakan upaya untuk
menjamin terciptanya aparatur negara yang bersih dan berwibawa. Oleh karena itu
apabila hasil pemeriksaan ada aparatur negara yang patut diduga melakukan tidak
pidana korupsi atau tindak pidana lain yang merugikan negara, maka masalahnya
dapat diberitahukan kepada pihak Kepolisian, Kejaksaan atau Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam Pasal 24A ayat 1 ditetapkan “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh
37
undang-undang“. Dalam perkembangan lembaga peradilan, guna untuk menjaga
kewibawaan lembaga peradilan serta menegakkan pelaksanaan kode etik peradilan
dengan tujuan agar terwujudnya peradilan yang bersih, maka dibentuklah sebuah
komisi di lingkup lembaga peradilan namun tidak berada dalam struktur lembaga
peradilan yaitu “Komisi Yudisial“. Dalam Pasal 24 B ayat 1 disebutkan “Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim“.
Dalam pasal 26 UUD 1945 disebutkan. bahwa yang menjadi warganegara ialah
orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan
dengan Undang-Undang sebagai warga negara. Hal ini berarti bahwa yang dapat
menjadi warga negara Indonesia adalah juga dari orang-orang dari keturunan
bangsa lain (bangsa asing). Hal tersebut diatur dalam suatu Undang-Undang,
kewarganegaraan (antara lain UU No. 62 tahun 1958). Selaniutnya pasal 27 UUD
1945 mengandung hak-hak asasi manusia . Dalam pasal ini ditegaskan sebagi
berikut: “segala warga negara bersamaan kedudukannya di muka hukum dan
pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”. Ketentuan inipun mengandung asas
demokrasi dalam negara, yang berarti tidak membeda-bedakan warga negara yang
satu dengan yang lain tanpa memandang kedudukan, jabatan, keturunan ataupun
kekayaannya. Semuanya berhak atas perlindungan hukum atas diri pribadi, jiwa,
kehormatan dan harta bendanya. Sebaliknya tipa-tiap warga negara dibebani
kewajiban untuk mentaati peraturan yang dikeluarkan oleh negara, tertib hukum
harus dilaksanakan tanpa kerkecuali.
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusian. Ketentuan ini adalah sesuai dengan sila kelima Pancasila, yakni
Keadilan sosial,bagi seluruh rakyat Indonesia.Adapun hak-hak warga negara yang
lainnya yang merupakan hak asasi manusia tercantum dalam pasal 23 UUD 1945
yang menyatakan bahwa, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-
Undang.
Dalam pasal 29 UUD 1945 diatur perihal keyakinan warga negara dalam kehidupan
kegamaan sebagai berikut:
a. Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa (pasal 29 ayat 1).
b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing dan
kepercayaannya itu (Pasal 29 UUD 1945 ayat 2).
Ketentuan pasal ini adalah sebagai pelaksanaan dari sila pertama dari dasar negara
Pancasila. Dalam Ketetapan MPR No. IVMPRJ1983 ditegaskan,bahwa atas dasar
kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa maka
perikehidupan beragama dan perikehidupan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa adalah selaras dengan pengahayatan dan pengamalan Pancasila,
38
15. Pertahanan Negara (Bab XII UUD 1945)
Pasal 30 UUD 1945 menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib
ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Dengan demikian adalah merupakan
suatu hak dan kewajiban serta tanggungjawab setiap warga negara Indonesia untuk
ikut serta dalarn pertahan negara, mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945.
39
Kemudian dalam pasal 34 ditegaskan, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara.
Ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai realisasi penjabaran sila kelima
Pancasila, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu juga
merupakan manifestasi hak-hak warga negara Indonesia.
Pasal 35 UUD 1945 menegaskan bahwa Bendera Bangsa Indonesia ialah Sang
Merah Putih, sedangkan pasal 36 UUD 1945 menyatakan bahwa Bahasa negara
ialah Bahasa Indonesia. Bendera Sang merah Putih, Bahasa Indonesia dan
Lambang Negara Garuda Pancasila merupakan piranti-piranti persatuan dan
kesatuan Bangsa dan Negara Indonesia.
Pasal terakhir dari UUD 1945 yaitu pasal 37 menyatakan sebagai berikut:
a. Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota
MPR hadir.
b. Putusan diambil dengan persetujuan sekuranig-kurangnya 2/3 daripada jumlah
anggota yang hadir.
Aturan Peralihan dalam UUD 1945 terdiri atas 4 pasal sebagai berikut:
Pasal I : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan
menyelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah
Indonesia.
Pasal II : Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Pasal III : Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia
Persiapan Kemredekaan lndonesia.
40
Pasal IV : Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Pertimbangan
Agung dibentuk menurut UUD, segala kekuasaan dijalankan oleh
Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.
Pada akhir UUD 1945 ditentukan Aturan Tambahan yang terdiri atas 2 ayat yang
berbunyi sebagai berikut :
a) Dalam enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya. Presiden
Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Dasar ini.
b) Dalam enam bulan setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini
bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.
Ditetapkan pula bahwa untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh
Panitia, Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi. masa peralihan ini dibatasi
oleh UUD 1945 (Aturan Tambahan) untuk selama masa 12 bulan. Dalam enam
bulan sesudah berakhirnya Peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia
mengatur dan menylenggarakan segala hal yang ditetapkan, oleh UUD 1945 (antara
lain pembentukan MPR). Dan "Dalam enam bulan sesudah MPR dibentuk, Majelis
itu bersidang untuk menetapkan UUD".
Dengan demikian sejak permulaan UUD 1945 telah dianggap sebagai UUD
sementara, dan wewenang untuk menetapkan UUD Negara Republik Indonesia
berada di tangan MPR hasil Pemilu (pasal 3 UUD 1945). Ketetapan No.
XX/MPRS/1966 telah menetapkan kedudukan UUD 1945 dan kemudian telah
dikokohkan/ditetapkan oleh Ketetapan MPR No. VI/MPR/1973 pada tanggal 22
Maret 1973, sehingga sejak tanggal tersebut UUD 1945 telah kehilangan sifat
sementaranya. (Kansil, 1980: 230,250).
41
BAB VI
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI
Pancasila sebagai dasar filsatat serta ideologi bangsa dan negara Indonesia
bukan tebentuk secara mendadak serta bukan hanya diciptakan oleh seseorang
sebagaimana yang terjadi pada ideologi-ideologi lain di dunia, namun terbentuknya
Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia.
Secara kausalitas Pancasila sebelum disyahkan menjadi dasar filsafat
negara nilai-nilainya telah ada dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang
berupa nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan dan nilai-nilai religius. Kemudian pendiri
negara Indonesia mengangkat nilai-nilai tersebut dan dirumuskan secara
musyawarah mufakat berdasarkan moral yang luhur antara lain dalam sidang-sidang
BPUPKI Pertama, Sidang Panitia Sembilan yang kemudian menghasilkan Piagam
Jakarta yang memuat Pancasila pertamakali, kemudian dibahas lagi dalam sidang
BPUPKI Kedua. Setelah kemerdekan Indonesia sebelum sidang resmi PPKI,
Pancasila sebagai calon dasar filsafat negara dibahas serta disempurnakan kembali
dan akhirnya pada tanggai 18Agustus 1945 disyahkan oleh PPKI sebagai dasar
filsafat negara Republik Indonesia.
Oleh Karena itu agar memiliki pengetahuan yang lengkap tentang proses terjadinya
Pancasila, maka secara ilmiah harus ditinjau berdasarkan proses kausalitas. Secara
kausalitas asal mula Pancasila dibedakan atas dua macam yaitu: asal mula yang
langsung dan asal mula yang tidak langsung. Adapun pengertian asal mula tersebut
adalah sebagai berikut:
Pengertian asal mula secara ilmiah filsafati dibedakan atas empat macam yaitu:
Kausa Materialis, Kausa Formalis, Kausa Efficient dan Kausa Finalis (Bagus, 1991 :
158). Teori kausalitas ini dikembangkan oleh Aristoteles, adapun berkaitan dengan
asal mula yang Iangsung tentang Pancasila adalah asal mula yang langsung
terjadinya Pancasila sebagai dasar filsafat Negara, yaitu asal mula yang sesudah
dan mejelang Proklamasi Kemerdekaan yang dirumuskan oleh para pendiri negara
sejak sidang BPUPKI Pertama. Panitia Sembilan, Sidang BPUPKI Kedua, serta
sidang PPKI sampai pengesahannya. Adapun rincian asal Mula langsung Pancasila
tersebut menurut Notonagoro adalah sebagai berikut:
42
anggota BPUPKI lainnya, yang merumuskan dan membahas Pancasila terutama
dalam hal bentuk rumusan serta nama Pancasila.
c. Asal mula karya (Kausa Efficient )
Kausa effisien atau asal mula karya yaitu asal mula yang menjadikan Pancasila
dari calon dasar negara menjadi dasar Negara.Adapun asal mula karya adalah
PPKI sebagai pembentuk negara dan atas kuasa pembentuk negara yang
mengesahkan Pancasila menjadi dasar negara yang sah, setelah dilakukan
pembahasan baik dalam sidang-sidang BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI.
d. Asal mula tujuan (Kausa Finalis)
Pancasila diartikan dan dibahas dalam sidang-sidang para pendiri negara,
tujuannya adalah untuk dijjadikan sebagai dasar negara. Oleh karena itu asal
mula tujuan tersebut adalah para anggota BPUPKI dan Panitia Sembilan
termasuk Soekarno dan Hatta yang menentukan tujuan dirumuskannya
Pancasila sebelum ditetapkan oleh PPKI sebagai dasar negara yang sah.
Demikian pula para pendiri negara tersebut juga berfungsi sebagai kausa
sambungan karena yang merumuskan dasar filsafat negara.
Secara kausalitas asal mula yang tidak langsung Pancasila adalah asal mula
sebelum proklamasi kemerdekaan. Berarti bahwa asal mula nilai-nilai Pancasila
yang terdapat dalam adat istiadat, dalam kebudayaan serta dalam nilai-nilai agama
bangsa Indonesia. Sehingga dengan demikian asal mula tidak langsung Pancasila
adalah terdapat pada kepribadian serta dalam pandangan hidup sehari-hari bangsa
Indonesia. Maka asal mula tidak langsung Pancasila bila mana dirinci adalah
sebagai berikut :
(1) Unsur-unsur dalam pancasila tersebut sebelum secara langsung dirumuskan
menjadi dasar filsafat negara (nilai-nilainya yaitu nilai Ketuhanan, nilai
Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan, dan nilai Keadilan) telah ada
dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum
membentuk negara.
(2) Nilai-nilai tersebut terkandung dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia
sebelum membentuk negara, yang berupa nilai-nilai adat istiadat, nilai
kebudayaan serta nilai-nilai religius. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman dalam
memecahkan problema kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.
(3) Dengan dermikian dapat disimpulkan bahwa asal mula tidak langsung Pancasila
pada hakikatnya bangsa Indonesia sendiri, atau dengan lain perkataan bangsa
Indonesia sebagai ‘Kausa Materialis’ atau sebagai asal mula tidak langsung
nilai-nilai pancasila.
43
3. Bangsa Indonesia ber-Pancasila Dalam “Tri Prakara”
Oleh karena itu Pancasila yang terwujud dalam tiga asas tersebut atau “Tri Prakara”
yaitu Pancasila Asas kebudayaan, Pancasila asas religius, serta Pancasila sebagai
asas kenegaraan, yang dalam kenyataanya tidak dapat dipertentangkan karena
ketiganya terjalin dalam suatu proses kausalitas, sehingga ketiga hal tersebut pada
hakikatnya merupakan unsur-unsur yang membentuk pancasila. (Notonagoro, 1975:
16,17).
Filsafat sebagai pandangan hidup pada hakekatnya merupakan sistem nilai yangs
secara epistemologis kebenarannya telah diyakini sehingga telah dijadikan dasar
atau pedoman bagi manusia dalam memandang realitas alam semesta, manusia,
masyarakat, bangsa dan negara, tentang makna hidup, serta sebagai dasar dan
pedoman bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam hidup
dan kehidupan, filsafat dalam pengertian yang demikian ini telah menjadi suatu
sistem cita-cita atau keyakinan-keyakinan (Bilieve System) yangtelah menyangkut
praksis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia atau suatu kelompok
masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya. Hal itu berarti bahwa filsafat telah
beralih dan menjelma menjadi idiologi (Ruslan Abdul Gani, 1996).
Tiap Ideologi sebagai suatu rangkaian kesatuan cita-cita yang mendasar dan
menyeluruh yang jalin menjalin menjadi suatu sistem pemikiran (system of thought)
yang logis, adalah sumber pada filsafat, dengan kata lain ideologi adalah suatu
44
system of thought, mencari nilai, norma dan cita-cita yang bersumber kepada
filsafat, yang bersifat mendasar dan nyata untuk diakutalisasikan artinya secara
potensial mempunyai kemungkinan pelaksanaan yang tinggi, sehingga dapat
memberi pengaruh positif, karena mampu membangkitkan dinamika masyarkat
tersebut secara nyata kearah kemajuan. Ideologi dapat dikatakan pula sebagai
konsep operasionalisasi dari suatu pandangan atau filsafat hidup akan merupakan
norma ideal yang melandasai ideologi, karena norma itu akan dituangkan dalam
perilaku, dalam kelembagaan sosial, politik, ekonomi, pertahanan keamaan dan
sebagainya. Jadi filsafat sebagai dasar dan sumber bagi perumusan ideologi yang
juga menyangkut strategi dan doktrin dalam menghadapi permasalahan yang timbul
di dalam kehidupan bangsa dan Negara, termasuk di dalamnya menentukan sudut
pandang dan sikap dalam menghadapi berbagai aliran atau sistem filsafat yang lain.
Dari tradisi sejarah filsafat barat dapat di buktikan bahwa tumbuhnya idiologi seperti
liberalisme, kapitalisme, marxisme, leninisme, maupun nazisme dan facisme, adalah
bersumber pada aliran-aliran filsafat yang berkembang disana. Persepsi mengenai
kebebasan yang tumbuh pada zaman renaissance dan aufklarung mengakibatkan
tumbuh dan berkembangnya ideologi liberal dan kapitalis di barat. Demikian pula
dengan pemikiran pemikiran Karlmax dan Hegel yang historis materialistik dan
dialistik telah menumbuh suburkan ideologi marxisme, leanilisme, komunisme, di
negara-negara sosialis komunis. Begitu pula dengan pemikiran Nietzche tentang
Ubermnech (Superman) dan Wille zurmacht (Kehendak untuk berkuasa) telah
mendorong Hitler untuk mengembangkan nazisme yang meliteristis. Namun harus
dikemukakan pula bahwa ada aliran-aliran filsafat terutama yang timbul di barat yang
tidak berfungsi sebagai idiologi dalam suatu negara. Begitu pula bahwa ada juga
negara-negara yang tidak menganut pada suatu idiologi tertentu. Hanya unsur-unsur
suatu aliran filsafat yang dikembangkan secara aktif, sistematik dan dilaksanakan
dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang menjelma menjadi ideologi.
Demikianlah sifat-sifat ideologi yang sebenarnya memiliki ciri khas dan
implementasinya masing-masing tergantung pada proses terbentuknya ideologi
tersebut.
Dengan demikian ideologi sangat menentukan eksistensi suatu bangsa dan negara.
Ideologi membimbing bangsa dan negara untuk mencapai tujuannya melalui
berbagai realisasi pembangunan. Hal ini disebabkan di dalam ideologi terkandung
suatu orientasi praktis. Selain sebagai sumber motifasi ideologi juga merupakan
sumber semangat dalam berbagai kehidupan negara. Ideologi akan menjadi realistis
m anakala terjadi orientasi yang bersifat dinamis antara masyarakat bangsa dengan
ideologi, karena dengan demikian ideologi akan bersifat terbuka dan antisipatif
bahkan bersifat reformatif dalam arti senantiasa mampu mengadaptasi perubahan-
perubahan sesuai dengan aspirasi bangsanya. Namun jikalau perlakuan terhadap
ideologi diletakkan sebagai nilai yang sakral bahkan diletakkan sebagai sumber
legitimasi kekuasaan maka dapat dipastikan ideologi akan menjadi tertutup, kaku,
baku, dokmatis dan menguasai kehidupan bangsanya. Oleh karena itu agar benar-
benar ideologi mampu menampung aspirasi para pendukungnya untuk mencapai
tujuan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka ideologi tersebut
haruslah bersifat dinamis, terbuka, antisipatif yang senantiasa mampu
mengadaptasikan dirinya dalam perkembangqan zaman. Inilah peranan penting
ideologi bagi bangsa dan negara agar bangsa dapat mempertahankan
eksistensinya.
Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku, dan tertutup, namun bersifat
reformatif, dinamis dan terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila
adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan
dalam perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan terknologi serta dinamika
perkembangan inspirasi masyarakat, keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti
mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung didalamnya, namun mengeksplitkan
wawasannya secara lebih kongrit, sehingga memiliki kemampuan yang reformatif
untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang senantiasa berkembang seiring
dengan aspirasi rakyat.
Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang medasar yang besifat
tetap dan tidak berubah sehingga tidak langsung bersifat oprasional, oleh karena itu
setiap kali harus dieksplisitkan. Eksplisitasi dilakukan dengan menghadapkan pada
berbagai masalah yang selalu silih berganti, melalui refleksi yang rasional sehingga
terungkap makana oprasionalnya. Dengan demikian penjabaran ideologi
dilakasanakan dengan interpretasi yang kritis dan rasional (Soeryanto, 1991 :59).
46
Sebagai suatu contoh keterbukaan ideologi Pancasila antara lain dalam kaitannya
dengan kebebasan beserikat, berkumpul. Sekarang terdapat 48 partai politik dalam
kaitan dengan ekonomi (misalnya ekonomi kerakyatan), demikian pula dalam
kaitannya dengan pendidikan, hukum, kebudayaan, iptek, hamkam dan bidang
lainnya.
1. Nilai Dasar:
2. Nilai Instrumental :
3. Nilai Praktis
Suatu ideologi selain memiliki aspek-aspek yang bersifat ideal yang berupa cita-cita,
pemikiran-pemikiran serta nilai-nilai yang dianggap baik, juga harus memiliki norma
yang jelas, karena ideologi harus mampu direalisasikan dalam kehidupan praksis
47
yang merupakan suatu pengamalan nyata. Oleh karena itu Pancasila sebagai suatu
ideologi yang bersifat terbuka memiliki tiga. dimensi yaitu :
1. Dimensi Idealistis, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila yang
bersifat sistematis, rasional dan menyeluruh, yaitu hakikat nilai-nilai yang
terkandung dalam sila-sila Pancasila yaitu Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan. Hakikat nilai-nilai Pancasila tersebut bersumber pada
filsafat Pancasila (nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Pancasila). Karena
setiap ideologi bersumber pada suatu nilai-nilai filosofis atau sistem filsafat
(Soeryanto, 1991 : 59). Kadar serta idealisme yang terkandung dalam Pancasila
mampu memberikan harapan, optimisme serta mampu menggugah motivasi
para pendukungnya untuk berupaya. mewujudkan apa yang. dicita-citakan
(Koento Wibisono, 1989).
2. Dimensi Normatif, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu
dijabarkan dalam suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam norma-
norma kenegaraan. Dalam pengertian ini Pancasila terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 yang merupakan norma tertib hukum tertinggi dalam
negara Indonesia serta merupakan Staats Fundamental Norm (Pokok Kaidah
Negara Yang Fundamental). Dalam pengertian ini ideologi Pancasila agar
mampu dijabarkan ke dalam langkah operasional, maka perlu memiliki norma
yang jelas (lihat Soeryanto, 1991).
3. Dimensi Realistis, yaitu suatu ideologi harus mampu mencerminkan realitas yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu Pancasila selain
memiliki dimensi nilai-nilai ideal serta normatif maka Pancasila harus mampu
dijabarkan dalam kehidupan masyarakat secara nyata (kongkrit) baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam penyelengaraan negara. Dengan demikian
Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak bersifat utopis yang hanya berisi ide-ide
yang bersifat mengawang, tapi melahikan suatu ideologi yang bersifat realistis
artinya mampu dijabarkan dalam segala aspek kehidupan nyata.
Berdasarkan dimensi yang dimiliki oleh Pancasila sebagai ideologi terbuka. maka
sifat ideologi Pancasila tidak bersifat utopis yaitu hanya merupakan sistem ide-ide
belaka yang jauh dari kehidupan sehari-hari secara nyata. Demikian pula ideologi
Pancasila bukanlah merupakan suatu “doktrin” belaka yang bersifat tertutup yang
merupakan norma-norma yang berlaku, melainkan di samping memiliki idelisme,
Pancasila juga bersifat nyata dan reformatif yang mampu melakukan perubahan.
Akhirnya Pancasila juga bukan merupakan ideologi yang “pragmatis” yang hanya
menekankan segi praktis-praktis belaka tanpa adanya aspek idealisme. Ideologi
Pancasila yang bersifat terbuka pada hakikatnya merupakan nilai-nilai dasar (hakikat
sila-sila Pancasila) yang bersifat universal dan tetap, adapun penjabaran dan
realisasinya senantiasa dieksplisitkan secara dinamis, reformatif dan senantiasa
mampu melakukan perubahan sesuai dengan dinamika aspirasi masyarakat.
1. Ideologi Pancasila
Suatu ideologi pada suatu bangsa pada hakikatnya memiliki ciri khas serta
karakteristik masing-masing sesuai dengan sifat dan ciri khas bangsa itu sendiri.
Namun demikian dapat juga terjadi bahwa ideologi pada suatu bangsa datang dari
luar dan dipaksakan keberlakuannya pada bangsa tersebut sehingga tidak
menceminkan kepribadian dan karakteristik bangsa tersebut. Ideologi Pancasila
sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia berkembang melalui suatu proses
48
yang cukup panjang. Pada awalnya secara kausafitas bersumber dari nilai-nilai yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu dalam adat-istiadat, serta dalam agama-agama
bangsa Indonesia dan dijadikan sebagai pandangan hidup bangsa. oleh karena itu
nilai-nilai Pancasila yang berasal dari nilai-nilai pandangan hidup bangsa telah
diyakini kebenarannya kemudian diangkat oleh bangsa Indonesia sebagai dasar
filsafat negara ini kemudian menjadi ideologi bangsa dan negara. Oleh karena itu
ideologi Pancasila ada pada kehidupan bangsa dan melekat pada kelangsungan
hidup bangsa dalam rangka bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ideologi Pancasila mendasarkan pada hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial, oleh karena itu dalam ideologi Pancasila mengakui
kebebasan dan kemerdekaan individu, namun dalam hidup bersama juga harus
mengakui hak dan kebebasan orang lain secara bersama sehingga dengan
demikian harus juga mengakui hak-hak masyarakat. Selain itu bahwa manusia
menurut Pancasila berkedudukan sesuai kodratnya sebagai makhluk pribadi dan
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu nilai-nilai Ke Tuhanan
senantiasa menjiwai kehidupan manusia dalam hidup bernegara dan
bermasyarakat. Kebebasan manusia dalam demokrasi tidak melampaui nilai-nilai Ke
Tuhanan, bahkan nilai Ke Tuhanan terjelma dalam bentuk moral dalam ekspresi
kebebasan manusia.
2. Negara Pancasila
Dalam upayanya untuk membentuk suatu perseketuan hidup yang disebut negara
maka bangsa Indonesia mendasarkan pada suatu pandangan hidup yang telah
dimilikinya yaitu PancasiIa. Berdasarkan ciri khas serta proses dalam rangka
membentuk suatu negara, maka bangsa Indonesia mendirikan suatu negara yang
memiliki suatu karakteristik, ciri khas yang karena ditentukan oleh keanekaragaman
sifat dan karakternya, maka bangsa Indonesia mendirikan suatu negara yang
berdasarkan Filsafat Pancasila, yaitu suatu Negara Persatuan, suatu Negara
Kebangsaan serta suatu Negara yang Bersifat Integralistik. Hakikat serta pengertian
sifat-sifat negara tersebut adalah sebagai berikut:
49
a. Paham Negara Persatuan
Bangsa dan negara Indonesia adalah terdiri atas berbagai macam unsur yang
membentuknya yaitu suku, bangsa, kepulauan, kebudayaan, golongan serta agama
yang secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan. Oleh karena itu negara
Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan sebagai suatu negara
Persatuan sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Negara
Persatuan Republik yang Berkedaulatan Rakyat. Ditegaskan kembali dalam Pokok
Pikiran Pertama “…bahwa negara Indonesia adalah negara persatuan yang
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Hakikat negara persatuan dalam pengertian ini adalah negara yang merupakan
suatu kesatuan dari unsur-unsur yang membentuknya, yaitu Rakyat yang terdiri atas
berbagai macam etnis, suku bangsa, golongan, kebudayaan, serta agama. Wilayah,
yang terdiri atas beribu-ribu pulau yang sekaligus juga memiliki sifat dan katakter
yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu negara persatuan adalah merupakan suatu
kesatuan dari unsur-unsur yang menyusunnya, yang merupakan satu negara, satu
rakyat, satu wilayah dan tidak terbagi-bagi misalnya seperti negara serikat, satu
Pemerintrahan, satu tetib hukum yaitu tertib hukum nasional, satu kesatuan bahasa,
serta satu bangsa yaitu bangsa Indonesia.
Hakikat makna Bhinneka Tunggal Ika yang memberikan suatu pengertian bahwa
meskipun bangsa dan negara Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa
yang memiliki adat-istiadat, kebudayaan serta karakter yang berbeda-beda, memiliki
agama yang berbeda-beda dan terdiri atas. beribu.-ribu kepulauan wilayah
nusantara Indonesia, namun keseluruhanya adalah merupakan suatu persatuan
yaitu persatuan bangsa dan negara Indonesia. Perbedaan itu adalah merupakan
50
suatu bawaan kodrat manusia sebagai makhluk Tahart yang Maha Esa, namun
perbedaan itu bukannya untuk dipenentangkan dan diperuncingkan melainkan
perbadaan itu untuk dipersatukan disintesakan dalam suatu sintesa Yang positif
dalam suatu negara kebersamaan, negara persatuan Indonesia (Notonagoro. 1975 :
106).
Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia adalah juga sebagai
makhluk Tuhan yang Maha Esa yang juga memiliki sifat dan kodrat sebagai makhluk
individu, yang memiliki kebebasan sekaligus juga sebagai makhluk sosial yang
senantiasa membutuhkan orang lain. Oleh karena itu dalam upaya untuk
merealisasikan harkat dan martabatnya secara sempurna maka manusia
memerlukan persekutuan hidup dalam suatu wilayah tertentu serta membentuk
suatu tujuan tertentu. Dalam pengertian inilah maka manusia yang hidup dalam
suatu wilayah tertentu serta memiliki tujuan tertentu dalam pengertian ini disebut
sebagai negara.
a. Hakikat Bangsa
Manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa pada hakikatnya memiliki sifat
kondrat sebagai mahluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu bangsa pada
hakikatnya adalah merupakan suatu penjelamaan dari kemanusiannya. Hal ini
disadari bahwa manusia tidaklah mungkjin untuk hidup menyendiri, sehingga ia
senantiasas memerlukan orang lain. Suatu bangsa bukanlah merupakan suatu
manifestasi kepentingn individu saja yang diikat secara imperatif dengan satu
peraturan perundang-undangan sebagaimana dilakukan oleh negara liberal.
Demikian juga suatu bangsa Indonesia tidak mendasarkan pada deklarasi
kemerdekaan individu sebagaimana negara liberal. Demikian pula bukan pula suatu
totalitas kelompok masyarakat yang menenggelamkan hak-hak individu
sebagaimana terjadi pada bangsa sosialis komunis.
Manusia membentuk suatu bangsa karena untuk memenuhi hak kodradnya yaitu
sebagai individu dan makhluk sosial, oleh karena itu deklarasi Bangsa Indonesia
tidak mendasarkan pada deklarasi kemerdekaan individu sebagaimana yang terjadi
di negara liberal. Demikian pula deklarasi bangsa Indonesia bukanlah merupakan
suatu manifesto bangsa komunal sebagaimana dilakukan oleh kalangan paham
sosialis komunis.
Deklarasi bangsa indonesia adalah suatu pernyataan tuntutan hak kodrat manusia
sebagai makhluk individu dan mahkluk sosial dan untuk itu dalam pembukaan UUD
1945 dinyatakan bahwa “…Kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Pernyataan
tersebut merupakan suatu penyataan universal hak kodrat manusia sebagai bangsa,
51
sebagai manusia dalam merealisasikan sifat kodratnya sebagai makhluk individu
dan mahkluk sosial
b. Teari Kebangsaan
Dalam pertumbuhan dan perkembangn suatu bangsa atau juga disebut sebagai
“Nation”. terdapat berbagai macam teori besar yang merupakan bahan komparasi
bagi para pendiri negara ldonesia untuk mewujudkan suatu bangsa yang memiliki
sifat dan karakter tersendiri. Teori-teori kebangsaan tersebut adalah sebagai berikut:
Hans Kohn sebagai scorang ahli antropologi etnis mengemukan teorinya tentang
bangsa. Dikatakannya bahwa bangsa terbentuk karena persamaan bahasa, ras,
agama, peradahan, wilayah, negara dan kewarganegaraan. Suatu bangsa
tumbuh dan berkembang dari anasir-anasir serta akar-akar yang terbentuk
melalui suatu proses sejarah.
Hakikat bangsa atau Nation ditinjau secara ilmiah oleh Ernest Renan seorang ahli
dari Academmie Francaise, Perancis (pada tahun 1982), mengatadakan kajian
ilmiah tentang bangsa berdasarkan psykologi etnis. Setelah mengadakan tinjauan
historis tentang pertumbuhan masyarakat manusia zaman Purba, zaman
Pertengahan sampai abad XIX tentang bentuk-bentuk pergaulan hidup beserta
timbul tenggelamnya berbagai bangsa, akhirnya beliau sampai pada penegasan
tentang prinsip-prinsip bangsa. Menurut Renan pokok-pokok pikiran tentang
bangsa adalah sebagai berikut:
a) Bahwa bangsa adalah suatu jiwa, suatu asas kerokhanian.
b) Bahwa bangsa adalah suatu solidaritas yang besar
c) Bangsa adalah suatu hasil sejarah.
d). Bangsa adalah bukan sesuatu yang abadi.
e) Wilayah dan ras bukanlah suatu penyebab timbulnya bangsa. Wilayah
memberikan ruang di mana bangsa hidup, sedangkan manusia membentuk
jiwanya. Dalam kaitan inilah maka Renan kemudian tiba pada suatu
kesimpulan bahwa bangsa adalah : suatu jiwa, suatu asas kerokhanian.
Lebih lanjut Ernest Renan menegaskan bahwa faktor-faktor yang membentuk jiwa
bangsa adalah kesuksesan dan kemuliaan di masa lampau, suatu keinginan
hidup bersama baik di masa sekarang dan di masa yang akan datang, serta
penderitaan-penderitaan bersama.
52
3) Teori Geopolitik oleh Frederich Ratzel
Suatu teori kebangsaan yang baru yang mengungkapkan hubungan antara wilayah
geografi dengan bangsa yang dikembangkan oleh Frederich Ratzel dalam bukunya
yang berjudul 'Political Geography' (1987). Teori tersebut menyatakan bahwa negara
adalah merupakan suatu organisme yang hidup. Agar supaya suatu bangsa itu
hidup subur dan kuat maka memerlukan suatu ruangan untuk hidup, dalam bahasa
Jerman disebut 'Lebensraum'. Negara-negara besar menurut Ratzel memiliki
semangat ekspansi militerisme serta optimisme. Teori Ratzel ini bagi negara-negara
modern terutama di Jerman mendapat sambutan yang cukup hangat, namun sisi
negatifnya menimbulkan semangat kebangsaan yang chauvinistis (Polak, 1960: 71)
Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang sejak
zaman kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan saat penjajahan oleh bangsa asing
selama tiga setengah abad. Unsur masyarakat yang membentuk bangsa Indonesia
terdiri atas berbagai macam suku bangsa, berbagai macam adat istiadat
kebudayaan dan agama yang berdiam dalam suatu wilayah yang terdiri atas ribuan
pulau. Oleh karena itu, kondisi yang beraneka ragam tersebut bukanlah merupakan
suatu perbedaan untuk dipertentangkan, melainkan perbedaan justru merupakan
suatu daya tarik kea rah suatu kerjasama persatuan dan kesatuan sehingga
keanekaragaman itu justru menciptakan kerjasama yang luhur. Sintesa persatuan
dan kesatuan tersebut kemudian dituangkan dalam suatu dasar kerohanian yang
merupakan suatu kepribadian dan jiwa bersama, yaitu Pancasila.
