Anda di halaman 1dari 11

PERBANDINGAN PEMIKIRAN HANS KELSEN TENTANG HUKUM

dENGAN GAGASAN SATJIPTO RAHARdJO TENTANG HUKUM


PROGRESIF BERBASIS TEORI HUKUM

Putera Astomo
Fakultas Hukum Universitas Sulawesi Barat (UNSULBAR)
Mahasiswa Program doktor Ilmu Hukum Universitas diponegoro Semarang
Email: puteraastomo_hukum@yahoo.co.id

Abstract

Hans Kelsen as follower law positivism was gave thought about law which popular with The Pure Theorie
of Law. In the his theory, formation of law must free from substances outside self like psychology, sociology,
history, politic, and also even ethics. Whereas, Satjipto Rahardjo with his idea about Progressive Law, the
law serve to human or law for human which law was made building on kind ethics and morality humanity.
The law always be on status as law in the making and never character finally because formation of must
to response another things outside self mentioned eg social aspect. The law must adapt development
needs in society. Thereby, the law able create justice, prosperity, and care to human. Research which
was used normative yuridical. Phenomenological method which was used comparative law.

Keyword: The Pure Theorie of Law, Progressive Law.

Abstrak

Hans Kelsen sebagai penganut positivisme hukum memberikan pemikiran tentang hukum yang terkenal
dengan Teori Hukum Murni. Dalam teorinya itu, pembentukan hukum harus dibebaskan dari anasir-
anasir/unsur-unsur di luar dirinya seperti: psikologis, sosiologi, sejarah, politik, dan bahkan juga etika.
Sedangkan, Satjipto Rahardjo dengan gagasannya tentang Hukum Progresif, hukum mengabdi kepada
manusia atau hukum untuk manusia di mana hukum dibuat berlandaskan etika dan moral kemanusiaan
yang baik. Hukum selalu berada pada statusnya sebagai law in the making dan tidak pernah bersifat
final karena pembentukannya harus merespon hal-hal lain di luar diri hukum tersebut misalnya aspek
sosial. Hukum harus menyesuaikan perkembangan kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat. Dengan
demikian hukum mampu mewujudkan keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan kepedulian terhadap
manusia. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Metode pendekatan yang digunakan
adalah metode perbandingan hukum.

Kata kunci: Teori Hukum Murni, Hukum Progresif.

A. Pendahuluan mencapai puncak perkembangannya pada abad


ke-19 di eropa. Sejak semua itu berlangsung di
Proses pembentukan negara m odern
eropa daratan, maka perkembangan hukum juga
merupakan bagian dari sejarah “deferensiasi”
harus berbagi (sharing) dengan perkembangan
kelembagaan, yang menunjukkan bagaimana
sosial-budaya yang sama. Artinya, perkembangan
fungsi-fungsi utama dalam masyarakat itu
hukum itu tidak terlepas dari perkembangan kultur
tampak ke depan sepanjang berlangsungnya
di bagian dunia barat (Satjipto Rahardjo, 2007:
proses tersebut. Dari situ akan terlihat terjadinya
106).
pengorganisasian masyarakat yang semakin
meningkat, melalui berbagai elaborasi dari fungsi- Munculnya sistem hukum modern, menurut
fungsi tersebut (Satjipto Rahardjo, 2009: 74). Satjipto Rahardjo, merupakan respon terhadap
sistem produksi ekonomi baru (kapitalis), karena
Hukum modern yang melalui berbagai macam
sistem yang lama sudah tidak bisa lagi melayani
cara atau jalan, kemudian menyebar ke berbagai
perkembangan-perkembangan dari dampak
penjuru dunia, adalah suatu tipe hukum yang

