Anda di halaman 1dari 20

SEBERAPA BESAR PENGARUH EKOLABEL TERHADAP

PEMBELIAN KONSUMEN GLOBAL DI INDUSTRI


FURNITURE LOKAL
(Riset usaha Industri mabel di jepara)

TUGAS UTS
Mata kuliah : Pemasaran Internsional
Dosen Pengampu: Dr. Feliks Anggia Binsar Kristian Panjaitan, SE., M.Si

Oleh:

ISNANI MALIK
B1B120131

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
KATA
PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat

dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas mid tentang " seberapa

besar pengaruh ekolabel terhadap pembelian konsumen global di industry

furniture lokal ".

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kepada bapak dosen yang selalu

senantiasa memberi materi dan wawasan baru bagi kami, serta makasih yang tak

terhingga kepada Teman-teman kelas saya yang selalu support untuk semangat

mengerjakan tugas .Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat

dukungan dari dua pihak tersebut

Sebagai penyusun, saya menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari

penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena

itu, saya dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami

dapat memperbaiki karya ilmiah ini.

Saya berharap semoga Tugas yang saya susun secara semaksimal mungkin ini

memberikan hasil nilai yang terbaik untuk saya


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................... iii
BAB I ..................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 3
1.4 Manfaat .................................................................................................... 3
BAB II .................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN .................................................................................................... 4
2.1 Ragam bentuk ekolabel yang di terapkan ..................................................... 4
2.2 Permasalahan yang dihadapi.................................................................... 8
2.3 Dampak ecolabel………………………………………………………….10
2.3.1 Isu pemasaran global ............................................................................ 13
2.3.2Isu pemanasan global ........................................................................... 15
2.3.3 Dampak positif ecolabel……………………………………………….17
BAB III ................................................................................................................ 20
PENUTUP ........................................................................................................... 20
3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 20
3.2 Saran ...................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 21
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.Komoditi ekspor furniture indonesia.............................................4

Gambar 2. Presentase Negara ekspor Furniture.............................................5


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Perlu di ketahui ekolabel merupakan label, tanda atau sertifikat pada suatu
produk yang memberikan keterangan kepada konsumen bahwa produk tersebut
dalam daur hidupnya menimbulkan dampak lingkungan negatif yang relatif lebih
kecil dibandingkan dengan produk lain sejenis dengan tanpa bertanda ekolabel.
Daur hidup produk mencakup perolehan bahan baku, proses pemuatan,
pendistribusian, pemanfaatan, pembuangan serta pendaurulangan. Informasi
ekolabel ini digunakan oleh pembeli atau calon pembeli dalam memilih produk
yang diinginkan berdasarkan pertimbangan aspek lingkungan dan aspek lainnya.
Di lain pihak, penyedia produk mengharapkan penerapan label lingkungan dapat
mempengaruhi konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian produk

