Anda di halaman 1dari 13

1

Identitas Jurnal

Judul Jurnal : Potensi Klaster Industri Furnitur Dari Kayu Di Wilayah Subosukawonosraten

Penulis : Rina Wulandaria, Retno Widodo Dwi Pramonob, dan Widyasari Her

Nugrahandika

Tahun Jurnal : 2018

Jurnal : Region, Vol. 13, No. 1, Januari 2018: Halaman 1-19

Latar Belakang dan Deskripsi Issue Pokok


Perencanaan wilayah memiliki salah satu komponen penting yaitu perencanaan
ekonomi makro yang salah satu komponennya adalah pertumbuhan ekonomi (Archibugi,
2008). Pertumbuhan ekonomi dapat terjadi apabila terdapat peningkatan daya saing di suatu
daerah. Daya saing sendiri merupakan kemampuan bersaing untuk komoditas atau daerah di
pasar dunia dalam kondisi nyata (Porter, 1985). Di era globalisasi saat ini, kemampuan bersaing
antardaerah semakin diperkuat dengan adanya sistem desentralisasi. Oleh karena itu, setiap
wilayah harus memiliki strategi untuk mengembangkan ekonomi lokal berdasarkan sumber
daya alam dan sumber daya manusia di daerah masing-masing agar dapat bersaing dengan
derah lain. Salah satu strategi yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan ekonomi
lokal adalah penerapan konsep klaster industri yang berbasis pada kedekatan lokasi industri
sejenis dan optimalisasi sumber daya lokal. Klaster industri sendiri diartikan sebagai kelompok
perusahaan yang saling berhubungan, berdekatan secara geografis dengan institusi-institusi
yang terkait dalam suatu bidang khusus karena kebersamaan dan saling melengkapi (Porter,
2000). Selain menekankan pada konsentrasi geografis, klaster industri juga menekankan pada
aspek keterkaitan/ hubungan dan keterlibatan aktor-aktor (institusi).
Di Indonesia sendiri keberadaan klaster industri sudah cukup banyak. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh JICA (2004), terdapat kira-kira 9800 klaster industri yang
tersebar di seluruh wilayah di negara Indonesia. Kemunculan konsep klaster industri ini sangat
erat kaitannya dengan gejala aglomerasi industri. Bianchi, dkk (1997); Andersson, dkk (2004);
Menzel dan Fornahl (2007) berpendapat bahwa klaster industri pada awalnya berupa
aglomerasi perusahaan yang memproduksi komoditas yang sama. Aglomerasi industri ini
kemudian berkembang membentuk jejaring dengan supplier, konsumen, institusi, dan asosiasi
perdagangan, sehingga pada akhirnya berevolusi menjadi klaster yang mampu berinovasi dan
berdaya saing. Hal mendasar yang membedakan antara aglomerasi industri dengan klaster

2
industri adalah di dalam aglomerasi industri, perusahaan-perusahaan hanya berkumpul atau
terkonsentrasi secara geografis tanpa adanya interaksi antar industri. Sedangkan di dalam
konsep klaster, terdapat interaksi atau hubungan antara industri-industri tersebut dan terdapat
jejaring antara produsen dan pemasok. Perkembangan sebuah aglomerasi untuk menjadi klaster
industri dapat terbentuk karena adanya faktor-faktor produksi dan terjadi dalam beberapa
tahapan. Berdasarkan penelitian tentang industri di Italia, Bianchi, dkk (1997) mengidentifikasi
bahwa klaster industri dapat mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Menzel
dan Fornahl (2007) membagi tahapan siklus menjadi empat, yaitu embrio klaster, tahap
pertumbuhan, bertahan (klaster dewasa), dan tahap penurunan.
Salah satu aglomerasi industri yang dapat berkembang dan berpotensi menjadi klaster
di Indonesia adalah industri furniture dari kayu. Industri furnitur dari kayu merupakan kegiatan
industri yang mengolah kayu menjadi perabotan ruangan. Dalam klaster industri furniture kayu
terdapat industri inti, industri pendukung, dan industri terkait. Industri inti dalam hal ini
merupakan industri furnitur dari kayu. Sedangkan industri pendukungnya merupakan industri
mesin/ perlataan furnitur, industri logam, TPT, glue/lem, plastic, karet, dan bahan kimia.
Industri terkaitnya dapat berupa industri gergajian (sawmill), plywood, papan partikel, block
board, MDF, kertas (packing) dan sebagainya.
Berdasarkan Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Prioritas Industri Berbasis
Agro Tahun 2010-2014, Provinsi Jawa Tengah ditetapkan sebagai pusat pengembangan
industri furnitur dari kayu di Indonesia. Industri furnitur dari kayu ini cenderung berkembang
di Jepara, Rembang, Klaten, Sukoharjo, Sragen, dan Boyolali (Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Jawa Tengah). Aglomerasi industri furniture kayu ini juga mulai
berkembang di wilayah sekitarnya yang kemudian disebut dengan wilayah
Subosukawonosraten. Subosukawonosraten merupakan wilayah yang terdiri dari Kota
Surakarta, Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten.
Menurut statistik, terdapat 5.249 industri pengolahan kayu di wiilayah Subosukawonosraten.
Industri tersebut terdiri dari 120 industri pengolahan kayu skala besar dan 5.124 industri kecil
dan menengah (IKM). Selain itu, secara umum produksi kayu pertukangan jati dan rimba di
Jawa Tengah terus mengalami peningkatandari tahun 2016 – 2020. Produksi hasil hutan di
Jawa Tengah dalam satuan unit m³ dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

