Anda di halaman 1dari 11

 

Sering mendengar istilah Win-Win Solution? Nah berikut adalah contoh yang baik dan membangun untuk 
pengertian Win-Win Solution ini.

Apakah maksudnya Win Win? Win-Win ada 2 macam. Yang pertama adalah Win (tangannya menunjuk 
ke diri sendiri), kemudian baru Win (tangannya menunjuk ke orang lain). Cukup bagus, tapi ada yang
lebih bagus yaitu yang kedua: Win tangannya menunjuk ke orang lain lebih dahulu), baru Win (tangannya
menunjuk ke diri sendiri). Salah satu contoh, ketika kita bisa memastikan orang lain Win terlebih dahulu,
maka kita akan bisa menjadi Win. Jangan Win dan kita Lose / kalah, tidak boleh juga. Ataupun Lose Lose
 juga tidak baik, atau kita Win orang lain Lose tidak boleh juga karena akan tahan sebentar saja dan orang
 jadi tidak mau lagi.

Contohnya saya mempunyai teman, yang sangat-sangat luar biasa. Dia membeli tanah di suatu tempat.
Tanahnya ini sudah tidak laku, dan harganya tinggi. Tapi teman saya ini punya ide untuk membuat nilai
tambah yang luar biasa, karena uang itu sebenarnya adalah ide. Dan dia jago sekali buat ide dan dia buat
orang lain merasa Win terlebih dahulu, dan benar-benar Win baru kita bisa Win, dan setelah itu Anda
akan bisa make money, so much money. Teman saya tadi menemukan ada tanah, harganya 1 Juta US. Ini
hanya sekadar contoh, tapi True Story, Kisah Nyata. Harga tanah 1 Juta US dia tawar 1.2 juta US. Orang
yang ditawar berkata: sepanjang sejarah orang yang nawar itu pasti nawar lebih murah, kenapa Anda
nawar lebih tinggi? Saya mau 1.2 juta, tapi 1 juta saja saya mau, kenapa Anda nawar 1.2 juta?Nah, teman
saya ini berikan orang yang punya tanah ini Win dahulu, baru dia minta dia Win. Apa yang dia minta?
Dia bilang:"Begini, Anda akan saya bayar 1.2 juta, walaupun 1 juta ini sangat-sangat mahal dan sudah 10
tahun juga tidak laku, saya mau tawar 1.2 juta karena saya ada pemikiran ini. Saya minta option atau hak 
nya terlebih dahulu. Di dalam waktu satu tahun baru akan kami bayar".

Jadi maksud option nya adalah haknya dipindahkan dulu kepada teman saya, sehingga teman saya bisa
membuat gambarnya, membuat design-nya dan sebagainya, dan bisa ditawarkan dan dia bisa dapat duit
yang lebih banyak baru dia bayar. Kemudian yang punya tanah tanya: "Loh, nanti kalau tidak laku
bagaimana? Trus kemudian Anda batal?"Lalu teman saya jawab: "Kalau saya batal, apakah ada resikonya
bagi Anda? Kan selama ini juga tidak laku, dan kalau laku bisa jadi 1.2 juta US atau Untung 20% dalam
waktu 1 tahun"Lalu orang itu pikir-pikir: "Betul juga selama ini 1 juta tidak ada orang yang mau, tapi
sekarang 1.2, dan kalau ternyata dia tidak berhasil, ya Nothing to lose, tidak ada ruginya, paling saya jual
lagi kepada orang lain. Tapi kalau dia berhasil, saya untung 20%". Akhirnya dia merasa Win, mendadak 
dia setuju untuk membuat teman saya mempunyai Hak terlebih dahulu, bahkan tanpa uang sama sekali.

