Anda di halaman 1dari 11

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Dewan Perwakilan Daerah


Republik Indonesia

Periode 2019-2024

Jenis

Jenis Majelis Tinggi

Pimpinan

Ketua La Nyalla Mattalitti (utusan Jawa Timur)


sejak 2 Oktober 2019

Wakil Ketua Nono Sampono (utusan Maluku)


sejak 2 Oktober 2019

Wakil Ketua Mahyudin (utusan Kalimantan Timur)


sejak 2 Oktober 2019

Wakil Ketua Sultan Bachtiar Najamudin (utusan Bengkulu)


sejak 2 Oktober 2019

Anggota 136

Pemilihan
Pemilihan terakhir 17 April 2019

Pemilihan 2024
berikutnya

Tempat bersidang

Kompleks Parlemen
Jakarta
Indonesia

Alokasi APBN

Rp1.138,9 miliar (APBN-P 2015)[1]

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (disingkat DPD RI atau DPD), sebelum 2004


disebut Utusan Daerah, adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
anggotanya merupakan perwakilan dari setiap provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. Adapun,
anggota DPD RI biasa disebut senator.

Sejarah
Dewan Perwakilan Daerah merupakan bentuk perwujudan lembaga perwakilan daerah di Indonesia.
Lembaga perwakilan daerah, atau biasa disebut majelis tinggi (upper house) secara internasional,
telah ada sejak lama di Indonesia. Sebelum DPD dibentuk, telah terdapat lembaga Senat RIS, yang
mewakili 16 negara bagian RIS. Pada saat yang bersamaan, di Negara Indonesia Timur, terdapat
pula Senat Sementara NIT yang mewakili 13 provinsi dalam NIT. Setelah RIS dan NIT dibubarkan,
Senat pun ditiadakan, sehingga tidak ada lagi majelis tinggi/lembaga yang merepresentasikan
kepentingan daerah di Indonesia. Kemudian, pada tahun 1959, setelah diberlakukannya dekrit
presiden dan kembalinya Indonesia pada UUD 1945, Presiden Soekarno membentuk lembaga
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang didalamnya terdapat kelompok Utusan Daerah.
Kelompok ini terdiri dari wakil-wakil provinsi yang dipilih oleh DPRD Provinsi. Kelompok Utusan
Daerah akan tetap bertahan hingga tahun 2004, hingga digantikan oleh DPD.
Senat RIS (1950)
Senat Republik Indonesia Serikat merupakan majelis tinggi yang terdapat pada sistem parlemen
Republik Indonesia Serikat. Senat RIS dibentuk pada tanggal 15 Februari 1950 dengan dasar hukum
Konstitusi RIS. Senat RIS terdiri dari 32 anggota, dengan 2 anggota yang mewakili tiap negara bagian
RIS. Anggota senat ditunjuk oleh tiap negara bagian dalam RIS. Calon-calon anggota senat dari tiap
negara bagian diajukan oleh parlemen dari negara bagian yang bersangkutan (Pasal 81 Konstitusi
RIS). Calon diterima sebagai anggota senat apabila surat-surat kepercayaannya dari negara bagian
yang bersangkutan telah diverifikasi (Pasal 7 Tata Tertib Senat RIS).
Sidang pertama Senat RIS dilaksanakan pada tanggal 17 Februari 1950. Sidang ini dilaksanakan
untuk membahas mengenai posisi ketua dan wakil ketua Senat RIS. Sidang ini berhasil memilih
Pellaupessy (NIT) sebagai Ketua dan Teuku Mohammad Hasan sebagai Wakil Ketua.[3]
Tata Tertib Senat RIS, yang dibuat dan disahkan oleh Panitia Tata Tertib Senat RIS pada tanggal 22
Februari 1950, berisi mengenai pemeriksaan surat-surat kepercayaan, pemeriksaan persiapan, usul
dan saran kepada Senat. Berdasarkan tata tertib tersebut, terdapat lima badan khusus yang berfungsi