Yustisia Edisi 90 September - Desember 2014 Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen ... 5
bekerjanya sistem ekonomi kapitalis tersebut kita sebut sebagai hukum positif, lahir sebagai
(Satjipto Rahardjo, 1997: 3). Satjipto Rahardjo respon terhadap hukum alam. Positivisme
juga mengatakan bahwa proses-proses produksi dalam hukum yang mengonsepsikan hukum
ekonomi yang bersifat kapitalis itu memerlukan sebagai seperangkat ketentuan tertulis (konkret),
tatanan sosial yang mampu menciptakan medan dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan
sosial di mana proses-proses ekonomi dapat mengandung perintah, menolak keberadaan
berlangsung secara baik. Oleh karena itu, hukum alam (natural law) karena keberadaan
tuntutan yang mendesak adalah diciptakannya hukum alam didasarkan hanya pada pikiran
suatu sistem hukum yang formal-logis yang dapat Keilahian maupun akal manusia, yang ada pada
memberikan prediktabilitas tinggi sehingga dapat tataran abstrak (tidak konkret). Sebenarnya,
dimasukkan dalam kalkulasi produksi ekonomi positivisme hukum bukan melepaskan persoalan
(Satjipto Rahardjo, 1999). moral ataupun nilai dari norma yang ada. Apabila
Hukum modern merupakan produk dari suatu dikatakan bahwa positivisme hukum hanya
era yang dinamakan modernisme. Karakteristik mengidentifikasi hukum sebagai peraturan
pandangan modernisme dapat dilihat dari cita-cita perundang-undangan, atau apabila dikatakan,
Francois Bacon yang menginginkan manusia harus bahwa di dalam positivisme hukum, hukum ditaati
menggunakan kekuasaannya atas alam, yaitu bukan karena baik atau adil, melainkan karena
dengan menyibakrahasia alam semesta sebanyak telah ditetapkan oleh penguasa yang sah, maka kita
mungkin. Ini berarti mengangkat manusia harus memahaminya secara hati-hati. Positivisme
menjadi pusat dan tolok ukur segala sesuatu atau hukum tidak serta-merta meninggalkan nilai-nilai
subjektivitas individu menjadi pusat dunia. Rene (values), namun pembahasan nilai-nilai (values)
Descartes dapat dicatat sebagai peletak dasar dianggap selesai begitu nilai-nilai tersebut telah
filsafat modernisme dengan menekankan konsep diintegrasikan dalam norma yang tertuang dalam
keraguan sehingga manusia harus menggunakan hukum positif (FX Adji Samekto, 2013: 43-44).
pikiran untuk menjawab keraguannya. Issac Ketika kaum positivisme tersebut mengamati
Newton merupakan perumus kerangka pikir sains hukum sebagai obyek kajian, ia menganggap
untuk modernisme. Ia menggambarkan alam hukum hanya sebagai gejala sosial. Kaum
semesta sebagai sebuah mesin yang mempunyai positivisme pada umumnya hanya mengenal
hukum-hukum dan keteraturan, yang dapat ilmu pengetahuan yang positif, demikian pula
dipahami oleh pikiran manusia. Berdasarkan Rene positivisme hukum hanya mengenal satu jenis
Descartes dan Newton, dapat disimpulkan bahwa hukum, yakni hukum positif. Positivisme hukum
manusia modern adalah makhluk otonom dan selanjutnya memunculkan analytical legal
rasional yang hidup dalam dunia mekanis (Agus positivism, analytical jurisprudence, pragmatic
Rahardjo, 2006: 1). positivism, dan Kelsen’s pure theory of law (B.
Modernisme telah mendorong pendayagunaan Arief Sidharta, 2007: 51).
rasio dan akal yang begitu kuatnya. Pemikiran- Salah satu tokoh dalam positivisme hukum
pemikiran atau karya-karya yang didasarkan adalah Hans Kelsen. Pembahasan utama Hans
pada pendayagunaan rasio dan akal begitu Kelsen (lahir 1881) dalam teori hukum murni
dikagumi. Hal ini dilatarbelakangi pesatnya adalah untuk membebaskan ilmu hukum dari
kemajuan ilmu dan teknologi pada era pencerahan unsur ideologis. Keadilan misalnya, oleh Kelsen
itu. Perkembangan ilmu dan teknologi yang dipandang sebagai sebuah konsep ideologis.
dilandaskan pada pengamatan dan pengalaman la melihat dalam keadilan sebuah ide yang
nyata diyakini banyak memberikan kemanfaatan tidak rasional dan teori hukum murni tidak bisa
karena didasarkan pada bukti empiris, obyektif dan menjawab tentang pertanyaan tentang apa
semuanya dijelaskan berbasis pada hubungan yang membentuk keadilan karena pernyataan
gejala satu dengan yang lain bukan lagi pada ini sama sekali tidak bisa dijawab secara ilmiah.
ajaran yang bersumber dari kitab suci agama. Jika keadilan harus diidentikkan dengan legaIitas,
Ilmu pengetahuan (terutama ilmu alam) dan dalam arti tempat, keadilan berarti memelihara
metode ilmiahnya sangat dikagumi. Mulai sebuah tatanan (hukum) positif melalui aplikasi
berkembang pandangan bahwa yang benar kesadaran atasnya. Teori hukum murni menurut
adalah yang nyata (konkret). Pandangan inilah Kelsen adalah sebuah teori hukum positif. Teori
yang melandasi kelahiran filsafat positivisme, yang ini berusaha menjawab pertanyaan “apa hukum
perkembangannya sangat pesat pada era abad itu?” tetapi bukan pertanyaan “apa hukum itu
XVIII hingga abad XX (FX Adji Samekto, 2013: 39). seharusnya?”. Teori ini mengkonsentrasikan
Apabila dibahas konteks hukum, positivisme diri pada hukum semata-mata dan berusaha
dalam hukum yang akhirnya melahirkan apa yang melepaskan ilmu pengetahuan hukum dari campur