Kemudian apa yang terjadi, teman saya ini menawarkan tanah kepada satu Hotel yang besar sekali karena
tanahnya sangat sangat luas. Dan Hotel ini merasa tidak suka membangun disini, karena jauh dari
keramaian walaupun tempatnya sangat-sangat indah, tapi masih sangat-sangat mentah, jadi masih butuh
waktu untuk membangunnya. Dan ketika dia ragu-ragu, teman saya ngomong kepada orang yang punya
Hotel: Tenang saja, kamu datang dulu ke tempatnya, lihat saja. Dan begini, dari gambar, nanti kamu
boleh pilih tempatnya, entah berapa luas selama masih masuk akal, akan kami berikan GRATIS !

Dengan kata Gratis ini, teman saya memastikan bahwa orang tadi merasa Win dulu. Dan ternyata Hotel
tadi setuju, karena nama Hotelnya besar dan begitu dia melihat tempat yang begitu indahnya dan dia
merencanakan akan ada Lapangan Golf juga disana, dan Resortnya yang semua di tepi pantai, Pantainya
 

akan dikeruk dan semua akan dibikin indahnya, dengan lautnya yang begitu luasnya dan masih ada
lumba2nya dan beautiful sekali.Akhirnya Hotel yang sangat terkenal ini setuju untuk membuka Hotel
disana. Dan ketika dia setuju untuk buka Hotel disana, teman saya datang ke tempat orang yang memiliki
Lapangan golf yang sangat terkenal di dunia, dan dia ngomong: "Mari kita buka disini, Hotel yang
ternama dan namanya ini sudah buka loh". Kemudian orang yang punya lapangan golf ini, yang jago
design dan terkenal sekali di seluruh dunia, dia pikir2: "Mmm.. Boleh sih, tapi itu belum prioritas saya".
Jawab teman saya: "Nggak apa-apa, lihat saja dulu, nanti kamu boleh kapling dulu entah berapa
luas selama masih masuk akal, akan kami berikan secara GRATIS !"
Katanya: "Oh kalau Gratis boleh juga". Kemudian dia semangat, lihat dan ukur-ukur, kemudian dia minta
luas tertentu, dan karena masih masuk akal, "Ok!" kata teman saya dan dikasih Gratis. Apa yang terjadi?
Valuasi marketnya seketika naik dari 1 juta US jadi 6 juta US. Kemudian dia kapling dan dia jual
sebagian, dan uangnya dia bayarkan kepada pemilik tanah sejumlah 1.2 Juta US. Kemudian ketika dia
develop, duitnya dia masukkin. Dan ketika Hotelnya mulai develop, mendadak harga tanah di area Resort
 / daerah tadi naik jadi 50 juta US. Tanpa Uang..!

Jadi ketika kita memastikan Orang lain Win, dan kita Win, Prinsip ini adalah sangat-sangat mencerahkan,
membuat orang lain sangat kaya, membuat orang lain sangat bahagia, hidupnya lebih mudah, dan inilah
yang harus kita tempuh: Win and Win, orang lain kita pastikan dulu Win, baru kita pastikan diri kita juga
Win.

Win-win, menang-kalah, dan kalah-kalah adalah teori permainan istilah yang mengacu pada hasil yang
mungkin dari permainan atau sengketa yang melibatkan dua sisi, dan yang lebih penting, bagaimana
masing-masing pihak mempersepsi hasil relatif terhadap kedudukan mereka sebelum pertandingan.
Sebagai contoh, sebuah "menang" jika hasil negosiasi lebih baik dari yang diharapkan, sebuah
"kehilangan" ketika hasilnya lebih buruk dari yang diharapkan.. Dua orang dapat menerima hasil yang
sama dalam hal terukur, katakanlah $ 10, tetapi untuk satu sisi yang mungkin kerugian, sementara untuk 
yang lain itu adalah menang. In other words, expectations determine one's perception of any given result.
Dengan kata lain, harapan menentukan persepsi seseorang dari setiap hasil yang diberikan

Win-win hasil terjadi ketika masing-masing sisi sengketa merasa mereka telah menang.. Karena kedua
belah pihak mendapatkan manfaat dari skenario semacam itu, setiap resolusi untuk konflik kemungkinan
akan diterima secara sukarela. Proses tawar-menawar integratif  bertujuan untuk mencapai, melalui kerja
sama, win-win hasil.

