Anda di halaman 1dari 41

UJIAN TENGAH SEMESTER

NAMA : NADYA OLIVIA PERRINA

NIM/TM : 18231052/2018

PRODI : PENDIDIKAN IPA

SESI : SENIN, 13.20-15.00 WIB

DOSEN : SERLI MARLINA ,S. Pd., M.Pd.

MATA KULIAH UMUM

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2018

1
1.
Konsep dan Dasar Pendidikan Pancasila
Tujuan Pendidikan Pancasila dapat dipahami dengan menelaah dasar-dasar pendidikan
pancasila sebagai bagian yang tidak terpisah dalam konsep pendukung capaian dalam
pancasila
penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi. Dasar-dasar yang dimaksud yakni
dasar filosofis, sosiologis, dan dasar yuridis yang akan diuraikan dalam artikel ini.
Sebagaimana dikemukakan oleh sejumlah pengamat bahwa gerakan untuk merevitalisasi
Pancasila saat ini semakin menunjukkan gejala yang menggembirakan. Forum-forum ilmiah
di berbagai tempat telah diselenggarakan baik oleh masyarakat umum maupun kalangan
akademisi.
Tidak terkecuali lembaga negara yaitu MPR mencanangkan empat pilar berbangsa yang salah
satunya adalah Pancasila. Memang ada perdebatan tentang istilah pilar tersebut, karena
selama ini dipahami bahwa Pancasila adalah dasar negara, namun semangat untuk
menumbuhkembangkan lagi Pancasila perlu disambut dengan baik.
Undang undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang
belum lama disahkan, secara eksplisit juga menyebutkan bahwa terkait dengan kurikulum
nasional setiap perguruan tinggi wajib menyelenggarakan mata kuliah Pancasila,
Kewarganegaraan, Agama dan Bahasa Indonesia. Menindaklanjuti undang undang tersebut,
Dikti juga menawarkan berbagai hibah pembelajaran untuk keempat mata kuliah tersebut.
Pancasila adalah dasar filsafah negara indonesia, sebagaimana tercantum dalam pembukaan
UUD 1945. Oleh karena itu setiap warga negara Indonesia harus mempelajari, mendalami,
menghayati, dan mengamalkan dalam segala bidang kehidupan. Pancasila merupakan
warisan luar biasa dari pendiri bangsa yang mengacu kepada nilai-nilai luhur. Nilai nilai luhur
yang menjadi panutan hidup tersebut telah hilang otoritasnya, sehingga manusia menjadi
bingung. Kebingungan tersebut dapat menimbulkan krisis baik itu krisis moneter yang
berdampak pada bidang politik, sekaligus krisis moral pada sikap perilaku manusia.
Dalam upaya merespon kondisi tersebut, pemerintah perlu mengantisipasi agar tidak menuju
kearah keadaan yang lebih memprihatinkan. Salah satu solusi yang dilakukan oleh
pemerintah, dalam menjaga nilai-nilai panutan dalam berbangsa dan bernegara secara lebih
efektif yaitu melalui bidang pendidikan. Oleh karena itu, tujuan pendidikan pancasila yang
akan diuraikan dalam artikel ini sasarannya adalah bagi para mahasiswa-mahasiswi di
perguruan tinggi.
Adapun dasar-dasar pendidikan pancasila tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

2
1. Dasar Filosofis
Pada saat Republik Indonesia diproklamasikan pasca Perang Dunia kedua, dunia dicekam
oleh pertentangan ideologi kapitalisme dengan ideologi komunisme. Kapitalisme berakar
pada faham individualisme yang menjunjung tinggi kebebasan dan hak-hak individu;
sementara komunisme berakar pada faham sosialisme atau kolektivisme yang lebih
mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan individual. Kedua aliran
ideologi ini melahirkan sistem kenegaraan yang berbeda. Faham individualisme
melahirkan negara -negara kapitalis yang mendewakan kebebasan (liberalisme) setiap
warga, sehingga menimbulkan perilaku dengan superioritas individu, kebebasan berkreasi
dan berproduksi untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal.
Sementara faham kolektivisme melahirkan negara-negara komunis yang otoriter dengan
tujuan untuk melindungi kepentingan rakyat banyak dari eksploitasi segelintir warga
pemilik kapital. Pertentangan ideologi ini telah menimbulkan ‘perang dingin’ yang
dampaknya terasa di seluruh dunia. Namun para pendiri negara Republik Indonesia
mampu melepaskan diri dari tarikan-tarikan dua kutub ideologi dunia tersebut, dengan
merumuskan pandangan dasar (philosophische grondslag) pada sebuah konsep filosofis
yang bernama Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila bahkan bisa
berperan sebagai penjaga keseimbangan (margin of appreciation) antara dua ideologi
dunia yang bertentangan, karena dalam ideologi Pancasila hak-hak individu dan
masyarakat diakui secara proporsional.
2. Dasar Sosiologis
Bangsa Indonesia yang penuh kebhinekaan terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa yang
tersebar di lebih dari 17.000 pulau, secara sosiologis telah mempraktikan Pancasila
karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan kenyataan-kenyataan (materil,
formal, dan fungsional) yang ada dalam mas yarakat Ind onesia. Kenyataan objektif ini
menjadikan Pancasila sebagai dasar yang mengikat setiap warga bangsa untuk taat pada
nilai-nilai instrumental yang berupa norma atau hukum tertulis (peraturan perundang-
undangan, yurisprudensi, dan traktat) maupun yang tidak tertulis seperti adat istiadat,
kesepakatan atau kesepahaman, dan konvensi.
Kebhinekaan atau pluralitas masyarakat bangsa Indonesia yang tinggi, dimana agama,
ras, etnik, bahasa, tradisi-budaya penuh perbedaan, menyebabkan ideologi Pancasila bisa
diterima sebagai ideologi pemersatu. Data sejarah menunjukan bahwa setiap kali ada
upaya perpecahan atau pemberontakan oleh beberapa kelompok masyarakat, maka nilai-
nilai Pancasilalah yang dikedepankan sebagai solusi untuk menyatukan kembali. Begitu
3
kuat dan ‘ajaibnya’ kedudukan Pancasila sebagai kekuatan pemersatu, maka kegagalan
upaya pemberontakan yang terakhir (G30S/PKI) pada 1 Oktober 1965 untuk seterusnya
hari tersebut dijadikan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Bangsa Indonesia yang plural secara sosiologis m embutuhkan ideologi pemersatu
Pancasila. Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila perlu dilestarikan dari generasi ke generasi
untuk menjaga keutuhan masyarakat bangsa. Pelestarian nilai-nilai Pancasila dilakukan
khususnya lewat proses pendidikan formal, karena lewat pendidikan berbagai butir nilai
Pancasila tersebut dapat disemaikan dan dikembangkan secara terencana dan terpadu.
3. Dasar Yuridis
Pancasila telah menjadi norma dasar negara dan dasar negara Republik Indonesia yang
berlaku adalah Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (Pembukaan UUD NRI Tahun 1945) junctis Keputusan
Presiden RI Nomor 150 Tahun 1959 mengenai Dekrit Presiden RI/Panglima Tertinggi
Angkatan Perang Tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Naskah Pembukaan UUD NRI 1945 yang berlaku adalah
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang disahkan/di tetapkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Sila -sila Pancasila yang
tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 secara filosofis-sosiologis
berkedudukan sebagai Norma Dasar Indonesia dan dalam konteks politis-yuridis sebagai
Dasar Negara Indonesia. Konsekuensi dari Pancasila tercantum dalam Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945, secara yuridis konstitusional mempunyai kekuatan hukum yang sah,
kekuatan hukum berlaku, dan kekuatan hukum mengikat.
Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, digunakan sebagai
dasar penyelenggaraan pendidikan tinggi. Pasal 39 ayat (2) menyebutkan, bahwa isi
kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat: (a) Pendidikan
Pancasila, (b) Pendidikan Agama, (c) Pendidikan Kewarganegaraan.
Didalam operasionalnya, ketiga mata kuliah wajib dari kurikulum tersebut, dijadikan bagian
dari kurikulum berlaku secara nasional.
Sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 1999, Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No. 30 tahun 1990 menetapkan status pendidikan Pancasila
dalam kurikulum pendidikan tinggi sebagai mata kuliah wajib untuk setiap program studi dan
bersifat nasional. Silabus pendidikan pancasila semenjak tahun 1983 sampai tahun 1999,
telah banyak mengalami perubahan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang berlaku
dalam masyarakat, bangsa, dan negara yang berlangsung cepat, serta kebutuhan untuk
4
mengantisipasi tuntunan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat disertai dengan
pola kehidupan mengglobal. Perubahan dari silabus pancasila adalah dengan keluarnya
keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi, Nomor: 265/Dikti/Kep/2000 tentang
penyempurnaan kurikulum inti mata kuliah pengembangan kepribadian pendidikan pancasila
pada perguruan tinggi Indonesia. Dalam kepurusan ini dinyatakan, bahwa mata kuliah
pendidikan pancasila yang mencakup unsur filsafat pancasila, merupakan salah satu
komponen yang tidak dapat dipisahkan dari kelompok mata kuliah pengembangan
kepribadian (MKPK) pada susunan kurikulum inti perguruan tinggi di Indonesia mata kuliah
pendidikan pancasila adalah mata kuliah wajib untuk diambil oleh setiap mahasiswa pada
perguruan tinggi untuk program diploma/politeknik dan program sarjana. Pendidikan
pancasila dirancang dengan maksud untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang
pancasila sebagai filsafat atau tata nilai bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional dengan
segala implikasinya.
Selanjutnya, berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 22/UU/2000 tentang
Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi, dan penilaian hasil belajar mahasiswa,
telah ditetapkan bahwa pendidikan agama, pendidikan pancasila, dan kepribadian yang wajib
diberikan dalam kurikulum setiap program studi. Oleh karena itu, untuk melaksanakan
ketentuan di atas, maka Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas mengeluarkan Surat
Keputusan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di perguruan tinggi. Berdasarkan UU
No. 20/2003 tentang sistem pendidikan, maka, Direktur Jendral Pendidikan Tinggi
mengeluarkan surat keputusan No. 43/Dikti/Kep./2006 tentang kampus-kampus pelaksanaan
kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian di perguruan tinggi, SK ini adalah
penyempurnaan dari SK yang lalu.
Tujuan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi
Dengan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, diharapkan dapat
tercipta wahana pembelajaran bagi para mahasiswa untuk secara akademik mengkaji,
menganalisis, dan memecahkan masalah-masalah pembangunan bangsa dan negara dalam
perspektif nilai-nilai dasar Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Republik Indonesia.
Pendidikan Pancasila sebagai bagian dari pendidikan Nasional bertujuan untuk mewujudkan
tujuan Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan nasional yang ada merupakan rangkaian
konsep, program, tata cara, dan usaha untuk mewujudkan tujuan nasional yang diamanatkan
Undang -Undang Dasar Tahun 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi tujuan
penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi pun merupakan bagian dari upaya
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
5
Penjabaran secara spesifik sehubungan dengan tujuan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila
di Perguruan Tinggi adalah untuk:
1. Memperkuat Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan ideologi bangsa melalui
revitalisasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai norma dasar kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
2. Memberikan pemahaman dan penghayatan atas jiwa dan nilai-nilai dasar Pancasila
kepada mahasiswa sebagai warga negara Republik Indonesia, serta membimbing untuk
dapat menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Mempersiapkan mahasiswa agar mampu menganalisis dan mencari solusi terhadap
berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui sistem
pemikiran yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
4. Membentuk sikap mental mahasiswa yang mampu mengapresiasi nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, kecintaan pada tanah air dan kesatuan bangsa, serta penguatan
masyarakat madani yang demokratis, berkeadilan, dan bermartabat berlandaskan
Pancasila, untuk mampu berinteraksi dengan dinamika internal dan eksternal masyarakat
bangsa Indonesia.
Dinamika Pemikiran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
1. Cinta tanah air
Yaitu dengan mengenal wilayah nusantara memelihara,
melestarikan, dan mencintai, lingkungannya dan senantiasa
menjaga nama baik dan mengharumkan negara Indonesia di mata
dunia sehingga siap membela tanah air Indonesia terhadap segala
bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dann gangguan yang dapat
membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan negara.
2. Sadar berbangsan Indonesia
Yaitu selalu membina kerukunan, persatuan, dan kesatuan di
lingkungan keluarga, pemukiman, pendidikan, dan pekerjaanserta
encintai budaya bangsa dan selalu mengutamakan kepentingan
bangsa.
3. Sadar bernegara Indonesia
Yaitu sadar bertanah air, bernegara,dah berbahasa satu yaitu
Indonesia, mengakui dan menghormati benderan Merah Putih,
Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Lambang Neegara Garuda