6 Yustisia Edisi 90 September - Desember 2014 Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen ...
tangan ilmu pengetahuan asing seperti psikologi perbedaannya atau persamaannya (Meray
dan etika. Kelsen memisahkan pengertian Hendrik Mezak, 2006: 92). Dengan menggunakan
hukum dari segala unsur yang berperan dalam metode perbandingan hukum, maka kita akan
pembentukan hukum seperti unsur-unsur membandingkan antara pemikiran Hans Kelsen
psikologi, sosiologi, sejarah, politik, dan bahkan tentang hukum dengan gagasan Satjipto Rahardjo
juga etika. Semua unsur ini termasuk ‘ide hukum’ tentang Hukum Progresif.
atau ‘isi hukum’. Isi hukum tidak pernah lepas dari
unsur politik, psikis, sosial budaya, dan lain-lain.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bukan demikian halnya dengan pengertian hukum.
Pengertian hukum menyatakan hukum dalam arti 1. Pemikiran Hans Kelsen tentang Hukum
formalnya, yaitu sebagai peraturan yang berIaku (1881-1973)
secara yuridis. Inilah hukum dalam arti yang benar, Hans Kelsen, sebagai tokoh positivisme
hukum yang murni (das reine Recht) (Abdul Ghofur hukum menjelaskan hukum dalam paparan
Anshori, 2006: 98-99). sebagai berikut: Hukum merupakan sistem
Satu hal yang c uk up p en t in g dar i norma, sebuah sistem yang didasarkan pada
gagasan Satjipto Rahardjo, adalah kritiknya keharusan-keharusan (apa yang seharusnya
terhadap dominasi hukum modern, yang telah atau das sollen). Bagi Hans Kelsen, norma
mengerangkeng kecerdasan (berpikir) kebanyakan merupak produk pemikiran manusia yang
ilmuwan hukum di Indonesia. Sejak munculnya sifatnya deliberatif. Sesuatu menjadi sebuah
hukum modern, seluruh tatanan sosial yang ada norma kalau memang dikehendaki menjadi
mengalami perubahan luar biasa. Kemunculan norma, yang penentuannya dilandaskan
hukum modern tidak terlepas dari munculnya pada moralitas maupun nilai-nilai yang baik.
negara modern (Otje Salman & Anthon F. Susanto, Menurutnya, pertimbangan-pertimbangan
2005: 146). Satjipto Rahardjo, dengan tegas ia yang melandasi sebuah norma bersifat
mengatakan perihal paham positivisme hukum m eta yur id is . Ses uatu yang bers if at
yang pada akhirnya mendapat kritik setelah masa metayuridis tersebut bersifat das sollen,
dominasinya yang begitu sangat berpengaruh. dan belum menjadi hukum yang berlaku
Bahwa postivisme hukum telah gagal untuk mengikat masyarakat. Singkatnya, bagi
menyajikan gambar hukum yang lebih benar. Hal Hans Kelsen, norma hukum selalu diciptakan
ini dibuktikan dengan kemunculan dari berbagai melalui kehendak. Norma-norma tersebut
disiplin yang mengisyaratkan, bahwa objek studi akan menjadi mengikat masyarakat, apabila
hukum itu tidaklah sesempit seperti dipahami oleh norma tersebut dikehendaki menjadi hukum
para ilmuan hukum di abad ke-19. Satjipto Rahardjo dan harus dituangkan dalam wujud tertulis,
melalui tradisi berfikirnya yang kritis melahirkan dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang
suatu gagasan yang berdiri pada satu maksim dan memuat perintah. Pendapat Hans
“hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya”. Kelsen ini mengindikasikan pikirannya bahwa
Beliau merupakan pencetus yang berusaha positivisme hukum menganggap pembicaraan
mentransformasikan istilah yang dipopulerkan moral, nilai-nilai telah selesai dan final
dengan kata “hukum progresif” (Satjipto Rahardjo, manakala sampai pada pembentukan hukum
2006: 20). Adapun pembahasan dalam tulisan positif. Oleh karena itulah penggalang kata-
ini adalah perbandingan antara pemikiran Hans kata yang sangat terkenal dari Hans Kelsen:
Kelsen tentang hukum dengan gagasan Satjipto hukum ditaati bukan dinilai baik atau adil,
Rahardjo tentang Hukum Progresif berbasis teori tetapi karena hukum itu telah ditulis dan
hukum disahkan penguasa. Inilah salah satu teori
yang diperkenalkan Hans Kelsen dalam Teori
Hukum Murni. Positivisme hukum dijabarkan
B. Metode Penelitian
secara mendalam dan rinci dari sisi filsafat
Jenis penelitian yang digunakan adalah oleh Hans Kelsen. Penjelasan Hans Kelsen
yuridis normatif di mana penelitian dilakukan bertitik tolak dari cara berfikir Immanuel
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data Khant, lebih tepatnya Hans Kelsen memberi
sekunder yang bersifat hukum (Sri Mamudji et.all, isi pada cara berfikir Immanuel Khant untuk
2005: 4-5). Metode pendekatan yang digunakan selanjutnya, menjelaskan tentang positivisme
adalah metode perbandingan hukum. Pendekatan hukum. Immanuel Khant membagi bahwa
perbandingan hukum, merupakan penelaahan kehidupan terbagi dua bidang: bidang fakta
yang menggunakan dua atau lebih sistem dan bidang seharusnya (ideal). Bidang
hukum untuk dibandingkan apakah mengenai fakta (alam nyata) sesungguhnya memuat