Win-lose. Menang-kalah situasi hasil ketika hanya satu sisi merasakan hasil sebagai positif.. Dengan
demikian, hasil menang-kalah cenderung diterima secara sukarela. tawar-menawar distributif  proses,
berdasarkan prinsip persaingan antara peserta, cenderung berakhir dengan menang-kalah hasil.

. Kalah-kalah berarti bahwa semua pihak akhirnya menjadi lebih buruk.. Contoh ini akan menjadi
negosiasi pemotongan anggaran di mana semua pihak yang kehilangan uang.. Dalam beberapa situasi
kalah-kalah, semua pihak memahami bahwa kerugian yang tidak dapat dihindari dan bahwa mereka akan
menjadi merata..[1] Dalam situasi seperti itu, kehilangan-kehilangan hasil dapat lebih baik untuk menang-
kalah hasil karena distribusi setidaknya dianggap wajar. [1]
 

Dalam situasi lain, meskipun, kehilangan-kehilangan hasil yang terjadi ketika menang-menang hasil yang
mungkin telah dibuat.. Contoh klasik ini disebut dilema tahanan di mana dua narapidana harus
memutuskan apakah akan mengakui kejahatan.. Baik tahanan tahu apa yang lain akan dilakukan.. Hasil
terbaik untuk Seorang tahanan terjadi jika dia mengaku, sementara tahanan B tetap diam.. Dalam hal ini,
para tahanan yang mengaku dan berimplikasi yang lainnya dihargai dengan menjadi dibebaskan, dan yang
lainnya (yang tinggal diam) menerima hukuman maksimum, karena s / dia tidak bekerja sama dengan
polisi, namun mereka memiliki bukti yang cukup untuk narapidana. (Ini adalah hasil menang-kalah.) Hal
yang sama berlaku untuk tahanan B. Tapi jika keduanya mengaku tahanan (mencoba untuk mengambil
keuntungan dari pasangan mereka), mereka masing-masing melayani hukuman maksimum (sebuah
kehilangan-kehilangan hasil. Jika tidak mengaku, mereka berdua melayani kalimat berkurang (win-win,
menang meskipun tidak sebesar yang mereka akan menerima dalam menang-kalah skenario).

Situasi ini terjadi cukup sering, sebagai win-win hasil hanya dapat diidentifikasi melalui koperasi (atau
integratif) tawar-menawar, dan cenderung diabaikan jika negosiasi mengambil distributif kompetitif)
sikap.

Hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa setiap negosiasi mungkin  dibingkai kembali 
(ditempatkan dalam konteks yang baru) sehingga harapan diturunkan. Dalam dilema tahanan, misalnya,
 jika kedua tahanan mampu melihat kalimat berkurang sebagai menang daripada kerugian, maka hasilnya
adalah situasi menang-menang. Oleh karena itu, dengan harapan menurunkan, dimungkinkan untuk 
negosiator untuk kerajinan win-win solution keluar dari berpotensi kalah-kalah situasi. Namun, ini
mensyaratkan bahwa pihak pengorbanan tuntutan aslinya yang lebih rendah.

Asasasa

Musyawarah sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa

Bab I

Pendahuluan

Sengketa merupakan suatu fenomena sosial yang senantiasa ada sejak mulainya kehidupan

manusia. Hal ini disebabkan karena manusia mempunyai kepentingan, atau keinginan yang tidak 

seragam[1]. Kompleksitas dan tingginya persaingan dalam kehidupan modern cenderung semakin

meningkatkan potensi timbulnya sengketa diantara manusia. Dalam hal terjadi sengketa, hukum telah

menyediakan dua jalur, yaitu: jalur litigasi dan jalur non-litigasi yang dapat digunakan pihak-pihak yang

bersengketa untuk mendapatkan keadilan. Penggunaan salah satu jalur tersebut ditentukan oleh konsep

tujuan penyelesaian sengketa yang tertanam di pikiran pihak-pihak yang bersengketa, kompleksitas serta

tajamnya status sosial yang terdapat dalam masyarakat[2], dan budaya atau nilai-nilai masyarakat[3].
 

