V. Lestari - Pertemuan Di Sebuah Motel
V. Lestari - Pertemuan Di Sebuah Motel
mobi
V. Lestari
PERTEMUAN DI SEBUAH MOTEL
BAB 1
masih saja ada. Orang bilang, kalau nasib sedang sial, kesialan akan
tetap datang biarpun sudah berupaya sebisanya.
Sejak memulai perjalanan dari Bandung menuju Jakarta, dua kali ia
hampir celaka. Sekali ia dipepet truk besar sampai hampir menabrak
pohon, kedua kalinya ia hampir bertabrakan secara frontal dengan
kendaraan yang menyalip sembarangan. Ia sudah berhati-hati, tapi
orang lain tidak.
Ia tidak mau mati di jalan atau mati karena kecelakaan seperti yang
dialami Adam, putranya. Ia juga tak ingin mati karena penyakit seperti
suaminya, Agus. Ia ingin mati dengan cara yang dipilihnya sendiri!
Pilihan itu bukan karena ia tak ingin mengikuti jejak kedua orang yang
dicintainya itu atau ia ingin lain sendiri. Bahkan sebelumnya ia tak
pernah berpikir tentang hal itu. Seperti banyak orang, ia menganggap
kematian sebagai bentuk kewajaran yang harus diterima, apa pun
bentuknya. Semua orang harus mengakhiri kehidupan tanpa bisa
mengetahui kapan.
16
terjadi dan bagaimana caranya. Padahal bisa saja kematian itu
mengerikan dan menyakitkan.
Apa yang didambakan Delia adalah kematian dengan persiapan! Dengan
cara itu ia bisa memilih waktu yang dianggapnya tepat dan cara yang
disukainya. Persiapannya terutama menyangkut materi. Bukankah orang
mati tak bisa* membawa serta hartanya?
Sekarang ini ia membawa serta sisa hartanya yang terakhir, yaitu mobil
sedan tua yang sedang dikendarainya dan uang ratusan juta rupiah yang
disimpannya dengan rapi di bawah karpet mobilnya. Itu juga salah satu
faktor penyebab kehati-hatiannya. Kalau ia celaka di jalan, uang itu bisa
ditemukan dan dijarah orang lain. Padahal uang itu adalah uang halal,
warisan dari Agus dan hasil jerih payahnya sendiri. Lalu gagal pula
rencananya untuk mendermakan uang itu di Jakarta.
Uang itu adalah sisa penjualan toko dan rumahnya di Bandung. Sebagian
sudah ia dermakan lebih dulu. Yang sebagian itu ia dermakan dengan
cara mentransfer. Cara seperti itu lebih praktis dan tak ketahuan orang
"Baik-baik saja"
"Syukurlah. Jaga dirimu ya, Del."
Suara Rama kedengaran ramah dan perhatian. Mungkin karena Delia
tidak menolak permintaannya. Akankah seperti itu juga bila ia menolak?
***
Di antara para keponakan Delia, ada satu orang yang cukup dekat
dengannya. Dia adalah Donna,
22
putri Ramli adik Agus. Donna remaja belasan tahun, masih pelajar SMU.
Kedekatan itu muncul setelah Adam meninggal. Dibanding yang lain,
Donna-lah yang paling banyak dan hangat memberi simpati.
Hampir tiap hari usai pulang sekolah Donna datang ke toko garmen milik
Delia untuk membantu. Meskipun tak banyak yang bisa dibantunya,
pekerjaannya cukup rapi dan cekatan. Sebagai tanda terima kasih,
sesekali Delia memberinya hadiah kaus atau celana jins.
Setelah Agus meninggal, Donna suka menginap di rumah Delia untuk
menemaninya. Rumah Delia besar dan dilengkapi kolam renang. Delia
sendiri tidak begitu suka berenang. Maka Donna-lah yang lebih sering
memanfaatkan. Delia juga memiliki koleksi film dalam bentuk VCD dan
DVD. Donna juga yang menikmati.
Kadang-kadang muncul juga pikiran negatif. Benarkah Donna
menemaninya karena sayang padanya? Sebenarnya Delia tidak selalu
suka ditemani. Kadang-kadang ia ingin sendirian lalu melakukan apa saja
yang disukainya tanpa mengundang prasangka. Misalnya ia ingin melamun
lalu bicara sendiri keras-keras. Kalau ia melakukannya di depan Donna,
pastilah gadis itu akan mengira ia sudah hilang ingatan lalu menyebarkan
kehebohan itu kepada seluruh anggota keluarga. Dan kalau Ratna
mengetahuinya, perempuan itu pasti akan mensyukuri juga.
Kemudian ketenangannya terusik oleh pertanyaan Donna yang
kedengaran polos, tapi baginya sangat mengejutkan.
"Tante Del, jangan marah ya. Aku disuruh Nenek menanyakan apakah
Oom Agus ninggalin warisan buat dia."
23
"Menurut aku, Don. Hidup kita itu di tangan Tuhan. Bukan kutukan
manusia."
"Kalo yang namanya santet, guna-guna dan semacamnya, kan ada?"
"Sudahlah. Jangan ngomongin soal itu lagi, Don."
Tapi Delia menyimpan kerisauan. Sampai kemudian Donna kembali
dengan masalah yang sama.
"Nenek marah, Tan. Seperti biasalah. Mulutnya tajam."
"Mengutukku?"
"Ya. Biasa. Oh ya, Tante. Kayaknya Tante harus hati-hati kalau ada
cowok mendekat." "Kenapa?" Delia heran.
"Siapa tahu dia cuma menginginkan harta Tante. Bukankah nanti dia
yang berhak atas harta Tante?"
Delia tertegun. Sepertinya Donna terus memikirkan hal itu. Apakah itu
pikirannya sendiri atau orang lain?
"Ah, soal itu sih gimana nanti aja, Don."
"Emangnya Tante mau sendirian terus?"
"Bukan soal mau nggak mau, Don. Itu gimana nasib aja."
"Apa saat ini sudah ada cowok yang mendekati Tante?"
"Lupa ya, Don. Aku ini sudah tua." "Tante masih cantik. Belum tua kok.
Kaya, lagi." "Kaya? Ah, yang bener? Punya toko bukan berarti kaya."
25
"Tante mah merendah aja."
"Sekarang bisnis lagi sepi, Don. Saingan tambah banyak. Pembeli tambah
sedikit."
"Tapi kayaknya ramai aja, Tante."
"Iya. Orang-orang cuma lihat-lihat dan pegang-pegang, tapi nggak beli."
Donna memandang ke seputar rumah. Delia memahami arti pandangnya.
Rumah sebagus itu pastilah rumah orang kaya. Makna kaya itu relatif. Ia
jadi diingatkan dan sedih karenanya. Buat apa rumah besar dan bagus
bila cuma ditempati sendirian? Tak ada lagi cinta dan kehangatan di
situ. Yang terasa adalah sepi, dingin, dan hampa.
"Seharusnya Tante membuat surat wasiat dari sekarang. Sebagai
persiapan aja. Daripada nanti dicaplok Nenek."
Tetapi bukan berita itu yang menarik bagi Delia, melainkan motelnya.
Namanya Motel Marlin.
Ia mencatat nama motel dan lokasinya. Kepada pelayan yang
mengantarkan makanannya ia bertanya perihal alamat tersebut kalau-
kalau bisa diberikan petunjuk. Ternyata pelayan itu bisa memberi
keterangan dengan lengkap.
Ia akan menuju Motel Marlin.
27
BAB 3
Yasmin duduk di depan meja riasnya dengan air mata berlinang. Sudah
beberapa kali suaminya, Hendri, mengatarnya sebagai tua prematur.
Sekarang ia mengamati wajahnya dengan cermat. Dengan perasaan
pedih ia terpaksa mengakui kebenaran ucapan Hendri itu.
Usianya dua puluh delapan tahun, tapi kelihatan sepuluh tahun lebih tua.
Dahinya berkerut. Sudut matanya sudah memperlihatkan kerut-kerut
halus. Pipinya kendur, bahkan tampak menurun hingga tertarik ke bawah
ujung bibirnya. Ia kelihatan murung dan tidak segar. Sepertinya ia baru
sembuh dari sakit yang lama dan perlu rehabilitasi yang intens dan lama
juga.
"Aku jelek... aku frigid...," keluhnya dengan perasaan tak berdaya.
Air matanya mengalir semakin deras. Dalam keadaannya yang seperti itu
bisakah ia mengharapkan masa depan yang cerah? Apalagi bila ia
menggantungkan masa depan itu bukan pada dirinya sendiri, melainkan
pada Hendri. Sedang Hendri tampaknya sulit diharapkan bisa mengubah
sikap. Dialah yang harus berubah. Tapi justru itu yang sulit.
Yasmin sesenggukan sekarang. Tapi tatapannya
28
tetap ke arah cermin, mengamati dirinya sendiri yang larut dalam
keputusasaan.
Kemudian tiba-tiba ia tersentak kaget. Matanya melotot ke cermin.
Mulutnya ternganga. Sebuah ekspresi horor. Perempuan muda atau
Walaupun Hendri bertanya begitu, Yasmin merasa tak ada simpati atau
empati pada sikap Hendri.
"Ah, nggak," ia membantah.
"Kok jalanmu kayak orang baru melahirkan bayi gede," Hendri
memperoloknya.
Yasmin menahan air matanya. Ucapan Hendri itu terasa seperti
penghinaan.
"Syukurlah kalau memang nggak sakit. Jadi sudah bisa menikmati?
Enak?"
Ia tak bisa menjawab.
"Kalau memang enak, nanti kita lakukan lagi, ya?"
Ucapan itu kedengaran menggoda, tapi ia tak bisa menyembunyikan
kaget dan ngerinya. Wajahnya memperlihatkan perasaannya. Dengan
gampang Hendri bisa membacanya. Lelaki itu pun terbahak-bahak,
seakan melihat sesuatu yang menggelikan. Yasmin hanya bisa
menundukkan kepala. Baru setelah Hendri pergi, ia bisa menjadi dirinya
sendiri, memperlihatkan apa yang dirasa dan dipikirkannya.
Sebenarnya ia tidak sendirian saat itu. Masih ada seorang pembantu
bernama Inem, perempuan muda bertubuh sintal dengan pantat dan
payudara besar.
30
Inem suka mengamatinya. Yasmin tidak suka tatapan Inem? Sepertinya
ada cemooh di mata perempuan itu. Ia malu karena yakin Inem sudah
tahu masalahnya. Padahal Inem tidak pernah bertanya kenapa jalannya
suka tertatih-tatih dengan muka meringis.
Ia marah karena Hendri suka membandingkannya dengan Inem.
"Lihat si Inem itu. Dia begitu energik. Kuat dan gagah. Nggak seperti
kamu yang loyo dan lesu," kata Hendri.
Sebenarnya dia ingin menyahut, "Sebelum kawin aku juga energik. Kau
tahu sendiri, kan? Dulu aku jago basket dan voli!" Tapi ia tidak ingin
membuat Hendri berang lalu balas menyahut, "Jadi kau menyalahkan
aku?" Jadi sebaiknya ia diam saja. Sudah terbukti itu lebih aman.
cuma bisa berpura-pura tidak melihat dan sengaja tidak melihat supaya
terhindar dari sakit hati. Sayangnya, kesimpulan sudah telanjur muncul
dan menetap.
Ia heran, kenapa Inem tidak tampak kesakitan atau berjalan seperti
dirinya bila diandaikan bahwa ia memang melakukan hubungan seks
dengan Hendri? Apakah Inem bisa menikmati kegiatan itu? Kalau begitu,
memang dirinyalah yang tidak beres. Dan benar juga ucapan Hendri,
bahwa perempuan lain malah merem-melek saat melakukannya
bersamanya.
Untuk mengetahui kebenarannya, Yasmin terpaksa pergi ke ahli
kandungan, Dokter Minarti. Perginya diam-diam, tanpa memberitahu
Hendri.
"Ibu baik-baik saja. Tak ada kelainan pada vagina
37
dan mulut rahim. Semua normal, Bu," Dokter Minarti memastikan seusai
pemeriksaan.
"Tapi kenapa sakitnya bukan main, Dok?"
"Apakah ukuran penis suami Ibu terbilang besar?" tanya Dokter Minarti
seolah pertanyaan itu sangat biasa.
Bagi Yasmin itu tidak biasa. Mukanya memerah.
"Saya tidak tahu, Dok. Kan saya tidak pernah lihat punya orang lain."
Dokter Minarti tersenyum. "Oh ya, tentu saja. Tapi begini, bagaimana
saat penetrasi, apakah itu saja sudah sakit?"
"Kalau itu sakitnya cuma malam pertama saja, Dok."
"Sesudah itu tidak sakit?"
"Tidak, Dok. Tapi kalau suami mulai bergerak, terasalah sakitnya. Makin
lama makin sakit." "Apakah dia melakukannya dengan kasar?" "Ya, Dok."
"Apa Ibu tidak bilang padanya bahwa perlakuannya itu menyakitkan?"
"Sudah, Dok. Tapi katanya saya cengeng dan frigid karena perempuan
lain bisa menikmati."
Dokter Minarti tertegun. Tampak geram.
"Apakah orangnya memang kasar, suka ringan tangan misalnya?"
"Sama sekali tidak, Dok. Cuma soal itu saja."
Beberapa waktu yang lalu, entah berapa lama ia tak ingat lagi, ada
peristiwa bunuh diri di situ. Ia membacanya di koran.
Pasti bukan karena kebetulan ia menemukan kartu nama itu.
41
BAB 4
Motel marlin terletak di dekat jalan layang dan jalan tol yang ramai.
Dari jalan layang, papan nama Motel Marlin jelas terlihat oleh mereka
yang berkendaraan. Papan nama itu sudah pudar catnya, tapi huruf-
hurufnya masih jelas terbaca dari jarak jauh. Deretan kamar
memanjang dan menyiku. Deretan itu terdiri atas barisan dua kamar
yang saling membelakangi. Pintu-pintu menghadap ke halaman parkir.
Jadi barisan kamar itu terletak di tengah halaman parkir. Jumlah kamar
yang disewakan ada empat puluh.
Motel itu menempati areal tanah yang cukup luas. Ideal untuk sebuah
motel yang menyediakan tempat parkir di depan setiap pintu kamar.
Letaknya di pinggir jalan besar dengan akses yang mudah ke segala
penjuru kota. Cukup strategis. Tapi motel itu nyaris terkena
penggusuran saat pembangunan jalan tol. Untung rencana jalan tidak
melewati atau menembusnya.
Menilik kondisi bangunan yang tampak sederhana dan berbentuk kaku,
bisa diperkirakan motel itu sudah berusia lanjut dan tak pernah
mengalami renovasi, tapi kelihatannya cukup terpelihara karena tidak
berkesan kumuh. Dindingnya bercat putih, pintu-pintu dan kusen jendela
dipelitur cokelat tua.
42
Jendelanya sendiri berkaca nako dan berjeruji besi dengan tirai dua
lapis. Satu vitrage dan satu lagi kain tebal berwarna cokelat dengan
motif bunga timbul.
Tidak selalu tamu yang datang membawa mobil. Tapi biarpun tak ada
mobil yang parkir di depan pintu, bisa diketahui apakah sebuah kamar
terisi, yaitu dari tirai tebal yang menutup jendela rapat-rapat, demikian
pula kaca nakonya sehingga dari luar tak bisa melihat ke dalam.
Dibilang berat jodoh juga tidak. Mereka juga bukan tak ingin
berkeluarga atau sengaja menghindari karena mementingkan kerukunan
di antara mereka. Beberapa kali keduanya mendapat pacar, tapi sekian
kali pula hubungan berakhir. Yang satu putus, yang lain pun putus. Ada
saja penyebabnya. Yang sering adalah karena si pacar ingin mencampuri
atau mengganggu hubungan mereka, menyangkut soal bisnis yang dijalani
bersama-sama. Kebanyakan ingin si abang dan si adik menjalani bisnis
terpisah. Bahkan ada yang terus terang menganjurkan supaya menjual
saja motel itu lalu uangnya dibagi dua dan selanjutnya menggunakannya
sebagai modal untuk berusaha sendiri-sendiri.
Meskipun bersaudara, keduanya tidak memiliki kemiripan fisik. Kosmas
bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, dan berwajah sangar. Sebaliknya
Erwin bertubuh langsing tapi sama tinggi, berkulit kuning
44
langsat, dan berwajah tampan. Tapi tak sulit untuk menemukan
penyebabnya. Kosmas mirip ayahnya sedang Erwin mirip ibunya.
belakangan? Apalagi dari KTP-nya itu jelas dia warga Jakarta. Kenapa
harus menginap di motel dan bukan di rumah sendiri? Mungkin sedang
ribut dengan suami dan ingin menyendiri? Tentu saja bukan baru sekali
ada perempuan yang datang sendirian untuk menginap di situ. Ada
banyak sebab yang mendorong orang melakukan sesuatu. Tetapi
pertanyaan-perta-
45
nyaan itu tak perlu dicari jawabannya apalagi ditanyakan kepada yang
bersangkutan. Tamu datang dan pergi membawa urusan dan masalah
masing-masing.
Yuli check in untuk semalam. Besok pagi ia akan keluar. Tapi dari sore
sampai malam ia tidak pernah keluar untuk mencari makanan. Ada
banyak warung makan dan restoran di sekitar tempat itu. Tapi tingkah
Yuli tidak dianggap sebagai kejanggalan. Mungkin saja ia membawa
makanan kering misalnya roti, dan malas keluar untuk mencari makanan.
Kejanggalan baru terasa esoknya ketika ia seharusnya sudah keluar tapi
belum juga keluar.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, Kosmas dan Erwin menghubungi
polisi. Mereka menemukan Yuli sudah meninggal. Ada sisa racun
serangga di dekatnya. Yang lebih mengejutkan adalah pengakuan yang
ditulis Yuli dan ditemukan di atas meja. Ia menulis bahwa dirinya sedang
hamil akibat hubungan dengan pacarnya yang kabur setelah diberitahu
tentang kehamilannya. Padahal si pacar adalah orang yang tidak disukai
orangtuanya. Karena itulah ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Kosmas yang berwajah sangar itu menjadi sedih. Meskipun memiliki
penampilan seperti preman, ia berhati lembut dan perasa. Ia merasa
ikut bersalah karena kejadian itu terjadi di tempatnya sedang ia tidak
melakukan apa-apa. Ia juga marah kepada Yuli karena membawa serta
janinnya kepada kematian. Ia marah kepada orangtua Yuli karena yakin
pastilah mereka orang-orang otoriter yang sulit memaafkan.
Tapi dia dan Erwin sepakat bahwa kejadian semacam itu sulit dicegah.
Bagaimana memastikan orang yang datang sendirian itu bermaksud
bunuh diri?
46
Mustahil ditanyai dulu saat mau check in. Atau memasang pengumuman
"Dilarang bunuh diri!"?
Kosmas tersentak dari kantuknya. Ke mana Erwin? Seharusnya adiknya
itu menggantikannya berjaga di kantor.
Kebetulan Adi lewat. Adi salah seorang karyawan yang biasa diberi
tugas jaga kantor. Mereka bergiliran sesuai waktu masing-masing.
Kosmas memanggilnya. "Di, jaga sebentar ya! Aku mau cari Erwin dulu."
"Pak Erwin ada di kamar 14, Pak," Adi membe-ritahu.
"Ngapain dia di sana?"
"Nggak tahu, Pak. Mungkin ngecek aja."
Kosmas bergegas menuju kamar 14. Kantornya sendiri terletak di bagian
siku, diapit sebagian ke kiri dan sebagian lagi ke kanan. Sedang di bagian
belakang terletak dapur dan ruang makan berikut beberapa kamar untuk
karyawan di samping kamar-kamar yang disewakan.
Sejak kejadian tragis itu, kamar 14 dibiarkan kosong meskipun sudah
dalam keadaan bersih dan siap dihuni. Selama masih ada kamar lain yang
bisa diberikan kepada tamu yang membutuhkan, kamar itu tetap kosong.
Kamar 14 tertutup rapat. Kosmas membuka pintunya dan melongok ke
dalam. Lalu tertegun keheranan.
Di tengah ruang, di lantai samping tempat tidur, Erwin sedang duduk
bersila. Posisinya membelakangi pintu. Sepertinya ia tengah
bermeditasi, tampak hening dan asyik. Kosmas tak berniat mengganggu.
Ia
47
merapatkan pintu kembali, lalu balik ke kantor. Adi disuruhnya
beristirahat. Ia akan menunggu kedatangan Erwin.
Lima menit kemudian Erwin muncul dengan ter-senyum-senyum.
"Telat sedikit nggak apa-apa kan, Bang?"
"Nggak apa-apa sih. Tapi ngapain kau di sana tadi? Meditasi kok bukan
di kamar sendiri."
"Aku lagi ngecek, Bang!"
"Ngecek apa?"
Juga berendam di kolam renangmu. Aku pengen tuh. Tapi Agus nggak
pernah mengundangku," komentar Ratna.
"Ini bukan milik saya, Ma. Saya ngontrak setahun," kata Delia datar.
Pasti Donna tidak bercerita tentang hal itu. Mungkin-Donna tidak
percaya atau tak ingin menambah amarah Ratna.
Wajah Ratna tambah mengerut karena mulai naik darah.
"Bohong ah! Memangnya kamu sudah bangkrut? Uang jual rumah mewah
itu pasti banyak sekali. Masa beli rumah kayak gini aja nggak bisa?"
semburnya.
"Saya pakai buat bayar utang, Ma."
"Utang apa?"
"Utang bank."
"Bohong ah! Nggak percaya!"
"Terserah Mama saja, mau percaya atau nggak. Suratnya ada, tapi saya
nggak mau memperlihatkan karena itu bukan urusan Mama."
"Kurang ajar kau! Terkutuk! Kualat!"
"Ma, sabar..." Rama menepuk-nepuk lengan Ratna. "Sudahlah. Sekarang
ini orang bisnis biasa berutang sama bank. Namanya kredit."
Ratna menepis tangan Rama. Wajahnya sudah merah seperti kepiting
rebus.
57
56
"Kata Donna, tokonya ramai. Jualannya laris. Masa perlu berutang?"
Ratna masih penasaran.
Delia tidak menyahut. Ia berpikir, biarlah anjing menggonggong, kafilah
akan tetap berlalu. Sebentar lagi orang-orang ini pergi dan ia bisa
melanjutkan hidupnya dengan tenang. Lalu tatapannya tertuju kepada
Maya yang diam saja dari awal kedatangan. Maya menunduk dan
kelihatan bingung. Delia merasa iba kepadanya. Tiba-tiba ia merasa
lebih beruntung daripada Maya yang terpaksa harus hidup seatap
dengan Ratna.
Ratna marah melihat ketenangan Delia. Ia meletup lagi, "Sebagai ibu
kandung Agus, seharusnya aku berhak mendapat bagian dari warisan!"
Sama sekali tak ada rasa sayangnya. Ia tidak perlu minta izin kepada
siapa pun. Ia juga tidak perlu minta maaf kepada Agus karena sekarang
Agus tidak punya urusan lagi dengan masalah keduniawian. Justru ia
merasa lega karena Ratna tidak perlu lagi mengejar dan mengutuknya
karena ia tak punya harta lagi.
Tapi masih ada uang hasil penjualan rumah. Itulah yang ia bawa ke
Jakarta. Ia akan membagikannya kepada berbagai panti asuhan dan
panti wreda. Untuk itu ia perlu membuat survei dulu, lalu ia akan
membagikannya secara langsung. Karena itu ia membutuhkan waktu tiga
hari. Dan tentu saja ia masih membutuhkan mobilnya, satu-satunya
barang berharga yang masih dimilikinya.
Tanpa uang Sepeser pun ia memang tidak bisa makan. Tapi orang mati
tidak butuh makan!
62
BAB 6
mau berhenti. Siapa tahu Delia ada di rumah dan sedang tidur. Jadi
perlu waktu untuk membangunkan.
Hasil dari kegaduhan yang ditimbulkannya adalah kemunculan seorang
perempuan dari rumah sebelah.
"Cari siapa, Dik?" tanya perempuan itu.
"Tante Delia, Bu. Saya keponakannya."
"Oh, Mbak Del nggak ada. Perginya tadi pagi."
"Ke mana dan sama siapa, Bu?"
"Dia pergi sendirian pakai mobil. Tapi ke mana nggak bilang. Saya kan
nggak mungkin nanya-nanya, Dik."
"Kapan kembalinya, Bu? Bilang nggak?"
"Nggak sih. Tapi mungkin nggak cepat-cepat. Soalnya dia nitip kunci
sama saya."
Wajah Donna yang semula lesu menjadi segar! "Apa saya bisa pinjam
kuncinya, Bu? Buku saya ketinggalan di sini padahal mau ulangan."
"Tunggu sebentar ya."
Ibu itu pergi lalu kembali membawa kunci. "Nanti kembaliin ya, Dik,
kalau bukunya udah ketemu." "Tentu aja, Bu."
Setelah masuk ke dalam rumah, Donna berlari ke dapur. Tujuannya
adalah mencari makanan. Ia membuka tudung saji di atas meja makan.
Hanya ada beberapa potong roti tawar di dalam kantong plastik, dan di
sampingnya ada sebotol selai stroberi. Ia memperkirakan makanan itu
sisa yang dimakan Delia tadi pagi. Tidak ada makanan lain. Lemari juga
kosong. Karena rasa lapar sudah menggerogoti perut-
65
nya, ia menghabiskan makanan itu. Masih untung ada sisa, pikirnya.
Sesudah itu ia mencari minum di kulkas yang sudah karatan di bagian
bawahnya. Ternyata kulkas itu sudah diputuskan aliran listriknya. Tak
ada apa-apa di dalamnya. Kosong melompong. Hanya ada sebotol air
putih. Masih untung ada yang bisa diminum, pikirnya.
Setelah kenyang baru ia mengamati sekitarnya. Ia menyadari, bukan
cuma kulkas, lemari, dan meja makan yang kosong, tapi juga ruangan
sekitarnya. Tidak ada hiasan dinding dan gambar yang sebelumnya
jadi setengah berdiri seperti habis diblow dan mukanya merah. Matanya
juga merah. Hiii, seperti apakah itu?
Begitu bertemu Ratna, mereka bertiga terpesona. Ratna berpenampilan
ceria dan berkilauan. Ia mengenakan daster baru berwarna merah.
Wajahnya
68
yang sudah berkeriput itu berbedak hingga tampak semakin putih.
Alisnya yang sudah gundul ditimpa pensil alis menjadi dua garis
melengkung. Bibirnya pun disaput lipstik. Rambutnya masih putih dan
pendek, tapi dikeriting! Tapi bukan itu yang membuat Ratna berkilau. Ia
mengenakan semua perhiasannya! Hampir semua adalah pemberian anak-
anaknya. Tapi ada satu yang tampak paling mencolok. Di lehernya
menjuntai sebuah kalung emas bertabur berlian!
"Lihat ini!" katanya sambil meraba kalungnya. "Uang sepuluh juta itu
kubelikan ini. Bagus nggak?"
Donna merasa mual.
"Bagus," kata Ramli.
"Bagus," Mila mengikuti.
"Nah, ada apa kalian ke sini? Pasti ada sesuatu. Bukan karena kangen
padaku, kan?" Ratna tertawa. "Kulihat kalian nggak bawa oleh-oleh."
Mila tersipu. Donna memalingkan muka. Di matanya, neneknya ini benar-
benar tak ubahnya nenek sihir. Menakutkan dan memuakkan, tapi juga
menggelikan! Di mata Ramli, ibunya bukan cuma menakutkan tapi
mengagumkan! Licik, tapi pintar. Sedang di mata Mila, ibu mertuanya itu
seperti setan!
Sebagai orang tua berusia tujuh puluh tahun, Ratna sangat sehat.
Biasanya orang seusianya bertubuh tambun, tapi ia tetap ramping
meskipun perutnya sedikit buncit. Kecuali sel-sel tubuhnya yang memang
sudah aus, semua organ vitalnya masih berfungsi sempurna. Dokter yang
pernah memeriksanya memujinya sebagai orang tua yang langka.
Biasanya orang setua itu sudah didekati dan dihinggapi penyakit. Bahkan
orang yang jauh lebih muda pun banyak yang tidak sesehat dirinya.
Gerak-geriknya pun gesit. "Tak tampak kesan lam-
69
ban atau loyo. Tulang-tulangnya kuat berkat rajin minum susu sejak
muda. Kesempurnaan fisiknya memang bukan tanpa sebab. Makanannya
selalu penuh gizi. Ia sangat memerhatikan soal itu untuk dirinya, tapi
tak peduli pada apa yang dimakan keluarga anaknya. Biar saja mereka
makan tahu dan tempe asal ia selalu makan daging, telur, dan susu!
Sayangnya, fisiknya yang sehat itu tidak dibarengi dengan jiwa dan
mental yang sehat juga.
***
Usai mendengar cerita Ramli bahwa Delia pergi tanpa jejak, bangkitlah
amarah Ratna. Ekspresinya yang mengerikan diamati dengan terpesona
oleh Donna. Tak mengherankan kalau ayahnya dan lain-lainnya begitu
ketakutan. Ia jadi bertanya-tanya dalam hati, seperti apakah Ratna
semasa mudanya. Untunglah ia tidak memiliki ibu seperti Ratna.
"Kalian harus mencarinya!" seru Ratna.
Rama dan Ramli berpandangan. Maunya membantah, tapi kenyataannya
mereka mengangguk-angguk. "Ya, Ma. Nanti dicari."
"Dasar licik! Jual rumah! Jual toko! Sekarang kabur! Diapain uangnya?"
teriak Ratna.
Sebenarnya semua orang di seputar Ratna sama-sama berkata dalam
hati, "Itu adalah hak Delia sendiri!" Tapi tentu saja tak ada yang berani
berkata begitu. Mereka cuma mengangguk-angguk dengan wajah lesu.
"Dia membawa lari harta anakku! Dia membawa lari bagian warisanku!"
Orang-orang tercenung dan bingung. Meskipun sudah diberitahu bahwa
warisan suami jatuh pada
70
istri, apalagi Delia ikut berusaha bahu-membahu bersama Agus, tetap
saja Ratna tidak mau mengerti. Ia kukuh pada pendiriannya. Tapi semua
paham sesungguhnya Ratna bukan tak bisa mengerti. Ia kukuh karena
keinginannya sendiri.
Tiba-tiba Donna nyeletuk, "Kan Nenek udah dapat ini!" katanya sambil
menunjuk lehernya sendiri.
BAB 7
"Itu, yang kemarin sore nerima Ibu bareng saya." "Oh itu. Tapi kok..."
Delia tidak meneruskan ucapannya yang meluncur begitu saja. Apa
urusannya?
Kosmas melanjutkan kalimat Delia, "Kok nggak sama, ya? Memang
banyak yang bilang begitu. Tapi kami memang bersaudara kandung. Satu
ayah, satu ibu."
"Ya. Itu memang bisa. Maaf ya, Pak. Saya mungkin usil."
"Ah nggak. Wah, saya kelamaan ngomong. Nanti nasinya menjadi dingin.
Ayo silakan makan."
"Terima kasih, Pak... siapa ya?"
Kosmas mengulurkan tangannya. Senang diberi kesempatan. "Saya
Kosmas. Adik saya Erwin."
"Saya Delia," kata Delia bergurau. "Udah tahu. ya?"
74
"Ya." Kosmas tersenyum. "Silakan, Bu. Kalau sudah selesai, Ibu bisa
hubungi kami lewat interkom. Nanti karyawan yang ambil. Di situ ada
bonnya. Ibu bisa titip uang padanya. Oh ya, apakah Ibu bisa tidur
nyenyak semalam?"
"Wah, nyenyak sekali. Bangun-bangun saya bingung ada di mana," sahut
Delia dengan sebenarnya.
"Jadi nggak ada mimpi buruk atau gangguan apa-apa?"
"Nggak."
"Syukurlah. Mari, Bu..."
Ketika Delia menikmati nasi gorengnya, ia ter-senyum-senyum sendiri.
Gila, pikirnya. Ternyata aku masih senang mendapat perhatian lelaki! Itu
tidak fair. Tidak boleh terjadi. Apalagi lelaki itu jelek. Wajahnya
seperti preman. Beda sekali bila dibandingkan dengan Agus. Ah, aku
tidak boleh macam-macam!
Tapi ada sesuatu pada diri lelaki itu yang membuat Delia terkesan.
Tampang sangar tapi perilaku santun dan perhatian. Mungkin pura-pura
saja?
***
"Mama, jangan ganggu aku lagi! Aku tidak takut kepadamu!" serunya.
Tidak ada yang tampak di cermin.
Ketika ia sedang memasukkan tasnya ke dalam mobil, Kosmas mendekat.
Entah dari mana munculnya. Tahu-tahu sudah ada.
"Mau pergi, Bu?" sapa Kosmas.
"Iya. Ada urusan."
"Oh ya, apa Ibu perlu peta Jakarta? Kalau Ibu kurang paham jalan-jalan
di sini, tinggal cari saja."
Delia berpikir sejenak. "Boleh juga, Pak. Saya boleh pinjam?"
"Tentu saja boleh. Sebentar ya. Saya ambil dulu."
Kosmas berlari ke kantor. Delia tersenyum melihatnya. Gaya larinya
lucu, pikirnya.
Tak lama kemudian Kosmas muncul dengan buku peta di tangannya. Ia
menyodorkannya kepada Delia.
"Terima kasih, Pak. Nanti saya kembalikan."
"Hati-hati di jalan, Bu."
Kosmas melambaikan tangan. Senang bisa berbuat sesuatu. Ia juga
berterima kasih kepada Erwin. Yang tadi itu idenya.
"Berikan perhatian pada hal-hal kecil, maka dia akan terkesan!" begitu
kata Erwin.
Delia melirik kaca spion. Ia melihat Kosmas masih saja berdiri
memandangi kepergiannya. Baru ketika ia keluar dari pintu gerbang,
lelaki itu berjalan
78
menuju kantor. Ternyata di hari-hari akhir hidupnya ia masih
mendapatkan perhatian dari seseorang. Rasanya menyenangkan. Tapi
kemudian ia terkejut sendiri. Tidak seharusnya ia memberi harapan
kepada siapa pun karena ia tidak bisa memberi apa-apa. Bukan tidak
mau, tapi memang tidak bisa!
Saat mengemudi, Delia teringat kembali kepada penglihatannya di
cermin tadi. Ia meyakinkan diri bahwa itu cuma halusinasi, tapi masih
saja ia merasa risau. Mungkin bukan takut, tapi khawatir rencananya tak
bisa terwujud dengan mulus. Sepertinya apa yang tampak tadi,
BAB 8
menjual mobilnya. Bila dijual murah pasti cepat laku. Setelah itu ia akan
pulang ke motel dengan taksi. Uang hasil penjualan mobil bisa untuk
menambah biaya pengurusan jenazahnya. Kalau misalnya tidak laku, ia
akan menyerahkannya kepada Kosmas. Tentang hal itu bisa ia tambahkan
di bawah surat yang telah ditulisnya.
88
"Sikapnya itu justru menaikkan martabatnya, Bang," kata Erwin
mengomentari sikap Delia. "Kok gitu?"
"Iya. Itu menandakan dia bukan orang yang gampang diajak."
"Oh begitu. Ya, benar juga. Tapi kalau dia nggak mau, berarti aku nggak
mendapat kesempatan untuk mengenalnya lebih baik."
"Jangan pesimis begitu, Bang. Kita kan sudah punya alamatnya di
Bandung. Teleponnya juga ada. Dia tidak akan menghilang begitu saja
kalau sudah keluar dari sini."
"Betul sih. Tapi kan jadi susah lagi."
"Susah gimana? Kau bertingkah aneh, Bang."
"Aku? Dialah yang aneh, Win! Dia sering sekali terlihat kontradiktif.
Sekali terlihat ceria dan optimis, tapi lain kali dia murung.
"Kurasa setiap orang begitu. Ada saat sedih, ada saat senang."
"Tapi tidak dalam waktu berdekatan, kan?"
"Kau terlalu intens memerhatikannya, Bang!"
Kosmas tidak puas. Apakah Erwin merasa prihatin atau menyesali?
89
BAB 9
"Selamat siang," Yasmin membalas. "Ada yang kosong? Saya mau nginap
semalam. Besok keluar jam sembilan."
"Baik, Bu. Bisa saya catat KTP-nya?"
Yasmin menyerahkan yang diminta. Pada saat menandatangani buku
tamu, Erwin melihat jari-jari Yasmin tidak memakai cincin.
"Kamar nomor 15, Bu? Oke? Masih ada pilihan nomor lain."
"Lima belas juga boleh."
"Mari saya antarkan," Erwin menawarkan diri sambil menyerahkan kunci.
"Ah, nggak usah. Ke kiri atau ke kanan?" "Ke kiri, Bu."
Mulanya Yasmin melangkah cepat karena ingin segera menghilang ke
dalam kamarnya, tapi terpaksa memperlambatnya karena rasa nyeri
yang menyerang. Ia bisa merasakan tatapan Erwin di punggungnya.
"Kelihatannya kakinya sakit," kata Erwin kepada Kosmas.
"Pincang?"
"Jalannya pelan-pelan. Seperti diseret."
"Jangan-jangan sakit, ya?" Kosmas khawatir.
"Wajahnya sih nggak kelihatan seperti orang sakit. Kalau sakit pasti
pergi ke rumah sakit. Bukan ke motel."
94
"Kok lagi-lagi dapat tamu cewek sendirian ya, Win?"
"Curiga lagi, Bang? Sudahlah. Buktinya, Ibu Delia baik-baik saja."
"Wanita tadi orang Jakarta, Win. Alamatnya nggak jauh-jauh amat."
Kosmas mengamati buku tamu.
"Emang kenapa?"
"Dia orang Jakarta dan datang sendiri. Sama kayak si Yuli."
"Sudahlah, Bang. Biarpun dia orang Jakarta, pasti ada alasannya kenapa
nginap di motel dan bukan di rumah sendiri. Barangkali rumahnya lagi
direnovasi. Atau gimana, gitu. Kita nggak tahu alasannya. Bukan urusan
kita, Bang."
"Iya. Habis trauma sih. Takut kejadian lagi. Kita juga termasuk orang
kolot. Lihat cewek sendirian pikirannya jadi macam-macam. Oh ya, tadi
kauberi dia nomor 15. Apa kau sengaja supaya dia bertetangga dengan
Delia?"
97
"Sendirian juga.. Sama dong, ya?"
Yasmin mengangguk. Ternyata ada juga perempuan yang menginap
sendirian di motel. Jadi dia tidak perlu khawatir akan dicurigai. Ia baru
merasa lega setelah Delia pergi. Ia khawatir Delia akan bertanya
macam-macam. Bisa saja ia keseleo lidah atau salah bicara. Bila hal itu
terjadi, orang pertama yang akan mencurigainya adalah Delia.
Belum sempat Yasmin melakukan sesuatu, pintunya diketuk. Semula ia
berpikir Delia kembali lagi dan menjadi kesal. Tapi ia melihat Erwin di
depan pintu, tersenyum dengan amat sopan. Tampak ganteng dengan
tubuhnya yang tinggi semampai, bercelana jins dan berkemeja putih
lengan panjang yang lengannya digulung.
"Maaf mengganggu, Bu. Tadi saya lupa memberitahu. Kalau Ibu perlu
apa-apa..."
"Pakai interkom," Yasmin menunjuk. "Saya sudah tahu."
"Oh begitu. Jangan ragu menggunakannya, Bu. Mau pesan makanan juga
bisa. Tak usah turun sendiri ke jalan."
"Ya. Terima kasih."
Yasmin merasa senang dengan keramahan itu tapi juga bosan. Siapa yang
bernafsu makan bila hidupnya akan berakhir beberapa jam lagi?
"Silakan beristirahat, Bu."
Erwin menyadari sikap kurang ramah yang diperlihatkan Yasmin. Ia
cepat pamitan. Sebenarnya ia masih ingin menanyakan apakah Yasmin
sakit dan memerlukan dokter. Tadi ia sempat melihat Delia membimbing
Yasmin. Tapi kelihatannya Yasmin tidak suka ditanyai.
Setelah Erwin pergi, Yasmin menyesali sikap
98
dinginnya. Seharusnya ia menggunakan saat-saat akhirnya dengan
perilaku yang baik. Apalagi ia akan berbuat buruk pada motel ini.
Perbuatannya akan membuat motel ini menanggung kesulitan. Polisi akan
datang menyelidiki. Media akan menyebarkannya. Bagaimana kalau
orang-orang di motel ini dicurigai? Ia sendiri tidak tahu apa-apa lagi.
Yang menanggung adalah yang masih hidup. Ternyata sudah mati pun ia
masih menyusahkan orang lain. Sama sekali tidak mudah untuk mati.
Seharusnya ia pergi ke tengah hutan lalu membiarkan dirinya dimakan
binatang buas. Setidaknya ia memberi kebaikan bagi binatang itu.
Sayang di sini tidak ada hutan dan binatang buas. Di sini hanya ada
manusia yang terkadang juga buas. Mereka tidak memangsa daging, tapi
perasaan.
Ia tahu, untuk memberi kepastian kepada polisi ia harus meninggalkan
surat. Dengan demikian ia bisa menghindarkan kecurigaan kepada orang-
orang yang tidak bersalah. Dalam setiap kasus dugaan bunuh diri, surat
yang ditulis sendiri selalu dicari lebih dulu. Bila itu berhasil ditemukan
dan diyakini memang ditulis oleh pelaku, kasusnya tidak akan
berpanjang-panjang.
Kertas sudah ia siapkan, berikut bolpoin beberapa buah kalau-kalau ada
yang macet. Ia menujukan suratnya kepada Hendri. Tulisannya dibuat
sebagus mungkin agar jelas terbaca. Ia mengucapkan selamat tinggal
dan permohonan maaf karena tidak bisa terus mendampinginya sebagai
istri. Ia menyesal tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri yang
baik, dan berharap Hendri bisa mendapatkan pengganti yang lebih baik
daripada dirinya. Ia tidak mau menyinggung masalah seks atau persoalan
sebenarnya karena ingin menjaga nama baik Hendri. Biarlah soal itu
tidak pernah diketahui orang lain.
99
Usai menulis, ia melipatnya lalu memasukkannya ke dalam laci. Nanti
malam, sebelum menjalankan aksinya, barulah surat itu ia taruh di atas
meja supaya gampang terlihat.
Sesudah itu ia merebahkan diri di tempat tidur. Tanpa dikehendaki,
pikirannya mengembara lagi. Padahal ia merasa sudah mantap. Pelan-
pelan ia mulai merasa takut. Bagaimana rasanya mati? Sakitkah? Apakah
lebih sakit daripada yang dirasakannya sekarang? Tapi bagaimanapun,
sakit itu cuma sekali. Sesudah itu selesai. Beda dengan sekarang yang
berulang dan berulang terus.
Seharusnya ia bisa berkata "tidak" kepada Hendri. Tapi mustahil juga.
Ia seorang istri, jadi berkewajiban melayani suami. Mana ada suami yang
Ramli terperangah. Belum terpikir ke situ. "Rasanya sih ada, Ma. Nanti
cari dulu," sahutnya, kemudian menyadari kesalahan setelah terlambat.
"Cari dulu?" teriak Rama. "Semuanya cari dulu! Sudah! Pergi sana! Cari!"