3
Produksi Hasil Hutan Jawa Tengah 2016-2020
200000
150000
100000
50000
0
2016 2017 2018 2019 2020

Kayu Pertukangan Jati Kayu Pertukangan Rimba

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2021


Berdasarkan data dan potensi-potensi yang telah disebutkan, aglomerasi industri kayu yang ada
di Provinsi Jawa Tengah khususnya wilayah Subosukawonosraten ini memiliki potensi untuk
berkembang menjadi sebuah klaster industri yang besar.
Penjelasan Issue Pokok dan Critical Review
Pengelompokkan industri atau aglomerasi dapat diidentifikasi dengan memetakan
sebaran industri pengolahan kayu dengan orientasi produk berupa furnitur di Wilayah
Subosukawonosraten dan analisis tetangga terdekat. Hasil analisis Average Nearest Neighbor
menggunakan ArcGis 10.3, menunjukkan bahwa sebaran industri pengolahan kayu di Wilayah
Subosukawonosraten memiliki rasio sebesar 0,267999 dengan Z-score -97,202 dan signifikansi
0,000. Rasio tersebut berada dalam parameter yang menunjukkan pola spatial clustered yang
artinya terdapat pengelompokan atau aglomerasi industri.

Jarak rata-rata antara titik (industri) dengan titik terdekatnya adalah 0,146 km. Sebanyak
76,48% atau 4.011 titik (industri) memiliki jarak dengan industri terdekatnya kurang dari jarak

4
rata-rata tersebut. Hasil tersebut menunjukkan bahwa jumlah industri pengolahan kayu yang
cenderung mengelompok lebih besar dibandingkan jumlah industri yang cenderung acak dan
berjauhan. Hasil tersbut juga menunjukkan bahwa di wilayah Subosukawonosraten ini telah
terbentuk embrio klaster industri dimana embrio klaster ini nantinya dapat berkembang
menjadi klaster yang lebih besar.
Namun yang menjadi kekurangan pada analisis tetangga terdekat dalam jurnal ini
adalah penulis jurnal tidak menjelaskan mengenai metode pengumpulan data dalam penelitian
ini. Oleh karena itu dalam jurnal ini tidak dapat diketahui apakah data input yang digunakan
untuk analisis tetangga terdekat ini sudah menggunakan data dari tahun terbaru atau tidak.
Penggunaan data tahun terbaru disini sangat penting karena industri cenderung berkembang
semakin pesat karena adanya teknologi sehingga akan lebih baik jika data yang digunakan
adalah yang terbaru agar penelitian semakin akurat. Berikut merupakan peta dari embrio-
embrio klaster yang terbentuk di wilayah Subosukawonosraten berdasarkan hasil analisis
tetangga terdekat.