Yustisia Edisi 90 September - Desember 2014 Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen ... 7
hubungan sebab-akibat yang terjadi begitu yang meyakini positivisme hukum (FX Adji
saja, dan pasti akan terjadi seperti itu. Dalam Samekto, 2013: 51).
hal ini bisa dicontohkan, apabila terjadi kalau G r u nd n or m m en ye r up a i s ebu a h
orang diancam untuk menyerahkan sesuatu, pengandaian tentang ‘tatanan’ yang hendak
pasti ia akan berikan. Dalam alam fakta diwujudkan dalam hidup bersama (dalam
ini tidak bisa dikatakan apabila seseorang hal ini negara). Hans Kelsen sendiri tidak
dipaksa menyerahkan sesuatu seharusnya menyebut isi dari grundnorm tersebut. Ia
ia berikan (FX Adji Samekto, 2013: 49-50). hanya katakan, grundnorm merupakan syarat
Bidang seharusnya (bidang ideal) transendental-logis bagi berlakunya seluruh
bersumber dari pikiran yang bisa berbasis tata hukum. Seluruh tata hukum positif harus
nilai-nilai, ajaran-ajaran. Dengan demikian, berpedoman secara hirarki pada grundnorm.
dalam konsepsi bidang seharusnya ini bisa Dengan demikian, secara tidak langsung,
dicontohkan, kalau seseorang diancam Hans Kelsen juga sebenarnya membuat teori
untuk menyerahkan sesuatu seharusnya tentang tertib yuridis. Dengan menggunakan
ia tidak memberikan. Makna “seharusnya konsep Stufenbau (lapisan-lapisan aturan
ia tidak memberikan” sangat tergantung menurut eselon), ia m engk onstruk si
pada kehendak. Akan tetapi menurut Hans pemikiran tentang tertib yuridis. Dalam
Kelsen, kehendak ini bukanlah kehendak konstruksi ini, ditentukan jenjang-jenjang
yang bersifat psikologis. Kehendak tersebut, perundang-undangan. Seluruh sistem
menurut Hans Kelsen, adalah kehendak perundang-undangan mempunyai suatu
yang netral, obyektif, dan kehendak yang struktur pyramidal (mulai dari yang abstrak
memang menurut akal sehat harus demikian. yakni grundnorm sampai yang konkret seperti
Jadi, kehendak untuk tidak memberikan undang-undang, peraturan pemerintah, dan
sesuatu tersebut, dilandasi pertimbangan lain sebagainya. Jadi menurut Hans Kelsen,
yang oleh umum (common sense) dianggap cara mengenal suatu aturan yang legal dan
benar. Mengapa dianggap benar? Karena tidak legal adalah mengeceknya melalui
dilandaskan pada suatu ajaran yang secara logika Stufenbau itu, dan grundnorm menjadi
obyektif memang benar misalnya ajaran: batu uji utama (Bernard L. Tanya, 2013: 115).
orang tidak boleh menerima sesuatu kalau Sebagai sebuah teori hukum, Teori
itu bukan haknya. Ajaran obyektif ini, menurut Hukum Murni (The Pure Theorie of Law)
Hans Kelsen harus dapat dikembalikan pada adalah teori hukum positif, tetapi bukan
ajaran yang lebih tinggi, hingga pada norma berbicara hukum positif pada suatu sistem
paling mendasar (grundnorm) (Teo Huijbers, hukum, melainkan suatu teori hukum umum.
1988: 156-159). Paparan Hans Kelsen tentang Teori Hukum
Akan tetapi Hans Kelsen mengatakan Murni bertujuan untuk menjelaskan hakikat
norma yang paling mendasar itu tidak identik hukum (apakah hukum itu?) dan bagaimana
dengan hukum alam (natural law), atau bukan hukum dibuat, dan bukan untuk memaparkan
sesuatu yang bersumber dari hukum alam. apakah hukum yang seharusnya (what
Sebagai penganut positivisme hukum, jelas the law ought to be) maupun bagaimana
Hans Kelsen menolak hukum alam. Bagi Hans seharusnya hukum dibuat. Teori Hukum
Kelsen, basis hukum alam adalah hubungan Murni adalah ilmu hukum (legal science)
sebab akibat yang bersifat pasti. Jadi hukum dan bukan soal kebijakan hukum (legal
alam merupakan hukum yang ada dalam policy) (FX Adji Samekto, 2013: 51-52). Teori
sistem itu sendiri. Bidang seharusnya, adalah ini mengkonsentrasikan diri pada hukum
bidang di luar sistem itu sendiri, atau di luar semata-mata dan berusaha melepaskan
hubungan sebab akibat. Akan tetapi, sesuatu ilmu pengetahuan hukum dari campur tangan
yang bersifat seharusnya itu akan dapat ilmu pengetahuan asing seperti psikologi
menjadi norma kalau memang dikehendaki dan etika. Kelsen memisahkan pengertian
secara bersama sebagai norma yang ditaati hukum dari segala unsur yang berperan
bersama, yang kemudian dituangkan dalam dalam pembentukan hukum seperti unsur-
wujud peraturan hukum yang mengikat unsur psikologi, sosiologi, sejarah, politik, dan
(hukum positif). Demikianlah, maka bagi Hans bahkan juga etika. Semua unsur ini termasuk
Kelsen, satu-satunya hukum yang benar ‘ide hukum’ atau ‘isi hukum’. Isi hukum tidak
adalah hukum positif (yang bermakna what pernah lepas dari unsur politik, psikis, sosial
the law it is), bukan hukum alam. Dalam hal ini budaya, dan lain-lain. Bukan demikian halnya
terlihat konsistensi pandangan Hans Kelsen dengan pengertian hukum. Pengertian hukum