Sementara itu, ditinjau dari sudut pandang konsumen, ekolabel merupakan


informasi mengenai dampak lingkungan dari produk yang akan digunakannya.
Sehingga dengan demikian, masyarakat memiliki kesempatan untuk mengambil
peran serta dalam penerapan ekolabel melalui cara penyampaian masukan bagi
pemilihan kategori produk dan kriteria ekolabel. Di samping itu, ekolabel mampu
mendorong tingkat kepedulian dan kesadaran konsumen bahwa dalam
pengambilan keputusan dalam pemilihan jenis produk tidak hanya ditentukan oleh
faktor harga dan kualitas saja, tetapi juga didasarkan pada faktor lainnya yaitu
dampak lingkungannya. Indikator keberhasilan ekolabel dapat diketahui dari
adanya tindakan perbaikan kualitas lingkungan yang terkait dengan kegiatan
proses produksi yang didukung oleh seluruh komponen pelaku industrinya baik
pengusaha, importir, distributor, pemerintah, masyarakat dan lain-lain.
Konsumen global semakin kompleks, menuntut sesuatu yang beda dan
baru. Konsumen negara maju menentukan pembelian produk dari negara
berkembang dengan menetapkan berbagai kriteria seperti masalah harga, kualitas,
brand, keunikan, ketersedian dan sebagainya yang mensyaratkan penggunaan
standar operasi yang telah mereka tentukan. Di samping itu, para pembeli dari
negara maju semakin kritis tentang sistem produksi dari negara berkembang yang
berkaitan dengan isu-isu konvensional seperti lingkungan, keamanan, makanan
organik, tenaga kerja anak-anak, produk ramah lingkungan, gaji buruh dan
praktek dagang. Akibatnya, timbul berbagai tuntutan untuk menjamin kelayakan
suatu produk seperti bagaimana produk tersebut diciptakan, bahan baku yang
digunakan berasal dari mana, dan apa dampaknya terhadap lingkungan dan
bagaimana cara mengelola produk tersebut ketika sudah tidak lagi bisa
dimanfaatkan. Ini terjadi terutama untuk produk furnitur dan produk kayu dari
negara berkembang yang diminta jaminannya tentang sumber bahan bahan baku
yang digunakan dan ancamannya terhadap keberlangsungan hutan hujan tropis
(Morrisand Dunne, 2004). Kemudian, produk furnitur dari negara berkembang
dituntut untuk mencantumkan sebuah tanda atau mata dagang yang biasa dikenal
sebagai ekolabel Kristanto, 2002) yang menunjukkan bahwasanya produk tersebut
ramah lingkungan terutama dalam pengambilan bahan baku dari hutan.Saat ini,
pembeli asing terutama dari Amerika Serikat, Jepang dan Eropa yang
mensyaratkan sertifikat ekolabel kepada para produsen furnitur.

Industri furnitur dianggap sebagai salah satu penyebab rusaknya hutan


akibat penebangan yang berlebihan dan pembalakan liar. Melalui pertemuan
International Tropical Timber Organization (ITTO) yang diadakan di Bali pada
tahun 1990 melahirkan komitmen untuk terlaksananya pengelolaan hutan yang
lestari paling lambat pada tahun 2000. Sejak saat itu gagasan tentang ekolabel
produk furnitur mencuat. Mulai tahun 2000, akan dilakukan pemberian label atau
sertifikat pada produk yang terbuat dari kayu tropis.(Tunggal, 2008).
Tabel 1.1.Daftar 15 negara besar yang melakukan perdagangan funitur secara
global (dalam satuan jutaan Dolar Amerika)

sumber: ITC (www.intercern.org) (Morris et. al., 2004)

Industri furnitur merupakan industri padat karya yang menyerap banyak


tenaga kerja. Kontribusi industri ini terhadap perolehan negara tidaklah kecil.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan nilai ekspor furnitur Indonesia
pada tahun 2010 mencapai USD 1,96 milyar (Indrawan, 2012). Salah satu sentra
industri furnitur yang besar di Indonesia adalah Jepara. Jepara telah lama dikenal
dengan produk kerajinan baik itu ukir maupun mebel yang telah merambah baik
itu pasar domestik maupun ekspor. Pada tahun 2011, total ekspor furnitur dari
Jepara sebesar 10 % dari total ekspor yang ada (Purnomo, et. al., 2011)
Secara keseluruhan, ekspor furnitur Indonesia masih didominasi oleh
furnitur berbahan baku kayu sebesar 55,24 %, disusul kemudian rotan (13,61 %),
besi (6,80 %), bambu (0,43 %), dan material lainnya sebesar 19,94 %.

Gambar 1.1. Komoditi ekspor furnitur Indonesia yang digunakan sejak Januari
2013 sampai April 2013 (Sumber: Asmindo, 2013)

