Filsafat Islam Buku
Filsafat Islam Buku
Diterbitkan oleh
FAZA MEDIA.
D/a. Jl. Rajawali Raya No 15 Blok E 2 RT 01 /07 Benda Baru Pamulang,
telp./fax. 021-74645433 Email: fz_media@yahoo.com
Hak Cipta ada pada pengarang _2009 Hak Penerbitan ada pada penerbit
ISBN: 978-602-8033-28-2
Penulis:
Drs. H. Achmad Gholib, MA
Bismillahirrahmanirrahim
Bismillahirrahmanirrahim,
BAB 1
FILSAFAT DALAM LINTASAN SEJARAH
Tidak ada satu pun bangsa pada Abad pertengahan yang memberikan
kontribusi terhadap kemajuan manusia sebesar kontribusi yang diberikan
oleh orang-orang Arab dan orang-orang yang berbahasa Arab. (Philips K.
Hitti)
Akal sepuluh atau ‘aql al-fa’at atau wahib al-shuwar (pemberi bentuk)
diidentifikasi dengan malaikat Jibril yang mengurusi kehidupan di muka
bumi. Akal-akal dan planet-planet tersebut dalam prosesnya menurut al-
Farabi adalah terpancar dengan cara berurutan dalam tingkatannya, tetapi
terjadi dalam waktu bersamaan seperti rantai pemancaran. Perbedaan dalam
satu tingkatan dengan tingkatan lainnya disebabkan setiap lingkungan atau
situasi mempunyai bentuk tersendiri yang adalah ruhnya.116 Beginilah
Tuhan berfikir tentang diri-Nya menghasilkan daya atau energi yang
karenanya menghasilkan sesuatu secara cepat dan tepat, sehingga terciptalah
akal satu sampai dengan akal sepuluh.
Teori emanasi ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara cara
pandang seorang filosof dan teolog tentang cara Tuhan menciptakan alam.
Bagi para teolog (Mutakallimun), alam dicipta melalui kehendak Tuhan, bagi
para filosof penciptaan nampaknya merupakan keniscayaan, sebagai
konsekuensi logis dari aktivitas Tuhan berfikir. Tuhan sering digambarkan
filosof sebagai matahari yang secara niscaya bukan atas kehendak,
memancarkan sinarnya. Karena jika Tuhan mempunyai kehendak, hal itu
membawa Tuhan pada ketidaksempurnaan, termasuk jika Tuhan dapat
melimpahkan dari diri- Nya yang banyak secara sekaligus. Pelimpahan yang
banyak dan Kehendak Tuhan membuat Tuhan terikat dengan waktu dan itu
dapat menafikan kekekalan Tuhan. Berbeda dengan al-Kindi, al-Farabi
berargumen bahwa konsep kekekalan didasarkan pada ruang dan waktu, itu
sebabnya al-Farabi menyatakan alam adalah taqaddum zamani bukan
taqaddum zati.m Konsep ini dalam sejarah, mendapat serangan gencar dari
para teolog, termasuk yang paling menonjol al- Ghazali dalam bukunya
Tahafut al-Falasifah.
Untuk memperjelas konsep wujudnya, al-Farabi mengkategorisasi wujud
dengan wajib al-wujud dan mumtani’ al-wujud. Kategorisasi tersebut
diterangkan Mulyadhi terkait erat dengan aktivitas ketika akal pertama
berfikir, dimana ia bisa berfikir tentang Yang Esa (wajib al-wujud), yakni
Tuhan, sehingga muncullah akal ketiga, bisa juga tentang esensinya sebagai
mumkin al-wujud, sehingga muncullah dari sini Langit Pertama (al-sama’ al-
ula). Oleh karena itu, pemikiran tentang Tuhan dalam setiap aktivitas akal
dari akal pertama sampai dengan sepuluh adalah apa yang disebut sebagai
murajjih (the sufficient reason) bagi munculnya yang lain, khususnya dalam
hal ini kemunculan akal kedua dan langit pertama.118
Teori emanasi al-Farabi ini ditegaskan Deborah L. Black, bergantung pada
dua pilar kosmologi geometrik Ptolemaik (berhubungan dengan Ptolemaus)
dan metafisika ketuhanan. Kerangka acuan emanasi yang digunakan al-Farabi
diberikan oleh kosmologi alam semesta dipandang sebagai serangkaian bola-
bola langit (sphere) konsentris, yang paling luar disebut langit pertama; bola
langit bintang-bintang tetap. Yakni, bola langit Saturnus, Yupiter, Mars,
Matahari, Venus, Merkurius dan akhirnya Bulan.119
Dan dalam beberapa hal, menurut Deborah, emanasi al-Farabi juga kuat
dipengaruhi oleh Aristoteles, tetapi anggapan Deborah tersebut tidak
sepenuhnya benar. Misalnya saja, pemikiran al-Farabi bahwa Tuhan adalah
esa, immateri, kekal dan bertindak niscaya, mungkin bagian dari Aristotelian,
atau bagian dari Islam. Meskipun begitu,tak dapat dipungkiri ketika Tuhan
dicirikan oleh al-Farabi sebagai intelek (akal) yang aktivitas utamanya adalah
"merenungkan dirinya sendiri" adalah juga konsepsi Aristoteles mengenai
aktivitas Tuhan sebagai “berfikir tentang berfikir”.120 Aktifitas Tuhan ini
yang kemudian memunculkan sepuluh akal dimana ujung proses emanasional
ini adalah dunia di bawah alam bulan, yakni dunia kita sendiri.
Al-Farabi bagi Deborah, telah berhasil memposisikan dirinya sebagai pewaris
pemikiran Yunani yang sebenarnya. Dengan mengadopsi metafisika emanasi
Neoplatonik, al-Farabi memberikan sarana sehingga filsafat Aristoteles dapat
ditempatkan dalam kerangka acuan yang lebih sistematis daripada yang
dimungkinkan oleh karya- karya Aristoteles itu sendiri. Hal ini disebabkan
dalam definisi Aristotelian, filsafat alam meliputi studi psikologi: sehingga
wujud yang esa dan yang sama, yakni akal pertama, merepresentasikan batas-
batas fisika dan batas bawah metafisika. Dengan cara demikian, emanasi
memungkinkan al-Farabi mengisi ruang kosong antara unsur-unsur teologis
dan ontologism dalam metafisika, tetapi juga menunjukkan kaitan antara
ilmu-ilmu metafisika teoritis dan fisika yang secara samar- samar
diartikulasikan oleh Aristoteles sendiri.121
3. Akal dan Jiwa
Pembahasan metafisika selanjutnya adalah akal dan jiwa, pembahasan ini
sengaja didudukkan terpisah dari pembahasan mengenai Tuhan, karena
pembahasan Tuhan al-Farabi sangat fenomenal. Ini tidak berarti pembahasan
mengenai jiwa dan akal al- Farabi tidak sebaik pembahasannya mengenai
Tuhan. Namun, karena teori emanasi Tuhan adalah inspirator perkembangan
teori emanasi lainnya selama beberapa abad dan merupakan teori yang
berhasil menggabungkan pemikiran Yunani; dari aspek astronomi Ptolemaik,
emanasi Plotinus dan aliran Alexandria dengan ajaran-ajaran Islam.122 Teori
ini telah berhasil baik di kalangan filosof Timur dan Barat abad pertengahan,
meski juga menuai kontroversi, teori ini dipegang kuat dan dikembangkan
oleh Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, tetapi kemudian ditolak dengan keras oleh al-
Ghazali.
Pembahasan al-Farabi dibahasnya melalui Risalah fi al-‘Aql yang didefinisi
Deborah sebagai bagian dari pembahasan tentang Psikologi dan Filsafat
Pikiran. Namun sebelum membahas lebih jauh mengenai akal, perlu
dikemukakan terlebih dahulu bagaimana jiwa versi al-Farabi, karena akal
adalah bagian dari daya jiwa tersebut. Menurut al-Farabi, kesatuan jiwa dan
badan merupakan kesatuan yang accident, sebagaimana al-Kindi, al-Farabi
menjelaskan accident tersebut dengan melihat substansi yang berbeda di
antara keduanya, dimana binasanya badan (jasad) tidak berimplikasi pada
binasanya jiwa. Karena jiwa berasal dari alam illahi, sedangkan jasad berasal
dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar dan bergerak.123
Jiwa itu sendiri, menurut al-Farabi mempunyai daya-daya, yang mencakup
daya gerak (montion), daya mengetahui (kognitif) dan daya berfikir (intelek).
Setiap daya dikatakan Deborah tersusun secara hierarkis satu sama lainnya
dan dalam masing-masing daya tersebut terdapat unsur-unsur “yang
menguasai" dan “dikuasai”.124 Pada daya gerak (montion) merupakan “yang
menguasai" dan “yang dikuasai” adalah daya makan (nutritive), daya
memelihara (preservation) dan daya berkembang (reproduction). Sedangkan
daya mengetahui (kognitif), membawahi daya merasa (sensation) dan daya
imaginasi (imagination), dan daya berfikir (intelek) terbagi dengan akal
teoritis dan akal praktis.125
Seperti halnya al-Kindi yang juga membagi daya jiwa pada daya bernafsu,
berfikir dan pemarah, dimana akal/ daya berfikir adalah yang sebaiknya atau
seharusnya menjadi pengendali dua daya lainnya, agar jiwa menjadi terarah
dan terkendali. Al-Farabi juga menetapkan bahwa akal sehat yakni daya
berfikir adalah daya “yang berkuasa” dalam jiwa inderawi, maka daya
berfikir adalah pengatur jiwa inderawi manusia. Seperti Aristoteles, al-Farabi
menentukan letak fisiologis posisi daya berfikir ini dalam hati, sesuatu yang
nantinya akan dikembangkan oleh filosof kemudian berdasarkan fisiologi
Galenik dengan menempatkan daya berfikir/ intetect di dalam otak.126
Adapun daya gerak dan daya mengetahui terkait erat dengan aktifitas-
aktifitas apef/Y/7(nafsu/ hasrat) jiwa, yang oleh al-Farabi dikaitkan dengan
indera dan rasio. Daya gerak terkonektifitas dengan indera sedangkan daya
mengetahui (kognitif) pada rasio. Al-Farabi memandang setiap daya kognitif-
sensasi dan imajinasi- berhasrat kepada objek-objek yang diterima dan
dipersepsikan secara alamiah dan timbul bersamaan dengan pemahaman
mereka.127
Berbeda dengan kedua daya di atas, manusia memiliki potensi penerima
pengetahuan melalui daya berfikir (intellek) yang dikelompokkan menjadi
akal praktis yaitu yang menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan dan teoritis
yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Akal praktis adalah
implementasi akal teoritis, sedangkan akal teoritis adalah potensi untuk
menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau
universal-universal.128 Dalam proses penerimaan pengetahuan ini, akal
teoritis tersusun dari akal potensial, akal aktual dan akal mustafad. Akal
potensial adalah jiwa atau bagian jiwa yang mempunyai kekuatan
mengabstraksi dan menyerap esensi kemaujudan. Bila dibandingkan, maka
akal potensial adalah akal fisik, akal material, akal ini seperti materi yang di
dalamnya setiap yang terlihat terlukiskan dalam akal menjadi persepsi atau
sesuatu yang diketahui. Tetapi, pengetahuan disini baru sampai dengan
persepsi belum mewujud ke dalam bentuk menangkap semua pengertian dan
menghasilkan pemahaman.129
Pengetahuan yang sekedar persepsi akan berubah menjadi pengertian-
pengertian jika ia disinari oleh intellek aktif (Akal Fa’al) -akal kesepuluh-
sering juga dimaknai dengan Malaikat Jibril, pada perubahan ini, akal telah
berhasil melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya sehingga
melahirkan ragam pengetahuan yang kemudian tersusun menjadi sebuah
pemahaman yang komperhensif. Dari pencerahan oleh intellek aktif (Akal
Fa’al) akal dimungkinkan untuk bertransformasi dari akal potensial dan
obyek potensial ke dalam aktualitasnya, berbeda dengan akal potensial, akal
actual telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya dan arti-arti itu telah
mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya bukan lagi dalam bentuk
potensi tetapi dalam bentuk actual.130
Untuk menggambarkan peran intellek aktif (Akal Fa’al) dalam perubahan
akal dari potensial menjadi actual, Al-Farabi menganalogkan hubungan
antara akal potensial dengan intellek aktif (Akal Fa’al) seperti mata dengan
matahari. Mata hanyalah kemampuan potensial untuk melihat selama dalam
kegelapan, tetapi dia menjadi actual ketika menerima sinar matahari. Bukan
hanya objek-objek inderawi saja yang bisa dilihat tapi juga cahaya dan
matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri. Jadi akal potensial tidak
akan bisa menjadi aktual tanpa campur tangan intellek aktif.
Di samping itu, menurut al-Farabi intelek manusia sendiri memiliki apa yang
disebut dengan pengetahuan primer. Pengetahuan primer ada dengan
sendirinya dalam intelek manusia dan kebenarannya tidak lagi membutuhkan
penalaran sebelumnya. Pengetahuan ini misalnya bahwa tiga adalah angka
ganjil atau bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya. Intelek potensial
yang sudah disinari oleh Akal Fa’al akan berubah menjadi bentuk yang sama
dengan pengetahuan primer yang diterimanya sebagai bentuk tersebut. Untuk
menggambarkan proses ini, al-Farabi menganalogkan dengan sepotong benda
yang masuk ke dalam lilin cair, benda tersebut tidak hanya tercetak pada lilin,
tapi ia juga merubah lilin cair tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu
sendiri sehingga ia menjadi satu. Atau, bisa juga dianalogkan dengan
sepotong kain yang masuk ke dalam zat pewarna. Artinya, perolehan
aktualitas pada akal potensial menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya
berkaitan dengan pengetahuan primer, tapi juga dengan pengetahuan yang
diupayakannya. Pada tahap Akal Mustafad, akal aktual merefleksikan dirinya
sendiri, kandungan akal aktual adalah pengetahuan murni, dan akal aktual
beranalisis untuk mengetahui dirinya sendiri, dan mengembangkan
pengetahuan yang dimilikinya. Ketika akal aktual sudah sampai pada tahap
ini, ia akan menjadi apa yang disebut al- Farabi dengan akal perolehan atau
al-aql al-mustafad atau acquired /nfe/ecf.131 Akal dimana pengetahuan telah
bersemayam dan kedekatannya dengan Akal Fa’al terjaga dan terbangun,
sehingga untuk mendapatkan pengetahuan akal aktual hanya perlu
menyingkapkan keilmuan dalam Akal Fa’al.
Dengan demikian, akal perolehan merujuk pada akal aktual ketika mencapai
tahap mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self- intelligible) dan
bisa melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-
intellective). Akal perolehan adalah bentuk intelek manusia paling tinggi.
Akal perolehan adalah yang paling dekat dengan Intelek Aktif [Akal Fa’al)
karena keduanya memiliki hubungan sinergi. Di samping itu, akal perolehan
juga tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan
kekuatan fisik badani untuk aktifitas berpikirnya. Dari sini, terlihat bahwa
akal potensial ini tidak dapat menjadi akal actual, begitu juga akal actual
tidak dapat menjadi akal mustafad kecuali dengan pertolongan Intellek Aktif
(Akal Fa’al) yang terpisah darinya. Melalui penyinaran Intellek Aktif (Akal
Fa’al) akal potensial dapat naik ke akal actual, dan kemudian akal actual
disinari oleh Akal Fa’al naik menjadi akal mustafad (acguired intellek).132
Dengan demikian, akal mampu meningkat secara bertahap dari akal dalam
bentuk daya ke akal dalam bentuk aksi dan akhirnya ke akal yang diperoleh.
Akal dalam bentuk daya hanyalah penerima bentuk- bentuk yang dapat
dirasa, sedang akal dalam bentuk aksi mempertahankan pengertian-
pengertian dan serapan-serapan pengetahuan. Dan akal yang diperoleh naik
ke tingkat komuni, ekstase dan inspirasi, pada tahap ini pemahaman-
pemahaman merupakan bentuk-bentuk abstrak yang tidak pernah ada dalam
materi. Di setiap tahap perubahan Akal Fa'al memainkan peran yang sangat
signifikan. Karena pengetahuan manusia bergantung pada radiasi intelegensi-
intelegensi yang terpisah, dan intelegensi agen atau akal fa’al memiliki
hubungan terdekat dengan akal manusia seperti analogi mata dan matahari
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Artinya, akal manusia dapat
menyerap pengetahuan bila ia tersibakkan oleh akal fa’al yang menerangi
jalannya. Disini terlihat, bahwa al-Farabi meleburkan mistisisme dengan
filsafat dan pengetahuan rasional terjadi bersamaan dengan ekstase dan
inspirasi.
Majid Fakhry menyimpulkan gerakan akal al-Farabi mengandung tiga
komponen penting, epistemologi, kosmologi dan metafisika. Di tahap
potensial akal menunjukan perannya sebagai bagian dari pencarian
pengetahuan (epistemologi), di tahap aktual akal berhubungan dengan
pengetahuan di atasnya, dengan kemampuan elaboratif diri untuk
berhubungan dengan intelek-intelek immaterial dan ini berhubungan dengan
teori emanasi yang bersifat kosmologis. Dalam posisi akal perolehan ini,
intelek individu manusia mencapai derajat yang setingkat dengan intelek-
intelek immaterial lainnya, temasuk dengan intelek agen (Akal Fa’al), dan
menjadi sama atau mirip jenisnya dengan mereka. Sebagai akibatnya, ia kini
dapat berkontemplasi (berfikir dan merenung) tidak hanya tentang dirinya
tetapi juga tentang intelijibel yang telah diperoleh dari substansi-substansi
immaterial yang terpisah darinya.133
Melalui doktrin-doktrin al-Farabi tentang akal perolehan dan akal fa’al juga
daya imajinasi, serta aspek-aspek psikologis atau kejiwaan, al-Farabi
kemudian menyusun sebuah konsepsi teori kenabian. Teori yang kemudian
mengiringi pendapatnya mengenai kesatuan filsafat, kesatuan ilmu dan
filsafat praktis yang berkaitan dengan politik dan konsepsi Negara idealnya,
Negara Madinah.
4. Teori Kenabian
Teori kenabian al-Farabi merupakan bukti sukses reformasi pemikiran yang
dilakukan al-Farabi terhadap pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Disini, al-
Farabi menjelaskan mengenai wahyu dan inspirasi, sesuatu yang ditolak oleh
pemikiran filosofis pada masanya seperti Ahmad ibn lshaq al-Ruwandi
(berkebangsaan Yahudi) dan Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria al-Razi
yang meragukan eksistensi kenabian. Menurut mereka para filosof juga
berkemampuan untuk mengadakan komunikasi dengan Intelek Agen.
Pemahaman inilah yang kemudian ditolak al-Farabi, menurutnya, kenabian
dalam berbagai perwujudannya merupakan hasil interaksi antara intelek dan
kapasitas-kapasitas imitatif dari daya imajinasi.
Menurut al-Farabi, imajinasi berada di tengah-tengah antara indera dan
logika, ketika aktivitas daya indera, daya rasional (kognitif), dan daya hasrat
(apetitive) terhenti saat tidur, imajinasi terus menjalankan perannya.
Imajinasi adalah agen dari daya indera, ia melaksanakan tugas sebagai
penyusun dan pemisah sketsa-sketsa inderawi (sensible) setelah mereka
lenyap dari indera termasuk di dalamnya pengontrolan atas citra/ kesan
tersebut dengan menyusunnya dan mengurainya untuk kemudian membentuk
citra/ kesan yang baru.134 Selain kedua fungsi ini, al-Farabi menambahkan
fungsi imitasi; peniruan (muhakah), dengan kemampuan ini, daya imajinasi
dapat menggambarkan objek melalui citra objek lainnya. Dan dengan itu
memperluas kemampuan penggambarannya melalui gambaran kualitas-
kualitas indera sehingga mencakup pengimitasian temperamen, emosi,
keinginan tubuh bahkan realitas-realitas immaterial.135
Dalam membangun hubungan dengan akal fa’al, manusia, terdapat dua cara
yang pertama dengan penalaran atau renungan pemikiran; cara inilah cara
yang digunakan para filosof dan hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi
pilihan yang memiliki kualitas ruh atau jiwa yang suci sehingga dapat
menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya ketuhanan. Sedangkan
cara kedua, yakni dengan imajinasi atau instuisi hanya dapat dilakukan Nabi.
Adapun perbedaan antara kedua cara tersebut, bukan karena yang satu lebih
tinggi setingkat dari yang lainnya sebagaimana sebaliknya. Tetapi, pada
esensinya, artinya, bagi seorang Nabi, pancaran Tuhan adalah given
sedangkan bagi seorang filosof, pribadi pilihan merupakan sebuah upaya,
usaha setelah mensucikan ruh atau jiwanya.136
Ciri khas seorang Nabi bagi al-Farabi adalah memiliki daya imajinasi yang
kuat dimana objek inderawi dari luar tidak dapat mempengaruhinya. Ketika
ia berhubungan dengan Akal Fa’al yang juga diidentifikasi al-Farabi dengan
Jibril, seorang Nabi dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam
bentuk wahyu. Wahyu tersebut adalah limpahan dari Tuhan melalui Akal
Fa’al (Jibril), disini seorang Nabi dapat berhubungan langsung dengan Jibril
tanpa latihan, karena Allah menganugerahinya akal mempunyai kekuatan
suci (qudsiyah) dengan daya tangkap yang luar biasa yang disebutnya dengan
hads. Sedangkan filosof memulai hubungannya dengan Akal Fa’al dengan
pelatihan dari potensial, actual sampai mencapai akal mustafad itupun jika
akal mustafad tersebut telah terlatih kuat dan mendapatkan perolehan dari
akal murni Tuhan -dalam bahasa lslam= “hidayah”-. Maka, seorang filosof
memiliki kans untuk mencapai derajat seorang Nabi, seorang Nabi adalah
filosof sejati, tetapi tidak setiap filosof adalah seorang Nabi, karena Nabi pun
adalah seorang pilihan dari Allah, Yang Esa, Yang Tunggal, Pencipta alam
ini.137
Imajinasi memiliki kedudukan yang penting dalam psikologi¬nya al-Farabi,
ia berhubungan dengan perasaan-perasaan dan terlibat dalam tindakan-
tindakan rasional. Imajinasi dapat menjadi gambaran- gambaran mental
seseorang, seperti sebuah gerakan alam bawah sadar yang nyata-nyata bukan
tiruan, dan terkadang dapat menjadi sumber mimpi. Dan bila imajinasi
terlepas dari aktifitas-aktifitas yang dasar seperti tidur, maka ia sepenuhnya
dipengaruhi oleh gejala psikologis. Prilaku- prilaku yang dalam keadaan
sadar memberikan perasaan-perasaan emosi atau konsepsi-konsepsi tertentu
dapat mempengaruhi imajinasi dan memunculkan mimpi-mimpi yang
berkaitan erat dengan alam emosi pada saat terjaga.138
Disini, jika ruh/ jiwa itu telah suci atau telah mencapai akal mustafad, mimpi-
mimpi tersebut dapat menggambarkan pola dunia spiritual. Nabi, karena
hubungannya yang sangat erat dengan Akal Fa’al, mimpi seorang Nabi dapat
menjadi jalan untuk berkomunikasi dengan Akal Fa’al, melalui hubungan ini,
kenabian dapat diterangkan karena ia sumber mimpi yang benar yakni
wahyu. Dengan demikian, mimpi adalah daya imajinasi imitasi, karena
mimpi adalah fasiliitator antara jiwa dengan intelegensi agen (Akal Fa’al),
maka seorang Nabi dapat berhubungan dengan Akal Fa’al, yang darinya
(intelegensi agen-akal fa’al) tercerminlah gambaran-gambaran tentang yang
paling indah dan sempurna, yang kemudian diserap secara imitatif, siapapun
yang melihat gambaran- gambaran tersebut, ia menyaksikan keagungan
Tuhan. Penyaksian ini yang misalnya saja terjadi ketika tidur, dapat tetap
terserap dengan baik dan tetap terpelihara sampai kondisi terjaga. Bahkan
dalam kondisi terjaga pun, gambaran-gambaran tersebut memberinya
pengetahuan sehingga seorang Nabi tetap bisa meramalkan masalah-masalah
ketuhanan.139
Melanjutkan konsepsinya mengenai integrasi ilmu, antara filsafat dan agama,
al-Farabi berpendapat karenanya wahyu dan filsafat tidak bertentangan. Dan
mu’jizat yang dikonotasikan di luar logika atau akal fikir manusia tetaplah
logis dan sesuai fikir manusia. Karena mu’jizat sama-sama berasal dari akal
sepuluh yang memang berfungsi menata dan mengatur dunia ini.140
Masih berkaitan dengan elemen-elemen yang dapat menghubungkan antara
filosof dan Nabi, al-Farabi kemudian mengembangkannya dengan teori
mengenai “Kota Model”. Al-Farabi menggambarkan kotanya sebagai suatu
keseluruhan dari bagian- bagian yang terpadu, serupa dengan organisme
tubuh, dimana jika ada satu bagian yang sakit, maka bagian lainnya akan
bereaksi dan menjaganya. Konsep tubuh ini kemudian dikembangkan dengan
individu individu yang menjalankan tata kota (pemerintahan). Disini, setiap
individu yang mendapat amanah menjalankan pemerintahan haruslah
memiliki keahlian dan kecakapan di bidang tersebut. Setiap individu dan
kinerjanya adalah bagian-bagian dari tubuh yang harus menjalankan
fungsinya dengan sebaik-baiknya. Dan pengendali tubuh ini adalah otak
yakni seorang penguasa atau pemimpin kota.141
Menurut al-Farabi, penguasa atau yang menjadi pimpinan kota haruslah
orang yang paling unggul di bidang intelektual maupun moralnya di antara
semua orang yang ada, dia haruslah yang terbaik dari yang terbaik. Kualitas-
kualitas kecerdasan tersebut terdiri dari kecerdasan, ingatan yang baik,
pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, tidak berlebih-lebihan dalam
makanan, minuman dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati,
kesederhanaan, mencintai keadilan, ketegaran dan keberanian, serta sehat
jasmani dan memiliki kefasihan bicara.142
Yang sangat menarik adalah criteria pemimpin atau penguasa yang
diupayakan al-Farabi tercakup di dalamnya religiusitas dan filosofis. Seorang
pemimpin mesti seorang yang memiliki kombinasi antara identitas kenabian
dan filsafat, artinya al-Farabi mencoba mengumandangkan sebuah
keselarasan antara agama dan ilmu pengetahuan bagi seorang pemimpin.143
Ide “Kota Model" ini dekat sekali dengan raja filosof dalam dunia
“Republika’-nya Plato,144 tetapi al-Farabi menambahkan pentingnya
religiusitas di dalamnya.
Religiusitas juga dianggap al-Farabi sebagai landasan masyarakat, disini al-
Farabi mengungkapkan bahwa warga kota yang baik adalah mereka yang
mempertimbangkan kehidupannya untuk kehidupan kebahagiaannya kelak di
akhirat. Warga kota yang mengarahkan kehidupannya untuk mencapai
kebahagiaan di akhirat ini, yang akan mendapatkan akal perolehan (acquired
intellect). Dan jika seseorang telah sampai tahap ini, mereka akan kekal
bersama intelek agen-agen lainnya, sebaliknya jika seseorang tidak sampai ke
tahap ini, mereka hanya akan berakhir dengan kematian dan jiwanya akan
tetap mati selamanya.145
Ide “Kota Model" ini diduga disebabkan oleh kondisi social dimana al-Farabi
hidup yang terus menerus berada dalam chaos, sehingga al-Farabi tergerak
menunjukkan tata kota yang sebenarnya harus ada dengan mengadaptasi teori
‘7cfea"nya Plato. Ketika al-Farabi hidup, dinasti Abbasiyah tengah
diguncang oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan dengan
berbagai motivasi, diperkirakan saat itu Abbasiyah dipimpin oleh khalifah al-
Mu’tamid dan al-Muthi’, khalifah-khalifah yang sangat lemah dari dinasti
Abbasiyah.
D. IBNU MISKAWAIH
Ahmad ibn Muhammad ibn Ya'qub ibn Miskawaih atau dikenal juga dengan
Abu Ali al-Khazin, lahir di kota Rayy, Iran pada 320 H dan wafat di Asfahan
pada 9 Safar 421 H. Seorang politikus dan filosof ini dikatakan merupakan
seorang Majusi sebelum kemudian menjadi seorang muallaf. Namun Yaqut
al-Baghdadi menolak pendapat tersebut, dan menyatakan bahwa yang Majusi
adalah neneknya, ayah Ibnu Miskawaih sendiri adalah seorang muslim, ini
terlihat dari nama ayahnya; Muhammad.146 Ibnu Miskawaih adalah
intelektual muslim dan pejabat kenegaraan yang memperoleh kemajuan pesat
di bawah perlindungan dinasti Buwaihiyah (sekitar abad ke-4 sampai dengan
abad ke-5 Hijriyah/ abad ke-10 sampai dengan ke-11 Masehi).147
Ibnu Miskawaih (selanjutnya ditulis Miskawaih) membangun karier
politiknya dengan mengabdi kepada al-Muhallabi (w. 325 H), seorang wazir
pangeran Buwaihiyah Mu’iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya al-
Muhallabi, ia diterima Ibn al-’Amid, seorang wazir dari saudara Mu’iz al-
Daulah, Rukn al-Daulah yang berkedudukan di Rayy. Disini, Miskawaih
ditempatkan untuk menjadi pustakawan, kedudukannya sebagai pustakawan
digunakannya untuk menuntut ilmu secara otodidak. Sampai Ibn al-Amid
wafat dan digantikan putranya Abu al-Fath, Miskawaih masih tetap menjadi
pustakawan, namun saat Abu al-Fath wafat dan digantikan al-Shahih ibn
‘Abbad, Miskawaih meninggalkan Rayy menuju Baghdad untuk kembali
mengabdi pada dinasti Buwaih. Di sini, Miskawaih menjadi bendaharawan
Negara dan mengaktifkan dirinya pada keilmuan serta memulai penulisan
karya-karyanya.148
Tokoh ini diperkirakan hidup sezaman dengan Ibnu Sina dan al-Tauhidi. Ibnu
Miskawaih juga dikabarkan belajar pengetahuan dan keilmuan Yunani pada
Ibn al-Khammar, seorang pensyarah terkenal karya-karya Aristoteles, dan
juga mempelajari al-Kimia pada Thayyib al- Razi. Dalam banyak bidang
ilmu pengetahuan, Miskawaih adalah seorang pakar yang sangat aktif.