53
4. Paham Negara Integrallistilk
Pancasila sebagai asas kerokhanian bangsa dan negara Indonesia pada hakikatnya
merupakan suatu asas kebersamaan, asas kekeluargaan serta religiusitas. Dalam
pengertian inilah maka bangsa Indonesia dengan keanekaragamannya tersebut
membentuk suatu kesatuan integral sebagai suatu bangsa yang merdeka.
Dalam pengertian ini paham integralistik memberikan suatu prinsip bahwa negara
adalah suatu kesatuan integral dari unsur-unsur yang menyusunnya, negara
mengatasi semua golongan, bagian-bagian, yang membentuk negara, negara tidak
memihak pada suatu golongan walaupun golongan tersebut merupakan golongan
terbesar, negara dan bangsa adalah untuk semua unsur yang membentuk kesatuan
tersebut.
Oleh karena setiap individu yang hidup dalam suatu bangsa adalah sebagai
makhIuk Tuhan dan untuk itu bangsa dan negara sebagai totalitas yang integral
adalah BerkeTuhanan, demikian pula setiap warganya juga BerkeTuhanan Yang
Maha Esa. Rumusan Ketuhanan yang Maha Esa sebagaimana terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945, telah memberikan sifat yang khas kepada Negara
Kebangsaan Indonesia, yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisahkan
dan antara agama dengan negara demikian juga bukan merupakan negara agama
yaitu negara yang mendasarkan atas agama tertentu. Negara kebangsaan
Indonesia adalah negara yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa menurut dasar
55
kemanusiaan yang adil dan beradab, yaitu Negara Kebangsaan yang memelihara
budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita rakyat yang luhur,
yang berarti bahwa negara menjunjung tinggi manusia sebagai makhluk Tuhan,
dengan segala hak dan kewajibannya.
Negara tidak memaksa dan tidak memaksakan agama karena agama adalah
merupakan suatu keyakinan bathin yang tercermin dalam hati sanubari dan tidak
dapat dipaksakan. Tidak ada satu agamapun yang membenarkan untuk
memaksakan kepada orang lain untuk menganutnya. Dengan perkataan lain, negara
menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Kebebasan beragama dan kebebasan agama adalah merupakan hak asasi manusia
yang paling mutlak, karena langsung bersumber pada martabat manusia yang
berkedudukan kodrat sebagai pribadi dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang
Maha Esa. Oleh karena itu kebebasan ini bukanlah merupakan pemberian negara,
bukan pula merupakan pemberian golongan. Hak dan kebebasan itu merupakan
suatu pilihan pribadi masing-masing manusia yang disertai tanggung jawab pribadi.
Setiap umat beragama memiliki kebebasan untuk menggali dan meningkatkan
kehidupan spiritualnya dalam masing-masing agama, Negara wajib memelihara budi
pekerti vang luhur dari setiap warga negara pada umumnya dan para penyelenggara
negara khususnya, berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Sila pertama Pancasila sebagai dasar filsafat negara adalah 'KeTuhanan Yang
Maha Esa'. Oleh karena sebagai dasar negara maka sila tersebut merupakan
sumber nilai, dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, baik
yang bersifat material maupun spiritual. Dengan Iain perkataan bahwa segala aspek
penyelenggaraan negara harus sesuai dengan hakikat nilai-nilai yang berasal dari
Tuhan baik material maupun spiritual. Bilaimana dirinci masalah-masalah yang
menyangkut penyelenggaraan negara dalam arti material antara lain, bentuk negara,
tujuan negara, tertib hukum, dan sistem negara. Adapun yang bersifat spiritual
antara lain moral negara, dan moral penyelenggara negara.
Hal ini ditegaskan oleh Moh. Hatta, bahwa sila 'Ketuhanan Yang Maha esa'
merupakan dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk
menyelenggarakan yang baik bagi masyarakat dan penyelenggara negara. Dengan
dasar sila Ketuhanana Yang Maha Esa ini, maka politik negara mendapat dasar
moral yang kuat, sila ini yang menjadi dasar yang memimpin ke arah jalan
kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan (Hatta, Panitia Lima,
1980). Hakikat 'Ketuhanan yang Maha Esa' secara ilmiah filosofis mengandung
makna terdapat kesesuaian hubungan antara Tuhan, Manusia dengan negara,
hubungan tersebut baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Manusia
kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena
itu terdapat hubungan sebab akibat yang langsung antara Tuhan dengan manusia
karena manusia adalah sebagai rnakhluk Tuhan. Adapun hakikat Tuhan adalah
sebagai 'causaprima' (sebab pertama), adapun manusia diciptakan oleh Tuhan
karena mausia adalah sebagai makhluk Tuhan (Kaelan dalam Ensiklopedi
Pancasila, 1995 : 110-115).
56
Dalam hubungannya dengan negara maka antara manusia dengan negara terdapat
hubungan sebab akibat yang langsung karena negara adalah merupakan lembaga
kemanusiaan, lembaga kemasyarakatan yang dibentuk oleh manusia dan segala
tujuannya untuk manusia. Adapun kedudukan kodrat manusia adalah sebagai
makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa oleh karena itu antara
negara dengan Tuhan terdapat hubungan sebab akibat yang tidak langsung.
Konsekuensinya negara kebangsaan, menurut Pancasila adalah negara
kebangsaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu setiap warga negara
juga Berketuhanan Yang Maha Esa dalam arti memiliki kebebasan dalam rnemeluk
agama sesuai dengan keimanan dan ketaqwaannya masing-masing (Pasal 29) ayat
(1) dan ayat (2).
Dalam kaitan dengan tertib hukum Indonesia maka secara material nilal Ketuhanan
Yang Maha Esa harus merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi hukum
positif di Indonesia dalam pengertian ini dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat nilai-
nilai hukum Tuhan (Alinea III), hukum kodrat (Alinea I), dan hukum etis (Alinea III).
Nilai-nilai hukum tersebut merupakan suatu sumber materi dan nilai bagi setiap
perumusan dan produk hukum positif di Indonesia (Kaelan dalam Ensiklopedi
Pancasila, 1995: 116).
Namun perlu disadari bahwa manusia sebagai warga hidup bersama, berkedudukan
kodrat sebagai makhIuk pribadi dan sebagal makhluk Tuhan yang Maha Esa.
Sebagai makhluk pribadi ia dikarunia kebebasan atas segala kehendak
kemanusiaannya, sehingga hal inilah yang merupakan suatu kebebasan asasi yang
merupakan karunia dari Tuhan yang Maha Esa. Sebagai makhluk Tuhan yang Maha
Esa ia memiliki hak dan kewajiban untuk memenuhi harkat kemanusiaannya yaitu
menyembah kepada Tuhan yang Maha Esa. Manifestasi hubungan manusia dengan
Tuhannya adalah terwujud dalam agama, negara adalah merupakan produk
manusia yang merupakan hasil budaya manusia, sedangkan agama adalah
bersumber pada wahyu yang sifatnya mutlak. Dalam hidup keagamaan manusia
memiliki hak-hak dan kewajiban yang didasarkan atas keimanan dan ketaqwaannya
terhadap Tuhannya, sedangkan dalam negara manusia memiliki hak-hak dan
kewajiban secara horisontal dalam hubungannya dengan manusia lain.
Menurut Pancasila negara adalah berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa atas
dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Hal ini termuat dalam Penjelasan
Pembukaan UUD 1945 yaitu Pokok Pikiran keempat, Rumusan yang demikian
ini menunjukkan pada kita bahwa negara Indonesia berdasarkan Pancasila
adalah bukan negara sekuler yang memisahkan negara dengan agama, karena
hal ini tercantum dalam Pasal 29 ayat (1), bahwa negara adalah berdasar atas
Ketuhanan yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa negara sebagai persekutuan
hidup adalah Berketuhanan yang Maha Esa. Konsekuensinya segala aspek
dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara harus sesuai dengan hakikat
nilai-nilai yang berasal dari Tuhan. Nilai-nilai yang berasal dari Tuhan yang pada
hakikatnya adalah merupakan Hukum Tuhan dan merupakan sumber material
bagi segala norma, terutama bagi hukum positif di Indonesia.
Demikian pula makna yang terkandung dalam Pasal 29 ayat (1) tersebut juga
mengandung suatu pengertian bahwa negara Indonesia adalah bukan hanya
mendasarkan pada suatu agama tertentu atau bukan negara agama dan juga
bukan negara Theokrasi. Negara Pancasila pada hakikatnya mengatasi segala
agama dan menjamin kehidupan agama dan umat beragama, karena beragama
adalah hak asasi yang bersifat mutlak. Dalam praktek kenegaraan negara
terdapat dua macam pengertian negara Theokrasi, yaitu Negara Theokrasi
Langsung dan Negara Theokrasi Tidak Langsung.
58
a) Negara Theokrasi Langsung
Pasal 29 ayat (2) memberikan kebebasan kepada seluruh warga negara untuk
memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keimanan dan
ketaqwaan masing-masing. Negara kebangsaan yang berketuhanan yang Maha
Esa adalah negara yang merupakan penjelmaan dari hakikat kodrat manusia
sebagai individu, makhluk, sosial dan manusia adalah sebagai pribadi dan
makhluk Tuhan yang Maha Esa. Bilamana dirinci maka hubungan negara
dengan agama menurut negara Pancasila adalah sebagai berikut :
(1) Negara adalah berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.
(2) Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang Berketuhanan yang Maha
Esa. Konsekuensinya setiap warga memiliki hak asasi untuk memeluk dan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing.
59
(3) Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekulerisme karena hakikatnya manusia
berkedudukan kodrat sebagai makhluk Tuhan.
(4) Tidak ada tempat bagi pertentangan agama, golongan agama, antar dan
inter pemeluk agama serta antar pemeluk agama.
(5) Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karena ketaqwaan itu bukan hasil
paksaan bagi siapapun juga.
(6) Oleh karena itu harus memberikan toleransi terhadap orang lain dalam
menjalankan agama dalam negara.
(7) Segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus sesuai
dengan nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa terutama norma-norma hukum
positif maupun norma moral baik moral negara maupun moral para
penyelenggara negara.
(8) Negara pada hakikatnya adalah merupakan “…berkat rakhmat Allah yang
Maha Esa. (Bandingkan dengan Notonagoro, 19 75).
Bangsa dan Negara Indonesia adalah terdiri atas berbagai macam unsut yang
membentuknya yaitu suku bangsa,kepulauan,kebudayaan,golongan sertaagama
yang secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan.Oleh karena itu Negara
Indonesia adalah Negara yang berdasarkan pancasila sebagai suatu Negara
persatuan sebagaimana termuat dalam pembukaanUUD 1945, Negara Persatuan
Republik Indonesia yang Berkedaulatan Rakyat ditegaskan kembali dalam pokok
Pikiran Pertama “……. Bahwa Negara Indonesia adalah Negara persatuan yang
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.”
Hakikat Negara persatuan dalam pengertian ini adalah Negara yang merupakan
suatu kesatuan dari unsure-unsur yang membentuknya,yaitu rakyat yang terdiri atas
berbagai macam etnis suku bangsa,golongan, kebudayaan,serta
agama.Wilayah,yang terdiri atas beribu-ribu pulau yang sekaligus juga memiliki sifat
dan karakter .Oleh karena itu Negara persatuan adalah merupakan satu Negara,
satu rakyat, satu wilayah dan tidak berbagi-bagi misalnya seperti Negara serikat,
satu pemerintahan, satu tertib hukum yaitu tertib hukum nasional, satu bahasa serta
satu bangsa Indonesia.
Pengertian ’persatuan Indonesia’ lebih lanjut di jelaskan secara resmi dalam UUD
1945 yang termuat dalam berita Republik Indonesia Tahun II No 7,bahwa bangsa
Indonesia mendirikan Negara Indonesia di pergunakan aliran pengertian ‘Negara
Persatuan’yaitu Negara yang mengatasi segala paham golongan dan paham
perseorangan.Jadi ‘Negara Persatuan ’bukanlah Negara yang berdasarkan
individualism sebagaimana diterapkan di Negara liberal dimana Negara hanya
merupakan suatu ikatan idividu saja.Demikian Negara persatuan bukanlah Negara
yang berdasarkan klass, atau ‘klass staat’(Negara kelas)yang hanya berdasarkan
satu golongan saja.negara persatuan pada hakikatnya adalah Negara yang
mengatasi segala golongan,Negara melindungi seluruh warganya yang terdiri atas
berbagai macam golongan serta paham.Negara persatuan pada hakikatnya
mendasarkan pada hakikat sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk
social.Oleh karena itu negarapersatuan adalah Negara yang memiliki sifat persatuan
bersama,Negara yang berdasarkan kekeluargaan,tolong-menolong atas dasar
keadilan social.
Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia didunia adalah sebagai
makhluk Tuhan yang Maha Esa yang memiliki sifat kodrat sebagai makhluk individu
yang memiliki kebebasan dan juga sebagai makhluk sosial yang senantiasa
membutuhkan orang lain. Oleh karena itu dalam upaya untuk merealisasikan harkat
dan martabatnya secara sempurna maka manusia membentuk suatu persekutuan
hidup dalam suatu wilayah tertentu serta memiliki suatu tujuan tertentu. Dalam
pengertian inilah maka manusia membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut
sebagai bangsa, dan bangsa yang hidup dalam suatu wilayah tertentu serta memiliki
tujuan tertentu maka pengertian ini disebut sebagai Negara.
b. Hakikat bangsa.
Manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa pada hakikatnya memiliki sifat
kodrat sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu Bangsa pada
hakikatnya adalah merupakan suatu penjelmaan dari sifat kodrat manusia tersebut
dalam merealisasikan harkat dan martabat kemanusiaannya. Hal ini disadari bahwa
manusia tidaklah mungkin untuk menyendiri sehingga ia senantiasa memerlukan
orang lain. Suatu bangsa bukanlah merupakan suatu manifestasi kepentingan
individu saja yang diikat secara inperatif dengan suatu peraturan perundang-
undangan sebagaimana dilakukan oleh Negara Liberal. Demikian juga suatu bangsa
bukanlah suatu totalitas kelompok masyarakat yang menenggelamkan hak-hak
individu sebagaimana terjadi pada bangsa sosialis komunistis.
Manusia membentuk suatu bangsa karena untuk memenuhi hak kodratnya yaitu
sebagai individu dan makhluk sosial, Oleh karena itu deklarasi bangsa Indonesia
tidak mendasarkan pada deklarasi kemerdekaan individu sebagaimana Negara
Liberal. Demikian pula deklarasi bangsa Indonesia bukanlah merupakan suatu
manifesto bangsa komunal sebagaimana dilakukan oleh kalangan paham sosialis
komunis.
62
Oleh karena itu deklarasi bangsa Indonesia sebagai suatu pernyataan hak kodrat
manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Maka dalam pembukaan
UUD 1945 dinyatakan bahwa “….kemerdekaan adalah hak segala bangsa
…”pernyataan tersebut merupakan suatu pernyataan universal hak kodrat manusia
sebagai bangsa,manusia dalam merealisasikan sifat kodratnya sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial.
Negara menurut filsafat Pancasila adalah dari oleh dan untuk rakyat. Hakikat rakyat
adalah sekelompok manusia yang bersatu yang memiliki tujuan tertentu dan hidup
dalam suatu wilayah negara. Oleh karena itu negara harus sesuai dengan hakikat
rakyat. Rakyat adalah sebagai pendukung pokok dan sebagai asal mula kekuasaan
negara.
Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang berkeadilan sosial yang berada
bahwa negara sebagai penjelmaan manusia sebagai Makhluk Tuhan yang Maha
Esa, sifat kodrat individu dan makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan suatu
63
keadilan dalam hidup bersama (Keadilan Sosial). Keadilan sosial tersebut didasari
dan dijiwai oleh hakikat keadilan manusia sebagai makhluk yang beradab (sila II).
