Anda di halaman 1dari 2

Siapa sih disini yang belum pernah mendengar tentang film Laskar Pelangi?.

Tak terasa ternyata sudah


12 tahun lamanya sejak film ini ditayangkan. Film yang dulunya pernah menggencarkan Indonesia
karena kekayaannya ini merupakan suatu film yang diadaptasi dari novel best seller yang ditulis oleh
Andrea Hirata. Film Laskar Pelangi ini bisa dibilang telah sukses besar dengan rekor perolehan penonton
yang mencapai 4.6 juta di bioskop dan feedback yang positif dari penontonnya. Mengejutkannya lagi,
ternyata novel ini merupakan novel otobiografi dari Andrea Hirata sendiri. Jadi, cerita yang tertulis di
novel merupakan kisah nyata dari masa lalu penulis sendiri, menarik bukan?.

Beberapa dari kalian mungkin hanya tahu cerita Laskar Pelangi ini dari sekedar menonton atau
membaca saja. Namun tahukah kalian bahwa ada beberapa kisah yang diceritakan berbeda antara di
buku dan di filmnya?. Sebelum kita masuk ke perbedaannya, kita bahas terlebih dahulu yuk sedikit cerita
tentang Laskar Pelangi ini!.

Film Laskar Pelangi ini bercerita mengenai kehidupan anak-anak di desa Gantong, Pulau Belitung pada
masa sekolahnya. Diawali dengan pembukaan sekolah di SD Muhammadiyah Gantong yang hanya
dihadiri 9 orang, Bapak Harfan selaku kepala sekolah sempat ingin menyerah dan menutup sekolah.
Namun Bu Muslimah sebagai salah satu pengajar di SD tersebut tidak patah semangat, iapun berinisiatif
untuk mencari 1 lagi murid yang mendaftar. Hingga pada akhirnya, SD Muhammadiyah Gantong
kedatangan 2 siswa baru bernama Harun dan Lintang, yaitu siswa dengan keterbatasan ekonomi namun
kepintaran yang luar biasa.

Dari sana, kisah mereka dimulai. Laskar Pelangi itu sendiri merupakan sebuah sebutan untuk 11 siswa di
sekolah tersebut karena dengan segala bakat yang berbeda-beda dan kekurangan yang mereka punya,
mereka tetap satu untuk melengkapi sesamanya. Bu Muslimah yang sudah mendedikasikan dirinya
sebagai seorang guru dengan ikhlas it uterus menanamkan ajaran-ajaran penting dalam kehidupan.
Salah satu pembelajaran yang perlu diingat seperti, kita harus bisa memberi sebanyak-banyaknya, bukan
menerima sebanyak-banyaknya. Prestasi-prestasi anak-anak lascar pelangi tidak hanya berhenti sampai
disitu saja, hingga merekapun yang dulu sempat dipandang sebelah mata oleh masyarakat akhirnya bisa
di notice dan dikagumi. Hal ini membuktikan bahwa adanya keterbatasan tidak dapat menghentikan kita
untuk berprestasi dan berkembang. Hari demi hari dilalui hingga tiba saatnya dimana ayah Lintang
meninggal dan Lintang sebagai salah satu anak tercedas di sekolahnya harus meninggalkan sekolah
untuk bekerja dan menghidupi keluarga serta adik-adiknya.
Cerita diatas mungkin sudah cukup menarik garis besar dari keseluruhan film maupun novel. Namun,
ada beberapa perbedaan yang terjadi, ada beberapa scene yang gagal disampaikan di film Laskar Pelangi
ini sendiri. Salah satunya pada scene karnival, lomba cerdas cermat, tari-tarian yang disuguhkan SD
Muhammadiyah, hingga perjalanan kelompok Mahar dan Flo ke Pulau Lanun mengalami beberapa
kritikan. Bagaimana tidak? Pada bukunya tertulis jelas mengenai beberapa kejadian penting yang terjadi
dan sebagaimana detil penulisan novel yang dituliskan Andrea Hirata hingga bisa menarik perhatian para
pembacanya. Namun pada filmnya, mereka tidak bisa menggambarkan apa yang terjadi di novel secara
baik, hingga harus mengurangi daya tarik pada film itu sendiri. Shinta Dewi, sebagai salah satu penonton
dan pembaca dari Laskar Pelangi itu sendiri menuliskan kritikannya terhadap film ini. Ia menuliskan pada
blognya bahwa memang mereka tidak dapat memaksimalkan penggambaran novelnya karena
keterbatasan biaya, namun ada beberapa scene yang tidak membutuhkan banyak biaya seperti tari-
tarian SD Muhammadiyah di Karnaval 17 Agustus itu.

Tidak sampai disitu, yang paling mengejutkannya lagi adalah ending dari film yang jelas berbeda dari
novel itu sendiri. Pada Novel, tertulis bahwa kehidupan Lintang di masa depan ternyata berakhir tragis
dan menimbulkan haru bagi para pembacanya. Lintang yang dituliskan pada novel digambarkan sebagai
seseorang yang kurus, ringkih, hidup membujang, miskin, dan bekerja sebagai sopir truk. Justru dari
novel tersebut, pembacanya justru dapat mengerti tentang nilai-nilai yang ditanamkan dari novel
tersebut. Ternyata di Indonesia ini banyak loh, anak-anak kecil berprestasi yang cita-citanya harus
dihentikan karena keterbatasan ekonomi. Tetapi justru di film, Lintang hanya digambarkan sebagai
seseorang yang baik-baik saja dan memakai kemeja putih lusuh dengan 1 anak. Yap, jelas berbeda,
karena pada filmnya Lintang masih memiliki harapan untuk hidup dan berkembang, tidak seperti di
novel yang sudah pasrah akan hidupnya.

Anda mungkin juga menyukai