Anda di halaman 1dari 109

UPAYA LINGKAR GANJA NUSANTARA (LGN)

SEBAGAI KELOMPOK KEPENTINGAN DALAM


MEMPERJUANGKAN PERUBAHAN UU NO. 35
TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:
Viku Paoki
11161120000007

PROGRAM STUDI ILMU POLTIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1443 H./2021 M.
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:

UPAYA LINGKAR GANJA NUSANTARA (LGN) SEBAGAI

KELOMPOK KEPENTINGAN DALAM MEMPERJUANGKAN

PERUBAHAN UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli

saya atau merupakan hasil jilpakan karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 25 November 2020

Viku Paoki

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini pembimbing skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : Viku Paoki

NIM : 1116112000007

Program Studi : Ilmu Politik

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

UPAYA LINGKAR GANJA NUSANTARA (LGN) SEBAGAI KELOMPOK


KEPENTINGAN DALAM MEMPERJUANGKAN PERUBAHAN UU NO.
35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Ciputat, 25 November 2020

Mengetahui, Mengetahui,

Ketua Program Studi Pembimbing

Dr. Iding Rosyidin, M.Si Dr. Haniah Hanafie, M.Si

NIP: 19701013 20050 1 1 003 NIP: 19610524 200003 2 002

iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI

SKRIPSI

UPAYA LINGKAR GANJA NUSANTARA (LGN) SEBAGAI KELOMPOK


KEPENTINGAN DALAM MEMPERJUANGKAN PERUBAHAN UU NO.
35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Oleh
Viku Paoki
11161120000007

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18
Januari 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.

Ketua, Sekretaris,

Dr. Iding Rosyidin, M. Si Suryani, M. Si


NIP. 19701013 200501 1 003 NIP. 19770424 200710 2 003

Penguji I, Penguji II,

Dr. Agus Nugraha, MA Khoirun Nisa, MA. Pol

NIP. 19680801 200003 1 001 NIP. 19850311 201801 2 001

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 18 Januari 2021

Ketua Program Studi

Dr. Iding Rosyidin, M. Si


NIP. 19701013 200501 1 003
iv
ABSTRAK

Skripsi ini membahas tentang upaya Lingkar Ganja Nusantara (LGN) sebagai
kelompok kepentingan dalam perubahan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika. Tujuan skripsi ini ialah untuk mendeskripsikan upaya LGN dalam
perubahan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan hambatan yang dialami
LGN dalam memperjuangkan kepentingannya. Dalam UU tersebut secara tegas
melarang penggunaan ganja untuk pelayanan medis. Namun pada tataran global,
ganja justru dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan. Menimbang manfaat medis
dari tanaman ganja menjadikan banyak negara melakukan reformasi kebijakan
narkotikanya. Menariknya, usaha untuk melegalisasi ganja juga hadir di
Indonesia. Gerakan tersebut dimulai oleh kelompok bernama Lingkar Ganja
Nusantara (LGN). LGN berupaya mendesak pemerintah untuk melakukan
perubahan terkait status hukum tanaman ganja di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan cara mengumpulkan
data dari empat narasumber yang kompeten di masing-masing bidangnya. Selain
itu data penelitian ini juga diperoleh dari sumber-sumber sekunder seperti jurnal,
artikel ilmiah dan berita. Dalam menganalisis masalah, penulis menggunakan teori
kelompok kepentingan Gabriel G. Almond untuk melihat saluran artikulasi yang
LGN gunakan dalam upaya mengubah UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Sedangkan untuk hambatan yang LGN alami menggunakan kerangka kerja sistem
politik David Easton.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa upaya LGN dalam perubahan UU
No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika belum dapat dikatakan berhasil sehingga
status hukum tanaman ganja masih tetap sama. Kegagalan tersebut lantaran LGN
mengalami serangkaian hambatan di antaranya kebijakan War on Drugs,
Indonesia menolak rekomendasi ganja dari WHO, tidak adanya perwakilan baik
di pemerintahan maupun parlemen dan ketidakpastian pelaksanaan riset ganja.

Kata Kunci: Kelompok Kepentingan, Narkotika, Tanaman Ganja, Medis

v
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Skripsi dengan judul “UPAYA LINGKAR GANJA NUSANTARA SEBAGAI

KELOMPOK KEPENTINGAN DALAM MEMPERJUANGKAN

PERUBAHAN UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA” disusun

dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

pada Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam proses pembuatan skripsi, tidak dapat dipungkiri bahwa penulis

mendapatkan banyak sekali bantuan baik berupa bimbingan, dukungan, serta

motivasi dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini izinkan penulis

mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A, selaku Rektor

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Ali Munhanif, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh staff dan

jajarannya.

3. Dr. Iding Rosyidin, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah.

vi
4. Suryani, M.Si. selaku Sekertaris Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah..

5. Anna Sabhana Azmy, M.Pol selaku dosen penasehat akademik yang telah

memberi arahan, bimbingan, masukan dan motivasi selama masa

perkuliahan.

6. Dr. Haniah Hanafie, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

memberi ilmu, masukan, kritik, bimbingan, motivasi serta meluangkan

waktu sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

7. Dr. Agus Nugraha, M.A dan Khoirun Nisa, MA.Pol selaku dosen penguji

skripsi yang telah memberi kritik dan saran agar skripsi ini dapat

dikembangkan lebih baik lagi.

8. Seluruh dosen pengajar Program Studi Ilmu Politik atas ilmu yang telah

diberikan.

9. Narasumber pada penelitian ini yakni Dhira Narayana (Ketua LGN),

Erasmus Napitupulu (Direktur Eksekutif ICJR), Ma’ruf Bajamal

(Pengacara Publik LBHM), dan Andrew Alvin Dias (Kepala Seksi

Konsultasi Hukum BNN-RI) yang telah bersedia memberi data, informasi,

dan meluangkan waktunya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan

dengan baik.

10. Kedua orang tua penulis, Bapak Sujarno dan Ibu karsih atas do’a yang

selalu dipanjatkan kepada Allah SWT, dukungan, kerja keras dan motivasi

bagi penulis untuk menyelesaikan penelitian skripsi. Skripsi ini merupakan

sebagian kecil dari perwujudan rasa cinta dan kasih sayang dari seorang

vii
anak. Tidak lupa juga untuk seluruh keluarga besar penulis.

11. Teman-teman Bahari, Afif, Aldi, Neni, Zahrota, Kia, Maragi, Burhan,

Dito, Ramadhan, Galvino, Dimas. Terima kasih atas catatan indah yang

telah sama-sama kita buat selama masa perkuliahan. Semoga kita menjadi

apa yang kita cita dan impikan.

12. Teman-teman Ilmu Politik A 2016, Akbar, Atul, Ica, Rudi dan lainnya

yang tidak dapat penulis sebut atas semua pengalaman selama proses

belajar di kelas.

13. Senior-senior, Reno, Reni, Daffa, Azizah, dan Edi atas ilmu dan

pengalaman yang diberikan.

14. Senior terbaik, Nabillah Aisyah Rumi. Terima kasih atas do’a dan

dukungannya yang diberikan selama ini.

15. Teman-teman Banzai, Ivo, Yoga, Rizky dan Mahesa. Terima kasih atas

energi positif yang selalu diberikan pada penulis.

16. Teman-teman Badminton Pondok Cabe, A Dapit, Rizky, Joko, Aqil,

Bagas, Alpin dan lainnya yang telah memastikan kebugaran raga penulis

dalam penyusunan skripsi ini.

17. Haikal dan Reza selaku sahabat penulis sedari SD. Terima kasih atas

dukungannya selama ini.

18. Seluruh teman-teman Taman Sari yang tidak dapat penulis sebut satu per

satu.

19. Teman-Teman KKN 73 Glorious, Shiro, Husen, Adam, Naufal, Pahrul,

Pandji, Arif, Ocha, Maura, Zahra, Nabilla, Wati, Indah, Lala, Nurul, Milla,

viii
Irma dan Rani. Terima kasih atas dukungan serta hubungan yang terjalin

baik selama maupun setelah KKN.

20. Seluruh Sahabat/i PMII Komfisip.

Berkat dukungan dari mereka semua maka penelitian ini dapat selesai dengan

baik. Dari hati yang paling dalam penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya, semoga Allah SWT memberi karunia-Nya serta membalas seluruh

kebaikan dan dukungan yang mereka beri. Meskipun demikian, penulis sadar jika

skripsi ini jauh dari kata sempurna sehingga perlu mendapat kritik, saran dan

penilaian bagi penulis agar menjadi lebih baik lagi.

Wassalamualaikum wr.wb

Ciputat, 25 November 2020

Viku Paoki

ix
DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ......................................................... ii


PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ..................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xii
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian ...................................................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................... 8
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 9
E. Metode Penelitian ......................................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan................................................................................. 155
BAB II KERANGKA TEORI ............................................................................ 16
A. Strategi Politik .............................................................................................. 16
B. Teori Sistem Politik ...................................................................................... 18
B.1. Pengertian Sistem Politik ........................................................................ 18
B.2. Kerangka Kerja Sistem Politik ................................................................ 20
C. Kelompok Kepentingan ................................................................................ 24
C.1. Pengertian Kelompok Kepentingan ......................................................... 24
C.2. Jenis Kelompok Kepentingan .................................................................. 26
C.3. Saluran Artikulasi Kepentingan .............................................................. 28
C.4. Sifat dari Kelompok Kepentingan ........................................................... 30
C.5. Strategi Kelompok Kepentingan ............................................................. 30
BAB III PROFIL LGN DAN GAMBARAN UMUM GANJA DI INDONESIA
............................................................................................................................... 33

x
A. Profil Lingkar Ganja Nusantara (LGN) ........................................................ 33
A.1 Sejarah LGN ............................................................................................. 33
A.2 Struktur Organisasi LGN ......................................................................... 34
A.3 Visi, Misi dan Program Kerja LGN ......................................................... 36
B. Rekam Jejak Penggunaan Ganja di Indonesia .............................................. 38
C. Regulasi Narkotika di Indonesia ................................................................... 40
C.1. Pra Kemerdekaan..................................................................................... 40
C.2 Pasca Kemerdekaan .................................................................................. 41
C.3. Pasca Reformasi ...................................................................................... 42
BAB IV UPAYA LGN SEBAGAI KELOMPOK KEPENTINGAN DALAM
PERUBAHAN UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA .......... 44
A. LGN Sebagai Kelompok Kepentingan ......................................................... 44
B. Upaya Penyaluran Kepentingan LGN .......................................................... 45
B.1. Demonstrasi ......................................................................................... 477
B.1.1 Pembentukan Opini Publik Lewat Demonstrasi Global Marijuana
March.......................................................................................................... 47
B.2 Lobi ......................................................................................................... 52
B.2.1 Lobi Kepada BNN dan Kemenkes .................................................... 52
B.3. Institusi Formal ...................................................................................... 57
B.3.1. Mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi .................. 58
C. Hambatan LGN Dalam Upaya Perubahan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika. .......................................................................................................... 65
C.1. Kampanye War on Drugs ...................................................................... 66
C.2. Indonesia Menolak Rekomendasi Ganja Medis WHO .......................... 72
C.3. LGN Tidak Memiliki Wakil di Pemerintah Maupun Parlemen ........... 777
C.4. Ketidakpastian Pelaksanaan Riset Ganja ............................................. 822
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 87
A. Kesimpulan ................................................................................................. 877
B. Saran ........................................................................................................... 888
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 889

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1. Kerangka Kerja Sistem Politik David Easton............................ 20

Gambar III.1. Struktur Organisasi LGN .......................................................... 34

Gambar III.2. Logo LGN ................................................................................. 36

Gambar IV.1. Tahapan Agenda Setting ........................................................... 48

Gambar IV.2. Global Marijuana March ........................................................... 49

Gambar IV.3. LGN Melobi BNN .................................................................... 53

Gambar IV.4. Drugs Policy Spectrum ............................................................. 70

xii
DAFTAR SINGKATAN

Bakolak : Badan Kordinasi

BKNN : Badan Koordinasi Narkotika Nasional

BNN : Badan Narkotika Nasional

CBC : Cannabichromes

CBD : Cannabidiol

CBG : Cannabigerol

DLG : Dukung Legalisasi Ganja

DPR-RI : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

GAM : Gerakan Aceh Merdeka

GMM : Global Marijuana March

ICJR : Institute for Criminal Justice Reform

IJRS : Indonesian Judicial Research Society

INCB : International Narcotics Control Board

Inpres : Instruksi Presiden

Kemenkes : Kementerian Kesehatan

Kemenlu : Kementerian Luar Negeri

LBHM : Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

LGN : Lingkar Ganja Nusantara

MK : Mahkamah Konstitusi

Narkotika : Narkoba dan Psikotropika

NGO : Non Government Organization

PBB : Perserikatan Bangsa Bangsa

PKS : Partai Keadilan Sejahtera

xiii
Polri : Polisi Republik Indonesia

PP : Peraturan Pemerintah

RUU : Rancangan Undang-Undang

THC : Tetrahydrocannabinol

UU : Undang-Undang

UUD 1945 : Undang-Undang Dasar 1945

WHO : World Health Organization

Kementan : Kementerian Pertanian

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ganja adalah tanaman yang menyandang status ilegal di Indonesia, terbukti

dengan dilarangnya berbagai kegiatan mulai dari menanam hingga konsumsi dari

tanaman tersebut. Ganja dikategorikan ke dalam golongan 1 UU No. 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika. Menurut Pasal 8 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,

golongan 1 secara tegas dilarang penggunaannya untuk kepentingan medis. Selain

ganja, golongan 1 juga meliputi opium, kokain, heroin, amfetamin dan lain-lain.

Selain mengulas tentang status hukum ganja, UU tersebut juga menjelaskan

sanksi pidana bagi para penyalahgunaan narkotika khususnya ganja. Adapun

ketentuan tersebut tertuang pada Pasal 111 ayat 1 UU Narkotika No 35 Tahun 2009

yang menyatakan pelaku pidana narkotika golongan 1 dikenai sanksi pidana

minimal 4 tahun dan maksimal selama 12 tahun.1

Regulasi pelarangan tanaman ganja di Indonesia didasarkan pada United

Nation Single Convention on Narcotic and Drugs 1961 yang diselenggarakan di

New York, Amerika Serikat. Konvensi tersebut dihadiri oleh negara yang

tergabung dalam World Health Organization (WHO) dan sebagian besar negara

tersebut tunduk pada konvensi tersebut, termasuk di dalamnya Indonesia yang baru

meratifikasi pada tahun 1976.2

1
UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
2
Tim LGN, Sekarang Aku, Besok Kamu!, (Tangerang Selatan: Lingkar Ganja Nusantara, 2014),
hlm 29.

1
Meski sudah diregulasi dengan ketat, ganja tetap menjadi barang yang dicari-

cari oleh penggunanya. Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), sejak

diberlakukannya UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika negara telah

memenjarakan 37.923 kasus kepemilikan ganja hingga tahun 2012. Sehingga jika

dikalkulasikan artinya terdapat 26 orang yang dipenjara setiap harinya karena

kepemilikan ganja.3

Di Indonesia, ganja menjadi jenis narkotika favorit karena efek yang dihasilkan

cenderung ringan dan harganya relatif murah. Tercatat pada tahun 2017 pengguna

ganja mencapai 3.212.000, 2.430.000 di antaranya berjenis kelamin laki-laki dan

782.000 lainnya adalah perempuan. Pemaparan data di atas menunjukan bahwa

ganja berada pada peringkat pertama, dengan rasio 65,9% dari keseluruhan

pengguna narkotika di Indonesia.4

Menurut penelitian Dania Putri dan Tom Blickman, dengan merujuk UU No.

35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, seluruh narkotika golongan 1 dianggap

memiliki efek adiksi yang tinggi sehingga tidak ada toleransi bagi penggunaannya.

Hal tersebut dikenal dengan istilah zero tolerance. Sebagai contoh efek adiksi dari

ganja sama dengan opium dan kokain. Oleh sebab itu, Indonesia secara tegas

melarang penggunaan ganja karena dianggap berbahaya.5

Terkait status hukum tanaman ganja, lembaga kesehatan dunia WHO memiliki

pandangan yang berseberangan dengan Indonesia. Pada 4-7 Juni 2018 WHO

3
Tim LGN, Sekarang Aku, Besok Kamu, hlm 21.
4
BNN, “Indonesia: Narkoba dalam Angka tahun 2017”, Jurnal Data Puslitdarin, (2018), hlm
32.
Dania Putri dan Tom Blickman, “Ganja di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi dan
5

Kebijakan,” Drug Policy Briefing No.44 (Januari 2015), hlm 12.

2
menggelar sebuah pertemuan untuk meninjau ulang manfaat dan serangkaian

masalah lainnya dari ganja. Sidang tersebut menghasilkan sebuah keputusan

penting bahwa ganja adalah obat yang aman untuk dikonsumsi.6

Pertemuan terkait regulasi ganja yang diselenggarakan WHO kembali digelar

lima bulan berikutnya. Penelitian tahap akhir pada kandungan ganja yang meliputi

resin, THC dan CBD yang membuahkan hasil yang positif. Lembaga narkotika dari

beberapa negara seperti International Drug Policy Consortium (Inggris),

D’Ambrosio Medical Group (Amerika), asosiasi ganja medis di Jepang serta Drug

Policy Platform dari Brasil, mereka mendesak supaya ganja segera dihapuskan dari

golongan obat yang terlarang.7

Secara garis besar, ganja dapat dimanfaatkan untuk medis dan industri.

Penggunaan ganja untuk kepentingan medis sudah dikenal sejak berabad-abad

silam. Setelah diuji secara ilmiah, ternyata terdapat sebuah kandungan yang mampu

mengobati beberapa penyakit. Kandungan tersebut dikenal sebagai cannabinoids.

Namun dari sekian banyaknya senyawa aktif, cannabinoids yang dominan pada

tanaman ganja adalah tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD).

Kandungan tersebut menjadi obat untuk menyembuhkan dan mengurangi gejala

penyakit tertentu seperti depresi, hepatitis C, glaukoma, epilepsi, dan beberapa

penyakit lain.8

6
Leafly, “UN Drugs Committee Finds Cannabis an Effective Relatively Safe Drug” artikel
diakses pada 4 Februari 2020 dari https://www.leafly.com/news/politics/un-drug-committee-finds-
cannabis-an-effective-relatively-safe-drug
7
LGN, “WHO Benahi Regulasi Ganja”, artikel diakses pada 16 Oktober 2019 dari
http://www.lgn.or.id/who-benahi-regulasi-ganja/
8
Enik Isnaini, “Penggunaan Ganja Dalam Ilmu Pengobatan Menurut Undang- Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika”, Jurnal Independent Vol 5 No. 2 (2017), hlm 50.

3
Selain memiliki manfaat medis, menurut M. Taufan tanaman ganja juga

memiliki potensi di bidang industri. Hemp adalah sebutan ganja yang digunakan

kegiatan industri seperti pembuatan tekstil, kertas, makanan, plastik dan bahan

bangunan. Ganja jenis ini dikenal memiliki kelenturan, kuat dan ketahanan untuk

waktu lama. Hemp juga merupakan tanaman yang dapat dengan mudah tumbuh dan

tidak perlu menggunakan bahan kimia untuk melakukan perawatan.9

Dalam buku Hikayat Pohon Ganja (2011), sejarah mencatat bahwa kertas, kain

tekstil, dan tali tambang tertua dibuat dari serat ganja. Bagian dari ganja yang

memiliki serat paling baik terletak pada kulit batangnya. Terhitung sejak tahun 5

SM hingga pertengahan 1800-an serat ganja selalu menjadi pilihan utama untuk

dijadikan layar kapal dan jaring penangkap ikan karena telah teruji ketahanannya

terhadap air laut.10

Minyak esensial dalam tanaman ganja juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai

macam produk kecantikan seperti aroma untuk kosmetik, sabun, shampo, parfum

dan lain-lain. Selain produk kecantikan, tidak banyak yang tahu bahwa ganja juga

dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan. Hempcrete adalah sebutan untuk serat

ganja di dunia konstruksi sebagai ganti beton. Beton yang terbuat dari serat ganja 7

kali lebih kuat ketimbang beton pada umumnya dan memiliki bobot yang lebih

ringan. Kelebihan yang tidak dimiliki beton biasa ialah hempcrete memiliki

karakter yang lebih elastis dan tidak mudah retak.11

9
M. Taufan Perdana Putra, “Kebijakan Pendayagunaan Hemp (Ganja Industri) untuk Kepentingan
Industri Di Indonesia”, Jurnal Mahasiswa Hukum Universitas Brawijaya Malang (2017), hlm 10.
10
Tim LGN, Hikayat Pohon Ganja: 12.000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia, (Tangerang
Selatan: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm 263-264.
11
Tim LGN, Hikayat Pohon Ganja: 12.000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia, hlm 266.

4
Dilansir dari grandviewresearch.com, ditinjau dari sisi ekonomi legalisasi

ganja telah meningkatkan permintaan pasar terhadap ganja. Ganja medis menjadi

target pasar terbesar dengan rasio 70.3% di tahun 2018. Terhitung selama tahun

2018 terjadi kenaikan penjualan produk dengan kandungan cannabidiol (CBD) di

Amerika Serikat yang nilainya ditaksir mencapai 600 juta-2 miliar dolar AS atau

jika dikonversi ke Rupiah menjadi Rp 8,4 hingga 28 triliun. Pencapaian penjualan

ganja berbentuk produk CBD ternyata melebihi dana alokasi kesehatan Indonesia

untuk tahun 2019 yang berjumlah Rp. 123 triliun.12

Dengan menimbang manfaat medis dan ekonomi, perlahan namun pasti, usaha

pemanfaatan ganja mulai dilakukan di banyak negara, seperti Belanda, Uruguay,

sebagian negara bagian Amerika Serikat, Thailand dan lain-lain. Belanda

merupakan negara yang secara spesifik telah membagi narkotika ke dalam dua

jenis; soft drugs dan hard drugs. Pembagian tersebut dibedakan berdasarkan efek

yang ditimbulkan pada tubuh. Soft drugs adalah narkotika yang tidak berbahaya

bagi tubuh seperti ganja, sedangkan hard drugs sebaliknya. Setelah adanya regulasi

tersebut, ganja pun dapat dikonsumsi di coffee shop yang telah mendapat izin

pemerintah.13

Berbeda dengan Belanda, Uruguay cenderung lebih longgar terkait status

hukum ganja. Di Uruguay ganja dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan

seperti medis, industri dan rekreasi. Mantan Presiden Jose Mujica menyebut bahwa

negara dinilai tidak mampu mengatasi peredaran narkoba di pasar gelap. Oleh sebab

12
LGN, “Perkembangan Ganja Secara Umum di Dunia”, artikel diakses pada 16 Oktober 2019
dari http://www.lgn.or.id/perkembangan-ganja-secara-umum-di-dunia/
13
Tweede Kamer dan Vergaderjaar, “Drugs policy in the Netherlands: Continuity and Change”,
Drug Library 24077, nrs. 2-3 (1995), hlm 31-33.