untuk membantu Senat dalam melaksanakan tugas-tugasnya: Panitia Pemeriksa Surat-Surat
Kepercayaan, Panitia Permusyawaratan, Panitia Rumah Tangga, Panitia Permohonan, dan Majelis
Persiapan.[4]
Selama masa hidupnya yang singkat (15 Februari 1950 − 16 Agustus 1950), hanya ada satu dari 7
undang-undang federal dan 30 undang-undang darurat yang disahkan pemerintah dengan
persetujuan Senat RIS, yakni UU No.7 Tahun 1950 mengenai perubahan UUD RIS menjadi UUD
Sementara. Adapun dari 30 undang-undang darurat, terdapat 12 undang-undang darurat yang
disahkan dengan mendengarkan pertimbangan dari Senat RIS.[5]
Senat Sementara Negara Indonesia Timur
Senat Sementara Negara Indonesia Timur (NIT) merupakan majelis tinggi yang terdapat pada
parlemen NIT. Senat Sementara dibentuk dengan dasar hukum UUD Sementara NIT dan UU Senat
Sementara NIT tahun 1948. Senat ini terdiri dari 13 anggota, dengan tiap anggota mewakili 13
wilayah yang terdapat di Indonesia Timur. Anggota Senat Sementara NIT dilantik pada tanggal 28
Mei 1949 oleh Presiden NIT, Soekawati.[6]
Berdasarkan undang-undang ini, Senat Sementara NIT memiliki kewenangan untuk mengesahkan
rancangan UUD yang diajukan oleh Badan Perwakilan Sementara (setingkat DPR) di NIT. Setelah
UUD disahkan, UUD akan diberlakukan, kemudian senat sementara akan dibubarkan dan digantikan
oleh Senat yang bersifat tetap. Senat yang tetap ini akan diberikan wewenang yang lebih luas
dibandingkan dengan Senat Sementara.[6]
Pada pelaksanaannya, rancangan UUD tidak pernah disahkan, dikarenakan NIT yang bubar sekitar
1½ tahun setelah pembentukan senat sementara. Senat yang tetap tidak pernah terbentuk, sehingga
tugas-tugas pokok dan fungsi majelis tinggi dalam Parlemen NIT hanya bersifat de jure saja.[6]
Fraksi Utusan Daerah (F-UD) di Majelis Permusyawaratan Rakyat
Setelah pembubaran Senat RIS, maka secara praktis tidak ada lagi organisasi/fraksi yang mewakili
kepentingan daerah di dalam parlemen Indonesia, kecuali fraksi Kesatuan yang mewakili Papua.
Kepentingan daerah baru kembali terakomodasi melalui fraksi Utusan Daerah dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara yang dibentuk melalui Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
dan anggotanya dilantik pada tanggal 15 September 1960. Susunan MPRS — sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 12 tahun 1959 — terdiri atas anggota DPR Gotong Royong
(DPR-GR), utusan daerah, dan golongan karya (Pasal 1).
Komposisi keanggotaan tiap provinsi dalam fraksi Utusan Daerah (F-UD) diambil berdasarkan jumlah
penduduk dari tiap provinsi. Untuk provinsi yang berpenduduk lebih dari 3 juta akan memperoleh 5
orang wakil dalam F-UD, untuk provinsi yang memiliki penduduk antara 1 sampai 3 juta orang akan
memperoleh 4 orang wakil dalam F-UD, sedangkan untuk provinsi yang memiliki penduduk kurang
dari 1 juta orang akan memperoleh 3 orang wakil dalam F-UD (Pasal 2 Penjelasan Perpres). Calon
wakil untuk F-UD dicalonkan oleh DPRD provinsi yang bersangkutan, dengan jumlah calon maksimal
dua kali jatah yang telah ditetapkan oleh Perpres. Presiden kemudian akan memilih wakil untuk F-UD
dari tiap provinsi.[7]
