UUD 1945
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah salah satu lembaga negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggotaDewan Perwakilan Daerah. Dahulu sebelumReformasi MPR merupakan Lembaga
Negara Tertinggi, yang terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Utusan Daerah, dan
Utusan Golongan.
Jumlah anggota MPR periode 2009–2014 adalah 692 orang, terdiri atas 560 Anggota DPR dan
132 anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada
saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Komisi
Komisi adalah unit kerja utama di dalam DPR. Hampir seluruh aktivitas yang berkaitan dengan
fungsi-fungsi DPR, substansinya dikerjakan di dalam komisi. Setiap anggota DPR (kecuali
pimpinan) harus menjadi anggota salah satu komisi. Pada umumnya, pengisian keanggotan
komisi terkait erat dengan latar belakang keilmuan atau penguasaan anggota terhadap masalah
dan substansi pokok yang digeluti oleh komisi.
Pada periode 2009-2014, DPR mempunyai 11 komisi dengan ruang lingkup tugas dan
pasangan kerja masing-masing:
Komisi I, membidangi pertahanan, luar negeri, dan informasi.
Komisi II, membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan
agraria.
Komisi III, membidangi hukum dan perundang-undangan, hak asasi manusia, dan keamanan.
Komisi IV, membidangi pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan pangan.
Komisi V, membidangi perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat,
pembangunan pedesaan dan kawasan tertinggal.
Komisi VI, membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, usaha kecil dan
menengah), dan badan usaha milik negara.
Komisi VII, membidangi energi, sumber daya mineral, riset dan teknologi, dan lingkungan.
Komisi VIII, membidangi agama, sosial dan pemberdayaan perempuan.
Komisi IX, membidangi kependudukan, kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi.
Komisi X, membidangi pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, dan kebudayaan.
Komisi XI, membidangi keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan, dan
lembaga keuangan bukan bank.
Badan Musyawarah
Bamus merupakan miniatur DPR. Sebagian besar keputusan penting DPR digodok terlebih
dahulu di Bamus, sebelum dibahas dalam Rapat Paripurna sebagai forum tertinggi di DPR yang
dapat mengubah putusan Bamus. Bamus antara lain memiliki tugas menetapkan acara DPR,
termasuk mengenai perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, serta jangka waktu
penyelesaian dan prioritas RUU).
Pembentukan Bamus sendiri dilakukan oleh DPR melalui Rapat Paripurna pada permulaan
masa keanggotaan DPR. Anggota Bamus berjumlah sebanyak-banyaknya sepersepuluh dari
anggota DPR, berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Pimpinan Bamus
langsung dipegang oleh Pimpinan DPR.
Badan Anggaran
Badan Anggaran DPR dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat
tetap yang memiliki tugas pokok melakukan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara. Susunan keanggotaan Badan Anggaran ditetapkan pada permulaan masa keanggotaan
DPR. Susunan keanggotaan Badan Anggaran terdiri atas anggota-anggota seluruh unsur
Komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota Fraksi.
Badan Kehormatan
Badan Kehormatan (BK) DPR merupakan alat kelengkapan paling muda saat ini di DPR. BK
merupakan salah satu alat kelengkapan yang bersifat sementara. Pembentukan DK di DPR
merupakan respon atas sorotan publik terhadap kinerja sebagian anggota dewan yang buruk,
misalnya dalam hal rendahnya tingkat kehadiran dan konflik kepentingan.
BK DPR melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan
oleh Anggota DPR, dan pada akhirnya memberikan laporan akhir berupa rekomendasi kepada
Pimpinan DPR sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan sanksi atau merehabilitasi
nama baik Anggota. Rapat-rapat Dewan Kehormatan bersifat tertutup. Tugas Dewan
Kehormatan dianggap selesai setelah menyampaikan rekomendasi kepada Pimpinan DPR.
Badan Legislasi
Badan Legislasi (Baleg) merupakan alat kelengkapan DPR yang lahir pasca Perubahan Pertama
UUD 1945, dan dibentuk pada tahun 2000. Tugas pokok Baleg antara lain: merencanakan dan
menyusun program serta urutan prioritas pembahasan RUU untuk satu masa keanggotaan DPR
dan setiap tahun anggaran. Baleg juga melakukan evaluasi dan penyempurnaan tata tertib DPR
dan kode etik anggota DPR.
