Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL

Disusun Oleh :
JAINAL ABIDIN, S,Pd.I
NIM : 20160223

Dosen Pengampu :
Dr. H. Nurul Iman, Lc. MHI

FAKULTAS AGAMA ISLAM


JURUSAN PAI PASCA SARJANA (S2) SEMESTER PERTAMA
TAHUN AKADEMIK : 2020 / 2021
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu Al-jarh Wa At-ta’dil merupakan bagian ilmu-ilmu haditst yang urgent dalam
menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits. Jika seorang ahli hadits dinyatakan cacat
maka periwayatnya ditolak, sebaliknya jika seorang perawi dipuji dengan pujian adil, maka
perawinya diterima. Kedudukan ilmu ini semakin signifikan ketika seseorang hendak melakukan
penelitian hadits atau biasa dikenal dengan sebutan Takhrij Al-Hadits.
Ilmu Al-jarh Wa At-ta’dil  adalah timbangan bagi para rawi hadits. Dengan ilmu ini kita
bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima haditsnya, serta yang tidak dapat diterima
haditnya. Oleh karena itu para ulama hadits memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatian dan
mencurahkan segala pikirannya untuk menguasainya.
B.    Rumusan Masalah
1. Pengertian Jarh Wa Ta’dil
2. Kaidah dalam Jarh Wa Ta’dil
3. Konsistensi dalam penerapan kaidah
4. Syarat dalam melakukan Jarh Wa Ta’dil
5. Kitab yang memuat tentang Jarh Wa Ta’dil
6. Unsur edukasi yang terdapat di dalamnya.
C.    Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Jarh Wa Ta’dil
2. Untuk mengetahui kaidah dalam Jarh Wa Ta’dil
3. Untuk mengetahui konsistensi dalam penerapan kaidah
4. Untuk mengetahui syarat dalam melakukan Jarh Wa Ta’dil
5. Untuk mengetahui kitab yang memuat tentang Jarh Wa Ta’dil
6. Untuk mengetahui unsur edukasi yang terdapat di dalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil


Kalimat Al-jarh wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari
dua kata, yaitu ‘Al-jarh dan ‘Al-adl’. Al-jarh merupakan bentuk masdar dari kata : jaraha-
yajrahu-jarhan (‫جرح – يجرح – جرحا‬  )  yang berarti cacat atau luka, atau seseorang membuat luka
pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu. Istilah cacat ini
digunakan untuk menunjukkan sifat jelek yang melekat pada periwayat hadits seperti pelupa,
pembohong dan sebagainya. Adapun kata at-ta’dil, asal katanya adalah masdar dari kata kerja
‘addala-yu’addilu-ta’dilan (‫ديال‬99‫ ّدل – تع‬99‫ ّدل – يع‬99‫)ع‬, artinya mengemukakan sifat-sifat adil yang
dimiliki oleh seseorang. Menurut istilah ilmu hadits, kata at-ta’dil mempunyai arti mengungkap
sifat-sifat bersih yang ada pada periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan
pribadi periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima (1). 
Adapun yang dimaksud dengan Jarh wa Ta’dil menurut Dr. ‘Ajjaj al Khatib (1989:260)
adalah sebagai berikut :
‫العلم الذى يبحث في احوال الرواة من حيث قبول رواياتهم او ردها‬
Artinya : ilmu yang membahas tentang hal ihwal perawi dari segi diterima atau ditolak
periwayatan mereka.
Jadi Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui sifat negatif
dan positif perawi hadits yang berpengaruh pada kualitas hadits yang diriwayatkannya.
Dengan al-jarh, segi-segi kelemahan atau kecacatan perawi diungkapkan. Sedangkan at-ta’dil,
segi-segi penilaian positif pada perawi diungkapkan. Dengan begitu dapat diketahui apakah
sebuah hadits yang diriwayatkan perawi tersebut dapat dipercaya atau tidak.

B. Kaidah dalam Jarh Wa Ta’dil

Ketika sebagian besar hukum-hukum syariat hanya bisa diketahui dengan jalan
meriwayatkan hadits, maka para ulama mulai meneliti keadaan (semua sifat) para perawi hadits.
Ada beberapa kaidah penting yang digunakan mereka sebagai metode penelitian dari perawi
hadits, yaitu:

a. Al-amanah wa al-nazahah; dalam artinya mereka tidak hanya menyebutkan kekurangan tetapi


juga kelebihan perawi, seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Sirin: “saya telah
berbuat dzalim terhadap saudaramu jika hanya menyebutkan keburukannya dengan tanpa
menyebutkan kebaikannya”.