Sebagai daerah yang mempunyai pengolahan kayu hasil hutan yang cukup
besar, Industri furnitur di Jepara juga terkena dampak dari penerapan ekolabel
tersebut. Konsumsi kayu yang cukup besar di Jepara sekitar 1,5 -2,2 juta m
(Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 2004) baik itu dari hutan negara
maupun rakyat menuntut adanya adanya suatu sistem terpadu yang dapat
mencakup pada kelestarian hutan dan juga keberlangsungan industri furnitur itu
sendiri. Jumlah konsumsi kayu tersebut ternyata masih melebihi kapasitas
produksi kayu yang ada di pulau Jawa yang hanya sebesar 923.632 m . Untuk
memenuhi konsumsi kayu tersebut, maka memunculkan sebuah hipotesa baru
mengenai bagaimana caranya mendapatkan pasokan kayu tersebut yang bisa saja
didapatkan dari laur pulau Jawa atau bisa juga dilakukan melalui cara yang tidak
sah (Roda, et. al, 2007). Karena itu penerapan sertifikasi keabasahan kayu perlu
dilakukan untuk menjaga kelestarian hutan dan keberlanjutan industri furnitur itu
sendiri.

Gambar 1.2. Presentase negara tujuan ekspor produk furnitur Indonesia.

(Sumber: Asmindo, 2013)

Seperti dua sisi mata uang, ekolabel mempunyai beberapa manfaat dan juga
kendala. Manfaat yang bisa diperoleh oleh perusahaan misalnya produk yang
dihasilkan mempunyai nilai jual dan daya saing yang lebih tinggi. Di samping itu,
perusahaan yang telah memiliki ekolabel akan dapat mengikuti berbagai pameran
yang diadakan oleh negara yang membutuhkan produk furnitur dari Indonesia.
Namun di sisi lain, tingginya biaya sertifikasi ekolabel menjadi kendala utama
khususnya bagi perusahaan kecil sehingga sulit untuk berkembang khususnya di
Jepara yang sebagian besar industrinya adalah UKM (Roda et.al, 2007). Ambar
Tjahjono, ketua umum Asmindo (Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan
Indonesia) mengatakan untuk pengurusan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas
Kayu) yang diwajibakan pemerintah paling tidak membutuhkan biaya sekitar 40
juta dan belum ditambah lagi dengan 15-40 juta dan ditambah lagi biaya untuk
kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang menelan biaya sekitar Rp. 15
juta – Rp. 40 juta. Biaya sebesar Rp. 45 juta akan meemberatkan bagi industri
sekalas UKM (Usaha Kecil Menengah) (Khaddaf, 2013). Disamping itu, setiap
negara mempunyai standar yang berbeda dalam penerapan ekolabel karena itu
belum tentu suatu produk sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh suatu
negara akan bisa diterima oleh negara lain karena standar yang berbeda (Iskandar,
1997).

Berbagai permasalahan yang menimpa para pengusaha furnitur dalam


menerapkan ekolabel pada produknya akan menjadi salah satu tujuan dari
penelitian ini. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
ekolabel pada suatu produk terhadap pemasaran produk itu sendiri.

1.2.Rumusan masalah

1. Apa saja jenis ekolabel yang sudah diterapkan di beberapa perusahaan


mebel di Jepara?
2. Masalah apa saja yang dihadapi pada penerapan ekolabel di industri mebel
di Jepara?
3. Dampak apa saja yang didapat dari penerapan ekolabel pada produk
industri mabel berbahan kayu di jepara?

1.3.Tujuan penelitian

1. Mengetahui ragam bentuk ekolabel yang diterapkan pada produk industri


furnitur kayu di Jepara .
2. Mengetahui berbagai permasalahan yang dihadapi para pengusaha (pelaku
industri) dalam menerapkan ekolabel pada produk furnitur mereka.
3. Menganalisa dampak ekolabel pada pemasaran produk furnitur kayu di
Jepara.
1.4.Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi stakeholder Memberikan gambaran kepada berbagai pihak mengenai


implementasi ekolabel pada

industri baik itu skala menengah maupun atas.

2. Bagi masyarakat Memberikan sebuah gambaran mengenai manfaat dan


dampak yang dihasilkan dari

pemberian ekolabel pada sebuah produk.

3. Bagi Pemerintah Memberikan masukan kepada pemerintah agar ekolabel


benar-benar bisa berdampak secara signifikan terhadap kelestarian alam dan
juga pemasaran produk itu sendiri.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Ragam bentuk ekolabel yang di terapkan

Emerupakan label, tanda atau sertifikasi pada suatu produk yang memberikan
keterangan kepada konsumen bahwa produk tersebut dalam daur hidupnya
menimbulkan dampak lingkungan negatif yang relatif lebih kecil dibandingkan
dengan produk lainnya yang sejenis dengan tanpa bertanda ekolabel.

