Anda di halaman 1dari 120

CALON TUNGGAL DAN ORANG KUAT LOKAL

(STUDI KASUS FENOMENA CALON TUNGGAL


DALAM PEMILIHAN LANGSUNG BUPATI DAN
WAKIL BUPATI KABUPATEN LEBAK TAHUN 2018)
Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Chika Susanti

NIM: 11151120000007

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020
CALON TUNGGAL DAN ORANG KUAT LOKAL

(Studi Kasus Fenomena Calon Tunggal dalam Pemilihan Langsung Bupati dan
Wakil Bupati Kabupaten Lebak Tahun 2018)

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:
Chika Susanti
NIM: 11151120000007

Dosen Pembimbing,

Burhanuddin Muhtadi, Ph. D.


NIP: 197712152011012002

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

CALON TUNGGAL DAN ORANG KUAT LOKAL


(Studi Kasus Fenomena Calon Tunggal dalam Pemilihan Langsung Bupati dan
Wakil Bupati Kabupaten Lebak Tahun 2018)

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 27 April 2020

Chika Susanti

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, pembimbing skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:


Nama : Chika Susanti
NIM : 11151120000007
Program Studi : Ilmu Politik

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

CALON TUNGGAL DAN ORANG KUAT LOKAL

(Studi Kasus Fenomena Calon Tunggal dalam Pemilihan Langsung Bupati dan
Wakil Bupati Kabupaten Lebak Tahun 2018)

dan telah diujikan pada tanggal 27 April 2020.

Ciputat, 27 April 2020

Mengetahui, Mengetahui,

Ketua Program Studi Pembimbing

Dr. Iding Rosyidin, M.Si Burhanuddin Muhtadi, Ph. D.


NIP: 19701013 200501 1 003 NIP: 197712152011012002

ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

SKRIPSI
CALON TUNGGAL DAN ORANG KUAT LOKAL (Studi Kasus Fenomena
Calon Tunggal dalam Pemilihan Langsung Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten
Lebak 2018)

Oleh:
Chika Susanti
11151120000007
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 April
2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.

Ketua Sekretaris

Dr. Iding Rosyidin, M.Si Suryani, M.Si


NIP: 197010132005011003 NIP:197704242007102003

Penguji I, Penguji II,

Dr. A. Bakir Ihsan, M.Si Adi Prayitno, M.IP


NIP: 197204122003121002 NIP: -

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada 27 April 2020.


Ketua Program Studi Ilmu Politik, FISIP UIN Jakarta

Dr. Iding Rosyidin, M.Si


NIP: 19701013 2005011003

iii
ABSTRAK

Skripsi ini membahas tentang calon tunggal dan orang kuat lokal dengan studi
kasus fenomena calon tunggal dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten
Lebak Tahun 2018. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi kemunculan calon tunggal di pilkada Kabupaten Lebak tahun 2018.
Selain itu, penelitian ini juga ingin melihat bagaimana pengaruh orang kuat lokal dalam
memainkan perannya sehingga menyebabkan kemunculan calon tunggal.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengambilan data


melalui wawancara dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan
teori partai politik, teori elit, dinasti politik, orang kuat lokal, dan teori patron klien.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kemunculan calon tunggal pada pilkada Lebak
tahun 2018 tidak dapat terlepaskan dari peran orang kuat lokal yang berpengaruh pada
proses pencalonan di partai politik menjadi tersumbat. Selain itu, kegagalan bakal calon
yang hendak mendaftarkan diripun akibat dari kuatnya jejaring yang dimiliki orang
kuat lokal sehingga bakal calon ini di gagalkan melalui kelemahan administrasi di
KPU.

Kemunculan calon tunggal ini tidak bisa dilepaskan dari dominasi dinasti
Mulyadi Jayabaya. Mulyadi Jayabaya mampu menguasai politik formal maupun
informal melalui jaringan politik lokal dan nasional, dan penguasaan aset sumber daya
ekonomi di Lebak. Maka dari itu, inilah yang membuat seluruh partai politik yang ada
di Lebak masuk dalam koalisi gemuk yang mendukung pasangan petahana Iti
Octaviani Jayabaya, yang notabene putri Mulyadi Jayabaya dan wakilnya Ade
Sumardi. Dan mengantarkan pasangan Iti dan Ade pada kemenangan pilkada Lebak
tahun 2018.

Kata kunci: calon tunggal, orang kuat lokal, dinasti

iv
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji serta syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala

karena atas berkah, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis akhirnya dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam dicurahkan kepada Nabi

Muhammad SAW, Rasul yang telah membawa umatnya dari kegelapan pada masa

yang terang benderang hingga saat ini.

Skripsi yang berjudul “CALON TUNGGAL DAN ORANG KUAT LOKAL

(Studi Kasus Fenomena Calon Tunggal dalam Pemilihan Langsung Bupati dan Wakil

Bupati Kabupaten Lebak Tahun 2018)” disusun sebagai syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Sosial (S.Sos) pada program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak mungkin akan

terlaksanakan apabila tidak ada bantuan dari beberapa pihak terkait, melalui

kesempatan ini izinkan penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A, selaku Rektor UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Prof. Dr. Ali Munhanif, MA., Ph. D. beserta seluruh staff dan jajarannya.

v
3. Dr. Iding Rosyidin, M,Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik, dan Suryani,

M,Si. selaku Sekertaris Program Studi Ilmu Politik.

4. Burhanuddin Muhtadi, Ph. D. selaku dosen pembimbing penulis yang telah

membimbing, mengarahkan, mengajarkan, serta meluangkan waktu dalam proses

pengerjaan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan.

5. Para dosen tercinta selama penulis menuntut ilmu di FISIP UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Dr. Agus Nugraha, M.Si, Dr. Haniah Hanafie M.Si, Dr. Idris

Thaha, M.Si, Chaider S. Bamualim, Gefarina Djohan, MA, Ana Sabhana Azmy,

M.I.P, serta seluruh dosen di Program Studi Ilmu Politik yang tidak bisa penulis

sebutkan satu-persatu yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

6. Narasumber skripsi penulis, H. Oong Syahroni, H. Maman, Lily Sugianto, Ahmad

Yani, Dedi Jubaedi, H. Yogi, Dani Setiawan, Agus Sumantri, KH. Bahru, Junaedi

Ibnu Jarta, dan H. Akhmad Jajuli yang telah bersedia meluangkan waktu dan

tenaganya untuk dimintai pendapat sekaligus diwawancarai.

7. Kedua orang tua penulis, Bapak Sakmad dan Ibu Enok atas do’a yang selalu Bapak

dan Ibu panjatkan kepada Allah SWT, atas segala usaha serta kerja keras Bapak

dan Ibu lakukan, atas pelajaran-pelajaran yang selalu Bapak dan Ibu ajarkan

kepada penulis. Skripsi ini hanyalah sebagian kecil dari perwujudan rasa cinta,

sayang, dan pembuktian bahwa anakmu selalu berusaha menjadi manusia yang

berguna. Semoga Allah SWT selalu melindungi Bapak dan Ibu.

8. Aa dan Teteh yang telah membantu do’a dan meteril sehingga penulis bisa

menyelesaikan perjuangan selama menempuh pendidikan di Ciputat.

vi
9. Teman-teman Ilmu Politik angkatan 2015, kelas A dan kelas B.

10. Teman-teman Ilmu Politik seperjuangan, Fauziah, Nida, Wida, dan Alissa. Terima

kasih teman-teman telah membuat perkuliahan penulis terasa berwarna dengan

canda tawa dan semangat kalian, semoga kita sukses di setiap jalan yang kita

tempuh.

11. Teman-teman PMII 2015. Adnan, Firjie, Ade, Luthfi, Nahdah, Azizah, Sarah,

Daffa, Adel, Muchin, Alrahman, Kai, Rixza, Raden, Rizki. Terimakasih atas doa,

dukungan dan pengalaman berharga bagi penulis sewaktu menempuh pendidikan.

12. Sahabat/i PMII KOMFISIP, Masayu Fitria, Siska Andrianika, Reni Riantikawati,

M. Andika Yusmana, Chusnul Chotimah, dan sahabat/i lainnya, terimakasih atas

segala pengalaman berorganisasi paling berharga yang telah kita rajut bersama

sewaktu penulis menempuh pendidikan.

13. Sahabat Terbaik (Nyimpang Atuh), Ayu, Cici, Wini, Yedi, Resma, Memey, Ervita,

Risna, terimakasih atas doa dan dukungan yang selalu diberikan yang dapat

memotivasi penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

14. Teman-teman Imala yang telah memberikan pelajaran dan semangat selama

penulis menempuh pendidikan di Ciputat.

15. KKN Marvel 107 yang sampai saat ini masih berteman dengan baik, Dayu, Shella,

dan Catur terimakasih atas pengalaman berharganya selama 1 bulan penuh

melakukan pengabdian di Desa Kutamekar.

16. Terimakasih kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang

telah berkontribusi di dalam kehidupan penulis selama ini.

vii
Penulis berharap segala bentuk dukungan dan semangat yang telah diberikan

mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh

dari kata sempurna, namun penulis berharap dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Penulis juga terbuka akan kritik dan saran yang bersifat membangun guna melengkapi

segala kekurangan dan keterbatasan dalan penyusunan skripsi ini. Akhir kata semoga

skripsi ini dapat memberikan manfaat dan wawasan bagi setiap pembacanya serta bagi

pengembangan studi Ilmu Politik.

Ciputat, 27 April 2020

Chika Susanti

viii
DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................................................ i


PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI............................................................. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .......................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL....................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xii
DAFTAR SINGKATAN .......................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Pertanyaan Penelitian ................................................................................... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 10
D. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 11
E. Metodologi Penelitian .................................................................................. 18
F. Sistematika Penulisan ................................................................................... 20
BAB II KERANGKA TEORI .................................................................................. 22
A. Teori Partai Politik ....................................................................................... 22
B. Teori Elit, Dinasti Politik, dan Orang Kuat Lokal........................................ 24
B.1. Dinasti Politik .............................................................................................. 27
B.2. Orang Kuat Lokal ........................................................................................ 29
C. Teori Patron Klien ........................................................................................ 32
BAB III GAMBARAN UMUM KABUPATEN LEBAK ..................................... 40
A. Profil Kabupaten Lebak................................................................................ 40
A.1. Sosial Politik ............................................................................................... 44
B. Profil Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak ....................................... 47
B.1. Profil Bupati Lebak Iti Octaviani Jayabaya..................................................... 47
C. Terbentuknya Dinasti Mulyadi Jayabaya di Kabupetan Lebak.................... 50

ix
D. Dinamika Politik Pilkada Kabupaten Lebak ................................................ 55
BAB IV CALON TUNGGAL DAN ORANG KUAT LOKAL DALAM
PEMILIHAN LANGSUNG BUPATI DAN WAKIL BUPATI KABUPATEN
LEBAK TAHUN 2018 .............................................................................................. 62
A. Proses Rekrutmen Calon Bupati dan Wakil Bupati oleh Partai ................... 65
B. Kegagalan Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati Alternatif dan Gerakan
Baju Koko ............................................................................................................... 72
C. Keterlibatan Mulyadi Jayabaya sebagai Orang Kuat Lokal ......................... 77
D. Fenomena Dinasti di Kabupaten Lebak ....................................................... 85
E. Indikator Penyebab Munculnya Calon Tunggal di Pilkada Lebak ............... 95
BAB V PENUTUP .................................................................................................... 97
A. Kesimpulan ................................................................................................... 97
B. Saran ............................................................................................................. 99
B.1. Saran Akademis ........................................................................................... 99
B.2. Saran Praktis ................................................................................................ 99
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 100

x
DAFTAR TABEL

Tabel III.A.1 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun 2017 di Kabupaten

Lebak .................................................................................................................... 41

Tabel III.A.2 Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak 2008-2018 ................. 43

Tabel IV.1 Rekapitulasi Suara Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2018 ................ 57

Tabel IV.A.2 Proses Rekrutmen Bupati dan Wakil Bupati Oleh Partai Politik di Lebak

.. ............................................................................................................................. 60

Tabel IV.D.3 Dinasti Mulyadi Jayabaya.. ............................................................. 80

Tabel IV.E.4. Tabel Indikator Penyebab Munculnya Calon Tunggal................... 88

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar III.1 Peta Kabupaten Lebak .................................................................... 39

xii
DAFTAR SINGKATAN

Pilkada Pemilihan Langsung Kepala Daerah

Paslon Pasangan Calon

DPT Daftar Pemilih Tetap

KPU Komisi Pemilihan Umum

KTP Kartu Tanda Penduduk

Perludem Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi

KPUD Komisi Pemilihan Umum Daerah

MK Mahkamah Konstitusi

BPS Badan Pusat Statistik

Kemendagri Kementerian dalam Negeri

TPS Tempat Pemungutan Suara

JPN Jaksa Pengacara Negara

DKPP Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Umum

AMP Aspal Mixing Plan

Gapensi Gabungan Pengusaha Muda Indonesia

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada) di Indonesia mulai diterapkan

sejak tahun 2005, yang didasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 dengan berlandaskan Pasal 18 ayat (4) yang menjelaskan bahwa gubernur,

bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,

kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Setelah Pilkada dilaksanakan secara

langsung pada tahun 2005, kemudian di tahun 2015 Pilkada mulai diberlakukan secara

serempak sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur,

bupati dan walikota yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2015.1 Pilkada serempak disesuaikan dengan masa jabatan yang sudah selesai kepala

daerah yang berdekatan. Sesuai kesepakatan tersebut, sebelum dilaksanakan pemilu

presiden dan legislatif tahun 2019 maka Pilkada serempak telah diputuskan tiga

gelombang penyelenggaraan Pilkada secara serempak.2

Gelombang pertama Pilkada serempak dilaksanakan pada Desember 2015

yang diikuti 269 daerah terdiri atas 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten. Sedangkan

pemilihan kepala daerah gelombang kedua diselenggarakan pada Februari 2017

dengan melibatkan 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Gelombang ketiga

1
Sofa Marwah dan Wahyu Handoko, “Perempuan dan Pilkada Langsung”, Jurnal Studi Gender
dan Anak, Vol. 3, No.1 Tahun 2008, hlm. 4.
2
Bawaslu, Fenomena Calon Tunggal Studi Kasus pada Pilkada 2018 di 16 Kabupaten/ Kota,
(Jakarta: Bawaslu: 2018), hlm. 5.

1
pemilihan kepala daerah berlangsung pada Juni 2018 dengan melibatkan 171 daerah

yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.3

Semenjak dilaksanakan Pilkada serentak tersebut, ada fenomena politik yang

belum pernah terjadi di Indonesia. 4 Fenomena politik ini merupakan adanya

penyelenggaraan Pilkada calon tunggal melawan kotak kosong. Fenomena kotak

kosong adalah sebuah analogi yang biasa dipakai untuk menggambarkan munculnya

pasangan calon (paslon) tunggal, karena dalam pemilihan kepala daerah yang hanya

diikuti satu paslon dan pemilih tidak diberi pilihan lain kecuali setuju atau tidak setuju

terhadap calon tunggal tersebut untuk terpilih. Kotak kosong yang dimaksud ini bukan

kotak suara tidak ada pemilihnya tetapi yang dilawan nanti kotak kosong tanpa paslon.

Dengan adanya kotak kosong dalam Pilkada serempak ini dipandang sebagai sebuah

anomali demokrasi karena prinsip demokrasi dikenal dengan adanya kompetisi.

Munculnya kotak kosong pada Pilkada serempak ini telah melunturkan kompetisi

dalam Pilkada di beberapa daerah.

Pada gelombang pertama Pilkada serempak tahun 2015, terdapat 3 dari 269

daerah yang melaksanakan Pilkada dengan pasangan calon tunggal melawan kotak

kosong. Daerah tersebut yaitu Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kabupaten

Tasikmalaya (Jawa Barat), dan Kabupaten Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara

Timur). Kemudian pada Pilkada serempak gelombang kedua tahun 2017, ada 9 dari

3
Dokumen Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia dalam
http://otda.kemendagri.go.id/ diakses pada 28 Oktober 2018 pukul. 23.12.
4
Bawaslu RI, Fenomena Calon Tunggal Studi Kasus pada Pilkada 2018 di 16
Kabupaten/Kota, hlm. 45-49.

2
101 daerah yang melaksanakan Pilkada yang diikuti pasangan calon tunggal. Adapun

9 daerah dengan calon tunggal tersebut adalah Kabupaten Buton (Sulawesi Tenggara),

Kabupaten Landak (Kalimantan Barat), Kabupaten Maluku Tengah (Maluku),

Kabupaten Tambrauw (Papua Barat), Kota Sorong (Papua Barat), Kota Jayapura

(Papua), Kota Tebing Tinggi (Sumatera Utara), Kabupaten Tulang Bawang Barat

(Lampung), dan Kabupaten Pati (Jawa Tengah).5

Selanjutnya Pilkada gelombang ketiga tahun 2018, terdapat 16 dari 171 daerah

pasangan calon tunggal melawan kotak kosong. Adapun 16 daerah tersebut yaitu

Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Prabumulih,

Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Pasuruan,

Kabupaten Tapin, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kabupaten Enrekang, Kabupaten

Bone, Kota Makasar, Kabupaten Mamasa, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak,

dan Kabupaten Membrano Tengah.6

Berdasarkan data Pilkada di atas menunjukkan adanya peningkatan jumlah

daerah yang menyelenggarakan Pilkada dengan calon tunggal. Pada tahun 2015 hanya

3 daerah, kemudian tahun 2017 bertambah menjadi 9 daerah, dan tahun 2018

meningkat menjadi 16 daerah. Peningkatan calon tunggal tersebut, mengindikasikan

beberapa hal yang menjadi faktor penyebabnya, yakni:

5
Dokumen Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia dalam
http://otda.kemendagri.go.id/ diakses pada 28 Oktober 2018 pukul. 23.12.
6
Dokumen Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia dalam
http://otda.kemendagri.go.id/ diakses pada 28 Oktober 2018 pukul. 23.12.

3
Pertama, kemungkinan calon tunggal yang muncul di beberapa daerah menjadi

indikasi kuatnya elektabilitas personal calon. Pada umumnya mereka berasal dari

kalangan petahana, di mana para calon petahana sudah memiliki investasi sosial politik

selama periode pertama. Dengan adanya investasi dan elektabilitas calon petahana ini

membuat partai politik yang ada di daerah tersebut cenderung hanya ingin berkoalisi

saja dibandingkan berkompetisi karena khawatir kalah.

Kedua, munculnya calon tunggal merupakan ketidakmampuan partai politik

dalam mengusung kadernya. Apabila partai tidak bisa mengusung kadernya di daerah

tersebut, kemungkinan partai-partai di beberapa daerah kaderisasinya tidak berjalan

sempurna karena tidak dapat memunculkan sosok figur yang dapat dicalonkan oleh

partai tersebut.

Ketiga, fenomena calon tunggal dapat mengindikasikan kuatnya jaringan lokal

dan finansial calon. Di mana kuatnya jaringan lokal dan finansial yang telah dimiliki

oleh pasangan calon di beberapa daerah dapat menjadikan paslon tersebut dengan

mudah meyakinkan partai untuk bergabung dengan koalisinya.

Keempat, syarat pencalonan yang semakin berat. Syarat pencalonan bagi partai

politik 20 persen dari jumlah kursi di DPRD. Sedangkan bagi calon perseorangan

syarat pencalonan yaitu 10 persen dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang telah

ditentukan. 7 Data di atas menunjukkan bahwa untuk jalur perseorangan membuat

banyak pasangan calon yang gagal untuk mencalonkan diri. Sedangkan bagi partai

7
Kompas, “Syarat Berat, Banyak Calon Kepala Daerah Dari Jalur Perseorangan Gugur”, artikel
ini diakses dari https://nasional.kompas.com. pada 29 November 2019 pukul. 19.22.

4
politik dengan beratnya syarat pencalonan menjadikan partai berlomba-lomba

membentuk koalisi besar agar mencapai syarat pencalonan yang telah ditentukan.

Kabupaten Lebak merupakan salah satu daerah dari 16 daerah pada Pilkada

serempak tahun 2018 yang mengalami fenomena calon tunggal. Pemilihan Bupati di

Kabupaten Lebak pada 27 Juni tahun 2018 ada fenomena yang menarik untuk diamati

yakni, calon tunggal dengan lawan kotak kosong. Pasangan calon tunggal ini adalah

Iti Octaviani Jayabaya dan Ade Sumardi yang berasal dari Partai Demokrat dan PDI

Perjuangan. Iti Octaviani Jayabaya merupakan anak dari Bupati Lebak sebelumnya,

yakni Mulyadi Jayabaya. Di mana Mulyadi Jayabaya telah menjadi Bupati Lebak

selama 10 tahun.

Kemunculan calon tunggal di Kabupaten Lebak menarik untuk diamati, karena

tidak dapat dilepaskan dari peran Mulyadi Jayabaya sebagai orang kuat lokal yang

masih mendominasi kekuatan politik di Lebak. Selain itu, Mulyadi Jayabaya

merupakan salah satu orang terkaya di Lebak dengan jumlah kekayaan 66 miliar. 8

Kekayaan yang dimiliki Mulyadi Jayabaya tidak dapat dilepaskan dari kesuksesan

perusahaan yang dimilikinya. Salah satu perusahaan yang dimiliki Mulyadi Jayabaya,

yakni JB Group. Sosok Mulyadi Jayabaya menjadi orang kuat lokal yang memiliki

sumber daya melimpah dibandingkan masyarakat dan lawan politiknya. Di mana

kekayaan yang dimiliki Mulyadi Jayabaya dapat menjadikan modal untuk membangun

8
Banten Day, “Memiliki Kekayaan Rp. 66 Miliar, ini Rahasia Sukses JB”, artikel ini diakses
dari dari https://bantenday.co.id pada 29 November 2019 pukul. 19.44.

5
dinasti politik dan juga dimanfaatkan untuk jabatan politiknya.9 Selain itu, keluarga

Mulyadi Jayabaya juga telah menguasai jabatan-jabatan politik penting di Lebak.

Calon tunggal di Lebak merupakan fenomena yang mengindikasikan kuatnya

jaringan lokal dan finansial calon. Kuatnya jaringan lokal yang dimiliki oleh pasangan

calon Iti Octaviani Jayabaya yang tidak dapat dilepaskan dari nama besar Mulyadi

Jayabaya menjadikan pasangan calon Iti Octaviani Jayabaya dan Ade Sumardi

menjadi calon tunggal di Pilkada Lebak 2018. Mulyadi Jayabaya pada Pilkada Lebak

2018 menjadi aktor kuat di balik terjadinya Pilkada calon tunggal di Lebak. Mulyadi

Jayabaya berhasil mengonsolidasi seluruh partai politik di Lebak, dengan

menggunakan jaringannya di dewan pimpinan/pengurus pusat partai untuk

menyatukan dukungan terhadap pasangan Iti dan Ade. Di balik dukungan semua partai

politik ke paslon petahana tersebut, disinyalir ada sesuatu di balik kesepakatan itu.

Salah satunya adalah kebutuhan elit partai politik Lebak atas finansial untuk mengikuti

kontestasi pemilu tahun 2019. Kemunculan calon tunggal merupakan hasil kerjasama

tokoh kuat lokal dengan elit partai politik.10

Berdasarkan perolehan suara yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum

(KPU) Kabupaten Lebak, paslon tunggal ini unggul di semua kecamatan. Pasangan

tunggal Iti Octaviani Jayabaya dan Ade Sumardi memperoleh 453.938 suara

9
Ratu Vidya Nur’aini, “Lahirnya Dinasti Politik Studi Kasus: Terbentuknya Dinasti Politik
Mulyadi Jayabaya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Periode 2003- 2017)”, (Skripsi Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Yogyakarta, 2018).
10
Bawaslu RI, Fenomena Calon Tunggal Studi Kasus pada Pilkada 2018 di 16
Kabupaten/Kota, hlm. 63.

6
sedangkan kotak kosong memperoleh 135.879 suara. Berdasarkan perolehan suara

tersebut, pasangan Iti Octaviani Jayabaya dan Ade Sumardi dinyatakan menang pada

Pilkada 2018 di Kabupaten Lebak. 11 Kemenangan Iti Octaviani Jayabaya dan Ade

Sumardi merupakan salah satu indikasi yang menunjukkan semakin kuatnya dinasti

politik di Lebak. Dinasti Jayabaya yang sebelumnya memimpin Kabupaten Lebak

selama dua periode, kemudian dilanjutkan oleh anaknya yakni Iti Octaviani Jayabaya.

Dinasti politik yang terjadi di Kabupaten Lebak ini tidak dapat dilepaskan dari

kemunculan kelompok elit lokal dengan kapasitas sumber daya material yang besar,

dan dari berbagai pengaruh ekonomi politik yang mereka miliki. Kapasitas material

tersebut kemudian, berpengaruh dalam praktik politik yang membantu mereka

menduduki jabatan strategis di era demokrasi saat ini.12

Sebelum munculnya kotak kosong sebenarnya ada calon yang mendaftarkan

diri menjadi bupati Lebak periode 2018 sampai 2024 yakni Cecep Sumarno dan Didin

Saprudin. Pasangan calon ini gagal karena salah satu persyaratan Kartu Tanda

Penduduk (KTP) yang harus dikumpulkan tidak terpenuhi. Pasangan ini hanya

memiliki KTP sah sebanyak 43.445 buah, sedangkan syarat yang ditentukan KPU

Lebak sebanyak 71.111 buah. Berdasarkan surat keputusan KPU bernomor

11
KPU Kabupaten Lebak, “KPU Lebak Gelar Rapat Pleno Secara Terbuka”, artikel ini diakses
dari https://kpu-lebakkab.go.id. pada 28 Oktober 2018 pukul. 23.45.
12
Ratu Vidya Nur’aini, “Lahirnya Dinasti Politik Studi Kasus: Terbentuknya Dinasti Politik
Mulyadi Jayabaya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Periode 2003- 2017)”, (Skripsi Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Yogyakarta, 2018).