Manusia pada hakikatnya adalah adil dan beradab, yang berarti manusia harus adil
terhadap diri sendiri, adil terhadap Tuhannya, adil terhadap orang lain dan
masyarakat, serta adil terhadap lingkungan alamnya.
Dalam hidup bersama baik dalam masyarakat bangsa, dan negara harus terwujud
suatu keadilan (Keadilan Sosial), yang meliputi tiga hal yaitu: (1) keadilan distributif
(keadilan membagi), yaitu negara terhadap warganya, (2) keadilan legal (keadilan
bertaat), yaitu warga terhadap negaranya agar mentaati peraturan perundangan,
dan (3) keadilan komulatif (keadilan antar sesama warga negara), yaitu hubungan
keadilan antara warga satu dengan,lain secara timbal balik (Notonagoro, 1975).
Sebagai suatu negara berkeadilan sosial maka negara Indonesia yang berdasarkan
Pancasila sebagai suatu negara kebangsaan, bertujuan untuk melindungi segenap
warganya dan seluruh tumpah darah memajukan kesejahteraan umum, serta
mencerdaskan warganya (tujuan khusus). Adapun tujuan dalam pergaulan antar
bangsa di masyarakat internasional bertujuan : ”........ikut menciptakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdakaan perdamaian abadi dan keadilan sosial).
Dalam pengertian ini maka negara Indonesia sebagai negara kebangsaan adalah
berdasar keadilan sosial dalam melindungi dan mensejahterakan warganya,
demikian pula dalam Pergaulan masyarakat internasional berprinsip dasar pada
kemerdekaan serta keadilan dalam hidup masyarakat.
Realisasi dan perlindungan keadilan dalam hidup bersama dalam suatu negara
kebangsaan, mengharuskan negara untuk menciptakan suatu peraturan perundang-
undangan. Dalam pengertian inilah maka negara kebangsaan yang berkeadilan
sosial harus merupakan suatu negara yang berdasarkan atas hukum. Sehingga
sebagai suatu negara hukum harus terpenuhi adanya tiap syarat pokok yaitu: (1)
pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia. (2) peradilan yang bebas,
dan (3) legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Konsekuensinya sebagai suatu negara hukum yang berkeadilan sosial maka negara
Indonesia. harus mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia yang tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, Pasal 29
ayat (2), Pasal 31 ayat (1). Demikianlah sebagai suatu negara yang berkeadilan
maka negara berkewajiban melindungi hak-hak asasi warganya, sebaliknya warga
negara berkewajiban mentaati peraturan perundang-undangan sebagai manifestasi
keadilan legal dalam hidup bersama. Dalam realisasinya Pembangunan Nasional
adalah merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan negara, sehingga
Pembangunan Nasional harus senantiasa meletakkan asas keadilan, sebagai dasar
operasional serta dalam penentuan berbagai macam kebijaksanaan dalam
pemerintahan negara.
D. Ideologi Liberal
Pada akhir abad ke-18 di Eropa terutama di Inggris, terjadilah suatu revolusi di
bidang ilmu pengetahuan kemudian berkembang ke arah revolusi teknologi dan
industri. Perubahan tersebut membawa perubahan orientasi kehidupan masyarakat
baik di bidang sosial, ekonomi maupun politik. Paham liberalisme berkembang dari
akar-akar rasionalisme yaitu paham yang meletakkan rasio sebagai sumber
kebenaran tertinggi, materialisme yang meletakkan materi sebagai sumber
64
kebenaran tertinggi, empirisme yang mendasarkan atas kebenaran fakta empiris
(yang dapat ditangkap dengan indra manusia), serta individualisme yang meletakkan
nilai dan kebebasan individu sebagai nilai tertingggi dalam kehidupan masyarakat
dan negara.
Berpangkal dari dasar ontologis bahwa manusia pada hakikatnya adalah sebagai
makhluk individu yang bebas. Menurut paham liberalisme memandang bahwa
manusia sebagai makhluk pribadi yang utuh dan lengkap dan terlepas dari manusia
lainnya. Manusia sebagai individu memiliki potensi dan senantiasa berjuang untuk
dirinya sendiri. Dalam pengertian inilah maka dalam hidup masyarakat bersama
akan menyimpan potensi konflik, manusia akan menjadi ancaman bagi manusia
lainnya yang menurut istilah Hobbes disebut "homo homini lupus" sehingga manusia
harus membuat suatu perlindungan bersama. Atas dasar kepentingan inilah maka
kemudian manusia membentuk negara bersama-sama dengan orang lain dan untuk
itu maka diperlukan suatu peraturan hukum demi kepentingan bersama. Negara
menurut liberalisme harus tetap menjamin kebebasan individu dan untuk itu maka
manusia secara bersama-sama mengatur negara.
Atas dasar ontologis hakikat manusia tersebut maka dalam kehidupan masyarakat
bersama yang disebut negara kebebasan individu sebagai basis demokrasi bahkan
hal ini merupakan unsur yang fundamental. Dasar-dasar demokrasi inilah yang
merupakan referensi model demokrasi di berbagai negara pada awal abad ke-19
(Poespowardoyo, 1989). Namun demikian dalam kapasitas manusia sebagai rakyat
dalam negara maka sering terjadi perbedaan persepsi. Liberalisme tetap pada suatu
prinsip bahwa rakyat adalah merupakan ikatan dari individu-individu yang bebas,
dan ikatan hukumlah yang mendasari kehidupan bersama dalam negara.
Pemahaman atas eksistensi rakyat dalam suatu negara inilah yang merupakan
sumber perbedaan konsep, antara lain terdapat konsep yang menekankan bahwa
rakyat adalah sebagai suatu kesatuan integral dari elemen-elemen yang menyusun
negara bahkan komunisme menekankan bahwa rakyat adalah merupakan suatu
totalitas di atas eksistensi individu.
65
E. Hubungan Negara dengan Agama Menurut Paham Liberalisme
66
Dalam masyarakat terdapat kelas-kelas yang saling berinteraksi secara dialektis,
yaitu kelas kapitalis dan kelas proletar buruh. Walaupun kedua hal tersebut
bertentangan namun saling membutuhkan. KeIas kapitalis senantiasa melakukan
penindasan atas kelas buruh oleh karena itu harus dilenyapkan. Hal ini dapat
dilakukan hanya dengen melalui suatu revolusi. Hal inilah yang merupakan konsep
kaum komunis untuk melakukan suatu perubahan terhadap struktur masyarakat.
Untuk merubah suatu supra struktur masyarakat harus dilakukan dengan mengubah
secara revolusi infrastruktur masyarakat. Menurut komunisine ideologi hanya
diperuntukkan bagi masyarakat secora keseluruhan. Etika ideologi komunisme
adalah mendasarkan suatu kebaikan hanya pada kepentingan demi keuntungan
kelasnya dan oleh karena itu segala cara dapat dihalalkan.
Dalam kaitannya dengan negara bahwa negara adalah sebagai manifestasi dari
manusia sebagai makhluk komunal. Mengubah masyarakat secara revolusioner
harus berakhir dengan kemenangan pada pihak kelas proletar. Sehingga pada
gilirannya pemerintahan negara harus dipegang oleh orang- orang yang meletakkan
kepentingannya pada kelas proletar. Oleh karena itu pemerintahan negara adalah
sebagai alat kelas proletar. Demikian juga hak asasi dalam negara hanya berpusat
pada hak kolektif. sehingga hak individual pada hakikatnya adalah tidak ada. Atas
dasar pengertian inilah maka sebenarnya komunisme adalah anti demokrasi dan
hak asasi manusia.
Dalam pengertian ini maka komunisme berpaham atheis, karena manusia ditentukan
oleh dirinva sendiri. Agama menurut komunisme adalah suatu kesadaran diri bagi
manusia ketika ia belum menemukan dirinya. Manusia adalah dunia manusia yang
kemudian menghasilkan masyarakat negara. Agama menurut komunisme adalah
realisasi fantastis makhluk manusia, agama adalah keluhan makhluk tertindas, oleh
karena itu menurut komunisme Marxis, agama adalah merupakan candu masyarakat
(Marx, dalam. Louis Leahy, 1992 :97,98).
Negara yang berpaham komunisme adalah bersifat atheis bahkan bersifat antitheis,
malarang dan menekan kehidupan agama. Nilai yang tertinggi dalam negara adalah
materi, karena manusia sendiri pada hakikatnya adalah materi.
67
Aspek
IDEOLOGI
Liberalisme Komunisme Sosialisme Pancasila
68
BAB VII
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
A. Pengertian Filsafat
Secara etimologis istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani “Philein” yang artinya
cinta dan "sophos " yang artinya hikmah atau kebijaksanaan atau wisdom (Nasution.
1973). Jadi secara harfiah istilah “filsafat" mengandung makna cinta kebijaksanaan.
Dan nampaknya hal ini sesuai dengan sejarah timbulnya ilmu pengetahuan yang
sebelumnya dibawah naungan filsafat. Namun demikian jikalau kita membahas
pengertian filsafat dalam hubungannya dengan lingkup bahasannya maka
mencakup banyak bidang bahasan antara lain tentang manusia dan alam,
pengetahuan etika, logika, dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan maka muncul pula filsafat yang berkaitan dengan bidang-bidang ilmu
tertentu antara lain filsafat politik, social, hukum, bahasa, ilmu pengetahuan, agama,
dan bidang-bidang ilmu lainnya.
2. Filsafat sebagai suatu proses. yang dalam hal ini filsafat diartikan dalam bentuk
suatu aktivitas berfilsafat dalam proses pemecahan suatu pemasalahan dengan
menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objeknya.
Dalam pengertian ini filsafat merupakan suatu sistem pengetahuan yang yang
bersifat dinamis. Filsafat dalam pengertian ini tidak lagi hanya merupakan suatu
69
kumpulan dogma yang hanya diyakini ditekuni dan dipahami sebagai suatu nilai
tertentu tetapi lebih merupakan suatu aktivitas berfilsafat, suatu proses yang
dinamis dengan menggunakan suatu metode tersendiri.
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu sistem
filsafat. Pengertian sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling
berhubungan, saling bekerja sama untuk suatu tujuan tertentu dan secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Sistem lazimnya memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
Suatu kesatuan bagian-bagiannya
Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri
Saling berhubungan dan saling ketergantungan
Keseluruhanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (tujuan
sistem)
Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore dan Voich 1974)
Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila pancasila setiap sila pada
hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri namun secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang sistematis.
a. Sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa adalah meliputi dan menjiwai sila-sila
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Sila kedua : kemanusiaan Yang adil dan beradab adalah diliputi dan dijiwai oleh
sila Ketuhanan Yang Maha Esa, meliputi dan menjiwai sila persaman Indonesia,
kerakyatan vang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, serta keadilan sosial bagi seturuh rakyat Indonesia.
c. Sila ketiga . Persatuan Indonesia adalah diliputi dan dijiwai sila Ketuhanan vang
Maha Esa, Kemanusiaan Yang adil dan beradab, meliputi dan menjiwai sila
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
d. Sila keempat: Kerakyatan Yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ketuhanan
70
Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, serta
meliputi dan menjiwai sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
e. Sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah diliputi dan
dijiwai oleh sila-sila Ke Tuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakiIan serta keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Arti isi sila-sila Pancasila pada hakikatnya dapat dibedakan atas hakikat Pancasila
sebagai pedoman pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara yaitu sebagai dasar
negara yang bersifat umum dan kolektif, serta realisasi pengalaman Pancasila
bersifat khusus dan kongkrit. Hakikat Pancasila adalah merupakan nilai, adapun
sebagai pedoman negara adalah merupakan realisasi kongkrit Pancasila. Substansi
Pancasila dengan kelima sila-nya yang terdapat pada ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, keadilan, merupakan suatu sietem nilai. Prinsip dasar yang
mengandung kualitas tertentu itu merupakan cita-cita dan harapan atau hal yang
akan dicapai oleh bangsa Indonesia yang akan diwujudkan menjadi kenyataan
kongkrit dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Namun
disamping itu prinsip-prinsip dasar tersebut juga sebenarnya diangkat dari
kenyataan riil. Prinsip-prinsip dasar tersebut telah menjelma dalam tertib social,
tertib masyarakat, dan tertib kehidupan bangsa indonesia yang dapat ditemukan
dalam adat-istiadat, kebudayaan serta kehidupan keagamaan bangsa Indonesia.
Yang Demikian itu sesuai dengan isi yang terkandung dalam Pancasila, dan secara
ontologis mengandung tiga pokok dalam kehidupan manusia yaitu bagaimana
seharusnya manusia itu terhadap Tuhan yang Maha Esa , terhadap dirinva sendiri
serta terhadap manusia lain dan masyarakat, sehingga dengan demikian maka
dalam Pancasila itu terkandung implikasi moral yang terkandung dalam substansi
Pancasila dan merupakan suatu nilai.
Nilai-nilai yang terkandung dalam sila 1 s/d 5 merupakan cita-cita harapan dan
dambaan bangsa Indonesia yang akan diwujudkannya dalam kehidupannya. Sejak
dahulu cita-cita tersebut telah didambakan oleh bangsa Indonesian agar teerwujuud
dalam suatu masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja,
dengan penuh harapan diupayakan terealisasi dalam sikap tingkah laku dan
perbuatan setiap manusia Indonesia.
Bangsa Indonesia dalam hal ini merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila. Hal ini
dapat dipahami berdasarkan pengertian bahwa yang berketuhanan, yang
berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan yang berkeadilan
pada hakikatnya adalah manusia. Sebagai pendukung Pancasila, maka bangsa
Indonesia itulah yang menghargai, mengakui, menerima Pancasila sebagai suatu
dasar-dasar nilai. Pangakuan, penghargaan,dan penerimaan itu telah menggejala
serta termanifestasi dalam sikap tingkah laku dan perbuatan manusia dan bangsa
Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengemban nilai-
nilai Pancasila.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan dalam hal
kuantitas maupun kualitasnya, namun nilai-nilai itu merupakan suatu kesatuan saling
berhubungan serta saling melengkapi. Hal ini sebagaimana kita pahami bahwa sila-
sila Pancasila itu pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang bulat dan utuh
71
atau merupakan suatu kesatuan organik bertingkat dan berbentuk piramidal. Nilai-
nilai itu berhubungan secara erat dan nilai-nilai yang satu tidak dapat dipisahkan dari
yang lainnya, sehingga nilai-nilai itu masing-masing merupakan bagian yang integral
dari suatu sistem nilai yang dimiliki bangsa Indonesia, yang akan memberikan pola
atau patroon bagi sikap tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia. Pancasila
merupakan suatu sistem nilai dapat dilacak dari sita-sila Pancasila yang merupakan
suatu sistem. Sila-sila itu merupakan suatu kesatuan organik. Antara sila satu dan
lainnya dalam Pancasila itu saling berkaitan dan berhubungan secara erat. Adanya
sila yang satu berkait dengan sila lainnya. Dalam pengertian yang demikian ini pada
hakikatnya Pancasila itu merupakan suatu sistem nilai dalam artian, bahwa bagian-
bagian atau sila-silanya saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu
struktur yang menyeluruh.
Nilai - nilai yang terkandung dalam Pancasila termasuk nilai kerokhanian yang
tertinggi adapun nilai-nilai tersebut berturut-turut nilai ketuhanan adalah termasuk
nilai yang tertinggi karena nilai ketuhanan adalah bersifat mutlak. Berikutnya sila
kemanusiaan adalah sebagai pengkhususan nilai ketuhanan karena manusia adalah
makhluk Tuhan yang Maha Esa sedangkan manusia adalah sebagai makhluk
Tuhan. Nilai ketuhanan dan nilai kemanusiaan dilihat dari tingkatannya adalah lebih
tinggi dari pada nilai-nilai kenegaraan yang terkandung dalam ketiga sila lainnya
yaitu sila persatuan, sila kerakyatan dan sila keadilan, karena ketiga nilai tersebut
berkaitan dengan kehidupan kenegaraan, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam
pokok pikiran keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa….”negara
adalah berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa berdasarkan kemanusiaan
Yang adil dan beradab". Adapun nilai-nilai kenegaraan yang terkandung dalam
ketiga sila tersebut berturut-turut memiliki tingkatan sebagai berikut : nilai persatuan
dipandang dari tingkatannya adalah memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari pada
nilai kerakyatan dan nilai keadilan social, karena persatuan adalah merupakan
syarat mutlak adanya rakyat dan terwujudnya keadilan. Berikutnya nilai kerakyatan
didasari nilai Ketuhanan, kemanusiaan dan nilai persatuan lebih tinggi dan
mendasari nilai keadilan sosial karena kerakyatan adalah sebagai sarana
terwujudnya suatu keadilan sosial, barulah kemudian nilai keadilan sosial adalah
sebagai tujuan dari keempat sila lainnya.