Penyampaian informasi berupa ekolabel dapat dinyatakan dalam suatu


simbol, label atau keterangan pernyataan yang terdapat pada produk atau
kemasannya, dapat juga disampaikan pada informasi produk, bulletin, iklan,
publikasi, pemasaran baik melalui media cetak maupun internet. Informasi yang
disampaikan haruslah lengkap dan akurat terkait dengan aspek lingkungan tertentu
yang berhubungan dengan produk tersebut. Beberapa stakeholder yang dapat
menyampaikan informasi tersebut, antara lain produsen, importer, distributor,
pengusaha retail atau seluruh pihak yang dianggap memperoleh manfaat dari
informasi tersebut itu adalah bebrpa tahapan ecolabel yang di terapkan di
perusahaan furniture jepara

Kemudian emakin kritisnya konsumen luar negeri akan produk furniture


kayu dari Indonesia menjadikan inisiatif untuk menerapkan ekolabel. Penerapan
ekolabel ini ditujukan untuk menyatakan bahwa produk furniture dari Indonesia
menggunakan bahan baku yang sah dan tidak merusak alam. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui seberapa jauh penerapan ekolabel serta kendala dan
manfaat yang didapat pelaku industri furniture kayu di Jepara.
2.2 Permasalahan yang di hadapi industri mabel Pada penerapan Ekolabel
di jepara

Menurut Departemen Perindustrian, pengembangan industri furnitur masih


mengalami kendala terutama diakibatkan, antara lain: permasalahan bahan baku
terutama kelangkaan bahan baku kayu karena permintaan yang tinggi dan pasokan
tidak seimbang, ditambah dengan merebaknya penebangan dan perdagangan kayu
illegal(Depperin, 2009). Sementara itu banyak industri yang belum memanfaatkan
bahan baku alternative seperti kayu kelapa, kayu kelapa sawit dan kayu karet (tua).
Dibidang pemasaran permasalahan terletak pada penurunan daya saing dan
lemahnya market intelegent karena desain produk masih ditentukan oleh pembeli

Dunia internasional masih menganggap, bahwa industri furnitur (kayu)


Indonesia disinyalir banyak menggunakan bahan baku illegal dengan harga relatif
murah. Anggapan tersebut menyebabkan adanya hambatan tarif dan non tarif (non
tariff barrier) di beberapa negara tujuan ekspor, antara lain adanya tuntutan
sertifikasi ekolabel. Permasalahan lainnya terkait dengan keterbatasan SDM yang
berkualitas, iklim usaha/investasi, permodalan dan hambatan birokrasi, khususnya
dalam perijinan usaha akibat euforia otonomi daerah sehingga sering dijumpai
regulasi yang kontra produktif. Produktivitas dan efisiensi industri relatif rendah
karena teknologi permesinan yang sudah kuno. Permintaan pasar untuk furnitur
baik di dalam negeri maupun di dunia internasional cukup besar. Apresiasi pasar
terhadap produk Indonesia masih tinggi, terutama untuk kelas medium danhigh-
enddan potensi bahan baku kayu dan non- kayu (alternatif) yang belum
termanfaatkan secara optimal, mengingat bahwa sumber bahan baku kayu
Indonesia berupa kawasan hutan tropis adalah salah satu yang terbesar di dunia.