6
Pancasila dan Kepala Negara serta mentaati semua peraturan
perunddang-undangan yang berlaku.
4. Yakin akan kesaktian Pancasila aebagai Ideologi Negara
Yaitu yakin akan keberadaan Pancasila sebagai satu-satunya
falsafah dan ideologi bangsa dan negara yang telah terbukti
kesaktiannya dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara
5. Rela berkorban untuk bangsa dan negara
Rela berkorban untuk bangs adan negara yaitu rela mengorbankan
waktu, tenaga, pikiran, dan harta benda untuk kepentingan umum
sehingga pada saatnya siap mengorbankan jiwa dan raga bagi
kepentingan bangsa.
Objek Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan
1. Objek material
Objek material pendidikan pancasila dan kewarganegaran adalah
negara yang berkaitan dengan warga negara baik yang empiric
maupun yang non empiric, yang meliputi wawasan, sikap, dan
perilaku warga negara dalam kesatuan bangsa dan negara.
2. Objek formal
Objek formal adalah sudut pandang tertentu yang dipilih untuk
mrnambah objek material tersebut. Objek formal pendidikan
oancasila dan kewarganegaraan adalah hubungan antara warga
nengara dengan negara dan pendidikan pendahuluan bela negara.
Objek penyelenggaraan pendidikan pendahuluan bela negara
adalah warga negara Indonesia, dan penyelenggaranya menempuh
meliputi :
a. Lingkungan pendidikan melalui pendidikan formal.
b. Lingkungan pekerjaan melalui pendidikan formal.
c. Lingkungan pemukiman melalui pendidikan formal.
Tantangan Pendidikan Pancasila
Masalah konstekstual pendidikan kewarganegaraan yang perlu didiskusikan. Beberapa
masalah konstekstual dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang kiranya perlu
didiskusikan ( namun tenaga pengajar Pendidikan Kewarganegaraan dapat menambah dan
memperkayanya ) antara lain :
7
1. Lingkungan hidup.
2. Pemberdayaan masyarakat.
3. Masyarakat madani.
4. Otonomi daerah.
5. Pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
6. Kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan.
7. Konflik sosial kesukuan, agama, dan ras.
8. Advokasi hokum bagi masyarakat.
9. Kebebasan pers.
10. Hak-hak minoritas.
11. Pemberatasan korupsi.
12. Undang-undang pendidikan kewarganegaraan.

8
2.
Sejarah Pancasila pada Masa Kerajaan Kutai
Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400 M, dengan ditemukannya prasasti yang
berupa 7 yupa (tiang batu). Berdasarkan prasasti tersebut dapat diketahui bahwa raja
Mulawarman keturunan dari raja Aswawarman keturunan dari Kudungga. Raja Mulawarman
menurut prasasti tersebut mengadakan Kenduri dan memberi sedekah kepada para Brahmana,
dan para Brahmana membangun yupa itu sebagai tanda terimakasih raja yang dermawan.
Masyarakat Kutai yang membuka zaman sejarah Indonesia pertama kalinya ini menampilkan
nilai – nilai sosial politik dan ketuhanan dalam bentuk kerajaan, Kenduri, serta sedekah
kepada para Brahmana.
Dalam zaman kuno (400 – 1500) terdapat dua kerajaan yang berhasil mencapai integrasi
dengan wilayah yang meliputi hampir separuh Indonesia dan seluruh wilayah Indonesia
sekarang yaitu kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan Majapahit yang berpusat di Jawa.
Sejarah Pancasila pada Masa Kerajaan Sriwijaya
Menurut Mr. M. Yamin bahwa berdirinya negara kebangsaan Indonesia tidak dapat
dipisahkan dengan kerajaan – kerajaan lama yang merupakan warisan nenek moyang bangsa
Indonesia. Negara kebangsaaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap yaitu : pertama, zaman
Sriwijaya di bawah wangsa Syailendra (600 – 1400), yang bercirikan kedatuan. Kedua,
negara kebangsaan zaman Majapahit (1293 – 1525) yang bercirikan keprabuan, kedua tahap
tersebut merupakan negara kebangsaan Indonesia lama. Kemudian ketiga, kebangsaan
modern yaitu negara bangsa Indonesia merdeka (sekarang negara proklamasi 17 agustus
1945).
Pada abad ke VII munculah suatu kerajaan di Sumatera yaitu kerajaan Wijaya, di bawah
kekuasaaan bangsa Syailendra. Hal ini termuat dalam prasasti Kedudukan Bukit di kaki bukit
Sguntang dekat Palembang yang bertarikh 605 caka atau 683 M., dalam bahasa melayu kuno
huruf Pallawa. Kerajaan itu adalah kerajaan Maritim yang mengandalkan kekuatan lautnya,
kunci – kunci lalu – lintas laut di sebelah barat dikuasainya seperti selat Sunda (686),
kemudian selat Malaka (775). Pada zaman itu kerjaan Sriwijaya merupakan kerajaan besar
yang cukup disegani di kawasan Asia Selatan. Perdagangan dilakukan dengan
mempersatukan pedagang pengrajin dan pegawai raja yang disebut Tuhan An Vatakvurah
sebagai pengawas dan pengumpul semacam koperasi sehingga rakat mudah untuk
memasarkan dagangannya. Demikian pula dalam sistem pemerintahaannya terdapat pegawai
pengurus pajak, harta benda, kerajaan, rokhaniawan yang menjadi pengawas teknis

