Wikipedia DPD
Wikipedia DPD
Periode 2019-2024
Jenis
Pimpinan
Anggota 136
Pemilihan
Pemilihan terakhir 17 April 2019
Pemilihan 2024
berikutnya
Tempat bersidang
Kompleks Parlemen
Jakarta
Indonesia
Alokasi APBN
Sejarah
Dewan Perwakilan Daerah merupakan bentuk perwujudan lembaga perwakilan daerah di Indonesia.
Lembaga perwakilan daerah, atau biasa disebut majelis tinggi (upper house) secara internasional,
telah ada sejak lama di Indonesia. Sebelum DPD dibentuk, telah terdapat lembaga Senat RIS, yang
mewakili 16 negara bagian RIS. Pada saat yang bersamaan, di Negara Indonesia Timur, terdapat
pula Senat Sementara NIT yang mewakili 13 provinsi dalam NIT. Setelah RIS dan NIT dibubarkan,
Senat pun ditiadakan, sehingga tidak ada lagi majelis tinggi/lembaga yang merepresentasikan
kepentingan daerah di Indonesia. Kemudian, pada tahun 1959, setelah diberlakukannya dekrit
presiden dan kembalinya Indonesia pada UUD 1945, Presiden Soekarno membentuk lembaga
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang didalamnya terdapat kelompok Utusan Daerah.
Kelompok ini terdiri dari wakil-wakil provinsi yang dipilih oleh DPRD Provinsi. Kelompok Utusan
Daerah akan tetap bertahan hingga tahun 2004, hingga digantikan oleh DPD.
Senat RIS (1950)
Senat Republik Indonesia Serikat merupakan majelis tinggi yang terdapat pada sistem parlemen
Republik Indonesia Serikat. Senat RIS dibentuk pada tanggal 15 Februari 1950 dengan dasar hukum
Konstitusi RIS. Senat RIS terdiri dari 32 anggota, dengan 2 anggota yang mewakili tiap negara bagian
RIS. Anggota senat ditunjuk oleh tiap negara bagian dalam RIS. Calon-calon anggota senat dari tiap
negara bagian diajukan oleh parlemen dari negara bagian yang bersangkutan (Pasal 81 Konstitusi
RIS). Calon diterima sebagai anggota senat apabila surat-surat kepercayaannya dari negara bagian
yang bersangkutan telah diverifikasi (Pasal 7 Tata Tertib Senat RIS).
Sidang pertama Senat RIS dilaksanakan pada tanggal 17 Februari 1950. Sidang ini dilaksanakan
untuk membahas mengenai posisi ketua dan wakil ketua Senat RIS. Sidang ini berhasil memilih
Pellaupessy (NIT) sebagai Ketua dan Teuku Mohammad Hasan sebagai Wakil Ketua.[3]
Tata Tertib Senat RIS, yang dibuat dan disahkan oleh Panitia Tata Tertib Senat RIS pada tanggal 22
Februari 1950, berisi mengenai pemeriksaan surat-surat kepercayaan, pemeriksaan persiapan, usul
dan saran kepada Senat. Berdasarkan tata tertib tersebut, terdapat lima badan khusus yang berfungsi
untuk membantu Senat dalam melaksanakan tugas-tugasnya: Panitia Pemeriksa Surat-Surat
Kepercayaan, Panitia Permusyawaratan, Panitia Rumah Tangga, Panitia Permohonan, dan Majelis
Persiapan.[4]
Selama masa hidupnya yang singkat (15 Februari 1950 − 16 Agustus 1950), hanya ada satu dari 7
undang-undang federal dan 30 undang-undang darurat yang disahkan pemerintah dengan
persetujuan Senat RIS, yakni UU No.7 Tahun 1950 mengenai perubahan UUD RIS menjadi UUD
Sementara. Adapun dari 30 undang-undang darurat, terdapat 12 undang-undang darurat yang
disahkan dengan mendengarkan pertimbangan dari Senat RIS.[5]
Senat Sementara Negara Indonesia Timur
Senat Sementara Negara Indonesia Timur (NIT) merupakan majelis tinggi yang terdapat pada
parlemen NIT. Senat Sementara dibentuk dengan dasar hukum UUD Sementara NIT dan UU Senat
Sementara NIT tahun 1948. Senat ini terdiri dari 13 anggota, dengan tiap anggota mewakili 13
wilayah yang terdapat di Indonesia Timur. Anggota Senat Sementara NIT dilantik pada tanggal 28
Mei 1949 oleh Presiden NIT, Soekawati.[6]
Berdasarkan undang-undang ini, Senat Sementara NIT memiliki kewenangan untuk mengesahkan