Ancaman dan tekanan pasar internasional pada industri furnitur telah dialami
sejak adanya boikot terhadap kayu tropis dan tuntutan ekolabel dari pembeli besar
(big buyers) di negara-negara importir; disamping munculnya pesaing baru yang
potensial, seperti: china, Malaysia, Vietnam, dan sebagainya, serta maraknya
penyelundupan bahan baku kayu. Boikot terhadap kayu tropis dan ekolabel adalah
karena kondisi hutan tropis yang sangat rusak, akibat penebangan dan perdagangan
kayu illegal dan kerusakan hutan Indonesia yang dianggap paling parah di dunia.
Kelangkaan pasokan bahan baku kayu legal bagi perusahaan yang menerapkan
ekolabel dapat mengganggu keberlanjutan produksinya. Faktor hambatan lainnya
adalah bahwa kayu bersertifikat lebih mahal. Harga kayu semakin mahal sehingga
berpengaruh pada daya saing industri mebel. Pada awal bulan Januari 2005 dan
2006, Perum Perhutani kembali menaikkan harga kayu jati dan rimba dengan
kenaikan yang sangat signifikan, yaitu di atas 10%

bahkan ada yang mencapai di atas 25%. Isu-isu tentang ekolabeling dan
tuntutan akan adanya sertifikasi bahan baku. Harga kayu Perhutani yang terus
meningkat menyebabkan industri kecil menengah (UKM) cenderung membeli
bahan baku yang tersedia dan murah tanpa sertifikat legal (Purnomo et al., 2010).
Sertifikasi ekolabel dianggap cukup mahal bagi industri kecil, memakan waktu
lama dan rumit. Pemahaman ekolabeling pada produsen juga tidak mudah bahkan
banyak yang tidak memahami apa itu ekolabel. Pemilihan skema ekolabel dapat
membingungkan bagi industri, ada VLO, CoC-FSC, CW yang bersifat sukarela
danSVLK yang bersifat mandatori dari pemerintah. Kelangkaan perusahaan jasa
konsultasi dapat menambah hambatan (Senada, 2008).

Disamping itu permintaan pasar (demand) atas ekolabel belum banyak, tidak
semua pembeli mensyaratkan ekolabel. Penelitian internal dari Dephut
menunjukkan bahwa konsumsi kayu di Indonesia jauh melebihi produksi kayu
resmi. Kelangkaan bahan baku kayu terjadi tidak sepenuhnya, dalam arti bahan
baku kayu legal menjadi terbatas tetapi kayu illegal banyak beredar dipasaran.
Industri perkayuan dinyatakan ikut bertanggung jawab atas rusaknya hutan di
Indonesia
2.3 Dampak Ekolabel pada produk industry global furniture di jepara

2.3.1 Isu pemasaran global

Dibidang pemasaran permasalahan terletak pada penurunan daya saing dan


lemahnya market intelegent karena desain produk masih ditentukan oleh pembeli
order). Dunia internasional masih menganggap, bahwa industri furnitur (kayu)
Indonesia disinyalir banyak menggunakan bahan baku illegal dengan harga relatif
murah. Anggapan tersebut menyebabkan adanya hambatan tarif dan non tarif (non
tariff barrier) di beberapa negara tujuan ekspor, antara lain adanya tuntutan
sertifikasi ekolabel. Permasalahan lainnya terkait dengan keterbatasan SDM yang
berkualitas, iklim usaha/investasi, permodalan dan hambatan birokrasi, khususnya
dalam perijinan usaha akibat euforia otonomi daerah sehingga sering dijumpai
regulasi yang kontra produktif. Produktivitas dan efisiensi industri relatif rendah
karena teknologi permesinan yang sudah kuno. Permintaan pasar untuk furnitur
baik di dalam negeri maupun di dunia internasional cukup besar. Apresiasi pasar
terhadap produk Indonesia masih tinggi, terutama untuk kelas medium danhigh-
enddan potensi bahan baku kayu dan non- kayu (alternatif) yang belum
termanfaatkan secara optimal, mengingat bahwa sumber bahan baku kayu
Indonesia berupa kawasan hutan tropis adalah salah satu yang terbesar di dunia.