9
pembangunan gedung – gedung dan patung – patung suci sehingga pada saat itu kerajaan
dalam menjalankan sistem negaranya tidak dapat dilepaskan dengan nilai Ketuhanan.
Agama dan kebudayaan dikembangkan dengan mendirikan suatu universitas agama Budha,
yang sangat terkenal di negara lain di Asia. Banyak musyafir dari negara lain misalnya dari
Cina belajar terlebih dahulu di universitas tersebut terutama tentang agam Budha dan bahasa
Sansekerta sebelum melanjutkan studinya ke India. Malahan banyak guru – guru besar tamu
dari India yang mengajar di Sriwijaya misalnya Dharmakitri. Cita – cita tentang
kesejahteraan bersama dalam suatu negara adalah tercemin pada kerajaan Sriwijaya tersebut
yaitu berbunyi ‘marvuat vanua criwijaya dhayatra subhiksa’ (suatu cita-cita negara yang adil
dan makmur).
Sejarah Pancasila pada Masa Zaman Kerajaan – Kerajaan Sebelum Majapahit
Sebelum kerajaan Majapahit muncul sebagai suatu kerajaan yang memancangkan nilai – nilai
nasionalisme, telah muncul kerajaan – kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur secara silih
berganti. Kerajaan Kalingga pada abad ke VII, Sanjaya pada abad ke VIII yang ikut
membantu membangun candi Kalasan untuk Dewa Tara dan sebuah wihara untuk pendeta
Budha didirikan di Jawa Tengah bersama dengan dinasti Syailendra (abad ke VII dan IX).
Refleksi puncak dari Jawa Tengah dalam periode – periode kerajaan – kerajaan tersebut
adalah dibangunnya candi Borobudur (candi agama Budha pada abad ke IX), dan candi
Prambanan (candi agama Hindhu pada abad ke X).
Selain kerajaan – kerajaan di Jawa Tengah tersebut di Jawa Timur munculah kerajaan –
kerajaan Isana (pada abad ke IX), Darmawangsa (abad ke X) demikian juga kerajaan
Airlanga pada abad ke XI. Raja Airlangga membuat bangunan keagamaan dan asrama, dan
raja ini memiliki sikap toleransi dalam beragama. Agama yang diakui oleh kerajaan adalah
agama Budha , agama Wisnu dan agama Syiwa yang hidup berdampingan secara damai.
Menurut prasasti Kelagen, Raja Airlangga telah mengadakan hubungan dagang dan bekerja
sama dengan Benggala, Chola dan Champa hal ini menunjukkan nilai – nilai kemanusiaan.
Demikian pula Airlangga mengalami penggemblengan lahir dan batin di hutan dan tahun
1019 para pengikutnya, rakyat dan para Brahmana bermusyawarah dan memutuskan untuk
memohon Airlangga bersedia menjadi raja, meneruskan tradisi istana, sebagai nilai – nilai sila
keempat. Demikian pula menurut prasasti Kelagen, pada tahun 1037, raja Airlangga
memerintahkan untuk membuat tanggul dan waduk demi kesejahteraan rakyat yang
merupakan nilai – nilai sila kelima.
Di wilayah Kediri Jawa Timur berdiri pula kerajaan Singasari (pada abad ke XIII), yang
kemudian sangat erat hubungannya dengan berdirinya kerajaan Majapahit.
10
Sejarah Pancasila pada Masa Kerajaan Sriwijaya
Pada tahun 1923 berdirilah kerajaan Majapahit yang mencapai zaman keemasannya pada
pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada yang di bantu oleh
Laksamana Nala dalam memimpin armadanya untuk menguasai nusantara. Wilayah
kekuasaan Majapahit semasa jayanya itu membentang dari semenanjung Melayu (Malaysia
sekarang) sampai Irian Barat melalui Kalimantan Utara.
Pada waktu itu agama Hindu dan Budha hidup berdampingan dengan damai dalam satu
kerajaan. Empu Prapanca menulis Negarakertagama. Dalam kitab tersebut telah telah
terdapat istilah “Pancasila”. Empu tantular mengarang buku Sutasoma, dan didalam buku
itulah kita jumpai seloka persatuan nasional, yaitu “Bhineka Tunggal Ika”, yang bunyi
lengkapnya “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua”, artinya walaupun berbeda ,
namun satu jua adanya sebab tidak ada agama yang memiliki tuhan yang berbeda.
Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gaja Mada dalam sidang ratu dan menteri-
menteri di paseban keprabuan Majapahit pada tahun 1331, yang berisi cita-cita
mempersatukan seluruh nusantara raya sebagai berikut : “Saya baru akan berhentui berpuasa
makan pelapa, jikalau seluruh nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara, jikalau Gurun,
Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah
dikalahkan”.
Dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat seperti Rakryan I
Hino , I Sirikan, dan I Halu yang bertugas memberikan nasehat kepada raja, hal ini sebagai
nilai-nilai musyawarah mufakat yang dilakukan oleh sistem pemerintahan kerajaan
Majapahit.
Nilai – Nilai Pancasila pada Masa Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai adalah kerajaan tertua di Indonesia dan se – Asia Tenggara yang bercorak
Hindu. Kerajaan Kutai terletak di muara Kamam Kalimantan Timur di Sungai Mahakam.
Raja pertama dan sekaligus pendiri kerajaannya adalah raja Kudungga. Raja Kudungga
memiliki seorang anak yang bernama Aswawarman. Aswawarman dijadikan raja oleh
Kudungga. Setelah berpindah tangan, raja Aswawarman memiliki tiga orang anak yang salah
satunya bernama Mulawarman. Mulawarman pada saat itu menggantikan Aswawarman. Pada
saat pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah
kekuasaannya meliputi hampir seluruh kawasan Kalimantan Timur. Pada saat itu raja
mulawarman member 20.000 ekor lembu kepada para Brahmana. Atas kebaikannya itu, para
Brahmana membuatkan tujuh buah Yupa sebagai tanda terima kasih. Hal tersebut

