Jahr Dan Ta'dil 3
Jahr Dan Ta'dil 3
Disusun Oleh :
JAINAL ABIDIN, S,Pd.I
NIM : 20160223
Dosen Pengampu :
Dr. H. Nurul Iman, Lc. MHI
Ketika sebagian besar hukum-hukum syariat hanya bisa diketahui dengan jalan
meriwayatkan hadits, maka para ulama mulai meneliti keadaan (semua sifat) para perawi hadits.
Ada beberapa kaidah penting yang digunakan mereka sebagai metode penelitian dari perawi
hadits, yaitu:
1 Fatchur Rahman, "Ikhtisar Muushthalah Hadis" ( Bandung: PT Ma'arif- pecetakan Offset, 2000), hal:268
b. Al-diqoh fi al-bahsi wa al-hukmi; dalam artian mereka sangat mendalam dalam meneliti
keadaan perawi yang diperbincangkan. Mayoritas para ulama bisa mendiskripsikan keadaan
para rawi, adakalanya karena mereka pernah bergaul langsung dengan para rawi atau murni
karena persangkaan mereka, dan mereka membedakan antara lemahnya rawi yang berangkat
dari kelemahannya dalam beragama dan dari lemahnya hafalan.
c. Iltizam ‘ala al-adab fi al-jarh; dalam artian para ulama jarh wa ta’dil –dalam ijtihad mereka
untuk memberikan kritikan- tidak akan keluar dari etika penelitian yang bersifat ilmiah yang
sahih. Kritikan yang paling tajam kepada rawi hanya memakai ungkapan “fulan adalah
orang yang lemah atau pembohong”. Bahkan sebagian dari mereka tidak memakai
kata “pembohong” tapi dengan ucapan “ia adalah orang yang tidak jujur”.
Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih
kuat dari sebagian yang lain. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan
hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan
membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai
dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka
ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka
tidak dlabith.(2)
2. Tingkatan Al-Jarh
Tingkatan Pertama, Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling
rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi
maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla‟fun (padanya ada kelemahan).
Tingkatan Kedua, Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak
boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau
“dla‟if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui
identitas/kondisinya).
Tingkatan Ketiga, Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis
haditsnya, seperti : “Fulan dla‟if jiddan (dla‟if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”,
atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya).
(Dikecualikan untuk Ibnu ma‟in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai
petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits,
seperti : Fulan muttaham bil-kadzib(dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan
hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), ataulaisa bi tsiqah
(bukan orang yang terpercaya).
Tingkatan Kelima, Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya;
seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla‟ (pemalsu hadits), atau
yakdzib (dia berbohong), atau yadla‟ (dia memalsikan hadits).
Apabila kita tidak memahami ilmu al-jarh wa at-ta’dil maka akan muncul penilaian bahwa
seluruh orang yang meriwayatkan hadist ini dinilai sama. Padahal, perjalanan hadist semenjak
Nabi Muhammad SAW sampai dibukukan adalah perjalanan yang panjang, dan diwarnai dengan
situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian hadist
harus diteliti secara seksama karena terjadi pertikaian dibidang politik, masalah ekonomi dan
lain-lain yang dikaitkan dengan hadist. Akibatnya, mereka yang menyandarkan hadist terhadap
Rasulullah SAW, padahal yang diriwayatkannya adalah riwayat yang bohong. Dan mereka
melakukan itu untuk kepentingan golongannya saja.
Jika kita mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan
antara hadis yang benar-benar dari Rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu’).Dengan
mengetahui ilmu al-Jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa mnyeleksi mana hadist shohih, hasan,
maupun hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu jarh adalah ilmu tentang kecacatan pada perawi hadits disebabkan oleh sesuatu yang
dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi. Jadi ilmu jarh adalah ilmu yang mempelajari
seluk beluk para perawi hadits yang meliputi perkataan dan perbuatan dalam mendapatkan dan
menjaga hadits. Ilm ta’dil adalah lawan dari al-jarh, yaitu pembersih dari sifat-sifat yang
membuat riwayatnya ditolak. Sehingga dengan ta’dil ini riwayatnya bisa diterima dikalangan
umat Islam.
B. Saran
Dengan mempelajari kedua ilmu ini, maka jelaslah para perawi yang sudah dinyatakan
adil maka bisa diterima riwayatnya tanpa ada keraguan lagi. Mudah-mudahan makalah sederhana
ini dapat dijadikan sebagai refrensi untuk bagi para pembaca. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan masukan dan saran yang sangat membantu penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua bagi pembaca/umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Fatchur Rahman, "Ikhtisar Muushthalah Hadis" ( Bandung: PT Ma'arif- pecetakan Offset, 2000)
Mahmud Ath-Thahan, Taisir Musthalah Al-Hadits
Abdul Mahdi, Ilmu Jarh wa at-Ta’dil qowa’iduhu wa Aimmatuhu. Jami’ah Al-Azhar: Mesir.
1998.
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟l-Hadits,Cet. Ke-1, (Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1974)
Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits.PT Alma’arif : Yogjakarta.1970.