7
36/Kpts/KPU.Kab/015.43641/Xl/2017, tentang Penetapan Bakal Pasangan Calon,

maka Cecep Sumarno dan Didin Saprudin dinyatakan gagal.13

Kegagalan Cecep Sumarno dan Didin Saprudin untuk mencalonkan diri di

Pilkada Lebak tahun 2018 merupakan indikasi dari syarat pencalonan perseorangan

yang terlalu berat. Dalam Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 menyatakan

batas jumlah minimal dukungan bagi calon perseorangan yang maju dalam Pilkada

berkisar antara 6,5 persen hingga 10 persen dari jumlah pemilih yang tercantum pada

DPT. 14 Persyaratan ini dianggap memberatkan sehingga menghambat munculnya

alternatif pilihan masyarakat dari jalur perseorangan. Menurut Titi Angraeni Direktur

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), calon perseorangan harus

ditempatkan sebagai fasilitas untuk akomodasi artikulasi politik warga yang tidak

terwakili kehadiran partai politik.15

Selain pasangan Cecep Sumardi dan Didin Saprudin, ada pasangan H. Jazuli

dan Sopyan yang berniat mencalonkan diri untuk menjadi pasangan calon Bupati

Lebak. Namun, langkah mereka terhenti ketika mengajukan diri untuk dicalonkan dari

PKS, Hanura, dan Nasdem. Karena tidak ada respons lisan maupun tulisan dari PKS,

Hanura, dan Nasdem. Pasangan calon H. Jazuli dan Sopyan gagal mencalonkan

13
Kabar Banten, “Pilkada Lebak 2018: Cecep dan Didin Kurang 122.2674 Dukungan”, artikel
ini diakses dari dari www.kabar-banten.com pada tanggal 28 Oktober 2018 pukul. 22.30.
14
Republika, “KPU: Banyak Calon Independen Gugur di Pilkada 2018”, artikel ini diakses dari
dari www.republika.co.id pada 29 November 2019 pukul. 23.09.
15
Kompas, “Syarat Calon Perseorangan Terlalu Berat, UU Pilkada Seharusnya Direvisi”,
artikel ini diakses dari dari https://nasional.kompas.com pada 29 November 2019 pukul. 23.21.

8
sebagai pasangan calon Bupati Lebak periode 2018-2024.16 Kegagalan pasangan calon

ini merupakan salah satu indikasi kegagalan partai politik yang ada di Lebak dalam

melakukan kaderisasinya. Akibatnya, partai politik tidak memiliki kader yang layak

diusung pada Pilkada Lebak tahun 2018.

Proses kaderisasi merupakan peran penting bagi partai politik, menurut Miriam

Budiarjo (2008: 408),17 proses kaderisasi partai tidak dapat dilepaskan dalam tubuh

partai politik. Partai politik dapat menciptakan kader-kader terbaik dan berkualitas di

dalam strukturnya. Ketika partai politik sudah menciptakan kader yang berkualitas

maka partai politik dapat menentukan pemimpin ke dalam bursa pemilihan umum

nasional maupun daerah. Selain itu, rekrutmen partai dapat menjaga kualitas dan

menjaring kader partai politik untuk menghasilkan calon pemimpin.

Kaderisasi jika merujuk pada teori Miriam Budiarjo, 18 seharusnya partai

politik yang ada di Kabupaten Lebak memiliki kader-kader yang bisa dicalonkan

untuk menjadi calon Bupati. Namun, pada kenyataannya partai politik di Kabupaten

Lebak tidak mengusung calonnya sendiri untuk melawan calon petahana, justru partai

politik berbondong-bondong menggalang dukungannya terhadap satu calon, yakni Iti

Octaviani Jayabaya dan Ade Sumardi.

16
Bawaslu RI, Fenomena Calon Tunggal Studi Kasus pada Pilkada 2018 di 16
Kabupaten/Kota, hlm. 50.
17
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008),
hlm. 408.
18
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, hlm. 408.

9
Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pengaruh orang kuat lokal melakukan praktik politik borong partai yang membuat

tertutupnya kandidat lain untuk maju sebagai calon bupati. Lewat jaringan yang

dimiliki oleh Mulyadi Jayabaya menjadi aktor kuat dalam mengonsolidasi para elit

partai untuk mendukung Iti dan Ade. Dengan munculnya calon tunggal ini, maka

pasangan Iti dan Ade dengan mudahnya memenangkan Pilkada Kabupaten Lebak.

Kemenangan tersebut dapat menjadikan Dinasti Jayabaya semakin kuat di Lebak.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan dari pernyataan masalah yang telah dikemukakan di atas, peneliti

akan merumuskan pertanyaan masalah penelitian ini sebagai berikut:

1. Mengapa terjadi calon tunggal pada Pilkada Kabupaten Lebak tahun 2018?

2. Bagaimana pengaruh orang kuat lokal dalam melakukan praktik politiknya

di Pilkada Kabupaten Lebak tahun 2018?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan menjelaskan proses munculnya calon tunggal di

Kabupaten Lebak dan kekuatan apa saja yang dimiliki orang kuat lokal sehingga

berhasil mengonsolidasi para elit partai untuk mendukung paslon Iti dan Ade yang

menyebabkan Pilkada Kabupaten Lebak terjadi calon tunggal. Selain itu, penelitian ini

juga bertujuan melihat bagaimana kemenangan calon tunggal pada Pilkada Lebak

tahun 2018 ini menjadi pelestarian Dinasti Mulyadi Jayabaya.

10
Sedangkan manfaat penelitian ini dibagi ke dalam dua bagian, di antaranya:

1. Manfaat Akademis

Secara akademis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai literatur

tambahan dan informasi bagi peneliti yang tertarik pada isu politik lokal.

Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi

ilmu pengetahuan di bidang politik, terutama mengenai fenomena calon

tunggal dalam Pilkada serempak, dan pengaruh orang kuat lokal dalam

dinamika politik lokal.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini pada dasarnya memiliki dua kelebihan, baik bagi penulis

maupun pembaca. Bagi penulis, penelitian ini bertujuan menambah ilmu

dan pengalaman dalam melakukan riset dalam ilmu sosial. Bagi

pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menjawab mengapa dalam

Pilkada Lebak tahun 2018 bisa terjadi fenomena calon tunggal, partai

politik yang memiliki kewenangan dalam mencalonkan paslon tidak

menggunakan haknya untuk mencalonkan paslon alternatif selain paslon

petahana.

D. Tinjauan Pustaka

Tujuan tinjauan pustaka adalah untuk mengetahui relevansi penelitian ini

dengan literatur yang sudah ada. Di antara banyak pustaka yang menjadi instrumen

perbandingan penulis dalam menulis skripsi dengan judul “Calon Tunggal dan Orang

11
Kuat Lokal (Studi Kasus Fenomena Calon Tunggal dalam Pemilihan Langsung Bupati

dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak Tahun 2018) adalah:

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Aryojati Ardipandanto dengan judul

“Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak 2015” yang diterbitkan di Jurnal


19
Pemerintahan dalam Negeri. Penelitian ini bertujuan menjelaskan masalah

pengkaderan di tubuh partai politik dan masalah substansi Undang-Undang tentang

Pilkada yang harus segera diperbaiki. Penelitian ini lebih berfokus kepada upaya

perbaikan kaderisasi di tubuh partai agar tidak tersumbatnya kader yang dapat

dicalonkan dalam Pilkada. Selain itu, penelitian ini juga menekankan untuk perbaikan

dalam perundang-undangan Pilkada.

Hasil penelitian Aryojati Ardipandanto melihat kemunculan calon tunggal

pada Pilkada tahun 2015 menunjukkan kegagalan kaderisasi partai politik. Selain itu,

para pengurus partai politik lebih banyak mengajukan para bakal calon kepala

daerahnya atas dasar hitung-hitungan untung rugi finansial dan kalah menang politik,

daripada mementingkan keberanian untuk maju pantang mundur, menang atau kalah

yang terpenting sudah bertarung. Hasil penelitian ini juga melihat dari segi aspek

peraturan Perundang-undangan untuk lebih menyempurnakan lagi Undang-Undang

tentang Pilkada supaya memberikan koridor hukum apabila terjadi fenomena calon

tunggal.

19
Aryojati Ardipandanto, “Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak 2015”, (Jurnal
Pemerintahan dalam Negeri, Vol. VII Nomor 15, 2015), hlm. 17-20.

12
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Wafia Silvia Dhesinta dengan judul

“Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Konsep Demokrasi (Analisis

Terhadap Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Blitar Tahun 2015)” yang diterbitkan

di Jurnal Cita Hukum.20 Penelitian ini bertujuan menjelaskan fenomena calon tunggal

di Kabupaten Blitar karena ketidakmampuan partai politik dalam mengusung

kadernya. Penelitian ini lebih berfokus melihat fenomena calon tunggal dari segi partai

politik dan melihat kurangnya partisipasi masyarakat karena belum maksimalnya

sosialisasi KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) Blitar sehingga menyebabkan

kurangnya partisipasi masyarakat dalam memilih di Pilkada Blitar.

Hasil penelitian Wafia Silvia Dhesinta mengkaji fenomena yang muncul di

Kabupaten Blitar, yakni Pilkada pada tahun 2015 yang menghasilkan satu pasang

calon melawan kotak kosong. Hal ini disebabkan karena ketidakmauan partai dalam

mengusung kadernya sebagai calon dalam Pilkada. Dalam proses pemilihan kepala

daerah terdapat masalah yang ada di masyarakat karena kurangnya sosialisasi dari

KPUD Kabupaten Blitar tentang proses pemungutan suara di TPS (Tempat

Pemungutan Suara). Selain itu, kurangnya partisipasi masyarakat di beberapa daerah

yang masih rendah terhadap Pilkada di Kabupaten Blitar 2015.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Danny Widodo Uji Prakoso dengan

judul “Analisis Rekrutmen dan Kaderisasi Partai Politik Pada Fenomena Calon

20
Wafia Silvia Dhesinta, “Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Konsep
Demokrasi (Analisis Terhadap Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Blitar Tahun 2015)”, (Jurnal Cita
Hukum, Vol. 4 No. 1 2016), hlm. 87-102.

13
Tunggal Petahana Studi Kasus: Pilkada Kabupaten Pati 2017” yang diterbitkan di

Jurnal Politik dan Pemerintahan.21 Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor

apa saja yang terjadi di internal partai politik khususnya terkait penerapan fungsi

kaderisasi dan rekrutmen politik serta proses pencalonan di semua partai sehingga

hanya muncul satu paslon saja. Penelitian ini lebih berfokus terhadap kaderisasi dan

rekrutmen partai politik yang tersumbat sehingga memicu tidak adanya kader yang

dapat dicalonkan.

Hasil penelitian Danny Widodo Uji Prakoso ditemukan bahwa fenomena calon

tunggal yang terjadi di Kabupaten Pati figur Haryanto yang maju kembali sebagai

calon bupati. Haryanto merupakan seorang petahana yang sangat kuat dan memiliki

tingkat elektabilitas tinggi, sedangkan wakilnya Saiful Arifin adalah seorang

pengusaha yang dianggap kuat secara ekonomi. Akibatnya, partai politik di Kabupaten

Pati merasa tidak ada kader-kader mereka yang mampu menyaingi pasangan

Haryanto-Arifin yang kuat baik secara politik maupun ekonomi. Munculnya satu

pasang calon ini memicu timbulnya kelompok masyarakat yang berusaha

memenangkan kotak kosong dengan harapan adanya Pilkada ulang di tahun 2018

sehingga potensi tokoh-tokoh lain dapat muncul. Seharusnya ketika partai politik

sudah melakukan proses kaderisasi maka akan menghasilkan figur yang berkualitas

secara politik. Namun, di Kabupaten Pati semua partai seakan tidak melakukan fungsi-

21
Danny Widodo Uji Prakoso, “Analisis Rekrutmen dan Kaderisasi Partai Politik Pada
Fenomena Calon Tunggal Petahana Studi Kasus: Pilkada Kabupaten Pati 2017”, (Jurnal Politik dan
Pemerintahan, Vol.2 No.1 2017), hlm. 1-19.

14
fungsinya dengan optimal karena partai sendiri tidak percaya dengan potensi kader

dan kekuatan mesin partainya sendiri. Pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasang

calon yang harus melawan kotak kosong menjadi sebuah kontestasi demokrasi yang

tidak ideal.

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Lili Romli dengan judul “Pilkada

Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal” yang diterbitkan di

Jurnal Penelitian Politik. 22 Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang

fenomena munculnya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah. Kemunculan

calon tunggal ini disebabkan oleh beberapa faktor yakni pragmatisme partai politik,

kegagalan kaderisasi, persyaratan sebagai calon yang semakin berat, dan mahar politik

yang semakin mahal. Penelitian ini lebih berfokus untuk melihat faktor penyebab

kemunculan calon tunggal di beberapa daerah yang mengalami calon tunggal.

Penelitian tidak hanya mengkaji satu daerah saja tetapi semua daerah yang mengalami

calon tunggal.

Penelitian Lili Romli menghasilkan beberapa temuan. Pertama, fenomena

calon tunggal sebagai akibat dua pihak yang saling berkepentingan yaitu petahana dan

partai politik. Kedua, partai politik gagal melakukan kaderisasi, dan telah terjadi krisis

kepemimpinan di daerah. Ketiga, keberadaan calon tunggal tidak terlepas dari

beratnya persyaratan untuk menjadi kandidat, baik melalui jalur partai maupun jalur

perseorangan. Keempat, pragmatisme partai politik, partai politik melalui jalan pintas

22
Lili Romli, “Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal”, (Jurnal
Penelitian Politik, Volume 15 No. 2 Desember 2018), hlm. 143-160.

15
tidak mau mengusung calon lain karena takut kalah. Kelima, terlalu besarnya nilai

mahar yang diminta oleh pengurus partai politik kepada para kandidat yang berniat

maju dalam Pilkada. Selain itu, calon tunggal di beberapa daerah mengindikasikan

desentralisasi dan otonomi daerah mengalami stagnasi, kondisi ini pada akhirnya dapat

melahirkan raja-raja kecil, yang menguasai wilayah daerah mereka masing-masing

baik dalam hal penguasaan politik, kekuasaan eksekutif, dan yudikatif lokal.

Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Bawaslu RI dengan judul “Fenomena

Calon Tunggal Studi Kasus pada Pilkada 2018 di 16 Kabupaten/Kota”.23 Penelitian

yang diterbitkan dalam bentuk buku ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor

penyebab terjadinya Pilkada paslon tunggal yang terjadi di 16 daerah pada Pilkada

2018. Selain itu, untuk mengetahui peran masyarakat sipil dan kinerja pengawas

pemilu dalam Pilkada paslon tunggal di 16 daerah tersebut.

Buku ini menjelaskan hasil penelitian Bawaslu mengenai fenomena calon

tunggal yang terjadi di 16 Kabupaten/Kota pada Pilkada 2018 setelah keluarnya

putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PUU-XIII/2015 sebagai jawaban

terhadap permohonan peninjauan kembali aturan Pilkada 2015, maka praktik Pilkada

langsung di Indonesia diwarnai dengan fenomena calon tunggal. Setelah adanya

putusan MK tersebut, maka KPU menerbitkan peraturan yang mengatur soal

pelaksanaan teknis Pilkada calon tunggal. Selain itu, menjelaskan bagaimana

dinamika pasangan calon tunggal yang terjadi di 16 Kabupaten/Kota. Penelitian ini

23
Bawaslu RI, Fenomena Calon Tunggal Studi Kasus pada Pilkada 2018 di 16
Kabupaten/Kota, hlm. 6.

16
juga melihat analisis dinamika partisipasi masyarakat dalam Pilkada calon tunggal dan

regulasi yang dilakukan pemantau Pilkada, dan bagaimana dinamika pemantauan dan

pengawasan Pilkada calon tunggal di 16 Kabupaten/ Kota.

Keenam, penelitian yang dilakukan oleh Ratu Vidya Nur’aini dengan judul

“Lahirnya Dinasti Politik Studi Kasus: Terbentuknya Dinasti Politik Mulyadi

Jayabaya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Periode 2003-2017)”, yang


24
diterbitkan oleh Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini bertujuan untuk

menjelaskan bagaimana terbentuknya dinasti politik Mulyadi Jayabaya dengan

mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya dinasti politik

Mulyadi Jayabaya di Kabupaten Lebak.

Hasil Penelitian Ratu Vidya Nur’aini menunjukan bahwa dinasti politik

Mulyadi Jayabaya terbentuk dengan proses kondolidasi dan ekspansi kekuasaan yang

didasari oleh kekayaan material dalam suksesi Pemilu, keberhasilan membangun

hubungan dengan jawara, jejaring keluarga dan kemampuan Mulyadi Jayabaya dalam

membangun popularitasnya. Selain itu, dengan adanya dinasti politik di Kabupaten

Lebak menciptakan dominasi kekuasaan dengan kecilnya ruang persaingan politik dan

ekonomi.

Penelitian penulis ini akan mengisi hal-hal yang belum terjawab pada literatur

sebelumnya yakni mengenai fenomena calon tunggal ditinjau dari orang kuat lokal

24
Ratu Vidya Nur’aini, “Lahirnya Dinasti Politik Studi Kasus: Terbentuknya Dinasti Politik
Mulyadi Jayabaya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Periode 2003- 2017)”, (Skripsi Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Yogyakarta, 2018).

17
yang menyebabkan Pilkada 2018 di Kabupaten Lebak mengalami calon tunggal.

Penelitian sebelumnya lebih melihat fenomena calon tunggal dari partai politik dan

dari segi aspek peraturan perundang-undangan untuk lebih menyempurnakan lagi

Undang-Undang tentang Pilkada. Pada penelitian ini, penulis berusaha melihat

fenomena calon tunggal dari proses pencalonan partai politik serta melihat peran orang

kuat lokal dengan menggunakan jaringan politik dan ekonominya dalam

mengonsolidasi elit lokal untuk menggabungkan dukungannya terhadap calon tunggal.

Dengan kemenangan calon tunggal pada Pilkada Kabupaten Lebak 2018 ini

merupakan salah satu pelestarian Dinasti Mulyadi Jayabaya.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Dalam buku karya Muri

Yusuf (2014: 329), penelitian kualitatif adalah suatu strategi penyelidikan (inquiry)

yang menekankan pencarian makna maupun deskripsi suatu fenomena yang terjadi

secara alami dan holistik yang disajikan secara naratif.25 Penelitian ini disajikan dalam

bentuk deskriptif, penyajian data yang dihasilkan sebagai hasil dari penelitian

bersumber dari data yang dikumpulkan melalui buku, jurnal, dokumen, dan berita yang

berhubungan dengan tema yang diteliti oleh penulis.

25
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan, (Jakarta:
Pramedia Group, 2014), hlm. 329.

18
2. Teknik Pengumpulan Data

a) Wawancara

Wawancara merupakan suatu proses interaksi yang dilakukan secara

langsung oleh pewawancara dengan narasumber yang terkait dengan

penelitiannya.26 Wawancara yang dilakukan oleh penulis melalui proses

tanya jawab langsung dengan mengajukan pertanyaan yang telah

disiapkan sebelumnya. Wawancara ini akan dilakukan dengan pihak

terkait seperti, seluruh elit partai yang ada di Kabupaten Lebak untuk

mengetahui bagaimana proses pencalonan Pilkada Lebak tahun 2018,

hingga akhirnya muncul calon tunggal. Selain itu, penulis juga

melakukan wawancara dengan pengamat politik lokal.

b) Dokumentasi

Dokumentasi adalah suatu kumpulan dari karya seseorang tentang

sesuatu yang telah terjadi, seperti: dokumen tentang orang, peristiwa,

kejadian sosial yang sesuai dengan fokus penelitian. Dokumen bisa

berbentuk teks tertulis, gambar maupun foto. 27 Dalam penelitian ini,

penulis memperoleh dokumen melalui wawancara, berita-berita

nasional, jurnal-jurnal dan dokumen yang terkait lainnya. Peneliti juga

menyajikan data berupa hasil riset dari Badan Pusat Statistik (BPS)

26
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan, hlm. 372.
27
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan, hlm. 391.

19
Kabupaten Lebak dan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Kabupaten Lebak.

3. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis data, menurut

Fossey (2002: 728), analisis data kualitatif merupakan proses menelaah dan

memeriksa data, menginterpretasikan data yang terkumpul sehingga dapat

mengambarkan atau menerangkan fenomena atau situasi sosial yang sedang diteliti.28

Dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dengan menggunakan teori

partai politik, teori elit: dinasti politik, orang kuat lokal, dan teori patron klien. Hal ini

digunakan untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang data yang dikumpulkan.

F. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan. Pada bab ini secara garis besar memaparkan pernyataan

masalah, pertanyaan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan

metodologi penelitian. Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan

teknik pengumpulan data dengan menggunakan wawancara dan dokumentasi, serta

teknik analisis deskriptif.

Bab II berisi tinjauan teori yang menjelaskan dan menjabarkan mengenai teori

yang dipakai dalam penulisan penelitian ini, yakni teori partai politik, teori elit: dinasti

politik, orang kuat lokal serta teori patron klien. Bagaimana teori ini dapat menjawab

28
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan, hlm. 400.

20
rumusan masalah yang tertulis di dalam pendahuluan, dan relevansi dari teori ini

apakah layak untuk dijadikan acuan dalam penulisan penelitian ini.

Bab III berisi mengenai gambaran umum Kabupaten Lebak dan profil Bupati

dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak serta dinamika politik Pilkada Bupati Kabupaten

Lebak hingga munculnya calon tunggal.

Bab IV merupakan inti dari penulisan penelitian yang berjudul Calon Tunggal

dan Orang Kuat Lokal (Studi Kasus Fenomena Calon Tunggal dalam Pemilihan

Langsung Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak Tahun 2018). Dalam bab ini

penulis menjabarkan hasil penelitian secara deskriptif dan sistematis, serta

menganalisis data yang telah diperoleh untuk menjawab permasalahan dalam

penelitian.

Bab V Penutup. Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran

penelitian. Kesimpulan dan saran ini diperoleh dari hasil-hasil temuan yang didapat

dalam proses penelitian.

21
BAB II

KERANGKA TEORI

Pada bab ini penulis akan memaparkan mengenai landasan teoritis melalui

kerangka teori yang di dalamnya menjelaskan teori yang dipakai untuk menjelaskan

rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu mengapa terjadi calon tunggal pada

Pilkada Kabupaten Lebak tahun 2018 dan bagaimana pengaruh orang kuat lokal dalam

melakukan praktik politiknya di Pilkada Kabupaten Lebak tahun 2018. Dengan

menggunakan teori partai politik, teori elit; dinasti politik, dan orang kuat lokal, dan

teori patron klien.

A. Teori Partai Politik

Partai politik merupakan wadah bagi warga negara dalam berpartisipasi atau

ikut andil dalam bagian proses pengelolaan kegiatan suatu negara. Partai politik hadir

sebagai wadah bagi warga negara untuk menyatukan berbagai gagasan, ide dan tujuan

bersama sampai tersalurkan dengan baik. Partai tidak hadir dengan sendirinya,

kehadirannya karena ada sejarah yang cukup panjang yang melatarbelakangi hadirnya

partai politik. Partai menjadi bagian dari negara modern yang merupakan organisasi

yang muda di dalam negara, yang baru dalam kehidupan manusia.1

Adapun menurut Sigmund Neumand, sebagaimana dikutip dari Muhamad

Labolo, (2015: 11), mengatakan bahwa partai politik merupakan bagian dari wadah

1
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), hlm.
397.

22
aktivis politik yang terlibat menguasai pemerintahan dan merebut suara dari dukungan

masyarakat dengan lawan golongan lainnya yang berbeda pandangan.2 Partai politik

merupakan jembatan bagi ideologi dan kekuatan sosial untuk terhubung dengan

lembaga pemerintahan yang resmi.

Partai politik dapat diklasifikasikan berdasarkan tipologi tertentu yang

kaitannya dengan kriteria dan peran ideologi partai tersebut. Tipologi partai politik

menurut Austin Ranney, sebagaimana dikutip dari Ikhsan Darmawan (2015: 128),3

terbagi menjadi dua. Pertama, missionary parties, yakni partai politik bertipe seperti

ini lebih mengedepankan penyebaran ideologi daripada memenangkan kursi atau

jabatan dalam sebuah pemilihan umum. Untuk partai seperti ini, perubahan ideologi

sangat tidak dipentingkan. Kedua, broker parties, yakni partai politik ini kebalikan

dari missionary parties. Broker parties lebih mengedepankan memenangkan kursi atau

jabatan dalam pemilihan umum daripada mengejar kursi pengikut atau orang yang

percaya terhadap ideologi partai politik. Bagi partai politik bertipe ini, ideologi dapat

disesuaikan dengan masyarakat pada saat ini.