Tulisan-tulisannya dan informasi- informasi tentang dirinya dalam berbagai
sumber menjadi saksi tentang keluasan ilmu pengetahuannya dan kebesaran
kultur di masanya. Miskawaih dicatat Margouliouth sebagai seorang ahli
sejarah dan etika, namun selain dua bidang tersebut, Miskawaih juga
memiliki perhatian dan kontribusi lain, dia digambarkan pada masanya
sebagai seorang ahli biografi para dokter, dan menulis semacam rangkuman
dari berbagai risalah medis, seorang ahli aritmatika, sastra dan memiliki
kemampuan yang memukau di bidang retorika, dan menulis beragam
antologi puisi.149
Kendati tulisannya mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti kedokteran,
bahasa, sejarah dan filsafat, tetapi ia lebih popular sebagai filosof etika.
Tulisan-tulisannya mengenai etika kemungkinan besar dimotivasi dari
kondisi masyarakatnya yang kacau, akibat minuman keras, perzinahan dan
bermewah-mewahan. Literatur etika ini memperoleh konsep dan metode
pembahasannya dari karya-karya etika Yunani yang dikenal oleh para pakar
muslim. Seperti karya Aristoteles, Bryson, Galen,Porphyry, Themistius,
kaum Naturalis dan Stoic. Di antara semua ini, pengaruh Neo-platonis adalah
yang paling kuat dan hasilnya berupa sebuah sistem Neo-platonis yang
terpadu. Tetapi tentu saja, etika muslim juga diupayakan Miskawaih yang
didasarkan pada al-Qur’an dan hadis.
Karena pembahasannya yang terkonsentrasi pada etika dan hanya
memberikan sedikit perhatian saja pada masalah ketuhanan, Miskawaih
seringkali tidak dianggap sebagai bagian dari filosof muslim. Namun
beberapa alasan dapat menjawab segala tuduhan tersebut, pertama, secara
praktis setiap filosof berurusan dengan etika, karena ilmu ini merupakan
bagian dari filsafat, berdasarkan skema Aristotelian yang digunakan para
filosof muslim. Kedua, pembahasan mengenai etika berkaitan erat dengan
pembahasan psikology atau ilmu mengenai jiwa, dan jiwa adalah bagian dari
tema-tema yang dikaji dalam filsafat Islam. Ketiga, pembahasannya
mengenai jiwa secara tidak langsung berhubungan dengan akal, alam dan
juga Tuhan. Artinya, meski dalam porsi kecil pembahasan mengenai Tuhan,
tetapi pengkajian mengenai jiwa membutuhkan landasan yang kuat dan
berhubungan dengan teori ketuhanan.
Selain dikenal sebagai filosof etika, Ibnu Miskawaih juga adalah seorang
sejarahwan. Karyanya Tajarub al-Umam (Pengalaman Bangsa- bangsa),
merupakan karya tulis di bidang sejarah yang memaparkan sebuah sejarah
universal sampai dengan tahun 369 H, yang khususnya penting bagi periode
setelah al-Thabari juga sebagai catatan sejarah yang kaya informasi dari
sumber aslinya, dan penjelasan mengenai model- model administrasi, strategi
peperangan, perekonomian Negara sampai dengan manuver politik dan
dimana, menurut editor dan penerjemah dalam edisi Inggrisnya, D.S.
Margoliouth, Miskawaih memperlihatkan bahwa dirinya jelas-jelas lebih
unggul dibandingkan sejarahwan terkemuka sebelumnya.150
1. Filsafat Ibnu Miskawaih
Metafisika
Ibnu Miskawaih memang tidak memberikan perhatian besar terhadap
masalah ketuhanan, namun itu tidak berarti ia tidak memiliki pemikiran
mengenai hal tersebut. Risalah Ibnu Miskawaih al-Fawz al- Asghar,
merupakan risalah yang mengetengahkan uraian tentang ketuhanan, meski
dalam porsi kecil. Risalah al-Fawz al-Asghar dibagi menjadi tiga bagian,
bagian pertama berkenaan dengan pembuktian adanya Tuhan; bagian kedua
tentang ruh dan ragamnya dan bagian ketiga tentang kenabian. Di dalam
risalahnya ini, Ibnu Miskawaih menyuguhkan penjelasan mengenai Tuhan
dan alam ini dengan teori Neo-platonisme yang dikatakan Oliver Leaman
agak tidak lazim.151
Sebelum menjelaskan teori emanasinya, Ibnu Miskawaih terlebih dahulu
mengklaim bahwa para filosof Yunani tidak meragukan eksistensi dan
keesaan Tuhan, sehingga tidak ada pertentangan yang berarti antara
pemikiran mereka dengan Islam. Salah satu contohnya, dikutip Ibnu
Miskawaih dari teori Aristoteles mengenai sang Pencipta yang merupakan
“Penggerak pertama yang tidak bergerak". Ide sang Pencipta Aristoteles ini
dikatakan Ibnu Miskawaih sama sekali tidak bertentangan dengan agama.
Dengan demikian Ibnu Miskawaih berusaha menyelaraskan ide-ide filosof
Yunani dengan ajaran-ajaran dalam Islam.
Penyelarasan filosofis-religius ini semakin terlihat ketika Ibnu Miskawaih
membahas teori Neo-platonismenya atau emanasi. Ibnu Miskawaih
sebagaimana filosof pendahulunya yang lain, menggunakan emanasi sebagai
deskripsi penting penciptaan dari Pencipta pada ciptaan- Nya. Tetapi
emanasinya terlihat berbeda dengan penggambaran filosof lainnya.
Menurutnya, Tuhan menciptakan akal aktif, jiwa dan lelangit serta merta,152
yang dalam tradisi Neo-platonisme Islam, emanasi ilahiah ini biasanya
muncul agak di bawah tingkatan wujud dan tidak bersamaan. Konsep ini
membuat semacam kerancuan antara makna emanasi dan makna
menciptakan.
Jika dalam emanasi al-Farabi dan Ibnu Sina, Tuhan memancarkan dengan
proses berfikir dan memunculkan akal pertama sampai dengan akal
kesepuluh (akal aktif). Menurut Ibnu Miskawaih entitas pertama yang
memancar dari Tuhan adalah akal fa’al (yang oleh al-Farabi diletakkan
menjadi akal sepuluh), artinya akal fa’al atau akal aktif adalah yang pertama
mewujud dari pancaran Tuhan, akal aktif ini karena muncul tanpa perantara
lainnya kecuali pancaran Tuhan membuatnya kekal, sempurna dan tidak
berubah-ubah. Dari akal aktif ini timbul jiwa, yang dari perantara jiwa timbul
planet-planet. Pencaran secara terus menerus dari Tuhan ini yang memelihara
tatanan di alam ini, dan sekiranya pancaran Tuhan tersebut berhenti, maka
berakhirlah kemaujudan dan kehidupan alam ini. Teori emanasi ini dikatakan
Oliver Leaman sebagai emanasi nirputus Neoplatonisme karena
perbedaannya dengan pemikiran filosof lainnya.153
Penciptaan itu sendiri dikatakan Ibnu Miskawaih tercipta dari ketiadaan, dan
akal aktif serta jiwa adalah abadi. Tetapi keabadian akal aktif dan jiwa adalah
berbeda, akal aktif menjadi kekal, sempurna dan tidak berubah karena
pemancaran Tuhan terus menerus berhubungan dengannya dan kekal, sumber
pemancaran itu adalah kekal. Untuk menjelaskan keabadian jiwa, Ibnu
Miskawaih mengutip pendapat Plato dengan menjelaskan esensi ruh yakni
gerak. Gerak ini terdiri dari dua macam, pertama; gerak ke arah inteligensi
dan kedua; gerak ke arah materi, yang pertama diterangi dan yang kedua
menerangi. Tetapi gerak ini kekal dan tidak di dalam ruang dan oleh karena
itu, ia tidak berubah. Melalui gerak pertama, ruh mendekati akal aktif yang
merupakan ciptaan pertama dan melalui gerak kedua, ruh beresensi dari
dirinya. Sehingga pada gerak pertama, ruh mendekati Tuhan dan pada gerak
kedua ruh menjauhi Tuhan dan mendekati materi.154
Meski beberapa teorinya terkesan rasionalis, Ibnu Miskawaih juga adalah
seorang religius sejati. Pertama karena ia berpendapat bahwa Tuhan
menciptakan dari ketiadaan dan kedua pemikirannya mengenai Tuhan yang
disimbolkan dengan simbol penegatifan. Simbol penegatifan ini juga adalah
teori al-Kindi dan mutakallim mu’tazilah. Tuhan harus disimbolkan dengan
penegatifan karena Tuhan berbeda dari segala yang ada di dunia ini. Tuhan
bersifat abadi dan non-materi, Tuhan secara mutlak terbebas dari materi,
terbebas dari entitas-entitas apapun yang tunduk kepada hukum perubahan.
Karena perbedaan Tuhan dengan entitas- entitas yang tunduk kepada hukum
perubahan, maka Tuhan hanya dapat dikenal proposisi negatif dan tidak bisa
dikenai dengan proposisi positif, karena menisbahkan proposisi positif sama
dengan menyamakan Tuhan dengan ciptaanNya.155
Emanasi Ibnu Miskawaih dari Tuhan sampai dengan alam ini dideskripsikan
Ibnu Miskawaih sebagai berikut; Kemaujudan pertama yang memancar dari
Tuhan adalah akal aktif, akal aktif ini sempurna dan kekal tetapi ia tidak
sesempurna Tuhan, karena keberadaannya bergantung pada pancaran Tuhan.
Dari akal aktif ini timbullah ruh, ruh memerlukan gerak sebagai ekspresi
hasrat kesempurnaan untuk mengikuti akal aktif. Ruh juga kekal dan
sempurna dibandingkan dengan benda-benda alam, benda-benda alam ini
mewujud dari ruh langit. Dan karena benda-benda alam jauh tidak
sesempurna ruh maka benda-benda ini memerlukan gerak fisik yang terikat
dalam ruang dan waktu. Lingkungan benda-benda alam ini bergerak dalam
ketetapan Tuhan, dan manusia adalah evolusi dari benda-benda alam ini.
Rantai perantara yang panjang ini membuat manusia adalah fana.156
Menariknya, Ibnu Miskawaih juga mengakui evolusionisme. Evolusi tersebut
terdiri dari empat tahapan, pertama; evolusi mineral, merupakan kombinasi
substansi-substansi primer di alam ini dan merupakan kehidupan pertama.
Kedua; tumbuh-tumbuhan, adalah bentuk kehidupan yang jauh lebih tinggi
dari kehidupan sebelumnya, dan diduga merupakan kombinasi dari mineral-
mineral yang tersusun. Ketiga; hewan, disini Ibnu Miskawaih
mengungkapkan terdapat beberapa tumbuhan yang menyentuh dunia hewan
seperti misalnya saja koral/ batu karang yang tidak hanya tumbuhan tetapi
juga memiliki cirri-ciri hewaniah. Keempat; manusia, seperti teori evolusi
Darwin, teori evolusi belakangan, Ibnu Miskawaih telah berpendapat bahwa
manusia “mungkin" berasal dari hewan. Beberapa indera hewan yang juga
ada dalam diri manusia dan bentuk struktur tubuh hewan yang ada dalam
manusia menurut Ibnu Miskawaih membuktikan evolusi tersebut.157
Teori evolusi ini menjadi pijakan Ibnu Miskawaih untuk menjelaskan
teorinya tentang moral dan kenabian. Ibnu Miskawaih menekankan sebuah
“pelayanan", antara satu makhluk dengan makhluk lainnya, misalnya saja
manusia melayani hewan dan tumbuhan begitupun sebaliknya, semakin
banyak melayani semakin besar kesempatan untuk menuntut (meminta) lebih
banyak. Jika sedikit melayani, sedikit pula ia dapat meminta dan menerima.
Konsep ini adalah konsep mengenai kedudukan manusia sebagai Khalifah di
muka bumi, itu sebabnya bagi Ibnu Miskawaih, kenabian adalah pencapaian
manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, tempat dimana dia memberi
pelayanan terbaiknya bagi alam ini, tempat manusia mengalami evolusi
kosmis di bawah rasionalitasnya.158
Seperti al-Farabi, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa Nabi adalah manusia
pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran, karena pengaruh akal
aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat ini dapat juga diperoleh oleh
filosof, namun terdapat perbedaan dalam cara memperolehnya, filosof
berupaya mendapatkannya dari efektifitas penggunaan daya inderawi menuju
ke daya khayal dan naik lagi ke daya fikir sehingga dapat berhubungan dan
menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Tetapi Nabi menerima
seluruh hakikat kebenaran sebagai rahmat Tuhan. Artinya hubungan filosof
dengan akal aktif adalah dari bawah ke atas, dan Nabi dari akal aktif sampai
ke Nabi.159
Pemikirannya mengenai kenabian ini menunjukkan bahwa apa yang
disampaikan Nabi dan filosof bisa jadi tidak bertentangan. Karena Nabi
membawa ajaran yang tidak bertentangan dengan akal dan filosof
menggunakan akal sebagai landasan berfikirnya. Tetapi, menurut Ibnu
Miskawaih dalam beberapa hal, seperti memahami Tuhan, tidak ada jalan
rasional. Hanya dengan mengikuti petunjuk-petunjuk agama dan pandangan-
pandangan umum komunitas religius, seseorang dapat memahami Tuhan dan
mengetahui Tuhan dengan lebih baik.160
2.. Filsafat Etika
Ide-ide Miskawaih tentang etika dituangkannya dalam risalah Tahdzib al-
Akhlaq, sebuah risalah yang kini telah dijadikan rujukan baik di Timur dan
Barat, bahkan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Dan tampaknya
karyanya ini menempati posisi sentral dalam tradisi etika filosofis muslim.
Ini terlihat dari pengaruh karyanya terhadap tulisan-tulisan intelektual
muslim lainnya setelah Miskawaih. Misalnya saja, Akhlaq-i Nashiri karya
Nashir al-Din al-Thusi (±672 H) dan Akhlaq- i Jatah karya Jalai al-Din al-
Dawwani (+_908 H) yang juga bergantung pada karya Thusi, juga pada Ihya’
’Ulum al-Dirmya al-Ghazali, teolog Islam besar, yang juga besar
pengaruhnya pada tradisi pemikiran Sunni.
Inti ajaran etika Ibnu Miskawaih adalah ilmu tentang jiwa (,psikology), jiwa
menurut Miskawaih adalah entitas yang berdiri sendiri, bukan bagian dari
tubuh. Analoginya adalah lilin, jika lilin dicairkan untuk kemudian dibentuk
menjadi lukisan maka lilin tersebut kemudian merubah bentuk menjadi
lukisan tetapi identitas dirinya adalah lilin tidak hilang karena ia hanya diberi
bentuk. Jiwa juga demikian, jiwa hanya diberi bentuk karena ada jasad atau
tubuh tetapi entitas dirinya adalah jiwa yang berbeda dengan tubuh.161
Dengan demikian, jiwa adalah tetap, tidak berubah meski ia menerima
beragam bentuk. Tetapi tubuh mengalami setiap perubahan, tubuh dapat
menjadi semakin tua, semakin rapuh tetapi jiwa tetap. Ibnu Miskawaih
mencoba menerangkan identitas tubuh dengan keberadaan indera, karena
indera adalah sistem pengenal yang dimiliki tubuh. Tubuh membutuhkan
indera untuk memenuhi kebutuhan jasadinya seperti keinginan untuk menjadi
pemenang, keinginan untuk balas dendam. Secara garis besar, setiap apa yang
dapat ditangkap indera, tubuh akan merasa senang, karena tubuh seakan
mendapatkan eksistensinya. Adapun jiwa semakin jauh dari kebutuhan-
kebutuhan jasadi itu semakin sempurna dan semakin terbebas dari indera, dan
semakin kuatlah jasad untuk menangkap ma’qulaf yang terpancar dari akal
aktif.162
Fakta bahwa jiwa melepaskan kebutuhan-kebutuhan jasadi ini diketahui
ketika manusia melakukan perenungan atau yang kita kenal dengan meditasi.
Dalam proses perenungan ini akan diketahui bahwa jiwa mempunyai prinsip
lain dan tingkah laku lain yang sama sekali bukan indera. Jika indera cuma
mengetahui obyek yang diinderai, jiwa mampu mengetahui sebab-sebab yang
harmonis dan bertolakbelakangnya hal- hal yang dapat diinderai tadi. Sebab-
sebab ini merupakan hal yang dapat dilihat jiwa tanpa bantuan tubuh, artinya
jiwa memiliki kekuatan untuk dapat mengendalikan tubuh. Karena jiwa dapat
memutuskan bahwa indera itu benar atau salah, karena indera tidak memiliki
kemampuan untuk menentang dirinya dari apa yang diterimanya.163
Contohnya, ketika indera cium melakukan kesalahan ketika mencium benda
busuk, apalagi jika baunya berubah-ubah, akal menolak penginderaan ini,
mempertanyakannya lalu mencari sebabnya dan membuat penilaian-
penilaian yang benar.
Secara garis besar, akal adalah esensi dan substansi jiwa, dengan begitu, jiwa
itu tahu, karena ia mengetahui dari esensi dan substansinya sendiri yaitu akal.
Dan itu berarti, bahwa ia tidak membutuhkan sesuatu untuk mengetahui
kecuali dengan dirinya sendiri Maka, akal, dan yang berfikir dan yang obyek
yang difikirkan adalah jiwa. Karena perbedaannya dengan indera maka jiwa
memiliki pembawaan tersendiri yakni kebajikan.164 Dan kecenderungan
manusia pada jiwa dan indera dapat dideteksi melalui kebajikan yang
terpancar dari dirinya, semakin kuat kecenderungan jiwa semakin kuat
kebajikan dan keutamaan terpancar dan sebaliknya semakin kuat
kecenderungan indera atau jasad semakin menipis kebajikan yang
terpancar.165
Kebutuhan jiwa dan indera pada manusia ini telah membedakannya dengan
makhluk-makhluk lainnya, karena jiwa pada manusia memiliki bakat atau
tindakan tertentu yang berbeda dengan yang terdapat pada hewan dan
tumbuhan. Ini tidak berarti bahwa jiwa dalam makhluk lainnya tidak
berpembawaan kebajikan, tetapi karena dalam indera manusia pun
ditempatkan indera berfikir yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Yang
pengefektifan indera berfikir ini adalah dengan melatih jiwa, dan sebenarnya
pada hewan dan binatang kemampuan tersebut ada dengan porsi yang kecil.
Misalnya saja seekor kuda, dianugerahkan bakat dan tindakan untuk dapat
bergerak dengan cepat, jadi kuda yang baik adalah kuda yang paling cepat
geraknya, yang paling cepat dan gesit larinya. Begitu pula manusia, manusia
yang paling baik adalah yang paling mampu melakukan tindakan yang tepat
bagi dirinya, yang paling memperhatikan syarat-syarat substansinya, yang
membedakan dirinya dari seluruh benda alam yang ada.166
Dengan demikian, manusia perlu mengupayakan kebaikan yang merupakan
kesempurnaan dirinya. Tetapi karena kebaikan manusiawi berikut bakatnya
ini ternyata banyak jumlahnya dalam jiwa, dan karena seseorang tidak akan
mampu mencapai semuanya sendiri, maka harus ada sejumlah individu yang
bersatu dan bersama-sama mencapai kebahagiaan bersama ini. Untuk tujuan
ini, maka manusia harus saling mencintai karena setiap individu akan
mendapatkan kesempurnaan dari individu lainnya.167
Demi mendapatkan kesempurnaan individual ini, manusia perlu mengetahui
watak dari jiwa. Ibnu Miskawaih membagi watak jiwa pada tiga bagian yakni
berfikir, marah dan nafsu syahwat
Namun, sebelum membahas etika Ibnu Miskawaih, kita perlu memahami
konsep manusia menurut Miskawaih terlebih dahulu. Menurut Ibnu
Miskawaih, penciptaan yang tertinggi adalah akal sedangkan yang terendah
adalah materi, dan jiwa ada di antara keduanya. Akal dan jiwa merupakan
sebab adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya
tubuh manusia. Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya
adalah akal yang berasal dari pencaran Tuhan, jiwa berfikir ini yang
membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Jiwa dikatakan Miskawaih
dengan mengutip pemikiran Plato, adalah entitas atau substansi yang berdiri
sendiri, jiwa tegas Ibnu Miskawaih dapat dipandang berbeda dari badan,
karena jiwa dapat mendorong manusia untuk memperoleh watak-watak yang
lurus untuk menjalankan tindakan-tindakan yang secara moral benar secara
terorganisasi dan tersistem. Karenanya jiwa bukan aksiden, jiwa mempunyai
kekuatan untuk berhubungan dengan entitas immaterial dan abstrak. Jika jiwa
adalah aksiden maka jiwa terikat dengan badan dan ruang lingkupnya akan
terbatas seperti aspek-aspek fisik. Jiwa adalah substansi independen yang
mengendalikan jiwa dan bersifat kekal, itu sebabnya jiwa tidak mati meski
badan/jasad hancur binasa. Tetapi karena esensinya yang tidak mati ini, jiwa
berada dalam gerak abadi, gerak yang memungkinkan jiwa untuk memilih
untuk melebur bersama materi dan memuaskan hasratnya bersama materi,
atau menuju akal, dan memuaskan hasratnya bersama akal. Semakin dekat
jiwa pada akal, semakin kekal dan semakin sempurna posisinya, dan semakit
dekat jiwa dengan materi, semakin rapuh dan binasa ia, karena ia
dikendalikan oleh materi.
Teori jiwanya ini ditujukan Ibnu Miskawaih untuk menjawab pendapat kaum
materialis yan beranggapan bahwa hanya ada satu tubuh saja dan menafikan
keberadaan jiwa. Keberadaan jiwa diargumentasikan Miskawaih dengan
bukti-bukti sebagai berikut; pertama, Ibnu Miskawaih menerangkan bahwa
dalam diri manusia ada indera dan ada mental intuisi/ kognisi. Indera
berkaitan dengan fisik dan intuisi adalah bagian dari jiwa, indera dapat
mempersepsi suatu rangsangan dengan kuat, tapi cara kerja indera hanya
pada satu arah, ketika menerima rangsangan kuat, indera dapat mengabaikan
rangsangan-rangsangan lemah lainnya. Misalnya saja, orang yang kurang
pendengarannya sulit untuk kemudian membangkitkan kemampuan
bicaranya, karena indera bergerak dengan aturan-aturan yang mesti. Tetapi
intuisi dapat menerima rangsangan dari manapun dalam bentuk apapun meski
indera sudah tidak dapat digunakan, dan ini membuktikan bahwa jiwa
terdapat dalam tubuh kita. Argumen kedua adalah bahwa seseorang yang
telah rapuh fisiknya, tidak dapat mempengaruhi kekuatan mentalnya, bisa
jadi mentalnya menjadi semakin kuat dan bisa jadi fisiknya menguat tetapi
mentalnya menjadi lemah. Argumen ketiga dalam pembuktian jiwa, adalah
hasrat manusia untuk mengisi dahaga spiritualnya dengan merenungkan
sesuatu yang kemudian dengan segala daya upaya berusaha menjauhkan
materi, misalnya saja seseorang yang berusaha keras menutup matanya,
menjauhkan pendengarannya dari kebisingan dan memejamkan matanya
untuk dapat menggambarkan sesuatu yang di luar dirinya. Usaha ini yang
sekarang dikenal dengan “meditasi” membuktikan bahwa jiwa adalah entitas
yang berbeda, karena jika jiwa adalah materi maka jiwa tidak perlu
melepaskan identitas-identitas materi, tidak perlu menutup mata dan menjauh
dari kebisingan, tetapi karena jiwa berbeda dan harus berbicara dengan zat
lain di luar materi, maka jiwa menghentikan diri dari kebutuhan- kebutuhan
materi.
Dengan demikian, jiwa bukan hanya pengendali dari jasad, tetapi juga jiwa
adalah unsur yang setingkat lebih tinggi dari materi. Jiwa adalah suatu
kekuatan tertentu yang disadari atau tidak mengatur organ-organ fisik,
membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi dan menyatukan semua
pengetahuan. Prinsip penyatuan pengetahuan yang merenungkan materi yang
diserap oleh indera dan menentukan bukti- bukti sampai kemudian
disimpulkan adalah suatu perbuatan yang dilakukan jiwa.
Jiwa itu sendiri sebelum menyatu dengan jasad/ tubuh memiliki pembawaan
kebajikan, tetapi karena kebajikan manusiawi berikut bakatnya ini ternyata
banyak jumlahnya dalam jiwa, dan karena seseorang tidak akan mampu
mencapai semuanya, maka perlu bergabung sekelompok besar orang untuk
mencapai semua ini. Untuk tujuan itu, setiap individu harus saling mencintai,
bergaul dan bekerja sama. Namun sebelum kerjasama tersebut tercipta, setiap
individu harus mengelaborasi jiwanya untuk menjadi individu yang “baik".
Setiap jiwa dikatakan Ibnu Miskawaih memiliki watak atau daya yang terdiri
dari tiga bagian; pertama, daya berfikir (melihat dan mempertimbangkan
sesuatu); kedua, daya yang terungkapkan dalam marah, berani, ingin
berkuasa, menghargai diri dan menginginkan bermacam kehormatan; ketiga,
daya yang membuat manusia memiliki nafsu syahwat dan makan, atau yang
lebih dikenal dengan daya hasrat dan keinginan. Ketiga watak jiwa ini
berbeda satu dengan lainnya, ini diketahui dengan jika berkembangnya satu
dari ketiganya dapat meniadakan tindakan dari lainnya. Dan tiga watak
tersebut bisa menjadi kuat atau lemah tergantung pada temperamen,
kebiasaan dan disiplin.
Dalam hubungannya dengan tubuh, watak berfikir menggunakan organ tubuh
yakni otak, watak nafsu syahwat menggunakan organ tubuh yakni hati, dan
watak amarah menggunakan organ tubuh yakni jantung.
Dua watak; nafsu syahwat dan amarah dimiliki juga oleh binatang. Ibnu
Miskawaih menekankan keselarasan ketiga jiwa ini, karena keselarasan
ketiganya akan menghadirkan kebajikan lain, watak yang sangat kuat yakni
keadilan. Pengendalian watak berfikir akan membuat seseorang menjadi
kearifan, dari pengendalian watak nafsu syahwat memunculkan
kesederhanaan dan dari pengendalian watak amarah menimbulkan
keberanian. Kearifan, kesederhanaan, keberanian dan keadilan adalah
keutamaan-keutamaan jiwa, sebaliknya jika tidak ada pengendalian pada
jiwa, keutamaan-keutamaan itu juga hilang, yang ada hanya kebodohan,
kerakusan, pengecut dan lalim.
Untuk mencapai keutamaan-keutamaan tersebut Ibnu Miskawaih
mengajarkan teori jalan tengah (Nadzar al-Awsath), inti teori ini
menyebutkan bahwa keutamaan etika secara umum diartikan posisi tengah
antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa
manusia. Posisi tengah daya nafsu syahwat adalah iffah (menjaga kesucian
diri) yang terletak antara mengumbar nafsu dan mengabaikan nafsu. Posisi
tengah daya amarah adalah syaja’ah (keberanian) yang terletak antara
penakut dan nekad. Posisi tengah daya berfikir adalah a\- hikmah
(kebijaksanaan) yang terletak di antara kebodohan dan arogan. Kombinasi ini
menghasilkan keadilan yang merupakan posisi tengah antara menganiaya dan
teraniaya.
Selanjutnya, setiap keutamaan yang dihasilkan oleh setiap daya jiwa
merupakan hasil dari olah kebajikan jiwa yang terbagi dalam beberapa
bagian. Kearifan misalnya merupakan hasil olah jiwa pada tujuh perbuatan
yakni ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas, tangkas, jernih
ingatan, jernih pikiran, dan mudah dalam belajar. Kesederhanaan merupakan
hasil olah jiwa pada dua belas cabang, yaitu malu, ketenangan, sabar,
dermawan, kemerdekaan, bersahaja, kecenderungan kepada kebaikan,
keteraturan, menghias diri dengan kebaikan, meninggalkan yang tidak baik,
ketenangan, dan kehati-hatian. Adapun keberanian berkembang menjadi
sembilan cabang, yaitu berjiwa besar, pantang takut, ketenangan, keuletan,
kesabaran, murah hati, menahan diri, keperkasaan, dan memiliki daya tahan
yang kuat atau senang bekerja berat. Sementara keadilan oleh Miskawaih
dibagi ke dalam tiga macam, yaitu keadilan alam, keadilan adat istiadat dan
keadilan Tuhan. Untuk mencapai posisi tengah dalam setiap jiwa tersebut
manusia harus dapat memadukan fungsi syari'at dan filsafat. Syari'at
berfungsi bagi terciptanya posisi tengah dalam jiwa bernafsu dan jiwa amarah
sedangkan filsafat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah wata
berfikir.
Dari penjelasan mengenai watak jiwa ini, kemudian Ibn Miskawaih
membangun kriteria karakter manusia. Karakter adalah suat keadaan jiwa
yang menyebabkan jiwa bertindak tanpa difikir ata dipertimbangkan dengan
mendalam. Karakter ini terbagi menjadi du£ pertama, alamiah dan muncul
dari watak, misalnya saja ada orang yan< mudah marah hanya karena hal
kecil, atau yang mudah tersinggung yan mana sikap-sikap ini telah terlihat
sejak manusia itu dilahirkan. Kedui tercipta melalui kebiasaan dan latihan,
pada mulanya keadaan ini terjac karena dipertimbangkan dan difikirkan
namun kemudian melalui prakte terus menerus, menjadi karakter.168
Sebelumnya, kaum Stoik berpendapat bahwa karakter manusii secara alami/
fithrah itu buruk karena tercipta dari lumpur yang hins yang merupakan
sekotor-kotornya unsur alam, tetapi manusia dape berubah menjadi baik
dengan disiplin dan pengajaran. Dan Galei berpendapat bahwa sebagian
manusia secara alami ada yang terlahi baik tetapi ada juga yang terlahir
buruk/ jahat tetapi kemudian seiri™ pertumbuhannya manusia dapat berubah
dari yang jahat menjadi bai dan dari yang baik menjadi jahat atau tetap pada
kondisi awalnya sesuc dengan pengajaran yan diterimanya.169 Miskawaih
sendiri berpendapat bahwa pada manusia terdapat karakter alami, yang dapat
berubah ceps atau lambat melalui disiplin atau nasihat-nasihat atau bahkai
lingkungannya. Karakter alami itu bisa saja baik, bisa juga buruk dai bisa
juga diantara keduanya, yang di tengah-tengah inilah yang bis; berubah
menjadi baik akibat bergaul dengan orang-orang baik atai bisa juga buruk
jika bergaul dengan orang-orang berperilaku buruk.171
Untuk memahami karakter yang dijelaskan Miskawaih ini dicontohkannya
dengan anak-anak yang baru terlahirkan, mereka menuru Miskawaih
memiliki sikap-sikap yang berbeda, yang tidak sama, ada anal yang sejak
kecil telah menunjukkan watak yang “keras", tetapi ada yan< sangat
“penurut", “lembut'' dan “pemarah”. Seluruh watak bawaai tersebut, dapat
berubah seiring pertumbuhannya, sebelum dewasa, anal hanya menggunakan
dua daya jiwa yang juga dimiliki binatang yakni day; nafsu syahwat dan daya
amarah. Secara perlahan daya berfikir kemudiar tumbuh dalam dirinya dan
siap menerima pengajaran dan disiplin semakin cepat pengajaran dan disiplin
itu diterapkan pada anak, semakir cepat pula daya berfikir terolah di dirinya.