8 Yustisia Edisi 90 September - Desember 2014 Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen ...
menyatakan hukum dalam arti formalnya, masyarakat dan bangsa dapat dilaksanakan
yaitu sebagai peraturan yang berIaku secara atau bahkan dapat dipercepat, sebagaimana
yuridis. Inilah hukum dalam arti yang benar, pendapat dari Roscoe Pond bahwa hukum
hukum yang murni (das reine Recht) (Abdul dapat berfungsi sebagai sarana rekayasa
Ghofur Anshori, 2006: 98-99). sosial (law as a tool of social engineering)
atau hukum sebagai sarana pembangunan
2. Gagasan Satjipto Rahardjo tentang (law as a tool of development) sebagaimana
Hukum Progresif dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja
(Mochtar Kusumaatmadja, 2002: 88).
Fakta di depan mata, penegakan Untuk menjamin tercapainya fungsi hukum
hukum di Indonesia masih carut-marut, dan sebagai sarana rekayasa masyarakat ke
hal ini sudah diketahui dan diakui bukan arah kehidupan yang lebih baik, maka bukan
saja oleh orang-orang yang sehari-harinya hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam
berkecimpung di bidang hukum, tetapi juga arti kaidah atau peraturan, melainkan juga
oleh sebagian besar masyarakat Indonesia adanya jaminan atas perwujudan dari kaidah
dan juga komunitas masyarakat internasional. hukum dalam praktik hukum, yaitu adanya
Bahkan banyak pendapat menyatakan bahwa jaminan penegakan hukum yang baik (Munir
penegakan hukum (law enforcement) di Fuady, 2003: 40). Inti dari keterpurukan
Indonesia sudah sampai pada titik nadir. maupun kemunduran hukum itu adalah,
Proses penegakan hukum acapkali dipandang bahwa kejujuran, empati, dan dedikasi
bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan hanya dalam menjalankan hukum menjadi sesuatu
mengedepankan kepentingan kelompok yang semakin langka dan mahal. Hampir
tertentu, padahal seharusnya penegakan di mana-mana dapat dijumpai kerendahan
hukum merupakan ujung tombak terciptanya budi semakin merajalela, yang semakin
tatanan hukum yang baik dalam masyarakat menyengsarakan rakyat banyak (Satjipto
(Munir Fuady, 2003: 39-40). Rahardjo, 2004: 1).
Salah satu sebab mengapa Indonesia
Secara universal, jika ingin keluar dari
sulit keluar dari krisis ekonomi sejak tahun
situasi keterpurukan hukum, maka harus
1998, dibandingkan negara lainnya yang membebaskan diri dari belenggu formalism-
terkena imbas krisis tersebut, adalah postivisme, karena jika hanya mengandalkan
dikarenakan penegakan hukum di Indonesia
pada teori dan pemahaman hukum secara
terbilang sangat buruk. Bangsa Indonesia
legalistik-positivistis yang hanya berbasis
belum berhasil mengangkat hukum sampai
pada peraturan tertulis belaka, maka tidak
pada taraf mendekati keadaan ideal, tetapi
akan pernah mampu untuk menangkap
malah makin menimbulkan kekecewaan yang
hakikat akan kebenaran, keadilan dan
mendalam, khususnya yang berkaitan dengan
kemanusiaan (Achmad Ali, 2005: 26-27).
pemberantasan korupsi yang kian merajalela
Usaha pembebasan dan pencerahan
(Satjipto Rahardjo, 2004: 1). Indonesia dapat
tersebut dapat dilakukan dengan mengubah
dikatakan sebagai negara paling aneh di
cara kerja yang konvensional yang selama
dunia, karena sebagai salah satu negara
ini diwariskan oleh mahzab hukum positif
paling korup di dunia, justru paling sedikit
dengan segala doktrin dan prosedurnya yang
koruptor yang berhasil dijebloskan ke dalam
serba formal prosedural tersebut, dan untuk
penjara. Salah satu faktor penyebab sulitnya
melakukan pembebasan dan pencerahan
memberantas korupsi di Indonesia adalah
karena tidak konsistennya law enforcement itulah dibutuhkan kerja keras untuk keluar dari
kondisi hukum yang serba formal prosedural
yang dilaksanakan oleh aparat penegak
(Ahmad Rifai, 2011: 37).
hukum yang masih menganut paradigma
legalistik, formalistik, dan prosedural belaka Dari hal di atas, timbul ide akan suatu
dalam melaksanakan hukum, dan dalam gagasan untuk memilih cara yang lebih
pandangan kaum legalistik normatif, seorang progresif, yang bertujuan untuk mencari cara
barulah dianggap bersalah apabila sudah mengatasi keterpurukan hukum di Indonesia
ada putusan hakim yang berkekuatan hukum secara lebih bermakna (significant) dengan
tetap (inkracht) yang menyatakan seseorang mengadakan perubahan secara lebih cepat,
itu telah terbukti melakukan tindak pidana melakukan pembalikan yang mendasar,
(Achmad Ali, 2005: 3&8). melakukan pembebasan, terobosan, dan
lainnya. Asumsi dasar yang disampaikan
Untuk itu, sudah seharusnyalah sektor
adalah mengenai pandangan tentang
hukum lebih diberdayakan agar pembangunan