Selain tipologi partai politik, partai juga memiliki fungsinya karena partai

memiliki tanggung jawab konstitusional, moral, dan etika untuk membawa kondisi,

dan situasi masyarakat menjadi lebih baik dan menjadi jembatan penghubung antara

2
Muhadam Labolo dan Tegus Ilham, S.Stp, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di
Indonesia (Teori, Praktik dan Isu Strategi), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hlm.11.
3
Ikhsan Darmawan, Mengenal ilmu Politik, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2015), hlm.
128.

23
pemerintah dan masyarakat.4 Menurut Miriam Budiarjo (2008: 405)5 partai politik

memiliki empat fungsi yakni, sarana komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi

politik, sarana pengatur konflik, dan sarana rekrutmen politik.

Salah satu fungsi partai politik yakni sarana rekrutmen politik. Menurut

Gabriel Almond, sebagaimana dikutip dari Muhadam Labolo (2015:17), proses

rekrutmen merupakan kesempatan rakyat untuk menyeleksi kegiatan-kegiatan politik

dan jabatan pemerintah melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi

anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu, pendidikan dan latihan.6

Sistem rekrutmen ini sangat penting bagi partai untuk mendapatkan sumber daya

manusia dengan baik. Dengan adanya rekrutmen ini dapat diseleksi kandidat yang

terpilih sesuai dengan karakteristik dan ideologi partai tersebut.

B. Teori Elit, Dinasti Politik, dan Orang Kuat Lokal

Selain menggunakan teori partai politik penelitian ini memakai prespektif teori

elit, dinasti politik dan orang kuat lokal. Teori elit dalam hal ini mengenai elit yang

berkuasa di tingkat lokal yakni, di Kabupaten Lebak. Elit ini akan membentuk apa

yang disebut dengan dinasti politik yang pada umumnya mereka menjadi orang kuat

lokal di tingkal lokal.

4
Muhadam Labolo dan Tegus Ilham, S.Stp, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di
Indonesia (Teori, Praktik dan Isu Strategi), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hlm.16.
5
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, hlm. 405.
6
Muhadam Labolo dan Tegus Ilham, S.Stp, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di
Indonesia (Teori, Praktik dan Isu Strategi), hlm.17.

24
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori elit yang dikemukakan oleh

Lipset dan Solari sebagaimana dikutip dari Haryanto (2017: 2), yang menjelaskan elit

merupakan posisi dalam masyarakat yang berada di puncak struktur-struktur sosial

yang terpenting, seperti berada dalam posisi tertinggi di ekonomi, pemerintah, aparat

kemiliteran, politik, agama, dan pekerjaan lainnya. Perbedaan yang tidak dapat

dihindarkan dalam kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya merupakan

titik awal bagi munculnya kelompok-kelompok unggulan. Kelompok unggulan

tersebut pada waktunya akan bergabung dalam suatu kelompok yang lebih dikenal

dengan sebutan kelompok elit.7

Elit dalam masyarakat akan membentuk suatu distribusi kekuasaan, menurut

Gaetano Mosca, sebagaimana dikutip Ramlan Surbakti (2015: 75), 8 menjelaskan

bahwa terdapat dua bentuk distribusi kekuasaan di dalam masyarakat, yakni kelas

penguasa dan kelas dikuasai. Kelas penguasa jumlahnya sedikit, namun mampu

melakukan monopoli politik dan menikmati keuntungan dari kekuasaan. Kelas

penguasa memiliki kecenderungan untuk selalu mempertahankan kekuasaannya, dan

penguasaan kelas penguasa cenderung berada dalam keluarga tertentu melalui tradisi

moral atau warisan. Sebaliknya, kelas dikuasai memiliki jumlah yang banyak. Namun

lebih di arahkan dan dikendalikan oleh kelas penguasa baik dengan cara yang legal,

maupun sewenang-wenang dan tidak jarang menggunakan kekerasan.

7
Haryanto, Elite, Massa, dam Kekuasaan: Suatu Bahasa Pengantar, (Yogyakarta: PolGov,
2017), hlm. 3
8
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Grasindo, 2015), hlm. 75.

25
Kelompok kelas ini akan mengalami perubahan sewaktu-waktu. Posisi yang

mereka miliki tidak bersifat langgeng karena akan diganti dengan kelompok lainnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Pareto sebagaimana dikutip Heryanto

(2017: 3), menyatakan bahwa dalam tubuh elit terdapat kecenderungan untuk

mengalami apa yang disebut pembusukan (decay). Oleh karena itu, diperlukan proses

yang lebih dikenal dengan istilah sirkulasi elit atau perputaran elit agar pembusukan

elit tidak terjadi.9

Jika berlangsungnya sirkulasi elit di suatu masyarakat dapat berputar dengan

baik dan teratur, maka stabilitas masyarakat akan lebih terjamin. Sebaliknya, apabila

sirkulasi elit tidak terjadi maka membuka peluang munculnya kondisi potensial untuk

mewujudkan ketidakstabilan di masyarakat. Realitanya menunjukkan bahwa individu-

individu yang bergabung dalam kelompok massa tidak jarang melakukan berbagai

upaya agar dapat masuk ke dalam jaringan elit, kelompok ini disebut dengan counter

elite yakni mereka yang berada di lapisan atas dari massa, karena yang bersangkutan

merupakan kelompok yang bisa berupaya menembus masuk ke dalam jaringan elit.10

9
Haryanto, Elite, Massa, dam Kekuasaan: Suatu Bahasa Pengantar, hlm. 20.
10
Haryanto, Elite, Massa, dam Kekuasaan: Suatu Bahasa Pengantar, hlm. 22.

26
B.1. Dinasti Politik

Salah satu manifestasi teori elit terwujud dalam bentuk dinasti politik, menurut

Lendong sebagaimana dikutip dari Gun Gun Heryanto (2019: 212), dinasti politik

merupakan pendistribusian kekuasaan antara anggota keluarga sedarah. Fenomena ini

sangat berdampak negatif terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.11

Dinasti politik merupakan contoh dari kekuasaan elit di mana satu atau

beberapa kelompok keluarga yang memonopoli kekuatan politik. Keberadaan dinasti

politik menjadi bukti reproduksi kekuatan politik keluarga yang disebabkan oleh

anggota kerabat sebelumnya. Anggota dinasti politik memiliki karakteristik keluarga

yang memiliki kekayaan, bakat, popularitas atau penampilan yang berkolerasi dengan

kesuksesan politik lintas generasi.12

Dinasti politik erat kaitannya dengan budaya politik yang berkembang di

masyarakat. Budaya politik sendiri berkaitan dengan preferensi kekuasaan yang

dibangun baik dari segi penerimaan publik maupun pembangunan rezim. Salah satu

aksentuasi budaya politik dalam membahas dinasti politik yakni neopatrimonalisme.

11
Gun Gun Heryanto, M. Si, Literasi Politik; Dinamika Konsolidasi Demokrasi Indonesia
Pascareformasi, (Yogyakarta: Ircisod, 2019), hlm. 212.
12
Pablo Querubin, “Political Reform and Elite Persistence: Term Limits and Political Dynasties
in the Philippines”, (Harvard Academy for International and Area Studies, 2011), diakses pada 12
Desember 2019, https://leitner.yale.edu, hlm. 2.

27
Menurut prespektif neopatrimonalisme dinasti politik merupakan ekses negatif dari

otonomi daerah yang menjadikan demokrasi terbajak (hijacked democracy) oleh

sirkulasi hubungan inti genealogis, berdasarkan relasi kekeluargaan maupun di luar

garis genealogis yang memiliki kepentingan terhadap pelanggengan kekuasaan

keluarganya. Hal itulah yang kemudian memicu kalangan kerabat menjadi elit sebagai

kata kunci pemahaman dinasti dalam perspektif ini. Dinasti politik sebagai elit tunggal

diartikan hanya satu kelompok elit yang menguasai jalannya politik dan pemerintahan.

Dinasti politik dalam tipologi elit ini bentuknya prismatik, dinasti politik bertindak

sebagai elit memerintah (governing elite) yang memiliki hubungan patronase dengan

berbagai pihak, utamanya tokoh informal yang memiliki pengaruh sosio-politik

maupun sosio-kultural dalam masyarakat (nongoverning elite), dan juga masyarakat

(non-elite). Adapun patronase tersebut diwujudkan dengan cara mengunci pos-pos

penting dalam pemerintahan dan masyarakat oleh orang-orang terdekat. Hal ini

dilakukan sebagai upaya meredam demonstrasi masyarakat karena sadar bahwa

jumlah elit tunggal ini sebenarnya lebih sedikit sehingga cara itu dilakukan untuk

mengefektifkan kekuasaan.13

Dinasti politik merupakan suatu fenomena yang tidak dapat terelakkan. Hal

tersebut tidak dapat dipisahkan dari kemunculan orang kuat lokal dengan kapasitas

sumber daya material yang dimiliki serta berbagai pengaruh yang mereka miliki dalam

mendapatkan kekuasaan di daerah. Akses sumber daya ekonomi yang dimiliki

13
Wasisto Raharjo Djati, “Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik
di Aras Lokal”, (Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 18 No. 2, 2013), hlm. 205.

28
segelintir orang kuat lokal menjadi salah satu penyebab yang sangat kuat bagi

kemunculan dinasti politik, walaupun tidak menutup kemungkinan faktor lain juga

turut mempengaruhi. Dinasti politik memberikan pengaruh yang tidak baik pada

pembangunan sosial, politik dan ekonomi. Karena peluang politik dan ekonomi warga

negara menjadi terbatas, akan dimonopoli oleh keluarga tertentu yang memiliki modal

ekonomi besar dan dekat dengan pemegang kekuasaan. Dinasti politik juga akan

memunculkan celah untuk melakukan manipulasi ataupun korupsi.14

B.2. Orang Kuat Lokal

Politik dinasti pada dasarnya terbentuk akibat adanya tokoh kuat lokal yang

berkuasa penuh di daerah. Berkuasanya orang kuat lokal ini adalah hasil

perselingkuhan tak suci antara “politisi”, “birokrat lokal” dan “pengusaha”. Bahkan

tak jarang mereka sendiri membangun bisnis kroninya. Menurut Joel Migdal (1988:

41)15, orang kuat lokal merupakan pemimpin non-formal negara seperti tuan tanah,

tengkulak, kepala suku, bos, pengusaha, pemimpin perang, petani kaya, dan pemimpin

klan, yang membangun organisasi sosialnya yang berbentuk jejaring dalam rangka

menjalankan kontrol sosial atas masyarakat untuk menguasai keseluruhan populasi

yang berada dalam wilayah tertentu.

Para orang kuat lokal melakukan berbagai kegiatan seperti pemberian kredit,

pemberian akses rakyat kepada tanah, perlindungan keamanan, pemerasan dan

14
Leo Agustin, “Dinasti Politik Pasca-Otonomi Daerah Orde Baru: Pengalaman Banten”,
Prisma Vol, 29, No.3, Juli 2010.
15
Saepudin dan Joni Firmansyah, “Jawara dan Pemilu: Peran Jawara Sebagai Identitas Politik
di dalam Pemilihan Kepala Daerah Banten” (Jurnal Bawaslu RI, Vol. 3 No.2, 2017), hlm. 230.

29
tindakan lainnya. Mereka juga menerapkan hadiah, hukuman dan simbol sebagai

bentuk kontrol sosial terhadap masyarakat. Orang kuat lokal beroperasi pasca-kolonial

dari Benua Asia dan Afrika yang masih lemah melakukan kontrol sosial atas

masyarakatnya terutama di tingkat lokal. Kontrol sosial terutama dilakukan untuk

mengatur relasi sosial di dalam masyarakat, melakukan penetrasi di dalam

masyarakat, dan mengambil sumber daya yang ada dalam masyarakat.16

Dalam sebuah arena politik lokal, orang kuat lokal bersama birokrat di tingkat

lokal yang menjalankan kebijakan pemerintah dan politisi lokal yang terdiri dari partai

politik dan pemimpin formal di tingkat lokal, membentuk segitiga akomodasi yang

saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Mereka membangun apa yang disebut Joel

Migdal (1988: 238-258), sebagai jaringan pertukaran sosial ekonomi dan politik.

Orang kuat lokal melakukan tawar menawar dengan birokrat dan politisi yang

menghasilkan kompromi dan kompetisi. Orang kuat lokal menawarkan stabilitas lokal

yang ditukar dengan jaminan tidak mengganggu kekuasaan mereka yang telah

berlangsung. Bahkan mereka menawarkan untuk dapat terlibat langsung

mempengaruhi keputusan penting mengenai alokasi sumber daya dan aplikasi aturan-

aturan kebijakan negara dengan cara menempatkan anggota keluarga mereka pada

sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber daya berjalan sesuai dengan

aturan mereka sendiri.17

16
Saepudin dan Joni Firmansyah, “Jawara dan Pemilu: Peran Jawara Sebagai Identitas Politik
di dalam Pemilihan Kepala Daerah Banten” (Jurnal Bawaslu RI, Vol. 3 No.2, 2017), hlm. 230.
17
Saepudin dan Joni Firmansyah, “Jawara dan Pemilu: Peran Jawara Sebagai Identitas Politik
di dalam Pemilihan Kepala Daerah Banten” (Jurnal Bawaslu RI, Vol. 3 No.2, 2017), hlm. 230.

30
Apabila terjadi kompromi maka orang kuat lokal akan bekerjasama

memenangkan partai politik tertentu dan kandidat tertentu. Mereka menyediakan

akses yang luas demi memaksimalkan dukungan masyarakat. Setelah kemenangan

diperoleh, para politisi memberikan banyak keuntungan kepada orang kuat lokal. Para

politisi juga akan meyakinkan birokrat di tingkat lokal agar jangan mengusik

keberadaan orang kuat lokal.18

Penyebab munculnya orang kuat lokal menurut John Sidel (1988: 53-57).

Pertama, sifat dasar negara dan sifat dasar masyarakat yang menyebabkan orang kuat

lokal tumbuh dan berkembang. Kedua, kebangkitan orang kuat lokal dari dalam

negara dan dari dalam masyarakat. Ketiga, struktur negara yang menciptakan kondisi

bangkit, bertahan dan berhasilnya orang kuat lokal. Keempat, budaya politik dan

tuntunan penduduk lokal yang partikular menyebabkan munculnya orang kuat lokal.

Kelima, persediaan (supply) dari orang kuat lokal tidak selalu mencerminkan

permintaan (demand) dari masyarakat. Keenam, orang kuat lokal tidak menghambat

perkembangan kapitalisme justru memfasilitasi dan mengambil manfaat pertumbuhan

industri dan perluasan pasar di daerah kekuasaan mereka.19

18
Melvin Perjuangan Hutabarat, “Fenomena Orang Kuat Lokal di Indonesia Era
Desesntralisasi Studi Kasus Tantang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin di Jambi”, (Tesis Ilmu
Politik, Jakarta: Universitas Indonesia, 2012), hlm. 18.
19
Eka Suaib dan La Husen Zuada, “Fenomena ‘Bosisme Lokal’ di Era Desentralisasi: Studi
Hegemoni Politik Nur Alam di Sulawesi Tenggara” (Jurnal Penelitian Politik, Vol 12 No. 2, 2015), hlm.
54.

31
Keberhasilan orang kuat lokal dalam mencapai distribusi dan pengakuan

kontrol sosial menurut Migadal (1988: 9), disebabkan kondisi-kondisi berikut ini:20

1. Orang kuat yang tumbuh subur dalam masyarakat berbentuk jaringan, di

mana klientilisme tumbuh subur dan berkembang. Akibat struktur

masyarakat berbentuk jaringan ini, orang kuat lokal memperoleh pengaruh

signifikan melampaui pengaruh para pemimpin negara dan para birokrat

lokal.

2. Proses akulturasi mitos bertahan hidup yang ada dalam diri orang kuat lokal

di masyarakat, dan sudah menjadi simbol tersendiri di antara mereka di mana

orang kuat menjadi satu-satunya tumpuan hidup masyarakat.

3. Kemampuan orang kuat lokal mengintervensi dan menembus lembaga-

lembaga negara sehingga menjadikan negara menjadi lemah, yakni melalui

semacam gangguan lewat berbagai tindakan kohesif yang di tunjukan pada

birokrat-birokrat pemerintah.

C. Teori Patron Klien

Dinasti politik dan orang kuat lokal dalam rangka melestarikan dominasinya di

tingkat lokal biasanya akan membentuk sebuah hubungan patron klien. Menurut

James C. Scott (1983: 92), patron klien merupakan hubungan timbal balik di antara

dua peran yang dapat diartikan sebagai sebuah kasus khusus yang melibatkan

20
Yosef Kristoforus Taekab, “Calon Tunggal dan Orang Kuat Lokal dalam Pilkada Serentak
(Studi Tentang Sumber-Sumber Kekuatan Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak di Kabupaten Timor
Tengah Utara Tahun 2015)” (Jurnal Ilmu Politik, Universitas Airlangga).

32
pertemanan secara luas. Di mana individu yang satu memiliki status sosial ekonomi

yang tinggi (patron) yang menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang

dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan-keuntungan kepada

individu yang lain yang memiliki status yang lebih rendah (klien), sedangkan klien

mempunyai kewajiban membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan secara

umum, termasuk pelayanan-pelayanan pribadi kepada patron.21

Hubungan antara patron dan klien adalah hubungan yang tidak seimbang dan

mencerminkan perbedaan status. Hubungan tersebut kemudian menimbulkan

perasaan hutang budi klien kepada patron dan kemudian membalas jasa patron. Selain

itu, hubungannya bisa bersifat personal yang konsekuensinya menciptakan loyalitas,

kepercayaan, dan kasih sayang dalam hubungan di antara mereka.22 Terdapat tiga ciri

ikatan patron klien:23

1. Terdapatnya ketidaksamaan dalam pertukaran (inequality of exchange)

yang menggambarkan perbedaan dalam kekuasaan, kekayaan dan

kedudukan. Klien adalah seseorang yang masuk dalam hubungan

pertukaran tidak seimbang, ia tidak mampu membalas sepenuhnya

pemberian patron, hutang kewajiban mengikatnya dan bergantung kepada

patron;

21
Saepudin dan Joni Firmansyah, “Jawara dan Pemilu: Peran Jawara Sebagai Identitas Politik
di dalam Pemilihan Kepala Daerah Banten” (Jurnal Bawaslu RI, Vol. 3 No.2, 2017), hlm. 231
22
Saepudin dan Joni Firmansyah, “Jawara dan Pemilu: Peran Jawara Sebagai Identitas Politik
di dalam Pemilihan Kepala Daerah Banten” (Jurnal Bawaslu RI, Vol. 3 No.2, 2017), hlm. 231
23
Kausar AS, Sistem Birokrasi Pemerintahan di Daerah dalam Bayang-Bayang Budaya
Patron-Klien, (Bandung: Alumni, 2009), hlm. 17.

33
2. Ada sifat tatap muka (face to face character). Walaupun hubungan ini

bersifat instrumental dengan kedua pihak memperhitungkan untung rugi,

unsur rasa tetap berpengaruh karena adanya kedekatan hubungan;

3. Ikatan ini bersifat luwes dan meluas (diffuse flexibility). Sifat meluas

terlihat tidak hanya pada hubungan kerja saja, melainkan juga pada

hubungan bertetangga, kedekatan secara turun temurun atau

persahabatan di masa lalu. Selain itu, juga terlihat pada jenis pertukaran

yang tidak hanya uang atau barang, tetapi juga bantuan tenaga dan

dukungan kekuatan.

Hubungan patron klien bersifat individual antara dua individu dengan patron

dan klien terjadi interaksi yang bersifat timbal balik dengan mempertukarkan sumber

daya (exchange of resource) yang dimiliki oleh setiap pihak. Patron memiliki sumber

daya yang berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan, perlindungan, perhatian dan

rasa sayang, dan tidak jarang pula sumber daya yang berupa materil (harta kekayaan,

tanah garapan, dan uang). Sementara itu, klien memiliki sumber daya berupa tenaga,

dukungan dan loyalitas.24 Faktor yang menyebabkan seseorang menjadi patron dalam

kelompok patron klien yaitu ketergantungan para klien secara materil kepada patron.

Akibatnya, ketergantungan itu menyebabkan para klien menggantungkan sumber

24
Kausar AS, Sistem Birokrasi Pemerintahan di Daerah dalam Bayang-Bayang Budaya
Patron-Klien, hlm. 7-8.

34
penghasilannya kepada patron. Para klien dan keluarganya memperoleh pekerjaan dan

penghasilan dari keuntungan yang diberikan patron.25

Patron klien akan membentuk sebuah hubungan dengan bentuk bola gugus,

seperti apa yang dijelaskan Maswadi Rauf (2001: 99), bentuk hubungan patron klien

bisa berbentuk bola gugus (patron client cluster) yakni bentuk hubungan seorang

patron dengan beberapa klien. Bisa juga berbentuk pola piramida (patron client

pyramid) yakni hubungan dari beberapa gugus patron klien yang dipimpin seorang

patron sebagai patron yang tertinggi. Dalam pola ini, seorang klien dari patron

tertinggi merupakan seorang patron dari beberapa orang klien.26

Hubungan patron klien dalam masyarakat terkadang memiliki akses-akses

monopoli terhadap alat-alat produksi, pasar, kekuasaan, pengambilan keputusan

publik dan kontrol terhadap distribusi barang-barang publik serta pelayanan

masyarakat. Barang publik dan pelayanan masyarakat yang dimaksud ini sebagai

barang yang dapat dikonsumsi oleh semua anggota masyarakat di suatu daerah atau

negara tertentu. Namun, sistem klientelisme individu atau suatu lembaga bisa saja

memperoleh fasilitas tersebut karena kedudukannya sebagai patron atau melalui

pengaruh orang lain yang mengontrol distribusi barang dan jasa tersebut. Untuk

25
Saepudin dan Joni Firmansyah, “Jawara dan Pemilu: Peran Jawara Sebagai Identitas Politik
di dalam Pemilihan Kepala Daerah Banten” (Jurnal Bawaslu RI, Vol. 3 No.2, 2017), hlm. 231.
26
Saepudin dan Joni Firmansyah, “Jawara dan Pemilu: Peran Jawara Sebagai Identitas Politik
di dalam Pemilihan Kepala Daerah Banten” (Jurnal Bawaslu RI, Vol. 3 No.2, 2017), hlm. 231.

35
memahami lebih jauh hubungan patron klien Roniger (1990: 3-4), menjelaskan

karakter dari hubungan ini antara lain:27

1. Hubungan patron klien adalah partikularistik atau khusus dan menyebar.

Produk-produk dan jasa dipertukarkan atau diberikan berdasarkan

kedudukan aktor-aktor sosial yang terlibat dalam pertukaran itu, bukan

berdasarkan pada hak yang mereka dapatkan sebagai anggota

masyarakat,

2. Hubungan patron klien adalah hubungan yang sangat selektif. Banyak

orang yang tidak termasuk dalam jaringan ini atau hanya tersangkut

secara tidak langsung dan tidak berkesinambungan. Hal ini dapat

menyebabkan kemarahan sosial dari masyarakat yang merasa tersisih

akibat jaringan tersebut,

3. Hubungan patron klien biasanya bercirikan pertukaran simultan antara

dua tipe sumber (resources) dan jasa yang berbeda, seperti instrumental

contohnya ekonomi dan politik seperti janji kesetiaan dan solidaritas.

Dengan kata lain, hubungan patron klien biasanya meliputi sebuah

kesepakatan yang baik patron maupun klien sepakat melakukan

pertukaran dua barang atau jasa yang berbeda tersebut,

4. Patron dan klien menerima keterikatan hubungan mereka secara mutlak

atau tanpa syarat. Hubungan tersebut dipersepsikan sebagai hubungan

27
Kausar AS, Sistem Birokrasi Pemerintahan di Daerah dalam Bayang-Bayang Budaya
Patron-Klien, hlm. 20-30.

36
jangka panjang dan lepas dari imbalan tertentu, penghargaan dan

kewajiban yang muncul dari ikatan tersebut juga berlangsung dalam

jangka panjang,

5. Hubungan klientelisme tersebut antara individu-individu yang berbeda

status (tinggi dan rendah). Hubungan tersebut tidak bersifat kontraktual

atau legal, tetapi bersifat informal dan saling pengertian.

Politik dinasti dapat menunjukkan citra buruk bagi regenerasi kepemimpinan

di daerah. Karena dapat menciptakan sistem feodal yang bersifat patron klien dan

membentuk hierarki kekuasaan berbasis struktur sosial tradisional. Dampak dari

hubungan ini yakni intergrasi vertikal kekuasaan menjadi sangat terbatas aksesnya.

Masyarakat kerap terpaksa untuk masuk ke pilihan politik yang terbatas karena akses

dikendalikan oleh sedikit elit yang membentuk sistem protektif oleh keluarga, kerabat,

dan teman dekat. Dampak selanjutnya, dinasti politik juga kerap menjadi penjaga setia

kekuasaan korup sebelumnya. Artinya, penguasa daerah yang korup dapat

menyelamatkan jejak kekuasaannya yang buruk lewat pengendalian orang-orang yang

berkuasa setelah lengser dari jabatannya.28

Kehadiran dinasti politik melahirkan budaya hubungan patron klien di mana

para politisi dipandang sebagai orang yang segani yang disetujui negara yang

28
Gun Gun Heryanto, M. Si, Media Komunikasi Politik: Relasi Kuasa Media di Panggung
Politik, (Yogyakarta: Ircisod, 2018), hlm. 362.

37
menyediakan barang dan jasa untuk para pemilih dan massa.29 Keluarga dinasti akan

membentuk pertahanan yang digunakan untuk menghalangi ancaman politik yang

timbul dari keluarga lain. Lebih lanjut, hubungan patron klien dapat dipertahankan

melalui generasi, karena pengakuan nama. Misalnya, jika ayah diganti oleh anaknya,

atau istri dalam pemilihan berikutnya untuk pemilu, ada harapan dari klien bahwa

anggota keluarga yang baru duduk akan menyediakan barang yang sama di politisasi

secara teratur, terutama selama tahun pemilihan.30

Menurut Kitschelt dan Wilkinson (2007), dinasti politik dapat mempromosikan

hubungan patron klien di mana seorang petahana mengantarkan barang publik hanya

ketika pemilihan yang dijadwalkan akan tiba. Keluarga dinasti akan menggunakan

sumber daya yang di alokasikan untuk ekonomi dan infrastruktur untuk membeli suara

(barang pribadi) untuk menumpuk kekayaan. Hubungan ini antara dinasti (patron) dan

pemilih (klien) di tingkatkan melalui pertukaran kontingen, pemantauan dan dapat

diprediksi. Keluarga politik akan mengembangkan hubungan dengan klien yang setia

dalam siklus pemilu. Klien akan menerima barang yang di politisasi yang mencakup

pekerjaan yang ditargetkan dan barang subsidi seperti uang, tanah, perumahan umum,

pendidikan, dan tunjangan asuransi sosial. Jadi, ada kebutuhan bagi pelanggan untuk

masuk, menempatkan prosedur yang secara konstan memonitor kesetiaan pemilih di

29
Rollin F. Tusalem dan Jeffrey J. Pe-Agguirre, “The Effect of Political Dynasties on Effective
Democratic Governance: Evidence From the Philippines”, (Jurnal Asian Politic dan Policy, Vol. 5 No.
3, 2013), hlm. 4.
30
Rollin F. Tusalem dan Jeffrey J. Pe-Agguirre, “The Effect of Political Dynasties on Effective
Democratic Governance: Evidence From the Philippines”, (Jurnal Asian Politic dan Policy, Vol. 5 No.
3, 2013), hlm. 8.

38
setiap siklus pemilihan. Begitu selama mekanisme pertukaran dan pemantauan ini

berlangsung, keluarga dapat mengandalkan aliran suara yang dapat diprediksi. 31

31
Rollin F. Tusalem dan Jeffrey J. Pe-Agguirre, “The Effect of Political Dynasties on Effective
Democratic Governance: Evidence From the Philippines”, (Jurnal Asian Politic dan Policy, Vol. 5 No.
3, 2013), hlm. 8.

39
BAB III

GAMBARAN UMUM KABUPATEN LEBAK

A. Profil Kabupaten Lebak

Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi

Banten. Kabupaten ini dibentuk pada tanggal 2 Desember 1828, jauh sebelum

Indonesia merdeka. Ibukota Kabupaten Lebak terletak di Rangkasbitung, dan

kabupaten ini memiliki luas wilayah 304.472 Ha atau 3.044,72 km². Wilayah Lebak

berbatasan langsung dengan Kabupaten Serang di sebelah utara, Kabupaten

Sukabumi, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Tangerang di sebelah timur, Samudra

Hindia di sebelah selatan dan Kabupaten Pandeglang di sebelah barat. Kabupaten

Lebak terdiri dari 28 kecamatan, yang memiliki 340 desa dan 5 kelurahan.1

Pada umumnya Kabupaten Lebak merupakan daerah yang memiliki dataran

tinggi dan rendah. Bagian utara Lebak merupakan dataran rendah, sedangkan bagian

selatan merupakan dataran tinggi dengan puncak Gunung Halimun di ujung tenggara

yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi. Selain

itu, Kabupaten Lebak dilalui oleh sungai yang terpanjang di Banten yakni Sungai

1
Kabupaten Lebak, “Profil Kabupaten Lebak”, artikel diakses dari
https://lebakkab.go.id/profil-kabupaten-lebak/ pada tanggal 3 Agustus 2019 pukul 14.40.

40
Ciujung yang mengalir ke arah utara. Kabupaten Lebak juga dilintasi oleh jalur kereta

api dari Jakarta-Merak.2 Berikut ini peta Kabupaten Lebak:

Gambar III.1. Peta Kabupaten Lebak3

Sumber: Kabupaten Lebak dalam Angka, 2018.

2
BPS Kabupaten Lebak, Kabupaten Lebak dalam Angka, (Lebak, Cv. Karya Amanah Art,
2018), hal. 9-10.
3
BPS Kabupaten Lebak, Kabupaten Lebak dalam Angka 2018, hal. iii

41
Berdasarkan hasil sensus kependudukan Kabupaten Lebak pada tahun 2017,

Kabupaten Lebak memiliki jumlah penduduk 1.288.103 jiwa, dengan rincian

penduduk laki-laki sebanyak 659.796 jiwa, dan penduduk perempuan sebanyak 628.

796 jiwa. Persebaran penduduk di Kabupaten Lebak dari tiap kecamatan tidak merata

apabila dilihat dari tingkat kepadatan penduduknya. Kecamatan Rangkasbitung

merupakan kecamatan yang memiliki tingkat penduduknya yang paling padat dengan

jumlah penduduk sebanyak 123.479 jiwa. Sedangkan kecamatan dengan jumlah

penduduk terkecil, yakni Kecamatan Cigemblong dengan jumlah penduduk sebanyak

21.312 jiwa. Berikut ini data jumlah penduduk di setiap kecamatan yang berada di

Kabupaten Lebak berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2017.

42
Tabel III.A.1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun 2017 di
Kabupaten Lebak4

Kecamatan Laki-laki Perempuan Total


Malingping 33.495 31.968 65.463
Wanasalam 28.064 26.595 54.659
Panggarangan 19.208 18.632 37.840
Cihara 16.269 15.558 31.827
Bayah 22.100 21.500 43.600
Cilograng 17.525 16.578 34.103
Cibeber 29.573 28.241 57.814
Cijaku 14.633 14.406 29.039
Cigemblong 10.786 10.526 21.312
Banjarsari 31.342 29.788 61.130
Cileles 25.370 24.508 49.878
Gunung kencana 18.036 17.088 35.124
Bojongmanik 11.706 11.374 23.080
Cirinten 13.930 12.895 26.825
Leuwidamar 27.552 26.259 53.811
Muncang 17.341 16.682 34.023
Sobang 15.618 14.978 30.596
Cipanas 24.734 23.780 48.514
Lebak Gedong 12.108 11.317 23.425
Sajira 25.364 24.176 49.540
Cimarga 33.128 31.771 64.899
Cikulur 25.210 24.604 49.814
Warunggunung 28.651 27.133 55.784
Cibadak 31.828 30.009 61.837
Rangkasbitung 63.599 59.880 123.479
Kalanganyar 17.837 16.570 34.407
Maja 28.092 25.825 53.917
Curugbitung 16.697 15.666 32.363
Total 659.796 628.307 1.288.103
Sumber: Kabupaten Lebak dalam Angka, 2018.

4
BPS Kabupaten Lebak, Kabupaten Lebak dalam Angka 2018, hal. 41.

43
A.1. Sosial Politik

Penduduk Kabupaten Lebak mayoritas merupakan etnis Sunda. Selain itu,

Lebak juga dikenal sebagai tempat bermukim suku Baduy. Di Kabupaten Lebak juga

terdapat beberapa kasepuhan5 yang tersebar di beberapa wilayah Kabupaten Lebak di

antaranya Kasepuhan Ciracub, Kasepuhan Cisungsang, Kesepuhan Citorek,

Kasepuhan Cibadak, dan Kasepuhan Cisitu di Kecamatan Cibeber, Kasepuhan Pasir

Eurih dan Kasepuhan Cirompang di Kecamatan Sobang, Kasepuhan Guradog di

Kecamatan Kalang Anyar.6 Kasepuhan dan suku Baduy menjadi keunikan tersendiri

di Kabupaten Lebak. Suku Baduy setiap tahunnya melakukan kegiatan adat tahunan

yang sering disebut Seba Baduy. Selain Baduy, Kesepuhan Cisungsang juga selalu

mengadakan agenda adat tahunan sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen yang

mereka dapatkan acara tahunan ini sering disebut “seren tahun Cisungsang”.

Sejak pertama kali berdiri tahun 1828, Kabupaten Lebak sudah dipimpin oleh

26 bupati. Namun, sejak diterapkan pemilihan langsung bupati dan wakil bupati

dimulai tahun 2008 hingga 2018, baru ada dua bupati yang terpilih secara langsung

oleh masyarakat Kabupaten Lebak. Dua bupati tersebut adalah Mulyadi Jayabaya dan

Iti Octaviani Jayabaya yang tidak lain merupakan ayah dan anak yang menjadi bupati.

Kepemimpinan Mulyadi Jayabaya di Kabupaten Lebak telah berlangsung selama dua

5
Menurut KBBI, kasepuhan merupakan golongan yang terdiri atas orang-orang lanjut usia
yang sangat dihormati oleh warga desa yang berfungsi sebagai penasihat kepala desa, diakses dari
https://kbbi.kata.web.id pada tanggal 6 Januari 2020 pukul. 12.00.
6
Kabupaten Lebak, “Profil Kabupaten Lebak”, artikel diakses dari
https://lebakkab.go.id/profil-kabupaten-lebak/ pada tanggal 3 Agustus 2019 pukul 14.40.

44
periode. Begitu pula dengan Iti Octaviani Jayabaya, semenjak kemenangannya di

Pilkada tahun 2018 Iti memimpin Kabupaten Lebak menjadi dua periode. Berikut

daftar Bupati Lebak sejak tahun 2008-2018:

Tabel III.A.2. Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak 2008-20187

Periode Bupati dan Wakil Bupati

H. Mulyadi Jayabaya, SE
2003-2008
H. Odih Chudori Padma

H. Mulyadi Jayabaya, SE
2008-2013
Ir. H.Amir Hamzah M.Si

Asmuji HW (Pelaksana Tugas


2013-2014
Bupati)

Hj.Iti Octavia Jayabaya SE, MM


2014-2019
Ade Sumardi SE

Hj.Iti Octavia Jayabaya SE, MM


2019-2024
Ade Sumardi SE
Sumber: https://www.chanelbanten.com/

Pada periode pertama kepemimpinan Mulyadi Jayabaya berpasangan dengan

Odih Chudori Padma. Pasangan ini terpilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) Kabupaten Lebak pada tahun 2003. Sejak tahun 2008, Kabupaten Lebak

menyelenggarakan Pilkada untuk pertama kalinya. Setelah itu, di periode kedua

7
Channel Banten, Ini Nama-nama Bupati Lebak dari Pertama Hingga Sekarang, artikel ini
diakses dari https://www.chanelbanten.com/ pada tanggal 4 Agustus 2019 pukul. 11.30.

45
Mulyadi Jayabaya berpasangan dengan Amir Hamzah, pasangan ini terpilih menjadi

bupati dan wakil bupati melalui pemilihan secara langsung oleh masyarakat Lebak.8

Pada tahun 2013, Lebak melaksanakan Pilkada untuk kedua kalinya. Pilkada

ini dilaksanakan dua kali putaran karena ada masalah. Untuk mengisi kekosongan

jabatan maka ditunjuklah Asmuji HW sebagai Pelaksana Tugas (Plt). Setelah itu, pada

Pilkada ini terpilih pasangan Iti Octaviani Jayabaya dan Ade Sumardi. Pasangan ini

terpilih kembali di Pilkada 2018 untuk menjadi bupati dan wakil bupati.

Menurut hasil Pemilu Legislatif 2014, partai yang mendominasi di Kabupaten

Lebak adalah PDI Perjuangan dengan perolehan suara 120.301 suara, lalu disusul

Golkar dengan perolehan 86.826 suara, Demokrat dengan perolehan 68.263 suara,

PKS dengan perolehan 58.904 suara, PKB dengan perolehan 58.904 suara, dan

Gerindra dengan perolehan 56.968 suara. PDI Perjuangan dan Demokrat memang

mendominasi politik di Kabupaten Lebak. Hal ini terlihat dengan terpilihnya Iti

Octaviani Jayabaya sebagai bupati dan Ade Sumardi menjadi wakil bupati. Pada

Pemilu Legislatif 2014, jumlah kursi di DPRD Kabupaten Lebak berjumlah 50 kursi.

PDI perjuangan memperoleh 10 kursi, Golkar 8 kursi, Demokrat 7 kursi, Nasdem 6

kursi, PKS 5 kursi, Gerindra 5 kursi, PKB 5 kursi, dan PPP 5 kursi. 9

8
Channel Banten, Ini Nama-nama Bupati Lebak dari Pertama Hingga Sekarang, artikel ini
diakses dari https://www.chanelbanten.com/ pada tanggal 4 Agustus 2019 pukul. 11.30.
9
Antara News, PDI Perjuangan Raih 10 Kursi DPRD Lebak, artikel ini diakses
http://antaranews.com/ pada 4 Agustus 2019 pukul. 12.30.

46
B. Profil Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak

B.1. Profil Bupati Lebak Iti Octaviani Jayabaya

Hj. Iti Octaviani Jayabaya, SE, MM lahir pada 4 Oktober 1978 di Kampung

Kopi Desa Prabu Gantungan Kecamatan Cileles. Iti merupakan anak pertama dari

Mulyadi Jayabaya. Agama yang dianut Iti adalah Islam. Iti menghabiskan masa

kecilnya di Kampung Kopi dengan kakeknya, yakni orang tua dari Mulyadi

Jayabaya.10

Pendidikan pertama Iti Octaviani Jayabaya bersekolah di SDN 1 Cipadang di

Kecamatan Cileles dan lulus pada tahun 1990. Kemudian ia melanjutkan sekolah di

SMPN 3 Pandeglang, namun hanya setahun ia bersekolah di Pandeglang. Setelah itu,

Iti pindah sekolah ke SMPN 4 Rangkasbitung dan lulus pada tahun 1993. Setelah lulus

SMPN, Iti melanjutkan sekolahnya ke Pesantren Darul El-Kalam di Tangerang,

karena sering sakit di pesantren, Iti lalu dipindahkan ke Madrasah Aliyah Washilatul

Falah Rangkasbitung. Setelah itu, Iti meneruskan sekolahnya ke jenjang perguruan

tinggi dengan berkuliah di Universitas Jayabaya. Ketika kuliah, jiwa kepemimpinan

Iti mulai terbuka. Ia aktif di organisasi kemahasiswaan dengan bergabung di

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Setelah lulus Strata 1 tersebut, Iti menempuh

pendidikan Strata 2 nya di Universitas Trisakti dan lulus pada tahun 2005.11

10
Kabupaten Lebak, “Profil Bupati dan Wakil Bupati”, artikel diakses dari
https://lebakkab.go.id/profil-bupati-wakil-bupati/ pada tanggal 3 Agustus 2019 pukul. 21.16.
11
Kabupaten Lebak, “Profil Bupati dan Wakil Bupati”, artikel diakses dari
https://lebakkab.go.id/profil-bupati-wakil-bupati/ pada tanggal 3 Agustus 2019 pukul. 21.16.

47
Awal kiprahnya di politik dimulai pada tahun 2006, dengan menjabat sebagai

ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Lebak. Menarik untuk dilihat, kemunculan Iti

di awal kiprahnya di politik menjadi awal dalam memperkuat dinasti Mulyadi

Jayabaya. Iti ditempatkan di Partai Demokrat, sedangkan ayahnya, Mulyadi Jayabaya

di PDI Perjuangan. Hal ini merupakan salah satu strategi dalam memperkenalkan Iti

ke masyarakat untuk menjadi penerus Mulyadi Jayabaya. Karena pada saat Iti

menjabat sebagai Ketua DPC Demokrat Kabupaten Lebak, Partai Demokrat sedang

berada di puncak kekuasaan dengan menjabatnya Susilo Bambang Yudhoyono

sebagai Presiden Republik Indonesia saat itu. Dengan masuknya Iti sebagai Ketua

DPC Partai Demokrat Lebak, Mulyadi Jayabaya menjadi orang yang berkuasa secara

formal maupun informal (godfather) dikalangan para elit partai. Ini menunjukkan

indikasi Mulyadi Jayabaya sebagai figur orang kuat lokal yang menguasai beberapa

partai dengan menempatkan anaknya di partai yang berbeda dengannya.

Pada saat yang sama Partai Demokrat juga berkepentingan menaikan suara

karena Iti sebagai putri orang kuat Mulyadi, Iti potensial menjadi lumbung suara.

Dengan demikian, Partai Demokrat bisa dengan mudah menaikan suara. Terbukti

dengan pencalonan Iti sebagai anggota DPR-RI Dapil Banten I tahun 2009. Suara

yang diperoleh Iti pada pemilihan legislatif 2009 yakni 100.644 suara,12 dan menang

yang kemudian ia ditempatkan di Badan Anggaran. Kemudian, pada tahun 2013 awal

kiprah Iti dalam merealisasikan keinginannya membangun Kabupaten Lebak. Iti

12
Kompas, “Miing dan Suami Atut Lolos ke Senayan”, artikel ini diakses dari
https://travel.kompas.com/ pada tanggal 6 Januari 2020 pukul 20.20.

48
ditunjuk untuk melanjutkan jejak ayahnya karena ia merupakan anak pertama dari

Mulyadi Jayabaya. Selain itu, Iti juga sudah memiliki jiwa kepemimpinan yang

dimilikinya sejak di bangku kuliah. Dengan modal itulah, Iti mencalonkan sebagai

bupati bersama pasangannya Ade Sumardi.

B.2. Profil Wakil Bupati Lebak Ade Sumardi

H. Ade Sumardi, SE, M.Si lahir pada tanggal 27 Juli 1972 di Lebak. Ayah

dari tiga anak ini menempuh pendidikan di SDN Citorek 3, kemudian ia melanjutkan

ke SMPN 1 Cipanas. Setelah lulus SMPN, ia melanjutkan sekolahnya di SMA 1

Rangkasbitung. Setelah itu, Ade melanjutkan sekolahnya ke jenjang perguruan tinggi

dengan berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Nusantara Bandung dan

lulus pada tahun 1998. Setelah lulus Strata 1 Ade melanjutkan sekolah Strata 2 di STIE

YAPPAN Jakarta dan lulus pada tahun 2011.13

Awal kiprahnya di politik dimulai pada tahun 1998, Ade ditunjuk sebagai

koordinator wilayah III PDI Perjuangan Kabupaten Lebak. Setelah itu, pada tahun

2000 sampai dengan 2005 Ade menjabat sebagai bendahara DPC PDI Perjuangan

Kabupaten Lebak. Selanjutnya, di tahun 2005 Ade menjadi ketua DPC PDI

Perjuangan Kabupaten Lebak. Pada Pemilihan Legislatif 2009 Ade mencalonkan diri

13
Kabupaten Lebak, “Profil Bupati dan Wakil Bupati”, artikel diakses dari
https://lebakkab.go.id/profil-bupati-wakil-bupati/ pada tanggal 3 Agustus 2019 pukul. 21.16.

49
menjadi anggota DPRD Kabupaten Lebak, yang kemudian menghantarkannya

sebagai ketua DPRD Kabupaten Lebak periode 2009 sampai dengan 2013.14

Pada tahun 2013, Ade Sumardi maju di Pilkada Kabupaten Lebak, sebagai

Wakil Bupati Iti Octaviani Jayabaya. Berdasarkan observasi yang telah penulis

lakukan, pencalonan Iti Octaviani Jayabaya dan Ade Sumardi pada Pilkada Lebak

tahun 2013 tidak dapat dilepaskan dari peran ayahnya Iti, yakni Mulyadi Jayabaya.

Mulyadi Jayabaya menunjuk Ade menjadi wakil, karena Ade merupakan Ketua DPC

PDI Perjuangan Kabupaten Lebak pada saat itu. Selain itu, elektabilitas Ade yang

cukup tinggi dari hasil survei PDI Perjuangan dan pertimbangan dari hasil diskusi

tokoh dari berbagai kalangan bahwa Ade yang cocok menjadi wakil Iti di Pilkada

Kabupaten Lebak tahun 2013.15

C. Terbentuknya Dinasti Mulyadi Jayabaya di Kabupetan Lebak

H. Mulyadi Jayabaya S.E, atau lebih dikenal dengan nama populernya JB

lahir di Lebak, 22 Maret 1957. JB merupakan anak dari salah satu orang terpandang

di Lebak yaitu, H. Datu Mulyadi Jayabaya. 16 Istri Mulyadi Jayabaya bernama Nila

Jayabaya yang merupakan ibu dari Mochamad Hasbi Asyidiki Jayabaya, Muhammad

Nabil Jayabaya, dan Muhammad Azzari Jayabaya. Sebelum menikah dengan Nila

Jayabaya, JB telah menikahi dua kali. Istri pertama merupakan ibu dari Iti Octaviani

14
Kabupaten Lebak, “Profil Bupati dan Wakil Bupati”, artikel diakses dari
https://lebakkab.go.id/profil-bupati-wakil-bupati/ pada tanggal 3 Agustus 2019 pukul. 21.16.
15
Anonim, Wawancara Informal, Lebak, 4 Januari 2020.
16
Ratu Vidya Nur’aini, “Lahirnya Dinasti Politik Studi Kasus: Terbentuknya Dinasti Politik
Mulyadi Jayabaya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Periode 2003- 2017)”, (Skripsi Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Yogyakarta, 2018).

50
Jayabaya dan istri kedua merupakan ibu dari Diana Jayabaya. Selain itu, menurut

penuturan salah satu narasumber yang tidak bisa disebutkan namanya, JB memiliki

istri muda dan dari pernikahannya yang inipun dikarunia anak.17

Mulyadi Jayabaya memulai usahanya sebagai penjual ikan asin, dengan kerja

kerasnya dan usaha pantang menyerah, Mulyadi Jayabaya berhasil sedikit demi sedikit

melebarkan usahanya dalam bidang barang-barang material, hingga akhirnya mulai

mendirikan perusahaan-perusahaannya sekitar tahun 1993. Perusahaan pertama yang

didirikan JB yaitu, PT Cipadang Jayabaya Putra Utama, selanjutnya pada tahun 1995

JB mendirikan PT Giri Jaya Putra, lalu ditahun 2008 mendirikan CV Bintang Wifar,

dan di tahun 2014 mendirikan Mulya Kuarsa Anugrah dan PT Mulya Gemilang Beton.

Selain itu, PT Karya Putri Pertama dan PT Jayabaya Batu persada telah berhasil

didirikan JB di Kabupaten Lebak. Sejak saat itu JB telah berhasil mendirikan

perusahaannya dengan nama JB Group, perusahaannya selama ini menjadi partner

pemerintah dalam pembangunan di Lebak. Maka tak aneh jika Mulyadi Jayabaya

menjadi salah satu orang terkaya di Kabupaten Lebak.18

Perjalanan politik Mulyadi Jayabaya di mulai dengan menjadi Kepala Desa

Cileles di Kecamatan Cileles. Selanjutnya pada tahun 1975 JB masuk menjadi anggota

Partai Golkar yang kemudian di partai ini JB sempat menjadi wakil ketua DPD II

Golkar Kabupaten Lebak. Hingga akhirnya pada saat reformasi berjalan, Mulyadi

17
Anonim, Wawancara Informal, Lebak, 4 Januari 2020.
18
Ratu Vidya Nur’aini, “Lahirnya Dinasti Politik Studi Kasus: Terbentuknya Dinasti Politik
Mulyadi Jayabaya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Periode 2003- 2017)”, (Skripsi Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Yogyakarta, 2018).

51
Jayabaya beralih menjadi anggota PDI Perjuangan dan sempat menjadi ketua DPC

Lebak tahun 2001. Dalam jabatan organisasi lainnya, Mulyadi Jayabaya sempat

menjabat menjadi ketua GAPENSI yang kemudian berlanjut sebagai Ketua KADIN

pusat di Lebak. Perusahaannya mengalami kemajuan terlebih karena keikutsertaannya

dalam organisasi bisnis dan menjadi ketua KADIN dimana dinilai menguntungkan.

Kemudian Mulyadi Jayabaya mencoba peruntungan untuk menjadi Bupati, dan

hasilnya terpilih menjadi Bupati Lebak pada tahun 2003.19

Mulyadi Jayabaya yang memiliki kapasitas modal materi yang besar mampu

menggondisikan Lebak sedemikian rupa, hingga akhirnya Mulyadi Jayabaya dapat

membentuk dinasti politiknya. Jabatan politik yang dimiliki berimbas pada terus

menambahnya pundi-pundi kekayaannya dengan mencanangkan program

pembangunan, dan menempatkan jejaring keluarganya di posisi strategis pemerintah

daerah dan organisasi bisnis. Hal itu sejalan, jika kita melihat peserta-peserta pemilu

di Lebak. Orang-orang yang memiliki modal yang dapat memasuki kontestasi

pemilihan umum, sedangkan orang-orang yang memiliki modal sedikit, langsung

tersisihkan. Mulyadi Jayabaya termasuk orang yang memiliki modal besar. Contoh

saja pada pemilihan Bupati 2003 yang sebenarnya masih memakai mekanisme

pemilihan tidak langsung. Mulyadi Jayabaya sukses menjadi calon peserta, sedangkan

lawannya yang tidak memiliki latar belakang pemilik modal yang besar, digugurkan.