rancangan UUD yang diajukan oleh Badan Perwakilan Sementara (setingkat DPR) di NIT. Setelah
UUD disahkan, UUD akan diberlakukan, kemudian senat sementara akan dibubarkan dan digantikan
oleh Senat yang bersifat tetap. Senat yang tetap ini akan diberikan wewenang yang lebih luas
dibandingkan dengan Senat Sementara.[6]
Pada pelaksanaannya, rancangan UUD tidak pernah disahkan, dikarenakan NIT yang bubar sekitar
1½ tahun setelah pembentukan senat sementara. Senat yang tetap tidak pernah terbentuk, sehingga
tugas-tugas pokok dan fungsi majelis tinggi dalam Parlemen NIT hanya bersifat de jure saja.[6]
Fraksi Utusan Daerah (F-UD) di Majelis Permusyawaratan Rakyat
Setelah pembubaran Senat RIS, maka secara praktis tidak ada lagi organisasi/fraksi yang mewakili
kepentingan daerah di dalam parlemen Indonesia, kecuali fraksi Kesatuan yang mewakili Papua.
Kepentingan daerah baru kembali terakomodasi melalui fraksi Utusan Daerah dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara yang dibentuk melalui Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
dan anggotanya dilantik pada tanggal 15 September 1960. Susunan MPRS — sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 12 tahun 1959 — terdiri atas anggota DPR Gotong Royong
(DPR-GR), utusan daerah, dan golongan karya (Pasal 1).
Komposisi keanggotaan tiap provinsi dalam fraksi Utusan Daerah (F-UD) diambil berdasarkan jumlah
penduduk dari tiap provinsi. Untuk provinsi yang berpenduduk lebih dari 3 juta akan memperoleh 5
orang wakil dalam F-UD, untuk provinsi yang memiliki penduduk antara 1 sampai 3 juta orang akan
memperoleh 4 orang wakil dalam F-UD, sedangkan untuk provinsi yang memiliki penduduk kurang
dari 1 juta orang akan memperoleh 3 orang wakil dalam F-UD (Pasal 2 Penjelasan Perpres). Calon
wakil untuk F-UD dicalonkan oleh DPRD provinsi yang bersangkutan, dengan jumlah calon maksimal
dua kali jatah yang telah ditetapkan oleh Perpres. Presiden kemudian akan memilih wakil untuk F-UD
dari tiap provinsi.[7]
Dari peraturan tersebut maka diperoleh jumlah keseluruhan anggota F-UD sebanyak 94 orang
anggota. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingan dengan golongan karya yang memiliki 200 orang
anggota, ataupun DPR-GR yang memiliki 257 orang anggota.[8]
Setelah Soekarno digantikan oleh Soeharto, undang-undang baru dibuat untuk mengubah susunan
parlemen Indonesia. Susunan MPR yang sebelumnya ditetapkan oleh Perpres No. 12 Tahun 1959
digantikan oleh UU No. 16 Tahun 1969. Berdasarkan UU ini, jumlah anggota F-UD memperoleh
kenaikan dari 94 menjadi 110 anggota. Penambahan anggota ini diakibatkan oleh peningkatan jumlah
wakil-wakil dari setiap provinsi (Pasal 8 Ayat 1), dan penunjukan gubernur (Pasal 8 Ayat 2),
Panglima Kodam, dan Komandan Korem (Keppres No. 83/M Tahun 1972), sebagai anggota ex
officio dari F-UD. Akibatnya, jumlah anggota utusan daerah meningkat lagi menjadi 130 orang pada
MPR periode 1972-1977, dan pada periode-periode selanjutnya tidak ada peningkatan yang
signifikan dalam jumlah anggota.[9]
Pada praktiknya, utusan daerah selama masa Soekarno dan Soeharto tidak banyak memainkan
peranan penting dalam menyalurkan aspirasi daerah. Hal ini dikarenakan pemilihannya oleh DPRD
yang bersangkutan, sehingga lebih didominasi oleh para pejabat setempat. Selain itu, dipilihnya
anggota F-UD oleh presiden membuat F-UD (dan MPR secara keseluruhan) hanya sebagai rubber-
stamp parliament, dimana tugas dan fungsinya secara de facto hanyalah menyetujui segala
keputusan presiden, baik secara formal maupun informal. Kelemahan lainnya adalah bahwa tidak ada
keharusan bagi anggota F-UD untuk berasal dari atau bertempat tinggal di daerah yang diwakilinya.
