Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA KLINIK

MODUL V
PEMERIKSAAN KADAR GLUTAMAT PIRUVAT TRANSAMINASE

Disusun oleh:
Abdurrasyid Fadhlurrahim 10060318084
Aliya Rahmah Adriani 10060318085
Sherly Aeldha Anuzar 10060318086
Annisa Ajeung Wulandari 10060318087
Akmal Syihabuddin 10060318088
Desi Anom Sari 10060318089
Siti Nurhalizah 10060318090

Shift/Kelompok : B/5
Asisten Praktikum : NurAnnisa, S.Farm.
Tanggal Praktikum : Kamis, 21 Oktober 2021
Tanggal Laporan : Rabu, 27 Oktober 2021

LABORATORIUM FARMASI TERPADI UNIT A


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2021 M / 1443 H
MODUL V
PEMERIKSAAN KADAR GLUTAMAT PIRUVAT TRANSAMINASE

I. Tujuan praktikum
1. Menentukan pemeriksaan glutamate piruvat transaminase yang menunjukan
adanya penyakit yang menyerang hati
2. Menginterpretasikan hasil pemeriksaan dari sampel.
II. Teori dasar
II.1 Hati

Hati merupakan organ tubuh yang paling sering mengalami kerusakan


apabila terkena toksik. Zat toksik yang masuk kedalam tubuh akan mengalami
peroses detoksefikasi (dinetralisasi) di dalam hati oleh fungsi hati. Senyawa racun
ini akan diubah menjadi senyawa lain yang sifatnya tidak lagi beracun terhadap
tubuh. Jika jumlah racun yangmasuk kedalam tubuh relatif kecil atau sedikit
fungsi detoksifikasi baik, dalam tubuh tidak akan terjadi gejala keracunan.
Namun, apabila racun masuk ke hati dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan kerusakan struktur mikroanatomi hati (Sudoyo, 2014).
Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2 - 1,8 kg atau
25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran kanan
atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat
kompleks. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah
tranversal sepanjang 5 cm dari sistem porta hepatis. Permukaan anterior yang
cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya perlekatan ligamentum falsiform
yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang berukuran kira-kira 2 kali lobus kiri
(Sudoyo, 2014).
Selain merupakan organ intestinal yang ukurannya terbesar, hati juga
mempunyai fungsi yang paling banyak dan kompleks, yaitu :
a. Memproduksi protein plasma (albumin, fibrinogen, protombin; juga
memproduksi heparin, yaitu suatu antikoagulandarah).
b. Fagositosis mikroorganisme dan eritrosit dan leukosit yang sudah tua
ataurusak.
c. Pusat metabolisme protein, lemak dan karbohidrat. Bergantung kepada
keperluan tubuh, ketiganya dapat salingdibentuk.
d. Pusat detoksifikasi zat yang beracun di dalam tubuh.
e. Merupakan cairanempedu.
f. Merupakan gudang penyimpanan berbagai zat seperti mineral, glikogen dan
berbagai racun yang tidak dapat dikeluarkan daritubuh.
g. Menyimpan vitamin, zat besi, dan glikogen (Irianto, 2013).
Enzim yang paling sering berkaitan dengan kerusakan hati adalah
aminotransferase yang mengkatalisis pemindahan revensibel satu gugus amino
antara sebuah asam amino dan asam alfa-keto, yang berfungsi dalam
pembentukan asam-asam amino yang dibutuhkan untuk menyusun protein di hati.
Salah satunya adalah alanine aminotransferase (ALT) yang memindahkan satu
gugus amino antara alanin dan asam alfa-keto glutamate (Sacher RA, 2012).
Pemeriksaan SGOT/SGPT adalah pemeriksaan untuk melihat adanya
kerusakan organ hati. Salah satu pemeriksaan biokimia hati yang biasanya
digunakan adalah pemeriksaan enzim golongan alanin aminotransferase (ALT)
atau sering disebut glutamate pyruvate transaminase (Gajawatet al, 2006).
ALT (alanin aminotransferase) merupakan enzim yang utama banyak
ditemukan pada sel hati serta efektif dalam mendiagnosis destruksi hepatoselular..
Jika terjadi kerusakan hati, enzim ALT akan keluar dari sel hati menuju sirkulasi
darah. Kadar normal ALT darah 5-35 U/L. Enzim ini juga ditemukan dalam
jumlah sedikit pada otot jantung, ginjal, serta otot rangka. Kadar ALT serum
dapat lebih tinggi dari sekelompok transferase lainnya (transaminase), aspartate
aminotransferase (AST) atau serum glutamic oxatoacetic transaminase (SGOT),
dalam kasus hepatitits akut serta kerusakan hati akibat penggunaan obat dan zat
kimia, dengan setiap serum mencapai 200-400 U/L. SGPT digunakan untuk
membedakan antara penyebab karena kerusakan hati dan ikterik hemolitik. Kadar