Suatu hal yang perlu diperhatikan yaitu meskipun nilai-nilai yang terkandung dalam
sila-sila Pancasila berbeda-beda dan memiliki tingkatan serta luas yang berbeda-
beda pula namun keseluruhan nilai tersebut merupakan suatu kesatuan dan tidak
saling bertentangan. Perlu diperhatikan dalam realisasinya baik dalam kehidupan
sehari-hari dalam masyarakat, bangsa, dan Negara, terutama dalam penjabarannya
dibidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia tingkatan nilai-nilai tersebut harus
ditaati, sebab bilamana tidak demikian maka akan bertentangan dengan hakikat
landasan sila-sila Pancasila. Misalnya dalam realisasi kenegaraan terutama dalam
suatu peraturan perundang-undangan maka nilai-nilai ketuhanan adalah yang
tertinggi dan bersifat mutlak, maka itu hukum positif di Indonesia yang berdasarkan
Pancasila ini tidak dapat bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan.
72
BAB VIII
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
A. Pengantar
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai
sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hokum,
norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam filsafat Pancasila
terkandung di dalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar,
rasional, sistematis dan komperhensif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini
merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran filsaf itu tidak secara
langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu
tindakan atau aspek praksis melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar .
Dalam kapasitas inilah maka nilai-nilai Pancasila telah dijabarkan dalam suatu
norma-norma moralitas atau norma-norma etika sehingga Pancasila merupakan
sistem etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) Norma hukum
yaitu suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu tempat
dan waktu tertentu dalam pengertian ini peraturan hukum yang dimaksud adalah
peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka
Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum di negara
Indonesia. Sebagai sumber dari segala sumber hukum nilai-nilai Pancasila yang
sejak dahulu telah merupakan suatu pandangan hidup merupakan suatu filsafat
hidup, dan merupakan suatu cita-cita moral yang luhur, yang terwujud dalam
kehidupan sehari-hari bangsa Indoenesia sebelum membentuk negara. Atas dasar
pengertian inilah maka nilai-nilai Pancasila sebenarnya berasal dari bangsa
Indonesia sendiri atau dengan lain perkataan bangsa Indonesia sebagai asal (kausa
materialis) nilai-nilai Pancasila.
Jadi sila-slia Pancasila pada hakikatnva bukanlah merupakan suatu pedoman yang
langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-
nilai etika yang merupakan sumber norma baik meliputi norma moral maupun norma
hukum yang pada gilirannya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma- norma etika,
moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.
B. Pengertian Etika
Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi beberapa cabang menurut
lingkungan bahasannya masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua
kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Kelompok pertama
mempertanyakan segala sesuatu yang ada sedangkan kelompok kedua membahas
bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Jadi filsafat teoritis
mempertanyakan dan berusaha mencari jawabannya tentang segala sesuatu.
73
misalnya hakikat manusia, alam, hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan, tentang
pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui, tentang yang transenden dan lain
sebagainya. Dalam hal ini filsafat teoritis pun juga mempunyai maksud-maksud dan
berkaitan erat dengan hal-hal yang bersifat praktis, karena pemahaman yang dicari
menggerakkan kehidupannya.
Etika termasuk Kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu
ettika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah
suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu
ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang
bertanggungawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno,1987). Etika
umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku baik setiap tindakan manusia,
sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi
etika individual yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika
sosial yang membahas kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup
masyarakat. yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya
membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai susila dan
tidak susila, baik dan buruk. Sebagai bahasan khusus, etika membicarakan sifat-
sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini
dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat
yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak
susila. Sebenarnya etika lebih hanyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar
pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Dapat
juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan
dengan tingkah laku manusia.
1. Pengertian Nilai
74
“tersembunyi” di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Adanya nilai itu karena adanya
kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai (wertrager).
2. Hierarkhi Nilai
Terdapat berbagai macam pandangan tentang nilai dan hal ini sangat tergantung
pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang
pengertian serta hierarkhi nilai. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa
nilai yang tertinggi adalah nilai material, kalangan hedonis berpandangan bahwa
nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Pada hakikatnya segala sesuatu itu
bernilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut
dengan manusia. Banyak usaha untuk menggolong-golongkan nilai tersebut dan
penggolongan tersebut amat beranekaragam, tergantung pada sudut pandang
dalam rangka penggolongan itu.
Max Scheler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama luhurnya dan
sama tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya ada yang lebih tinggi dan ada yang
lebih rendah dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya, nilai-
nilai dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan sebagai berikut :
a. Nilai-nilai kenikmatan : dalam tingkat ini terdapat deretan nilai-nilai yang
mengenakkan dan tidak mengenakkan (die Wertreihe des Angenehmen und
Unangehmen), yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
b. Nilai-nilai kehidupan : dalam tingkat ini terdapat deretan nilai-nilai yang penting
bagi kehidupan (Werte des vitalen Fuhlens) misalnya kesehatan, kesegaran
jasmani, kesejahteraan umum.
c. Nilai-nilai kejiwaan : dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte)
yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan.
Nilai-nilai semacam ini ialah keindahan, kebenaran,dan pengetahuan murni yang
dicapai dalam filsafat.
75
d. Nilai-nilai kerohanian dalam tingkat ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci
dan tak suci (wermodalitat des Heiligen und Unheiligen). Nilai-nilai semacam ini
terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.
Masih hanyak lagi cara pengelompokan nilai misalnya seperti yang dilakukan N.
Rescher, yaitu pembagian nilai berdasarkan pembawa nilai (trager), hakekat
keuntungan yang diperoleh, dan hubungan antara pendukung nilai dan keuntungan
yang diperoleh. Begitu pula dengan pengelompokan nilai menjadi nilai intrinsik dan
ekstrinsik : nilai objektif dan nilai subyekti,. nilai positif dan nilai negatif (disvalue) dan
sebagainya.
Dari uraian mengenai macam-macam nilai di atas, dapat dikemukakan pula bahwa
yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang berujud material saja, akan
tetapi juga sesuatu yang berwujud non-material atau immaterial. Bahkan sesuatu
yang immaterial itu dapat mengandung nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi
manusia. Nilai-nilai material relatif lebih mudah diukur, yaitu dengan menggunakan
alat indra maupun alat pengukur seperti berat, panjang, luas dan sebagainya.
Sedangkan nilai kerohanian/spiritual lebih sulit mengukurnya. Dalam menilai hal-hal
kerohaniani spiritual, yang menjadi alat ukurnya adalah hati nurani manusia yang
dibantu oleh alat indra, cipta, rasa, karsa dan keyakinan manusia.
76
Notonagoro berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerohanian,
tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital.
Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerohanian itu juga
mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, nilai
vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau nilai estetis, nilai kebaikan atau nilai
moral, maupun nilai kesucian yang sistematik hirarkhis, yang dimulai dari sila
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan (Darmodiharjo, 1978).
Selain nilai-nilai yang dikemukan oleh para tokoh aksiologi tersebut menyangkut
tentang wujud dan macamnya, nilai-nilai tersebut juga berkaitan dengan tingkatan-
tingkatannya. Hal ini kita lihat secara objektif karena nilai-nilai tersebut menyangkut
segala aspek kehidupan manusia. Ada sekelompok lainnya yang memiliki
kedudukan atau hierarkhi yang lebih tinggi di bandingkan dengan nilai-nilai lainnya,
ada yang lebih rendah bahkan ada tingkatan nilai yang bersifat mutlak. Namun
demikian hal ini sangat tergantung pada filsafat dari masyarakat atau bangsa
sebagai subjek pendukung nilai-nilai tersebut. Misalnya bagi bangsa Indonesia nilai
religius merupakan suatu nilai yang tertinggi dan mutlak, artinya nilai religius
tersebut hierarkhinya di atas segala nilai yang ada dan tidak dapat diklasifikasi
berdasarkan akal manusia karena pada tingkatan tertentu nilai tersebut bersifat di
atas dan di luar kemampuan jangkauan akal pikir manusia. Namun demikian bagi
bangsa yang menganut paham sekuler nilai yang tertinggi adalah pada akal pikiran
manusia, sehingga nilai ketuhananpun di bawah otoritas akal manusia.
1. Nilai Dasar
Walaupun nilai memiliki sifat abstrak artinya tidak dapat diamati melalui indra
manusia, namun dalam realisasinya nilai berkaitan dengan tingkah laku atau segala
aspek kehidupan manusia yang bersifat nyata (praksis). Namun demikian setiap nilai
memiliki nilai dasar (dalam bahasa ilmiahnya disebut dasar ontologis), yaitu
merupakan hakikat, essensi, intisari atau makna yang terdalam dari nilai-nilai
tersebut. Nilai dasar ini bersifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan
objektif segala sesuatu, misalnya hakikat Tuhan, manusia atau segala sesuatu
lainnya. Jikalau nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan maka nitai-nilai
tersebut bersifat mutlak karena hakikat Tuhan adalah kausa prima (sebab pertama),
sehingga segala sesuatu diciptakan (berasal) dari Tuhan. Demikian juga jikalau nilai
dasar itu berkaitan dengan hakikat manusia maka nilai-nilai tersebut harus
bersumberkan pada hakikat manusia, sehinggga jikalau nilai-nilai dasar
kemanusiaan itu dijabarkan dalam norma hukum maka diistilahkan sebagai hak
dasar (hak asasi). Demikian pula hakikat nilai dasar itu dapat juga berlandaskan
pada hakikat sesuatu benda, kuantitas, kualitas, aksi, relasi, ruang maupun waktu.
Demikianlah sehingga nilai dasar dapat juga disebut sebagai sumber norma yang
pada gilirannya dijabarkan atau direalisasikan dalam suatu kehidupan yang bersifat
praksis. Konsekuensinya walaupun dalam aspek praksis dapat berbeda-beda
namun secara sistematis tidak dapat bertentangan dengan nilai dasar yang
merupakan sumber penjabaran norma serta realisasi praksis tersebut.
77
2. Nilai Instrumental
Untuk dapat direalisasikan dalam suatu kehidupan praksis maka nilai dasar tersebut
di atas harus memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai
instrumental inilah yang merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat
diarahkan. Bilamana nilai instrumental tersebut berkaitan dengan tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari, maka hal itu akan merupakan suatu norma
moral, namun jikalau nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi
ataupun negara maka nilai-nilai instrumental itu merupakan suatu arahan,
kebijaksanaan atau strategi yang bersumber pada nilai dasar. Sehingga, dapat juga
dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar.
3. Nilai Praksis
Nilai praksis pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai
instrumental dalam kehidupan yang nyata, sehingga nilai praksis ini merupakn
perwujudan dari nilai dasar, dan nilai Instrumental. Realisasi dari nilai praksis yang
bersumber dari nilai dasar, dan nilai instrumental itu juga dapat dimungkinkan
berbeda-beda wujudnya, namun demikian tidak bisa menyimpang atau bahkan tidak
dapat bertentangan. Artinya oleh karena nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai
praksis itu merupakan suatu sistem perwujudannya tidak boleh menyimpang dari
nilai tersebut.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa nilai adalah kualitas dari sesuatu yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan
manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan
bertingkah laku baik disadari maupun tidak.
Nilai berbeda dengan fakta, fakta dapat diobservasi melalui suatu verifikasi empiris,
sedangkan nilai bersifat abstrak yang banya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti
dan dihayati oleh manusia. Nilai berkaitan juga dengan harapan, cita-cita, keinginan
dan segala sesuatu pertimbangan internal (batiniah) manusia. Nilai dengan demikian
tidak bersifat kongkrit yaitu tidak dapat ditangkap dengan indra manusia, dan nilai
dapat bersifat subjektif maupun objektif. Bersifat subjektif manakala nilai tersebut
diberikan oleh subjek (dalam hal ini manusia sebagai pendukung pokok nilai), dan
bersifat objektif jikalau nilai tersebut telah melekat pada sesuatu yang terlepas dari
penilaian manusia.
Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku
manusia, maka perlu lebih dikongkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih
objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku
secara kongkrit. Wujud yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan
suatu norma. Terdapat berbagai macam norma dan dari berbagai macam norma
tersebut maka norma hukumlah yang paling kuat keberlakuannya, karena dapat
dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal misalnya penguasa atau penegak
hukum.
Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah
moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian
seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang
78
terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah
lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai
penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Hubungan antara moral dengan etika memang sangat erat sekali dan kadangkala
kedua hal tersebut disamakan begitu saja. Namum sebenarnya kedua hal tersebut
memiliki perbedaan. Moral yaitu merupakan suatu ajaran -ajaran ataupun wejangan-
wejangan, patokan-patokan kumpulan peraturan, baik lisan maupun tertulis tentang
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.
Sedangkan etika adalah suatu cabang filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral tersebut
(Krammer, 1988 dalam Darmodihardjo 1996). Atau juga sebagaimana dikemukan
oleh De Vos (1987). bahwa etika dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang
kesusilaan. Adapun yang dimaksud dengan kesusilaan adalah identik dengan
pengertian moral. sehingga etika pada hakikatnya adalah sebagai ilmu pengetahuan
yang membahas tentang prinsip-prinsip moralitas.
Etika tidak berwenang menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh
seseorang. Wewenang ini dipandang berada di tangan pihak pihak yang
memberikan ajaran moral. Hal inilah yang menjadi kekurangan dari etika jikalau
dibandingkan dengan ajaran moral. Sekalipun demikian dalam etika seseorang
dapat mengerti mengapa dan atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-
norma tertentu. Hal yang terakhir inilah yang merupakan kelebihan etika jikalau
dibandingka dengan moral.
Hal ini dapat dianalogikan bahwa ajaran moral sebagai buku petunjuk tentang
bagaimana kita memperlakukan sebuah mobil dengan baik. sedangkan etika
memberikan pengertian pada kita tentang struktur dan teknologi mobil itu sendiri.
Demikianlah hubungan yang sistematik antara nilai norma dan moral yang pada
gilirannya ketiga aspek tersebut terwujud dalam suatu tingkah laku praksis dalam
kehidupan manusia.
F. Pancasila sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa Dan Negara Republik
Indonesia
1. Dasar Filosofis
79
Dasar pemikiran filosofis dari sila-sila Pancasila dan sebagai dasar filsafat negara
mengandung makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kemanusiaan
kemasyarakatan serta kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan
bertolak dari suatu pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu persekutuan
hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan manusia. Sehingga dapat pula
diistilahkan bahwa negara adalah organisasi kemasyarakatan dalam hidup manusia
dengan sosial atau masyarakat hukum. Adapun negara yang didirikan oleh manusia
itu berdasarkan pada kodrat bahwa manusia sebagai warga dari negara sebagai
persekutuan hidup dan mempunyai kedudukan sesuai dengan kodratnya sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa (hakikat sila pertama). Negara yang merupakan
persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa pada
hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan harkat dan martabat manusia sebagai
makhuk yang berbudaya atau makhluk yang beradab (hakikat sila kedua). Untuk
terwujudnya suatu negara sebagai organisasi hidup manusia maka harus
membentuk, persatuan ikatan hidup bersama sebagai suatu bangsa (hakikat sila
ketiga). Terwujudnya persatuan dalam suatu negara akan melahirkan rakyat sebagai
suatu bangsa yang hidup dalam suatu wilayah negara tertentu, sehingga dalam
hidup kenegaraan itu haruslah mendasarkan pada nilai bahwa rakyat merupakan
asal-mula kekuasaan Negara, maka merupakan suatu keharusan bahwa negara
harus bersifat demokratis yang berkaitan dengan hak serta kekuasan negara. Maka
merupakan suatu keharusan bahwa negara harus dijamin baik sebagai individu
maupun secara bersama (hakikat Sila keempat). Untuk mewujudkan tujuan negara
sebagai tujuan bersama dari seluruh warga negaranya maka dalam hidup
kenegaraan harus mewujudkan jaminan perlindungan bagi seluruh warganya,
sehingga untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dijamin berdasarkan
suatu prinsip keadilan yang timbul dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial) dan
ini adalah (hakikat sila kelima). NiIai-nilai inilah yang merupakan suatu nilai dasar
bagi kehidupan kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan.