11
menunjukan nilai social politik dan Ketuhanan telah ada pada kerajaan Kutai. Dimana bentuk
kerajaan dengan agama dijadikan sebagai pengikat kewibawaan raja.
Nilai Pancasila :
1) Nilai Ketuhanan : memeluk agama Hindu
2) Nilai Kerakyatan : rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur
3) Nilai Persatuan : wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh
kawasan Kalimantan Timur
Nilai – Nilai Pancasila pada Masa Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya berdiri pada abad ke VII, di bawah kekuasaan Wangsa Sailendra dikenal
sebagai Kerajaan Maritim yang mengadakan jalur perhubungan laut. Sistem perdagangan
telah diatur dengan baik, supaya rakyat mengalami kemudahan dalam pemasarannya. Selain
itu juga sudah ada badan yang bertugas mengurus pajak, harta benda kerajaan, kerohaniawan
yang menjadi pengawas teknis pembangunan dan patung-patung suci sehingga kerajaan dapat
menjalakan sistem negaranya dengan nilai-nilai ketuhanan.
Cita – cita kesejahteraan bersama dalam suatu Negara telah tercermin dalam Kerajaan
Sriwijaya sebagaimana tersebut dalam perkataan “Marvuai Vannua Criwijaya Siddhayatra
Subhika” (suatu cita – cita negara yang adil dan makmur).
Pada hakekatnya nilai – nilai budaya Kerajaan Sriwijaya telah menunjukan nilai – nilai
Pancasila, yaitu sebagai berikut :
1) Nilai sila pertama, terwujud dengan adanya agama Budha dan Hindu yang hidup
berdampingan secara damai. Pada Kerajaan Sriwijaya terdapat pusat kegiatan pembinaan dan
pengembangan agama Buddha.
2) Nilai sila kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti Marsha).
Pengiriman para pemuda untuk belajar ke India menunjukan telah tumbuh nilai-nilai politik
luar negeri yang bebas aktif.
3) Nilai sila ketiga, sebagai Negara Maritim, Kerajaan Sriwijaya telah menerapkan konsep
Negara kepulauan sesuai dengan konsep wawasan nusantara.
4) Nilai sila keempat, Kerajaan Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang luas meliputi
Siam dan Semenanjung Melayu.
5) Nilai sila kelima, Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan
sehingga kehidupan rakyatnya sangat makmur.
Nilai – Nilai Pancasila pada Masa Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah bagian selatan, daerah intinya disebut
Bhumi Mataram dengan ibukota Medang Kamulan. Raja merupakan pemimpin tertinggi
12
Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah
Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti
"pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia. Mata pencaharian penduduknya
sebagian besar adalah bertani. Sebagian besar penduduk beragama Hindu.
Faktor yang mendukung kebesaran Mataram Kuno :
· Memiliki raja yang arif dan bijaksana
· Adanya ikatan baik antara raja dengan para Brahmana
· Wilayahnya subur
· Adanya toleransi antara pemeluk agama Hindu dengan agama Buddha
· Menjalin hubungan baik dengan kerajaan sekitar.
Nilai Pancasila yang terdapat pada kerajaan Mataram Kuno:
1) Nilai Ketuhanan : memeluk agama Hindu – Buddha
2) Nilai Kemanusiaan : menghargai agama lain
3) Nilai Persatuan : ingin mempersatukan mataram dengan sekitarnya.
4) Nilai kerakyatan : kehidupan rakyat sejahtera.
Nilai – Nilai Pancasila pada Masa Kerajaan Kerajaan Singasari
Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari, adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur
yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan
berada di daerah Singosari, Malang.
Menurut Pararaton, Tumapel (Singasari) semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan
Kadiri. Yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul
Ametung. Ia mati dibunuh secara licik oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok,
yang kemudian menjadi akuwu baru. Tidak hanya itu, Ken Arok bahkan berniat melepaskan
Tumapel dari kekuasaan Kadiri.
Pada tahun 1222 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kadiri melawan kaum brahmana.
Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi
raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kadiri
meletus di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel
Kertanegara adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singasari (1268 - 1292). Ia
adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa.
Faktor pendorong kebesaran Singasari:
· Memperkuat angkatan perang
· Mengadakan politik luar negeri
· Mengajak kerjasama lawan politiknya
13
· Wilayahnya subur.
Keruntuhan Singasari:
Kerajaan Singasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa akhirnya
mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang
bupati Gelang – Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari
Kertanagara sendiri. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh. Setelah runtuhnya
Singasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kediri. Riwayat
Kerajaan Tumapel-Singhasari pun berakhir.
Nilai Pancasila yang terdapat pada kerajaan Singasari:
1) Nilai Ketuhanan : memeluk agama Buddha.
2) Nilai Kemanusiaan : terbuka dengan kebudayaan asing yang masuk.
3) Nilai Persatuan : ingin mempersatukan nusantara.
4) Nilai Kerakyatan : rakyat hidup makmur.
5) Nilai Keadilan : tidak membeda – bedakan kedudukan.
Nilai – nilai Pancasila pada Masa Kerajaan Majapahit
Sebelum Kerajaan Majapahit berdiri telah berdiri kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur
secara silih berganti yaitu, Kerajaan Kalingga(abad ke-VII), Sanjaya(abad ke – VIII), sebagai
refleksi puncak budaya kerajaan tersebut dibangunnya Candi Borobudur dan Candi
Prambanan.
Agama yang dilaksanakan pada zaman Kerajaan Majapahit ini adalah Agama Hindu dan
Budha yang saling hidup berdampingan secara damai. Pada masa ini mulai dikenal beberapa
istilah dan nilai-nilai Pancasila pada Kerajaan Majapahit, yaitu sebagai berikut :
1) Nilai sila pertama, terbukti pada waktu agama Hindu dan Budha hidup berdampingan
secara damai. Istilah Pancasila terdapat dalam buku Negarakertagama karangan Empu
Prapanca dan Empu Tantular mengarang buku Sutasoma yang terdapat Sloka persatuan
nasional yang berbunyi ”Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua” yang artinya,
walaupun berbeda – beda namun tetap satu jua dan tidak ada agama yang memiliki tujuan
berbeda.
2) Nilai sila kedua, terwujud pada hubungan baik Raja Hayam Wuruk dengan Kerajaan
Tiongkok, Ayoda, Champa, dan Kamboja. Disamping itu juga menjalin persahabatan dengan
Negara – negara tetangga.
3) Nilai sila ketiga, terwujud dengan keutuhan kerajaan. Khususnya dalam Sumpah Palapa
yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada dalam sidang Ratu dan Menteri-menteri pada
tahun 1331.
14
4) Nilai sila keempat, terdapat semacam penasehat dalam tata pemerintahan Majapahit
yang menunjukan nilai – nilai musyawarah mufakat. Menurut Prasasti Kerajaan Brambang
(1329), dalam tata Pemerintahan Kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat kerajaan.
Seperti, Rakryan I Hino, I Sirikan dan I Halu yng berarti memberikan nasehat kepada Raja.
Kerukunan dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat telah menumbuhkan adat
bermusyawarah untuk mufakat dalam memutuskan masalah bersama.
5) Nilai sila kelima, terwujud dengan berdirinya kerajaan selama beberapa abad yang
ditopang dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Pancasila dalam Konteks Zaman Penjajahan
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk membentuk negara sangat erat kaitannya dengan
jati diri bangsa Indonesia. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan.
Dalam kenyataannya secara objektif telah dimiliki bangsa Indonesia sejak dahulu kala.
Masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam di Indonesia menandai
dimulainya kehidupan beragama pada masyarakat. Bagaimana agama merubah kehidupan
dan pandangan masyaraat dapat dilihat pada sistem sosial- ekonominya. Penyelenggaraan
perdagangan di kota-kota pelabuhan menimbulkan komunikasi terbuka, sehingga terjadi
mobilitas sosial baik horisontal maupun vertikal serta perubahan gaya hidup dan nilai-nilai.
Masa kejayaan kerajaan Majapahit pada waktu rajanya Hayam Wuruk dan patihnya Gajah
Mada, hidup dan berkembang dua agama yaitu Hindu dan Budha. Majapahit melahirkan
beberapa empu seperti empu Prapanca yang menulis buku Negara Kertagama (1365) yang
didalamnya terdapat istilah “Pancasila”, sedangkan empu Tantular mengarang buku
Sutasoma yang didalamnya tercantum seloka persatuan nasional “Bhinneka Tunggal Ika”
yang artinya walaupun berbeda namun satu juga. Pada tahun 1331 Mahapatih Gajah Mada
mengucapkan sumpah Palapa yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya.
Dengan berjalannya waktu, kekuasaan pusat dengan agama Hindu-Budha mengalami
kemerosotan bersamaan dengan disintregasi politik dan degenerasi kultural. Akibatnya
terciptalah kondisi yang baik bagi suatu perubahan.
Setelah Majapahit kerajaan Hindu Budha runtuh pada abad XVI maka berkambanglah agama
Islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersama dengan itu maka berkambang pula kerajaan-
karajaan Islam seperti kerajaan Demak. Selain itu, berdatangan orang-orang Eropa di
nusantara. Mereka itu antara lain orang Portugis yang kemudian diikuti oleh orang-orang
Spanyol yang ingin mencari pusat tanaman rempah-rempah. Pada awalnya bangsa Portugis
berdagang, namun lama-kelaman mulai menunjukan peranannya dalam bidang perdagangan
yang meningkat menjadi praktek penjajahan misalnya Malaka pada tahun 1511. Pada akhir
15
abad ke XVI bangsa Belanda datang pula ke Indonesia dengan menempuh jalan yang penuh
kesulitan. Untuk menghindarkan persaingan diantara mereka sendiri, kemudian mereka
mendirikan suatu perkumpulan dagang yang bernama VOC (Verenigde Oost Indische
Compaignie) yang dikalangan rakyat dikenal dengan istilah ‘kompeni’.
Praktek-praktek VOC mulai kelihatan dengan paksaan-paksaan sehingga rakyat mulai
mengadakan perlawanan. Mataram dibawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645)
berupaya mengadakan perlawanan dan menyerang ke Batavia pada tahun 1628 dan tahun
1929, walaupun tidak berhasil meruntuhkan namun Gubernur Jendral J.P Coen tewas dalam
serangan Sultan Agung yang kedua itu.
Di Makasar yang memiliki kedudukan yang sangat vital berhasil juga dikuasai kompeni tahun
1667 dan timbullah perlawanan dari rakyat Makasar di bawah Hasanudin. Menyusul pula
wilayah Banten (Sultan Ageng Tirtoyoso) dapat ditundukkan pula oleh kompeni pada tahun
1684. Perlawanan Trunojoyo, Untung Suropati di Jawa Timur pada akhir abad ke XVII
nampaknya tidak mampu meruntuhkan kekuasa. Demikian kompeni pada saat itu. Demikian
pula ajakan Ibnu Iskandar pimpinan Armada dari Minangkabau untuk mengadakan
perlawanan bersama terhadap kompeni juga tidak mendapat sambutan yang hangat.
perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan yang terpencar-pencar dan tidak memiliki
koordinasi tersebut banyak mengalami kegagalan sehingga banyak menimbulkan korban bagi
anak-anak bangsa.
Kontak dengan bangsa Eropa telah membawa perubahan-perubahan dalam pandangan
masyarakat yaitu dengan masuknya paham-paham baru, seperti liberalisme, demokrasi,
nasionalisme. Hingga sampai akhirnya Indonesia dapat menumbuhkan jiwa Nasionalisme dan
bersatu untuk merdeka.
Dorongan akan cinta tanah air ini yang menimbulkan semangat untuk melawan penindasan
belanda, namun sekali lagi karena tidak adanya kesatuan dan persatuan di antara mereka
dalam melawan penjajah, maka perlawanan terebut senantiasa kandas dan menimbulkan
banyak korban.Penghisapan mulai memuncak ketika Belanda menerapkan sistem monopoli
melalui tanam paksa (1830-1870) dengan memaksakan beban kewajiban terhadap rakyat.
Pada awal Kebangkitan Nasional abad XX dipanggung politik internasional terjadilah
pergolakan kebangkitan dunia timur, di Indonesia kebangkitan nasional(1908). Banyak
muncul pergerakan nasional seperti, Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Oktober
1908 merupakan pelopor pergerakan nasional, yang dipelopori oleh dr.Wahidin Sudirohusodo
dengan Budi Utomo. Gerakan ini merupahan awal gerakan kemerdekaan dan kekuatan
sendiri.
16
Setelah itu munculah Sarekat Dagang Islam(1909), kemudian diganti dengan Sarekat
Islam(1911)di bawah H.O.S. Cokroaminoto, Indische Partij(1913),yang dipimpin oleh tiga
serangkai yaitu: Douwes Deker, Ciptimangunkusumo, KI Hajar Dewantoro.
Pada tahun 1927 munculah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipelopori oleh Soekarno,
Ciptomangunkusumo, Sartono, dan tokoh lainnya. Mulailah perjuangan bangsa Indonesia
menitik beratkan pada kesatuan nasional dengan tujuan yang jelas yaitu Indonesia merdeka.
Kemudian pada tanggal 28 Oktober 1928 lahirlah Sumpah Pemuda sebagai penggerak
kebangkitan nasional yang menyatakan satu bahasa, satu bangsa serta satu tanah air yaitu
Indonesia Raya. Dan masih banyak pergerakan nasional lainnya yang bermunculan saat itu.
Meskipun banyak muncul pergerakan nasional akan tetapi masih ada penjajahan Jepang. Janji
penjajah Belanda tentang Indonesia merdeka hanyalah suatu kebohongan belaka dan tidak
pernah menjadi kenyataan sampai akhir penjajahan Belanda tanggal 10 Maret 1940.
Kemudian Jepang masuk ke Indonesia dengan propaganda “Jepang memimpin Asia. Jepang
saudara tua bangsa Indonesia”.
Pada tanggal 29 April 1945 bersamaan dengan ulang tahun Kaisar Jepang, memberikan
hadiah ulang tahun kepada bangsa indonesia yaitu kemerdekaan tanpa syarat setelah
panghancuran Nagasaki dan Hirosima oleh sekutu. Janji ini diberikan karena Jepang terdesak
oleh tentara Sekutu. Bangsa Indonesia diperbolehkan memperjuangkan kemerdekaannya, dan
untuk mendapatkan simpati dan dukungan bangsa Indonesia maka Jepang menganjurkan
untuk membentuk suatu badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan
kemerdekaan yaitu BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
atau Dokuritsu Zyumbi Tiosakai. Pada hari itu juga diumumkan sebagai Ketua (Kaicoo) Dr.
KRT. Radjiman Widyodiningrat dan beranggotakan 60 orang yang berasal dari pulau
Jawa,Sumatra, Maluku, Sulawesi dan beberapa orang peranakan Eropa, Cina dan Arab yang
kemudian mengusulkan bahwa agenda pada sidang BPUPKI adalah membahas dasar negara.
Sidang BPUPKI pertama (29 Mei – 1 Juni 1945) dengan pembicaranya adalah Mr. Muh.
Yamin, Mr. Soepomo, Drs. Moh. Hatta, dan Ir. Soekarno. Mereka semua berpidato guna
membahas tentang rancangan usulan hukum dasar negara.
Menurut Soekarno dalam pidatonya, dasar bagi Indonesia merdeka adalah dasarnya suatu
negara yang akan didirikan yang disebutnya philosophische gronsag, yaitu fundamen, filsafat,
jiwa dan pikiran yang sedalam-dalamnya yang di atasnya akan didirikan gedung Indonesia
yang merdeka.
Sidang BPUPKI pertama terdapat usulan-usulan sebagai berikut:
a) Mr. Muh. Yamin (29 Mei 1945)
17
Dalam pidatonya tanggal 29 Mei 1945 Muh. Yamin mengusulkan calon rumusan dasar negara
sebagai berikut:
Secara Lisan
1. Peri kebangsaan
2. Peri kemanusian
3. Peri Ketuhanan
4. Peri kerakyatan (permusyawaratan, peerwakilan, kebijaksanaan)
5. Kesejahteraan rakyat (keadilan sosial).
Secara Tertulis
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradap
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
b) Prof. Dr. Supomo (31 Mei 1945)
Dalam pidatonya Prof. Dr. Supomo mengemukakan teori-teori negara sebagai berikut:
1. Paham kebangsaaan
2. Warga Negara berhak tunduk kepada Tuhan dan supaya setiap saat ingat kepada
Tuhan
3. Sistem badan permusyawaratan
4. Ekonomi Negara bersifat Asia Timur Raya
5. Hubungan antar bangsa yang bersifat Asia Timur Raya
Selanjutnya dalam kaitannya dengan dasar filsafat negara Indonesia Soepomo mengusulkan
hal-hal mengenai: kesatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir dan batin, musyawarah,
keadilan rakyat.
c) Ir. Soekarno (1 Juni 1945)
Dalam hal ini Ir. Soekarno menyampaikan dasar negara yang terdiri atas lima prinsip yang
rumusanya yaitu:
1. Nasionalisme(kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme dan peri kemanusiaan
3. Musyawarah mufakat perwakilan atau demokrasi,
4. kesejahteraan social
5. Ketuhanan yang berkebudayaan
18
Beliau juga mengusulkan bahwa pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara dan
pandangan hidup bangsa Indonesia.
Sidang BPUPKI Kedua (10-16 Juli 1945) dalam siding ini membahas Dasar Negara. Dalam
sidang ini dibentuk panitia kecil yang terdiri dari 9 orang dan populer disebut dengan “panitia
sembilan” yang anggotanya adalah sebagai berikut:
1. Ir. Soekarno
2. Wachid Hasyim
3. Mr. Muh. Yamin
4. Mr. Maramis
5. Drs. Moh. Hatta
6. Mr. Soebarjo
7. Kyai Abdul Kahar Muzaki
8. Abikoesmo Tjokrosoejoso
9. Haji Agus Salim
Panitia sembilan ini mengadakan pertemuan secara sempurna dan mencapai suatu hasil baik
yaitu suatu persetujuan antara golongan islam dengan golongan kebangsaan.
Panitia sembilan bersidang tanggal 22 Juni 1945 dan menghasilkan kesepakatan yang
dituangkan dalam Mukadimah Hukum Dasar, alinea keempat dalam rumusan dasar negara
sebagai berikut:
1. Ketuhanan dengan berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Moh. Yamin mempopulerkan kesepakatan tersebut dengan nama Piagam Jakarta atau
Jakarta Charter.
Dalam sidang BPUPKI kedua ini pemakaian istilah hukum dasar diganti dengan istilah
undang-undang dasar. Keputusan penting dalam rapat ini adalah tentang bentuk negara
republik dan luas wilayah negara baru. tujuan anggota badan penyelidik adalah menghendaki
Indonesia raya yang sesungguhnya yang mempersatukan semua kepulauan Indonesia.
Susunan Undang Undang Dasar yang diusulkan terdiri atas tiga bagian yaitu :