5
itu, meregulasi tanaman ini dengan cara melegalkannya jauh lebih tepat dari pada

menggunakan cara represif seperti pemenjaraan, mengerahkan polisi, dan tentara.14

Untuk kawasan Asia Tenggara, Thailand adalah negara pertama yang berhasil

melegalkan ganja untuk kepentingan medis. Menurut artikel yang dimuat di

Kumparan.com, legalisasi tanaman ini sudah dimulai sejak tahun 2017 dan baru

pada akhir tahun 2019 ganja beserta ekstraknya secara resmi dikeluarkan dari daftar

narkotika. Setelah penantian yang cukup panjang, akhirnya pada awal tahun 2020

klinik ganja pertama di Thailand resmi dibuka.15

Selain terjadi di berbagai negara di dunia usaha memanfaatkan tanaman ganja

ternyata hadir pula di Indonesia. Gerakan untuk memanfaatkan tanaman ini diusung

oleh Lingkar Ganja Nusantara (LGN). Gerakan ini menuai banyak tanggapan dari

masyarakat dan media massa. LGN, sebagai organisasi terbesar di Indonesia yang

mengangkat isu pemanfaatan ganja sebagai landasan perjuangan, berpedoman pada

keyakinan bahwa tanaman ganja memiliki manfaat yang sangat potensial dan dapat

dioptimalkan pemanfaatannya, baik di sektor medis maupun industri.

LGN berupaya penuh mendesak pemerintah untuk melakukan perubahan pada

UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 terkait status dari tanaman ganja. LGN

menyadari bahwa UU Narkotika yang sampai hari ini kita jadikan acuan dalam

agenda memberantas narkoba ternyata tidak terimplementasi dengan baik.

14
Pebrianto Nainggolan, “Kepentingan Pemerintah Uruguay Melegalisasi Ganja Pada Masa
Pemerintahan Jose Alberto Mujica Cordano Tahun 2010-2015,” JOM FISIP Volume 2 No.2
(Oktober 2015), hlm 1.
15
Kumparan, “Klinik Pengobatan Berbasis Ganja Dibuka di Thailand”, artikel diakes pada 26
Januari 2020 dari https://kumparan.com/kumparannews/klinik-pengobatan-berbasis-ganja-dibuka-
di-thailand-1sadztK3bb4

6
Bagi LGN, sampai hari ini tidak ada orang yang memiliki kompetensi dan lebih

mendasar, tidak adanya keinginan untuk mengelola tanaman ganja. Organisasi ini

hadir dengan membawa narasi pemanfaatan tanaman ganja sekaligus memberikan

pemahaman baru kepada masyarakat terkait manfaat tanaman ganja yang

sebelumnya mungkin jarang diketahui publik. Oleh sebab itu LGN berkomitmen

untuk menjawab persoalan mengenai pemanfaatan tanaman ganja di Indonesia.

Dari pemaparan di atas, penting untuk diteliti tentang bagaimana LGN ini

mengartikulasikan kepentingannya. Setelah dijelaskan mengenai potensi medis dan

ekonomi pada tanaman ganja, LGN menilai bahwa UU No. 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika sebaiknya perlu untuk ditinjau ulang mengingat besarnya manfaat yang

dihasilkan dari tanaman tersebut. Dari segi medis ganja dapat menjadi alternatif

obat yang mampu mengobati berbagai penyakit. Dari segi ekonomi olahan berupa

produk siap pakai yang dapat memenuhi konsumsi rumah tangga publik dan di

waktu yang bersamaan dapat pula menjadi komoditas ekspor andalan Indonesia.

Proses perubahan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika bukanlah sesuatu

yang instan dan membutuhkan waktu yang panjang, terlebih dalam masyarakat

masih terdapat polarisasi persepsi tentang tanaman ganja. Oleh sebab itu LGN

berupaya mengubah UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika agar kelak ganja

dapat menjadi tanaman yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia.

Dari pernyataan masalah di atas penulis pun tertarik untuk menulis judul
penelitian “UPAYA LINGKAR GANJA NUSANTARA (LGN) SEBAGAI
KELOMPOK KEPENTINGAN DALAM MEMPERJUANGKAN
PERUBAHAN UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA”

7
B. Pertanyaan Penelitian

Dari pemaparan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana upaya LGN sebagai kelompok kepentingan dalam mengubah

UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika?

2. Apa hambatan yang LGN hadapi dalam memperjuangkan kepentingannya?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini, terdapat tujuan dan manfaat penelitian yang hendak

peneliti capai, di antaranya sebagai berikut:

1. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan upaya LGN sebagai kelompok kepentingan dalam

mengubah UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

2. Mendeskripsikan hambatan yang LGN hadapi dalam upaya mengubah

UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis penelitian ini ialah berupaya memberi kontribusi

akademik bagi Ilmu Politik khususnya pada teori kelompok kepentingan

dan sistem politik dengan mengkaji organisasi LGN sebagai kelompok

kepentingan.

8
b. Manfaat Praktis penelitian ini sebagai acuan atau referensi kepada para

peneliti lainnya dalam menjawab persoalan tentang regulasi tanaman

ganja.

c. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan sebagai pertimbangan bagi

institusi terkait dalam pengambilan putusan-putusan publik terkait

tanaman ganja.

D. Tinjauan Pustaka

Dengan membawa narasi legalisasi ganja medis yang dinilai melawan arus

utama, membuat tidak sedikit peneliti menjadikan LGN sebagai subjek penelitian.

Dalam pencarian tinjauan pustaka sebagai acuan dalam penelitian ini, penulis

menemukan beberapa hasil penelitian tentang LGN maupun tanaman ganja dengan

fokus masalah dan disiplin ilmu yang beragam di antaranya:

Penelitian pertama dengan judul” Diskursus Legalisasi Ganja Medis Pada

Media Digital (Studi Critical Discourse Analysis dalam website lgn.or.id pada

kasus Fidelis Ari) yang ditulis Aria Mahatamtama ini secara garis besar berfokus

pada platform daring lgn.or.id yang merupakan website resmi milik Lingkar Ganja

Nusantara (LGN). Adapun penelitian ini menggunakan teori Critical Discourse

Analysis (CDA) yang dikembangkan oleh Norman Fairclough sebagai unit

analisisnya. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa website milik LGN

memunculkan sikap konfrontasi dan resisten dalam memandang UU No. 35 Tahun

9
2009 Tentang Narkotika yang dinilai abai terhadap nilai-nilai kemanusiaan pada

kasus Fidelis Ari.16

Penelitian kedua dengan judul “Subkultur Legalisasi Ganja: Studi Tentang

Lingkar Ganja Nusantara Dalam Memperjuangkan Legalisasi Ganja Di Indonesia”

yang ditulis oleh Fajriah Intan Purnama ini secara garis besar berupaya untuk

menjelaskan subkultur atas fenomena legalisasi ganja di Indonesia yang sedang

terjadi. Paradigma yang menyebut ganja berbahaya dan lekat dengan lebel kriminal

membuat gerakan ini dianggap unik karena menantang nilai dan konstruksi berpikir

yang telah ada dengan menggunakan pendekatan teori kontradiksi dan subkultur.

Dalam temuannya, fenomena legalisasi ganja yang LGN usung melahirkan

diferensiasi pandangan antara kubu yang pro dan kontra dalam memandang aspek

ekonomi, sosial dan kesehatan dari tanaman ganja. Subkultur tersebut juga berusaha

melakukan konfrontasi atas budaya yang sudah tertanam di masyarakat.17

Penelitian ketiga dengan judul “Kontestasi Ganja: Diskursus Legitimasi Ganja

Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Lingkar Ganja Nusantara (LGN) Tahun

2011- 2016” yang ditulis oleh Khalid Syaifullah. Penelitian ini menjelaskan tentang

kontestasi diskursus legitimasi penggunaan ganja di Indonesia dengan pendekatan

teori diskursus Michel Foucault. Penelitian ini berfokus pada proses kontestasi yang

16
Aria Mahatamtama, “Diskursus Legalisasi Ganja Medis Pada Media Digital: Studi Critical
Discourse Analysis dalam Website lgn.or.id pada kasus Fidelis Ari”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, 2019).
17
Fajriah Intan Purnama, “Subkultur Legalisasi Ganja: Studi Tentang Lingkar Ganja Nusantara
dalam Memperjuangkan Legalisasi Ganja Di Indonesia”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta, 2015).

10
melibatkan BNN dan LGN dalam rentang tahun 2011 hingga 2016 terkait

penggunaan ganja.

Pada penelitian tersebut, LGN berusaha melakukan kontra narasi terhadap isu

ganja yang selama ini didengungkan pemerintah dengan memublikasi buku hasil

riset dengan judul “Hikayat Pohon Ganja: 12000 Tahun Menyuburkan Peradaban

Dunia”. LGN memiliki pandangan bahwa ganja memiliki banyak manfaat yang

terkandung di dalamnya, khususnya untuk keperluan medis serta industri. Hal

tersebut selaras dengan riset-riset tanaman yang telah banyak dipublikasi secara

internasional.18

Penelitian keempat merupakan jurnal dengan judul “Kepentingan Pemerintah

Uruguay Melegalisasi Ganja Pada Masa Pemerintahan Jose Alberto Mujica

Cordano Tahun 2010-2015” yang ditulis oleh Pebrianto Nainggolan. Penelitian ini

berusaha memaparkan agenda pemerintah Uruguay untuk melegalkan ganja pada

era kepemimpinan Jose Alberto Mujica Cordano di 2013. Uruguay merupakan

negara pertama yang melegalkan budidaya, distribusi, dan konsumsi ganja di dunia.

Regulasi ini semula pertama kali dicetuskan oleh Jose Alberto Mujica Cordano dan

pada prosesnya disetujui oleh Parlemen dan Senat. Penelitian ini menitikberatkan

peran pemerintah Uruguay dalam legalisasi ganja untuk kepentingan politik dan

sebagai komoditas ekonomi.

Dalam kepentingan politik pemerintah Uruguay berusaha memerangi pasar

gelap ganja, mengontrol sistem pasar serta pola konsumsi terhadap ganja. Hal

18
Khalid Syaifullah, “Kontestasi Ganja: Diskursus Legitimasi Ganja Badan Narkotika Nasional
(BNN) dan Lingkar Ganja Nusantara (LGN) Tahun 2011-2016”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).

11
tersebut dilakukan untuk merebut pasar ganja yang selama ini dikuasai mafia. Dari

segi ekonomi, negara pun mendapatkan laba dari penjualan ganja dan mengurangi

beban pengeluaran negara.19

Merujuk pada penelitian yang telah dipaparkan di atas menjadikan LGN dan

tanaman ganja sebagai topik yang menjadi pembahasan seperti dari sudut

pandangan regulasi, kebijakan, komunikasi dan sosiologis. Sedangkan penelitian

ini berfokus pada upaya LGN dalam perubahan UU No 35 Tahun 2009 yang terdiri

dari upaya penyaluran kepentingan dan hambatan yang LGN alami dalam

memperjuangkan kepentingannya. LGN sebagai salah satu kelompok kepentingan

yang berupaya untuk melegalkan pemanfaatan tanaman ganja dalam bentuk

legalitas formal. Oleh sebab itu penulis ingin meneliti lebih lanjut upaya LGN

sebagai sebuah kelompok kepentingan dalam melakukan perubahan terhadap UU

No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

E. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini meliputi:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif sebab metode ini berupaya untuk

menjelaskan serangkaian peristiwa yang subjek penelitian alami berupa tindakan,

persepsi, perilaku dan lain-lain secara keseluruhan. Metode kualitatif juga

menggunakan cara deskriptif lewat kata-kata, serta bahasa pada kondisi alamiah

19
Pebrianto Nainggolan, “Kepentingan Pemerintah Uruguay Melegalisasi Ganja Pada Masa
Pemerintahan Jose Alberto Mujica Cordano Tahun 2010-2015,” JOM FISIP Volume 2 No.2
(Oktober 2015), hlm 1.

12
dengan mengacu pada fakta-fakta yang ada sebelum akhirnya dapat ditarik menjadi

sebuah kesimpulan.20

Selain itu, penelitian kualitatif juga melihat latar belakang ilmiah, sumber data

langsung. Oleh karena itu penelitian kualitatif berfokus pada pencarian informasi

setelah itu baru berpindah pada hasil penelitian. Satu hal penting yang perlu digaris

bawahi bahwa metode kualitatif lebih mengedepankan proses ketimbang hasil.21

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam usaha memperoleh informasi, maka adapun cara yang dilakukan ialah:

a. Dokumentasi

Dengan dokumentasi, peneliti memperoleh data yang bersumber dari buku,

jurnal, skripsi, tesis, disertasi, media massa, internet dan dokumen lainnya

guna menunjang penelitian ini.

b. Wawancara

Wawancara adalah proses komunikasi yang peneliti bangun dengan cara

berdialog dengan informan. Tujuan dari wawancara ialah menggali informasi

mengenai kejadian dan peristiwa yang pernah dialami pada masa lalu atau

memperluas informasi yang telah diperoleh.22 Dalam pemilihan informan,

penulis menggunakan metode purposive sampling. Metode ini

mengedepankan beberapa kriteria-kriteria tertentu sesuai tujuan penelitian

supaya data yang dikumpulkan dapat lebih representatif.23

20
Lexy J Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2017), hlm 6.
21
M. Djunaidi Ghoni dan Fauzan A, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta:Ar-Ruzz
Media, 2016), hlm 44-45.
22
Lexy J Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm 186.
23
Mamik, Metodologi Kualitatif, (Sidoarjo: Zifatama Publisher, 2015), hlm 53.

13
Pada penelitian ini penulis memilih Dhira Narayana (Ketua Lingkar Ganja

Nusantara), Maaruf Bajamal (Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum

Masyarakat), Erasmus Todo Napitupulu (Direktur Eksekutif Indonesia for

Criminal Justice Reform), dan Alvin Andrew Dias (Kepala Seksi Konsultasi

Hukum BNN-RI) sebagai narasumber karena kapasitas dan pengetahuan yang

dimiliki dapat menunjang data dalam penelitian. Wawancara yang penulis

lakukan adalah dengan melalui sistem tanya jawab kepada beberapa

narasumber yang telah ditetapkan sebelumnya.

3. Teknis Analisis Data

Apabila data yang dikumpulkan sudah mencukupi, selanjutnya ialah

menganalisisnya secara deskriptif yakni diuraikan dalam bentuk tulisan hasil dari

ucapan, teks dan perilaku kelompok yang diamati dengan teori kelompok

kepentingan dan teori sistem politik. Penelitian deskriptif ditujukan untuk melihat

lebih jauh terkait peristiwa tertentu dengan cara mendeskripsikan jumlah variabel

yang berkaitan terhadap masalah yang diteliti. Oleh sebab itu, dalam

implementasinya, penelitian deskriptif tidak memerlukan uji hipotesis sehingga

tidak ada maksud untuk membuat atau mengembangkan teori yang ada.24 Data yang

sudah penulis kumpulkan dari wawancara, buku, artikel ilmiah dan sumber lainnya

kemudian dijelaskan dengan analisis deskriptif.

24
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005),
hlm 20.

14
F. Sistematika Penulisan

Dalam proses penyusunan penelitian, penulis membaginya ke dalam lima bab

sebagai berikut:

Bab pertama, berisi tentang latar belakang penelitian, pertanyaan penelitian,

tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika

penulisan. Pada bab ini juga dijelaskan manfaat legalisasi ganja di berbagai bidang.

Bab kedua, berisi tentang landasan teoritis dan kerangka berpikir yang

dijadikan landasan untuk menjawab pertanyaan penelitian yakni tentang upaya

mengubah UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam menjawab

pertanyaan penelitian, penulis menggunakan teori sistem politik dan kelompok

kepentingan.

Bab ketiga, berisi tentang profil organisasi LGN, rekam jejak penggunaan

tanaman ganja di Indonesia dan regulasi yang mengaturnya dari berbagai periode

waktu.

Bab keempat, berisi analisis penulis tentang konseptual LGN sebagai

kelompok kepentingan, sarana penyaluran kepentingan LGN dan hambatan LGN

dalam usaha mengubah UU Narkotika No 35 tahun 2009.

Bab kelima, merupakan penutup dari penelitian ini, terdiri atas kesimpulan

dari penelitian yang sudah diulas pada bab sebelumnya serta saran untuk

pengembangan penelitian lebih lanjut.

15
BAB II
KERANGKA TEORI

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah yang telah diuraikan pada Bab

I bahwa yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana

upaya Lingkar Ganja Nusantara (LGN) sebagai kelompok kepentingan dalam

mengubah UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Oleh sebab itu di bab ini

penulis akan mencoba menguraikan landasan teoretis dan kerangka berpikir sebagai

unit analisis dalam menjawab pertanyaan penelitian. Teori tersebut ialah sistem

politik dari David Easton dan kelompok kepentingan dari Gabriel A. Almond.

A. Strategi Politik

Sebelum membahas mengenai strategi politik, penulis akan menjelaskan

terlebih dulu definisi dari masing-masing kata. Strategi dalam pengertian bahasa

Indonesia adalah seni untuk mengupayakan kebijaksanaan dalam keadaan perang

maupun damai dengan memaksimalkan sumber daya yang ada; mencapai tujuan

tertentu dengan menggunakan rencana dan persiapan yang cermat.25 Menurut Peter

Schroder definisi strategi mulanya lekat dengan konsep militer sebab

pertimbangan-pertimbangan strategi memiliki peran yang penting ketika sebuah

kelompok besar membutuhkan figur pemimpin dan memberi arahan. Perlahan-

lahan istilah strategi merambah ke berbagai aspek masyarakat termasuk juga ke

25
Aditya Bagus Pratama, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Pustaka Media, t.t.),
hlm 566.

16
dalam politik yang menghendaki adanya kepemimpinan untuk mengatur kelompok-

kelompok masyarakat ke arah satu tujuan.26

Berbeda dengan strategi, politik memiliki makna yang jauh lebih luas. Kata

politik merupakan bahasa Yunani Kuno (polis) yang dapat diartikan sebagai negara

kota. Seiring perkembangan zaman kata politik diadaptasi ke berbagai bahasa,

misal dalam bahasa Indonesia politik diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan

dengan urusan kenegaraan.27 Sedangkan menurut Miriam Budiardjo politik adalah

sekumpulan cara dalam usaha mendapat tujuan hidup yang lebih baik.28

Dari dua definisi tersebut, menurut Peter Schroder strategi politik ialah strategi

untuk mencapai serangkaian tujuan politik di antaranya ialah penetapan aturan baru,

pembentukan struktur administrasi dalam pemerintahan, dan menjalankan berbagai

program pemerintahan. Tak hanya berlaku bagi pemerintah saja, strategi politik

juga penting untuk organisasi non pemerintah (Non Government Organization).

Seluruh NGO baik yang fokus dalam isu buruh, hak asasi manusia maupun

lingkungan hidup memerlukan strategi untuk dapat mewujudkan tujuan yang

hendak dicapai. Tanpa adanya strategi, kelompok akan sulit untuk memperjuangkan

kepentingannya.29

Kemudian jika dikaitkan dengan penelitian ini, strategi politik adalah

sekumpulan cara atau upaya yang LGN gunakan untuk mengubah UU No. 35

26
Peter Schröder, Strategi Politik, (Indonesia: Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit,
2010), hlm 21-22.
27
Aditya Bagus Pratama, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, hlm 475.
28
Miriam Budiardjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm
13.
29
Peter Schröder, Strategi Politik, hlm 26-27.

17
Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam usahanya, LGN tentunya akan banyak

terlibat dalam berbagai kegiatan politik, hal tersebutlah yang akan penulis jabarkan

dengan berlandaskan teori-teori di bawah ini.

B. Teori Sistem Politik

B.1. Pengertian Sistem Politik

Di awal tahun 1950, seorang ilmuwan politik bernama David Easton

mengembangkan suatu konsep yang bertujuan untuk menjelaskan kehidupan

politik. Konsep tersebut kita kenal dengan istilah pendekatan sistem politik. Bagi

Easton, dalam menjelaskan kehidupan politik haruslah dilihat sebagai sebuah

sistem. Penciptaan kerangka kerja ini memudahkan peneliti lainnya dalam

memilah-milah unit analisis yang hendak dikaji. Seperti contohnya bagaimana

peran kelompok kepentingan dalam sebuah pemerintahan, budaya politik, serta

sistem dan peran partai politik. Oleh sebab itu, unit-unit tersebut dapat lebih mudah

dijelaskan dengan konsep yang dipopulerkan David Easton.30

Sistem politik merupakan sebuah konsep yang berangkat dari kata sistem dan

politik. Sistem merupakan kumpulan objek yang berbeda dan saling memengaruhi

yang lainnya supaya tujuan tersebut dapat tercapai. Untuk memastikan sistem

politik dapat bekerja maka penting bagi kita untuk mengetahui terlebih dulu unsur-

unsur pembentuknya, yakni: (a) Terdapat sekumpulan objek, (b) adanya interaksi

30
Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, (Jakarta: PT. Buku Kita, 2008), hlm
1-2.