Dan semakin diabaikan, karakter-karakter alami mereka ini yang semakin
kuat tumbuh dan daya berfikir semakin tumpul karena tidak digunakan.171
Untuk mendidik mereka, Ibnu Miskawaih menekankan pentingnya syari’at
agama. Karena agama adalah arah terbaik sikap manusia, semakin besar anak
kemudian perlu diajari filsafat dan cara berfikir secara filosofis. Manusia-
manusia seperti inilah yang akan mencapai kesempurnaan akhlak.
Selain masalah-masalah di atas, Ibnu Miskawaih menekankan tiga tujuan dari
etika atau akhlak yang diperbuat manusia; kebaikan (a/- khair), kebahagiaan
(al-sa’adah), dan keutamaan (al-fadhilah). Kebaikan adalah suatu keadaan
dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan
mutlak yang tertinggi adalah identik dengan wujud tertinggi, dan semua
bentuk kebaikan manusia di dunia ini berusaha meraih kebaikan tertinggi
tersebut. Usaha setiap masing-masing orang dengan kebaikan dirinya menuju
kebaikan tertinggi inilah yang kemudian disebut Miskawaih dengan
kebahagiaan, artinya kebahagiaan bergantung pada upaya orang-orang untuk
memperolehnya.172
Kebahagiaan menurut Ibnu Miskawaihn terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa dan
raga. Kebahagiaan sendiri berada dalam dua komponen tersebut, terdapat
orang-orang yang merasa bahagia dengan keterikatannya pada benda, namun
kemudian karena kerinduannya pada jiwa berusaha memperoleh kebahagiaan
jiwa. Dan kedua, manusia yang memfokuskan kebahagiaannya pada jiwa.
Miskawaih menegaskan siapapun yang merasa terikat dengan benda dan
merasa bahagia dengan kedudukan tersebut pasti tetap merasa hampa dan
kesepian sehingga berupaya keras meraih kebahagiaan jiwa.173
Menariknya, meski menempatkan kebahagiaan jiwa sebagai komponen
terpenting, Miskawaih menolak kebiasaan “uzlah” atau mengasingkan diri
dari masyarakat sebagai sikap yang benar. Sikap ini, adalah sikap yang juga
identik dengan zalim dan bakhil serta sikap mementingkan diri sendiri. Sikap
ini juga dapat menolak keutamaan (al-fadhilah) diantara manusia dengan
manusia lainnya, keutamaan itu sendiri adalah cinta kepada semua
manusia.174 Cinta ini dapat diaplikasikan dengan baik jika manusia itu
sendiri berada di tengah masyarakatnya dan saling berintegrasi di dalamnya.
Penyakit moral, terutama yang telah dinyatakan tercela dari segala hal yang
menimpa jiwa dan yang menyebabkannya cemas adalah rasa takut, terutama
takut akan mati. Perasaan takut ini yang menggerogoti fikiran, hanya akan
menimbulkan sakit bagi jiwa dan raga itu sendiri, kematian itu sendiri
menurut Miskawaih, hanyalah proses perjalanan jiwa. Yakni perubahan jiwa
dari keterikatannya pada materi menuju kebahagiaan sejati. Penyakit berat
lain jiwa adalah kesedihan, karena kesedihan adalah suatu bentuk penolakan
terhadap kondisi atau keadaan yang dialami. Kesedihan ini sebenarnya
menurut Miskawaih adalah bentuk dari ketidakpuasan manusia pada
kenikmatan duniawi, yang sebenarnya sangat temporal dan tidak
membahagiakan.175
E. IBNU SINA
Abu Ali Husain ibn Abdullah ibn Sina lahir pada tahun 980 M di Afshinah,
dekat Bukhara (Turkistan). Ayahnya Abdullah, berasal dari Balkh,
ditugaskan untuk memimpin Bukhara dan kemudian diangkat menjadi
gubernur Samanite. Di kota Bukhara inilah, Ibnu Sina memperoleh
pendidikan mudanya, sejak kecil Ibnu Sina telah memperlihatkan kecerdasan
luar biasa. Dalam sepuluh tahun ia telah hafal al-Qur’an dan mengenal
berbagai cabang literatur ilmu. Sejak usianya belum genap tujuh belas tahun,
Ibnu Sina telah menguasai fiqh, matematika, ilmu ukur dan semantik. Bahkan
menurut riwayat, Ibnu Sina mempelajari buku Ocledus, buku mengenai ilmu
ukur dan juga buku-buku mengenai kedokteran. Dan ketika genap delapan
belas tahun, Ibnu Sina telah mempelajari semua ilmu tersebut.176
Bila al-Kindi dan karya-karyanya memperindah istana Khalifah al-Mu'tashim
Billah dan al-Farabi dengan pemikiran-pemikirannya menghiasi istana Saif
al-Dawlah, al-Razi mewarnai pemerintahan Mansyur ibn lshaq, Ibnu Sina
menyemarakkan daulah Bani Buwaih. Masyarakat yang hidup pada masa itu,
yaitu pada akhir abad keempat dan awal abad kelima hijriyah mengenal Ibnu
Sina dengan julukan al-Syaikh.
Bahkan karena kecerdasannya, Sultan Mahmud Ghaznawi meminta Ibnu
Sina untuk tinggal di istananya di Afghanistan, tetapi Ibnu Sina menolaknya,
ia memilih tinggal di Persia. Meski beberapa tahun kemudian ia pergi
meninggalkan Persia (Bukhara) menuju istana Sultan 'Ali ibn al-‘Abbas di
Khawarizmi (Turkistan). Tujuan keberangkatannya adalah untuk menemui
ahli ilmu di kota itu, di sana ia bertemu banyak ulama dan kaum cendekiawan
seperti Abu Raihan al-Biruni; seorang ahli falak, Abu Sahi al-Masihi dan
Abu al-Khair al-Khammar; seorang ahli kedokteran.177 Setelah orang tuanya
meninggal dunia, Ibnu Sina meninggalkan Bukhara dan pergi ke Jurjan untuk
bekerja di Istana Pangeran Ali ibn al-Ma’mun. Selanjutnya, ia pindah ke
Hamdan dan selama disana ia pernah diangkat dua kali menjadi Menteri di
Istana Syams al-Dawlah. Tetapi karena terlibat dalam urusan politik, ia
kemudian dipenjara namun kemudian melepaskan diri dengan menyamar
sebagai sufi dan melarikan diri ke Isfahan. Di Isfahan, ia bekerja di istana
A’la al-Dawlah sampai akhir hayatnya pada tahun 1037 M.178
Menurut Abu 'Ubaid al-Juzjani, Ibnu Sina sibuk menulis baik sewaktu dalam
penjara maupun dalam perjalanan. Karya tulisnya baik berupa risalah atau
berupa buku berjumlah kurang lebih dua ratus, kebanyakan dalam bahasa
Arab dan sebagian kecil dalam bahasa Persia. Karya fenomenalnya, al-Qanun
fi al-Thibb dan al-Syifa’. Al-Qanun (The Canon), suatu ensiklopedia tentang
ilmu kedokteran, diterjemahkan ke dalam bahasa latin di abad kedua belas
masehi dan untuk masa lima ratus tahun menjadi buku pegangan di
universitas-universitas Eropa. Al- Syifa merupakan ensiklopedi tentang
filsafat Aristoteles dan ilmu pengetahuan, di dalamnya terdapat tambahan-
tambahan orisinil dari Ibnu Sina sendiri. Ringkasan dari isi al-Syifa’
terkandung dalam buku lain dengan nama al-Najah, buku-buku penting Ibnu
Sina lainnya adalah ‘Uyun al-Hikmah,al-lsharat wa al-Tanbihat, Mantiq al-
Masyriqiyah dan lainnya.179
Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicenna (Spanyol Aven Sina),
karena kemasyhurannya sebagai filosof, ia pun digelari "The Prince of The
Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama “al-Syaikh al-Rais”,
pemimpin utama (dari filosof-filosof).180
1. Filsafat Ibnu Sina
Teori Emanasi dan Filsafat Wujud
Salah satu pemikiran terpenting bagi Ibnu Sina ialah emanasi, emanasi adalah
teori tentang keluarnya suatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat
yang wajib al-wujud (zat yang mesti ada; Tuhan). Teori emanasi disebut juga
dengan “teori urut-urutan wujud". Teori emanasi Ibnu Sina diperkirakan
merupakan pengembangan selanjutnya dari teori emanasi gurunya, al-Farabi.
Dalam salah satu karyanya al-lsyarat wa al-Tanbihat, Ibnu Sina merumuskan
teori emanasi dengan menerangkan bahwa “emanasi adalah sesuatu yang
dengannya sebuah eksistensi dilahirkan dari yang lain, dan bergantung pada
eksistensi lain tanpa perantara materi, instrument ataupun waktu. Tetapi,
suatu yang didahului oleh non- eksistensi dalam waktu tanpa membutuhkan
perantara, tindakan emanasi karenanya mempunyai derajat yang lebih tinggi
dari tindak penciptaan dan kontingensi”. Sistem emanasi menjelaskan bahwa
seluruh alam, dengan semua kejamakan khasnya telah beremanasi dari dan
tereduksi kepada Tuhan sebagai prinsip pertama eksistensi. Setiap wujud
emanatif dicirikan Ibnu Sina keadaannya sebagai efek immanen, atau aksi
emanatif prinsipnya tersendiri.181
Demi memudahkan pemahaman kita mengenai emanasi Ibnu Sina, perlu
dipahami terlebih dahulu filsafat wujud Ibnu Sina. Ibnu Sina membagi wujud
menjadi tiga kategori; yang mesti ada (wajib al-wujud), yang mungkin ada
(mumkin al-wujud) dan yang mustahil ada (mumtani’ al-wujud). Yang
mustahil ada (mumtani’ al-wujud) dan Yang mesti ada (wajib al-wujud),
tidak pernah tidak ada di masa lampau dan tidak akan pernah tidak ada di
masa depan, la selamanya ada, keberadaannya tidak mempunyai permulaan
dan zaman dan juga tidak mempunyai akhir, la terus menerus ada,
keberadaannya tidak mempunyai sebab. Sedangkan yang mungkin ada
(mumkin al-wujud), pernah tidak ada di masa lampau, kemudian ada dan
dapat tidak ada kembali di masa depan. Adanya mempunyai permulaan
dalam zaman dan juga mempunyai akhir, ia bermula dari tiada dan berakhir
dengan tiada.182
Dari kategori wajib ai-wujud dan mumkin al-wujud, Ibnu Sina berpendapat
bahwa wajib al-wujud adalah sebab dari segala sesuatu dan mumkin al-wujud
adalah efek atau yang keberadaannya berasal dari wajib al-wujud. Dan setiap
yang maujud terdiri dari dua elemen yakni bentuk dan materi.183 Bentuk
menurut Aristoteles adalah jumlah total dasar dan kualitas-kualitasnya yang
dapat diuniversalkan yang membentuk definisinya, adapun materi pada setiap
sesuatu memiliki kemampuan untuk menerima kualitas-kualitas tersebut dan
dengan bentuk itu, maka terjadilah eksistensi.184 Tetapi teori ini
dipertanyakan Ibnu Sina, karena pertama, bentuk yang digambarkan
Aristoteles menunjukkan bahwa bentuk adalah universal, bentuk sendiri
adalah hal yang abstrak sehingga mendekati tidak ada, demikian pula materi,
sebagai wujud potensialitas murni menjadi tidak ada, karena materi hanya
dapat terwujud melalui bentuk. Sedangkan bentuk itu sendiri abstrak dan
universal.185
Ibnu Sina kemudian berkeyakinan jika hanya dari materi dan bentuk saja,
tidak akan didapati eksistensi yang nyata, tetapi hanya kualitas-kualitas
esensi kebetulan. Bentuk dan materi itu baru akan bereksistensi jika ada
campur tangan esensi yang dapat menyatukan keduanya. Diterangkannya
eksistensi yang tersusun tidak hanya dapat disandarkan pada bentuk dan
materi saja, tetapi harus ada hal lain, yang disebut Ibnu Sina dengan
“kejadian". Disini, Ibnu Sina berpendapat eksistensi sesungguhnya bukan
penyerahan bentuk pada materi, tetapi merupakan hubungan yang terjalin
dengan Tuhan.186
Bagi Ibnu Sina, eksistensi lebih utama dari esensi, esensi hanyalah sesuatu
yang abstrak dan hanya bisa berada di dalam akal saja. Esensi tidak mewujud
menjadi gabungan materi dan bentuk, sedangkan eksistensi nyata, berwujud
dan dapat bermanifestasi di luar akal. Filsafat wujud Ibnu Sina ini
membawanya berkesimpulan bahwa wujud (eksistensi) lebih penting dari
esensi, dengan bahasa yang lebih sederhana; “eksistensi adalah lebih utama
dari esensi’’.187 Oleh karena itu, timbul pendapat bahwa eksistensialisme
(suatu aliran filsafat yang muncul dan popular pada abad kedua puluh) telah
lebih dahulu dikemukakan oleh Ibnu Sina pada abad kesembilan masehi.
Teori “kejadian” yang diartikan sebagai hubungan dengan Tuhan
menunjukkan bahwa kejadian tersebut adalah kejadian yang sangat special
dan tidak biasa. Karena jika kejadian tersebut adalah kejadian yang biasa,
maka seseorang dapat memikirkannya sesaat saja lalu tetap melanjutkan
fikiran lainnya dengan terus berargumen tentang obyeknya persis
sebagaimana ia dapat melakukannya untuk kejadian- kejadian lain. Hal yang
spesial ini diargumentasikan Ibnu Sina dengan penekanan bahwa ketiadaan
adalah juga wujud, yakni mumtani' al-wujud. Sebuah pemahaman yang
ditolak oleh banyak kalangan, karena ketiadaan diartikan tidak ada, tidak
maujud dan bukan bagian dari wujud.188 Dari ketiadaan inilah, Tuhan
menyatukan bentuk dan materi menjadi eksistensi.
Untuk menerangkan ketiadaan adalah juga wujud, dijelaskan Ibnu Sina
dengan logika. Menurut Ibnu Sina, setiap manusia seringkali membicarakan
sesuatu yang tidak ada atau tidak maujud. Dalam hal ini manusia
menggunakan imajinya untuk menggambarkan ketiadaan demi ketiadaan
sehingga membentuk makna-makna dari wujud-wujud ini karena kita
mengadakan objek-objek ini di dalam fikiran kita. Misalnya, makhluk ruang
angkasa, yang tidak diketahui keberadaanya, tetapi fikiran membuat
gambaran-gambaran tertentu sehingga seakan-akan makhluk ruang angkasa
itu ada/ berwujud. Tetapi sesungguhnya yang dibicarakan oleh manusia
bukan obyeknya (makhluk ruang angkasa) melainkan suatu kumpulan
sifat.189
Dari teori kejadian dan pembagian wujudnya, Ibnu Sina kemudian
berpendapat bahwa wajib at-wujud yakni Tuhan adalah wujud yang niscaya,
Tuhan ada karena diriNya sendiri, tetapi pada saat yang bersamaan Tuhan
pun menjadi Tuhan karena keberadaan zat lainnya meski begitu tidak berarti
bahwa Tuhan bergantung dan membutuhkan zat lain itu. Meski memiliki dua
kemungkinan, Tuhan adalah satu-satunya wajib al-wujud lidzatihi, karena
segala sesuatu kecuali Tuhan, yang esensiNya adalah Tunggal dan Maujud,
memperoleh eksistensinya dari sesuatu yang lain. Itu sebabnya meski
keberadaanNya diakui melalui keberadaan lain, tetapi tidak bergantung dan
membutuhkan zat lain tersebut. Pembagian Wajib al-wujud menjadi wajib al-
wujud lidzatihi (wujud actual karena dirinya sendiri) dan wajib al-wujud
lighairihi (wujud actual karena yang lain) ini yang menjadi dasar teori Ibnu
Sina untuk membedakan Tuhan dan peran manusia serta perubahan manusia
dari mumkin al-wujud menjadi wajib al-wujud.190
Karena wajib al-wujud dibaginya menjadi wajib al-wujud lidzatihi dan wajib
al-wujud lighairihi, maka Ibnu Sina berpendapat bahwa mumkin al-wujud
berpotensi untuk berubah menjadi wajib al-wujud. Ibnu Sina
mengilustrasikan teorinya ini dengan menjelaskan eksistensi pembakaran
adalah niscaya, tetapi bukan karena pembakaran itu sendiri, melainkan karena
bertemunya dua hal, yang satu adalah secara alamiah dapat membakar dan
yang lainnya secara alamiah dapat terbakar. Dengan demikian, eksistensi
dapat berarti niscaya jika terdapat eksistensi yang mungkin, atau eksistensi
tidak bisa menjadi niscaya dari dalam dirinya. Dengan bahasa yang lebih
sederhana, sesuatu dapat bereksistensi niscaya jika ada penyebab yang
mungkin, kebakaran dapat terjadi karena ada eksistensi yang dapat membakar
dan yang dapat terbakar. Dan eksistensi kebakaran adalah keniscayaan atau
keharusan yang terjadi, sedangkan jika kedua mumkin al-wujud itu tidak ada,
maka tidak terdapat eksistensi atau yang disebut Ibnu Sina dengan mumtani’
al-wujud. Namun, Ibnu Sina juga menegaskan adanya eksistensi yang
niscaya karena dirinya dan tidak bergantung pada eksistensi-eksistensi
lainnya yakni Tuhan.191
Berlandaskan dari pembagian wujudnya ini, Ibnu Sina mengembangkan teori
emanasi al-Farabi. Berbeda dari al-Farabi, yang berpendapat bahwa akal
pertama berfikir mengenai dua objek, yakni Tuhan dan dirinya sendiri. Ibnu
Sina berpendapat bahwa akal berfikir mengenai tiga objek, yaitu Tuhan
sebagai wajib al-wujud linafsihi, akal sebagai mumkin al-wujud linafsihi dan
akal sebagai wajib al-wujud lighairihi (yang actual karena sebab yang lain),
maka akibat yang muncul dari pemikiran akal-akal tersebut adalah juga tiga
macam. Dan Tuhan tidak hanya berfikir mengenai diri-Nya tetapi juga
berfikir mengenai dua objek; wajib al-wujud linafsihi (dirinya sendiri) dan
wajib al-wujud lighairihi. Itu sebabnya dari Tuhan timbul Akal pertama dan
Malaikat Utama atau cherub, sedangkan versi al-Farabi hanya melimpahkan
akal pertama, sebagai wujud tsani.192 Dan dari akal pertama, yang
memikirkan tiga objek melahirkan tiga limpahan. Berikut bagan emanasi
Ibnu Sina193:
Tuhan = Wujud Niscaya t
f
Hasil berfikir Tuhan terhadap dirinya sendiri = Akal Pertama AI-‘Aql
al-Awwall Malaikat utama atau cherub
akal pertama berfikir tentang Tuhan (wajib al-wujud lidzatihi) =
Akal Kedua Hasil memikirkan waiib al-wuiud liphairihi = Jiwa/ Malaikat
langit pertama
^ Hasil memikirkan mumkin al-wujud= Tubuh langit pertama
► Akal Ketiga
I ► Jiwa/ Malaikat langit kedua
Tubuh langit kedua Bintang-bintang tetap atau tanda-tanda zodiac
L*. Akal Keempat ► Jiwa/ Malaikat langit ketiga
Tubuh langit ketiga
Akal Kelima
I ^ Jiwa/ Malaikat langit keempat Tubuh langit keempat (Yupiter)
!-► Akal Keenam Jiwa/ Malaikat langit kelima Tubuh langit kelima
(Mars)
Akal Ketujuh ► Jiwa/ Malaikat langit keenam
Tubuh langit keenam (Matahari)
Akal Kedelapan Jiwa/ Malaikat langit ketujuh Tubuh langit ketujuh
(Venus)
( Akal Kesembilan Ls— ► Jiwa/ Malaikat kedelapan)
Tubuh langit kedelapan (Mercury)
Akal Kesepuluh l ^ Jiwa/ Malaikat lanait kesembilan- Pemberi bentuk
(wahib al-shuwar)\ Malaikat Jibril
^ Tubuh langit kesembilan (Bulan)
Dunia yang fana (generation and Corruption)
Menurut Ibnu Sina, rasul dan nabi diberi Tuhan akal materil yang luar biasa
kuatnya, sehingga tanpa latihan dapat berhubungan dengan akal kesepuluh.
Akal materil yang serupa itu mempunyai daya suci (qudwah qudsiah) dan ini
merupakan bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan itu hanya
diperoleh oleh nabi-nabi dan rasul-rasul.194
Sebagaimana pendahulunya al-Farabi, Ibnu Sina juga membahas filsafat
kenabian. Perlu diketahui, pada zaman kedua filosof ini, ada orang-orang
non-lslam yang tidak senang dengan kekuasaan politik Islam di negeri
mereka dan mengungkapkan rasa ketidaksukaannya itu dengan mengkritik
ajaran-ajaran Islam diantaranya soal kenabian.195 Dengan filsafat pancaran
(emanasi atau al-faidh) yang berasal dari filsafat Yunani inilah Ibnu Sina dan
al-Farabi membawa argument filosofis bahwa kenabian tidak bertentangan
dengan rasio. Tuhan memancarkan akal-akal yang masing-masing
mempunyai planet untuk diatur. Akal terakhir, akal kesepuluh adalah akal
yang mengatur bumi. Akal kesepuluh meneruskan pancaran Tuhan ke
manusia di permukaan bumi. Yang dipancarkan Tuhan itu adalah ilmu dan
ilmu ini dapat ditangkap oleh akal perolehan filosof. Disini terdapat kontak
antara akal filosof dan akal kesepuluh.
Dalam filsafat Ibnu Sina, Nabi mempunyai akal potensial yang dayanya jauh
lebih tinggi dari daya perolehan filosof, sehingga tanpa usaha, seorang Nabi
dapat dengan langsung berhubungan dengan akal kesepuluh yang juga adalah
Jibril. Yang menurut al-Farabi, kontak terjadi melalui imajinasi Nabi. Disini
letak perbedaan antara al-Farabi dan Ibnu Sina, bagi al-Farabi hubungan
antara Nabi dan akal kesepuluh adalah imajinasi, sedangkan bagi Ibnu Sina,
hubungannya dapat dilakukan dalam berbagai cara, karena Nabi dan akal
kesepuluh diberi akses untuk berkomunikasi. Bagi al-Farabi dan Ibnu Sina
perbedaan antara Nabi dan filosof adalah bahwa filosof dalam kontak dengan
akal kesepuluh atau Jibril sebagai upaya menerima ilmu, sedangkan Nabi
selain ilmu juga menerima wahyu.196 Dengan filsafat kenabian inilah al-
Farabi dan Ibnu Sina menentang serangan-serangan musuh-musuh Islam
pada zaman lampau saat itu.
2. Filsafat Manusia, Jiwa dan Akal
Ibnu Sina memandang manusia sebagai benda alam (natural matter) yang
mempunyai bentuk (yang disebut “jiwa”) yang merupakan kesempurnaan
yang pertama. Jiwa adalah titik pemusatan fungsi manusia dan tak
terpisahkan dari jasmaninya. Bagi Ibnu Sina, manusia terdiri dari dua
substansi yaitu jiwa dan raga, substansi jiwa bersifat kekal dan substansi raga
terbatas, keduanya meski berpadu menjadi satu subjek yakni manusia, namun
keduanya adalah berbeda, terpisah, terutama setelah manusia mati.197
Tentang substansi jiwa, Ibnu Sina menampilkan tiga dalil pembuktian.
Pertama, pada saat seorang manusia merenungkan diri, dia akan mengetahui
bahwa ada esensi di dalam dirinya; kedua, bila manusia menumpahkan
seluruh perhatiannya pada suatu persoalan, tanpa disadarinya, dia
menghadirkan zatnya dan seakan-akan berkata “aku akan berbuat begini
begitu atau begitu". Dalam keadaan itu, dia lupa pada semua anggota
tubuhnya. Fokusnya tertuju pada jiwanya dan tidak pada raganya; ketiga, bila
manusia berkata “aku melihat dengan mataku, aku mengambil dengan
tanganku, aku berjalan dengan kakiku”, maka itu menunjukkan bahwa pada
manusia memiliki sesuatu yang menghimpun semua penglihatan dan
perbuatan yang dilakukannya, itulah jiwa manusia.198
Jiwa dibagi ke dalam beberapa bagian dan di setiap bagian terdapat daya-
daya yang tercakup padanya. Pembagian jiwa menurut Ibnu Sina terdiri dari;
(1) Jiwa tumbuhan dengan daya-daya; makan, tumbuh dan berkembang, (2)
Jiwa binatang dengan daya-daya; gerak, menangkap, representasi/ indera
penggambar, imaginasi/ indera penggerak, estimasi/ indera penganggap,
rekoleksi/ indera pengingat, (3) Jiwa manusia, dengan dua daya; praktis dan
teoritis.199
Ketiga jiwa tadi secara menyeluruh tercakup dalam diri manusia, dengan
demikian jika tumbuh-tumbuhan hanya memiliki satu komponen daya yaitu
daya dari dirinya sendiri, binatang memiliki dua komponen daya, yaitu
komponen pertama dari tumbuhan dan komponen kedua dari dirinya sendiri
(jiwa binatang), dan manusia memiliki tiga komponen daya, dari tumbuhan,
binatang dan manusia.200
Daya-daya dalam jiwa binatang201 adalah;
1. daya penggerak; berbentuk nafsu serta amarah dan gerakan fisik dari
satu tempat ke tempat lainnya
2. daya menangkap; terdiri dari dua bagian; dari luar dengan panca
indera seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan lidah dan
perasaan tubuh. Dan dari dalam; indera bersama yang menerima segala apa
yang ditangkap oleh panca indera luar dan meneruskannya ke indera batin
berikutnya, daya ini bertempat di bagian depan dari otak.
3. representasi; atau indera penggambar berkemampuan menyimpan
segala apa yang diterima indera bersama (daya menangkap dari dalam),
melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama dari materinya,
daya ini juga terdapat di bagian depan otak.
4. imajinasi; indera penggerak yang menyusun apa yang telah disimpan
dalam representasi, mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan dari
materi itu dengan memilah-milahnya kemudian menghubungkannya satu
sama lain, daya ini terletak di bagian tengah otak.
5. estimasi; atau indera penganggap yang dapat menangkap hal-hal
abstrak yang terlepas dari materinya, umpamanya keharusan lari bagi
kambing yang melihat serigala, kambing menangkap arti-arti yang dikandung
gambaran-gambaran yang diterima, daya ini terletak di bagian tengah otak.
6. rekoleksi; atau indera pengingat yang menyimpan hal-hal abstrak
yang disusun oleh estimasi, bertempat di bagian belakang otak.
Adapun dalam jiwa manusia terdapat daya praktis dan daya teoritis,
disamping seluruh daya yang ada di binatang. Daya praktis ialah daya yang
tersimpan dalam jiwa manusia, yang berhubungan dengan badan dan materi,
daya ini menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat
seperti pada jiwa binatang. Sedangkan Daya teoritis ialah daya yang
hubungannya adalah dengan hal-hal yang abstrak, menangkap arti-arti murni,
arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, ruh dan
malaikat.202
Pembagian terinci tentang jiwa dan daya-dayanya ini murni pemikiran Ibnu
Sina dan tidak akan kita jumpai dalam filsafat Aristoteles dan filosof-filosof
Yunani lainnya. Melalui pembagian daya jiwa, filsafat Ibnu Sina menjelaskan
bagaimana kesan-kesan atau gambaran- gambaran berdimensi diabstrakkan
menjadi arti.
Sistem kerjanya adalah sebagai berikut; seluruh kesan dan gambaran yang
diterima jasad/ badan atau materi diproses oleh daya penganggap atau
wahmiyah dari otak binatang (terdapat pada binatang dan manusia) untuk
diabstraksikan menjadi arti ke panca indera dalam. Berarti daya penganggap
inilah yang mentransfer gambaran-gambaran yang diberikan panca indera
luar kepada panca indera dalam.
Sampai di panca indera dalam, jiwa binatang tidak memproses apapun lagi,
tetapi pada jiwa manusia terdapat daya berfikir yang disebut akal. Akal hanya
bisa menarik yang abstrak dan tidak dapat menangkap yang berdimensi.
Proses penerimaan pengetahuan ke dalam akal dimulai dari dilepaskannya
arti-arti atau definisi-definisi yang berupa kumpulan sifat dari suatu materi
oleh daya penganggap yang kemudian diteruskan oleh daya pengingat ke akal
manusia. Akal manusia mempunyai empat tingkatan; akal potensial, akal
bakat, akal actual dan selanjutnya menjadi akal perolehan. Dengan akal
perolehan inilah seseorang menjadi filosof.203
Filsafat jiwa Ibnu Sina bertentangan dengan pendapat umum yang
mengatakan bahwa tubuh manusialah yang membutuhkan jiwa. Bagi Ibnu
Sina yang membutuhkan bukanlah tubuh kepada jiwa, tetapi sebaliknya jiwa
yang membutuhkan tubuh. Ibnu Sina mengilustrasikan kebutuhan tersebut
dengan keberadaan janin dalam tubuh seorang ibu. Janin ini tidak meminta
jiwa, tetapi diberikan jiwa, sehingga dalam perspektif Ibnu Sina, jiwalah
yang membutuhkan tubuh, tanpa tubuh jiwa tidak dapat bereksistensi.
Bersama dengan tubuh pula, jiwa berevolusi dan berkembang. Dengan
bantuan panca indera luar dan dalam yang terdapat pada tubuh, daya jiwa
meningkat dari potensial menjadi bakat, actual dan selanjutnya menjadi
perolehan.204
Seperti telah disebutkan daya berfikir (jiwa rasional) mempunyai dua bagian,
akal praktis; yang memiliki kapasitas untuk bertindak dan akal teoritis; yang
potensinya baru akan dieksplorasi jika jiwa bertemu dengan badan. Akal
praktis terletak konsentrasinya pada badan, dengannya seseorang dapat
membedakan antara apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, dan
juga hal-hal particular yang baik dan buruk. Akal ini disempurnakan melalui
kebiasaan dan pengalaman Sedangkan yang kedua, akal teoritis, mengarah
pada dunia ilahiah dan memungkinkan seseorang menerima intelijibel.205
Akal teoritis jika dihubungkan dengan nafsu binatang akan menimbulkan
rasa malu, sedih dan lainnya; jika dihubungkan dengan daya penganggap dari
indera batin binatang akan membedakan yang baik dan buruk dan akan
menghasilkan kecakapan mencipta dalam diri manusia.206 Akal teoritis
mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
1. akal materiil (intelek potensial): yang baru mempunyai potensialitas
untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit, sehingga baru berupa
potensi saja. Kesanggupannya untuk menangkap arti-arti murni, arti-arti yang
tak pernah berada dalam materi, belum keluar.