19
1. Pernyataan Indonesia merdeka, yang berupa dakwaan dimuka dunia atas Penjajahan
Belanda
2. Pembukaan yang didalamnya terkandung dasar negara Pancasila
Pancasila sebagai dasar falsafah negara tidak boleh menjadi
ideologi yang beku sehingga seluruh komponen bangsa terutama
para intelektual muda dapat memberikan ide-ide baru dan kreatif
untuk merevitalisasi Pancasila dalam realitas kehidupan berbangsa
dan bernegara.
3. Pasal-pasal Undang Undang Dasar.
Pancasila Era Kemerdekaan
Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima oleh Amerika Serikat
yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang. Sehari kemudian BPUPKI berganti
nama menjadi PPKImenegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan
Indonesia. Bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki yang membuat Jepang menyerah kepada
Amerika dan sekutunya. Peristiwa inipun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaannya. Untuk merealisasikan tekad tersebut, maka pada
tanggal 16 Agustus 1945 terjadi perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam
penyusunan teks proklamasi yang berlangsung singkat, mulai pukul 02.00-04.00 dini
hari.Teks proklamasi sendiri disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad
Soebardjo di ruang makanLaksamana Tadashi Maeda tepatnya di Jalan Imam Bonjol No 1.
Konsepnya sendiri ditulis oleh Ir. Soekarno. Sukarni (dari golongan muda) mengusulkan agar
yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama
bangsa Indonesia.
Kemudian teks proklamasi Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Isi Proklamasi
Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat yang tertuang dalam Piagam
Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini berisi garis-garis pemberontakan melawan
imperialisme-kapitalisme dan fasisme serta memuat dasar pembentukan Negara Republik
Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perjanjian San Francisco (26 Juni
1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (Yamin, 1954: 16).Piagam Jakarta ini
kemudian disahkan oleh sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi pembentukan
UUD 1945, setelah terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari kalimat “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, diubah menjadi Ketuhanan
Yang Maha Esa.
20
Pada tahun 1950-an muncul inisiatif dari sejumlah tokoh yang hendak melakukan interpretasi
ulang terhadap Pancasila. Saat itu muncul perbedaan perspektif yang dikelompokkan dalam
dua kubu. Pertama, beberapa tokoh berusaha menempatkan Pancasila lebih dari sekedar
kompromi politik atau kontrak sosial. Mereka memandang Pancasila tidak hanya kompromi
politik melainkan sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa. Kedua, mereka yang
menempatkan Pancasila sebagai sebuah kompromi politik. Dasar argumentasinya adalah
fakta yang muncul dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Pancasila pada saat itu benar-
benar merupakan kompromi politik di antara golongan nasionalis netral agama (Sidik
Djojosukarto dan Sutan Takdir Alisyahbana dkk) dan nasionalis Islam (Hamka, Syaifuddin
Zuhri sampai Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar negara.
Pancasila Pra Kemerdekaan
Dr. Radjiman Wedyodiningrat, selaku Ketua Badan dan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK), pada tanggal 29 Mei 1945, meminta kepada sidang untuk
mengemukakan dasar (negara) Indonesia merdeka, permintaan itu menimbulkan rangsangan
memutar kembali ingatan para pendiri bangsa ke belakang; hal ini mendorong mereka untuk
menggali kekayaan kerohanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan yang terpendam
lumpur sejarah. Begitu lamanya penjajahan menyebabkan bangsa Indonesia hilang arah dalam
menentukan dasar negaranya. Atas permintaan Dr. Radjiman inilah, figur-figur negarawan
bangsa Indonesia berpikir keras untuk menemukan kembali jati diri bangsanya. Pada sidang
pertama BPUPKI yang dilaksanakan dari tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945, tampil berturut-turut
untuk berpidato menyampaikan usulannya tentang dasar negara. Pada tanggal 29 Mei 1945
Mr. Muhammad Yamin mengusulkan calon rumusan dasar Negara Indonesiasebagai berikut:
1) Peri Kebangsaan,
2) Peri Kemanusiaan,
3) Peri Ketuhanan,
4) Peri Kerakyatan dan
5) Kesejahteraan Rakyat.
Kemudian Prof. Dr. Soepomo pada tanggal 30 Mei 1945 mengemukakan teori-teori
Negara, yaitu:
1) Teori negara perseorangan (individualis),
2) Paham negara kelas dan
3) Paham negara integralistik.
Selanjutnya oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang mengusulkan lima dasar
negara yang terdiri dari:
21
1) Nasionalisme (kebangsaan Indonesia),
2) Internasionalisme (perikemanusiaan),
3) Mufakat (demokrasi),
4) Kesejahteraan sosial, dan
5) Ketuhanan Yang Maha Esa
Pidato pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut, Ir Soekarno mengatakan, “Maaf, beribu maaf!
Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang
sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya
Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang
mulia ialah, dalam bahasa Belanda:“Philosofische grond-slag” daripada Indonesia
Merdeka. Philosofische grond-slag itulah fundamen,filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya,
jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia yang kekal
dan abadi”.
Demikian hebatnya Ir. Soekarno dalam menjelaskan Pancasila dengan runtut, logis dan
koheren, namun dengan rendah hati Ir. Soekarno membantah apabila disebut sebagai pencipta
Pancasila. Beliau mengatakan, “Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya
diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta
Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang
kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa
Indonesia. Malah pernah saya katakan, bahwa sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian
daripada Pancasila ini saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya…
Sebagaimana tiap-tiap manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu
Wataala, diberi ilham oleh Allah Subhanahu Wataala.
Selain ucapan yang disampaikan Ir. Soekarno di atas, Pancasila pun merupakan khasanah
budaya Indonesia, karena nilai-nilai tersebut hidup dalam sejarah Indonesia yang terdapat
dalam beberapa kerajaan yang ada di Indonesia, seperti berikut:
1. Pada Kerajaan Kutai, masyarakat Kutai merupakan pembuka jaman sejarah Indonesia
untuk pertama kali, karena telah menampilkan nilai sosial politik, dan Ketuhanan
dalam bentuk kerajaan, kenduri dan sedekah kepada para Brahmana.
2. 2.Perkembangan Kerajaan Sriwijaya oleh Mr. Muhammad Yamin disebut
sebagai Negara Indonesia Pertama dengan dasar kedatuan, itu dapat ditemukan nilai-
nilai Pancasila material yang paling berkaitan satu sama lain, seperti nilai persatuan
yang tidak terpisahkan dengan nilai ke-Tuhanan yang tampak pada raja sebagai pusat
kekuasaan dengan kekuatan religius berusaha mempertahankan kewibawaannya
22
terhadap para datu. Nilai-nilai kemasyarakatan dan ekonomi yang terjalin satu sama
lain dengan nilai internasionalisme dalam bentuk hubungan dagang yang terentang
dari pedalaman sampai ke negeri-negeri seberang lautan pelabuhan kerajaan dan Selat
Malaka yang diamankan oleh para nomad laut yang menjadi bagian dari birokrasi
pemerintahan Sriwijaya.
3. Pada masa Kerajaan Majapahit, di bawah Raja Prabu Hayam Wuruk dan Apatih
Mangkubumi, Gajah Mada telah berhasil mengintegrasikan nusantara. Faktor-faktor
yang dimanfaatkan untuk menciptakan Wawasan Nusantara itu adalah: kekuatan religi
magis yang berpusat pada Sang Prabu, ikatan sosial kekeluargaan terutama antara
kerajaan-kerajaan daerah di Jawa dengan Sang Prabu dalam lembaga Pahom
Narandra.
Jadi dapatlah dikatakan bahwa nilai-nilai religius sosial dan politik yang merupakan materi
Pancasila sudah muncul sejak memasuki jaman sejarah. Bahkan, pada masa kerajaan
ini, istilah Pancasila dikenali yang terdapat dalam buku Negarakertagama karangan Prapanca
dan buku Sutasoma karangan Empu Tantular. Dalam buku tersebut istilah Pancasila di
samping mempunyai arti “berbatu sendi yang lima” (dalam bahasa Sansekerta), juga
mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila Krama), yaitu:
1. Tidak boleh melakukan kekerasan
2. Tidak boleh mencuri
3. Tidak boleh berjiwa dengki
4. Tidak boleh berbohong
5. Tidak boleh mabuk minuman keras
Kedua jaman, baik Sriwijaya maupun Majapahit dijadikan tonggak sejarah karena pada waktu
itu bangsa telah memenuhi syarat-syarat sebagai bangsa yang mempunyai negara. Baik
Sriwijaya maupun Majapahit waktu itu merupakan negara-negara yang berdaulat, bersatu
serta mempunyai wilayah yang meliputi seluruh Nusantara. Pada jaman tersebut bangsa
Indonesia telah mengalami kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem, kerta
raharja.
Selain jaman kerajaan, masih banyak fase-fase yang harus dilewati menuju Indonesia
merdeka hingga tergalinya Pancasila yang setelah sekian lama tertimbun oleh penjajahan
Belanda. Sebagai salah satu tonggak sejarah yang merefleksikan dinamika kehidupan
kebangsaan yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila adalah termanifestasi dalam Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang berbunyi, “Kami putra dan putri Indonesia
mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia
23
mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Penemuan kembali Pancasila sebagai jati diri
bangsa terjadi pada sidang pertama BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei sampai 1 Juni
1945.
Pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI, Ir. Soekarno menyebutkan lima
dasar bagi Indonesia merdeka. Sungguhpun Ir. Soekarno telah mengajukan lima sila dari
dasar negara, beliau juga menawarkan kemungkinan lain, sekiranya ada yang tidak menyukai
bilangan lima, sekaligus juga cara beliau menunjukkan dasar dari segala dasar kelima sila
tersebut. Alternatifnya bisa diperas menjadi Tri Sila bahkan dapat dikerucutkan lagi menjadi
Eka Sila. Tri Sila meliputi: socio-nationalisme(kebangsaan), socio democratie (mufakat) dan
ke-Tuhanan. Sedangkan Eka Sila yang dijelaskan oleh Ir. Soekarno yaitu “Gotong Royong”
karena menurut Ir. Soekarno negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong
royong. Tetapi yang lahir pada tanggal 1 Juni itu adalah nama Pancasila(disamping nama
Trisila dan Ekasila yang tidak terpilih).
Pancasila Era Orde Lama
Terdapat dua pandangan besar terhadap Dasar Negara yang berpengaruh terhadap munculnya
Dekrit Presiden. Pandangan tersebut yaitu mereka yang memenuhi “anjuran” Presiden/
Pemerintah untuk “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945” dengan Pancasila sebagaimana
dirumuskan dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara. Sedangkan pihak lainnya
menyetujui ‘kembali ke Undang-Undang Dasar 1945”, tanpa cadangan, artinya dengan
Pancasila seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan
PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara. Namun, kedua usulan tersebut tidak
mencapai kuorum keputusan Sidang Konstituante. Majelis ini menemui jalan buntu pada
bulan Juni 1959. Kejadian ini menyebabkan Presiden Soekarno turun tangan dengan sebuah
Dekrit Presiden yang disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959, yang kemudian dirumuskan
di Istana Bogor pada tanggal 4 Juli 1959 dan diumumkan secara resmi oleh presiden pada
tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 di depan Istana Merdeka .Dekrit Presiden tersebut berisi:
1) Pembubaran konstituante;
2) Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku; dan
3) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara. sosialisasi terhadap paham Pancasila yang konklusif menjadi prelude penting
bagi upaya selanjutnya; Pancasila dijadikan “ideologi negara” yang tampil hegemonik.
Ikhtiar tersebut tercapai ketika Ir. Soekarno memberi tafsir Pancasila sebagai satu kesatuan
paham dalam doktrin “Manipol/USDEK”. Manifesto Politik(Manipol) adalah materi pokok
24
dari pidato Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”
yang kemudian ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menjadi Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN). Belakangan, materi pidato tersebut dikukuhkan dalam
Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS1960
tentang GBHN. Manifesto Politik Republik Indonesia tersebut merupakan hasil perumusan
suatu panitia yang dipimpin oleh D.N. Aidit yang disetujui oleh DPA pada tanggal 30
September 1959 sebagai haluan negara .
Oleh karena itu, mereka yang berseberangan paham memilih taktik “gerilya” di dalam
kekuasaan Ir. Soekarno. Mereka menggunakan jargon-jargon Ir. Soekarno dengan agenda
yang berbeda. Taktik demikian digunakan oleh sebagian besar kekuatan politik. Tidak hanya
PKI, mereka yang anti komunisme pun sama. Walaupun kepentingan politik mereka berbeda,
kedua arus tersebut sama-sama menggunakan Pancasila sebagai justifikasi. Ir. Soekarno
menghendaki persatuan di antara beragam golongan dan ideologi termasuk komunis, di
bawah satu payung besar, bernama Pancasila (doktrin Manipol/USDEK), sementara golongan
antikomunis mengkonsolidasi diri sebagai kekuatan berpaham Pancasila yang lebih “murni”
dengan menyingkirkan paham komunisme yang tidak ber-Tuhan (ateisme) . Dengan adanya
pertentangan yang sangat kuat ditambah carut marutnya perpolitikan saat itu, maka Ir.
Soekarno pun dilengserkan sebagai Presiden Indonesia, melalui sidang MPRS.
Pancasila Era Orde Baru
Setelah jatuhnya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal Soeharto yang
memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi kepresidenan tersebut,
arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki. Pada peringatan hari lahir
Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan, “Pancasila makin banyak mengalami
ujian jaman dan makin bulat tekad kitamempertahankan Pancasila”. Selain itu, Presiden
Soeharto juga mengatakan, “Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk
dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah negara yang sekedar dikeramatkan dalam
naskah UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan .
Pancasila dijadikan sebagai political force di samping sebagai kekuatan ritual. Begitu kuatnya
Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1 Juni 1968 Presiden Soeharto
mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa
Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila
dan menyimpang dari Pancasila pasti digagalkan. Selanjutnya pada tahun 1968 Presiden
Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang menjadi panduan
dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu:
25
Satu : Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa
Dua : Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tiga : Persatuan Indonesia
Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan
Lima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada tanggal 22 Maret
1978 dengan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) Pasal 4 menjelaskan, “Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam
kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap
penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik
Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”.
Nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) tersebut meliputi 36 butir, yaitu:
1.SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
 Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
 Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut
kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup
 Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya
 Tidak memaksakan sesuatu agama dan kepercayaan kepada orang lain
2.SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
 Mengakui persamaan derajat, persamaan hak,dan persamaan kewajiban antara sesama
manusia
 Saling mencintai sesama manusia
 Mengembangkan sikap tenggang rasa
 Tidak semena-mena terhadap orang lain
 Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
 Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
 Berani membela kebenaran dan keadilan