18
dan relasi antar objek, (c) terdapat sesuatu yang mengikat untuk menjadi kesatuan,

dan (e) Adanya output yang menjadi tujuan akhir.

Di satu sisi pemahaman akan politik menurut Aristoteles bahwa manusia

merupakan binatang politik, yang bermakna secara alamiah kehidupan sosial

manusia pada dasarnya merupakan sebuah politik karena adanya interaksi individu

dengan individu lainnya. Hal tersebut adalah watak alami dan sudah melekat pada

manusia. Apabila seseorang berusaha menggapai tujuannya lewat sumber daya

yang tersedia dan di saat yang bersamaan memengaruhi orang lain agar

menghendaki tujuannya maka itulah aktivitas politik.

Maka dari pemahaman tersebut dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa satu-

satunya cara untuk meningkatkan kemampuan individu dan menggapai tujuan yang

dikehendaki adalah dengan terlibat dalam interaksi politik lewat sebuah kerangka

lembaga formal untuk memecahkan masalah sosial dan tujuan bersama.31

Jika konsep sistem dan politik disatukan maka lahir pemahaman bahwa sistem

politik adalah keseluruhan baik lembaga atau komponen yang berfungsi dalam

bidang politik yang aktivitasnya berkaitan dengan penentuan kebijakan umum dan

bagaimana kebijakan tersebut kemudian diimplementasikan.

Setelah sudah dijelaskan mengenai konsep umum tentang sistem politik, bagi

Easton sistem politik juga sedikitnya terdiri dari beberapa unsur yang

melingkupinya, yakni:32

31
Beddy Iriawan Maksudi, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik dan Empirik,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hlm8- 9.
32
Yaya Maulana Aziz dan Syarief Hidayat, Dinamika Sistem Politik Indonesia, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2016), hlm 4.

19
1. Sistem politik adalah usaha menerapkan nilai lewat serangkaian kebijakan

yang dibuat

2. Implementasi nilai bersifat otoritatif dan berdasarkan kewenangan

3. Implementasi yang sifatnya otoritatif berusaha mengikat masyarakat dalam

suatu sistem secara utuh.

B.2. Kerangka Kerja Sistem Politik

Dalam mengartikulasikan kepentingannya, kelompok kepentingan dituntut

untuk aktif dalam sistem politik. Dalam sistem politik, sistem ini menerima tuntutan

dan dukungan (inputs) dari masyarakat kemudian diharapkan menciptakan sebuah

putusan yang mampu mengatasi suatu permasalahan. Namun, untuk mencapai hal

tersebut, tuntutan dan dukungan yang diterima sistem politik terlebih dulu

dikonversi (proses) dalam sistem dan menjadi sebuah keputusan atau kebijakan

(output). Setelah putusan atau kebijakan dikeluarkan, maka muncul semacam

umpan balik (feedback) yang merupakan respon atau tanggapan terhadap output.33

Gambar II.1. Kerangka Kerja Sistem Politik David Easton

33
SP Varma, Teori Politik Modern, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2016), hlm 278.

20
Sumber gambar: (Haniah Hanafie dan Ana Sabhana Azmy, 2016: 21)34

Teori sistem politik Easton juga memiliki ciri salah satunya unit-unit dan

batasan masalah. Pada kerangka kerjanya, sistem politik terdiri dari sekumpulan

unit yang saling bertautan dan saling terikat untuk memutar roda sistem politik.

Unit-unit tersebut seperti lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik,

kelompok kepentingan dll.

Unit tersebut memiliki batasan wilayah kerja sebagai contohnya dibatasi oleh

kawasan teritori, hukum, dan lainnya. Singkatnya kita perlu menegaskan bahwa

sistem politik tidaklah sama dengan beragam sistem sosial yang ada. Kita juga perlu

untuk mengetahui unit-unit tersebut bekerja dalam batas atau cakupan wilayah yang

jelas. Batas-batas suatu sistem umumnya berada di dalam maupun dikelilingi

sistem-sistem lain. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengkaji unit-unit politik

yang ada dengan membaginya dengan unit-unit yang lain.35

Dalam kerangka kerja sistem politiknya, Easton membagi lingkungan menjadi

dua bagian yakni intra sosial dan ekstra sosial. Lingkungan intra sosial merupakan

bagian dari lingkungan sosial dan fisik yang posisinya berada di luar batas-batas

sistem namun tetap berada dalam kesatuan suatu masyarakat. Adapun yang

dimaksud bagian dari lingkungan intra sosial di antaranya sistem ekologi, biologi,

psikologi dan sosial. Sedangkan ekstra sosial berada di luar masyarakat tetapi

34
Haniah Hanafie dan Ana Sabhana Azmy, Kekuatan Kekuatan Politik, hlm 21.
35
Beddy Iriawan Maksudi, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik dan Empirik,
hlm 21.

21
memiliki konsekuensi yang penting terhadap dinamika sistem politik. Bagi Easton,

lingkungan ekstra sosial dapat dipahami sebagai sistem politik, ekologi, dan sosial

internasional. Contohnya seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi di

bawahnya.36

Selanjutnya ada input-output, untuk menjelaskan proses saling memengaruhi

antara sistem politik dan lingkungannya terdapat pada konteks input dan output.

Bagi Easton, sistem politik bermuara pada keputusan atau kebijakan otoritatif yang

nantinya direspon kembali oleh masyarakat. Konsekuensi tersebut dikenal dengan

sebutan output. Sedangkan eksistensi sistem politik sangat ditentukan oleh

keberadaan input dalam sistem politik.37

Sedangkan dukungan dimaknai sebagai upaya dari masyarakat agar sistem

politik dapat berjalan dengan baik. Dukungan dibagi menjadi dua, pertama,

dukungan dengan bentuk sumber pendanaan dan sumber daya politik. Kedua,

dukungan biasa atau kerelaan terhadap regulasi atau hukum yang ada.

Biasanya input dalam sistem politik dibawa oleh elit politik maupun

lingkungan internasional. Aktor input yang dibawa elit politik meliputi menteri,

raja, presiden, legislatif, atau kelompok tertentu. Sedangkan input yang datang dari

lingkungan internasional berupa invasi, kontrol, atau bantuan.38

Setelah tuntutan dan dukungan sudah didapatkan, menurut Easton dukungan

terhadap sistem politik kemudian diarahkan kepada tiga target. (a) Komunitas

36
Ronal H. Chilcote, Teori Perbandingan Politik Penelusuran Paradigma, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), hlm 201-202.
37
Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, hlm 8.
38
Beddy Iriawan Maksudi, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik dan Empirik,
hlm 167.

22
politik merupakan anggota dari sistem dengan kerja politik yang sudah ditetapkan,

(b) rezim, ialah kesatuan dari nilai dan struktur politik, atau (c) otoritas politik

selaku pemegang kekuasaan dalam kurun waktu tertentu. Dukungan tersebut

mungkin pada satu atau dua atau semua jenis komponen sistem politik ini.39

Pada posisi input, kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan akan

bermain dan menegaskan posisinya baik memberi dukungan maupun tuntutan

tergantung pada kebijakan apa yang hendak dicapai. Selain itu, pada posisi input

juga kelompok memberi semacam energi sehingga peran yang harus dikerjakan

oleh mereka ialah sebagai berikut:40

1. Komunikasi politik

2. Sosialisasi politik

3. Rekrutmen politik

Untuk output, adalah hasil atau produk dari sistem politik yang telah melewati

proses politik berupa keputusan dan tindakan. Keputusan tersebut diwujudkan

dalam bentuk kebijakan maupun produk undang-undang sedangkan tindakan

merupakan penerapan atas keputusan yang telah dibuat pemerintah.41

Diferensiasi sebuah sistem, setelah sempat disinggung sebelumnya bahwa

dalam sistem politik bahwa lingkungan merupakan sumber energi untuk

mengaktifkan mesin sistem politik. Dengan cara tersebut maka sistem dapat

melaksanakan pekerjaannya dan dengan demikian maka sistem akan mengeluarkan

output yang berbeda dengan input yang didapatnya dari lingkungan. Sehingga

39
SP Varma, Teori Politik Modern, hlm 279.
40
Haniah Hanafie dan Ana Sabhana Azmy, Kekuatan Kekuatan Politik,, hlm 26.
41
Beddy Iriawan Maksudi, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik dan Empirik,
hlm 21.

23
dalam menjalankan pekerjaannya sistem politik harus mengerjakan beragam

pekerjaan namun dalam batasan waktu terbatas. Oleh sebab itu anggota dalam

sistem politik tidak ada yang mengerjakan kegiatan yang sama dan di waktu yang

bersamaan.

Integrasi dalam sistem. Dalam sebuah sistem apabila beberapa unit sedang

mengerjakan tugasnya masing-masing pada waktu yang sama artinya sebuah sistem

memerlukan mekanisme untuk mengintegrasikan atau memaksa anggota di

dalamnya agar dapat bekerja sama semaksimal mungkin agar dapat menciptakan

putusan-putusan yang sifatnya otoritatif.42

C. Kelompok Kepentingan

C.1. Pengertian Kelompok Kepentingan

Kelompok kepentingan atau yang sering juga disebut interest group ialah

sebuah organisasi yang lahir sebagai saluran artikulasi kepentingan antara

kepentingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah. Pada sistem politik,

mereka berfungsi merumuskan dan menanggapi tuntutan atau aspirasi yang masuk

dari grassroot dan kemudian disalurkan kepada lembaga-lembaga politik formal.

Kelompok kepentingan lahir karena kesamaan agenda yang ingin dicapai dan dari

kelompok inilah kepentingan tersebut diperjuangkan.

Kelompok kepentingan juga merupakan organisasi formal yang mampu

memberi pengaruh pada tahapan pembuatan serta pelaksanaan suatu kebijakan

khususnya dalam negara yang secara demokratis sudah mapan. Secara

kelembagaan kelompok kepentingan terstruktur dari kumpulan individu dengan

42
Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, hlm 8.

24
kesamaan tujuan dan kepentingan. Mereka kemudian bekerja sama agar kebijakan

yang dibuat pemerintah sesuai dengan apa yang mereka hendaki.43

Kelompok kepentingan juga dimaksudkan untuk memperkuat tuntutan yang

ada. Tugasnya seolah mirip dengan partai politik, hanya saja batas pembedaan

kelompok kepentingan dengan partai politik terletak pada tujuannya yang hanya

berusaha memengaruhi kebijakan tanpa berorientasi pada keinginan menduduki

jabatan publik sementara partai politik berusaha menguasai jabatan publik sebanyak

mungkin.44

Efektivitas kelompok kepentingan dalam memperjuangkan kepentingannya

terletak pada isu yang coba dikembangkan. Selain hal tersebut, perlu dicermati juga

bahwa kelompok kepentingan haruslah mengupayakan arah dukungan, dan sumber

daya yang dimiliki dari anggotanya seperti logistik dan finansial, besaran anggota,

pemahaman politik, serta reputasi yang baik di masyarakat maupun pada pembuat

keputusan.45

Dalam praktiknya, kelompok kepentingan berada di posisi tengah antara

masyarakat dengan pemerintah. Dengan posisinya yang strategis, kelompok

kepentingan dapat menjembatani kepentingan-kepentingan milik masyarakat dan

pemerintah. Hadirnya kelompok kepentingan di masyarakat juga dinilai positif, dan

43
Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm 195-196.
44
Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2011), hlm 65-66.
45
Haniah Hanafie dan Ana Sabhana Azmy, Kekuatan Kekuatan Politik, (Ciputat: UIN Jakarta
Press, 2016), hlm 14.

25
juga sebagai alternatif dari partai politik sebab seringkali aspirasi atau keluhan

konstituen acap kali hilang begitu saja pasca pemilihan umum dilangsungkan.46

C.2. Jenis Kelompok Kepentingan

Kelompok kepentingan satu dengan yang lain memiliki perbedaan dalam

struktur, pola gerakan, sumber daya serta basis dukungan. Perbedaan tersebutlah

yang menjadikan kelompok kepentingan memengaruhi sistem politik. Walaupun

kelompok kepentingan terorganisir dengan baik berdasarkan keanggotaan dan isu

yang ditonjolkan namun kelompok kepentingan yang berbasiskan profesi atau

pekerjaan adalah yang paling kuat sebab kebijakan yang lahir sangat memengaruhi

kehidupan sehari-sehari anggota kelompok. Sebagai contoh lahirnya kelompok

buruh di banyak negara.47

Gabriel A. Almond dan Bingham G. Powel dalam Haniah Hanafie dan Ana

Sabhana Azmy memilah kelompok kepentingan menjadi empat jenis, di

antaranya:48

1. Kelompok Anomik

Merupakan kelompok yang muncul secara spontan atau tidak

terorganisir dengan baik karena nihilnya nilai maupun norma yang

mengikat. Sebutan kelompok anomik berasal dari cara-cara politik non

konvensional yang kerap mereka gunakan seperti demonstrasi, kekacauan

dan huru hara. Kelompok anomik akan sendirinya hilang apabila

46
Mohammad Maiwan, “Kelompok Kepentingan (Interest Group), Kekuasaan dan Kedudukannya
dalam Sistem Politik”, Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, Volume 15 No. 2 (April 2016), hlm 85-87.
47
Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, hlm 66.
48
Haniah Hanafie dan Ana Sabhana Azmy, Kekuatan Kekuatan Politik, hlm 8-9.

26
kepentingan kelompok sudah terpenuhi. Adapun contoh dari kelompok ini

di antaranya massa aksi penolakan penggusuran kalijodo, gang doli, bukit

duri dan lain sebagainya.

2. Kelompok Non Assosiasional

Merupakan jenis kelompok kepentingan yang tidak terorganisir dengan

rapi dan kegiatan yang dimiliki tidaklah rutin dijalankan. Sebab kelompok

ini berbasiskan ikatan keluarga, status, kelas, kedaerahan, etnik, keagamaan

yang menyatakan kepentingannya dalam waktu tertentu saja melalui

individu yang memiliki posisi yang kuat seperti kepala keluarga, pemimpin

adat dan lainnya.

Dalam upaya mengartikulasikan kepentingannya, kelompok non

assosiasional menggunakan individu-individu, pemuka agama, dan

semacamnya. Mengingat sifatnya yang informal, kelompok ini cenderung

longgar terhadap urusan administrasi anggotanya. Contoh dari kelompok ini

antara lain yakni Ikatan Jember di Jakarta, Ikatan Warga Madura, dan

sejenisnya.

3. Kelompok Assosiasional

Kelompok assosiasional memiliki ciri yakni sifatnya yang formal,

organisasi yang rapi serta anggota yang resmi. Kelompok assosiasional

beranggotakan individu-individu profesional pada bidangnya dan memiliki

tujuan serta rencana kerja yang baik.

Umumnya kelompok assosiasional berasal dari kesamaan profesi seperti

serikat buruh, perkumpulan pengusaha, paguyuban dan lain-lain. Kelompok

27
ini memiliki mekanisme yang teratur dalam merumuskan kepentingan dan

tuntutan. Dari keempat jenis kelompok yang ada, kelompok inilah yang

memiliki pengaruh paling besar.

4. Kelompok Institusional

Kelompok institusional merupakan kelompok yang berdiri secara

formal dan resmi serta memiliki peran sosial dan politik yang dijalankan

selain kepentingan utama kelompok. Adapun contoh dari kelompok ini ialah

partai politik, badan legislatif, kelompok militer dan lain-lain. Dengan

formatnya yang formal, kelompok ini dapat secara mandiri menyatakan

kepentingan bahkan mampu membawa aspirasi dari kelompok lain yang

diwakili.

C.3. Saluran Artikulasi Kepentingan

Dalam usaha mencapai tujuannya, kelompok kepentingan harus berhasil

memengaruhi para pembuat keputusan. Apabila cara ini gagal dilakukan maka

usaha yang selama ini dilakukan akan menjadi sia-sia. Maka dari itu yang terpenting

dalam konteks ini ialah bagaimana kelompok kepentingan memengaruhi dan

meyakinkan para pembuat kebijakan. Supaya efektif, kelompok kepentingan harus

membangun komunikasi dengan para pembuat keputusan publik. Untuk itu perlu

bagi kelompok kepentingan menggunakan saluran artikulasi yang tersedia,

seperti:49

1. Demonstrasi

49
Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, hlm 200-202.

28
Demonstrasi yang dalam implementasinya merujuk tindakan seperti

unjuk rasa, konfrontasi, huru hara, kerusuhan merupakan ciri utama

kelompok anomik namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa

kelompok lain juga menggunakan cara ini sebab cara konvensional dirasa

mengalami kebuntuan.

2. Hubungan Pribadi

Hubungan ini bisa berupa melalui relasi keluarga, almamater, atau yang

sifatnya kedaerahan. Cara ini kerap digunakan oleh kelompok jenis non

assosiasional yang membawa kepentingan dari keluarga maupun daerah

tetapi dapat pula digunakan oleh kelompok kepentingan lainnya. Bila relasi

yang terjalin begitu erat dan dalam situasi yang ramah tamah dan interaksi

langsung kemungkinan akan mendapat respon yang baik.

3. Perwakilan Langsung

Perwakilan langsung dalam sistem sangat mempermudah komunikasi

kepentingan yang ingin dicapai karena apabila mereka memiliki wakil, maka

kepentingan akan terus diupayakan secara terus menerus.

4. Media Massa

Merupakan saluran alternatif bagi kelompok kepentingan untuk

menyampaikan agendanya. Umumnya lewat tv, radio, surat kabar dan media

sosial supaya tidak hanya para perumus kebijakan saja yang mengetahui

agenda kelompok itu, tetapi dapat meluas ke khalayak umum.

29
C.4. Sifat dari Kelompok Kepentingan

Berdasarkan sifatnya, A. Rahman membaginya menjadi empat bagian, di

antaranya:50

1. Independen

Sifat ini dimiliki oleh kelompok yang memperjuangkan kepentingannya

secara independen tanpa ada bayang-bayang intervensi dari pihak tertentu.

2. Netral

Artinya selama agenda perjuangan dikerjakan tanpa bergantung pada

bantuan pihak maupun instansi lain.

3. Kritis

Artinya bahwa dalam usaha menyampaikan kepentingannya

berlandaskan fakta dan kajian yang matang.

4. Mandiri

Artinya bahwa mereka mengerjakan agendanya dengan tujuan

kesejahteraan bersama. Adapun konsep yang dianut adalah dari, oleh dan

untuk masyarakat.

C.5. Strategi Kelompok Kepentingan

Dalam usahanya menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah, kelompok

kepentingan umumnya menggunakan dua langkah, menurut Jordan and Malanoey

yang dikutip oleh Mohammad Maiwan, pertama, mereka menciptakan sebuah isu

di masyarakat lalu kemudian dibeli oleh partai politik. Cara ini dapat digunakan

pada sistem politik yang demokratis dan terbuka di mana kepercayaan publik partai

50
A. Rahman, Sistem Politik Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm 88.

30
politik tinggi. Selain itu mekanisme checks and balances haruslah juga berjalan

dengan maksimal. Jika sudah demikian maka kelompok kepentingan akan mudah

melakukan proses tawar menawar dengan partai politik untuk meneruskan

kepentingannya ke dalam proses sistem politik.

Kedua, kelompok kepentingan menyampaikan langsung aspirasinya kepada

pemerintah. Menurut Maiwan cara ini digunakan bila sistem politik yang ada

cenderung tertutup dan partai politik yang ada tidak dapat memaksimalkan

perannya dengan baik. Kelompok kepentingan akan memanfaatkan media sebagai

wadah untuk menyebarkan kepentingannya agar menjadi perhatian pemerintah.

Menurut Maiwan adapun strategi yang kelompok kepentingan gunakan untuk

memengaruhi pembuat kebijakan ialah Pertama, melakukan komunikasi langsung

dengan kepada para pembuat kebijakan terkait atau lobbying atas kepentingan yang

ingin dicapai. Kelompok kepentingan yang sudah mapan biasanya menggunakan

jasa lobbying professional. Kedua, media massa. Kelompok kepentingan memilih

media massa dengan maksud dapat menarik sentimen maupun perhatian publik. Hal

tersebut memicu pemerintah untuk merespon dengan membuat kebijakan

berdasarkan isu yang telah menjadi opini publik. Meski pun demikian, cara ini tidak

memberi ruang bagi kelompok kepentingan untuk melakukan interaksi langsung.

Ketiga, grass-roots pressure atau tekanan akar rumput. Cara ini ditempuh dengan

menggalang dukungan dari masyarakat sebagai pijakan terhadap isu yang

31
diperjuangkan. Kegiatan tersebut dapat berupa rapat akbar, pawai massal,

demonstrasi di pusat kegiatan pemerintahan atau tempat umum.51

Selain cara tersebut, menurut Theodore belakangan kelompok kepentingan juga

menggunakan proses pengadilan untuk memengaruhi suatu kebijakan. Mereka

dapat menggunakan pengadilan untuk memengaruhi kebijakan publik setidaknya

dalam tiga cara: (1) dengan mengajukan gugatan langsung atas nama kelompok itu

sendiri, (2) dengan mendanai gugatan yang diajukan oleh individu, dan (3) dengan

mengajukan dokumen pendamping sebagai amicus curiae atau secara harfiah yakni

“teman pengadilan” untuk kasus pengadilan yang ada. 52

51
Mohammad Maiwan, “Kelompok Kepentingan (Interest Group), Kekuasaan dan Kedudukannya
dalam Sistem Politik”, hlm 82-84.
52
Theodore J. Lowi dkk, American Government Core Ninth Editons, (New York: W.W Norton
dan Company, 2005), hlm 549.

32
BAB III
PROFIL LGN DAN GAMBARAN UMUM GANJA DI INDONESIA

Berdasarkan pembahasan pada bab II yang berisi tentang kerangka teori

kelompok kepentingan dan sistem politik sebagai unit analisisnya, maka bab ini

berupaya memaparkan tentang profil LGN sebagai kelompok kepentingan yang

berupaya mengubah UU No 35 Tahun 2009 berikut visi, misi, dan program

kerjanya. Selain itu bab ini juga menjelaskan gambaran umum ganja di Indonesia,

baik dari segi penggunaan dan regulasi yang mengaturnya dari masa pra

kemerdekaan Indonesia hingga pasca reformasi.