Tanpa disuruh untuk kedua kali semuanya pergi.
103
Ramli, Ridwan, dan Marta melanjutkan pertemuan di rumah Ramli. Rama
tidak ikut karena khawatir dicurigai ibunya.
"Aku pikir, kalau Mama dibohongin juga nggak bakal tahu," kata Marta.
"Kita bilang aja sudah berusaha tapi nggak ketemu."
"Apa dia bisa dibohongin?" Ramli ragu-ragu. "Nyatanya dia bisa tahu Del
ada di Jakarta. Padahal dia nggak ke mana-mana."
"Kalau dia sudah tahu Del di Jakarta, kenapa nggak tanya sekalian sama
informannya yang jelas di mana alamat Del," kata Ridwan sinis. "Kalau
alamat sudah, ada, kan kita bisa mengunjunginya. Nggak perlu detektif
segala."
"Jangan-jangan dia sebenarnya sudah tahu, tapi mau menguji kita saja.
Sampai mana keseriusan kita," kata Ramli.
"Bukankah dia bilang waktu sudah mendesak? Buat apa pakai menguji
segala? Itu kan buang waktu," komentar Marta.
"Ah, aku bingung nih. Kenapa ya Mama jadi begini? Kok dia nggak mau
mikirin kesulitan kita?" keluh Ridwan. "Sewa detektif itu kan mahal.
Padahal iuran lima ratus ribu saban bulan udah berat buatku."
"Iya. Berat tuh," Marta membenarkan.
"Tapi masih lebih baik keluar uang daripada hidup bersamanya, kan?"
kata Ramli.
"Betul. Aku perhatikan Maya, makin lama makin stres saja," Mila
membenarkan suaminya.
"Kita harus ingat akan keselamatan anak istri. Jangan sampai kena kutuk
Mama," Ramli mengingatkan. "Ingat nasib Agus dan Adam."
104
"Hi..." Mila bergidik.
"Apakah kita harus percaya akan kutukan Mama? Aku pikir, apa yang
dialami Agus dan Adam sudah menjadi takdir mereka," kata Marta.
Sore itu Hendri pulang disambut Inem. Bukan Yasmin seperti biasanya.
"Ibu pergi, Pak. Nggak tahu ke mana. Nggak bilang-bilang. Tahu-tahu
ilang," Inem melaporkan.
"liang gimana?" Hendri mengerutkan kening karena menganggap sikap
Inem genit dan tidak hormat. Tapi itu tentu salahnya sendiri karena
sudah menidurinya. Inem sudah menganggapnya sebagai kekasih.
"Tadi saya tidur siang. Bangun-bangun Ibu udah nggak ada. Pintu dikunci
dari luar. Saya nemu kuncinya di lantai."
"Ya sudah. Orang pergi aja diributin. Mungkin tadi dia mau bilang sama
kamu, tapi kamu molor!"
"Biasanya sih Ibu nggak suka ke mana-mana."
"Sudah. Jangan bawel."
Inem pergi dengan kecewa. Bila Yasmin tidak ada di rumah, mestinya
mereka berdua bisa lebih leluasa. Ia sudah berdandan rapi untuk
menyambut kepulangan
106
Hendri. Mumpung Yasmin belum pulang. Tapi Hendri sama sekali tidak
menyentuhnya.
Hendri bergegas ke kamarnya. Barangkali Yasmin meninggalkan pesan di
sana. Tapi ia tidak menemukan apa-apa. Perasaannya kurang enak. Buru-
buru ia membuka lemari pakaian lalu memeriksa. Ia menyimpulkan isinya
masih lengkap. Koper juga ada. Jadi tak mungkin Yasmin minggat. Entah
kenapa ia berpikir begitu. Padahal orang pergi itu wajar saja karena hari
belum berganti. Mungkin perginya baru beberapa jam saja.
Yang membuat perasaannya kurang enak adalah kondisi Yasmin. Ia tahu
betul Yasmin sedang sakit karena hubungan seksual semalam. Apakah
Yasmin marah? Tapi ia menganggap kepergian Yasmin itu juga
menandakan bahwa sakitnya mungkin tidak terlalu serius. Kalau benar-
benar sakit seperti yang biasanya dipertontonkannya di rumah, mustahil
Yasmin bisa turun ke jalan. Apakah ia tidak malu atau khawatir kenapa-
kenapa?
Untuk pertama kalinya Hendri menyadari bahwa Yasmin memang jarang
ke luar rumah seperti yang dikatakan Inem. Ia sendiri jarang mengajak,
mengenai apa dan siapa ayahnya itu. Padahal ia punya feeling bahwa
Winata sebenarnya ingin berbaikan dengan Yasmin. Hal itu diindikasikan
oleh
108
kedatangan Winata ke pesta pernikahan mereka. Yasmin sendiri tidak
berniat mengundang ayahnya, tapi, Hendri membujuk dengan
mengatakan bahwa apa pun yang telah terjadi Winata tetaplah ayahnya.
Ternyata memang tidak sia-sia. Winata menunjukkan perhatiannya
dengan datang sendirian ke pesta mereka. Winata tentu tak mau
mengajak istri keduanya karena tak mau menyinggung perasaan Yasmin.
Tapi bukan itu saja hasilnya. Winata memberi angpau gede!
Meskipun sudah memutuskan untuk tidak peduli, ingatan kepada Winata
membangkitkan keingintahuan Hendri. Siapa tahu Yasmin memang ke
sana. Hidup ini terkadang memberikan berbagai kejutan.
Ia mencari nomor telepon Winata lalu menghubungi rumahnya. Suara
lelaki menyambutnya.
"Selamat sore! Bisa bicara dengan Pak Winata?" kata Hendri sopan.
"Dari mana, Pak?"
"Saya Hendri, suami Yasmin."
"Tunggu sebentar, Pak."
Tak lama kemudian suara lelaki yang lain lagi terdengar, "Saya Winata.
Ini suami Yasmin, ya?" "Betul, Pak." "Tumben."
"Bapak baik-baik saja?"
"Seharusnya kau memanggilku Papa."
"Ya, Pa. Begini. Saya cuma mau nanya apakah Yasmin ada di situ, di
rumah Papa? Tadi dia pergi tanpa pesan. Saya tidak tahu dia ke mana."
"Ah, bayangannya aja nggak ada tuh."
"Kalau begitu, mungkin dia ke tempat lain. Maaf sudah mengganggu, Pa.
Selamat sore!"
"Tunggu dulu. Kebetulan kau nelepon. Aku mau
109
bicara. Mestinya sih sama Yasmin. Tapi karena dia nggak ada, biarlah
sama kau saja. Siapa ya namamu?" "Hendri, Pa."
"Oh ya, Hendri. Jangankan namamu, wajahmu pun aku tak ingat lagi.
Habis baru lihat sekali. Bagaimana keadaan Yasmin? Apa dia baik-baik
saja?"
"Baik, Pa. Dia sehat," sahut Hendri, lalu menjulurkan lidahnya.
"Kalian sudah punya anak?"
"Belum, Pa."
"Memang direncanakan?"
"Nggak, Pa. Belum dikasih aja."
"Begini, Hen. Ngomong di telepon itu nggak leluasa. Bisakah kau datang
sekarang? Masalahnya penting."
Hendri ragu-ragu sejenak. "Nggak bisa besok, Pa?"
"Besok?" suara Winata meninggi. "Siapa tahu besok aku mati! Apa kau
nggak tahu kalau keturunanku cuma Yasmin seorang?"
"Oh ya, baiklah, Pa," sahut Hendri buru-buru. "Sekitar satu jam lagi
saya datang."
"Sudah tahu alamatku?"
"Belum, Pa."
"Ayo catat."
Hendri jadi lebih bersemangat. Mungkin yang mau dibicarakan itu
masalah warisan?
110
BAB 11
"Nggak sih. Terima kasih atas perhatiannya, Kak," kata Yasmin ramah,
menyadari kecanggungan Delia. Lalu ia mengangguk kepada Erwin
kemudian merapatkan pintu dan menguncinya kembali. Kalau lupa dikunci
bisa-bisa ada yang lancang masuk hanya karena merasa mendengar
suara.
Setelah itu Yasmin menjatuhkan diri di tempat tidur. Baru sekarang ia
memperlihatkan ekspresi yang sesungguhnya. Ia berkata pelan, "Aku
memang sedang menangis. Sedih sekali. Tapi di dalam hati! Bagaimana
dia bisa mendengar?"
***
"Aduh, aku jadi malu banget," kata Delia kepada Erwin.
Erwin menatap simpati. "Nggak usah malu, Bu. Itu berarti Ibu
bermaksud baik. Mau menolong. Masa dengar orang menangis dibiarkan?
Padahal tadi Ibu sempat membimbingnya, kan? Nggak heran kalau Ibu
berpikir dia sakit."
"Tadi aku benar-benar mendengar tangisan, Pak."
"Panggil aku Erwin aja, Bu."
"Aku Delia," sahut Delia, terbawa oleh sikap Erwin.
"Boleh aku memanggil Kak Del?"
"Tentu saja boleh," kata Delia senang. Mendapat teman itu
menyenangkan.
"Aku percaya Kak Del memang mendengar tangisan. Mungkin dia malu
mengakui." Erwin ingin" mengambil hati.
"Entahlah. Tapi kalau dia memang nggak sakit, itu lebih baik. Oh ya, aku
mau kasih tahu, Pak, eh, Win. Barusan tanganku seperti tersengat arus
listrik
114
waktu bersandar ke dinding. Jangan-jangan ada arusnya."
Erwin terkejut. Ia mengikuti Delia masuk ke kamarnya, lalu
menempelkan tangannya ke dinding yang ditunjuk. Dari satu tempat ke
tempat lain, berpindah-pindah. Ia menggelengkan kepala. "Nggak terasa
apa-apa, Kak."
"Nggak biasa sih, Kak. Cuma Kakak kami anggap tamu yang luar biasa."
"Luar biasa gimana?"
"Terus terang, jarang ada tamu perempuan yang nginap sendiri. Memang
ada yang datang sendiri tapi untuk menunggu pasangannya yang datang
kemudian. Terus Kakak bawa kendaraan sendiri dari jauh. Biasanya
perempuan kan ada pengawalnya," celoteh Erwin. Padahal tentu saja
alasannya bukan itu.
"Kalau begitu mah bukan luar biasa. Yasmin itu juga nginap sendirian."
"Dia orang Jakarta."
Delia mendapat ide. Sebenarnya ia belum memutuskan untuk menerima
atau tidak undangan makan malam itu. Sudah terpikir bahwa seharusnya
ia menjaga jarak dari orang yang menaruh perhatian. Jangan beri
harapan. Tapi ada keraguan. Bila ia masih bisa menyenangkan orang lain
untuk hari ini, kenapa tidak? Ia takkan bisa melakukannya lagi di hari-
hari berikutnya. Pasti ada yang sedih, tapi
116
setidaknya ia sudah disenangkan hari ini. Itu masih lebih baik dibanding
sedih terus, baik hari ini apalagi besok.
"Aku punya ide, Win. Bagaimana kalau Yasmin diajak? Dia bisa
menggenapkan jumlah."
Erwin setuju sekali. "Baik. Tapi kau yang ngajak, ya? Dan bila dia nggak
mau, kau tetap mau, kan?"
"Iya deh."
Dengan gembira Erwin membawa kabar baik itu kepada Kosmas.
Meskipun merasa senang, Kosmas agak kecewa karena ada tambahan
orang baru. Apalagi itu adalah Yasmin yang diperkirakan sakit. Tapi
bukan cuma itu yang dilaporkan Erwin.
"Aku merasa kamar empat belas itu ada isinya, Bang!"
Kosmas terkejut. "Apa maksudmu? Tentu saja kamar itu ada isinya.
Delia, kan?"
"Bukan itu. Kau tahu apa yang kumaksud." "Yang dulu?"
"Entahlah. Aku tidak bisa membedakan."
"Apakah Delia merasakan sesuatu?"
"Dia cuma heran kenapa kelakuannya aneh. Merasa mendengar tapi tidak
ada. Merasakan sengatan tapi sebetulnya tidak ada juga."
"Apa dia ketakutan?"
"Kelihatannya sih nggak."
"Win, aku khawatir dia akan mengalami gangguan lagi. Apa sebaiknya
diberitahu saja supaya dia pindah ke kamar lain?"
"Ah, jangan. Nanti dia marah sama kita kenapa diberi kamar yang itu."
"Oh iya. Wah, nggak enak rasanya ya, Win."
"Sudahlah, Bang. Tenang saja. Orang seperti Kak Del itu pasti bisa
mengatasi."
117
"Kak Del?"
"Oh iya. Aku sudah berteman dengannya, Bang," Erwin berkata bangga.
"Aku pengen juga, Win!" seru Kosmas iri.
Erwin tertawa. "Sabar, Bang. Giliranmu akan tiba. Sekarang aku pesan
makanan dulu."
Kosmas mengamati adiknya yang berjalan menuju pintu gerbang dengan
perasaan bangga. Tanpa adiknya itu, hidupnya pasti akan lain. Ia
bersyukur ibunya menghadiahinya seorang adik pada saat semua orang
menyangka dia akan menjadi anak tunggal.
***
Usai mandi, Delia kembali mengetuk pintu tetangganya. Ia mengatasi
perasaan tak enak mengingat peristiwa tadi. Tapi kali ini ia punya alasan
yang lebih kuat. Sebenarnya ia juga punya alasan sendiri kenapa berniat
mengajak Yasmin. Bukan karena baik hati, tapi karena penasaran dengan
peristiwa tadi.
Ia yakin telinganya tidak salah. Jadi ia kesal karena Yasmin tidak
mengaku hingga ia tampak bodoh. Apa salahnya mengaku saja? Ia tidak
akan ikut campur urusan orang lain. Mungkin Yasmin malu karena
kehadiran Erwin, sebagai pemilik motel. Karena itu bila berdua saja
mungkin Yasmin mau berkata benar. Yang penting baginya hanya
kepastian. Benarkah Yasmin menangis? Yasmin hanya perlu menjawab ya
atau tidak. Itu saja.
Pintu kamar 15 terbuka. Yasmin pun baru selesai mandi. Masih tercium
harum sabun mandi. Rambutnya agak basah. Belum disisir. Ia tidak
kelihatan surprise melihat Delia. Mungkin sudah mengintip dari jendela.
118
"Ada apa, Kak?" tanya Yasmin. Kali ini lebih ramah.
"Begini, Yas. Kita diundang makan sebentar lagi oleh pemilik motel. Pak
Kosmas dan Erwin. Mau, ya?"
"Ada apa memangnya? Apa tamu lain diundang juga?" Yasmin heran.
"Aku nggak tahu ada apa. Tamu lain sih nggak diundang. Cuma kita."
"Cuma kita? Apa mereka bermaksud baik, Kak? Masa yang diundang
justru perempuan sendirian?"
"Makannya nggak di luar, Yas. Tapi di ruang makan motel ini."
"Kau nggak curiga, Kak?"
"Cuma makan, apa salahnya?"
"Makan aja sih nggak salah. Tapi gimana kalau makanannya atau
minumannya dicampuri obat bius, lalu kita diapa-apain setelah nggak
berdaya?"
Delia tertegun sejenak. Tak menyangka pikiran Yasmin sejauh itu.
"Mereka kan punya usaha baik-baik. Mustahil mempertaruhkan reputasi
untuk berbuat seperti itu. Kalau mau gituan, di sini kan banyak. Bisa
melakukannya mau sama mau. Tak perlu paksaan."
"Siapa tahu. Ada film yang seperti itu."
"Film kan bohong-bohongan. Eh, jadi kau mau atau nggak?"
Yasmin berpikir dulu. Andaikata ia bersedia, itu bisa jadi makan malam
terakhir dengan orang-orang lain di luar suaminya. Kenapa tidak
menikmatinya-saja? Tapi ia agak paranoid. Bukan mengada-ada dengan
persangkaannya tadi. Ia takut jadi korban perkosaan. Mau mati tak bisa,
malah diperkosa orang. Melarikan diri dari perkosaan, malah diperkosa
lagi. Padahal sakitnya itu masih terasa.
119
Delia mengamati wajah Yasmin. Ia berusaha tidak peduli akan apa yang
mungkin terpikir atau dirisaukan Yasmin.
BAB 12
"Nggak, Pa."
"Bagus kalau begitu. Kau bisa jadi penengah yang baik. Kuharap kau bisa
membujuknya agar mau memaafkan aku dan hubungan kami bisa jadi
baik lagi."
126
***
"Apa kaupikir menantuku itu bisa membujuk putriku, Yo?" tanya Winata
kepada Aryo, perawat pribadinya.
Lelaki bertubuh pendek gempal dan berwajah bulat itu tersenyum.
Wajahnya tampak semakin lebar.
"Mudah-mudahan saja bisa, Pak. Teleponnya itu saja sudah pertanda
baik."
"Baik memang. Aku tak perlu lagi memasang iklan. Cuma aku masih
merasa aneh, kenapa dia sampai nelepon ke sini. Pasti bukan kebetulan
belaka atau karena tiba-tiba ingat sama aku, padahal dia nggak kenal
aku. Dia nelepon pasti karena putus asa nggak bisa menemukan Yas.
Masa orang pergi belum lewat sehari saja sudah dicemaskan. Cuma
kepengen tahu, katanya. Aku nggak percaya."
"Barangkali dia sangat mencintai Bu Yas. Jadi selalu khawatir."
129
"Ah, aku kok nggak percaya, Yo. Selalu mengkhawatirkan itu kan nggak
baik. Memangnya Yas itu anak kecil yang bisa kesasar atau nggak bisa
pulang sendiri?"
"Mungkin nanti malam perlu ditelepon, Pak. Untuk mencari tahu apakah
Bu Yas sudah pulang atau belum."
"Maunya sih begitu, Yo. Tapi kalau Yas memang sudah di rumah lalu
menerima telepon, dia bisa mengenali suaraku. Sebaiknya dia dibujuk
suaminya dulu. Sudahlah. Kalau ada apa-apa tentunya Hendri akan
memberitahu."
Winata termenung. Aryo menemani tanpa berbicara. Ia tahu kapan perlu
bicara dan kapan tidak. Dalam hati cuma bisa berharap yang terbaik
bagi majikannya dan Yasmin.
130
BAB 13
Ruang makan motel itu tampak sederhana tapi bersih. Dindingnya putih
seperti semua dinding yang lain. Sebuah lukisan bunga krisan putih dan
"Belum," jawab Kosmas. "Kami merasa mantap di sini. Tapi bukan berarti
usaha ini selalu sukses. Ada pasang-surutnya. Hasilnya cukup untuk
hidup sederhana bagi kami dan para karyawan."
"Padahal tempat ini strategis," kata Delia.
"Betul sekali, Bu. Kami sudah mendapat banyak tawaran menggiurkan
kalau dilihat dari uangnya. Tapi buat apa uang banyak itu bagi kami
dibanding tempat yang bersejarah ini?"
"Mungkin kalian memang nggak ingin berpisah. Inginnya sama-sama
terus. Pasti berkat jasa ibu kalian," kata Delia.
"Oh iya. Dia ibu yang hebat," Kosmas bangga.
132
"Kenapa kalian belum punya nyonya?" tanya Yasmin. Tadinya ia cuma mau
mendengarkan, tapi lama-lama ingin juga ikut serta dalam pembicaraan.
Tak enak diam saja. Nanti disangka sakit atau apa.
"Mungkin belum lahir," gurau Erwin.
"Ah masa? Disembunyiin, kali," balas Delia.
"Sungguh, nggak ada. Tepatnya, belum ada. Kami ini cowok berat jodoh,"
kata Kosmas sambil tersenyum, ingin memperlihatkan bahwa soal itu
bukan masalah besar.
"Mungkin syaratnya berat," kata Delia.
"Kami nggak pakai syarat segala. Tapi kalaupun dibilang syarat, nggak
berat juga," kata Erwin.
"Nggak berat gimana?" Yasmin ingin tahu.
"Syaratnya, mau menerima kami apa adanya. Kalau menerimaku berarti
menerima Bang Kosmas juga sebagai saudaraku," jelas Erwin.
"Maksudmu satu cewek untuk berdua?" tanya Yasmin heran.
Mereka tertawa. Termasuk Yasmin. Pertanyaannya memang konyol.
"Begini," Kosmas ganti meneruskan. "Selama ini cewek-cewek yang kami
pacari selalu berniat memecah kami. Mereka bilang, jangan bisnis sama-
sama kayak gini. Nanti dicurangi lho. Jual saja. Hasilnya bagi dua, lalu
masing-masing jalan sendiri-sendiri. Pendeknya, belum apa-apa sudah
mau mengatur. Tapi, mungkin lebih baik begitu daripada telanjur
kemudian."
"Kayaknya aku ngerti juga perasaan mereka, Bang. Mungkin mereka juga
cemburu akan keakraban kalian."
"Ya. Mungkin. Ini nafkah kami bersama sejak lama. Jatuh-bangun
bersama. Kalau mau cemburu,
133
mestinya juga pada tempat ini. Oh ya, Bu Del sudah memanggilku Bang.
Boleh aku juga bersikap sama?" tanya Kosmas.
"Aku nggak mau dipanggil Bang."
"Tentu saja. Bukan itu." Kosmas tersipu.
"Ya. Panggillah namaku saja."
"Terima kasih. Dan..." Kosmas mengarahkan pandang pada Yasmin.
"Ya. Sama-samalah. Yasmin atau Yas saja," kata Yasmin tak acuh. Apa
pedulinya dipanggil apa saja?
Erwin menatap Yasmin. "Maaf, Yas. Tadi kukira kau masih lajang.
Rupanya nggak, ya?"
"Aku sudah bersuami."
Tiga orang menatap Yasmin hingga ia tersipu. Tadi ia sengaja
mengenakan cincin kawinnya yang semula dilepasnya. Maksudnya supaya
tidak ada yang macam-macam.
"Kalau aku janda. Suami sudah lama meninggal. Demikian pula anak
tunggal kami yang sudah meninggal duluan. Kegiatanku sekarang
pengusaha garmen di Bandung," tutur Delia.
Delia mendapat tatapan simpati. Terutama dari Kosmas. Pikirnya,
benarlah dugaannya bahwa Delia perempuan mandiri yang kuat. Ia
terdorong sekali untuk memberi penghiburan. Memang Delia tidak
terlihat membutuhkan itu, tapi siapa tahu hatinya? Oh, aku ingin sekali
memeluknya lalu membelai kepalanya dan membisikkan kata-kata lembut.
Delia menatap sekelilingnya lalu tertawa. "Itu sudah lama berlalu. Orang
tak bisa sedih terus-terusan. Hidup terus berjalan. Mau tak mau kita
mesti menjalaninya."
Tapi di dalam hati ia berkata, "Maaf, aku bohong!" Yasmin buru-buru
berkata, "Aku sih cuma ibu
134
138
BAB 14
Delia tak kunjung bisa tidur meskipun bekernya sudah menunjukkan jam
sebelas malam. Berbeda dengan malam kemarin. Padahal kalau
dibandingkan dengan sekarang, situasi hatinya sama saja. Lama-lama
jadi terasa menjengkelkan.
Akhirnya ia turun dari ranjang, menuju jendela, lalu menguak gorden.
Sunyi sepi di luar. Pasti orang-orang sudah pada tidur. Suara gaduh
masih terdengar jauh di jalan. Sebagai kota metropolitan, Jakarta tak
pernah tidur. Sebagian orang masih bekerja, sebagian lagi masih
membutuhkan hiburan.
Ia tahu, di motel ini masih ada yang belum tidur. Atau tidak tidur. Dia
adalah orang yang bertugas di kantor. Barangkali ia bisa berbincang
sejenak. Sekadar untuk mengisi waktu daripada bengong menunggu tidur
yang tak kunjung datang. Mungkin ia sudah ditakdirkan agar
memanfaatkan saat-saat akhirnya untuk berinteraksi dengan orang lain.
Delia membuka gaun tidurnya dan mengenakan kembali celana panjang
dan blus yang barusan dipakainya, lalu ke luar kamar. Tapi ia masih ingat
untuk mengunci pintu. Masih banyak uang tersimpan di kamarnya. Saat
melewati kamar Yasmin ia menatap jendela, tapi tentu saja tak
kelihatan apa-apa. Gorden menutup rapat dan lampunya sudah mati.
139
Delia terus melangkah ke kantor sambil menebak-nebak siapa yang akan
ditemuinya nanti. Kosmas, Erwin, ataukah Adi. Ia tidak mengharapkan
siapa-siapa. Ia hanya ingin berbincang. Barangkali mendengar cerita
tentang sejarah motel, peristiwa menarik yang pernah terjadi, atau apa
saja asal jangan ditanya tentang dirinya.
Ia melihat Kosmas sedang menonton televisi. Tampaknya asyik sekali.
Delia berdeham di ambang pintu yang terbuka separuh.
Kosmas terkejut bagai kena sengatan listrik. Melihat Delia ia melompat
bangun.
Setelah mengatakan itu, Delia merasa lega. Selama ini ia tak pernah
mengatakannya kepada siapa pun, meskipun orang-orang sekitarnya,
saudara-saudara Agus, merasakan hal yang sama. Jadi karena sudah
tahu sama tahu, tak perlu lagi dikatakan. Ternyata menyuarakannya
dengan kata-kata, justru kepada orang yang baru dikenal, bisa teramat
melegakan. Seperti mengeluarkan sumbatan di kerongkongan.
"Del, kematian itu di tangan Tuhan. Bukan pada kutukan. Atau lidah
berbisa seseorang."
"Ya. Mestinya begitu," sahut Delia datar.
"Mestinya?" seru Kosmas. Ia menggelengkan kepala lalu meraih tangan
Delia yang dipegangnya dengan erat. "Bukan mestinya, Del! Tapi memang
begitu! Percayakah kau kepada Yang Mahakuasa?"
"Percaya."
"Nah, karena Dia mahakuasa, maka Dia-lah yang menentukan kematian."
Delia tersenyum pahit. Ia tak ingin berdebat soal itu. Tunggu saja. Lihat
nanti. Aku bisa menentukan kematianku sendiri. Semua orang bisa kalau
mau dan berani!
"Kenapa kau tidak melawannya?" tanya Kosmas, masih penasaran.
"Tidak ada gunanya. Selama ini aku sudah melawan, Bang."
"Kalau kau di pihak yang benar, jangan takut, Del."
"Aku tidak takut. Tapi dia itu... oh, kau tidak tahu seperti apa dia itu."
"Seperti apa?" "Seperti bukan manusia."
143
"Ah..." Kosmas terperangah. "Bukankah dia sudah ma?"
"Tentu saja. Umurnya tujuh puluh. Dia nenek sihir!" Kosmas terkejut.
Kali ini mulutnya sempat ternganga.
"Apakah dia dukun, tukang santet, atau apa?"
"Kayaknya bukan. Mulutnya jahat. Bertuah."
"Kalau dia mengurukmu, tentu karena dia membencimu. Dan itu pasti
karena kau tidak memberi apa yang diinginkannya."
"Betul sekali, Bang. Kau menduga tepat! Yang diinginkannya adalah
harta! Ah, sudah larut malam. Sebaiknya aku kembali ke kamar. Terima
kasih mau menemani ngobrol, Bang."
pada Delia bila sudah kembali. Tapi muncul pikiran lain yang didorong
oleh keinginta-
149
huan. Barangkali ia bisa mengenal Delia lebih dalam bila melihat suasana
kamarnya.
Ia membuka pintu lalu masuk. Lampu kamar masih menyala. Perhatiannya
tertarik pada meja kecil di samping tempat tidur. Ada peles obat di
samping botol Aqua. Ia masuk, merapatkan pintu, lalu meraih peles obat
itu untuk diamati. Isinya berupa. kapsul yang memenuhi seluruh peles.
Apakah Delia sakit sampai harus minum obat atau cuma vitamin? Kalau
vitamin tentunya ada labelnya. Ia meletakkan kembali peles itu di
tempat semula.
Iseng-iseng ia menarik laci. Tampak amplop cokelat di situ. Karena
merasa tak enak, ia mengalihkan pandang tapi matanya kembali
mengarah ke amplop itu. Sepertinya ia melihat namanya di situ. Setelah
memelototkan mata, ia yakin memang namanya. Kepada Yth. Pak
Kosmas—Motel Marlin.
Jadi itu untuknya. Berarti ia berhak melihatnya. Ia meraihnya. Amplop
itu lumayan tebal. Karena tak dilem, ia bisa membukanya dengan
gampang. Di dalamnya ada sejumlah uang dan selembar kertas surat.
Tulisan tangan dan singkat. Setelah selesai membaca ia memekik kaget.
Jantungnya berdebar keras. Apa-apaan kau, Del?
Interkom berbunyi. Suara Adi.
"Pak! Polisi sudah datang."
"Ya. Aku segera ke sana."
Ia memasukkan kembali kertas surat ke dalam amplop, lalu memasukkan
amplop ke dalam laci seperti semula. Sesudah itu ia bergegas ke luar,
mengunci pintu, lalu memasukkan kuncinya ke dalam saku. Badannya
terasa gemetar.
***
150
Yasmin mendapat pertolongan di ruang UGD Delia dan Erwin menunggu
di luar.
"Nggak juga. Tapi materi obrolan itu menarik. Kalau nggak sih aku tidur
lagi."
"Kenapa nggak keluar dan ikut mengobrol?"
"Enakan jadi pendengar."
"Oh ya?"
Erwin tidak mau mengatakan yang sebenarnya bahwa ia tidak ingin ikut
hadir sebagai orang ketiga.
Percakapan mereka terhenti ketika seorang perawat mendekati. Mereka
segera berdiri.
"Apa Bapak dan Ibu keluarga Bu Yasmin?"
"Bukan. Kami temannya," sahut Delia cepat. "Bagaimana keadaannya?"
"Oh, soal itu nanti dokter yang akan memberitahu. Bu Yasmin masih
ditolong."
"Apa ada harapan, Sus?"
"Kelihatannya begitu. Tapi jelasnya nanti dokter yang beritahu. Yang
mau saya tanyakan adalah urusan administrasi."
"Jangan khawatir, Sus. Keluarganya sedang dibe-ritahu. Tapi untuk saat
ini saya bersedia menalangi biayanya."
"Baiklah. Terima kasih, Bu. Tapi ini kasus percobaan bunuh diri. Jadi
polisi harus diberitahu. Apakah sudah?"
152
"Ya. Sudah, Sus. Saya dari pihak motel sudah tahu apa yang harus
dilakukan," sahut Erwin.
"Baik. Terima kasih."
Perawat menghilang ke dalam ruangan.
"Kak Del, punya uang receh? Aku mau nelepon dulu," kata Erwin.
Delia membuka tasnya, memberikan Erwin se-genggam uang logam.
Belum lama Erwin pergi, seorang dokter pria keluar. "Ibu Delia?"
Delia melompat berdiri. "Betul, Dok."
"Dia ingin bertemu Ibu."
***
"Bagaimana di sana, Bang? Polisi sudah datang?" tanya Erwin di telepon.
"Sudah. Jangan ngomong, Yas. Istirahat dulu. Kalau sudah enakan baru
ngomong. Atau mau nulis aja? Aku bawa kertas dan bolpoin." Delia
meraih tasnya.
Yasmin menggeleng. Ia menarik tangan Delia dan-memeganginya.
"Jangan pergi, Kak."
154
"Nggak. Aku nggak akan pergi. Aku tetap mendampingimu, Yas. Jangan
khawatir." "Aku takut dia datang." "Dia siapa?" "Suamiku."
Delia terkejut. "Jadi... kau melakukannya karena dia?" "Ya."
"Apa dia menyiksamu?" tanya Delia gusar.
Yasmin tidak menyahut. Wajahnya sedih. Bagi Delia itu sudah cukup
sebagai jawaban.
"Jangan mau mati karena dia, Yas. Kau harus melawannya."
"Aku ingin mati, Kak. Tapi... hek-hek-hek..." Yasmin meraba lehernya.
"Sakit? Sudah, jangan ngomong lagi. Nanti saja ceritanya kalau sudah
enakan."
"Minum dulu."
Setelah minum pelan-pelan dengan wajah mengernyit pertanda sakit,
Yasmin berkata pelan, "Aku masih bisa ngomong, Kak. Sakit sedikit
nggak apa-apa. Aku mesti ngomong sekarang. Mumpung dia belum
datang. Pasti dia datang, kan?"
"Tentu. Im kalau dia bertanggung jawab."
"Aku pengen mati, Kak. Tapi nggak bisa. Aku malu. Aku mau cerita tapi
jangan sampaikan ke orang lain, ya? Lebih-lebih pada suamiku. Pasti dia
akan mencemooh."
"Aku janji, Yas. Percayalah. Tapi pelan-pelan saja ngomongnya. Jangan
cepat-cepat."
"Kak, tadi aku takut sekali. Saat aku mulai minum racun itu, aku sudah
mantap. Tiba-tiba aku melihat sosok hitam besar bersayap. Ada
tanduknya. Ada buntutnya. Dia duduk di pojok mengamati. Dia
155
tertawa-tawa. Kulempar kaleng racun itu. Aku baru minum sedikit. Aku
merasa sakit bukan main. Aku berusaha memuntahkannya. Lalu kalian
datang..."
Delia terkejut. Cerita itu mengerikan sekali baginya. Tiba-tiba terpikir
apakah ia pun akan mengalami hal yang sama seperti Yasmin.
"Kak, jangan cerita sama orang lain, ya?"
"Tentu saja nggak. Aku sudah berjanji. Sekarang tentang suamimu. Eh,
apa kau masih bisa meneruskan?"
Delia merasa keingintahuannya bisa menyakitkan bagi Yasmin.
"Bisa, Kak. Sakit sedikit kok. Dia... dia, ah, malu ceritanya."
"Kalau begitu nanti saja, Yas. Biarpun suamimu datang, di sini dia nggak
akan bisa macam-macam. Aku akan membantumu," kata Delia
bersemangat. Rasanya ingin sekali memberi tonjokan pada si suami.
Yasmin memutuskan untuk bercerita. Setelah usaha bunuh dirinya gagal,
ia sadar tak bisa lagi menyimpan masalahnya sendiri. Ia yakin, Delia
orang yang cocok untuk berbagi. Walaupun ia tak bisa lepas, ada orang
lain yang tahu. Maka ia bercerita. Tersendat pada mulanya. Lalu lancar
kemudian.
Bagi Delia, cerita itu sungguh menggetarkan perasaannya. Ia belum
pernah mendengar yang seperti itu selama hidupnya.
***
Ruang UGD itu terbagi dalam sekat-sekat berupa tirai putih yang
panjangnya nyaris mencapai lantai. satu tempat tidur dikelilingi tirai bila
ada pasien yang sedang ditangani di situ. Tempat tidur Yasmin
156
pun dikelilingi tirai. Di sebelahnya ada tempat tidur yang kosong. Di situ
Erwin duduk, asyik mendengarkan!
Delia dan Yasmin tidak menyadari kehadiran Erwin di sebelah mereka.
Kalau saja Yasmin tahu, pasti ia tidak akan bercerita.
Semula Erwin mau menunggu di ruang tunggu saja ketika perawat
menyilakannya masuk. Tapi kemudian ia memutuskan untuk duduk saja di
tempat tidur sebelah. Mumpung tak ada pasien. Im disebabkan karena ia
mendengar suara-suara percakapan. Ia merasa kemunculannya bisa
"Ya. Maukah kau memberi saran nanti?" "Yang penting, tanyalah pada
hatimu." "Hatiku?"
"Ya. Aku sendiri tidak tahu bagaimana memberi saran. Aku baru saja
mengenalmu. Sedang suamimu tidak kukenal kecuali dari ceritamu. Yang
bisa kusarankan dari sekarang adalah jangan menyerah. Dia suami,
bukan penguasa. Jadi mumpung sekarang kau bisa beristirahat,
renungkan kembali semuanya."
"Ya, Kak. Dia nggak boleh tahu bahwa aku batal bunuh diri."
"Pendeknya, yang tahu soal itu hanya kita berdua." "Jangan kasih tahu
orang-orang di motel ya, Kak." "Tentu saja."
"Kasihan ya, Kak. Aku merepotkan orang lain. Mereka jadi susah."
"Betul."
Di balik tirai Erwin mengerutkan kening. Jadi baik Yasmin maupun Delia
cukup menyadari bahwa perbuatan seperti itu akan menyusahkan pihak
motel. Tapi kenapa mau dilakukan juga?
Kejengkelannya sudah berangsur lenyap mendengar cerita Yasmin.
Orang yang melakukan bunuh diri pasti punya masalah yang tak
tertanggungkan hingga memilih mati sebagai kebebasan. Perihal Yasmin
sudah ia ketahui, tapi Delia belum. Ia merasa heran apa yang menjadi
beban bagi Delia. Pastilah lebih berat daripada beban Yasmin. Padahal
Delia tampak lebih tangguh. Dia bisa memberi saran yang baik bagi
Yasmin. Kenapa dia tidak melakukannya bagi diri sendiri?
"Maukah kau berjanji padaku, Yas, bahwa kau tidak akan mengulang
perbuatan itu lagi?" kata Delia.
159
"Ya, Kak. Aku takut melihat setan itu. Ya, dia pasti setan, bukan?"
"Kayaknya begitu."
"Dia tertawa pasti karena senang melihat kelakuanku."
"Ya. Kalau nggak senang masa tertawa."
Mau tak mau Delia merasa tergetar juga. Apakah setan itu pun akan
muncul bila dia melakukan hal serupa? Apakah pengalaman Yasmin itu
bisa dianggap sebagai peringatan untuknya?
"Jangan khawatir. Tadi aku bicara sama dokter. Katanya dia akan
menyuruhmu istirahat dua hari."
"Dua hari?"
"Ya. Apakah cukup untuk merenungkan langkah selanjutnya, asal jangan
mengulangi?" "Ya, cukup."
Delia kembali. Erwin berkata akan menunggu di ruang tunggu saja.
Mereka harus menunggu kedatangan suami Yasmin sebelum bisa
meninggalkan Yasmin.
"Kak, dia sudah tahu. Dia nguping tadi," Yasmin memberitahu.
"Dia mengakui itu?"
"Ya. Tapi dia berjanji tidak akan memberitahu siapa pun kecuali
abangnya."
161
Delia tersenyum. "Apakah dia menjanjikan bantuan?" "Ya."
"Bagus. Mereka memang orang baik. Jadi kau tidak perlu putus asa, Yas.
Masih ada orang-orang baik di dunia ini."
"Ternyata susah sekali hidup sendiri ya, Kak? Rasanya tak ada yang
peduli. Tak ada yang mau membantu. Bagaimana denganmu, Kak? Kau
tabah sekali."
Delia memalingkan mukanya. Apakah dia kelihatan tabah? Tapi dia
merasa seperti orang munafik. Dia menasihati Yasmin dengan kata-kata
yang tak diyakininya sendiri. Dia membuat Yasmin berjanji untuk tidak
mengulangi perbuatannya, padahal dia sendiri bermaksud melakukannya.
***
Hendri terkejut bukan main ketika dini hari pintu rumahnya digedor lalu
mendapati polisi berseragam di depannya.
"Ini rumah Pak Hendri, suami Bu Yasmin?"
"Betul, Pak," sahut Hendri sambil menduga-duga apa yang terjadi
dengan Yasmin. Sesungguhnya ia berbohong kepada Aryo yang
menelepon tadi malam. Ia tidak mencari Yasmin ke berbagai rumah sakit
seperti yang dikatakannya. Ia sangat yakin Yasmin akan pulang sendiri.
Jadi kenapa harus capek-capek?
"Dia kelihatan capek tapi baik-baik saja. Aneh dia itu. Punya rencana
bunuh diri tapi dia justru menolong orang yang berniat sama. Dia juga
membuat Yas berjanji untuk tidak mengulangi lagi. Nasihatnya pun
bermutu."
"Aku tadi mikir dan menyimpulkan jangan-jangan niat Del itu ada
hubungannya dengan percakapan tadi. Tentang kutukan itu dan ibu
mertuanya."
"Maksudmu, dia mau bunuh diri karena dikutuk? Ah, Del bukan orang
seperti itu."
"Kita nggak tahu, Win. Kalau orang sampai nekat pastilah masalahnya
juga berat. Aku khawatir dia menderita sesuatu, Win."
"Penyakit, begitu?"
"Ya. Jangan-jangan disantet mertuanya. Lalu dia jadi putus asa."
"Tapi dia nggak kelihatan sakit, Bang. Yang jelas sakit itu si Yas!"
"Siapa tahu? Mana kita tahu?"
"Begini saja, Bang. Mumpung Del masih di sini, coba kau periksa lagi
kamarnya. Siapa tahu ada informasi lain. Kita kan bisa membantu kalau
bisa."
"Baik."
Setelah meminta Adi untuk berjaga di kantor, Kosmas bergegas ke
kamar 14. Ia membuka pintu dengan kunci yang masih ada di sakunya. Ia
memeriksa tas yang ada di dalam lemari. Isinya pakaian. Dengan hati-
hati ia mengeluarkannya sepotong demi sepotong dan meletakkannya di
tempat tidur. Ternyata di bagian bawah terdapat setumpuk amplop
cokelat ukuran kuarto yang gembung. Ia tidak sempat menghitung
berapa jumlahnya. Salah satu diambilnya lalu
164
dibuka karena tutupnya tidak dilem. Isinya uang. Ia tidak mau capek-
capek menghitung. Semua amplop itu sudah ditulisi kepada siapa akan
dikirim, yaitu berbagai panti asuhan dan yayasan sosial di Jakarta.
Kosmas tertegun. Delia seorang dermawan? Tidak sedikit jumlah uang
yang terdapat di dalam amplop-amplop itu meskipun ia tidak
menghitungnya. Setelah berpikir, ia merasa tidak sulit menyimpulkan.
Delia duduk lagi di samping Erwin. "Kita tunggu dulu sampai situasi aman,
baru kita kembali ke motel."
"Aman bagaimana?"
Delia menceritakan perjanjiannya dengan Yasmin.
"Baiklah," kata Erwin sambil mengamati wajah Delia. Ia memang harus
menahan Delia dulu sampai Kosmas selesai memeriksa barang-barang
Delia.
"Kenapa kau memandangku begitu?" tanya Delia.
"Kasihan. Kau kelihatan capek sekali. Sementara menunggu, tidurlah
dulu. Nanti kubangunkan kalau si suami keluar."
"Ah, tanggung. Kayaknya nggak bakal lama."
"Kalau kembali ke motel nanti, tidurlah sepuasnya dulu. Jangan pergi
bermobil, Kak. Bisa ngantuk di jalan. Jangan ambil risiko."
"Iya. Aku juga bermaksud begitu."
Dalam hati Delia berkata, kalau aku bermobil membawa uang, pasti aku
hati-hati. Uang itu tidak boleh diambil orang yang tidak berhak.
168
"Maukah kau kutemani bila bepergian besok, Kak? Aku mau jadi
sopirmu."
Delia tertawa. "Bang Kos bisa jengkel dong, Win."
"Ah, nggak. Dia pasti setuju. Jangan-jangan malah dia yang kepengen
jadi sopirmu."
Delia memalingkan muka. "Mudah-mudahan di dalam baik-baik saja,"
katanya mengalihkan pembicaraan.