Dari peraturan tersebut maka diperoleh jumlah keseluruhan anggota F-UD sebanyak 94 orang
anggota. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingan dengan golongan karya yang memiliki 200 orang
anggota, ataupun DPR-GR yang memiliki 257 orang anggota.[8]
Setelah Soekarno digantikan oleh Soeharto, undang-undang baru dibuat untuk mengubah susunan
parlemen Indonesia. Susunan MPR yang sebelumnya ditetapkan oleh Perpres No. 12 Tahun 1959
digantikan oleh UU No. 16 Tahun 1969. Berdasarkan UU ini, jumlah anggota F-UD memperoleh
kenaikan dari 94 menjadi 110 anggota. Penambahan anggota ini diakibatkan oleh peningkatan jumlah
wakil-wakil dari setiap provinsi (Pasal 8 Ayat 1), dan penunjukan gubernur (Pasal 8 Ayat 2),
Panglima Kodam, dan Komandan Korem (Keppres No. 83/M Tahun 1972), sebagai anggota ex
officio dari F-UD. Akibatnya, jumlah anggota utusan daerah meningkat lagi menjadi 130 orang pada
MPR periode 1972-1977, dan pada periode-periode selanjutnya tidak ada peningkatan yang
signifikan dalam jumlah anggota.[9]
Pada praktiknya, utusan daerah selama masa Soekarno dan Soeharto tidak banyak memainkan
peranan penting dalam menyalurkan aspirasi daerah. Hal ini dikarenakan pemilihannya oleh DPRD
yang bersangkutan, sehingga lebih didominasi oleh para pejabat setempat. Selain itu, dipilihnya
anggota F-UD oleh presiden membuat F-UD (dan MPR secara keseluruhan) hanya sebagai rubber-
stamp parliament, dimana tugas dan fungsinya secara de facto hanyalah menyetujui segala
keputusan presiden, baik secara formal maupun informal. Kelemahan lainnya adalah bahwa tidak ada
keharusan bagi anggota F-UD untuk berasal dari atau bertempat tinggal di daerah yang diwakilinya.
Hanya ada peraturan mengenai usia (maksimal 21 tahun), kewarganegaraan, dan tidak
terlibat G30S/PKI, serta syarat normatif lainnya bagi anggota F-UD.[10]
Reformasi yang menggulingkan Presiden Soeharto membawa dampak besar bagi lembaga legislatif,
tidak terkecuali bagi F-UD. Pada MPR periode 1999-2004, jumlah anggota F-UD dipotong menjadi
130 anggota[11] dari jumlah pada MPR periode 1997-1999 sebanyak 149 anggota.[12] Berbeda dengan
periode sebelumnya, dimana jumlah anggota F-UD dari setiap provinsi disesuaikan dengan jumlah
penduduknya, jumlah wakil F-UD dari setiap provinsi disamaratakan sebanyak 5 orang. Meskipun
sistem keanggotaan ini sudah mulai menyerupai DPD seperti sekarang, menurut peraturan Tatib
MPR, fraksi-fraksi dalam MPR hanya dibagi berdasarkan parpol, TNI/Polri, dan utusan golongan. F-
UD dibubarkan dan anggota F-UD masuk ke dalam fraksi parpol menurut partai asal yang
mencalonkan mereka dalam pemilihan di DPRD Provinsi.[13]
Hal ini mengakibatkan F-UD tidak lain hanyalah wakil partai politik dalam parlemen, bukan
merupakan wakil daerah. Para anggota F-UD yang tidak setuju dengan keputusan ini kemudian
membuat secara informal Forum Utusan Daerah,[14] dan fraksi Utusan Daerah kembali disahkan
sebagai kelompok dalam MPR pada Sidang Tahunan MPR pada tanggal 1-9 November 2001.[15]
Meskipun begitu, tidak semua anggota MPR dari utusan daerah kembali masuk ke dalam fraksi ini.
Dari 130 anggota utusan daerah di MPR, hanya 55 yang kembali masuk ke dalam F-UD. Sisanya
tetap bertahan di fraksi partai masing-masing.[16]