A. Profil Lingkar Ganja Nusantara (LGN)


A.1 Sejarah LGN

Wacana tentang legalisasi ganja lahir dari bincang-bincang ringan Dhira

Narayana dan kawan-kawannya sewaktu di Kampus. Salah satu di antaranya pun

memiliki ide untuk membentuk grup dengan nama “Dukung Legalisasi Ganja

(DLG)” di jejaring sosial Facebook. Lambat laun pada tahun 2009 pendukung DLG

sudah mencapai angka 11.000 orang. Di tahun yang sama juga untuk pertama

kalinya DLG melakukan pertemuan secara langsung. Dari pertemuan itulah, cikal

bakal semangat untuk memperjuangkan legalisasi ganja di Indonesia dimulai.

Selang setahun kemudian tepatnya di bulan Mei 2010, DLG turut andil dalam

acara tahunan Global Marijuana March (GMM) yang secara serentak dilaksanakan

di seluruh dunia. Adapun kegiatan yang dilakukan DLG dalam aksi tersebut adalah

membagikan pamflet yang berisi pengetahuan tentang tanaman ganja secara

33
objektif di kawasan Bundaran HI, Jakarta. Massa aksi pada saat itu dihadiri sekitar

30 orang.

Pasca GMM 2010, setiap minggunya anggota DLG mulai rutin berkumpul untuk

membahas rencana untuk melegalkan tanaman ganja di Indonesia. Dalam

perkembangannya, salah seorang anggota mencetuskan sebuah usul terkait

organisasi untuk mewadahi gerakan legalisasi ganja. Nama organisasi tersebut ialah

Lingkar Ganja Nusantara, sedangkan “Dukung Legalisasi Ganja” tetap menjadi

nama untuk grup di facebook. Setahun kemudian pada bulan April 2011 LGN

secara resmi memiliki kantor yang berlokasi di Pulau Situ Gintung 3, Ciputat,

Tangerang Selatan.53

A.2 Struktur Organisasi Lingkar Ganja Nusantara (LGN)

Gambar III.1. Struktur Organisasi LGN

53
LGN, “Sejarah Lahirnya LGN”, artikel diakses pada 25 Juni 2020, dari http://www.lgn.or.id/sejarah-
lahirnya-lgn /.

34
Adapun tugas dan peranan masing-masing bagian ialah sebagai berikut:54

● Musyawarah Nusantara

Merupakan forum tertinggi di struktur organisasi yang berisi perwakilan

dari tiap daerah di Indonesia seperti Medan, Bali, Yogyakarta, Aceh dan

lain-lain yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Forum ini merupakan

wadah bagi LGN untuk menyusun agenda perjuangan.

● Ketua

Bertugas menjalankan visi dan misi serta agenda perjuangan yang kemudian

dipertanggung jawabkan kepada musyawarah nusantara.

● Organisasi

Merupakan divisi di bawah koordinasi ketua LGN yang bertugas dalam hal

kampanye, administrasi, program kerja dan pengumpulan dana untuk

operasional organisasi.

● Riset

Merupakan divisi yang dibentuk untuk melakukan riset terkait tanaman

ganja. Lembaga riset tersebut bernama Yayasan Sativa Nusantara.

● Relawan

Berisi anggota-anggota yang membantu perjuangan LGN baik berupa saran

dan masukan serta dukungan finansial.

54
Wawancara dengan Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN), 30 Juli 2020

35
A.3 Visi, Misi dan Program Kerja LGN

Dalam situs resminya, LGN memiliki visi dan misi di antaranya:55

Visi:

● Pemanfaatan pohon ganja sebagai aset kapital bangsa demi

mewujudkan rakyat adil, makmur, sentosa berdasarkan ajaran

Pancasila.

Misi:

● Gotong Royong dalam segala bidang perjuangan; terutama penelitian,

edukasi, advokasi dan membangun komunitas.

Gambar III.2. Logo LGN

Sumber Gambar: Situs Resmi LGN

Untuk menjalankan fungsinya LGN memiliki serangkaian program kerja yang

dibagi menjadi tiga bidang di antaranya:56

55
LGN, “Visi Misi LGN”, artikel diakses pada 25 Juni 2020, dari http://www.lgn.or.id/visi-misi-
lgn/.
56
Wawancara dengan Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN), 30 Juli 2020

36
a. Riset

Riset merupakan program kerja LGN yang didasarkan untuk mencari tahu

manfaat dari tanaman ganja. LGN menghimpun jurnal maupun penelitian

ilmiah dari luar negeri yang kemudian menjadi buku. Dalam program riset

ini, LGN telah menerbitkan tiga buku yang semuanya menjadikan ganja

sebagai isu utama. Adapun judul buku tersebut ialah Hikayat Pohon Ganja

(2011), Kriminalisasi Ganja (2013), Sekarang Aku, Besok Kamu! (2015),

Hikayat Pohon Ganja (2019).

b. Edukasi

Edukasi merupakan program kerja LGN yang ditujukan untuk memberi

pengetahuan kepada masyarakat umum terkait manfaat tanaman ganja.

Dalam bidang edukasi LGN memanfaatkan internet sebagai salah satu

media penyebaran informasi seperti pembuatan website yang berisi berita

maupun artikel yang dihimpun dari berbagai sumber khususnya

mancanegara. Selain media daring, LGN juga kerap hadir dalam aktivitas-

aktivitas akademis seperti seminar dan bedah buku di kampus.

c. Advokasi

Advokasi yang dilakukan LGN di antaranya melakukan audiensi dengan

lembaga dan instansi terkait untuk menyampaikan pemanfaatan tanaman

ganja karena arah advokasi LGN berfokus pada perubahan UU Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika.

37
B. Rekam Jejak Penggunaan Ganja di Indonesia

Ganja atau dengan nama ilmiah Cannabis Sativa merupakan tanaman yang

dapat dengan mudah dijumpai di daerah beriklim tropis hingga sedang. Ganja

memiliki pohon yang rimbun dan tumbuh layaknya tanaman liar pada umumnya.57

Ganja tersusun dari ratusan senyawa tetapi terdapat lima senyawa yang dominan di

dalamnya yakni tetracannabinol (THC), cannabidiol (CBD), cannabinol,

cannabichromes (CBC), cannabigerol (CBG). Menurut ahli kimia bahan alam

Universitas Syah Kuala, Professor Musri Musman dari kelima senyawa tersebut

hanya THC yang memiliki bahan psikotropika sedangkan empat lainnya

bermanfaat untuk medis. Namun dalam batas tertentu THC juga dapat memiliki

manfaat medis.58

Menurut Robert Cribb dan Audrey Kahin dalam Kamus Sejarah Indonesia,

ganja merupakan tanaman asli yang berasal dari di wilayah Laut Kaspia tetapi pada

abad ke-10 dilaporkan bahwa ganja berasal dari Jawa.59 Pada abad ke-14 Ganja

didatangkan ke Nusantara oleh kelompok dagang dan pelaut dari wilayah Gujarat,

India ke daerah Aceh. Tak hanya di Aceh, ganja juga dibawa hingga ke wilayah

timur nusantara seperti Maluku. Status ganja saat itu merupakan rempah yang selain

dimanfaatkan untuk keperluan pangan, juga digunakan sebagai alat transaksi tukar

dengan rempah lain seperti halnya pala dan cengkeh.60

57
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan
Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkoba, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2003), hlm 48.
58
Tirto, “Opium Bisa Diregulasi Untuk Medis, Mengapa Ganja Tidak?”, artikel diakses pada 22
September 2020 dari https://tirto.id/opium-bisa-diregulasi-untuk-medis-mengapa-ganja-tidak-f3uZ
59
Robert Cribb dan Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu,
2012), hlm 141.
60
BBC News Indonesia, “Sejarah dan budaya ganja di Nusantara: Ritual, pengobatan, dan bumbu
rempah makanan”, artikel diakses pada 24 Juni 2020 dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-
51441909

38
Merujuk pada pendekatan historis, ganja di Nusantara pada umumnya

digunakan untuk pengobatan, pertanian dan bahan campuran makanan. Dalam

bukunya yang berjudul Herbarium Amboinense yang terbit pada 1741, seorang ahli

botani bernama G. E Rumplus menyebutkan bahwa masyarakat Ambon telah

memanfaatkan bagian akar dari tanaman ganja untuk menyembuhkan penyakit

gonore atau yang lebih dikenal dengan kencing nanah. Selain akarnya, bagian daun

tanaman ganja juga dimanfaatkan dengan cara diseduh bersamaan dengan tanaman

pala dalam bentuk teh untuk meredakan asma, nyeri dada dan gangguan empedu.61

Sebagai wilayah yang diketahui merupakan jalur masuk ganja ke Nusantara,

masyarakat Aceh tentunya sudah lebih dulu memanfaatkan tanaman ganja untuk

kebutuhan sehari-hari. Di Aceh sendiri, masyarakat setempat memanfaatkan ganja

untuk memasak sebab benih ganja dapat meningkatkan cita rasa makanan dan

pewarna alami dalam sajian gulai kambing serta mie Aceh. Dari segi medis,

masyarakat Aceh menemukan khasiat pengobatan dari tanaman ganja pada kitab

Tajul Muluk. Kitab tersebut merupakan buku pedoman berbahasa Melayu yang

menjadikan agama sebagai pijakan dalam pemanfaatan ganja untuk medis.62

Pada sektor agrikultur, masyarakat Aceh menyebut tanaman ganja dengan

julukan Bak Lakoe (suami tanaman). Ganja diibaratkan sebagai sosok laki-laki yang

memiliki tanggung jawab untuk melindungi tanaman lain dari serangan hama.

Selain itu, tanaman ganja juga dipercaya mampu menyuburkan tanah pertanian dan

61
G. E Rumphius, “Herbarium Ambonise”, dalam Dania Putri dan Tom Blickman, “Ganja di
Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi dan Kebijakan”, Drug Policy Briefing No.44 (Januari 2015),
hlm 3.
62
Dania Putri dan Tom Blickman, “Ganja di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi dan
Kebijakan”, hlm 4.

39
membuat tanaman di sekitarnya menjadi lebih produktif. Hal tersebut disebabkan

lantaran ganja mampu menyalurkan hydrogen dengan baik ke dalam tanah lewat

butiran-butiran kecil yang ada pada akarnya.63

Namun sayangnya pada era Orde Baru, di bawah Rezim Soeharto, ladang-

ladang ganja yang semula dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup, terpaksa dikuasai

oleh kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). GAM melihat ada potensi

ekonomi dalam tanaman ganja yang kemudian dijual ke dalam atau luar negeri

untuk dana logistik mereka. Dari penjualan tersebut GAM mampu memenuhi

kebutuhan kelompok seperti seragam, pembelian senjata, dan makanan selama

bersembunyi di hutan.64

C. Regulasi Narkotika di Indonesia


C.1. Pra Kemerdekaan

Secara historis, regulasi tentang narkotika dan psikotropika tertuang dalam

Verdovende Middelen Ordonnantie (Staatsblad No. 278 jo No. 536). Di tahun 1927,

dunia internasional mulai berusaha mengatur pengendalian obat bius. Hal tersebut

membuat pemerintah kolonial Belanda menerbitkan dekrit yang berisi pelarangan

budidaya, kegiatan produksi dan konsumsi narkotika, dengan catatan boleh

digunakan untuk keperluan medis dan riset ilmiah atas izin otorisasi pemerintah.

Walaupun menjadikan opium beserta turunannya fokus utama kebijakan tersebut,

dekrit ini juga dengan tegas melarang aktivitas yang berkaitan dengan tanaman

63
LGN, “Lakoe Kupi Cerita Rakyat Aceh Tentang Ganja” artikel diakses pada 25 Juni 2020,
dari http://www.lgn.or.id/lakoe-kupi-cerita-rakyat-aceh-tentang-ganja-sebagai-suami-pohon-kopi/.
64
Abdul Khalik, Dunia Dalam Ganja; Dari Aceh Hingga Bob Marley. (Yogyakarta: Pinus Book
Publisher, 2017), hlm 194.

40
ganja. Pemberian denda atau hukuman penjara menjadi ancaman jika terbukti

melanggar hukum. Pada dekrit tersebut adapun status tanaman ganja ialah:

Pertama, baik ekspor maupun impor, penggunaan dan pengolahannya sangat

dibatasi. Kedua, ganja dilarang untuk dimiliki maupun dibudidaya.65

C.2 Pasca Kemerdekaan

Pada tahun 1961, diselenggarakan United Nation Single Convention on

Narcotic and Drugs di New York, Amerika Serikat. Secara prinsip, konvensi

internasional ini bertujuan membentuk pengawasan internasional terhadap

narkotika, mengatur tata kelola penggunaan hanya pada tataran medis dan ilmu

pengetahuan serta menciptakan kerja sama berskala internasional terkait

narkotika.66

Dalam United Nation Single Convention on Narcotic and Drugs, diatur juga

tentang penyalahgunaan narkotika dan mengharuskan melakukan kriminalisasi

pada pelaku penyalahguna narkotika bagi seluruh negara yang hadir dan

meratifikasi konvensi tersebut. Dalam konvensi tersebut setiap negara diwajibkan

menyampaikan bahan-bahan narkotika apa saja yang digunakan khususnya jenis

narkotika yang diawasi ketat oleh internasional kepada institusi bernama Dewan

Pengawasan Narkotik Internasional (INCB-International Narcotics Control

65
Dania Putri dan Tom Blickman, “Ganja di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi dan
Kebijakan”, Drug Policy Briefing No.44 (Januari 2015), hlm 10.
66
Siswanto, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009),
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2012), hlm 5.

41
Board). Pada Konvensi ini juga belum diatur dengan rinci regulasi tentang

perawatan atau rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika.67

Sewaktu meletusnya perang di Vietnam, hampir semua negara khususnya

Amerika Serikat mengalami lonjakan penyalahgunaan narkotika dan di waktu yang

bersamaan hal tersebut juga berdampak bagi Indonesia. Atas dasar itulah Presiden

Soeharto menerbitkan Instruksi No. 6 Tahun 1971 terkait pembentukan badan

koordinasi atau BAKOLAK INPRES 6/71. Bakolak bertugas menanggulangi

kegiatan-kegiatan yang mengancam negara termasuk di dalamnya bahaya

narkotika.68

Pembentukan Bakolak ternyata tidak serta merta membuat permasalahan

narkotika menurun. Dalam situasi tersebut, Pemerintah bersama DPR sepakat untuk

menyusun UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU Nomor 22 Tahun

1997 tentang Narkotika. Lahirnya UU tersebut membuat Presiden Abdurrahman

Wahid mendirikan Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) yang

merupakan cikal bakal lahirnya BNN.69

C.3. Pasca Reformasi

Dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi saat itu, pemerintah membentuk

UU No. 35 Tahun 2009 untuk menggantikan UU No. 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika dan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pada UU ini diatur

tentang ketentuan seperti dasar, asas, dan tujuan regulasi mengenai narkotika di

67
V.L. Sinta Herindrasti, “Drug-free ASEAN 2025: Tantangan Indonesia dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkoba”, Jurnal Hubungan Internasional Vol. 7, NO. 1 ( April - September 2018): hlm
27.
68
Abdul Khalik, Dunia Dalam Ganja; Dari Aceh Hingga Bob Marley, hlm 191-192.
69
BNN, “ Profil BNN”, artikel diakses pada 10 Mei 2020, dari https://bnn.go.id/profil/

42
Indonesia. UU ini diselenggarakan dengan asas keadilan, pengayoman, ketertiban

dan kepastian hukum.70

Satu hal yang membedakan UU No 35 Tahun 2009 dengan UU sebelumnya

adalah bahwa UU No. 35 Tahun 2009 memiliki cara pandang yang lebih humanis

dan menitikberatkan pandangan pada upaya pemulihan korban dalam lewat

mekanisme dekriminalisasi dalam bentuk rehabilitasi medis dan sosial. Namun baik

pengedar, bandar dan kurir harus menerima hukuman seberat-beratnya dalam hal

ini kurungan seumur hidup atau hukuman mati. Dengan demikian dapat ditarik

sebuah kesimpulan pada UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika berupaya

memilah, aktor yang terlibat dalam aktivitas narkotika, kelompok pemakai dapat

diklasifikasikan sebagai korban atas tindakannya sendiri dan harus mendapatkan

rehabilitasi agar fisik serta psikisnya dapat kembali normal.71

70
Siswanto, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009), hlm
5.
71
V.L. Sinta Herindrasti, “Drug-free ASEAN 2025: Tantangan Indonesia dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkoba”, hlm 28.

43
BAB IV
UPAYA LGN SEBAGAI KELOMPOK KEPENTINGAN DALAM
PERUBAHAN UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Bab ini adalah analisis tentang “Upaya Lingkar Ganja Nusantara (LGN) dalam

Perubahan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”. Sebagai organisasi pertama

dan terbesar yang mengangkat isu pemanfaatan tanaman ganja, LGN tentunya

membutuhkan saluran-saluran untuk mengartikulasikan kepentingannya. Oleh

sebab itu, pada bab ini penulis akan menganalisis LGN sebagai kelompok

kepentingan, sarana penyaluran kepentingan LGN dan hambatan yang LGN hadapi

dalam mengubah UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

A. LGN Sebagai Kelompok Kepentingan

Dalam pembahasan sebelumnya Gabriel A. Almond dalam Haniah Hanafie dan

Ana Sabhana Azmy menyebut bahwa terdapat empat jenis kelompok kepentingan

yakni (1) kelompok anomik yang dicirikan terbentuk secara tidak terencana dan

tidak terorganisir sebab kelompok ini tidak memiliki baik nilai maupun norma yang

mengikat. Kelompok ini mengedepankan bentuk partisipasi non konvensional

seperti demonstrasi dan kerusuhan. (2) kelompok non assosiasional merupakan

kelompok yang terbentuk dari ikatan sosial tertentu seperti etnis, keluarga, kelas

dan kedaerahan. Kelompok ini sifatnya non formal dan lebih menekankan

hubungan lewat individu-individu atau pemuka agama untuk mengartikulasikan

kepentingannya. (3) kelompok institusional adalah kelompok yang sifatnya formal

dan terorganisir dengan baik. Kelompok ini berisi individu-individu yang

profesional di bidangnya. (4) kelompok assosiasional ialah kelompok yang setara

44
dengan organisasi formal dan memiliki semacam prosedur untuk tertentu untuk

merumuskan kepentingannya.72

Berdasarkan jenis kelompok kepentingan yang sudah dijelaskan di atas, maka

LGN dapat dikategorikan sebagai kelompok kepentingan jenis assosiasional.

Almond menyebut bahwa kelompok assosiasional dicirikan memiliki visi serta misi

yang jelas, basis organisasi atau jaringan yang luas dan mewakili kepentingan

kelompok. Kelompok assosiasional juga memiliki struktur kelembagaan yang

birokratis dan rapi.73

Adapun struktur organisasi LGN menurut Dhira sebagai berikut:

LGN dijabat oleh seorang ketua; saya sendiri. Saya juga dibantu sama dua
bidang yaitu ada bagian organisasi sama riset. Nah kemudian secara organisasi
saya bertanggung jawab kepada Musyawarah Nusantara yang terdiri dari
perwakilan cabang di seluruh Indonesia. Selain itu LGN juga dapat dukungan
dari relawan yang aktif ngasih saran, masukan dan bantuan finansial.74

B. Upaya Penyaluran Kepentingan LGN

Mohtar Mas’oed menyatakan bahwa agar kepentingannya dapat tersalurkan

dengan maksimal, kelompok kepentingan diharapkan untuk mampu membangun

hubungan dengan para pembuat kebijakan baik formal maupun informal. Dalam

usaha menyampaikan kepentingannya kelompok kepentingan tidak hanya sekedar

memberi informasi tetapi juga berusaha meyakinkan para pembuat kebijakan untuk

selaras dengan pandangan kelompok sehingga mampu membuat putusan yang

relevan. Oleh sebab itu, kelompok kepentingan mencari saluran yang tepat agar

72
Haniah Hanafie dan Ana Sabhana Azmy, Kekuatan Kekuatan Politik, (Ciputat: UIN Jakarta
Press, 2016), hlm 11-13.
73
Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, hlm 69.
74
Wawancara dengan Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN), Tangerang
Selatan 30 Juli 2020.

45
kepentingan yang mereka bawa mendapat atensi dan saluran-saluran yang dipilih

memiliki pengaruh terhadap efektivitas kelompok.75

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa LGN termasuk kelompok

kepentingan assosiasional. Pada kasus ini penulis menilai bahwa LGN sebagai

kelompok kepentingan sebab dari kesamaan kepentingan dalam usaha

memanfaatkan ganja organisasi ini dibentuk. LGN merupakan sebuah wadah untuk

menampung aspirasi masyarakat umum yang memiliki persamaan pandangan

bahwa ganja perlu untuk dimanfaatkan.

Dalam wawancaranya, lebih lanjut Dhira menyebut bahwa:

Sasaran LGN itu ingin mengubah status hukum tanaman ganja pada UU No. 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika. Soalnya ganja masuk golongan 1 yang artinya
ngga bisa dipakai untuk medis. Sedangkan kita yakin kalo ganja punya potensi
medis. Untuk meruntuhkan klaim bahwa ganja tidak memiliki manfaat medis,
kita minta Pemerintah untuk melakukan riset sebagai rujukan ilmiah dalam
melihat kandungan tanaman ganja.76

Dalam usaha memaksimalkan penyaluran kepentingannya, LGN

memanfaatkan beberapa sarana sebagaimana kelompok kepentingan pada

umumnya. Penulis menemukan saluran yang LGN gunakan supaya kepentingannya

dapat disalurkan dengan baik yakni demonstrasi dan media massa, lobi serta

menggunakan institusi formal berupa lembaga peradilan yakni Mahkamah

Konstitusi yang lebih lengkapnya akan dijelaskan di bawah ini.