Yustisia Edisi 90 September - Desember 2014 Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen ... 9
hubungan hukum dan manusia. Di sini yang selalu dalam proses menjadi (law as
ditegaskan prinsip, bahwa hukum adalah a process, law in the making). Hukum itu
untuk manusia, dan bukan sebaliknya. tidak ada untuk diri sendiri, tetapi hukum itu
Hukum itu tidak ada untuk diri sendirinya, mengabdi kepada manusia(SatjiptoRahardjo,
melainkan untuk sesuatu yang lebih luas 2004: 1).
dan besar. Oleh karena itulah, apabila setiap Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku
ada masalah di dalam dan dengan hukum, hukum mendapat tempat yang utama untuk
hukumlah yang harus ditinjau lalu diperbaiki melakukan pemulihan. Para pelaku hukum
dan bukan manusianya yang dipaksa untuk dituntut mengedepankan kejujuran dan
dimasukkan dalam skema hukum (Satjipto ketulusan dalam penegakan hukum. Mereka
Rahardjo, 2004: 1). harus memiliki empati dan kepedulian pada
Kata progresif itu sendiri berasal dari penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa
progress yang berarti adalah kemajuan. ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan
Jadi, di sini diharapkan hukum itu hendaknya dan kebahagiaannya), harus menjadi titik
mampu mengikuti perkembangan zaman, orientasi dan tujuan akhir penyeleggaraan
mampu menjawab perubahan zaman dengan hukum. Dalam logika itulah revitalisasi hukum
segala dasar di dalamnya, serta mampu dilakukan setiap kali. Bagi hukum progresif,
melayani masyarakat dengan menyandarkan proses perubahan tidak lagi berpusat pada
pada aspek moralitas dari sumber daya peraturan, tapi pada kreativitas pelaku
manusia penegak hukum itu sendiri. Selain hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang
itu, konsep hukum progresif tidak lepas dari dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum
konsep progresivisme, yang bertitik tolak dari progresif dapat melakukan perubahan
pandangan kemanusiaan, bahwa manusia itu dengan melakukan pemaknaan yang kreatif
pada dasarnya adalah baik, memiliki kasih terhadap peraturan yang ada, tanpa harus
sayang serta kepedulian terhadap sesama menunggu perubahan peraturan (changing
sebagai model penting bagi membangun the law). Peraturan yang buruk, tidak harus
kehidupan berhukum dalam masyarakat. menjadi penghalang bagi para pelaku hukum
Hukum yang progresif mengajarkan bahwa progresif untuk menghadirkan keadilan untuk
hukum bukanlah raja, tetapi alat untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka
menjabarkan dasar kemanusiaan yang dapat melakukan interpretasi secara baru
berfungsi memberikan rahmat kepada setiap kali terhadap suatu peraturan (Bernard
dunia dan manusia. Hukum yang progresif L. Tanya, 2013: 191).
tidak ingin menjadikan hukum sebagai Penerimaan faktor manusia, akan
teknologi yang tidak bernurani, melainkan membawa hukum progresif pada kepedulian
suatu institusi yang bermoral kemanusiaan faktor perilaku (behavior, experience)
(Satjipto Rahardjo, 2006: 228). Satjipto manusia. Dalam paradigma hukum yang
Rahardjo melalui tradisi berfikirnya yang positivistis, posisi manusia adalah untuk
kritis melahirkan suatu gagasan yang berdiri hukum dan logika hukum, sehingga manusia
pada satu maksim “hukum untuk manusia, dapat dipaksa untuk dimasukkan ke dalam
dan bukan sebaliknya”. Beliau merupakan hukum. Sebaliknya, dalam paradigma hukum
pencetus yang berusaha mentransformasikan yang progresif, menempatkan hukum untuk
istilah yang dipopulerkan dengan kata “hukum manusia. Jikalau faktor manusia yang di
progresif” (Satjipto Rahardjo, 2006: 20). dalamnya termasuk kebenaran dan keadilan
Hukum yang progresif tidak menerima telah menjadi titik pembahasan hukum, maka
hukum sebagai institusi yang mutlak dan faktor etika dan moralitas dengan sendirinya
final, melainkan sangat ditentukan oleh akan ikut terseret masuk ke dalamnya (A.
kemampuannya untuk mengabdi kepada M. Mujahidin, 2007: 58). Faktor etika dan
manusia. Dalam konteks pemikiran itulah, moral sangat perlu dalam membangun
hukum selalu berada dalam proses untuk terus konsep hukum progresif, oleh karena etika
menjadi. Hukum adalah institusi yang secara dan moral akan berbicara benar dan salah
terus-menerus membangun dan mengubah atau baik dan buruk, yang melekat langsung
dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan pada diri manusia. Jika seseorang tidak
yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan ini memiliki etika dan moral, maka ia sama
bisa diverifikasikan ke dalam faktor keadilan, dengan makhluk lainnya seperti binatang. Di
kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dalam hukum progresif terkandung moralitas
dan lain sebagainya. Inilah hakikat hukum kemanusiaan yang sangat kuat. Jika etika