Sebagai Dewan Perwakilan Daerah[sunting | sunting sumber]


Setelah reformasi bergulir, perubahan-perubahan dasar ketatanegaraan pun dilangsungkan. Dalam
kurun waktu 1999 hingga 2002, telah terjadi empat kali amandemen terhadap UUD 1945. Salah satu
bagian yang diamandemen adalah mengenai susunan lembaga legislatif di Indonesia. MPR yang
sebelumnya bersifat unikameral, berubah menjadi bikameral dengan keberadaan DPD.[17]
Tidak seperti F-UD, DPD dipilih langsung oleh masyarakat sehingga DPD bersifat lebih demokratis
dalam mewakili aspirasi daerah dibandingkan dengan F-UD. Selain itu, posisi ex officio di dalam DPD
pun dihapuskan, sehingga anggota DPD dipilih oleh rakyat secara keseluruhan. Yang terakhir,
anggota DPD diharuskan untuk bersikap independen dalam mewakili aspirasi daerahnya, tidak
seperti F-UD yang lebih cenderung berpihak ke suatu parpol.[18]
Pembahasan mengenai pembentukan DPD dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR 2001 dan pada
Rapat Paripurna ke-5, hari Minggu, 4 November 2001. Pada rapat ini, hampir seluruh fraksi dalam
MPR menyetujui pembentukan DPD, terkecuali F-PDU (Persatuan Daulat Ummah) yang tidak
memberikan tanggapan apapun mengenai pembentukan DPD.[19]
Pembentukan DPD akhirnya disahkan pada tanggal 9 November 2001 dan menjadi bagian dari
amandemen ketiga UUD 1945.[20] Meskipun begitu, F-UD tidak serta merta hilang: F-UD tetap
bertahan hingga akhir periode 1999-2004.[16] MPR, DPR, dan DPD dengan susunan yang baru
terbentuk pada tanggal 1 Oktober 2004, dengan ketua DPD pertama Ginandjar Kartasasmita dan
wakil ketua Irman Gusman dan La Ode Ida.[21]

Persyaratan anggota
Syarat Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia menurut UU No 7 tahun 2017 tentang
Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagai berikut:

1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa


2. Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri
3. Tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana
korupsi dan tindak pidana berat lainnya
4. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
sebagai Presiden dan Wakil Presiden
5. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
6. Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa
laporan kekayaan penyelenggara negara
7. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara
badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara
8. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan
9. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela
10. Terdaftar sebagai Pemilih
11. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban
membayar pajak selama 5 tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
12. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945
13. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
14. Berusia sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun
15. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK),
atau bentuk lain yang sederajat
16. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk
organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI
17. Memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik
Indonesia

Fungsi
Berdasarkan Pasal 248 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, fungsi DPD
adalah:

 pengajuan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,


hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;
 ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah
 pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama
 pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN,
pajak, pendidikan, dan agama.

Pimpinan
Pimpinan Sementara
Sebelum pimpinan tetap dilantik, DPD mengangkat pimpinan sementara untuk memimpin sidang
paripurna DPD dan pemilihan ketua dan wakil ketua DPD. Pimpinan sementara terdiri dari ketua dan
wakil ketua sementara DPD, dimana ketua sementara merupakan anggota DPD tertua, sedangkan
wakil ketua sementara merupakan anggota DPD termuda.
Jika anggota tertua atau termuda berhalangan untuk hadir, maka posisi tersebut bisa digantikan oleh
anggota tertua atau termuda berikutnya.
Pimpinan Tetap
Pimpinan tetap DPD terdiri dari seorang ketua dan beberapa wakil ketua.

Anggota
Lihat pula: Daftar anggota Dewan Perwakilan Daerah 2019–2024
Lihat pula: Daftar anggota Dewan Perwakilan Daerah 2014–2019
Lihat pula: Daftar anggota Dewan Perwakilan Daerah 2009–2014
Lihat pula: Daftar anggota Dewan Perwakilan Daerah 2004–2009
Kekebalan hukum
Anggota DPD tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat
yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPD, sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik masing-masing lembaga. Ketentuan
tersebut tidak berlaku jika anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati
dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal mengenai pengumuman rahasia negara.

Alat kelengkapan
Alat kelengkapan DPD terdiri atas: Komite, Badan Kehormatan dan Panitia-panitia lain yang
diperlukan.
Komite I
1. Tugas
Komite I DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup
tugas pada otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; serta pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah.[22]
Lingkup tugas Komite I sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah
dan masyarakat, sebagai berikut:[22]

 Pemerintah daerah;
 Hubungan pusat dan daerah serta antar daerah;
 Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
 Pemukiman dan kependudukan;
 Pertanahan dan tata ruang;
 Politik, hukum, HAM dan ketertiban umum; dan
 Permasalahan daerah di wilayah perbatasan negara.
2. Pimpinan
Pimpinan Komite I periode 2014 - 2019 [23]

 Ketua: Akhmad Muqowam (Jawa Tengah)


 Wakil: Fachrul Razi (Aceh) dan Benny Rhamdani (Sulawesi Utara).
Komite II
3. Tugas
Komite II DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup
tugas pada pengelolaan sumber daya alam; dan pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya.[24]
Lingkup tugas Komite II sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah
dan masyarakat, sebagai berikut:[24]

 Pertanian dan Perkebunan;


 Perhubungan;
 Kelautan dan Perikanan;
 Energi dan Sumber daya mineral;
 Kehutanan dan Lingkungan hidup;
 Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan dan Daerah Tertinggal;
 Perindustrian dan Perdagangan;
 Penanaman Modal; dan
 Pekerjaan Umum.

