Internship
Internship
Oleh :
dr. Nafila
Dokter Pendamping :
dr. Benny
1. LATAR BELAKANG
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah upaya untuk memberikan
pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga,
kelompok dan masyarakat, dengan membukajalur komunikasi, memberikan
informasi dan melakukan edukasi, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan
perilaku dalam mengenali dan mengatasi masalahnya sendiri, terutamadalam
tatanan masing-masing, dan masyarakat dapat menerapkan cara-cara hidupsehat
dengan menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
PHBS perlu dilakukan di lingkungan sekolah dengan tujuan agar siswa,
guru, penjaga sekolah, petugas kantin sekolah, orangtua siswadan lain-lain
terlindungi dari berbagai gangguan dan ancaman penyakit, sekolah menjadi bersih
dan sehat sehingga meningkatkan semangat proses belajar-mengajar dan akhirnya
meningkatkan prestasi belajar siswa. Institusi pendidikan dipandang sebagai
sebuah tempat yang strategis untuk mempromosikan kesehatan sekolah juga
merupakan institusi yang efektif untuk mewujudkan pendidikan kesehatan, dimana
peserta didik dapat diajarkan tentang maksud perilaku sehat dan tidak sehat serta
konsekuensinya [Sarafino (Smet,1994)]. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di
Sekolah (PHBS) memiliki 14 indikator, yaitu sebagai berikut :
1. Memelihara rambut agar bersih dan rapih
2. Memakai pakaian bersih dan rapih
3. Memelihara kuku agar selalu pendek dan bersih
4. Memakai sepatu bersih dan rapih
5. Berolahraga teratur dan terukur
6. Tidak merokok di sekolah
7. Tidak menggunakan NAPZA
8. Memberantas jentik nyamuk
9. Menggunakan jamban yang bersih dan sehat
10. Menggunakan air bersih
11. Mencuci tangan dengan air mengalir dan memakai sabun
12. Mebuang sampah ke tempat sampah terpilah
13. Mengkonsumsi jajanan sehat di kantin sekolah
14. Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap bulan
Salah satu PHBS di sekolah adalah mencuci tangan dengan air bersih yang
mengalir dan memakai sabun. Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu
tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari-jemari menggunakan air
bersih yang mengalir dan sabun untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai
kuman. Mencuci tangan dengan sabun dikenal juga sebagai salah satu upaya
pencegahan penyakit. Hal ini dilakukan karena tangan seringkali menjadi agen
yang membawa kuman dan menyebabkan pathogen berpindah dari satu orang ke
orang lain, baik dengan kontak langsung ataupun kontak tidak langsung. Kerap
kali ketika tangan terlihat kotor setelah memegang benda yang kotor, kuku tampak
hitam, noda menempel, berdebu, barulah mencuci tangan untuk
membersihkannya. Padahal tangan yang terlihat bersih belumlah sebuah jaminan
tidak kotor atau terbebas dari kuman.
Hampir semua orang mengerti pentingnya cuci tangan dengan sabun namun
tidak membiasakan diri untuk melakukannya dengan benar pada saat yang penting.
Mencuci tangan dengan sabun dilakukan pada lima waktu penting : sebelum
makan, sesudah makan, sesudah buang air, setelah bermain dan sebelum tidur.
Kebanyakan orang tidak membiasakan diri untuk selalu mencuci tangan setelah
atau sebelum beraktivitas. Padahal disaat beraktivitas kita memegang sesuatu
benda di sekitar kita, dimana kuman menempel dan bisa masuk dalam tubuh. Tidak
terhitung berapa jumlah kuman yang ikut dan secara tidak sengaja masuk ke dalam
tubuh bersamaan dengan makanan yang kita makan. Kuman yang telah masuk ke
dalam tubuh tentu saja akan menimbulkan berbagai penyakit
Usia sekolah (termasuk kelompok usia dini) merupakan masa keemasan
untuk menanamkan nilai-nilai PHBS dan berpotensi sebagai agent ofchange untuk
mempromosikan PHBS baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat.
Oleh karena itu, kami melihat pentingnya dilakukan penyuluhan PHBS di sekolah
dimulai dengan membiasakan mencuci tangan dalam kehidupan sehari-hari.
2. PERMASALAHAN DI MASYARAKAT
Sekolah sebagai salah satu sasaran PHBS di tatanan institusi pendidikan
perlu mendapatkan perhatian mengingat usia sekolah bagi anak juga merupakan
masa rawan terserang berbagai penyakit serta munculnya berbagai penyakit yang
sering menyerang anak usia sekolah (usia 6-10), misalnya diare, kecacingan dan
anemia.