10 Yustisia Edisi 90 September - Desember 2014 Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen ...
dan moral manusia telah luntur, maka social engineering) memberikan dasar bagi
penegakan hukum tidak tercapai, sehingga kemungkinan digunakannya hukum secara
membangun masyarakat untuk sejahtera dan sadar untuk mengadakan perubahan pada
kebahagiaan manusia tidak akan terwujud. suatu masyarakat (rekayasa sosial) (Satjipto
Pembangunan pondasi dari kesadaran Rahardjo, 2006: 165). Dengan konsep hukum
mental ini adalah dengan perbaikan akhlak, adalah yang sesuai dengan hukum yang
pembinaan moral atau pembinaan karakter hidup di masyarakat dan hukum sebagai alat
diri masyarakat supaya menjadi masyarakat rekayasa sosial diharapkan dapat terjadinya
susila yang bermoral tinggi, sehingga dapat perubahan-perubahan yang mengarah
dibangun masyarakat yang damai sejahtera, pada kebaikan bagi masyarakat luas,
masyarakat yang adil dan makmur (Satjipto seperti adanya persamaan hak, terciptanya
Rahardjo, 2006: 229&233). kesejahteraan masyarakat, perlindungan
Dengan demikian, karakteristik dari terhadap lingkungan dan alam sekitarnya,
hukum progresif dapat ditandai dengan dan lain sebagainya (Achmad Ali, 1993:
pernyataan berikut: 100-105).
a. Hukum ada untuk mengabdi kepada Teori eugen ehrlich dan Roscoe Pond
manusia. mengenai kepentingan-kepentingan sosial
b. Hukum progresif akan tetap hidup karena merupakan sebuah usaha yang lebih ekplisit
hukum selalu berada pada statusnya untuk mengembangkan suatu model hukum
sebagai law in the making dan tidak yang progresif. Dalam perspektif ini, hukum
pernah bersifat final, sepanjang manusia yang baik seharusnya memberikan sesuatu
itu ada, maka hukum progresif akan yang lebih daripada sekadar prosedur hukum.
terus hidup dalam menata kehidupan Hukum tersebut harus berkompeten dan
masyarakat. juga adil, ia seharusnya mampu mengenali
c. Dalam hukum progresif selalu melekat keinginan publik (masyarakat) dan punya
etika dan moralitas kemanusiaan yang komitmen terhadap tercapainya keadilan
sangat kuat, yang akan memberikan substantif. Hukum yang progresif berbagi
respon terhadap perkembangan dan paham juga dengan legal realism (realisme
kebutuhan manusia serta mengabdi pada hukum), di mana menurut mahzab ini, sumber
keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, hukum satu-satunya bukan hanya pemegang
dan kepedulian terhadap manusia pada kekuasaan negara, namun para pelaksana
umumnya. hukum, terutama para hakim. Kekuasaan
membuat hukum bukan lagi mutlak ada di
Kedekatan hukum yang progresif tangan pemegang kekuasaan politik, namun
kepada teori-teori hukum alam terletak juga di tangan para pelaksana hukum
pada kepeduliannya terhadap hal-hal, yang yaitu hakim. Juga dikatakan bahwa bentuk
oleh Hans Kelsen disebut sebagai meta- hukum bukan lagi undang-undang, namun
juridical. Teori Hukum Alam mengutamakan juga meliputi putusan hakim dan tindakan-
the search for justice daripada lainnya, tindakan yang dilakukan dan diputuskan
seperti yang dilakukan oleh aliran analytical oleh pelaksana hukum (Satjipto Rahardjo,
jurisprudence. Hukum yang progresif jika 2006: 168). Tujuan utama realisme hukum
ditinjau menurut pemikiran hukum alam ini, sebagaimana dikemukakan oleh Jerome
lebih mendahulukan kepentingan manusia Frank dan Oliver Wendel Holmes adalah untuk
yang lebih besar daripada menafsirkan hukum membuat hukum menjadi lebih mendengar
dari sudut logika dan peraturan (Satjipto akan kebutuhan sosial, dengan memberikan
Rahardjo, 2004: 1). dorongan pada perluasan bidang-bidang
Adapun jika kehadiran hukum dikaitkan yang memiliki keterkaitan secara hukum agar
pada tujuan sosialnya, maka hukum yang pola pikir atau nalar hukum dapat mencakup
progresif ini juga dekat dengan sociological pengetahuan di dalam konteks sosial dan
jurisprudence, yang dikembangkan oleh memiliki pengaruh terhadap tindakan resmi
eugen ehrlich dan Roscoe Pond. Menurut aparat hukum (Rafael edy Bosco, 2003:
eugen ehrlich, hukum yang baik adalah 59-60).
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup Perkembangan hukum progresif tidak
di masyarakat (living law). Adapun Roscoe lepas dari perkembangan tatanan hukum
Pond mengemukakan konsep hukum sebagai sebagaimana yang dikemukakan oleh Philippe
alat merekayasa masyarakat (law as a tool of Nonet dan Philip Selznick dalam teorinya

Yustisia Edisi 90 September - Desember 2014 Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen ... 11
Hukum Responsif yang menempatkan hukum Pembentukan hukum semestinya merespon
sebagai sarana respons terhadap ketentuan- hal-hal lain di luar diri hukum itu sendiri
ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai misalnya aspek sosial. Hukum harus
dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe menyesuaikan perkembangan kebutuhan-
hukum ini mengedepankan akomodasi untuk kebutuhan dalam masyarakat. Dengan
menerima perubahan-perubahan sosial demi demikian hukum mampu mewujudkan
mencapai keadilan dan emansipasi publik keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan
(Bernard L. Tanya, 2013: 184). kepedulian terhadap manusia.

3. Perbandingan antara Pemikiran Hans


d. Simpulan
Kelsen tentang Hukum dengan Gagasan
Satjipto Rahardjo tentang Hukum Berdasarkan uraian-uraian yang telah
Progresif Berbasis Teori Hukum dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan
Pemikiran Hans Kelsen tentang hukum, bahwa dalam pemikiran Hans Kelsen bahwa
salah satu pertanyaan mendasar dalam norma akan mengikat dan ditaati masyarakat
teorinya yang disebut Teori Hukum Murni bila dikehendaki bersama menjadi hukum yang
(The Pure Theorie of Law) adalah tentang dituangkan dalam bentuk peraturan hukum
bagaimana hukum itu dibuat. Menurutnya, tertulis (hukum positif) dan memuat perintah.
hukum merupakan sistem norma. Norma- Selanjutnya, dalam teorinya yang disebut Teori
norma akan mengikat masyarakat, apabila Hukum Murni (The Pure Theorie of Law) bahwa
norma tersebut dikehendaki menjadi hukum dalam pembentukan hukum harus dibebaskan dari
dan harus dituangkan dalam bentuk tertulis, anasir-anasir/unsur-unsur di luar dirinya seperti:
dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang psikologis, sosiologi, sejarah, politik, dan bahkan
dan memuat perintah. Hans Kelsen juga etika. Sedangkan posisi gagasan Satjipto
menjelaskan bahwa pembentukan hukum Rahardjo tentang Hukum Progresif berbeda
harus dibebaskan dari anasir-anasir/unsur- dan berlawanan dengan teori Hukum Murni
unsur yang berada di luar dirinya seperti: oleh Hans Kelsen. Menurut Satjipto Rahardjo,
psikologis, sosiologi, sejarah, politik, dan hukum sebagai konstruksi sosial di mana hukum
bahkan juga etika. mengabdi kepada manusia atau hukum untuk
manusia di mana hukum dibuat berlandaskan
Posisi gagasan Satjipto Rahardjo tentang
etika dan moral kemanusiaan yang baik. Hukum
Hukum Progresif berbeda dan berlawanan
progresif bertujuan mengembalikan makna hukum
dengan teori Hukum Murni oleh Hans
bahwa hukum selalu berada pada statusnya
Kelsen. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum sebagai law in the making dan tidak pernah
sebagai konstruksi sosial di mana hukum
bersifat final. Lahir dan berkembangnya hukum
mengabdi kepada manusia atau hukum untuk
progresif tidak lepas dari adanya kesenjangan
manusia di mana hukum dibuat berlandaskan yang besar antara hukum dalam teori (law in
etika dan moral kemanusiaan yang baik.
books) dengan hukum dalam kenyataan (law in
Hukum progresif bertujuan mengembalikan action), serta adanya kegagalan dari hukum dalam
makna hukum bahwa hukum selalu berada
memberikan respon terhadap masalah-masalah
pada statusnya sebagai law in the making
yang terjadi dalam masyarakat. Pembentukan
dan tidak pernah bersifat final. Lahir dan
hukum semestinya merespon hal-hal lain di luar
berkembangnya hukum progresif tidak lepas
diri hukum itu sendiri misalnya aspek sosial.
dari adanya kesenjangan yang besar antara
Hukum harus menyesuaikan perkembangan
hukum dalam teori (law in books) dengan
kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat. Dengan
hukum dalam kenyataan (law in action),
demikian hukum mampu mewujudkan keadilan,
serta adanya kegagalan dari hukum dalam
kesejahteraan, kemakmuran, dan kepedulian
memberikan respon terhadap masalah-
terhadap manusia.
masalah yang terjadi dalam masyarakat.