***
Hendri duduk di kursi sementara Yasmin memalingkan muka.
"Kenapa kau berbuat begitu, Yas?" tanya Hendri pelan.
"Kau cukup tahu kenapa," sahut Yasmin dingin. "Soal itu?" "Apa lagi?"
"Tapi aku nggak menyangka bisa berakibat seperti ini."
"Nggak nyangka? Jadi kau mengira aku pura-pura sakit? Kau sangat
tega, Hen."
"Tapi jangan sampai beginf dong, Yas. Kita bisa membicarakannya."
"Bukannya sudah? Aku sudah mengeluh, merintih, menjerit. Tapi kau..."
"Biarlah kau menuntutku. Aku terima. Asal kau jangan meninggalkan aku.
Sekarang, setelah kejutan
170
ini, tiba-tiba aku disadarkan bahwa aku mencintaimu. Aku sadar telah
memperlakukanmu dengan kejam. Aku sadar betapa bejatnya diriku ini.
Beginilah manusia. Kalau sudah terancam kehilangan, baru dia sadar."
Yasmin menatap wajah Hendri. Ada air mata di sudut mata lelaki itu.
Apakah ucapan itu tulus? Dan air mata itu ekspresi dari hati? Betapa
sulitnya membuat perkiraan. Alangkah senangnya kalau apa yang tampak
di luar itu sesuai dengan yang di dalam.
"Maukah kau menerimaku kembali, Yas? Kita akan mengawali hidup
baru," ajak Hendri dengan ekspresi penuh harap.
"Tapi bagaimana dengan yang satu itu?"
"Aku janji tidak akan melakukan seperti itu lagi."
"Tidak lagi? Kau sendiri bilang, seks itu segala-galanya bagi lelaki."
"Oh ya. Tapi kita bisa berusaha dengan cara yang sesuai keinginanmu.
Dulu kau bilang, aku harus melakukannya dengan pelan-pelan dan lembut.
Aku akan berusaha."
"Dulu kau bilang nggak bisa karena..."
"Aku akan berusaha. Kau bisa mengingatkan aku. Percayalah, Yas.
Kejadian ini pelajaran berharga untukku. Kita juga bisa ke dokter. Kau
pernah mengajakku, kan? Aku menyesal tidak mengikuti anjuran-mu.
"Bagaimana dengan perselingkuhanmu? Kau sering melakukannya di
Motel Marlin, kan?"
"Jadi itu sebabnya kau melakukannya di situ?"
"Kau tidak menjawab pertanyaanku."
"Aku janji tidak akan melakukannya lagi. Semua terserah padamu. Aku
nurut."
171
"Kok sekarang jadi nurut?"
"Aku tidak ingin kehilangan kau."
Yasmin tertegun. Perkataan itu terasa mengangkat harga dirinya. Kalau
saja memang benar. Tapi Yasmin bisa memastikan bahwa Hendri
"Sore?"
"Iya dong. Sekarang istirahat dulu."
"Bangun siang ya, Del? Sudahlah, jangan ke mana-mana. Nginepnya
diperpanjang aja. Nggak usah tambah bayarnya. Im sebagai tanda
terima kasih kami."
"Lihat nanti saja, Win."
"Aku punya ide, Kak. Nanti malam kita kumpul lagi dan makan bersama,
ya?"
"Ah, apa yang mau dirayakan?"
"Jelas ada, yaitu merayakan ketidakberhasilan Yasmin melakukan
niatnya."
Delia tersenyum. "Masa itu perlu dirayakan?"
"Masih ada lagi yang lebih penting. Yaitu merayakan sesuatu yang belum
pernah terjadi sejak motel ini berdiri. Pasti bukan karena kedatangan
tamu bunuh diri."
"Apa itu?" Delia ingin tahu.
"Belum pernah ada seorang penyelamat singgah di motel kami. Yaitu
Kakak!"
Delia terperangah. Lalu tertawa. "Ah, kau melebih-lebihkan, Win. Itu
kan kebetulan saja."
173
"Nggak juga. Kalau kau nggak singgah menjadi tamu kami, yang namanya
kebetulan itu juga nggak ada."
Delia terdiam. Kau tidak tahu saja apa yang kuniatkan, pikirnya.
"Gimana, Kak? Mau, ya?"
"Apakah Bang Kos sudah tahu perihal ajakanmu itu? Kan harus ada
kesepakatan."
"Dalam hal itu kami pasti sepakat, Kak. Jadi mau, ya?"
"Oke deh."
"Terima kasih, Kak. Jadi nanti sore kita besuk Yasmin sama-sama. Pasti
Bang Kos mau ikut juga. Pokoknya hari ini kau libur saja, Kak."
"Libur?"
"Kan mau tidur sampai siang. Ini sudah pagi lho. Dari siang ke sore itu
singkat. Mana cukup melakukan sesuatu kegiatan. Makanya tambah
sehari saja."
"Lihat nanti saja deh."
"Kalau sudah janji harus ditepati, Kak."
"Apa maksudmu?"
"Bahwa kau mau besuk Yasmin nanti sore dan sesudah itu makan malam
bersama kami."
Delia heran. Kenapa Erwin begitu cerewet?
"Sepertinya kau nggak percaya, ya?"
"Kurang," Erwin mengakui terus terang. "Aku takut..."
"Takut apa?"
"Takut kau pergi diam-diam."
Delia menatap heran. "Ah, masa sih?"
"Janji, ya?"
"Iya. Aku janji, Cerewet!"
Erwin tertawa. Yang penting baginya Delia tidak akan melaksanakan niat
bunuh dirinya pada hari ini
174
karena masih ada rencana yang perlu dilakukan Tidak ada yang bisa
mengetahui apa yang akan dilakukan seseorang bila sudah berada di
dalam kamar yang terkunci.
Biarpun bingung, Delia tidak menaruh prasangka. Ia menganggap Erwin
lucu.
Setibanya di motel, Kosmas menyambut mereka dengan bubur ayam
panas. Mereka menyantap dengan lahap sambil berbincang mengenai
kejadian tadi. Tapi Delia tidak tahan berlama-lama. Ia pamit untuk
tidur.
Memanfaatkan hal itu, Erwin segera memberitahu Kosmas mengenai
kesepakatan yang telah dibuatnya dengan Delia.
"Bagus," Kosmas memuji. "Jadi kita masih punya kesempatan untuk
berbuat sesuatu."
BAB 18
180
seperti itu. Ia tahu apa yang mendorong Kosmas. Pasti Delia.
Yasmin tidak menyangka apa-apa. Ia menangis karena merasa tersentuh.
"Dia marah, ya? Tapi dia benar kok. Dia benar," katanya sambil tersedu.
Delia memeluknya. "Dia bersikap begitu karena simpati dan empatinya
kepadamu. Dia tak ingin kau mengulanginya lagi."
"Ya. Sampaikan terima kasihku pada Bang Kos. Bilang, jangan marah lagi.
Aku kan udah nyesel."
"Akan kusampaikan padanya, Yas. Tapi kau nggak perlu risau. Dia akan
baik lagi," sahut Erwin.
"Sekarang bagaimana rencanamu, Yas?" Delia mengalihkan. "Sudah
bicara dengan suamimu?" "Ya, Kak. Aku akan memberinya kesempatan.
Dia sudah janji. Gombal apa nggak bisa ketahuan nanti."
Erwin merasa kecewa mendengarnya. Ia menatap Delia untuk
memberinya isyarat. Ayolah, bujuk dia untuk tidak melakukannya.
Tapi Delia tidak memandang Erwin. "Ya, tapi kau harus mantap dengan
pendirianmu, Yas. Kalau dia tidak menepati janji, jangan biarkan dia
kembali menguasaimu Kalau itu sampai terjadi, apakah sudah kupikirkan
apa yang akan kaulakukan?"
"Belum. Aku akan melihat situasi dulu." "Baiklah. Aku senang kau sudah
punya keputusan. Mudah-mudahan semuanya berjalan dengan baik."
Erwin merasa sebal hingga tidak tahan lagi. Tanpa berkata apa-apa ia
pergi ke luar. "Wah, Bang Erwin juga marah padaku," keluh Yasmin.
"Maklumi saja, Yas. Motel itu kan milik dia dan kosmas."
"Oh, aku sungguh menyesal telah menyusahkan
181
mereka, Kak. Apa mereka percaya aku benar-benar menyesal?"
"Mereka percaya, Yas. Sekarang mereka bersikap begini kepadamu
supaya kau tidak melakukannya lagi. Apa pun yang nanti dilakukan
suamimu, jangan ambil jalan keluar seperti itu lagi."
"Nanti kita terus berhubungan ya, Kak? Aku pasti memerlukan saranmu
lagi."
"Kalau kau perlu bantuan cepat, jangan ragu-ragu hubungi Motel Marlin.
Bang Kos dan Erwin selalu siap membantumu," kata Delia dengan maksud
supaya Yasmin tidak lagi terlalu bergantung kepadanya. Bukankah
dirinya tidak mungkin lagi bisa membantu Yasmin di kemudian hari?
"Tapi mereka lelaki, Kak. Malu kalau ngomong soal itu."
"Maksudku kalau ada masalah di luar itu."
"Kak, kau belum memberikan nomor teleponmu padaku. Kalau kau pulang
ke Bandung nanti, ke mana harus kuhubungi?"
Delia berpikir sejenak. Kemudian ia memberikan nomor telepon rumah
kontrakannya. Nomor itu segera disimpan Yasmin dalam ponselnya.
"HP-nya, Kak?"
"Nggak punya, Yas."
"Ah, masa pengusaha nggak punya HP?"
"Bener. Tadinya punya, sekarang nggak."
"Sayang sekali. Nanti beli lagi dong, Kak."
"Ya. Nantilah. Makanya kalau nanti kau perlu bantuan cepat, hubungi
Motel Marlin lebih dulu."
"Tapi kepadaku mereka nggak bilang apa-apa. Malu dong, Kak."
"Belum saja, Yas. Pada saatnya mereka akan mengatakannya nanti. Yang
jelas mereka tulus. Re-
182
nungkanlah cara Kosmas memarahimu tadi. Dia seperti bapak yang
memarahi anaknya. Padahal dia bisa saja tak peduli. Kenapa harus
emosional?"
"Mungkin juga dia berpikir akan kesusahan yang pasti dialaminya kalau
aku sampai mati."
"Im wajar dong, Yas. Oh ya, ada satu hal yang ingin kutanyakan. Apakah
kau masih punya orangtua atau kerabat dekat?"
"Mama sudah nggak ada. Papa masih ada, tapi dia kuanggap nggak ada "
"Kenapa begitu?"
Yasmin bercerita tanpa ragu. "Kalau aku mengadu kepadanya, pasti dia
mengejekku, Kak. Bagaimanapun dia pasti kesal karena dimusuhi anak
sendiri. Aku malu, Kak. Setelah merasakan susah baru ingat padanya."
mereka. Tapi pantas dong kalau aku juga memintamu bersikap waspada
karena mereka adalah lelaki. Aku kan manusia juga yang punya rasa
cemburu."
"Baiklah. Tidak usah meributkan soal itu."
"Aku punya usul, Yas. Setelah kau pulih nanti, kita akan ke dokter sama-
sama, ya? Im lho, ahli yang pernah kausebutkan itu. Oke?"
Wajah Yasmin memerah. Ajakan malah yang paling menyentuh dibanding
puja-puji. Ia merasa bahagia. Saat itu ia benar-benar menyadari betapa
tipisnya jarak kesedihan dan kebahagiaan, kematian dan kehidupan.
Hendri tersenyum tipis. Ia tahu, kata-katanya mampu menyentuh. Ia
optimis mampu memengaruhi. Yang penting baginya adalah menjaga
perasaan dan tindakan. Sekarang Yasmin bukan lagi istrinya semata-
mata, tapi juga anak tunggal orang yang kaya raya.
Tadi pagi, sepulangnya dari rumah sakit, ia menelepon Winata dulu. Ia
memberitahu bahwa Yasmin berada di rumah sakit karena kecelakaan
lalu lintas. Tapi kondisinya stabil. Ia juga tidak keberatan memberitahu
nama rumah sakitnya karena yakin Winata tidak akan datang menjenguk.
Seandainya Winata menyuruh Aryo atau siapa saja untuk mengecek,
lelaki itu juga tidak akan mendapatkan informasi yang sebenarnya.
Kondisi pasien bukanlah cerita yang gampang disampaikan kepada siapa
saja.
Hendri menjanjikan akan membujuk Yasmin bila kondisinya sudah pulih
seratus persen. Pasti tidak sampai sebulan.
"Apa yang kaupikirkan?" tanya Yasmin.
"Kau."
Yasmin merasa senang.
186
19
Wajah murung Delia saat perjalanan pulang dari rumah sakit menjadi
perhatian kedua rekannya. Kemurungan Delia menimbulkan kekhawatiran
dan keprihatinan.
"Apa ada yang kaupikirkan?" tanya Kosmas.
"Nggak ada. Mana berani mikir macam-macam kalau sedang
mengemudi?" sahut Delia.
"Aku saja yang nyetir, ya?" Erwin menawarkan.
"Ah, nggak apa-apa. Aku baik-baik saja."
"Lantas apa yang ada dalam pikiranmu?" Kosmas tak puas.
"Tentu saja soal Yasmin."
"Tadi kau bilang, soal itu sudah beres. Yasmin masih punya ayah dan mau
berbaikan," Erwin mengingatkan.
"Tapi belum, kan? Aku khawatir juga kalau-kalau si ayah nggak peduli.
Maklum, dia sudah punya istri lagi."
"Sudahlah. Kan ada kita yang menjadi temannya. Terutama kau," pancing
Erwin.
"Aku tak ingin dia bergantung padaku seorang. Cuma mengandalkan aku
saja."
"Kenapa?"
"Im nggak baik. Kalau aku nggak ada, dia bisa kehilangan."
187
"Memangnya kau mau ke mana?" tanya Kosmas cepat.
Delia tertegun. Ia merasa dicecar.
"Aku kan orang Bandung," sahutnya. Lalu ia mengalihkan, "Bang Kos, tadi
ucapanmu hebat deh."
"Oh ya? Aku pikir malah konyol."
"Nggak sangka kau bisa meledak begitu. Kau betul-betul perhatian sama
Yasmin." "Sebenarnya aku berkata begitu bukan cuma untuk Yasmin
seorang."
Kosmas merasa kelepasan setelah mengatakannya.
"Memangnya buat siapa lagi?" tanya Delia.
Di belakang, Erwin merasa tegang. Apakah Kosmas akan
mengungkapkannya sekarang di saat Delia sedang mengemudi?
"Ya. Dia mendapat hikmah karena ada yang menolong hingga berhasil
hidup. Biarpun racun itu tidak diminum semuanya, kalau nggak cepat
ditolong siapa yang tahu akibatnya? Nah, kalau dia mati, mana
hikmahnya?" bantah Kosmas dengan semangat tinggi.
"Mana bisa? Biarpun mati, tetap ada hikmahnya!" Delia tak mau kalah.
Kali ini ia tidak berpikir mengenai Yasmin, melainkan dirinya. Kalau dia
nanti mati, Rama akan gigit jari. Itulah hikmahnya! Ganjaran bagi orang
yang mata duitan.
"Apa hikmah buat yang sudah mati?" tanya Kosmas penasaran.
Erwin mendengarkan saja dengan arah pandang berpindah-pindah, ke
kiri dan ke kanan. Mula-mula
189
asyik, kemudian tidak tahan. Kedua orang itu sesungguhnya punya alasan
sendiri-sendiri kenapa begitu ngotot mempertahankan pendirian masing-
masing.
"Sudah! Sudah!" seru Erwin sambil menggeser duduknya ke depan di
antara Kosmas dan Delia. Lalu ia menepuk-nepuk pundak Kosmas. "Sabar,
Bang. Nanti saja diskusinya diteruskan kalau sudah pulang."
Kosmas menarik napas panjang. Delia tersenyum. Kosmas senang melihat
senyum Delia. Sesungguhnya Delia menyukai perdebatan itu. Ia juga
suka argumentasi yang disampaikan Kosmas. Begitu bersemangatnya
Kosmas hingga terkesan punya perhatian besar mengenai masalah itu.
Sampai-sampai terpikir Kosmas ingin mencegahnya bunuh diri padahal
dia tidak tahu apa-apa!
Setibanya di motel, Kosmas bertanya, "Bagaimana, Del? Mau istirahat
dulu atau kita lanjutkan perbincangan tadi?"
Nada suaranya menantang seperti mengajak duel!
Delia terheran-heran. Tak menyangka.
"Ayolah, Del," Erwin menyemangati. "Biar aku jadi moderator."
Erwin tahu maksud Kosmas. Bila Delia masuk ke kamar, dia sulit dicegah.
Tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukannya. Mereka berdua sudah
tahu, jadi harus berupaya mencegah.
"Pasti. Harga dirinya akan tersinggung. Lalu tanpa ba bi-bu dia segera
angkat kaki dari sini. Kalau sudah begitu habislah. Tak ada" kesempatan
lagi."
Kosmas tertegun. Ngeri membayangkannya. Ia melihat jam. Baru lewat
setengah jam. Tapi rasanya sudah lama sekali. Keringat dingin sudah
membasahi bajunya. Ia ingin sekali menangis karena cemas dan putus
asa.
"Habis gimana ya, Win?" ia merengek. "Seumur hidup aku belum pernah
kayak gini."
Erwin menatap abangnya penuh selidik. "Kau jatuh cinta kepadanya ya,
Bang? Awal dari cinta adalah perhatian."
"Ah, tak ada gunanya mempersoalkan itu. Yang penting bagaimana cara
menyelamatkan nyawanya."
"Susah, Bang. Soalnya orang yang mau kita selamatkan itu tak ingin
diselamatkan!"
194
BAB 20
menangkapnya. Delia adalah orang bebas yang berhak pergi ke mana pun
dia suka.
"Apa yang dilakukan detektif itu?" tanya Ratna.
"Dia menanyai orang-orang yang diperkirakan mengenal Del."
"Huh, itu sih cara yang lelet. Kapan ketemunya, kalau gitu."
195
Tiba-tiba Boy, putra Rama, nyeletuk, "Mestinya sih nyarinya nggak pakai
orang, tapi anjing herder!" "Apa?" Ratna melotot.
Cepat-cepat Maya mengusir Boy pergi. Ia takut anaknya kena kutuk.
"Sabar saja, Ma. Sabar," bujuk Rama. Ia juga ngeri. Dalam keadaan
marah, biasanya mulut Rama menjadi jahat. Lidahnya akan kehilangan
kendali. Percaya atau tidak percaya, kenyataan yang dialami Delia
sekeluarga sudah jelas.
""Huh, sabar! Sabaaar...!" Ratna mengomel. Mulutnya dimonyongkan.
Matanya yang kecil bergerak-gerak. Hidungnya kembang-kempis.
Bagi yang tidak mengenalnya pasti akan menganggap penampilannya itu
lucu. Seperti nenek-nenek yang kembali bertingkah seperti anak kecil.
Proses biasa dari perubahan perilaku orang ma. Tetapi bagi orang-orang
yang mengenal Rama, khususnya anggota keluarga, itu adalah ekspresi
yang mengerikan.
Maka menghadapi kemarahan Rama yang paling aman adalah diam dan
menerima hardikan apa pun dengan lapang dada. Tak menyahut apalagi
membantah. Menatap langsung pun tak berani. Hanya menunduk saja.
Menghadapi sikap seperti itu Ratna tak lagi punya alasan untuk
menyumpah dan mengutuk.
Kali ini Rama sudah kehilangan kesabarannya.
"Ambilin menyan sama wadah arangnya, Pah! Arangnya dibakar ya," ia
memerintahkan.
Bi Ipah selalu melaksanakan perintah tanpa bertanya untuk apa dan
kenapa. Ia hanya bertanya kalau perintahnya tak jelas.
Setelah mendapat apa yang diinginkannya, Ratna masuk ke kamar. Ia
duduk bersila di lantai. Wadah kemenyan ia letakkan di depannya. Di
atas bara
196
arang ia tebarkan kemenyan. Segera asap berbau kemenyan merambah
ke segala sudut lalu keluar lewat lubang angin dan sela pintu terus ke
ruangan lain. Mulut Ratna komat-kamit.
***
"Aduh, Pa. Mama lagi bakar menyan," lapor Maya kepada suaminya.
"Ya. Aku juga menciumnya."
"Biasanya kan dia nggak pakai bakar menyan segala, ya? Kenapa
sekarang pakai itu?" tanya Maya dengan ekspresi cemas.
"Entahlah. Artinya dia serius."
"Mau mengutuk siapa? Aduh, Pa, takuuut...," suara Maya meninggi.
"Tenang, Ma. Kita mah nggak usah takut. Dia kan tinggal sama kita. Masa
tega mengutuk kita?"
"Habis siapa? Delia?"
"Siapa lagi? Tadi kan marahnya sama Del."
"Kasihan ya. Mau diapain si Del itu?"
"Kita berharap yang baik saja."
"Yang baik? Cara itu kan nggak baik?" suara Maya lebih meninggi lagi.
"Ssst..., Maaa..., jangan keras-keras. Biarkan saja dia berlagak seperti
dukun."
"Dia bukannya berlagak, Pa. Dia benar-benar dukun jahat!"
Dengan khawatir Rama memeluk istrinya. Ia merasakan mbuh Maya
gemetar. Baru disadarinya bahwa Maya benar-benar ketakutan. Ia
memeluk lebih keras sambil menepuk-nepuk punggung Maya.
"Tenanglah, Ma. Demi keluarga kita, tenanglah. Sabar."
197
Maya menangis tertahan. Rama terus menepuk-nepuknya untuk
menenangkan. Akhirnya sedu sedan Maya berhenti.
"Cuek saja, Ma. Cuek, ya. Jangan diambil hati. Jangan anggap serius,"
bisiknya di telinga Maya.
"Maunya sih begitu, Pa. Tapi lama-lama berat juga rasanya."
"Tentu. Aku mengerti. Tapi berusahalah, Ma. Demi kita semua. Ingat
anak-anak."
"Kukira, orang seperti Delia nggak butuh nasihat, Bang. Dia butuh
sesuatu yang nyata," sahut Erwin.
"Masalahnya seperti apa saja kita nggak tahu," Kosmas berkata dengan
lesu.
"Ya. Kita harus menunggu dulu. Dalam hal ini kita harus bertindak
selangkah demi selangkah. Lihat reaksinya untuk menentukan reaksi
kita."
"Jadi sebaiknya kita tunggu saja. Biarpun menunggu itu meresahkan."
"Bicara topik lain saja, Bang."
"Apa?"
"Aku mau curhat, Bang. Begini. Aku punya perasaan khusus terhadap
Yasmin." "Sudah kuduga."
"Tapi kenapa aku mesti jatuh cinta pada istri orang sementara dia
sendiri kelihatannya tidak peduli padaku?" keluh Erwin.
"Jangan putus asa dulu, Win. Sekarang dia memang istri orang, tapi
besok-besok kan belum tentu. Kau harus bersabar. Suaminya itu gombal.
Lihat saja. Yasmin akan menderita lagi."
"Kelihatannya dia mencintai suaminya. Cinta membuat dia percaya,
betapapun gombalnya omongan si suami. Kenapa yang mendapatkan cinta
dari orang yang kucintai justru tidak bisa menghargai?"
207
Kosmas menepuk pundak Erwin.
"Jangan pesimis, Win. Hidup ini nggak kelihatan ujungnya. Kita nggak
tahu apa yang ada di sana."
"Aku juga takut dia akan mengulangi perbuatannya kalau ternyata si
suami kembali berbuat jahat kepadanya."
"Kita senasib lagi, Win. Sama-sama jatuh cinta pada perempuan putus
asa."
"Sama tapi tak serupa. Kau lebih beruntung, Bang. Delia bukan istri
orang."
"Sekarang Yasmin memang istri orang Tapi besok belum tentu, Win."
Erwin tertawa. "Jangan-jangan kita senasib juga. Bertepuk sebelah
tangan!"
"Eh, hampir jam enam tuh. Kau mandi dulu, gantian." Kosmas menepuk
pundak adiknya.
Sambil menunggu Erwin selesai mandi dan menggantikannya, Kosmas
mondar-mandir di depan kantor dan menatap ke arah kamar 14,
berharap Delia keluar dari sana. Tamu-tamu bermunculan keluar-masuk,
tapi bukan Delia.
Usai mandi kembali Kosmas mondar-mandir.
"Bang! Duduklah di sini," panggil Erwin.
"Sudah lewat sepuluh menit, Win!" Kosmas menunjuk arlojinya.
"Tunggulah barang sebentar lagi."
"Aku akan menjemputnya."
Sebelum Erwin sempat berbicara, Kosmas sudah bergegas pergi.
Spontan Erwin mau mengikuti, tapi kemudian ia teringat untuk
memanggil Adi dulu supaya ada yang menggantikan. Erwin khawatir
Kosmas akan bertindak emosional.
Kosmas mengetuk pintu kamar 14.
"Del! Del!" ia memanggil. Mula-mula pelan, kemu-
208
dian keras. Lalu ia menyadari, ada gorden terkuak di kamar sebelah.
Nanti bukan cuma gorden terkuak, melainkan penghuninya yang keluar.
Satu keluar lainnya keluar juga. Bisa terjadi kehebohan. Apalagi dia
pemilik motel.
Ia menghentikan ketukan dan panggilannya. Tapi semakin resah. Kenapa
Delia tidak menyahut atau membuka pintu?
Erwin datang, Ia membawa kunci cadangan.
"Gimana, Bang? Kita buka saja atau mencoba lagi menggedor pintunya
hingga orang-orang pada heboh?"
"Buka saja! Tapi tengok dulu kiri-kanan."
Setelah memastikan lorong sepi dan gorden di kamar sebelah tertutup
rapat, Erwin membuka pintu kamar dengan cara yang sudah dilakukannya
sebelumnya. Risikonya besar. Kalau Delia sedang tidur, wanita itu bisa
marah besar atas kelancangan mereka. Tapi risiko itu harus ditempuh.
211
"Obat di situ ke mana?" tanya Kosmas, menunjuk meja.
"Obat?" ulang Delia. Ia pun memandang ke sana. Keningnya berkerut. Ya,
ke mana peles obat itu?
"Kauminum, ya?" tanya Kosmas.
Delia menggeleng. Kemudian teringat. "Masuk ke kolong," katanya,
menunjuk ke bawah.
Erwin membungkuk ke arah kolong tempat tidur. "Oh ya, ini dia." Ia
meraih peles obat itu, menunjukkannya kepada Kosmas, lalu mengamati
peles itu. "Masih penuh," katanya. Kemudian ia memasukkannya ke dalam
saku celananya.
"Hei, itu milikku!" seru Delia. "Kenapa kauambil?"
Kosmas merasa lega bukan main. Jadi Delia belum meminumnya. Tapi ia
tidak menyesal telah berlaku lancang. Kalau tidak melakukannya, ia akan
merasa bersalah bila ternyata benar-benar terjadi sesuatu pada Delia.
Kemudian ia menjatuhkan diri, berlutut di depan Delia lalu memegang
kedua tangannya.
"Del, aku mohon. Jangan bunuh diri. Apa pun masalahmu, jangan berbuat
begitu. Aku dan Erwin mau menolong dengan segenap kemampuan kami.
Sungguh, Del," kata Kosmas dengan suara memohon.
Erwin ikut berlutut di samping Kosmas. Ikut pula memohon, "Benar, Kak.
Aku tahu kau punya masalah berat. Tapi jangan diputuskan dengan cara
itu. Masih ada cara lain, kan? Kau punya pandangan luas. Aku tahu itu.
Caramu menasihati Yasmin bisa membuktikan. Jangan bunuh diri, Kak.
Kami tahu, kalau tidak di sini kau mungkin pindah ke tempat lain. Jangan,
Kak."
"Ya, jangan lakukan, Del," sambung Kosmas.
Delia terheran-heran, menatap kedua orang di depannya bergantian. Ia
mengerti maksud mereka tapi juga tidak paham.
212
"Dari mana kalian bisa tahu?" tanyanya.
"Maafkan aku, Del. Aku sudah lancang. Tapi semua itu terjadi tanpa
sengaja. Kebetulan saja."
Kosmas bercerita tentang kejadian malam itu, ketika Delia dan Erwin
sibuk membawa Yasmin ke rumah sakit.
"Maafkan aku. Tapi aku tidak menyesal telah berlaku lancang. Kalau
tidak begitu, aku tidak mungkin bisa tahu."
Delia tertegun sejenak. "Jadi kau mengacak-acak tasku?"
"Ya. Maaf, Del."
Delia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sudah. Kalian bangunlah. Duduk
sini," katanya sambil menepuk-nepuk kasur di kedua sisinya.
Kosmas dan Erwin merasa lega. Jadi Delia tidak marah. Mereka segera
duduk di sisi kiri-kanan Delia.
"Ya, aku maafkan kalian. Habis mau apa lagi? Sudah kejadian. Marah pun
percuma. Lagi pula kalian berniat baik. Sangat baik! Akulah yang
seharusnya berterima kasih. Supaya kalian lega dan plong, aku beritahu
bahwa aku sudah membatalkan niatku."
"Betul, Del? Apa bukan supaya kami tidak mem-buntutimu lagi?" Kosmas
setengah percaya. Segampang itukah Delia membatalkan niatnya?
"Betul. Tapi sebabnya bukan karena nasihat kalian."
"Lalu karena apa?" tanya Kosmas dan Erwin hampir berbarengan.
"Dia," sahut Delia sambil menunjuk ke atas.
"Dia?" kembali Kosmas dan Erwin bersuara berbarengan.
"Tadi aku mengalami sesuatu yang aneh. Aku dua kali tidur. Tidur yang
pertama aku mimpi buruk
213
sekali. Mimpi tentang iblis. Aku bangun dengan ketakutan. Dalam
keadaan itu aku teringat kepada-Nya. Sesudah itu aku merasa tenang,
lalu aku tidur lagi. Tidur yang kedua itulah yang sedang kujalani ketika
kalian membangunkan aku. Dalam tidur itu aku pergi jauh sekali sampai
ke luar dunia ini. Itu sebabnya aku jadi susah bangun."
Kosmas dan Erwin menyimak cerita itu dengan perasaan takjub.
"Lalu kapan kau memutuskan untuk membatalkan niat itu?" tanya Erwin.
"Pada saat aku merasa tenang dan damai, sebelum aku jatuh tertidur
untuk kedua kalinya."
"Jadi baru saja, kan? Ketika kita berdebat di mobil, masih adakah niat
itu?"
"Oh ya. Tapi aku tidak akan melakukannya di sini seperti yang
kurencanakan semula."
"Oooh...," keluh Kosmas dalam-dalam.
"Aku mengerti sekarang, kenapa kalian membujukku untuk melanjutkan
perdebatan. Kalian takut aku masuk ke kamar lalu..."
"Betul," potong Erwin. "Kami begitu takut. Bang Kos seperti cacing kena
abu."
"Terima kasih kalian begitu memerhatikan aku," kata Delia penuh
syukur.
"Aduh, lupa pesan makanan!" seru Erwin sambil melompat. "Aku pergi
ya? Kalian berbincang dululah."
Setelah Erwin pergi, Delia meraih laci lalu membukanya. Ia mengambil
amplop yang ditujukan untuk Kosmas. Suratnya ia keluarkan dan
amplopnya ia masukkan kembali. Surat itu ia sobek-sobek hingga kecil
kemudian dibuangnya ke tempat sampah.
"Aku menyesal telah menyusahkan kalian berdua," kata Delia. "Rasanya
maaf saja nggak cukup."
214
"Apa kau menyesal telah memilih motel ini?" Kosmas ingin tahu. "Ya."
"Ah, aku malah senang. Bila kau memilih tempat lain, mungkin kau sudah
mati. Dan Yasmin pun mati. Aku tidak pernah berkenalan denganmu.
Tidak pernah tahu ada orang seperti kau. Tidak terpikirkah olehmu akan
semua itu?"
"Tapi bisa saja jalan nasib kita pun akan lain."
"Memang. Tapi nyatanya jadi seperti ini. Aku sama sekali tidak bisa
mengerti kenapa kau, orang seperti kau, bisa memilih mati padahal
hidupmu masih berguna."
"Kadang-kadang mati itu bisa memberi kebaikan bagi yang hidup."
"Mana ada yang seperti itu? Kematian selalu menyedihkan bagi yang
hidup."
"Tidak demikian dengan kematianku."
"Kurang baik, Yas. Tempo hari aku terserang stroke. Untung ringan.
Sekarang aku pakai kursi roda karena kakiku lemah."
"Apakah Tante merawat Papa dengan baik?"
"Dia sudah nggak ada, Yas. Sudah pergi dengan orang lain. Sama seperti
aku dulu. Apakah kau mensyukuri aku?"
Yasmin terkejut. Ternyata ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
"Yas! Kok diam?"
"Entahlah, Pa. Aku nggak bisa jawab. Bisa iya bisa nggak. Supaya Papa
tahu, sekarang aku nggak seperti dulu lagi. Perasaanku lain," Yasmin
menjawab seperti apa adanya.
"Kenapa begitu, Yas? "
"Ada sesuatu yang membuka mataku."
"Oh ya? Mau ceritakan padaku?"
"Wah, panjang, Pa. Baterai HP-ku bisa habis."
"Apakah itu si Hendri?"
"Bukan, Pa. Aku punya teman baru. Seorang sahabat sejati. Dialah yang
mendorongku supaya menelepon Papa."
"Perempuan atau lelaki?"
"Perempuan dong, Pa. Namanya Delia."
"Syukurlah. Kapan-kapan aku pengen juga ketemu dia. Pasti orang yang
baik."
"Habis, siapa yang ngurusin Papa sekarang?"
"Ada Aryo, perawatku. Lalu istrinya Tari, pengurus rumah tangga. Masih
ada dua lagi pembantu. Cukuplah."
"Anak?"
"Nggak ada. Anakku cuma kau seorang." Yasmin tertegun. Cara ayahnya
mengatakan itu seperti mengingatkan hubungan mereka yang tak
220
bisa digantikan orang lain. Ia merasa terharu. Arogansinya yang masih
tersisa jadi lenyap.
"Yas! Si Hendri nggak datang?"
"Dia baru saja pulang."
"Jadi Hendri nggak ngomong apa-apa tentang aku?"
"ih, Papa kok ngulang lagi? Udah dibilangin dia nggak ngomong apa-apa.
Memangnya ngomong apa, Pa?"
"Terus terang, sebelum kau masuk rumah sakit aku pernah ngomong-
ngomong sama dia. Aku nanyain kabarmu. Itu aja kok."
"Oh, begitu. Mungkin dia lupa nyampein."
"Ah, masa lupa? Kan baru aja. Ya sudahlah, nggak apa-apa. Tapi gini, Yas.
Sebaiknya jangan tanya dia soal aku dan jangan bilang bahwa kau
menelepon aku, ya? Diam-diam aja supaya dia mengira kita belum
berhubungan."
"Kenapa, Pa?"
"Nanti dia tersinggung."
"Masa gitu aja tersinggung?"
"Ayolah janji, Yas. Nanti aku jelaskan kalau ketemu. Ceritanya panjang.
Nanti baterai HP-mu habis."
"Iya deh. Janji. Mudah-mudahan aja nggak keceplosan, ya?" Yasmin
tertawa.
"Ah, kamu." Winata tertawa juga. Kedengaran senang. "Nanti kalau udah
sembuh betul, datanglah ke sini, Yas. Aku ingin sekali memanfaatkan
sisa umurku ini dengan memperbaiki hubunganku denganmu."
"Ya. Tentu saja, Pa."
"Begini saja, Yas. Kalau kau mau datang, sendiri tentunya ya, telepon
aja. Nanti Aryo bawa mobil ke sana."
"Ya, Pa."
221
"Udah dulu ya. Pengennya sih terus ngomong. Tapi kau perlu istirahat.
Ingat janjimu, ya?"
Sambil tersenyum Yasmin meletakkan ponselnya di meja lalu
merebahkan dirinya lagi. Dalam keadaan seperti sekarang baru terasa
mengherankan kenapa orang bisa menyimpan dendam begitu lama. Jalan
berliku mesti ditempuh dulu sebelum orang bisa saling memberi
kedamaian. Bagaimana kalau jalan itu tak bisa ditemukan?
***
"Tentu aja. Pasti dia udah tahu sendiri. Dia kan udah janji nggak akan
bilang-bilang bahwa dia nelepon aku."
Mereka asyik membicarakan Yasmin. Winata bercerita tentang masa
kecil Yasmin. Baginya, Aryo bukan cuma perawat pribadi tapi juga teman
curhat dan diskusi. Sebelum ia sakit dan masih aktif bekerja, Aryo
bekerja di rumah sakit. Tapi istrinya, Tati, sudah bekerja di rumah
Winata sebagai pengurus rumah tangga. Ketika itu keduanya tinggal di
rumah sendiri bersama anak mereka yang sudah dewasa. Setelah
Winata sakit dan perlu dirawat di rumah padahal istrinya sudah pergi
meninggalkannya, Aryo beralih menjadi perawat pribadi. Dia dan istrinya
tinggal di situ.
Saat mereka tengah asyik berbincang itulah telepon dari Hendri
berbunyi.
223
"Ini Hendri, Pa."
Wajah Winata pun menjadi tegang. Ingin tahu sekali.
"Bagaimana keadaan Yas, Hen? Kapan dia pulang?"
"Sudah baik, Pa. Pulangnya besok atau lusa. Mungkin lebih baik lusa saja
supaya bisa istirahat lebih lama."
"Sudah kausampaikan?"
"Wah, belum, Pa. Kayaknya perlu waktu."
Winata mengerutkan kening. "Kenapa? Kan dia sudah sembuh."
"Masalahnya begini, Pa. Tadi waktu aku besuk dia, aku menyinggung soal
Papa. Aku bilang, udah lama ya nggak ketemu Papa. Ada baiknya
menelepon atau menjenguknya. Yasmin bilang nggak mau karena masih
sebal sama Papa. Apalagi ada Tante di sini. Aku tentu nggak berani
memberitahu bahwa Tante sudah pergi."
"Dia bilang begitu, ya?" kata Winata sambil melirik Aryo. Ketika Aryo
menangkap tatapannya, Winata mengarahkan telunjuknya ke dahinya.
"Iya, Pa. Jadi dari penjajakan itu aku tahu perasaannya kepada Papa.
Harus cari cara lain untuk membujuk."
"Atur sajalah gimana baiknya. Pendeknya jangan lebih dari sebulan,"
kata Winata dingin.
"Tapi ada harapan, Pa. Dia nggak bilang benci, tapi sebal. Maknanya kan
lain."
"Aku tahu beres saja deh."
"Aku akan berusaha membujuknya, Pa. Tapi bukan dengan cara memaksa
seperti yang Papa ajarkan itu. Justru ancaman seperti itu bisa membuat
dia tambah marah. Dia keras kepala tapi tetap punya kelemahan."
Winata tak ingin bertanya macam-macam karena
224
perasaannya kesal. Padahal tampaknya Hendri masih ingin berbincang
lebih lama.
"Baiklah. Sampai nanti. Aku tunggu beritanya. Sekarang aku mau dipijit.
Terima kasih."
Setelah menutup telepon, Winata menggeleng-gelengkan kepala. Aryo
tak bertanya. Ia hanya menunggu.
"Orang itu nggak beres, Yo! Dia mau menimbulkan kesan bahwa Yasmin
susah dibujuk karena sebal sama aku. Jadi kalau nanti berhasil, pastilah
dia punya nilai jual yang tinggi!"
"Dia mau jual apa, Pak?"
"Entah. Pasti ada maunya. Lihat saja. Kita akan segera mendengar lagi
darinya."
"Yang penting Bu Yas kan sudah baikan sama Bapak."
"Ya. Tapi aku marah sekali sama suaminya itu." "Sudahlah, Pak. Entar
tekanan darahnya naik." "Aku bisa tenang kalau ingat Yas. Kasihan ya,
punya suami seperti itu."
"Dia membohongi tapi juga dibohongi." Mereka tertawa.
***
Yasmin menikmati makan malamnya berupa nasi yang diblender dengan
daging giling dan sayuran yang dihaluskan. Meskipun sudah serbahalus,
masih terasa perih bila ditelan. Harus sedikit-sedikit dan pelan-pelan.
Kerongkongannya memang sempat terbakar, demikian pula lambungnya,
waktu racun itu melewati.
Tapi untuk berbicara ia tak begitu merasakan sakit. Apalagi belakangan
ini ia selalu ingin bicara.
225
Untunglah Hendri memberinya ponsel. Barang itu menjadi penghiburan
untuknya.
Usai makan ia kembali meraih ponselnya. Ia menghubungi Motel Marlin.
"Bisa bicara dengan Ibu Delia?"
"Oh, Ibu Delia sedang makan, Bu. Ini dari mana?"
"Yasmin."
"Oh, Bu Yasmin. Sudah sehat, Bu?" "Sudah. Terima kasih. Ini siapa ya?"
"Saya Adi."
"Ke mana Bang Kos dan Bang Erwin?"
"Lagi makan bersama Ibu Delia."
"Oh, begim. Baiklah. Nggak usah dipanggil. Nanti saya telepon lagi."
Yasmin membayangkan ketiga orang itu berkumpul di ruang makan. Tiba-
tiba ia ingin sekali bergabung dengan mereka. Kalau hal itu sampai
terjadi, pastilah suasananya berbeda.
Ia mulai berangan-angan. Kalau nanti sudah sembuh seperti sediakala, ia
perlu menata ulang hidupnya. Ia ingin berubah. Tak lagi jadi katak dalam
tempurung seperti dulu. Hendri tak boleh lagi melarang dan membatasi.
Sekarang ia tak lagi sendiri. Ia punya ayah dan teman-teman. Situasi
sudah berubah. Dirinya pun begim. Kalau sekarang ia melihat ke
belakang, sepertinya ia melihat dirinya sebagai perempuan bodoh yang
tak punya harga diri. Masih mending bodoh saja tapi punya harga diri.
Bukan malah dua-duanya!
Ia tahu, dalam hal itu takkan mendapat dukungan dari Hendri. Meskipun
menyesal dan minta maaf, tidak berarti Hendri mau mengubah
semuanya. Perjuangannya akan sulit. Tapi ia sudah siap.
226
BAB 23
terjadi atas ibu mereka? Masuk kamar dalam kondisi biasa, keluar
kamar berubah jadi luar biasa. Tak ada hujan tak ada angin, tiba-tiba
dia berubah jadi jauh lebih muda. Penampilannya seperti ibu mereka
saat mereka masih duduk di bangku sekolah!
Setelah berita tersebar, mereka datang berbondong-bondong untuk
menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Sementara dua saudara di luar
Jawa minta dikirimi foto. Secepatnya mereka akan datang begitu
mendapat kesempatan. Janji mereka itu segera dibalas dengan kata-
kata, "Jangan lupa oleh-olehnya! Mama suka yang berkilau!"
Ratna sendiri senang ditonton dan dikomentari. Apalagi dipuji. Ia
tersenyum semanis manisnya, memperlihatkan kecantikannya semasa
muda. Ia ditanya dan didesak untuk menjelaskan bagaimana caranya bisa
mengubah diri seperti itu. Ia menjawab, "Bukan aku yang melakukannya!"
"Habis siapa?"