75
Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, hlm 70.
76
Wawancara dengan Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN), Tangerang
Selatan 30 Juli 2020.

46
B.1. Demonstrasi

Salah satu penyaluran kepentingan yang dilakukan LGN adalah melalui

demonstrasi. Almond menyatakan demonstrasi merupakan salah satu cara non

konvensional yang kelompok kepentingan gunakan untuk mengartikulasikan

kepentingannya. Umumnya cara ini digunakan oleh kelompok jenis anomik, namun

dalam beberapa kesempatan cara ini juga kerap digunakan oleh jenis kelompok lain

namun lebih terkonsep dan rapi.77

B.1.1 Pembentukan Opini Publik Lewat Demonstrasi Global Marijuana

March

Menurut Puji, media memiliki peran yang penting bagi kelompok kepentingan

sebagai saluran menyampaikan aspirasinya. Media tidak hanya sebuah lembaga

yang berfungsi memberikan informasi yang disebarluaskan kepada khalayak secara

bersamaan melalui siaran tv, radio, media cetak dan dunia maya tetapi juga mampu

membangun citra yang dapat memengaruhi pandangan publik. Fenomena tersebut

dikenal sebagai agenda setting. Agenda setting berfungsi untuk menajamkan suatu

isu sehingga apa yang ditekankan dan dilihat penting oleh media menjadi sesuatu

yang penting pula bagi khalayak. Perannya begitu sentral sebab mampu

menentukan publik untuk menerima isu tersebut sebelum akhirnya diterima

menjadi opini publik.78

Kelompok kepentingan juga memanfaatkan hal tersebut untuk memberitahu

bahwa ada sesuatu yang tidak beres sehingga mereka menginginkan adanya

77
Haniah Hanafie dan Ana Sabhana Azmy, Kekuatan Kekuatan Politik, hlm 11.
78
Puji Rianto, “Opini Publik, Agenda Setting, dan Kebijakan Publik, Jurnal Komunikasi, Vol. 5
No.1, (Oktober 2010), hlm 33.

47
tindakan oleh pembuat kebijakan untuk memenuhi kebutuhan kelompok yang

mereka hendaki. Mengacu pada diagram Samodra Wibawa, perjalanan suatu isu

hingga sampai menjadi kebijakan ialah sebagai berikut: 79

Gambar IV.1. Tahapan Agenda Setting

Isu Opini Publik Agenda Kebijakan Kebijakan


Sumber Gambar: Tahapan Pembentukan Agenda Menurut Samodra Wibawa, “Politik Perumusan

Kebijakan Publik”

Diagram di atas menunjukan bahwa lahirnya suatu kebijakan tidak lepas dari

sebuah masalah yang melatarbelakangi. Masalah tersebut dibawa oleh media

menjadi isu publik kemudian menjadi sebuah opini publik karena telah berkembang

di masyarakat. Untuk merespon hal tersebut, pemerintah kemudian menyeleksi isu

yang dianggap penting menjadi agenda kebijakan sebelum akhirnya masalah

tersebut disusun menjadi sebuah kebijakan.

Benjamin menyatakan salah satu cara yang cukup sering digunakan kelompok

kepentingan adalah memilih untuk turun ke jalan karena minimnya kontak atau

relasi dan pengalaman untuk menggunakan strategi politik formal lainnya. Aksi,

demonstrasi massa, dan pawai di tengah kota oleh kelompok kepentingan dapat

menciptakan opini yang baik dengan menarik perhatian pemerintah maupun

masyarakat luas.80

79
Samodra Wibawa, Politik Perumusan Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011),
hlm 59-60.
80
Benjamin Ginsberg dkk, We The People: An Introduction To American Politics Sixth Edition,
(New York: W.W Norton dan Company, 2007), hlm 412

48
Dalam strateginya menuntut perubahan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika, LGN secara rutin menggelar demonstrasi pada gelaran Global

Marijuana March (GMM). GMM merupakan acara tahunan dalam rangka

memperingati hari ganja sedunia yang jatuh tiap tanggal 20 April yang serentak

dilaksanakan di seluruh dunia. Aksi tersebut digelar pada hari Sabtu pertama bulan

Mei.81

Gambar IV.2. Global Marijuana March

Sumber Gambar: Tribunnews.com

Menurut Dhira, LGN pertama kali menggelar aksi GMM pada tahun 2010.

Aksi perdana tersebut dihadiri tidak sampai 30 orang sehingga tidak menarik minat

media untuk menyorot isu legalisasi ganja untuk medis. Selang dua tahun

81
Tribunnews.com, “LGN Minta Pemerintah Kontrol Peredaran Ganja”, artikel diakses pada 12
September 2020 dari https://www.tribunnews.com/nasional/2012/05/05/lgn-minta-pemerintah-kontrol-
peredaran-ganja.

49
kemudian, pada tahun 2012 aksi serupa kembali dilangsungkan dengan konsep

yang lebih terencana dan jumlah massa yang lebih besar bahkan tak sedikit peserta

aksi datang dari luar kota. Adapun teknis aksi GMM dikemukakan oleh Ketua LGN

Dhira sebagai berikut:

Longmarch dimulai dari Bundaran Hotel Indonesia ke Sarinah terus balik


ke lokasi awal aksi. Di GMM 2012, kita ada lima poin tuntutan kepada
Pemerintah Indonesia yakni mengeluarkan ganja dari golongan narkotika,
kanker dapat disembuhkan dengan ganja, menggunakan hemp sebagai
energi terbarukan, hentikan kriminalisasi pada pengguna ganja dan stop
lebel haram pada tanamanan ganja.82

Tujuan dari aksi GMM ialah bahwa LGN ingin menyampaikan adanya sebuah

masalah dalam kebijakan narkotika Indonesia sehingga Pemerintah perlu untuk

mengambil solusi yang tepat. Dalam aksinya, selain menuntut perubahan terhadap

UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, LGN juga memberi edukasi dan

pemahaman baru tentang ganja. Adapun tujuan dari edukasi tersebut menurut Dhira

ialah sebagai berikut:

LGN memberi edukasi pada masyarakat supaya masyarakat umum bisa


dapat informasi yang objektif terkait manfaat dibalik tanaman ganja.
Soalnya yang jadi masalah kan kebanyakan masyarakat taunya ganja itu
berbahaya, bikin ketergantungan dan ngga banyak yang tau ganja bisa jadi
obat dari zaman nenek moyang kita dulu.83

Perlahan namun pasti, dalam beberapa aksi lanjutan yang rutin digelar tiap

tahunnya LGN mendapati beberapa peningkatan yang cukup signifikan misalnya

peserta aksi yang semakin banyak dan liputan dari berbagai media. Tentunya hal

82
Wawancara dengan Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN), Tangerang
Selatan 30 Juli 2020.
83
Wawancara dengan Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN), Tangerang
Selatan 30 Juli 2020.

50
tersebut menjadi penting mengingat dengan diliputnya aksi tersebut menjadikan isu

yang sedang mereka perjuangkan sampai pada publik. Aksi tersebut kembali digelar

di tahun-tahun berikutnya dengan jumlah peserta dan titik aksi yang tidak hanya

berfokus di Jakarta saja namun serentak digelar di beberapa daerah. LGN tetap

konsisten untuk menuntut perubahan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

dengan mengeluarkan ganja dari golongan 1 narkotika.84

Dalam menyampaikan tuntutannya, Maiwan menjelaskan bahwa kelompok

kepentingan memanfaatkan media massa sebagai wadah untuk menarik pandangan

dan perhatian umum, sehingga pemerintah diharapkan mengambil keputusan atau

kebijakan atas isu tersebut. Pesan-pesan yang disampaikan lewat media menjadi

harapan bagi kelompok kepentingan dalam hal ini LGN untuk dapat dengan sigap

direspon Pemerintah. Proses tersebut biasanya diawali dengan diskursus publik di

tataran masyarakat.85 Dari aksi GMM yang LGN lakukan tiap tahunnya dapat

dijelaskan bagaimana agenda setting bekerja. Sorotan media yang mengangkat isu

pemanfaatan ganja medis membuat publik menjadi paham bahwa terdapat sebuah

isu yang tidak bisa disepelekan.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa LGN telah melaksanakan salah

satu strategi kelompok kepentingan dalam mengartikulasikan kepentingannya

yakni demonstrasi. Pada demonstrasi tersebut LGN mendapat manfaat khususnya

sorotan media yang berperan menaikan isu legalisasi ganja untuk medis. Baik pihak

84
Ngopibareng, “LGN Gelar Aksi Global Marijuana di Surabaya”, artikel diakses pada 21
September 2020 dari https://www.ngopibareng.id/timeline/hari-ganja-sedunia-digelar-di-surabaya-
4471089
85
Mohammad Maiwan, “Kelompok Kepentingan (Interest Group), Kekuasaan dan Kedudukannya
Dalam Sistem Politik”, hlm 75.

51
Pemerintah maupun masyarakat umum akhirnya mengetahui bahwa terdapat

sebuah masalah dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan isu yang

perlu diperdebatkan dalam ruang publik terkait manfaat tanaman ganja untuk

pelayanan kesehatan.

B.2 Lobi

Lobi sebagai sarana penyaluran digunakan pula oleh LGN dalam penyaluran

kepentingan mereka. Adapun sasaran lobi mereka adalah BNN dan Kemenkes.

Almond menyebut bahwa kelompok kepentingan kerap menggunakan saluran

resmi dan kelembagaan untuk menyalurkan kepentingannya. Salah satunya adalah

lobbying dengan menyampaikan informasi dan pernyataan langsung di depan para

pembuat kebijakan.86

B.2.1 Lobi Kepada BNN dan Kemenkes

Dalam usahanya, LGN melakukan beberapa kali lobi kepada para pejabat

publik dalam hal ini instansi yang mereka tuju adalah BNN dan Kemenkes. Pada

praktiknya, BNN merupakan instansi pertama yang LGN lobi. Pertemuan tersebut

terjadi tahun 2013 di gedung BNN.

86
Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, hlm 73.

52
Gambar IV.3. LGN melobi BNN

Sumber Gambar: Dokumentasi LGN

Dalam pertemuannya LGN mendesak BNN untuk meneliti tanaman ganja yang

saat ini masih tertunda dan menghentikan kriminalisasi bagi pengguna ganja. Selain

tuntutan tersebut, LGN juga menyatakan jika upaya pemberantasan narkotika di

Indonesia tidak berjalan dengan tepat. Dalam pertemuan tersebut Dhira,

menyampaikan sumber masalah karena status tanaman ganja, berikut rinciannya:

Ganja statusnya ilegal di Indonesia hal itu jadi berdampak dengan beredarnya
ganja di pasar gelap. LGN menyarankan ganja diregulasi dan diatur oleh negara
supaya pasar gelap bisa hilang dengan sendirinya. LGN juga banyak
menjumpai pengguna ganja yang dikirim ke penjara dan ngga sedikit diperas
oleh oknum aparat.87

Merespon tuntutan tersebut, BNN memberi jawaban yakni:88

1. Perihal hukuman bagi pengguna narkotika, terlebih dulu sudah diatur lebih

lanjut di Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 (PP Wajib Lapor) yang

87
Wawancara dengan Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN), Tangerang
Selatan 30 Juli 2020.
88
LGN, “LGN Temui BNN Bahas Legalisasi Ganja”, artikel diakses pada 6 September 2020,
dari http://www.lgn.or.id/lgn-temui-bnn-bahas-legalisasi-ganja /

53
menyatakan bahwa baik korban penyalahguna maupun pecandu mendapat

rehabilitasi.

2. Terkait riset terhadap tanaman ganja, Kadiv. Humas Sumirat menyebut

untuk melakukan penelitian narkotika khususnya golongan 1 tidak mudah

dan harus memperhatikan beberapa pertimbangan.

3. Indonesia masih patuh dengan United Nation Single Convention on

Narcotic and Drugs tahun 1961 yang menyatakan ganja tidak dapat

digunakan bagi pelayanan kesehatan.

4. Jika LGN ingin melakukan perubahan status ganja pada UU No. 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika maka LGN harus berkoordinasi dengan Kemenkes

dan DPR.

Usai melobi BNN, LGN pun melakukan lobi terhadap Kemenkes pada tahun

2014. Dalam pertemuannya LGN menghadirkan seorang akademisi asal Aceh yang

memiliki kompetensi perihal tanaman ganja yakni Prof Musri Musman. Adapun

rincianya sebagai berikut:

Dalam pertemuan sama Kemenkes, Prof Musri memaparkan hasil penelitian


yang disusun bareng LGN terkait manfaat tanaman ganja. Jadi ganja oleh
masyarakat Aceh udah lama dipakai untuk obat diabetes atau kencing manis.
Dari presentasi itu LGN diminta buat roadmap penelitian ganja sebelum
akhirnya izin riset itu keluar. Setelah izin riset keluar kita diminta oleh
Kemenkes untuk minta izin juga ke BNN.89

Dari pertemuan itu Kemenkes menyepakati 3 poin yakni:

89
Wawancara dengan Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN), Tangerang
Selatan 30 Juli 2020.

54
1. Akan ada pertemuan lanjutan untuk membahas roadmap terkait manfaat

medis tanaman ganja,

2. Pertemuan tersebut harus diisi oleh para pakar dari berbagai macam latar

belakang akademik,

3. Mengusulkan menunjuk Balitbangkes Kementerian Kesehatan RI sebagai

leading sector dalam membuat roadmap riset ganja.

Selang setahun kemudian pada tahun 2015, Kemenkes menerbitkan surat izin

riset kepada LGN perihal riset ganja. Namun yang menjadi catatan adalah izin

tersebut dapat digunakan apabila LGN telah mempunyai lembaga riset berbadan

hukum yakni Yayasan Sativa Nusantara. Yayasan Sativa Nusantara bertugas untuk

meneliti ganja di Indonesia dari aspek medis, hukum hingga budaya.90

Adapun ketentuan riset ganja yang dikeluarkan Kemenkes ialah sebagai

berikut:91

1. Penelitian ganja harus mengacu pada aturan yang sudah ada khususnya UU

No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

2. Sebelum melakukan penelitian terkait kandungan zat dalam tanaman ganja,

penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi tanaman ganja yang tumbuh

di Indonesia

3. Untuk mengetahui manfaat medis, tanaman ganja harus melewati beberapa

fase tahapan uji pra klinik.

90
Change.org, “ Bu Nafsiah Mboi Mulailah Riset Ganja Untuk Manfaat Medis, artikel diakses
pada 3 Oktober 2020 dari https://www.change.org/p/bu-nafsiah-mboi-mulailah-riset-ganja-untuk-
manfaat-medis-ganjamedis/u/10283931
91
Surat Izin Riset Ganja oleh Kementerian Kesehatan Nomor: LB.02.01/III.3/885/2015.

55
4. Dari tahapan pembuatan proposal, pelaksanaan hingga publikasi penelitian

harus berkoordinasi dengan Kemenkes.

Benjamin menyebut lobi merupakan upaya bagi suatu kelompok untuk

memengaruhi proses kebijakan secara persuasi kepada pembuat kebijakan.

Kelompok kepentingan menggunakan pengaruhnya melalui kontak langsung

dengan anggota parlemen maupun pihak pemerintahan. Lobi melibatkan aktivitas

di mana seseorang ataupun sesuatu kelompok berbicara untuk kepentingan tertentu.

Tujuan utama lobi adalah membuat para pemangku kebijakan yakin dengan apa

yang kelompok kepentingan sampaikan dengan menyodorkan fakta tentang

masalah tersebut dan dukungan publik terhadap sebuah masalah.92

Menurut Ardianto dkk, lobi lekat dengan aktivitas yang melibatkan para politisi

maupun otoritas administratif yang umumnya ditargetkan kepada kelompok-

kelompok tertentu. Lobi memiliki tujuan untuk memperoleh pengaruh terhadap

kebijakan dan keputusan politik. Menjadi penting untuk memperhatikan

kerahasiaan dan kebijaksanaan apabila lobi menyangkut isu yang cenderung

sensitif. Lobi dapat dikatakan berhasil jika diawali dengan perencanaan yang

matang dan kelompok yang melakukan lobi diharapkan mempunyai pengetahuan

dan gambaran tentang arena politik. Dalam proses komunikasi politik, lobi yang

efektif sebaiknya dilangsungkan secara tatap muka. Kedua hal tersebut dikhususkan

92
Benjamin Ginsberg dkk, We The People: An Introduction To American Politics Sixth Edition,
(New York: W.W Norton dan Company), hlm 412-413.

56
untuk membentuk suasana yang lebih personal dan dekat supaya tujuan

mempersuasi lebih dalam dapat berjalan dengan baik.93

Dalam praktiknya, bahwa Lobi yang dilakukan oleh LGN menyasar para

pembuat kebijakan yang dalam konteks penelitian ini terdiri dari BNN dan

Kemenkes. Berdasarkan pemaparan di atas, menunjukan bahwa LGN sebagai

sebuah kelompok kepentingan telah menjalankan strategi lobi kepada beberapa

instansi seperti BNN dan Kemenkes. Dari dual lobi tersebut LGN mendapat hasil

positif ketika melobi Kemenkes karena salah satu agenda mereka yakni melakukan

riset dikabulkan oleh Kemenkes. Lain dengan Kemenkes, LGN mendapat hambatan

melobi BNN karena terbentur sikap keras BNN terhadap upaya legalisasi ganja

medis yang LGN suarakan.

Selain itu, dalam upaya lobi ini LGN belum dapat dikatakan sepenuhnya berhasil

sebab tidak adanya komunikasi intens antara LGN dengan DPR selaku instansi

yang berwenang mengubah UU lantaran legalisasi ganja medis adalah isu yang

sensitif terlebih sampai hari ini Indonesia belum melakukan penelitian terkait

manfaat ganja bagi kesehatan. Meskipun belum dapat mengubah undang-undang

yang berlaku, lobi yang telah LGN lakukan berhasil mendorong Pemerintah

memberi izin riset kepada LGN untuk meneliti tanaman ganja.

B.3. Institusi Formal

Dalam penyaluran kepentingannya, LGN juga menggunakan institusi formal

dalam hal ini Mahkamah Konstitusi yang berwenang melakukan Judicial Review

93
Ardianto dkk, “Praktik Lobi Dan Negosiasi Oleh Legislator Sebagai Bentuk Komunikasi
Politik”, Komuniti: Jurnal Komunikasi dan Teknologi Informasi, (Vol. 12, No. 1, Maret 2020): hlm
26.

57
atas UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Menurut Almond, institusi formal

merupakan salah satu saluran yang kelompok kepentingan gunakan. Saluran ini

biasanya berupa partai politik, badan legislatif, birokrasi dan kabinet. 94 Namun

belakangan jalur litigasi atau pengadilan menjadi saluran yang sering kelompok

kepentingan gunakan. Menurut Benjamin, Apabila gagal dalam memengaruhi

kebijakan lewat jalur legislatif dan eksekutif, kelompok kepentingan terkadang

beralih ke pengadilan sebagai alternatif untuk memperjuangkan kepentingannya.

Adapun langkah yang cukup sering diambil adalah dengan uji materi atau Judicial

Review.95

B.3.1. Mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi

Menurut Laica Marzuki Judicial Review seringkali diartikan dengan usaha

menguji kebenaran dari produk perundang-undangan oleh lembaga peradilan.

Mahkamah Konstitusi ialah lembaga yang memiliki kuasa untuk menguji peraturan

setingkat undang-undang. Hasil dari Putusan MK bersifat final sehingga tidak ada

peluang untuk melakukan kasasi, banding atau cara hukum lainnya.

Menguji peraturan perundang-undangan merupakan kewenangan MK secara

konstitusional apakah undang-undang tersebut selaras atau pun bertentangan

dengan UUD 1945. Apabila dalam pengujiannya MK memutuskan bahwa suatu

undang-undang tidak sejalan dengan UUD 1945 maka undang-undang tersebut

kehilangan kekuatan hukumnya.96

94
Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, hlm 71.
95
Benjamin Ginsberg dkk, We The People: An Introduction To American Politics Sixth Edition,
hlm 411.
96
M. Laica Marzuki, “Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Legislasi Indonesia,
Vol. 1 No. 3 – (November 2004), hlm 1-2.

58
Dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, pengujian undang-undang dibagi menjadi dua yaitu uji

formil dan materil. Uji formil merupakan pengujian pada undang-undang yang

dinilai dalam proses penyusunannya tidak sesuai dengan konstitusi. Sedangkan uji

materil ialah pengujian pada isi undang-undang.97

Mengingat produk hukum yang ingin diubah yakni undang-undang, maka

kelompok kepentingan menempuh Judicial Review di Mahkamah Konstitusi sebab

MK berwenang untuk menguji undang-undang. Dalam kasus ini, UU No. 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Dhira,

Judicial Review akan diajukan oleh beberapa kelompok, berikut kutipan

wawancaranya:

Dalam mengajukan Judicial Review, LGN bersama Lembaga Bantuan


Hukum Masyarakat (LBHM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR),
Indonesian Judicial Research Society (IJRS), Rumah Cemara, EJA dan
Yakeba membentuk Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi Narkotika
untuk Kesehatan .98

Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Ma'ruf

Bajamal menyatakan tujuan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi Narkotika

untuk Kesehatan adalah ingin mengembalikan kembali marwah hak atas kesehatan

yang telah dijamin oleh konstitusi bahwa setiap orang berhak memperoleh

pelayanan kesehatan. Berikut kutipan wawancara:

Pada prinsipnya tidak ada larangan ketika seseorang memilih pengobatan


untuk menyembuhkan penyakitnya, tiap orang berhak untuk memilih jenis
pengobatan apa yang mau dia pakai. Tapi ada kebijakan dalam hal ini

97
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
98
Wawancara dengan Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN), Tangerang
Selatan 30 Juli 2020.