5
Berdasarkan gambar tersebut, tidak semua industri pengolahan kayu di wilayah
Subosukawonosraten membentuk aglomerasi, hanya terdapat 4 lokasi yang berkelompok dan
membentuk aglomerasi industri pengolahan kayu yang terdiri dari 3.059 unit usaha (58,3 %).
Lokasi-lokasi tersebut tersebar di beberapa kecamatan yang berbeda. Meskipun demikian,
jumlah tersebut juga merupakan jumlah yang cukup besar. Selain melihat dari segi pemusatan
lokasi geografis, para ahli juga berpendapat bahwa aglomerasi industri dapat berkembang
menjadi sebuah klaster industri apabila terdapat keterkaitan atau koneksi dengan pemasok
maupun sebuah institusi. Industri furnitur dari kayu yang teraglomerasi di Wilayah
Subosukawonosraten ini telah menjalin hubungan baik secara vertikal (dengan pemasok dan
distributor) maupun horizontal dengan institusi untuk meningkatkan mekanisme usaha.
Institusi tersebut antara lain :
 ASMINDO (Asosiasi Mebel Indonesia). Asmindo ini merupakan sebuah asosiasi bagi
perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam permebelan dan kerajinan kayu di
Wilayah Soloraya/ Subosukawonosraten. Adanya koneksi dengan Asmindo dapat
membuka pasar ekspor bagi industri furniture di wilayah Subosukawonosraten karena
Asmindo terdiri dari industri-industri berskala besar. Selain Asmindo,
 Pemerintah Daerah. Pemerintah daerah disini memiliki peran dalam memfasilitasi
perkembangan klaster usaha bagi industri furniture melalui program FEDEP (Forum
for Economic Development and Employment Promotion). Selain itu, melalui FEDEP
ini pemerintah daerah juga berperan sebagai institusi yang menjembatani seluruh aktor
yang terlibat. Setiap kabupaten dan kota yang ada di wilayah Subosukawonosraten telah
memiliki FEDEP, namun hanya FEDEP Kab. Sukoharjo, Kab. Sragen, dan Kota
Surakarta yang cukup aktif dalam memberikan fasilitasi pengembangan klaster bagi
industri furnitur dari kayu di wilayahnya. Sedangkan FEDEP Kab. Boyolali dan Klaten
tidak terlalu aktif dalam pendampingan dan pengembangan industri furnitur dari kayu
di wilayahnya.
 Perguruan tinggi : UNS, UMS, dan ISI Surakarta. Dalam pengembangan klaster
industri pengolahan kayu di wilayah Subosukawonosraten, perguruan tinggi berperan
dalam memberikan bantuan teknis produksi, inovasi produk, manajemen usaha, dan
manajemen pemasaran produk.
 Institusi lainnya seperti KUB (Kelompok Usaha Bersama), paguyuban, dan koperasi.
Meskipun sudah terdapat koneksi secara vertical dengan beberapa institusi,
perkembangan industri furniture di 4 kelompok aglomerasi yang terbentuk di wilayah

6
Subosukawonosraten memiliki potensi yang berbeda-beda. Potensi aglomerasi untuk
berkembang menjadi klaster dapat dinilai berdasarkan beberapa kriteria yaitu ukuran
aglomerasi, aktor yang terlibat, bentuk hubungan antar aktor, dan jangkauan pemasaran.
Berdasarkan kriteria tersebut, berikut merupakan gambaran potensi tiap aglomerasi industri
yang ada di wilayah Subosukawonosraten.

7
Berdasarkan pemaparan di atas, berikut merupakan potensi dari masing-masing aglomerasi
industri dan tingkat perkembangan klaster di Wilayah Subosukawonosraten.
1. Aglomerasi 1
Aglomerasi industri ini terletak di Kabupaten Sragen, Boyolali, dan Karanganyar.
Aglomerasi ini memiliki ukuran yang besar dan terdiri dari 1729 industri. Selain itu,
aglomerasi ini sudah mampu membentuk hubungan secara vertical seperti industri-industri
terkait mapun horizontal (pemerintah daerah, Asmindo, dan institusi lain) jika
dibandingkan dengan aglomerasi lainnya. Selain itu, di wilayah aglomerasi ini terdapat
zona industri mebel di Kabupaten Sragen yang telah menyerap sekitar 20% IKM furniture
di sekitarnya. Di samping itu, di wilayah aglomerasi ini juga terdapat UPT perkayuan di
Desa Sembungan Boyolali yang dibangun oleh kolaborasi antara pemerintah daerah,
Asmindo, dan IKM furniture yang ada. Paguyuban ini menyediakan jasa pengolahan kayu.
Keberadaan zona industri dan UPT perkayuan tersebut dapat memperkuat potensi
aglomerasi 1 ini untuk berkembang menjadi sebuah klaster industri. Di sisi lain,
aglomerasi industri ini masih memiliki kekurangan dalam jangkauan pemasarannya karena
80% produk yang dihasilkan masih dipasarkan di dalam wilayah Subosukawonosraten saja
dan hanya 20% yang menembus pasar ekspor. Selain itu, belum ada kolaborasi secara
menyeluruh terutama antar pemerintah daerah Kabupaten Sragen, Boyolali, dan
Karanganyar. Kerjasama hanya dilakukan oleh industri secara vertikal dengan supplier dan
distributor industri furniture. Berdasarkan kondisi-kodisi tersebut, jika dikaitkan dengan