1 Fatchur Rahman, "Ikhtisar Muushthalah Hadis" ( Bandung: PT Ma'arif- pecetakan Offset, 2000), hal:268
b. Al-diqoh fi al-bahsi wa al-hukmi; dalam artian mereka sangat mendalam dalam meneliti
keadaan perawi yang diperbincangkan. Mayoritas para ulama bisa mendiskripsikan keadaan
para rawi, adakalanya karena mereka pernah bergaul langsung dengan para rawi atau murni
karena persangkaan mereka, dan mereka membedakan antara lemahnya rawi yang berangkat
dari kelemahannya dalam beragama dan dari lemahnya hafalan.

c. Iltizam ‘ala al-adab fi al-jarh; dalam artian para ulama jarh wa ta’dil –dalam ijtihad mereka
untuk memberikan kritikan- tidak akan keluar dari etika penelitian yang bersifat ilmiah yang
sahih. Kritikan yang paling tajam kepada rawi hanya memakai ungkapan “fulan adalah
orang yang lemah atau pembohong”. Bahkan sebagian dari mereka tidak memakai
kata “pembohong” tapi dengan ucapan “ia adalah orang yang tidak jujur”.

d. Al-ijmal fi al-Ta’dil wa Tafsil fi al-tarjih; dalam artian, mereka -ulama jarh wa ta’dil– selalu


menjelaskan sifat adil seorang rawi secara global (tidak menjelaskan sebab-sebab
keadilannya), seperti: ia bisa dipercaya, ia adil, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam
menjelaskan sebab-sebab dari sifat jarh rawi selalu terperinci, seperti: pelupa, pembohong,
fasik, dan lain sebagainya.

C. Konsistensi dalam penerapan kaidah


Sebagai bentuk konsistensi dalam penerapan kaidah ilmu Jarh Wa Ta’dil maka para
ulama hadits membuat tingkatan lafadz-lafadz untuk menta’dil dan mentarjih rawi
sehingga sebuah hadit bisa digunakan apa tidak.
1. Tingkatan At-Ta’dil
Tingkatan Pertama, Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta‟dil-an, atau
dengan menggunakan wazan af‟ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti :
“Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat
periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
Tingkatan Kedua, Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-
„adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna;
seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma‟mun), atau
tsiqah dan hafizh.
Tingkatan Ketiga, Yang menunjukan adanya pentsiqahan tanpa adanaya penguatan atas
hal itu, seperti: tsiqah, tsabat, atau hafizh.
Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan adanya ke-„adil-an dan kepercayaan tanpa
adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma‟mun
(dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba‟sa bihi (tidak
mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma‟in kalimat laa ba‟sa bihi adalah tsiqah
(Ibnu Ma‟in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa
saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut).
Tingkatan Kelima, Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti
: Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya „anhul-hadiits (diriwayatkan darinya
hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
Tingkatan Keenam, Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti: ShalihulHadiits
(haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya.)

Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih
kuat dari sebagian yang lain. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan
hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan
membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai
dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak. 
Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka
ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka
tidak dlabith.(2)

2. Tingkatan Al-Jarh
Tingkatan Pertama, Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling
rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi
maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla‟fun (padanya ada kelemahan).
Tingkatan Kedua, Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak
boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau
“dla‟if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui
identitas/kondisinya).
Tingkatan Ketiga, Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis
haditsnya, seperti : “Fulan dla‟if jiddan (dla‟if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”,
atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya).
(Dikecualikan untuk Ibnu ma‟in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai
petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits,
seperti : Fulan muttaham bil-kadzib(dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan
hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), ataulaisa bi tsiqah
(bukan orang yang terpercaya).
Tingkatan Kelima, Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya;
seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla‟ (pemalsu hadits), atau
yakdzib (dia berbohong), atau yadla‟ (dia memalsikan hadits).

2 Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟l-Hadits,Cet. Ke-1, (Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1974), h. 268


Tingkatan Keenam, Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini
seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia
adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka,
akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan
kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama..Sedangkan empat
tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak
dianggap sama sekali.(3)

D. Syarat dalam melakukan Jarh Wa Ta’dil

Al jarh dan at ta’dil mempunyai dua macam syarat, yaitu:


Pertama, syarat Ulama yang boleh melakukan al jarh dan at ta’dil dan kedua, syarat diterimanya
al jarh dan at ta’dil.
Adapun syarat ulama yang akan melakukan al jarh dan at ta’dil itu, sebagai berikut:
1. Berilmu, bertaqwa, warak dan jujur.
2. Mengetahui sebab-sebab al jarh dan at ta’dil.
3. Mengetahui penggunaan lafadz dan ungkapan bahasa Arab
4. Penilaian al jarh dan at ta’dil dari setiap orang yang adil, baik laki-laki maupun perempuan,
merdeka maupun budak diterima.
5. Penilaian al jarh dan at ta’dil dari satu orang dapat dipadakan selama ia memenuhi syarat
sebagai penilai. Inilah pendapat kebanyakan ulama. (4)
Kedua, syarat-syarat diterimanya al jarh dan at ta’dil itu, sebagai berikut:
1. Al Jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya.
2. Penilaian jarh secara umum tanpa menjelaskan sebab-sebabnya terhadap periwayat yang sama
sekali tidak ada yang menta’dilnya dapat diterima.
3. Al Jarh harus terlepas dari berbagai hal yang menghalangi penerimaannya.(5)