"Ini keajaiban! Aku orang yang beruntung!"
227
"Tapi mesti ada yang melakukannya dong. Masa simsalabim!"
"Ada aja. Kalian nggak perlu tahu." "Mama minta, ya?"
"Ah, minta sama siapa? Aku sendiri kaget melihat cermin."
"Tapi Mama pakai kemenyan. Biasanya nggak," kata Rama.
"Itu buat nyari si Del," sahut Ratna terus terang.
"Apa sekarang sudah dapat, Ma?"
"Oh, sudah. Dan ini bonusnya!" Ratna menunjuk wajahnya sendiri sambil
tertawa.
"Ada di mana Del sekarang?"
"Dia di Jakarta. Tapi nggak perlu dicari lagi. Detektif kalian itu
diberhentikan saja."
"Kenapa nggak perlu dicari lagi, Ma? Apa Mama sudah mengikhlaskan dia
sampai Mama dikasih bonus?"
Saking penasaran dan takjub, anak-anak dan menantu melupakan
ketakutan dan kengerian mereka. Tapi pertanyaan terakhir itu membuat
Ratna melotot. Yang ditatap mengkeret ketakutan. Wajah manis Ratna
"Aku nggak percaya ada orang bisa mengutuk orang lain sesukanya.
Ngomong saja sih gampang. Semua orang juga bisa. Tapi nggak mungkin
kejadian," kata Erwin.
229
"Ada saat aku pun tidak percaya. Tidak mau percaya. Kematian adalah
takdir. Tapi pada. awalnya aku membenci dia karena mensyukuri
kematian anak dan suamiku, padahal mereka adalah cucu dan anak
kandungnya sendiri. Lalu beberapa kejadian, terutama belakangan ini,
memperlihatkan bahwa dia memang punya kemampuan yang tidak
manusiawi. Salah satu yang paling mengejutkan adalah ketika dia
menanyakan sakitku. Padahal tidak ada yang tahu. Itu salah satu sebab
yang memicu keputusanku untuk bunuh diri. Aku menderita penyakit
mematikan. Tak lama lagi mati. Padahal aku masih punya sedikit harta.
Bukankah dia akan mengambilnya nanti? Jadi itulah yang kulakukan.
Semata-mata untuk mencegah dia."
"Aku akan membantumu untuk melawannya, Del. Aku percaya, Tuhan
akan membantu orang yang benar. Bukankah tadi kau mengalami sendiri?
Bahwa Dia sesungguhnya tidak melupakanmu?"
"Ya. Aku sungguh berterima kasih pada kalian. Tapi aku tidak mau kalian
dikutuk juga."
"Aku tidak takut," kata Erwin.
"Aku juga," tambah Kosmas.
"Bagaimana melawannya? Ini kan bukan perang fisik."
"Menurutku, satu-satunya cara adalah dengan berdoa dan percaya
kepada-Nya. Nenek itu punya tujuan jahat. Ilmunya pun jahat. Jadi
jelas kepada siapa dia menghamba," kata Erwin.
"Betul. Aku mengalaminya sendiri tadi. Pengalaman yang luar biasa.
Keputusanku yang sudah begim mantap dan kuambil setelah lama
berpikir ternyata bisa kubatalkan dalam waktu yang begim singkat,"
sahut Delia.
230
"Biarpun kau membatalkannya, jangan sesali harta yang hilang, Del,"
hibur Kosmas.
"Jadi besok kuantar kau ke rumah sakit, ya?" Kosmas membujuk. "Yang
pasti akan ada tes-tes dan berbagai pemeriksaan. Semua itu harus
kaujalani dengan tekun. Im bentuk perlawanan, Del!"
"Baiklah. Terima kasih, Bang."
"Jadi untuk soal itu sudah ada penyelesaiannya," kata Erwin. "Sekarang
aku mau minta maaf, Kak. Sebenarnya aku telah melakukan kesalahan
kepadamu. Kamar yang kautempati itu sebenarnya kamar yang dulu
ditempati korban bunuh diri. Namanya Yuli."
Kosmas terkejut atas keterusterangan Erwin. Seharusnya Erwin tidak
perlu mengatakan itu. Lebih baik Delia tidak tahu.
"Oh ya? Kenapa kauberikan itu padaku?" tanya Delia. Sikapnya biasa
saja. Cuma heran.
"Sebelumnya aku sudah yakin bahwa kamar itu bersih. Maksudku, tidak
ada apa-apanya. Aku bermeditasi di sim, mencoba merasakan kehadiran
roh, kalau memang ada. Tapi suasananya tenang dan damai. Berbeda
dengan sebelumnya, ketika peristiwa baru saja berlalu. Jadi kusimpulkan
kamar itu sudah bersih, siap untuk dihuni lagi."
"Apakah tak ada kamar lain yang kosong saat itu?" tanya Delia, ingin
tahu.
"Ada. Beberapa."
232
"Aku ngerti. Kau memakaiku untuk ngetes kamar itu, kan?"
"Maafkan aku."
"Kalau kau mau pindah, Del, masih ada kamar lain," Kosmas menawarkan.
"Ah, nggak perlu. Di kamar itu aku mengalami banyak hal. Mungkin ada
hikmahnya bagiku mendapat kamar itu."
"Jadi kau nggak marah, Kak?" tanya Erwin.
"Kenapa mesti marah? Aku senang di situ. Tapi yakinkah kau bahwa
kamar itu memang sudah bersih?"
"Ketika kau merasakan sengatan listrik di dinding padahal aku tidak
merasakannya, aku pikir ada se suatu di sim. Kau juga mendengar tangis
Yasmin padahal Yasmin tidak sedang menangis."
"Tapi kalaupun ada sesuatu, dia bermaksud baik padaku. Sudahlah, soal
itu tidak usah diributkan."
"Jadi nggak mau pindah?" tegas Kosmas.
"Nggak."
"Tapi aku memintamu tinggal di sini untuk waktu yang lebih lama, Del,"
kata Kosmas. "Bukankah kau harus periksa kesehatan? Berapa pun
waktu yang diperlukan, tinggallah di sini. Jangan membayar. Kami ingin
berbuat sesuatu unmkmu."
"Aku masih punya uang. Masa tak bisa membayar?"
"Uang itu kaugunakan saja untuk biaya rumah sakit. Sudah. Jangan malu
hati."
Mata Delia berkaca-kaca. Ia terharu.
"Jadi masalah satu lagi sudah kita dapatkan penyelesaiannya," kata
Erwin lega. "Tapi masih ada yang lain. Kita bicarakan sekalian. Mengenai
masa depanmu, Del."
233
Delia mengerutkan kening. "Apakah aku punya masa depan?"
"Pertanyaan itu bernada pesimistis, Del. Jangan begitu. Kita memang
tidak tahu apa yang ada di depan. Semua ada di tangan-Nya."
"Baik. Aku percaya. Jadi bagaimana?"
"Maukah kau membantu kami di sini?" tanya Kosmas. "Kau tidak mungkin
kembali ke Bandung lagi, kan? Apa yang mau kaulakukan di sana? Tapi di
sini, kau bisa berbuat banyak. Kau lihat sendiri, kan? Kami memerlukan
tenaga pembukuan. Dulu kau berpengalaman."
"Oh ya. Aku sarjana akuntansi."
"Nah, bagus sekali! Tapi terus terang, kami nggak bisa memberi honor
besar."
Delia berpikir sejenak. Jalan keluar seperti itu sangat menolong.
"Baiklah. Terima kasih, Bang. Tapi aku nggak mau dibayar dulu sebelum
benar-benar bisa bekerja secara profesional. Apalagi masalah
kesehatanku belum ada kepastian."
"Jadi kau setuju?" Kosmas gembira.
***
Winata menunggu di ruang tamu ditemani Aryo. Keduanya membaca.
Winata membaca buku sedang Aryo membaca koran. Sesekali Aryo
melirik majikannya. Ia tahu, Winata merasa tegang karena ingin tahu
apa maksud kedatangan Hendri. Yang pasti Winata akan lebih tegang
lagi andaikata Yasmin tidak mendahului menelepon. Sekarang Winata
sudah tenang.
Aryo merasa bersyukur atas majikannya itu. Bagi Winata, apa yang
dilakukan Yasmin itu membuatnya jadi bernilai lebih karena mau
berbaikan tanpa bujukan
238
dan tanpa takut kehilangan harta. Hal itu membuat Winata senang dan
bangga. Terus terang ia menyatakan bersyukur karena dari istri
keduanya ia tak beroleh anak. Boleh dikata hampir tak ada yang
dirahasiakannya dari Aryo.
Aryo senang bekerja di situ meskipun tak ada hari libur khusus. Kalau
memang ada keperluan, ia bisa saja minta izin untuk keluar. Istrinya
akan menggantikan menemani Winata. Pekerjaannya tidak berat bila
dibandingkan dengan di rumah sakit biarpun di sana ada sistim shift.
Kalau Winata tidur, Aryo pun istirahat. Tapi kalau Winata duduk-duduk
seperti itu, ia pun bisa istirahat juga. Pekerjaannya bukan melulu
sebagai perawat, tapi juga asisten. Gajinya jauh lebih besar daripada
gaji di rumah sakit. Ia pun bisa berdekatan dengan Tati, istrinya. Juga
bolak-balik ke dapur bila dirinya sedang tidak dibutuhkan. Maka tak
mengherankan bila bobot tubuhnya bertambah.
Bukan cuma hal itu yang membuat Aryo betah. Winata selalu baik
kepadanya. Bahkan ketika ia belum bekerja sebagai perawat Winata dan
datang ke situ untuk menjenguk Tati atau menjemputnya untuk pulang,
Winata suka mengajaknya berbincang dan memberikan perhatian.
Saat Winata terkena serangan stroke, ia kebetulan datang untuk
menjemput Tati pulang bersama-sama. Sebagai perawat berpengalaman
ia sigap dan cepat. Bersama Tati ia membawa Winata ke rumah sakit
dengan mobil Winata yang dikemudikannya karena Winata tak punya
240
"Mungkin, Pak."
"Aku benci dibohongin, Yo. Rasanya dianggap bodoh."
"Jangan berandai-andai dulu, Pak. Lihat saja nanti."
Winata memang tak perlu berpikir lebih lama. Hendri sudah datang.
Aryo menyilakannya masuk. Setelah Hendri duduk berhadapan dengan
Winata, Aryo masuk ke dalam. Dengan cepat ia keluar lagi membawa dua
cangkir teh manis panas. Sesudah itu ia kembali masuk. Tapi ia tidak
jauh-jauh supaya bisa mendengar kalau dipanggil. Memang di dinding
ruang tamu ada bel listrik. Tapi bukan cuma soal panggilan yang
dipikirkannya. Ia juga perlu mendengar pembicaraan. Bukan untuk
memenuhi keingintahuannya, tapi supaya bisa melayani dan memahami
curhat Winata. Kalau Hendri pulang, hal itu pasti dilakukannya.
"Papa kelihatan lebih segar," Hendri memulai.
"Oh ya, Yas gimana? Sudah kautengok?"
"Sudah, tadi saat istirahat siang. Dia pulang besok."
"Sudah sembuh benar?"
"Sudah, Pa."
"Soal itu gimana? Sudah dibicarakan?"
"Kayaknya sih ada harapan, Pa. Tadi aku bilang padanya bahwa Papa
sedang sakit dan nanyain dia, kangen sama dia. Tapi dia nggak memberi
jawaban pasti. Katanya mau ziarah ke makam Mama dulu."
Winata ternganga. Tapi segera sadar. Ia tidak boleh memperlihatkan
perasaannya.
"Kau tidak berusaha membujuknya?"
"Tentu saja, Pa. Dia keras sekali. Katanya waktu Mama sakit dulu Papa
tak pernah menjenguk."
Winata berusaha menekan amarahnya. Kurang ajar
241
sekali lelaki ini. Yasmin sendiri tidak berkata begitu. Pasti dia mengada-
ada saja. Winata memalingkan muka, tak ingin menatap wajah Hendri
yang menyebalkan.
Hendri mengira sikap Winata itu menggambarkan penyesalan.
Pulang ke rumah, Yasmin melihat keadaan rumah sudah rapi dan bersih.
Termasuk kamar mandi dan dapur.
"Aku yang membersihkan," kata Hendri bangga.
Anda harus menjaga dan melindungi istri yang Anda sayangi. Cobalah
tempatkan diri Anda pada dirinya."
"Apakah Dokter tidak menasihati dia supaya berusaha menghilangkan
takutnya yang berlebihan?"
"Takutnya itu hanya bisa dihilangkan oleh Anda sendiri. Tunjukkan
bahwa Anda memang ingin berubah dan tidak sama lagi seperti dulu.
Jangan cuma dengan kata-kata. Percuma. Kalau Anda ingin berhasil,
Anda harus bisa mengendalikan diri. Bukan cuma dalam soal seks Anda
harus bersikap lembut dan penuh perhatian, tapi juga dalam keseharian.
Saya percaya Anda mampu. Awalnya adalah iktikad. Dan itu sudah Anda
tunjukkan."
"Apa yang dikeluhkan istri saya, Dok? Mungkin ada hal-hal yang tidak
mau disampaikannya pada saya."
"Dia tidak, mengeluh. Dia cuma bercerita mengenai pengalamannya. Yang
ditanyakan adalah bagaimana dia harus bersikap dan membantu Anda
supaya bisa berubah."
"Ah, jadi dia ingin saya bisa dibentuk sesuai kehendaknya?"
Zainal tertegun. Ucapan Hendri itu sepertinya tidak sesuai dengan niat
baik yang diutarakan sebelumnya.
"Saya kira nggak begitu, Pak. Dia juga ingin berubah. Dia sadar punya
kelainan. Tapi menurut saya, itu bukan kelainan. Dia terlalu sensitif.
Gampang trauma."
259
Sebelum pamitan, Hendri bertanya, "Apakah orang yang pernah
mencoba bunuh diri cenderung mengulanginya, Dok?"
"Tidak selalu, Pak."
"Tidak selalu berarti mungkin ya, Dok?" "Usahakan supaya itu tidak
terjadi lagi, Pak!" Setelah Hendri keluar, Zainal tidak lagi
menyembunyikan kejengkelannya. Ia memonyongkan mulutnya. "Huuu..."
260
BAB 26
Selama beberapa hari itu hubungan mereka berjalan baik. Yasmin mulai
menikmati kehidupannya sebagai ibu rumah tangga. Dulu ia tidak bisa
menikmatinya karena ketakutan dan kesakitan lebih mendominasi
kehidupan sehari-hari. Karena itu ia belum memikirkan soal lainnya,
termasuk keinginan untuk melakukan kegiatan di luar rumah. Misalnya
bekerja atau menambah ilmu.
Tanpa diketahui Hendri, setiap hari Yasmin bicara dengan ayahnya lewat
telepon. Setiap kali pula Winata berpesan agar tidak memberitahu
Hendri mengenai hal itu. Bila ditanyakan kenapa, selalu dijawab bahwa
pada saatnya ia akan tahu. Ia tidak tahan lagi. Ia harus tahu.
"Mungkin tak lama lagi Hendri akan mengatakan sesuatu perihal aku,
Yas. Jangan kaget dan jangan menyangka jelek dulu ya."
"Supaya aku nggak kaget, bukankah sebaiknya Papa memberitahu dulu
apa yang akan dia katakan itu?"
262
"Ah... baiklah. Dia ingin membujukmu supaya mau baikan denganku. Aku
yang memintanya."
"Oh begitu. Masa begitu aja kaget sih, Pa?"
"Aku ingin kau tidak terpengaruh oleh pemberitahuan itu. Biar kau
menilai sendiri. Tapi sebaiknya kau berpura-pura tidak tahu. Bukankah
kau sudah berjanji tidak akan bercerita perihal hubungan kita ini?
Bayangkan. Aku meminta dia sebagai perantara untuk membujukmu.
Tahu-tahu kau sudah baikan denganku tanpa bantuan dia. Padahal dia
tidak dibe-ritahu. Aku kira dia bakal tersinggung."
"Tapi kenapa Papa nggak sejak pertama saja memberitahu aku?"
"Begini. Aku surprise sekali ketika sehari setelah aku minta bantuannya,
kau nelepon sendiri. Padahal nggak dibujuk si Hendri. Makanya waktu itu
aku cerewet menanyai kau. Tapi aku senang sekali. Luar biasa rasanya."
"Kenapa Papa nggak mengizinkan aku memberitahu dia saat itu juga? Kan
jadi cepat beres."
"Aku ingin ngetes dia, Yas. Kelihatannya dia bersemangat sekali. Ingin
jadi perantara yang sukses. Apalagi dia cerita betapa keras kepalanya
kau dan besarnya dendammu padaku. Pendeknya, dia menggambarkan
264
"Apakah kau memberitahu Papa soal kenapa aku masuk rumah sakit?"
tanya Yasmin meskipun ia sudah tahu.
"Aku bilang kau keserempet motor."
"Oh begitu. Apa kau ketemu Tante?"
"Papa sudah cerai. Tante pergi sama lelaki lain."
"Oh begitu. Pantas dia mau baikan sama aku. Dasar egois!" seru Yasmin.
Senang bisa berpura-pura.
"Kau mau kan baikan sama dia?" "Nggak ah."
"Kasihan dia sendirian, Yas. Cuma ditemani perawat dan pembantu."
"Biar sajalah. Biar tahu rasa."
"Dia kan ayahmu, Yas. Jangan kejam dong."
Yasmin melotot. Bisa-bisanya Hendri menyebut ia kejam. Siapa yang
lebih kejam?
"Jangan marah, Yas. Aku bermaksud baik mau mendamaikan kalian."
"Apakah anak-anaknya dengan Tante juga dibawa serta?"
"Mereka tidak punya anak, Yas. Jadi kau anak satu-satunya. Ingatlah.
Dia kaya, Yas. Rumahnya besar dan mewah." "Jadi kenapa?"
"Kau tak ingin jadi ahli warisnya?" "Aku memang ahli warisnya. Dia tak
punya istri dan anak lain, kan?"
"Memang betul. Tapi dia bilang akan menyerahkan hartanya kepada
yayasan sosial atau apalah bila dalam waktu sebulan kau belum juga mau
baikan dengannya. Jadi kau tak bisa mendapatkan hartanya. Paling-
paling kebagian sedikit. Kan sayang, Yas."
Sekarang Yasmin benar-benar terkejut.
265
"Benar dia bilang begitu? Atau kau ngarang saja?" "Iya. Bener."
"Coba aku tanya dia apa bener begitu."
Yasmin melompat menuju pesawat telepon, pura-pura mau menelepon.
Tapi Hendri menyambar lengannya. "Jangan, Yas! Kau mau apa? Marah-
marah, ya? Itu cuma membuat dia marah juga. Bisa dipastikan besok dia
hibahkan hartanya kepada orang lain."
"Peduli amat! Buat apa harta?"
"Hei, jangan begitu, Yas! Buat apa katamu?" seru Hendri gemas. "Apa
kau tidak ingin kaya dan hidup senang di rumah besar dan mewah? Apa
kau merasa cukup dengan gajiku yang kecil?"
"Aku suka hidup sederhana. Bukankah aku tak pernah menuntut ini-itu
kepadamu?"
Hendri menatap Yasmin dengan geregetan. "Pikiranmu sungguh pendek,
Yas. Bagaimana kalau aku dipecat? Perusahaanku lagi gonjang-ganjing,
tahu?"
"Nantilah. Kupikirkan."
"Ya, pikirkan dengan baik. Jangan langsung menelepon dia. Bilang aku
dulu."
Yasmin mengiyakan. Tapi pikirannya berjalan dengan sendirinya.
Sebelum Hendri mengetahui apa yang dilakukan Yasmin di Motel Marlin,
lelaki itu bicara dengan Winata. Hendri ingin jadi perantara yang
sukses, begitu penilaian Winata. Apakah itu yang membuatnya jadi
begitu baik dan perhatian kepadanya? Yasmin menjadi sedih. Bukan
cuma mengenai Hendri, tapi juga ayahnya! Jadi itulah rupanya yang
membuat ayahnya berpesan agar ia tidak kaget mendengar penuturan
Hendri. Ayahnya memang tidak memahami dirinya.
***
266
Esok pagi, begitu Hendri berangkat ke kantor, Yasmin langsung
menelepon ayahnya.
"Dia sudah ngomong, Pa. Jadi itu yang Papa sembunyikan? Kok tega sih
Papa menggunakan harta sebagai senjata?"
"Maafkan aku, Yas. Aku sudah putus asa. Aku sakit. Aku... aku takut
mati tanpa bisa berbaikan denganmu lebih dulu. Aku takut mati sebagai
orang yang kesepian. Aku sungguh terpaksa. Kontak denganmu benar-
benar tak ada. Aku orang yang panik."
Yasmin tertegun. Kata-kata itu membangkitkan iba. Tapi ia masih kesal.
"Kenapa Papa tidak segera mengatakannya saja waktu kutelepon?
Kenapa Papa mengulur waktu?"
"Aku tidak mau merusak suasana. Kau sudah begitu baik padaku dengan
menelepon duluan. Masa aku mengejutkanmu dengan pengakuan itu? Kau
pasti marah, kan? Maka awal yang baik itu menjadi sia-sia. Aku menyesal
pun percuma karena sudah terjadi. Padahal kau menelepon aku tentu
tidak gampang. Lewat pertimbangan dan hati nurani dulu, kan? Tapi
sekarang ini berbeda karena hubungan kita sudah terjalin. Kalaupun kau
berpikir negatif, pasti ada pertimbangannya."
Yasmin bisa merasakan kebenaran kata-kata itu. Sebenarnya, kalau ia
sendiri tidak mengalami derita, mungkin reaksinya akan lain. Orang yang
pernah menderita lebih bisa merasakan derita orang lain.
"Iya deh. Aku ngerti. Mengenai Hendri, berapa komisi yang dimintanya
dari Papa?"
"Komisi?"
"Bukankah Papa mengatakan dia ingin menjadi perantara yang sukses?
Pasti ada komisinya dong." "Ah, nggak ada. Dia nggak minta komisi. Malu
267
dong. Cuma aku menganggap dia ingin menimbulkan kesan bahwa usaha
membujukmu itu akan sulit sekali. Jadi kalau berhasil, pasti hebat. Jelas
Citranya di mataku tentu akan naik. Sayangnya dia tidak berhasil karena
dia berkata begitu setelah kau menelepon aku dengan kemauan sendiri.
Jadi gambarannya tentang dirimu sama sekali tidak benar."
"Aku nggak percaya dia nggak minta apa-apa sama Papa."
"Baiklah. Terus terang saja, ya. Nanti aku dibilang menyembunyikan. Dia
minta bantuanku membayar biaya rumah sakit."
"Oh begitu." Yasmin merasa tidak perlu kaget. "Berapa?"
"Lima belas juta."
"Jadi dua kali biaya sesungguhnya."
"Ya sudahlah. Nggak apa-apa. Banyak orang suka begitu. Sebaiknya kau
nggak usah menanyakannya. Nanti kalian jadi ribut. Itu masalah kecil.
Aku kan punya uang dan ingin membantumu."
Yasmin tidak merasa terhibur oleh ucapan itu. Ia sudah tahu Hendri
tidak jujur. Tapi ayahnya sekarang tahu.
"Yas, masih marah?" "Nggak, Pa."
"Tiap hari dia menelepon dan kantor, Pa. Kalau nggak diangkat pasti
nggak ada orang, kan?"
"Menelepon tiap hari itu tanda perhatian atau mau ngecek
keberadaanmu?"
"Bisa dua-duanya, Pa."
Jawaban itu cukup bagi Winata untuk memastikan bahwa Hendri
bukanlah suami yang ideal.
"Pa, aku punya ide! Daripada berbohong terus, lebih baik terus terang
aja. Aku akan beritahu Hendri bahwa aku sudah baikan sama Papa dan
hari ini datang ke sini. Pulangnya bawa masakan dari sini."
Winata terperangah sejenak. "Kenapa kau memutuskan begitu?"
"Aku sudah bosan berbohong terus. Lain kali kalau aku ke sini lagi, masa
bohong lagi?"
"Apa kau akan cerita semuanya dari awal?"
"Yang sudah lalu biarlah berlalu."
"Terserah kau bagaimana baiknya. Apa dia nggak akan marah padamu?"
272
"Aku akan mengatakan bahwa kita baru baikan hari ini. Lalu aku datang
ke sini. Im saja."
"Kalau kau diapa-apakan, kasih tahu aku, ya?"
Yasmin tersenyum. "Jangan khawatir, Pa. Dia akan baik-baik saja."
Perkiraan Yasmin memang benar. Ketika Hendri pulang, tanpa buang
waktu atau ditanyai lebih dulu, ia segera mengatakan, "Aku tadi ke
rumah Papa. Masalah di antara kami sudah selesai. Kami sudah baikan.
Yang lalu sudah dimaafkan."
Hendri terkejut sekali. "Kenapa kau pergi nggak bilang-bilang? Kau bisa
menelepon ke kantor, kan? Kenapa nggak tunggu aku? Kan kita bisa pergi
sama-sama? Bukankah sudah kukatakan, kalau hendak memutuskan
sesuatu katakan padaku dulu," Hendri menyesali.
"Semuanya terjadi spontan. Aku memutuskan tadi. Aku menelepon Papa,
terus Papa kirim mobil. Im makanan bawa dari sana. Enak sekali."
"Mestinya, habis memutuskan kau menelepon aku. Nanti sore kita bisa
pergi sama-sama. Kau melupakan peranku, Yas."
"Peranmu?"
"Ya. Bukankah aku yang berinisiatif menelepon Papa waktu kau pergi ke
motel?" "Tapi..."
"Jangan lupa. Berkat bujukanku juga kau mengambil keputusan itu."
"Sori deh. Lain kali kita pergi sama-sama ke sana."
"Sayang aku melewatkan perjumpaan pertama kalian setelah dendam
bertahun-tahun."
"Ah, tak usah mendramatisir. Biasa-biasa aja." "Ada pelukan dan
ciuman?"
273
"Ada."
"Mestinya untukku juga ada dong."
Yasmin tersenyum. Hendri mengira itu pertanda positif. Ia mendekat
sambil mengulurkan kedua tangannya. Senyum Yasmin serta-merta
lenyap dan wajahnya berubah. Cepat-cepat Hendri menjatuhkan kedua
tangannya dan menghentikan langkahnya. Ia mengangkat bahu.
"Kalau begitu, aku mengucapkan selamat saja," katanya, berusaha tidak
memperlihatkan kejengkelannya.
"Terima kasih, Hen. Kau baik sekali."
Lalu Hendri teringat akan uang yang diberikan Winata untuk biaya
rumah sakit. Dan cerita bohong-" nya yang lain.
"Apakah Papa cerita yang lain, Yas?"
"Yang lain apa?"
"Tentang kunjunganku ke sana dan apa yang kami bicarakan?"
"Oh, yang itu sedikit. Kami lebih banyak bicara tentang masa lalu.
Nostalgia. Memangnya ada yang istimewa?"
"Nggak. Nggak ada."
Aku tahu dia sebenarnya marah, pikir Yasmin. Tapi aku yakin dia tidak
akan melampiaskannya kepadaku. Sekarang aku terlalu berharga untuk
disia-siakan.
274
BAB 27
Hari itu merupakan hari bahagia bagi Delia, Kosmas, dan Erwin. Ada
berita menakjubkan dari rumah sakit berupa hasil pemeriksaan
terhadap Delia. Ia dinyatakan tidak menderita kanker rahim! Kista yang
dulu ditemukan di dalam rahim sudah lenyap!
Awalnya Delia datang ke dokter yang pertama memeriksanya dulu lalu
menentukan adanya kanker kemudian menganjurkan agar ia menjalani
operasi pengangkatan rahim. Tentu saja dokter itu takjub sekali ketika
hasil pemeriksaan menunjukkan ra-himnya bersih dari tumor. Ia tidak
percaya hasil pemeriksaannya dulu salah atau tertukar dengan milik
orang lain. Itu sangat tidak mungkin. Tapi kenyataan menunjukkan
demikian. Ia bukan saja takjub, tapi juga sempat takut kalau-kalau
disangka melakukan malapraktik. Bayangkan kalau rahim sesehat itu
sampai diangkat karena anjurannya! Tapi Delia mengatakan padanya
bahwa ia menjalani pengobatan alternatif. itu membuat si dokter
terhibur. Jadi bukan dia yang salah, melainkan si pengobat alternatif
itulah yang lebih pintar.
Tapi Delia tidak hanya memeriksakan diri di satu rumah sakit. Ia juga
pergi ke rumah sakit lain dan melakukan pemeriksaan yang sama. Di
rumah sakit kedua itu pun hasilnya sama. Tapi ia sendiri tidak
275
yakin apakah benar pengobat alternatif itulah yang menyembuhkannya.
Bukankah ia tidak melakukan pengobatan sampai tuntas? Jawabannya
tidak perlu dicari, hanya diterima saja.
Mereka bertiga merayakannya dengan melakukan meditasi dan doa
bersama.
Kemudian Delia resmi menjadi karyawan Motel Marlin. Ia pindah dari
kamar 14 ke bagian belakang, kamar para karyawan yang tinggal di
dalam. Semula Kosmas memaksanya menetap di kamar 14, mengingat
kamar itu bersejarah. Tapi Delia tidak mau. Kamar itu untuk tamu,
bukan untuk karyawan. Ia tidak ingin diperlakukan berbeda. Bagaimana
nanti anggapan karyawan lain?
Tapi Delia tidak melupakan Ratna.
***
Perubahan fisik Ratna menimbulkan problem baru. Orang-orang di luar
anggota keluarga tentu saja tidak pernah menyangka bahwa Ratna yang
sekarang mereka lihat sama dengan Ratna yang dulu. Mereka itu para
tetangga dan karyawan di bengkel Rama.
Dalam berbagai kesempatan Rama dan Maya mengatakan pada mereka
bahwa Ratna sudah pindah untuk tinggal bersama anaknya yang lain.
Sementara Ratna yang sekarang adalah kerabat dekat yang akan tinggal
sementara dengan mereka.
Rahasia harus dijaga rapat-rapat. Mereka menyadari keharusan itu
karena rasa takut. Bahkan anak-anak seperti Boy, Lisa, Donna, dan
sepupu-sepupunya yang masih remaja dan umumnya suka sensasi tahu
betul apa bahayanya bila mereka sampai membocorkan rahasia itu. Di
samping belum tentu ada yang
276
percaya, masih ada lain yang menakutkan, yaitu hukuman dari Rama.
Sudah terbukti bagaimana keampuhan ilmu yang dimiliki Ratna hingga
mereka tunduk.
Bukan cuma rasa takut dikutuk yang membuat mereka mampu menjaga
rahasia, melainkan ketakutan yang lain. Bila sampai terjadi kehebohan di
masyarakat sekitar yang kemudian meluas, Ratna bisa dituduh sebagai
dukun hitam atau tukang santet! Sudah terbukti banyak orang yang
dituduh sebagai tukang santet dibunuh ramai-ramai walaupun tak ada
bukti.
Rama dan Maya semakin stres. Lebih-lebih Maya. Tetapi keadaan itu
membuat hubungan mereka berdua menjadi lebih baik dan dekat.
Demikian pula anak-anak mereka. Mereka jadi lebih bersatu. Hal itu
menghibur perasaan Maya hingga ia menjadi lebih diringankan.
"Bagaimanapun kita masih lebih baik daripada Del. Dia sendirian dan
dikejar-kejar," bisik Rama, sekalian menghibur diri sendiri.
"Tapi kita serumah dengan Mama, Pa," balas Maya dengan berbisik juga.
"Serumah atau tidak serumah baginya pasti bukan masalah."
"Ah, itu usul yang kebetulan. Aku perlu menjenguk rumah kontrakanku.
Masih ada sisa waktu kontraknya.
283
Aku ingin menyelesaikan baik-baik dengan pemiliknya. Biarpun masih ada
sisa waktu, sebaiknya kukembalikan saja. Tempo hari kutinggalkan begim
saja, karena aku yakin takkan kembali lagi."
"Jadi kapan mau ke sana?" tanya Kosmas.
"Secepatnya saja. Mungkin lusa. Aku akan nginap satu malam."
"Mau kuantarkan?"
"Nggak usah. Aku nggak pakai mobil. Capek. Enaknya naik kereta saja."
"Baiklah. Nanti kuantar kau ke stasiun."
Sebenarnya ada sebab lain yang mendorong Delia ingin berdamai dengan
Ratna. Di samping merasa terganggu oleh pikiran dan mimpi perihal
Ratna, ia juga mengkhawatirkan keselamatan Kosmas dan Erwin. Ia
takut mereka akan diganggu oleh Rama.
Kosmas menyampaikan masalah lain yang disampaikannya saat bicara
berdua dengan Delia.
"Kasihan Erwin. Tiap hari dia menelepon Yasmin hanya untuk menanyakan
kabarnya atau bercerita sendiri. Kelihatannya dia cukup senang bisa
bicara sebentar, tapi dia pasti ingin lebih dari itu. Dia juga ingin seperti
kita yang bisa bergaul tanpa penghalang. Kenapa pula tertarik pada istri
orang?"
"Mungkin dia perlu waktu untuk bisa menerima keadaan. Beberapa kali
aku bicara dengan Yasmin di telepon, tampaknya dia tersentuh oleh
perhatian yang diberikan Erwin. Dia takut kalau-kalau Erwin berharap
terlalu banyak padahal dia tak bisa membalas."
"Ah, bagus kalau Yasmin berpendapat begim."
"Yang penting kita tidak boleh menyisihkan dia. Meskipun hubungan kita
akrab, kita jangan berduaan saja tanpa mengikutsertakan dia."
"Terima kasih, Del. Erwin menyukaimu. Dia tak
284
pernah menganggapmu saingan. Dia bilang, kau seperti ibu kami. Mama-
lah pemersatu kami. Biarpun Mama sudah nggak ada, spiritnya tetap
memengaruhi kami."
"Punya saudara itu menyenangkan, bukan? Apalagi kalau akrab seperti
kalian."
"Tapi pacar-pacar kami tidak menyukai hal itu."
Delia tersenyum. "Ada saja orang yang kadar cemburunya lebih daripada
yang lain. Kau harus maklum juga."
Sementara itu Erwin merasa harus tetap optimistis. Selama Yasmin
masih hidup, jalan itu masih ada, biarpun berliku dan tak jelas berapa
panjangnya. Ia tahu, ada kode etik yang mestinya tak boleh dilanggar
kalau ia masih ingin disebut sebagai orang bermoral. Mungkin menelepon
tiap hari di saat si suami tak ada di rumah bisa juga disebut sebagai
pelanggaran. Ia memang hanya menanyakan keadaan Yasmin dan
bercerita yang sopan dan tidak menjurus. Tapi maksudnya sudah jelas.
Ada pesan yang terkandung, "Jangan lupakan aku!"
285
BAB 28
sama dia itu makan waktu lama karena kebanyakan bercanda sama orang
yang nggak dikenal. Jadi kalau dia lagi bercanda, aku jauh-jauh aja.
Pura-pura nggak kenal."
"Ya. Mendingan begitu aja, Don," ibunya setuju. "Kalau menolak ikut,
nanti dikutuk!"
Tapi setelah dua kali menemani Ratna, Donna tidak tahan lagi. Ia
menolak dengan berbagai alasan. Mau ulangan, katanya. Ratna tidak
marah karena belakangan ia lebih suka jalan-jalan sendiri. Yang penting
baginya ia sudah tahu jalan dan sarananya Kendaraan umum cukup
banyak.
Di luar dugaan Donna, ia mendapat hadiah dari Ratna berupa sebuah
ponsel lengkap dengan nomor dan pulsa. Tinggal pakai.
"Bukankah kau sangat ingin punya itu?" kata Ratna. "Nih, aku juga punya.
Sudah kumasukkan nomorku ke dalam ponselmu. Dan nomormu sudah
pula kusimpan. Jadi kita gampang berhubungan."
Donna terperangah. Ia tidak tahu mesti berterima kasih atau
mencurigai pemberian itu.
"Tahukah kau, uang yang dipakai untuk membeli barang itu adalah uang
kami juga, anak-anaknya?" Ramli mengingatkan dengan emosi.
"Tahu, Pa. Habis mau gimana lagi? Aku kan nggak minta. Apa mesti
dikembaliin?" sahut Donna.
Ramli terkejut. "Ah, jangan. Nanti dia marah."
"Betul. Sudah, terima aja," Mila membenarkan.
Ines punya bahan ejekan baru. Ia sebenarnya ingin memiliki ponsel juga,
tapi tidak dibelikan. Tak punya uang, begitu alasan orangtuanya. Habis,
banyak uang terserap oleh Rama.
"Kalau aku sih nggak mau dikasih apa-apa sama Nenek," begim kata Ines.
"Kau tahu maksud dia
288
memberimu ponsel? Im supaya dia bisa SMS-an sama kamu!"
Kejengkelan Donna bertambah. Ines benar, ponsel itu jadi memudahkan
Rama berhubungan dengannya. Entah itu sekadar bertanya perihal
keadaan keluarganya atau instruksi. Mau tak mau harus dijawab.
Akibatnya, ponsel itu jadi beban. Sering kali dengan sengaja ia matikan
saja. Lalu telepon rumah berbunyi. Ratna menegur dan mengingatkan.
Dulu Donna cucu kesayangan Rama. Ia memang menikmati keadaan itu.
Ia senang karena sering mendapat hadiah dan makanan enak. Ia tak
keberatan disuruh ini-itu oleh Ratna. Banyak hal yang tak dipedulikan
atau dijadikan keberatan olehnya. Misalnya kesenangan Rama
melontarkan kutukan dan sumpah serapah. Bukan dirinya yang jadi
sasaran. Bahkan disuruh memata-matai Delia pun ia mau saja. Tetapi
setelah semakin dekat mengenal Delia, ia mulai merasa kurang enak. Ada
perasaan telah mengkhianati atau melakukan sesuatu yang tidak patut.
Lalu muncul perasaan bersalah. Terakhir adalah penipuan terhadap
Delia, yaitu membohonginya dengan mengatakan ibunya sakit lalu
membutuhkan uang sepuluh juta untuk biaya rumah sakit. Donna merasa
muak terhadap Ratna. Apalagi kesan bahwa Delia orang yang baik
semakin kuat. Tanpa segan dan pertimbangan ini-itu Delia bersedia
membantu keluarganya. Donna bisa membayangkan betapa sakitnya
perasaan Delia ketika tahu dibohongi. Bahkan untuk perbuatan itu ia dan
keluarga tidak meminta maaf! Sungguh memalukan. Karena itu ketika
Rama mau menyisihkan lima ratus ribu rupiah untuknya dari uang sepuluh
juta itu, Donna menolak. Biarlah si nenek memakannya sendiri dan
menanggung dosanya sendiri
289
juga. Tapi ia sadar dirinya punya andil dalam dosa itu.
Sekarang ia menyesal menjadi cucu kesayangan Ratna. Ia mulai berpikir
bagaimana caranya melepaskan diri dari Ratna. Ia mencari seribu satu
alasan untuk menolak perintah Ratna. Ponselnya ia bawa ke mana-mana
dan terang-terangan ia pamerkan di depan umum, misalnya dengan
mencantelkannya di pinggang saat berada di jalan. Tujuannya bukan
untuk memudahkan Ratna menghubunginya di mana saja dan kapan saja,
tapi supaya gampang dijambret orang! Sayang sekali, "undangan" itu tak
diminati siapa pun. Tak ada penjahat yang tertarik.
***
"Sudahlah. Semua sudah berlalu, Don. Tadi katanya mau cerita. Apa
yang luar biasa mengerikan itu?"
"Nenek sudah berubah jadi muda, Tante! Kata Papa, penampilannya
seperti saat Papa masih duduk di SMU!"
"Ha? Bukan karena bedah plastik, kan?"
Donna tertawa. Ia segera menceritakan apa yang telah terjadi. "Tante
Maya dan Bi Ipah pada pingsan, Tante! Kami semua datang ramai-ramai
ingin melihatnya. Wah, Nenek berlagak dan bergaya deh. Sesudah itu
Papa dan oom-oom terpaksa keluar duit banyak untuk makan-makan di
restoran dan beliin baju buat Nenek."
Delia termenung. Jadi mimpinya yang mengerikan itu memang merupakan
petunjuk bahwa Ratna yang sekarang tak lagi sama dengan yang dulu.
"Tante harus hati-hati sama dia. Tempo hari Tante Maya dikerjain
Nenek, karena kedapatan memandanginya dengan benci. Mukanya jadi
penuh jerawat. Sesudah minta maaf, baru mukanya bersih lagi. Serem,
Tante!"
"Ya. Menyeramkan memang. Apa kau mau menginap di sini, Don?"
"Nggak, Tante. Entar sore pulang."
"Kau jangan pulang dulu, ya. Aku mau ke kelurahan sebentar. Takut
keburu tutup. Belajarlah dulu. Aku nggak lama. Nanti kita bicara lagi,
ya?"
Delia pergi meninggalkan Donna termangu. Kedatangan Delia yang
mengejutkan membuat ia kehilangan semangat belajar. Tapi ia merasa
lega karena
294
berhasil menyampaikan permohonan maafnya yang diterima oleh Delia.
Ia berpikir, mungkin kelegaan itu bisa membuatnya lebih mampu
berkonsentrasi. Kata orang, perasaan bersalah bisa mengganggu pikiran
Ia melirik ponselnya. Belum berbunyi lagi. Semula mau dimatikan, tapi
tak jadi. Ada juga rasa ingin tahu, apa lagi yang mau disampaikan
neneknya setelah tahu bahwa Delia ada bersamanya. Kenapa malah
diam?
Delia kembali. "Untung keburu, Don. Ambilnya besok."
Ratna sangat marah. Bukan hanya kepada Delia, tapi juga kepada Donna.
Tapi ia tahu dirinya tak punya kendali lagi terhadap kedua orang itu.
303
"Gimana dengan toko busananya di Bandung?"
"Itu sudah dijual, Yas. Jelasnya nanti tanya dia aja. Aku takut salah
ngomong."
"Yah, sayang sekali. Apakah tokonya bangkrut?"
"Nanti tanya dia aja, Yas. Ngomong-ngomong, gimana kabarmu
sekarang? Sibuk di rumah atau ada kegiatan lain?" Erwin cepat
mengalihkan. Ia tahu, Delia belum bercerita banyak kepada Yasmin
mengenai masalah dirinya. Tapi Erwin tidak mau bercerita tentang Delia
biarpun ia tahu Delia pasti akan bersikap terbuka kepada Yasmin.
Biarlah Delia yang bercerita tentang dirinya sendiri.
"Aku masih menikmati kebebasanku, Bang. Tapi aku sudah punya
rencana."
"Apa itu? Boleh tahu?"
"Aku ingin punya toko busana seperti Kak Del. Tadinya aku ingin
mengajak dia bekerja sama. Tapi dia sudah bekerja di sini."
"Wah, dia senang di sini, Yas! Kau lihat pepohonan itu? Tadinya kan
nggak ada."
Erwin khawatir kalau-kalau Delia diajak pergi oleh Yasmin. Tentu Yasmin
bisa bicara begitu sekarang karena dia memiliki ayah yang kaya.
"Ya. Jadi bagus memang. Aku sudah menduga itu pasti sentuhan Kak Del.