8
teori siklus hidup klaster menurut Menzel dan Fornahl (2007), aglomerasi industri di
wilayah ini berada pada fase pertumbuhan klaster karena sudah muncul kolaborasi dari
berbagai institusi formal.
2. Aglomerasi 2
Aglomerasi ini terletak di Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo dan Kecamatan
Juwiring, Kabupaten Klaten dengan 778 unit usaha/industri furniture. Jika ditinjau dari
keterlibatan aktor secara vertical dan horizontal, aglomerasi industri di wilayah ini
memiliki kesamaan dengan aglomerasi industri pertama yang berarti bahwa aglomerasi
industri di wilayah ini sudah menjalin koneksi dengan supplier, distributor, dan pemerintah
daerah. Selain itu, sebagian besar aglomerasi industri di wilayah ini terikat subkontrak
dengan industri furniture yang lebih besar yang membuat mayoritas produk yang
dihasilkan di wilayah aglomerasi ini dipasarkan ke luar daerah atau ekspor. Pemerintah
Kabupaten Sukoharjo, IKM, dan UNS berkolaborasi mengembangkan teknologi
pengeringan kayu tenaga thermal untuk menunjang potensi pertumbuhan klaster industri
di wilayah ini. Selain itu, ASMINDO juga telah membantu dalam pembuatan sertifikat
untuk produk furniture yang dihasilkan oleh IKM di Desa Serenan, mengingat sebagian
besar produk yang dihasilkan akan diekspor. Koneksi yang terjalin kuat di wilayah
aglomerasi ini menjadi salah satu potensi untuk berkembang menjadi klaster industri yang
lebih besar. Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, menurut teori Menzel dan Fornahl
(2007) aglomerasi ini telah masuk ke dalam fase pertumbuhan klaster karena sudah
terdapat kolaborasi dari berbagai pihak.
3. Aglomerasi 3
Aglomerasi 3 ini terletak di Kecamatan Trucuk dan Cawas, Kabupaten Klaten dengan
jumlah industri furniture sebanyak 394 unit. Dari segi ukuran aglomerasi dan aktor yang
terlibat, potensi klaster industri di wilayah ini tidak sebesar wilayah 1 dan 2. Hal ini dapat
dilihat dari hubungan yang terjalin secara horizontal, dimana wilayah aglomerasi 3 ini
hanya memiliki koneksi dengan industri furniture di daerah setempat dan pemerintah
daerah Kabupaten Klaten. Namun belum terdapat kolaborasi dengan institusi lain seperti
Asmindo, koperasi, dan perguruan tinggi. Di sisi lain, pelaku industri di wilayah ini bekerja
sama dengan pelaku industri dari luar wilayah aglomerasi sebagai penerima kontrak
pekerjaan pembuatan furnitur setengah jadi. Tak hanya itu, wilayah aglomerasi 3 ini juga
sudah melakukan ekspor sebesar 60% dari produk furniture yang dihasilkan. Secara
keseluruhan, aglomerasi industri ini masih memasuki fase pembentukan klaster industri
karena aglomerasi industri ini mampu menarik pelaku industri dari luar.