Badan Legislasi dibentuk DPR dalam Rapat paripurna, dan susunan keanggotaannya
ditetapkan pada permulaan masa keanggotaan DPR berdasarkan perimbangan jumlah anggota
tiap-tiap Fraksi. Keanggotaan Badan Legislasi tidak dapat dirangkap dengan keanggotaan
Pimpinan Komisi, keanggotaan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan keanggotaan
Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP).
Panitia Khusus
Jika dipandang perlu, DPR (atau alat kelengkapan DPR) dapat membentuk panitia yang bersifat
sementara yang disebut Panitia Khusus (Pansus). Komposisi keanggotaan Pansus ditetapkan
oleh rapat paripurna berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pansus bertugas
melaksanakan tugas tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna, dan dibubarkan setelah
jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai. Pansus
mempertanggungjawabkan kinerjanya untuk selanjutnya dibahas dalam rapat paripurna.
DPR dalam permulaan masa keanggotaan dan permulaan tahun sidang DPR membuat susunan
dan keanggotaan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang beranggotakan paling
sedikit tujuh orang dan paling banyak sembilan orang atas usul dari fraksi-fraksi DPR yang
selanjutnya akan ditetapkan dalam rapat paripurna dengan tugas untuk penelaahan setiap
temuan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)
DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Dan untuk itu DPR diberikan hak-
hak interpelasi, angket, menyatakan pendapat, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul,
dan pendapat serta imunitas (Pasal 20). Fungsi DPR adalah sebagai berikut:
Fungsi legislasi berkaitan dengan wewenang DPR dalam pembentukan undang-undang.
Fungsi anggaran, berwenang menyusun dan menetapkan RAPBN bersama presiden.
Fungsi pengawasan, melakukan pengawasan terhadap pemerintah.
DPR diberikan hak-hak yang diatur dalam pasal-pasal UUD 1945, antara lain:
Hak interpelasi, hak DPR untuk meminta keterangan pada presiden.
Hak angket, hak DPR untuk mengadakan penyelidikan atas suatu kebijakan Presiden/
Pemerintah.
Hak menyampaikan pendapat.
Hak mengajukan pertanyaan.
Hak Imunitas, hak DPR untuk tidak dituntut dalam pengadilan.
Hak mengajukan usul RUU
Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU (Pasal 21). Dalam hal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan Perpu, dan pada masa persidangan DPR berikutnya
Perpu tersebut harus dimintakan persetujuan DPR. Apabila DPR tidak menyetujuinya maka
Perpu harus dicabut(Pasal 22). Anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, dengan
syarat-syarat dan tata cara yang diatur dengan undang-undang (Pasal 22B).
Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu, setiap provinsi jumlahnya sama dan
jumlah seluruh anggta DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. DPD bersidang
sedikitnya sekali dalam setahun (Pasal 22C).
DPD berhak mengajukan RUU kepada DPR dan ikut membahasnya yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan SDA dan SDE serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat-
daerah, serta memberi pertimbangan atas RUU APBN yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama (Pasal 22D). DPD dapat melakukan pengawasan terhadap UU yang
usulan dan pembahasannya dimiliki oleh DPD.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 49 dan 50 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD bahwa Anggota DPD mempunyai hak
dan kewajiban sebagai berikut:
Hak
Menyampaikan usul dan pendapat;
Memilih dan dipilih;
Membela diri;
Imunitas;
Protokoler;
Keuangan dan administratif.
Mengamalkan Pancasila;
Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati
segala peraturan perundang-undangan;
Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;
Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik
Indonesia;
Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah;
Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah
pemilihannya;
Menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPD; dan
Menjaga etika dan norma adat daerah yang diwakilinya.