Di Indonesia, bila terjadi sengketa pada umumnya masyarakat masih banyak menggunakan jalur

pengadilan untuk mendapatkan keadilan. Kondisi ini telah menyebabkan arus perkara yang mengalir

melalui pengadilan melaju dengan cepat, sehingga terjadi penumpukan perkara di Mahkamah Agung,

pada bulan September 2001 saja telah mencapai 16.233 perkara[4], kemudian pada awal tahun 2005

tunggakan perkara telah meningkat menjadi 21.000 perkara. Akibat adanya tunggakan perkara tersebut,

proses penanganan suatu perkara sampai mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap di Indonesia

rata-rata membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan ada yang sampai 12 tahun[5]. Bagi pihak-pihak 

yang bersengketa lamanya proses mendapatkan keadilan tersebut jelas tidak menguntungkan, baik dari

energi pikiran yang terbuang maupun banyaknya biaya yang dikeluarkan. Kondisi tersebut ternyata tidak 

menyurutkan para pihak yang bersengketa untuk tetap memberikan kepercayaan lembaga pengadilan

untuk menyelesaikan sengketanya.

Kecenderungan masyarakat yang lebih suka menggunakan model penyelesaian sengketa menang – kalah
atau win-lose solution melalui lembaga pengadilan cukup menarik. Di dalam Masyarakat Indonesia
sebenarnya mempunyai nilai yang hidup dalam kehidupan sehari-hari, yaitu musyawarah. Namun
demikian dalam realitas penyelesaian sengketa, masyarakat nampaknya telah kehilangan penghayatan dan
pengamalan pada nilai musyawarah, yang terlihat sekarang ini justru berkembangnya penyelesaian
sengketa dengan kekerasan dan budaya gugat menggugat (suing society)[6]. Untuk itu dipandang perlu
dicarikan jalan keluar agar budaya musyawarah bisa dikembangkan untuk menyelesaikan sengketa yang
menguntungkan kedua belah pihak atau win-win solution yang prosesnya lebih cepat dan biaya relatif 
murah serta tidak menimbulkan rasa permusuhan pihak-pihak yang bersengketa.

Bab II

Pembahasan

Penyelesaian Sengketa Win-Win Solution secara Global

Dalam literatur hukum terdapat dua pendekatan yang sering digunakan untuk menyelesaikan

sengketa. Pendekatan pertama, menggunakan model penyelesaian sengketa melalui Jalur Litigasi. Suatu

pendekatan untuk mendapatkan keadilan melalui sistem perlawanan (the adversary system)[7] dan

menggunakan paksaan (coersion) untuk mengelola sengketa yang timbul dalam masyarakat serta

menghasilkan suatu keputusan win-lose solution bagi pihak- pihak yang bersengketa. Sedangkan

pendekatan kedua, menggunakan model penyelesaian sengketa non-litigasi. Model ini dalam mencapai

keadilan lebih mengutamakan pendekatan „konsensus‟ dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak-
 

pihak yang bersengketa serta bertujuan mendapatkan hasil penyelesaian sengketa ke arah win-win

solution.

Keadilan yang dicapai melalui mekanisme penyelesaian sengketa win-lose solution dinamakan keadilan
distributif, sedangkan keadilan yang diperoleh melalui mekanisme penyelesaian sengketa win-win
solution dinamakan keadilan komutatif[8]. Menurut Marc Galanter[9],

dalam hal menyelesaikan sengketa, masyarakat bisa mendapatkan keadilan melalui forum resmi yang

telah disediakan oleh negara (pengadilan), maupun forum tidak resmi yang terdapat di masyarakat.