59
narkotika golongan 1 yang tidak bisa dimanfaatkan untuk pelayanan
kesehatan.99

Meskipun demikian, ganja yang juga masuk ke dalam golongan 1 dewasa ini

dapat dimanfaatkan kepentingan kesehatan dan sudah dilakukan di negara-negara

lain misalnya Thailand. Pemerintah Thailand menyebut bahwa produk dari olahan

minyak ganja mampu untuk mengobati beberapa penyakit seperti pasien yang

menderita mual setelah kemoterapi, epilepsi, nyeri, dan pasien alzheimer.100

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi Narkotika untuk Kesehatan menyasar

Pasal 8 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai Pasal yang akan diuji di

MK. Pasal tersebut melarang narkotika golongan 1 untuk kesehatan agar kemudian

dibatalkan sehingga narkotika golongan 1 jika memang diperlukan untuk kesehatan

seseorang maka bisa digunakan.101

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi Narkotika untuk Kesehatan menilai

bahwa UU Narkotika tidak sejalan dengan visi Indonesia yang tertuang dalam

Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yakni memajukan kesejahteraan umum.

Parameter kesejahteraan umum tersebut kemudian diejawantahkan ke dalam Pasal

28 H ayat 1 yang berbunyi:

Setiap orang berhak mendapat hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.102

99
Wawancara dengan Ma'ruf Bajamal, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat
(LBHM), Tangerang Selatan 4 Agustus 2020.
100
CNN Indonesia, “Thailand Distribusikan Ganja Medis Untuk Pertama Kali”, artikel diakses
pada 16 Agustus 2020. dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190802111518-255-
417659/thailand-distribusikan-ganja-medis-untuk-pertama-kali.
101
Wawancara dengan Ma'ruf Bajamal, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum
Masyarakat (LBHM), Tangerang Selatan 4 Agustus 2020.
102
Undang Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

60
Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Ma'ruf

Bajamal menyatakan jika UUD 1945 telah menempatkan bahwa hak atas pelayanan

kesehatan adalah hak konstitusional. Oleh sebab itu, hak atas kesehatan begitu

tinggi posisinya dan tidak boleh bertentangan dengan produk hukum lainnya.

Namun di UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika pada Pasal 8 Ayat 1

menyebutkan bahwa Narkotika golongan 1 dilarang digunakan untuk aktivitas

medis. Berikut kutipan wawancaranya:

Dalam hal ini kan ganja masuk ke dalam golongan 1 UU No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika. Pelarangan penggunaan narkotika golongan 1 tidak
sejalan dengan hak atas pelayanan kesehatan sebagaimana yang telah
dijamin oleh konstitusi. Oleh sebab itu kita dorong pemerintah untuk
meninjau ulang golongan 1 ini.103

Selain dinilai bertentangan dengan Pasal 28 H UUD 1945, UU No. 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika memiliki masalah lantaran bertentangan dengan tujuan UU

itu sendiri. UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memiliki beberapa tujuan

yang tertuang dalam Pasal 4 salah satunya ialah menjamin ketersediaan narkotika

untuk kepentingan medis dan riset.104

Khususnya pada ayat 1 Pasal 4 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

dengan jelas bahwa UU ini menjamin ketersediaan narkotika bagi pelayanan

kesehatan. Namun timbul masalah pada Pasal 8 yang melarang penggunaan

narkotika untuk kesehatan sehingga dapat dilihat bahwa antar Pasal dalam UU

Narkotika saling bertentangan.

103
Wawancara dengan Ma'ruf Bajamal, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat
(LBHM), Tangerang Selatan 4 Agustus 2020.
104
Undang Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

61
Informasi terbaru menyebutkan bahwa tahapan pengajuan Judicial Review

sudah memasuki finalisasi dokumen dan menyiapkan para pemohon yang akan

dihadirkan di Mahkamah Konstitusi. Salah satu pemohon yang akan dihadirkan

adalah Ibu yang memiliki anak dengan kondisi cerebral palsy105. Cerebral palsy

adalah kondisi yang terjadi pada tubuh manusia akibat tidak berfungsinya bagian

otak dengan gejala berupa kelainan gerakan, otot, ataupun postur yang. Kondisi

tersebut mengakibatkan otak akan mereset seluruh memorinya ketika mengalami

kejang.106

Sewaktu di Australia, anak tersebut mendapat terapi dengan bantuan ekstra

ganja dan memberi hasil positif dari yang semula hanya dapat duduk di kursi roda

hingga kemudian dalam beberapa bulan dapat merangkak. Mengingat ekstra ganja

tersebut hanya ada dan dapat digunakan di Australia, maka beliau kesulitan

mendapat ekstra ganja untuk terapi anaknya karena terganjal UU Narkotika yang

melarang penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan.107

Reza Maulana menyebut jika Mahkamah Konstitusi menyatakan bila undang-

undang terbukti inkonstitusional maka putusan tersebut akan memberi label negatif

bagi legislatif dan eksekutif akibat rendahnya kualitas dari produk hukum yang

telah mereka sahkan.108 Selain itu Reza Maulana menyebut bahwa produk undang-

undang yang sifatnya tidak konstitusional akan memberi efek dilanggarnya hak

105
Wawancara dengan Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice
Reform (ICJR), Tangerang Selatan 15 Juli 2020.
106
Halodoc, “Cerebral Palsy”, artikel diakses pada 17 Agustus 2020 dari
https://www.halodoc.com/kesehatan/cerebral-palsy
107
Wawancara dengan Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice
Reform (ICJR) Tangerang Selatan 15 Juli 2020.
108
Muhammad Reza Maulana, “Upaya Menciptakan Produk Hukum Berkualitas Konstitusi
Melalui Model Preventif Review”, Jurnal Konstitusi Volume 15, No. 2, (Juni 2018), hlm 779.

62
konstitusional atas baik individu, komunitas masyarakat adat, dan lembaga-

lembaga negara akibat disahkannya undang-undang itu. Oleh sebab itu Mahkamah

Konstitusi menjadi lembaga peradilan yang memiliki wewenang atau kapasitas

untuk membatalkan UU yang dinilai bertentangan dengan Undang Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945.109

Dari hasil temuan di lapangan dengan menggunakan pendekatan kelompok

kepentingan Gabriel G. Almond, LGN telah menggunakan beberapa saluran

artikulasi kepentingan yang tersedia seperti:

1. Dalam demonstrasi, LGN mendapat keuntungan dengan meluasnya wacana

legalisasi ganja medis yang coba mereka bawa. Hal tersebut tentunya

merupakan satu hal positif mengingat akhirnya masyarakat memiliki

tambahan perspektif terhadap tanaman ganja. Sebagai sebuah gerakan

melawan arus utama, LGN sadar bahwa perlu terlebih dulu melakukan

edukasi publik terkait manfaat di balik dari tanaman ganja. Demonstrasi

dengan tajuk Global Marijuana March merupakan salah satu medium tidak

hanya sebagai ruang untuk mendesak pemerintah mengubah status hukum

tanaman ganja tetapi juga wadah membentuk diskursus ganja di ruang

publik.

2. Lobi dengan menargetkan BNN dan Kemenkes merupakan langkah yang

tepat. Kedua institusi tersebut merupakan bagian dari lembaga negara yang

mampu mengeluarkan kebijakan secara otoritatif. LGN tidak mendapat

109
Muhammad Reza Maulana, “Upaya Menciptakan Produk Hukum Berkualitas Konstitusi
Melalui Model Preventif Review”, hlm 782.

63
hasil yang memuaskan ketika melobi BNN karena terbentuk sikap atas

kepatuhan Indonesia sebagai negara yang meratifikasi United Nation Single

Convention Narcotics and Drugs 1961. Sedangkan ketika menemui

Kemenkes, menggunakan pendekatan medis dan historis berupa pemaparan

hasil penelitian akar ganja yang digunakan masyarakat Aceh membuat

Kemenkes yakin untuk menerbitkan izin riset pertama di Indonesia kepada

anak organisasi LGN yakni Yayasan Sativa Nusatara.

3. Judicial Review sebagai langkah konstitusi diambil LGN bersama Koalisi

Masyarakat Sipil untuk Advokasi Narkotika untuk Kesehatan dengan

menyasar Pasal 8 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebab dinilai

bertentangan dengan Pasal 28 H Ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 4 undang-

undang narkotika itu sendiri. Judicial Review ditempuh sebagai salah satu

upaya mengembalikan marwah hak atas kesehatan yang telah dijamin oleh

konstitusi.

Meski telah menggunakan saluran artikulasi kepentingan yang tersedia,

nyatanya LGN belum dapat mengubah status hukum tanaman ganja dalam UU No.

35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Kebuntuan terjadi mengingat demonstrasi dan

lobi tidak memberi pengaruh yang signifikan. Namun LGN masih memiliki peluang

pada jalur Judicial Review yang saat ini sedang memasuki proses persidangan di

Mahkamah Konstitusi. Apabila Judicial Review tersebut dikabulkan maka tentu

menjadi semacam kemenangan bagi LGN serta masyarakat umum yang

mendambakan akses kesehatan legal pada tanaman ganja.

64
C. Hambatan LGN Dalam Upaya Perubahan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika.

Menurut Easton sistem politik merupakan sekumpulan aktivitas, hubungan

dan interaksi dari unit-unit politik dengan masing-masing fungsi yang berorientasi

untuk menciptakan keputusan publik. Dalam input, tuntutan dan dukungan dapat

muncul dari pihak internal maupun eksternal. Tuntutan dan dukungan yang masuk

tersebut kemudian akan diartikulasikan oleh individu maupun kelompok supaya

mendapat putusan sesuai dengan yang diinginkan.

Pada sistem politik input yang telah masuk sebagai tuntutan kemudian dapat

diteruskan menjadi kebijakan apabila mendapat dukungan yang maksimal. Dalam

hal ini dukungan dapat dimaknai sebagai pernyataan terbuka dan tegas terhadap

suatu isu. Namun dalam usaha mengartikulasikan kepentingannya, kelompok

kepentingan seringkali mengalami hambatan karena dalam sistem politik

kepentingan tersebut akan dikonversi melalui proses interaksi yang melibatkan

lembaga-lembaga otoritatif yang kita kenal sebagai trias politica yakni legislatif,

eksekutif dan yudikatif. Tidak hanya itu, kelompok kepentingan lain seperti

birokrasi, partai politik dan media juga memiliki pengaruh yang kuat.110

Selain itu, Easton juga menyatakan bahwa dalam mengkonversi kepentingan,

lingkungan intra sosial dan ekstra sosial dapat juga memengaruhi tuntutan dan

dukungan karena sifat sistem politik yang terbuka sehingga struktur dalam proses

dan output diharapkan untuk dapat beradaptasi dengan cepat.111

110
Sahya Anggara, Sistem Politik Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm 15-16.
111
Sahya Anggara, Sistem Politik Indonesia, hlm 19.

65
C.1. Kampanye War on Drugs

Dalam sistem politik, Easton menyebut bahwa otoritas bersifat tunggal yakni

hanya kepada otoritas negara. Mekanisme output baik itu tindakan maupun

keputusan berada pada lembaga-lembaga yang memiliki otoritas sehingga bersifat

eksklusif. Selain itu sistem politik bagi Easton juga bersifat siklis layaknya

organisme yang dapat memenuhi kebutuhan hidup lewat asupan input, proses, dan

output berupa umpan balik yang ditujukan kembali ke input untuk direspon. Dari

fenomena tersebut unit-unit dalam sistem politik terus berputar selama sistem

politik tetap ada.112

Dalam usaha untuk memengaruhi suatu kebijakan yang dikehendaki kelompok

kepentingan, strategi maupun cara yang telah coba ditempuh akan menjadi

maksimal apabila mendapat dukungan dari pihak pembuat kebijakan itu sendiri.

Pada kerangka kerja sistem politik, apabila suatu kebijakan (output) dinilai tidak

sejalan dengan keinginan kelompok maka hal tersebut perlu dilakukan evaluasi.113

Dalam hal ini, Pemerintah diminta untuk objektif dan responsif merespon tuntutan

yang masuk dari LGN sehingga dapat menciptakan kebijakan (output) yang lebih

baik dari sebelumnya.

War on Drugs ialah sebuah kebijakan yang pertama kali dicetuskan oleh

Presiden Amerika Serikat Nixon pada bulan Juni 1971. Nixon secara resmi

mendeklarasikan War on Drugs, yang menyatakan bahwa penyalahgunaan narkoba

112
Sahya Anggara, Sistem Politik Indonesia, hlm 10.
113
Sahya Anggara, Sistem Politik Indonesia, hlm 28.

66
adalah "musuh publik nomor satu". Peningkatan penggunaan narkotika pada tahun

1960-an menyebabkan Presiden Nixon menargetkan beberapa jenis

penyalahgunaan zat. Sebagai bagian dari inisiatif War on Drugs, Nixon

meningkatkan pendanaan federal untuk badan-badan pengawas narkoba dan

mengusulkan langkah-langkah ketat, seperti hukuman penjara wajib, untuk

kejahatan narkoba.114

Sejalan dengan Amerika Serikat, selang empat dekade setelah deklarasi War on

Drugs, pada tahun 2016 Presiden Joko Widodo menyatakan perang terhadap

penyalahgunaan narkoba di Indonesia dan menyerukan kepada seluruh

kementerian, institusi, penegak hukum, khususnya Kepolisian Negara Republik

Indonesia (Polri), Kapolda, Polsek dan Polres untuk menangkap pengedar narkoba

dan mengadili mereka.115

Menurut Kepala Seksi Konsultasi Hukum BNN-RI Alvin Andrew Dias, BNN

selaku lembaga negara yang memiliki tugas dan wewenang terkait kebijakan

narkotika mengaplikasikannya menjadi tiga strategi yakni tindakan tegas bagi para

pengedar dan bandar narkotika, serta pencucian uang yang harus ditelusuri,

termasuk di dalamnya memiskinkan para bandar narkoba. Selain dengan aksi

represif, Alvin menyatakan bahwa BNN memiliki tindakan persuasif. Rincian

wawancaranya sebagai berikut:

Kita juga punya program namanya alternatif development yakni mengganti


tanaman ganja dengan tanaman produktif seperti palawija soalnya
masyarakat Aceh masih bergantung kepada ganja sebagai salah satu

114
History, “War on Drugs”, artikel diakses pada 19 Agustus 2020, dari
https://www.history.com/topics/crime/the-war-on-drugs
115
Setkab, “President Jokowi Declares War on Drugs”, artikel diakses pada 19 Agustus 2020
dari https://setkab.go.id/en/president-jokowi-declares-war-on-drugs/

67
komoditi yang punya nilai jual tapi di waktu bersamaan juga punya dampak
negatif bagi para penggunannya.116

Namun dalam implementasinya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum

Masyarakat (LBHM) Afif Qayim menyatakan bahwa seruan War on Drugs yang

digaungkan oleh Presiden Jokowi ditafsirkan dengan liar oleh aparat penegak

hukum sebab menjadikan individu yang terkait dengan narkotika diberi stigma

sebagai seorang kriminal dan perusak bangsa. Lebih rincinya, dalam “ Diskusi

Tentang Pemenjaraan Pengguna Ganja Medis” yang digagas oleh Voi.id Afif menyatakan

bahwa:

Dengan demikian aparat keamanan dengan leluasa memiliki semacam


legitimasi dan dukungan untuk memberantas orang-orang yang terkait
dengan narkotika. Selain itu, Pemerintah juga lebih mengedepankan
pendekatan keamanan dalam melihat masalah Narkotika, sedangkan jika
dikaitkan dengan UU Narkotika, UU tersebut secara eksplisit lebih
mengedepankan pendekatan medis seperti yang terkandung dalam Pasal 4
UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.117

Menurut Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)

Ma'ruf Bajamal, War on Drugs dapat juga dikatakan sebagai cara yang sudah usang,

bahwa seolah hanya dengan berperang melawan narkotika merupakan sebuah solusi

atau jalan keluar dari peredaran gelap yang selama ini terjadi. Namun jika dicermati

perang melawan narkotika bukan sebuah solusi.118 Sebagai contoh negara Uruguay

pernah dalam posisi serupa dan mengubah arah kebijakan ganja. Semula Uruguay

116
Wawancara dengan Alvin Andrew Dias, Kepala Seksi Konsultasi Hukum Badan Narkotika
Nasional (BNN), Jakarta Timur pada 6 Agustus 2020.
117
Muhammad Afif Qoyim, “Diskusi Tentang Pemenjaraan Pengguna Ganja Medis” oleh
Voi.id, pada 18 Juni 2020.
118
Wawancara dengan Ma'ruf Bajamal, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat
(LBHM), Tangerang Selatan 4 Agustus 2020.

68
menggunakan pendekatan keamanan dan mengerahkan aparat penegak hukum

namun hasilnya pasar gelap masih saja berkembang. Oleh sebab itu Uruguay

mengubah paradigma pasar gelar yang semula berusaha dimusnahkan menjadi

menguasainya sehingga masyarakat yang ingin membeli ganja dapat dibeli di

apotek karena aksesnya sudah dibuka oleh negara.119

Sejalan dengan pemaparan di atas, menurut Dhira kampanye War on Drugs

bertanggung jawab atas label negatif pada seluruh narkotika termasuk ganja.

Berikut kutipan wawancaranya:

Konsepsi itu menjadikan tanaman ganja dipandang oleh masyarakat sebagai


sesuatu yang jahat dan harus dihukum. Dari situ muncul ganjaphobia. Kita
nyebutnya ganjaphobia karena ketakutan terhadap ganja di masyarakat
Indonesia terlalu berlebihan. Dengan demikian Pemerintah kita masih
belum berani untuk memanfaatkan ganja sebagai solusi kebutuhan medis di
Indonesia.120

Dalam United Nation Single Convention on Narcotic and Drugs 1961

dijelaskan bahwa narkotika perlu diregulasi karena memiliki resiko yang berbahaya

jika digunakan dengan tidak tepat namun di saat bersamaan narkotika merupakan

obat yang diperlukan oleh masyarakat.121 Dalam mengatur narkotika, sudah

semestinya negara harus melakukan kontrol terhadap narkotika bukan dengan justru

melakukan pelarangan terhadapnya. Perlu digaris bawahi bahwa kontrol tidak sama

dengan pelarangan total atas narkotika.

119
Pebrianto Nainggolan, “Kepentingan Pemerintah Uruguay Melegalisasi Ganja Pada Masa
Pemerintahan Jose Alberto Mujica Cordano Tahun 2010-2015,” JOM FISIP Volume 2 No.2
(Oktober 2015), hlm 4.
120
Wawancara dengan Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN), Tangerang
Selatan 30 Juli 2020.
121
United Nation Single Convention on Narcotic and Drugs 1961

69
Gambar IV.4. Drugs Policy Spectrum

Sumber gambar: Global Commissions on Drug Policy, Regulation: The Responsible Control of
Drugs

Dalam melihat bentuk-bentuk regulasi narkotika di tiap negara, John Mark

membuat drugs policy spectrum untuk mengukur sejauh mana dampak regulasi

narkotika dengan efek kesehatan dan sosial yang terjadi di masyarakat. Sumbu Y

mewakili dampak sosial dan kesehatan dari narkotika sedangkan untuk sumbu X

adalah beberapa contoh pola kebijakan narkotika. Pada spektrum tersebut terdapat

beberapa jenis regulasi narkotika mulai dari paling ketat hingga paling longgar di

antaranya:122

122
John Marks dalam Global Commissions on Drug Policy, Regulation: The Responsible
Control of Drugs, (T.tp.: T.pn., 2018), hlm 18.

70
1. Prohibition: pelarangan sepenuhnya, dalam kurva tersebut apabila negara

absen dalam penyediaan narkotika maka narkotika akan dikendalikan oleh

pasar gelap sehingga menimbulkan dampak buruk bagi sosial dan kesehatan

masyarakat.

2. Unrestrict regulated market: merupakan pasar legal yang bebas dan dalam

hal ini negara melegalisasi narkotika tanpa mengaturnya juga memiliki

dampak sosial dan kesehatan yang tinggi.

Menurut penulis, mengacu pada spektrum tersebut Indonesia menganut pola

prohibition atau pelarangan total terhadap narkotika dan tidak membuka akses pada

narkotika. Dengan dilarangnya narkotika termasuk di dalamnya tanaman ganja,

menjadikan para pengguna yang membutuhkan tanaman ganja seperti kasus yang

menimpa Fidelis. Ia terpaksa harus mengaksesnya ke pasar gelap sebelum

kemudian ditanam dan diekstrak menjadi minyak.123 Namun hal tersebut memiliki

resiko karena pengguna mendapatkannya di pasar gelap sehingga sesuai aturan

yang berlaku maka ia akan mendapat sanksi hukum. Dengan demikian jika kita

berbicara ganja medis dilarang sepenuhnya maupun dilegalkan tanpa mengaturnya

akan tetap membawa dampak sosial dan kesehatan yang sama bagi penggunanya.

Kembali pada spektrum John Marks, alternatif kebijakan yang ia tawarkan

adalah strict legal regulation. Kebijakan tersebut berupaya mendorong negara

untuk mengontrol peredaran narkotika sehingga publik dapat mengaksesnya tetapi

di satu sisi negara juga harus meminimalisir penyalahgunaan. Adapun bentuk-

123
CNN Indonesia, Kisah Fidelis Antara Cinta, Ganja dan Ancaman Pidana, diakses pada 3
Oktober 2020 dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170731142646-12-231457/kisah-
fidelis-antara-cinta-ganja-dan-ancaman-penjara

71
bentuk kebijakan tersebut menurut John Marks ialah dekriminalisasi, harm

reduction dan menyediakan akses narkotika yang aman.124 Dari pemaparan di atas

menjelaskan bahwa kampanye War on Drugs merupakan kendala utama LGN

dalam menyuarakan kepentingannya. Ganja sebagai sebuah tanaman telah memiliki

citra yang negatif di masyarakat akibat kampanye War on Drugs. Penulis menilai

mengapa sulit bagi LGN untuk mengubah kebijakan tanaman ganja karena label

negatif yang sudah disematkan padanya akibat narasi War on Drugs. Dalam UU

No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ganja diatur sebagai zat yang tidak dapat

dipergunakan untuk medis sehingga UU Narkotika juga seolah melegitimasi

ketidak bermanfaatan tanaman ganja.