Kewajiban
Berkenaan dengan kewajiban tersebut, hal itu mempertegas fungsi politik legislatif Anggota
DPD RI yang meliputi representasi, legislasi dan pengawasan yang dicirikan oleh sifat
kekuatan mandatnya dari rakyat pemilih yaitu sifat “otoritatif” atau mandat rakyat kepada
Anggota; di samping itu ciri sifat ikatan atau “binding” yaitu ciri melekatnya pemikiran dan
langkah kerja Anggota DPD RI yang semata-mata didasarkan pada kepentingan dan
keberpihakan pada rakyat daerah.
Dalam rangka pelaksanaan Pemilu agar terselenggara sesuai asas (Iuberjudil), maka
dibentuklah sebuah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri (Pasal
22E). KPU selain ada ditingkat pusat, juga terdapat KPU daerah baik di provinsi maupun
kabupaten/kota.
BANK SENTRAL
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab,
dan independensinya diatur dengan UU (Pasal 23D).
Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab
tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya
ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah dikeluarkan Surat Penetapan Pemerintah
No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan,
pada tanggal 1 Januari 1947 yang berkedudukan sementara dikota Magelang. Pada waktu itu
Badan Pemeriksa Keuangan hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa
Keuangan dengan suratnya tanggal 12 April 1947 No.94-1 telah mengumumkan kepada semua
instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa
tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan
perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer
(Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW dan IAR.
Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948 tempat kedudukan Badan
Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia
yang ibukotanya di Yogyakarta tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23
ayat (5) UUD Tahun 1945; Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan
SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949.
Dengan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Piagam
Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka dibentuk Dewan Pengawas Keuangan
(berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai
Ketua diangkat R. Soerasno mulai tanggal 31 Desember 1949, yang sebelumnya menjabat
sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS
berkantor di Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah
Netherland Indies Civil Administration (NICA).
Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950,
maka Dewan Pengawas Keuangan RIS yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950
digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di
Bogor menempati bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan Pengawas
Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari
Algemene Rekenkamer di Bogor.
Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang menyatakan berlakunya kembali
UUD Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan UUD 1950
kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945.
Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan Pengawas Keuangan
RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan RI (UUDS 1950), kemudian
kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan
pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW dan IAR.
Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di
dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah
dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan,
sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal
12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-
Undang (PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.
Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun 1965 yang antara lain
menetapkan bahwa Presiden, sebagai Pemimpin Besar Revolusi pemegang kekuasaan
pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan Keuangan Negara.
Ketua dan Wakil Ketua BPK RI berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator
dan Menteri.
Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan
pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga UU yang mendasari
tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya baru direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No.
5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan
konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan
BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan
dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan
Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan
negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan
profesional.
Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI dalam UUD Tahun
1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal
23 ayat 5) kemudian dalamPerubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab
tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat.
Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat Undang-Undang di bidang
Keuangan Negara, yaitu;
UU No.17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara
UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara
Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan :
Peradilan Umum pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Negeri, pada tingkat banding
dilakukan olehPengadilan Tinggi dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung
Peradilan Agama pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Agama, pada tingkat
banding dilakukan olehPengadilan Tinggi Agama dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh
Mahkamah Agung
Peradilan Militer pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Militer, pada tingkat banding
dilakukan olehPengadilan Tinggi Militer dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah
Agung
Peradilan Tata Usaha negara pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha
negara, pada tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan pada
tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:
Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden member grasi dan rehabilitasi
Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang ketua. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh
hakim agung, dan diangkat oleh Presiden. Ketuanya sejak 15 Januari 2009 adalah Harifin A.
Tumpa.
Pada Mahkamah Agung terdapat hakim agung sebanyak maksimal 60 orang. Hakim agung
dapat berasal dari sistem karier (hakim), atau tidak berdasarkan sistem karier dari kalangan
profesi atau akademisi.
Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk
kemudian mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, dan dilakukan oleh sebuah MA dan badan
peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha
Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24). MA berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU. Hakim Agung
harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, professional, dan
berpengalaman di bidang hukum. Calon Hakim Agung diusulkan komisi yudisial kepada DPR
untuk mendapat persetujuan dan ditetapkan oleh Presiden. Ketua dan Wakil MA dipilih dari
dan oleh Hakim Agung (Pasal 24A).