2. akal bakat (intelek habitual); yang telah mulai dilatih untuk berfikir
tentang hal-hal yang abstrak, kesanggupannya untuk berfikir secara murni
abstrak telah mulai kelihatan; ia telah mulai dapat menangkap pengertian dan
kaedah umum, seperti "seluruh lebih besar dari sebagian"
3. akal actual (intelek actual); yang telah dapat berfikir tentang hal-hal
abstrak, telah lebih mudah dan telah lebih banyak dapat menangkap
pengertian dan kaidah umum dimaksud. Akal actual ini merupakan gudang
bagi arti-arti abstrak itu, yang dapat dikeluarkan setiap kali dikehendaki
4. akal perolehan (acquired intellect); yang telah sanggup berfikir
tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu lagi daya upaya, arti-arti abstrak
tersebut selamanya dapat dikeluarkan dengan mudah sekali. Akal dalam
tingkatan ini telah dilatih begitu rupa sehingga hal-hal yang abstrak
selamanya terdapat di dalamnya. Akal dalam tingkatan inilah yang dapat
menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif yang berada di luar diri
manusia.
Akal dalam derajat keempat ini, adalah akal yang tertinggi dan terkuat
dayanya. Akal serupa inilah yang dimiliki filosof dan akal inilah yang dapat
memahami alam murni abstrak yang tidak pernah berada dalam alam materi.
Akal perolehan yang telah bergelimang dalam keabstrakan inilah yang dapat
menangkap cahaya yang dipancarkan Tuhan ke alam materi melalui akal
kesepuluh -pembahasan akal kesepuluh merupakan bagian dari teori emanasi
Ibnu Sina yang diduga melengkapi pembahasan emanasinya al-Farabi-.207
Karena kemampuan jiwa rasional menerima bentuk-bentuk yang intelijibel,
maka substansinya pasti merupakan sifat dasar (nature) dari bentuk-bentuk
ini. Jika yang menerima bentuk-bentuk intelijibel itu adalah jasmani atau
daya dalam jasmani, maka berarti bentuk-bentuk itu dapat dibagi, dan
bentuk-bentuk yang dapat dibagi tidak mungkin menjadi intelijibel. Dengan
demikian jiwa rasional pastilah bukan jasmani, bukan badan dan bukan
material. Jiwa rasional adalah immaterial, konsekuensinya jiwa rasional itu
tunggal karena kemajemukan terletak dalam materialitas.208 Karena ia
tunggal, ia tidak dapat rusak, berbeda dari al-Farabi yang percaya bahwa jiwa
manusia yang terjamin dari kerusakan hanyalah yang mengetahui paling
tidak beberapa realitas sedangkan jiwa yang sama sekali tidak memiliki
pengetahuan seperti itu akhirnya akan hancur. Ibnu Sina menganggap semua
jiwa manusia atau jiwa rasional tidak dapat rusak. Baginya, pengetahuan
tentang realitas segala sesuatu hanya diperlukan untuk kebahagiaan, tetapi
bukan untuk eksistensi setelah mati.209
Sedikit gambaran, agar kita tidak kesulitan memahami faham Ibnu Sina
antara jiwa dan akal adalah dengan memandang jiwa sebagai subjek utama
yang tunggal yang di dalamnya akal pun bersemayam. Jiwa telah dapat
dinamakan jiwa jika ia telah bertindak dalam tubuh, jika ia terpisah dari
tubuh/ materi, dia (dapat disinonimkan dengan ruh) yang merupakan
limpahan dari akal-akal yang beremanasi.
Dengan demikian jiwa dalam keberadaan hakikinya merupakan suatu
substansi yang independen dan adalah diri kita yang transcendental. Ibnu
Sina meyakini bahwa jiwa adalah abadi didasarkan atas pandangan bahwa
jiwa merupakan suatu substansi dan bukan suatu bentuk tubuh, yang kepada
bentuk itu jiwa dikaitkan erat-erat oleh suatu hubungan mistik tertentu.210
Dari jiwa ini muncul intelegensi aktif, kemunculannya bersamaan dengan
hubungannya dengan tubuh yang memiliki temperamen tertentu dan
kecenderungan tertentu, sehingga mengikat jiwa atau substansi terpisah untuk
membaur bersamanya (tubuh). Keduanya (jiwa-substansi terpisah dan tubuh)
saling merawat dan mengarahkannya dengan baik sehingga terjadi simbiosis
mutualisme. Selanjutnya jiwa sebagai non-badani, merupakan suatu substansi
yang sederhana dan substansi ini menjamin kesinambungan hidupnya bahkan
bila tubuh itu sendiri telah rusak.
Simbiosis mutualisme antara jiwa dan tubuh dibuktikan Ibnu Sina dengan
menjelaskan hubungan mistik yang terjalin antara jiwa dan tubuh. Hubungan
mistik ini adalah keterikatan antara jiwa dan tubuh, dimana jiwa telah
memilih tubuhnya dan tubuh mengikatkan diri pada jiwa. Sehingga bagi Ibnu
Sina tidak ada perpindahan jiwa ke tubuh lain atau tidak ada tubuh yang
berpadu dengan jiwa lain selain jiwanya sendiri. Karenanya hubungan tubuh
dan jiwa adalah hubungan yang sangat erat, maka hubungan ini dapat
mempengaruhi akal.211
Melalui hubungan tubuh dan jiwa, Ibnu Sina menekankan pentingnya
eksistensi individual. Eksistensi individual ini menekankan pentingnya
karakter emosi dan kata hati. Meski ia seorang Dokter, bagi Ibnu Sina
pengaruh fikiran adalah komponen terpenting dari individu, karena kapan
pun fikiran ingin menggerakkan tubuh, maka tubuh akan menaatinya. Dalam
uraiannya yang terperinci mengenai gerak hewan, Ibnu Sina membaginya
dalam empat tingkatan. Yang sebelumnya dibagi Aristoteles dengan tiga
tingkatan (imajinasi/ penalaran, keinginan dan gerak otot), adapun Ibnu Sina,
imajinasi/ penalaran, kata hati, keinginan dan gerak otot. Ibnu Sina berkata,
bahwa hasrat dan dorongan memang dipengaruhi oleh imajinasi, tetapi ketika
dalam kepedihan fisik, dorongan hati alamiah kita mencoba menghilangkan
sebab kepedihan tersebut dan dengan demikian menimbulkan pergolakan
imajinasi.212
Dari pergolakan ini, Ibnu Sina beralih pada bagaimana pengaruh imajinasi/
penalaran atau fikiran pada pengaruh emosi dan kemauan. Berdasarkan
pengalaman medisnya, bahwa sebenarnya secara fisik orang-orang yang sakit
hanya dengan kekuatan kemauannyalah, dapat menjadi sembuh dan begitu
pula orang-orang sehat dapat menjadi benar-benar sakit bila terpengaruh oleh
fikirannya bahwa ia sakit.213
Dan sungguh emosi yang kuat seperti rasa takut dapat benar- benar merusak
temperamen organisme dan menyebabkan kematian dengan mempengaruhi
fungsi-fungsi vegetatif (lih. daya tumbuhan). Gembira dan sedih juga
merupakan keadaan-keadaan mental yang dapat mempengaruhi fungsi untuk
tumbuh dan berkembang. Keadaan-keadaan mental ini dapat mempengaruhi
imajinasi/ fikiran, meski imajinasi bukan suatu pengaruh fisik, tetapi bila
suatu gagasan tertanam kuat dalam imajinasi, maka gagasan tersebut
mengharuskan adanya perubahan temperamen. Perubahan sel-sel fisik, organ-
organ tubuh yang dapat semakin kuat tumbuh dan berkembang atau
sebaliknya.214
Dari sini, Ibnu Sina dapat dikatakan sebagai orang pertama yang
menunjukkan bukti dari fenomena hypnosis dan sugesti. Menurut Ibnu Sina,
jiwa yang secara eksklusif menyatu dengan tubuh dapat melampaui tubuhnya
untuk mempengaruhi jiwa yang lain. Hal ini menjadi mungkin hanya apabila
jiwa menjadi sama dengan seluruh jiwa. Dari sini, Ibnu Sina menolah stigma
sihir dan mistis pada kebiasaan- kebiasaan Hellenis yang menggunakan
logam dan hewan yang biasanya ahli sihir beraksi. Ibnu Sina melogikakan
perilaku tersebut dan menegaskan bahwa setiap orang dapat melakukannya
dengan logis.215
Fikiran secara kodrati memang dipersiapkan untuk dapat mempengaruhi
materi dan sebaliknya materi secara kodrati memang menaati fikiran. Maka
fikiran yang kuat akan mampu mempengaruhi, mengalihkan atau bahkan
mengacaukan fikiran lain. Ini terjadi dikarenakan jiwa (ruh) berasal dari
prinsip-prinsip tertentu yang lebih tinggi dari materi, ruh ini yang memberi
materi bentuk-bentuk yang terkandung di dalamnya, sehingga bentuk-bentuk
ini membuat rupa pada materi. Nah, jika prinsip ini kemudian ditularkan pada
spesies-spesies lainnya di alam, dengan memberikan bentuk untuk
me"rupa"kannya maka tidak mustahil prinsip ini dapat memberikan kualitas-
kualitas tanpa perlu perantara (baik sihir, magic atau jin), juga tanpa kontak
fisik.
3. Epistemologi dan Kenabian
Ibnu Sina mendefinisikan pengetahuan sebagai sejenis abstraksi untuk
memahami bentuk sesuatu yang telah diketahui. Abstraksi pengetahuan
sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya merupakan hasil persepsi
indera bagian luar yang kemudian diolah oleh persepsi bagian dalam.
Persepsi bagian luar adalah kerja panca indera, sedangkan indera bagian
dalam bekerja untuk memilah-milah pesan, memaknai pesan dan menyusun
pesan yang ditangkap oleh indera luar.216
Indera dalam pertama yakni indera bersama, indera ini menjadikan data-data
indera indera luar sebagai persepsi-persepsi. Artinya indera bersama
merupakan wadah data dari apa yang telah ditangkap oleh indera luar dan
kemudian dipersepsikan oleh indera bersama. Indera internal kedua;
representasi, indera ini telah mulai melakukan imajinasi dari persepsi-
persepsi yang diterima dari indera bersama, dengan imajinasi ini, indera
representasi melakukan pemaknaan ulang (representasi) dengan melepaskan
persepsi-persepsi awal yang diberikan panca indera. Indera internal ketiga
adalah imajinasi yang sesungguhnya, pada manusia indera ini dikuasai oleh
nalar sehingga imajinasi dapat bekerja dengan cermat, indera ini bertugas
melakukan pemilahan persepsi-persepsi yang diterima dari indera internal
ketiga. Imajinasi berupaya mengkaji baik dan buruknya kesan-kesan yang
telah diterima, karena kecermatan dan ketepatan imajinasi inilah, maka akal
praktis bersemayam di dalamnya. Indera internal keempat dan indera internal
terpenting yakni estimasi bertugas menyerap gerak-gerak non bendawi
seperti kegunaan dan ketidakgunaan, cinta dan benci kepada obyek-obyek
materi dan sesungguhnya merupakan dasar karakter manusia. Dan indera
internal kelima, rekoleksi; menyimpan dalam ingatan semua gagasan-gagasan
yang diterima yang oleh Ibnu Sina disebut sebagai tempat niat dimulai.217
Doktrin estimasi (wahm) yang digambarkan psikolog modem dengan “respon
syaraf' subyek terhadap obyek tertentu, dapat bersifat instingtif murni seperti
domba yang mengenali serigala dan memerintahkan dirinya untuk segera
melarikan diri atau seperti seorang ibu yang mencintai anaknya.218 Instingtif
murni didapati tanpa perlu ada pengalaman terlebih dahulu, sifatnya sangat
naluriah dan alami. Sifat lainnya adalah “empiris semu", respon ini
merupakan gabungan antara imajinasi dan estimasi (indera internal ketiga dan
keempat) yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman di masa lalu atau
sebelumnya. Anjing yang sebelumnya pernah dipukul dengan tongkat kayu
dan merasakan sakitnya merekam ingatan itu, sehingga ketika anjing melihat
seseorang membawa tongkat kayu, ia dengan sesegera mungkin menghindar.
Gejala penghubungan kejadian masa lalu tersebut bisa jadi tidak langsung
atau bahkan tidak rasional. Beberapa orang dengan irasional menghubungkan
warna-warna tertentu dengan kejadian-kejadian tertentu, hanya karena ia
mendengar asumsi-asumsi yang belum tentu benar. Atau seseorang yang
mengalami ketakutan meminum obat yang kemudian berlangsung secara
terus-menerus tanpa perlu melihat perbedaannya, misalnya dia ketakutan
karena obat itu pahit sehingga ia ragu meminum obat meski obat itu
manis.219
Artinya, gabungan imajinasi dan estimasi yang didasarkan pada pengalaman
akan mempengaruhi emosi yang dapat mengacaukan fikiran dan melahirkan
temperamen-temperamen tertentu. Dan akal praktis memiliki peran penting
untuk memanage imajinasi, estimasi dan gabungan keduanya. Doktrin ini
merupakan inti ajaran epistemologis Ibnu Sina yang juga dasar teori
kenabiannya.
Seperti dijelaskan sebelumnya akal praktis terdiri dari empat tingkatan,
habitual, potensial, actual dan perolehan. Ibnu Sina menekankan pentingnya
akal potensial, karena kesanggupannya untuk berfikir secara murni abstrak
telah mulai dapat dilakukan. Akal ini telah mampu dilatih untuk membuat
hubungan dengan akal aktif (akal kesepuluh) di luar manusia. Yang karena
latihan untuk mengenal akal aktif itu, akal potensial dapat berkembang dan
menjadi matang. Ibnu
Sina beranggapan akal potensial pada manusia adalah unsur yang tidak dapat
dibagi-bagi, tidak bersifat materi dan tidak dapat dirusak sekalipun akal ini
dibangkitkan pada waktu tertentu dan sebagai sesuatu yang bersifat bagi
setiap individu.220 Ide ini berhubungan dengan konsekuensi-konsekuensi
keagamaan, yang menurut al-Farabi, hanya akal yang maju yang dapat
bertahan hidup sedangkan yang lainnya sirna dalam kematian untuk selama-
lamanya. Tetapi Ibnu Sina beranggapan jiwa adalah kekal dan akal karena tak
dapat dibagi-bagi yang juga merupakan unsur jiwa, maka ia juga kekal
bersama jiwa.221
Pengetahuan itu sendiri menurut Ibnu Sina diperoleh manusia sedikit demi
sedikit dan sambung menyambung, tidak diterima secara sekaligus dan
universal. Karena pengetahuan sulit diketahui dari mana dan kemana arah
pemahamannya ditujukan. Agaknya pemahaman pengetahuan dikatakan Ibnu
Sina adalah sambung menyambung atau terperinci, merupakan bagian dari
konteks “cara pandang’’. Karena menurutnya, gagasan-gagasan itu datang
dan pergi secara bergantian, dengan demikian penguasaan mereka tentang
realitas tidak menyeluruh. Seseorang dapat menerima pengetahuan dari sisi
kiri, yang lainnya dapat menerimanya dari sisi kanan dan yang lainnya lagi
dapat melihat garis besarnya saja.222
Itu sebabnya Ibnu Sina menolak doktrin umum Yunani yang mengatakan
identitas mutlak dari subyek dan obyek dalam kerja akal, karena menurut
pendapat Ibnu Sina dalam kesadaran normal, akal manusia menerima
kesilihbergantian gagasan. Jika fikiran identik dengan sebuah objek, maka
bagaimana mungkin fikiran itu dapat merespon objek lainnya. Gagasan-
gagasan yang keluar masuk fikiran tentu saja tidak serta merta tersimpan dan
digunakan dalam pengakalan. Sehingga bagi Ibnu Sina, gagasan-gagasan
yang direspon akal tidak selalu teringat, sebaliknya Ibnu Sina menegaskan
peran imaji-imaji perasaan, menurutnya gagasan-gagasan imaji perasaan jauh
tersimpan dan terpendam dalam memori manusia atau dengan kata lain
sebenarnya tidak ada ingatan akal seperti ingatan tentang imaji-imaji
perasaan.223
Fikiran manusia tidak dapat melestarikan setiap ingatan terhadap pengertian/
pengetahuan. Tetapi perasaan dapat merekam/ mengingat setiap ingatan
tentang peristiwa-peristiwa masa silam bahkan peristiwa masa kini. Memang
terdapat perbedaan antara peristiwa yang diingat oleh fikiran dengan yang
diingat dalam imaji perasaan, Ibnu Sina berpendapat seperti yang
disampaikan Aristoteles, bahwa ingatan bila diterapkan pada obyek-obyek
perasaan dan peristiwa-peristiwa tertentu di masa lalu, sama sekali berbeda
dari ingatan tentang yang universal dan proposisi-proposisi universal. Fikiran
menurut Aristoteles bahwa yang universal yang diingat oleh manusia hanya
diingat peraccidents.22* Ibnu Sina menjelaskan konsep accidents tersebut
dengan mengibaratkan cermin yang kepadanya ada serangkaian gagasan yang
direfleksikan dari akal aktif. Ini tidak berarti bahwa suatu kebenaran telah
dicapai, karena gagasan-gagasan tersebut harus tetap berada di depan cermin
agar dapat terus terkoneksi dengan akal aktif. Jika gagasan-gagasan tersebut
menggeser/ menjauh atau menghilang, maka hubungannya dengan akal aktif
dapat menghilang dan karenanya kebenaran belum tentu dapat tercapai.
Gagasan-gagasan atau pengetahuan ini jika telah keluar dari fikiran, harus
dipelajari kembali secara keseluruhan untuk diingat kembali. Artinya dengan
pencapaian kita terdahulu (yang telah mampu mengingat pengetahuan)
kemudian perlu dipelajari kembali, menghubungkan kembali pada akal aktif,
analogi pendapatnya dituturkan Ibnu Sina, melalui teori cermin; Ibnu Sina
mengatakan bahwa sebelum menguasai pengetahuan, cermin tersebut
berkarat; apabila kita berfikir kembali, cermin itu menjadi mengkilat, dan
senantiasa menghadap ke arah matahari yaitu akal sehingga senantiasa
merefleksikan cahaya.225
Menambahkan seluruh pengertian mengenai fikiran dan imaji, Ibnu Sina
memperkenalkan kesadaran filosofis, kesadaran ini pada umumnya bersifat
parsial atau terpisah-pisah tetapi kemudian kesadaran ini menjadi terhubung
secara menyeluruh oleh kreatifitas dan penguasaan realitas. Kesadaran ini
bukan kesadaran yang berakal aktif, akan tetapi dalam proses-proses
pengertian kita yang biasa pun, ada petunjuk- petunjuk ke arah kemaujudan
suatu jenis kesadaran dimana parsialitas dan rangkaiannya ini bisa diatasi dan
yang biasa sepenuhnya berifat kreatif, disertai pula realitas penuh dalam
penguasaannya. Teori ini dicontohkan Ibnu Sina dengan seseorang yang tiba-
tiba berhadapan dengan seorang penanya yang menanyakan kepadanya
tentang sesuatu yang dia sendiri belum pernah dipertanyakan kepadanya
sebelumnya dan oleh karena itu, ia tidak dapat memberikan jawaban
terperinci secara langsung. Namun demikian, dia yakin bahwa dia dapat
menjawab pertanyaan tersebut, karena ia merasa jawabannya telah ada di
benaknya, terlintas begitu saja, anehnya menurut Ibnu Sina, jawaban yang
diberikannya memberi petunjuk bagi si penanya sekaligus bagi diriir
sendiri.226
Wawasan sederhana ini menurut Ibnu Sina adalah hai penalaran kreatif,
bentuk yang telah terumuskan dan teruraikan itu adai; pengetahuan “fisik",
bukan benar-benar pemahaman akal. Orang yai memiliki penalaran kreatif
yang sederhana ini, patut dikatakan sebag orang yang berakal aktif dan
karena dia benar-benar yakin akan d? mana ke mana arah pengetahuan itu, -
dalam bahasa Ibnu Sina adai; keyakinan diri-, orang tersebut menyadari
secara penuh akan kontel keseluruhan dari kebenaran dan oleh karenanya
juga memiliki kesadar; penuh akan makna setiap istilah dalam proses realitas.
Orang-orar seperti inilah yang dapat memberi arti pada sejarah duniaw
mempolakannya dan memberi makna baru padanya, inilah dia sar Nabi.227
Gejala kenabian dibangun dari empat tingkatan: intelektu; imajinatif,
keajaiban dan sosio-politis. Totalitas keempat tingkatan i memberi petunjuk
yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikir? keagamaan. Teori ini
dibangun dari pemikirannya tentang “kejadiar tentang kebergantungan setiap
makhluk pada Tuhan, juga tentar hubungan jiwa dan raga, serta keajaiban-
keajaiban imajinasi, fikiran ser perasaan. Disini terlihat Ibnu Sina seorang
filosof yang religius, d menguasai filosof hellenis dan spiritualis sekaligus.
Pemikiran filosofis hellenisnya terlihat dari bagaimana menjelaskan al-
Qur’an sebagai firman Tuhan. Al-Qur’an dinyatakan Ibr Sina sebagai
kebenaran simbolis dan kebenaran harfiah sekaligu simbolis ini terlihat dari
hukum dan pedagogic yang disampaikan e Our'an. Teori simbolisitas wahyu
ini adalah inti ajaran Hellenistic yar juga mengakui kenabian, tetapi
kebenaran harfiah ditolak pemikir-pemih hellenis. Kebenaran harfiah ini
dibuktikan melalui kebenaran firman-firmE yang disampaikan dan pada diri
seorang Nabi sebagai pembawa risalal itu sebabnya Nabi harus memiliki
kapasitas intelektual dan sosio-politis.J
Di tingkat intelektual, Ibnu Sina berpendapat seorang Nal memiliki
pengalaman intuitif yang sangat memukau, pengalaman intuil ini yang
membantu mengembangkan imajinasi. pPrlu diingat teori Ibn Sina; bahwa
kekuatan intuitif manusia berbeda-beda kualitas da kuantitasnya. Nabi,
memiliki pengalaman intuitif yang sangat tingg sehingga Nabi adalah gudang
kebenaran dan memiliki hubunga menyeluruh dengan realitas. Seperti
sebelumnya telah dijelaska mengenai penalaran kreatif, yang berkaitan
dengan pertanyaan seor; penanya pada orang lainnya, Nabi telah memiliki
“semacam" rekan untuk setiap pertanyaan yang diajukan karena wawasannya
yc menyeluruh mengenai realitas.229
Wawasan kreatif tentang pengetahuan dan nilai-nilai diistilahkan oleh Ibnu
Sina dengan ilmu yang disingkapkan oleh akal £ dan diidentikkan dengan
malaikat pembawa wahyu. Tetapi kedudul Nabi sebagai seorang Nabi dan
manusia sekaligus, menempatkan N untuk tidak dapat bertindak kreatif dalam
sejarah semata-m berdasarkan kekuatan wawasan itu. Sifat pembawaan
kedudukan y; dijabatnya menghendaki agar ia seyogyanya menghadap umat
manu berbekal risalah, mempengaruhi mereka dan benar-benar berhasil dai
misinya. Dengan demikian, Nabi meski memiliki kemampuan luar bi; untuk
berhubungan dengan akal aktif, tetapi Nabi secara esensial ada manusia, dan
secara “aksidental” berhubungan dengan akal aktif.230
Perbedaan yang signifikan antara filosof dan seorang N terletak pada
kemampuannya untuk mengolah imajinasi yang kuat c hidup, bahkan
kekuatan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia ha mempengaruhi bukan
hanya fikiran orang lain melainkan juga selu materi umumnya dan bahwa ia
harus mampu melontarkan suatu syst social politik.
Dengan imajinasi yang luar biasa, fikiran Nabi, melc keniscayaan psikologis
mengubah kebenaran-kebenaran akal murni c konsep-konsep menjadi imaji-
imaji dan symbol-simbol kehidupan y£ demikian kuat sehingga orang yang
mendengar atau membacanya tic hanya menjadi percaya tetapi juga terdorong
untuk melakukan sesuc Dorongan itu digambarkan Ibnu Sina seperti
kebutuhan ketika kita merc lapar dan haus, imajinasi kita menyuguhkan di
hadapan kita imaji-irr tentang makanan dan minuman. Bahkan tatkala
seseorang sedang tic bergairah untuk melakukan hubungan seksual, tetapi
kondisi fi menerima rangsangan mencoba untuk menerimanya, imajinasi b
berperan dan dengan membangkitkan imaji-imaji yang hidup d sesuai, bisa
benar-benar mengembangkan gairah seks melalui suge belaka.231
Pelambangan dan pemberian sugesti ini, apabila diberlakuk pada jiwa dan
akal Nabi, menimbulkan imaji-imaji yang sedemikian ki dan hidup sehingga
apa pun yang dipikirkan Nabi dan dirasakan os jiwa Nabi, Nabi benar-benar
mendengar dan melihatnya. Itulah pi sebabnya Nabi perlu berbicara tentang
surga dan Negara yang melambangkan keadaan-keadaan spiritual murni dari
kebahagiaan d.m kesengsaran. Wahyu-wahyu yang terkandung di dalam
Kitab-kitab suci keagamaan sebagian besar berupa perintah dan keharusan
kiasan, sehingga perlu ditafsirkan untuk mendapat kebenaran yang lebih
tinggi, mendasar dan spiritual.232
Jadi, wahyu menurut Ibnu Sina, secara teknis mendorong umat untuk berbuat
baik dengan menunjukkan simbol-simbol untuk memperjelas fungsi agama,
seperti surga dan neraka dan kehidupan keabadian di akhirat nanti. Demi
memperkuat seluruh simbolitas dan memperjelas wawasan kewahyuan
tersebut, maka seorang Nabi harus dapat menyatakan wawasan moralnya ke
dalam prinsip-prinsip moral yang memadai, untuk menunjukkan kebenaran
ajarannya. Prinsip-prinsip tersebut tidak bisa begitu saja diterapkan ke dalam
masyarakat melainkan perlu dicontohkan, ditauladankan, karena tanpa contoh
dan tauladan kekuatan kekuatan wahyu imajinatifnya tidak akan banyak
berfaedah. Maka dari itu, seorang Nabi perlu menjadi seorang pembuat
hukum negarawan tertinggi. Hukum ini mesti dapat berhasil guna dalam
membentuk masyarakat yang baik, harus memperingatkan mereka akan
Tuhan pada setiap langkah dan harus menjadikannya sebagai tolak ukur
pendidikan bagi mereka dalam rangka membuka mata mereka terhadap apa
yang ada di balik bentuk lahiriahnya, sehingga mereka bisa memahami
tujuan-tujuan spiritual sejati Sang Pembuat Hukum. Hukum ini takkan bisa
ditolak oleh siapapun, tetapi hanya wawasan filosofis tentang kebenaran yang
memberi makna sebenarnya dari hukum tersebut. Artinya, hukum-hukum
tersebut dapat memberikan perkembangan lain, atau dapat ditafsirkan untuk
berjalan sesuai perkembangan zaman, para penafsir dan reformer itu adalah
orang-orang yang memilki wacana filosofis dan kekuatan pengetahuan yang
baik.233
Sebaliknya, hukum-hukum tersebut akan stagnan bahkan hanya menjadi
dogma-dogma bagi orang awam. Maka wahyu diterima orang-orang awam
sebagai kebenaran harfiah semata tanpa mengetahui makna-makna simbol
yang terkandung di dalamnya. Dari sini, terlihat Ibnu Sina menampilkan
sebuah ide tentang ketauladanan Nabi, sikap yang membuat seorang Nabi
adalah Nabi karena ajaran, sikap, keseharian dan pendapatnya menunjukkan
kesempurnaan untuk diteladani dan artinya Nabi tidak serta-merta merupakan
pilihan Tuhan tanpa kekuatan dan kepribadian yang mumpuni.
IKHTISAR
a al-Kindi merupakan filosof muslim pertama dalam sejarah dunia Islam, inti
utama ajarannya adalah keterpaduan filsafat dan agama. Melalui tulisannya
inilah terbuka gerbang umat Islam untuk berfilsafat. Kariernya sebagai
penerjemah dan editor memudahkan al-Kindi mentransfer banyak pemikiran
Yunani ke dunia Islam b al-Razi adalah seorang filosof sekaligus dokter
ternama di masa Dinasti Samaniyyah. Al-Razi dikenal sebagai seorang
rasionalis murni, alur fikir kontroversialnya adalah penetapan lima kekekalan
yang terdiri dari Tuhan, ruh, materi, ruang dan waktu. Tetapi sesungguhnya
al-Razi menegaskan nilai dari setiap lima yang kekal tersebut berbeda-beda
dan Tuhan adalah substansi kekal yang menciptakan empat kekekalan lainnya
menjadi kekal dan bereksistensi. Pada tahap ini, sesungguhnya al-Razi
berupaya menunjukkan bahwa Tuhan tetaplah yang Maha dari segalanya.
Konsep lima kekekalan ini sebenarnya ditujukan untuk menempatkan Tuhan
sebagai “pencipta” dan melepaskannya dari teori emanasi yang sudah mulai
digaungkan al-Kindi. c Al-Farabi merupakan ahli manthiq, disebut dengan
Guru Kedua, karena kemampuannya menerjemahkan ide-ide Aristoteles dan
mengakulturasikannya dengan tradisi intelektual islam, khususnya dengan
tata bahasa Arab. Dengan kemampuan logikanya, al-Farabi berhasil
melogikakan penciptaan melalui teori emanasi yang tersusun secara
sistematis. Keberhasilannya menjelaskan teori emanasi pada masa berikutnya
menjadi acuan banyak filosof muslim untuk meneliti sekaligus
memperbaharuinya. d Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filosof etika dari
pada filosof metafisika. Ide etikanya secara umum berkaitan dengan peran
dan fungsi jiwa dan bagaimana jiwa berperan dalam kehidupan manusia.