C.2. Indonesia Menolak Rekomendasi Ganja Medis WHO

Dalam kerangka kerja sistem politiknya, Easton membagi lingkungan menjadi

dua bagian yakni intra sosial dan ekstra sosial. Lingkungan intra sosial merupakan

bagian dari lingkungan sosial dan fisik yang secara posisi berada di luar batas-batas

sistem politik namun tetap dalam satu masyarakat yang sama. Adapun yang

dimaksud bagian dari lingkungan intra sosial di antaranya sistem ekologi, biologi,

psikologi dan sosial. Lingkungan ekstra sosial adalah kebalikan dari lingkungan

intra sosial yang letaknya di luar sistem politik. Lingkungan ekstra sosial terdiri dari

interaksi antar masyarakat dunia yang mencangkup sistem internasional lainnya

seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan struktur organisasi di bawahnya seperti

WHO.125

124
John Mark dalam Global Commissions on Drug Policy, Regulation: The Responsible Control
of Drugs, 2018, hlm 12.
125
Sahya Anggara, Sistem Politik Indonesia, hlm 18.

72
Anjuran legalisasi ganja untuk medis pertama kali disampaikan oleh WHO

pada tahun 2019. WHO menyebut bahwa ganja dapat digunakan untuk pelayanan

medis, tetapi dengan regulasi dan kontrol yang ketat.126 Pada tahun 2020 WHO

selaku lembaga kesehatan dunia meninjau ulang pemanfaatan ganja untuk medis

yang disampaikan di Committee Narcotics and Drugs (CND). Berikut kutipan

wawancara yang disampaikan Erasmus:

Jadi WHO bikin satu forum yang membahas masih relevan atau tidaknya
pelarangan ganja buat medis. Dalam pertemuan yang dihadiri sejumlah
negara di dunia termasuk Indonesia, WHO ingin menyampaikan
rekomendasi terkait regulasi baru tanaman ganja. Bentuk regulasi baru
tersebut ialah menghapus tanaman ganja dari golongan IV United Nation
Single Convention on Narcotic and Drugs 1961.127

Dalam United Nation Single Convention on Narcotic and Drugs 1961, WHO

mengklasifikasikan narkotika menjadi empat golongan yakni:128

1. Golongan I : Narkotika yang diatur dengan ketat

2. Golongan II : Kontrol tidak begitu ketat

3. Golongan III : Bagian dari golongan II yang tidak berpotensi

disalahgunakan.

4. Golongan IV : Bagian dari golongan 1 yang memiliki fungsi medis dan

terapi terbatas. Dilarang untuk diproduksi dan diperdagangkan, kecuali

medis terbatas dan riset.

126
Kumparan, “Polri Hingga BNN Tetap Tolak Legalisasi Ganja Meski Untuk Kepentingan
Medis”, Artikel Diakses Pada 26 Agustus 2020, Dari Https://Kumparan.Com/Kumparannews/Polri-
Hingga-Bnn-Tetap-Tolak-Legalisasi-Ganja-Meski-Untuk-Kepentingan-Medis-1tgq0p5jnp7/Full
127
Wawancara Dengan Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice
Reform (ICJR), Tangerang Selatan 15 Juli 2020.
128
United Nation Single Convention Narcotic Drugs 1961.

73
Dengan demikian rekomendasi penghapusan ganja dari golongan IV United

Nation Single Convention on Narcotic and Drugs membuka peluang bagi ganja

dapat dimanfaatkan untuk pelayanan medis di Indonesia. Yohan Misero selaku

pengamat narkotika menyebut terdapat dua bentuk regulasi yang dapat Indonesia

lakukan terkait pengaturan tanaman ganja yakni pertama adalah menurunkan ganja

baik ke golongan II atau pun golongan III narkotika sebab jika masih berada di

golongan I maka tetap tidak dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan.

Bentuk regulasi yang kedua adalah dengan membuat peraturan perundangan-

undangan yang spesifik tentang pengaturan tanaman ganja seperti yang telah

dilakukan Filipina. Dalam peraturan tersebut, diatur mulai dari tahap penanaman,

produksi hingga distribusi.129

Namun sikap mengejutkan diambil Pemerintah Indonesia ketika menghadiri

Committee Narcotics and Drugs (CND). Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh

Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan

Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) secara tegas menolak rekomendasi WHO.

Rekomendasi tersebut tercantum dalam Consideration Changes In The Scope Of

Control Of Substances: Proposed Scheduling Recommendations By The World

Health Organization On Cannabis And Cannabis-Related Substances salah satunya

ialah tercantum dalam rekomendasi 5.4 yang menyatakan bahwa Komite

129
DW.Com, “Pengamat: Soal Legalisasi Ganja Medis, Indonesia Bisa Contoh Thailand”,
Artikel Diakses Pada 28 Agusutus 2020, Dari Https://Www.Dw.Com/Id/Pengamat-Soal-Legalisasi-
Ganja-Medis-Indonesia-Bisa-Contoh-Thailand/A-50736561

74
merekomendasikan penghapusan ekstrak dan turunan ganja dari Golongan IV

Konvensi 1961.130

Adapun terdapat tiga alasan rekomendasi tersebut ditolak oleh Indonesia yakni:

1. Pertama, bahwa jenis tanaman ganja Indonesia tidak sama dengan di luar

negeri. Pemerintah Indonesia meyakini ganja Indonesia memiliki

kandungan THC yang berbahaya jika digunakan.

2. Kedua, ganja yang memiliki manfaat kesehatan untuk mengobati penyakit

seperti epilepsi merupakan ganja yang telah melewati rekayasa genetik

sehingga menghasilkan kandungan CBD yang dominan.

3. Ketiga, ganja di Indonesia lebih banyak digunakan untuk kepentingan

rekreasional, sehingga akan meningkatkan penyalahgunaan jika status ganja

menjadi legal.131

Selain tiga alasan utama di atas, dalam wawancara dengan Kepala Seksi

Konsultasi Hukum BNN-RI, Alvin Andrew Dias menjelaskan alasan menolak

legalisasi ganja. Rinciannya sebagai berikut:

Ide soal legalisasi ganja yang disuarakan beberapa kelompok sebenernya


udah lama kami denger. Jawaban kami selalu sama. Secara kelembagaan
kita tegas menolak legalisasi ganja. Secara perundang-undangan kan juga
udah dilarang. Belum lagi ganja kan punya dampak negatif bagi
penggunanya yakni efek halusinogen yang berakibat pada penurunan
kesadaran serta tingkat adiksi yang tinggi.132

130
Unodc, “Who Scheduling Recommendations on Cannabis and Cannabis Related Subtance”,
artikel diakses pada 30 Agustus 2020,
https://www.unodc.org/unodc/en/commissions/CND/Mandate_Functions/current-scheduling-
recommendations.html
131
Tempo, “Bareskrim Polri Tolak Rekomendasi WHO Soal Legalisasi Ganja”, artikel diakses
pada 29 Agusutus 2020, dari https://nasional.tempo.co/read/1358419/bareskrim-polri-tolak-
rekomendasi-who-soal-legalisasi-ganja
132
Wawancara dengan Alvin Andrew Dias, Kepala Seksi Konsultasi Hukum Badan Narkotika
Nasional (BNN), Jakarta Timur pada 6 Agustus 2020.

75
Dengan ditolaknya rekomendasi WHO terkait legalisasi ganja untuk medis,

LGN bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi Narkotika untuk Kesehatan

mendesak Pemerintah untuk membuka penelitian ganja di Indonesia. Keputusan

tersebut dinilai mengada-ngada dan tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Sebab,

dalam kurun waktu sejak Indonesia meratifikasi United Nation Single Convention

on Narcotic and Drugs 1961 tidak pernah ada riset ilmiah terhadap tanaman

ganja.133

Dalam kerangka sistem politik pengaruh lingkungan baik intra sosial maupun

ekstra sosial mampu memengaruhi tuntutan dan dukungan dalam input. Menurut

Sahya, tuntutan dan dukungan yang masuk akan bermuara pada output berupa

kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang memiliki

otoritas.134 Mengacu pada kasus LGN, tuntutan dan dukungan yang mereka

sampaikan nyatanya juga diikuti oleh organisasi dunia WHO.

WHO meminta negara-negara yang tergabung di dalamnya untuk meninjau

ulang regulasi ganja yang selama ini telah disahkan menjadi hukum positif

termasuk di antaranya Indonesia. Dalam pernyataannya, WHO merekomendasikan

tanaman ganja untuk dihapus dari Schedule IV Single Convention on Narcotic and

Drugs 1961. Dengan dihapusnya dari Schedule IV maka secara tegas WHO

menyatakan bahwa tanaman ganja dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan

133
LBH Masyarakat, “Rilis Pers: Koalisi Masyarakat Sipil Meminta Dasar Pemerintah
Menolak Rekomendasi WHO terkait Ganja Medis untuk Dibuka ke Publik”, diakses pada 30
Agustus 2020, dari https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2020/07/080720_Rilis-Pers-
Koalisi_Meminta-Dasar-Pemerintah-Menolak-Rekomendasi-WHO-terkait-Ganja-Medis_LBHM-
2.pdf.
134
Sahya Anggara, Sistem Politik Indonesia, hlm 19.

76
sekaligus mematahkan konstruksi berpikir Indonesia yang selama ini meyakini

bahwa tanaman ganja tidak memiliki manfaat medis.

Namun nyatanya Pemerintah Indonesia memiliki sikap yang berbeda dan

menolak rekomendasi yang WHO ajukan. Penjelasan di atas dapat kita pahami

bahwa LGN bersama dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi Narkotika

untuk Kesehatan menganggap pemerintah Indonesia tergesa-gesa dalam

mengambil sikap atas rekomendasi legalisasi ganja medis oleh WHO. Menurut

penulis, dalam mengambil suatu sikap atau keputusan terlebih di forum

internasional seharusnya Indonesia lebih bisa mengedepankan riset sebagai basis

argumentasi. Riset yang seharusnya jadi jawaban nyatanya tidak pernah

dilaksanakan. Oleh karena itu sikap tersebut tentu merugikan LGN dan menjadi

hambatan serius dalam usaha mengubah status tanaman ganja pada UU No. 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika.

C.3. LGN Tidak Memiliki Wakil di Pemerintah Maupun Parlemen

Sebagai wadah untuk menyampaikan aspirasinya, kelompok kepentingan

diharapkan memiliki wakil yang menduduki posisi strategis dalam sistem politik

supaya dapat memperkuat tuntutan yang dibawa.135 Perwakilan langsung dalam

institusi legislatif maupun eksekutif menjadikan suatu kelompok kepentingan dapat

menyampaikan aspirasinya secara langsung dan berkelanjutan lewat anggota yang

tergabung dalam struktur pembuat kebijakan.136 Pada kondisi tertentu partai politik

sebagai kendaraan menuju Parlemen, memiliki berbagai keterbatasan seperti

135
Mas‟ oed dan MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, hlm 66.
136
Mas‟ oed dan MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, hlm 72.

77
benturan ideologi, kepentingan jangka pendek dan minat terhadap isu yang

berakibat partai politik tidak cukup mampu diharapkan untuk menyuarakan

tuntutan dari masyarakat secara maksimal.137

Mengirim anggota ke dalam badan legislatif merupakan langkah yang tepat

untuk memengaruhi atau mengubah kebijakan. Namun selama menyuarakan

tuntutannya, LGN tidak memiliki satupun perwakilan di kursi parlemen. Hal

tersebut tentunya menyulitkan LGN untuk melakukan perubahan UU No. 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika. Dalam wawancara dengan Dhira, ia mengatakan bahwa

legalisasi ganja merupakan isu yang sensitif. Berikut adalah kutipan

wawancaranya:

Kita sadar kalo isu legalisasi ganja medis itu hal yang sangat sensitif. Pola
pikir pemerintah dan masyarakat umum masih menganggap ganja
berbahaya dan ngga ada manfaatnya. Untuk itu perlu adanya penyadaran
publik lebih dulu. Kalo pun dipaksakan sekarang partai politik juga akan
mikir-mikir untuk mengambil isu yang mau kita bawa. Kaya kasusnya Pak
Rafli kemaren yang udah usulin ganja buat diekpor tapi pernyataannya
ditarik lagi.138

Sekalipun tidak memiliki perwakilan anggota baik di parlemen maupun

pemerintahan, dalam kurun waktu 2020, penulis mengamati setidaknya terdapat

beberapa isu yang berkaitan dengan pemanfaatan tanaman ganja dan disuarakan

oleh Anggota DPR dan Menteri Pertanian. Pada awal tahun 2020 publik sempat

diramaikan dengan pernyataan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Rafli

Kande. Dalam rapat kerja sama dengan Kementerian Perdagangan, Rafli Kande

137
Mohammad Maiwan, “Kelompok Kepentingan (Interest Group), Kekuasaan dan Kedudukannya
Dalam Sistem Politik”, hlm 75.
138
Wawancara dengan Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN), Tangerang
Selatan 30 Juli 2020

78
memberi usul tentang upaya pemanfaatan ganja. Menurutnya ganja memiliki

potensi ekonomi yang besar bila dimanfaatkan terlebih Aceh merupakan provinsi

dengan ganjanya yang tumbuh dengan subur.139

Hal tersebut tentunya menjadi semacam harapan bagi LGN yang selama ini

telah banyak bicara tentang pemanfaatan ganja dan tuntutan perubahan UU No. 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika. Namun tak lama berselang secara resmi usulan

yang disampaikan Rafli Kande dicabut. Beliau mendapat teguran keras oleh

partainya karena dinilai usulan tersebut bertentangan dengan prinsip partai. Usulan

tersebut dinilai menimbulkan kesan negatif bagi PKS karena selama ini PKS

mendukung pemberantasan narkotika.140

Selain Rafli Kande dari Fraksi-PKS, suara tentang ganja juga sempat

disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR-RI Fraksi-Partai Demokrat Hinca

Pandjaitan. Berbeda dengan Rafli Kande yang secara terbuka mengusulkan ganja

untuk diekspor, Hinca Pandjaitan mendesak Menkes Terawan Agus Putranto untuk

melaksanakan riset sebagai bentuk tanggung jawab negara mengatakan bermanfaat

atau tidaknya tanaman ganja. Selain itu Ia juga menyebut bahwa Revisi Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah rancangan yang

diprioritaskan oleh DPR RI di tahun 2020 bersama dengan 50 rancangan lainnya. Komisi

139
CNN Indonesia, “Politikus PKS Usulkan Pemerintah Jokowi Ekspor Ganja”, artikel diakses pada 15
September 2020, dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200130192611-92-470271/politikus-pks-
usulkan-pemerintahan-jokowi-ekspor-ganja
140
Detik, “Politikus PKS Tarik Ucapan Usai Usul Ekspor Ganja Tuai Kritikan”, artikel diakses
pada 15 September 2020, dari https://news.detik.com/berita/d-4881384/politikus-pks-tarik-ucapan-
usai-usul-ekspor-ganja-tuai-kritikan/2

79
III DPR hanya perlu menunggu surat dari Presiden perihal pembahasan lebih lanjut soal

revisi tersebut karena BNN sendiri telah selesai melakukan kajian.141

Revisi UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dibenarkan oleh Kepala Seksi

Hukum BNN-RI Alvin Andrew Dias, ia mengatakan ada beberapa aturan yang akan

dievaluasi. Berikut kutipan wawancaranya:

Saat ini benar revisi UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sudah
masuk ke prolegnas. Dari revisi UU itu nanti ada juga penambahan
narkotika jenis baru yaitu kratom yang rencananya akan masuk ke golongan
1 karena efeknya lebih kuat dari ganja. Terkait status ganja sendiri tetap
tidak ada perubahan dan tetap berada di golongan 1 UU No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika.142

Selain suara dari DPR, pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian

(Kementan) juga sempat bicara tentang manfaat dari tanaman ganja. Pada akhir

bulan Agustus 2020, ganja dimasukan ke dalam daftar komoditi binaan tanaman

obat oleh Kementan. Daftar tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Pertanian

Indonesia 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian

Pertanian. Masuknya ganja ke dalam daftar tersebut membuktikan bahwa ganja

memiliki khasiat medis seperti yang sudah lama LGN sampaikan ke publik.143

Namun selang beberapa hari sejak ramai diperbincangkan, Keputusan Menteri

Pertanian Republik Indonesia Nomor 104 yang memuat ganja sebagai tanaman

binaan resmi dicabut. Keputusan itu diambil karena dinilai tidak selaras dengan

141
Voi.id, Hinca: “Revisi UU Narkotika Masuk Prolegnas Prioritas Tahun 2020”, artikel diakses
pada 21 September 2020 dari https://voi.id/berita/7484/hinca-revisi-uu-narkotika-masuk-prolegnas-
prioritas-tahun-2020
142
Wawancara dengan Alvin Andrew Dias, Kepala Seksi Konsultasi Hukum Badan Narkotika
Nasional (BNN), Jakarta Timur pada 6 Agustus 2020.
143
Kompas, “Kementan Jelaskan Aturan Budidaya Ganja Jadi tanaman Obat, artikel diakses
pada 16 September 2020, dari https://money.kompas.com/read/2020/08/30/111233426/kementan-
jelaskan-aturan-budidaya-ganja-jadi-tanaman-obat?page=all

80
peraturan perundang undangan yang statusnya lebih tinggi yakni UU No. 35 Tahun

2009 tentang Narkotika. Sebab ganja dikategorikan sebagai golongan narkotika

yang dilarang untuk ditanam maupun dibudidayakan.144

Maiwan menyebut bahwa dalam upaya menyampaikan tuntutannya kepada

pemerintah, kelompok kepentingan pada umumnya biasanya mencoba

menyampaikan isunya untuk kemudian “dibeli” oleh partai politik. Sebagai mana

kita tahu bahwa partai politik memiliki fungsi untuk mengartikulasikan

kepentingan.145 Namun dalam kasus ini sebagaimana yang sudah disampaikan oleh

Dhira bahwa legalisasi ganja medis merupakan isu yang sangat sensitif. Mendengar

ganja saja persepsi awam akan mengacu pada barang yang dapat menyebabkan

dampak buruk bagi kesehatan akibat kampanye War on Drugs yang digaungkan

pemerintah. Partai politik pun akan berpikir ulang untuk mengangkat isu tersebut

karena khawatir akan mendapat label negatif dari masyarakat.

Dari pemaparan di atas menunjukan bahwa sulit bagi LGN untuk mengubah UU

No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika lantaran nihilnya perwakilan di parlemen

maupun pemerintahan. Serangkaian peristiwa di atas membuktikan apabila LGN

memiliki perwakilan maka langkah-langkah dalam mengubah kebijakan UU No.

35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tentu bisa dimungkinkan.

144
Detik, “Kementan Tetapkan Ganja Tanaman Obat, BNN: Bertentangan Dengan UU”, artikel
diakses pada 16 September 2020, dari https://news.detik.com/berita/d-5151460/kementan-tetapkan-
ganja-tanaman-obat-bnn-bertentangan-dengan-uu
145
Mohammad Maiwan, “Kelompok Kepentingan (Interest Group), Kekuasaan dan
Kedudukannya Dalam Sistem Politik”, hlm 82.

81
C.4. Ketidakpastian Pelaksanaan Riset Ganja

Pada 2017 Fidelis seorang pegawai negeri sipil asal Kalimantan Barat ditangkap

polisi karena kedapatan merawat istrinya yang sakit dengan ganja. Selama

menggunakan ekstrak ganja, istri fidelis merasakan banyak dampak positif seperti

jari tangan yang perlahan dapat digerakkan karena sebelumnya mengalami

kelumpuhan, nafsu makan yang meningkat dan dapat tidur dengan nyenyak. Namun

sang istri meninggal tak lama ketika Fidelis resmi ditahan kepolisian.146

Berkaca pada kasus tersebut, menunjukan bahwa ganja sebagai narkotika

golongan 1 ternyata digunakan oleh masyarakat untuk pilihan pengobatan. Namun

sekali lagi ganja masih menjadi perdebatan terkait manfaatnya untuk pelayanan

kesehatan. Maka untuk membuktikan bermanfaat atau tidaknya ganja dibutuhkan

riset sebagai jawaban atas masalah tersebut.

Terkait riset ganja, Anggota Komisi III DPR-RI, Hinca Pandjaitan dalam

“Diskusi Tentang Pemenjaraan Pengguna Ganja Medis” yang digagas oleh Voi.id

menyatakan bahwa:

Sejak zaman pendudukan Belanda hingga kini Indonesia belum pernah


melakukan riset untuk meninjau manfaat medis dari tanaman ganja. Selain
itu riset ini bisa dianalogikan sebagai “wasit” yang secara adil mampu
menilai baik manfaat maupun dampak negatif tanaman ganja. Jadi
perdebatan terkait baik atau tidaknya tanaman ganja tidak pernah
diselesaikan lewat riset.147

146
BBC, “PNS Tanam Ganja Untuk Istri, Saatnya Ganja Demi Kesehatan?”, artikel diakses
pada 16 September 2020, dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39472307
147
Voi.id, “Hinca: Revisi UU Narkotika Masuk Prolegnas Prioritas Tahun 2020”, artikel diakses
pada 21 September 2020 dari https://voi.id/berita/7484/hinca-revisi-uu-narkotika-masuk-prolegnas-
prioritas-tahun-2020

82
Riset ganja yang pernah diajukan LGN nyatanya berhenti di tengah jalan. Pada

tahun 2017 Menteri Kesehatan saat itu Nila F Moeloek menyebut ganja memiliki

khasiat positif untuk beberapa penyakit-penyakit tertentu. Meski dikatakan

memiliki efek positif, tetapi pemerintah enggan melakukan riset ganja karena

besaran biaya yang harus dikeluarkan. Ia menyebut lebih banyak penelitian yang

lebih bermanfaat ketimbang tanaman ganja sehingga ganja bukan menjadi prioritas

penelitian. Selain itu, riset ganja juga terkendala akibat Balitbang Kemenkes belum

juga menunjuk tim yang diamanatkan untuk melakukan penelitian bersama

Yayasan Sativa Nusantara bentukan LGN, sedangkan surat perintah riset telah

dikeluarkan sejak tahun 2015.148

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa sejak Indonesia pertama kali

meratifikasi United Nation Single Convention on Narcotic and Drugs 1961 hingga

pembentukan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tidak pernah ada riset

yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap tanaman ganja. Dalam

wawancaranya, Erasmus menyebut bahwa:

Momentum riset sebenarnya ada pada saat kasusnya Fidelis tapi sayangnya
pemerintah tidak mengambil inisiatif untuk riset. Pemerintah dan BNN tetap
sama keyakinannya bahwa narkotika golongan 1 dalam hal ini ganja tidak
dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan. Pemerintah malah
melakukan kriminalisasi dengan menghukum Fidelis ke penjara dan selama
dipenjara istrinya ngga mendapat terapi ganja seperti biasanya. 149

148
Litbang Kemendagri, “Alasan Kemenkes Tolak Penelitian Ganja Sebagai Obat”, artikel
diakses pada 18 September 2020, dari https://litbang.kemendagri.go.id/website/alasan-kemenkes-
tolak-penelitian-ganja-sebagai-obat/
149
Wawancara dengan Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice
Reform (ICJR), Tangerang Selatan 15 Juli 2020.