Keadilan yang diperoleh oleh pihak-pihak yang bersengketa melalui pendistribusian secara eksklusif oleh

negara, dalam hal ini pengadilan, dinamakan „sentralisme hukum‟ atau „paradigma sentralisme hukum‟. 

Sedangkan keadilan yang didapat oleh pihak-pihak yang bersengketa melalui forum-forum di

luar jalur litigasi dengan mendasarkan pada hukum rakyat atau hukum pribumi dinamakan desentralisme

hukum atau paradigma desentralisme hukum.

Dalam literatur hukum, penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution

biasanya disebut Penyelesaian Sengketa Non-litigasi atau disebut ADR (Alternative Dispute

Resolution)[10] atau Alternatif Penyelesaian Sengketa[11]. Model yang digunakan di dalam pengadilan

disebut Court Connected ADR[12] / ADR inside the court[13] /Court Dispute Resolution (CDR)[14]

meliputi: Perdamaian di Pengadilan; Pemeriksaan Juri Sumir; Evaluasi Netral secara Dini (Early Neutral

Evaluation); Pencarian Fakta yang bersifat Netral (Neutral Fact-Finding). Sedangkan model yang

digunakan di luar pengadilan di antaranya meliputi: Negosiasi; Mediasi; Konsiliasi; Persidangan Mini

(Mini Trial), dan Ombudsman atau Ombudsperson

Penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi memang bukan merupakan panacea yang mampu

mengatasi semua sengketa, namun demikian dengan menggunakan jalur ini beberapa keuntungan yang

bisa diperoleh [15], yaitu:

1. Untuk mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan. Banyaknya
kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses berperkara seringkali berkepanjangan dan
memakan biaya yang tinggi serta sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.
 

2. Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat (desentralisasi hukum) atau memberdayakan pihak-pihak yang

bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa.

3. Untuk memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat.


4. Untuk memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian
sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh
semua pihak. Sehingga para pihak tidak menempuh upaya banding

dan kasasi.

5. Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah.

6. Bersifat tertutup/rahasia (confidential).

7. Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan

kesepakatan, sehingga hubungan pihak-pihak bersengketa di masa


depan masih dimungkinkan terjalin dengan baik.
8. Mengurangi merebaknya “permainan kotor” dalam pengadilan.

Keuntungan itulah yang menyebabkan banyak negara seperti (Amerika,, Jepang, Korea,

Australia, Inggris, Hongkong, Singapura, Srilangka, Filipina[16], dan Negara-negara Arab[17]) sekarang

ini telah mendayagunakan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution untuk menyelesaikan

sengketa. Bahkan sekarang ini keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien

telah menjadi salah satu daya tarik utama yang dipromosikan oleh suatu negara yang hendak mengundang

atau menarik investor asing menanamkan modal.

Jadi dari sistem ekonomi, ideologi, budaya, hukum, struktur sosial serta agama yang berbeda di

setiap Negara dapat muncul paralelisme sikap untuk menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa

win-win solution, dengan kata lain penggunaannya mampu menembus sekat perbedaan sistem ekonomi,

ideologi, budaya, hukum, struktur sosial, dan agama. Dalam hal Penyelesaian sengketa melalui jalur non-

litigasi, pemerintah pada masa lalu tidak mendukung pengembangan budaya musyawarah untuk 

menyelesaikan sengketa melalui pranata-pranata adat, tapi justru meniadakan sarana-sarana yang dipakai

masyarakat adat untuk mengimplementasikan penyelesaian sengketa secara konsensus, dengan

melakukan unifikasi lembaga peradilan secara nasional.

Dalam kaitan ini Satjipto Rahardjo[18] mengemukakan,


“Memang tidak dapat disangkal bahwa musyawarah untuk mufakat itu
 

merupakan sebagian dari kekayaan kebudayaan Indonesia.