Memahami etika Ibnu Miskawaih adalah suatu keharusan, karena filosof
berikutnya merujuk pada teori jiwanya dan mengembangkannya dalam suatu
pemikiran metafisis. e Ibnu Sina adalah puncak filsafat peripatetik, Ibnu Sina
menggabungkan keseluruhan teori peripatetik. la mengambil teori al-Kindi
untuk menjelaskan hubungan filsafat dan agama lalu mengembangkan
emanasi al-Farabi dan menyempurnakan ide jiwanya Ibnu Miskawaih serta
merevisi lima kekekalan al-Razi.
f Perbedaan utama dalam emanasi Ibnu Sina dari al-Farabi adalah idenya
mengenai mumtani’ al-wujud -sesuatu yang mustahil diantara wajib dan
mumkin al-wujud. Keberadaan mumtani’al-wujud menjadikan ide creatio ex
nihillo menjadi terbukti dan logis, g Pemikiran Ibnu Sina mengenai jiwa kini
menjadi trend baru dalam dunia kedokteran. Ibnu Sina menekankan bahwa
jiwa memiliki peran yang sangat kuat dengan raga. Jiwa dapat menyebabkan
raga menjadi sehat atau sebaliknya dengan sugesti-sugesti tertentu yang
tertanam di jiwa. Beberapa penjelasannya mengenai peran jiwa menunjukkan
bahwa hal-hal yang dianggap mistis adalah real. Idenya juga diduga menjadi
dasar dari ilmu hypnosis
1 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic
Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 9
2 M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof
Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 11
3 George N.Athiyeh./U-K/nd/; The Philosopherof The Arabs,
(Rawalpindi, Islamic Research Institute, 1966), hal. 1
4 Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Kindi Failasuf al-Arab, (Kairo,
Mu’assasah al- Mishriyyah al-Ammah, tth.), hal. 33
6 Menurut Majid Fakhry, ide-ide Yunani mempengaruhi umat Islam dengan
lahirnya teologi Mu’tazilah. Konon al-Ma'mun adalah seorang penguasa
rasionalis yang menetapkan mu’tazilah sebagai ideologi Negaranya, dan
menurut Majid Fakhry ketetapan itu didorong oleh interestnya yang sangat
tinggi pada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Keputusannya ini sempat
menjadi kontroversi karena banyak berlawanan dengan yang diyakini oleh
ahlu al-hadis dan ulama-ulama salaf di masa itu. Majid Fakhry, A History of
Islamic Philosophy; second edition, (New York & London, Columbia
University Presss, 1970), hal. 12
6 Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan
Imam Madzhab, (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1997), hal. 442
7 Ahmad Fuad al-Ahwani mencatat beberapa alasan yang membuat al-
Kindi kurang disukai oleh masyarakat dan intelektual muslim yang ada saat
itu. Pertama kedekatannya dengan penguasa yang notabene adalah seorang
mu’tazilT, kedua karena pada saat itu kata “Filosof’ berkonotasi negatif,
apalagi al-Kindi adalah seorang filosof pertama yang belum membudaya di
zamannya. Al- Ahwani, al-Kindi..., hal. 44-45
8 Al-Ahwani, al-Kindi.... hal. 72
9 Felix Klein Franke, al-Kindi, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman,
ed., History of Islamic Philosophy, terj..(Bandung, Mizan Media Utama,
2003), hal. 218
10 Klein Franke, al-Kindi..., hal. 218
11 Klein Franke, al-Kindi..., hal. 218
12 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama,
1999), hal. 21
13 Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan, (Jakarta, Lentera Hati,
2006), hal. 27
14 Keterkacauan ini terutama dikarenakan ia merevisi bagian-
bagian yang
diterjemahkan dari fnneadsnya Plotinus, sebuah buku, yang secara salah
dianggap sebagai karya Aristoteles. M. M, Syarif, History of Muslim
Philosophy, terj., (Jakarta, Mizan, 1998), hal. 25
15 Majid Fakhry, A History of..., hal. 79
16 Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, (Oxford,
One World, 2000), cet. II, hal. 25
17 Muhammad Athif al-lraqi, Tajdid al-Madzhab al-Falsafiyyah wa al-
Kaliimiyyah, (Kairo, Dar al-Ma'arif, 1979), hal. 90-91
18 Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, terj., (Jakarta, Pustaka
Firdaus, 1997), hal. 70
’9 Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun aw ‘Inayat al-
lslamiyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah, (ttp, Dar al-Fikr al-Arabiy, tth), hal.
216-219
20 Al-Ahwani, al-Kindihal. 123
21 Klein Franke, al-Kindi..., hal. 212-213
22 Kaum Mu'tazilah yang semasa dengan al-Kindi menegaskan
konsep
transendensi Tuhan dengan mengagungkan ketauhidan Tuhan. Namun, kaum
ini mengabaikan immanensi Tuhan dimana Tuhan hadir di alam ini. Fungsi
Tuhan yang transenden saja menunjukkan bahwa Tuhan hanya pencipta dan
yang menetapkan peraturan alam, selanjutnya Tuhan bersemayam dalam
‘arsyNya. Tuhan tidak turut campur dengan peredaran alam. Mengenai
konsep- konsep Mu'tazilah, lih., Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif
Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005), hal. 62-74
23 Hasyimsyah, Filsafat..., hal. 19
24 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1973), hal. 12-13
25 Klein Franke, al-Kindi..., hal. 214
26 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 21
27 Poerwantana dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung, Remaja
Rosdakarya, 1991), hal. 130-131
26 Klein Franke, al-Kindi..., hal. 215
29 AI-AhwanT, al-Kindihal. 238
30 Muhammad ‘Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ‘inda al-
‘Ulama al- Muslimin, terj., (Bandung, Pustaka Hidayah, 2002), hal. 24-25
31 ‘Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 30
32 Bertrand Russel, History of Western Philosophy and its Connection
with Poiilical and social Circumtances from the Earliest Times to the Present
Day, terj., (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hal. 184-185
33 Sesuai dengan kesiapan daya fantasi atau imajinasi dalam mencapai
pengetahuan jiwa, al-Kindi membagi mimpi menjadi empat macam; 1. ar
ru'yl) at-tanbi’iyyah, yaitu mimpi dimana seseorang melihat segala sesuatu
yang belum terjadi; 2. ar-ru’ya ar-ramziyah, yaitu mimpi dimana orang
melihat segala sesuatu yang melambangkan sesuatu yang lain; 3. mimpi
dimana seseorang melihat sesuatu yang menunjukkan atas kebalikannya; 4.
mimpi dimana seseorang melihat sesuatu yang tidak benar. Jika seseorang
memiliki daya imajinasi yang rendah, maka mimpi-mimpinya akan rancu dan
tidak terpahami, sehingga tidak memiliki makna apa-apa selain hanya bunga
tidur belaka. Lih., Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 32-
33
34 Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 28-29
35 Hasyimsyah, Filsafat..., hal. 23
36 Klein Franke, al-Kindihal. 213
37 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 21
38 Al-Ahwani, Filsafat ..., hal. 69
39 Poerwantana, Seluk Beluk ..., hal. 131
40 Poerwantana, Seluk Beluk ..., hal. 130
41 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 15
42 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 15
43 Majid Fakhry, Islamic Philosophy ..., hal. 23
44 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 17
45 Majid Fakhry, Islamic Philosophy ..., hal. 23
46 M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para
Filosof Muslim,
(Bandung, Mizan, 1998), hal. 31
47 Mohammad Sharif Khan dan Mohammad Anwar Saleem, Muslim
Philosophy and Philosophers, (Delhi, Ashish Publishing House, 1994), hal.
57
48 Sharif Khan, Muslim Philosophy hal. 57
49 Sharif Khan mendaftar nama-nama lawan al-Razi; 1. Abu al-
Qasim al-Balhi,
tokoh Mu'tazilah yang mengomentari al-Raz? dalam bukunya ‘llm al-llahi; 2.
Shuhaid ibn al-Husain al-Balkhi, yang berkorfrontasi dengan al-Raz?
khususnya dalam Teori Kesenangan; 3. Abu Hathim al-RazT, seorang
misionaris Isma'ilT yang berlawanan dalam Teori Kenabian; 4. Ibn Tammar,
seorang ahli fisika, yang tidak sependapat dengan pemikiran al-Razi dalam
al-Tibb al-Ruhanr, 5. al-Mismai, yang mengkritik teori materialisme al-RazT;
6. Mansur ibn Talhah yang mengkritik teori wujudnya al-Razi; 7.
Muhammad ibn al-Laith al-Rasuli yang bertentangan dengan al-RazT di
bidang kimia; dan beberapa nama lainnya seperti Jarir seorang dokter
ternama; al-Hasan ibn Muberik al-Ummi; al-Kayyal, seorang teolog dan
Ahmad ibn al-Tayyab al-SeraksT. Lih. Keterangannya dalam Sharif Khan,
Muslim Phiosophy hl. 57-58
30 Sharif Khan, Muslim Philosophy hal. 60
51 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 36-37
52 Lenn E. Goodman, al-Razi, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj..(Bandung, Mizan Media
Utama, 2003), hal. 248
53 Sharif Khan, Muslim Philosophy ..., hal. 58
54 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 41
* Konsep lima kekekalannya ini dikritikAbu Hatim al-Razi, namun kemudian
dijawab dengan tegas oleh al-Razi bahwa kekekalan antara yang satu dengan
yang lainnya berbeda. Dan Allah adalah pengatur utama empat kekekalan
lainnya.
Lih. Perdebatannya dalam ‘Abd al-Lathif Muhammad al-'Abd, Ushul al-Fikr
nl- Falsafi ‘indaAbi Bakr al-Razi, (Mesir, Maktabash al-Mishriyyah, 1977),
hal. 67
56 AI-‘Abd, Ushul al-Fikr hal. 81
57 E. Goodman, al-Razi, hal. 253
a M.M. Syarif, History ofterj., hal. 43
50 AI-‘Abd, Ushul al-Fikr ..., hal. 81
60 Al-'Abd, Ushul al-Fikr .... hal. 83
61 Al-'Abd, Ushul al-Fikr hal. 82
62 Al-'Abd, Ushul al-Fikr..., hal. 83-84
63 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 45
64 Al-'Abd, Ushul al-Fikr hal. 112
55 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 46
66 E.Goodman menduga ajaran al-Razi mengenai kehampaan ruang
adalah kebutuhan untuk menjelaskan penyimpangan tanpa sebab Epicurean,
clinamen, yang oleh al-Razi tampaknya dipakai sebagai model gerak spontan
jiwa. E. Goodman, al-Razi, hal. 254
67 E. Goodman, al-Razi, hal. 254
68 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 46
69 Sharif Khan, Muslim Philosophy hal. 59
70 Sharif Khan, Muslim Philosophy hal. 59
71 Sharif Khan, Muslim Philosophy hal. 60
72 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 47
73 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 47
74 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 47
75 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 47
76 Sharif Khan, Muslim Phiosophy ..., hl. 57-58
77 E. Goodman, al-Razi, hal. 257
K E. Goodman, al-Razi, hal. 258
79 E. Goodman, al-Razi, hal. 258-259
® M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 49
81 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 49
82 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 49
83 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 33
n' Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press,
2005), hal. 42
Fakhry, A History of..., hal. 125 " Muhammad Ghulab, Min Amajid
Mufakiri al-Muslimin al-Farabi wa Ibnu Sini),
(ttp., al-Majlis al-A’la Ii al-Syu’uni al-lslamiyyah Wizarat al-Awqaf, 1961),
hal. 33-34
Fakhry, A History of..., hal. 126 Ghulab, Min Amajid ..., hal. 34
89 M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof
Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 57
90 Ghulab, Min Amajid ..., hal. 34
91 Poerwantana dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung,
Remaja Rosdakarya,
1991), hal. 133
® Ghulab, Min Amajid hal. 33
33 M.M. Syarif, ed., History of..., hal. 11
M Ghulab, Min Amajid hal. 33
95 Komentar-komentar tersebut diantaranya: Commentary on Analytica
Posteria,
Commentary on Analytica Priora, Commentary on Isagoge, Commentary on
Topica, Commentary on Sophistica, Commentary on De Interpretatione,
Commentary on De Categoriae, a Treatise on Necessary and Existential
Premises, dan a Treatise on the Propositions and Syllogisms Employed in all
the Sciences; lih. Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy; second
edition, (New York & London, Columbia University Presss, 1970), hal. 109
96 Muhammad Ghulab menyebutkan bahwa al-Farabi menekankan
pentingnya
memahami pemikiran Plato dan Aristoteles. Dari pemikiran dua tokoh ini,
sebenarnya menurut al-Farabi metode pemahaman akal (logika)
dicetuskan
oleh keduanya, dan melalui pemahaman terhadap pemikiran
keduanya
seseorang akan mampu berfilsafat. Itu sebabnya al-Farabi banyak menulis
komentar, syarah bahkan perbaikan-perbaikan dari pemikiran Plato dan
Aristoteles; lih. Karya-karya al-Farabi mengenai Plato dan Aristoteles dan
tempat diterbitkannya buku-buku itu dalam Ghulab, Min Amajid ..., hal. 36-
37
97 Deborah L. Black, al-Farabi, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan Media
Utama, 2003), hal. 223
96 Deborah, al-Farabi ..., hal. 223
99 M.M. Syarif, History of.... terj., hal. 62
100 Fungsi logika disebutkan al-Farabi adalah untuk membantu manusia
membedakan yang benar dan salah dan memperoleh cara benar
dalam berfikir
atau dalam menunjukkan orang lain kepada cara ini, logika juga
menunjukkan
dari mana kita mulai berfikir dan bagaimana mengarahkan pikiran itu kepada
kesimpulan-kesimpulan akhir. M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 62
101 Ide pinjam meminjam kebahasaan ini dipopulerkan juga oleh Noam
Chomsky. Chomsky menyebutnya dengan tata bahasa generatif, dimana
manusia sejak dalam keadaan dini sudah memiliki rangsangan berbahasa
tanpa perlu dipelajari secara mendalam, terdapat semacam aturan tak tertulis
yang mengilhami seorang anak untuk mengetahui 1 2 dan 3 hingga
seterusnya. Lih., Noam Chomsky, The New Horizons in the Study of
Language and Mind, terj., (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2000), hal. 7-8
102 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang,
1990), hal 88
103 Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, terj., (Jakarta, Pustaka
Firdaus, 1997), hal. 76
104 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 63
105 Deborah, al-Farabi hal. 227
106 Deborah, al-Farabi.... hal. 227-228
107 Deborah, al-Farabi hal. 228-229
“ Al-Farabi menggunakan logika ini untuk menunjukkan Tuhan
sebagai kepastian
niscaya yang satu dan ada dengan sendirinya. Kepentingannya
mengungkapkan teori kepastian menurut penjelasan Mehdi Ha'iri Yazdi
adalah karena al-Farabi banyak dipengaruhi Aristoteles dalam memandang
Tuhan sebagai Penyebab Pertama dari alam ini. Logikanya berjalan
mempertanyakan mengenai sebab dari Tuhan itu sendiri dan sebab bagi alam
ini karena tentunya semua yang ada di alam merupakan efficient cause, sebab
utama yang membuatnya menjadi nyata. Al-Farabi mencoba melogikakan
sebab musabab ini dalam teori kepastian untuk menunjukkan eksistensi,
esensi dan sesuatu yang nyata dalam alam. Lih., Mehdi Ha'iri Yazdi, The
Principles of Epistemology in Islamic Philosophy Knowledge byPresence,
(New York, Albany State University of New York Press, 1992), hal. 10-11
109 Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan, (Jakarta, Lentera
Hati, 2006), hal. 32
™ Mulyadi, Gerbang hal. 30
'11 Muhammad ‘Athif al-lraqi, Tsauratu al-‘Aql fi al-Falsafah al-
'Arabiyyah, (Kairo,
Dar al-Ma’arif, 1978), cet. 8, hal. 95
1,2 ‘Athif al-lraqi, Tsauratu al-'Aql..., hal. 95
113 Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif Islam, (Jakarta,
UIN Jakarta Press,
tth), hal. 68-69
1.4 Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, (Oxford,
One World, 2000), cet. II, hal. 41-42
1.5 Disadur dari Mulyadi, Gerbang ..., hal. 36-37
"6 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 67
117 ‘Athif al-lraqT, Tsauratu alJAql..., hal. 88
118 Mulyadi, Gerbang hal. 33
1,9 Deborah, al-Farabi hal. 236
120 Deborah, al-Farabi ..., hal. 237
121 Deborah, al-Farabi ..., hal. 237
122 Aspek astronomi ptolemaik ditunjukkan melalui sepuluh planet,
emanasi plotinus digambarkan melalui teori emanasi, aliran-aliran alexandria
dideskripsikan melalui fungsi akal dan ajaran Islam ditegaskannya melalui
konsep wujud
123 Muhammad ‘Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ‘inda al-
'Ulamii al Muslimin, terj., (Bandung, Pustaka Hidayah, 2002), hal. 63
124 Deborah, al-Farabihal. 237
125 Ghulab, Min Amajid ..., hal. 44
126 Deborah, al-Farabi hal. 230
127 Ghulab, Min Amajid hal. 45
128 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 70
129 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 71-72
130 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 72
131 Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Jakarta
Press, 2005), hal. 44
132 Disimpulkan dari penjelasan Majid Fakhry, A History ofhal. 120-121
133 Majid Fakhry, A History ofhal. 123
134 Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 79
135 Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 79
136 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 77
137 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama,
1999), hal. 44
138 Al-Farabi, Risalah fi Ara'Ahl al-Madinat al-Fadhilah (Leiden, 1895),
hal. 68-69
139 Al-Farabi, Risalah fi..., hal. 69
140 Al-Farabi, Risalah fi..., hal. 69
141 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 41
142 Hasyimsyah, Filsafat..., hal. 41
143 Sinergi religiusitas terlihat dari penekanan al-Farabi terhadap
hubungan manusia dengan Tuhan dan identitas filosofisnya ialah autokrasi
dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Disini nyata
teori kenegaraannya itu parallel dengan filsafat metafisikanya tentang
kejadian alam (emanasi yang bersumber pada yang satu).,
144 Poerwantana, Seluk Beluk ..., hal. 139
145 Berkaitan dengan teori jiwa al-Farabi; 1. Jiwa kholidah yaitu jiwa
yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan dari
ikatan jasmani, jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan; 2. Jiwa fana
yaitu jiwa jahiliah, tidak mencapai kesempurnaan karena belum dapat
melepaskan diri dari ikatan materi, ia akan hancur dengan hancurnya badan.
Amsal, Tema- tema ..., hal. 44
146 M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof
Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 83
147 Ibrahim Zaki Khursyid, et. al., Dairah al-Ma‘arif al-lslamiyyah, Vol I,
(Kairo, al- Sya'ab, tth), hal. 388
148 Khursyid., Dairah ..., hal. 388
149 Khursyid., Dairah ..., hal. 389
150 M.M. Syarif, History ..., hal. 98
151 Oliver Leaman, Ibn Miskawaih, dalam Seyyed Hossein Nasr dan
Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan
Media Utama, 2003), hal. 311
152 Leaman, History of..., hal. 311
153 Leaman, History ofhal. 311
154 M.M. Syarif, History ..., hal. 87
155 Ide ini diduga diterima Miskawaih dari konsep al-Kindi, Miskawaih
konon lebih menerima ide-ide al-Kindi dibanding pemikiran al-Razi.
Kemungkinan yang paling jelas bahwa Miskawaih lebih memilih al-Kindi
karena ide-idenya lebih lunak dan taat daripada al-Razi yang sangat dan amat
rasionalis. M.M. Syarif, History hal. 97
156 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York,
Columbia University Press, 1970), hal. 210-211
157 M.M. Syarif, History ..., hal. 88
158 M.M. Syarif, History ..., hal. 90
1® Muhammad Yusuf Musa, Baina al-Din wa al-Falsafah, (Kairo, Dar al-
Ma'arif, 1971), hal. 70
160 Leaman, History ofhal. 311
161 Jiwa bagi Miskawaih adalah jauhar ruhani yang kekal, tidak hancur
dengan sebab kematian jasad. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan
mengetahui tentang aktivitas dirinya. Itu sebabnya, kebahagiaan dan
kesengsaraan jasmani bukanlah rasa yang hakiki. Amsal Bakhtiar, Tema-
tema Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005), hal. 42
162 Abu AliAhmad al-Miskawaih (Ibn Miskawaih), Tahdzib al-Akhlaq,
terj., (Bandung, Mizan, 1998), hal. 37
163 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 38-39
164 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 39
165 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 39
166 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 41
167 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama,
1999), hal. 65
’® Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 56
169 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 57
170 Miskawaih, Tahdzib hal. 57-58
171 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 59
172 Miskawaih membahas doktrin-doktrin yang berlainan dan
menyimpulkan dengan mengatakan bahwa kita mesti menolak ajaran yang
mengatakan bahwa kita mesti menolak ajaran yang mengatakan bahwa
kebahagiaan hanya dapat diperoleh setelah mati, dan menekankan bahwa hal
itu dapat pula dicapai di dunia ini. Artinya kebahagiaan adalah sesuatu yang
dupayakan untuk keabadian di akhirat. M.M Syarif, History of..., hal. 93
173 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 93
174 Hasyimsyah, Filsafat hal. 65
175 Hasyimsyah, Filsafat hal. 65-66
176 T. J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York,
Dover Publications, tth), hal. 131-133
177 T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafah fi al-lslam, terj., (Kairo, Lajnah al-
Ta’lif wa al- Tarjamah wa al-Nasyr, 1938), hal. 165
178 De Boer, Tarikh al-Falsafah ..., hal. 166
179 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York &
London, Columbia University Press, 1970), hal. 150-151
180 Ahmed Foad El-Ehwany, Islamic Pilosophy, (Cairo, Anglo-Egyptian
Bookshop, 1957), hal. 79
181 Michael E. Marmura, Islamic Theology and Philosophy: Studies in
Honor of George F. Hourani, (New York, Albany State University of New
York, tth.), hal.
173
182 Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat
Islam, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), hal. 38
183 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 96
184 Bertrand Russel, History of Western Philosophy and its Connection
with Political and social Circumstances from the Earliest Times to the
Present Day, terj., (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hal. 223-225
185 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 96-97
186 Marmura, Islamic Theology hal. 174-175
187 Marmura, Islamic Theology ..., hal. 176
188 Marmura, Islamic Theology ..., hal. 175
189 M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, terj., (Jakarta,
Mizan, 1998), hal.
108-109
190 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 96
191 Fakhry, A History of ..., hal. 158-159
192 Mohammad Sharif Khan dan Mohammad Anwar Saleem, Muslim
Philosophy and Philosophers, (Delhi, Ashish Publishing House, 1994), hal.
70
133 Dikutip dari Mulyadi Kertanegara, Gerbang ..., hal. 40-41
194 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama,
1999), hal. 75
195 Tokoh yang mengingkari kenabian tersebut diriwayatkan bernama
lshaq al- Ruwandi
196 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 115
197 Hubungan jiwa dan raga ini digambarkan Ibnu Sina sebagai usaha
dari raga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruhani (jiwa), mengantarkan
jiwa untuk berbuat kebajikan dan memuaskannya dengan pengetahuan. Jiwa
rasional akan hidup kekal, meski terpisah dari badan, adapun jiwa tumbuhan
dan binatang akan hancur bersama badan karena perannya sangat kuat
berkaitan dengan fisik. Balasan kepuasan untuk dua jiwa di atas adalah
kehidupan mereka di dunia. Sedangkan jiwa rasional mencapai
kebahagiaannya di akhirat dengan catatan tidak memiliki keterkaitan dengan
fisik atau hawa nafsu secara berlebihan Semakin kuat ikatannya dengan hawa
nafsu semakin sulit jiwa rasional hidup di akhirat, dan ini menyiksa dirinya,
membuatnya sengsara dalam penyesalan dan usahanya melepaskan diri dari
hawa nafsu. Lih. Hasyimsyah, Filsafat .... hal. 74
186 M.M. Syarif, History ofhal. 113-114 ’* El-Ehwany, Islamic ..., hal.
107
200 Fakhry, A History of..., hal. 156
201 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 72-73
202 Fakhry, A History ofhal. 162
203 Fakhry, A History ofhal. 162
204 Teori ini sekaligus menolak pandangan yang menyebutkan bahwa
jiwa dapat berpindah dari satu badan ke badan lainnya. Ibnu Sina meyakini
ada hubungan mistik antara jiwa dan raga, hubungan mistik ini terkait dengan
pembentukan individualitas, dimana jiwa telah memilih raga tertentu untuk
menjadi tempat bersemayamnya. M. M. Syarif, History ofhal. 116
205 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 110
205 Hasyimsyah, Filsafat hal. 73 207 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 109 ™
Fakhry, A History ofhal. 163
259 Fakhry, A History ofhal. 167
2,0 M.M Syarif, History ofhal. 115 211 M.M Syarif, History ofhal. 116
2,2 M.M Syarif, History ofhal. 117
213 Fakhry, A History of.... hal. 166
214 Fakhry, A History of..., hal. 164
2'5 M.M Syarif, History ofhal. 119
216 Fakhry, A History ofhal. 162
217 Fakhry, A History of..., hal. 161-163
2,8 Shams Inati, Ibn Sina, dalam Seyyed Hossein Nasr dan
Oliver Leaman, ed.,
History of islamic Philosophy, terj..(Bandung, Mizan Media Utama,
2003), hal.
294
219 M.M Syarif, History of..., hal. 122
220 Fakhry, A History ofhal. 162
221 Inati, Ibn Sina hal. 297
222 M.M Syarif, History ofhal. 124
223 M.M Syarif, History ofhal. 125
224 Lihat mengenai perbedaan antara yang universal, individual dan
hubungannya dengan form atau bentuk yang menyifati materi dalam Russel,
History ol Western ..., hal. 223-224
225 M.M Syarif, History ofhal. 126
226 M.M Syarif, History ofhal. 126-27
227 M.M Syarif, History ofhal. 127
228 El-Ehwany, Islamic hal. 115
229 M.M Syarif, History of..., hal. 130-131
230 M.M Syarif, History of..., hal. 130
231 M.M. Syarif, History ofhal. 117
232 El-Ehwany, Islamic hal. 115 2X3 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 76
BAB 4
PERGULATAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN IBN RUSYD
Al-Ghazali hampir senada dengan Ibnu Rusyd, bahwa kebenaran hanya
terletak pada orang-orang tertentuNdan merekalah yang dapat
menyingkapnya. Selain mereka, hanya sedikit orang yang diberi
pengetahuan (Sulayman Dunya).1
C
alah satu dalih mengenai buramnya potret filsafat Islam menurut banyak
kalangan adalah kritik al-Ghazali terhadap filsafat dalam bukunya Tahafut al-
Falasifah. Buku ini disebut-sebut telah membuat filsafat kehilangan
peminatnya, dan konon buku ini dianggap telah melahirkan ide bahwa ijtihad
telah mati. Isu ini digunakan Orientalis untuk mematikan semangat umat
Islam selama beberapa waktu, sehingga mampu membungkam setiap potensi
intelektual umat Islam untuk berkembang. Di sisi lain, para Orientalisme
berhasil meyakinkan umat bahwa intelektualisme barat jauh lebih “ilmiah"
dari pemikiran-pemikiran muslim. Dampak dari isu ini adalah gelombang
keawaman dan apatisme intelektual yang merata di kalangan Islam, tetapi
juga melahirkan akademisi akademisi Islam yang mengkiblatkan dirinya pada
Barat.
Itu sebabnya banyak fihak menuding al-Ghazali sebagai penyebab kebuntuan
berfikir umat Islam. Namun, apakah kritik al-Ghazali ditujukan untuk
melemahkan filsafat dan pemikiran dalam Islam ? Pertanyaan berikutnya
adalah bagaimana sikap para filosof saat itu menghadapi kritik yang
dilontarkan al-Ghazali ?. Dan benarkah pasca al-Ghazali tidak terdapat
filosof-filosof Islam yang mumpuni dan benarkah pemikiran Islam benar-
benar mati atau hanya sekedar mengalami “transisi" ?.
Dengan data-data yang akurat, Hossein Nasr menyatakan bahwa filsafat
Islam pasca kritik al-GhazalT tidak pernah mati, dan rasionalitas Islam terus
berjalan sampai dengan masa kontemporer. Asumsinya ini menjawab segala
tuduhan yang beranggapan rasionalitas Islam telah mati, bersama
meninggalnya Ibnu Rusyd, yang dianggap sejumlah kalangan sebagai tokoh
rasionalisme Islam. Hossein Nasr juga menolak anggapan yang menyatakan
al-Ghazali sebagai seorang yang menumbangkan pemikiran di kalangan
muslim. Sebaliknya Nasr menyebut kritik al-Ghazali dan bantahan yang
dilakukan Ibnu Rusyd sebagai masa transisi yang mengarahkan pemikiran
Islam yang awalnya didominasi oleh penggunaan akal bergeser pada
penggunaan instuisi (qalb).2
A. KRITIK AL-GHAZALI
Abu Hamid ibn Muhammad ibn Ahmad al-GhazalT, lahir di Thus, Khurasan,
Iran pada 450 H. Nama al-GhazalT konon dinisbahkan pada pekerjaan
ayahnya sebagai seorang ghazzal yakni tukang pintal benang, riwayat lainnya
menyebutkan laqab tersebut dinisbahkan pada ghazalah, kampung kelahiran
al-Ghazali. Al-GhazalT lahir di tengah keluarga sufi, ayahnya merupakan
seorang sufi yang saleh. Ayahnya meninggal dunia sebelum al-Ghazali
dewasa, akan tetapi sebelum wafatnya, ayahnya menitipkannya pada seorang
sufi untuk dididik dan dibimbing.3
Rihlah ilmiyyahnya dimulai ketika al-Ghazali didaftarkan bersekolah di Thus
oleh sufi yang membimbingnya. Di zamannya, seorang yang menuntut ilmu
diberi santunan pendidikan oleh pemerintah, sehingga siapapun dapat dengan
mudah bersekolah tanpa perlu memikirkan biaya. Al-Ghazali pertama-tama
belajar ilmu agama di kota Thus, kemudian meneruskan di kota Jurjan dan
akhirnya di Naisabur pada Imam al-Juwaini sampai Imam al-Juwaini wafat
pada tahun 478 H. Kemudian ia berkunjung ke wilayah Nizam al-Mulk di
kota Mu’askan. Di kota inilah, al-Ghazali masuk ke dalam lingkaran istana
Nizham al-Mulk dan menjadi teman dekat wazir tersebut. Nizham al-Mulk
mengangkatnya menjadi pengajar fiqh Syafi'iyyah di Madrasah Nizhamiyah
Baghdad (484 H).4
Karena kecerdasannya, al-Ghazali menjadi ulama tersohor dan guru yang
paling dikagumi di Madrasah Nizhamiyah. Sehingga tak lama setelah
diangkat sebagai seorang pengajar, al-Ghazali menjadi intelektual istana dan
memiliki hak istimewa untuk berhubungan langsung dengan keluarga Istana.