4. Pimpinan
Pimpinan Komite II periode 2014 - 2019:[23]

 Ketua: Parlindungan Purba (Sumatra Utara)


 Wakil: Ahmad Nawardi (Jawa Timur) dan La Ode Muhammad Rusman Emba (Sulawesi
Tenggara)
Komite III[sunting | sunting sumber]
5. Tugas[sunting | sunting sumber]
Komite III DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup
tugas pada pendidikan dan agama.[25]
Lingkup tugas Komite III sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan
daerah dan masyarakat, sebagai berikut:[25]

 Pendidikan;
 Agama;
 Kebudayaan;
 Kesehatan;
 Pariwisata;
 Pemuda dan olahraga;
 Kesejahteraan sosial;
 Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
 Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
 Ekonomi Kreatif;
 Administrasi Kependudukan/Pencatatan Sipil;
 Pengendalian Kependudukan/Keluarga Berencana; dan
 Perpustakaan.
6. Pimpinan
Pimpinan Komite III periode 2014 - 2019:[23]

 Ketua: Hardi Selamat Hood (Kepulauan Riau)


 Wakil: Abraham Liyanto (Nusa Tenggara Timur) dan Fahira Idris (Daerah Khusus Ibukota
Jakarta)
Komite IV[sunting | sunting sumber]
7. Tugas[sunting | sunting sumber]
Komite IV DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup
tugas pada rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN; perimbangan keuangan pusat
dan daerah; memberikan pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan Anggota
BPK; pajak; dan usaha mikro, kecil dan menengah.[26]
Lingkup tugas Komite IV sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan
daerah dan masyarakat, sebagai berikut:[26]

 Anggaran pendapat dan belanja negara;


 Pajak dan pungutan lain;
 Perimbangan keuangan pusat dan daerah;
 Pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan anggota BPK;
 Lembaga keuangan; dan
 Koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah.
8. Pimpinan[sunting | sunting sumber]
Pimpinan Komite IV periode 2014 - 2019:[23]

 Ketua: Cholid Mahmud (Daerah Istimewa Yogyakarta)


 Wakil: Ajiep Padindang (Sulawesi Selatan) dan Ghazali Abbas Adan (Aceh)
Panitia Perancang Undang-undang[sunting | sunting sumber]
9. Tugas[sunting | sunting sumber]
Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan
DPD yang bersifat tetap dan mempunyai tugas:[27]

1. Merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan usul


rancangan undang-undang untuk 1 (satu) masa keanggotaan DPD dan setiap tahun
anggaran;
2. Membahas usul rancangan undang-undang berdasarkan program prioritas yang
telah ditetapkan;
3. Melakukan kegiatan pembahasan, harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi usul rancangan undang-undang yang disiapkan oleh DPD;
4. Melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan
undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Panitia Musyawarah dan/atau
Sidang Paripurna;
5. Melakukan pembahasan terhadap rancangan undang-undang dari DPR atau
Presiden yang secara khusus ditugaskan oleh Panitia Musyawarah atau Sidang
Paripurna;
6. Melakukan koordinasi, konsultasi, dan evaluasi dalam rangka mengikuti
perkembangan materi usul rancangan undang-undang yang sedang dibahas oleh
komite;
7. Melakukan evaluasi terhadap program penyusunan usul rancangan undang-undang;
8. Melakukan tugas atas keputusan Sidang Paripurna dan/atau Panitia Musyawarah;
9. Mengusulkan kepada Panitia Musyawarah hal yang dipandang perlu untuk
dimasukkan dalam acara DPD;
10. Mengadakan persiapan, pembahasan dan penyusunan RUU yang tidak menjadi
lingkup tugas komite;
11. Mengoordinasikan proses penyusunan RUU yang pembahasannya melibatkan lebih
dari 1 (satu) Komite; dan
12. Membuat inventarisasi masalah hukum dan perundang-undangan pada akhir tahun
sidang dan akhir masa keanggotaan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan
Panitia Perancang Undang-Undang pada masa keanggotaan berikutnya
Selain tugas sebagaimana dimaksud di atas Panitia Perancang Undang-Undang mempunyai tugas:

1. Memberikan pendapat dan pertimbangan atas permintaan daerah tentang berbagai


kebijakan hukum dan tentang masalah hukum yang berkaitan dengan kepentingan
daerah dan kepentingan umum;
2. Memberikan masukan yang objektif kepada pimpinan, pemerintah daerah, dan
masyarakat mengenai pelaksanaan pembangunan hukum dan saran-saran lain yang
berkaitan dengan penyusunan rancangan undang-undang di DPD; dan
3. Mengoordinasikan secara substansi dan fungsional Pusat Perancangan Kebijakan
dan Informasi Hukum Pusat-Daerah (Law Center) DPD.
10. Pimpinan
Pimpinan Panitia Perancang Undang-undang periode 2014 - 2019:[23]

 Ketua: Gede Pasek Suardika (Bali)


 Wakil: Anang Prihantoro (Lampung) dan Muhammad Afnan Hadikusumo (Daerah
Istimewa Yogyakarta)
Panitia Urusan Rumah Tangga
11. Tugas
Pimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) merupakan Alat Kelengkapan DPD RI yang bersifat
tetap dan mempunyai tugas:[28]

1. membantu pimpinan dalam menentukan kebijakan kerumah tanggaan DPD RI,


termasuk kesejahteraan Anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal;
2. membantu pimpinan dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas
dan kewajiban yang dilakukan oleh Sekretariat Jenderal, termasuk pengelolaan
kantor DPD RI di daerah;
3. membantu pimpinan dalam merencanakan dan menyusun kebijakan anggaran DPD;
4. mengawasi pengelolaan anggaran yang dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal;
5. mewakili pimpinan melakukan koordinasi dalam rangka pengelolaan sarana dan
prasarana kawasan gedung perkantoran MPR, DPR, dan DPD;
6. melaksanakan tugas lain yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggaan
DPD yang ditugaskan oleh pimpinan berdasarkan hasil Sidang Panitia Musyawarah;
dan
7. menyampaikan laporan kinerja dalam Sidang Paripurna yang khusus diadakan untuk
itu.
12. Pimpinan
Pimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga periode 2014 - 2019:[23]

 Ketua: Muhammad Asri Anas (Sulawesi Barat)


 Wakil: Aidil Fitri Syah (Sumatra Selatan) dan Habib Ali Alwi (Banten)
Badan Kehormatan[sunting | sunting sumber]
13. Tugas
Badan Kehormatan (BK) merupakan Alat Kelengkapan DPD yang bersifat tetap dan mempunyai
tugas:[29]

1. melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota DPD


karena:
o tidak melaksanakan kewajiban;
o tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangantetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut
tanpa keterangan apapun;
o tidak menghadiri Sidang Paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan
DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam ) kali
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
o tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota sesuai dengan
peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
o melanggar ketentuan larangan Anggota.
2. menetapkan keputusan atas hasil penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan
terhadap Anggota;
3. menyampaikan keputusan sebagaimana atas penyelidikan dan verifikasi atas
pengaduan teradap Anggota pada Sidang Paripurna untu ditetapkan.
4. selain tugas-tugas sebagaimana di atas BK juga melakukan evaluasi dan
penyempurnaan peraturan DPD tentang Tata Tertib dan Kode Etik DPD.
14. Pimpinan
Pimpinan Badan Kehormatan periode 2014 - 2019:[23]

 Ketua: Mervin Sadipun Komber (Papua Barat)


 Wakil: Oni Suwarman (Jawa Barat) dan Hendry Zainuddin (Sumatra Selatan)
Badan Kerjasama Parlemen[sunting | sunting sumber]
15. Tugas
16. Badan Kerjasama Parlemen dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang
bersifat tetap dan mempunyai tugas:[30]