Hanya ada peraturan mengenai usia (maksimal 21 tahun), kewarganegaraan, dan tidak
terlibat G30S/PKI, serta syarat normatif lainnya bagi anggota F-UD.[10]
Reformasi yang menggulingkan Presiden Soeharto membawa dampak besar bagi lembaga legislatif,
tidak terkecuali bagi F-UD. Pada MPR periode 1999-2004, jumlah anggota F-UD dipotong menjadi
130 anggota[11] dari jumlah pada MPR periode 1997-1999 sebanyak 149 anggota.[12] Berbeda dengan
periode sebelumnya, dimana jumlah anggota F-UD dari setiap provinsi disesuaikan dengan jumlah
penduduknya, jumlah wakil F-UD dari setiap provinsi disamaratakan sebanyak 5 orang. Meskipun
sistem keanggotaan ini sudah mulai menyerupai DPD seperti sekarang, menurut peraturan Tatib
MPR, fraksi-fraksi dalam MPR hanya dibagi berdasarkan parpol, TNI/Polri, dan utusan golongan. F-
UD dibubarkan dan anggota F-UD masuk ke dalam fraksi parpol menurut partai asal yang
mencalonkan mereka dalam pemilihan di DPRD Provinsi.[13]
Hal ini mengakibatkan F-UD tidak lain hanyalah wakil partai politik dalam parlemen, bukan
merupakan wakil daerah. Para anggota F-UD yang tidak setuju dengan keputusan ini kemudian
membuat secara informal Forum Utusan Daerah,[14] dan fraksi Utusan Daerah kembali disahkan
sebagai kelompok dalam MPR pada Sidang Tahunan MPR pada tanggal 1-9 November 2001.[15]
Meskipun begitu, tidak semua anggota MPR dari utusan daerah kembali masuk ke dalam fraksi ini.
Dari 130 anggota utusan daerah di MPR, hanya 55 yang kembali masuk ke dalam F-UD. Sisanya
tetap bertahan di fraksi partai masing-masing.[16]
Persyaratan anggota
Syarat Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia menurut UU No 7 tahun 2017 tentang
Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagai berikut:
Fungsi
Berdasarkan Pasal 248 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, fungsi DPD
adalah:
Pimpinan
Pimpinan Sementara
Sebelum pimpinan tetap dilantik, DPD mengangkat pimpinan sementara untuk memimpin sidang
paripurna DPD dan pemilihan ketua dan wakil ketua DPD. Pimpinan sementara terdiri dari ketua dan
wakil ketua sementara DPD, dimana ketua sementara merupakan anggota DPD tertua, sedangkan
wakil ketua sementara merupakan anggota DPD termuda.
Jika anggota tertua atau termuda berhalangan untuk hadir, maka posisi tersebut bisa digantikan oleh
anggota tertua atau termuda berikutnya.
Pimpinan Tetap
Pimpinan tetap DPD terdiri dari seorang ketua dan beberapa wakil ketua.