Kedudukannya ini membuatnya melihat secara langsung bagaimana intrik-
intrik politik istana dan itu menimbulkan keragu-raguan akan pekerjaan yang
ditempuhnya. Sehingga pada tahun 488 H, al-GhazalT memutuskan
meninggalkan pekerjaannya dan berkhalwat di Damsyik. Di kota ini, al-
Ghazali menghabiskan waktunya untuk merenung, membaca, dan menulis,
selama kurang lebih 2 tahun dengan tasawwuf sebagai jalan hidupnya.5
Selama masa perenungannya al-GhazalT dikisahkan mengadakan perjalanan
ke Palestina dan menunaikan ibadah haji sampai kemudian kembali ke kota
kelahirannya di Thus. Di Thus, ia tetap berkhalwat dan beribadah, keadaan
itu berlangsung selama 10 tahun sejak dia hijrah ke Damsyik. Dalam masa
ini, lahir karya-karya monumentalnya seperti Ihya ’Ulumuddm dan Tahafut
al-Falasifah. Melalui karya-karyanya ini, nama al-Ghazali semakin masyhur,
dan pemerintah memintanya untuk mengajar kembali di sekolah Nizhamiyah
di Naisabur pada tahun 499 H. Tetapi pekerjaan ini hanya berlangsung
selama dua tahun, al-Ghazali kembali ke Thus dan mendirikan sekolah untuk
fuqaha dan sebuah biara untuk para mutasawwifin. Kiprahnya ini kemudian
membuatnya digelari Hujjah al-lslam atau pembela Islam, gelar ini diberikan
karena al-Ghazali dianggap telah meletakkan dasar-dasar keilmuan Islam. Al-
Ghazali wafat di Thus pada tahun 505 H dalam usia 54 tahun.6
Meski sebagian kalangan menempatkan al-Ghazali sebagai seorang filosof
muslim, al-Ghazali sendiri menurut Massimo Campanini tidak menganggp
dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai filosof Meski begitu sulit
bagi kita untuk memungkiri bahwa al-Ghazali bukanlah seorang filosof
karena ide-idenya dalam Maqashid al-Falasifah membuktikan bahwa al-
Ghazali mengasimilasikan filsafat secara mendalam dan menunjukkan
bagaimana filsafat juga berbaur dengan model sufinya.
Beberapa tulisannya memang ditujukan untuk mengkritik "rasionalitas" yang
saat itu digaung-gaungkan para filosof dan teolog- teolog muslim. Kritiknya
terhadap rasionalitas bukan tanpa penelitian mendalam, al-Ghazali mengaku
melakukan pencarian kepastian dan kebenaran selama bertahun-tahun.
Pencarian kebenaran ini awalnya dia serahkan pada kemampuan indera,
kemudian pada penalaran atau akal, kemudian dia mengikuti ajaran-ajaran
imam-imam atau ulama- ulama. Tetapi dari sekian pencariannya, al-Ghazali
tidak menemukan kebenaran yang diharapkannya, sampai kemudian al-
Ghazali berkhalwat dan menggunakan hatinya untuk menemukan kebenaran.
Sebuah langkah yang ditempuh kaum sufi, yakni dengan menghadapkan
seluruh hati dan kemauannya hanya kepada Tuhan semata dan menganggap
sepi dunia dengan segala godaannya.8
Idenya mengenai epistemologi intuisi (qalb) menurut Nasr kemudian
mengarahkan filsafat di dunia muslim ke arah tasawwuf. Lahirnya Ibnu
'Arabi dengan aliran 'irfani dan Suhrawardi dengan aliran illuminasionis
membuktikan bahwa al-Ghazali tidak mematikan gairah pemikiran di dunia
muslim, sebaliknya memberikan warna baru terhadap filsafat Islam yang
sebelumnya didominasi oleh peripatetik.
1. TahafutAl-Falasifah; Kritik Al-Ghazal!
Kritik yang disampaikan al-Ghazali terhadap filsafat dikemukakannya dalam
Tahafut al-Falasifah. Kekeliruan para filosof menurut al-Ghazali terdapat
dalam 20 hal, 16 dalam bidang metafisika dan 4 dalam bidang fisika. Dalam
17 soal mereka harus dinyatakan sebagai ahl al-bida’, sedangkan dalam tiga
soal lainnya mereka dinyatakan sebagai kafir, karena fikiran-fikiran mereka
dalam tiga soal tersebut berlawanan sama sekali dengan pendirian semua
kaum muslimin.
Dua puluh perkara yang dimaksud adalah:9
1. Pendapat bahwa alam tidak bermula atau qadim
2. Pendapat bahwa alam, masa dan gerak adalah abadi
3. Penjelasan mengenai bagaimana cara Tuhan menciptakan alam ini,
dalam hal ini al-Ghazali mengkritik teori emanasi sebagai jalan dalam
menciptakan alam ini
4. Analogi-analogi mengenai keberadaan Tuhan sebagai pencipta
5. Argumen akan kemustahilan adanya Tuhan selain Allah, termasuk di
dalamnya argumen mengenai wajib al-wujud, mumkin al-wujud dan
mumtani’ al-wujud
6. Argumen mereka dengan meniadakan sifat-sifat Tuhan
7. Argumen para filosof mengenai Tuhan yang tidak dapat dibagi
dengan genus dan differensia
8. Asumsi para filosof mengenai wujud Tuhan yang sederhana, murni
tanpa kuiditas atau esensi
9. Asumsi para filosof bahwa Tuhan tidak ber-jism
10. Penjelasan mengenai pencipta dan yang diciptakan, termasuk di
dalamnya pengg/yasan keabadian antara pencipta dengan yang diciptakan
11. Penjelasan mengenai pengetahuan Tuhan dan bagaimana Tuhan
mengetahui hal yang partikular dan universal
12. Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diriNya sendiri dengan
pengetahuanNya; dengan esensiNya
13. Penolakan para filosof bahwa Tuhan mengetahui hal-hal partikular
14. Penjelasan mengenai langit dan bintang yang bergerak dengan
kehendak
15. Penjelasan mengenai tujuan dari gerakan langit dan bintang
16. Penjelasan bahwa setiap bagian langit mengetahui dan berkuasa
terhadap wilayahnya atau jenis-jenisnya
17. Penolakan pandangan mereka bahwa mustahil terdapat sesuatu yang
sifatnya mu’jizat
18. Asumsi para filosof mengenai jiwa sebagai esensi yang ada sendiri,
tanpa jasad dan tidak terikat dengan ruang dan tubuh
19. Pendapat yang menyatakan bahwa jiwa sifatnya abadi
20. Penolakan terhadap kebangkitan jasmani termasuk di dalamnya
keberadaan surga dan neraka
Dari dua puluh perkara ini terdapat tiga perkara yang menurut al-Ghazali
dapat menyebabkan seorang filosof dihukumi kafir, tiga perkara tersebut
adalah:
1. Filosof yang berpendapat bahwa alam ini adalah qadim dalam arti
tidak bermula
2. Filosof yang berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal
yang partikular
3. Filosof yang mengingkari kebangkitan jasmani dan menolak
keberadaan surga dan neraka
Memperhatikan dua puluh perkara yang disampaikan al Ghazali, dapat
disimpulkan empat maksud yang hendak diperkarakan oleh al-Ghazali.
Pertama, persoalan penciptaan Tuhan; kedua, persoalan mengenai
pengetahuan dan sifat-sifat Tuhan; ketiga, persoalan mengenai qadim dan
baharu dan keempat, persoalan mengenai kebangkitan jasmani.10
Dalam tujuh belas perkara di luar tiga perkara yang menyebabkan kekafiran,
menurut al-Ghazali merupakan perkara-perkara yang memiliki kedekatan
faham dengan pemikiran mu’tazilah. Karenanya para filosof yang
berpendapat mengenai tujuh belas hal tersebut tidak perlu dikafirkan,
disebabkan pendapat-pendapatnya masih dapat ditolerir dalam Islam.
Meskipun sebenarnya bagi al-Ghazali pendapat-pendapat mereka kurang
sesuai dengan ajaran Islam karena banyak dipengaruhi ide-ide Yunani. Selain
itu, ide-ide filosof yang senada dengan faham mu’tazilah berpotensi
menggiring kaum awam pada kekafiran sehingga al-Ghazali menyarankan
untuk mengabaikan pemikiran-pemikiran filsafat ini. Atas alasan-alasan
tersebut al-Ghazali beranggapan bahwa pemikiran mereka adalah bid’ah,
sehingga sebaiknya dijauhi.11
Al-Ghazali mengakui bahwa dirinya sulit menerima penjelasan yang
disampaikan filosof khususnya mengenai bagaimana Tuhan menciptakan
alam ini. Dalam Tahafut al-Falasifah, ia menegaskan bahwa para filosof
mendemonstrasikan penciptaan Tuhan karena dipengaruhi oleh pemikiran-
pemikiranYunani, seperti Aristoteles dan Plato. Ide-ide Aristoteles dan Plato
dituding al-Ghazali banyak menolak detail-detail agama dan mengandai-
andaikan penciptaan dengan menggunakan akal. Sedangkan dalam Islam,
Tuhan adalah wujud tertinggi yang memiliki kuasa mutlak, Tuhan
berkehendak untuk melakukan apa saja yang dikehendakiNya.12
Penekanan al-Ghazali pada kehendak Tuhan ini menjadi landasan utama
kenapa ia membid’ahkan sekaligus mengkafirkan para filosof. Selain karena
pada pemikiran para filosof, Tuhan menjadi kurang berkehendak, al-Ghazali
juga tidak meyakini silogisme fikiran yang berbasis sebab akibat. Dengan
kuasa mutlak Tuhan, sebab akibat adalah sesuatu yang dapat dihilangkan
selama Tuhan hendak menghilangkannya.
Dalam pengungkapan kritiknya, al-Ghazali menggunakan metode dialog,
sebuah metode yang diimbangkannya untuk menjawab hal-hal filosofis. Al-
Ghazali berpendapat bahwa untuk menghadapi pemikiran-pemikiran filsafat,
seseorang seyogyanya mengetahui dan memahami bagaimana metode yang
digunakan dalam berfilsafat dan landasan penalaran para filosof tersebut.
Maka, ketika menyampaikan kritiknya al-Ghazali menekankan rasionalitas
yang lebih besar dari pandangannya sendiri. Al-Ghazali menyadari bahwa
melemahkan filsafat dengan menggunakan wahyu illahi tidak mungkin dapat
dipertemukan.13
Wilayah kerja filsafat ditetapkan al-Ghazali melingkupi enam bidang;
matematika, logika, fisika, metafisika, politik dan akhlak. Bidang matematika
tidak terkait dengan persoalan keagamaan dan tidak ada larangan
mempelajarinya. Namun karena sifat matematika sebagai ilmu pasti serta
diperlukan pembuktian dalam setiap teorinya, ilmu ini tidak bisa diterapkan
pada hal-hal yang bersifat metafisis. Metafisika sendiri merupakan ilmu
spekulatif, kepastiannya tidak serta merta dapat dibuktikan secara empiris
tetapi membutuhkan intuisi dan keyakinan untuk memahaminya.14
Seperti halnya matematika, logika mengandalkan cara berfikir menurut
silogisme yang menuntut adanya premis, term, syarat-syarat pembuktian dan
susunannya. Dan fisika membicarakan tentang langit, planet-planet, unsur-
unsur materi seperti air, tanah, udara dan api, termasuk di dalamnya unsur-
unsur fisik yang terdapat dalam binatang, tumbuhan, barang tambang baik
dari aspek perubahan maupun percampurannya. Keseluruhan ilmu filsafat di
atas menurut al-Ghazali mengandalkan metode demonstrasi (burhan)
sebagaimana logika. Adapun ketika membahas hal-hal metafisis, metode
demonstrasi tidak serta merta dapat digunakan sehingga jika tetap digunakan
akan menyebabkan pembahasannya menyimpang dari maksudnya, al-Ghazali
memastikan untuk membahas hal-hal metafisis seyogyanya melandaskan
pada ajaran-ajaran agama.15
Dalam melontarkan kritiknya al-Ghazali menggunakan metode
argumentatif,16 sehingga setiap kritik yang disampaikannya
diargumentasikan alasan dan kebenarannya. Berikut argumen al-Ghazali pada
tiga pendapat filosof yang dikafirkannya;
1. Mengenai qadim-nya alam dalam arti tidak bermula atau pernah ada
sebelumnya tidak dapat diterima dalam teologi Islam. Sebab dalam Islam,
Tuhan adalah Pencipta yang menciptakan dari sesuatu yang tidak ada. Jika
disebut alam adalah sesuatu yang qadim yang tidak bermula atau berawal
mengindikasikan bahwa alam tidak diciptakan, ada dengan sendirinya dan
sudah ada tanpa membutuhkan pencipta. Al-Qur’an jelas menolak pendapat
itu, al Our’an dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta yang
menciptakan segala sesuatu, Tuhan juga berkuasa untuk menghentikan dan
menghancurkan segala sesuatu sehingga tak ada satu hal pun dapat disebut
sebagai qadim selain Tuhan. Menggaof/mkan sesuatu bersamaan dengan
Tuhan sama artinya menawarkan kemusyrikan karena menyamakan Tuhan
denga makhlukNya, sebaliknya menetapkan alam sebagai sesuatu yan tidak
bermula dapat mengindikasikan atheisme karen meniadakan peran Tuhan
sebagai pencipta. Untuk itu, merek yang berfikiran alam ada dengan
sendirinya, qadim sebagaiman Tuhan dihukumi sebagai kafir, disebabkan
pendapat-pendapatny telah keluar dari ajaran Islam.17 Lebih lanjut al-
Ghazali berkomenta bahwa Tuhan memiliki kehendak yang tak terbatas.
Kapan pu Tuhan menghendaki sesuatu Tuhan dapat mewujudkannya, artiny
tak ada keterbatasan bagi Tuhan untuk memutuskan sesuati Secara etimologis
kehendak Tuhan menurut al-Ghazali tida semakna dengan berkuasa tetapi
menunjukkan suatu hal yan! mengarah pada suatu tujuan. Maka, ketika
Tuhan memilih wakt' penciptaan pada saat tertentu bukan saat yang lain,
tanpa peri ditanyakan sebabnya karena sebab adalah kehendak-Nya it
sendiri.18 Kalau ditanyakan sebabnya berarti kehendak Tuha terbatas, tidak
lagi bebas. Disini kehendak menentukan hal tersebu Adapun kekuasaan
adalah perbuatan pada saat terlaksanany; kehendak.19
2. Mengenai pengetahuan Tuhan; dimana para filosof berpendapc bahwa
Tuhan mengetahui hal-hal dan peristiwa-peristiwa kec kecuali dengan cara
umum (kulliyat, universal). Di masanya perdebatan mengenai pengetahuan
Tuhan sedang rama diperbincangkan, argumen filosof tentang pengetahuan
Tuhan yani menyatakan bahwa pengetahuan mengikuti pada yang diketahu
apabila berubah yang diketahui, berubah pengetahuan. Jik; pengetahuan
berubah, maka pasti yang mengetahui juga berubah sedangkan perubahan
dalam diri Allah adalah kemustahilan. Konsei para filosof ini dicontohkan
dengan gambaran pengetahuan manusi; mengenai gerhana matahari. Gerhana
matahari mengalami tig; keadaan, yaitu gerhana belum ada dan dinantikan
adanya, gerhan; sudah berlangsung dan gerhana telah lewat, tetapi pernah
terjadi Dari tiga keadaan tersebut, pengetahuan kita pun berada dalam tig;
kondisi tersebut, berbeda-beda dan bergantian seiring dengai perubahan yang
terjadi, sebab jika seseorang mengatakan bahw; gerhana telah terjadi
sedangkan ketika itu baru terlihat gejalany; maka, itu adalah kebodohan
karena dirinya belum menerim;
informasi mengenai gerhana tersebut.20 Dari prinsip dasar ini, al Ghazali
menganalogkan pengetahuan ini dengan pengetahuan Tuhan pada umatnya
dalam konteks syari’at. Misalnya, Tuhan tidak mengetahui apakah Zaid
mematuhi-Nya atau tidak lantaran Tuhan tidak mengetahui peristiwa-
peristiwa yang baharu karena Dia tidak mengetahui Zaid sebagai individu.
Tuhan hanya mengetahui ada manusia yang beriman dan ada yang kafir,
karena tersebut adalah pengetahuan universal-Nya. Jika Tuhan hanya
mengetahui hal-hal universal, maka Tuhan tidak mengetahui juga bahwa
Muhammad mengumumkan kenabiannya, akibatnya adalah tidak perlunya
syari’at dan ketentuan-ketentuan Allah. Sebab setiap individu tidak diketahui
Tuhan amalannya secara terperinci, sehingga Tuhan tidak memiliki standar
seseorang dapat seseorang dapat masuk sorga dan tidak. Dengan analoginya
ini, al-Ghazali membantah konsep pengetahuan Tuhan yang dikemukakan
para filosof. Menurut al- Ghazali, Tuhan hanya mempunyai satu pengetahuan
tentang gerhana, pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang sedang terjadi;
dan setelah terang, pengetahuan ini adalah tentang berakhirnya gerhana.
Semua perbedaan tersebut hanya merupakan relasi yang tidak mengubah
esensi pengetahuan atau yang mengetahui. Jika seseorang yang ada di sebelah
kanan anda pindah ke sebelah depan anda, lalu ke sebelah kiri, maka keadaan
itu adalah relasi yang melewati anda secara bergantian. Dengan demikian
orang itu yang berubah secara teratur bukan Anda, dengan ini al- GhazalT
memastikan bahwa Tuhan mengetahui sesuatu dengan ilmu satu, dulu,
sekarang dan selamanya diri-Nya tidak akan berubah.21 Pendapat ini
sekaligus memperjelas pemikirannya di luar mu’tazilah, artinya al-Ghazali
mengakui bahwa Tuhan memiliki sifat dan sifat itu adalah tambahan bagi
Tuhan. Berbeda dengan mu’tazilah yang mempersepsikan sifat tersebut
dengan zat Tuhan sendiri, ketika berubah sifat berubah zat-Nya. Pendapat al-
Ghazali ini meneguhkan konsep bahwa Tuhan transenden dan immanen,22
berbeda dengan pendapat para filosof yang lebih memilih mentransendenkan
Tuhan. Usaha transendesi Tuhan ini sebenarnya tidak ditujukan untuk
menghilangkan nilai-nilai immanensi Tuhan, tetapi untuk menunjukkan
bahwa Tuhan tidak dapat disandingkan dan dibandingkan dengan makhluk-
Nya. Implikasi dari pendapat para
filosof ini, menurut al-Ghazali adalah “peniadaan syariat”, seperti
diungkapkan Amsal Bakhtiar, pemikiran transendensi ini memunculkan
keengganan untuk melakukan ibadah yang telah disyari'atkan Allah. Mereka
menganggap akal telah mampu berhubungan dengan Tuhan, sehingga ibadah
tidak diperlukan lagi.23
3. Mengenai kebangkitan jasad di akhirat, sebenarnya tidak ditolak oleh
filosof, yang dikritik al-Ghazali adalah bentuk kebangkitan yang diutarakan
oleh para filosof. Menurut filosof, kebangkitan yang lebih utama adalah
kebangkitan jiwa, sedangkan kebangkitan jasmani adalah pemahaman bagi
orang awam. Manusia disebut sebagai manusia bukan karena fisiknya, tetapi
karena jiwanya, sehingga kelezatan jiwa lebih tinggi dari pada kelezatan
jasad.24 Adapun al- Ghazali tidak sependapat dengan prinsip filosof ini
karena al-Qur'an secara jelas menerangkan adanya kebangkitan jasad di
akhirat. Menurut tinjauan filosof, alam akhirat adalah alam kerohanian,
bukan alam material. Pemikiran antara jiwa dan jasad ini dipicu oleh
pemikiran mereka yang membedakan antara alam materi dan alam ruhani.
Secara tersirat ide tersebut memang disampaikan dalam al- Qur’an, al-
Ghazali sendiri tidak menolak pandangan tersebut, bahwa sesungguhnya
alam ruhani adalah berbeda dari alam jasmani.25 Namun, al-Ghazali
menegaskan bahwa Tuhan dapat menghidupkan kembali manusia artinya
menghidupkan secara ruh dan jasadi.26 Jadi, al-Ghazali berusaha
menguraikan pemikiran yang menyebutkan ruh adalah qadim, dan jasad
adalah fana’. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, al-Ghazali tidak mengakui
kegad/man selain pada Tuhan, meski qadim tersebut dimaknai sebagai qadim
yang berbeda dengan keqadiman Tuhan. Menariknya, al-Ghazali
mengargumentasikan jasad sebagai alat yang kembali pada manusia setelah
dipisahkan dalam kematian. Jika alat itu telah dikembalikan pada manusia,
maka memungkinkan manusia untuk dapat merasakan kembali kelezatan atau
kepedihan jasmani. Tanpa jasad, mustahil manusia merasakan kelezatan dan
kepedihan yang dirasakannya selama di dunia.27
Argumen-argumen al-Ghazali meski diupayakan sedemikian rupa mengikuti
alur logika filosof muslim, namun sesungguhnya tetap menekankan alasan-
alasan syar’i. Dengan sangat kuat, al-Ghazali melandaskan argumen-
argumennya pada al-Qur'an. la mengkritik asumsi para filosof yang
menyebutkan al-Qur'an merupakan rangkaian simbol-simbol, yang
diungkapkan secara analogis untuk memudahkan manusia memahami
maksud-maksudnya. Bagi al-Ghazali al-Qur'an tidak hanya bersifat analogis,
tetapi juga memiliki kepastian maksud, artinya tidak semua maksud al-Qur'an
sifatnya analog.28 Itu sebabnya dalam beberapa ayat, al-Ghazali tetap
mempertahankan makna langsung dari suatu ayat, tanpa menakwilkan lebih
jauh karena ayat- ayat tersebut menurutnya telah mengandung kepastian.
Esensi kritik al-Ghazali yang umum ini, dicurigai hanya untuk mengendurkan
semangat berfilsafat, karena al-Ghazali tidak menunjuk literatur atau
pendapat salah seorang filosof. Tuduhan ketidakilmiahan tulisan al-Ghazali,
dibantah Sulayman Dunya, Sulayman mencoba memperbandingkan
keterangan al-Ghazali dengan pemikiran yang disampaikan Ibnu Sina dan al-
Farabi. Sulayman menemukan fakta bahwa apa yang dimaksud al-Ghazali
dalam soal kebangkitan memiliki kesamaan lafadz dan makna dengan tulisan
Ibnu Sina dalam Risalah Adlhuwiyyah fiAmral-Ma’ad, sebuah risalah yang
khusus membahas tentang persoalan kebangkitan. Menariknya, Sulayman
Dunya mengemukakan bahwa Ibnu Rusyd hakikatnya tidak membantah
pendapat al-Ghazali, sebaliknya mengkritik pencampuradukkan ajaran
Aristoteles dengan Neo-Platonisme dengan ajaran Islam, sehingga
memudahkan al-Ghazali melihat kelemahan mereka.29
Prinsip-prinsip seperti keesaan Tuhan (Tauhid) dan realitas sifat- sifat Ilahi
yang harus dibedakan dari esensi (zat) Tuhan yang disampaikan al-Ghazali
memiliki kedekatan faham dengan ide-ide yang berkembang di dunia
Asy’ariyah. Al-Ghazali meyakini ayat-ayat antromorphis al-Our’an mengenai
Tuhan, bahwa Tuhan memiliki penglihatan, pendengaran dan anggota-
anggota badan sekalipun tidak diketahui mekanismenya. '" Al-Ghazali
berhasil mempopulerkan teologi Asy’ariyah dengan meletakkan pondasi-
pondasi fahamnya melalui penjelasan-penjelasan yang mematikan lawan-
lawan kalamnya. Diakui, pasca tulisan al-Ghazflli, perkembangan teologi
Asy’ariyah berkembang cepat bahkan mendominasi, menghapus dominasi
Isma’iliyah Syi’ah yang di zaman al-Ghazali berada di masa keemasannya.
Hingga kini pun, teologi Asy’ariyah adalah teologi yang dominan di
kalangan umat Islam dunia.
Konon, di zamannya, krisis agama sudah menimpa orang banyak. Al-Ghazali
mengungkapkan bahwa ketika itu jiwa keislaman sudah merosot dan
keimanan akan pokok kenabian dan hakikatnya serta pengamalan ajaran-
ajarannya sudah mengendur. Keadaan ini, menurut penglihatan al-Ghazali
disebabkan kebanyakan orang memasuki lapangan filsafat dan tasawwuf
dengan serampangan tanpa arah yang jelas dan pasti. Orang-orang juga
mempertalikan dirinya kepada syi’ah bathiniah yang mengandalkan taqlid
buta pada ulama- ulama yang disebutnya sebagai ulama-ulama ma’shum. Di
sisi lain, ulama-ulama fiqh dan ahli-ahli kalam hanya mengajarkan sesuatu
yang bersifat lahiriah saja, dan mengabaikan nilai-nilai filosofis dari syari’at.
Dengan kondisi ini, al-Ghazali menawarkan epistemologi kebenaran yang
berbeda dari yang ada, dan mencoba mengarahkannya dengan sistematisasi
epistemologi kebenarannya.
2. Epistemologi Al-Ghazali
Jika kita menyepakati bahwa filosof adalah para pencari kebenaran, dalam
konteks pengetahuan dan kebijaksanaan. Maka, al- Ghazali dapat
dikategorikan sebagai seorang filosof. Tekniknya untuk memahami dan
mempergunakan teori-teori epistemologis dapat dijadikan bukti bahwa al-
Ghazali pun melakukan pencarian pengetahuan dan kebenaran. Kebenaran
sendiri didefinisikan al-Ghazali dalam risalahnya al-Munqidz min al-Dhalal
seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga. “Sekiranya ada orang yang
mengatakan tiga itu lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa
tongkat dapat dijadikan ular, dan hal itu memang dapat dilakukannya, saya
akan kagum melihat kemampuannya, sungguhpun demikian keyakinan saya
bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyah".31
Artinya, kebenaran adalah suatu kepastian yang diakui dan dirasakan benar
oleh banyak orang. Kebenaran versi al-Ghazali adalah hal yang pasti yang tak
tergoyahkan dan tidak menimbulkan keragu-raguan. Sehingga ketika ada
sesuatu yang menciptakan keraguan dalam dirinya, al-Ghazali menolak
sistem epistemologis tersebut. Kebenaran sejati adalah kepastian yang tidak
akan ditolak oleh daya fikir dan hati manusia.
Pada proses pencariannya, al-Ghazali memulai dengan menempatkan “indera
fisik” sebagai alat pencarian pengetahuan dan kebenaran, la melepaskan
seluruh alat untuk menerima pengetahuan dan mempercayakan sepenuhnya
pada indera. Namun, tidak lama, ia menemukan bahwa indera banyak
berdusta. Bayangan suatu benda seakan-akan tidak bergerak, padahal
kenyataannya bayangan itu mengalami perubahan. Demikian pula bintang-
bintang di langit yang terlihat kecil namun sesungguhnya adalah benda-benda
yang sangat besar. Sehingga al-Ghazali pun menolak indera fisik sebagai alat
utama pencarian kebenaran.32
Selanjutnya, al-Ghazali beralih pada kekuatan akal, al-Ghazali menyebutkan
bahwa mutakallim dan filosof menjadikan akal sebagai alat
epistemologisnya. Para mutakallim menitikberatkan pembahasan mereka
pada kemampuan berdebat dan berfikir. Ilmu kalam membahas berbagai
aliran dalam agama termasuk agama-agama lainnya kemudian
mempertikaikan faham-faham di dalamnya. Tidak semua orang dapat
mengambil ’ibroh dari perdebatan tersebut, kebanyakan malah menjadi sesat
karena meyakini keyakinan orang lain dan ragu pada agamanya sendiri. Ilmu
kalam memang bermanfaat untuk menunjukkan kebenaran agama, tetapi
tidak semua orang dapat mempelajari ilmu kalam ini.33
Al-Ghazali membagi manusia dalam empat kelompok; 1). Mereka yang
sudah beriman kepada Allah dan rasulNya dengan akidah yang benar,
sedangkan sehari-hari mereka disibukkan beribadah dan bekerja di berbagai
lapangan kehidupan; 2). Mereka yang cenderung menolak akidah yang benar
karena kufur atau memeluk akidah bid’ah, baik karena fanatisme maupun
karena dibesarkan di lingkungan akidah seperti itu; 3). Mereka yang sudah
berakidah, baik dengan cara taqlid maupun karena argumen tekstual. Tetapi
karena memiliki kecerdasan yang agak tinggi, mereka terpengaruh oleh
persoalan-persoalan akidah yang dibawa oleh ahli bid'ah dengan argumen-
argumen rasional, sehingga menjadi ragu dan 4). Mereka yang menganut
akidah yang sesat dari kalangan awam, yang menunggu-nunggu sikap para
cendekiawan mereka dalam menerima akidah yang benar. Ilmu kalam hanya
berlaku untuk golongan ketiga, untuk tiga golongan lainnya, ilmu kalam
hanya dapat menggoyahkan imannya. Karena golongan ketiga membutuhkan
argumen-argumen rasional untuk menyadarkan faham akidah mereka.1'1
Selain ilmu kalam, filsafat pun mengandalkan akal sebagai alat
epistemologisnya. Al-Ghazali membagi para filosof ke dalam tiga aliran;
1) . Aliran materialisme; yang menentang adanya Pencipta alam. Mereka
beranggapan alam ada dengan sendirinya dan akan tetap ada. Kelompok ini
dibutakan dengan anggapan sesuatu yang empirik adalah benar adanya.
Sehingga mereka mengagungkan hal-hal fisik dan mengingkari hal-hal ghaib.
2). Aliran naturalisme, kelompok ini hanya naik setingkat dari aliran
sebelumnya. Dalam naturalisme, filosof-filosof ini mengakui adanya
Pencipta dan mengagumi ciptaan Tuhan. Mereka sangat berkonsentrasi pada
alam, sampai-sampai mereka memiliki kesimpulan- kesimpulan yang
bertentangan dengan akidah Islam. Seperti meyakini kebangkitan di alam
akhirat bersifat ruhiah bukan jasmani. Atau meyakini akal manusia memiliki
tabiat seperti benda dan binatang, sehingga di akhirat kelak tidak ada pahala
bagi orang yang taat dan siksaan bagi orang yang ingkar, tetapi
keterbelengguan jiwa manusia dalam nafsu binatang. Al-GhazalT menjuluki
mereka dengan kaum zindiq, karena mereka mengingkari apa yang sudah
disampaikan dengan jelas dalam al-Qur'an. 3). Kelompok yang bertuhan,
kelompok ini menolak prinsip materialisme dan naturalisme. Mereka
menyusun sistem berfikir logika untuk memperkuat argumen-argumen
pemikirannya. Sokrates, Plato dan Aristoteles merupakan filosof-filosof yang
berada di kelompok ini, dan filosof muslim mengikuti apa-apa yang terdapat
dalam diri mereka, sedangkan faham-faham mereka belum tentu dapat
dipertanggungjawabkan dengan tepat dan benar. Kesalahan terbesar mereka
adalah melogikakan hal-hal yang berkaitan dengan akidah, memastikan
akidah melalui premis-premis dan pembuktian logis. Sedangkan untuk hal-
hal yang bersifat metafisis, tidak semuanya dapat dijangkau secara teknik
logika melainkan dengan peran hati.
Dengan melihat bagaimana para mutakallim dan filosof melahirkan
pandangan-pandangan yang saling bertentangan, yang juga sulit diselesaikan
dengan akal. Al-GhazalT menjadi ragu terhadap peran akal sebagai alat yang
tepat untuk mencari kebenaran. Sedangkan yang diharapkan al-GhazalT
adalah ilm al-yaqini yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya.
Konon, setelah meragukan akal, al-GhazalT mencoba berguru pada kaum
batiniah. Menurut penganut faham ini, dalam pandangan al-GhazalT, setiap
orang mesti mengikuti seorang guru yang akan membimbingnya pada
kebenaran dan guru itu adalah seorang yang dianggap ma’shum. Namun, al-
GhazalT menolak pencarian kebenaran dengan model ini, karena paham yang
semacam ini dikatakannya dapat menyesatkan umat Islam. Umat menjadi
tidak berani berijtihad jikalau tidak ada imam atau guru tersebut. Padahal,
Nabi menganjurkan umatnya untuk melakukan ijtihad. Selain itu, kaum
batiniah bisa terjerumus pada taglfd buta dan fanatisme, sehingga mudah
dimanfaatkan oleh tokoh agama untuk kepentingan merek;i Ditambahkannya
bahwa di muka bumi ini tidak ada guru yang ma'shum kecuali Nabi
Muhammad Saw.36
Pasca menjalani pencariannya, al-Ghazali akhirnya memilih untuk
berkhalwat. Dikisahkan bahwa al-Ghazali mengalami kegalauan yang luar
biasa, sampai-sampai ia jatuh sakit. Setelah dua bulan masa kegalauannya,
secara tiba-tiba ia merasa diberikan nur ke dalam hatinya, dengan nur itu al-
Ghazali serta merta merasakan kenyamanan dan kepuasan hati setelah
sebelumnya dilanda keraguan. Al-Ghazali menyebut penyampaian nur
tersebut dengan ilham, yang jika diberikan pada nabi-nabi adalah berupa
wahyu.37
Proses khalwat sebenarnya adalah proses yang dilakukan oleh sufi-sufi.
Tetapi, yang menarik dari tahapan kesufian ini, al-Ghazali tidak serta merta
meninggalkan hiruk pikuk dunia seperti yang dilakukan banyak sufi di
zamannya. Al-Ghazali tetap bekerja dan mengajar di perguruan Nizhamiyah
meski hanya berlangsung selama dua tahun. Sampai akhirnya, al-Ghazali
mendirikan madrasah bagi fuqaha dan sebuah khanaqahi atau biara untuk
para mutasawwifin.
Dari perjalanan epistemologisnya, al-Ghazali kemudian berkesimpulan
bahwa dzauq atau intuisi merupakan alat pencarian kebenaran sejati. Tetapi,
untuk dapat menggunakan dzauq dan intuisi ini, seseorang diharapkan
menghindarkan dari kesenangan duniawi, kesenangan duniawi ini tidak
berarti melepaskan diri dari ikatan bermasyarakat. Namun, meminimalisir
kebutuhan dunia agar dzauqnya sampai pada tahap kasyf (penyingkapan),
yakni terbukanya tabir antara manusia dengan Tuhan. Sehingga ilmu yang
didapatinya tidak lagi melalui perantara tetapi langsung dari sumber utama.38
Skeptisisme al-Ghazali sebenarnya tidak hanya ditujukan pada filsafat
semata, tetapi juga pada berbagai bentuk otoritas keagamaan yang
berkembang saat itu. Kesan kuatnya adalah untuk mempertahankan syari’at
sebagai satu-satunya pedoman dalam konteks pemahaman syari’at yang tidak
hanya melibatkan sisi permukaannya saja tetapi juga keterlibatan intuisi atau
hati.
Skeptisisme yang dituding banyak kalangan sebagai krisis epistemologis
terhadap akal, dan penolakan al-Ghazali terhadap penalaran juga sama sekali
tidak benar. Al-GhazalT dengan tegas menolak absurditas-absurditas dan
bid’ah-bid'ah yang diakibatkan oleh taqlid buta kaum Bathiniyyah yang
diperlihatkan terhadap ajaran otoriter (ta’lim) para imam mereka. Meski
menggunakan dalil-dalil syar’i untuk membid'ahkan teolog dan filosof, al-
Ghazali mengupayakan argumentasi rasional untuk menempatkan alasan-
alasan dari tuduhan- tuduhannya. Sehingga tidak ada dasar pasti untuk
menuding al-Ghazali sebagai tokoh utama yang mematikan “ijtihad" kaum
muslimin dan menyebabkan kemunduran umat dalam beberapa dekade.
Osman Bakar dan Thaha ’Abd al-Baqi Surur menduga skeptisisme al-Ghazali
adalah murni skeptisisme metode epistemologis. Dalam Mizan al-’Aml, al-
Ghazali menegaskan; “jika di dalam kata-kata hanya ada suatu pengertian
yang meragukan keyakinan anda yang anda terima secara turun temurun,
sehingga mendorong anda untuk memecahkannya, maka manfaatkanlah
keraguan itu. Sebab keraguan merupakan metode untuk mencapai kebenaran.
Barangsiapa tidak ragu, berarti tidak menganalisis, barangsiapa tidak
menganalisis praktis tidak akan tahu. Sebagai konsekuensinya, barangsiapa
tidak pernah tahu, praktis dia akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan’’.39
Kritik epistemologis terbaik al-Ghazali juga terlihat dari bagaimana ia
menolak kepastian hukum kausalitas (sebab-akibat). Keinginan kuatnya
mempertahankan keberadaan mukjizat mendorongnya menyatakan sebab-
akibat bukanlah suatu kepastian. Kausalitas menurutnya hanyalah sebuah
kemungkinan dari berbagai kemungkinan, karena memprediksi alam ini pada
satu hukum adalah kemustahilan. Selalu ada kemungkinan yang akan terjadi
di alam yang tidak pernah diduga dan itu -bisa jadi- atas kehendak Tuhan.40
Adalah salah jika kita menganggap bahwa al-Ghazali menolak secara mutlak
keberadaan kausalitas alamiah. Yang ditolak al-Ghazali adalah keberadaan
hubungan yang niscaya antara seab dan akibat yang terlepas dari kehendak
Tuhan sebagai pencipta. Jika dunia -yang mungkin- adalah dunia tempat
segala kemungkinan, al-Ghazali mengklaim bahwa kemungkinan ini hanya
arena tindakan bebas Tuhan. Kesulitannya bukan terletak pada keberadaan
objektif hal-hal konkret hanya karena Tuhan menciptakan mereka. Problem
epistemologisnya terletak pada ketakmungkinan menghubungkan secara
langsung suatu akibat kepada suatu sebab. Sebab-sebab dapat senantiasa
hipotesis, dan satu-satunya kepastian yang kita miliki adalah bahwa semua
itu merupakan akibat-akibat dari kehendak Tuhan.41
Meski penolakan kausalitasnya ini didasarkan pada konteks syari'at, Massimo
mengagumi pemikirannya yang menyebutkan al Ghazali mendahului David
Humee dalam teorinya bahwa hubungan kausalitas hanyalah penampakan
dan merupakan efek dari kebiasaan manusia mengaitkan dua kejadian yang
terjadi secara konsisten dalam alam. Al-GhazalT berpendapat bahwa
kontinuitas kebiasaan (’adah) berkenaan dengan hal-hal yang kelihatannya
niscaya, tetapi sebenarnya hanya mungkin. Sesuatu yang terbiasa ini dari
waktu ke waktu tertanam dengan kuat dalam fikiran sehingga kontinuitas
seakan tak terpisahkan.42 Ide yang sama, yang mengilhami kejeniusan Albert
Einstein melalui teori relativitasnya pun adalah penolakannya terhadap
kepastian kausalitas.
Keseluruhan ide al-Ghazali sebenarnya dimulai dari keraguan- keraguan
terhadap status quo pemikiran. Bagi al-Ghazali kemapanan dan kebenaran
sejati adalah meyakini adanya sesuatu yang metafisis yang mengelola alam
ini dengan kehendak mutlak nan bijaksana. Untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan yang sesungguhnya bagi al-Ghazali adalah dengan meyakini
kuasa zat metafisis tersebut dan melihat ada banyak kemungkinan di alam ini
dan kepastian sesungguhnya hanya pada Allah Swt.
Asumsi-asumsi ini tanpa disadari menimbulkan kesalahfahaman umat.
Kehendak dan kuasa Tuhan mendorong kepasrahan berlebihan kepada Allah,
predikat zindiq dan bid’ah menghantui bilamana berijtihad sendiri sehingga
memilih sikap taqlfd. Akhirnya, muncul sebuah pameo untuk memisahkan
agama dan ilmu- ilmu umum. Sebuah frame berfikir yang sesungguhnya
ditolak oleh al Ghazali sendiri, taqlfd buta dan melepaskan diri dari persoalan
agama adalah kesesatan yang sesungguhnya dari manusia-manusia beragama.
Maka, predikat hujjatut Islam (pembela Islam) yang diberikan pada al-
Ghazali adalah karena al-Ghazali berhasil merumuskan kembali ajaran-ajaran
Islam pada tempat yang seharusnya. Sayangnya, umat menerima perumusan
tersebut secara lahiriah saja dan mengabaikan inti yang hendak disampaikan
al-Ghazali. Sehingga pasca wafatnya al- Ghazali, umat bergelut dengan dunia
sufi yang memilih menanggalkan dunia secara utuh. Tanpa daya ijtihad dan
gerakan pembaruan, sambil terus menolak peran akal dalam berbagai bidang,
membuat dikotomisasi akal dan hati dengan mengklaim kebenaran
individual. Kondisi inilah yang mendorong Ibnu Rusyd berupaya
menjelaskan apa yang dimaksud al-GhazalT seraya mendorong terjadinya
keseimbangan antara akal dan intuisi sebagai metode epistemologis
kebenaran sejati.
B. JAWABAN IBNU RUSYD
Abu al-Waltd Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd lahir di
Cordoba pada tahun 520 H/1126 M. Seorang tokoh terkemuka Islam wilayah
barat, yang namanya sangat masyhur di Eropa, dikenal sebagai Averroes dan
memberi banyak pengaruh pada pemikir-pemikir barat. Terlahir dari keluarga
faqih yang terhormat, qadhf negara terkemuka di Spanyol. Kakeknya, Abu
al-Walid Muhammad (senama dengan Ibnu Rusyd) adalah qadhi Cordova
terkemuka dan memainkan peran penting dalam perlawanan kota itu terhadap
kekuasaan al-Murabithun, meskipun kemudian Cordova ditaklukan al-
Murabithun. Sang kakek menulis berbagai karya teoritis dalam ushul fiqh dan
dalam studi atas berbagai pendapat yang ditawarkan oleh beberapa madzhab
besar fiqh (ikhtilaf). Ini menghubungkannya dengan gagasan pembaruan fiqh
Maliki yang menganjurkan pengintegrasian penalaran analogis (g/yas).43
Meneruskan sang kakek, ayahnya, Abu al-Qasim Ahmad menduduki posisi
kepala pengadilan di Andalusia, disamping itu meneruskan tradisi keluarga
sebagai salah seorang ahli hukum terkemuka dari madzhab Maliki. Ibnu
Rusyd pun menjadi seorang Malikiyyah, bersama ayahnya, dia merevisi al-
Muwatta’ dan menghafal seluruh isinya. Dia juga mempelajari matematika,
fisika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran. Dia belajar ilmu kedokteran
kepada Abu Ja’far Harun dan Abu Marwan ibn Jarbun. Adapun filsafat dan
theology, dia peroleh dari Ibn Thufayl.44
Di zamannya Cordova terkenal sebagai pusat studi-studi filsafat, sedangkan
Seville terkenal karena aktivitas-aktivitas artistiknya. Tetapi tradisi ilmiah ini,
seperti tradisi keilmuan di wilayah lainnya mengalami pasang surut.
Keseluruhan tradisi ilmiah ini disesuaikan dengan ide-ide penguasa
(khalifah). Jika sang penguasa seorang rasionalis, dia akan membangun
tradisi filosofis di wilayahnya, jika sang penguasa tertarik pada hal-hal
sufistik, dia akan mendorong rakyatnya untuk mengabaikan tradisi-tradisi
duniawi. Termasuk di dalam hal ini, kepercayaan penguasa terhadap
madzhab-madzhab fiqh, yang bisa jadi menekankan satu madzhab fiqh dan
mengabaikan yang lain.
Di Spanyol, tradisi filosofis mengalami pasang surut yang signifikan. Di
bawah Khalifah Abdurrahman al-Nashir (912-961) filsafat menjadi sangat
maju, namun pasca Abdurrahman kegiatan ilmiah menurun terutama pada
zaman Hasyim dan penguasa al-Murabithun Ketika dinasti ini ditaklukkan
dinasti al-Muwahhidun, kegiatan filsafat dihidupkan kembali, terutama
zaman Abu Ya’qub Yusuf.45 Ibnu Thufail berjaya di masa ini, dan melalui
Ibnu Thufail pula, Ibnu Rusyd dikenalkan ke dalam lingkungan istana. Hasil
dari pertemuan ini Ibnu Rusyd diangkat sebagai qadhi di Seville. Atas
dorongan Abu Ya'qub pula, Ibnu Rusyd menganalisis karya-karya
Aristoteles.
Kepiawaiannya mengulas ide-ide Aristoteles menghantarkannya menjadi
seorang yang dijuluki dengan “komentator Aristoteles". Kemampuannya
disebut Michael Dante setara dengan Euclid, Ptolemeus, Hippocrates, Ibnu
Sina dan Galen. Komentar- komentarnya ditulis secara ilmiah, dengan
mengutip pemikiran Aristoteles dan menafsirkan maksud pemikiran
Aristoteles berdasarkan perspektifnya.46 Uraian Ibnu Rusyd mirip sekali
dengan tulisan-tulisan tafsir, menyampaikan pemikiran Aristoteles murni dan
ditafsirkan maksudnya pasca penulisan pemikirannya. Sebuah karya
sederhana namun berhasil menunjukkan sisi ilmiah sebuah metode penulisan.
Komentarnya dipadukan pula dengan pemikiran filosof-filosof muslim,
termasuk upayanya mensistensiskan agama dan filsafat. Ibnu Rusyd sendiri
jauh lebih dikenal dan dihargai di Eropa Tengah daripada di Timur. Tulisan-
tulisannya lebih banyak diterjemahkan ke dalam bahasa latin, sedangkan
teksnya yang asli dalam bahasa Arab banyak yang hilang dan terbakar dan
dilarang diterbitkan lantaran semangat anti filsafat dan filosof yang berakar
dalam masyarakat. Di sisi lain, bangsa Eropa seakan akan menerima angin
segar, karena selama berabad-abad tidak berhasil mensistensiskan agama
(gereja) dengan ilmu pengetahuan. Sebuah kemampuan skolastik yang
kemudian menggema di Eropa.47
Prestasi filsafat Ibnu Rusyd mengalami antiklimaks ketika Abu Ya’qub
Yusuf wafat dan digantikan oleh Abu Yusuf. Sultan Abu Yusuf
membutuhkan dukungan ulama dan fuqaha untuk mengerahkan massa
menghadapi peperangan melawan kaum Kristen. Tokoh-tokoh filsafat seperti
Ibnu Rusyd yang telah dianggap berseberangan dengan agamawan terpaksa
disingkirkan. Sebuah keputusan politik yang tragis, Ibnu Rusyd diasingkan
ke Lucena, sebuah kota kecil di selatan Cordova yang kebanyakan dihuni
oleh orang Yahudi. Pengasingan dilakukan atas tuduhan sebagian ulama dan
fuqaha bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang zindik dan kafir. Semua tulisannya
dibakar, terutama buku-buku filsafat, kecuali buku-buku kedokteran,
astronomi dan matematika.48
Sejawat ilmiahnya di Seville berusaha keras membela Ibnu Rusyd dari segala
tuduhan. Sejawat-sejawatnya ini yang mendesak Khalifah Yusuf al-Manshur
untuk direhabilitasi namanya dan diundang oleh Khalifah ke Maroko. Ibnu
Rusyd memilih Maroko sebagai pelabuhan terakhirnya. Di Maroko inilah,
Ibnu Rusyd menghembuskan nafas terakhirnya pada 9 Safar 595 H (10
Desember 1198 M). Setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya dipindahkan ke
Cordova untuk dikebumikan di perkuburan keluarganya.49
Yang menarik dari Ibnu Rusyd, adalah kemampuannya di dua bidang
sekaligus. Sebagai seorang faqih sekaligus seorang filosof ternama.
Kemampuan fiqhnya dibuktikan melalui karya fenomenal Bidayah al-
Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, sebuah uraian logis tentang hukum
Islam yang monumental. Karya itu merupakan risalah tentang ikhtilaf (ilmu
perbandingan madzhab) yang menilai dan mempertimbangkan dalam setiap
hal, setiap sudutnya, pendapat- pendapat yang diajukan oleh berbagai mazhab
kecil atau individu terkemuka, bukan hanya oleh mazhab besar. Ikhtilaf
dijadikan metode oleh Ibnu Rusyd, sebagai suatu cara menyoroti prinsip-
prinsip yang menimbulkan perbedaan. Gagasan utamanya, bahwa
kecenderungan doktrinal sang pemilik madzhab, dan individu madzhab tidak
bersifat memaksa. Setiap doktrin itu diberikan berdasarkan batas-batasnya
sendiri, dan bahkan mungkin terjadi satu mazhab disetujui oleh mazhab
lain.50
Dan sebagai seorang Malikiyyah, Ibnu Rusyd mengkaji peran Qiyas sebagai
alternatif hukum Islam. Uniknya, Ibnu Rusyd pun mengkaji Qiyas dengan
teknik-teknik Aristotelian. Secara umum, Ibnu Rusyd mengajukan Qiyas
sebagai sebuah alternatif ijtihad di luar taqlfd pada mazhab-mazhab yang ada.
Bidayah mengisyaratkan bahwa seorang faqih adalah seseorang yang dapat
menerapkan suatu hukum pada fakta dan situasi yang nyata. Tujuannya
adalah, memberi kesempatan pada umat untuk memihak pada satu hukum
sesuai dengan situasi yang dijalaninya tanpa mengandalkan fanatisme
berlebihan pada satu madzhab.51 Dengan demikian bidayah berperan sebagai
bagian dari evolusi yang membawa metodologi ke sistem klaim-klaim
universal.
Fakta terpenting dari Ibnu Rusyd adalah kemuliaan akhlaknya yang sangat
masyhur, la dikenal sebagai seseorang yang selalu mengenakan pakaian
sederhana dan tidak pernah dituduh berkorupsi, la dengan tekun
melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai qadhi, selalu menjaga
kesopanan, kedermawanan dan kerendahan hati, bergaul dengan rakyat biasa
dan sultan. Kemasyhurannya dalam kemuliaan akhlaknya menunjukkan
bahwa la adalah tokoh besar yang sangat bijaksana.52
1. Filsafat dan Agama
Sebagaimana filosof muslim lainnya, Ibnu Rusyd pun melakukan
“pembelaan” akan keterlibatannya pada dunia filsafat. Filsafat sampai dengan
masa Ibnu Rusyd juga dianggap sebagai ilmu yang menyesatkan ajaran
agama. Perdebatan utamanya sesungguhnya terletak pada perbedaan
epistemologis antara Ahlu al-Sunnah dan Ahlu al-Ra’yi. Kekuatan setiap
paradigma epistemologis bergantung pada patronage yang memerintah di
wilayah tersebut.
Tradisi ilmiah di Spanyol mengalami pasang surut, sesekali memihak pada
intelektual rasionalis sesaat kemudian menjadi hak milik intelektual
tasawwuf mistis atau bahkan dikuasai oleh Ahlu Sunnah. Pada masa Bani
Umayyah di bawah Khalifah Abdurrahman al-Nashir (912- 961), kegiatan
ilmiah sangat maju karena kecintaannya pada ilmu dan filsafat. Khalifah
memerintahkan ulama belajar ke Baghdad dan juga mendatangkan para
ilmuwan dari Bagdad ke Spanyol. Pasca al-Nashir, kegiatan ilmiah menurun,
terutama pada zaman Hasyim dan penguasa Murabithun. Penguasa
Murabithun sangat memfokuskan diri pada militer dan taktik perang,
sehingga keilmuan terabaikan. Ketika dinasti Muwahhidun menaklukkan
Murabithun, situasi keilmuan kembali membaik. Namun kondisi ini tidak
bertahan lama, karena serangan Kristen terus merongrong, dan Khalifah perlu
mempersiapkan diri pada strategi militer dan perang.53
Pada kondisi inilah, Ibnu Rusyd diasingkan, Sang Khalifah konon
memerlukan dukungan ulama dan ahli-ahli tradisional untuk dapat menarik
massa. Sehingga Ibnu Rusyd perlu diasingkan agar tujuannya dapat
terlaksana. Meski begitu, kerabat-kerabat dekat Ibnu Rusyd dan sejawatnya
berupaya membebaskannya.
Beberapa tulisan menyebut bahwa Ibnu Rusyd adalah murid Ibnu Thufail,
Ibnu Thufail pula yang merekomendasikan Ibnu Rusyd pada kalangan istana.
Rekomendasi ini ditujukan untuk menunjukkan “siapa sebaiknya yang
menggantikan peran Ibnu Thufail yang telah tua. Ibnu Thufail mengajak Ibnu
Rusyd bercengkerama dengan Sultan Abu Ya'qub, sampai kemudian sang
Sultan bertanya “Apa pendapat para filosof tentang langit?", “Apakah ia
substansi kekal ataukah mempunyai permulaan?”. Ibnu Rusyd awalnya
mencoba menjaga jarak untuk menjawab hal ini, sampai kemudian Sang guru
terlibat diskusi serius dengan Sultan, dan Ibnu Rusyd pun mulai terlibat di
dalamnya.54
Dalam riwayat lain, keterlibatan Ibnu Rusyd pada dunia filsafat didorong
oleh guru kedokterannya Ibnu Harun, yang menceritakan bahwa sang Sultan
berharap ada seseorang yang mampu mengomentari buku- buku Aristoteles
dan menjelaskannya secara gamblang buku-buku itu agar maksud dan
maknanya diketahui banyak orang. Ibnu Thufail menolak tugas ini, karena
terlalu tua menerimanya, dan Ibnu Rusyd diajukannya untuk menjalankan
tugas ini.55 Kemungkinan kedua riwayat ini saling berhubungan dan terjadi
dalam waktu yang sama. Yang terpenting dari riwayat ini adalah bagaimana
Ibnu Rusyd kemudian atas dukungan patronagenya mulai mengkaji setiap
pemikiran filsafat.
Melalui Fashl al-Maqal fi Ma baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-lttishal,
Ibnu Rusyd melakukan pembelaan bagi filsafat. Ibnu Rusyd membuka
risalahnya dengan mengajukan pertanyaan tentang apakah filsafat itu sah,
dilarang, dianjurkan atau diharuskan dalam Syari’ah (Hukum Islam).
Ditegaskannya, bahwa filsafat diwajibkan atau setidaknya dianjurkan dalam
agama (syari’ah). Sebab fungsi filsafat hanyalah membuat spekulasi atas
yang maujud dan memikirkannya selama membawa kepada pengetahuan
akan Sang Pencipta.56
Prosedur yang paling jelas dalam agama, menurut Ibnu Rusyd adalah
perintah melakukan i’tibar (mengambil pelajaran). Al-I’tibar merupakan
suatu ungkapan qur'ani yang berarti sesuatu yang lebih dari spekulasi atau
refleksi.57 Proses i'tibar inilah yang akan menjadi titik tolak utama yang
diajarkan dalam filsafat. I'tibar menurut Ibnu Rusyd sudah seharusnya
melalui logika dan tata penalaran yang benar, sehingga seseorang yang
mengimani kebenaran Syari'at dianjurkan untuk memahami tata alur
penalaran dengan sebaik-baiknya.58
Konteks paling sederhana dari i'tibar adalah qiyas, Ibnu Rusyd menegaskan
bagaimana mungkin seseorang dapat melakukan analogi- analogi jika tidak
memiliki alur berfikir yang benar. Posisinya sebagai seorang qadhi
memudahkan Ibnu Rusyd memberi penekanan hubungan antara filsafat dan
syari'at. Menghubungkan kebutuhan tata berfikir logika, Ibnu Rusyd
menjelaskan bahwa adalah sebuah kewajaran jika kemudian logika ini juga
dijadikan alat oleh manusia untuk membaca alam ini. Keingintahuan dan
usaha meneliti semua wujud di alam adalah curiousity manusia untuk
mengenal makhluk-makhluk sekaligus mengenal Sang Khalik.
Secara jelas, Ibnu Rusyd menunjuk ilmu Ushul fiqh sebagai ilmu fiqh yang
logis dan berbasis rasio. Ilmu ini menggunakan premis- premis tertentu yang
kemudian diistinbath (disimpulkan) oleh para pemikir madzhab berkenaan
dengan berbagai masalah khilafiyah yang menjadi pokok-pokok perdebatan
yang terjadi di antara para pemikir Islam di banyak negara.59 Melalui Ushul
fiqh, Ibnu Rusyd berusaha membukakan bahwa filsafat juga telah menjadi
bagian dari Islam dan merupakan sebuah kebutuhan yang tidak terhindarkan.
O
CO CO
Z3 C7>
I
<S 5. jfS
CO ^ -tr ^
O O
Cahaya keempat
ti is
«3 .£ CQ -O
Karena ketergantungannya pada Nur al-Anwar, cahaya pertama memiliki
watak ganda, pertama kekurangan dalam dirinya yang harus bergantung pada
limpahan karunia Nur al-Anwar dan kedua ia memiliki kekurangan karena ia
memiliki sifat gelap disebabkan tingkat terangnya yang meredup jika
dibandingkan Sumber Cahaya. Seperti al-Wujud al Awwal yang muncul
pertama dari Wajib al-Wujud, yang kemudian memikirkan dirinya sendiri
dan Tuhannya dalam proses menuju kemajemukan, cahaya pertama dari sisi
gelapnya melahirkan “bayangan pertama1' yang disebut Suhrawardi dengan
barzakh tertinggi. Dan dari dominasi pancaran cahayanya, cahaya pertama
memunculkan cahaya kedua.
Tetapi yang lebih khas lagi dari teori emanasi Suhrawardi adalah munculnya
cahaya yang bersifat horizontal (’ardhi), yang tidak muncul secara langsung
dari Tuhan, tetapi dari cahaya-cahaya vertikal. Cahaya- cahaya dalam tatanan
horizontal ini disebut Arbab al-Ashnam, yakni semacam prototipe bagi
makhluk apapun yang ada di alam fisik. Oleh karena itu, ia mirip sekali
dengan dunia ide platonik yang bertindak sebagai bayang-bayang bagi apa
pun yang ada di alam ide. Satu lagi tatanan cahaya yang bersifat horizontal,
yaitu yang disebut dengan al-Anwar al- Mudabbirah (cahaya-cahaya yang
mengatur).
Cahaya-cahaya yang mengatur ini adalah daya-daya yang memiliki pengaruh
besar terhadap segala makhluk yang ada di bawah pengaruhnya. Cahaya-
cahaya yang mengatur ini dideskripsikan Suhrawardi dengan malaikat-
malaikat atau daya-daya yang mengatur manusia dan menggerakkan benda-
benda langit. Cahaya-cahaya ini membentuk sebuah hierarki dan
mempengaruhi bola-bola angkasa melalui perantaraan benda-benda samawi,
dimana mereka adalah penguasa-penguasa mutlak. Hurakhsy atau matahari,
sumber cahaya diurnal, adalah salah satu pemimpin puncak hierarki ini,
kemana penghormatan Ilahi (ta’zhim) diberikan sebagai pemimpin atau
tuannya angkasa.
Pancaran cahaya vertikal jauh lebih terang dari pada pancaran cahaya
horizontal, hal ini disebabkan fokus cahaya yang terkuat adalah yang
memancar secara vertikal. Mempermudah teori ini, anda dapat mencoba
menyalakan senter di tengah kegelapan, perhatikan sinar yang terpancar
darinya, sinar yang paling terang adalah sinar yang lurus sejajar dengan
sumber cahaya dari senter. Dan sinar horizontal atau sinar yang berada di sisi
kanan dan kiri sinar vertikal terlihat lebih redup dari sinar yang bergerak
vertikal, sinar ini adalah bias dari sinar-sinar vertikal, atau pancaran dari sinar
yang fokus. Itu sebabnya sinar horizontal ada di antara pancaran Cahaya yang
satu dengan cahaya lainnya.
Adapun barzakh, adalah potensi gelap dari pancaran cahaya. Jika fokus
cahaya senter bergerak vertikal dan biasnya bergerak horizontal, barzakh
adalah keadaan-keadaan gelap yang terjadi dari cahaya yang terus menerus
memancar. Pancaran cahaya sebagaimana yang dikatakan Suhrawardi
berbeda-beda intensitasnya, semakin dekat dengan Sumber Cahaya semakin
terang dan semakin jauh dari sumber cahaya sinarnya semakin redup. Begitu
pula barzakh, barzakh tertinggi adalah potensi gelap yang masih
mendapatkan sinar karena cahaya yang memancar adalah cahaya yang sangat
kuat dan terang. Anda dapat menganalogkan proses ini dengan lampu pijar
berkekuatan tinggi yang dipasang di langit-langit kamar anda, perhatikan
langit-langit atau atap tempat lampu terpasang, diperkirakan di sekitar itu
bayang-bayang hampir tidak terlihat, bayang-bayang yang ada seakan-akan
substansi terang, namun semakin jauh dari sumber cahaya -lampu-, bayang-
bayang tersebut akan semakin terlihat. Proses inilah yang dikatakan
Suhrawardi dengan gradasi cahaya, dimana barzakh atau bayang-bayang
gelap menyekat di antara cahaya yang bersinar satu dengan lainnya.
Itu sebabnya, terdapat barzakh yang memiliki kemampuan bersinar atau
bercahaya dan terdapat barzakh yang sama sekali kehilangan cahaya, menjadi
substansi gelap karena jarak yang teramat jauh dari sumber cahaya. Matahari
adalah barzakh yang memiliki cahaya yang cahayanya tidak pernah redup;
barzakh ini berasosiasi dengan barzakh lainnya hanya pada keadaannya
sebagai barzakh dan berdiferensiasi dengan cahaya yang abadi. Kondisi yang
membuatnya berdiferensiasi dengan cahaya adalah sifat eksternal dan
permanen keadaannya sebagai barzakh, sehingga ia menjadi Cahaya
Aksidental dengan faktor utamanya berupa substansi gelap.
Terakhir, selain berbeda dalam istilah dan struktur kosmik, emanasi
Suhrawardi pun berbeda dengan emanasi peripatetis yang terbatas sampai
dengan langit kesepuluh, emanasi illuminasionis tidak secara tegas
menetapkan bilangannya, meski perwujudan materinya pun mendekati teori
peripatetis. Bagi llluminasionis, karena setiap benda angkasa membutuhkan
murajjih (sufficient reasons) untuk keberadaannya, maka akal-akal itu tidak
bisa hanya dibatasi pada sepuluh tetapi berbanding dengan jumlah benda-
benda angkasa tersebut, yang karena banyaknya tidak mungkin hanya
dibatasi pada angka sepuluh. Inilah karakteristik iluminasionis, yang
sekaligus merupakan kritik dan perbaikan atas teori emanasi sebelumnya.
3. Metafisika
Alegori filosofis illuminasionis dengan menggunakaan cahaya, dinisbahkan
Suhrawardi pada ayat al-Qur’an surat al-Nur; ayat 35 yakni Allah Nur-
Cahaya- bagi langit dan bumi. Penisbahan terhadap ayat ini sebenarnya
bukan pertama kali dilakukan oleh seorang filosof, Ibnu Sina diduga telah
menggunakannya untuk memperjelas emanasi Neo- platonisnya yang dari
sinar pemancaran tersebut terdapat Kebaikan, lalu al-Ghazali menyebut
Tuhan dengan Misykat al-Anwar atau cahaya di atas cahaya, dan Suhrawardi
mengistilahkan Tuhan dengan Nur al-Anwar. Tetapi konsep cahaya Ibnu Sina
masih didominasi oleh emanasi peripatetik dan konsep cahaya al-Ghazali
baru sebatas metafor dari sebuah spekulasi filsafat, dan bukan jantung filsafat
itu sendiri.
Suhrawardi-lah yang berhasil memanfaatkan simbolisme cahaya, dan
mengungkapkan ide-ide filosofisnya dengan brilian. Suhrawardi
mendasarkan tesis dan kesimpulannya seraya mengkritik filosof peripatetik,
pada kosmologi kebercahayaan: bahwa semakin esensi mendekati puncak
cahaya yang tidak lain adalah Allah Swt, semakin tinggi dan berkualitaslah
mutu eksistensinya. Pergerakan menuju Nur al-Anwar selalu dinamis dan
melibatkan banyak esensi. Oleh karenanya, refleksi filosofis Suhrawardi
senantiasa berpijak pada pertautan antar esensi dan interrelasionisme yang
universal dan holistik. Mendekati Sumber Cahaya tidak lagi menjadi semata-
mata aktifitas spiritual, tetapi juga tindakan filosofis. Tak ada lagi
keberpisahan antara rasio dan hati sebagai batu pijak untuk menaiki tangga
kebenaran.
Alasan pilihan Suhrawardi menggunakan metafor Cahaya dikatakannya
karena cahaya adalah sesuatu yang eksistensinya tidak membutuhkan definisi
dan penjelasan, karena tidak ada sesuatu pun yang lebih swamandiri dari
definisi selain cahaya. Sumber Cahaya adalah al-Ghani; esensi yang
swamandiri, yakni sesuatu yang zat dan kesempurnaan dirinya tidak
bergantung kepada objek lainnya, sedangkan esensi yang tidak swamandiri
adalah yang zat dan kesempurnaan dirinya bergantung kepada obyek lain,
esensi tidak swamandiri ini adalah al-fakir (benda-benda) yang bergantung
pada esensi swamandiri (al-Ghani)
Selain itu, menurut Suhrawardi, segala sesuatu yang ada di dunia ini terdiri
dari cahaya dan kegelapan. Tetapi, hanya cahaya yang memiliki wujud
positif, sedang kegelapan adalah negatif, dalam arti tidak memiliki realitas
objektif, la ada hanya sebagai konsekuensi dari ketiadaan cahaya, ketika
cahaya datang, maka kegelapan sirna. Sehingga segala sesuatu yang ada di
alam ini tidak dapat dibedakan secara kategoris melalui esensinya tetapi
disebabkan oleh intensitas cahaya yang dimiliki setiap makhluk.
Dengan demikian, aliran filsafat iluminasionis merupakan kritik yang cukup
fundamental atas prinsip hylomorfis, karena sementara bagi hylomorfisme
bentuk-bentuk benda bersifat kategorik, bagi kaum iluminasionis bersifat
relatif “lebih atau kurang" -more or less- dan tidak dibagi secara kategorik ke
dalam substansi-substansi yang tetap (fixed).
Metafisika adalah inti penting emanasi iluminasi, metafisika
mempertanyakan kekekalan, baharu, Tuhan dan makhluk-makhluknya dan
bagaimana sesuatu yang non-fisik menjalankan geraknya. Tuhan seperti
dijelaskan sebelumnya adalah Cahaya Maha Cahaya, Nur al- Anwar, Esensi
Swamandiri, al-Ghani, subjek yang bersinar dan terang dan tidak memiliki
bayang-bayang karena kemurnian cahayanya. Tuhan dengan keesaannya,
adalah realitas tunggal, dan sesungguhnya realitas tunggal ditinjau
sebagaimana adanya, tidak memunculkan lebih banyak dari satu objek kausa
(ma’luf). Maka, yang pertama kali muncul dari Cahaya Maha Cahaya adalah
cahaya murni yang tunggal.
Cahaya murni yang tunggal ini adalah cahaya pertama (nur a!- aqrab), cahaya
ini menghasilkan barzakh dan cahaya abstrak, di mana lalu muncul cahaya
abstrak dan barzakh lain, maka jika ia melakukannya hingga lahir sembilan
planet dan alam elementer, kesemua rangkaiannya akan berakhir pada cahaya
yang tidak dapat lagi menghasilkan cahaya abstrak, mengingat kenyataan
yang anda ketahui bahwa mata rantai cahaya yang terstruktur pastilah
berakhir dan final. Jika kita temukan suatu bintang dari setiap barzakh yang
termasuk dalam dunia eter (unsur yang sangat halus yang memenuhi lapisan
teratas ruang angkasa), dan sesuatu yang tidak mungkin dihitung jumlahnya
oleh manusia dalam setiap lingkaran konstan bintang-bintang, maka ada
banyak hal dan modalitas yang tak terhingga dalam keseluruhan ruang
kosmik ini. Banyaknya bintang dan barzakh yang terdapat dalam kosmik kita
saja, atau hanya dalam ruang angkasa saja, memutuskan Suhrawardi bahwa
emanasi tidak dibatasi dengan sembilan atau sepuluh kategoris, bisa jadi
emanasi ini mencapai dua puluh atau kelipatan seratus dua ratus.
Artinya dari Cahaya pertama (nur al-aqrab) muncul cahaya kedua, cahaya
ketiga hingga bilangan yang tak terbatas.
Masing-masing cahaya menyaksikan Cahaya Maha Cahaya dan terkena
pancaran sinarNya. Sedangkan pada jajaran Cahaya pendominasi -cahaya
pertama, kedua dst.-, cahayanya saling berbalik satu sama lain. Setiap cahaya
tinggi menerangi apa yang ada di bawah hierarkinya, dan setiap cahaya
rendah menerima sinar dari Cahaya Maha Cahaya lantaran hierarki yang ada
di atasnya secara bertahap, dimana cahaya kedua menerima cahaya melintas
dari Cahaya Maha Cahaya sebanyak dua kali; satu kali dari Cahaya Maha
Cahaya tanpa perantara dan satu kali lewat perantaraan cahaya pertama.
Rangkaian ini berjalan terus, cahaya ketiga menerima empat kali, dua kali
kebalikan dari yang diterima cahaya kedua, dari Cahaya Maha Cahaya tanpa
perantara, dan dari cahaya pertama. Proses ini terus berlipat ganda hingga
jumlah tak terhingga.
Proses yang dibangun dari “dominasi” dan “cinta” ini adalah hubungan
korelatif yang tak terhenti. Cahaya Maha Cahaya terus menerus melimpahkan
cahayanya tanpa keputusan akan habis cahaya yang dipancarkan, dan cahaya-
cahaya rendah berupaya keras mendapatkan penyaksian atas-Nya. Dan dari
radiasi-radiasi sinar atau cahaya muncullah barzakh dan beragam kosmik,
yang tetap dalam gelapnya atau yang teraksiden dengan cahaya. Kesemuanya
juga berada dalam relasi yang sama, bergantung pada dominasi Cahaya Maha
Cahaya dan mengharapkan penyaksian, (ma’rifah) dengan-Nya.
Karena seluruh alam ini adalah penumbra Cahaya Maha Cahaya dan
hubungan yang dibangunnya adalah dominasi dan cinta, maka alam dan
seisinya adalah abadi sebagaimana keabadian Cahaya Maha Cahaya. Namun,
keabadian ini tidak berarti penyetaraan atau sama dengan Cahaya Maha
Cahaya, tetapi bergantung pada Cahaya Maha Cahaya. Keputusan keabadian
ini bergantung pada dominasi cahaya yang diberikan, itu sebabnya seluruh
energi di alam ini berlomb; i lomba meraih cinta terhadap substansi tertinggi.
Setelah memperjelas keabadian dan kekekalan alam ini dan pemancarannya,
tersisa satu pertanyaan, “bagaimana bentuk bentuk yang beragam muncul
dari alam ini, dan bagaimana keteraturan yaiuj berkaitan dengan esensi-esensi
spesifik alam, begitu pula dengan ruh dan materi". Kesemua ini dijawab
dengan baik dan cerdas oleh
Suhrawardi, dan lagi-lagi melalui kosmologis cahaya dan tidak dengan proses
penciptaan sebagaimana identifikasi “mencipta".
Keluasan sinar cahaya yang tersusun secara vertikal menyebabkan
munculnya kategori-kategori cahaya. Cahaya-cahaya abstrak dibagi
Suhrawardi menjadi Cahaya-cahaya pemaksa dan Cahaya-cahaya pengatur,
Cahaya-cahaya pemaksa yaitu esensi yang tidak memiliki keterpautan dengan
barzakh, baik dalam tipografi dan perubahan bentuknya. Dalam cahaya
pemaksa terdapat cahaya pemaksa tertinggi dan cahaya pemaksa berbentuk,
yaitu para pemilik ikon. Dan yang kedua adalah cahaya-cahaya pengatur atas
barzakh, sekalipun secara tipografis tidak mempengaruhi barzakh. Cahaya ini
muncul dari setiap barzakh pemilik ikon, khususnya dalam kaitannya dengan
arah ketinggian kebercahayaan, berbeda dengan barzakh yang muncul dari
modalitas rasa butuh yang rendah, sehingga cahaya ini muncul dan terjadi
jika barzakh membuka diri untuk diatur cahaya ini.
Cahaya pengatur dan cahaya pemaksa adalah esensi yang berperan penting
dalam proses barzakh-barzakh, cahaya pemaksa adalah cahaya dominasi,
cahaya ini takkan pernah berubah, karena pancarannya tetap dan bergantung
pada pancaran Cahaya Maha Cahaya. Tetapi cahaya pengatur adalah cahaya
“cinta" yang dari pancarannya substansi-substansi beragam barzakh timbul
dan bergerak. Itu sebabnya, cahaya pengatur dan substansi gelap merupakan
esensi yang saling membutuhkan, cahaya dan kegelapan dikatakan
Suhrawardi bukan hubungan pertentangan, tetapi hubungan eksistensi dan
non eksistensi. Menegaskan cahaya, niscaya menerima peniadaannya sebagai
kenyataan yaitu kegelapan yang harus diteranginya agar ia menjadi dirinya
sendiri.
Keterikatannya (cahaya pengatur) dengan barzakh atau materi menurut
Suhrawardi bukan karena kebutuhannya terhadap eksternal dirinya agar ia
dapat mengindera, tetapi kebersatuannya disebabkan oleh sifat dari dirinya
(watak). Kebersatuan itu menjadi kondisi permanen, yang cahaya pengatur
menjadi inti dari penampakan tersebut, menjadi cahaya bagi dirinya dan
secara otomatis berubah menjadi cahaya murni. Watak pengenalan atas
objek-objek lain kemudian mengikuti diri keterikatan ini, dan tindakan untuk
mengenal bersifat aksidental dalam dirinya.
Substansi gelap memiliki substansialitas yang rasional dan kegelapan yang
non-eksisten, sehingga ia tidak bereksistensi secara mental, melainkan hanya
secara riil bersama sifat-sifat spesifiknya. Dan Cahaya Pengatur
memanifestasikan substansi gelap, menjadikan substansi gelap tampak dan
hidup. Tetapi karena Cahaya Pengatur ada karena keberadaan Cahaya
Pemaksa dan Cahaya Pemaksa ada karena pancaran Cahaya Maha Cahaya,
barzakh pun bersifat yang sama, berada dalam dominasi dan cinta.
Dominasinya bergantung dari pancaran Cahaya Pemaksa tetapi cintanya
bergantung pada relasi antara dirinya sebagai substansi gelap dengan cahaya
pengatur. Jika substansi gelap ini mendominasi hubungannya dengan cahaya
dan mengurangi cinta Cahaya Pengatur maka esensi cahaya yang diterima
substansi gelap semakin meredup, sebaliknya jika cinta Cahaya Pengatur ini
tertata dengan baik, maka substansi gelap ini akan dapat mencapai
penyaksian Cahaya Maha Cahaya (ma’rifah).
Relativitas Cahaya Pengatur dan substansi gelap dan gerakan “dominasi dan
cinta"-nya ini menghasilkan kompleksitas cahaya, menghasilkan radiasi,
pantulan-pantulan dan bayang-bayang. Substansi gelap yang menjadi hijab
dalam gradasi cahaya Abstrak menghasilkan bintang-bintang barzakh yang
menerima cahaya di antara dominasi cahaya di atas dengan cahaya di
bawahnya. Dan substansi-substansi gelap yang tidak bercahaya yang tidak
menerima sinar yang memancar tetapi juga memiliki hubungan dominasi
dengan cahaya adalah unsur- unsur eter yang menghindar dari kerusakan
yang mempengaruhi sinar csahaya pemaksa dan mengikat pada cahaya
pengatur, dan substansi gelap lainnya yang memiliki hubungan cinta, adalah
unsur eter yang tunduk dan merindu pada segenap sinar Cahaya Maha
Cahaya.
Penjelasan di atas menunjukkan kompleksitas cahaya, radiasi radiasinya,
pantulannya bahkan bayang-bayangnya sekalipun Kompleksitas cahaya ini
menunjukkan bahwa setiap kausa kebercahayaan selalu memiliki cinta dan
dominasi dalam relasinya dengan objek kausa. Sedangkan objek kausa
memiliki rasa cinta yang membuatnya hina di hadapan kausa kebercahayaan.
Itulah mengapa eksistensi kosmik didasarkan pada hierarki kebercahayaan
dan kegelapan, cinta dan dominasi, keagungan yang secara tetap
mendominasi, dikaitkan dengan kehinaan yang tetap mencinta Cahaya
Tinggi. Semua berjalin-kelindan secara biner. Seperti firmanNya: “Dan Kami
ciptakan segala sesuatu saling berpasangan, agar kalian selalu ingat (tanda
kebesaran-Nya) -Q.S. 51:49-
Dari penjelasan pancaran ini, Suhrawardi berhasil mengkritik kaum
peripatetis yang menyatakan pengetahuan Tuhan adalah esensiNya atau
penolakan sifat-sifat Tuhan seperti yang digaungkan para mu’tazili.
Pengetahuan Tuhan, adalah sesuatu yang mutlak terjadi, karena segala
sesuatu bersumber dariNya, sehingga Tuhan mengetahui segala yang terjadi
di alam ini. Namun, pengetahuan ini tidak berarti Tuhan adalah otoritatif
segala gerak, segala ketentuan seperti yang disampaikan jabariah. Tuhan
mengetahui dengan dominasinya, dan makhluk-makhluknya bergerak, dan
diizinkan mengelaborasi diri karena “cinta", karena kebutuhan terhadap
dominasi Tertinggi.
Untuk memahami cara kerja cahaya ini dengan sempurna, setiap kita
diharapkan mampu memahami bagaimana cahaya muncul memancar,
beradiasi dan substansi gelap. Sulit memahami seluruh kerja yang
dideskripsikan Suhrawardi jika kita tidak memahami benar prosedur-
prosedur cahaya ini. Sedikit mengulas sebelum kemudian kita membahas ruh
dan raga sebagai subjek terpenting di muka bumi ini, mari kita fahami kinerja
cahaya abstrak dan cahaya aksidental, dua cahaya inilah fokus yang
kemudian memunculkan beragam energi, dan barzakh-barzakh. Cahaya
abstrak adalah cahaya yang dalam kosmologi illuminasionis adalah cahaya
yang memancar langsung dari Cahaya Maha Cahaya secara berurutan, cahaya
ini melalui partikel-partikelnya bersifat memaksa dan mengatur. Memaksa
karena dia hendak mendominasi dan mengatur karena cinta. Dan gelap adalah
sebuah keharusan yang terjadi, karena hijab antara satu cahaya dengan
cahaya di bawahnya adalah substansi gelap atau barzakh. Barzakh-barzakh
ini pun beremanasi sebagaimana cahaya, keberadaannya ada bersama dengan
cahaya, dan cahaya pun beremanasi karena ada substansi gelap.
Maka, emanasi terjadi pula pada barzakh-barzakh dan karena barzakh adalah
sesuatu yang bergantung pada esensi lainnya maka emanasi barzakh ini
memunculkan objek-objek temporal (baharu). Ini disebabkan karena
keabadian barzakh adalah ketergantungannya pada esensi lain di luar dirinya,
artinya barzakh disebut abadi jika ia tetap bergantung pada cahaya-cahaya
abstrak, dan jika kebergantungan itu terlewati, barzakh menjadi temporal.
Keabadian barzakh sangat bergantung pada esensi cahaya pengatur, yang
menetapkan “gerak-gerak" kosmik mereka. Gerakan ini dideskripsikan
Suhrawardi dengan gerakan sirkular, atau gerak peredaran. Matahari, bulan
dan planet-planet abadi karena gerakan peredaran mereka. Gerakan peredaran
memungkinkan subjek-subjek ini abadi, karena gerakan peredaran adalah
gerakan tanpa ujung, sebuah gerakan yang berulang-ulang. Tetapi gerak
peredaran ini terus menerus mengalami pembaruan diantara dominasi dan
cinta sehingga barzakh pun memiliki kehendak mandiri, kehendak untuk
menjalankan cintanya atau menerima dominasi. Kehendak-kehendak ini
dibahasakan oleh Syahrazuri dengan gerakan-gerakan terpaksa barzakh.
Gerakan- gerakan terpaksa ini lah yang kemudian memunculkan barzakh-
barzakh temporal, ini dikarenakan barzakh-barzakh terlepas dari gerakan
terstrukstur.
Itu sebabnya gerakan-gerakan kosmik kita sangat variatif, beberapa berada
dalam gerakan yang tetap, beberapa gerakan lainnya lurus dan berubah-ubah.
Gerakan-gerakan dengan segenap variasi dan multiplisitasnya harus difahami
dalam kerangka relasi-relasi sinar dan cahaya pada subjek-subjek merindu,
sampai gilirannya seluruh perputaran kosmik berlangsung di atas relasi-relasi
kebercahayaan cahaya Pemaksa yang memungkinkan untuk saling
menyerupai, bersenyawa dan begitulah setiap kosmik bermula, berubah dan
berakhir.
Persenyawaan paling sempurna dimiliki oleh manusia; karena ia menerima
kesempurnaan dari Cahaya Pemberi Kesempurnaan (Nur al-Anwar). Cahaya
pemaksa seperti anda ketahui, mustahil berubah, karena perubahan mereka
berarti perubahan pada esensi aktif, yaitu Cahaya Maha Cahaya dan ini
mustahil. Perubahan hanya terjadi pada sebagian subjek penerima (barzakh),
karena subjek ini mampu melakukan perubahan dan pembaharuan diri -
sebagai bagian dari relasi “cinta”-. Di antara sebagian Cahaya Pemaksa
adalah pemilik teurgi “genus” yang berfikir; yaitu Jibril, pemuka alam
malakut yang mendominasi, dan keutamaan untuk persenyawaan paling
sempurna, sebuah Cahaya Abstrak; cahaya yang mewahyukan (ruh) untuk
ubun-ubun manusia, Cahaya Pengatur yang menjadi isfahbad bagi realitas
nasut, esensi yang menunjuk dirinya dengan “Keakuan".
Raga adalah ikon bagi Cahaya Pengatur, dan Cahaya Pengatur tidak
beroperasi dalam barzakh tanpa perantara korespondensi atau keterkaitan
relasi tertentu, yaitu antara ia dan substansi halus yang disebut para filusuf
dengan “ruh”. Ruh bersumber dari arah sekitar hati, karena di sana terdapat
sesuatu yang menyerupai barzakh-barzakh langit dalam hal keseimbangan
dan keterhindarannya dari kontradiksi. Di dalamnya pula, terdapat sifat
eklektik (moderat) yang memanifestasikan bentuk imajiner-arketipnya
{misal). Setiap sesuatu yang eklektik dan jernih akan memperoleh bentuk ini
secara maksimal, dan unsur-unsur lainnya menjadi medan penampakan
baginya. Benda yang kasar dapat pula menerima cahaya, menyerap dan
memelihara bentuk-bentuk formal dan imajinernya. Ini sebagaimana halnya
sifat halus dan panas yang kesemuanya berkoresponden dengan cahaya. Ada
juga gerak yang berkorespondensi dengan Cahaya Aksidental. Jika tidak ada
sifat permanen pada benda- benda ini, mengingat ia cepat mengalami
keteruraian pada kadar kehalusan dan kepanasannya, maka ia dapat permanen
dengan “anugerah". Hal ini berlaku pada seluruh korespondensi cahaya.
Ruang angkasa tidak menerima sinar (karena ia hampa), tetapi
berkorespondensi dengan cahaya pada kadar panas dan kecepatannya
bergerak. Karena itu, ia menghadap ke arah dunia cahaya yang bersifat
barzakh dan abadi dalam gerak, mendekat dan merindukannya, la adalah
subjek kasar di bawah stratum cahaya; dan ia dapat menjaga posisinya. Di
titik inilah, ia berelasi dengan cahaya. Sedangkan subjek eklektik menjaga
cahaya dan memanifestasikan bentuk imajiner Cahaya Menyala dan
Penerima Cahaya, tetapi tidak berkorespondensi dengan cahaya dalam hal
suhu dingin dan sejenisnya.
Ruh ini memiliki sejumlah relasi, menguasai seluruh rongga tubuh,
membawa kekuatan-kekuatan bercahaya, dan memproses Cahaya Isfahbad
dalam tubuh, dengan perantara tubuh yang diilhami cahaya. Cahaya pemaksa
yang berasal dari Cahaya Melintas berbalik dari arah tubuh, karena adanya
ruh ini. Ruh yang berfungsi khusus untuk meraba dan bergerak naik ke atas
otak dan mengembang lurus, sembari menerima sapaan Intuisi, dan kembali
mengisi sekujur anggota tubuh. Karena terdapat korespondensi positif antara
kebahagiaan dan cahaya, maka setiap sesuatu yang timbul sebagai ruh
bercahaya selalu dalam keadaan bahagia. Karena korespondensi antara jiwa
dan cahaya inilah, jiwa-jiwa terhindar dari kegelapan dan terbentang setiap
kali menyaksikan cahaya. Seluruh binatang menghadap menuju Cahaya pada
saat tergelincir dalam kegelapan dan merindukannya. Dan pada Cahaya
Isfahbad, meskipun ia tidak bertempat atau memiliki modalitas, seluruh
kegelapan yang berada di raganya tunduk pada otoriitasnya.
Seperti emanasinya yang tak berbilang, Suhrawardi juga tidak membatasi
indera manusia hanya pada lima, atau menentukan indera batin manusia.
Semuanya menurut Suhrawardi tergantung pada pergerakan struktur-struktur
di dalamnya, karena jika ditetapkan dalam bilangan, kita sulit merasionalisasi
indera-indera ini dalam kondisi menyimpang, seperti ketika kita lupa, kita
celaka, atau segala sesuatu yang tidak sempurna seperti manusia lainnya. Itu
sebabnya semua bergantung dari Cahaya dan energi panasnya yang
menggerakkan dan bersemayam dalam raga.
Berdasarkan alasan ini, Suhrawardi menolak bentuk-bentuk khayalan yang
ditetapkan peripatetik dan menolak emanasi terbilang. Menolak pula waktu
dalam konteks bermula dan berakhir, waktu bersifat abadi, tanpa awal
maupun akhir. Sebab jika waktu mempunyai awal, maka haruslah didahului
baik oleh ketiadaan maupun oleh beberapa entitas lainnya. Dalam kedua
kasus itu, harus ada sebuah waktu yang mendahului permulaan waktu. Itu
sebabnya, Suhrawardi menekankan gerakan sirkular sebagai tartib ‘aqli
gerakan pancaran ini, karena gerakan ini menolak temporalisasi, berputar
dalam formatnya, berhubungan dengan dominasi dan cinta dan kegelapan-
kegelapan tidak terstruktur sajalah yang akan keluar dari gerakan sirkular ini
dan mati karena kehilangan cahaya dan energi panasnya.
Jangan bayangkan kebersatuan ini antara ruh dan tubuh adalah kesatuan fisik.
Kesatuan yang mengikat keduanya bersifat rasional, karena cahaya pengatur
memiliki keterkaitan dengan barzakh dan menjadikan raga sebagai
manifestasinya. Jangan bayangkan pula bahwa kemudian cahaya pengatur
bersemayam dalam barzakh, atau sebaliknya barzakh berada di dalam Cahaya
ini. Hubungan ini terbangun untuk mencapai penyaksian berdasarkan cinta
pada Cahaya Maha Cahaya. Disebabkan kebersatuan antara dua hal yang
berbeda, cahaya dan kegelapan (barzakh). Maka, manusia mesti menerapkan
prinsip-prinsip keseimbangan agar kesemuanya tidak mengakibatkan
munculnya sejumlah hal yang berlebih-lebihan, dan mengakibatkan satu
dengan yang lainnya menjadi tidak seimbang. Dan karena tubuh
membutuhkan makanan, pakaian, tempat tinggal dan hal-hal lainnya yang
bersifat menyenangkan, yang keseluruhannya pun bersifat materi -identik
dengan kegelapan- maka perlu dilakukan sebuah upaya purifikasi moral
secara internal dan eksternal. Sebab kesibukan kita yang semata-mata tertuju
pada indera-indera lahiriah-batiniah, birahi dan rasa amarah adalah
penghalang bagi ruh dan pencegah terjadinya kondisi yang menghasilkan
pengetahuan. Sebaliknya, sikap-sikap yang diupayakan pada penyucian dari
kegelapan, dan penyeimbangan, membuat pengetahuan berhasil
menghantarkan Cahaya Isfahbad mencapai ma’rifat, sebaliknya Cahaya-
cahaya Isfahbad lainnya yang terjebak dalam kegelapan atau yang tidak
menyucikan dirinya, akan bangkit kembali dengan raga-raga yang sesuai
dengan apa yang telah dilakukannya.
Kematian menurut Suhrawardi tidak mengakhiri kemajuan spiritual ruh
(jiwa). Jiwa-jiwa individual sesudah mati tidak disatukan menjadi satu jiwa,
tetapi terus berbeda satu sama lain sebanding dengan penerangan yang
diterima oleh mereka selama mereka bersama dengan organisme fisik.
Bilamana mesin materi yang digunakannya untuk maksud memperoleh
penerangan bertahap habis terpakai, kemungkinan jiwa mengambil tubuh lain
yang ditentukan oleh pengalaman-pengalaman hidup sebelumnya dan
semakin tinggi dalam berbagai lingkungan maujud, dengan menggunakan
bentuk-bentuk yang khusus bagi lingkungan-lingkungan tersebut, sampai ia
mencapai tujuannya, yaitu ketiadaan mutlak. Tetapi jiwa-jiwa ini tidak
bereinkarnasi dengan dunia yang sama, ada tempat lain, alam lain tempat ruh-
ruh yang telah berkaitan dengan raga dengan materi. Doktrin perpindahan
tidak dapat disangkal, karena Tuhan mengklaim perpindahan manusia dari
dunia ke akhirat dalam bentuk Neraka dan Surga. Semua jiwa dengan
demikian terus menerus berkelana menuju sumber bersama mereka, dan
kematian barzakh adalah disebabkan oleh kegagalan persenyawaannya,
karena dari sesuatu yang keabadiannya juga bergantung, temporalisasi adalah
realitasnya.
B. IBNU ‘ARABI
Abu 'Abdallah Muhammad ibn al-‘Arabi al-Tha’l al-Hatimi dan lebih dikenal
dengan Muhyi al-Din (pembangkit agama) ibn 'Arabi dan lebih populer
dengan Ibnu 'Arabi. Lahir di Murcia, Andalusia pada 17 Ramadhan 560 H/
28 Juli 1165 M dan meninggal di Damasskus pada 22 Rabi' al-Tsani 638
H/10 November 1240 M. Dikenal sebagai seorang penulis yang paling
berpengaruh tentang Sufisme dalam sejarah Islam, hingga dijuluki kaum sufi
sebagai al-Syaikh al-Akbar (Guru Teragung). Walaupun tidak dipandang
sebagai pendiri ordo sufi, pengaruhnya secara cepat meresap kepada murid-
muridnya dan sufi-sufi lain yang mengekspresikan ajarannya dalam term-
term intelektual dan filosofis. Dia mampu menggabungkan berbagai ajaran
esoterik yang ada di dunia Islam seperti Phytagorianisme, al-Kemia,
Astrologi, dan pandangan- pandangan yang berbeda dalam sufisme dalam
perpaduan yang dibentuk oleh al-Qur'an dan Sunnah Rasul.
Terlahir dari keluarga bangsawan, membuatnya mudah sekali menuntut ilmu
di berbagai bidang keilmuan. Konon, ayahnya adalah seorang pejabat
pemerintah dan salah satu iparnya, Yahya ibn Yushan adalah penguasa kota
Tlemcen di Algeria. Fakta lainnya yang sangat menarik adalah bahwa salah
seorang pamannya, meninggalkan jabatan- jabatan dunia dan memilih
menjadi seorang eskatis (wara) atau sufi. Sikap ini pula yang menginspirasi
Ibnu ‘Arabi untuk menjadi seorang penulis tentang sufi dan menjadi sufi itu
sendiri.