26
 Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena
itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain
3.SILA PERSATUAN INDONESIA
 Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan Negara
diatas kepentingan pribadi atau golongan
 Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara
 Cinta tanah air dan bangsa
 Bangga sebagai bangsa dan bertanah air Indonesia
 Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka
Tunggal Ika
4.SILA KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAH KEBIJAKSANAAN DALAM
PERMUSYAWARATAN / PERWAKILAN
 Mengutamakan kepentingan Negara dan masyarakat
 Tidak memaksakan kehendak terhadap orang lain
 Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama
 Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan
 Dengan itikat yang baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil
keputusan musyawarah
 Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur
 Keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan
Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan
5.SILA KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
 Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan
 Bersikap adil
 Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban
 Menghormati hak-hak orang lain
 Suka memberi pertolongan kepada orang lain
 Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain
 Tidak bersikap boros
 Tidak bergaya hidup mewah

27
 Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum
 Suka bekerja keras
 Menghargai kerja orang lain
 Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial
Ketetapan ini kemudian dicabut dengan Tap MPR no. I/MPR/2003 dengan 45
butir Pancasila. Tidak pernah dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir ini benar-
benar diamalkan dalam keseharian warga Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas 36 butir tersebut, kemudian pada tahun 1994
disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
(1) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
(2) Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
(3) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama
dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(4) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
(5) Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
(6) Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing.
(7) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada
orang lain.
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
(1) Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya.
(3) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
(4) Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.

28
(5) Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
(6) Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
(7) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
(8) Berani membela kebenaran dan keadilan.
(9) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
(10) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3. Persatuan Indonesia
(1) Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan
negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
(2) Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
(3) Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
(4) Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
(5) Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
(6) Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
(7) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan
(1) Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
(2) Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
(3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
(4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
(5) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil
musyawarah.
(6) Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan
musyawarah.
(7) Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan
golongan.
(8) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
(9) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan
Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan
keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.