Ancaman dan tekanan pasar internasional pada industri furnitur telah


dialami sejak adanya boikot terhadap kayu tropis dan tuntutan ekolabel dari
pembeli besar (big buyers) di negara-negara importir; disamping munculnya
pesaing baru yang potensial, seperti: china, Malaysia, Vietnam, dan sebagainya,
serta maraknya penyelundupan bahan baku kayu. Boikot terhadap kayu tropis dan
ekolabel adalah karena kondisi hutan tropis yang sangat rusak, akibat penebangan
dan perdagangan kayu illegal dan kerusakan hutan Indonesia yang dianggap
paling parah di dunia. Kelangkaan pasokan bahan baku kayu legal bagi
perusahaan yang menerapkan ekolabel dapat mengganggu keberlanjutan
produksinya. Faktor hambatan lainnya adalah bahwa kayu bersertifikat lebih
mahal. Harga kayu semakin mahal sehingga berpengaruh pada daya saing industri
mebel.

2.3.2 Isu pemanasan global akibat hutan

Pemanasan global (global warming) menjadi kekhawatiran dan terus


mengancam yang akan berdampak sangat buruk bagi kelangsungan kehidupan di
seluruh dunia. Penyebab utama pemanasan global ini akibat pengaruh gas karbon
(CO2) yang sudah di ambang batas di atmosfir sehingga menimbulkan efek rumah
kaca yang menyebabkansuhu bumi semakin naik. Salahsatu strategi utama untuk
menghambat laju pemanasan global adalah menghindari penebangan
hutandanmenanam pohon. Fungsi pohon adalah menyerap CO2danmelepaskannya
ke alam sebagai O2. Maka fungsi hutan merupakan bagian yang sangat penting
dalam menjaga kestabilan suhu bumi. Bukan hanya itu saja, hutan juga juga
berfungsi penyedia jasa lingkungan bagi kehidupan semua makhluk hidup di bumi
(Hadi & Samekto, 2007)

Melihat kenyataan bahwa laju deforestasi (illegal logging) di Indonesia sudah


sangat tidak terkendali, maka upaya-upaya reforestasi yang dilakukan oleh
beberapa komunitas atau kelompok masyarakat untuk mengembalikan fungsi hutan
perlu mendapatkan dukungan dan apresiasi. Di negara-negara maju di Eropa,
Amerika, danJepang, program-program semacam ini banyak diadakan untuk
kepentingan riset, program- program konservasi, ataupun pemberdayaan
masyarakat. Bahkan program tersebut tidak hanya didukung oleh departemen atau
institusi pemerintahan yang berkepentingan, melainkan juga didukung oleh
perusahaan-perusahaan besar yang tidak memiliki kepentingan langsung.
2.3.3 Dampak positif ekolabel

butuh keduanya, hutan lestari dan industri furnitur berkelanjutan.


Pemerintah telah berinisiatip dengan mandatori SVLK, kondisi saat ini belum
kondusif. Pembeli menyatakan mengetahui, tetapi tidak dapat menerima SVLK
menggantikan FSC-CoC. Mendorong industri non-ekolabel menjadi ekolabel,
merupakan tugas para pemangku kepentingan.Model ini merupakan cerminan
fenomena ekolabeling pada industri furnitur di Indonesia. Direkomendasikan
ekolabel CoC terus ditingkatkan. Pemerintah perlu meninjau dan
menyempurnakan kebijakan mandatori SVLK, agar tidak memberatkanindustri
furnitur. Sosialisasi internasional perlu digalakkan, agar industri furnitur tidak
terbebani dengan sertifikasi ganda CoC dan SVLK.

Indonesia dan menetapkan model ekolabel sebagai instrumen pengelolaan


lingkungan pada industri furniturdan berdampak pada pelestarian hutan, serta
pemberantasan penebangan liar, perdagangan kayu ilegal, serta alih fungsi hutan.
Model ini diharapkan memperkaya ilmu lingkungan terutama bidang manajemen
lingkungan. Selanjutnya model ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis
pada industri furnitur untuk menjelaskan fenomena ekolabeling dan mendorong
industri secara sukarela melakukan sertifikasi ekolabel (CoC), mengambil sikap
positif terhadap ekolabeling. Bagi pemerintah penelitian ini dapat digunakan
sebagai alat evaluasi kebijakan terkait fenomena ekolabeling.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada umunya Konsumen global ketika membeli suatu barang mereka


belum begitu peduli atau tidak memperhatikan tanda ekolabel pada suatu produk
yang akan dibeli, tetapi mereka lebih memperhatikan pada mutu dan harga, tapi
ecolabel sendiri mempunyai dampak positif dan signifikan untuk menaikan citra
furniture dalam upaya meningkatkan daya saing industri furniture di pasar
internasional , selain kualitas yang tinggi harganya juga yang kompetitif