12 Yustisia Edisi 90 September - Desember 2014 Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen ...
daftar Pustaka

A. M Mujahidin 2007 “Hukum Progresif: Jalan Keluar Dari Keterpurukan Hukum di Indonesia”. artikel
dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun ke-XXII No. 257 April IKAHI Indonesia.
Abdul Ghofur Anshori. 2006. Filsafat Hukum Sejarah, Aliran, Dan Pemaknaan, Cetakan Pertama.
yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Achmad Ali. 1993. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta: Chandra
Pratama.
. 2005. Keterpurukan Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia.
Agus Rahardjo. 2006. “Hukum Dan Dilema Pencitraannya (Transisi Paradigmatis Ilmu Hukum Dalam
Teori dan Praktek)”. artikel dalam Jurnal Hukum Pro Justitia Volume 24 Nomor 1 Januari.
Ahmad Rifai. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Cetakan Kedua.
Jakarta: Sinar Grafika.
Antonius Cahyadi dan e. Fernando M. Manullang. 2010. Pengantar ke Filsafat Hukum, Cetakan Ketiga.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
B. Arief Sidharta (ed). 2007. Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan
Filsafat Hukum. Bandung: PT. Refika Aditama.
Bernard L.Tanya. dkk. 2013. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Cetakan
Keempat. yogyakarta: Genta Publishing.
FX Adji Samekto. 2013. Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cetakan Pertama. Bandar Lampung: Indepth
Publishing bekerja sama Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP Semarang dan Pusat Kajian Kebijakan
Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKPHAM) FH Universitas Lampung.
Hendrik Meray Mezak. 2006. “Jenis, Metode dan Pendekatan Dalam Penelitian”. artikel dalam Jurnal
Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Volume V Nomor 3 Maret.
Huijbers, Teo. 1988. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. yogyakarta: Kanisius.
JimlyAsshiddiqie dan Muhammad Ali Syafa’at. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Penerbit
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Kelsen, Hans. 1961. General Theory of Law and State, New york: Russel&Russel A Divison of Atheneum
Publisher,Inc.
Llyod,D (ed). 1965. Introduction to Jurisprudence. London: Stecens.
Mochtar Kusumaatmadja. 2002. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Bandung: Alumni.
Munir Fuady. 2003. Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Nonet, Philippe dan Philip Selznick. 1978. Law and Society in Transition: Toward Responsif Law. New
york: Harper and Row.
Otje Salman &Anthon F. Susanto. 2005. Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali,
Cetakan Kedua. Bandung: PT. Refika Aditama.
R. Coterrell, ed. 1994. Law and Society. Dartmouth: Aldershot.
Rafael edy Bosco (Penerjemah). 2003. Hukum Responsif, Pilihan di Masa Transisi. Jakarta: Perkumpulan
untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan ekologis (HuMA).
Satjipto Rahardjo. 1997. “Mempertahankan Pikiran Holistik dan Watak Hukum Indonesia”. artikel dalam
Jurnal Masalah-Masalah Hukum edisi Khusus FH UNDIP Semarang.
. 1999. “Kepastian Hukum”. artikel opini dalam Harian Kompas 2 Desember.

Yustisia Edisi 90 September - Desember 2014 Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen ... 13
. 2000. Ilmu Hukum. Cetakan Kelima, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
. 2004. Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan). Makalah disampaikan pada
acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang tanggal 4
September.
. 2006. Membedah Hukum Progresif, Cetakan Pertama. Jakarta: Kompas.
. 2006. Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Cetakan Pertama. Jakarta: UKI Press.
. 2007. Biarkan Hukum Mengalir, Cetakan Pertama. Jakarta: Kompas.
. 2009. Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum. Cetakan Pertama. Malang: Bayumedia.
Sri Mamudji et.all. 2005. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia

14 Yustisia Edisi 90 September - Desember 2014 Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen ...

Anda mungkin juga menyukai