9
4. Aglomerasi 4
Aglomerasi 4 ini merupakan aglomerasi industri yang paling kecil di wilayah
Subosukawonosraten karena hanya terdapat 159 unit industri. Meskipun demikian,
aglomerasi industri yang terpusat di Desa Belangwetan ini sudah menjalin koneksi secara
vertical dan horizontal. Bahkan, di wilayah ini juga terbentuk institusi local Paguyuban
Manunggal Jati yang didirikan secara mandiri oleh pelaku usaha industri furniture.
Kemunculan insititusi local tersebut menjadi salah satu potensi bagi aglomerasi industri
ini untuk berkembang menjadi sebuah klaster industri. Namun, aglomerasi industri ini
membutuhkan perhatian lebih dalam hal jangkauan pemasarannya karena seluruh produk
furniture yang dihasilkan masih dipasarkan di Kabupaten Klaten dan Yogyakarta saja.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, aglomerasi industri di wilayah ini sudah memasuki
tahap pembentukan klaster industri ditandai dengan kemunculan institusi lokal yang
berpotensi untuk berkembang menjadi lebih besar.

Analisis deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini sudah sangat lengkap dimana
pada analisis di atas sudah dilengkapi dengan table perbandingan antara 4 kelompok
aglomerasi industri yang terbentuk. Dengan adanya table perbandingan tersebut, isi dari
analisis menjadi lebih informatif. Selain itu, penulis jurnal juga menjabarkan bagaimana
kondisi di setiap kelompok aglomerasi berdasarkan aspek atau kriteria yang dinilai yaitu aspek
ukuran aglomerasi, aktor yang terlibat, bentuk hubungan antar aktor, dan jangkauan pemasaran.
Dalam analisisnya, penulis jurnal juga menganalisis bagaimana keterlibatan dan kolaborasi
antara aktor-aktor yang ada di setiap kelompok aglomerasi. Hal tersebut sangat penting karena
keterlibatan dan kolaborasi antar aktor menjadi salah satu penentu apakah suatu aglomerasi
industri tersebut sudah berkembang menjadi klaster industri. Selain itu, pada analisis ini penulis
jurnal juga mengaitkan hasil analisis yang diperoleh di setiap kelompok aglomerasi dengan
teori pembentukan klaster dari para ahli.
Namun, yang menjadi kekurangan dalam analisis deskriptif yang disampaikan penulis
jurnal disini adalah penulis tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi
pertumbuhan klaster industri. Salah satu teori terkait hal tersebut adalah model berlian milik
Porter. Dalam model berlian Porter terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan klaster industri, salah satunya adalah faktor kondisi permintaan untuk produk
(barang dan/atau jasa) dari industri yang bersangkutan. Porter mengemukakan bahwa faktor ini
merupakan inti penting bagi pertumbuhan klaster industri. Selain faktor kondisi permintaan,
terdapat faktor penting lainnya, yaitu faktor input. Faktor ini menggambarkan bagaimana

10
kondisi “inputan” yang dibutuhkan untuk klaster industri, seperti bagaimana kondisi tenaga
kerja dan infrastruktur yang ada di wilayah tersebut. Meskipun demikian, penulis jurnal sudah
menggambarkan dengan baik bagaimana potensi klaster di setiap kelompok aglomerasi dan
dapat diketahui bahwa aglomerasi yang memiliki potensi besar menjadi klaster adalah
aglomerasi 1 dan 2, sedangkan aglomerasi 3 dan 4 masih dalam tahap pembentukan. Namun
berdasarkan hasil yang ada, penulis jurnal masih kurang dalam memberikan strategi dan
rekomendasi untuk mengembangkan potensi pertumbuhan klaster di kelompok aglomerasi 3
dan 4.

Kesimpulan Issue Pokok


Berdasarkan analisis, terbentuk 4 kelompok aglomerasi industri furniture di Wilayah
Subosukawonosraten. Aglomerasi tersebut industri yang meliputi industri besar, menengah,
dan kecil berpotensi untuk berkembang menjadi klaster. Potensi ini ditunjukkan dengan adanya
fase pembentukan dan pertumbuhan klaster industri yang dianalisis berdasarkan ukuran
aglomerasi, aktor yang terlibat, hasil dan bentuk kolaborasi antar aktor, dan jangkauan
pemasaran. Keempat aglomerasi industri furnitur di Wilayah Subosukawonosraten ini sudah
mulai berkembang menjadi klaster industri dengan potensi perkembangan yang berbeda-beda.
Aglomerasi industri furniture dari kayu 1 dan 2 memiliki potensi paling besar untuk
berkembang menjadi klaster dimana kedua aglomerasi ini sudah berada pada fase pertumbuhan
klaster. Kedua aglomerasi industri tersebut memiliki ukuran yang lebih besar dan mampu
membangun hubungan dengan banyak aktor secara horizontal maupun vertikal, terbentuknya
institusi lokal dan kolaborasi antar aktor, serta memiliki jangkauan pemasaran dalam negeri
hingga luar negeri.
Sementara untuk aglomerasi industri 3 dan 4 berada dalam fase pembentukan klaster
atau embrio. Meskipun demkian, kedua aglomerasi ini sudah memiliki hubungan dengan aktor
industri lainnya. Selain itu, dalam membangun hubungannya baik secara vertikal maupun
horizontal, industri tidak terikat pada batasan administrasi. Namun dari segi jangkauan
pemasaran, terdapat aglomerasi yang masih melakukan pemasaran dalam negeri saja. Oleh
karena itu, dibutuhkan kolaborasi antar pemerintah daerah di wilayah Subosukawonosraten
untuk mengembangkan aglomerasi industri tersebut menjadi klaster.