Tapi kalau dia nggak mau berbisnis busana lagi juga nggak apa-apa. Aku
minta nasihatnya aja."
"Betul. Mendingan begitu. Bagaimana kabar ayahmu? Katanya sakit?"
"Oh, dia sudah lebih baik. Aku sudah bertemu dengan dia, Bang.
Sekarang aku lega sekali karena tidak punya dendam lagi. Demikian pula
Papa."
"Bagus sekali. Sudah berapa kali ketemunya? Tentu suasananya
mengharukan."
304
"Baru sekali. Kami berdua nangis, Bang. Pada saat itu aku bersyukur
karena masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk berbaikan dengan
Papa. Coba kalau Papa keburu meninggal atau aku yang meninggal duluan,
bukankah kesempatan itu hilang? Bagi siapa pun yang ditinggal duluan
pasti menyesal sekali."
"Apakah atas keberuntunganmu itu kau berterima kasih kepada-Nya?"
"Tentu saja. Yang kuingat paling dulu adalah Dia. Kau tahu apa yang
kulakukan sebelum aku minum racun? Aku minta maaf sama Papa. Aku
baru ingat ada hal yang belum kuselesaikan. Karena itu kemudian aku tak
merasa segan lagi untuk menelepon dia."
"Ya. Hidup ini memang mengandung kejutan, Yas. Aku senang semua
berakhir dengan baik untukmu."
"Berkat bantuanmu, Kak Del, dan Bang Kos."
"Itulah yang kumaksudkan bahwa hidup ini mengandung kejutan.
Pertemuan di motelku ini telah mendatangkan kebaikan bagi semua pihak
meskipun awalnya adalah kesedihan."
"Apakah perbuatanku itu mendatangkan kebaikan bagimu dan Bang Kos?
Cuma menyusahkan saja."
"Ah, siapa bilang? Aku senang bisa mengenalmu, demikian pula Bang
Kos."
"Bang Kos kayaknya suka sama Kak Del, ya?"
"Dari mana kau tahu?"
"Nah, bener, kan? Aku punya feeling kok."
"Feeling-mu tajam, ya? Ada feeling lain nggak?"
Yasmin melengos. Tatapan Erwin membuatnya tak enak hati. Ia senang
berbincang dengan Erwin, tapi tatapan pria itu membuatnya salah
tingkah. Tentu saja ia punya feeling tentang hal itu. Tapi itu tidak
patut. Dirinya bukanlah orang yang bebas hingga bisa menanggapi
perhatian orang lain.
305
Sikap Yasmin itu kembali membangkitkan rasa cemburu Erwin. Apakah
Yasmin tidak menyukainya barang sedikit saja? Apakah itu karena
Hendri? Apakah sekarang Yasmin bisa bercinta dengan Hendri tanpa
penderitaan seperti dulu, bahkan bisa menikmatinya? Apakah Hendri
menggunakan pendekatan dan teknik baru? Apakah Yasmin tetap
mencintai Hendri meskipun pernah diperlakukan buruk?
Tidak takut lagi. Kami sudah pisah kamar, Kak. Dia tidak akan
menyentuhku kalau aku tidak mau. Tapi aku tahu kesediaannya itu bukan
tanpa sebab. Kalau aku bukan ahli waris kaya, mungkin dia tidak begitu."
Delia mengerutkan kening. "Biarpun kau sudah merasa aman, kau tidak
boleh melupakan kewaspada-anmu terhadapnya, Yas. Kerelaannya itu
tentu disebabkan dia punya keinginan dan rencana."
"Oh ya. Aku tahu. Tak lama lagi kami akan pindah ke rumah Papa karena
kontrak rumah sudah
308
habis. Dia yang mengusulkan begitu. Daripada susah-susah cari
kontrakan dan bayar mahal, kan lebih baik tinggal di sana. Rumahnya
besar dan milikmu juga, kata Hendri. Itu baru pertama, mungkin ada
kelanjutannya lagi. Tapi aku justru senang tinggal bersama Papa. Di sana
aku punya pelindung. Hendri nggak berani macam-macam."
"Aman sih aman. Tapi kau tetap harus hati-hati."
"Tentu saja. Oh ya, gimana hubunganmu dengan Kosmas? Serius nih?"
"Aku belum memberi jawaban pernyataan cintanya, Yas."
"Kau nggak mencintai dia juga?"
"Entahlah. Tapi bukan itu alasan kenapa jawaban belum kuberikan. Aku
tidak hirau soal cinta lagi. Bukan itu yang kucari dalam hidup ini. Aku
suka dia karena pribadinya. Mungkin lebih menyenangkan kalau dia tetap
sebagai sahabat saja. Tapi kayaknya nggak mungkin juga kalau salah
satu pihak ingin lebih dari itu."
"Jadi kapan memutuskan?"
"Aku harus membereskan masalahku dengan mertuaku lebih dulu. Kita
memerlukan ketenangan dalam hidup ini, bukan?"
"Kalau kau sudah memutuskan, kasih tahu aku, Kak."
"Tentu."
"Bagaimana dengan ideku untuk berbisnis garmen, Kak?"
"Itu bagus sekali. Nanti aku bantu dengan bekal pengalamanku. Apakah
Hendri mendukung?"
"Dia belum tahu. Bahkan aku belum ngomong dengan Papa. Padahal
modalnya dari Papa. Siapa lagi?"
309
"Aku yakin, ayahmu setuju. Dia pasti senang kau punya kegiatan.
Demikian pula Hendri."
"Mudah-mudahan saja, Kak."
"Oh ya, ada satu hal yang mengganggu pikiranku. Dulu kau mengatakan
masih punya rasa cinta kepada Hendri. Tentu itu yang membuatmu tak
mau bercerai. Tapi sekarang kau mengaku tak ada lagi rasa cinta itu.
Apa masih tak berpikir untuk bercerai saja supaya kau bisa lebih mampu
menata hidupmu? Maaf ya nanya begitu."
"Nggak apa-apa, Kak. Aku tak mungkin bercerai karena sudah
mengucapkan janji dan sumpah setia. Pada saat menikah dengan Hendri
aku mengatakan akan menerima dia, baik ataupun buruk. Tidak ada yang
bisa tahu apa yang terjadi kemudian, setelah perkawinan. Aku harus
tetap menerima dia dalam suka dan duka. Jadi yang penting adalah
bagaimana penyesuaiannya saja."
Delia terperangah, tidak menyangka bahwa seorang Yasmin bisa berkata
seperti itu.
"Kau nggak nyangka ya, Kak?" Yasmin melanjutkan. "Baiklah, kuceritakan
mengenai orangtuaku lebih dulu. Semasa mudanya, ibuku cantik,
bertubuh ramping dan modis. Ayah dan ibuku pasangan serasi. Mereka
rukun. Kami hidup bahagia sebagai keluarga. Kemudian terjadi
perubahan pada diri ibuku. Makin lama ia makin malas merawat diri dan
menjaga penampilan. Tubuhnya melar dan wajahnya tembam. Kata orang,
kebanyakan perempuan akan seperti itu kalau sudah dekat menopause.
Pikiran yang menjadikan orang malas berusaha. Padahal banyak
perempuan seusia ibuku tetap ramping dan cantik. Tak hanya itu, ibuku
tak lagi memedulikan pakaian yang dikenakannya. Dia benar-benar
slebor. Alasannya,
310
pakai baju apa pun kalau gendut tetap saja nggak pantas. Mungkin
sebagai ekses dari keadaan itu ia jadi cerewet.
"Dari situlah Papa mulai melirik perempuan lain. Apa pun alasannya, aku
tidak bisa terima kelakuan Papa itu. Manusia bukanlah barang yang bisa
ditukar kalau sudah usang dan tidak menarik lagi. Bukankah Papa sudah
mengucapkan janji dan sumpah perkawinan yang begitu sakral? Papa
janji akan tetap mencintai Mama dalam suka dan duka. Rasa cinta
memang susah dipertahankan, tapi kesetiaan? Bukankah pada saat janji
diucapkan orang tidak akan pernah tahu apa yang terjadi kemudian?
Siapa menduga bahwa pasangannya yang semula cantik dan ramping akan
berubah menjadi jelek dan gembrot? Tak selalu keduanya menjadi
keriput bersama, jelek dan cerewet bersama juga, meskipun tua
bersama.
"Prinsip itulah yang kupertahankan sampai aku sendiri menikah. Aku
tidak menyangka Hendri bisa seganas itu di tempat tidur. Tapi bukankah
Hendri juga tidak menyangka perempuan yang dinikahinya tak bisa
memuaskan hasratnya?"
Yasmin bertutur panjang. Delia memeluknya dengan penuh keharuan.
"Tapi dia mengkhianatimu, Yas. Dia tidak seperti dirimu."
"Itulah. Aku memang bukan dirinya. Aku tidak sama."
Sampai mereka puas berbincang, tidak ada gangguan lewat interkom.
"Makan siang di sini, Yas," ajak Delia.
Mereka kembali ke kantor. Kosmas dan Erwin sudah menunggu. Kepada
Yasmin, Kosmas menunjukkan jempolnya.
311
"Apa itu?" tanya Yasmin.
"Kau tambah cakep, Yas! Tadi Erwin juga bilang begitu."
Yasmin tersenyum. "Bang Kos juga kurasan sekarang."
Kosmas tertawa senang. Ia bangga kalau ada yang mengatakan demikian.
Belakangan ia memang berusaha keras menurunkan berat badannya.
Mereka makan siang bersama dalam suasana yang berbeda dibanding
pertama kali melakukannya. Kali, ini gelak tawa dan canda mewarnai
acara itu.
Usai makan Delia mengantarkan Yasmin pulang. Yasmin tak mau pulang
sore karena tak mau terlibat konflik dengan Hendri bila pria itu
mendapatinya baru pulang.
"Mobil ini tak akan jadi milikku lagi, Yas. Tapi masih bisa kupakai. Itulah
untungnya," kata Delia sambil tertawa.
"Aduh, Kak. Kau sampai tak punya apa-apa lagi," Yasmin prihatin.
"Aku masih punya hati, Yas."
Mereka saling mengagumi.
312
BAB 30
Rama sangat terkejut ketika pagi itu mendadak Ratna minta diantarkan
ke Jakarta.
"Nih, aku minta diantarkan ke sini." Rama menunjukkan secarik kertas
yang bertuliskan nama Motel Marlin beserta alamatnya.
"Motel?" Rama terbelalak. "Ngapain ke motel, Ma?"
Rama menatap wajah ibunya. Padahal biasanya ia tidak berani berbuat
begitu. Ia mulai berpikir yang bukan-bukan.
"Hei! Pikiranmu ngeres ya! Dasar!" bentak Ratna.
Rama terkejut lagi, bara disadarkan bahwa ia harus berhati-hati
terhadap ibunya.
"Aku punya urusan di sana. Kau nggak perlu tahu."
"Ke sana pakai apa, Ma? Pakai mobilku? Jangan deh, Ma. Udah butut gitu
mana tahan dibawa ke Jakarta, Ma!"
"Kita naik kereta api! Aku udah lama nggak naik kereta. Nanti kita naik
yang ekspres ya!" Ratna bersemangat sekali. "Lalu di motel ngapain?"
"Aku mau nginap di sana satu malam. Aku bisa pulang sendiri. Gampang.
Di sana taksi lebih banyak daripada di sini."
313
"Nginapnya sendiri?" tanya Rama bingung.
"Tentu aja atuh! Emangnya sama siapa?"
"Kalau cuma mau ngerasain nginap di Jakarta mah di hotel saja, Ma.
Jangan di motel. Itu mah biasanya buat orang pacaran."
"Sebodo amat!" seru Ratna. "Itu kan semau aku. Di mana kek maunya.
Yang penting kamu nyiapin sangu. Aku perlu duit!"
Atau mencari tempat yang jauh, tidak di Bandung, supaya tidak ada yang
melihat.
Pemikiran itu membatalkan niatnya untuk menelepon Delia. Ia tidak
punya uang untuk pergi ke wartel. Kalau menelepon dari rumah pasti
dimarahi karena biaya telepon interlokal mahal. Lagi pula ia bisa
membuat Delia resah tidak keruan. Padahal Delia juga tidak tahu
seperti apa rupa Ratna sekarang. Pada suatu. saat Donna harus
menelepon Delia, punya atau tidak punya uang. Ia akan mengingatkan
orangtuanya pada "utang" mereka kepada Delia.
Donna melangkah dengan ringan sekarang. Ia gembira ke sekolah karena
masalahnya sudah tak ada lagi. Ia sudah bisa berkonsentrasi dan
mengingat dengan baik.
***
Pagi itu Yasmin menemani Hendri sarapan. Sebentar-sebentar Hendri
mengamati Yasmin.
315
"Ada apa?" tanya Yasmin.
"Kau kelihatan ceria sekali. Sampai bersinar-sinar." "Ah, masa?" Yasmin
bertanya-tanya dalam hati apakah ucapan Hendri itu menjurus ke
sesuatu. "Iya. Kau kelihatan cantik." "Gombal ah."
"Bener. Dulu pernah aku mengatai kau, bahwa kau ma prematur. Aku
minta maaf telah berkata begim. Tapi itu memang benar. Sekarang juga
benar. Bukan gombal. Ketuaan dini itu sudah hilang. Kau jadi secantik
dulu, saat kita masih pacaran."
Yasmin tersenyum. Hendri sedang berupaya mengambil hati.
"Gimana Papa kemarin?" tanya Hendri.
Yasmin bingung sejenak. Kemarin ia ke Motel Marlin. Kemudian ia
teringat, pasti Hendri mengecek dengan meneleponnya. Setelah
mendapati rumah kosong, Hendri tentu mengira Yasmin pergi ke rumah
ayahnya. Tapi sorenya dia tidak bertanya mengenai hal itu. Baru
sekarang.
"Papa? Aku tidak ke rumah Papa kemarin."
"Lantas ke mana? Aku nelepon berulang-ulang, tapi kau nggak ada."
Tetapi kondisinya tentu berbeda. Sekarang jumlah uang itu besar sekali
untuknya.
"Sayang ya, Del."
Delia mengerti apa yang dimaksud Kosmas. Ia tertawa. "Mungkin aku
sudah ditakdirkan menjadi Sinterklas, Bang! Tukang bagi-bagi duit!"
Kosmas tahu, ia tak boleh menyesali atau membangkitkan sesal di hati
Delia. Yang paling tahu bagaimana beratnya beban yang dipikul adalah
yang memikul. Tapi sebagai pengusaha yang tidak tergolong kelas besar,
ia tahu betul bagaimana sulitnya mencari uang di tengah iklim usaha
yang redup seperti sekarang ini. Jadi dirinyalah yang lebih menyesal
321
daripada Delia yang sudah pasrah, padahal uang yang dihamburkan Delia
itu bukanlah miliknya. Kosmas sebenarnya berharap uang yang
diberikannya kepada Delia sebagai hasil pembelian mobil itu tidak
seluruhnya dijadikan upeti untuk Rama. Biarlah sebagian untuk Delia
sendiri. Tapi Delia memasukkan semuanya ke dalam amplop. Kosmas
melihat sendiri. Ah, sayang sekali.
Delia merasakan apa yang tengah dipikirkan Kosmas.
"Sudahlah. Jangan disesali, Bang. Uang masih bisa dicari. Tapi
ketenangan hidup?"
"Kau sepertinya yakin sekali bahwa dengan memberikan uang itu kau
bisa mendapat ketenangan. Belum tentu, Del."
"Ya. Memang belum tentu. Tapi dengan memberikan itu aku tidak lagi
merasa bersalah karena telah melakukan apa yang dulu kuperbuat itu.
Aku perlu menenangkan diriku sendiri. Bukan dia."
"Kalau nanti dia minta lagi atau bilang belum cukup, gimana?"
"Aku akan bilang tidak. Dia pasti tahu aku tidak punya uang lagi untuk
diberikan."
"Benarkah dia sesakti itu, Del?"
"Dari cerita Donna, memang iya. Mana ada orang biasa bisa mengubah
penampilan menjadi lebih muda kecuali dengan operasi plastik?"
"Aku senang kau bisa merasa tenang sekarang, Del. Apakah ketenangan
juga memberikan kebahagiaan?"
"Tentu saja. Di samping ketenangan, aku juga mendapat banyak hal. Aku
kehilangan, tapi aku juga mendapat gantinya. Salah satunya adalah kau."
Kosmas terlonjak girang. Sampai saat itu Delia
322
belum menjawab lamarannya. Ia tidak berani mendesak meskipun
optimis. Apakah kata-kata Delia itu cukup sebagai jawaban?
Delia melanjutkan kata-katanya, "Maksudku bukan cuma kau, tapi juga
Erwin dan Yasmin. Tadinya aku luntang-lantung sendiri. Siapa sangka
bisa mendapat sahabat banyak."
"Sahabat?" keluh Kosmas kecewa.
Delia tersenyum. Ia tak ingin mempermainkan perasaan Kosmas.
"Ya. Sahabat dan calon suami," katanya.
Kosmas tertawa gembira. "Oh, Del! Terima kasih!" serunya.
"Kok terima kasih? Aku kan nggak memberi apa-apa?"
"Siapa bilang? Kau telah memberiku banyak sekali. Yang paling berharga
dari semuanya adalah hatimu."
"Wah, mana bisa hatiku diberikan padamu? Hatiku tetap milikku. Ah,
bercanda, Bang! Kata Erwin, kau sekarang jadi pintar ngomong. Dulu
nggak begini?"
"Nggak. Mungkin bakat terpendam. Baru keluar setelah bertemu orang
yang cocok, yaitu orang yang bernama Delia."
Mereka tertawa. Perjalanan jadi terasa menyenangkan sekali.
Ketegangan yang menunggu di depan tidak lagi mencemaskan.
"Aku ingin sekali melihat Ratna dalam penampilannya yang baru. Dulu,
sewaktu almarhum suamiku masih duduk di bangku SMU, aku belum
pernah melihatnya. Kata Donna, dia cantik dan tubuhnya ramping.
Menantu-menantunya kalah dibanding dia."
"Biarpun luarnya kelihatan muda, dalamnya pasti tetap tua. Kayak rumah
kuno yang direnovasi bagian luarnya aja."
323
Delia tertawa. Ia bersyukur karena perjalanannya ditemani Kosmas. Bila
sendirian ia akan merasa lebih tegang.
Saat Kosmas dan Delia tiba di Bandung, Ratna dan Rama pun tiba di
Jakarta.
Tapi Ratna tidak mau segera pergi ke Motel Marlin. Dari stasiun Gambir
ia bertanya dulu kepada sopir taksi di mana mal yang terdekat, lalu
minta diantar ke sana! Rama yang mendampinginya tidak berdaya
membantah atau membujuk agar Rama membatalkan niatnya. Im hal
yang tidak mungkin ia lakukan.
Tadinya Rama mengira- tugasnya akan cepat selesai. Setelah tiba di
Jakarta, ia langsung menuju motel yang dimaksud, lalu pulang. Tak perlu
mengkhawatirkan orang sesakti ibunya. Tiba-tiba sekarang ada tugas
tambahan yang lebih menyebalkan lagi. Sebelumnya ia sudah mendengar
tentang acara jalan-jalan bersama Rama keliling mal. Sekarang ia akan
mengalami sendiri. Bukan hanya itu. Ia benar-benar merasa capek
secara fisik, juga takut kalau-kalau dalam acara jalan-jalan itu Rama
minta tambahan uang. Bekalnya hanya pas-pasan untuk ongkos pulang
dan jajan sedikit. Bukan karena di rumah uangnya sudah habis, tapi
disengaja supaya Rama tidak minta lebih dari yang sudah diberikan
untuknya. Kalau ia
325
membawa uang lebih, bisa jadi diminta lagi oleh Rama.
"Jakarta itu terkenal dengan mal-malnya yang seabrek. Bagus-bagus
barangnya!"
"Tapi di sini malnya gede-gede, Ma! Satu lantai saja luasnya bukan main.
Mama bisa kecapekan," Rama sengaja menakut-nakuti.
Semangat Ratna malah bertambah. "Kebetulan aku mau ngetes kekuatan
sendi-sendi kakiku!" serunya.
Rama cuma bisa mengeluh dalam hati. Bagaimana dengan kekuatan sendi-
sendi kakinya sendiri?
Sebelum memasuki mal, Ratna mengambil ponselnya. Rama mengamati,
ingin tahu siapa yang ditelepon Ratna. Dengan keheranan ia mendengar
Ratna bicara dengan Maya, istrinya!
"Maya, aku dan Rama udah sampai di Jakarta. Aku mau pesan. Kalau
nanti Delia datang, jangan sekali-kali beritahu aku ke Jakarta dan
tujuannya apa. Cari alasan lain. Awas ya kalau kau berani kasih tahu.
Pokoknya kalau Del kasih sesuatu, terima aja. Nggak usah ngomong
banyak-banyak. Ngerti?"
Rama tidak berani bertanya. Ia selalu berjalan di belakang Ratna, tidak
di sampingnya.
Mal itu ditelusuri mereka berdua, lantai demi lantai, dari ujung ke ujung.
Sebentar-sebentar mereka berhenti karena Ratna mengamati barang-
barang. Lagaknya seperti orang berminat yang banyak uang. Rama
menjaga jarak. Tak mau dekat-dekat. Takut diajak bicara atau dimintai
pertimbangan. Ia berharap Ratna cukup tahu diri dengan
memperhitungkan uang yang dimilikinya. Ia bertanya-tanya dalam hati,
kenapa Ratna tidak menggunakan kesaktiannya untuk menggandakan
uangnya atau bagaimanalah supaya
326
bisa punya banyak uang tanpa membebani anak-anaknya.
Belum selesai mal itu ditelusuri semua lantainya, sepasang kaki Rama
sudah bergoyang-goyang dan matanya berkunang-kunang. Ia merasa
akan jatuh pingsan setiap saat tapi mencoba bertahan. Padahal Ratna
masih terlihat segar dan bersemangat. Ia berjalan ke sana kemari tanpa
menengok ke belakang untuk melihat keadaan Rama. Saking cerianya, ia
sama sekali tidak peduli apakah Rama masih ada di belakangnya atau
tidak.
Tapi ada yang melegakan perasaan Rama. Setelah menelusuri mal itu,
lantai demi lantai, Ratna cuma membeli sebuah lipstik! Padahal ia sudah
memegang-megang dan merabai berbagai benda yang mahal-mahal
dengan ekspresi tertarik.
Ketika diajak Rama beristirahat sambil makan siang, barulah Rama bisa
memulihkan tenaganya. Tapi itu hanya sementara. Di luar dugaan Rama,
penjelajahan dilanjutkan ke mal berikutnya! Rama kembali hanya bisa
mengeluh. Berkali-kali muncul godaan. Bagaimana kalau ia kabur saja?
Ratna berjalan tanpa menengok ke belakang. Jadi kalau ia menghilang
takkan ketahuan. Kemudian ia teringat bahwa ia bisa saja melakukannya
terhadap orang lain, tapi tidak pada Ratna. Entah apa hukuman yang
akan dijatuhkan Ratna terhadap dirinya bila ia sampai melakukan hal itu.
329
Delia dan Kosmas disambut Maya dengan sikap gelisah dan gugup.
Tangannya yang menyalami Delia dan Kosmas terasa dingin dan gemetar.
Ia dipeluk Delia yang mencium pipinya tapi tidak membalas pelukan. Ia
pasif sekali.
"Kalau begitu mertuamu itu memang sudah tahu kau mau datang. Jadi
dia pergi untuk menghindar."
"Kenapa ya?" Delia bertanya-tanya sendiri.
"Mungkin dia tahu kau tidak sendiri. Ada aku," gurau Kosmas.
Delia tertawa. "Ya, mungkin begitu. Padahal kita ingin melihatnya,
bukan?"
"Sayang sekali. Apakah itu berarti dia malu dilihat kita?"
"Mana mungkin? Mestinya dia merasa bangga. Ah, sudahlah. Aku cuma
ingat akan bau menyan tadi. Apa kau menciumnya juga, Bang?"
332
"Ya. Jelas baunya."
"Dia memuja sesuatu. Dan yang dipuja itu memberinya apa yang
diinginkannya."
"Apakah ada imbalannya?" tanya Kosmas. "Mestinya ada."
"Sebaiknya kita tidak membicarakannya." "Betul. Aku pikir juga begitu."
"Sebaiknya kita bicarakan masa depan kita bersama."
"Ya. Itu lebih menyenangkan," Delia setuju. Dia memang luar biasa, pikir
Kosmas untuk kese-kian kalinya.
333
BAB 32
"Sekarang kau pulang saja, Ram! Balik ke stasiun," kata Rama setelah
taksi berhenti di depan gerbang Motel Marlin. Ia turun sendiri. Rama
tidak membantah. Dengan taksi yang sama ia meninggalkan ibunya. Tak
ada kekhawatiran. Ia juga tidak merasa perlu berpesan agar Ratna
berhati-hati. Biarpun ucapan itu sekadar basa-basi, ia tetap tidak
berani mengatakannya karena khawatir Rama malah marah. Terlalu
banyak yang dialaminya hari itu hingga keinginannya hanya satu, yaitu
cepat pulang.
Ratna melenggang di halaman parkir menuju kantor. Ia menjinjing
belanjaannya di dalam tas jinjing yang berlogo nama toko bergengsi.
Tangannya yang lain menjinjing tas ukuran sedang berisi pakaian ganti.
Tidak berat. Padahal ia bisa menitipkan belanjaannya itu pada Rama
untuk dibawa pulang supaya ia tidak repot. Tapi ia tidak mau karena
ingin kelihatan sebagai perempuan berduit yang suka belanja.
"Selamat sore. Bu!" Erwin menyapa ramah. "Sore, Pak. Saya mau nginap
satu malam. Besok keluar jam sembilan." "Baik, Bu."
Erwin menyodorkan buku tamu. Rama menulis namanya sebagai Ratih
Sutisna dengan alamat Cianjur..
334
"Nomor telepon tolong ditulis juga, Bu."
"Nggak ada telepon. Ada juga HP."
Erwin memutuskan untuk tidak mempersoalkan.
"Bisa lihat KTP-nya, Bu? Mau dicocokkan."
Rama membuka tasnya lalu mengaduk-aduk isinya. Segera wajahnya
memperlihatkan kecemasan.
"Waduh, kok nggak ada ya. Jangan-jangan ketinggalan di tas yang lain.
Beginilah kalau ganti-ganti tas. Wah, gimana ya? Apa saya nggak boleh
nginap di sini kalau nggak bawa KTP?"
Erwin merasa iba. Melihat penampilan Rama, ia yakin perempuan ini
pastilah orang baik-baik dan cukup berada meskipun datang sendirian.
"Ibu ke Jakarta ada keperluan penting?"
"Ah, nggak. Jalan-jalan aja. Abis belanja. Nih." Rama mengangkat
jinjingannya tinggi-tinggi agar terlihat oleh Erwin.
Erwin tertegun. Jalan-jalan sendirian. Ke Jakarta, lagi. Ia mendapat
kesan perempuan ini orang yang mandiri yang sudah biasa pergi
sendirian ke mana-mana.
"Bu, KTP itu penting di sini. Kadang-kadang ada razia. Yang tidak bawa
KTP bisa kesulitan, ditilang dan didenda."
"Terima kasih, Pak. Ya, lain kali saya lebih berhati-hati," kata Rama
dengan senyum manis.
Rama membayar, lalu Erwin menyerahkan kunci kamar. "Nomor lima, Bu."
"Terima kasih."
"Tasnya mau dibawakan, Bu?" Rama tak segera menjawab tawaran itu.
Saat ia masih menimbang-nimbang, Erwin melangkah ke luar kantor lalu
"Nonsens, Bang! Itu kan mustahil. Kau harus cepat mengikat Delia.
Jangan sampai lepas. Kan sayang."
"Mestinya kau jangan mikirin Yasmin saja, Win. Buka mata juga
terhadap cewek lain. Kan masih banyak. Apalagi modalmu lebih dari
cukup."
"Modal yang tak disertai nasib baik itu percuma, Bang."
"Kau pesimis."
"Bukan pesimis. Tapi ngomong fakta."
Lamunannya terhenti oleh kemunculan tamu perempuan yang baru masuk
tadi. Ratih dari Cianjur atau Rama.
"Saya mau nanya, Pak. Di depan banyak warung makan. Mana yang enak
dan bersih?"
"Oh, Ibu mau makan apa? Bisa pesan dari sini kok. Nanti dianterin ke
kamar. Cuma kasih tip aja."
"Enakan makan di sana aja. Bisa lebih leluasa."
"Silakan, Bu. Hati-hati dompetnya. Mendingan bawa uang secukupnya
saja."
"Memang gitu kok. Terima kasih."
Ratna melenggang pergi. Dengan kaus ketat dan celana jins pas di
pinggul ia kelihatan seperti gadis muda.
Erwin menilainya sedikit genit. Mungkin saja dia bukan perempuan baik-
baik. Atau seorang kekasih gelap yang janjian di tempat itu. Tapi itu
bukan urusannya. Yang penting baginya tamu tidak berniat bunuh diri.
Erwin tak bisa kembali merenung. Sebuah mobil berhenti di depan
kantor. Dengan keheranan ia melihat Hendri keluar. Dia sendirian saja.
Hendri membawa sebuah dus pizza.
337
"Selamat sore, Mas," Hendri menyapa. "Di sini ada yang pesan pizza?"
"Selamat sore. Sejak kapan kau jadi pengantar pizza?"
"Sejak hari ini. Aku membawakan buat teman-teman di sini."
Erwin menerima dus yang disodorkan. Ia meletakkannya di meja sebelah
belakang. "Silakan duduk, Mas," katanya menyilakan.
"Sendirian, Mas?" tanya Hendri sambil duduk.
digituin. Tahu kenapa? Supaya mereka kelihatan sibuk dan ada yang
mesti dibayar!"
"Ya udah. Pakein obat merah sana. Nggak usah ke rumah sakit."
Buru-buru Hendri mengambil kotak obatnya. Ia
341
memakaikan obat merah. Tapi sempat terlintas dalam pikirannya, betapa
indah betis yang dimiliki perempuan ini! Ia senang karena bisa lepas dari
jeratan.
"Nah, sudah beres, Bu. Sekarang kuantarkan kembali ke motel, ya?"
"Traktir makan dong. Tadi aku belum sempat makan tuh. Di sana nggak
ada yang enak."
Hendri melongo.
"Makannya di restoran yang enak ya. Jangan yang murahan," Rama
melanjutkan.
Hendri menggerutu dalam hati, tapi tak bisa menolak. Ia sempat melihat
senyum kemenangan di bibir Rama. Dirinya memang sudah diperdaya.
Tapi lama-kelamaan kejengkelannya mereda. Ada sesuatu yang misterius
dalam diri perempuan ini yang membuatnya menarik. Sempat terpikir,
jangan-jangan dia penipu yang berniat merampoknya atau menguras
uangnya dengan hipnotis seperti yang sering terjadi. Tapi ia. sudah siap
dan waspada menghadapi kemungkinan itu. Orang yang siap pasti lebih
kuat posisinya dibanding orang yang gampang percaya. Lagi pula ia punya
keyakinan, perempuan lebih gampang dihadapi dibanding lelaki.
Ratna menunjuk sebuah restoran besar yang kebetulan dilewati. Hendri
menyesal melewati restoran itu. Tapi mau tak mau ia terpaksa memenuhi
keinginan Ratna. Ia menghibur diri dengan menghitung-hitung, mungkin
biaya rumah sakit lebih besar daripada biaya makan.
"Tadi kau keluar dari .motel itu. Nginap di situ juga?" tanya Ratna.
"Nggak. Pemiliknya adalah temanku."
"Oh, begitu. Sudah punya istri, kan?"
"Ya. Sudah," sahut Hendri.
342
"Belum punya anak, kan? Lagi ada masalah, ya?"
Hendri terkejut. Nada pertanyaan itu bisa sekadar perkiraan, tapi lebih
terkesan sebagai kesimpulan.
"Bagaimana Ibu bisa tahu?"
"Wajahmu memperlihatkan itu."
"Ah, masa? Memangnya ada apa di wajahku?"
"Ada gurat-gurat yang bercerita," sahut Rama, tenang tidak bercanda.
"Gurat-gurat? Apakah aku sudah kelihatan ma?" Hendri meraba
mukanya.
"Ah, nggak. Kamu cakep kok." Rama tertawa. Semakin familier saja
sikapnya.
"Baiklah. Apa yang Ibu baca di wajahku?"
"Masalah seks, kan?"
Kali ini Hendri ternganga. Sekarang Rama tampak lain di matanya.
Perempuan luar biasa, pikirnya.
"Kok Ibu bisa tahu sih? Apakah Ibu... paranormal?"
Rama hanya tersenyum lalu menghirup pelan-pelan minumannya. Ia
menatap Hendri dengan ekspresi "Jangan main-main denganku!"
Situasi sudah berubah bagi Hendri. Perasaan dan pikirannya mengenai
Rama sudah berubah total. Bukankah ia baru saja menyampaikan idenya
kepada Yasmin untuk minta bantuan paranormal? Bila orang sudah
kesulitan memecahkan masalah dengan cara yang wajar, tak ada
salahnya berpaling pada cara yang tak wajar. Segala cara sepatutnya
ditempuh.
Karena sadar Yasmin tidak tertarik, maka Hendri memutuskan untuk
mendekati Delia. Itulah tujuannya datang ke Motel Marlin tadi.
Barangkali ia bisa menjalin komunikasi dengan Delia hingga Delia mau
memberi masukan perihal ibu mertuanya yang dikatai, nenek sihir itu.
Setidaknya Delia bisa memberitahukan
343
alamat sang nenek. Selanjutnya Hendri bisa mencari informasi sendiri.
Memang orang yang menyebut dirinya paranormal cukup banyak. Tapi
belum tentu semuanya asli.
"Ya, Bu. Aku memang salah. Tapi yang penting ke depannya. Bagaimana
supaya bisa memperbaiki kesalahan itu. Gimana bisa harmonis kalau
nggak ada hubungan seks?"
"Sebenarnya keinginan kamu itu bukan karena cinta padanya, tapi
karena ingin menguasainya. Baik orangnya maupun hartanya. Ya, kan?"
Hendri terkejut untuk kesekian kalinya. Wajahnya sampai memucat.
Rama tertawa geli. Ia senang betul bisa membuat Hendri terkejut-
kejut.
Hendri kehilangan selera makan. Ia bingung menghadapi Ratna. Tapi ia
percaya betul bahwa Ratna memang punya kelebihan. Hanya ia belum
tahu apakah Ratna bersimpati kepadanya atau tidak.
"Apakah Ibu kenal istriku?"
Ratna menggeleng. "Kau curiga, ya?" tanyanya.
"Nggak, Bu. Pengen tahu aja."
Rama melanjutkan makan dengan lahap. Hendri mengamatinya dengan
heran. Cara Ratna makan itu seperti kelaparan, hingga membuat ia
merasa mual. Tapi ia tahu tidak boleh memperlihatkan perasaannya
345
kalau ingin mendapat simpati. Ia menunggu dengan sabar sampai Rama
melicintandaskan piringnya.
"Ibu mau menolongku?" tanya Hendri.
"Bener nih? Serius?"
"Iya, Bu. Serius."
"Tapi ada syaratnya. Di mana-mana begitu. Mana ada bantuan gratis?"
"Katakan saja apa syaratnya, Bu," Hendri bersemangat.
Rama menatap Hendri. Susah payah Hendri berusaha untuk tidak
bergidik. Tajamnya tatapan Rama seakan bisa menyayatnya dan
menembus kepalanya. Muncul perasaan takut. Dulu ia pernah minta
bantuan dukun dan orang pintar, tapi tidak sampai menimbulkan
perasaan seperti itu. Ada suara tentangan. Jangan! Pergilah! Jauhi dia!
Tetapi Hendri menetap di tempatnya. Keinginan-keinginannya lebih
besar daripada tentangan yang muncul.
346
BAB 33
347
Dengan kata-kata itu Kosmas memberitahu bahwa Delia telah menerima
lamarannya.
Erwin memaksa dirinya tersenyum. Ia menyalami dan memeluk mereka
bergantian.
"Selamat! Selamat! Aku ikut senang!" katanya. Kemudian, untuk
menutupi kegalauan perasaannya, ia menunjuk dus pizza di meja
belakangnya.
"Itu ada oleh-oleh dari Hendri. Dia titip salam untukmu, Kak Del."
"Hendri?" tegas Delia heran. "Bukan dari Yasmin?"
"Bukan. Dia datang ke sini sendirian. Katanya sekalian lewat lalu mampir.
Dia beli pizza buat di rumah lalu beli sekalian buat di sini."
Delia meraih dus lalu membukanya. "Kalian mau?" ia menawari Kosmas
dan Erwin.
Erwin menggeleng. "Nggak ah."
"Aku juga nggak."
"Wah, pada nggak mau. Aku pun nggak berselera," kata Delia. "Kasih
anak-anak aja, ya?"
Delia menyebut para karyawan sebagai "anak-anak".
"Ya. Sebaiknya begitu," Kosmas setuju. Delia pergi membawa dus pizza.
Kosmas melongok buku tamu.
"Ada belasan tamu yang masuk hari ini. Lumayan," Erwin memberitahu.
"Wah. Ada tamu perempuan sendirian. Luar kota lagi."
"Dia masuk paling akhir. Habis belanja katanya. Besok pulang ke Cianjur.
Rupanya di sana nggak ada toko."
"Nggak ada yang antar?"
"Nggak ada. Tapi kita nggak perlu khawatir, Bang. Tampangnya
meyakinkan."
348
"Baguslah. Mudah-mudahan nggak ada lagi yang nekat."
"Tadi katanya dia mau pergi makan di luar. Entah sudah pulang atau
belum. Tapi masa sih belum? Dia kan perempuan sendirian. Ngapain
lama-lama di luar sana."
Delia masuk. "Sudah makan. Win? Makan duluan aja. Sudah siap tuh.
Kami berdua sudah makan di jalan."
"Baik. Aku juga mau mandi dulu." Erwin pergi.
"Kelihatannya Erwin nggak ceria ya? Kukira dia bakal menggoda kita
habis-habisan," kata Delia. "Mungkin dia lagi kesal karena kedatangan
Hendri."
"Ya. Mungkin begim. Makanya dia nggak mau makan pizzanya. Aku sih
solider aja sama dia."
Delia melihat-lihat buku tamu.
"Oh, ada tamu baru di kamar 5! Tadi aku lewat di situ kelihatan gelap.
Masa sudah tidur?"
"Dia perempuan sendirian, Del. Dari Cianjur katanya. Kata Erwin tadi dia
pergi makan."
"Kenapa dia nggak pesan aja ya? Rupanya dia pemberani," Delia
menyimpulkan.
"Kau jaga dulu ya, Del. Aku mau bicara sama Erwin."
"Ya. Temanilah dia makan, Bang."
Kosmas melihat Erwin sedang merenung di depan piring makan yang
masih banyak tersisa.
"Apa yang kaupikirkan, Win?" tanya Kosmas, lalu duduk di sisi Erwin.
Erwin tersentak kaget. "Oh, nggak. Mikir apa sih?"
"Ngelamun?"
"Mungkin."
349
"Apa si Hendri ngomongnya nggak menyenangkan?"
"Ah nggak. Sebaliknya, dia justru bersikap simpatik."
"Apa kau nggak enak badan?"
"Mungkin juga. Aku ke kamar saja, ya?" Erwin tampak senang bisa
menghindar.
"Istirahatlah. Kau sudah bebas tugas, kan?"
"Oh ya, Bang. Aku mau pindah ke kamar belakang."
Kosmas terkejut. "Kenapa?"
"Kukira sudah saatnya kita menempati kamar sendiri-sendiri, Bang. Biar
masing-masing punya privasi."
"Oh, jadi kau ingin privasi. Tentu saja terserah kau."
Erwin pergi tanpa menjelaskan lebih jauh. Kosmas merasa tidak puas.
Tidak biasanya Erwin bersikap begitu. Kalau ada apa-apa pasti dia akan
mengatakannya terus terang. Tidak mungkin itu mengenai dirinya dan
Delia, pikir Kosmas. Delia selalu bijak dalam bersikap. Sikap Erwin itu
sangat di luar dugaan. Sejak masih di perjalanan Kosmas sudah tak
sabar ingin berbagi kebahagiaan dengan Erwin mengenai kepastian
hubungannya dengan Delia. Ia juga ingin membicarakan rencana
Baru saja melewati kamar 5, Delia merasa seolah ada yang menatapnya
dan mengamati gerak-geriknya. Ia cepat menoleh ke jendela. Tidak ada
tirai yang tersibak atau gerakan menutup yang mendadak. Tak tampak
siapa-siapa. Ia mempercepat langkah menuju kantor.
355
"Kamar lima sudah ada penghuninya. Lampunya nyala," ia melapor kepada
Kosmas.
"Memangnya kenapa? Sudah terisi, kan?"
"Iya. Aku mau ngecek saja apakah penghuninya baik-baik saja. Bukankah
kau selalu mencemaskan tamu perempuan yang datang sendirian?"
"Oh, itu. Kita memang harus menerima perubahan zaman. Kalau nanti
kita punya anak perempuan, pasti lebih besar lagi kemandiriannya."
"Anak?"
Kosmas merasa bicaranya terlalu lepas. "Sori, Del. Aku kelepasan
ngomong."
"Sejak sekarang kita sudah harus siap menerima kenyataan bahwa
kemungkinan besar kita takkan punya anak. Umurku sudah empat puluh.
Kalau kau berharap punya anak, mestinya kau mengawini perempuan yang
lebih muda," Delia agak emosional, tapi menyesal kemudian.
"Sungguh, aku nggak bermaksud begitu. Sori, Del."
"Ya. Aku juga minta maaf, Bang. Heran, kenapa aku jadi peka begini ya?
Barangkali kita kecapekan ya, Bang?"
"Barangkali begitu. Mungkin kita harus istirahat. Sebentar lagi si Adi
menggantikan. Kau duluan saja, Del. Pergilah."
"Sebentar lagi. Masih ingin ngobrol. Pilar-pilar, ada baiknya juga Erwin
pindah. Mungkin dia terganggu oleh pembicaraan yang berlangsung di
sini."
"Dia kan sudah lama tidur di situ tanpa pernah komplain. Sepi atau
berisik baginya tak jadi soal."
"Sekarang dia jadi peka. Kuharap bukan kita yang jadi penyebab."
"Bukankah kita sudah berusaha supaya dia tidak
356
merasa tersinggung atau iri? Habis gimana lagi? Bukan salah kita kalau
dia jadi begitu. Salah dia sendiri kenapa tertarik pada perempuan
bersuami. Istri orang dikejar-kejar."
Ucapan Kosmas yang bernada kesal itu membuat perasaan Delia tidak
enak. Baru kali ini ia mendengar Kosmas bicara seperti itu perihal Erwin.
Biasanya lelaki itu selalu bersikap penuh pengertian.
"Ah, hari ini melelahkan semua orang rupanya. Kelelahan memang bisa
membuat orang marah-marah," kata Delia, lalu berpikir sebaiknya ia
pergi saja supaya tidak muncul lagi pembicaraan emosional.
Tetapi sikap Kosmas berikutnya membuat Delia tertegun.
"Bolehkah aku menciummu, Del?"
Delia tersipu. Ia merasa dirinya kuno. Ketinggalan zaman. Lupa
bagaimana berpacaran.