Namun dalam konteks masyarakat yang semakin terbuka dan individualistis serta pengorganisasian

masyarakat secara modern, maka pranata tersebut masih membutuhkan penyempurnaan secara

kelembagaan serta penghayatan oleh masyarakat Indonesia sendiri”.

Budaya Musyawarah secara rasional

Dalam masyarakat yang mempunyai budaya gotong royong, tenggang rasa, musyawarah, dan

guyub (gemeinschaft) seperti di Indonesia, keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa win-win

solution, yang mendasarkan pada konsensus dan musyawarah sebenarnya pernah atau masih berlangsung

dalam praktik-praktik penyelesaian sengketa di masyarakat[31]. Namun demikian, nilai-nilai luhur yang

dimiliki oleh masyarakat Indonesia tersebut di atas belum dikembangkan secara rasional ilmiah untuk 

menyelesaikan sengketa- sengketa dari yang sederhana sampai sengketa modern yang multikomplek.

Hal ini juga dikemukakan oleh L.M. Friedman[19],


Faktor budaya ikut menentukan perilaku seseorang yang sedang terlibat suatu sengketa untuk membawa
sengketanya pada lembaga peradilan atau membawa sengketanya melalui jalur non-litigasi.

Pendidikan Sebagai Sarana Mengembangkan Budaya Musyawarah


Dalam rangka
mengembangkan

kepercayaan masyarakat pada mekanisme

penyelesaian sengketa win-win solution dan menjadikannya merupakan bagian dari nilai budaya masyarakat

Indonesia yang diyakini paling sesuai bagi masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan sengketa, sistem

pendidikan formal dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi harus mulai memperkenalkan,

mengembangkan, mengkomunikasikan keluhuran nilai budaya musyawarah dan paham perdamaian dalam

lingkungan pergaulan mereka melalui keteladanan dan contoh-contoh kongkrit yang terjadi di lingkungan

pergaulan masyarakat. Dalam sistem pendidikan Jepang misalnya, terdapat paham fasifisme atau paham

perdamaian yang terus menerus dianut sampai sekarang. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat Jepang menjadi

orang yang cinta damai[20]. University of Technology, Sydney, Australia, merupakan suatu contoh sebuah

perguruan tinggi yang telah berhasil mempelopori, mensosialisasikan penggunaan penyelesaian sengketa non-

litigasi pada masyarakat Australia. Sekarang ini perkembangan alternatif penyelesaian sengketa tidak kalah

dengan negara-negara maju lainnya, padahal ADR di Australia munculnya belakangan bila dibanding dengan
 

negara-negara lain. Dalam upaya memasyarakatkan ADR, University of Technology mendirikan Centre for

Dispute Resolution. Selanjutnya dalam rangka pengembangan profesionalisme, mereka juga telah

membuka strata Master of Dispute Resolution, juga

membuka pelatihan atau kursus ADR. Di samping itu sejak pertengahan tahun 2004, Fakultas Hukum UNS

 juga telah mendirikan Badan Mediasi dan Bantuan Hukum, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya

keinginan masyarakat yang ingin menggunakan jalur non-litigasi untuk menyelesaikan sengketanya[21].

Bab III
Penutup

Merubah suatu kepercayaan yang sudah lama dilakukan seseorang atau masyarakat dalam

menyelesaikan sengketa melalui pengadilan beralih melalui mekanisme win-win solution memang bukan

merupakan suatu hal yang mudah. Untuk itu perlu secara terus menerus disosialisasikan lama dan mahalnya

proses penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan, sampai melahirkan suatu kesadaran atau gerakan dalam

masyarakat untuk mencari alternatif penyelesaian sengketa yang dipandang reliable, efisien, dan tidak 

menimbulkan suasana permusuhan. Di samping itu secara terencana melalui lembaga pendidikan dan media

cetak maupun telivisi juga dilakukan usaha-usaha untuk merangsang dan memotivasi masyarakat agar

menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa Non-Litigasi yang mengedepankan win-win solution.