SGOT serum pada ikterik yang berasal dari hati hasilnya lebih tinggi dari 300
unit, sedangkan yang bukan berasal dari hati hasilnya peredaran darah akibatnya
terjadi peningkatan kadar ALT. Pada kerusakan hati yang disebabkan oleh
keracunan atau infeksi, kenaikan SGOT dan SGPT dapat mencapai 20-100x nilai
batas normal tertinggi. Umumnya pada kerusakan hati yang menonjol ialah
kenaikan SGPT (Sadikin 2002).
Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamic oxaloacetic
transaminase (SGOT) merupakan enzim yang tidak hanya terdapat pada hati,
nanum juga terdapat di otot jantung, otak, ginjal, dan otot – otot rangka. Reaksi
antara asam aspartate dan asam alfaketoglutamat akan membentuk AST. Enzim
ini lebih banyak digunakan di jantung daripada di hati, juga otot rangka, ginjal,
dan otak. Apabila terjadi kerusakan pada hati, enzim ini akan masuk ke sirkulasi
darah sehingga bahan pemeriksaan dapat menggunakan serum (Kurniawan, 2014).
Enzim transaminase atau disebut juga enzim aminotransferase merupakan
enzim yang mengkatalisis reaksi transaminase. Terdapat dua jenis enzim serum
yaitu serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) dan serum glutamic
pyruvate transaminase (SGPT). Pemeriksaan SGOT ini sebagai indicator yang
lebih sensitive terhadap kerusakan hati disbanding SGPT. Hal ini dikarenakan
SGOT sumber utamanya dihati, sedangkan SGPT ini lebih banyak terdapat pada
jaringan terutama jantung, otot rangka, ginjal, dan otak (Cahyono, 2009).
II.2 Macam-macam penyakit hati
II.2.1 Hepatitis
Istilah ini dipakai untuk semua peradangan yang terjadi pada hati. Penyebab
dari hepatitis berbagai macam, mulai dari virus sampai obat-obatan termasuk
semua jenis bat-obatan tradisional. Infeksi virus hepatitis B di Amerika Serikat
menurut CDC (The Centers for Disease Control and Prevention) sekitar 300.000
kasus. Virus hepatitis terdiri dari banyak jenis: hepatitis A,B,C,D,E,F dan G.
Kelanjutan dari penyakit hepatitis karena virus bisa menjadi akut, kronik, bahkan
menjadi kanker hati. Virus-virus ini dapat dibedakan melalui penanda
antigenetiknya, namun virus-virus ini dapat menyebabkan penyakit yang serupa
secara klinis dan berakibat infeksi sub klinis asimtomatik hingga berakibat infeksi
akut yang fatal ( Depkes RI, 2007)
II.2.2 Sirosis hati
Istilah sirosis hati dicetuskan oleh Laennec tahun 1819 yang berasal dari
kata Khirros yang berarti warna kuning orange. Sirosis hati adalah suatu penyakit
dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh system
arsitektur hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi jaringan ikat
(fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi Gejalanya berupa
perdangan difus dan selama bertahun-tahun pada hati serta diikuti dengan fibrosis,
degenerasi dan regenerasi sel-sel hati sehingga menimbulkan kekacauan dalam
susunan parenkim hati.
II.2.3 Kanker Hati
Kanker pada hati yang banyak terjadi yaitu Hepatocellular carcinoma
(HCC) yang merupakan komplikasi dari hepatis kronis yang serius terutama
karena virus hepatitis B, C dan hemochromatosis (Depkes RI,2007).
II.2.4 Perlemakan Hati
Terjadi penimbunan lemak yang melebihi berat hati sebesar 5% atau yang
mengenai lebih dari separuh jaringan dari sel hati. Alkohol Merupakan salah satu
penyebab dari sirosis hati (Depkes RI, 2007).
II.2.5 Kolestasis dan jaundice
Kegagalan produksi atau pengeluaran empedu merupakan definisi dari
kolestasis. Kolestasis dapat menyebabkan gagalnya menyerap lemak, vitamin dan
juga terjadi penumpukan asam empedu, bilirubin, dan kolesterol di hati. Jaundice
adalah kelebihan bilirubin dalam sirkulasi aliran darah dan permukaan pigmen
empedu pada kulit, membran mukosa dan bola mata. Biasaya gejala yang timbul
setelah kadar bilirubin dalam darah melebihi 3mg/dL (Depkes RI,2007).
II.2.6 Hemocromatosis
Hemocromatosis adalah keadaan kelainan metabolisme besi biasanya
ditandai dengan adanya pengendapan besi dalam jaringan. Penyakit ini bersifat
genetik atau keturunan (Depkes RI, 2007).
II.2.7 Abses hati
Abses hati disebabkan oleh infeksi bakteri atau amuba. Abses hati
berkembang dengan baik dan cepat sehingga menimbulkan gejala demam dan
menggigil (Depkes RI, 2007).
II.3 Terapi farmakologi penyakit hati
II.3.1 Terapi hepatitis