19
Ratu Vidya Nur’aini, “Lahirnya Dinasti Politik Studi Kasus: Terbentuknya Dinasti Politik
Mulyadi Jayabaya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Periode 2003- 2017)”, (Skripsi Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Yogyakarta, 2018).

52
Hal tersebut sempat menjadi permasalahan dalam pemilihan Bupati Lebak yang

dilansir sarat politik uang, terlebih pasangan Mulyadi Jayabaya menjadi sorotan

karena dugaan ijazah palsu dan calon wakil yang mendampingi Jayabaya dinilai cacat

hukum.20

Bukan menjadi rahasia, jika penggunaan modal yang semakin besar sangat

terlihat pada pemilihan umum langsung baik legislatif ataupun eksekutif yang berlaku

secara nasional. Politik uang pun semakin terlihat ketika diadakannya pemilihan

melalui mekanisme pemilihan umum langsung. Mulyadi Jayabaya menjadi semakin

mudah untuk memperoleh kekuasaan di Kabupaten Lebak. Dimana adanya dominasi

kekuasaan dari keluarga Mulyadi Jayabaya setelah mekanisme pemilihan langsung

diterapkan. Mulyadi Jayabaya maju sebagai satu-satunya pasangan calon untuk

periode jabatannya yang kedua, karena pasangan calon lainnya mengundurkan diri.21

Setelah Mulyadi Jayabaya berhasil menjadi Bupati Lebak 2 periode lamanya,

JB tidak melepaskan jabatannya begitu saja. Terbukti di Pilkada tahun 2014 Iti

Octaviani Jayabaya maju dalam Pilkada tersebut. Bukan tanpa alasan ditunjuknya Iti

menjadi penerus sang ayah karena Iti merupakan anak pertama dari JB. Selain itu, Iti

juga sudah memiliki jiwa kepemimpinan sejak beliau duduk dibangku perkuliahan

dengan masuk dalam organisasi kemahasiswaan HMI. Namun itu saja tidak cukup, Iti

20
Ratu Vidya Nur’aini, “Lahirnya Dinasti Politik Studi Kasus: Terbentuknya Dinasti Politik
Mulyadi Jayabaya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Periode 2003- 2017)”, (Skripsi Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Yogyakarta, 2018).
21
Ratu Vidya Nur’aini, “Lahirnya Dinasti Politik Studi Kasus: Terbentuknya Dinasti Politik
Mulyadi Jayabaya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Periode 2003- 2017)”, (Skripsi Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Yogyakarta, 2018).

53
juga sudah memiliki popularitas dengan dirinya menjabat sebagai anggota DPR-RI

tahun 2009-2014. Maka tak aneh jika Iti di tunjuk ayahnya untuk meneruskan

jejaknya.

Pada kasus pemilihan Bupati 2014 yang menghasilkan terpilihnya Iti Octavia

Jayabaya sebagai bupati terpilih, juga mencuat isu-isu di masyarakat. Masyarakat

berkeyakinan bahwa dari dua calon pesaing Iti, hanya satu pasangan calon yang benar-

benar murni ingin menjadi bupati/wakil bupati Lebak, yakni pasangan calon yang

berasal dari partai Golkar. Sementara pasangan calon nomor urut 1 yang maju tanpa

didukung oleh partai politik, diyakini masyarakat hanya merupakan bayaran dari Iti

dan keluarga untuk memecah suara. Hal tersebut dikarenakan, calon dari pasangan

calon lainnya merupakan warga asli Baduy yang menempuh pendidikan serta

bertempat tinggal di daerah Rangkasbitung, dan didukung oleh dinasti Ratu Atut.

Adanya keyakinan masyarakat bahwa pesaing calon nomor urut 1 adalah hanya

pemanis dan bayaran saja, terlihat dari ketidaksungguhan pasangan calon nomor urut

1 untuk menggaet suara masyarakat. Hanya mencalonkan, namun tidak berbuat apa-

apa. Begitu pun pada saat debat yang terkesan menjawab dengan asal-asalan dan tidak

niat.22

Ratu Vidya Nur’aini, “Lahirnya Dinasti Politik Studi Kasus: Terbentuknya Dinasti Politik
22

Mulyadi Jayabaya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Periode 2003- 2017)”, (Skripsi Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Yogyakarta, 2018).

54
D. Dinamika Politik Pilkada Kabupaten Lebak

Pada tahun 2003 Kabupaten Lebak melaksanakan pemilihan bupati dan wakil

bupati. Namun, pada pemilihan ini masih dipilih langsung oleh DPRD. Pada saat itu,

proses pemilihan bupati dan wakil bupati diikuti oleh dua pasangan calon yakni

pasangan Ya’as Mulyadi dengan Maman Saeful Rahman dan pasangan Mulyadi

Jayabaya dengan Odih Chudori Padma. Mulyadi Jayabaya dan Odih Chudori Padma

akhirnya memenangkan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak periode

2003-2008, dengan meraih 22 suara yang unggul satu suara dari pasangan Ya’as

Mulyadi dan Maman Saeful Rahman.23

Namun, setelah kemenangan Mulyadi Jayabaya dan Odih Chudori Padma.

Beberapa elemen mempertanyakan ijazah SMA Mulyadi Jayabaya. Soal ijazah palsu

sebenarnya sudah mencuat sebelum pemilihan berlangsung, tetapi banyak pihak yang

akhirnya menilai isu ijazah tersebut merupakan salah satu manuver untuk
24
menggagalkan kemenangan Mulyadi Jayabaya. Setelah ditelusuri, menurut

Kapolwil Banten Komisaris Besar Abdurachman dalam suratnya kepada Ketua DPRD

Lebak ijazah atas nama Mulyadi Jayabaya yang dikeluarkan Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta memang palsu.25

23
Tempo, “Polwil Banten Periksa Pembuat Ijazah Palsu Bupati”, artikel ini diakses dari
https://nasional.tempo.co/ pada tanggal 7 Januari pukul. 15.56.
24
Tempo, “Polwil Banten Periksa Pembuat Ijazah Palsu Bupati”, artikel ini diakses dari
https://nasional.tempo.co/ pada tanggal 7 Januari pukul. 15.56.
25
Tempo, “Mendagri Didesak Lantik Bupati Lebak”, artikel ini diakses dari
https://nasional.tempo.co/ pada tanggal 7 Januari pukul. 16.11.

55
Pada saat itu, Kabupaten Lebak mengalami kekosongan jabatan bupati dan

wakil bupati. Beberapa ormas melakukan aksi di depan gedung Kementerian Dalam

Negeri (Kemendagri), aksi ini dilakukan untuk segera melantik Mulyadi Jayabaya dan

Odih Chudori Padma. Setelah menunggu selama dua bulan, akhirnya Mulyadi dan

Odih dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Lebak oleh Gubernur Banten Djoko

Munandar pada 5 November 2003. Namun, Proses hukum mengenai ijazah Mulyadi

Jayabaya tetap berjalan.26

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan

langsung kepala daerah. 27 Pada tahun 2008 pertama kalinya Kabupaten Lebak

melaksanakan Pilkada. Pilkada ini diikuti oleh tiga pasangan calon, yakni Mulyadi

Jayabaya dan Amir Hamzah yang diusung oleh PDI Perjuangan, Golkar, Demokrat,

PKS, PKB, PAN, PBB, dan PBR. Adapun pasangan Mardini dan Wijaya Ganda

Sungkawa diusung oleh PPP, PBB, PNI Marhaen dan Partai Pelopor. Selanjutnya,

pasangan Muhammad Ya’as Mulyadi dan Muhammad Sudirman melalui jalur

perseorangan. Pilkada ini menghantarkan Mulyadi Jayabaya dan Amir Hamzah

sebagai bupati dan wakil bupati Kabupaten Lebak dengan perolehan suara sebanyak

360.420 suara atau 64,3 persen, sedangkan pasangan Mardini dan Wijaya Ganda

Sungkawa dengan perolehan suara 172.326 suara atau 30,7 persen, dan pasangan

26
Tempo, “Mendagri Didesak Lantik Bupati Lebak”, artikel ini diakses dari
https://nasional.tempo.co/ pada tanggal 7 Januari pukul. 16.11.
27
Detik, “Dulu Pilkada, Lalu Pemilukada, kini Pilgub”, artikel ini diakses dari
https://news.detik.com/ pada 19 Agustus 2019 pukul. 16.03.

56
Muhammad Ya’as Mulyadi dan Muhammad Sudirman meraih suara 27.851 suara atau

5 persen.28

Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

pasal 58 huruf o yang berisi, kepala daerah belum pernah menjabat sebagai kepala

daerah atau wakil kepala daerah selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang

sama.29 Maka dari itu, Mulyadi Jayabaya tidak mencalonkan kembali menjadi bupati

pada Pilkada Lebak tahun 2013. Sebab, ia telah menjabat sebagai Bupati di Kabupaten

Lebak selama dua periode. Kemudian Mulyadi Jayabaya menunjuk putrinya Iti untuk

maju di Pilkada 2013.

Pada Pilkada Lebak tahun 2013, diikuti oleh tiga pasangan calon, yakni Amir

Hamzah dan Kasmin yang didukung oleh Partai Golkar. Sedangkan, pasangan Iti

Octaviani Jayabaya dan Ade Sumardi didukung oleh Partai Demokrat, PDI

Perjuangan, Hanura, Gerindra, PPP, PKS, PPNU, dan PPD. Selanjutnya, pasangan

Pepep Faisaludin dan Aang Rasidi yang menggunakan jalur perseorangan.30 Ketika

Pilkada putaran pertama pasangan Iti dan Ade memperoleh suara sebanyak 407.156

suara atau 62,37 persen. Sedangkan, pasangan Amir Hamzah dan Kasmin

28
Rifqi Zabadi Asshegaf, “Demokrasi Otonomi Daerah dan Perilaku Politik Jawara (Studi
Tentang Peran Jawara dalam Pemenangan H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah pada Pilkada
Kabupaten Lebak Tahun 2018)” (Skripsi Program Studi Ilmu Politik, Ciputat, 2013).
29
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
diakses dari www.dpr.go.id pada 7 Januari 2020 pukul. 19.32.
30
Tempo, “Tiga Pasangan Calon Berebut Kursi Bupati Lebak”, artikel ini diakses dari
https://nasional.tempo.co/ pada 19 Agustus 2019 pukul 19.30.

57
memperoleh suara sebanyak 226.440 suara atau 34,69 persen. Selanjutnya, pasangan

Pepep Faisaludin dan Aang Rasidi memperoleh suara 19.163 atau 2,94 persen.31

Namun, Pilkada ini mengalami masalah yakni pemungutan suara pemilihan

bupati dan wakil bupati harus diulang. Mahkamah Konstitusi sesuai dengan

putusannya Nomor 111/PHPU.D-XI/2013 memerintahkan pemungutan suara ulang di

seluruh tempat pemungutan suara (TPS). Putusan ini berdasarkan fakta hukum yang

diajukan pemohon yakni Amir Hamzah dan Kasmin terkait pelanggaran dan

kecurangan yang dilakukan pasangan Iti Octaviani Jayabaya dan Ade Sumardi.

Pasangan ini digugat karena adanya fakta pengerahan birokrasi untuk memilih

pasangan Iti dan Ade yang diduga atas instruksi dari ayahnya Mulyadi Jayabaya yang

saat itu masih aktif sebagai Bupati Lebak.32

Pada kasus Pilkada ini, dinasti Ratu Atut Chosiyah ikut terlibat di dalamnya.

Dinasti Atut merupakan dinasti yang menguasai pemerintahan Provinsi Banten. Pada

Maret 2013, Atut bertemu dengan Amir dan Kasmin untuk menyampaikan bahwa

pasangan tersebut diusung Partai Golkar untuk maju di Pilkada Lebak 2013. Dana

kampanye Amir dan Kasmin ditanggung oleh Tubagus Chaeri Wardana (Wawan)

yang merupakan adik dari Atut. 33 Kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil

Mochtar untuk memenangkan gugatan Amir dan Kasmin. Kasus ini melibatkan Atut,

31
Berita Satu, “14 November, Pemungutan Suara Ulang Pilkada Lebak”, artikel ini diakses dari
https://www.beritasatu.com/ pada 19 Agustus 2019 pukul. 20.00.
32
Berita Satu, “Pasangan Amir-Kasmin Gugat Hasil Pilkada Lebak ke MK”, artikel ini diakses
dari https://www.beritasatu.com/ pada tanggal 7 Januari 2020 pukul 20.12.
33
Kompas, “Suap Akil Mochtar, Mantan Kandidat Pilkada Lebak Dituntut Lima dan Empat
Tahun Penjara”, artikel ini diakses dari https://nasional.kompas.com/ pada 7 Januari 2020 pukul 21.09.

58
Wawan, Amir dan Kasmin, yang menyebabkan mereka ditahan karena kasus suap

Pilkada Lebak tahun 2013.34 Dengan adanya kasus ini, Dinasti Atut yang berusaha

masuk ke Lebak masih belum bisa menumbangkan Dinasti Mulyadi Jayabaya.

Dalam putaran kedua Pilkada pada tanggal 14 November 2013, pasangan Iti

dan Ade memenangkan Pilkada ulang ini dengan peroleh suara 398.892 suara.

Sedangkan, pasangan Amir Hamzah dan Kasmin memperoleh suara 170.340 suara.

Selanjutnya, pasangan Pepep Faisaludin dan Aang Rasidi memperoleh 19.617 suara.

Ketika putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 111/PHPU.D-XI/2013 Hakim

Konstitusi Maria Farida Indrati membacakan pertimbangkan putusan bahwa tidak

terdapat pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif. Maka dari itu, pasangan

Iti dan Ade terpilih sebagai bupati dan wakil bupati Kabupaten Lebak tahun 2014

sampai dengan tahun 2018.35

Pada Pilkada ketiga Kabupaten Lebak tahun 2018, ada fenomena yang

sebelumnya belum pernah terjadi di Kabupaten Lebak, yakni Pilkada yang diikuti oleh

satu pasang calon atau calon tunggal. Pasangan calon tunggal ini, yakni Iti Octaviani

Jayabaya dan Ade Sumardi yang merupakan petahana dan masih belum ada lawannya

dalam Pilkada kali ini. Namun, sebelum munculnya calon tunggal ini ada beberapa

calon yang mendaftarkan dirinya tapi pada akhirnya gagal.

34
Kompas, “Suap Akil Mochtar, Mantan Kandidat Pilkada Lebak Dituntut Lima dan Empat
Tahun Penjara”, artikel ini diakses dari https://nasional.kompas.com/ pada 7 Januari 2020 pukul 21.09.
35
Hukum Online, “MK Kukuhkan Pemenang Pemiluka Lebak”,artikel ini diakses
https://www.hukumonline.com/ pada 19 Agustus 2019 pukul 21.30.

59
Ada calon yang mendaftarkan diri untuk menjadi calon bupati dan wakil bupati

yakni Cecep Sumarno dan Didin Saprudin. Calon pasangan ini gagal karena salah satu

persyaratan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang harus dikumpulkan tidak terpenuhi.

Pasangan ini hanya memiliki KTP sah sebanyak 43.445 buah. Sedangkan syarat yang

ditentukan oleh KPU Lebak sebanyak 71.111 buah. Berdasarkan Surat Keputusan

KPU bernomor 36/Kpts/KPU.Kab/015.43641/Xl/2017, tentang penetapan bakal

pasangan calon. Maka dari itu, pasangan ini dinyatakan gagal.36

Selain itu, ada pasangan Jazuli dan Sopyan yang berniat mencalonkan diri

untuk menjadi calon bupati Lebak. 37 Namun, langkah mereka terhenti ketika

mengajukan diri untuk dicalonkan dari partai PKS, Hanura, dan Nasdem. Setelah

pengajuan diri tersebut tidak ada respon lisan maupun tulisan dari partai tersebut.

Sehingga mereka tidak ada waktu untuk mengajukan diri secara independen yang pada

akhirnya pasangan Jazuli dan Sopyan gagal mencalonkan diri menjadi pasangan calon

Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak. Kegagalan ini, merupakan indikasi dari

ketidakyakinan partai dalam mengusung pasangan calon karena masih kuatnya

dukungan terhadap pasangan petahana.

Calon tunggal ini berdasarkan perolehan KPU Kabupaten Lebak unggul di

semua kecamatan. Pasangan tunggal Iti Octaviani Jayabaya dan Ade Sumardi

36
Kabar Banten, “Pilkada Lebak 2018: Cecep-Didin Kurang 122.674 Dukungan”, artikel ini
diakses dari https://www.kabar-banten.com pada 7 Januari 2020 pukul. 21.30.
37
Bawaslu RI, Fenomena Calon Tunggal Studi Kasus pada Pilkada 2018 di 16
Kabupaten/Kota, hlm. 50

60
memperoleh suara 453.938 sedangkan kotak kosong memperoleh suara 135.879.

Berdasarkan perolehan yang didapatkan pasangan Iti Octaviani Jayabaya dan Ade

Sumardi memenangkan Pilkada Lebak tahun 2018. 38 Dari kemenangan Iti Octaviani

Jayabaya dan Ade Sumardi yang unggul di semua wilayah di Lebak merupakan

indikasi masih kuatnya Dinasti Mulyadi Jayabaya di Kabupaten Lebak.

38
KPU Kabupaten Lebak, “Perolehan Suara Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2018”, artikel ini
diakses dari https://kpu-lebakkab.go.id/ pada 7 januari 2020 pukul. 23.45.

61
BAB IV

CALON TUNGGAL DAN ORANG KUAT LOKAL DALAM PEMILIHAN

BUPATI DAN WAKIL BUPATI KABUPATEN LEBAK TAHUN 2018

Pada pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak 2018 ada fenomena menarik

yang sebelumnya tidak pernah terjadi di Lebak, yakni fenomena Pilkada dengan calon

tunggal. Dalam istilah populer di khasanah perpolitikkan nasional, calon tunggal

sering diidentikkan dengan sebutan “kotak kosong”. Fenomena kotak kosong ini

mulai muncul ketika diterapkannya Pilkada serempak di Indonesia. Dalam Pilkada

calon tunggal ini, masyarakat diberi pilihan untuk memilih paslon atau kotak kosong.

Di Kabupaten Lebak, Pilkada pada tahun 2018 dilaksanakan dengan

kemunculan calon tunggal. Calon tunggal ini merupakan pasangan petahana Iti

Octaviani Jayabaya dan Ade Sumardi melawan “kotak kosong”. Pasangan calon

tunggal ini berhasil memenangkan pertarungan di Pilkada Lebak 2018. Pasangan Iti

dan Ade memperoleh suara 453.938 suara atau 76,96 persen, sedangkan kotak kosong

meraih suara 135.879 suara atau 23,04 persen.1 Berikut merupakan perolehan suara

Pilkada di seluruh kecamatan di Lebak tahun 2018:

1
Data dari KPU, diakses dari https://infopemilu.kpu.go.id pada tanggal 20 Januari 2020 pukul.
19.15.

62
Tabel IV.1. Rekapitulasi Suara Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2018

Perolehan Suara
Iti Octaviani
Kecamatan
Jayabaya dan Ade Kotak Kosong
Sumardi
Banjarsari 21.352 4.964
Bayah 15.654 6.585
Bojongmanik 9.197 1.513
Cibadak 18.951 8.000
Cibeber 31.814 3.614
Cigemblong 9.135 1.839
Cihara 11.144 3.343
Cijaku 10.837 2.859
Cikulur 17.306 2.921
Cileles 19.143 2.361
Cilograng 11.735 5.718
Cimarga 21.929 6.824
Cipanas 18.772 3.409
Cirinten 10.400 1.978
Curug Bitung 14.522 1.710
Gunung Kencana 14.891 2.502
Kalanganyar 9.203 4.546
Lebakgedong 10.567 653
Leuwidamar 16.648 4.628
Maja 16.299 6.006
Malingping 15.906 12.549
Muncang 12.997 3.560
Panggarangan 14.361 5.183
Rangkasbitung 34.773 19.360
Sajira 17.279 4.642
Sobang 17.104 1.163
Wanasalam 15.868 7.238
Warunggunung 15.512 5.898
Total 453.938 135.879
Sumber: KPUD Kabupaten Lebak

63
Tabel di atas menunjukkan pasangan Iti dan Ade unggul di seluruh kecamatan

di Lebak. Kemenangan Iti dan Ade tidak terlepas dari koalisi yang dibentuknya

dengan nama “koalisi kita”. Koalisi ini didukung oleh 10 partai yang ada di Lebak di

antaranya Demokrat, PDI Perjuangan, PKB, PKS, PAN, Golkar, Gerindra, PPP,

Hanura, dan Nasdem. Koalisi besar ini merupakan koalisi yang cukup kuat dalam

memenangkan pasangan Iti dan Ade. Indikasi pembentukan Koalisi Kita ini tidak

dapat dilepaskan dari peran Mulyadi Jayabaya sebagai orang kuat lokal yang

merupakan ayah dari Iti dalam mengonsolidasikan para elit partai di tingkat lokal

maupun pusat.

Penelitian ini berfokus pada fenomena calon tunggal dan peran orang kuat lokal

pada Pilkada Kabupaten Lebak tahun 2018 sehingga menyebabkan terjadinya calon

tunggal pada Pilkada tersebut. Penyebab partai politik tidak dapat mengusung

kadernya karena terlalu kuatnya Dinasti Mulyadi Jayabaya. Mulyadi Jayabaya

merupakan orang kuat lokal di Lebak, perannya sangat menentukan dalam

kemunculan calon tunggal pada Pilkada Lebak 2018. Dengan kemunculan peran orang

kuat lokal dalam Pilkada ini, pada dasarnya akan memunculkan kuatnya dinasti di

Lebak. Sebab orang kuat lokal merupakan orang yang disegani di semua kalangan di

Lebak. Pada akhirnya, penelitian ini akan lebih berfokus kepada fenomena

dinastokratik yang menyebabkan terjadinya calon tunggal di Pilkada Lebak, sehingga

menyebabkan partai politik lebih memilih untuk berkoalisi daripada berkompetisi.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori partai politik, teori elit; dinasti

64
politik, orang kuat lokal, dan teori patron klien yang akan dikaitkan dengan hasil

penelitian yang ditemukan di lapangan.

A. Proses Rekrutmen Calon Bupati dan Wakil Bupati oleh Partai

Salah satu fungsi partai politik adalah sebagai sarana rekrutmen politik,

menurut Gabriel Almond sebagaimana dikutip Muhadam Labolo (2015:17), proses

rekrutmen merupakan kesempatan rakyat untuk menyeleksi kegiatan-kegiatan politik

dan jabatan pemerintah melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi

anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu, pendidikan dan latihan.2

Sistem rekrutmen ini sangat penting bagi partai untuk mendapatkan sumber daya

manusia dengan baik. Dengan adanya rekrutmen ini dapat diseleksi kandidat yang

terpilih sesuai dengan karakteristik dan ideologi partai tersebut.

Pada Pilkada Lebak tahun 2018 penerapan kaderisasi dan rekrutmen politik

yang seharusnya dilakukan oleh partai politik seakan tidak berjalan dengan baik

dengan kemunculan calon tunggal di Pilkada Lebak tersebut. Namun, sebagian partai

politik yang ada di Lebak berpendapat bahwa sebenarnya mereka telah menjalankan

fungsi kaderisasi dan rekrutmen politik secara baik dan sesuai aturan. Akan tetapi,

kualitas kader yang partai politik miliki masih belum layak untuk bersaing di Pilkada

Lebak tahun 2018. Alasan semacam ini seringkali dipakai partai politik manapun

2
Muhadam Labolo dan Tegus Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
(Teori, Praktik dan Isu Strategi), hlm.17.

65
untuk menutupi ketidakmampuan partai politik dalam menyodorkan kadernya di

Pilkada.

Proses rekrutmen partai politik di Lebak merupakan langkah awal dalam

menentukan calon untuk bertarung di Pilkada. Berikut ini akan dijelaskan bagaimana

proses penentuan calon yang dilaksanakan oleh partai politik, sehingga akhirnya

muncul calon tunggal:

Tabel IV.A.2. Proses Rekrutmen Bupati dan Wakil Bupati oleh Partai

Politik di Lebak

Penentuan Alasan
Calon Figur Dukungan terhadap Iti-Ade
Partai Pendaftaran
Internal
DPD DPP
Lemah
Gerindra Terbuka √ √ Melakukan penjajakan dengan
beberapa partai seperti PKS,
Nasdem, dan PKB untuk
membentuk koalisi tetapi gagal.
Hingga akhirnya bergabung
dengan “koalisi kita”3
PPP Terbuka √ √ Memutuskan untuk bergabung
dengan “koalisi kita”.4
PKS Terbuka √ Menawarkan kader PKS, yakni
× Sanuju Pentamarta untuk
dicalonkan dan berusaha
membentuk koalisi dengan
Nasdem. Namun tidak dilanjutkan
hingga akhirnya PKS bergabung
dengan “koalisi kita”.5
PKB Tidak √ √ Langsung bergabung dengan
Membuka “koalisi kita” dengan alasan belum
Pendaftaran siap mencalonkan kader dan
finansial untuk Pilkada.6

3
Wawancara dengan H. Oong Syahroni, Ketua DPC Partai Gerindra Kabupaten Lebak, Lebak
24 Juni 2019.
4
Wawancara dengan H. Maman Ketua DPC PPP Lebak, Lebak, 17 Juli 2019.
5
Wawancara dengan Lily Sugianto Sekretaris DPD PKS Lebak, Lebak 24 Juni 2019.
6
Wawancara dengan Ahmad Yani Sekretaris DPC PKB Lebak, Lebak 9 Juli 2019.