Mereka berciuman. Kemudian Delia melepaskan diri.
"Malu, Bang. Entar ada tamu." "Kan kedengaran duluan."
Kosmas berjalan ke pintu lalu merapatkan dan menguncinya. Delia
terperangah. Sebelum ia sempat berkomentar, Kosmas sudah meraihnya
dan memeluknya erat-erat sampai ia merasa sulit bernapas. Kosmas
menciumnya lama sekali. Biarpun Delia merasa terbuai, ia sempat heran
dan terkejut kenapa Kosmas yang biasanya dingin dan terkendali
sekarang menjadi panas dan lepas kontrol.
Kosmas mendekap Delia seolah mereka harus berpisah sebentar lagi.
"Mari kita ke kamar, Del," ajak Kosmas.
Delia terkejut. Bulu romanya serentak berdiri.
357
Rayuan Kosmas memang mampu menghanyutkan, tapi tidak sampai
membuat ia hanyut.
"Mau apa ke kamar, Bang?" tanyanya sambil berusaha melepaskan diri.
"Kita bercinta yuk? Bukankah kita akan segera menikah? Apa bedanya
sekarang dan nanti?" Kosmas berterus terang.
"Itu beda sekali, Bang! Jangan!"
"Ayolah, Del. Aku sangat menginginkannya."
Delia juga tidak tahan lagi tapi dalam artian berbeda. Sekarang ia takut.
Jari-jarinya mencubit lengan Kosmas sekuat-kuatnya.
"Sadarlah, Bang!"
Kosmas mengaduh kesakitan. Serta-merta ia melepaskan dekapan. Ia
mengusap-usap lengannya yang tampak merah kebiruan. "Sakit sekali,
Del. Kamu sadis amat sih."
"Sori, Bang. Aku terpaksa."
"Kau tega..."
Sebelum Kosmas menyelesaikan ucapannya, Delia melompat ke pintu.
"Hei! Siapa di situ?" ia berseru, lalu membukanya. Tak ada sahutan.
Delia cepat keluar, lalu mengamati sekitarnya. Angin malam yang dingin
menerpanya. Tengkuknya kembali meremang. Tidak ada siapa pun di luar,
baik di halaman parkir maupun di lorong samping deretan kamar. Kucing
yang suka mengaduk-aduk tempat sampah pun tak ada. Andaikata ada
seseorang di balik pintu, seperti perkiraannya, pastilah tidak secepat
itu menghilang.
"Ada apa sih?" tanya Kosmas. Wajahnya masih kelihatan memerah.
"Rasanya aku mendengar langkah orang lalu berhenti di depan pintu.
Tapi nggak ada siapa-siapa."
358
"Sempat-sempatnya kau mendengar. Aku nggak dengar apa-apa."
"Sudahlah. Aku pergi saja ya."
"Maafkan aku, Del."
"Sudahlah. Nggak usah dipikirin."
Delia berlalu. Kosmas menutup muka dengan kedua tangan. Malu rasanya.
Bukan hanya karena menyesali perbuatannya, tapi lebih lagi karena
ditolak!
359
BAB 34
Delia tertawa.
"Ayo keluar," ajak Erwin. "Biar pintunya dipentang saja. Nanti kusuruh
orang menyemprot di sini." "Pakai apa?"
"Obat nyamuk saja. Biar kalah baunya dan nyamuk pada mati sekalian."
Mereka keluar dan merasa lega.
"Aneh juga ya," kata Erwin. "Kok bisa bau begitu?"
362
"Betul. Begitu banyak orang keluar-masuk. Ada yang berbau, ada yang
tidak. Kenapa justru yang satu itu baunya bikin kita heboh?"
"Sudahlah. Nggak usah dipikirin."
Erwin meninggalkan Delia. Sepertinya ada pekerjaan penting
menunggunya. Sebenarnya Delia ingin mengajaknya berbincang sejenak.
Tapi melihat lagak sibuk Erwin, ia tidak berani memanggilnya. Ia ingin
membicarakan kekhawatiran Kosmas semalam. Benarkah Erwin punya
masalah? Tapi Erwin tidak tampak bermasalah. Biarpun demikian Delia
ingin membicarakan hal lain juga. Dalam satu hal Kosmas benar. Erwin
tidak menyinggung soal hubungannya dengan Kosmas. Apakah Erwin
sengaja menghindari atau memang tak suka membicarakannya? Tapi itu
bukan kebiasaan Erwin.
Semalaman Delia hampir tak bisa tidur memikirkan kelakuan Kosmas.
Biasanya perilaku lelaki itu tak pernah agresif. Kalau mencium hanya di
pipi. Memeluk pun jarang. Sepertinya dia bukan orang romantis. Kenapa
semalam tiba-tiba berubah jadi ganas? Apakah kesepakatan untuk jadi
suami-istri bisa membuat lelaki lupa diri?
***
Yasmin juga memasalahkan soal bau. Ketika Hendri muncul di ruang
makan untuk sarapan pagi, ia terkesiap oleh bau tak enak yang
menyergap hidungnya. Ia mengamati Hendri untuk menemukan sumber
bau. Tapi tidak mau dekat-dekat.
"Kenapa?" tanya Hendri. Ia juga,menunduk mengamati dirinya sendiri
kalau-kalau ada yang salah.
"Kau sudah mandi dan ganti baju?" tanya Yasmin.
363
itu Erwin sibuk. Ada kegiatan luar biasa di motel hingga tak bisa
meluangkan waktu untuk menelepon.
Yasmin tidak punya banyak waktu untuk melamun. Hari itu ia sibuk
mengepak barang. Kalau semua selesai diangkut dan dirapikan, ia dan
Hendri siap pindah ke rumah Winata. Paviliun di samping rumah Winata
sudah dibereskan, siap menampung mereka.
Sambil mengemudikan mobilnya menuju kantor, Hendri sering-sering
mengendus-endus tubuhnya sendiri. Masih bau atau tidak? Sebenarnya
memang bau atau tidak? Anehnya kenapa ia tidak mencium bau yang
dikatakan itu? Jangan-jangan Yasmin memperdayainya. Tapi apa
untungnya buat Yasmin? Lagi pula Yasmin tak pernah berbuat begim
kepadanya. Yasmin pun tidak tahu apa yang dilakukannya semalam.
Mungkin saja Yasmin menduga jelek, tapi apa yang dilakukannya
bukanlah pengkhianatan. Itu sudah menjadi bagian dari kesepakatan.
Sebelum turun dari mobil, Hendri kembali mengoleskan deodoran yang
dibekali Yasmin tadi. Di leher dan di ketiak. Untung saja Yasmin punya
persediaan deodoran. Rasanya bodoh, tapi Hendri tidak mau mengambil
risiko. Setelah selesai melakukannya, ia tak segera keluar dari mobil. Ia
termenung sejenak.
Sebenarnya Yasmin orang yang baik. Hendri harus mengakui hal itu.
Satu hal yang paling dihargainya dari Yasmin adalah kesediaannya untuk
tidak menceritakan pada Winata apa yang terjadi di motel dan
365
kenapa ia sampai berada di rumah sakit. Bila hal itu sampai diceritakan,
tentunya Winata ingin tahu kenapa Yasmin sampai berniat bunuh diri.
Tentunya ada sebab-akibat. Begitu Winata tahu bahwa Hendri yang jadi
penyebab, bisa dipastikan takkan ada ampun untuk Hendri. Winata akan
menyepaknya jauh-jauh dan Yasmin pun tidak merasa perlu membelanya.
Hal lain adalah mengenai uang lima belas juta yang dimintanya dari
Winata. Ia yakin Winata menyampaikannya kepada Yasmin, tapi Yasmin
tidak pernah menyinggungnya.
semalaman di Motel Marlin. Tapi tentu saja Rama tidak bisa menemukan
apa-apa.
"Oh, nggak, Ma. Apa Mama baik-baik aja di jalan? Nggak capek, Ma?"
"Wah, aku senang banget."
"Senang ya."
Hampir terlontar pertanyaan apa saja yang membuat Ratna senang. Tapi
Rama sempat menahan lidahnya. Bukan saja keingintahuannya tidak akan
terpenuhi, malah akan memancing kemarahan. Biarkan saja ibunya
senang. Itu tentu jauh lebih baik daripada kebalikannya.
"Eh, mana titipan untukku dari Del?" tanya Rama.
Maya segera muncul membawa amplop cokelat
367
yang kemudian disodorkannya pada Rama dan selanjutnya Rama
memberikannya kepada Rama.
"Isinya dua puluh lima juta, kan?"
"Nggak tahu, Ma," sahut Maya dan Rama berbarengan. "Nggak lihat-
lihat isinya."
"Ya. Aku tahu. Isinya masih utuh. Mana mungkin kalian berani mengutil?"
Rama tertawa. Ia melenggang menuju kamarnya dengan menenteng
amplop dan jinjingan belanjaan. Sedang tasnya diambil alih oleh Ipah.
Kedua orang itu beriringan masuk ke dalam.
Rama bertukar pandang dengan Maya. Tiba-tiba Ratna berhenti
melangkah hingga Ipah hampir menubruknya. Cepat-cepat Ipah menyisih
lalu jalan duluan. Rama menoleh kepada Maya. Yang dipandang merasa
gentar.
"Del datang sama siapa?"
"Nggak tahu, Ma. Dikenalin sih, tapi nggak jelas namanya." "Pacarnya?"
"Nggak tahu, Ma. Dia nggak bilang."
"Nanya dong. Nggak tahu melulu," gerutu Ratna, lalu membalik tubuhnya
kemudian meneruskan langkahnya.
Rama segera, menarik istrinya keluar. Sejauh mungkin dari Ratna.
"Dia kan udah tahu. Buat apa nanya," bisik Maya.
"Sudahlah. Biarin aja. Jadi isinya duit. Akhirnya si Del nyerah juga ya,"
bisik Rama.
"Lumayan banyak tuh. Untung aja kita nggak lihat-lihat isinya, padahal
aku ingin sekali tahu. Udah menduga sih isinya duit. Cuma jumlahnya aja
nggak tahu," bisik Maya.
368
"Baguslah dia dapat duit. Mudah-mudahan untuk waktu yang lama dia
nggak merongrong kita," bisik Rama.
"Lihat dulu belanjanya apa, Pa. Kalau dia pakai untuk membeli emas
berlian, sebentar aja juga habis." "Ah...," keluh Rama.
Kemarin sore mereka sekeluarga bisa menikmati sedikit kelegaan tanpa
kehadiran Rama di rumah. Tapi mereka tetap tak berani membicarakan
Ratna keras-keras. Takut kedengaran Ipah. Siapa tahu Ipah"
menyampaikan nanti.
Sebenarnya mereka cukup menyadari bahwa Rama yang tampaknya
serbatahu itu mungkin saja bisa tahu apa yang mereka bicarakan tanpa
perlu diberitahu orang lain. Tapi mereka ingin bicara, ingin berdiskusi.
Mereka berharap Rama tidak sebegitu serbatahunya sampai segala
sesuatu terbuka di depannya. Mustahil tidak ada segi manusiawi sama
sekali pada diri Ratna.
Di kamarnya, Rama membenahi barang-barangnya. Isi amplop cokelat
tidak dijenguk, apalagi dihitung. Ia sudah meyakini isinya. Ia
menyimpannya di dalam lemari.
Di luar, Ipah duduk di lantai dekat pintu. Ia terkantuk-kantuk.
Pintu terbuka. Ipah cepat berdiri. Rama muncul, menyodorkan uang
sepuluh ribu.
"Mau beli apa, Bu?"
"Buat kamu. Persenan."
"Terima kasih, Bu."
"Kamu masak apa tadi?" tanya Ratna.
"Sayur asem, goreng ikan jambal, sambel terasi."
"Siapin meja, Pah. Aku mau makan!"
Ipah bergegas ke dapur. Apa yang dimasaknya
369
khusus untuk Ratna seorang. Ia juga membantu Maya memasak untuk
keluarganya. Semua serba terpisah. Apa yang diperuntukkan bagi Rama
tidak boleh dicicipi atau diambil orang lain, meskipun orang-orang itu
adalah anak, menantu, dan cucu-cucu. Tapi tidak ada masalah baginya
untuk mencicipi atau mencomot masakan Maya. Memang tidak adil. Tapi
tidak ada yang berani memprotes.
370
BAB 35
Kosmas sudah meminta maaf kepada Delia atas peristiwa malam hari
yang memalukan itu dan Delia pun sudah memaafkan, tapi hal itu
sepertinya telah menjadi cacat dalam hubungan mereka yang sulit
diperbaiki. Padahal Delia sendiri bisa menerima perilaku Kosmas itu
sebagai kekhilafan manusiawi yang masuk akal. Namun tidak demikian
dengan Kosmas yang bersikap menjaga jarak dan selalu hati-hati seolah
takut terulang lagi untuk kedua kalinya. Sikap demikian menghilangkan
spontanitas dan kehangatan yang biasanya ada dalam hubungan mereka.
Kalau mereka sama-sama bekerja di kantor, Kosmas menerima tamu dan
Delia mengerjakan akun-tasi, mereka lebih sering diam-diaman. Bicara
seperlunya saja.
Akhirnya Delia tak tahan.
"Kau marah sama aku, Bang?" tanya Delia.
"Kenapa kau bertanya seperti itu?" Kosmas balas bertanya. Tampak
heran.
Delia tertegun. Apakah Kosmas pura-pura? Padahal ia mengenal Kosmas
sebagai orang yang tak suka pura-pura. Kalau bicara lebih suka langsung
ke tujuan.
"Jadi nggak marah?"
"Maksudmu?" Kosmas mengerutkan kening.
371
"Oooh... peristiwa itu ya? Ah, nggak dong. Kenapa mesti marah? Justru
kaulah yang seharusnya marah padaku karena aku sudah berlaku kurang
ajar."
Delia menjadi sedih. Apakah ia menganggap Kosmas kurang ajar? Atau
Kosmas menilai dirinya sendiri seperti itu?
"Kalau kau tidak marah, kenapa sikapmu dingin seperti itu?" tanya Delia.
"Oh ya? Apakah aku dingin? Kalau aku panas, nanti malah jadi hilang
kendali. Terus kurang ajar."
Delia merasa ada kesinisan dalam ucapan Kosmas. Tapi Kosmas bersikap
biasa-biasa. Menengok kepadanya pun tidak. Delia yakin ada ganjalan
yang dipendam Kosmas tapi tak mau diungkapkannya. Sikap seperti itu
jelas bertolak belakang dengan kegembiraan yang diperlihatkannya
ketika mereka dalam perjalanan pergi dan pulang dari Bandung. Ketika
itu Kosmas mengutarakan banyak rencana yang akan dilakukannya kalau
mereka menikah nanti. Tapi setelah kejadian itu tak sekali pun Kosmas
menyinggungnya kembali.
Pikiran itu menjengkelkan perasaan Delia. Mungkinkah Kosmas menyesali
hubungan mereka? Masa ditolak saja tersinggung seperti itu. Harus
diakuinya ia telah mencubit terlalu keras. Tapi kalau tidak menyakitkan,
Kosmas tidak akan sadar. Apakah Kosmas sebenarnya picik? Mungkin
ada sisi lain dari watak Kosmas yang belum dikenalnya. Tapi ia tidak
yakin akan hal itu.
Delia memutuskan untuk curhat kepada Erwin. Sejak malam itu mereka
belum punya kesempatan untuk berkumpul bertiga lalu mengobrol atau
mendiskusikan sesuatu. Biasanya selalu ada sesuatu untuk dibicarakan.
Masalah motel atau masalah masing-
372
masing. Kesempatan untuk berbincang itu mereka dapatkan di ruang
makan pada saat makan bersama, pagi, siang atau malam. Anehnya
sekarang tak ada kesempatan seperti itu. Selalu ada alasannya. Entah
belum bangun tidur, lagi tidur, atau lagi sibuk. Akibatnya ia sering
makan sendirian atau bersama karyawan lain.
377
mang nggak suka abangnya akan menikah karena dia belum dapat pacar.
Dia jadi merasa tersisih."
"Aku tidak percaya dia seperti itu."
"Tapi kenyataannya begitu."
"Kuakui aku belum terlalu lama mengenal mereka. Tapi kukira bukan
waktu yang menentukan dalamnya pengenalan. Mereka orang yang
terbuka. Jadi cepat kenalnya."
"Entahlah, Kak. Aku susah mengenali orang kecuali pakai hati."
"Ya, aku memang tidak boleh terlalu yakin dengan penilaian terhadap
orang lain. Tapi aku yakin Kosmas mencintai aku. Dia orangnya tulus.
Maka aku heran kenapa dia jadi cuek. Diajak diskusi nggak mau, katanya
nggak ada apa-apa. Tapi diam-diaman seperti menyimpan sesuatu. Kan
nggak enak, Yas. Sama Erwin juga begitu."
"Makanya aku bilang itu aneh."
Delia termenung. Aneh itu sama dengan tidak wajar. Di mana letak
ketidakwajarannya?
"Menurutku, kalau mereka diam-diam saja dan membiarkan kau bingung
sendiri, kau harus berbuat sesuatu, Kak. Masa kau ikut arus saja? Entar
jadi stres dong."
"Maksudmu aku harus melakukan sesuatu?"
"Ya!"
"Tapi aku tidak tahu mesti bagaimana?"
"Mereka pikir kau tergantung pada mereka, makanya mereka
mendiamkan saja tanpa penyelesaian. Kau harus berani untuk keluar dari
sana, Kak. Jangan khawatir tak punya tempat. Tinggallah di sini. Aku
akan senang sekali. Di rumah besar masih banyak kamar yang bisa
kautempati. Gimana, Kak?"
378
Yasmin menatap Delia, berharap mau menerima usulnya.
"Terima kasih, Yas. Kau baik sekali."
"Jadi mau, ya? Mau? Pindahlah secepatnya."
"Aku senang bekerja di sana."
"Untuk sementara saja, Kak. Lihat reaksi mereka. Terutama Bang Kos.
Apakah dia mencegah dan keberatan? Ataukah dia setuju tanpa
keberatan?"
Delia berpikir sejenak. "Itu usul yang bagus sekali, Yas. Jalan keluar
yang bagus. Tapi aku masih ingin melihat perkembangannya selama
beberapa hari lagi. Kalau tak bisa diperbaiki lagi, terpaksa aku keluar.
Terima kasih, Yas. Dengan adanya jalan keluar ini aku jadi lega. Nggak
bingung lagi."
"Kalau begitu aku siapkan kamarmu dari sekarang. Jadi kau tinggal
masuk. Ayo kita temui Papa sekarang!"
Delia berkenalan dengan Winata. Keduanya saling tatap dan
mempelajari.
"Terima kasih karena kau telah membujuk Yas," kata Winata.
"Itu bukan apa-apa, Pak."
"Bagiku itu sesuatu yang besar sekali artinya. Dan seingatku, dulu Yas
itu sulit punya teman. Kalau sekarang bisa punya sahabat, itu pun
sesuatu yang bermakna. Aku pikir, mendapat sahabat itu seperti
mendapat jodoh."
"Betul, Pak. Nasib mempertemukan kami," sahut Delia.
"Nasib?" Winata membuka matanya lebar-lebar. "Ya, kami ketemu di
rumah sakit, Pa," sahut Yasmin.
Sesudah bicara Yasmin terkejut karena kelepasan. Lalu buru-buru
melanjutkan, "Kak Del dirawat di
379
rumah sakit yang sama, Pa. Dia juga mengalami kecelakaan."
"Wah, sekarang sudah sembuh benar?"
"Sudah, Pak," jawab Delia. Ia merasa kurang enak telah membohongi
orang ma
Yasmin tersenyum saja. Sekalinya berbohong, harus jalan terus. Yang
penting tujuannya, begitu ia meyakini.
"Sekarang kerja atau ibu rumah tangga?" "Saya kerja di Motel Marlin,
Pak," jawab Delia. "Motel?"
"Dia ngerjain akuntansi, Pa. Kak Del itu sarjana akuntansi," sahut
Yasmin.
"Oh, begitu. Nanti sering-seringlah main ke sini, Del. Kalau libur ke sini
saja." Winata mengundang.
"Terima kasih, Pak."
Delia berpikir, seharusnya Yasmin bicara dulu dengan ayahnya sebelum
mengajaknya tinggal di situ. Biarpun rumah itu besar dan berkamar
banyak, ketumpangan seseorang yang belum begitu dikenal bisa
mengganggu.
Sebelum pergi Delia menyampaikan hal itu kepada Yasmin.
"Jangan khawatir. Papa pasti senang menerimamu."
"Kalau dia sehat mungkin saja senang. Tapi dia kan sakit, Yas. Orang
sakit itu membutuhkan ketenangan."
"Memangnya kau suka bikin ribut? Aku yakin Papa pasti senang
mendapat tambahan teman. Apalagi dia suka sama kau."
"Tapi dia nggak ngomong sendiri, kan?" Delia tersenyum.
Setelah Delia pergi, Yasmin berlari masuk untuk menemui ayahnya.
380
Winata sedang membicarakan Delia dengan Aryo. "Delia itu simpatik.
Matanya ramah. Tapi ada kesusahan dan penderitaan di sana."
"Wah, Bapak sekarang pintar menilai orang!" seru Aryo kagum.
"Aku semakin tua dan semakin dekat ke liang kubur, Yo. Dalam keadaan
seperti ini mata bukannya jadi semakin rabun, tapi semakin jeli! Pikiran
pun begitu. Gejala apa, Yo?"
"Bapak jadi semakin bijak," jawab Aryo diplomatis.
Kemudian Yasmin datang bergabung. Karena tak ada larangan dari Delia,
ia bercerita tentang riwayat Delia kepada ayahnya. Yang ia sembunyikan
adalah niat Delia untuk bunuh diri karena bisa membongkar rahasianya
juga.
Winata merasa takjub mendengarnya. "Tuh, bener nggak, Yo! Aku bilang
juga apa. Ada kesusahan dan penderitaan di mata Delia."
"Betul, Pa. Rumahnya yang besar, tokonya, mobilnya, semua dia jual. Lalu
sebagian besar dia sumbangkan untuk yayasan sosial dan panti-panti.
Tapi uang hasil penjualan mobilnya dia berikan pada mertuanya, nenek
sihir itu. Uangnya sendiri tinggal sedikit. Akhirnya dia bekerja di motel
itu."
"Wah, seram amat ya? Apa bener ada orang seperti nenek itu?"
"Nyatanya ada, Pa. Ini bukan dongeng. Katanya sekarang nenek sihir itu
berubah fisiknya jadi jauh lebih muda. Genit dan senang dandan."
"Kalau gitu dia mintanya sama iblis."
"Dikasih gratis, Pa?"
"Mana mungkin. Pasti ada tukarannya."
"Jadi budak gitu, Pa?"
"Ya. Kira-kira begitu."
381
"Tapi Kak Del sekarang udah nggak takut lagi sama nenek itu. Dia udah
punya kiatnya." "Apa?"
"Rajin berdoa." "Wah, itu bagus"
"Sekarang dia perlu bantuan kita, Pa." Yasmin menceritakan kesulitan
Delia. "Aku setuju dengan idemu itu. Ajaklah dia tinggal di sini!"
Yasmin memeluk ayahnya dengan gembira. Ia ingin sekali menelepon
Delia saat itu juga untuk memberitahu bahwa ayahnya pun mendukung.
Tapi Delia tidak punya ponsel. Ia tak ingin menelepon ke motel. Yang
bisa dilakukannya hanyalah menunggu sampai ada berita dari Delia.
382
BAB 36
"Pergilah makan dulu. Aku gantiin." "Ibu sudah?" "Belum lapar, Di."
Adi pergi. Delia duduk dan mengamati buku tamu. Ia membalik-balik
halamannya. Setiap kali matanya selalu tertuju kepada nama Ratih
Sutisna dari Cianjur yang menempati kamar nomor 5. Lalu ia teringat
pada bau tak enak yang tercium di kamar itu pada hari pertama
penghuninya keluar. Ratih-Ratih. Ratna-Ratna. Mirip.
Pada hari itu Delia tidak bisa menjumpai Ratna di rumahnya di Bandung
karena katanya sedang keluar. Ke mana? Maya tidak mau mengatakan
padahal sebenarnya tahu. Pasti dia sudah dipesan agar tidak
memberitahu. Ratna sudah tahu Delia akan datang. Kenapa sengaja
menghindar dari pertemuan dengannya? Ratna malah pergi. Jangan-
jangan disengaja.
Pikiran itu benar-benar mengganggu. Terus-menerus menerpa Delia,
menuntut jawaban.
Adi datang untuk menggantikannya kembali. Tapi Kosmas dan Erwin
tidak muncul. Delia pergi ke kamarnya dulu untuk mengambil dompetnya
lalu kembali ke kantor. Adi masih sendiri di situ.
"Di, aku mau ke luar sebentar ya?"
"Baik, Bu." Adi merasa tak patut bertanya ke mana. Di luar sana ada
banyak kegiatan. Ada restoran, warung, toko, dan sebagainya.
Delia pergi ke wartel. Ia bermaksud menghubungi
387
Donna di Bandung. Bila menggunakan telepon kantor, ia akan membebani
dengan biaya interlokal.
Yang menerima telepon adalah Maya, ibu Donna. Delia sudah mengenal
suara Donna. Jadi suara yang didengarnya bisa suara Maya atau Ines,
adik Donna.
"Bisa bicara dengan Donna, Tante? Saya Susi, temannya," sengaja Delia
berbohong. "Tunggu sebentar ya."
Lalu terdengar suara Donna. "Ini Susi yang mana ya?"
"Don, ini Tante Del! Jangan sebut namaku!" "Oh ya. Susi yang itu!" seru
Donna. "Mamamu masih dekat situ?" "Ya. "
kalau tahu bahwa salah seorang tamu mereka adalah Rama! Tetapi
situasi sekarang tidak sama dengan sebelumnya. Kali ini Delia tidak tahu
dan tidak bisa memperkirakan seperti apa reaksi kedua orang itu.
Apakah mereka akan memercayainya? Sekarang Kosmas dan Erwin
berbeda. Orangnya memang sama, tapi suasana hati mereka lain.
"Tadi katanya mau ngomong," kata Kosmas.
"Aku makan dulu ya, Bang. Lapar," kata Delia terus terang. Sekarang ia
merasa benar-benar lapar. Sepertinya ia akan berjuang dan untuk itu
diperlukan kekuatan.
389
"Kukira kau nggak mau makan. Atau memang sengaja nggak mau bareng-
bareng?"
Delia terkejut. "Itu tuduhan yang jelek, Bang!"
"Habis tadi ngeloyor begitu aja. Katanya pengen kumpul kayak dulu.
Sekarang malah kau yang menghindar."
"Bukan begitu, Bang. Ah, perlukah kujelaskan sekarang?"
"Sudah. Makanlah dulu."
Kosmas mempercepat langkah, meninggalkan Delia. Melihat itu Delia
sengaja memperlambat langkahnya. Ia langsung ke ruang makan. Bu Sofi
baru membenahi meja.
"Wah, Bu Del belum makan, ya?" Bu Sofi terkejut. "Sayurnya tinggal
sedikit. Kuah melulu."
"Nggak apa-apa, Bu. Yang penting kenyang."
"Masih ada telor asin dan keripik tempe. Mau, Bu?"
"Mau. Bu Sofi udah makan?"
"Semuanya udah pada makan. Tinggal Bu Del sendiri. Makanya
kehabisan."
Ketika Delia sedang makan, Erwin datang lalu duduk di sebelahnya.
"Makan, Win?" Delia menawarkan.
"Kan udah tadi. Kenapa sih tadi kau nggak mau makan bareng kami, Kak?
Marah sama Bang Kos atau sama aku?"
"Dua-duanya nggak. Tadi suasana hatiku nggak enak. Kalian makan
duluan. Nggak nunggu aku."
393
Win?" tanya Delia. "Tidak biasanya kau seperti itu. Sekarang kalian
berdua benar-benar tak punya perasaan."
"Tapi aku tidak merasa berubah," kata Kosmas. "Kau, Win?"
"Aku juga nggak," sahut Erwin ragu-ragu. Wajahnya menampakkan
kebingungan. Tapi di mata Delia, bisa jadi itu kepura-puraan belaka.
"Begini saja," kata Delia. "Apa kalian ingin aku pergi?"
"Kalau kau yang ingin, kami tidak berhak melarang!" sahut Kosmas. "Iya
kan, Win?"
"Iya," kata Erwin. "Setiap orang berhak mencari yang lebih baik."
Delia mengeluh dalam hati. Orang-orang ini tak punya logika.
397
nuhi kebutuhannya yang lain. Paling tidak untuk sementara.
"Rumahnya yang kecil saja, Ram. Buat aku dan Ipah doang. Tapi jangan
jauh-jauh dari rumah ini supaya aku gampang ke sini sewaktu-waktu,"
pesannya.
Rama tidak bertanya kenapa tiba-tiba Ratna ingin pindah rumah. Ia
sudah belajar untuk tidak bertanya.
Tapi Ratna masih sempat berkata, "Seharusnya kalian yang pergi karena
ini rumahku. Tapi aku masih punya rasa kasihan. Mau ditaruh di mana
bengkelmu nanti?"
Ucapan itu membuat Rama sedih dan gusar. Padahal Ratna memang tak
ingin tinggal di rumah yang besar karena ia cuma berdua. Rumah terlalu
besar hanya merepotkan dan melelahkan.
Rama dan semua saudaranya bersemangat mencari rumah dimaksud.
Meskipun jaraknya tidak jauh, yang penting Ratna tidak lagi serumah.
Sudah tentu Maya pun senang meski berusaha keras menyembunyikan.
Ia takut kalau-kalau rasa senangnya bisa membuat gusar Ratna.
Memang ada eksesnya bagi Rama, yaitu ia tidak lagi menerima uang iuran
dari semua saudaranya, karena uang itu akan langsung ke tangan Ratna
yang akan mengelolanya sendiri untuk biaya kebutuhannya sehari-hari.
Tetapi bila dibandingkan dengan kelegaan batin, uang menjadi tidak
berarti.
Rama dan saudara-saudaranya membiarkan saja sepak terjang Ratna
dan mengabulkan apa pun yang dikehendakinya. Tanpa protes dan tanpa
tanya-tanya. Mereka sama sekali tidak mengkhawatirkan sang ibu yang
hidup terpisah. Orang seperti Ratna tidak perlu dikhawatirkan
398
Sementara itu, satu hal yang perlu dimiliki semua orang yaitu kartu
identitas atau KTP untuk Ratna sudah selesai dibuat. Dengan
penampilannya yang baru Ratna membutuhkan KTP baru dengan fotonya
yang terbaru! KTP itu mencantumkan tanggal kelahiran yang dimajukan
20 tahun! Ia tak lagi membawa-bawa KTP lamanya yang berlaku seumur
hidup. Tidak mungkin lagi baginya bertahan dengan KTP lama. Siapa yang
akan percaya bahwa dirinya adalah orang yang sama dengan foto yang
tercantum? Juga dengan tanggal kelahiran lama yang menyatakan
usianya sudah tujuh puluh tahun?
Sudah tentu KTP baru itu aspal, asli tapi palsu. Rama menyuruh
seseorang yang menjadi spesialis pembuat KTP aspal dengan biaya
tertentu. Sama sekali tidak sulit asal ada uang dan ada orang yang
mendewakan uang.
Perlahan tapi pasti, anggota keluarga Ratna tidak lagi memandangnya
sebagai ibu dan nenek mereka, tapi semata-mata orang lain meskipun
mereka tetap memanggilnya "Mama" dan "Nenek". Tentu Rama
mengetahui hal itu. Ia menyadari, kini ia kehilangan anak dan cucu, juga
kasih sayang yang selayaknya ia dapatkan. Yang dimilikinya cuma
penguasaan atas diri mereka. Tapi itu tidak jadi masalah baginya. Ia
tidak membutuhkan kasih sayang mereka. Ia menikmati kehidupannya
yang sekarang beserta segala kemungkinan yang bisa diraihnya. Kalau
punya ilmu, siapa yang membutuhkan orang lain?
Masih dalam minggu itu juga Ratna mendapatkan rumahnya yang
terletak di Jalan Angsana. Tak terlalu jauh tapi juga tak terlalu dekat
dengan rumah Rama. Semua saudara Rama membantu memindahkan
barang-barang Ratna. Ternyata barang-barang itu ba-
399
nyak sekali, dari perabot kamar mandi, perabot dapur, perabot kamar
tidur, sampai perabot ruang tamu. Kebanyakan adalah perabot lama yang
dimilikinya. Termasuk kulkas ma yang sudah berkarat, yang selama ini
digunakan juga oleh keluarga Rama, dibawanya serta, padahal ia bisa
membeli yang baru. Rumahnya yang kecil menjadi padat. Sebaliknya,
rumahnya yang ditempati Rama sekeluarga menjadi kosong melompong
karena besar tapi kekurangan perabot.
"Kita bisa main bola di ruang tamu," kata Boy.
"Nanti meja pingpong yang disimpan di gudang Oom Ridwan bisa
dipasang di sini!" seru Lisa.
"Horeee...! Horeee...!"
Kedua anak itu melompat-lompat gembira.
Dulu sebelum ada Delia, Yasmin ke sana hanya di waktu siang saat
Hendri berada di kantor. Pernah Hendri ke sana untuk menjenguk, lalu
tercengang melihat mereka berkumpul dengan riang gembira.
402
Termasuk Aryo. Hendri tahu, seharusnya ia ikut bergabung saja kalau
tak ingin merasa sendiri. Tapi ia malu. Rasanya ia harus menebalkan
muka dulu kalau mau ikut serta!
***
Kepergian Delia dari Motel Marlin membuat suasana jadi murung di
antara para karyawan. Juga Kosmas dan Erwin. Terasa ada yang hilang
walaupun sebenarnya Delia belum lama berada di sim. Keramahan dan
keceriaannya mampu menghidupkan suasana yang monoton. Kalau mereka
melihat pepohonan di sekitar motel, mereka teringat kepada Delia.
Kosmas jadi pendiam dan gampang tersinggung. Erwin banyak merenung
dan lebih suka menyendiri. Mereka berdua kian jarang berkomunikasi
kecuali mengenai urusan motel. Dalam satu hal keduanya sepakat, yaitu
menghindari pembicaraan mengenai Delia. Jangankan menelepon Delia
untuk sekadar menanyakan kabarnya, menyebut namanya pun terasa
pantang dilakukan.
Erwin pun tidak suka lagi menelepon Yasmin. Tanpa kehadiran Delia, ia
jadi kehilangan tempat curhat. Sedang Kosmas bukanlah orang yang
cocok untuk itu. Tak ada yang tahu kecuali dirinya sendiri apakah ia
sudah kehilangan harapan hingga tak mau lagi menelepon atau cintanya
memang sudah padam. Bisa juga ia puas karena hubungan Kosmas dengan
Delia sudah tak menentu bahkan terancam putus. Maka mereka berdua
kembali jadi pria lajang. Satu tak punya kekasih, satunya lagi pun begim!
Erwin masih suka bermeditasi dan berdoa tapi tidak sesering dan
seintens seperti saat Delia masih
403
ada. Ada yang hilang dari dirinya, entah semangat atau percaya diri.
Kosmas lebih lagi. Dia benar-benar malas dan kehilangan semangat.
Baginya hidup seperti rutinitas yang mau tak mau harus dijalani.
"Aku ada tugas luar ke Bandung, Yas," jelasnya kepada Yasmin. "Besok
sore baru pulang."
Yasmin agak heran. "Biasanya kau nggak pernah tugas ke luar kota.
Apalagi di akhir pekan."
"Yang biasanya tugas luar lagi sakit, Yas. Memang sih libur, tapi kan
dihitung lembur. Lumayan."
"Baiklah. Hati-hati saja di jalan."
"Mau oleh-oleh apa?"
"Ah, apa ya?" Yasmin berpikir.
"Peuyeum Bandung?"
"Oh ya. Boleh. Pilih yang bersih, Hen!"
"Tentu. Aku nggak pamit sama Papa ya? Pasti belum bangun. Tolong
sampaikan aja."
"Baik."
Lalu Hendri merentangkan kedua tangannya. "Apa aku nggak dapat cium,
Yas?"
Yasmin maju dan memberikan ciuman yang cepat di pipi Hendri. Dengan
cepat pula kedua tangan Hendri memeluk tubuh Yasmin. Ia
memonyongkan mulutnya. Minta ciuman di bibir! Yasmin jadi ragu-ragu.
Dengan tersenyum ia menggelengkan kepala. Bagaimana kalau Hendri
terangsang? Sekalinya ia mencium bibir Hendri, ia bisa terperangkap
dan sulit lepas.
406
Bagi Hendri senyum Yasmin itu menggemaskan. "Masa cium bibir saja
takut sih? Aku nggak bakal ngapa-ngapain, Yas. Dijamin."
"Bukan itu."
Pelan-pelan Yasmin melepaskan diri dari pelukan Hendri.
"Ya sudahlah. Aku pergi."
Yasmin melambaikan tangan. Bila Hendri bersikap baik dan lembut,
kadang-kadang ia tersentuh juga dan merasa iba. Tapi kalau ingat masa
lalu, ia jadi tegar lagi. Andaikata ia tak punya ayah kaya, maukah Hendri
bersikap seperti itu? Sejak keluar dari rumah sakit mereka tak pernah
tidur bersama. Pasti Hendri tidak tahan berpuasa selama itu. Ia tidak
tahu dan tidak peduli dengan siapa Hendri tidur. Barangkah betul bahwa
cintanya sudah mati. Orang bilang tanpa cemburu tak ada cinta. Begim
pula sebaliknya. Tapi ia tak bisa memberikan apa yang dibutuhkan
Hendri. Awalnya ia memang tidak ikhlas bila Hendri mencari kepuasan
pada perempuan lain. Mungkin saat itu yang dinamakan cinta masih ada.
Yasmin tahu, ada kemungkinan Hendri berbohong tentang alasan
kepergiannya ke Bandung. Bisa seluruhnya bohong atau sebagian. Tapi
situasi hubungan mereka sekarang membuat ia tak bisa menuntut apa-
apa.
Delia terkejut ketika diberitahu. "Ke Bandung?" tegasnya.
"Memangnya kenapa?" Yasmin heran melihat reaksi Delia.
Delia tersenyum menenangkan. "Nggak apa-apa. Sori, Yas. Kalau nyebut
Bandung aku selalu ingat masa lalu. Trauma, kali. Padahal di sim bukan
hanya pengalaman buruk yang kudapat, tapi juga
407
yang menyenangkan. Kok yang dominan malah yang buruk."
"Aku mengerti. Di sana bermukim nenek sihir. Kau masih ngeri sama dia,
ya?"
"Ya. Aku cukup percaya diri sekarang, tapi masih terbatas dalam hal
yang menyangkut diriku sendiri. Aku percaya dia tak akan bisa
mencelakai aku karena aku yakin Tuhan tidak akan membiarkan hal itu
terjadi."
"Lantas kenapa masih ngeri?"
"Aku memikirkan orang yang dekat denganku. Biarpun dia tidak bisa
mencederai atau menyakiti aku secara langsung, dia bisa saja
memanfaatkan orang lain. Apa yang terjadi pada Kosmas dan Erwin
mungkin saja akibat perbuatannya. Kenyataannya, Rama datang dan
menginap di Motel Marlin. Coba, ngapain dia ke sana kalau bukan untuk
melakukan sesuatu? Aku tidak bisa memastikan atau membuktikan, tapi
aku merasa perubahan sikap kedua orang itu tidak wajar."
"Kalau dugaanmu itu betul, bagaimana dia melakukannya? Dia hanya
menginap semalam. Ketemunya dengan Erwin seorang. Kosmas sedang
bersamamu. Apakah dia bisa menghipnotis orang?"
"Sudah terbukti dia bisa melakukan sesuatu yang jahat dari jarak jauh
tanpa perlu berhadapan. Misalnya apa yang terjadi pada Maya dan
Donna. Bedanya, apa yang terjadi pada mereka sebatas masalah fisik.
Bukan perilaku."
"Kalau mikir ke situ, kayaknya memang dialah penyebabnya, Kak."
"Aku juga ingat pada masalah bau tak enak di kamar nomor lima, kamar
yang diduga kuat ditempati Rama. Pada hari itu satu-satunya tamu yang
datang
408
dan deskripsinya cocok dengan Rama adalah dia. Tamu lain berpasangan.
Tak ada cewek sendirian."
Yasmin teringat pada bau tubuh Hendri beberapa hari yang lalu. Ia
meributkan bau itu padahal Hendri sendiri tidak merasakan.
"Ngomong-ngomong soal bau tak enak itu, kayak apa sih, Kak?"
"Pokoknya memuakkan. Bau busuk bukan. Bau amis juga bukan. Menurut
Erwin, itu seperti bau orang yang nggak mandi setahun, bau sumpek, bau
ketiak." Delia tertawa. "Duh, mengingat-ingat bau itu aku jadi enek, Yas!
Kenapa kau ingin tahu?"
"Aku teringat bau yang tercium dari tubuh Hendri ketika menemaninya
sarapan. Baunya seperti yang digambarkan Erwin itu. Malam sebelumnya
dia pulang larut. Aku tidak tahu jam berapa karena kutinggal tidur. Dia
bawa kunci sendiri. Kamarnya pun terpisah. Herannya dia sendiri tidak
bisa mencium bau itu Kusuruh pakai deodoran. Katanya dia pakai terus
selama di kantor. Tapi pulang kantor usai mandi bau itu nggak ada lagi.
Dia sampai bilang aku mengada-ada."
Delia terkejut mendengar cerita itu. "Kapan kejadiannya, Yas?"
Yasmin mengingat-ingat. "Tanggalnya aku nggak ingat persis, Kak. Tapi
sehari sebelum itu kau pergi ke Bandung bersama Bang Kos. Erwin yang
bilang di telepon."
"Pada malam itu Hendri datang ke motel, ketemu Erwin. Dia
membawakan pizza. Apa dia nggak cerita?"
"Nggak tuh. Wah, ngapain dia ke sana? Apakah dua peristiwa itu ada
hubungannya, Kak?" tanya Yasmin ngeri. "Pada saat Hendri ke Motel
Marlin,
409
Ratna juga ada di sana. Mungkinkah mereka bertemu, Kak?"
"Hendri datangnya sudah lewat senja hari. Kata Erwin, dia mampir cuma
sebentar. Ratih yang kemungkinan adalah Rama check in sebelumnya.
Erwin tidak melihat kedua orang itu bertemu. Saat Hendri datang, Ratih
atau Rama sedang keluar cari makan. Jadi kemungkinan ketemunya di
luar motel. Tapi," bukankah mereka tidak saling mengenal?"
Keduanya saling memandang dengan rupa bingung. Dua peristiwa yang
sama-sama mengandung bau tak enak sepertinya ada hubungannya. Tapi
di mana tersambungnya, tak bisa diketahui atau diperkirakan.
"Aku mau mengaku salah padamu, Kak," kata Yasmin kemudian. "Aku
pernah salah omong sama Hendri. Aku bilang mertuamu nenek sihir yang
bisa mengutuk orang. Tapi hanya itu. Dia mendesak ingin tahu tapi aku
nggak cerita lagi. Lalu dia bilang ingin kenalan sama mertuamu itu. Dia
yakin orang seperti mertuamu itu pasti punya ilmu. Jadi dia mau minta
tolong supaya masalah antara aku dan dia bisa diatasi. Maksudnya
supaya kami bisa rukun dan aku bisa menikmati seks dengan dia. Tentu
saja aku keberatan. Maafkan aku ya, Kak?"