29
(10) Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan
pemusyawaratan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
(1) Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan.
(2) Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
(3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
(4) Menghormati hak orang lain.
(5) Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
(6)Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang
lain.
(7) Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup
mewah.
(8) Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan
umum.
(9) Suka bekerja keras.
(10) Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan
kesejahteraan bersama.
(11) Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.
Perbedaan yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Kedua,
menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Keempat, menjadi 10
(sepuluh) butir; dan Sila Kelima, menjadi 11 (sebelas) butir. Sumber hukum dan tata urutan
peraturan perundang-undangan di negara Indonesia diatur dalam Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan, “Amanat penderitaan rakyat hanya dapat
diberikan dengan pengamalan Pancasila secara paripurna dalam segala segi kehidupan
kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa
serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu
negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan dalam Pembukaan UUS
1945” (Ali, 2009: 37). Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak reinforcingoleh
pemerintah dengan menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila.
Kemarahan Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga Presiden Soeharto bicara keras pada
Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980. Intinya Orba tidak akan mengubah Pancasila dan
UUD 1945, malahan diperkuat sebagai comparatist ideology. Jelas sekali bagaimana
30
pemerintah Orde Baru merasa perlu membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya
militer. Tak seorangpun warga negara berani ke luar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan
Endah (ed.), 2010: 43). Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru
menjalankan “Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas Tunggal,
bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai pemersatu
bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44). Dengan semakin terbukanya
informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada akhir 1990-an yang
secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah Orde
Baru. Demikian pula demokrasi semakin santer mengkritik praktek pemerintah Orde Baru
yang tidak transparan dan otoriter, represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus
mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian kondisi ini bertahan sampai dengan
lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010:
45).
Pancasila Era Reformasi
Pancasila yang seharusnya sebagai nilai dasar moral etik bagi negara dan aparat
pelaksana Negara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi
politik.Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional,
maka timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa,
cendekiawan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yangmenuntut adanya
“reformasi” di segala bidang politik, ekonomi dan hukum.
Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara itu untuk
sementara waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde Baru.
Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta
kebenaran. Negara menjadi maha tahu mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu
selalu ditanam ke benak masyarakat melalui indoktrinasi. Dengan seolah-olah
“dikesampingkannya” Pancasila pada Era Reformasi ini, pada awalnya memang tidak
nampak suatu dampak negatif yang berarti, namun semakin hari dampaknya makin terasa dan
berdampak sangat fatal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam
kehidupan sosial, masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-
konflik horisontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dalam bidang budaya, kesadaran
masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai luntur, yang pada akhirnya terjadi
disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral generasi muda.

31
Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di berbagai sektor, diperparah lagi
dengan cengkeraman modal asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik,
terjadi disorientasi politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik seolah-olah hanya tertuju
pada kepentingan kelompok dan golongan. Lebih dari itu, aktivitas politik hanya sekedar
merupakan libido dominan di atas hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas
memperjuangkan kepentingan nasional yang pada akhirnya menimbulkan carut marut
kehidupan bernegara seperti dewasa ini.
Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia secara
normatif, tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR Nomor : XVIII/MPR/1998 Pasal
1 menyebutkan bahwa “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945
adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara
konsisten dalam kehidupan bernegara”. Ketetapan ini terus dipertahankan, meskipun ketika
itu Indonesia akan menghadapi Amandeman Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia tahun 1945.
Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara,Pancasila pun menjadi sumber hukum
yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3) yang
menyebutkan, “Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang
Dasar 1945”.
Semakin memudarnya Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
membuat khawatir berbagai lapisan elemen masyarakat. Oleh sebab itu, sekitar tahun 2004
Azyumardi Azra menggagas perlunya rejuvenasi Pancasila (semangat untuk mengembalikan
Pancasila seperti apa yang dicita-citakan oleh para Founding Fathers, Pancasila tidak lagi
dijadikan sebagai alat politik tetapi Pancasila ditujukan untuk mencapai masyarakat yang
mempunyai budaya harmonis, bermartabat dan mempunyai visi yang luas) sebagai faktor
integratif dan salah satu fundamen identitas nasional. Seruan demikian tampak signifikan
karena proses amandeman UUD 1945 saat itu sempat memunculkan gagasan menghidupkan
kembali Piagam Jakarta. Selain keadaan di atas, juga terjadi terorisme yang
mengatas namakan agama. Tidak lama kemudian muncul gejala Perda Syariah di sejumlah
daerah. Rangkaian gejala tersebut seakan melengkapi kegelisahan publik selama reformasi
yang mempertanyakan arah gerakan reformasi dan demokratisasi. Seruan Azyumardi Azra
32
direspon sejumlah kalangan. Diskursus (pemikiran) tentang Pancasila kembali menghangat
dan meluas usai Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila yang diselenggarakan FISIP-UI
pada tanggal 31 Mei 2006 (Ali, 2009: 52). Sekretariat Wapres Republik Indonesia, pada
tahun 2008/2009 secara intensif melakukan diskusi-diskusi untuk merevitalisasi sosialisasi
nilai-nilai Pancasila. Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga membentuk Tim Pengkajian Pendidikan
Pancasila di Perguruan Tinggi. Sementara itu, beberapa perguruan tinggi telah
menyelenggarakan kegiatan sejenis, yaitu antara lain: Kongres Pancasila di Universitas
Gadjah Mada, Simposium Nasional Pancasila dan Wawasan Kebangsaan di Universitas
Pendidikan Indonesia, dan Kongres Pancasila di Universitas Udayana. Lebih dari itu MPR-RI
melakukan kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila yang dikenal dengan sebutan “Empat
Pilar Kebangsaan”, yang terdiri dari: Pancasila, Undang-Undang Dasar tahun 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Akan tetapi, istilah “Empat Pilar
Kebangsaan” ini mengandung; 1) linguisticmistake (kesalahan linguistik) atau dapat pula
dikatakan kesalahan terminologi; 2) ungkapan tersebut tidak mengacu pada realitas empiris
sebagaimana terkandung dalam ungkapan bahasa, melainkan mengacu pada suatu pengertian
atau ide, ‘berbangsa dan bernegara’ itu dianalogikan bangunan besar (gedung yang besar);
3)kesalahan kategori (category mistake), karena secara epistemologis kategori pengetahuan
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang sama. Ketidaksamaan itu berkaitan dengan
realitas atau hakekat pengetahuannya, wujud pengetahuan, kebenaran pengetahuannya serta
koherensi pengetahuannya.
Selain TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk mensosialisasikan kembali Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara tegasUndang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menyebutkan dalam penjelasan Pasal 2 bahwa:Penempatan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus
dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Hal tersebut
berkorelasi bahwa Undang-Undang ini penekanannya pada kedudukan Pancasila sebagai
dasar negara. Sudah barang tentu hal tersebut tidak cukup. Pancasila dalam kedudukannya
33
sebagai pandangan hidup bangsa perlu dihayati dan diamalkan oleh seluruh komponen
bangsa. Kesadaran ini mulai tumbuh kembali, sehingga cukup banyak lembaga pemerintah di
pusat yang melakukan kegiatan pengkajian sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Salah satu
kebijakan nasional yang sejalan dengan semangat melestarikan Pancasila di kalangan
mahasiswa adalah Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi yang menyatakan bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat mata kuliah
Agama, Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia.
Makna penting dari kajian historis Pancasila ini ialah untuk menjaga eksistensi Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu seluruh komponen bangsa harus secara imperatif
kategoris menghayati dan melaksanakan Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun
sebagai . Pandangan Hidup Bangsa, dengan berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945 dan secara konsisten menaati ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal
UUD 1945.

34
3.
Perbedaan Tantangan dalam Penerapan Pancasila pada Masa ke Masa
Penerapan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
No Pada Masa Orde Lama Pada Masa Orde Baru Pada Masa Reformasi
.
1. Diliputi oleh kekacauan Diliputi oleh Dihadapkannya kondisi
(terutama pemberontakan- pemberontakan dan kehidupan masyarakat
pemberontakan yang penerapan nilai-nilainya yang diwarnai oleh
terjadi) dan dihadapkannya hanya dijadikan alat politik kehidupan yang serba
kondisi kehidupan penguasa belaka. bebas. (Timbulnya hal
masyarakat peralihan dari negatif pada masyarakat)
terjajah menjadi merdeka.
2. Tantangan juga kekacauan Tantangan juga kekacauan Tantangan juga
yang terjadi pada masa ini yang terjadi pada masa ini kekacauan yang terjadi
ialah banyaknya ialah penerapan yang pada masa ini ialah
pemberontakan dari dilakukan terjadi banyak terjadinya globalisasi,
berbagai pihak yang penyimpangan seperti kebebasan tanpa batas
berambisi mengganti demokrasi Pancasila yang yang terjadi diantara
Pancasila dengan ideologi diwarnai dengan seluruh masyarakat.
lainnya kediktatoran. Dimana munculnya
pergaulan bebas, dan pola
komunikasi yang tidak
beretika juga perpecahan
lainnya.

3. Demokrasi dan Politik pada Demokrasi dan Politik pada Diwarnai oleh
masa ini tidak mengikuti masa ini juga tidak jauh komunikasi yang tidak
penerapan Pancasila sebagai beda dengan terjaga karna adanya
dasar Negara dan menyimpangnya penerapan konsep kebebasan tanpa
pandangan hidup bangsa, pada Masa Orde Baru batas, dimana masyarakat
karena Presiden Soekarno dikarenakan dan aktivis serta
saat itu menjadikan pemerintahannya sama- pengamat politik secara
pemerintah Indonesia sama otoriter. Kekuasaan bebas mengkritik juga
menjadi otoriter. Terbukti Presiden Soeharto pada memberi saran namun

35
adanya kemerosotan moral masa itu merupakan pusat kebanyakan cara
di sebagian masyarakat dari seluruh proses politik penyampaiannya tidak
yang tidak lagi hidup di Indonesia. Demokrasi beretika. Banyak orang
bersendikan nilai-nilai pada masa ini juga diwarnai secara bebas melecehkan
Pancasila dan berusaha oleh kediktatoran. nama-nama di dalam
mengganti dengan ideologi dunia perpolitikan
lain. khususnya Presiden.
Namun penerapannya
tidak lagi pemerintahan
yang dilandasi oleh
otoriter

Pada masa orde lama :


 Adanya kelompok yang ingin mengganti pancasila sebagai dasar negara dan
pandangan hidup bangsa
 Pemberontakan PKI madiun
 Pemberotakan darul islam
Pada masa reformasi :
 Pada kondisi kehidupan masyarakat yang diwarnai oleh kehidupan uang serba bebas
 Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan di antara sesama warga bangsa seperti
konflik di beberapa daerah,tawuran antar pelajar