E. Kitab yang memuat tentang Jarh Wa Ta’dil


Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta‟dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan
keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan
ta‟dil sudah dikumpulkan. Permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya
bin Ma‟in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas
terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.
Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada mereka :

3 Mahmud Ath-Thahan, Taisir Musthalah Al-Hadits, h. 152-154


4 Abdul Mahdi, Ilmu Jarh wa at-Ta’dil qowa’iduhu wa Aimmatuhu. Jami’ah Al-Azhar: Mesir. 1998.hal:40-41 dan
74
5 Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits.PT Alma’arif : Yogjakarta.1970.hal.310-311
1. Ma'rifat ar- Rijal, karya Yahya Ibni Main (wafat tahun 233 H). Berada di Darul kutub
Adh- Dhahiriyah.
2. Adl-Dlu‟afaa‟ul-Kabiir dan Adl-Dlu‟afaa‟ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin
Isma‟il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India tahun 320 H. Karya beliau
yang lain : At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir].
3. Al-Jarhu wa at Ta'dil, karya Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy.
4. Al-Tsiqat, karya Ibnu Hatim bin Hibban al- Busty. Naskah aslinya di Darul kutub al-
Mishriyyah.
5. Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-„Ijly (wafat tahun
261 H), manuskrip.
6. Mizan al-I'tidal, karya Imam Syamuddin Muhammad adz- Dzahaby.
7. Lisan al- Mizan, karya al- Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalany, dicetak di India tahun
1329-1331H
8. Tahdib al- Tahdib, karya Ibnu Hajar.
9. Al- Kamal fi Asma ar- Rijal, karya Abdul Ghani Mudadisy
F. Unsur Edukasi Yang Terdapat Di Dalamnya.

Apabila kita tidak memahami ilmu al-jarh wa at-ta’dil maka akan muncul penilaian bahwa
seluruh orang yang meriwayatkan hadist ini dinilai sama. Padahal, perjalanan hadist semenjak
Nabi Muhammad SAW sampai dibukukan adalah perjalanan yang panjang, dan diwarnai dengan
situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian hadist
harus diteliti secara seksama karena terjadi pertikaian dibidang politik, masalah ekonomi dan
lain-lain yang dikaitkan dengan hadist. Akibatnya, mereka yang menyandarkan hadist terhadap
Rasulullah SAW, padahal yang diriwayatkannya adalah riwayat yang bohong. Dan mereka
melakukan itu untuk kepentingan golongannya saja.
Jika kita mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan
antara hadis yang benar-benar dari Rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu’).Dengan
mengetahui ilmu al-Jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa mnyeleksi mana hadist shohih, hasan,
maupun hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ilmu jarh adalah ilmu tentang kecacatan pada perawi hadits disebabkan oleh sesuatu yang
dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi. Jadi ilmu jarh adalah ilmu yang mempelajari
seluk beluk para perawi hadits yang meliputi perkataan dan perbuatan dalam mendapatkan dan
menjaga hadits. Ilm ta’dil adalah lawan dari al-jarh, yaitu pembersih dari sifat-sifat yang
membuat riwayatnya ditolak. Sehingga dengan ta’dil ini riwayatnya bisa diterima dikalangan
umat Islam.
B.    Saran
Dengan mempelajari kedua ilmu ini, maka jelaslah para perawi yang sudah dinyatakan
adil maka bisa diterima riwayatnya tanpa ada keraguan lagi. Mudah-mudahan makalah sederhana
ini dapat dijadikan sebagai refrensi untuk bagi para pembaca. Untuk  itu penulis sangat
mengharapkan masukan dan saran yang sangat membantu penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua bagi pembaca/umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Fatchur Rahman, "Ikhtisar Muushthalah Hadis" ( Bandung: PT Ma'arif- pecetakan Offset, 2000)
Mahmud Ath-Thahan, Taisir Musthalah Al-Hadits
Abdul Mahdi, Ilmu Jarh wa at-Ta’dil qowa’iduhu wa Aimmatuhu. Jami’ah Al-Azhar: Mesir.
1998.
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟l-Hadits,Cet. Ke-1, (Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1974)
Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits.PT Alma’arif : Yogjakarta.1970.

Anda mungkin juga menyukai