Delia termenung. Mungkinkah itu sambungannya? Tapi tampaknya masih
tak jelas. Meskipun Hendri datang ke Motel Marlin saat Ratna ada di
sana, keduanya tidak saling mengenal dan belum pernah bertemu.
Bahkan Delia pun belum pernah melihat Rama dalam rupanya yang baru.
"Kak Del marah, ya?" Yasmin khawatir melihat Delia diam saja.
"Oh, nggak kok. Salah ngomong itu wajar. Nggak
410
sengaja. Aku juga suka begitu. Aku cuma mikir benang merahnya di mana
ya? Feeling sih kayaknya ada. Tapi kita kan nggak bisa menyimpulkan
berdasarkan feeling doang." "Soal bau?"
"Belum tentu baunya sama."
"Dia mau ke Bandung, Kak."
"Tentu. Oh, aku senang sekali ada kau di sini, Kak! Aku senang ada orang
yang mendampingiku melawan kejahatan."
"Tapi..."
"Berjanjilah, Kak. Apa pun yang terjadi jangan pergi meninggalkan kami."
"Apa pun yang terjadi?"
"Ya. Apa pun yang terjadi."
Yasmin menatap Delia dengan permohonan di wajahnya.
"Tentu saja, Yas. Tentu saja," jawab Delia.
Sepertinya ada perbedaan dengan kasus Kosmas dan Erwin, pikir Delia.
Ketika itu mereka sama sekali tidak siap. Sekarang berbeda. Dia dan
Yasmin sudah memperhitungkan segala kemungkinan. Yang sangat
disayangkannya ia tak bisa mengajak Kosmas dan Erwin untuk berbagi
dalam hal itu.
***
413
Beberapa kali Erwin meraih telepon dan sudah pula menekan nomor-
nomornya, tapi setiap kali pula ia meletakkannya kembali. Keinginannya
untuk menelepon Yasmin dan Delia hanya sebatas keinginan tapi tak
terwujud. Sedang Kosmas lain lagi tingkahnya. Bila berada di kantor ia
bengong saja memandangi pesawat telepon. Hanya memandang tapi tak
sampai meraih. Bila tiba-tiba berdering ia terkejut bukan main, tapi
ragu-ragu mengangkatnya. Setelah berkali-kali berdering dan muncul
seseorang yang mengira tak ada orang di kantor, barulah ia
mengangkatnya. Setiap dering disangkanya dari Delia. Kalau ternyata
bukan, ia menjadi murung.
Biarpun sama-sama merasa galau oleh sebab yang sama, keduanya
bertahan untuk tidak membicarakannya. Mereka mengalihkan dengan
bekerja lebih intens. Kosmas rajin merawat tanaman yang ditinggalkan
Delia. Kadang-kadang ia berbicara kepada tanaman-tanaman itu. Tapi
tak ada yang tahu atau mendengar apa yang dikatakannya.
Akhirnya kamar nomor 5 diisi oleh sepasang pria-wanita yang mengaku
suami-istri. Tuan dan Nyonya Hartono. Kunci kamar itu terambil juga
karena tak ada lagi kunci lainnya yang tergantung. Semua kamar terisi
kecuali kamar yang satu itu.
Kepergian Delia ternyata menambah kerepotan. Padahal sebelum ada
Delia mereka sudah terbiasa dengan kerepotan dan kerja serabutan.
Setelah ada Delia suasana kerja menjadi teratur dan menyenangkan.
Untuk kembali ke suasana dulu juga tidak mungkin. Delia bukan hanya
bisa mengatur, tapi juga membantu hampir dalam segala hal bila punya
waktu untuk itu. Dia tak membeda-bedakan orang. Senyum, tawa, dan
kelakarnya memberi keceriaan
414
dan kesegaran. Begitu pula semangatnya yang tinggi. Mereka merasa
kehilangan, jadi pendiam, dan seperti kekurangan darah. Ada yang
bertanya kepada Kosmas apakah Delia akan kembali. Tapi jawabannya
adalah bentakan. Maka tak ada lagi yang bertanya. Mereka hanya
berbicara di belakang.
Mereka yakin, hubungan Kosmas dengan Delia sudah putus karena
kelakuan Kosmas bagai orang patah hati. Padahal mereka sudah meyakini
dan merasa pasti bahwa tak lama lagi akan ada pernikahan di antara
keduanya. Lalu muncul isu bahwa penyebab putusnya hubungan itu adalah
Erwin. Si adik ini iri hati lalu melancarkan hasutan hingga hubungan itu
retak dan akhirnya pecah. Sudah bukan rahasia lagi bahwa keakraban
abang-adik ini sangat menonjol. Mereka pun punya riwayat percintaan
yang unik. Kalau satu dapat pacar, lainnya dapat juga. Tapi kalau satu
putus, yang lain pun begitu. Padahal Erwin itu jauh lebih tampan
dibanding abangnya. Tidak susah baginya mendapat pacar.
Erwin bisa merasakan adanya omongan tak sedap tentang dirinya. Ia tak
bisa membantah apalagi marah karena ia tidak mendengar sendiri. Ia
hanya merasakan sikap dan tatapan dingin para karyawan kepadanya.
Tentu saja itu sangat tidak menyenangkan. Tapi ia tidak bisa berbuat
lain kecuali pura-pura tidak melihat dan mendengar.
Saat bermeditasi, ia kerap teringat pada Delia dan Yasmin. Sulit
menghilangkan keduanya dari pikiran. Kedua wanita itu seperti berlomba
menguasai pikirannya. Biarpun sulit dan lama, akhirnya Erwin berhasil
Apa pernah ada yang mati di sim? Bunuh diri? Kenapa kami dikasih yang
itu?" tanya Hartono.
"Bukan begitu, Pak," sahut Erwin. "Kami kaget karena belum pernah
mengalami yang seperti itu."
"Jadi cerita saya dianggap bohong?" tanya Hartono.
"Tentu saja nggak, Pak. Kami percaya," kata Kosmas.
"Nah, gitu dong. Buat apa sih kami bohong."
"Masalahnya, semua kamar sedang penuh. Jadi nggak ada kamar lain
yang bisa digunakan Bapak dan Ibu," kata Kosmas.
"Im nggak masalah," sahut Hartono. "Kami mau keluar malam ini juga.
Masih banyak hotel lain."
"Silakan saja, Pak," kata Erwin ramah.
"Tapi saya minta uang saya dikembaliin, Pak. Saya sudah rugi mental."
"Tentu saja, Pak. Im wajar. Kami juga mohon maaf sebesar-besarnya
atas kejadian itu. Sungguh kami tidak sangka apalagi menginginkan,"
kata Erwin.
Sikap pemilik motel yang merendah bisa meredakan kegusaran Hartono.
Kemudian ia minta diantar dan ditemani ke kamar untuk berkemas.
Di kamar nomor 5, sementara Hartono dan istrinya membenahi barang-
barang mereka, Kosmas dan Erwin memandang berkeliling. Sambil
berbuat begitu mereka berusaha menajamkan indra mereka. Tapi tak
ada yang terasa aneh. Bau pun tak tercium.
"Sudah pergi," kata Hartono.
"Ya. Udah nggak ada lagi," istrinya menimpali.
Kosmas dan Erwin hanya mengangguk. Mereka tak ingin mendiskusikan
hal itu.
Meskipun barang-barang Hartono hanya sedikit, mereka membantu
membawakannya ke mobil. Sikap
421
mereka telah melunakkan hati Hartono. Ia menjadi lebih simpatik.
"Tadi saya bener-bener nggak bohong lho. Saran saya, sebaiknya kamar
itu dijampi-jampi dulu. Panggil dukun atau paranormal. Kalau langsung
dikasih tamu lagi, bisa terulang kejadian yang sama. Nanti nama motel
ini bisa rusak. Orang akan takut menginap di sini."
"Terima kasih, Pak. Maaf sekali lagi."
Kosmas dan Erwin membungkuk dalam-dalam, melepas Kepergian tamu
mereka. Sesudah itu keduanya buru-buru kembali ke kamar nomor 5. Di
sana mereka kembali memeriksa dengan cermat. Tapi sekali lagi mereka
tak merasakan atau menemukan apa-apa.
"Aku yakin dia tidak bohong," kata Erwin.
"Apa karena ada bau itu?" tanya Kosmas. "Ada persamaannya. Tapi
belum tentu baunya sama."
"Perasaanku kuat sekali, Bang. Lagi pula mereka benar-benar ketakutan
tadi."
"Ya," Kosmas membenarkan. Dialah yang menerima kedua tamu itu saat
mengadu pertama kali.
Keduanya duduk di tempat tidur. Termangu, saling memandang, mencoba
menemukan jawaban di wajah masing-masing.
Kosmas bicara duluan. "Delia," katanya. Singkat tapi bermakna.
"Nenek sihir," sambung Erwin.
"Delia benar."
"Iya."
Hanya itu kata-kata yang diucapkan keduanya. Lalu Kosmas keluar untuk
kembali ke kantor menggantikan Adi.
Erwin tetap di kamar itu. Tak lama kemudian Adi
422
datang. Ia sudah mendapat cerita singkat dari Kosmas. Adi ingin
membuktikan apakah suasana di kamar nomor 5 itu memang
menyeramkan atau tidak. Ia sepakat dengan Erwin bahwa tamu tadi
pastilah mengada-ada karena pada kenyataannya tak ada apa-apa di situ.
Mesti ada maksud tersembunyi. Orang berbisnis selalu berupaya saling
menjatuhkan dengan cara wajar atau tidak wajar.
Sebagai karyawan, Adi memang perlu ditanamkan keyakinan itu. Kalau
dia sampai tahu semuanya, pastilah akan menimbulkan kehebohan di
antara karyawan lain. Bisa jadi sebagian atau semuanya akan angkat kaki
"Biar yang satu ini aku yang bakar," kata Kosmas. Ia pergi membawa
benda itu.
Erwin masih terus mencari tanpa kenal lelah. Semangatnya bertambah
setelah tadi berhasil menemukan. Ia mencari di semua tempat dan
pelosok termasuk yang paling kecil kemungkinannya. Ia juga naik ke atas
kursi untuk memeriksa plafon. Padahal hampir tak mungkin Ratna punya
waktu dan kesempatan untuk menyembunyikannya di sana.
Kosmas melampiaskan kemarahannya dengan membakar benda kecil itu.
"Pergilah kau, iblis! Dan jangan ganggu kami lagi!"
Sesudah itu ia teringat sesuatu. Ia berdoa. Ia menyesal karena sempat
melupakan-Nya. Seharusnya ia melawan kekuatan hitam itu dengan
minta bantuan-Nya. Tapi ia tidak melakukan apa-apa dan membiarkan
saja. Bahkan merasa lebih enak begim. Seperti orang malas, biarpun
jelas ada yang tidak beres tapi tidak mau capek-capek berusaha untuk
mengatasi. Sebegitu bodohnya. Tentu sekarang sudah jelas bahwa ia
diperbodoh tanpa sadar. Tapi seharusnya ia masih punya sedikit akal
sehat. Bahkan ia pun punya cinta. Sebegitu dangkalnyakah cintanya itu?
Ia malu kalau ingat akan perbuatannya kepada Delia malam itu. Mungkin
ia juga bisa melemparkan kesalahan kepada iblis yang merasukinya
karena pada saat itu benda laknat tersebut sudah berada di kolong
meja. Tapi seharusnya ia juga memiliki kendali diri. Padahal sesudah itu
ia malah marah kepada Delia.
428
Erwin datang dengan rupa khawatir.
"Lama amat, Bang? Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Aku berdoa dulu."
"Sudah dibakar, kan?"
"Tentu saja. Gimana pencariannya?"
"Bersih. Nggak ada lagi. Tapi kamar nomor lima masih perlu diperiksa.
Sementara jangan dikasih tamu dulu."
Bersama mereka kembali ke kantor. "Besok kita harus nelepon, Bang."
"Tentu saja," sahut Kosmas tanpa menanyakan siapa yang harus
ditelepon.
"Apa kaupikir sebaiknya kita datangi saja, Bang?" "Wah, itu lebih bagus
lagi."
"Sekarang kita pikirin dulu apa yang mau dibicarakan."
"Ah, nggak usahlah, Win." "Apa bisa?"
"Bisa aja. Nanti akan mengalir dengan sendirinya."
Keduanya berpandangan sambil tersenyum. Kekakuan di antara mereka
sudah mencair.
Erwin melihat optimisme di wajah Kosmas. Memang sepatutnya Kosmas
optimis dan gembira. Hubungannya dengan Delia sudah memiliki
kepastian. Berbeda dengan hubungan dirinya dengan Yasmin yang
sepertinya tak punya prospek. Tapi kali ini Erwin tidak merasa iri.
429
BAB 40
Malam itu Ratna berbaring di sisi Hendri yang sudah tertidur pulas.
Dengkurnya kedengaran nyaman sekali. Dengkuran yang bukan
disebabkan salah posisi atau kelainan kerongkongan, tapi merupakan
dengkur kepuasan. Tapi Ratna tidak merasa terganggu oleh bunyi itu.
Sebaliknya, ia suka sekali. Dengkur lelaki, bau tubuh lelaki, dan segala
sesuatu yang berasal dari lelaki kini berada di sampingnya. Bahkan
miliknya. Ia bisa menikmati semuanya. Ia juga memuaskan dahaganya
selama puluhan tahun. Libidonya hanya terpendam oleh faktor usia dan
situasi, tapi tak mati. Itu tersimpan bagai gunung berapi yang hanya
menunggu saat tepat untuk meledak dengan dahsyat.
Tuannyalah yang telah mempertemukan dirinya dengan Hendri sebagai
orang yang tepat untuknya. Tidak ada lelaki lain yang lebih cocok
untuknya selain Hendri. Mustahil ia bisa bertemu sendiri dengan Hendri
kalau tidak dibantu oleh sang Tuan. Jadi kepada sang Tuan-lah ia
berterima kasih.
Ia membelai kepala Hendri dengan perasaan sayang sekali. Dulu ia juga
pernah mengenal rasa sayang kepada suami dan anak-anak serta cucu.
Tapi yang dirasakannya sekarang ini berbeda. Yang dulu itu" sekarang
sudah tak ada lagi. Pernah punya tapi sekarang tidak lagi.
430
Hendri melenguh lalu berbalik memunggunginya. Punggungnya yang
telanjang tampak berkilat. Punggung yang perkasa. Jari-jari Ratna
mengusap pelan. Bagai mainan yang disayangi, maka Hendri harus dijaga
dengan baik dan hati-hati supaya tidak rusak. Kalau sampai rusak dan
tak bisa memberi kenikmatan lagi, jelas tak ada gunanya.
Hendri adalah miliknya. Sementara dirinya adalah milik sang Tuan. Jadi
masing-masing punya milik sendiri-sendiri. Tapi tentu saja Hendri tidak
memahami hal itu. Bagi Ratna, keinginan Hendri untuk bercinta
dengannya sudah menandakan penyerahan diri. Andaikata Hendri tahu
sebelumnya tentang hal itu, maukah ia bercinta dengannya? Mungkin
tidak. Tapi rasa keberatannya pasti tipis dan rapuh. Hendri dan dirinya
adalah jenis orang yang sama. Buat mereka berdua, tujuan hidup adalah
kenikmatan.
Tiba-tiba ia merasakan getaran dalam dirinya. Lalu terdengar suara
sang Tuan yang hanya bergaung di benaknya. Sang Tuan memberitahu
tentang proyeknya yang gagal di Motel Marlin. Jimatnya sudah
ditemukan. Berarti pengaruhnya tak ada lagi di sana. Bibir Ratna
mengerucut karena amarah. Tapi tak lama kemudian bibir itu
menyunggingkan senyum. Bila itu terjadi, Delia pasti kembali ke Motel
Marlin. Dengan demikian dia tak lagi jadi penghalang bagi Hendri.
Sebenarnya Ratna sudah tidak peduli lagi kepada Delia. Sejak Delia
datang dan menyerahkan uang, ia sudah menganggap Delia menyerah.
Tapi sang Tuan menginginkan ia tetap menghancurkan Delia. Bagusnya
adalah kalau Delia melanjutkan usaha bunuh dirinya yang dulu batal dia
lakukan. Dan lebih bagus lagi kalau Yasmin pun melakukan hal yang sama.
431
"Tapi aku tak bisa lagi menjangkau Delia, Tuan. Dia memang sempat
lemah. Tapi sekarang sudah kuat. Lebih kuat dari dulu."
"Yasmin?"
"Itu tergantung pada Hendri. Aku akan berusaha menggarapnya."
"Lakukanlah. Jangan keenakan sendiri. Ingat, kau belum melakukan apa-
apa untukku."
berani menolak ketika diajak Ratna. Ia sudah tahu dan mengenal siapa
Ratna. Bila kepada anggota keluarganya saja Rama berlaku tega,
bagaimana pula dengan dirinya yang bukan siapa-siapa. Tapi Ratna
meyakinkan dirinya bahwa ia aman-aman saja dan menjamin tidak akan
"menyentuhnya". Di samping itu Ratna menaikkan gajinya berlipat ganda.
Untuk itu Ratna meminta kesediaannya untuk tidak peduli pada apa pun
yang terjadi di rumah itu dan tentu saja tidak boleh bicara pada siapa
pun mengenai hal-hal yang dilihat dan dialaminya. Ipah sama sekali tidak
keberatan untuk berjanji. Ia memang tidak suka banyak bicara.
Baru beberapa hari menempati rumah itu majikannya sudah mendapat
pacar! Heboh betul perasaan Ipah. Rupanya majikannya itu manusia
biasa juga, pikirnya.
Saat Ratna dan Hendri menikmati sarapan, Ratna
433
menyuruh Ipah ke pasar. Maksudnya supaya ia bisa bicara leluasa
dengan Hendri.
"Apa kau nggak kesepian tinggal sendirian di sini?" tanya Hendri.
"Ah, justru enak sendirian"
"Berapa anakmu? Apa mereka tidak suka ke sini?"
"Jangan ngomongin soal keluarga. Tentu aku punya keluarga. Tapi aku
nggak mau ngomongin mereka."
Bagi Hendri, keluarga Ratna memang bukan urusannya. Tapi kadang-
kadang muncul juga keingintahuannya. Ia melihat perabot serba antik.
Ada yang masih bagus, tapi ada juga yang sudah agak rombeng. Apakah
keantikan perabot rumah juga menandakan "keantikan" pemiliknya? Ia
tidak pernah bisa memperkirakan umur Ratna. Sedang Ratna sendiri
pantang ditanya soal umur. Kalau saja ia bisa tahu berapa anak Ratna
dan berapa usia mereka, ia mungkin bisa membuat perkiraan.
Tentu saja soal umur Ratna bukan pula urusannya. Yang penting bukan
umur. Tapi beberapa kali ia merasakan adanya keganjilan. Ada sesuatu
yang tidak seimbang. Kadang-kadang omongan Ratna terkesan
ketinggalan zaman. Ratna bukan pula jenis perempuan yang suka
olahraga, senam, atau yang lain. Bagaimana caranya ia bisa memiliki
tubuh yang begim lentur dan kenyal, tanpa lemak dan selulit? Untuk
memiliki tubuh seperti itu banyak perempuan perlu berusaha keras. Dan
wajahnya yang halus dan licin itu jelas milik orang yang belum ma. Tapi
ada saat-saat Hendri mendapati ekspresi orang yang sudah ma di wajah
Ratna, yaitu kedua ujung mulut yang tertarik ke bawah! Pernah ia
mengira Ratna menjalani
434
bedah plastik. Tapi ia tidak menemukan bekas-bekasnya.
"Baik. Aku nggak akan nanya soal itu lagi," ia berjanji. Memang apa
pedulinya?
"Nggak ngambek, kan?"
"Nggak. Masa gitu aja ngambek."
"Syukurlah kalau nggak. Aku takut kau kapok datang lagi ke sini."
"Ah, masa."
"Kau datang lagi minggu depan, ya?" pinta Ratna.
Hendri tertegun. Menempuh jarak Jakarta-Bandung hanya untuk
mendapatkan kenikmatan seks rasanya malas juga. Tujuan utamanya
adalah untuk mendapatkan jimat. Seks adalah sampingan. Ia memang
amat suka bercinta dengan Ratna, tapi itu bukan berarti ia
mencintainya. Ia melihat Ratna seperti Inem. Hanya sebagai objek. Jadi
kalau sudah terpuaskan ya sudah. Tak ada daya tarik lain. Misalnya
untuk curhat atau sekadar mengobrol. Ratna bukan orangnya untuk itu.
Ia juga tahu bahwa Ratna menganggap Hendri sama. Cuma sebagai objek
seks.
"Kenapa? Ragu-ragu?" tanya Ratna, menatap tajam.
Muncul rasa takut. Bagaimana pula kalau jimat yang dijanjikan itu tidak
diberikan?
"Ah, masa ragu-ragu. Pengennya sih kau pindah ke Jakarta aja, Rat.
Bandung kejauhan."
"Lain kali jangan bawa mobil. Capek. Naik kereta api aja. Yang ekspres."
Hendri merasakannya lagi. Cara Ratna mengatakan "yang ekspres" itu
seperti orang yang tidak banyak memahami situasi. Atau seperti orang
tua yang ketinggalan zaman.
Tapi sore itu ia melihat sebuah mobil sedan diparkir di halaman rumah.
Ia menghentikan sepedanya dan mencari perlindungan di balik sebatang
pohon rindang di tepi jalan. Ia menekan topi petnya lalu memasang mata.
Tak berapa lama menunggu, ia melihat seorang lelaki bertubuh tinggi
dan berpakaian rapi keluar didampingi neneknya. Ia terkejut karena
neneknya menggandeng lengan lelaki itu dengan mesra. Ratna bicara
dengan tertawa-tawa riang. Ia mengantarkan lelaki itu sampai ke
samping mobil. Lelaki itu memasukkan tasnya ke dalam bagasi kemudian
membuka pintu depan mobil. Rama memegangi pintu mobil. Mereka
berbincang lagi sebelum pintu ditutup.
Boy membelalakkan mata sebesar-besarnya. Meskipun jarak cukup jauh,
hari masih terang hingga ia bisa melihat wajah si lelaki. Ia menunggu
dulu sampai mobil lelaki itu keluar dari halaman lalu meluncur pergi dan
BAB 41
Hari Minggu itu Yasmin dan Delia menunggu kedatangan Kosmas dan
Erwin dengan gembira. Sebelumnya Erwin sudah menelepon lebih dulu.
Ia menjelaskan apa yang telah terjadi secara singkat. Tentu saja ia
menyertakan permohonan maaf karena tak pernah menelepon seperti
biasanya. Ia tidak menanyakan apakah dibolehkan datang karena pada
hari itu tentunya Hendri ada di rumah. Tapi Yasmin meminta mereka
datang karena Hendri sedang ke luar kota. Sengaja ia tidak mengatakan
di mana luar kota itu.
Erwin menanyakan Delia karena Kosmas mau bicara juga. Tapi saat itu
Delia berada di rumah besar menemani Winata. Perlu waktu untuk
memanggilnya. Maka Yasmin mengatakan lebih baik Kosmas bicara
langsung dengan Delia saja bila sudah berhadapan.
"Ternyata dugaanmu semuanya benar, Kak!" seru Yasmin setelah
menyampaikan kabar itu.
"Erwin memang lebih cermat daripada abangnya," kata Delia gembira.
"Aku senang, Kak. Hubunganmu dengan Bang Kos pasti akan lebih erat
dibanding sebelumnya."
"Semoga begim. Sejak saat ini aku dan dia bisa lebih berhati-hati dalam
menilai satu sama lain. Per-
439
ubahan sikap tidak selalu disebabkan oleh kehendak sendiri."
"Ternyata aku ini lemah," Erwin mengakui. "Semula kukira aku tidak
akan gampang dipengaruhi."
"Kau bukan lemah. Tapi lengah," kata Delia.
"Mungkin aku terlalu percaya diri. Sok."
"Ah, nggak juga. Jangan menyalahkan diri sendiri."
"Akulah yang benar-benar lemah. Sudah begitu kerasa kepala, lagi,"
kata Kosmas.
"Ya sudahlah. Kita memang tak boleh meremehkan pengaruh seperti
itu," hibur Delia.
"Tapi kau sendiri tidak terpengaruh, Kak. Kau bisa bersikap wajar," puji
Erwin.
"Jangan melebihkan, Win. Di situ aku yang jadi korban. Aku sempat
takut. Aku jadi sedih, putus asa, dan merasakan berbagai emosi negatif
sampai muncul pikiran untuk bunuh diri..."
"Apa???"
Tiga suara kaget berseru hampir berbarengan. Kosmas langsung
merangkul Delia begitu cemasnya sampai Delia tertawa.
"Hei, sudahlah. Aku nggak sampai berbuat begitu, kan?"
"Niat itu saja sudah mengerikan," kata Kosmas. "Cuma melintas
sebentar kok. Aku berdoa. Aku diingatkan, masih punya teman. Yasmin."
Yasmin merasa terharu. "Kita saling menolong,
441
Kak. Kau pernah menolongku dan memberiku semangat hidup."
"Saat itu kayaknya aku berbuat setengah hati. Aku lebih mendorongmu
untuk minta bantuan Kosmas dan Erwin."
"Aku mengerti keadaanmu ketika itu, Kak. Kau sedang tidak berdaya dan
patah semangat. Tapi kau toh membantuku. Bagiku itu luar biasa!"
Yasmin memeluk Delia. Kosmas dan Erwin mengawasi dengan berbagai
perasaan. Ada kebahagiaan, tapi masih ada kecemasan.
"Ke mana Hendri, Yas?" tanya Erwin.
"Bandung," sahut Yasmin sambil melirik Delia.
Erwin menangkap isyarat. "Ada apa?" tanyanya.
"Kau cerita sajalah," kata Delia kepada Yasmin.
"Oh ya. Tentu saja. Bila ada teman, aku bisa lebih kuat. Kak Del bisa
membantuku mencari di mana jimat disembunyikan. Dan dia orang
terdekat yang mampu memantau tingkah lakuku."
Kosmas dan Erwin berpandangan. Mereka menganggap alasan itu masuk
akal. Terutama Erwin yang merasa lebih nyaman bila Yasmin didampingi
Delia. Hanya Kosmas agak kecewa karena tak bisa lebih sering
berdekatan dengan Delia. Tapi tentu saja ia pun menganggap itu ide
yang baik.
"Bagaimana tanamanku?" tanya Delia.
443
"Jangan khawatir. Aku merawatnya sendiri," sahut Kosmas.
"Dan mengajaknya bicara." sambung Erwin.
Kosmas tersipu. Delia tersenyum. Yasmin dan Erwin tertawa.
Setelah mencapai kesepakatan, mereka menemui Winata. Delia
mengenalkan Kosmas sebagai calon suaminya. Kemudian mereka
berbincang. Winata bertanya banyak mengenai bisnis motel.
Bersemangat sekali. Pengetahuannya cukup mencengangkan bagi kedua
orang pemilik Motel Marlin. Winata bisa memberi masukan lumayan bagi
motel mereka. Winata menganjurkan agar motel itu tetap dipelihara dan
dikembangkan sebagai motel. Jangan dijadikan hotel besar.
"Jakarta sudah penuh hotel. Di segala pelosok ada hotel," katanya
memberi alasan.
Kosmas dan Erwin mengangguk-angguk seperti sedang menerima
perkuliahan. Sementara Delia dan Yasmin mendengarkan saja. Yasmin
senang melihat ayahnya begitu bersemangat. Setelah sakit dan mundur
dari kegiatan bisnisnya lalu hanya menjadi salah satu pemegang saham,
Winata semakin jarang dikunjungi teman-temannya termasuk mantan
rekan bisnisnya. Dia merasa dirinya tidak berharga lagi dan tak ada.
yang mau mendekat. Tak ada lagi yang memerlukan petunjuk atau
nasihatnya. Dia sudah dilupakan.
Yasmin mengetahui hal itu dari Aryo. Menurut cerita Aryo yang lain,
pernah ada beberapa teman Winata menelepon untuk menanyakan kabar
Winata. Mereka tidak bermaksud bicara dengan Winata, tapi hanya
"Ya. Digoreng pakai mentega kan enak. Atau pakai tepung. Dimakan
begitu aja juga enak."
"Terlalu banyak. Bisa sakit perut."
"Kalau tidak habis, bagi tetangga."
Yasmin tidak mempersoalkan hal itu. Ia sibuk mengaktifkan
penciumannya dengan mengendus-endus tubuh Hendri. Terutama kalau
berada di belakangnya. Tapi ia tidak mencium bau apa-apa. Hendri sama
sekali tidak berbau.
Ketika Hendri mandi, Yasmin dan Delia sepakat untuk membuang saja
semua peuyeum bawaan Hendri itu. Mereka takut makanan itu sudah
diberi guna-guna yang bisa mencelakakan mereka. Sebaiknya tidak
mengambil risiko, sekecil apa pun. Masalah bau yang tak ditemukan pada
tubuh Hendri bukan lagi merupakan petunjuk bahwa Hendri "bersih".
Lebih baik mencurigai daripada terlalu percaya.
Delia pergi membawa peuyeum itu ke pasar swalayan lalu membuangnya
di tempat sampah yang ada di depannya. Sesudah itu ia masuk ke dalam
lalu membeli tape yang sudah dikemas. Setibanya di rumah, ia
membawanya ke dapur dan menyerahkannya kepada Tati untuk digoreng.
Hendri tidak tahu bahwa tape yang dimakannya bukanlah peuyeum
Bandung yang dibawanya.
"Ingat, Yas. Jangan biarkan dia masuk ke kamar-
446
mu tanpa diawasi. Kalau kau meninggalkan kamar, kunci saja dan kantungi
kuncinya," Delia mengingatkan.
"Dia bisa saja menyelipkan jimat itu di dapur misalnya. Benda itu kan
kecil sekali," keluh Yasmin.
"Yang paling berbahaya adalah di kamar tidur," Delia menyimpulkan.
"Aduh, Kak! Bagaimana kalau dia berhasil merayuku dan aku... aku
tergoda olehnya?"
"Ingatlah akan rasa sakit dan penghinaan yang dulu kauterima."
"Im tak pernah kulupakan, Kak. Dalam keadaan waras memang iya. Tapi
kalau aku dipengaruhi? Erwin dan Kosmas saja bisa terpengaruh."
"Tidak. Mereka beda karena mereka tidak menyangka hingga tak punya
persiapan sama sekali. Kita kan sudah siap. Ingat saran Erwin tadi?"
"Ya."
"Jadi jangan panik. Jangan lupa berdoa. Aku akan membantu dengan doa
juga."
Malam itu Yasmin mengunci pintu kamarnya. Masih pula ditambah dengan
ganjalan meja yang ditindih kursi. Tapi ia masih sulit tidur. Perasaannya
sulit ditenangkan. Ia bermeditasi dan berdoa.. Sampai kemudian ia
mendengar suara langkah kaki yang pelan tapi tetap terdengar. Berhenti
di depan pintu. Ia menahan napas.
Hendel pintu berputar pelan, beberapa kali berulang. Kemudian
berhenti. Pasti orang di luar menyadari bahwa pintu terkunci. Lalu bunyi
langkah terdengar lagi. Sekarang menjauh.
Yasmin terkapar melepas ketegangan. Itu pasti Hendri. Tidak ada orang
lain di paviliun. Kalau memang Hendri ada keperluan, ia bisa mengetuk
447
pintu. Bukan dengan berusaha membuka pintu diam-diam. Dan
seandainya ia berhasil masuk, apa gerangan yang mau dilakukannya?
Yasmin bergidik. Bila ia sampai dipengaruhi, apakah ia akan jatuh hati
pada Hendri begitu rupa hingga tidak takut lagi bercinta dengannya?
Dan tidak pula merasa sakit sedikit pun? Bahkan bisa menikmatinya?
Kalau kemungkinan itu terjadi dulu, mungkin saja ia merasa senang dan
menganggapnya sebagai jalan keluar paling baik. Tapi sekarang tidak
lagi. Ia merasa takut.
***
Ternyata Erwin pun memiliki ketakutan yang sama.
"Seharusnya dia tegas saja," komentar Kosmas. "Kalau memang sudah
tidak suka apalagi takut, kenapa tidak cerai saja? Paling tidak, pisah
rumah gitu. Suami begitu kok dipertahankan."
"Kata Kak Del, Yas sangat mengagungkan perkawinan. Dia merasa
terikat dengan sumpah yang pernah diucapkan. Susah dan senang harus
ditanggung sebagai risiko."
Kosmas geleng-geleng kepala. Kalau begitu betapa tipis harapan Erwin.
"Tapi aku tidak akan berpaling darinya, Bang, walaupun aku tak punya
harapan."
"Aku salut padamu, Win."
"Entah kenapa, Bang. Semakin memahami keadaannya aku semakin
mencintainya. Tapi rasanya aku lebih tenang sekarang. Tidak lagi
emosional seperti sebelumnya. Aku tidak lagi dikuasai keinginan
memiliki. Aku cuma ingin melindunginya dari suami jahat."
Kosmas merasa iba kepada Erwin. Bisakah Delia
448
membujuk Yasmin agar menceraikan saja suaminya itu?
"Tapi kau belum tahu apakah dia juga mencintaimu," kata Kosmas.
"Aku tahu, Bang."
"Oh ya? Dia bilang begitu?"
"Dia nggak bilang. Tapi sorot matanya mengatakan itu."
"Sorot matanya?" Kosmas terheran-heran.
"Ya."
"Itu kan nggak cukup, Win."
"Bagiku sudah cukup. Aku yakin, Bang. Kita sama-sama tahu. Aku tidak
mungkin melamarnya dan dia pun tak mau selingkuh."
Kosmas terharu. Dalam hati ia memarahi Yasmin sebagai perempuan
paling bodoh di dunia!
449
BAB 42
Hari Senin pagi esoknya, begitu Hendri berangkat ke kantor, Delia dan
Yasmin bergegas menelusuri paviliun. Seperti pengalaman Kosmas dan
Erwin, mereka memeriksa semua ruangan, terutama dapur. Isi perabot
seperti lemari dan laci berikut celah-celah dan kerenggangan.
Sepanjang dinding, lantai, plafon. Perabot dapur sampai kompor.
Pendeknya, segala benda yang ada. Dengan kerja sama berdua mereka
bisa lebih cermat. Tapi sejauh itu mereka tak berhasil menemukan
benda yang dicari.
"Ah, kau balik lagi ke situ. Yang bilang begitu kan dia untuk
memojokkanmu. Kau sendiri juga bilang bahwa cintamu sudah mati."
Yasmin menjadi murung. Setiap pembicaraan me-
452
ngenai hal itu selalu membuatnya merasa gamang. Dan Delia semakin
gemas saja.
"Aku memang munafik, ya?" Yasmin mengakui. "Aku mau tetap jadi
istrinya karena terikat sumpah perkawinan. Tapi aku takut bercinta
dengannya. Aku membolehkan dia mencari kepuasan dengan perempuan
lain supaya dia tidak menggangguku. Kadang-kadang aku merasa kasihan.
Tapi kalau ingat yang dulu, aku suka benci. Dia selalu bilang ingin
membina hubungan baik denganku. Tapi aku merasa, kalau dia sampai
berhasil, aku adalah orang yang kalah. Aku akan kembali menjadi
budaknya. Bahkan mungkin lebih buruk lagi. Mungkin aku hanya terbius
sementara lalu kesakitan itu datang lagi."
"Kalau begitu yang kautakutkan semata-mata adalah rasa sakit itu,
bukan sarana yang digunakannya untuk menaklukkanmu?"
"Oh, tentu saja itu juga. Bila aku menjadi budaknya, bukankah sama
dengan jadi budak iblis juga?"
"Tapi kau tidak sadar dan tidak menginginkannya. Itu beda dengan
orang yang meminta."
"Ah, kau pasti menganggapku orang yang tidak berprinsip," keluh
Yasmin.
"Kau cukup berprinsip kok. Kau berpegang pada sumpah perkawinan."
"Entahlah. Aku jadi bingung."
"Jangan. Nanti kita bisa kehilangan pegangan."
Telepon dari Erwin menghentikan pembicaraan. Yasmin berbincang
dengannya.
"Dia menanyakan hasilnya. Aku bilang nggak ketemu," kata Yasmin
kemudian.
"Apa sarannya?"
"Katanya, jangan bosan dan capek mencari. Sama
453
seperti dia dulu. Kalau kita kecapekan, dia akan datang membantu."
Delia tersenyum. Yasmin tampak senang ditelepon Erwin.
"Aku punya ide, Yas. Daripada capek-capek begini, bagaimana kalau kita
berikan saja kesempatan kepada Hendri sebanyak-banyaknya untuk
memasuki kamarmu? Nanti malam kau ke rumah besar tanpa mengunci
kamarmu. Besok paginya kita cari."
"Itu ide yang bagus. Tapi malamnya kan aku tidur di sim. Bagaimana
kalau jimat itu segera mempengaruhiku lalu aku membukakan pintu
untuknya begim dia mengetuk? Ih..."
"Gampang. Malam nanti tidurlah di kamarku."
"Bagus!"
Sore itu setelah Hendri pulang, Yasmin tidak mengunci pintu kamarnya
kecuali bila ia berada di dalamnya. Setelah makan malam bersama
Hendri, ia pergi ke rumah besar. Sebagai basa-basi ia mengajak Hendri.
Seperti sudah diduga, Hendri menolak. Yasmin pergi tanpa mengunci
kamarnya seperti yang direncanakan.
Jam sembilan malam itu Yasmin kembali. Ia melihat Hendri masih
menonton teve.
"Aku mau nginap di kamar Kak Del ya?" kata Yasmin. Bukan minta izin
tapi memberitahu.
"Apa?" Hendri tampak terkejut dan kecewa.
"Mau nginap. Nggak takut sendirian, kan?"
"Memangnya ada apa sih sampai nginap segala?"
"Pengen ngobrol aja. Sudah ya."
"Hei! Bantal dan gulingmu nggak dibawa?"
"Nggak. Di sana juga ada."
Yasmin pergi terburu-buru. Bantal dan guling? Jangan-jangan di situ
ditaruhnya!
454
Hendri merasa gusar. Ia meninju bantal sofa berulang-ulang. Lalu ia
berjalan hilir-mudik dengan muka memerah. Kemudian ia bergegas ke
kamar Yasmin. Dengan surprise ia mendapati pintunya tidak terkunci. Ia
Delia dan Yasmin tak bisa tidur sampai larut malam. Mereka mengisi
waktu dengan mengobrol. Tumpah ruah riwayat hidup masing-masing
dari kecil sampai dewasa. Padahal dalam keadaan biasa, cerita yang
begim tidak sampai dikeluarkan. Mereka bagai bicara dengan psikiater
yang suka sekali mengorek masa kecil pasien untuk menemukan mata
rantai sebab-akibat dari segala perilaku.
"Hendri punya waktu banyak sekali untuk menjungkirbalikkan kamarku,"
kata Yasmin.
"Kita akan menjungkirbalikkannya lagi besok!" sahut Delia.
"Kalau berhasil menemukan, kita apain ya, Kak? Apa kita akan
membakarnya seperti yang dilakukan Kosmas dan Erwin?"
tidak kita ketahui tujuannya. Kedua, jimat itu tak bisa kita temukan
biarpun dia sudah diberi kesempatan seluas-luasnya."
460
"Ya. Itu mungkin saja. Tapi apa yang kita lakukan ini kan untuk menjaga
diri dari kemungkinan buruk. Daripada kita tidak melakukan apa-apa lalu
terjadi sesuatu."
"Jadi apakah sekarang kita patut menganggapnya bersih?"
Delia terkejut. "Jangan dulu! Kita tetap tidak boleh kehilangan
kewaspadaan, Yas." "Bingung, ya."
"Yas, dari pengalaman sebelumnya Ratna selalu bisa mengetahui apa
yang kita lakukan. Mungkin saja dia tahu kita sudah mengantisipasi
dengan berjaga-jaga dan melakukan pencarian. Bukan tidak mungkin dia
juga sudah tahu bahwa jimat yang ditaruhnya di Motel Marlin sudah
ditemukan dan dimusnahkan. Jadi dia pakai taktik lain."
"Wah!" Yasmin melotot.
"Karena itu kita harus tetap waspada. Sekarang kita jangan hanya
berpatokan pada jimat seperti yang ditemukan Kosmas dan Hendri
saja."
"Lantas pada apa, Kak?"
"Pada perilaku Hendri. Itu kelihatan dan bisa dinilai."
"Benar juga."
"Kau tidak perlu cemas, Yas. Aku akan menjagamu kalau kau kehilangan
kesadaran dan kewarasan."
Yasmin mengangguk. "Apa kita perlu beritahu Papa, Kak?"
Delia tertawa. "Kalau kau memberitahunya, bisa dipastikan Hendri akan
disuruhnya angkat kaki dari sini. Dan kau tak bisa lagi menyembunyikan
apa yang selama ini kausembunyikan darinya."
"Ah iya. Kita memang harus berusaha sendiri."
Telepon berdering.
461
"Nah, itu pasti Erwin. Sampaikan saja, Yas."
Yasmin pergi untuk menerima telepon. Beberapa waktu kemudian ia
kembali.
"Kak! Erwin minta izin untuk membantu mencari. Kasih jangan, Kak?"
tanya Yasmin.
"Terserah kau dong, Yas."
"Kasih aja ya, Kak? Supaya dia nggak penasaran. Dikiranya kita nggak
becus. Lagi pula dia sudah berpengalaman."
"Baiklah. Lumayan ada yang bantu."
Ternyata kemudian yang datang bukan cuma Erwin tapi juga Kosmas.
Mereka dengan bersemangat dan tekad membara sangat serius mencari.
Delia dan Yasmin mengamati saja, membiarkan kedua orang itu
mengambil alih. Akhirnya semua tempat sudah ditelusuri tanpa hasil.
Seperti biasa, kamar Hendri dilewatkan. Di samping terkunci, secara
logika tempat itu paling tidak mungkin. Kalau jimat memang sudah
dimilikinya, kenapa masih saja disimpan?
Kosmas dan Erwin menyerah.
"Tapi kita tidak boleh putus asa. Siapa tahu dia sengaja menunggu
sampai kita bosan dan malas mencari? Saat itulah baru dia
melakukannya," kata Kosmas.
"Ya. Tadi aku sudah bilang sama Yas, kemungkinan Ratna sudah tahu
tentang usaha kita ini," kata Delia.
"Dari mana dia tahu? Apa dia punya cermin ajaib?" kata Erwin kesal.
"Biarlah. Kalau betul begitu, dia tak akan pernah punya kesempatan!"
Yasmin berkata sengit.
Semua mata menatap Yasmin.
"Jadi kau tidak akan" berhenti mencari?" tanya Erwin.
"Tentu saja. Maksudku begitu."
462
Sebenarnya Erwin ingin sekali mengatakan, kalau mau aman tanpa risiko,
suruh saja Hendri pergi. Tapi itu mustahil dikatakan lebih-lebih
dilaksanakan. Akhirnya ia berkata, "Kalau perlu, tiap hari aku ke sini
untuk bantu mencari. Boleh?"