Selain itu secara kausalitas bahwa nilai-nilai Pancasila adalah bersifat objektif dan
juga subjektif . Artinya essensi nilai-nilai Pancasila adalah bersifat universal yaitu
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Sehingga
dimungkinkan dapat diterapkan pada negara lain walaupun barangkali namanya
bukan Pancasila. Artinya jikalau suatu negara menggunakan prinsip filosofi bahwa
negara Ber KeTuhanan, Berperikemanusiaan, Berpersatuan, Berkerakyatan, dan
Berkeadilan, maka negara tersebut pada hakikatnya menggunakan dasar filsafat
dari nilai-nilai sila-sila Pancasila.
Hal itu dapat disimpulkan bahwa keempat pokok pikiran tersebut tidak lain
merupakan perwujudan dari sila-sila Pancasila. Pokok pikiran ini sebagai dasar
fundamental dalam pendirian negara yang realisasi berikutnya perlu diwujudkan atau
dijelmakan lebih lanjut dalam pasal-pasal UUD 1945. Dengan perkataan lain bahwa
dalam penjabaran sila-sila Pancasila ke dalam peraturan perundang-undangan
bukanlah secara langsung dari sila-sila Pancasila, melainkan melalui pembukaan
UUD 1945 yaitu pada Empat Pokok Pikiran dan barulah kemudian dijelmakan dalam
pasal-pasal UUD 1945, dan lebih lanjut dijabarkan dalam berbagai macam peraturan
perundang-undangan serta hukum positif di bawahnya.
82
tersebut juga harus mendasari moral dalam kaitannya dengan politik luar negeri
Indonesia.
Oleh karena itu bagi bangsa Indonesia dalam era reformasi dewasa ini seharusnya
rendah hati untuk mawas diri bahwa dalam upaya untuk memperbaiki kondisi dan
nasib bangsa ini hendaklah didasarkan pada moralitas yang terutama dalam pokok
Pikiran keempat tersebut yaitu moral Ketuhanan dan kemanusiaan.
Sebagai suatu dasar filsafat negara maka sila-sila Pancasila merupakan suatu
sistem nilai oleh karena itu sila-sila Pancasila itu pada hakikatnya merupakan suatu
kesatuan. Meskipun dalam setiap sila terkandung nilai-nilai yang memiliki perbedaan
antara satu dengan lainnya namun kesemuanya itu tidak lain merupakan suatu
kesatuan yang sistematis. Oleh karena itu meskipun dalam uraian berikut ini
menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila namun kesemuanya itu
tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan sila-sila lainnya. Adapun nilai-nilai
yang terkandung dalam setiap sila adalah sebagai berikut:
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila
lainnya. Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung nilai bahwa negara yang
didirikan adalah sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebgai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan
dan penyelenggaraan negara bahkan moral Negara, moral penyelengara Negara,
politik Negara, pemerintah negara, hukum dan peraturan perundang-undangan
negara, kebebasan dan hak asasi warga negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Demikianlah kiranya nilai-nilai etik yang terkandung dalam sila Ketuhanan Yang
Maha Esa yang dengan sendirinya sila pertama tersebut mendasari dan menjiwai
keempat sila lainnya.
83
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab secara sistematis didasari dan dijiwai oleh
sila Ketuhanan Yang Esa, serta mendasari dan menjiwai ketiga sila berikutnya. Sila
kemanusiaan sebagai dasar fundamental dalam kehidupan negara, kenegaraan,
kebangsaan dan kemasyarakatan. Nilai kemanusiaan ini bersumber pada dasar
filosofis antropologis yang menyatakan bahwa hakikat manusia adalah susunan
kodrat rokhani (jiwa) dan raga (fisik), sifat kodrat individu dan makhluk sosial,
kedudukan kodrat makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa.
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung suatu makna bahwa hakikat
manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil. Hal ini
mengandung suatu pengertian bahwa hakikat manusia harus adil dalam
hubungannya dengan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil terhadap
masyarakat bangsa dan Negara, serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Konsekuensinva nilai yang terkandung dalam Kemanusiaan vang adil dan beradab
adalah menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menghargai atas
kesamaan hak dan derajat tanpa membedakan suku, ras, keturunan, status sosial
maupun agama, mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia,
tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap sesama manusia, meqjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, dan berani membela keadilan dan kebenaran atas dasar
kemanusiaan (Darmodihardjo. 1996). Selanjutnya nilai-nilai tersebut harus
dijabarkan dalam segala aspek kehidupan negara termasuk juga dalam GBHN
sebagai realisasi pembangunan nasional.
3. Persatuan Indonesia
Nilai yang terkandung dalam sila Persatuan Indonesia tidak dapat dipisahkan
dengan keempat sila lainnya karena seluruh sila merupakan suatu kesatuan yang
84
bersifat sistematis. Sila Persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dan Kemnausinan yang adil dan beradab serta mendasari dan
menjiwai sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dalam sila Persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai
penjelamaan sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial. Negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama di
antara elemen-elemen yang membentuk Negara, yang berupa suku, ras, kelompok,
golongan maupun kelompok agama. Oleh karena itu perbedaan adalah merupakan
bawaan kodrat manusia dan juga merupakan ciri khas elemen-elemen yang
membentuk negara. Konsekuensinya negara adalah beraneka ragam tetapi satu,
mengikatkan diri dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam suatu selogan
Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan bukannya untuk diruncingkan menjadi konflik dan
permusuhan melainkan diarahkan pada suatu sintesa yang saling menguntungkan
yaitu persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama.
Negara mengatasi segala paham golongagan, etnis, suku, ras, individu dan
golongan agama. Mengatasi dalam arti menjadi wahana atas tercapainya harkat dan
martabat seluruh warganya. Negara memberikan kebebasan atas individu,
golongan, suku, ras, maupun golongan agama untuk merealisasikan seluruh
potensinya dalam kehidupan bersama yang bersifat integral. Oleh karena itu tujuan
negara dirumuskan untuk melindungi segenap warganya dan seluruh tumpah
darahnya, memajukan kesejahteraan umum (kesejahteraan seluruh warganya)
mencerdaskan kehidupan warganya serta dalam kaitannya dengan pergaulan
dengan bangsa-bangsa lain di dunia untuk mewujudkan suatu ketertiban dunia yang
berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Nilai yang terkandung dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan didasari oleh Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab serta persatuan Indonesia,
dan mendasari serta menjiwai sila Keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.
Nilai filosofis yang terkandung di dalamnya adalah bahwa hakikatnya negara adalah
sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhIuk sosial.
Hakikat rakyat adalah merupakan sekelompok manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa yang bersatu dan bertujuan mewujudkan harkat dan martabat
manusia dalam suatu wilayah negara. Rakyat adalah merupakan subjek
pendukung, pokok negara. Negara adalah dari, oleh dan untuk rakyat, oleh karena
itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Sehingga dalam sila
kerakyatan terkandung nilai demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan
dalam hidup negara. Maka nilai-niali demokrasi yang terkandung dalam sila kedua
adalah (I) Adanya kebebasan yang harus disertai dengan tanggung jawab baik
terhadap masyarakat dan maupun secara moral terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. (3) Menjamin dan
memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama. (4) Mengakui atas
perbededaan individu, kelompok ras, suku, agama, karena perbedaan adalah
merupakan suatu bawaan kodrat manusia. (5) Mengakui adanya persamaan hak
yang melekat pada setiap individu, kelompok, ras, suku maupun Agama. (6)
Mengarahkan perbedaan dalam suatu kerja sama kemanusian yang beradab. (7)
85
Menjunjung tinggi asas musyawarah sebagai moral kemanusiaan yang beradab. (8)
Mewujudkan dan mendasarkan suatu keadilan dalam kehidupan sosial agar
tercapainya tujuan bersama.
Demikianlah nilai-nilai yang terkandung dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijiksanaan dalam permusyawaratan perwakilan Selanjutnya nilai-nilai
tersebut dijelmakan dalam kehidupan bersama yaitu kehidupan kenegaraan baik
menyangkut aspek moralitas kenegaraan, aspek politik, maupun aspek hukum dan
perundang-undangan.
Nilai yang terkandung dalam sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, serta Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dalam sila kelima tersebut
terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan negara sebagai tujuan dalam hidup
bersama. Maka di dalam sila kelima tersebut terkandung nilai keadilan yang harus
terwujud dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial). Keadilan tersebut didasari
dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan
manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan
masyarakat, bangsa dan negaranya serta hubungan manusia dengan Tuhannya.
Konsekuensinya nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam hidup bersama
adalah meliputi (1) keadilan disitributif yaitu suatu hubungan keadilan antara negara
terhadap warganya, dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan
dalam bentuk keadilan membagi kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan
dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban. (2) Keadilan legal
yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap Negara, dan dalam
masalah ini pihak warga negara yang wajib memenuhi keadilan yaitu dalam bentuk
mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Negara. (3) Keadilan
komutatif yaitu suatu huhungan keadilan antara warga satu dengan lainnya secara
timbal balik.
Nilai-nilai Keadilan tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan
dalam hidup bersama kenegaran yaitu untuk mewujudkan tujuan negara dengan
mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya serta melindungi seluruh warganya
dan seluruh wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya. Demikian pula nilai-ilai
keadilan tersebut dijadikan sebagai dasar dalam pergaulan antar negara sesama
bangsa di dunia, dengan prinsip ingin menciptakan ketertiban hidup bersama dalam
suatu peraulan anar bangsa di dunia, dengan berdasarkan suatu prinsip
kemerdekaan bagi setiap bangsa, perdamaian abadi serta keadilan dalam hidup
bersama (keadilan sosial).
86
BAB IX
PANCASILA SEBAGAI
DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU
Anadaikan para ilmuwan dalam pengembangan ilmu konsisten akan janji awalnya, yaitu
untuk mencerdsaskan manusia, memartabatkan manusia dan mensejahterakan
manusia, maka pengembangan ilmu yang didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuannya
sendiri tak perlu menimbulkan ketegangan-ketegangan antara ilmu (teknologi) dan
masyarakat.
Fakta yang kita saksikan saat ini ilmu-ilmu empiris mendapatkan tempatnya yang sentral
dalam kehidupan manusia karena dengan teknologi modern yang dikembangkannya
dapat memenuhi kebutuhan praktis hidup manusia. Ilmu-ilmu empiris tersebut tumbuh
dan berkembang dengan cepat melebihi ritme pertumbuhan dan perkembangan
peradaban manusia. Ironisnya tidak diimbangi dengan kesiapan mentalitas sebagian
masyarakat, khususnya di Indonesia.
Teknologi telah merabah berbagai bidang kehidupan manusia secara ekstensif dan
mempengaruhi sendi-sendi kehidupan manusia secara intensif, termasuk merubah pola
pikir dan budaya manusia, bahkan nyaris menggoyahkan eksistensi kodrati manusia
(Iriyanto, 2005). Misalnya, anak-anak sekarang dengan alat-alat permainan yang serba
teknologis seperti playstation, mereka sudah dapat terpenuhi hasrat hakikat kodrat
sosialnya hanya dengan memainkan alat permainan tersebut secara sendirian. Mereka
tidak sadar dengan kehidupan yang termanipulasi teknologi menjadi manusia
individualis.
87
Ilmu-ilmu empiris memfokuskan diri pada gejala-gejala alam dan sosial secara
mendalam, tetapi bersifat spesifik (parsial). Dalam sejarah pengetahuan manusia,
pengetahuan ilmiah bersifat komulatif dan berkembang terus menerus. Dalam dunia
ilmiah dikenal tiga kelompok besar ilmu, yaitu ilmu-ilmu alam (natural sciences),
ilmu-ilmu sosial (social sciences), dan ilmu-ilmu kemanusiaan/humaniora (the
humanities). Dari tiga cabang besar ini dibagi lagi menjadi disiplin ilmu masing-
masing yang mempunyai cirri/karakteristik dan metodologi tersendiri untuk
menemukan dan mengungkapkan pengetahuan baik yang menyangkut tentang
alam, manusia, dan juga Tuhan.
Ilmu filsafat adalah pengetahuan yang bersifat radikal (mandasar) dan umum
menyangkut masalah-masalah hakiki tentang manusia, alam dan Tuhan. Ilmu
agama adalah pengetahuan manusia yang didasarkan pada sumber utama berupa
kitab suci dengan landasan keyakinan iman. Teknologi adalah pengetahuan
manusia yang awalnya ditujukan untuk mempermudah manusia dalam
memanfaatkan hasil-hasil alam, mengolah dan juga mengeksploitasi alam. Seni
adalah pengetahuan dan ekspresi rasa keindahan manusia sebagai makhluk estetis.
Ada beberapa kriteria tentang kebenaran yang sejak dulu dijadikan acuan para
ilmuwan dalam mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan manusia merupakan
proses panjang yang dimulai dari purwa-madya-wasana (awal-proses-akhir). Akhir
proses pengetahuan manusia diungkapkan melalui pernyataan-pernyataan yang
benar. Dari kriteria ini diperoleh empat macam teori kebenaran:
1. Teori kebenaran koherensi
2. Teori kebenaran korespondensi
3. Teori kebenaran pragmatisme
4. Teori kebenaran konsensus
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa pernyataan yang terkandung di dalamnya
bersifat koheren dan logis, karena tidak ada pernyataan yang saling bertentangan
satu sama lain.
Contoh kebenaran koherensi Pancasila: Pancasila merupakan dasar negara RI.
Oleh karena itu segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
bersumber dari Pancasila dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Ibaratnya seperti air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan.
Contoh kebenaran pragmatis dalam Pancasila dapat dilihat dari fungsi nyata
Pancasila sebagai pemersatu bangsa dari keanekaragaman etnis, agama, budaya,
bahasa daerah yang ada di Indonesia. Tanpa adanya Pancasila sebagai pemersatu
bangsa, maka yang akan terjadi adalah disintegrasi bangsa.
1). Berobjek
Syarat pertama bagi suatu kajian ilmiah adalah berobjek. Objek dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu objek material dan objek formal. Objek material atau
sasaran kajian adalah bahan yang dikaji dalam pencarian kebenaran ilmiah. Objek
formal adalah pandang pendekatan (perspektif) atau titik tolak dalam mendekati
objek material.
Objek material dalam membahas Pancasila sebagai kajian ilmiah dapat bersifat
empiris maupun non-empiris. Objek material tersebut adalah pernyataan-
pernyataan, pemikiran, ide/konsep, kenyataan sosio-kultural yang terwujud dalam
hukum, teks sejarah, adat-istiadat, sistem nilai, karakter, kepribadian manusia /
masyarakat Indonesia sejak dahulu sampai sekarang. Objek material ini dapat
terwujud di dalam pemikiran para tokoh pendiri negara maupun tokoh-tokoh ilmuwan
dan politisi, negarawan Indonesia. Juga dapat ditelusuri dari berbagai peninggalan
sejarah, dalam teks-teks sejarah dan simbol-simbol yang menjadi ciri khas bangsa
Indonesia. Di samping itu kajian ilmiah juga dapat dilakukan terhadap berbagai
aktivitas dan perilaku manusia Indonesia sekarang ini dari berbagai bidang, seperti
politik, hukum, ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Objek formal dalam membahas
Pancasila dapat dilakukan dari perspektif ilmu-ilmu seperti hukum (yuridis), politik,
sejarah, filsafat, sosiologi dan antropologi maupun ekonomi. Pada hakikatnya
Pancasila dibahas dari berbagai macam sudut pandang, sudut pandang hukum dan
kenegaraan, maka terdapat pembahasan tentang Pancasila Yuridis Kenegaraan,
sudut pandang sejarah akan memperoleh pembahasan tentang Sejarah Pancasila
Melalui objek formal ini akan diperoleh berbagai macam pengetahuan tentang
Pancasila yang bersifat deskriptif, kausalitas, normatif dan esensial. Obyek forma
atau sudut pandang apa Pancasila itu dibahas, yang pada hakekatnya Pancasila
dapat dibahas dalam berbagai sudut pandang, yaitu dari sudut pandang “moral”
maka terdapat bidang pembahasan “moral Pancasila” , dari sudut pandang
“ekonomi” maka terdapat bidang pembahasan “ekonomi Pancasila”, dari sudut
pandang filsafat, maka terdapat bidang pembahasan Filsafat Pancasila dan
sebagainya.