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Anggota komisi yudisial harus memiliki
pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela. Anggota komisi yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan DPR (Pasal 24B).
ahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Sejarah berdirinya MK diawali dengan Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2),
Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Setelah disahkannya
Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah
Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk sementara
sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara
bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13
Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu. Dua hari kemudian, pada tanggal 15
Agustus 2003, Presiden mengambil sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara
pada tanggal 16 Agustus 2003.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK adalah:
Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran olehPresiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol dan perselisihan hasil
pemilu. MK wajib memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan atau Wakil menurut UUD. MK mempunyai 9 anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan Presiden masing-masing 3 orang diajukan oleh MA, DPR, dan Presiden. Ketua dan
wakil ketua MK dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Hakim konstitusi harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan, yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat Negara (Pasal 24C0). MK dibentuk
selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya
dilakukan oleh MA (Pasal III AP).
Saat ini masih banyak pihak belum memahami secara utuh tatanan kelembagaan negara dalam
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sehingga sering timbul perdebatan publik dan masalah
hubungan antarlembaga negara.
Apalagi, lembaga- lembaga negara telah mengalami perubahan mendasar hasil UUD 1945
Perubahan yang tentu tidak dapat dipahami berdasarkan paradigma UUD 1945 sebelum
perubahan. Perubahan mendasar yang memengaruhi tatanan kelembagaan negara adalah
perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Sebelum perubahan,kedaulatan rakyat dilaksanakan
sepenuhnya oleh MPR. Perubahan tersebut mengakibatkan :
MPR tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi.
Lemmbaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 merupakan pelaksana kedaulatan
rakyat sesuai dengan kedudukan,tugas,dan fungsi masing- masing.Hal tersebut mengakibatkan
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/ 1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja
Lembaga Tertinggi dengan/ atau antar-Lembaga-Lembaga Tinggi Negara tidak berlaku lagi.
Kelembagaan negara berdasarkan UUD 1945 dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
kategori.Pertama, lembaga-lembaga utama yang melaksanakan cabang kekuasaan tertentu.
Kedua, lembaga-lembaga negara yang bukan pelaksana salah satu cabang kekuasaan, tetapi
keberadaannya diperlukan untuk mendukung salah satu lembaga pelaksana cabang kekuasaan
tertentu.
Lembaga-lembaga yang ditentukan untuk melaksanakan kekuasaan tertentu tanpa mengatur
nama dan pembentukan lembaganya.
Lembaga yang ditentukan secara umum dan menyerahkan pengaturan lebih lanjut kepada
undang-undang.Kelima, lembaga-lembaga yang berada di bawah presiden untuk melaksanakan
fungsi-fungsi tertentu.Keenam, lembaga- lembaga di tingkat daerah. Berdasarkan pembagian
fungsi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam UUD 1945,dapat diketahui
lembaga-lembaga negara yang melaksanakan tiap kekuasaan tersebut.
Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi adalah presiden. Pemegang kekuasaan
legislatif adalah DPR.Untuk kekuasaan yudikatif ditentukan pelakunya adalah MA dan MK.
Selain lembaga-lembaga negara tersebut, terdapat lembaga negara lain yang diperlukan dalam
penyelenggaraan negara dan kedudukannya sederajat. Lembaga negara lain tersebut adalah
MPR yang memegang kekuasaan mengubah dan menetapkan UUD,BPK sebagai pelaksana
kekuasaan auditif serta DPD yang walaupun tidak memegang kekuasaan legislatif memiliki
peran dalam proses legislasi (co-legislator).
Dengan demikian lembaga-lembaga itu sesungguhnya adalah bagian dari organisasi
pemerintahan secara nasional walaupun ada yang menjalankan fungsi legislasi di tingkat
daerah. Jika penataan lembaga negara melalui ketentuan peraturan perundang undangan telah
dilakukan, setiap lembaga negara dapat menjalankan wewenang sesuai dengan kedudukan
masing-masing. Hal itu akan mewujudkan kerja sama dan hubungan yang harmonis demi
pencapaian tujuan nasional dengan tetap saling mengawasi dan mengimbangi agar tidak terjadi
penyalahgunaan dan konsentrasi kekuasaan.