Berdasarkan data WHO (2007) menyebut bahwa setiap tahun 100.000 anak
Indonesia meninggal akibat diare (www.dinkes.jabar.go.id), angka kejadian
kecacingan mencapai angka 40-60% (Depkes, 2005), anemia pada anak sekolah
23,2% (YKB, 2007) dan masalah karies dan periodontal 74,4%(SKRT, 2001).
Tingginya angka kejadian penyakit sangat ditentukan oleh peran
masyarakat dalam menjaga kebersihan diri dan lingkungannya. Masih rendahnya
kesadaran sebagian generasi muda untuk menerapkan PHBS dalam lingkungan
sekolah merupakan masalah yang harus diselesaikan. Oleh karena itu, peran serta
pihak puskesmas dan pemerintah setempat juga sangat dibutuhkan untuk
menggalakkan PHBS dalam lingkungan sekolah.
3. PEMILIHAN INTERVENSI
Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka kami
bermaksud mengadakan penyuluhan kesehatan dengan materi “Cuci Tangan”.
Adapun materi yang disampaikan pada penyuluhan ini diantaranya pengertian cuci
tangan, manfaat mencuci tangan, waktu mencuci tangan dan langkah-langkah
mencuci tangan, serta penyakit yang dapat dihindari jika kita mencuci tangan.
4. PELAKSANAAN
Penyuluhan kesehatan mengenai cara mencuci tangan 6 langkah ini
dilaksanakan pada hari Jumat, tanggal 12 Oktober 2018. Penyuluhan ini bertempat
di SDN 222 Batu Merah, Kab. Luwu Timur.
Penyuluhan ini dibawakan dengan penjelasan secara lisan disertai praktek
dengan lagu anak-anak tentang langkah-langkah mencuci tangan, sehingga mudah
diingat oleh anak-anak. Selama penyuluhan, pemateri menyampaikan informasi
mengenai pengertian cuci tangan, manfaat mencuci tangan, waktu mencuci tangan
dan langkah-langkah mencuci tangan. Kemudian di akhir sesi, pemateri memberi
kesempatan kepada para siswa dan siswi untuk bertanya seputar materi cuci tangan
6 langkah.
5. EVALUASI
Kesimpulan
Penyuluhan tentang cuci tangan 6 langkah ini pada anak sekolah sangat
penting diadakan guna meningkatkan kesadaran anak terhadap pentingnya mencuci
tangan yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari
Saran
1) Kegiatan penyuluhan cuci tangan 6 langkah sebaiknya dilakukan tidak hanya
di beberapa sekolah, jika perlu dilakukan di semua sekolah agar tercipta
kesadaran anak akan pentingnya menjaga kesehatan.
2) Penyuluhan ini tidak hanya dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, guru pun
dapat memberikan penyuluhan serupa agar anak senantiasa menjaga
kebersihan.
F.2. UPAYA KESEHATAN LINGKUNGAN
PENYULUHAN DIARE
I. LATAR BELAKANG
Diare masih merupakan masalah kesehatan utama pada anak terutama balita
di negara berkembang karena angka kesakitan dan kematiannya masih tinggi.
Sekitar 80% kematian karena diare terjadi pada anak di bawah 2 tahun. Menurut
data World Health Organization (WHO), diare adalah penyebab nomor dua
kematian balita di seluruh dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor
dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Sementara UNICEF (Badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan anak) memperkirakan bahwa, setiap 30
detik ada satu anak yang meninggal dunia karena diare.
Secara global setiap tahunnya ada sekitar 2 miliar kasus diare dengan angka
kematian 1.5 juta pertahun. Pada negara berkembang, anak-anak usia dibawah 3
tahun rata-rata mengalami 3 episode diare pertahun. Setiap episodenya diare akan
menyebabkan kehilangan nutrisi yang dibutuhkan anak untuk tumbuh, sehingga
diare merupakan penyebab utama malnutrisi pada anak (WHO, 2009).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2007) yang dilakukan
oleh Kemenkes cq Badan Litbangkes pada tahun 2007, penyakit diare menjadi
penyebab utama kematian bayi (31,4 %) pada usia 29 hari-11bulan dan anak balita
usia 12-59 bulan (25,2 %). Pada tahun 2006 angka kesakitan diare 423 per 1.000
penduduk dan pada tahun 2010 angka kesakitan diare 411 per 1.000 penduduk.
Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen
Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada
tahun 2000 IR penyakit Diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374
/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010
menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering
terjadi, dengan CFR yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69
Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%).
Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang,
dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare
di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR
1,74 %.)
Berdasarkan data yang diperoleh dari bidang P2P Dinas Kesehatan Kota
Makassar 2007, jumlah penderita diare sebanyak 52.278 orang dan 14.493 atau
sebesar 28% diantaranya adalah balita. Secara keseluruhan dilaporkan 10 penyakit
diare yang meninggal dunia. Untuk penderita diare, masih menurut data hasil
surveilans, paling banyak diderita oleh wargaberusia antara 1-4 tahun atau yang
masih tergolong balita. Pada usia ini, jumlah penderita adalah sebanyak 7.379
orang. Data surveilans juga menyebutkan penderita diare dari warga Sulawesi
Selatan yang berusia 5-9 tahun mencapai 2.955, usia 10-14 tahun sebanyak 1.746
orang, usia 15-19 tahun sebanyak 1.467, usia 55-59 tahun sebanyak 856 orang, usia
60-69 tahun sebanyak 1.125 orang dan di atas 70 tahun sebanyak 554 orang.
Salah satu langkah dalam pencapaian target Millenium Development Goals/
MDG’s (Goal ke-4) adalah menurunkan kematian anak menjadi 2/3 bagian dari
tahun 1990 sampai pada 2015. Penyebab utama kematian akibat diare adalah tata
laksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk
menurunkan kematian karena diare perlu tata laksana yang cepat dan tepat
(Kemenkes, 2011).
Berbagai faktor mempengaruhi terjadinya kematian, malnutrisi, ataupun
kesembuhan pada pasien penderita diare. Pada balita, kejadian diare lebih
berbahaya dibanding pada orang dewasa dikarenakan komposisi tubuh balita yang
lebih banyak mengandung air dibanding dewasa. Jika terjadi diare, balita lebih
rentan mengalami dehidrasi dan komplikasi lainnya yang dapat merujuk pada
malnutrisi ataupun kematian.
Faktor ibu berperan sangat penting dalam kejadian diare pada balita. Ibu
adalah sosok yang paling dekat dengan balita. Jika balita terserang diare maka
tindakan-tindakan yang ibu ambil akan menentukan perjalanan penyakitnya.
Tindakan tersebut dipengaruhi berbagai hal, salah satunya adalah pengetahuan.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang (overt behavior). Pengetahuan ibu mengenai diare meliputi pengertian,
penyebab, gejala klinis, pencegahan, dan cara penanganan yang tepat dari penyakit
diare pada balita berperan penting dalam penurunan angka kematian dan
pencegahan kejadian diare serta malnutrisi pada anak.
V. EVALUASI
1. Evaluasi Proses
Peserta yang hadir kurang lebih 20 orang. Pelaksanaan penyuluhan berjalan
sebagaimana yang diharapkan dimana peserta memperhatikan materi yang
disampaikan dan sebagian besar peserta aktif melontarkan pertanyaan.
2. Evaluasi Hasil
Hampir sebagian besar peserta yang hadir telah memahami apa yang
dimaksudkan namun masih banyak yang belum memahami tentang hubungan
antara diare dengan hiegiene serta sanitasi lingkungan.
F.3. UPAYA KESEHATAN IBU DAN ANAK (KIA) SERTA KELUARGA
BERENCANA (KB)
PEMERIKSAAN ANTENATAL CARE BERKALA
I. LATAR BELAKANG
Pemeriksaan Antenatal Care (ANC) adalah pemeriksaan kehamilan
untuk mengoptimalkan kesehatan mental dan fisik ibu hamil sehingga mampu
menghadapi persalinan, kala nifas, persiapan pemberian ASI dan kembalinya
kesehatan reproduksi secara wajar. Kunjungan Antenatal Care (ANC) adalah
kunjungan ibu hamil ke bidan atau dokter sedini mungkin semenjak ia merasa
dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan/asuhan antenatal.
Pada setiap kunjungan Antenatal Care (ANC), petugas mengumpulkan dan
menganalisis data mengenai kondisi ibu melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik untuk mendapatkan diagnosis kehamilan intrauterine serta ada tidaknya
masalah atau komplikasi.