Lesson Learned :
 Wilayah Subosukawonosraten memiliki potensi yang besar untuk menjadi tempat
berkembangnya klaster industri furniture. Hal ini didukung dengan banyaknya industri
pengolahan kayu, industri furniture, dan industri penunjang lainnya. Selain itu,

11
beberapa industri furniture yang ada di wilayah ini juga sudah meembus pasar ekspor
sehingga berpotensi menjadi sektor basis unggulan yang dapat memberikan efek
pengganda bagi industri-industri di sekitarnya.
 Klaster industri merupakan konsentrasi geografis dari beberapa perusahaan industri
yang saling berhubungan dan terdapat keterkaitan dengan lembaga pada bidang
tertentu. Pihak-pihak yang berhubungan dalam klaster industri ini dapat berupa industri
inti, industri pendukung, industri terkait, jasa penunjang, institusi local, dan pemerintah
daerah.
 Keberadaan klaster industri merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan daya saing antar daerah yang fokus pada sektor industri tertentu dan
mempercepat pembangunan ekonomi. Hal ini dikarenakan klaster industri dapat
membantu percepatan inovasi karena adanya interaksi yang intensif antara industri
dengan institusi yang berada didalamnya. Selain membantu dalam percepatan inovasi,
klaster juga mampu memperkuat perekonomian lokal, meningkatkan networking dan
kerja sama antar perusahaan, serta mendorong produktivitas dan efisiensi produksi.
 Aglomerasi industri merupakan pemusatan lokasi industri yang memproduksi barang
tertentu. Perbedaan antara aglomerasi industri dan klaster industri yaitu di dalam klaster
industri terdapat system interkoneksi dan adanya hubungan antar aktor industri terkait,
tidak hanya sebatas pemusatan lokasi industri saja. Namun, aglomerasi industri dapat
berkembang menjadi klaster industri apabila terbentuk jejaring dengan supplier,
konsumen, institusi, dan asosiasi perdagangan. Proses perkembangan aglomerasi
industri menjadi klaster industri ini melalui beberapa tahapan, yaitu tahapan embrio
atau pembentukan klaster, tahap pertumbuhan klaster, tahap klaster dewasa, dan tahap
penurunan.
 Keterlibatan dan kerjasama antar aktor dalam klaster industri merupakan hal yang
sangat penting, oleh karena itu pemerintah daerah memiliki peran yang besar dalam
mengatur dan menetapkan kebijakan untuk mendukung terbentuknya klaster industri,
khususnya bagi kelompok aglomerasi yang memiliki potensi pertumbuhan yang besar.
Harmonisasi dan keterpaduan kebijakan ini merupakan langkah awal untuk mencapai
efektivitas pembentukan klaster industri serta meningkatkan daya saing daerah.

12
DAFTAR PUSTAKA

Wulandari, Rina dkk. 2018. Potensi Klaster Industri Furnitur Dari Kayu Di Wilayah
Subosukawonosraten. Jurnal Region, Vol. 13, No. 1, Januari 2018: 1-19

Petir Papilo & Tajuddin Bantacut. 2016. Klaster Industri Sebagai Strategi Peningkatan Daya
Saing Agroindustri Bioenergi Berbasis Kelapa Sawit. Jurnal Teknik Industri, Vol. XI, No.
2

Tiara Kurnia Candra & Jawoto Sih Setyono. 2015. Transisi Klaster Industri pada Klaster Kopi
di Kabupaten Temanggung. Jurnal Teknik PWK Volume 4 Nomor 4

13

Anda mungkin juga menyukai