91
berkaitan dengan kajian proses kasualitas terjadinya Pancasila yang meliputi empat
kausa, yaitu: causa materialis, causa formalis, causa effisiens dan causa finalis.
Causa materialis Pancasila adalah sebab bahan yang menjadikan Pancasila itu ada,
yaitu sistem nilai dan budaya masyarakat Indonesia. Causa formalis adalah sebab
bentuk yang menjadikan Pancasila ada yaitu rumusan Pancasila yang berurutan
mulai dari sila pertama sampai dengan sila kelima sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945. Causa effisiens adalah sebab karya atau proses kerja
sehingga Pancasila itu ada, yaitu proses sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Causa
finalis adalah sebab tujuan diadakannya Pancasila, yaitu sebagai dasar negara R.I.
Pertanyaan “Apa” akan menghasilkan jawaban yang bersifat esensial, yaitu suatu
pengetahuan yang terdalam, pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu. Hal ini
terutama dikaji dalam bidang filsafat. Oleh karena itu kajian Pancasila secara
essensial pada hakikatnya untuk mendapatkan suatu pengetahuan tentang intisari
atau makna yang terdalam dari sila-sila Pancasila atau secara ilmiah filosofis untuk
mengkaji hakikat sila-sila Pancasila.
2). Bermetode
Setiap ilmu harus memiliki metode, yaitu seperangkat cara atau sistem pendekatan
dalam rangka pembahasan objek materialnya untuk mendapatkan kebenaran yang
objektif. Metode ilmiah ada berbagai macam tergantung pada objek yang diselidiki
atau dikaji. Misalnya, metode dalam sosiologi ada berupa survey, tetapi ada pula
yang bersifat grounded research (penelitian kualitatif di lapangan). Metode dalam
ilmu ekonomi lebih bersifat aplikasi dari matematika. Metode dalam ilmu hukum
antara lain adalah interpretasi. Demikian pula halnya dengan Pancasila, jika
Pancasila dibahas dari sudut sejarah maka metode yang dipakai adalah metode ilmu
sejarah, di antaranya kritik naskah dan interpretasi (hermeneutik). Selain itu untuk
mengkaji Pancasila secara filosofis dapat digunakan metode analisis-sintesis.
Metode analisis-sintesis adalah menguraikan dan memerinci pernyataan-pernyataan
sehingga jelas makna yang terkandung di dalamnya untuk kemudian disimpulkan
(sintesis) menjadi suatu pengetahuan yang baru. Metode induksi dan deduksi juga
merupakan metode berpikir yang sering digunakan dalam pengetahuan ilmiah yang
dapat digunakan untuk mengkaji Pancasila. Contoh penggunaan metode analisisi-
sintesis untuk mencari kebenaran Pancasila, yaitu: sila Ketuhanan Yang Maha Esa
diperinci menjadi bagian yang lebih kecil, sehingga diperoleh rincian kata-kata:
ketuhanan, yang, maha, esa. Kata Ketuhanan dapat diperinci menjadi: ke – tuhan –
an. Kemudian dicari makna yang terdalam dari masing-masing kata tersebut.
Selanjutnya makna masing-masing kata digabungkan menjadi satu pengertian yang
92
lebih komprehensif (utuh menyeluruh) yang dapat digunakan sebagai pedoman
dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Metode induksi adalah metode berpikir yang dimulai dari hal-hal yang bersifat
khusus, kejadian atau peristiwa khusus dan kejadian berulang-ulang untuk kemudian
ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Penerapan metode induksi dalam Pancasila
dapat dicontohkan sebagai berikut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dirumuskan oleh
para pendiri negara sebagai pernyataan umum. Sila ini diperoleh dari hasil berpikir
induksi setelah melihat dan menyimpulkan dari peristiwa dan kebiasaan sebagian
besar masyarakat Indonesia di berbagai daerah di tanah air yang menunjukkan
adanya keyakinan agama, tempat-tempat ibadah dan orang-orang yang beribadah
sebagai wujud kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh para pendiri
negara fenomena dan peristiwa di masyarakat tersebut disimpulkan secara umum
dalam bentuk generalisasi bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
berketuhanan Yang Maha Esa.
Metode deduksi adalah metode berpikir yang bertitik tolak dari hal-hal yang bersifat
umum atau pernyataan umum untuk ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Contoh
penerapan metode deduksi dalam mengkaji Pancasila adalah dalam silogisme
sebagai berikut.
Pernyataan umum : Semua bangsa di dunia berhak merdeka
Pernyataan khusus : Indonesia adalah sebuah bangsa
Kesimpulan : Indonesia berhak untuk merdeka
Pernyataan tersebut merupakan alinea-alinea dari Pembukaan Undang-undang
1945. Pernyataan umum merupakan alinea pertama, pernyataan khusus merupakan
alinea kedua, dan kesimpulan merupakan alinea ketiga.
3. Bersistem
Pengetahuan ilmiah seharusnya merupakan suatu kesatuan yang bulat dan utuh.
Bagian-bagiannya harus saling berhubungan dan ketergantungan (interelasi dan
interdependensi). Pemahaman Pancasila secara ilmiah harus merupakan satu
kesatuan dan keutuhan, bahkan Pancasila itu sendiri pada dasarnya juga
merupakan suatu kebulatan yang sisitematis, logis dan tidak ada pertentangan di
dalam sila-silanya (Kaelan, 1998). Syarat bersistem yang dipenuhi oleh Pancasila
menunjukkan bahwa Pancasila merupakan hasil pemikiran para pendahulu negara
yang dirumuskan dengan kecermatan yang tinggi dan bersifat logis. Sila-sila
93
Pancasila tersusun secara logis sehingga membentuk suatu pemikiran yang
sistematis. Notonagoro mengatakan bahwa sila-sila Pancasila tersusun secara
hierarkis piramidal dan bersifat majemuk-tunggal. Hierarkis piramidal maksudnya
sila-sila Pancasila ditempatkan sesuai dengan luas cakupan dan keberlakuan
pengertian yang terkandung di dalam sila-silanya. Sila pertama diletakkan pada
urutan pertama, karena pengertian ketuhanan maknanya sangat luas, terutama
menunjuk pada eksistensi Tuhan sebagai Pencipta, asal usul segala sesuatu atau
dalam istilah Aristoteles disebut sebagai Causa Prima (Penyebab Pertama).
Kemanusiaan ditempatkan pada urutan kedua, karena pengertian manusia itu
sangat luas tetapi jika dibandingkan dengan konsep ketuhanan sudah lebih sempit
cakupannya. Manusia hanyalah sebagian dari ciptaan Tuhan, di samping makhluk
lain yang ada di alam semesta. Inti sila ketiga adalah persatuan, yang cakupan
pengertiannya lebih sempit dari sila pertama dan kedua, karena persatuan
menunjukkan adanya kelompok-kelompok manusia sebagai makhluk sosial atau
zoon politicon. Kelompok ini dapat realitasnya membentuk satuan ras, etnis, bangsa
dan negara. Jadi, adanya kelompok mensyaratkan adanya manusia yang
merupakan ciptaan Tuhan.
Sila keempat berintikan kerakyatan, artinya dalam sebuah kelompok manusia yang
bersatu (bangsa yang menegara) memerlukan sebuah sistem pengelolaan hidup
bersama dengan adanya kedaulatan. Tata kelola negara modern sekarang ini
umumnya menggunakan prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi). Demokrasi
merupakan salah satu cara dari berbagai macam model pemerintahan yang ada
sekarang. Demokrasi yang dikembangkan di Indonesia adalah demokrasi yang
mendahulukan musyawarah untuk mencapai mufakat berdasarkan pada hikmah
kebijaksanaan, walaupun tidak menutup diri terhadap pengambilan suara terbanyak
(voting) dalam membuat keputusan-keputusan.
Sila kelima berintikan keadilan, merupakan sila yang paling khusus cakupan
pengertiannya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan
bersatu membentuk bangsa dan negara dengan sistem demokrasi mempunyai
tujuan bersama yaitu untuk mencapai keadilan keadilan. Dengan demikian sila
kelima ini merupakan realisasi dari eksistensi manusia yang hidup berkelompok
dalam sebuah negara.
Gambaran seperti ini oleh Notonagoro disebut sebagai hierarkis piramidal
sebagaimana tampak dalam gambar berikut ini:
4. Universal
94
Disamping Pancasila memiliki nilai-nilai dasar yang berlaku universal, Pancasila juga
memiliki nilai-nilai yang berlaku hanya untuk rakyat Indonesia yang berwujud
Undang-undang Dasar 1945.
1. Bentuk Pancasila
2. Susunan Pancasila
Pancasila sebagai suatu sistem nilai disusun berdasarkan urutan logis keberadaan
unsur-unsurnya. Oleh karena itu :
a. Sila Pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) ditempatkan pada urutan yang paling
atas, karena bangsa Indonesia meyakini segala sesuatu itu berasal dari Tuhan
dan akan kembali kepadaNya. Tuhan dalam bahasa filsafat disebut dengan
Causa Prima, yaitu Sebab Pertama, artinya sebab yang tidak disebabkan oleh
segala sesuatu yang disebut oleh berbagai agama dengan “Nama” masing-
masing agama.
b. Sila Kedua (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab) ditempatkan setelah
ketuhanan, karena yang akan mencapai tujuan atau nilai yang didambakan
adalah manusia sebagai pendukung dan pengemban nilai-nilai tersebut. Manusia
yang bersifat monodualis, yaitu yang mempunyai susunan kodrat yang terdiri dari
jasmani dan rohani. Makhluk jasmani yang unsur-unsur: benda mati, tumbuhan,
hewan. Rohani yang terdiri dari unsur-unsur: akal, rasa, karsa. Sifat kodrat
manusia, yaitu sebagai makhluk individu, dan makhluk sosial. Kedudukan kodrat,
yaitu sebagai makhluk otonom, dan makhluk Tuhan. Setelah prinsip kemanusiaan
dijadikan landasan, maka untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan manusia-
manusia itu perlu untuk bersatu membentuk masyarakat (negara), sehingga perlu
adanya persatuan (sila ketiga).
c. Sila Ketiga (Persatuan Indonesia) erat kaitannya dengan nasionalisme. Rumusan
sila ketiga tidak mempergunakan awalan ke dan akhiran an, tetapi awalan per
dan akhiran an. Hal ini dimaksudkan ada dimensi yang bersifat dinamik dari sila
ini. Persatuan atau nasionalisme Indonesia terbentuk bukan atas dasar
persamaan suku bangsa, agama, bahasa, tetapi dilatarbelakangi oleh historis dan
95
etis. Historis artinya karena persamaan sejarah, senasib sepenanggungan akibat
penjajahan. Etis, artinya berdasarkan kehendak luhur untuk mencapai cita-cita
moral sebagai bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Oleh
karena itu persatuan Indonesia, bukan sesuatu yang terbentuk sekali dan berlaku
untuk selama-lamanya. Persatuan Indonesia merupakan sesuatu yang selalu
harus diwujudkan, diperjuangkan, dipertahankan, dan diupayakan secara terus-
menerus. Semangat persatuan atau nasionalisme Indonesia harus selalu
dipompa, sehingga semakin hari semakin kuat.
d. Sila Keempat (Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan), merupakan cara-cara yang harus ditempuh ketika
suatu negara ingin mengambil kebijakan. Kekuasaan negara diperoleh bukan
karena warisan, tetapi berasal dari rakyat. Jadi rakyatlah yang berdaulat.
e. Sila Kelima (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia) ditempatkan pada
sila terakhir, karena sila ini merupakan tujuan dari negara Indonesia yang
merdeka.
Oleh karena itu masing-masing sila-sila mempunyai makna dan peran sendiri-
sendiri. Semua sila berada dalam keseimbangan dan berperan dengan bobot yang
sama. Akan tetapi karena masing-masing unsur mempunyai hubungan yang
organis, maka sila yang di atas menjiwai sila yang berada di bawahnya. Misalnya,
sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai dan meliputi sila ke dua, ke tiga, ke empat,
ke lima. Sila ke dua dijiwai sila pertama, menjiwai sila ke tiga, ke empat, dan ke lima.
Demikian seterusnya untuk sila ke tiga, ke empat, dan ke lima.
Susunan sila-sila pancasila merupakan kesatuan yang organis, satu sama lain
membentuk suatu sistem yang disebut dengan istilah majemuk tunggal
(Notonagoro). Majemuk tunggal artinya Pancasila terdiri dari 5 sila tetapi merupakan
satu kesatuan yang berdiri sendiri secara utuh. Selanjutnya, Notonagoro
berpendapat bahwa bentuk dan susunan Pancasila seperti tersebut di atas adalah
hierarkis-piramidal. Hierarkhis berarti tingkat, sedangkan piramidal dipergunakan
untuk menggambar-kan hubungan bertingkat dari sila-sila Pancasila dalam urutan
luas cakupan (teba berlakunya pengertian) dan juga isi pengertian. Hukum logika
yang mendasari pemikiran ini adalah bahwa antara luas cakupan pengertian (teba
berlakunya pengertian) dan isi pengertian berbanding terbalik. Hal ini berarti, bahwa
jika isi pengertiannya sedikit, maka teba berlakunya pengertian itu sangat luas.
Misalnya, kata meja mempunyai isi pengertian yang sedikit, sehingga teba
berlakunya pengertian meja sangat luas, yaitu meliputi berbagai macam meja,
kualitas meja, bentuk meja, dll. Akan tetapi jika kata meja ditambah dengan isi
pengertian, yaitu dengan kata tamu, maka teba berlakunya pengertian itu semakin
sempit, karena di luar meja tamu tidak tercakup dalam pengertian itu.
Jika dilihat dari esensi urutan ke lima sila Pancasila, maka sesungguhnya
menunjukkan rangkaian tingkat dalam luas cakupan pengertian (teba berlakunya
pengertian) dan isi pengertiannya. Artinya, sila yang mendahului lebih luas cakupan
pengertiannya (teba berlakunya pengertian) dengan isi pengertian yang sedikit, dari
sila sesudahnya atau sila yang berada di belakang merupakan pengkhususan atau
bentuk penjelmaan dari sila-sila yang mendahuluinya.
Pancasila sebagai satu kesatuan sistem nilai, juga membawa implikasi bahwa
antara sila yang satu dengan sila yang lain saling mengkualifikasi. Hal ini berarti
bahwa antara sila yang satu dengan yang lain, saling memberi kualitas, memberi
bobot isi. Misalnya Ketuhanan Maha Esa adalah Ketuhanan yang Maha Esa yang
96
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian juga untuk sila kedua,
kemanusiaan yang adil dan beradab, yang berketuhanan yang maha esa,
berpersatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, dan ini berlaku seterusnya untuk sila-sila yang lain.
Kajian ilmiah tentang Pancasila sejak disyahkan tanggal 18 Agustus 1945 sampai
saat ini mengalami pasang surut. Notonagoro, Driyarkara merupakan tokoh-
tokoh/ilmuwan yang mengawali pengkajian Pancasila secara ilmiah populer dan
filosofis. Pemikiran Notonagoro tentang Pancasila menghasilkan suatu telaah yang
sangat bermakna bagi perkembangan Pancasila sebagai dasar negara.
Walaupun demikian, masih terbuka bahan dialog dan kajian kritis terhadap
Pancasila sehingga diperoleh interpretasi baru untuk memperoleh makna terdalam
dari sila-sila Pancasila. Artinya, Pancasila sebagai dasar falsafah negara tidak boleh
menjadi ideologi yang beku sehingga seluruh komponen bangsa, terutama
mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa dan intelektual muda dapat
memberikan ide-ide baru dan kreatif untuk merevitalisasi Pancasila dalam realitas
kehidupan berbangsa di era global.