Tujuan ANC antara lain:
1. Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan
tumbuh kembang janin.
2. Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, maternal dan sosial
ibu dan bayi.
3. Mengenal secara dini adanya komplikasi yang mungkin terjadi selama
hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan
pembedahan.
4. Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat ibu
maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin.
5. Mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian ASI
Eksklusif.
6. Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi
agar dapat tumbuh kembang secara normal.
7. Menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan perinatal.
Kunjungan antenatal untuk pemantauan dan pengawasan
kesejahteraan ibu dan anak minimal empat kali selama kehamilan dalam
waktu sebagai berikut: sampai dengan kehamilan trimester pertama (<14
minggu) satu kali kunjungan, dan kehamilan trimester kedua (14-28
minggu) satu kali kunjungan dan kehamilan trimester ketiga (28-36 minggu
dan sesudah minggu ke-36) dua kali kunjungan.
Menurut Departemen Kesehatan RI (2002), pemeriksaan antenatal
dilakukan dengan standar pelayanan antenatal dimulai denga:
a. Anamnesis: meliputi identitas ibu hamil, riwayat kontrasepsi/KB,
kehamilan sebelumnya dan kehamilan sekarang.
b. Pemeriksaan umum: meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus
kebidanan.
c. Pemeriksaan laboratorium dilakukan hanya atas indikasi/diagnose
d. Pemberian obat-obatan, imunisasi Tetanus Toxoid (TT) dan tablet besi
(Fe)
e. Penyuluhan tentang gizi, kebersihan, olahraga, pekerjaan dan
perilaku sehari-hari, perawatan payudara dan air susu ibu, tanda-
tanda risiko, pentingnya pemeriksaan kehamilan dan imunisasi
selanjutnya, persalinan oleh tenaga terlatih, KB setelah melahirkan serta
pentingnya kunjungan pemeriksaan kehamilan ulang.
I. LATAR BELAKANG
Status gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan
antara kebutuhan dan masukan nutrisi atau zat gizi ( Beck, 2000). Bila kebutuhan
lebih besar dibanding masukan disebut status gizi kurang, bila kebutuhan
seimbang dengan masukan disebut status gizi seimbang, dan bila kebutuhan lebih
kecil dibanding masukan disebut status gizi lebih. Gangguan atau penyakit yang
disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara masukan zat gizi dan
kebutuhan tubuh disebut penyakit gangguan gizi atau nutritional disorders.
Namun keadaan gizi kurang (undernutrition/malnutrition) atau gizi lebih
(overnutrition), keduanya tidak selalu disebabkan oleh oleh masukan makanan
yang tidak cukup atau berlebihan. Keadaan demikian dapat juga terjadi karena
kelainan dalam tubuh sendiri seperti gangguan pencernaaan, absorpsi, utilisasi,
ekskresi, dan sebagainya (Pudjiadi, 2003).
Permasalahan gizi pada anak merupakan masalah gizi ganda yaitu
masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih (Dinas Kesehatan Provinsi Bali,
2008). Masalah gizi kurang sering luput dari penglihatan ataupun pengamatan
biasa serta seringkali tidak cepat dalam penanggulangannya, hal ini dapat
memunculkan masalah besar (BAPPENAS, 2006). Hasil Riskesdas 2010
menunjukan 40,6% penduduk mengkonsumsi makanan di bawah kebutuhan
minimal (kurang dari 70% dari Angka Kecukupan Gizi/AKG) yang dianjurkan.
Berdasarkan kelompok umur dijumpai 24,4% pada balita, dan 41,2% pada anak
usia sekolah (Riskesdas, 2010).
Penyebab masalah pada status gizi anak usia sekolah juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain ketersediaan bahan makanan, pola konsumsi dan pola
asuh. Perilaku dan kebiasaan orang tua dalam menyediakan makanan keluarga di
pengaruhi oleh faktor budaya, sehingga akan memengaruhi sikap suka tidak suka
seorang anak terhadap makanan. Pola makan anak juga dipengaruhi oleh media
masa dan lingkungan. Aktivitas yang tinggi pada anak membutuhkan intake
pangan dan gizi yang cukup dan berkualitas (Sudayasa, 2010). Penilaian status
gizi yang berkesinambungan sangat dibutuhkan untuk mendeteksi kejadian
masalah gizi lebih dini dan mengetahui kecenderungan pertumbuhan fisik
penduduk, guna dapat melakukan tindakan intervensi dan pencegahan masalah
gizi terutama pada balita.