Anggota
Lihat pula: Daftar anggota Dewan Perwakilan Daerah 2019–2024
Lihat pula: Daftar anggota Dewan Perwakilan Daerah 2014–2019
Lihat pula: Daftar anggota Dewan Perwakilan Daerah 2009–2014
Lihat pula: Daftar anggota Dewan Perwakilan Daerah 2004–2009
Kekebalan hukum
Anggota DPD tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat
yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPD, sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik masing-masing lembaga. Ketentuan
tersebut tidak berlaku jika anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati
dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal mengenai pengumuman rahasia negara.
Alat kelengkapan
Alat kelengkapan DPD terdiri atas: Komite, Badan Kehormatan dan Panitia-panitia lain yang
diperlukan.
Komite I
1. Tugas
Komite I DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup
tugas pada otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; serta pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah.[22]
Lingkup tugas Komite I sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah
dan masyarakat, sebagai berikut:[22]
Pemerintah daerah;
Hubungan pusat dan daerah serta antar daerah;
Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
Pemukiman dan kependudukan;
Pertanahan dan tata ruang;
Politik, hukum, HAM dan ketertiban umum; dan
Permasalahan daerah di wilayah perbatasan negara.
2. Pimpinan
Pimpinan Komite I periode 2014 - 2019 [23]
Pendidikan;
Agama;
Kebudayaan;
Kesehatan;
Pariwisata;
Pemuda dan olahraga;
Kesejahteraan sosial;
Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
Ekonomi Kreatif;
Administrasi Kependudukan/Pencatatan Sipil;
Pengendalian Kependudukan/Keluarga Berencana; dan
Perpustakaan.
6. Pimpinan
Pimpinan Komite III periode 2014 - 2019:[23]
Ketua: Mohammad Saleh (Bengkulu)
Wakil: Emilia Contessa (Jawa Timur) dan Maya Rumantir (Sulawesi Utara)
Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan
18. Tugas
Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah(BPKK DPD) bertugas
antara lain mengkaji sistem ketatanegaraan guna mewajudkan lembaga perwakilan daerah yang
mengejawantahkan nilai demokrasi. Dalam melaksanakan tugasnya, Kelompok DPD dibantu
anggota/pimpinan BPKK DPD.[23]
19. Pimpinan
Pimpinan Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan periode 2014 - 2019:[23]
1. Merancang dan menetapkan jadwal acara serta kegiatan DPD, termasuk sidang dan
rapat, untuk:
o 1 (satu) tahun sidang;
o 1 (satu) masa persidangan; dan
o sebagian dari suatu masa sidang.
2. Merancang rencana kerja lima tahunan sebagai program dan arah kebijakan DPD
selama 1 (satu) masa keanggotaan;
3. Rencana kerja lima tahunan sebagai program dan arah kebijakan DPD selama 1
(satu) masa keanggotaan dapat direvisi setiap tahun;
4. Menyusun rencana kerja tahunan sebagai penjabaran dari rencana kerja lima
tahunan;
5. Merancang dan menetapkan perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah;
6. Merancang dan menetapkan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang,
dengan tidak mengurangi hak sidang Paripurna untuk mengubahnya;
7. Memberikan pendapat kepada pimpinan dalam penanganan masalah menyangkut
pelaksanaan tugas dan wewenang DPD;
8. Meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPD yang lain
untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai hal yang menyangkut
pelaksanaan tugas setiap alat kelengkapan tersebut
9. Menentukan penanganan terhadap pelaksanaan tugas DPD oleh alat kelengkapan
DPD;
10. Membahas dan menentukan mekanisme kerja antar alat kelengkapan yang tidak
diatur dalam Tata Tertib; dan
11. Merumuskan agenda kegiatan Anggota di daerah.
Selain tugas sebagaimana dimaksud di atas, Panitia Musyawarah mempunyai tugas menyusun
rencana kegiatan untuk disampaikan kepada Panitia Urusan Rumah Tangga dalam penentuan
dukungan anggaran.
Sekretariat Jenderal
Artikel utama: Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPD, dibentuk Sekretariat Jenderal DPD yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dan personelnya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil.
Sekretariat Jenderal DPD dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan
dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPD.