Anda di halaman 1dari 1

Masuk ke dalam masjid, kita akan melihat tiang berjumlah berjumlah 25 buah.

[Bagian ini dikutip dari Republika: Menurut Pengurus Masjid Bingkudu, Arman (51),
kayu-kayu yang pada tiang didatangkan dari hutan di kawasan Tabek Patah, Tanah
Datar. Dari Tabek Patah, digotong bersama-sama menuju Canduang. Agar kuat dan awet
dalam jangka waktu lama, kayu buat tiang masjid ini direndam di dalam air selama
berbulan-bulan. Barulah kemudian proses pembangunan dilakukan secara bersama-sama.]

Dari semua tiang, terdapat satu tiang utama di tengah yang disebut tunggak macu.
Tiang ini berada berbentuk segi enam dengan diameter 75 cm.

Tiang utama ini memiliki keunikan. Di atasnya, terdapat ornamen berbentuk daun-
daun. Keberadaan ornamen ini membuat tiang tersebut seolah tangkai dengan daun yang
berjuntai di atasnya.

Tidak hanya pada tiang utama, ornamen juga terdapat pada tiang-tiang yang melintang
di langit-langit masjid.

Ornamen tersebut menampilkan beragam motif tradisional Minangkabau, seperti aka


Cino, kaluak paku, dan itik pulang patang. Warnanya dominan kuning kemasan. Kontras
dengan warna biru pada cat masjid.

Pada sejumlah tiang, terpasang lampu dinding kuno. Di antara tiang-tiang, terdapat
lampu gantung yang juga kuno.

Modelnya cukup antik. Konon lampu dinding dan lampu kuno di sini didatangkan dari
Eropa.

Melangkah ke bagian mihrab atau tempat imam, terdapat 2 mimbar berwarna kecoklatan.
Sekilas, keduanya tampak sama. Namun, satu mimbar yang lebih kecil sebenarnya
disebut maksura, yakni tempat salat khusus imam atau khatib.

Terbuat dari kayu yang, mihrab dan maksura dipahat sedemikian rupa sehingga
membentuk beragam pola ukiran. Usianya sudah seratus tahun lebih. Tahun
pembuatannya dapat diketahui dari pahatan angka "1316 H" atau bertepatan dengan
tahun 1906 M.

Jika kita perhatikan lebih dekat, terdapat ukiran yang tidak lazim pada mihrab dan
maksura. Yakni ukiran mahkota. Konon, bentuk tersebut terinspirasi mahkota yang
dipakai oleh raja-raja di Eropa.

Anda mungkin juga menyukai