IV. PELAKSANAAN
Kegiatan ini dilaksanakan di SDN 238 Mallaulu yang dirangkaikan dengan
pelatihan dokter cilik pada Selasa, 27 November 2018. Peserta penyuluhan
adalah anak kelas 4-6 yang hadir sebagai peserta pelatihan dokter cilik.
Pada kegiatan ini dilakukan penyuluhan mengenai gizi seimbang anak usia
sekolah.
V. EVALUASI
1. Evaluasi Struktur
Dokter bersama tim medis lainnya datang tepat waktu di SDN 238
Mallaulu.
2. Evaluasi Proses
Pelaksana kegiatan dilakukan satu kali oleh satu tim yang terdiri atas
satu dokter, kader-kader, satu staff pemegang program gizi. Kegiatan
penyuluhan dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh
Puskesmas Malili.
3. Evaluasi Hasil
a. Hampir sebagian besar peserta yang hadir telah memahami apa yang
dimaksud dengan gizi seimbang.
b. Dibutuhkan intervensi lebih lanjut terhadap anak yang mengalami gizi
kurang. Penting memberikan pemahaman terhadap orang tua untuk
meningkatkan asupan nutrisi bagi anak mereka demi tercapainya status
gizi normal.
c. Untuk mengatasi gizi kurang diperlukan perubahan sosial baik gaya
hidup, aktivitas fisik, perilaku makan dan penyiapan lingkungan yang
mendukung. Perubahan yang paling efektif dilakukan adalah sejak usia
dini salah satunya pada saat balita, melalui monitoring dan evaluasi hasil
penjaringan status gizi. Makanan dengan kandungan gizi seimbang cukup
energi dan zat gizi sesuai kebutuhan gizi anak sekolah sangat dianjurkan
karena berguna untuk perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.
Dukungan media massa dalam hal informasi asupan gizi seimbang, peran
kader untuk menumbuhkan kesadaran dan kemampuan dalam
memberikan edukasi tentang asupan gizi seimbang, serta keberpihakan
organisasi profesi dan asosiasi/lembaga lainnya dalam kegiatan terkait
dengan asupan gizi seimbang sebagai wujud nyata dukungan berbagai
pihak kepada pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan gizi
kurang.
F.5. PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR DAN
TIDAK MENULAR
KEGIATAN PENJARINGAN PENDERITA TINEA
I. LATAR BELAKANG
Tinea adalah dermatofitosis pada kulit manusia, dimana infeksi bias terjadi
di bagian mana saja dari tubuh manusia. Dermatofitosis sendiri adalah infeksi
jamur yang disebabkan oleh jamur dermatofita yaitu Epidermophyton,
Mycrosporum, dan Trycophyton
Menurut Berman (2011) tinea lebih sering mengenai pria daripada wanita
dengan perbandingan 3 banding 1, dan lebih sering terjadi pada dewasa.Faktor-
faktor yang menyebabkan Tinea antara lain: 1) Penggunaan antibiotik yang
mematikan kuman akan menyebabkan keseimbangan antara jamur dan bakteri
terganggu 2) Adanya penyakit DM dan atau kehamilan yang menimbulkan
suasana pertumbuhan jamur 3) Rangsangan setempat yang terus menerus pada
lokasi tertentu 4) Penyakit tertentu seperti gizi buruk, penyakit darah, keganasan,
DM, atau kehamilan.
Gambaran awal paling sering daripenderita Tinea adalah rasa gatal yang
hebat pada area tubuh yang terkena.Seluruh bagian tubuh dapat terkena, namun
yang paling sering adalah di bagian selangkangan (Tineacruris). Jika dilihat pada
area yang terkena akan terlihat area kemerahan berbentuk lonjong atau polisiklik,
batas yang tegas dengan area yang sembuh di bagian tengah (Central healing), dan
dapat disertai adanya vesikel dan krusta di atasnya.
Tinea biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau binatang
piaraan yang terinfeksi. Penyebaran juga dapat terjadi melalui benda pribadi
misalnya pakaian, perabot dan sebagainya.
II. PERMASALAHAN DI MASYARAKAT
Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan
menyerang 20-25% dan merupakan salah satu penyakit kulit paling sering. Di
Indonesia sendiri dengan kondisi geografis yang lembab, dermatofitosis
merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis, dan dermatofitosis merupakan
urutan nomor 2 dari seluruh penyakit kulit di Indonesia.