66
Penentuan Alasan
Calon Figur Dukungan terhadap Iti-Ade
Partai Pendaftaran
Internal
DPD DPP
Lemah
Nasdem Terbuka √ Melakukan penjajakan dengan
× PKS dan Gerindra untuk
membentuk koalisi, tetapi tidak
dilanjutkan. Atas keputusan DPD
yang mengeluarkan dukungan
terhadap Iti-Ade akhirnya
bergabung dengan “koalisi kita”7
Golkar Tertutup √ √ Menentukan keputusan untuk
bergabung dengan “koalisi kita”
sudah ditentukan 1 tahun sebelum
Pilkada.8
Demokrat Terbuka √ Memutuskan untuk mencalonkan
× kembali Iti sebagai bupati atas
pertimbangan hasil survei
elektabilitas sebesar 70 persen
yang dilakukan Partai Demokrat. 9
PAN Terbuka √ √ Menerima lamaran dari Cecep
Sumarno dan menawarkan
berkoalisi ke PKS dan Gerindra.
Karena tidak ada respon, akhirnya
gagal mengusung dan memutuskan
bergabung dengan “koalisi kita”.10
Hanura Terbuka √ Mencalonkan kadernya, yakni
× Ahmad Jazuli, dan berusaha
membentuk koalisi dengan
Nasdem dan PKS. Karena tidak
ada respons lisan maupun tulisan
gagal untuk mencalonkan. Dan
atas rekomendasi DPD dan DPP
bergabung dengan “koalisi kita”.11
PDI Terbuka √ √ Melakukan penjaringan secara ekternal
Perjuangan dan internal partai dan keluarlah nama
Ade Sumardi untuk dicalonkan.
Setelah muncul nama Ade, PDI
Perjuangan menjalin koalisi dengan
Demokrat untuk menyandingkan
pasangan Iti-Ade dan membentuk
“koalisi kita”.12

7
Wawancara dengan Dedi Jubaedi Ketua DPC Nasdem Lebak, Lebak 24 Juni 2019.
8
Wawancara dengan H. Yogi Sekretaris DPC Golkar Kabupaten Lebak, Lebak 17 Juli 2019.
9
Wawancara dengan Dani Setiawan Sekretaris DPC Demokrat Lebak, Lebak 9 Agustus 2019.
10
Wawancara dengan Agus Sumantri Ketua DPD PAN Lebak, Lebak 1 Agustus 2019.
11
Wawancara dengan Kyai H. Didin Bahrudin Ketua DPC Hanura Lebak, Lebak 17 Juli 2019.
12
Wawancara dengan Junaedi Ibnu Jarta Ketua DPC PDI Perjuangan Lebak, Lebak 17
September 2019.

67
Berdasarkan hasil wawancara yang telah terangkum dalam tabel di atas, partai

politik seringkali mengesampingkan pertimbangan ideologis dan mengedepankan

pragmatisme seperti uang dan kekuasaan sebagai dasar pembentukan koalisi. Seperti

halnya yang terjadi pada Pilkada Lebak tahun 2018, semua partai politik di Kabupaten

Lebak berbondong-bondong masuk dalam koalisi gemuk yang dinamakan “koalisi

kita”. Koalisi ini dibentuk untuk mendukung pasangan calon petahana Iti Octaviani

Jayabaya dan Ade Sumardi. Koalisi gemuk ini diikuti oleh 10 partai di antaranya Partai

Demokrat, PDI Perjuangan, PPP, PKS, PKB, Gerindra, Golkar, Nasdem, Hanura, dan

PAN.

Sebelum munculnya koalisi ini, proses komunikasi politik sempat dilakukan

oleh Partai Nasdem, PKS, dan Gerindra yang berusaha menjalin koalisi. PKS saat itu

menawarkan kadernya, yakni Sanuji Pentamarta untuk dicalonkan. Namun,

komunikasi politik ini tidak berjalan dengan baik. Partai Gerindra telah melakukan

hitung-hitungan politik akan kalah jika ikut dalam koalisi PKS. Akhirnya atas

rekomendasi dari DPD Gerindra Banten, Partai Gerindra Lebak memutuskan untuk

bergabung dengan koalisi Iti-Ade.

Lain halnya dengan Partai Nasdem, pada saat itu DPC Nasdem Lebak tidak

bisa berbuat banyak hal karena DPP Nasdem Banten menginstruksikan untuk merapat

pada koalisi yang ada. Pada saat itu, situasi politik di Lebak tidak memungkinkan

untuk mengusung calon dari Partai Nasdem karena semua partai yang ada di Lebak

telah merapat pada koalisi Iti-Ade. Kemudian PKS tidak bisa mengusung kadernya

sebab komunikasi yang dilakukan ke Partai Gerindra dan Partai Nasdem tersebut tidak

68
membuahkan hasil. Karena syarat dari UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 40

menyatakan partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan

calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan suara paling sedikit 20 persen dari

jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam

pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. 13 Dengan merujuk

aturan tersebut, PKS pada saat itu hanya memiliki 6 kursi dari syarat 10 kursi di DPRD

Lebak. Maka dari itu, PKS tidak bisa mencalonkan kadernya dan akhirnya memilih

untuk bergabung dengan “koalisi kita”.

Dengan kemunculan koalisi gemuk ini, partai politik yang ada di Kabupaten

Lebak dikategorikan dengan broker parties, yakni partai politik lebih mengedepankan

memenangkan kursi atau jabatan dalam pemilihan umum daripada mengejar kursi

pengikut atau orang yang percaya terhadap ideologi partai politik. 14 Penulis melihat

dengan kemunculan calon tunggal dan koalisi gemuk ini partai politik yang ada di

Lebak lebih mementingkan kemenangan dengan mengorbankan ideologi partai yang

mereka anut. Partai mempertimbangkan untuk tidak mengusung kadernya sendiri

karena khawatir kalah, maka partai politik mencari aman dengan bergabung ke

“koalisi kita”.

13
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang “Peruban Kedua atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-
Undang”, diakses pada tanggal 9 September 2019,
https://mkri.id/public/content/jdih/UU_Nomor_10_Tahun_2016.pdf.
14
Ikhsan Darmawan, Mengenal ilmu Politik, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2015),
hlm.128

69
Pada konteks calon tunggal di Pilkada Lebak 2018, partai politik pendukung

calon seringkali bukan berdasarkan kesamaan ideologi tetapi lebih didasarkan pada

kepentingan politik ekonomi. Sejatinya partai politik secara ideal harus

mengedepankan tujuan partai politik yang sebenarnya, yaitu koalisi berbasis ideologi

(policy seeking). Karena dari sisi idealitas politik, kekuasaan merupakan alat untuk

mencapai tujuan ideologi partai politik. Kesamaan ideologi ini kemudian akan

mengelompokkan partai-partai ke dalam sebuah koalisi. Namun pada kenyataannya

menunjukkan koalisi berbasis ideologi, platform, program seringkali tidak

mengemuka di lapangan praktis. Justru koalisi berbasis pragmatis dan opurtunislah

yang sering menjadi fondasi (office seeking).15

Munculnya dukungan partai secara bersama-sama kepada satu pasangan calon

menunjukkan bahwa partai politik telah kehilangan identitasnya sebagai agen

petarung. Partai politik seharusnya memainkan peran sebagai wadah yang memiliki

ide yang siap dikontestasikan oleh kader-kadernya pada saat Pilkada berlangsung.

Namun, jika partai secara berbondong-bondong mendukung hanya pada salah satu

pasangan calon, partai lebih memilih jalur pragmatis daripada mengkontestasikan

kader yang dimilikinya. Terlebih lagi pragmatisme partai politik ini semakin menguat

karena masifnya politik transaksional yang terjadi, seperti adanya biaya mahar politik

yang harus dikeluarkan oleh kandidat agar partai mau mengusung mereka. Pada saat

15
Bawaslu, Fenomena Calon Tunggal Studi Kasus pada Pilkada 2018 di 16 Kabupaten/ Kota,
hlm. 17.

70
wawancara salah satu narasumber penulis, Lily Sugianto, Sekretaris DPD PKS Lebak,

mengatakan:

Partai politik lain juga mikir. Yang pertama tidak ada sosok yang bisa
dicalonkan, yang kedua juga Pilkada ini penuh dengan pendanaan yang cukup
luar biasa. Mungkin bisa jadi ga mau ribet juga, lebih baik berkoalisi daripada
berkompetisi.16

Pilkada Lebak dianggap sebagai Pilkada dengan ongkos politik yang tinggi

karena mayoritas masyarakat Kabupaten Lebak merupakan masyarakat pedesaan yang

memiliki tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi. Karakteristik pemilih pedesaan

sangat mudah dipengaruhi dengan politik uang (money politics). Menurut Akmad

Jajuli yang merupakan bakal calon bupati alternatif Lebak 2018 mengemukakan partai

politik lebih melihat bakal calon dari segi finansialnya daripada kemampuannya. Pada

saat itu, setiap calon bakal bupati dan wakil bupati alternatif harus menganggarkan

dana sebesar 60 miliar untuk mengikuti kontestasi politik di Lebak.17

Dengan besarnya anggaran Pilkada ini menjadikan partai politik segan dalam

mencalonkan kadernya. Karenanya, kemunculan calon tunggal di Pilkada Lebak tahun

2018 bukan semata-mata karena tidak adanya figur yang bisa dicalonkan. Akan tetapi,

karena besarnya dana Pilkada. Maka dari itu partai politik lebih memilih untuk

berkoalisi. Ada indikasi pembentukan koalisi besar ini tidak dapat dilepaskan dari

kontrak politik yang dilakukan oleh para elit partai dengan sang pemegang kuasa di

Lebak. Pada saat itu, Pilkada Lebak 2018 dilaksanakan kurang dari setahun sebelum

16
Wawancara dengan Lily Sugianto Sekretaris DPD PKS Lebak, Lebak 24 Juni 2019.
17
Wawancara dengan H. Akhmad Jajuli Bakal Calon Bupati di Pilkada Lebak 2018, 22 Januari
2020.

71
pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2019. Partai politik

ada indikasi mencari amunisi dan logistik untuk kebutuhan pilpres dan pileg di tahun

2019. Maka dari itu, para elit partai politik menjadikan Pilkada untuk arena mencari

uang untuk kebutuhan pileg dan pilpres 2019.

B. Kegagalan Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati Alternatif dan Gerakan

Baju Koko

Sebelum munculnya calon tunggal pada Pilkada Lebak tahun 2018, ada bakal

calon yang berniat mencalonkan diri sebagai bupati dan wakil bupati Kabupaten Lebak

tahun 2018. Bakal pasangan calon itu ada dua pasangan calon: pertama pasangan

Akhmad Jajuli dan Sopyan, kedua pasangan Cecep Sumarno dan Didin Saprudin.

Namun, kedua bakal calon bupati alternatif tersebut gagal di tengah perjalanan proses

pencalonan.

Motivasi Akhmad Jajuli untuk mencalonkan diri di Pilkada Kabupaten Lebak

semata-mata karena ada keterpanggilan batin sebagai putra daerah. Beliau bercita-cita

untuk meningkatkan derajat kehidupan warga Kabupaten Lebak menjadi masyarakat

yang adil dan makmur. Sementara menurut Sopyan, mengatakan bahwa Kabupaten

Lebak tertinggal jauh dengan beberapa daerah setingkatnya, sehingga dengan

berpartisipasi dalam kontestasi kepala daerah akan memiliki peluang besar untuk

memajukan daerahnya.18

18
Bawaslu RI, Fenomena Calon Tunggal Studi Kasus pada Pilkada 2018 di 16
Kabupaten/Kota, hlm.58-59

72
Dengan berbekal motivasi tersebut, bakal pasangan calon ini mendaftarkan diri

kebeberapa partai di antaranya Partai Hanura, Nasdem dan PKS. Akhmad Jajuli

merupakan seorang pengusaha dan kader Partai Hanura, sedangkan Sopyan

merupakan pegawai swasta. Proses pendaftaran itu pun tidak mendapatkan hasil

karena pada saat itu ketiga partai di atas tidak memberi jawaban lisan maupun tulisan

terhadap lamaran pasangan bakal calon ini.19

Setelah pendaftarannya gagal melalui jalur partai, pasangan bakal calon

alternatif Akhmad Jajuli dan Sopyan menempuh jalur independen. Namun, saat itu

menurut penuturan Akhmad Jajuli persyaratan KTP tidak dilihat secara baik oleh KPU

Lebak. Hingga akhirnya Akhmad Jajuli dan Sopyan menggugat Ke Bawaslu. Ketika

memasuki persidangan, KPU Lebak menggunakan Jaksa Penggacara Negara (JPN).

Saat itu, KPU Lebak memutarbalikkan fakta dengan menduga Akhmad Jajuli dan

Sopyan tidak memberikan persyaratan KTP kepada KPU Lebak. Menurut Akhmad

Jajuli saat itu KPU Lebak tidak netral hingga akhirnya pihaknya memutuskan untuk

tidak melanjutkan persidangan. Dengan itu, pasangan Akhmad Jajuli dan Sopyan

gagal menjadi pasangan calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Lebak tahun 2018. 20

Sedangkan pasangan bakal calon alternatif Cecep Sumarno dan Didin Saprudin

ini gagal karena syarat pencalonan berupa BA.7-KWK perseorangan, dan BA.8-KWK

perseorangan tidak ada. Maka, pada tanggal 10 Januari 2018 KPU Lebak menolak

19
Wawancara dengan H. Akhmad Jajuli Bakal Calon Bupati di Pilkada Lebak 2018, 22 Januari
2020.
20
Wawancara dengan H. Akhmad Jajuli Bakal Calon Bupati di Pilkada Lebak 2018, 22 Januari
2020.

73
pendaftaran pasangan calon ini. 21 Pada saat itu, sempat terjadi ketegangan antara

pasangan calon dengan ketua KPU Lebak Ahmad Saprudin. Atas kejadian ini pihak

Cecep Sumarno mengadukan persoalan ini kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara

Pemilu Umum (DKPP), termasuk melaporkan dugaan tindak pidana yang dilakukan

oleh KPU. Cecep Sumarno mengatakan KPU terkesan dari awal sudah mengondisikan

untuk calon tunggal di Pilkada Lebak, sehingga apapun rekomendasi dari Panwaslu

tidak pernah dijalankan.22

Dengan kegagalan kedua pasangan bakal calon ini, kemunculan calon tunggal

pada Pilkada Lebak 2018 seakan-akan sudah diatur sedemikian rupa agar muncul

hanya satu calon. Dengan adanya beberapa orang yang hendak mencalonkan tetapi

gagal, sepertinya sudah dirancang dengan kelemahan-kelemahan lawan, seperti pada

kasus ini mencari kelemahan persyaratan pencalonan di KPU. Penulis melihat,

kemungkinan besar kegagalan kedua pasangan bakal calon ini tidak terlepas dari peran

pihak petahana yang bisa saja sudah ada kedekatan dengan KPU untuk menggagalkan

pencalonan mereka. Hal yang sama juga disampaikan oleh Akhmad Jajuli:

Saya menduga ada pihak dari incumbent yang “bermain” untuk meloloskan
lawan kotak kosong (calon tunggal). Pihak ini menurut saya tidak bisa
dilepaskan dari peran JB [Jayabaya]. Dengan adanya orang kuat ini parpol
diam dan para calon yang berniat mencalonkan diri dijegal.23

21
Bawaslu RI, Fenomena Calon Tunggal Studi Kasus pada Pilkada 2018 di 16
Kabupaten/Kota, hlm. 57
22
IndoPos, “Lagi, Pasangan Cecep Sumarno dan Didin Syafrudin Ditolak KPU Lebak”, artikel
ini diakses pada 12 Oktober 2019, https://indopos.co.id/read/2018/01/10/123275/lagi-paslon-cecep-
sumarno-dan-didin-syafrudin-ditolak-kpu-lebak/
23
Wawancara dengan H. Akhmad Jajuli Bakal Calon Bupati di Pilkada Lebak 2018, 22 Januari
2020.

74
Berdasarkan pernyataan di atas, calon tunggal pada Pilkada Lebak bukan

semata-mata tidak adanya figur yang dapat dicalonkan, akan tetapi kuatnya calon

petahana yang memiliki finansial dan jejaring yang kuat inilah yang merupakan alasan

munculnya calon tunggal.

Dengan adanya kemunculan kedua pasangan bakal calon bupati dan wakil

bupati alternatif ini merupakan salah satu upaya apa yang disebut dengan counter elite,

yakni mereka yang berada di lapisan atas dari massa, karena yang bersangkutan

merupakan kelompok yang potensial menghadapi dan menggantikan posisi elit yang

tengah berkuasa. 24 Akan tetapi, counter elite yang dilakukan oleh kedua pasangan

bakal calon alternatif itu mengalami kegagalan karena sirkulasi elit yang ada di

Kabupaten Lebak tidak berjalan dengan baik. Sirkulasi elit ini tidak berjalan dengan

baik karena pemegang kuasa yang ada di Lebak hanya dipegang oleh satu dinasti,

yakni Dinasti Mulyadi Jayabaya. Dengan kemunculan calon tunggal inilah menjadi

bentuk dari kuatnya dinasti yang ada di Lebak.

Selain upaya counter elite yang dilakukan kedua bakal calon alternatif itu,

muncul gerakan masyarakat yang ingin melawan petahana yang mengatasnamakan

Barisan Juang Kolom Kosong atau Baju Koko. Tujuan dibentuknya gerakan ini untuk

mengajak masyarakat untuk tidak golput dan menggunakan hak pilihnya dengan

mendukung kotak kosong. Gerakan ini melakukan sosialisasi kepada warga yang

belum paham apa hakikat pilihan terhadap kotak kosong. Dengan begitu, setelah

24
Haryanto, Elite, Massa, dam Kekuasaan: Suatu Bahasa Pengantar, hlm. 22.

75
paham mengenai gerakan ini warga kemudian memilih kotak kosong dibandingkan

pasangan Iti Octaviani Jayabaya dan Ade Sumardi.25

Gerakan baju koko ini di pimpin oleh Akhmad Hakiki Hakim. Gerakan ini

memiliki koordinator disetiap wilayahnya yakni, wilayah Lebak Utara koordinatornya

Teja Kelana, wilayah Lebak Tengah oleh Solihin GP, dan Lebak Selatan oleh Andri

Firdaus dan Zaenal Mutaqin. Selain itu, gerakan baju koko ini memiliki 28 koordinator

kecamatan, 340 koordinator desa, dan 5 koordinator desa.26

Sebelum melaksanakan deklarasi gerakan ini secara maraton mendatangi KPU

Lebak, Panwaslu Lebak, dan Polres Lebak, kedatangan gerakan ini untuk melakukan

audiensi dengan ketiga lembaga tersebut. Selain audiensi, gerakan ini juga melakukan

konsultasi dengan penyelenggara pemilu dan aparat keamanan untuk mematangkan

teknis pergerakan baju koko dalam rangka penggunaan hak pilih kolom kosong dalam

pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak Tahun 2018.27

Gerakan baju koko di deklarasikan pada 4 maret 2018 bertempat di Pantai

Karang Nawing, Desa Pagelaran, Kecamatan Malingping. Deklarasi ini dihadiri oleh

seluruh perwakilan koordinator wilayah baju koko se Kabupaten Lebak. gerakan ini

telah didaftarkan sebagai pemantau Pilkada ke KPU Kabupaten Lebak, karena syarat

lemabaga pemantauan tidak harus lembaga berbadan hukum. Selain itu gerakan baju

25
Detik, “Hakiki Nilai Gerakan Kotak Kosong Bukan Kampanye Golput”, artikel ini diakses
pada tanggal 1 Mei 2020, http://m.detik.com.
26
Detik, “Hakiki Nilai Gerakan Kotak Kosong Bukan Kampanye Golput”, artikel ini diakses
pada tanggal 1 Mei 2020, http://m.detik.com.
27
Detik, “Hakiki Nilai Gerakan Kotak Kosong Bukan Kampanye Golput”, artikel ini diakses
pada tanggal 1 Mei 2020, http://m.detik.com.

76
koko juga sudah berkoordinasi dengan Jaringan Rakyat Untuk Pemilu dan Demokrasi

(JRDP) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).28

Gerakan baju koko melakukan sosialisasi ke masyarakat yang ada di

Kabupaten Lebak, bahkan gerakan ini melakukan gebyar di wilayah empat titik

perkotaan, selatan, utara dan Lebak tengah. Selain itu gerakan ini juga menempatkan

seribu orang relawan untuk ditugaskan di seribu TPS di Kabupaten Lebak dengan

jumlah TPS sebanyak 1989 TPS.29 Gerakan ini telah berhasil mendapatkan suara dari

masyarakat sebesar 135.879 suara atau 23,04 persen. 30 Dengan hasil tersebut

menunjukkan bahwa masyarakat Lebak masih berharap akan kemenangan kotak

kosong walaupun pada akhirnya kemenangan di peroleh pasangan petahana Iti

Octaviani Jayabaya dan Ade Sumardi.

C. Keterlibatan Mulyadi Jayabaya sebagai Orang Kuat Lokal

Mulyadi Jayabaya merupakan mantan Bupati Lebak selama dua periode

lamanya. Namanya begitu terkenal di Kabupaten Lebak, hingga dijuluki sebagai bapak

pembangunan Lebak karena telah banyak mengubah Kabupaten Lebak melalui

pembangunan jalan, gedung perkantoran, dan sarana umum lainnya.

Sebelum Mulyadi Jayabaya menjadi Bupati Lebak, beliau merupakan seorang

pengusaha di bidang jasa kontruksi. Keterlibatannya dalam politik dimulai dengan

28
Liputan Banten, Posko Relawan ‘Kolom Kosong’ Resmi Terbentuk, artikel ini diakses pada
7 Mei 2020, www.liputanbanten.co.id
29
Liputan Banten, Posko Relawan ‘Kolom Kosong’ Resmi Terbentuk, artikel ini diakses pada
7 Mei 2020, www.liputanbanten.co.id .
30
Data dari KPU, diakses dari https://infopemilu.kpu.go.id pada tanggal 20 Januari 2020
pukul. 19.15.

77
dirinya masuk kedalam Partai Golkar. Setelah itu, Mulyadi Jayabaya memutuskan

untuk keluar dari Partai Golkar dan masuk ke PDI Perjuangan.31 Dari sinilah karir

politik Mulyadi Jayabaya dimulai dengan mencalonkan diri sebagai Bupati Lebak

dengan wakilnya Odih Hudori Padma pada tahun 2003-2008. Lewat PDI Perjuangan

Mulyadi Jayabaya berhasil memenangkan Pilkada Lebak. Pada saat itu pemilihan

bupati dan wakilnya dipilih melalui DPRD Kabupaten Lebak. Pada Pilkada 2008

Mulyadi Jayabaya maju kembali di pemilihan langsung bupati dan wakil bupati Lebak

bersama wakilnya Amir Hamzah dan memenangkan Pilkada pada saat itu.

Setelah menjadi bupati selama dua periode Mulyadi Jayabaya tidak

melepaskan jabatannya begitu saja. Mulyadi menyiapkan anaknya Iti Octaviani

Jayabaya untuk meneruskan jejaknya sebagai Bupati Lebak. Pada Pilkada 2013 Iti

Octaviani Jayabaya mencalonkan diri sebagai bupati dari Partai Demokrat sedangkan

wakilnya Ade Sumardi dari PDI Perjuangannya. Dari Pilkada ini mengantarkan Iti

menjadi bupati meneruskan kiprah ayahnya. Kemenangannya pun tidak terlepaskan

dari nama besar sang ayah Mulyadi Jayabaya.

Di Pilkada 2018 Iti Octaviani Jayabaya kembali maju sebagai calon bupati dan

wakilnya masih tetap Ade Sumardi. Pilkada Lebak kali ini berbeda dengan Pilkada

sebelumnya. Pilkada Lebak pada tahun ini merupakan penyelenggaraan Pilkada

serentak yang dilaksanakan berbarengan dengan daerah lainnya. Ada fenomena yang

31
Wawancara dengan H. Akhmad Jajuli Bakal Calon Bupati di Pilkada Lebak 2018, 22 Januari
2020.

78
menarik pada Pilkada ini, yaitu Pilkada dengan calon tunggal. Kemunculan calon

tunggal di Lebak menarik perhatian karena tidak bisa di lepaskan dari kuatnya dinasti

yang muncul di Lebak.