36
4.
1. Dr. Syahrial Syarbaini, MA.
Dasar negara adalah suatu fondasi yang terdiri dari unsur yang kuat dan kokoh untuk
mendirikan suatu negara sehingga negara nantinya tidak runtuh dan bubar.
2. M. Huda, S.H., M.H
Dasar Negara adalah fandemen yang kokoh dan kuat serta bersumber dari pandangan
hidup atau falsafah (cerminan dari peradaban, kebudayaan, keluhuran budi, dan
kepribadian yang tumbuh dalam sejarah perkembangan Indonesia) yang diterima oleh
seluruh lapisan masyarakat.
Dasar Negara adalah suatu norma tertinggi yang merupakan sumber bagi
pembentukan tata hukum dan peraturan perundangan di suatu negara.
Dasar Negara adalah Pedoman hidup bernegara yang mencangkup cita-cita, tujuan,
dan norma negara.
3. Wiwin Agustrio
Dasar Negara adalah landasan kehidupan bernegara. Setiap negara harus mempunyai
landasan dalam melaksanakan kehidupan bernegaranya. Dasar negara bagi suatu
negara merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara.
4. Mutmainah
Dasar negara adalah landasan kehidupan berbangsa dan bernegara yang
keberadaannya wajib dimiliki oleh setiap negara dalam setiap detail kehidupannya.
Dasar negara bagi suatu negara merupakan suatu dasar untuk mengatur semua
penyelenggaraan yang terbentuk dalam sebuah negara. Negara tanpa dasar negara
berarti negara tersebut tidak memiliki pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara, maka akibatnya negara tersebut tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas,
sehingga memudahkan munculnya kekacauan, baik kekacauan yang berasal dari luar
maupun dari dalam negara itu sendiri. Dasar negara sebagai pedoman hidup bernegara
mencakup norma bernegara, cita-cita negara, dan tujuan Negara.
Konsep pancasila sebagai dasar negara menurut Saya, pancasila adalah suatu dasar serta
norma untuk mengatur pemerintahan negara atau dengan kata lain, Pancasila merupakan
suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara. Sehingga, seluruh pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara termasuk Undang-Undang harus dijabarkan serta diturunkan dari
nilai-nilai Pancasila. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

37
5.
Pancasila merupakan unsur penting bagi Indonesia. Pancasila dapat diartikan sebagai dasar
negara atau dapat pula disebut sebagai falsafah negara atau ideology negara. Selain itu,
pancasila juga merupakan dasar untuk mengatur pemerintahan negara. Pancasila juga
digunakan sebagai dasar penyelenggaraan sebuah negara.
Maksud dari pancasila sebagai dasar negara bahkan tertuang dalam pembukaan UUD 1945
alenia IV yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan
negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.” Sebagai sebuah dasar negara, pancasila digunakan untuk mengatur tatanan
negara. Hal tersebut berarti bahwa peraturan yang ada di Indonesia disusun berdasarkan
pancasila.
Arti Penting Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
1. Pancasila sangat penting sebagai dasar negara karena merupakan sumber dari segala
sumber hukum dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia dan digunakan sebagai
dasar untuk mengatur kehidupan negara Indonesia.
2. Pancasila digunakan sebagai dasar atau acuan dalam penyelenggaraan negara.
3. Pancasila sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara
4. Pancasila merupakan alat pemersatu bangsa
Arti Penting Pancasila sebagai Dasar Negara Menjadi Alat Pemersatu
Sebagai pemersatu bangsa, Pancasila mutlak diperlukan oleh seluruh generasi bangsa.
Sekalipun bangsa Indonesia yang sekarang sudah bersatu, tidak berarti Pancasila tidak
diperlukan lagi. Karena yang disebut bangsa Indonesia bukan hanya yang sekarang ini ada,
tetapi juga yang nanti akan ada. Selama masih terjadi proses regenerasi, selama itu pula
Pancasila sebagai pemersatu Bangsa masih tetap kita perlukan.
Itu berarti, selama masih ada bangsa Indonesia, selama itu pula masih kita perlukan alat
pemersatu bangsa. Ini berarti, bahwa selama masih ada bangsa Indonesia, maka Pancasila
sebagai dasar negara masih tetap kita butuhkan. Ini sekaligus membuktikan kebenaran
Pancasila, baik selaku dasar Negara, maupun sebagai kepentingan lain. Sehingga Pancasila
menunjukkan memiliki banyak fungsi atau multy function.

38
6.
Sumber Historis Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia
Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr. Radjiman
Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahas pada sidang tersebut.
Masalah tersebut adalah tentang suatu calon rumusan dasar negara Indonesia yang akan
dibentuk. Kemudian tampilah pada sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu Mohammad
Yamin, Soepomo dan Soekarno.
Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam siding tersebut Ir. Soekarno berpidato secara lisan (tanpa
teks) mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia. Kemudian untuk memberikan nama
“Pancasila” yang artinya lima dasar, hal ini menurut Soekarno atas saran dari salah seorang
temannya yaitu seorang ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian
keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya Undang-Undang Dasar 1945
termasuk Pembukaan UUD 1945 di mana didalamnya termuat isi rumusan lima prinsip atau
lima prinsip sebagai satu dasar negara yang diberi nama Pancasila.
Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa Indonesia dan merupakan istilah umum.
Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah “Pancasila”, namun
yang dimaksudkan Dasar Negara Republik Indonesia adalah disebut dengan istilah
“Pancasila”. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan
calon rumusan dasar negara, yang secara spontan diterima oleh peserta sidang secara bulat.
Sumber Posiologis Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia

Bangsa Indonesia yang penuh kebhinekaan terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa yang
tersebar di lebih dari 17.000 pulau, secara sosiologis telah mempraktikan Pancasila karena
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan kenyataan-kenyataan (materil, formal,
dan fungsional) yang ada dalam masyarakat Indonesia. Kenyataan objektif ini menjadikan
Pancasila sebagai dasar yang mengikat setiap warga bangsa untuk taat pada nilai-nilai
instrumental yang berupa norma atau hukum tertulis (peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi, dan traktat) maupun yang tidak tertulis seperti adat istiadat, kesepakatan atau
kesepahaman, dan konvensi.
Kebhinekaan atau pluralitas masyarakat bangsa Indonesia yang tinggi, dimana agama, ras,
etnik, bahasa, tradisi-budaya penuh perbedaan, menyebabkan ideologi Pancasila bisa diterima
sebagai ideologi pemersatu. Data sejarah menunjukan bahwa setiap kali ada upaya
perpecahan atau pemberontakan oleh beberapa kelompok masyarakat, maka nilai-nilai
39
Pancasilalah yang dikedepankan sebagai solusi untuk menyatukan kembali. Begitu kuat dan
‘ajaibnya’ kedudukan Pancasila sebagai kekuatan pemersatu, maka kegagalan upaya
pemberontakan yang terakhir (G30S/PKI) pada 1 Oktober 1965 untuk seterusnya hari
tersebut dijadikan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Bangsa Indonesia yang plural secara sosiologis membutuhkan ideologi pemersatu Pancasila.
Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila perlu dilestarikan dari generasi ke generasi untuk
menjaga keutuhan masyarakat bangsa. Pelestarian nilai-nilai Pancasila dilakukan khususnya
lewat proses pendidikan formal, karena lewat pendidikan berbagai butir nilai Pancasila
tersebut dapat disemaikan dan dikembangkan secara terencana dan terpadu.
Sumber Politis Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia
1. Nilai Ketuhanan (Realigiusitas)
Nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan keterkaitan individu dengan sesuatu
yang dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, agung dan mulia. Memahami
Ketuhahan sebagai pandangan hidup adalah mewujudkan masyarakat yang
beketuhanan, yakni membangun masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa maupun
semangat untuk mencapai ridlo Tuhan dalam setiap perbuatan baik yang dilakukan.
2. Nilai Kemanusiaan (Moralitas)
Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah pembentukan suatu kesadaran tentang
keteraturan, sebagai asas kehidupan, setiap manusia mempunyai potensi untuk
menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang beradab.
3. Nilai Persatuan (kebangsaan) Indonesia.
Persatuan adalah gabungan yang terdiri atas beberapa bagian, kehadiran Indonesia
dan bangsanya di muka bumi ini bukan untuk bersengketa. Bangsa Indonesia hadir
untuk mewujudkan kasih sayang kepada segenap suku bangsa dari Sabang sampai
Marauke.
4. Nilai Permusyawaratan dan Perwakilan
Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan hidup berdampingan dengan orang
lain, dalam interaksi itu biasanya terjadi kesepakatan, dan saling menghargai satu
sama lain atas dasar tujuan dan kepentingan bersama. Prinsip kerakyatan yang
menjadi cita-cita utama untuk membangkitkanbangsa Indonesia, mengerahkan potensi
mereka dalam dunia modern.
5. Nilai Keadilan Sosial
Nilai keadilan adalah nilai menjunjung norma berdasarkan ketidak berpihakkan,
keseimbangan, serta pemerataan terhadap suatu hal. Mewujudkan keadilan sosial
40
bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan cita-cita bernegara dan berbangsa. bermakna
mewujudkan keadaan masyarakat yang bersatu secara organik, dimana mempunyai
kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang serta belajar.
6. Perkembangan Pancasila Sebagai Ideologi Politik Sampai Sekarang
Memang dalam kondisi kehidupan politik kita sekarang ini banyak diantara kita,
antara lain dikalangan mereka yang memegang kekuasaan, yang tidak berkenan untuk
mengakui kesenjangan antara nilai-nilai dasar ideologi kita dengan praktek kehidupan
perpolitikan sehari-hari. Secara empiris di lapangan praktek kehidupan perpolitikan
masih jauh dari, dan kadang-kadang mungkin ada yang bertentangan dengan nilai-
nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Keinginan agar
kehidupan politik kita lebih terbuka dan lebih demokratis merupakan salah satu
ukuran yang dapat kita pakai buat mengetahui kehadiran kesenjangan tersebut.
Soalnya sekarang ialah apakah kita semua, termasuk yang berkuasa, memiliki
kemauan politik yang kuat untuk memperbaiki kesenjangan itu.

41

Anda mungkin juga menyukai