IV. PELAKSANAAN
Kegiatan ini dilakukan di Ruang Pemeriksaan Umum Puskesmas Malili
pada bulan September 2018- Januari 2019 dalam bentuk pengobatan umum.
Pada kegiatan ini semua pasien yang datang dengan penyakit Tinea diberikan
pengobatan Ketokonazole tablet 1x200 mg selama 10 hari, obat anti histamine,
serta edukasi tentang kebersihan badan dan pakaian untuk mencegah terjadinya
Tinea. Pada edukasi dilakukan penyampaian pentingnya sering mengganti
pakaian, terutama pakaian dalam, dan pentingnya menjaga kebersihan badan
sehari-hari.
V. EVALUASI
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan kami selama 3 bulan, didapatkan 17 pasien
dengan kasus Tinea
2. Dari anamnesis, sebagian besar pasien datang ke Ruang Pemeriksaan
Umum dengan keluhan gatal pada area selangkangan, dan memiliki
kebiasaan mandi dan ganti pakaian hanya 1 hari sekali dan memiliki
pekerjaan dengan banyak keringat.
F.6. UPAYA PENGOBATAN DASAR
PELAKSANAAN POLIKLINIK UMUM
DI PUSKESMAS MALILI
I. LATAR BELAKANG
Pembangunan kesehatan mempunyai visi “Indonesia sehat“, diantaranya
dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan oleh puskesmas dan rumah sakit.
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di satu atau
sebagian wilayah kecamatan.
Puskesmas sebagai upaya pelayanan kesehatan strata pertama meliputi
pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Salah satu
upaya kesehatan wajib dalam puskesmas berupa upaya pengobatan dasar yang
ditujukan kepada semua penduduk, tidak membedakan jenis kelamin dan golongan
umur.
Pengobatan merupakan suatu proses ilmiah yang dilakukan oleh dokter
berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh selama anamnesis dan pemeriksaan.
Dalam proses pengobatan terkandung keputusan ilmiah yang dilandasi oleh
pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan intervensi pengobatan yang
member manfaat maksimal dan resiko sekecil mungkin bagi pasien. Hal tersebut
dapat dicapai dengan melakukan pengobatan yang rasional.
Adapun tujuan pengobatan dasar ini adalah meningkatkan derajat kesehatan
perorangan dan masyarakat di Indonesia, yaitu terhentinya proses perjalanan
penyakit yang diderita oleh seseorang, berkurangnya penderitaan karena sakit,
mencegah dan berkurangnya kecacatan, serta merujuk penderita ke fasilitas
diagnosis dan pelayanan yang lebih canggih bila perlu.
II. PEMILIHAN INTERVENSI
Oleh karena latar belakang diatas, maka diperlukan suatu upaya anamnesis dan
pemeriksaan fisis secara menyeluruh dan teliti pada setiap pasien yang datang ke
poliklinik umum, serta pemeriksaan penunjang jika diperlukan.
III. PELAKSANAAN
Telah dilakukan kegiatan poliklinik umum di Puskesmas Malili selama
periode September 2018 - Januari2019. Pemeriksaan meliputi anamnesis tentang
gejalautama sepertidemam, nyeri kepala, batuk, sesak, mual muntah, nyeri ulu hati,
nyeri perut, nafsu makan menurun, buang air besar encer, gatal, serta keluhan
penyerta. Kemudian dilakukan anamnesis tentang riwayat penyakit, factor risiko,
riwayat keluarga, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Setelah anamnesis
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisis berupa inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi. Dan jika diperlukan, dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium.
IV. Evaluasi
Pada anamnesis, didapatkan keluhan terbanyak pasien yang dating berobat ke
poliklinik umum yaitu demam, batuk, beringus, kram-kram pada sendi tangan
dan kaki, nyeri kepala, dan nyeri ulu hati.
Dari anamnesis tersebut dengan keluhan kram-kram pada sendi tangan dan
kaki, paling banyak dengan diagnosis akhiratralgia/Gout artritis, keluhan nyeri
kepala paling banyak dengan diagnosis Hipertensi, serta keluhan demam, dan
batuk beringus paling banyak dengan diagnosis ISPA.
Pasien yang dirujuk kerumah sakit sebagian besar adalah pasien yang tidak
dapat ditangani di Puskesmas seperti tumor, katarak, dan trauma.
RANGKUMAN LAPORAN KEGIATAN UPAYA KESEHATAN
MASYARAKAT