Figur Mulyadi Jayabaya ini merupakan kunci politik dari sang anak, yakni Iti

Octaviani Jayabaya dalam memenangkan Pilkada Lebak 2018. Kekuatan politik

Mulyadi Jayabaya sebagai bupati dua periode ini semakin memantapkan posisinya

sebagai “raja lokal” yang mengantongi unsur kekuasaan formal dan informal

sekaligus. Maka tidak aneh jika akhirnya Mulyadi Jayabaya begitu leluasa untuk

menaruh dan menempatkan para kroni dan keluarganya diberbagai struktur

pemerintahan, ormas dan Jayabaya juga punya kemampuan penetrasi ke beberapa

partai selain PDI Perjuangan, seperti ke Partai Demokrat dengan menempatkan

beberapa anggota keluarganya, yakni Iti Octaviani Jayabaya, Sumantri Jayabaya (adik

Mulyadi Jayabaya), dan Vivi Sumantri Jayabaya (Anak Sumantri Jayabaya)

ditempatkan di Partai Demokrat.32 Selain itu, salah satu anak dari Mulyadi Jayabaya

ada di PPP, yakni Muhammad Nabil Jayabaya sebagai Wakil Ketua Bidang Organisasi

dan Keanggotaan Partai PPP.33 Dengan adanya hal itu, munculnya kekuasaan tunggal

di Lebak ini berdampak pada lahirnya dinasti politik Mulyadi Jayabaya.

32
Ratu Vidya Nur’aini, “Lahirnya Dinasti Politik Studi Kasus: Terbentuknya Dinasti Politik
Mulyadi Jayabaya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Periode 2003- 2017)”, (Skripsi Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Yogyakarta, 2018).
33
Wawancara dengan H. Akhmad Jajuli Bakal Calon Bupati di Pilkada Lebak 2018, 22 Januari
2020.

79
Dalam teori orang kuat lokal, seperti apa yang dijelaskan Joel Migdal (Joel S.

Migdal, 1988: 41)34, orang kuat lokal merupakan pemimpin non-formal negara seperti

tuan tanah, tengkulak, kepala suku, bos, pengusaha, pemimpin perang, petani kaya,

dan pemimpin klan, yang membangun organisasi sosialnya yang berbentuk jejaring

dalam rangka menjalankan kontrol sosial atas masyarakat untuk menguasai

keseluruhan populasi yang berada dalam wilayah tertentu.

Dari pemaparan teori mengenai orang kuat tersebut, Mulyadi Jayabaya bisa

dikategorikan sebagai orang kuat lokal di Lebak. Sebagai salah satu pengusaha terkaya

di Lebak yang mampu menjalankan kontrol sosial untuk menguasai jabatan strategis

dengan menempatkan anaknya sebagai penerusnya. Selain itu, dengan relasi yang

dimilikinya di lokal maupun nasional Mulyadi Jayabaya bisa dengan mudahnya

mengondisikan politik di Lebak. Seperti halnya yang terjadi di Pilkada calon tunggal

di Lebak, yang tidak dapat dilepaskan dari peran Mulyadi Jayabaya.

Mulyadi Jayabaya merupakan orang kuat lokal yang menjadikan sosoknya

disegani oleh semua kalangan. Peran yang dilakukan Jayabaya ini berupa intervensi

terhadap partai politik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. 35

Seperti yang terjadi di PAN yang awalnya melakukan komunikasi politik dengan

Gerindra dan PKS untuk menandingi petahana. Langkah mereka terhenti ketika

melihat situasi politik yang akan membuat mereka kalah dalam mencalonkan figur.

34
Saepudin dan Joni Firmansyah, “Jawara dan Pemilu: Peran Jawara Sebagai Identitas Politik
di dalam Pemilihan Kepala Daerah Banten” (Jurnal Bawaslu RI, Vol. 3 No.2, 2017), hlm. 230.
35
Wawancara dengan Ahmad Yani Sekretaris DPC PKB Lebak, Lebak 9 Juli 2019

80
Karena PAN menilai kuatnya sosok Mulyadi Jayabaya dalam pencalonan Iti pun tidak

dapat dilepaskan karena sang petahana memiliki suara yang masih unggul di

Kabupaten Lebak. Sampai akhirnya, Ketua DPC PAN Lebak dipanggil ke rumah

Mulyadi Jayabaya untuk ditanyakan mengenai arah koalisi partai karena pada saat itu

posisi PAN masih belum menentukan pilihan. Setelah adanya pertemuan dengan

Mulyadi dan atas rekomendasi DPP PAN menentukan pilihan untuk berkoalisi dengan

Koalisi Kita.36 Selain itu, Ketua DPC PDI Perjuangan Lebak juga memaparkan bentuk

intervensi Mulyadi Jayabaya dalam wawancara dengan peneliti sebagai berikut:

JB [Jayabaya] karena anaknya yang mencalonkan tentu intervensinya besar


tapi dalam konteks hal yang positif, di mana beliau juga ingin memenangkan
anaknya, juga ingin menjaga kondusifitas. Oleh karena itu, ada pendekatan-
pendekatan yang di luar ranah kita yang dilakukan oleh Pak JB, seperti halnya
membangun dengan para tokoh ulama, tokoh adat, kemudian tokoh-tokoh
intelektual dan multi-stakeholder lainnya dibangun komunikasi politiknya.37

Selain itu, menurut Akhmad Jajuli, Mulyadi Jayabaya menggunakan segala

cara, salah satunya melalui intervensi terhadap KPU sehingga syarat administrasi yang

dilakukan oleh bakal calon bupati dan wakil bupati alternatif gagal dalam

mencalonkan diri. Akhmad Jazuli menduga orang-orang di KPU merupakan “orang”

dukungan JB. Pihaknya telah memberikan persyaratan ke KPU tetapi pihak KPU

menyangkal bahwa pihak Akhmad Jazuli belum memberikan persyaratan. Seperti

yang dipaparkan Akhmad Jazuli dalam wawancara dengan penulis:38

36
Wawancara dengan Agus Sumantri Ketua DPD PAN Lebak, Lebak 1 Agustus 2019
37
Wawancara dengan Junaedi Ibnu Jarta Ketua DPC PDI Perjuangan Lebak, Lebak 17
September 2019
38
Wawancara dengan H. Akhmad Jajuli Bakal Calon Bupati di Pilkada Lebak 2018, 22
Januari 2020.

81
Ya dia bisa minta mengondisikan. Contohnya bagaimana mungkin data saya
ditolak sementera data-data saya dilihatpun tidak. Tapi pas sidang di Bawaslu
Lebak eh pihak KPU Lebak kenapa berkas dukungan tidak diserahkan?. Kan
terlihat betul permainannya agar mengarah ke calon tunggal.39

Mulyadi Jayabaya juga melakukan pemanggilan terhadap anggota DPRD

seluruh partai Kabupaten Lebak ke kediamannya. Menurutnya pemanggilan anggota

dewan itu semata-mata untuk mendapat dukungan terhadap koalisi Iti-Ade. Mulyadi

Jayabaya juga sering memberi perhatian terhadap partai-partai yang ada di Lebak

dengan memberikan uang atau proyek. Menurut Akhmad Jajuli, koalisi besar yang

dibentuk ini diduga adanya jual beli kursi di DPRD untuk mendukung pasangan Iti-

Ade. Ada indikasi satu kursi yang ada di DPRD Lebak dihargakan senilai 300 juta

perkursi. Dengan adanya indikasi inilah yang membuat seluruh partai berbondong-

bondong masuk ke “koalisi kita”40

Dalam hal ini Mulyadi Jayabaya dan para elit partai yang ada di Lebak

melakukan apa yang disebut oleh Joel Migdal (1988: 238-258) sebagai jaringan

pertukaran sosial ekonomi dan politik. Dalam hal ini, Mulyadi Jayabaya melakukan

tawar menawar dengan partai politik dengan memberikan imbalan agar mereka

bersedia mendukung pasangan Iti dan Ade.

Dalam studi terkait calon tunggal dalam Pilkada, Cornelis Lay, Hanif dan

Ridwan menunjukkan bahwa setidaknya terdapat dua jalur munculnya calon tunggal.

39
Wawancara dengan H. Akhmad Jajuli Bakal Calon Bupati di Pilkada Lebak 2018, 22
Januari 2020.
40
Wawancara dengan H. Akhmad Jajuli Bakal Calon Bupati di Pilkada Lebak 2018, 22 Januari
2020.

82
Pertama, jalur ringan (soft way), yakni memaksimalkan berbagai macam sumber

kekuatan yang mereka miliki. Adapun sumber-sumber kekuasaan yang dapat di

eksploitasi ialah sumber daya kapital, pengaruh di dalam birokrasi, dan popularitas.

Jalur ini bisanya dimanfaatkan oleh petahana yang memiliki keterpilihan kembali yang

tinggi, serta sumber daya keuangan yang memadai. Kedua, jalur keras (hard way),

yakni bertumpu pada mekanisme legal-formal dengan mengeskploitasi oleh lawan.

Misalnya, adanya indikasi tidak tertibnya administrasi yang pencalonan dapat

dibatalkan oleh KPU seperti keabsahan ijazah, dukungan partai dan sebagainya.41

Sesuai dengan pernyataan Cornelis Ley, Hanif dan Ridwan yang menunjukkan

ada dua jalur dalam munculnya calon tunggal, penulis melihat dalam kasus calon

tunggal di Lebak ini terdapat dua jalur sekaligus yang menjadi faktor. Pertama melalui

jalur ringan, yakni sebagai seorang petahana pasangan Iti dan Ade memiliki

popularitas yang cukup untuk memenangkan Pilkada dan dari segi finansial pasangan

ini juga cukup dalam menopang biaya Pilkada. Selain itu, peran sang ayah Mulyadi

Jayabaya juga menjadi faktor kuat dalam mengondisikan politik di Lebak agar terjadi

Pilkada dengan calon tunggal. Seperti yang disampaikan oleh Sekretaris DPC

Demokrat Lebak Dani Setiawan berikut ini:

41
The Indonesian Institute, Kajian Kebijakan Pilkada 2018, (Jakarta: The Indonesian Institute,
Center for Public Policy Research (TII), 2018), hal. 7, diakses pada tanggal 6 Oktober 2019,
https://www.theindonesianinstitute.com/wp-content/uploads/2018/07/Kajian-Kebijakan-Pilkada-
2018.pdf

83
Sebenarnya ini kita kembali ke tokoh dulu, tokoh Kabupaten Lebak karena
bagaimana pun juga ibu Iti merupakan anaknya dari tokoh mantan Bupati JB
[Jayabaya] ga bisa terlepas dari ranah itu. Kenapa kemarin hanya ada calon
satu? karena mungkin sosok ibu Iti ini masih diunggulkan di Kabupaten
Lebak.42

Kedua, jalur keras (hard way) dalam hal ini kemunculan calon tunggal di

Kabupaten Lebak tidak bisa dilepaskan dengan kuatnya orang kuat lokal, yakni

Mulyadi Jayabaya yang secara tidak langsung menjadi salah satu figur yang

mengakomodir munculnya calon tunggal. Kegagalan dua bakal calon alternatif, yakni

pasangan Akhmad Jajuli dan Sopyan, lalu pasangan Cecep Sumarno dan Didin

Saprudin menunjukkan Mulyadi Jayabaya telah berhasil dalam menjegal kegagalan

lawan politiknya melalui kelemahan lawan. Kelemahannya saat itu ada pada syarat

administrasi KPU. Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa KPU Lebak dinilai

masih berpihak terhadap petahana, sehingga kegagalan bakal calon ini merupakan

indikasi adanya kesepakatan antara pihak petahana dan KPU Lebak.

Kegagalan pasangan calon ini merupakan salah satu faktor yang kuat

munculnya orang kuat lokal di Kabupaten Lebak, yakni Mulyadi Jayabaya.

Kedekatannya dengan dewan pimpinan pusat partai-partai Mulyadi Jayabaya telah

berhasil mengonsolidasi seluruh partai politik di Lebak, agar bergabung dengan koalisi

Iti-Ade. Kemunculan koalisi gemuk inilah yang menyebabkan lawan tidak

mendapatkan kesempatan untuk dicalonkan oleh partai hingga akhirnya gagal dalam

pencalonan seperti yang dialami oleh pasangan Ahmad Jazuli dan Sopyan.

42
Wawancara dengan Dani Setiawan Sekretaris DPC Demokrat Lebak, Lebak 9 Agustus 2019

84
D. Fenomena Dinasti di Kabupaten Lebak

Desentralisasi merupakan pemberian wewenang yang lebih luas kepada

pemerintah daerah. Desentralisasi yang lahir pasca reformasi diharapakan dapat

menghadirkan pemerintah daerah yang transparan, akuntabilitas, good governance dan

anti korupsi. Tetapi, terdapat anomali dari desentralisasi tersebut dengan semakin

kuatnya relasi oligarki lokal. Banyak elit lokal yang semakin naik jenjang, kekuatan

elit lokal tersebut meneruskan patronase dan oligarki kekuasaan, tetapi bedanya hal ini

dilakukan melalui kontestasi demokrasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya

dinasti kekuasaan di berbagai daerah. Meskipun di era sentralisasi orde baru dinasti

juga muncul, pada era pasca orde baru desentralisasi makin membuka peluang

maraknya dinasti politik.

Pemberian otonomi daerah merupakan perwujudan dari desentralisasi, dengan

hal ini daerah diberikan kebebasan untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang

terbaik untuk masyarakatnya. Salah satu implementasi dari pelaksanaan otonomi

daerah adalah pemilihan umum kepala daerah. Dengan diterapkannya pemilihan

umum kepala daerah ini memunculkan para elit lokal yang dapat menimbulkan ‘raja-

raja kecil’ di daerah.43

Demokratisasi yang sebenarnya ditujukan untuk mendistribusikan hak kepada

masyarakat guna memilih pemimpinnya secara langsung, justru dikaburkan dengan

43
Kompasiana, ”Dilema Pemilihan Umum Kepala Daerah Sebagai Instrumen Penguatan
Desentralisasi dan Otonomi Daerah”, artikel ini diakses https://www.kompasiana.com pada 14 Maret
2020, pukul. 14.48.

85
dominasi kekuatan oligarki. Masyarakat lokal hanya diberi peran sebagai penonton

saja. Munculnya kepala daerah yang berasal dari kelompok elit lokal kerap dinilai

akibat agenda desentralisasi di bidang politik yang hanya menitikberatkan pada

pemilihan umum, sedangkan pemahaman politik dalam masyarakat tidak

diperhitungkan.44

Pada setiap kontestasi Pilkada ada saja pasangan calon yang memiliki

hubungan kekerabatan dengan petahana. Begitu pula pada Pilkada Lebak 2018, pada

Pilkada ini pasangan calon yang maju merupakan seorang petahana yang merupakan

pasangan Iti Octaviani Jayabaya dan Ade Sumardi. Iti merupakan anak dari mantan

Bupati Lebak sebelumnya yaitu Mulyadi Jayabaya. Menariknya pada Pilkada Lebak

2018 hanya diikuti oleh satu pasangan calon atau melawan calon tunggal.

Kemunculan calon tunggal pada Pilkada Lebak 2018, selain sosok Iti yang

memang mempunyai kemampuan, akan tetapi tidak bisa dilepaskan juga dari kekuatan

Dinasti Jayabaya yang merupakan pengusaha dan penguasa di Lebak 45 . Sehingga

partai politik yang ada segan dalam memunculkan tokoh yang ada. Kekuatan material

yang dimiliki Jayabaya pun menjadi faktor bagaimana Lebak masih belum bisa

melahirkan figur yang bisa melawan klan dari keluarga Jayabaya. Sehingga,

munculnya calon tunggal ini tidak bisa dilepaskan dari dinasti kuat yang dipegang oleh

44
Kumparan, “Pilkada dan Demokrasi ala Dinasti”, artikel ini diakses https://kumparan.com/
pada 14 Maret 2020, pukul 14.53.
45
Wawancara dengan Bapak H. Oong Syahroni, Ketua DPC Partai Gerindra Kabupaten Lebak,
Lebak 24 Juni 2019

86
klan Mulyadi Jayabaya. Dan kemenangan dalam Pilkada Lebak 2018 dalam melawan

kotak kosong menjadi bukti kuat dalam melestarikan Dinasti Mulyadi Jayabaya.

Dinasti politik merupakan contoh dari kekuasaan elit di mana satu atau

beberapa kelompok keluarga yang memonopoli kekuatan politik. Keberadaan dinasti

politik menjadi bukti reproduksi kekuatan politik keluarga yang disebabkan oleh

anggota kerabat sebelumnya. Anggota dinasti politik memiliki karakteristik keluarga

yang memiliki kekayaan, bakat, popularitas atau penampilan yang berkolerasi dengan

kesuksesan politik lintas generasi.46

Terlepas dari dominasi Dinasti Mulyadi Jayabaya dalam politik dan ekonomi

Lebak, Mulyadi Jayabaya merupakan figur yang memiliki kontribusi besar dalam

pembangunan di Lebak, sehingga beberapa pihak mendaulatnya sebagai bapak

pembangunan Lebak. Selain itu, Mulyadi Jayabaya merupakan salah satu orang

terkaya di Kabupaten Lebak dengan jumlah kekayaan yang tercatat mencapai Rp. 66

Miliar,47 kekayaan tersebut tidak dapat dilepaskan dari kesuksesan perusahaan yang

dimiliki Mulyadi Jayabaya. Kesuksesannya sebagai pengusaha menghantarkannya

dalam membangun dinasti politik di Kabupaten Lebak.

Keberhasilan Mulyadi Jayabaya menjadi pengusaha yang kaya raya

memberikan dampak pada dipercayainya anggota keluarganya yang pada akhirnya

46
Pablo Querubin, “Political Reform and Elite Persistence: Term Limits and Political Dynasties
in the Philippines”, (Harvard Academy for International and Area Studies, 2011), diakses pada 12
Desember 2019, https://leitner.yale.edu, hlm. 2.
47
Banten Day, “Memiliki Kekayaan Rp. 66 Miliar, ini Rahasia Sukses JB”, artikel ini diakses
dari dari https://bantenday.co.id pada 29 November 2019 pukul. 19.44.

87
dipilih untuk menduduki jabatan-jabatan pemerintahan atau strategis lainnya di

Lebak. Banyak keluarganya menempati posisi strategis dalam kursi pemerintahan

terhitung sejak Mulyadi Jayabaya menjadi Bupati selama dua periode, dari situlah

Mulyadi Jayabaya membentuk dinastinya. Berikut merupakan tabel dinasti keluarga

Mulyadi Jayabaya:

Tabel IV.D.3. Tabel Dinasti Mulyadi Jayabaya48

No. Nama dan Hubungan


Jabatan
Keluarga
1. Mulyadi Jayabaya • Kepala Desa Cileles
• Ketua Gapensi Lebak
• Ketua KADIN Kabupaten Lebak
• Sempat menjadi anggota partai
Golkar semenjak tahun 1975 dan
sempat menjadi wakil ketua
DPD II Golkar Kabupaten Lebak
• Anggota partai PDIP dan sempat
menjadi Ketua Dewan
Pertimbangan Cabang PDIP
Lebak tahun 2001
• Bupati Lebak Periode 2003-2013
• Ketua umum Kadin Banten
2015-2020 yang terpilih secara
aklamasi
• Pengusaha (Jasa kontruksi,
galian pasir, galian batu bara,
SPBU, transportasi dump truck,
perternakan sapi, aspal mixing
plan (AMP), batching plant,
beton.

Ratu Vidya Nur’aini, “Lahirnya Dinasti Politik Studi Kasus: Terbentuknya Dinasti Politik
48

Mulyadi Jayabaya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Periode 2003- 2017)”, (Skripsi Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Yogyakarta, 2018).

88
No. Nama dan Hubungan
Jabatan
Keluarga
2. Iti Octaviani Jayabaya (Anak • Direktur eksekutif KADIN Lebak
Mulyadi Jayabaya) 2003-2005
• Wakil Ketua Bidang Perdagangan
Koperasi dan Pembinaan UKM
KADIN Lebak 2006-2010
• Anggota DPR RI 2009-2014
• Bupati Lebak 2014-2024
• Anggota partai Demokrat dan
menjadi ketua DPC Partai
Demokrat Lebak sejak 2006-2017
• Ketua DPD Demokrat Banten
2017-sekarang
3. Mochamad Hasbi Asyidiki • Anggota DPR RI 2014-2019
Jayabaya (anak Mulyadi mewakili dapil Banten 1 (Lebak
Jayabaya) dan Pandeglang)
• Pengusaha sekaligus Direktur PT
Giri Jaya Putra (rekan pemda Lebak
dalam membangun infrastruktur)
• Anggota Partai PDIP
4. Diana Jayabaya (anak • Anggota DPRD Provinsi Banten
Mulyadi Jayabaya) 2014-2019
• Anggota partai PDIP
5. Vivi Sumantri Jayabaya • Anggota DPR RI 2014-2019, wakil
(Keponakan Mulyadi dapil Banten 1 (Lebak dan
Jayabaya) Pandeglang)
• Anggota Partai Demokrat
6. Sumantri Jayabaya (adik • Ketua Kadin Lebak periode 2016-
Mulyadi Jayabaya) 2021 (namun berakhir ditahun
2017, karena meninggal dunia)
• Ketua Gabungan Pelaksana
Kontruksi Nasional Indonesia
(Gapensi) Kabupaten Lebak 2010-
2015, 2016-2021)
• Anggota Partai Demokrat

89
No. Nama dan Hubungan
Jabatan
Keluarga
7. Emuy Mulyanah (adik • Anggota DPRD Lebak 2009-2014
Mulyadi Jayabaya) • Anggota DPRD Lebak (Ketua
Komisi III) 2014-2019
• Anggota Partai PDIP
8. Agus R Wisas (adik ipar • Anggota DPRD Banten 2009-2014
Mulyadi Jayabaya) • Wakil Ketua 1 KADIN Banten
periode 2015-2020
• Anggota Partai PDIP
9. Mohammad Azzari Jayabaya • Ketua Komite Tetap Riset dan
(anak Mulyadi Jayabaya) Pengembangan Ekonomi Kreatif
KADIN Banten periode 2015-2020
10. Muhammad Nabil Jayabaya • Ketua Gabungan Pengusaha
(anak Mulyadi Jayabya) Indonesia (Gapensi)
• Wakil Ketua Bidang Orgasisasi dan
Keanggotaan Partai PPP
Sumber: Skripsi Ratu Vidya Nur’aini

Dari tabel di atas jejaring Dinasti Mulyadi Jayabaya sangat kuat dengan

ditempatkannya anggota keluarganya di ranah eksekutif, legislatif dan organisasi

bisnis yang ada di Lebak. Selain itu, skema yang dibentuk dari dinasti politik Mulyadi

Jayabaya yang bernaung di beberapa partai yang berbeda, yakni PDI Perjuangan,

Demokrat, dan PPP. Penempatan anaknya di beberapa partai ini merupakan hal untuk

memperluas kekuasaan Dinasti Mulyadi Jayabaya. Selain itu, Mulyadi sebagai orang

kuat lokal akan dengan mudahnya menempatkan kroni-kroninya di jabatan strategis di

Kabupaten Lebak.

Dinasti dapat berjalan dengan kuat apabila memiliki “bahan bakar” yang kuat.

Bahan bakar ini mencakup dua dimensi penting, yaitu dimensi ekonomi dan dimensi

politik. Kedua dimensi ini saling berhubungan untuk menjalankan dinasti politik. Aset

90
material menjadi salah satu bahan bakar untuk menjalankan dinasti, aset material itu

dapat langgeng apabila ditopang oleh kekuasaan politik yang dimiliki. Aset material

yang dibangun oleh Dinasti Mulyadi Jayabaya di antaranya yakni, JB Group

mempunyai banyak anak perusahaan, yaitu PT Cipadang Jayabaya Putra Utama

(contractor, mining, dan supplier), PT Mulya Gemilang Beton (concrete supplier), PT

Mulya Kuarsa Anugrah (sand mining dan supplier), PT Karya Putri Pratama

(transportation dan logistics), PT Jayabaya Batu Persada (andesite rock mining, dan

supplier), PT Giri Jaya Putra (contractor dan trading), dan CV Bintang Wifar

(andersite rock mining dan supplier).49

Dengan kekuasaan politik yang dimiliki oleh Mulyadi Jayabaya di Lebak,

perusahaan di bawah naungan JB Group, yakni PT Giri Jaya Putra yang direkturnya

Muhammad Hasbi Asyidiki putra dari Mulyadi Jayabaya. PT Giri Jaya Putra tercatat

sudah memenangi proyek pemerintah Lebak pada tahun 2012-2017. Total nilai proyek

tersebut sebesar 55,2 Miliar dengan rata-rata kontrak 2,6 Miliar. Salah satu proyek

yang dimenangi adalah proyek jalan Sajira-Kalawijo dan Jalan Lewidamar-Gajruk

tahun 2017 dengan nilai kontrak 15,04 Miliar, sumber pendanaan proyek tersebut dari

APBD Lebak (SKPD Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang).50

49
Rekam Jejak, “Mochamad Hasbi Assyidiki Jayabaya”, artikel ini diakses dari
https://www.rekamjejak.net/, pada 5 Oktober 2019.
50
Rekam Jejak, “Mochamad Hasbi Assyidiki Jayabaya”, artikel ini diakses dari
https://www.rekamjejak.net/, pada 5 Oktober 2019.

91
Hubungan Mulyadi Jayabaya dengan multi-stakeholder yang ada di Lebak

sudah terjalin sejak dirinya menjadi bupati. Hubungan baik yang terjalin antara

Mulyadi Jayabaya dan para jawara di Lebak bisa terlihat pada Pilkada Lebak 2008.

Pada saat itu, peran jawara sangat menentukan kemenangan Mulyadi Jayabaya dan

Amir Hamzah di Pilkada 2008. Jawara pada saat itu berperan sebagai tim sukses.

Jawara memiliki pengaruh sangat besar dalam masyarakat Lebak karena memiliki

kedudukan yang berpengaruh terutama dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik.

Dengan hubungan inilah pasangan Mulyadi Jayabaya dan Amir Hamzah bisa dengan

mudahnya memenangkan Pilkada.51

Selain hubungan harmonisnya dengan jawara, Mulyadi Jayabaya juga

memiliki hubungan baik dengan para elit partai yang ada di Lebak. Mulyadi sering

memanggil para elit partai politik yang ada di Lebak ke kediamannya untuk menjalin

komunikasi politik. Selain itu, Mulyadi juga sering memberikan perhatiannya terhadap

partai yang ada di Lebak dengan memberikan proyek-proyek yang bisa diambil oleh

anggota partai. Hubungan ini menjadi bekal Mulyadi Jayabaya untuk melancarkan

strategi politiknya.52

Mulyadi tidak hanya menjalin hubungan baik dengan para elit dan jawara saja,

tapi ia juga memberikan perhatian kepada masyarakat. Perhatian ini bisa dilihat

51
Rifqi Zabadi Asshegaf, “Demokrasi Otonomi Daerah dan Perilaku Politik Jawara (Studi
Tentang Peran Jawara Dalam Pemenangan Mulyadi Jayabaya dan Amir Hamzah), (Skripsi Jurusan Ilmu
Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Ciputat, 2013).
52
Wawancara dengan H. Akhmad Jajuli Bakal Calon Bupati di Pilkada Lebak 2018, 22 Januari
2020.

92
dengan pemberian hewan kurban di setiap Idul Adha. Keluarga Mulyadi bisa

memberikan hewan kurban di seluruh kecamatan yang ada di Lebak. Pada tahun 2019,

keluarga Mulyadi memberikan memberikan 400 hewan kurban untuk dibagikan di

seluruh kecamatan yang ada di Lebak. 53 Dengan memberikan hewan kurban ini

merupakan bentuk perhatiannya terhadap masyarakat.

Dalam teori patron klien, seperti yang dijelaskan oleh James C. Scott (1983:

92),54 patron klien merupakan hubungan timbal balik di antara dua peran yang dapat

diartikan sebagai sebuah kasus khusus yang melibatkan pertemanan secara luas. Di

mana individu yang satu memiliki status sosial ekonomi yang tinggi (patron) yang

menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan

perlindungan atau keuntungan-keuntungan kepada individu yang lain yang memiliki

status yang lebih rendah (klien), sedangkan klien mempunyai kewajiban membalas

dengan memberikan dukungan dan bantuan secara umum, termasuk pelayanan-

pelayanan pribadi kepada patron.

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa hubungan baik yang dilakukan oleh

Mulyadi Jayabaya dengan jawara, para elit partai dan masyarat ini merupakan bentuk

patron klien. Hubungan patron klien yang dilakukan Mulyadi untuk melancarkan

strategi politik dan menguatkan dinastinya di Lebak.

53
Banten Day, “Idul Adha Keluarga Besar JB Salurkan 400 Hewan Kurban, Amal Jayabaya:
Ini Sebagai Bentuk Syukur”, artikel ini diakses dari https://bantenday.co.id/, pada tanggal 3 Februari
2018 pukul. 12.31.
54
Saepudin dan Joni Firmansyah, “Jawara dan Pemilu: Peran Jawara Sebagai Identitas Politik
di dalam Pemilihan Kepala Daerah Banten” (Jurnal Bawaslu RI, Vol. 3 No.2, 2017), hlm. 231.

93
Menurut Kitschelt dan Wilkinson (2007), dinasti politik dapat mempromosikan

hubungan patron klien di mana seorang petahana mengantarkan barang publik hanya

ketika pemilihan yang dijadwalkan akan tiba. Keluarga dinasti akan menggunakan

sumber daya yang dialokasikan untuk ekonomi dan infrastruktur untuk membeli suara

(barang pribadi) untuk menumpuk kekayaan. Hubungan ini antara dinasti (patron) dan

pemilih (klien) ditingkatkan melalui pertukaran resiprokal, pemantauan dan dapat

diprediksi. Keluarga politik akan mengembangkan hubungan dengan klien yang setia

dalam siklus pemilu. Klien akan menerima barang yang dipolitisasi yang mencakup

pekerjaan yang ditargetkan dan barang subsidi seperti uang, tanah, perumahan umum,

pendidikan, dan tunjangan asuransi sosial. Jadi, ada kebutuhan bagi pelanggan untuk

masuk, menempatkan prosedur yang secara konstan memonitor kesetiaan pemilih di

setiap siklus pemilihan. Begitu selama mekanisme pertukaran dan pemantauan ini

berlangsung, keluarga dapat mengandalkan aliran suara yang dapat diprediksi. 55

Dengan hubungan patron klien yang dibangun oleh Mulyadi Jayabaya dengan

jawara, para elit partai dan masyarakat merupakan bentuk untuk menghantarkan

anaknya sebagai seorang petahana dengan mudahnya maju di Pilkada Lebak. Modal

finansial serta sosial yang dimiliki oleh keluarga Mulyadi menghantarkan Iti Octaviani

Jayabaya maju di Pilkada Lebak tanpa lawan.

55
Rollin F. Tusalem dan Jeffrey J. Pe-Agguirre, “The Effect of Political Dynasties on Effective
Democratic Governance: Evidence From the Philippines”, (jurnal Asian Politic dan Policy, Vol. 5 No.
3, 2013), hlm. 8.

94
E. Indikator Penyebab Munculnya Calon Tunggal di Pilkada Lebak

Fenomena calon tunggal muncul di Pilkada Lebak 2018 merupakan Pilkada

pertama kali tanpa lawan yang terjadi di Kabupaten Lebak. Kemunculan calon tunggal

ini menghantarkan pasangan petahana Iti Octaviani Jayabaya dan Ade Sumardi pada

kemenangan. Pasangan ini hampir unggul di semua kecamatan yang ada di Kabupaten

Lebak. Akan tetapi, kemenangan ini tidak dapat dilepaskan dari peran dari Mulyadi

Jayabaya yang merupakan pemegang kuasa di Lebak.

Kemunculan calon tunggal di Pilkada Lebak merupakan hasil dari kuatnya

Dinasti Mulyadi Jayabaya, seperti yang telah dipaparkan di atas kekuatan yang

dimiliki oleh sang orang kuat Lebak ini menyebabkan tidak adanya lawan dalam

Pilkada. Kuatnya Dinasti Mulyadi Jayabaya juga menyebabkan lemahnya

pengkaderan partai politik di Lebak karena Mulyadi dapat memainkan perannya

dengan menempatkan keluarganya di partai yang berbeda dengannya. Sehingga, partai

politik yang ada di Lebak sekalipun kaderisasinya berjalan tetapi tidak maksimal

terbukti dengan tidak bisanya partai politik dalam memunculkan kader terbaik

partainya untuk melawan sang petahana di Pilkada Lebak 2018.

Selain itu, kegagalan bakal calon alternatif yang mendaftarkan diri ke KPU

seakan telah dipersiapkan untuk gagal dalam administrasi sehingga kegagalan ini

menjadikan Pilkada Lebak seperti sudah dikondisikan agar muncul calon tunggal.

Dengan hal ini penulis akan memaparkan tabel berisi kejadian-kejadian sebagai

indikator penyebab munculnya calon tunggal pada Pilkada Lebak 2018.

95
Tabel IV.E.4. Tabel Indikator Penyebab Munculnya Calon Tunggal

Penyebab
Lima Kerangka Munculnya Calon
Indikator Tunggal
Konseptual
Ya Tidak
• Koalisi besar “koalisi kita” √
Teori partai
politik • Tidak adanya kader potensial
×
• Kegagalan bakal calon
alternatif √

Teori elit
• Kesepakatan para elit partai
di Lebak dengan petahana √

• Kuatnya Dinasti Mulyadi


Jayabaya √

Dinasti politik • Penempatan anggota keluarga



Jayabaya di beberapa partai
• Dominasi ekonomi trah

Jayabaya
• Pengaruh Mulyadi Jayabaya
Orang kuat lokal √
sebagai orang kuat lokal
• Hubungan dengan jawara

• Hubungan baik dengan para


elit partai di Lebak dengan √
Patron Klien Mulyadi Jayabaya

• Hubungan baik keluarga


Mulyadi Jayabaya dengan √
masyarakat

96
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bab ini merupakan hasil akhir dan kesimpulan penelitian fenomena calon

tunggal dan orang kuat lokal pada Pilkada Kabupaten Lebak tahun 2018. Penelitian

ini melihat faktor penyebab munculnya calon tunggal di Pilkada Kabupaten Lebak,

dalam penelitian ini faktor penyebabnya tidak hanya dilihat dari segi partai politik saja.

Namun, faktor penyebabnya dilihat dari segi keunikan yang dimiliki Lebak, yakni

dinasti yang dipegang oleh keluarga Mulyadi Jayabaya yang merupakan ayah dari Iti

Octaviani Jayabaya. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan menjadi

beberapa poin yakni:

Pertama, kemunculan calon tunggal di Pilkada Lebak karena kegagalan partai

politik yang ada di Lebak dalam proses kaderisasi di partai politik, sehingga

menyebabkan tidak munculnya kader potensial yang dapat dicalonkan di Pilkada.

Tetapi, partai politik di Lebak tidak mengakui akan hal ini. Partai politik lebih memilih

berkoalisi daripada berkompetisi karena tidak mau mengambil resiko kalah dalam

bertarung di Pilkada Lebak 2018. Selain itu, anggaran Pilkada yang terlalu besar juga

menjadi alasan yang kuat untuk tidak memunculkan kader untuk disiapkan di Pilkada.

Pembentukan koalisi gemuk ini melahirkan calon tunggal yang tidak dapat terlepas

dari kesepakatan politik yang terjadi antara partai politik dan orang kuat lokal. Dengan

adanya kontrak politik berupa pembelian kursi di DPRD Lebak dengan imbalan

97
bergabung dengan koalisi yang ada partai politik di Lebak ini mengindikasikan partai

politik membutuhkan amunisi dan logistik untuk kebutuhan pilpres dan pileg 2019.

Kedua, kemunculan calon tunggal tidak dapat dilepaskan dari peran orang kuat

lokal yakni Mulyadi Jayabaya yang telah berhasil mengonsolidasikan para elit partai

di tingkat lokal maupun nasional untuk mendukung pasangan Iti dan Ade. Selain itu,

Mulyadi juga telah berhasil menggagalkan para bakal calon bupati dan wakil bupati

Lebak yang akan mencalonkan diri dengan cara mencari kelemahan lawan. Kegagalan

para bakal calon tersebut ada indikasi campur tangan Mulyadi dalam memainkan

perannya di KPUD Lebak. Mulyadi Jayabaya pun ikut turun tangan dalam

memenangkan sang anak dengan cara menjalin komunikasi politik dengan para

jawara, tokoh ulama, tokoh adat, dan tokoh intelektual agar sama-sama bisa

memenangkan pasangan Iti-Ade. Kemunculan orang kuat lokal yang menjadikan

lemahnya pengkaderan partai politik yang ada di Lebak karena terlalu kuatnya Dinasti

Mulyadi yang ada di Kabupaten Lebak.

Ketiga, Di samping urusan formal partai politik faktor penyebab munculnya

calon tunggal itu adanya politik informal, yakni dinasti yang ada di Kabupaten Lebak.

Dinasti yang telah dibangun oleh Mulyadi Jayabaya ini yang mendominasi urusan

politik formalitas partai politik terbukti dengan ditempatkan anggota keluarganya di

beberapa partai politik untuk menjalankan urusan politik dalam menguasai Lebak.

Akibatnya partai politik yang ada di Lebak dengan mudahnya bisa bergabung dengan

koalisi gemuk tadi ini tidak terlepas dari intervensi Mulyadi Jayabaya yang memiliki

kedekatan dengan para elite partai politik yang ada di Lebak.

98
B. Saran

Demi keberlanjutan dan kebermanfaatan penelitian selanjutnya, peneliti

memberikan saran sebagai berikut:

B.1. Saran Akademis

1. Untuk akademisi maupun peneliti calon tunggal dan orang kuat lokal, agar

dapat melakukan komparasi penelitian ini dengan daerah lain yang muncul

calon tunggal pada Pilkada serentak. Agar menjadikan adanya variasi

dengan daerah lain.

2. Kepada pengkaji calon tunggal pada Pilkada serentak, agar melakukan riset

lebih mendalam apakah fenomena calon tunggal merupakan terjadi karena

akibat Pilkada serentak atau karena fenomena yang unik pada daerah

tersebut.

B.2. Saran Praktis

1. Untuk Kabupaten Lebak, kemunculan calon tunggal di Pilkada 2018 agar

tidak terjadi lagi di Pilkada selanjutnya. Figur yang layak untuk dicalonkan

ke depannya harus lebih berani dalam melawan kuatnya dinasti yang ada di

Lebak.

99
DAFTAR PUSTAKA

Buku

AS, Kausar. Sistem Birokrasi Pemerintahan di Daerah dalam Bayang-Bayang Budaya


Patron-Klien. Bandung: Alumni, 2009.

Bawaslu RI. Fenomena Calon Tunggal Studi Kasus pada Pilkada 2018 di 16
Kabupaten/ Kota. Jakarta: Bawaslu, 2018.

BPS Kabupaten Lebak. Kabupaten Lebak dalam Angka. Lebak: Cv. Karya Amanah
Art, 2018.

Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,


2008.

Darmawan, Ikhsan. Mengenal ilmu Politik. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2015.

Haryanto. Elite, Massa, dam Kekuasaan: Suatu Bahasa Pengantar. Yogyakarta:


PolGov, 2017.

Heryanto, Gun Gun. Literasi Politik; Dinamika Konsolidasi Demokrasi Indonesia


Pascareformasi. Yogyakarta: Ircisod, 2019.

Labolo, Muhadam, dan Tegus Ilham. Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di
Indonesia (Teori, Praktik dan Isu Strategi). Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2015.

Subakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo, 2015.

Yusuf, A Muri. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan.


Jakarta: Pramedia Group, 2014.

Jurnal

Agustin, Leo. “Dinasti Politik Pasca-Otonomi Daerah Orde Baru: Pengalaman


Banten.” Prisma (Vol. 29 No.3, Juli 2010): 102-116.

Ardipandanto, Aryojati. “Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak 2015.” Jurnal


Pemerintahan dalam Negeri (Vol. VII Nomor 15, 2015): 17-20.

Dhesinta, Wafia Silvia. “Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Konsep Demokrasi (Analisis Terhadap Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten
Blitar Tahun 2015).” Jurnal Cita Hukum (Vol. 4 No. 1 2016): 87-102.

100
Djati, Wasisto Raharjo. “Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti
Politik di Aras Lokal.” Jurnal Sosiologi Masyarakat (Vol. 18 No. 2, 2013): 203-
231.

Marwah, Sofa, dan Wahyu Handoko. “Perempuan dan Pilkada Langsung.” Jurnal
Studi Gender dan Anak (Vol. 3, No.1 Tahun 2008): 1-8.

Prakoso, Danny Widodo Uji. “Analisis Rekrutmen dan Kaderisasi Partai Politik Pada
Fenomena Calon Tunggal Petahana Studi Kasus: Pilkada Kabupaten Pati 2017.”
Jurnal Politik dan Pemerintahan (Vol.2 No.1 2017): 1-19.

Querubin, Pablo. “Political Reform and Elite Persistence: Term Limits and Political
Dynasties in the Philippines.” Harvard Academy for International and Area
Studies, (2011): 1-32.

Romli, Lili. “Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal.”
Jurnal Penelitian Politik (Volume 15 No. 2 Desember 2018): 143-160.

Saepudin, dan Joni Firmansyah. “Jawara dan Pemilu: Peran Jawara Sebagai Identitas
Politik di dalam Pemilihan Kepala Daerah Banten.” Jurnal Bawaslu RI (Vol. 3
No.2, 2017): 227-239.

Suaib, Eka, dan La Husen Zuada. “Fenomena ‘Bosisme Lokal’ di Era Desentralisasi:
Studi Hegemoni Politik Nur Alam di Sulawesi Tenggara.” Jurnal Penelitian
Politik (Vol 12 No. 2, 2015): 51-69.

Tusalem, Rollin F, dan Jeffrey J. Pe-Agguirre. “The Effect of Political Dynasties on


Effective Democratic Governance: Evidence From the Philippines.” Jurnal
Asian Politic dan Policy (Vol. 5 No. 3, 2013): 259-389

Skripsi dan Tesis

Asshegaf, Rifqi Zabadi. “Demokrasi Otonomi Daerah dan Perilaku Politik Jawara
(Studi Tentang Peran Jawara dalam Pemenangan H. Mulyadi Jayabaya dan H.
Amir Hamzah pada Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2018).” Skripsi Program
Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarifhidayatullah
Jakarta, Ciputat, 2013.

Hutabarat, Melvin Perjuangan. “Fenomena Orang Kuat Lokal di Indonesia Era


Desesntralisasi Studi Kasus Tantang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin di
Jambi.” Tesis Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia, Jakarta, 2012.

101
Vidya Nur’aini, Ratu. “Lahirnya Dinasti Politik Studi Kasus: Terbentuknya Dinasti
Politik Mulyadi Jayabaya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Periode 2003-
2017).” Skripsi Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2018.

Dokumen Elektronik

Antara News, PDI Perjuangan Raih 10 Kursi DPRD Lebak, artikel ini diakses
http://antaranews.com/ pada 4 Agustus 2019 pukul. 12.30.

Banten Day, “Memiliki Kekayaan Rp. 66 Miliar, ini Rahasia Sukses JB”, artikel ini
diakses dari dari https://bantenday.co.id pada 29 November 2019 pukul. 19.44.

Berita Satu, “14 November, Pemungutan Suara Ulang Pilkada Lebak”, artikel ini
diakses dari https://www.beritasatu.com/ pada 19 Agustus 2019 pukul. 20.00.

Berita Satu, “Pasangan Amir-Kasmin Gugat Hasil Pilkada Lebak ke MK”, artikel ini
diakses dari https://www.beritasatu.com/ pada tanggal 7 Januari 2020 pukul
20.12.

Channel Banten, Ini Nama-nama Bupati Lebak dari Pertama Hingga Sekarang, artikel
ini diakses dari https://www.chanelbanten.com/ pada tanggal 4 Agustus 2019
pukul. 11.30.

Data dari KPU, diakses dari https://infopemilu.kpu.go.id pada tanggal 20 Januari 2020
pukul. 19.15.

Detik, “Dulu Pilkada, Lalu Pemilukada, kini Pilgub”, artikel ini diakses dari
https://news.detik.com/ pada 19 Agustus 2019 pukul. 16.03.

Dokumen Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia dalam


http://otda.kemendagri.go.id/ diakses pada 28 Oktober 2018 pukul. 23.12.

Hukum Online, “MK Kukuhkan Pemenang Pemiluka Lebak”,artikel ini diakses


https://www.hukumonline.com/ pada 19 Agustus 2019 pukul 21.30.

IndoPos, “Lagi, Pasangan Cecep Sumarno dan Didin Syafrudin Ditolak KPU Lebak”,
artikel ini diakses pada 12 Oktober 2019,
https://indopos.co.id/read/2018/01/10/123275/lagi-paslon-cecep-sumarno-dan-
didin-syafrudin-ditolak-kpu-lebak/

Kabar Banten, “Pilkada Lebak 2018: Cecep dan Didin Kurang 122.2674 Dukungan”,
artikel ini diakses dari dari www.kabar-banten.com pada tanggal 28 Oktober
2018 pukul. 22.30.

102
Kabar Banten, “Pilkada Lebak 2018: Cecep-Didin Kurang 122.674 Dukungan”, artikel
ini diakses dari https://www.kabar-banten.com pada 7 Januari 2020 pukul. 21.30.

Kabupaten Lebak, “Profil Bupati dan Wakil Bupati”, artikel diakses dari
https://lebakkab.go.id/profil-bupati-wakil-bupati/ pada tanggal 3 Agustus 2019
pukul. 21.16.

Kabupaten Lebak, “Profil Kabupaten Lebak”, artikel diakses dari


https://lebakkab.go.id/profil-kabupaten-lebak/ pada tanggal 3 Agustus 2019
pukul 14.40.

Kompas, “Miing dan Suami Atut Lolos ke Senayan”, artikel ini diakses dari
https://travel.kompas.com/ pada tanggal 6 Januari 2020 pukul 20.20.

Kompas, “Suap Akil Mochtar, Mantan Kandidat Pilkada Lebak Dituntut Lima dan
Empat Tahun Penjara”, artikel ini diakses dari https://nasional.kompas.com/ pada
7 Januari 2020 pukul 21.09.

Kompas, “Syarat Berat, Banyak Calon Kepala Daerah Dari Jalur Perseorangan Gugur”,
artikel ini diakses dari https://nasional.kompas.com. pada 29 November 2019
pukul. 19.22.

Kompas, “Syarat Calon Perseorangan Terlalu Berat, UU Pilkada Seharusnya Direvisi”,


artikel ini diakses dari dari https://nasional.kompas.com pada 29 November 2019
pukul. 23.21.

Kompasiana, ”Dilema Pemilihan Umum Kepala Daerah Sebagai Instrumen Penguatan


Desentralisasi dan Otonomi Daerah”, artikel ini diakses
https://www.kompasiana.com pada 14 Maret 2020, pukul. 14.48.

KPU Kabupaten Lebak, “KPU Lebak Gelar Rapat Pleno Secara Terbuka”, artikel ini
diakses dari https://kpu-lebakkab.go.id. pada 28 Oktober 2018 pukul. 23.45

Kumparan, “Pilkada dan Demokrasi ala Dinasti”, artikel ini diakses


https://kumparan.com/ pada 14 Maret 2020, pukul 14.53.

Menurut KBBI, kasepuhan merupakan golongan yang terdiri atas orang-orang lanjut
usia yang sangat dihormati oleh warga desa yang berfungsi sebagai penasihat
kepala desa, diakses dari https://kbbi.kata.web.id pada tanggal 6 Januari 2020
pukul. 12.00.

Rekam Jejak, “Mochamad Hasbi Assyidiki Jayabaya”, artikel ini diakses dari
https://www.rekamjejak.net/, pada 5 Oktober 2019.

103
Republika, “KPU: Banyak Calon Independen Gugur di Pilkada 2018”, artikel ini
diakses dari dari www.republika.co.id pada 29 November 2019 pukul. 23.09.

Tempo, “Polwil Banten Periksa Pembuat Ijazah Palsu Bupati”, artikel ini diakses dari
https://nasional.tempo.co/ pada tanggal 7 Januari pukul. 15.56.

Tempo, “Tiga Pasangan Calon Berebut Kursi Bupati Lebak”, artikel ini diakses dari
https://nasional.tempo.co/ pada 19 Agustus 2019 pukul 19.30.

The Indonesian Institute, Kajian Kebijakan Pilkada 2018, (Jakarta: The Indonesian
Institute, Center for Public Policy Research (TII), 2018), hal. 7, diakses pada
tanggal 6 Oktober 2019, https://www.theindonesianinstitute.com/wp-
content/uploads/2018/07/Kajian-Kebijakan-Pilkada-2018.pdf

Wawancara

Wawancara dengan Agus Sumantri (Ketua DPD PAN Lebak) di Kantor DPD PAN
Lebak pada 1 Agustus 2019.

Wawancara dengan Ahmad Yani (Sekretaris DPC PKB Lebak) di Kantor DPC PKB
Lebak pada 9 Juli 2019.

Wawancara dengan Dani Setiawan (Sekretaris DPC Demokrat Lebak) di Kantor DPC
Demokrat Lebak pada 9 Agustus 2019.

Wawancara dengan Dedi Jubaedi (Ketua DPC Nasdem Lebak) di Kantor DPC Nasdem
Lebak pada 24 Juni 2019.

Wawancara dengan H. Akhmad Jajuli (Bakal Calon Alternatif Bupati di Pilkada Lebak
2018) di Kantor DPD Hanura Banten 22 Januari 2020.

Wawancara dengan H. Maman (Ketua DPC PPP Lebak) di Kantor DPC PPP Lebak
pada 17 Juli 2019.

Wawancara dengan H. Oong Syahroni (Ketua DPC Partai Gerindra Kabupaten Lebak)
di Kantor DPC Gerindra Lebak pada 24 Juni 2019.

Wawancara dengan H. Yogi (Sekretaris DPC Golkar Kabupaten Lebak di Kantor DPC
Golkar Lebak pada 17 Juli 2019.

Wawancara dengan Junaedi Ibnu Jarta (Ketua DPC PDI Perjuangan Lebak) di Kantor
DPRD Lebak pada 17 September 2019.

104
Wawancara dengan Kyai H. Didin Bahrudin (Ketua DPC Hanura Lebak) di Kantor
DPC Hanura Lebak pada 17 Juli 2019.

Wawancara dengan Lily Sugianto (Sekretaris DPD PKS Lebak) di Kantor DPD PKS
Lebak pada 24 Juni 2019.

Undang-undang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah, diakses dari www.dpr.go.id pada 7 Januari 2020 pukul. 19.32.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang “Peruban Kedua


atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang”, diakses pada tanggal
9 September 2019,
https://mkri.id/public/content/jdih/UU_Nomor_10_Tahun_2016.pdf.

105

Anda mungkin juga menyukai