83
Ma'ruf menyebut faktor lain yang menyebabkan sulitnya melakukan riset ganja

yakni paradigma pemerintah terhadap ganja itu sendiri. Meskipun secara regulasi

dibolehkan riset terhadap ganja tetapi sangat terbatas sekali yang bisa melakukan

dan hanya pihak-pihak tertentu yang mana memang dibolehkan. Berikut rincian

wawancara dengan Ma'ruf:

Iya jadi karena adanya kebijakan War on Drugs juga membuat Pemerintah
seolah menilai bahwa pihak-pihak ingin melakukan riset dianggap pro
terhadap peredaran gelap narkotika itu sendiri dan dikhawatirkan akan
menjadi semacam bumerang bagi pihak pemerintah. Padahal riset bertujuan
buat membuktikan ada atau tidaknya manfaat dari tanaman ganja. Supaya
ini ngga terus jadi polemik.150

Selain alasan di atas, menurut Dhira riset ganja terkendala karena perlu

membangun koordinasi antara LGN dengan pihak-pihak terkait. Untuk melakukan

riset ganja perlu banyak instansi yang harus dilibatkan seperti Kemenkes, BNN,

Polri, praktisi kesehatan dan kalangan akademisi. Berikut kutipan wawancara

dengan Dhira:

Seperti misalnya, setelah mendapat izin dari Kemenkes, LGN harus


berkoordinasi dengan BNN untuk menyediakan ganja yang perlu diteliti.
Selain itu pengawasan baik pengadaaan maupun berlangsungnya riset juga
perlu diperhatikan. Kita juga bingung izin untuk riset tanaman ganja udah
keluar tapi aplikasinya ngga pernah ada. Karena itu juga sulit buat kita untuk
melakukan advokasi kebijakan ganja.151

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa riset ganja begitu sulit

dilaksanakan. Bagi LGN, regulasi atau peraturan yang baik haruslah berbasiskan

riset. Riset ganja merupakan kunci bagi mereka untuk membuktikan klaim manfaat

150
Wawancara dengan Ma'ruf Bajamal, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum
Masyarakat (LBHM), Tangerang Selatan 4 Agustus 2020.
151
Wawancara dengan Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN), Tangerang
Selatan 30 Juli 2020.

84
ganja dan apabila riset tersebut menunjukan hasil yang positif perubahan status

hukum pada tanaman ganja dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

merupakan sebuah keniscayaan.

Berdasarkan pemaparan di atas, dengan menggunakan pendekatan sistem

politik David Easton terdapat cukup banyak faktor penghambat yang LGN hadapi

dalam memperjuangkan perubahan status hukum tanaman ganja dalam UU No. 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika, di antaranya:

1. War on Drugs, merupakan kendala terbesar karena dari kampanye ini baik

pemerintah maupun masyarakat memandang narkotika khususnya tanaman

ganja sebagai sesuatu yang jahat dan harus dimusnahkan karena dinilai

akan merusak generasi bangsa.

2. Indonesia menolak rekomendasi ganja medis WHO, meskipun WHO

selaku otoritas kesehatan tinggi dunia telah merestui penggunaan tanaman

ganja untuk kepentingan medis nyatanya hal tersebut tidak menjadikan

Indonesia patuh pada putusan tersebut. Indonesia menolak lantaran jenis

tanaman ganja yang ada di Indonesia berbeda dan di Indonesia penggunaan

ganja banyak dipakai untuk rekreasi.

3. Tidak adanya perwakilan baik di pemerintah maupun parlemen, hal

tersebut lantaran isu legalisasi ganja medis merupakan isu yang sangat

sensitif sehingga partai politik enggan mengangkat isu ganja medis karena

khawatir akan mengganggu citra partai. Selain itu, LGN juga mengalami

kebuntuan ketika Peraturan Menteri Pertanian yang mengatur tanaman

85
ganja untuk medis bertentangan dengan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika.

4. Ketidakpastian riset, meski sudah mengantongi izin, riset tidak pernah

dilakukan karena salah satunya tidak ada political will dari pemerintah

lantara menyebut tanaman ganja bukan salah satu prioritas penelitian dan

membutuhkan dana yang besar. Selain itu, kampanye War on Drugs juga

berpengaruh sebab telah membentuk paradigma yang begitu negatif pada

narkotika khususnya tanaman ganja.

86
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang upaya LGN dalam mengubah UU No.35

Tahun 2009 Tentang Narkotika, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. LGN telah menggunakan saluran artikulasi kepentingan yang ada seperti

demonstrasi, lobi, dan institusi formal berupa Judicial Review. Namun dua

saluran yakni demonstrasi dan lobi belum dapat mengubah status hukum

tanaman ganja pada UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Meskipun

demikian LGN masih memiliki peluang pada jalur litigasi yang sedang

mereka tempuh. Apabila gugatan tersebut dikabulkan maka tidak menutup

kemungkinan terjadinya reformasi kebijakan narkotika di Indonesia

khususnya tanaman ganja.

2. Dalam upaya mengubah UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika penulis

juga menemukan beberapa hambatan yang LGN alami yakni kampanye War

on Drugs, sikap Indonesia yang menolak rekomendasi ganja dari WHO,

tidak adanya perwakilan LGN di Parlemen maupun Pemerintah dan

ketidakpastian pelaksanaan riset. Hal tersebut tentunya menghambat

langkah LGN dalam mengubah status hukum tanaman ganja dalam UU No.

35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

87
B. Saran

Berdasarkan kesimpulan hasil analisis di atas, maka penulis memberi beberapa

saran kepada pihak-pihak yang kelak akan melaksanakan penelitian lebih lanjut, di

antaranya:

1. Akademis

a) Dapat meningkatkan pengetahuan bagi pembacanya mengenai

penelitian tentang kelompok kepentingan dan sistem politik.

b) Penulis menyarankan agar penelitian mengenai ganja dapat

dikembangkan lebih lanjut lagi karena sampai saat ini khususnya di

Indonesia masih minim literatur dan publikasi ilmiah tentang tanaman

ganja.

2. Praktis

a) Peneliti berharap agar para pembuat kebijakan mendengarkan dan

menindaklanjuti masukan dari berbagai pihak sebagai bahan acuan

dalam merumuskan kebijakan narkotika secara spesifik tanaman ganja.

b) Selain itu, diharap juga agar pemerintah Indonesia melaksanakan riset

nasional sebagai rujukan ilmiah dalam melihat kandungan tanaman

ganja.

c) Mengacu pada penggunaan bahasa sesuai dengan kaidah penulisan yang

berlaku.

88
DAFTAR PUSTAKA
Buku

Anggara, Sahya. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, 2013.

Aziz, Yaya Maulana dan Syarief Hidayat. Dinamika Sistem Politik Indonesia.
Bandung: CV Pustaka Setia, 2016.

Budiardjo, Miriam. Dasar Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2013 .

Chilcote, Ronal H. Teori Perbandingan Politik Penelusuran Paradigma. Jakarta:


PT RajaGrafindo Persada, 2004.

Cribb, Robert dan Audrey Kahin. Kamus Sejarah Indonesia. Jakarta: Komunitas
Bambu, 2012.

Faisal, Sanapiah. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada, 2005.

Ghoni, Djunaidi dan Fauzan A, M. Metodologi Penelitian Kualitaif. Yogyakarta:


Ar-Ruzz Media, 2016.

Ginsberg, Benjamin, Theodore J. Lowi, dan Margaret Weir. We The People: An


Introduction To American Politics Sixth Edition. New York: W.W Norton
dan Company, 2007.

Hanafie, Haniah dan Ana Sabhana Azmy. Kekuatan Kekuatan Politik. Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2016.

Khalik, Abdul. Dunia Dalam Ganja; Dari Aceh Hingga Bob Marley. Yogyakarta:
Pinus Book Publisher, 2017.

Lexy, Moeloeng J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2017.

LGN, Tim. Sekarang Aku, Besok Kamu! Tangerang Selatan: Lingkar Ganja
Nusantara, 2014.

Lowi, Theodore J., Benjamin Ginsberg, dan Kenneth A. Shepsle. American


Government Core Ninth Editon. New York: W.W Norton dan Company,
2005.

Maksudi, Beddy Iriawan. Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik


dan Empirik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015.

89
Mamik. Metodologi Kualitatif. Sidoarjo: Zifatama Publisher, 2015.

Mas’oed, Mohtar dan MacAndrews Colin. Perbandingan Sistem Politik.


Yogyakarta: Gajah Mada Unviversity Press, 2011.

Pratama, Aditya Bagus. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Pustaka


Media.
Rahman, A. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.

Sasangka, Hari. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk


Mahasiswa dan Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkoba. Bandung:
Penerbit Mandar Maju, 2003.

Schröder, Peter. Strategi Politik. Indonesia: Friedrich-Naumann-Stiftung für die


Freiheit, 2010.
Siswanto. Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun
2009). Jakarta: PT Rineka Cipta, 2012.

Sitepu, Anthonius. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Varma, SP. Teori Politik Modern. Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2016.

Winarno, Budi. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Buku Kita, 2008.

Jurnal Ilmiah

Ardianto dkk. "Praktik Lobi Dan Negosiasi Oleh Legislator Sebagai Bentuk
Komunikasi Politik." Komuniti: Jurnal Komunikasi dan Teknologi
Informasi, Vol. 12, No. 1, Maret 2020.

BNN. "Indonesia: Narkoba dalam Angka tahun 2017." Jurnal Data Puslitdarin,
2018.

Caulkins, Jonathan P. dan Michelle L Kilborn. "Cannabis legalization, Regulation,


dan Control: A Review of Key Challenges For Local, State, and Provincial
Officials." The American Journal Of Drug And Alcohol Abuse, 28 May
2019.

Herindrasti, V.L. Sinta. "Drug-free ASEAN 2025: Tantangan Indonesia dalam


Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba." Jurnal Hubungan
Internasional Vol. 7, NO. 1 , April - September 2018.

90
Isnaini, Enik. "Penggunaan Ganja Dalam Ilmu Pengobatan Menurut Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika." Jurnal Independent Vol
5 No. 2, 2017.

Kamer, Tweede dan Vergaderjaar. "Drugs policy in the Netherlands: Continuity


and Change." Drug Library 24077, nrs. 2-3, 1995.

Maiwan, Mohammad. "Kelompok Kepentingan (Interest Group), Kekuasaan dan


Kedudukannya dalam Sistem Politik." Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi,
Volume 15 No. 2, April 2016.

Marzuki, M. Laica. "Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi." Jurnal Legislasi


Indonesia, Vol. 1 No. 3, November 2004.

Maulana, Muhammad Reza. "Upaya Menciptakan Produk Hukum Berkualitas


Konstitusi Melalui Model Preventif Review." Jurnal Konstitusi Volume 15,
No. 2, Juni 2018.

Nainggolan, Pebrianto. "Kepentingan Pemerintah Uruguay Melegalisasi Ganja


Pada Masa Pemerintahan Jose Alberto Mujica Cordano Tahun 2010-2015."
JOM FISIP Volume 2 No.2 , Oktober 2015.

Putra, M. Taufan Perdana. “Kebijakan Pendayagunaan Hemp (Ganja Industri) untuk


Kepentingan Industri Di Indonesia”. Jurnal Mahasiswa Hukum Universitas
Brawijaya Malang, 2017.

Putri, Dania dan Tom Blickman. "Ganja di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi dan
Kebijakan." Drug Policy Briefing No.44 , Januari 2015.

Rianto, Puji. "Opini Publik, Agenda Setting, dan Kebijakan Publik." Jurnal
Komunikasi, Vol. 5 No.1 , Oktober 2010.

Todd, Tamar. "The Benefits of Marijuana Legalization and Regulation." Berkeley


Journal Of Criminal Law Vol. 23:1, Spring 2018.

Dokumen dan Laporan

Consideration Changes In The Scope Of Control Of Substances: Proposed


Scheduling Recommendations By The World Health Organization On
Cannabis And Cannabis-Related Substances.

91
Global Commissions on Drug Policy, Regulation: The Responsible Control of
Drugs, 2018.
Rilis Pers Koalisi Masyarakat Sipil Meminta Dasar Pemerintah Menolak
Rekomendasi WHO terkait Ganja Medis untuk Dibuka ke Publik.

Surat Izin Riset Ganja oleh Kementerian Kesehatan Nomor:


LB.02.01/III.3/885/2015.
Undang Undang Republik Indonesia No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah


Konstitusi.

United Nation Single Convention on Narcotic and Drugs 1961.

Karya Ilmiah

Skripsi Aria Mahatamtama, "Diskursus Legalisasi Ganja Medis Pada Media


Digital: Studi Critical Discourse Analysis dalam Website lgn.or.id pada
kasus Fidelis Ari." FISIP Universitas Airlangga, 2019.

Skripsi Fajriah Intan Purnama, "Subkultur Legalisasi Ganja: Studi Tentang Lingkar
Ganja Nusantara dalam Memperjuangkan Legalisasi Ganja Di Indonesia."
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta, 2015.

Skripsi Khalid Syaifullah. "Kontestasi Ganja: Diskursus Legitimasi Ganja Badan


Narkotika Nasional (BNN) dan Lingkar Ganja Nusantara (LGN) Tahun
2011-2016." FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.

Artikel Online

BBC News Indonesia, “Sejarah dan budaya ganja di Nusantara: Ritual, pengobatan,
dan bumbu rempah makanan”, dari
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51441909 artikel diakses pada
24 Juni 2020.
BBC, “PNS Tanam Ganja Untuk Istri, Saatnya Ganja Demi Kesehatan?”, dari
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39472307 artikel diakses pada
16 September 2020.

92
BNN.go.id, “Profil BNN”, dari https://bnn.go.id/profil/ artikel diakses pada 10 Mei
2020.

CNN Indonesia, “Politikus PKS Usulkan Pemerintah Jokowi Ekspor Ganja”, dari
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200130192611-92-
470271/politikus-pks-usulkan-pemerintahan-jokowi-ekspor-ganja artikel
diakses pada 15 September 2020.

CNN Indonesia, “Thailand Distribusikan Ganja Medis Untuk Pertama Kali”,. dari
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190802111518-255-
417659/thailand-distribusikan-ganja-medis-untuk-pertama-kali artikel
diakses pada 16 Agustus 2020.

Detik, “Kementan Tetapkan Ganja Tanaman Obat, BNN: Bertentangan Dengan


UU”, dari https://news.detik.com/berita/d-5151460/kementan-tetapkan-
ganja-tanaman-obat-bnn-bertentangan-dengan-uu artikel diakses pada 16
September 2020.

Detik.com, “Politikus PKS Tarik Ucapan Usai Usul Ekspor Ganja Tuai Kritikan”,
dari https://news.detik.com/berita/d-4881384/politikus-pks-tarik-ucapan-
usai-usul-ekspor-ganja-tuai-kritikan/2 artikel diakses pada 15 September
2020.

DW.com, “Pengamat: Soal Legalisasi Ganja Medis, Indonesia Bisa Contoh


Thailand”, dari https://www.dw.com/id/pengamat-soal-legalisasi-ganja-
medis-indonesia-bisa-contoh-thailand/a-50736561 artikel diakses pada 28
Agustus 2020.

Halodoc, “Cerebral Palsy”, dari https://www.halodoc.com/kesehatan/cerebral-


palsy artikel diakses pada 17 Agustus 2020.

History, “War on Drugs”, dari https://www.history.com/topics/crime/the-war-on-


drugs artikel diakes pada 19 Agustus 2020.

Kompas, “Kementan Jelaskan Aturan Budidaya Ganja Jadi tanaman Obat, dari
https://money.kompas.com/read/2020/08/30/111233426/kementan-
jelaskan-aturan-budidaya-ganja-jadi-tanaman-obat?page=all artikel
diakses pada 16 September 2020.

Kumparan, “Polri hingga BNN Tetap Tolak Legalisasi Ganja Meski untuk
Kepentingan Medis”, dari https://kumparan.com/kumparannews/polri-
hingga-bnn-tetap-tolak-legalisasi-ganja-meski-untuk-kepentingan-medis-
1tgq0p5jNp7/full artikel diakses pada 26 Agustus 2020.

93
Kumparan, Klinik Pengobatan Berbasis Ganja Dibuka di Thailand dari
https://kumparan.com/kumparannews/klinik-pengobatan-berbasis-ganja-
dibuka-di-thailand-1sadztK3bb4 artikel diakes pada 26 Januari 2020.

Leafly, “UN Drugs Committee Finds Cannabis an Effective Relatively Safe Drug”
dari https://www.leafly.com/news/politics/un-drug-committee-finds-
cannabis-an-effective-relatively-safe-drug diakes pada 4 Februari 2020.

LGN, “Lakoe Kupi Cerita Rakyat Aceh Tentang Ganja”, dari


http://www.lgn.or.id/lakoe-kupi-cerita-rakyat-aceh-tentang-ganja-sebagai-
suami-pohon-kopi/. artikel diakses pada 25 Juni 2020.

LGN, “Perkembangan Ganja Secara Umum di Dunia”, dari


http://www.lgn.or.id/perkembangan-ganja-secara-umum-di-dunia/ artikel
diakses pada 16 Oktober 2019.

LGN, “Sejarah Lahirnya LGN”, dari http://www.lgn.or.id/sejarah-lahirnya-lgn /


artikel diakses pada 25 Juni 2020.

LGN, “Visi Misi LGN”, dari http://www.lgn.or.id/visi-misi-lgn/ artikel diakses


pada 25 Juni 2020.

LGN, Perkembangan Ganja Secara Umum di Dunia dari


http://www.lgn.or.id/perkembangan-ganja-secara-umum-di-dunia/ diakses
pada 16 Oktober 2019.

LGN, WHO Benahi Regulasi Ganja dari http://www.lgn.or.id/who-benahi-


regulasi-ganja/ diakses pada 16 Oktober 2019.

Litbang Kemendagri, “Alasan Kemenkes Tolak Penelitian Ganja Sebagai Obat”,


dari https://litbang.kemendagri.go.id/website/alasan-kemenkes-tolak-
penelitian-ganja-sebagai-obat/ artikel diakses pada 18 September 2020.

Ngopibareng, “LGN Gelar Aksi Global Marijuana di Surabaya”, dari


https://www.ngopibareng.id/timeline/hari-ganja-sedunia-digelar-di-
surabaya-4471089 artikel diakses pada 21 September 2020.

Rilis Pers, “Koalisi Masyarakat Sipil Meminta Dasar Pemerintah Menolak


Rekomendasi WHO terkait Ganja Medis untuk Dibuka ke Publik”, dari
https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2020/07/080720_Rilis-
Pers-Koalisi_Meminta-Dasar-Pemerintah-Menolak-Rekomendasi-WHO-
terkait-Ganja-Medis_LBHM-2.pdf diakses pada 30 Agustus 2020.

94
Setkab, “President Jokowi Declares War on Drugs”, dari
https://setkab.go.id/en/president-jokowi-declares-war-on-drugs/ artikel
diakses pada 19 Agustus 2020.

Tempo, “Bareskrim Polri Tolak Rekomendasi WHO Soal Legalisasi Ganja”, dari
https://nasional.tempo.co/read/1358419/bareskrim-polri-tolak-
rekomendasi-who-soal-legalisasi-ganja artikel diakses pada 29 Agustus
2020.

Tirto, “Opium Bisa Diregulasi Untuk Medis, Mengapa Ganja Tidak?”, dari
https://tirto.id/opium-bisa-diregulasi-untuk-medis-mengapa-ganja-tidak-
f3uZ artikel diakses pada 22 September 2020.

Tribunnews, “LGN Minta Pemerintah Kontrol Peredaran Ganja”, dari


https://www.tribunnews.com/nasional/2012/05/05/lgn-minta-pemerintah-
kontrol-peredaran-ganja artikel diakes pada 12 September 2020.

Voi.id, Hinca: “Revisi UU Narkotika Masuk Prolegnas Prioritas Tahun 2020”, dari
https://voi.id/berita/7484/hinca-revisi-uu-narkotika-masuk-prolegnas-
prioritas-tahun-2020 artikel diakses pada 21 September 2020.

Wawancara

Wawancara dengan Alvin Andrew Dias, Kepala Seksi Konsultasi Hukum Badan
Narkotika Nasional (BNN), Jakarta Timur pada 6 Agustus 2020.
Wawancara dengan Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN),
Tangerang Selatan, 30 Juli 2020.
Wawancara dengan Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal
Justice Reform (ICJR), Tangerang Selatan 15 Juli 2020.
Wawancara dengan Maaruf Bajamal, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum
Masyarakat (LBHM), Tangerang Selatan 4 Agustus 2020.

Video

Muhammad Afif Qoyim, “Diskusi Tentang Pemenjaraan Pengguna Ganja Medis”


oleh Voi.id, pada 18 Juni 2020.

95

Anda mungkin juga menyukai