Perumusan standar/kriteria ekolabel dan penerbitan sertifikat ekolabel di


Indonesia khususnya di jepra masih sangat ketinggalan jika dibandingkan dengan
negara lain oleh sebab itu peningkatan ecolabel harus lebih terupdate. Dan
hendaknya di sikapi sebabgai tantangan sekaligus peluang untuk meningkatkan
pasar ekspor furniture menurut komitmen produsen untuk ramah lingkungan
melalui sertifikasi ekobel
3.2 Saran

1. Perlunya meningkatkan sosiallisasi tentang manfaat dan pentingnya ekolabel

produk kepada masyarakat khususnya di kalangan pelaku usaha/industri.

2. Mengusulkan kepada pemerintah agar dalam Perpres 54/2010 tentang

pengadaan barang dan jasa pemerintah juga dimasukkan persyaratan mengenai

SNI kriteria ekolabel produk.

3. Pemerintah melalui instansi teknis terkait dapat memberikan insentif kepada

pelaku usaha/industri untuk menerapkan persyaratan SNI kriteria ekolabel

produk.

4. BSN melalui panitia teknis terkait perlu terus melakukan perumusan SNI

kriteria ekolabel. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadopsi dari standar-

standar ekolabel yang sudah dibuat oleh negara lain.


DAFTAR PUSTAKA

Cao, X.(2020), Does It Pay to Be Green? An Integrated View of Environmental


Marketing with Evidence from the Forest Products Industry in China. School
of Forest Resources, University of Washington.
Departemen Kehutanan (2010), Buku Statistik Kehutanan Indonesia 2008/2009,
Jakarta: Badan Inventarisasi dan Tata guna Hutan, Departemen Kehutanan
Indonesia.
Farida, Elfia (2018), Perlindungan Lingkungan Sebagai Strategi
Meningkatkan Daya Saing Di Pasar Global, Diskusi Bagian Hukum
Internasional, Fakultas Hukum Undip Semarang
Ganguly& Eastin (2011). Economic and environmental aspects of China's wood
products industry.
CINTRAFOR News, Seattle, USA.
Ghozali, I., 2008. Stuctural Equation Modeling, Metode alternative dengan Partial
Least Square PLS. 2nd ed. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Huang, Yu (2013), Global Legality Requirements and Chain of Custody
Certification: Potential Impacts of recent changes on china's wood
products industry, the University Of British Columbia, Vancouver.
Indrawan (2014), Peluang Ekspor Produk Kayu, Direktur Eksekutif Asosiasi
Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), Sumber:
KOMPAS (Selasa, 18 Maret 2021).
http://silk.dephut.go.id/index.php/article/vnews/73 26/04/2020
Kemenhut (2020), Buku Statistik Kehutanan Indonesia 2019, Publikasi bulan
Juli 2020.
Lee, D., (2018). The Viability of China’s Wood Furniture Industry. Prepared
for FRST University British Columbia, p.497.
Ramdani, D., (2019). Komoditas Ekspor untuk Stimulasi Pemulihan
Ekonomi, Buletin Bisnis dan Ekonomi Politik, Jakarta. Jakarta: INDEF.
Santoso, Hadi, Purwanto, (2020). Ecolabel as an intrument of environmental
management in the furniture industry in Central Java and Yogyakarta, The
13th International Conference On QiR. Program Book Vol.2 ISSN 1411-1284,
Yogyakarta 25-28 June 2020.
Santoso, H. (2020), Ekolabel sebagai strategi meningkatkan daya saing, studi
kasus pada industri furnitur kayu di Jawa Tengah dan Yogyakarta,
Prosiding Seminar Nasional, Industrial Engineering Conference
(IDEC) 2014. ISBN: 978-602-70259-2-9, Surakarta 20 Mei 2021

Anda mungkin juga menyukai