Kalimat itu terlontar oleh seseorang yang memang terlihat mendominasi pembicaraan

pada diskusi silang pendapat antar dua kelompok dalam sebuah kepengurusan yayasan pendidikan.

Terdapat dua kubu dalam kepengurusan itu, dan dua kubu ini memang secara mendasar memiliki

pendapat yang berbeda dalam upaya memecahkan persoalan yang tengah dihadapi oleh yayasan

mereka.

Salah seorang diantara salah satu kubu, terlihat sangat aktif dalam mengemukakan pendapatnya.
 

Dengan gayanya yang meyakinkan, ekspresi wajah yang sangat persuasif, tak henti-hentinya dia

menjelaskan bahwa pendapatnyalah yang layak untuk diterapkan dalam memecahkan masalah mereka.

Dia seperti tidak begitu peduli dengan pendapat yang dikemukakan oleh kubu yang berseberangan

dengannya.

Suatu saat dia mengajak semua yang hadir disitu untuk bersikap win/win. Win/win yang saya melihat,

berdasarkan terjemahan dari pengertiannya, sepertinya win/win yang dia maksud adalah ajakan untuk

menyetujui pendapatnya. Sehingga kemudian ada yang sedikit menganggu pikiran saya waktu itu,

benarkah dia mengerti benar esensi dari win/win? Ketika dia mengajak orang lain untuk melakukan

sesuatu seperti pendapatnya, dan dengan segala argumentasi dan teknik persuasi yang dia perlihatkan,

seakan ungkapan win/win yang dia kemukakan hanyalah sekedar ungkapan, sebagai alat untuk

mempengaruhi orang lain agar sependapat dengan dia.

Saat itulah saya menjadi teringat banyak kejadian serupa yang pernah saya alami. Sebuah keprihatinan

tersendiri bagi saya. Bagaimana tidak, pertama kali istilah win/win diperkenalkan, seakan orang begitu

takjub, begitu antusias, sehingga kemudian istilah win/win ini seakan menjadi alat ampuh bagi siapa saja

yang berdiskusi mencari pemecahan masalah. Tapi begitulah, yang terjadi, win/win, selalu terbatas pada

kata-kata, terbatas pada jargon. Seakan win/win adalah sekedar teknik atau alat dalam melakukan

interaksi.

Dalam bukunya, Stephen Covey mengatakan tentang apa yang diperkenalkannya dengan istilah win/win.

Win/win solution is not a personality technique. It's a total paradigm of human interaction. It comes

from a character integrity, maturity, and the abundance mentality, begitu katanya.

So, win/win bukanlah sesuatu yang bisa dalam sekejap terbentuk, apalagi sesuatu yang bisa dijadikan

alat untuk mempengaruhi pendapat atau pendirian orang lain. Win/win adalah hasil dari jalan panjang

yang selalu berkesinambungan dari seseorang yang selalu berusaha untuk proaktif, selalu fokus pada

lingkaran pengaruhnya, selalu melihat keseimbangan antara 'angsa' dan 'telur emasnya'. Win/win akan

muncul secara simultan dari seseorang yang selalu melihat dan merumuskan hasil akhir dari tahapan,
 

dan yang kemudian mau dan mampu mendahulukan apa-apa yang penting baginya. Tidak hanya itu,

win/win hanya bisa dirasakan bagi mereka yang mampu mendidik dirinya untuk bermentalitas

abundance, mampu berpikir secara dewasa, dan selalu menjaga integritas dirinya.

Sekarang, dari pengertian di atas, marilah kita coba sedikit untuk bermain logika. Diawali dengan

pertanyaan, mungkinkah pengertian win/win betul-betul dipahami oleh mereka, yang justru

berulangkali selalu mengajak untuk mencari win/win solution dalam sebuah diskusi.