Di era global dengan ciri dunia tanpa batas, dunia datar (dunia maya) secara
langsung maupun tidak langsung banyak ideologi asing yang gencar menerpa
masyarakat Indonesia. Hal ini terkadang tidak disadari oleh masyarakat kita, bahkan
mereka banyak yang menganggap bahwa nilai-nilai dan ideologi asing justru
menjadi pandangan hidupnya seperti materialisme, hedonisme, konsumerisme.
Materialisme dalam hal ini diartikan sebagai sikap hidup yang mengagungkan materi
atau benda-benda. Ukuran keberhasilan atau kesuksesan seseorang dipandang dari
sudut materi yang dimiliki (uang, harta benda/kekayaan) sehingga sering
mengabaikan etos kerja dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian lama
kelamaan orang menjadi kurang menghargai orang lain dari sisi spiritualitasnya
(seseorang dihargai karena kekayaan materi, bukan kekayaan batin yang dimiliki).
Hedonisme adalah suatu paham dan sikap hidup yang mengejar kenikmatan dan
kesenangan duniawi dengan orientasi pada pemuasan kebutuhan hidup secara fisik,
seperti senang menikmati makanan mahal/berkelas, gaya hidup metropolit dengan
dunia gemerlap di mana seks bebas, merokok, narkoba, minum alkohol menjadi
bagian yang sering tak dapat dipisahkan.
Dengan adanya gejala tersebut di atas semakin diperlukan sebuah kajian kritis
terhadap Pancasila sebagai sumber nilai bagi kehidupan masyarakat Indonesia.
Diharapkan masyarakat kita semakin kritis dalam menentukan pilihan-pilihan
pandangan hidup, sikap dan gaya hidupnya yang selaras dengan nilai-nilai
97
Pancasila sebagai bagian dari budaya bangsa. Dengan demikian, masyarakat
Indonesia memiliki prinsip-prinsip hidup yang kokoh, orientasi hidup yang jelas
dalam bersikap dan berperilaku sehingga tidak terombang-ambing mengikuti arus
global.
BAB X
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM
BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA
A. Latar Belakang
Paradigma dapat diartikan sebagai keutuhan konseptual yang sarat akan muatan
ajaran,teori,dalil,bahkan juga pandangan hidup,untuk dijadikan dasar dan arah
pengembangan segala hal. Dalam istilah ilmiah,paradigma kemudian berkembang
dalam berbagai bidang kehidupan manusia dan ilmu pengetahuan lain, misalnya
politik, hukum, ekonomi, budaya, serta bidang-bidang lainnya.
Masalah yang paling dasar dalam wacana kita sekarang ini adalah mempertanyakan
– dan menjawab – sudahkah Pancasila merupakan sebuah paradigma yang mapu
menerangkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia
pada umumnya, dan kehidupan sosial politik pada khususnya? Bukankah kritik yang
paling sering kita dengar adalah bahwa nilainilai yang dikandung Pancasila itu baik,
hanya terasa bahwa sila-silanya bagaikan terlepas satu sama lain dan
penerapannya dalam kenyataan yang masih belum sesuai dengan kandungan
normanya. Jika kritik itu benar, bukankah hal itu berarti bahwa Pancasila masih
belum merupakan suatu paradigma, atau jika sudah pernah menjadi paradigma, ia
tidak mampu lagi menerangkan kenyataan politik di Indonesia dewasa ini.
B. Pengertian Paradigma
98
Paradigma dapat diartikan sebagai keutuhan konseptual yang sarat dengan muatan
ajaran,teori,dalil,bahkan juga pandangan hidup untuk dijadikan dasar dan arah
pengembangan segala hal. Dalam istilah ilmiah, paradigma kemudian berkembang
dalam berbagai bidang kehidupan manusia dan ilmu pengetahuan lain, misalnya
politik, hukum, ekonomi, budaya, serta bidang-bidang lainnya. Istilah paradigma
kemudian berkembang menjadi terminology yang mengandung konotasi pengertian
sumber nilai, pola pikir, orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan dari
suatu perkembangan, perubahan serta proses pembangunan.
IPTEK yang kita letakkan di atas Pancasila sebagai paradigmanya, perlu kita pahami
dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologi, epistemologis, dan
aksiologinya.
1) Ontologis : Hakikat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan aktivitas
manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya untuk mencari dan
99
menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan harus dipandang
secara utuh, dalam dalam dimensinya sebagai masyarakat, sebagai proses dan
sebagai produk. Sebagai masyarakat menunjukkan banyaknya academic
community yang dalam hidup kesehariannya para warganya mempunyai concern
untuk terus menerus menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sebagai
proses menggambarkan suatu aktivitas warga masyarakat ilmiah yang melalui
abstraksi, spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, konparasi, dan
eksplorasi mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk
adalah hasil yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya-karya ilmiah
beserta impilikasinya yang berwujud fisik ataupun non fisik.
2) Epistemologi : Bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
dijadikan “metode berfikir”, dalam arti menjadikan dasar dan arah di dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, parameter kebenaran serta
pemanfaatan hasil-hasil yang dicapainya ialah nilai-nilai yag terkandung dalam
Pancasila itu sendiri.
3) Aksiologi : Bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut di atas,
kemanfaatan dan efek pengembangan IPTEK secara negatif tidak bertentangan
dengan ideal Pancasila dan secara positif mendukung untuk mewujudkan nilai-
nilai ideal Pancasila.
Pembangunan nasional dirinci di berbagai bidang antara lain politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan yang penjabarannya tertuang pada GBHN.
Pembangunan yang sifatnya humanistis dan pragmatis harus mendasarkan pada
hakikat manusia dan harkat manusia sebagai pelaksana sekaligus tujuan
pembangunan, sebagai pengembangan Poleksosbudhankam, maka pembangunan
pada hakikatnya membangun manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya,
secara lengkap, meliputi seluruh unsur hakikat manusia yang monopluralis.
101
c. Pancasila sebagai paradigma pembaharuan hukum dan pengembangan hak
asasi manusia.
Runtuhnya Orde Baru tanggal 21 Mei 1998 ditandai dengan rusaknya bidang
hukum. Produk hukum baik materi maupun penegakannya semakin jauh dari nilai-
nilai kemanutsiaan,kerakyatan,dan keadilan. Padahal Pancasila merupakan cita-cita
hukum, kerangka berfikir, sumber nilai dan sumber arah penyusunan dan perubahan
hukum positif di Indonesia, sehingga fungsi Pancasila sebagai paradigma hukum
atau berbagai pembaharuan hukum di Indonesia. Produk hukum dapat berubah dan
diubah sesuai perkembangan jaman, perkembangan IPTEK dan perkembangan
aspirasi rakyat, namun sumber nilai (nilai-nilai Pancasila) harus tetap tidak berubah.
Pancasila harus tetap menjadi sumber norma, sumber nilai dan kerangkan berfikir
dalam pembaharuan hukum, agar hukum dapat aktual atau sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
Sebagai paradigma pembaharuan hukum, maka Pancasila adalah cita-cita hukum
yang berkedudukan sebagai staf undamentalnorm di dalam negara Indonesia.
Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-nilai religius, nilai hukum kodrat, nilai
hukum moral, pada hakekatnya merupakan sumber material hukum positif
Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan
perundang-undangan Indonesia yang tersusun secara hierarkis. (Kaelan,2001)
Pancasila sebagai paradigma pembaharuan hukum merupakan sumber norma dan
sumber nilai, bersifat dinamik nyata ada dalam masyarakat, baik menyangkut
aspirasinya, kemajuan peradabannya, maupun kemajuan IPTEK.
Lebih lanjut UU tersebut menegaskan, demi tegaknya hak asasi manusia, maka
semua bentuk pelanggaran HAM yang dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok
orang atau penguasa negara dan aparat negara baik yang disengaja maupun tidak
disengaja harus dihindari.
102
d. Pancasila sebagai paradigma reformasi
Inti reformasi adalah memelihara segala yang sudah baik dari kinerja bangsa dan
negara dimasa lampau, mengoreksi segala kekurangannya,sambil merintis
pembaharuan untuk menjawab tantangan masa depan. Pelaksanaan kehidupan
berbangsa dan bernegara masa lalu memerlukan identifikasi, mana yang masih
perlu pertahankan dan mana yang harus diperbaiki. Hal ini mutlak diperlukan dalam
upaya pemantapan kebijaksanaan nasional untuk menyongsong dan mencapai
masa depan bangsa yang aman dan sejahtera.
Pancasila yang merupakan lima aksioma yang disarikan dari kehidupan masyarakat
Indonesia jelas akan mantap jika diwadahi dalam sistem politik yang demokratis,
yang dengan sendirinya menghormati kemajemukan masyarakat Indonesia.
Pemilihan umum, salah satu sarana demokrasi yang penting, baru dipandang bebas
apabila dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Salah satu sumber materi perumusan Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun
sebagai Pandangan hidup bangsa dan negara RI adalah sejarah perjuangan dan
perkembangannya di masa lalu. Khusus yang berkenaan dengan nilai-nilai
103
kehidupan bersama dalam masyarakat, pada masa kejayaan kerajaan Majapahit
warga masyarakat penganut agama Hindu dan agama Budha hidup berdampingan
dengan damai. Kedamaian tersebut, salah satu acuannya adalah sesuai dalam
buku Sutasoma oleh Empu Tantular (1365) yaitu ”Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana
Dharma Mangrua” yang artinya walaupun berbeda, satu jua adanya, sebab tidak
ada agama yang mempunyai tujuan yang berbeda. Sesati ini dipenggal menjadi
dua, Bhinneka Tunggal Ika menjadi nama lambang negara Indonesia dan Tan Hana
Dharma Mangrua menjadi nama lambang Lemhannas.
Kalimat kedua pada hakikatnya bermakana ”agama pada prinsipnya sama hanya
wujud pengabdiannya kepada Tuhan yang berbeda”. Jika prinsip ini dihayati dan
diamalkan oleh warga masyarakat Indonesia yang terdiri dari ratusan suku bangsa,
adat istiadat yang beraneka ragam, dan agama/kepercayaan yang berbeda maka
akan mewujudkan sikap dan perilaku dalam kehidupan bermasyarakat termasuk
toleransi kehidupan antar pemeluk agama.
Pancasila yang menjadi sumber tertib hukum naional, nilai-nilai yang dikandungnya
bersifat abstrak dituangkan ke dalam kaidah atau norma-norma hukum yang
mengatur kehidupan negara sebagai lembaga dan kesejahteraan sosial kepada para
warga negara sebagai anggota masyarakat.
Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dijabarkan kedalam pasal 29 UUD 1945 menjamin
hak warga negara memeluk agama dan kepercayaan masing-masing. Berkenaan
dengan hak tersebut, harus disadari bahwa hak akan dinikmati jika diimbangi
dengan kewajiban yang harus dilaksanakan. Jadi toleransi kehidupan antar pemeluk
agama dalam masyarakat akan terwujud jika para pemeluk agama menyadari
adanya kewajiban yang merupakan keharusan untuk menghormati pemeluk agama
yang berbeda dengan agama yang dianutnya.
Dalam hubungan antara negara dengan agama ditegaskan bahwa tidak ada agama
negera, tetapi negara berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti
bahwa semua agama dan kepercayaan kepada Tuhan, hidup dan diakui oleh
negara, mendapat tempat yang layak dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sendi pokok dari
setiap agama dan kepercayaan kepada Tuhan.
Kampus dalam wujud Perguruan Tinggi mengemban tugas dan misi pokok
pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat (Tridharma Perguruan Tinggi).
Pendidikan dilaksanakan di ruang kuliah melalui pendidikan ini ilmu pengetahuan
dan teknologi diberikan kepada para mahasiswa untuk menyiapkan, membentuk dan
menghasilkan SDM yang berkualitas, Penelitian dilakukan di laboratorium, di
lapangan, di perusahaan, di rumah sakit atau di mana saja, penelitian bersifat
obyektif dan ilmiah, baik kaidah serta untuk menemukan kebenaran ilmiah atau
menyelesaikan masalah dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian.
Penelitian harus berpegang pada moral kejujuran yang bersumber pada nilai-nilai
Pancasila. Hasil Penelitian bermanfaat bagi kemanusiaan dan kesejahteraan
manusia demi harkat dan martabat manusia.
Warga Perguruan Tinggi adalah insan-insan yang memiliki wawasan dan integrasi
ilmiah, maka masyarakat akademik harus selalu mengembangkan buadaya
akademik atau budaya ilmiah yang berupa esensi dari aktivitas perguruan tinggi.
Ciri-ciri mayarakat ilmiah sebagai budaya akademik menurut Suhadi,(1998:214)
adalah kritis, kreatif, analitis, obyaktif, kontruktif, dinamik, dialogis, menghargai
prestasi ilmiah/akademik, bebas dari prasangka, menghargai waktu, menghargai
dan menjunjung tinggi tradisi ilmiah, berorientasi ke masa depan, menerima kritik
dan kemitraan.
105
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rozali, 1984, Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup
Bangsa, CV. Rajawali, Jakarta.
Abdul Gani, Ruslan, 1998, “Pancasila dan Reformasi”, Makalah Seminar
Nasional KAGAMA, 8 Juli 1998, Yogyakarta.
Bahar, Saafroedin, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.),
1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan
Bakry, Noor Ms., 2010, Pendidikan Pancasila, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Darmodiharjo, Darji Prof. SH, Santiaji pancasila (Edisi Refisi) CETAKAN ke 10,
usaha nasional, surabaya, 1991
Dirjen Dikti Depdiknas, Kapita selekta pendidikan pancasila, Proyek peningkatan
tenaga akademik, jakarta 2002
Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik
Indonesia, Jakarta.
Iriyanto, Ws, 2009, Bahan Kuliah Filsafat Ilmu, Pascasarjana, Semarang
Kaelan, 2000, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta. _____, 2012, Problem
Epistemologis Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Paradigma, Yogyakarta.
Kaelan, Pendidikan Pancasila Paradigma, Yogyakarta, 2001
Kaelan, 2005. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
Kunto Wibisono, 1985, Arti Perkembangan Menurut
Positivisme, Gadjah Mada Press, Yogyakarta
Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas
Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
MD, Moh. Mahfud, 2011, “Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Menegakkan
Konstitusionalitas Indonesia”, Makalah pada Sarasehan Nasional
2011 di Universitas Gajah Mada Yogyakarta tanggal 2-3 Mei 2011.
Notosusanto, Nugroho, 1981, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, PN Balai
Pustaka, Jakarta.
Setiardja, A. Gunawan, 1994, Filsafat Pancasila Bagian II: Moral Pancasila,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Soekarno, 1989, Pancasila dan Perdamaian Dunia, CV Haji Masagung, Jakarta.
Sutardjo, 1992, Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
Tarsito, Bandung
Suwarno, 1993, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.
MPR RI, 2011, Panduan Pemasyarakatan Undang-UndangDasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta.
Notonagoro, 1975, Pancasila secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tujuh,
Jakarta.
Oesman, Oetojo dan Alfian (Ed.), 1990, Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai
Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, BP-7
Pusat, Jakarta.
Poespowardojo, Soerjono, 1989, Filsafat Pancasila: Sebuah Pendekatan Sosio-
Budaya, PT Gramedia, Jakarta.
Rambu-Rambu MPK di Perguruan Tinggi, Ditjen Dikti Departemen Pendidikan
Nasional Renstra UNY 2006-2010
Roem, Muhammad dan Agus Salim, 1977, Ketuhanan Yang Maha Esa dan
Lahirnya Pancasila, Bulan Bintang, Jakarta.
106
Suamo,PJ,DR,S.H Pancasila budaya Bangsa Indonesia, penelitian pancasila
dengan pendekatan historis, filosofis dan sosio-yuridis kenegaraan, kanisius,
yogyakarta, 1993
T. Yacob, 1993, Manusia, Ilmu dan Teknologi, PT. Tiara
Wacana, Yogyakart
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 1997, Pengantar Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
Van Melsen, 1985, Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita, Kanisius,
Yogyakarta
Van Peursen, 1987, Susunan Ilmu Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta.
Yamin, Muhammad, 1954, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia,
Djambatan, Jakarta/ Amsterdam.
Zubair, Achmad Charris, 1990, Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta
107
108