"Boleh. Itu bagus," sahut Yasmin.
Diam-diam Kosmas dan Delia bertukar pandang. Barangkali situasi itu
bisa juga digunakan sebagai alasan untuk lebih sering bertemu.
***
Yasmin ternganga ketika sepulang kantor Hendri mengatakan akan
segera berangkat ke Bandung meng-• gunakan kereta api. "Ke Bandung
lagi?"
"Tugas tempo hari belum selesai, Yas. Mungkin dua hari di sana."
"Kerjaan apa sih, Hen?"
"Promosi mesin. Ah, kau kan tahu kerjaanku."
"Ya nggak apa-apa. Cuma mendadak amat ya."
"Aku juga nggak nyangka sih. Apa kau keberatan?"
"Tentu saja nggak. Aku kan nggak berhak keberatan. Mari kubantu
membereskan tasmu." "Nggak usah. Biar kulakukan sendiri saja."
Yasmin tidak mendesak. Ia masih bingung.
"Untung juga Kak Del di sini, ya? Bisa menemanimu," kata Hendri ramah.
"Ya."
"Mau dibawain peuyeum lagi?" "Ah nggak. Nggak usah bawa apa-apa.
Bosan peuyeum melulu."
"Lainnya barangkali?" "Nggak ah. Hati-hati aja."
463
"Doakan aku selamat."
"Tentu saja," sahut Yasmin. Tapi kemudian merasa dirinya munafik.
"Baiklah. Aku pergi."
Kali ini Hendri tidak meminta peluk-cium seperti sebelumnya. Ia pergi
tanpa menyentuh Yasmin sedikit pun.
Delia tidak kurang terkejutnya. "Ke Bandung lagi?" "Katanya kerjaan
yang kemarin dulu belum selesai. Entahlah. Benar atau nggak." "Mungkin
mau atur strategi." "Strategi apa, Kak?"
"Tenang. Kita lihat saja nanti. Pokoknya selama dua hari kita bebas dari
pekerjaan mencari jimat."
"Besok kita tetap mencari. Lusa baru libur."
"Bagaimana kalau nanti malam gantian tidur di kamarku, Kak?"
"Baik."
Sebelum tidur mereka kembali memeriksa kamar. Meskipun merasa
bosan dan yakin tidak akan menemukan barang yang dicari, mereka
tetap mencari dengan cermat. Itu penting untuk rasa aman dan percaya
diri.
"Padahal kita tidak perlu mencarinya sekarang, Yas. Malam ini tidur saja
di kamarku dulu. Atau kau bermaksud membuktikan kondisi kamarmu?"
"Betul sekali. Tapi aku takut sendiri." Yasmin tersenyum.
Mereka memang tidak menemukannya.
"Andaikata di sini ada jimatnya, tapi tak berhasil kita temukan, maka
yang terkena pengaruhnya bukan cuma aku, tapi kau juga." Yasmin
tertawa terbahak.
"Maksudmu, aku akan terpikat juga pada Hendri?
464
Wah... kasihan Bang Kos dong." Delia ikut tertawa geli.
Yasmin berhenti tertawa. "Aku kasihan sama Erwin," katanya serius.
"Kenapa?"
"Tak pantas dia menaruh hati padaku."
"Apakah dia sudah menyatakan isi hatinya?"
"Belum. Tapi aku bisa menebak. Begitu gamblang sikap dan ekspresinya.
Aku pasti buta kalau tidak merasakan."
"Katanya cinta tak harus memiliki. Klise."
"Memang klise, tapi menyentuh. Aku jadi tidak enak. Sepertinya aku ini
kelewatan. Hubungan sama suami udah kayak gini tapi mau terus
dipertahankan. Mungkinkah aku sakit, Kak?"
"Kukira nggak. Kau cuma ingin setia."
"Kau pasti berpikir aku gila."
"Ah nggak. Setiap orang punya sudut pandang sendiri-sendiri. Tapi aku
mau tanya, bagaimana kalau dia yang berniat menceraikanmu?"
"Aku sudah mengatakannya. Dia tidak mungkin mau menceraikan aku
sekarang. Kalau dulu mungkin iya. Bukannya sombong, Kak. Dia memang
mengincar harta. Coba pikir. Terakhir dia gajian pun aku tidak diberinya
barang sedikit untuk belanja sehari-hari. Katanya aku sudah punya
banyak dari Papa. Ya sudah. Papa memang menyerahkan manajemen
rumah tangga ini, termasuk keperluan Papa, kepadaku. Boleh dibilang
rumah tanggaku ikut dibiayai. Hendri sudah lepas tangan."
"Kau terlalu baik padanya atau kau memang ingin mempertahankan dia?"
"Entahlah. Tapi ada satu yang pasti. Aku masih punya rasa bersalah
karena tidak bisa berfungsi
465
sebagai istri yang seharusnya. Jadi biarlah minus di sini tapi plus di
sana."
"Perasaan itu memang susah dihilangkan ya? Tapi kau belum menjawab
pertanyaanku. Bagaimana kalau dia berniat menceraikanmu meskipun kau
sendiri menganggapnya tidak mungkin? Siapa tahu situasi dan kondisi
berubah untuknya."
Ternyata Yasmin tidak bisa menjawab. Dia kelihatan bingung. Delia
menjadi iba.
"Sudahlah. Tak usah dijawab. Biarlah hidup ini berjalan seperti air
mengalir. Yang sekarang dijalani saja apa adanya. Yang nanti lihat nanti,"
kata Delia.
"Aku jadi merasa bodoh, Kak."
"Jangan kira hanya kau yang begitu, Yas. Aku juga. Tapi setiap kali aku
mengingatkan diri bahwa setiap saat itu punya situasi dan kondisi yang
berbeda. Cara berpikir dan perasaan jadi beda juga. Jadi tak perlu
merasa bodoh."
"Seperti apa ya hidup kita kalau kita tidak pernah bertemu?"
"Entahlah. Mungkin kau tetap jadi istri menderita dan aku jadi menantu
menderita. Kita bertemu karena penderitaan kita."
"Kalau begitu mestikah aku berterima kasih pada Hendri karena dia
telah membuatku menderita?"
"Ah, jangan. Kalau dia baik padamu dari dulu mungkin jalan hidupmu akan
lain lagi. Kau tidak akan mengalami problem seksual. Kau punya anak-
anak. Pendeknya, keluarga bahagia."
"Ya. Tapi aku suka berpikir, andaikata mertuamu tidak suka mengutuk
dan menyumpahi, apakah suami dan anakmu masih ada?"
"Aku tidak bisa menjawab karena aku memang tidak tahu jawabannya.
Aku tidak percaya pada
466
kutukannya. Aku marah dan benci karena dia sangat tidak berperasaan."
"Nyatanya ilmu hitam itu ada, Kak. Kita membuktikannya."
"Sepertinya begitu. Tapi aku yakin, dulunya Ratna tak punya ilmu. Dia
hanya bermulut jahat dan tak punya perasaan. Baru belakangan ini jelas
dia berubah."
"Mungkin dia sendiri punya jimat atau berguru pada orang pintar,"
Yasmin memperkirakan.
"Ah, ngomongin dia tidak menyenangkan, Yas."
"Baiklah. Ngomong yang lain saja. Tentang rencana masa depanmu kalau
sudah menikah, Kak."
"Tentu saja tetap di motel. Aku suka di sana. Dan kau? Katanya mau
usaha garmen?"
"Oh ya. Sekarang belajar dulu. Nanti bantu aku ya, Kak? Kau sudah
punya pengalaman."
"Pasti kubantu."
"Masa depanmu lebih pasti daripada aku, Kak."
"Jangan bilang begitu. Mana ada yang pasti? Segala sesuatu bisa
berubah. Jadi kita jalani saja hidup ini dengan sebaik-baiknya sambil
mengantisipasi segala kemungkinan."
"Maksudmu kita tidak boleh pasif menghadapi sesuatu, baik atau
buruk?"
"Ya."
"Bagaimana kalau kita melakukannya dengan salah?"
"Pakailah nurani. Itu selalu ada pada diri kita."
Yasmin merenung. "Bicara tentang mengantisipasi, aku jadi dapat ide,
Kak," katanya kemudian. "Besok aku akan ngecek ke kantor Hendri untuk
menanyakan soal tugasnya itu. Itu satu-satunya cara untuk mendapat
kepastian dia berbohong atau nggak."
467
"Itu bagus sekali, Yas!"
Sebelum Yasmin terlelap, sebuah pertanyaan terbawa tidur: Apa yang
akan dilakukannya bila Hendri berbohong?
Ketika Yasmin dan Erwin kembali, Delia sudah selesai membuat jimat
palsu itu. Sekali lagi mereka mengamati dan meneliti kalau-kalau ada
yang salah. Setelah semua meyakini akan kemiripannya, benda itu
diletakkan kembali di atas tempat tidur lalu ditutupi bantal. Mereka
merapikan kembali kamar itu seperti keadaan semula lalu menguncinya.
"Apa kalian sudah yakin bahwa barang itu hanya ada satu?" tanya Erwin.
"Yakin," sahut Delia dan Yasmin berbarengan.
"Kalau begitu, kerja kita sudah beres untuk sementara ini," kata Erwin.
"Untuk sementara?" tanya Yasmin.
"Iya. Bukankah kita belum tahu apa lagi yang dibawa Hendri dari
Bandung nanti?"
"Oooh," keluh Yasmin.
Bukan hanya Yasmin, tapi mereka semua sama-sama merasakan
ketidakpastian dan tantangan.
Di tempat tidur yang beralaskan seprai merah jambu, Hendri masih
tergolek. Di sampingnya Rama pun masih lelap. Padahal hari sudah
menjelang siang. Semalam saat mereka tidur sudah dini hari. Mereka
juga sangat capek karena seringnya bercinta. Dalam semalam itu
frekuensinya sampai tiga kali! Itu pengalaman yang baru bagi keduanya.
Termasuk bagi Hendri.
Tiba-tiba Hendri tersentak bangun. Ia membuka mata dan sesaat
mengira sedang bermimpi. Perasaannya ia sedang tidur di kamarnya
sendiri. Tapi ia heran melihat warna seprai merah jambu, padahal
478
seprainya di rumah berwarna biru. Setelah melihat sosok Rama di
sampingnya, barulah ia teringat akan semua kejadian yang dialaminya.
Keheranan yang lain menerpanya. Kenapa ia berada di situ padahal
seharusnya ia berada di kantor untuk melakukan kerja rutinnya? Oh ya,
ia minta cuti dua hari. Tapi kenapa dan untuk apa? Ia benar-benar tak
habis pikir. Sungguh tidak logis mengambil cuti dua hari hanya untuk
melampiaskan kerinduan kepada Rama. Memang tadi ia mengalami
kenikmatan tak terhingga. Tapi sekarang setelah kenikmatan itu lewat,
muncul pikiran rasional. Ia merasa sangat bodoh. Susah untuk memahami
480
BAB 45
Ratna keluar dari kamar setelah sekali lagi melempar pandang ke arah
Hendri yang masih saja tak bergerak di tempat tidur. Di ruang depan
kamar ia melihat Ipah sedang duduk dengan pakaian rapi. Di lantai
sampingnya terletak sebuah koper kuno dan sebuah kantong plastik
besar yang gembung. Ratna terkejut.
"Mau ke mana kamu?" tanya Rama, heran tapi waswas.
"Saya mau pulang kampung, Bu. Mau brenti kerja," sahut Ipah tanpa
menatap mata Rama.
"Apa?" Ratna melotot. Tapi percuma menunjukkan kegarangan karena
Ipah tidak memandangnya. Ipah memang sengaja supaya tidak sampai
terpengaruh.
"Iya, Bu. Saya mau brenti kerja. Jadi saya mau minta gaji saya. Udah
dua taun, kan? Jumlahnya udah dua juta empat ratus ribu!"
Ipah menyodorkan selembar kertas berisi catatan bulan dan tahun.
Ternyata ia bisa menghitung dan teliti mencatat. Kertasnya sudah kumal
dan menguning. Selama dua tahun ia mencatat, kertas ditulisi lalu
disimpan. Begim yang terjadi, bulan demi bulan.
Ratna mengamati sebentar. Ia terkejut melihat jumlah sebesar itu yang
harus dibayarnya. Keningnya berkerut kemudian tampak kegusaran di
wajahnya. Ia meremas kertas itu lalu melemparnya jauh-jauh.
481
"Enak aja! Dua taun katamu? Memangnya siapa yang harus bayar gajimu
selama ini? Bukan aku, tapi si Rama!"
Ipah terkejut. Ia tidak mengetahui soal itu. Selama berada di rumah
Rama gajinya tak pernah diambil. Ketika mengikuti Rama ke rumah di
Jalan Angsana itu ia mengira Rama akan mengambil alih atau Rama
menitipkan gajinya kepada Rama. Rupanya ia tidak dianggap sebagai
orang yang punya arti. Atau mereka memang tidak peduli padanya.
Rasanya menyakitkan dan menyedihkan.
"Kalo gitu biar saya ke rumah Pak Rama aja sekarang. Saya pamit ya,
Bu."
Ipah berdiri lalu meraih koper dan kantong plastiknya.
"Eh, tunggu dulu!" seru Rama. Ia tahu apa yang akan terjadi kalau Ipah
ke rumah Rama. Ipah akan ditanyai. Lalu Ipah akan bercerita seperti
apa adanya. Rama tidak suka hal itu terjadi.
"Ada apa, Bu?" tanya Ipah berharap.
"Bilang dulu, kenapa kamu mendadak mau berhenti. Ngambek karena
peristiwa semalam, ya?"
"Bukan ngambek, Bu. Saya memang mau brenti aja."
"Kamu nggak takut keluar dari sini?" tanya Rama dengan nada
mengancam.
"Di sini saya lebih takut, Bu," sahut Ipah tegas. Ia tetap tidak
menentang mata Ratna. Ia menunduk saja.
"Apa? Kok berani kamu ngomong begitu?" bentak Ratna.
Ipah diam. Ia tahu akan diomeli dan dicerca. "Kamu nggak takut akan
kukutuk dan kusumpahi, Pah? Kamu bisa ketabrak mobil kalau keluar
dari
482
sini! Kamu bisa dirampok dan dibunuh orang! Kamu bisa kudisan! Tahu?"
"Saya mah pasrah sama Gusti Allah aja, Bu!" kata Ipah sambil
menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
Rama terkejut. Begitu kagetnya sampai terhuyung ke belakang. Ia
mengamati Ipah dari kepala sampai kaki seakan Ipah telah berubah jadi
orang asing yang tidak pernah dikenalnya.
Lalu Hendri muncul di ambang pintu. "Ada apa?" ia bertanya.
Sebenarnya ia sudah mendengarkan keributan itu, lalu khawatir kalau
Ipah diapa-apakan. Ia melihat Ipah yang sudah rapi dengan koper dan
kantong plastiknya. "Bibi mau pergi, ya?" ia bertanya.
Ipah mengangguk. "Iya, Pak," ia menyahut dengan perasaan bersyukur.
Kehadiran Hendri bisa menguntungkan dirinya.
Rama cepat memutuskan Kehadiran Hendri dan kekeraskepalaan Ipah
tidak memungkinkan baginya untuk berkeras juga.
"Baiklah. Aku akan bayar gajimu. Tapi kamu harus janji dulu, Pah. Kalau
kamu nggak mau janji, aku juga nggak mau bayar."
"Janji apa, Bu?" tanya Ipah cemas. Ia memerlukan uang tapi takut
disuruh janji macam-macam
"Kamu langsung pulang ke kampung dan tidak kembali ke rumah Pak
Rama biarpun cuma singgah sebentar."
Janji itu tidak sulit bagi Ipah. "Saya memang mau langsung pulang, Bu.
Ngapain singgah-singgah." "Kampungnya di mana, Bi?" tanya Hendri.
"Ciawi, Pak."
"Nggak jauh-jauh amat ya. Naik bus?" "Iya, Pak."
483
"Pegang janjimu, ya?" tegas Ratna. "Awas, jangan melanggar!"
"Nggak, Bu. Saya mau tinggal di kampung aja."
"Baik. Aku percaya kamu. Tunggu sebentar."
Ratna kembali ke kamar. Ipah menarik napas lega. Hendri masih berdiri
di ambang pintu. Ia hanya memutar kepala untuk mengamati Ratna. Ia
melihat Ratna menarik sebuah tas hitam dari lemari pakaian. Sesudah
itu ia tak bisa melihat apa-apa lagi karena Ratna membalik tubuhnya
hingga membelakanginya. Hendri memanjangkan leher tapi tak bisa
melihat apa-apa selain punggung Rama. Ia tak berani terus mencoba.
Takut ketahuan. Maka ia memalingkan muka lagi kepada Ipah.
"Punya anak di kampung, Bi?"
"Punya, Pak. Cucu juga ada."
Perbincangan tidak berlangsung lama. Ratna sudah kembali dengan
lembaran uang di tangannya.
"Nih, hitung dulu. Dua juta empat ratus ribu."
Ipah menerima dengan gembira. "Terima kasih, Bu."
"Hati-hati bawa uang banyak naik bus, Bi," Hendri menasihati.
"Sebaiknya jangan dimasukkan dalam dompet atau tas, tapi di sini."
Hendri menepuk perutnya. "Dan kalau di bus ada yang nawarin minuman
jangan mau. Nanti di dalam minuman itu ada obat biusnya. Kalau Bibi
tidur, tau-tau barang ludes semua dibawa kabur."
mampu mengorek apa yang ada dalam pikiran Ipah. Padahal ia yakin
mesti ada sebabnya kenapa tiba-tiba Ipah mau pergi, dan yang penting
kenapa tiba-tiba Ipah punya keberanian untuk menentangnya. Apakah
itu kemunduran atau pertanda kelemahan? Padahal kekuatan itu satu-
satunya modal untuknya dalam kehidupannya sekarang.
"Mungkin kau cuma perlu waktu, Hen," Rama berkata dengan nada
lembut membujuk. Ia memutuskan untuk tidak mendesak. Jangan sampai
ia kehilangan Hendri seperti kehilangan Ipah tadi.
"Mungkin begitu," sahut Hendri.
"Nanti kuberikan jimat keberanian."
"Jimat lagi? Bagaimana dengan jimat sebelumnya? Yang itu aja, Rat.
Tapi diperkuat dan difokuskan."
"Kan sudah kubilang, kau perlu menuntaskan kebencianmu dulu kepada
mertuamu."
"Maksudmu, aku harus membunuhnya dulu sebelum dapat jimat yang
efektif?" Hendri tak dapat menyembunyikan kejengkelannya.
"Ya."
"Dulu kau nggak bilang ada syarat semacam itu?" "Aku baru tahu
belakangan bahwa ada hambatan seperti itu."
Hendri tahu Ratna berbohong. Tapi ia juga tahu ia tak bisa
membantahnya.
"Dengar dulu, Hen. Bila mertuamu itu sudah tak ada, yang tinggal adalah
kau dan istrimu. Saat itulah
487
jimat pemikat menjadi efektif. Sebenarnya bukan cuma kau yang
membenci mertuamu, dia pun begitu kepadamu. Dia ingin sekali
mendepakmu dari rumahnya. Maka sebelum kau didepaknya, bukankah
paling baik bila kau mendahului? Setelah dia nggak ada, bagimu menjadi
lebih mudah menguasai istrimu. Dia akan patuh padamu dalam segala hal.
Termasuk seks. Jimat akan membuat dia memujamu. Lebih dari sekadar
patuh."
Dalam keadaan berbeda Hendri pasti akan terpengaruh ucapan itu.
Sekarang tidak lagi. Ia menganggap Ratna hanya mengulur waktu supaya
"Justru kalau begitu kau nggak boleh bepergian. Kalau ada apa-apa di
jalan siapa yang menolong? Istirahat saja, ya? Nanti kuambilkan obat."
"Obat apa? Nanti aku malah tidur terus."
"Ah, nggak. Cuma obat penyegar tubuh. Sementara kau beristirahat,
kubuatkan jimatnya. Besok pagi-pagi kau bisa pulang."
Hendri terpaksa setuju. Kalau ia memaksa, Rama bisa marah. Ia tahu
maksud Rama menahannya adalah untuk mendapatkan kesempatan
bercinta lagi dengannya. Benar-benar memuakkan. Kalau ia memang
dijadikan sapi perah, lebih baik kering saja sekalian. Setidaknya untuk
waktu ini saja.
Ketika Rama membawakan sebutir pil dan segelas air, Hendri menjepit
pil itu dengan jari tangan lalu
489
memasukkannya ke dalam mulut, kemudian meminum airnya sampai habis.
Padahal pilnya masih dalam jepitan jari tangan.
"Nah, istirahatlah," kata Ratna, menunjuk tempat tidur.
Hendri membaringkan tubuhnya. Ratna mencium pipinya dan membelai
kepalanya. Sikapnya seperti seorang ibu kepada anaknya.
"Terima kasih," kata Hendri pelan. Ia tidak merasa tersentuh oleh
perlakuan yang penuh perhatian itu. Keinginannya cuma satu, yaitu pergi
secepatnya dari rumah itu. Kepercayaannya kepada Ratna sudah lenyap
hingga keinginan mendapatkan jimat sudah tak ada lagi.
"Kau tidurlah. Aku akan membuat jimat lalu masak untuk makan malam.
Sialan si Ipah itu!"
Ratna keluar dengan merapatkan pintu
Hendri menunggu sekitar setengah jam lalu bangun. Ia membuka pintu
kamar, menengok kanan-kiri sambil memasang kuping. Ia mendengar
suara-suara dari arah dapur. Ratna sedang sibuk di sana. Buru-buru ia
merapatkan pintu lagi lalu berlari ke lemari pakaian, membuka dan
mengamati isinya. Setelah menemukan sebuah tas hitam, ia menariknya.
Ia menengok dulu ke pintu sebelum membuka tas itu. Jantungnya
berbunyi dag-dig-dug kencang sekali. Kupingnya bisa mendengarnya. Ia
takut juga kepergok Rama.
Matanya membelalak. Isi tas itu bukan hanya uang beberapa gepok, tapi
juga sebuah kotak kecil. Kotak itu ia buka. Isinya penuh perhiasan emas
dan berlian. Tangannya gemetar. Yasmin sendiri tidak memiliki perhiasan
sebanyak itu. Beberapa perhiasan miliknya sebagian sudah terjual untuk
berbagai keperluan.
490
Hendri tidak berani lama-lama memeriksa isi tas itu. Buru-buru ia
meletakkannya kembali di tempatnya. Cermat supaya tidak salah letak.
Sesudah itu, dengan jantung masih berdebar, ia buru-buru kembali ke
tempat tidur.
Jelas baginya bahwa Ratna percaya kepadanya karena selama ini
membiarkan Hendri berada di kamarnya dengan lemari tidak dikunci.
Hendri memang tak pernah tertarik untuk memeriksa barang Rama,
apalagi berniat untuk mencuri. Ia terlalu takut untuk melakukannya.
Ketika itu ia tak punya persangkaan sedikit pun akan kemungkinan Rama
memiliki harta. Ia baru tertarik setelah tadi melihat Rama mengambil
uang untuk membayar gaji Ipah. Sepertinya bagi Ratna tak ada
keberatan mengeluarkan uang sebesar itu. Jadi pastilah ia punya
persediaan uang yang jauh lebih banyak lagi.
Selintas ada rasa heran dari mana Rama menafkahi dirinya. Tampaknya
dia punya anak-anak. Tapi menilik penampilan Ratna yang belum tua,
mestinya anak-anaknya belum cukup dewasa untuk mencapai kehidupan
yang mapan. Soal itu memang tak ingin dipikirkan Hendri. Ia tak
berkepentingan. Yang ia pikirkan adalah harta Ratna di dalam tas hitam
itu!
491
BAB 46
Tubuh Hendri terasa membeku. Ia ingin sekali kencing. Ada suara dalam
dirinya yang menyerukannya supaya lari sekarang juga, keluar dari
rumah itu dan tidak menoleh lagi. Tapi ketakutan yang amat sangat
membuat ia tidak bisa segera bergerak.
"Si...si...sia...siapa, Tuan?"
"Siapa lagi? Pacarmu tentu saja!"
"Tapi... tapi..."
"Tapi apa?"
"Orang lain saja, Tuan."
Dengan harapan sang Tuan mau memenuhi permintaan Ratna, Hendri jadi
lebih optimis. Kepalanya kembali dijulurkan sedikit agar cukup untuk
melihat
493
Ratna. Tapi kejutan lain menantinya. Tampak Rama sedikit memiringkan
mukanya hingga bisa terlihat bagian sisinya. Wajah itu kelihatan ma,
penuh kerut dan ada gelambir di leher! Rambutnya pun memutih!
Hendri tak bisa lagi menahan kencingnya. Celananya basah dan menetes
ke lantai. Ketakutannya sudah merayap ke puncak. Kakinya gemetar.
Tubuhnya terpaksa disandarkan ke dinding kalau tak mau jatuh.
"Orang lain siapa?" tanya sang Tuan.
"Ya. Orang lain, Tuan. Aku akan melakukannya secepatnya. Kau mau
siapa? Anakku? Cucuku?"
Sang Tuan tertawa. "Tidak! Aku mau dia!"
"Gimana membunuhnya, Tuan? Nanti aku ditangkap polisi."
"Aku akan membantumu supaya nggak ketahuan!"
"Pakai apa, Tuan? Racun?"
"Goblok! Ambil pisau sana! Aku ingin yang berdarah-darah!"
"Tapi...," Rama tersedu-sedu.
"Kalau kau nggak mau, kuambil lagi semuanya. Termasuk nyawamu!"
Sambil tersedu-sedu Rama berdiri. Penampilan fisiknya sudah berubah
menjadi muda kembali.
Hendri sudah berhasil menggerakkan kedua kakinya. Tertatih-tatih ia
kembali ke kamarnya. Larinya sempoyongan. Tapi ia tidak terus berlari
495
kedua lutut menekan lengan Ratna hingga wanita itu tak bisa bergerak.
Mata Ratna melotot sampai mau melompat keluar. Wajahnya mengernyit
kesakitan. Lalu tiba-tiba wajah itu berubah penuh kerut-merut dan
rambutnya putih semua! Ia kembali ke asal!
Meskipun terkejut oleh perubahan itu, Hendri tidak melepaskan
tekanannya. Tadi ia sempat melihat sedikit perubahan itu hingga tak lagi
kehilangan akal sehatnya. Tetapi perubahan fisik Ratna ternyata diikuti
pula dengan perubahan tenaga. Ratna kembali menjadi perempuan
berusia tujuh puluh, baik fisik maupun tenaganya. Sudah tentu ia bukan
tandingan lelaki muda bertubuh tegap seperti Hendri. Biarpun demikian,
Hendri tidak berani melonggarkan impitan maupun cekikannya. Ia
khawatir apa yang tampak dan terasa itu cuma tipuan.
Tak lama kemudian tubuh Ratna lunglai. Tak ada lagi perlawanan sedikit
pun. Apakah dia sudah mati? Hendri tak merasa perlu untuk memeriksa
lebih cermat. Ia juga tak punya kebanggaan karena bisa memenangi
pertempuran dengan seorang nenek! Ia harus kabur secepatnya. Setelah
meraih tasnya, ia segera teringat kepada tas hitam milik Ratna.
Alangkah sayangnya kalau ditinggalkan. Hendri melangkahi tubuh Ratna
lalu bergegas ke lemari, mengambil tas hitam itu, lalu memasukkannya
ke dalam tasnya sendiri.
Saat Hendri melakukan hal itu, sepasang mata Ratna bergerak
mengikuti gerak-geriknya! Ia belum mati! Tiba-tiba darah Rama
bergolak oleh emosi yang meningkat ketika mengetahui Hendri
mengambil tas kesayangannya. Emosi itu memberinya kekuatan besar.
Dengan teriakan penuh amarah ia melompat
496
berdiri, meraih pisau yang tergeletak di lantai, lalu menyerang Hendri!
Gerakannya cepat sekali.
Hendri terkejut dan terkesiap. Ia tak punya waktu untuk menangkis
serangan. Pisau menancap di dadanya! Ia menjerit kesakitan. Tasnya
terlepas, jatuh ke lantai. Rama menubruk tas itu lalu memeluknya erat-
erat. Dengan tenaga yang tersisa, Hendri memukul Rama. Sementara itu
darah terus mengalir deras dari dadanya. Rama jatuh terjerembap tapi
tak melepaskan pelukannya pada tas milik Hendri karena tas hitam
miliknya ada di dalamnya.
Hendri menendang Rama lalu berusaha menarik tasnya. Berkali-kali
tendangannya mampir ke tubuh Rama. Tak cukup menendang, ia pun
memukuli kepala Rama. Perempuan itu menelungkup tak bergerak.
Hendri tak memedulikan lukanya yang terus mengucurkan darah. Ia
seperti melupakan rasa sakit dan darahnya yang hilang karena bertekad
mendapatkan tasnya.
Putus asa Hendri menarik tangan Ratna yang mencengkeram tas, lalu
membengkokkan dan mematahkan tangan itu! Ia juga tak henti-henti
menendangi tubuh Rama sementara darah dari lukanya bergumpal-
gumpal keluar dan membasahi tubuh Rama. Wajah Hendri sudah kelabu.
Tubuhnya mulai lemas. Pandangannya berkunang-kunang. Tetapi dengan
segala upaya ia tetap tak berhasil melepaskan tas dari cengkeraman
Rama. Padahal Ratna sudah kehilangan nyawa!
Tiba-tiba terdengar bunyi tawa mencemooh. Hendri mengenali suara itu.
Tadi ia mendengarnya di dapur.
"Ha-ha-ha! Percuma, Hendri! Percuma! Kau akan mati bersama
kekasihmu si nenek!" ejek sang Tuan.
Hendri tertegun. Ia segera menyadari kondisinya.
497
Baru terasa sakit dan lemasnya. Ia terhuyung-huyung mau jatuh lalu
cepat-cepat duduk di tempat tidur. Ia kehilangan akal. Pikirannya sudah
tak jernih. Tatapannya masih tertuju pada sosok Ratna yang
membungkuk dengan memeluk tas. Posisi yang aneh. Tatapan Hendri
masih menampakkan dambaan kepada tasnya.
"Apa kau mau selamat, Hendri?" tanya sang Tuan.
Hendri mengangkat kepala lalu menatap ke arah suara.
"Mau!" sahutnya lemah.
"Kau bisa selamat dan mendapatkan kembali tasmu! Pisau akan lepas dari
dadamu dan lukamu sembuh dalam sekejap!"
"Mau!" seru Hendri bergairah.
Ratna. Tetapi dalam waktu singkat rumah Ratna terbakar habis tanpa
menjalar ke mana-mana! Rumah itu seperti api unggun yang terbakar di
satu tempat saja, lalu semakin mengecil dan kemudian padam setelah
kayunya habis. Kepanikan yang begitu luar biasa berubah menjadi
keheranan dan rasa takjub yang menyebabkan orang-orang bengong dan
bingung. Pemadam kebakaran yang datang seperempat jam kemudian
hanya menemukan puing teronggok dan kesibukan warga yang kembali
memasukkan barang-barang ke dalam rumah setelah tadinya dikeluarkan
dengan tergesa-gesa. Mereka gembira karena rumah itu selamat.
499
Setelah kehebohan berlalu, muncul kehebohan berikutnya. Warga
sekitar baru teringat akan penghuni rumah yang terbakar itu. Ke mana
mereka? Apakah mereka sempat keluar menyelamatkan diri ataukah
menjadi korban?
Setelah dilakukan pencarian intensif, di bawah puing-puing ditemukan
kerangka yang hangus. Kerangka dan tulang belulang yang ditemukan itu
sebegitu hangusnya hingga sentuhan beberapa kali membuatnya hancur
menjadi abu! Dengan demikian sulit untuk memastikan apakah tulang-
tulang itu berasal dari satu orang atau dua orang. Perlu pemeriksaan
yang lebih detail untuk itu. Bisa disimpulkan bahwa korban merupakan
penghuni rumah karena tidak ada tetangga yang melihat satu atau
keduanya berada di luar rumah dalam keadaan selamat. Kalau hanya
salah satu yang selamat, pasti dia akan berlari keluar untuk minta
pertolongan.
Sementara itu Hendri tidak bisa mencapai rumah sakit dalam keadaan
hidup. Ia meninggal dalam perjalanan karena kehabisan darah. Tidak ada
warga sekitar yang mengenalinya atau pernah melihatnya berada di
rumah Ratna. Wajahnya telah banyak berubah karena trauma yang
menerpanya. Untunglah dari dalam saku jaketnya ditemukan dompetnya.
Di sim ada identitasnya sebagai warga Jakarta!
500
BAB 47
"Aneh ya, Ma. Kenapa aku nggak merasa sedih dan kehilangan? Kenapa
aku malah lega karena terlepas dari beban? Padahal bagaimanapun dia
kan ibuku," kata Rama dengan perasaan bersalah.
"Ya. Aku juga begitu."
"Kau masih mending. Kau hanya menantu. Tapi aku kan anak kandung,
Ma."
"Kau bisa berbagi perasaan dengan saudara-saudara yang lain."
"Itu pasti. Ngomong-ngomong tentang kebakaran itu, aku curiga jangan-
jangan ada yang jahat, Ma. Siapa tahu ada yang berniat merampok,
mentang-
503
mentang mereka hanya berduaan. Mama kan punya sedikit harta."
"Maksudmu, mereka dibunuh lalu dibakar untuk menghilangkan jejak?"
"Ya."
"Tapi itu nggak mungkin, Pa!" "Nggak mungkin gimana?"
"Mama kan punya ilmu. Siapa yang bisa mengalahkannya?"
"Oh iya." Rama tertegun sejenak. Ia sempat melupakan hal itu. "Ah, aku
jadi bingung, Ma."
"Jangan-jangan..." Maya tak melanjutkan ucapannya. Ia tampak takut.
"Jangan-jangan apa?"
"Takut ah ngomongnya."
"Ayolah, kenapa mesti takut? Mama kan sudah nggak ada."
"Justru itu. Bagaimana kalau yang tewas terbakar itu Bi Ipah, bukan
dia?"
"Lantas dia ke mana?"
"Dia pergi. Muncul-muncul berganti rupa."
"Ah masa? Jadi menurutmu dia yang membakar Bi Ipah? Tapi mana
mungkin dia pergi sendirian? Dia kan memerlukan kita. Dan kalau dia
sampai berganti rupa lagi, kita punya alasan untuk tidak mengakuinya."
"Siapa tahu... Ah, sudahlah, Pa. Kita nggak tahu apa-apa. Cuma berandai-
andai saja. Jadi takut sendiri. Sudah, ah. Mendingan kita bicara dengan
saudara-saudara."
Hanya Donna yang berani meminta maaf. Diingatkan hal itu mereka jadi
malu.
"Aku kira, Delia harus diberitahu mengenai kejadian ini," kata Mila.
"Tentu saja. Kita semua berutang maaf kepadanya," Ridwan
membenarkan.
"Sebaiknya Donna saja yang memberitahu. Hanya dia yang akrab dengan
Del. Kayaknya dia punya nomor telepon Del di Jakarta," kata Mila.
***
Yasmin mendapat berita Kematian Hendri lewat telepon. Ia
menyampaikannya kepada Delia lalu kepada Erwin. Lewat telepon Erwin
mengajaknya bersama-sama ke Bandung mengurus jenazah Hendri hari
itu juga. Sementara Kosmas tak bisa ikut karena harus menjaga
motelnya. Delia memutuskan untuk ikut. Winata mendukung Kepergian
mereka.
Belum sempat mereka berangkat, telepon berdering. Dari Kosmas untuk
Delia.
"Del, ada telepon dari Bandung. Dari Donna. Supaya jelas, kusuruh dia
langsung menghubungi rumah Yasmin. Sudah ya. Tunggulah. Sebentar
lagi dia nelepon."
Segera setelah Delia menutup telepon dari Kosmas, telepon kembali
berdering. Kali ini dari Donna.
"Ada apa, Don?"
"Aku disuruh Mama, Tante. Jadi ngomongnya terang-terangan. Ada
berita besar."
Cerita Donna mengalir lancar. Delia terkejut hingga tanpa terasa ia
memekik. Yasmin dan Erwin mendekati dengan khawatir.
"Baiklah, Don. Sudah jelas. Kebetulan sekarang
506
juga aku mau berangkat ke Bandung sama teman-teman. Nanti aku
mampir," kata Delia menutup telepon.
Erwin dan Yasmin sangat terkejut mendengar berita yang disampaikan
Donna.
"Mungkinkah ada hubungannya dengan Hendri?" tanya Yasmin.
"Kayaknya ada. Bukankah menurut perkiraan Hendri berada di rumah
Ratna?"
"Oh, jangan-jangan ada hubungannya dengan jimat yang kita ganti itu!"
Yasmin mulai menangis. Ia merasa bersalah.
"Tapi bagaimana dia bisa menyebabkan kebakaran kalau dia sendiri luka
parah? Lantas siapa yang menusuknya? Mama? Bukankah Mama punya
ilmu?"
"Itulah yang kami pertanyakan. Bagaimana Mama yang sudah jelas punya
ilmu bisa membiarkan dirinya mati terbakar?"
"Berantem sama pacarnya," Donna menyimpulkan.
"Kenapa kau menyangka begitu?" tanya Delia.
"Ketusuknya kan di bagian depan. Di dada. Itu berarti ada perkelahian
sebelumnya. Kalau tusukannya dari belakang berarti dia nggak siaga,"
sahut Donna.
"Tapi kenapa harus berkelahi?" tanya Mila.
"Mungkin si pacar mau merebut perhiasan Nenek," sahut Donna ringan.
"Apakah ada barang Mama yang ditemukan pada korban penusukan itu?"
tanya Delia.
"Katanya dia nggak bawa apa-apa saat ditemukan. Entah di sakunya.
Perhiasan kan gampang dimasukkan ke dalam saku," jelas Ridwan.
"Ah, Mama nggak perlu menusuknya. Pakai saja ilmunya," Delia tidak bisa
menerima cerita itu.
"Ya. Memang sulit dicerna. Karena itu kami juga nggak berani
menyampaikannya kepada polisi. Bahkan
514
Rama juga nggak mau memberitahu bahwa dia melihat bercak darah di
halaman. Takut jadi macam-macam nanti. Bagaimana kalau polisi terus
mengorek? Bisa ketahuan dong siapa sesungguhnya Mama itu."
Delia mengangguk dengan perasaan lega. Bila Hendri bisa dipisahkan
dari kasus terbakarnya rumah Ratna, maka Yasmin tidak perlu terbawa-
bawa.
"Lantas kalian mengakui Mama sebagai apa?" Delia ingin tahu.
"Sebagai bibi," jawab Ridwan malu. "Habis mau gimana, Del? Warga di
situ kan sudah melihat penampilan Mama. Dia terlalu muda untuk jadi
ibu kami."
"Ya. Memang nggak ada jalan lain," Delia memahami.
"Ketika masih hidup dia memang tidak ingin kami memanggilnya Mama di
depan orang lain. Anak-anak juga dilarang memanggil Nenek," kata
Ridwan.
"Oh ya, Del, kami juga ingin mengucapkan terima kasih atas bantuanmu
membimbing Donna hingga dia bisa lepas dari jerat Mama," kata Mila.
"Im sudah kewajibanku. Aku senang bisa membantu Donna. Bukankah
kita saling membantu ya, Don?" tanya Delia.
Donna tersenyum lalu menggelendot manja pada Delia. Satu tangan
merangkul bahunya.
"Ceritakan tentang dirimu, Del. Apa yang kauker-jakan di Jakarta?"
tanya Mila.
Tanpa ragu-ragu Delia memaparkan rencananya. Para pendengarnya
menyambut dengan antusias.
"Selamat, Del! Kami sungguh senang kau tak sendiri lagi. Selama ini kau
mendapat perlakuan sangat tak adil dari Mama dan tak ada seorang pun
dari kami yang membantu," kata Ridwan dengan sesal.
515
"Sudahlah. Nggak apa-apa. Aku kan tahu betul kesulitan kalian."
Mereka masih sempat membicarakan banyak hal sampai Erwin dan
Yasmin datang menjemput. Delia mengenalkan mereka sebagai teman-
temannya di Jakarta.
"Kebetulan mereka ada urusan ke sini. Jadi aku bisa sekalian ikut."
Keterangan Delia itu memang ada benarnya.
Dari rumah Ridwan mereka mencari hotel untuk menginap malam itu.
Yasmin mengirim berita kepada ayahnya mengenai Hendri. Ia minta
Aryo mengabari kerabat Hendri perihal peristiwa yang menimpanya lalu
mempersiapkan pemakamannya esok hari. Ia akan kembali ke Jakarta
dengan membawa jenazah Hendri.
Esok paginya mereka ke Jalan Angsana untuk melihat lokasi kejadian.
Memang tak sulit menemukannya. Cari saja rumah yang sudah jadi puing.
Masih banyak orang di sana yang datang ingin melihat-lihat.
Kedengarannya cerita sudah berkembang menjadi isu yang aneh-aneh.
Ada yang mengatakan rumah itu dihuni oleh hantu api karena dulunya
tahu orang yang ditakutinya sudah tidak ada. Hati-hatilah, Ram. Orang
sangat menyukai cerita-cerita seperti itu. Apalagi peristiwanya baru
terjadi."
Di sana diam sejenak. Ketika Rama bicara lagi, nada suaranya tak lagi
bersemangat seperti tadi.
"Kau benar sekali, Del. Saking kepengen tahu kami nggak mikir ke situ."
"Aku pikir, dia tidak akan bercerita seperti yang kalian inginkan. Pasti
Mama sudah berpesan padanya agar tidak cerita apa-apa tentang
dirinya. Aku hampir yakin akan hal itu. Karena Ipah mau berjanji maka
dia diizinkan keluar. Mana mungkin Mama mau begitu saja membiarkan
dia pergi dengan membawa rahasianya? Kita tidak pernah tahu isi hati
dan
519
kepala Ipah. Mungkin saja dia kelihatan lugu dan sudah tua pula, tapi
siapa yang tahu apa yang bisa dilakukannya? Jadi sebaiknya jangan
berhubungan dengan Ipah lagi. Dia sudah tenang di kampungnya."
"Terima kasih, Del. Pemikiranmu itu berharga sekali."
"Aku juga berterima kasih karena diberitahu."
Delia menyampaikan berita yang didengarnya itu kepada rekan-
rekannya.
"Aku bersyukur Ratna terbakar sendirian," kata Yasmin.
Erwin membenarkan.
"Aku salut dengan pemikiranmu, Del," puji Kosmas. "Kau memberi
masukan yang berharga sekali buat mereka."
"Sebenarnya aku juga ingin melindungi Hendri," Delia mengakui. "Kalau
Ipah disuruh jadi saksi, bisa repot, kan? Selanjutnya bisa menyusahkan
Yasmin."
Yasmin memeluk Delia dengan perasaan bersyukur.
"Mudah-mudahan saja Rama mengikuti saranku. Kita belum tahu
bagaimana Keputusannya meskipun dia bilang saranku bagus. Saudaranya
banyak. Masing-masing punya keinginan sendiri," Delia melanjutkan.
Tapi Delia mendapat berita selanjutnya dari Rama sehari setelannya.
TAMAT