Apa yang saya alami saat itu, adalah salah satu contohnya. Apa yang saya ceritakan tentang seseorang

yang selalu mengajak orang lain untuk bersikap win/win solution, tanpa sedikit pun terlihat usaha

darinya untuk sejenak mendengar pendapat yang berseberangan dengannya. Seakan hanya

pendapatnyalah yang paling benar, dan win/win solution hanya terjadi jika orang lain setuju dengan

pendapatnya.

Apa yang saya ceritakan ini bukan untuk mengajak kita semua berlomba-lomba untuk melihat orang-

orang disekitar kita, kira-kira siapa yang berperilaku kurang lebih seperti orang yang saya contohkan di

atas. Saya lebih bermaksud agar kita semua berkaca, termasuk juga saya, mungkinkah dalam suatu

waktu suatu keadaan, bisa jadi secara sadar maupun tidak kita berlaku seperti orang yang saya ceritakan

di atas.

Tidak perlu berandai-andai ketika kita melakukan negosiasi di kantor, berinteraksi di tempat kerja,

dengan klien dan sebagainya. Dengan pasangan kita, pastilah hampir setiap hari kita melakukan

'negosiasi' dengannya. Dengan anak-anak kita pastilah setiap hari ada saja masalah yang harus

dipecahkan bersama. Dengan tetangga-tetangga di lingkungan tempat kita tinggal, pastilah setiap saat

kita dihadapkan pada hal-hal yang harus dicarikan jalan keluarnya. Dan mungkinkah kita, suatu ketika

 justru berlaku seperti orang yang saya contohkan di atas.

Dengan bermodalkan pemahaman teori tentang konsep win/win solution, seakan menjadikan kita

arogan berusaha memanipulasi hubungan kita dengan orang-orang disekitar kita. Dan disinilah
 

sebenarnya letak sampai dimana pemahaman kita diuji. Karena walaupun ketika kita mampu menghafal

teori ini, tapi dalam prakteknya justru sesekali kita berusaha memaksakan kehendak kita, dengan cara

 justru berlindung dibalik win/win solution, dan mempredikati orang yang tidak sependapat sebagai

orang yang tidak berpikir menang-menang, maka sebenarnya yang dipraktekkan adalah win/loose,

bukan win/win.

Saya mungkin bisa saja keliru. Tapi saya mencoba mengajak kita semua untuk mencoba teliti dalam kita

bersikap dan mengambil keputusan sampai kepada hal-hal terkecil di dalam perilaku kita. Misalnya

interaksi kita dengan anak-anak kita. Seperti yang saya kemukakan, bahwa win/win atau menang-

menang hanya akan terjadi ketika orang bisa bersikap dewasa, beritegritas dan bermentalitas

abundance. Dan syarat ini bila kita renungi lebih lanjut, sebenarnya adalah sebuah esensi akan bibit

saling percaya. Dan kita semua tahu, komunikasi kita dengan anak-anak kita hanya akan efektif ketika

telah terjalin rasa saling percaya.

Cobalah kita teliti akan apa saja yang menjadi isi kepala kita ketika kita menghadapi beda pendapat

dengan anak kita. Upaya untuk memaksakan kehendak-kah? Berpolitik untuk tujuan tertentu-kah?

Karena bisa jadi upaya seperti diatas, tetap akan menghasilkan respon yang begitu tipis jaraknya dengan

upaya tulus untuk mewujudkan menang-menang. Itulah mengapa saya ajak anda untuk teliti.

Dari apa yang saya tahu dan rasakan, menang-menang adalah sesuatu yang ditawarkan oleh Covey, dan

begitu baik untuk bisa kita alami dan rasakan bersama. Saya melihat memang generasi kita dengan latar

belakang pengalaman, pendidikan dan lingkungan yang membentuk kita- begitu tertatih-tatih untuk

menggapai apa itu makna dari sebuah paradigma menang-menang. Sudah selayaknya generasi setelah

kita bisa melihat, merasakan dan belajar tentang ini secara lebih baik. 

Anda mungkin juga menyukai