1. Membina, mengembangkan dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja


sama antara DPD dan lembaga sejenis, lembaga pemerintah ataupun lembaga
nonpemerintah, baik secara regional maupun internasional, atas penugasan Sidang
Paripurna ataupun atas dasar koordinasi dengan Panitia Musyawarah, dan Komite;
2. Mengoordinasikan kegiatan kunjungan kerja yang dilakukan oleh alat kelengkapan
baik regional maupun internasional;
3. Mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan kunjungan delegasi lembaga
negara sejenis yang menjadi tamu DPD;
4. Memberikan saran atau usul kepada pimpinan tentang kerjasama antara DPD dan
lembaga negara sejenis, baik secara regional maupun internasional;
5. Mengadakan sidang gabungan dengan pimpinan, Panitia Musyawarah, Panitia
Urusan Rumah Tangga, Panitia Perancang Undang-Undang, dan Komite dalam
rangka pembentukan delegasi DPD; dan
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan antar lembaga diatur lebih lanjut dengan
keputusan Panitia Hubungan Antar Lembaga.
17. Pimpinan
Pimpinan Badan Kerjasama Parlemen periode 2014 - 2019:[23]

 Ketua: Mohammad Saleh (Bengkulu)
 Wakil: Emilia Contessa (Jawa Timur) dan Maya Rumantir (Sulawesi Utara)
Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan
18. Tugas
Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah(BPKK DPD) bertugas
antara lain mengkaji sistem ketatanegaraan guna mewajudkan lembaga perwakilan daerah yang
mengejawantahkan nilai demokrasi. Dalam melaksanakan tugasnya, Kelompok DPD dibantu
anggota/pimpinan BPKK DPD.[23]
19. Pimpinan
Pimpinan Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan periode 2014 - 2019:[23]

 Ketua: Bambang Sadono (Jawa Tengah)


 Wakil: Muhammad Asri Anas (Sulawesi Barat) dan Muhammad Syukur (Jambi)
Badan Akuntabilitas Publik[sunting | sunting sumber]
20. Tugas[sunting | sunting sumber]
Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang
bersifat tetap mempunyai tugas:[31]

1. Melakukan penelaahan dan menindaklanjuti temuan BPK yang berindikasi kerugian


negara secara melawan hukum;
2. Menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat terkait dugaan korupsi dan
malaadministrasi dalam pelayanan publik;
21. Pimpinan
Pimpinan Badan Akuntabilitas Publik periode 2014 - 2019 [23]

 Ketua: Abdul Gafar Usman (Riau)


 Wakil: Ayi Hambali (Jawa Barat) dan Novita (Maluku)
Panitia Musyawarah
Panitia Musyawarah dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap
dan mempunyai tugas:[32]

1. Merancang dan menetapkan jadwal acara serta kegiatan DPD, termasuk sidang dan
rapat, untuk:
o 1 (satu) tahun sidang;
o 1 (satu) masa persidangan; dan
o sebagian dari suatu masa sidang.
2. Merancang rencana kerja lima tahunan sebagai program dan arah kebijakan DPD
selama 1 (satu) masa keanggotaan;
3. Rencana kerja lima tahunan sebagai program dan arah kebijakan DPD selama 1
(satu) masa keanggotaan dapat direvisi setiap tahun;
4. Menyusun rencana kerja tahunan sebagai penjabaran dari rencana kerja lima
tahunan;
5. Merancang dan menetapkan perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah;
6. Merancang dan menetapkan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang,
dengan tidak mengurangi hak sidang Paripurna untuk mengubahnya;
7. Memberikan pendapat kepada pimpinan dalam penanganan masalah menyangkut
pelaksanaan tugas dan wewenang DPD;
8. Meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPD yang lain
untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai hal yang menyangkut
pelaksanaan tugas setiap alat kelengkapan tersebut
9. Menentukan penanganan terhadap pelaksanaan tugas DPD oleh alat kelengkapan
DPD;
10. Membahas dan menentukan mekanisme kerja antar alat kelengkapan yang tidak
diatur dalam Tata Tertib; dan
11. Merumuskan agenda kegiatan Anggota di daerah.
Selain tugas sebagaimana dimaksud di atas, Panitia Musyawarah mempunyai tugas menyusun
rencana kegiatan untuk disampaikan kepada Panitia Urusan Rumah Tangga dalam penentuan
dukungan anggaran.

Sekretariat Jenderal
Artikel utama:  Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPD, dibentuk Sekretariat Jenderal DPD yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dan personelnya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil.
Sekretariat Jenderal DPD dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan
dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPD.

Anda mungkin juga menyukai