Terapi farmakologi penyakit hati seperti hepatitis dilakukan berdasarkan
pembagian tipe nya. Hepatitis umumnya disebabkan karena virus sehingga terapi
perlu dilakukan menggunakan antivirus atau antiretroviral, adapun dapat
digunakan Interferon (IFN). IFN adalah salah satu jenis molekul sitokin yang
dihasilkan sel tubuh manusia sebagai respon terhadap jenis rangsangan khususnya
yang diakibatkan infeksi virus. Selain memiliki efek antivirus IFN juga memiliki
efek antiproliferasi dan agen imunomodulator. Hepatitis A dapat dilakukan terapi
antivirus, terapi suportif, yang terdiri dari bed rest sampai dengan ikterus mereda,
diet tinggi kalori, penghentian dari pengobatan yang beresiko hepatotoxic, dan
pembatasan dari konsumsi alkohol. Hepatitis B dapat menyebabkan hepatitis akut
atau hepatitis kronis yang berkembang ke sirosis, hepatitis B dapat menjadi
penyebab infeksi HDV, terapi farmakologi untuk hepatitis B adalah dengan
penggunaan ARV (Lok, 2009). Hepatitis C (HCV) merupakan penyebab utana
penyakit liver didunia, terapinya dapat menggunakan IFN dan obat-obat ARV.
(Lok, 2009).
II.3.2 Terapi sirosis
Terapi untuk sirosis dengan komplikasi dapat dilakukan dengan mengobati
infeksi, memperbaiki fungsi sirkulasi, menangani hipertensi portal, diet, serta
transplantasi hati dapat dilakukan untuk menangani sirosis dengan komplikasi.
Mengobati infeksi menggunakan antibiotik seperti cefotaxime, amoxicillin, dan
aminoglikosida, terutama pada pasien dengan peritonitis bakterial spontan.
Perbaikan fungsi sirkulasi dengan pemberian albumin. Hal ini ditunjukkan dengan
berkurangnya asites, selain albumin pemberian diuretik seperti spironolactone
juga dapat memperbaiki fungsi sirkulasi (Lok, 2009).
II.4 Plasma dan serum
Serum adalah bagian cair dari darah yang tidak diberi antikoagulan. Jika
darah dalam tabung didiamkan selama 5-15 menit, maka darah akan membeku.
Darah akan terpisah menjadi dua bagian, yaitu serum berupa cairan berwana
kuning dan bekuan darah berupa massasolid berwarna merah (Riswanto,2013).
Serum terbagi menjadi beberapa macam, seperti serum ikterik yang
berwarna kuning yang diakibatkan karena peningkatan konsentrasi bilirubin;
serum lipemik adalah serum yang berwarna putih keruh karena adanya partikel
besar lipoprotein seperti trigliserida; serum hemolisis yang berwarna merah
dikarenakan lepasnya hemoglobin dari eritrosit yang rusak (Ghaedi, 2016).
Plasma adalah bagian cair dari darah yang tidak mengandung sel-sel darah
tetapi masih mengandung faktor-faktor pembekuan darah. Plasma diperoleh
dengan memisahkan sel darah dari darah (whole blood) dengan sentrifugasi.
Plasma yang terbentuk memiliki komposisi faktor pembekuan yang berbeda
sesuai dengan jenis antikoagulan yang ditambahkan (Nugraha,2015)
II.5 Metoded pengukuran kadar glutamat
II.5.1 Metode SGOT
Kadar SGOT ditentukan dengan menggunakan metode kinetik enzimatik
(menurut IFCC (International Federation of Clinical Chemistry)). Prinsip dari
pemeriksaan ini adalahSerum Glutamat Oxaloacetat Transaminase (SGOT)
mengkatalisis transaminase dari L – aspartate dan alfa –ketoglutarat membentuk
L- glumate dan oxaloacetate (Sardini, 2007).
Oxaloacetate direduksi menjadi malate oleh enzim Malate Dehydrogenase
(MDH) dan Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NADH) yang kemudian
teroksidasi menjadi NAD.Banyaknya NADH yang teroksidasi hasil penurunan
serapan (absorban) berbanding langsung dengan aktivitas SGOT dan diukur
secara fotometrik dengan panjang gelombang 340 nm (Sardini, 2007).
II.5.2 Metode SGPT
Kadar SGPT ditentukan menggunakan metode kinetik enzimatik ( sesuai
dengan IFCC (International Federation of Clinical Chemistry)). Prinsip dari
pemeriksaan ini adalah Serum Glutamat Piruvat Transaminase (SGPT)
mengkatalis transaminase dari L – alanine dan alfa - ketoglutarat membentuk L –
glutamate dan pyruvat (Sardini, 2007).
Pyruvat yang terbentuk direduksi menjadi laktat oleh enzim Laktat
Dehydrogenase (LDH) dan Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NADH) yang
kemudian teroksidasi menjadi NAD.Banyaknya NADH yang teroksidasi hasil
penurunan serapan (absorban) berbanding langsung dengan aktivitas SGPT.Dikur
secara fotometrik dengan panjang gelombang 340 nm (Sardini, 2007).
III. Alat dan bahan

Alat yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu tabung reaksi,
mikropipet, tip, Kuvet, spektrofotometer.
Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu serum, reagen 1 berupa
140 mmol/L TRIS pH 7,15, 700 mmol/L L-Alanie, 2300 U/L LDH (Lactate
dehydrogenase) dan reagen 2 berupa 85 mmol/L 2-oxoglutarate, 1 mmol/L
NADH, 100 mmol/L Pyridoxal-5-Phosphate FS Buffer pH 9,6, 13 mmol/L
Pyridoxal-5-phosphate.
IV. Prosedur

Pada praktikum ini, pertama dibuat larutan kerja dengan mencampurkan


reagen 1 1000 µL dengan reagen 2200 µL (5 : 1) menggunakan mikropipet yang
sudah diatur kapasitasnya. Tabung kerja diberi label sebagai penanda. Pada
tabung kerja dicampurkan menggunakan tip yang terpasang pada mikropet agar
homogen. Sebelum dilakukan pengukuran absorbansi pada larutan kerja, larutan
blanko dimasukkan kedalam mesin spektrofotometer menggunakan kuvet.
Larutan blanko berisi reagen. Setelah absorbansi pada spektrofotometer menjadi
nol.
Pada pembuatan larutan test digunakan larutan kerja 1000 µL dengan
penambahan 100 µL sampel menggunakan mikropipet yang sudah diatur
kapasitasnya. Tabung test diberi label sebagai penanda. Pada tabung kerja
dicampurkan menggunakan tip yang terpasang pada mikropet agar homogen dan
dibiarkan 60 detik pada suhu ruang. Larutan test diukur nilai absorbansi pada
spektrofotometer yang sudah dikalibrasi menggunakan blanko pada panjang
gelombang 340 nm. Pada pengukuran absorbansi diulang setiap 60 detik untuk 2
menit berikutnya.
V. Data pengamatan dan perhitungan
V.1 Data pengamatan

Absorbansi 1 Absorbansi 2 Absorbansi 3


0,582 0,581 0,580
Sampel kelompok
0,579 0,580 0,579
5 0,557 0,557 0,556

V.2 perhitungan
∆A1/menit = ((0,582−0,579)+(0,579−0,557))/ 2=0,0125
Kadar ALT = ∆A x 1768 x 0,69
= 0,0125 x 1768 x 0,69
= 15,249 µL
∆A2/menit = ((0,581−0,580)+(0,580−0,557))/2=0,012
Kadar ALT = 0,012 x 1768 x 0,69
= 14,639 µL
∆A3/menit = ((0,580−0,579)+(0,579−0,556))/2=0,012
Kadar ALT = 0,012 x 1768 x 0,69
= 14,639 µL
Kadar ALT = (15,249+14,639+14,639)/3=14,842µL

SD =
√∑( Xi−X )
n−1
2 2
= √( 15,249−14,842 ) + (14,639−14,842 ) +(14,639−14,842)²
3−1
= √ 0,124
= 0,352
0,352
RSD = x 100 %
14,842
= 2,372%
VI. Pembahasan

Pada praktikum kali ini, dilakukan pemeriksaan kadar glutamate piruvat


transaminase. Pemeriksaan kadar glutamate piruvat transaminase (GPT) atau Alanin
Aminotranferase (ALT) perlu dilakukan untuk mendiagnosis kerusakan yang terjadi pada
hati. Enzim yang berkaitan dengan kerusakan hati yaitu enzim Aminotranferase yang
mengkatalis pemindahan reversibel satu gugus amino antara sebuah asam amino dan
asam alfa-keto, yang berfungsi dalam pembentukan asam-asam amino yang dibutuhkan
untuk menyusun protein dalam hati. Salah satunya yaitu alanin aminotransferase (ALT)
yang memindahkan satu gugus amino antara alanin dan asam alfa-keto glutamate (Sacher
RA, 2004).
ALT merupakan enzim yang utama, banyak ditemukan pada sel hati serta efektif
dalam mendiagnosa destruksi hepatoselular. Jika terjadi kerusakan hati, enzim ALT akan
keluar dari sel hati menuju sirkulasi darah. Kadar normal ALT dalam darah 5-35 U/L.
Enzim ALT juga dapat ditemukan dalam jumlah sedikit pada otot jantung, ginjal, serta
otot rangka. Kadar ALT serum dapat lebih tinggi dari sekelompok tranferase lainnya
transaminase, aspartate aminotransferase (AST) atau serum glutamic oxatoacetic
transaminase (SGOT), dalam kasus hepatitis akut serta kerusakan hati akibat penggunaa
obat dan zat kimia, dengan setiap serum mencapai 200-400 U/L. SGPT digunakan untuk
membedakan antara penyebab karena kerusakan hati dan ikterik hemolitik. Kadar SGOT
serum pada ikterik yang berasal dari hati hasilnya lebih tinggi dari 300 unit, sedangkan
yang bukan berasal dari hati hasilnya kurang dari 300 unit. Kadar SGPT serum biasanya
meningkat sebelum tampak ikterik (Kee, 2007).
Prinsip metode ini yaitu ALT mengkatalis transaminase dari L-Alanin dan 2-
oxoglurate membentuk L-glutamat dan piruvat direduksi menjadi D-lactat oleh enzim
lactic dehydrogenase (LDH) dan niconamide adenine dinucleotide (NADH) teroksidase
menjadi NAD. Banyaknya NADH yang teroksidasi berbanding langsung dengan aktivitas
ALT dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 340 nm.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kadar SGOT/SGPT, yaitu
(Widjaja, 2009) :
 Istirahat Tidur
Penderita hepatitis yang tidak tercukupi kebutuhan istirahat tidurnya atau waktu
tidurnya kurang dari 7 atau 8 jam setelah dilakukan pemeriksaan terjadi peningkatan
kadar SGOT/SGPT.
 Kelelahan
Kelelahan yang diakibatkan oleh aktivitas yang terlalu banyak atau kelelahan yang
diakibatkan karena olahraga juga akan mempengaruhi kadar SGOT/SGPT.
 Konsumsi Obat-obatan
Mengkonsumsi obat-obatan tertentu dapat meningkatkan kadar SGOT/SGPT.
Seperti obat-obat Haloten, Isoniazid, Metildopa, Fenitoin, Asam Valproat, dan
Paracetamol dalam dosis berlebih.
Pemeriksaan ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit
gangguan hati. Penggunaan sampel serum darah ini merupakan bagian dari plasma tanpa
fibrinogen karena fibrinogen ini dapat mengganggu pengukuran absorban dengan
peningkatan sebesar 3-5%. Serum dan plasma memiliki kandungan yang hampir sama
seperti protein, hormon, glukosa, elektrolit, antibodi, antigen, dan zat tertentu lainnya
hanya saja serum tidak mengandung faktor pembekuan darah, sedangkan plasma
mengandung faktor, serum dapat juga disebut plasma yang tidak mengandung faktor
pembekuan darah. Sedangkan kompsisi dari plasma adalah 91-92% mengandung air dan
7-9% adalah protein plasma, unsur organik dan anorganik. Serum dipilih sebagian bahan
uji karena serum memiliki kadar air yang lebih tinggi sehingga bila dibandingkan dengan
darah (Gibson J, 2002). Setelah pengambilan sampel darah dilakukan 2 tabung reaksi
yaitu larutan kerja (larutan blanko) dan larutan tes. Setiap pengerjaan menggunakan
spektrofotometri selalu diperlukan larutan blanko, karena tujuan dari penggunaan larutan
blanko yaitu untuk memastikan bahwa pelarut yang digunakan tidak memberikan
absorbansi pada panjang gelombang 340 nm. Pada percobaan kali ini tidak digunakan
larutan standar, peran larutan standar telah digantikan dengan perkalian terhadao faktor
dari panjang gelombang dan suhu yang digunakan pada pengukuran.
Tabung reaksi 1 yaitu larutan kerja hanya diisi dengan reagen sedangkan tabung
reaksi untuk larutan tes diisi dengan 2 reagen yang telah dicampurkan. Kemudian
ditambahkan dengan larutan sampel yaitu serum darah dan didiamkan selama 60 detik di
suhu ruang, tujuannya yaitu agar enzim dapat aktif dan memberikan waktu terjadinya
reaksi. Reagen berfungsi sebagai dapat yang menjaga pH serum agar aktivitas GPT stabil,
karena enzim sangat sensitif terhadap perubahan pH L-Glumat dengan dikatalisis oleh
enzim Glutamat Piruvate Transaminase. LDH (Laktat Dehidrogenase) juga merupakan
enzim yang akan mengkatalisis reaksi dari perubahan produk L-Alanin yang dikatalisis
oleh enzim GPT, yaitu piruvate yang akan diubah menjadi laktat.
Kemudian dilakukan pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometri.
Pengukuran absorbansi dilakukan dengan panjang gelombang 340 nm, yang dimaksud
dengan panjang gelombang tersebut yaitu panjang gelombang dari SGPT (Glutamate
Pyruvate Transaminase) yang akan mengabsorbansi radiasi kuat sehingga bisa
memberikan hasil yang diinginkan. Menurut Cairns (2009), spektrofotometer merupakan
alat yang digunakan untuk mengukur transmitan atau absorban suatu sampel sebagai
fungsi panjang gelombang. Prinsip kerja spektrofotometer didasarkan pada hukum
Lambert-Beer yaitu bila cahaya monokromatik melalui suatu media cahayanya diserap,
sebagian dipantulkan, dan sebagian lagi dipancarkan.
Larutan blanko dimasukkan kedalam kuvet. Kemudian setting blank sehingga
ketika proses pengukuran hanya sampel yang diukur absorbansinya. Setelah itu, kuvet
dimasukkan larutan tes dan diliat absorbansinya pada layar readout. Kuvet diambil dan
diukut lagi dengan waktu 1 menit untuk 2 menit berikutnya.
Pengukuran aktivitas SGPT dan SGOT serum dapat menunjukkan adanya kelainan
pada sel hati. Kadar normal Serum Glutamic Puruvic Transaminase (SGPT) yatiu 5-35
IU/L. Berdasarkan hasil dari pemeriksaan kadar glutamat piruvat transaminase yang telah
dilakukan, nilai rata-rata kadar yang diperoleh yaitu 14,842 IU/L, dengan nilai RSD
2,372%. Berdasarkan data tersebut, dapat dinyatakan bahwa hasil dari pemeriksaan kadar
glutamat piruvat transaminase dalam keadaan normal, karena nilai rata-rata kadar yang
diperoleh masih termasuk ke dalam rentang 5-35 IU/L. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada gangguan pada fungsi hati [ CITATION Pon14 \l 1033 ]. Kadar SGPT atau SGOT
dapat mengalami peningkatan yang disebabkan oleh perubahan permeabilitas ataupun
karena terdapat kerusakan pada dinding sel hati (hepatoseluler). Peningkatan enzim ALT
dan AST hingga 300 U/L tidak spesifik menunjukkan adanya kelainan pada sel hati saja,
akan tetapi jika pada penyakit hati diakibatkan oleh virus, iskemik hati yang disebabkan
hipotensi lama atau gagal jantung akut, dan kerusakan hati akibat obat atau zat toksin
maka peningkatan kadar ALT dan AST dapat terjadi hingga lebih dari 1000 U/L
[ CITATION Azm16 \l 1033 ].
VII. Kesimpulan

Daftar Pustaka
Cahyono. 2009. Hepatitis A. Yogyakarta : Kanisius
Cairns D. (2009). Essentials of Pharmaceutical Chemistry Second Edition
(Intisari Kimia Farmasi Edisi Kedua). Penerjemah : Puspita Rini. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
DepKes RI, 2007. Pharmaceutical Untuk Penyakit Hati. Direktorat Bina Farmasi
Komunitas Dan Klinik DitJen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan RI
Gajawat S, Sancheti G, & Goyal Pk. 2006. Protection Against Lead Induced
Hepatic Lesion in Swiss Albino Mice by absorbis Acid. Pharmologionline.
1 :140-149.
Ghaedi, Mahboobe dan Joe M Elkhoury. (2016.) Liquichek Serum Indices.
Diakses pada tanggal 17 Oktober 2018.
Gibson, John. (2002). Modern Physiology and Anatomy far Nurses (Fisiologi &
Anatomi Modern untuk Perawat). terj. Bertha sugiarto. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Irianto, dan Koes, 2013, Mikrobiologi Medis (Medical Microbiology), pp. 71-3,
Penerbit Alfabeta, Bandung
Kee, Joyce LeFever. (2007). Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan
Diagnostik Laboratorium. Jakarta: EGC.
Kurniawan, F B. 2014. Kimia Klinik Praktikum Analisis Kesehaan. Jakarta : EGC
Lok, A.S., McMahon, B. (2009). AASLD Practice Guidelines-Chronic Hepatitis
B: Update 2009. Hepatology 50:3.
Nugraha, Gilang. (2015). Panduan Pemeriksaan Lab Hematologi Dasar. Jakarta:
CV Trans Info Medika.
Pondaag, F., Moeis, E. & Waleleng, B., (2014). Gambaran Enzim Hati Pada
Dewasa Muda dengan Obesitas Sentral. Jurnal e-CliniC, 2(2).
Riswanto. (2013). Pemeriksaan Laboratorium Hematologi. Alfamedika dan Kanal
Medika. Yogyakarta
Rosida, A., (2016). Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Hati. Berkala
Kedokteran, 12(1), pp. 123-131.
Sacher, R. A., and McPherson, R. A. (2004) Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sacher, R.A., & McPherson,R.A. 2012. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium Edisi 11. Jakarta : EGC
Sadikin, M. 2002. Biokimia Enzim. Jakarta : Widya Medika
Sardini, S. (2007).Penentuan Aktivitas Enzim GOT dan GPT dalam Serum
dengan Metode Reaksi Kinetik Enzimatik Sesuai IFCC. Jakarta: BATAN
Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing; 2014.
Widjaja, H. (2009). Anatomi Abdomen. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai