Anda di halaman 1dari 22

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/346047668

Internasionalisasi UMKM di Indonesia

Preprint · November 2016


DOI: 10.13140/RG.2.2.21887.64163

CITATIONS READS

0 323

1 author:

M. Elfan Kaukab
Universitas Sains Al-Qur'an Wonosobo Indonesia
149 PUBLICATIONS   77 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Haters, Education, and the Response to Hate Speech: A Philosophical Inquiry View project

Coercive Bargaining and Communication Acts of Local Government in Foreign Direct Investment View project

All content following this page was uploaded by M. Elfan Kaukab on 21 November 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


INTERNASIONALISASI UMKM DI INDONESIA
Literature Review and Pengembangan Konsep

M. Elfan Kaukab
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sains Al-Qur’an, Wonosobo, Indonesia
elfa@unsiq.ac.id

A. TINJAUAN TEORI
1. Konteks Internasionalisasi dalam UMKM
Internasionalisasi memiliki karakter yang berbeda dilihat dari model, dimensi,
perspektif, dan tingkatannya, sehingga sulit menemukan definisi yang bersifat
universal.Proses yang sedang berlangsung saat ini seperti globalisasi, regionalisasi,
universalisasi, internasionalisasi, transnasionalisasi, atau integrasi akan dijadikan
pertimbangan sebagai salah satu sudut pandang dalam membuat definisi yang akan
memberikan makna berbeda dalam dalam bidang yang berbeda seperti definisi di
bidang ekonomi, manajemen, atau ilmu politik. Beberapa peneliti membuat definisi
pada beberapa tingkatan yaitu makro (ekonomi), meso (industri), dan mikro
(perusahaan) (Ritzer, 2007). Batas tersebut sangat penting untuk mengadopsi definisi
yang tepat sesuai dengan daerah penelitian misalnya dalam kaitannya dengan
perekonomian untuk ilmu makro ekonomi atau hubungannya dengan perusahaan untuk
ilmu manajemen dan ilmu ekonomi mikro.
Internasionalisasi
Para pakar pemasaran mendefinisikan internasionalisasi sebagai proses sequential
(bertahap) dan orderly (beraturan) dari keterlibatan perusahaan pada bisnis internasional
dan perubahan-perubahan yang terjadi pada bentuk organisasi akibat proses tersebut
(Andersen, 2007). Caloaf & Beamish (1995) mendefinisikan internasionalisasi sebagai
proses dimana perusahaan melakukan adaptasi terhadap operasi (strategi, struktur,
sumberdaya) pada lingkungan internasional. Beamish, et al. (1997) menyambung
definisi internasionalisasi sebagai proses dimana perusahaan meningkatkan
awarenessnya pada pengaruh aktivitas internasional di masa depan danmeningkatkan
serta melakukan transaksi dengan perusahaan-perusahaan di negara lain.
Definisi lain dari internasionalisasi disampaikan oleh Zweig (2002) sebagai aliran
barang, jasa, dan orang-orang melalui lintas batas negara sehingga meningkatkan
pangsa pasar transnasional dibandingkan dengan perusahaan dalam negeri yang diikuti
dengan menurunnya tingkat regulasi antar negara dalamproses aliran tersebut.
Sedangkan The Group of Lisbon (1995) menggabungkan antara internasionalisasi
dalam ekonomi dan social dimana internasionalisasi didefinisikan sebagai aliran bahan
baku, bahan setengah jadi, produk jadi, jasa, uang, ide, dan orang-orang diantara dua
atau lebih negara.
Smallbone (dalam Nelly & Krzysztof, 2012) menggarisbawahi bahwa
internasionalisasi terdiri dari beberapa proses termasuk iternasionalisasi pasar, produksi,
modal, tenaga kerja, dan regulasi. Welchdan Luostarinen (1988) endifinisikan

1
internasionalisasi sebagai keterlibatan suatu negara dalam operasional internasional baik
pada tingkat nasional maupun perusahaan.
Dari definisi-definisi di atas, dapat membuat konklusi mengenai definisi
internasional secara umum yaitu sebagai proses dimana perusahaan secara bertahap
meningkatkan awareness terhadap pasar asing dan melibatkan diri di dalam kegiatan
bisnis dengan Negara lain danmemperhitungkan aspek strategi, struktur, dan
sumberdaya perusahaan untuk mencapai sasaran organisasi. Definisi ini cenderung
menjelaskan pola tertentu yaitu pola perusahaan dalam melakukan bisnis internasional,
tetapi definisi ini dimaksud sebagai platform untuk menjelaskan prinsip dasar tentang
keterlibatan perusahaan pada pasar internasional dengan memandang bahwa
keterlibatan tersebut tidak terjadi serta merta (over night), namun membutuhkan suatu
proses pemikiran, tindakan, dan tindak lanjut.
Definisi dan konsep internasionalisasi di atas harus dibedakan dengan makna
multinasionalisasi atau transnasionalisasi yaitu ditandai dengan perbedaan mendasara
pda relokasi/aliran sumber daya terutama modal dan tenaga kerja (The Group of Lisbon,
1995). Dalam konteks ini multinasionalisasi merupakan istilah sempit dari
internasionalisasi dimana aktifitas yang dilakukan sebagian besar oleh perusahaan
dalam hal akuisisi atau kerjasama antar perusahaan, sementara internasionalisasi
meliputi seluruh aktifitas internasional. Multinasional juga dianggap sebagi
multiteritorialisasi trutama dalam sudut pandang sosiologis (Nelly & Krzysztof, 2012).
Globalisasi
Konsep globalisasi jauh lebih muda dibandingkan dengan konsep
internasionalisasi. Konsep globalisasi baru populer di awal taun 1990-an. Pada tingkat
makro ekonomi, globalisasi diperlukan sebagai konsep yang dapat meningkatkan
hubungan glabal dalam bidang ekonomi karena meningkatnya transaksi barang, jasa,
dan arus keuangan internasional serta transfer teknologi sebagai imbas lain. Istilah
globalisasi pada kalangan sekolah bisnis didefinisikan sebagai produksi dan distribusi
produk dan jasa yang memiliki keseragaman tipe dan kualitas di seluruh dunia
(Rugman, 2001).
Globalisasi dilihat sebagai proses memiliki beberapa model dan dapat terjadi
dalam beberapa cara. Ruigrok dan Van Tulder (1995) membedakan tujuh dimensi dasar
dari globalisasi ekonomi dunia dunia pada table dibawah dimana dimensi tersebut
merupakan kerangka kerja untuk kegiatan perusahaan terutama dalam proses
internasionalisasi.
Tujuh Proses Globalisasi
No. Kategori Proses dan Elemen Utama
1 Globalisasi Keuangan Deregulasi pasar keuangan, arus modal
dan Kepemilikan Modal internasional, meningkatnya merger dan akuisisi.
Globalisasi pemegangan saham terjadi pada tahap
ini.
2 Globalisasi Pasar dan Integrasi dari kegiatan bisnis dalam skala dunia,
Strategi berdiri dan terintegrasinya operasi di luar negeri

2
No. Kategori Proses dan Elemen Utama
(termasuk R&D dan keuangan), pencarian
komponen, dan aliansi strategic.
3 Globalisasi Teknologi Teknologi merupakan hal yang inti dimana
yang terhubung dengan tumbuhnya teknologi informasi dan
R&D dan Pengetahuan telekomunikasi akan menjadi pemicu dari
tumbuhnya jaringan global baik perusahaan yang
sejenis maupun berbeda.
4 Globalisasi Pola Terjadinya transfer dan transplantasi dari gaya
Konsumsi dan Gaya hidup yang dominan selama ini. Kesetaraan pola
Hidup, Globalisasi konsumsi. Peran media. Transformasi budaya
Budaya dalam hal budaya makanan/produk. Penerapan
aturan GATT merubah budaya.
5 Globalisasi Kemampuan Menurunnya peran parlemen dan pemerintah
Regulator dan nasional,. Kecenderungan mendesain generasi dan
pemerintahan institusi baru untuk pemerintahan global.
6 Globalisasi sebagai Analisis memusat dari masyarakat dunia ke dalam
Penyatuan Politik system ekonomi dan politik global akan menjadi
kekuatan utama.
7 Globaisasi dalam Proses sosio-kultur sebagai pusat “satu bumi”,
Persepsi dan pergerakan golongan globalis, warga negara dunia.
Kesepakatan
Sumber: Broadened and revised table based on Ruigrok W. and van Tulder R., The
Ideology of Interdependence, PhD Dissertation, University of Amsterdam, June 1993
quoted in: The Group of Lisbon, Limits to Competition, PIT Press, Cambridge – London
1995, p. 20.

Selama lebih dari dua decade terakhir, bidang ekonomi telah memproleh manfaat
dari proses globalisasi. Namun karena krisis keuangan global tahun 2007-2009 membuat
pasar internasional memiliki dampak yang lebih buruk dari pada pasar yang berorientasi
domestik (Cline, 2010). Krisis ekonomi beberapa tahun terakhir telah menujukkan
bahwa globalisasi ekonomi semakin alami. Stagnasi ekonomi disuatu benua dapat
menyebabkan pengaruh besar pada ekonomi di belahan benua lain. Namun demikian
penelitian yang dilakukan oleh Cline (2010) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara perubahan pada pertumbuhan ekonomi dalam periode krisis
keuangan global dengan tingkat perekonomian suatu negara yang diteliti.
Ditingkat mikro, globalisasi didefinisikan sedikit berbeda. Globalisasi suatu
perusahaan harus dianggap satu tingkat lebih tinggi dari proses internasionalisasi.
Globalisasi juga dapat dianggap sebagai strategi bisnis ayng sangat tergantung pada
lingkungan ekonomi internasinal dan ekonomi gobal. Dalam konteks ini globalisasi juga
didefinisikan sebagai konsep pengelolaan perusahaan yang berorientasi pasar global

3
yang berarti mengelola persaingan pasar global dan factor produksi di lingkungan
global (Pierścionek Z. dalam Nelly & Krzysztof, 2012).
Pengaruh Proses Internasionalisasi pada UMKM
Selama tiga dekade terakhir UMKM telah memainkan peran penting dalam
perekonomian nasional. Saat ini UMKM tampaknya dominan dalam hal pekerjaan dan
penciptaan lapangan kerja. Selain itu, UMKM memiliki karakteristik dinamis dan
fleksibel, mudah beradaptasi dengan keadaan perekonomian yang tidak stabil dan
banyak resiko. Namun dalam menghadapi liberalisasi dengan persaingan yang sangat
ketat, UMKM dihadapkan pada banyak tantangan baru dan harus mampu bereaksi agar
dapat beradaptasi dengan kondisi terkini. Proses internasionalisasi dan globalisasi
merupakan ancaman dan peluang bagi UMKM. Peluang yang dapat dilakukan
diantaranya ekspor, entri pasar baru, dan kerjasama luar negeri, sedangkanancamannya
adalah persaingan yang terus meningkat.
Menurut SME Observatory Survey SummaryEuropean Commission (2007)
motivasi utama internasionalisasi UMKM adalah keinginan untuk meningkatkan daya
saing perusahaan yaitu dengan mendapatkan akses pasar yang baru dan lebih besar.
Dalam pendekatan teoritis, asumsi yang paling mendasar UMKM melakukan
internasionalisasi adalah karena factor pertumbuhan. Hal ini dapat dicontohkan dengan
adanya keinginan manajer UMKM yang berorientasi pada pertumbuhan perusahaan
akan mencoba untuk memasuki pasar luar negeri.
Terdapat empat factor dalam mempercepat internasionalisasi UMKM (OECD,
2007), pertama factor kewirausahaan dimana para pengusaha yang berorientasi pada
pertumbuhan perusahaan sangat berantusias untuk melebarkan bisnisnya di pasar
internsional. Factor ini menjadi factor paling penting diantara factor yang lain. Kedua
factor pendorong yaitu ketidakmampuan perusahaan dalam bertumbuh di pasar
domestic. Factor ini kadang disebut dengan factor negatif dimana memaksa perusahaan
untuk meninggalkan pasar yang kompetitif. Ketiga factor penarik, yaitu bagaimana
perusahaan memahami kesempatan yang ada di pasar luar negeri atau ketika permintaan
produk hanya muncul di pasar luar negeri. factor ini sering disebut dengan factor positif.
Keempat factor kesempatan dimana perusahaan memiliki kesempatan tampil di pasar
internasional.
Jika UMKM selalu menigkatkan kompetensinya dalam menyesuaikan persaingan
global, masih terdapat pertanyaan bagaimana UMKM melakukannya. Ch. Stehr (2010)
berpendapat bahwa saat ini semakin banyak perusahaan mengembangkan strategi
globalisasi dalam kewirausahaan. Ch. Stehr juga berpendapat ada perbedaan antara
internasionalisasi kewirausahaan dan globalisasi kewirausahaan. Internasionalisasi
kewirausahaan (internasionalisasi bisnis) sudah dianggap tercapai jika produk sudah
dipasok oleh negara lain. Sedangkan globalisasi kewirausahaan adalah perluasan dari
kegiatan ekonomi internasional sampai batas dunia. Analisis potensi globalisasi
khususnya untuk UMKM memerlukan analisis berikut:
1. Potensi globalisasi biasanya berkembang dari keinginan perusahaan 'untuk
menyesuaikan dan beradaptasi dengankondisi global (hukum, budaya, administrasi)
dan situasi di seluruh dunia (politik /ekonomi). Selain itu, kesediaan untuk

4
menyesuaikan membutuhkan pengembangan bertahap dan harus diuraikan secara
sistematis.
2. Ada hubungan langsung antara kemungkinan globalisasi kewirausahaan, struktur
organisasi,dan sumber daya manusia perusahaan. Ini terdiri dari kapasitas organisasi
dan struktural umum perusahaan, kualifikasi karyawan, kesediaan
manajemen/pemilik (manajer) agar mengambil biaya tambahan untuk ekspansi asing.
3. Masalah pembiayaan kegiatan asing dan global juga merupakan kriteria utama dalam
pengambilan keputusan ketika dimungkinkan akan terjadi potensi baik posistif
maupun negative dalam proses globalisasi UMKM.
4. Dengan demikian, kompetensi dan kemampuan untuk globalisasi kewirausahaan
mengacu padasumber daya tertentu, tujuan perusahaan, segmen bisnis, danposisi
UMKM dalam kompetisi.

2. Internasionalisasi UMKM di Indonesia

Internasionalisasi erat kaitannya dengan kegiatan suatu perusahaan di luar negeri.


kegiatan yang palng menonjok dalam internasionalisasi adalah kegiatan ekspor.
Tahapan internasionalisasi yang telah disampaikan di atas menggambarkan bagaimana
perusahaan mengembangkan usahanya dengan mencari pola masuk pasar yang lebih
luas yaitu pasar internasional. Kegiatan ekspor yang dilakukan tidak hanya bagi
perusahaan besar namun sudah merambah pada sector UMKM.
UMKM merupakan suatu tonggak penggerak perekonomian Indonesia. Hampir
99,9 persen dari pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM bahkan menyumbangkan
tingkat pertumbuhan ekonomi 2-4 persen per tahun bagi Indonesia. Besarnya potensi
unit usaha UMKM yang mencapai 48,9 juta UMKM merupakan salah satu bagian
penting dari perekonomian Indonesia. Kontribusinya terhadap PDB mencapai 56,7
persen dibandingkan dengan kontribusi yang bersumber dari ekspor nonmigas yang
hanya mencapai 15 persen. UMKM juga memberi kontribusi sebesar 99,6 persen dalam
hal penyerapan tenaga kerja. Bahkan ketika terjadi krisis tahun 1997/1998, sektor riil
(UMKM) tetap bertahan di tengah keterbatasan ketika Usaha besar banyak yang
berguguran, akibat dari gempuran kondisi internal dan eksternal yang semakin buruk.
Kehebatan UMKM kembali terbukti ketika kembali krisis keuangan global pada tahun
2008, ketika ekonomi global terganggu akibat resesinya Amerika Serikat. Namun,
UMKM tetap bertahan bahkan tumbuh dengan baik.
Seiring dengan dengan tumbuhnya jaringan dan komunikasi antar negara yang
pesat memberi peluang UMKM untuk masuk ke dalam persaingan pasar internasional.
Produk UMKM yang sebelumnya hanya berputar di pasar lokal harus mampu
meningkatkan kualitas sehingga memiliki standar ekspor. Ekspor memberikan dampak
positif pada perkembangan ekonomi suatu negara, dan bagi perusahaan pengekspor
biasanya memiliki produktivitas lebih tinggi dari pada yang tidak melakukan ekspor
(Achtenhagen, 2011). Masalah yang dihadapi oleh UMKM adalah bagaimana
menciptakan keunggulan kompetitif dikarenakan pesatnya persaingan baik domestic
maupun global (Taher & Mehmoud, 2010).

5
Ekspor UMKM Sebelum Tahun 2000
Selama periode 1980 sampai dengan 1990, kinerja ekspor UMKM Indonesia
masihlemah, terutama dibandingkan dengankinerja ekspor UMKM negara-negara
tetangga di kawasan Asia lainnya seperti Malaysia, Thailand, Singapura dan
KoreaSelatan. Kelemahan ekspor UMKM kitasangat terasa terutama pada kemampuan
memasuki pasar ekspor dengan produk-produkyang beragam. Pengenalan pasarekspor,
keragaman produk dan kemampuan mengakses pasar luar negeri merupakan tantangan
tersendiri bagi UMKM pada periode tersebut. Sekalipun nilai dan volume ekspor
UMKM sangat kecil dibanding total ekspor non migas Indonesia pada masa itu, namun
pertumbuhannya selama periode 1980 hingga 1990 menunjukkan suatu kecenderungan
yang positif.
Pada periode 1991 sampai dengan1999, kemampuan UMKM dalam melakukan
ekspor mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Membaiknya kinerja ekspor
UMKM Indonesia digambarkan oleh Tambunan dalam Infokop No: 23 th. 2003 dengan
nilai ekspordari UMKM mengalami pertumbuhan rata-ratasekitar 8 % pada tahun 1993
sampai1997. Keadaan ini semakin berlanjut dengan kenaikan yang sangat signifikan
terjadi antara tahun 1997-1998 tepatnya pada saat krisis ekonomi mencapai titik
terburuknya, yakni meningkat tajam dariU$ 2,5 miliar menjadi U$ 3,7 miliar, atau naik
lebih dari 140%. Sedangkan, dalam periode yang sama, nilai ekspor total dari non migas
mengalami penurunan. Hal ini merefleksikan terjadinya kontraksi dalamproduksi dan
ekspor kelompok industri/usaha skala besar karena banyak dari mereka mengalami
kesulitan financial semasa krisis.
Bila dilihat dari aspek teknologi, pendanaan dan kemampuan menyesuaikan diri
dengan permintaan pasar, maka peningkatan pertumbuhan ekspor UMKM selama ini
dapat tercapai karena kemampuan para pengusaha kecil dan menengah dalam
menemukan celah-celah pasar yang masih terbuka dan menyesuaikan biaya produksi
dan kualitas terhadap permintaan pasar. Dari aspek lainnya, pertumbuhan tersebut
merupakan refleksi dari peningkatan peran produk UMKM yang kebanyakan secara
tidak langsung dilakukan melalui system subcontracting dengan perantara-perantara
omersial seperti perusahaan eksportir atau perdagangan. Di samping itu kinerja ekspor
UMKM Indonesia juga ditentukan oleh perkembangan atau kondisi pasar yang dilayani,
apakah memproduksi dan mengekspor produk-produk yang pasar luar negerinya
sedangberkembang pesat (permintaan dunia meningkat pesat) atau sedang mengalami
stagnasi (permintaan dunia menurun) dan atau produk-produk yang diproduksi
mengalami penurunan daya saing atau mempunyai prospek yang bagus. Faktor utama
yang juga sangat mendorong pertumbuhan ekspor UMKM pada periode ini (khususnya
pasca krisis ekonomi) adalah menurun drastis nya nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing, sehingga memacu UMKM untuk mendongkrak ekspornya. Pada masa ini
merupakan periode booming bagi UMKM khususnya yang bergerak di sektor pertanian
pertambangan dan sebagian besar industry pengolahan yang minim dalam
menggunakan bahan baku pendukung impor.

6
Ekspor UMKM 2000-2004
Kendala yang dihadapi UMKMkhususnya mengenai keragaman (diversifikasi)
produk yang selama ini dialami untuk menerobos pasar global,sejak tahun 2000
sebagian telah berhasil diatasi; antara lain sebagai akibat mengalirnya berbagai macam
produk impor ke Indonesia, kemudahan UMKM memperoleh akses informasi produk,
meningkatnya inovasi UMKM dalam mengembangkan desain, kualitas danjenis produk
ekspor dengan dukungan munculnya para profesional eks PHK usaha besar yang
kemudian beralih profesi menjadi entrepeneur UMKM. Sekalipun demikian,
kemampuan UMKM dalam mendiversifikasikan produknya relative masih terbilang
lambat dan tertinggal dibanding kemajuan sebagian UMKM dikawasan ASEAN,
sementara produk yang dikembangkan pada umumnya berbasis teknologi sederhana
dengan lebih mengutamakan padat karya.
Pada periode 2000-2003, kontribusi ekspor UMKM mengalami pertumbuhan
yang masih lamban yakni dari 19,35% tahun 2000 menjadi 19.90% pada tahun2003.
Bandingkan dengan pangsa pasar ekspor yang dipasok oleh kelompok usaha besar yakni
80.10% pada tahun 2004 sekalipun terjadi penurunan dibanding tahun 2000 sebesar
80.65%. Sementara itu, hanya sekitar 0,2 persen dari jumlahUMKM yang pernah
melakukan ekspor, danpada umumnya atau 91,2% UMKM tersebut melakukan kegiatan
ekspornya melalui pihak ketiga eksportir/pedagang perantara atau hanya 8 ,8% saja
yang berhubungan langsung dengan buyer/importir di luar negeri (Tambunan, Infokop
No: 23 th. 2003).
Kinerja UMKM dalam pasar ekspor ini pada hakekatnya masih dapat ditingkatkan
terutama dengan memperhatikan masih besarnya pangsa pasar ekspor yang selama ini
dipasok kelompok usaha besar dan belum optimalnya kapasitas UMKM dalam
pemasaran ekspor. Optimalisasi kemampuan UMKM dalam melakukan ekspor perlu
didukung dengan peningkatan sumberdaya dan pengembangan manajemen UMKM
agar mampu beradaptasi dengan lingkungan global. Selain itu mendorong UMKM
untuk meningkatkan kemampuannya dalam melakukan ekspor sendiri secara langsung
yang ternyata banyak memberikan nilai tambah bagi UMKM yang bersangkutan
seperti; pengalaman komunikasi langsung dengan buyers, memahami prosedur ekspor,
pengetahuan pasar, peningkatan pendapatan UMKM dari harga penjualan produknya
yang lebih besar ketimbang ekspor melalui pihak ketiga (perantara) di dalam negeri.
Kinerja ekspor nonmigas Usaha Kecil, Menengah dan Besar berdasarkan sector
ekonomi selama tahun 2000 sampai dengan 2003 menunjukan lebih dari 85% ekspor
nasional didominasi sektor industry pengolahan, meskipun setiap tahunnyaterjadi
penurunan rata-rata 1.3%. Padasektor industri pengolahan Sementarapeningkatan terjadi
pada sector pertambangan sekalipun nilai dan pangsa pasar ekspornya jauh lebih kecil
yakni Rp37.861 milyar dan 93,48% tahun 2003, demikian pula peningkatan pada sector
pertanian meskipun nilai dan pangsa pasar ekspornya sangat kecil yakni Rp 9.880
milyar dan 2,59% pada tahun 2003.
Ekspor UMKM sebelum 2012
Total perdagangan Indonesia (ekspor-impor) dari tahun 2008 hingga 2012, menurut Badan Pusat
Statistik dan diolah Kementerian Perdagangan, meningkat sebesar 13,89%, pada tahun 2008 total

7
perdagangan Indonesia tercatat USD 266,2 milyar menjadi USD 381,7 milyar pada tahun 2012, tetapi
terjadi penurunan pada ekspor non-migas di tahun 2012 akibat terjadinya krisis global.
Ekspor non-migas menurun mencapai 5,52 persen. Sedangkan kinerja perdagangan Indonesia
(sektor migas & non-migas) tahun 2012 jika dibandingkan periode tahun 2011 mengalami defisit USD
1,6 milyar.
Neraca perdagangan Indonesia mulai mengalami penguatan kembali pada tahun 2009 hingga
2011, namun pada tahun 2012 mengalami defisit sebesar 1.6 Miliar USD. Hal ini disebabkan karena
melemahnya kegiatan ekspor pada tahun tersebut. Namun penyebab yang lebih dominan
mempengaruhi neraca perdagangan tahun 2012 adalah meningkatnya kegiatan impor.
Defisit yang disebabkan oleh sektor migas pada tahun 2012 sebesar 5,5 miliyar USD sedangkan
sektor non migas menyumbang surplus sebesar 3,9 milyar USD. Sehingga pada tahun 2012 mengalami
defisit untuk pertama kalinya dalam 50 tahun terakhir sebesar 1,6 milyar USD. Neraca perdagangan
pada tahun 2013 tidak jauh berbeda dengan tahun 2012, pada tahun 2013 (data sementara yang
ditunjukkan bulan Januari hingga November) masih mengalami defisit, penyebabnya sama seperti
tahun 2012, tingginya impor migas menyumbang defisit pada neraca perdagangan.
Dengan defisitnya neraca perdagangan pada tahun 2012 dan tahun 2013 menunjukkan bahwa
Indonesia belum siap untuk menghadapi pasar persaingan bebas ASEAN. Ketidaksiapan ini dapat kita
lihat dari rendahnya kualitas produk yang dihasilkan oleh Indonesia yang diproduksi tanpa
menggunakan standar produk yang ada, terutama produk yang dihasilkan oleh UMKM Indonesia. Hal
ini mengakibatkan produk dari Indonesia belum mampu bersaing dengan produk dari luar.
Selain itu, kondisi industri manufaktur di Indonesia belum mendukung secara kualitas atau belum
memenuhi persyaraatan perdagangan bebas karena kurang kesiapan infrastruktur, produktivitas yang
rendah, bunga kredit yang tinggi, biaya transportasi yang tinggi dan kesiapan Sumber Daya Manusia
(SDM) di Indonesia. Saat ini Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan barang modal, sehingga
untuk memenuhinya Indonesia harus impor barang modal dari luar.
Defisit yang terjadi pada kuartal II tahun 2013 dampaknya telah kita rasakan, yaitu berkurangnya
cadangan devisa dan berimbas langsung pada perekonomian nasional secara keseluruhan, terutama
menyangkut inflasi, dan suku bunga serta menguatnya nilai tukar dolar di pasar uang membuat apresiasi
rupiah kembali terhambat dan mengalami pelemahan di transaksi pasar uang kemarin.
Menurut anggota Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin
Indonesia, Ina Primiana pada harian Kompas (2013) mengatakan sebaiknya pemerintah segera melobi
negara-negara lain untuk menghentikan sementara FTA, karena dianggap terus menekan
industri dalam negeri dan merugikan.
Indonesia perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi FTA tersebut dengan mengembangkan
industri manufaktur dalam negeri dan untuk menekan impor barang modal dapat dilakukan strategi
dari Menteri Perindustrian MS Hidayat dengan memperkuat industri sektor hulu melalui realisasi
investasi asing dan fokus pada pengembangan sektor hulu seperti industri besi baja dan petrokimia.
Dengan berkembangnya industri manufaktur maka Indonesia akan mampu memenuhi permintaan
dalam negeri dengan produk dalam negeri. Selain mengembangkan industri manufaktur dalam
negeri, perlu dilakukan peningkatan kualitas SDM agar produktivitas yang dihasilkan dapat meningkat.
Upaya dalam meningkatkan SDM dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan-pelatihan tenaga
kerja, memperkenalkan tenaga kerja dengan teknologi terbaru.
Menurut pengamat ekonomi dari Center for Information and Development
Studies (Cides) Umar Juoro di harian Kompas (2013), defisit neraca perdagangan yang terjadi pada

8
pertengahan 2013 ini dipengaruhi oleh defisit pada ekspor-impor minyak dan gas (migas)
daripada sektor non migas, Oleh karena itu bukan sepenuhnya salah menteri perdagangan, Gita
Wirjawan. Hal ini juga merupakan tanggung jawab kementerian Energi dan Sumber daya Mineral
karena sektor migas dikelola oleh kementerian tersebut. Maka sangat diperlukan koordinasi strategis
antar kementerian atau lembaga terkait untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut. Kebijakan
pemerintah mengenai ekspor-impor juga akan sangat berpengaruh dalam menekan kegiatan impor dan
mendukung kegiatan ekspor. Pemerintah harus dengan tegas membuat peraturan untuk menyelamatkan
neraca perdagangan Indonesia. Pemerintah harus mengeluarkan peraturan mengenai kuota impor
sehingga secara perlahan Indonesia akan mengurangi ketergantungan impor.
Hambatan Ekspor
Beberapahambatan ekspor UMKMdi Indonesia antara lain:
1. Globalisasi perdagangan menuntut semakin tingginya respon pelaku bisnis terhadap
perubahan pasar danperilaku kondumen khususnya. Kecepatan perubahan
permintaan pasar dan selera konsumen, menuntut produk yang ditawarkan harus
inovatif, beragam dansiklus produk menjadi relatif lebih pendek. Kemampuan
mengakses pasar global, mengadop inovasi produk atau bahkanmengkreasi inovasi
produk yang sesuai kebutuhan pasar, merupakan sederetan kelemahan yang
dimiliki UMKM padaumumnya.
2. Pada umunya UMKM dalam memproduksi barang/jasanya hanya terkonsentrasi
pada sejumlah produk/jasayang secara tradisional telah ditangani kelompok pelaku
bisnis tertentu dan pada pasar tetu saja. Oleh karenanya kurang mendorong
diversifikasi produk/jasa UMKM baik desain, bentuk maupun fungsi produk yang
dihasilkan. Rendahnya tingkat diversifikasi UMKM, memberi kesan bahwa
UMKM hanya berspesialisasi pada produk/jasa tradisional yang memiliki
keunggulan komparatif seperti pakaian jadi dan beberapa produk tekstil lainnya,
barang barang jadi dari kulit seperti alas kaki, dandari kayu, termasuk meubel dan
barang kerajinan.
3. Rendahnya aksesibilitas terhadap sumber daya produktif, terutama yang berkaitan
dengan pembiayaan, informasi, promosi, teknologi, dan jaringan bisnis produk
ekspor.

4. Strategi Internasionalisasi UMKM

Melihat beberapa hambatan yang sering terjadi pada UMKM di Indonesia,


beberapa strategi dapat diterapkan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya gagal
dalam proses internasionalisasi UMKM (Neddy, 2004).
1. Prospek bisnis UMKM dalam era perdagangan bebas dan otonomidaerah sangat
tergantung pada upaya yang ditempuh oleh pemerintah dalam mengembangkan
bisnis UMKM. Salah satunya melalui pengembangan iklim usaha yang kondusif.
Untuk mencapai iklim usaha yang kondusif ini, diperlukan penciptaan lingkungan
kebijakan yang kondusif bagi UMKM. Kebijakan yang kondusif dimaksud dapat
diartikan sebagai lingkungan kebijakan yang transparan dan tidak membebani
UMKM secara finansial dan berlebihan. Ini berarti berbagai campur tangan
pemerintah yang berlebihan, baik pada tingkat pusat maupun daerah harus

9
dihapuskan, khususnya penghapusan berbagai peraturan dan persyaratan administrasi
yang rumit dan menghambat kegiatan UMKM.
2. Pengembangan UMKM yang diarahkan pada supply driver strategy sebaiknya
diarahkan pada pengembangan program UMKM yang berorientasi pasar, dan
didasarkan atas pertimbangan efisiensi dan kebutuhan riel UMKM (market oriented,
demand driven programs). Fokus dari program ini yakni pertumbuhan UMKM yang
efisiensi yang ditentukan oleh pertumbuhan produktivitas UMKM yang
berkelanjutan, dan pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan UMKM yang
berkelanjutan.
3. Menghadapi tantangan globalisasi ekonomi dan persaingan bebas, struktur yang
timpang dan kesenjangan akses tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Untuk itu
perlu dilakukan reformasi struktur usaha yang ada saat ini. Dalam konteks reformasi
ini, menjadi sangat relevan untuk memberi ruang gerak yang longgar kepada UMKM
guna mengejar ketertinggalan namun juga dengan strategi yang tepat.
4. Liberalisasi perdagangan seharusnya juga membuka peluang bagi perluasan pasar
produk UMKM itu sendiri, melalui pemunculan institusi, yang secara spesifik
ditujukan untuk membuka dan memperluas akses pasar UMKM. Diantara bentuk
institusi yang dinilai mampu memainkan fungsi tersebut adalah penguatan trading
house sebagai pintu saluran ekspor produk UMKM dan pola subkontrak.
5. Pembentukan aliansi strategis antara UMKM dengan usaha-usaha asing merupakan
mekanisme yang paling penting dan efektif untuk alih informasi bisnis, teknologi,
kemampuan manajerial serta organisatoris, serta akses ke pasar ekspor bagi UMKM
dari pada bantuan yang diberikan oleh instansi pemerintah. Aliansi strategis ini
berbeda dengan program kemitraan dan Bapak angkat yang kita kenal selama ini.
Dalam aliansi ini, maka UMKM ataupun usaha asing atau usaha domestic melakukan
kerjasama yang didasarkan atas kemauan dan kepentingan bersama.
6. Strategi lain untuk mendorong kinerja dan peran UMKM dalam pasar bebas serta
mengatasi kesenjangan yang terjadi, adalah dengan menumbuhkan usaha menengah
dalam membangun struktur industri. Strategi pengembangan usaha menengah ini
praktis banyak dilupakan sejalan dengan kurang diperhatikannya entitas dan posisi
usaha menengah dalam pertumbuhan ekonomi maupun dalam kebijakan
pengembangan UMKM.
7. Pengembangan institusi penunjang ekspor Indonesia di luar negeri dengan
merevitalisasi peran Atase Perdagangan dan atau Kabid Ekonomi di Kedutaan
Besar/Perwakilan Indonesia di luar negeri serta mengaktifkan kembali Indonesian
Trade Promotion Center (ITPC) dengan melibatkan pengusaha Indonesia yang sudah
sangat memahami seluk beluk perdagangan ekspor di negara yang bersangkutan.
Optimaslisasi peran institusi pendukung ekspor ini diharapkan mampu menyediakan
informasi pasar internasional bagi para eksportir, memetakan para buyer yang
mampu dan memiliki komitmen untuk menampung serta memasarkan produk
Indonesia dinegara yang bersangkutan serta memberi perlindungan dan konsultasi
bisnis kepada eksportir Indonesia yang akan memasuki pasar luar negeri termasuk
pemberian konsultasi dibidang prosedur dan persyaratan ekspor yang harus dipenuhi.

10
5. Pendekatan-pendekatan Klasik dalam Internasionalisasi UMKM

Teori internasionalisasi memiliki model yang sangat beragam dengan berbagai


criteria dan klasifikasi. Tidak ada teori tunggal yang menjelaskan mengenai
internasionalisasi yang diterima secara universal. Dinamika pendekatan yang dilakukan
oleh peneliti dalam bidang internasionalisasi berkembang sejalan dengan perubahan
ekonomi dunia. Banyaknya hambatan yang dihadapi oleh UMKM memberi dampak
pada perkembangan strategi penanggulangan yang digunakan. Perjanjian seperti
NAFTA, AFTA, dan ESM merubah cara pandang manajerial dalam rangka
internasionalisasi.
Teori Tahapan (Stage Theories) dalam Internasionalisasi
Aliran teetua dan masih banyak digunakan oleh para peneliti dalam strategi
ekspor perusahaan kecil adalah teori tahapan internasionalisasi (Daszkiewicz, 2007).
Teori ini mengasumsikan bahwa perusahaan awalnya beroperasi di pasar domestic
kemudian setelah mencapai posisi yang stabil secara bertahap memperluas kegiatan
internasional dengan beberapa tahapan.

Teori Tahapan Internasionalisasi


Johanson dan 1. Tidak ada kegiatan ekspor impor secara regular
Wiedersheim 2. Ekspor melalui agen ke negara tetangga
(1975) 3. Memiliki anak perusahaan penjualan di luar negeri dan
melakukan penjualan ke negara yang lebih jauh
4. Memproduksi barang di luar negeri
Bilkey 1. Manajemen tidak tertarik dengan aktivitas ekspor
dan Tesar 2. Manajemen berminat untuk memenuhi pasar yang tak terduga
(1977) tetapi tidak berusaha mengekplorasi kelayakan melakukan
ekspor secara aktif
3. Manajemen secara aktif mengekplorasi kelayakan melakukan
ekspor secara aktif
4. Perusahaan melakukan ekspor secara coba-coba ke negara yang
mirip secara kultur
5. Perusahaan telah menjadi ekporter yang berpengalaman
6. Manajemen mengekplorasi kelayakan melakukan ekspor ke
Negara yang kulturnya berbeda (high psychic distance)
Reid 1. Eksport awareness: identifikasi masalah, peluang, dan sadar
(1981) bahwa ada kebutuhan
2. Minat melakukan ekspor: motivasi, sikap, kepercayaan, dan
harapan tentang ekspor
3. Uji coba ekspor: pengalaman pribadi melakukan ekspor secara
terbatas
4. Evaluasi ekspor menilai hasil dari kegiatan ekspor
5. Export exceptnace: mengadopsi atau menolak ekspor
Czinkota 1. Perusahaan sama sekali tidak tertarik dalam melakukan ekspor
(1982) 2. Prusahaan hanya sedikit tertarik untuk melakukan ekspor

11
3. Perusahaan mengeksplorasi kemungkinan melakukan ekspor
4. Perusahaan melakukan ekspor secara coba-coba
5. Perusahaan menjadi ekportir kecil-kecilan
6. Perusahaan menjadi eksporter besar
Cavusgil 1. Pemasaran hanya menjual ke pasar local
(1984) 2. Pra ekspor: prusahaan mencari berbagai informasi dan
mengevaluasi kelayakan melakukan ekspor
3. Ekperimental: perusahaan memulai ekspor secara terbatas ke
Negara-negara yang dekat secara kultur (low psychic distance)
4. Ekspor aktif: melakukan ekspor ke lebih banyak Negara baru,
pemasaran secara langsung, dan meningkatkan volume
penjualan
5. Komitmen: manajemen secara berkesinambungan melakukan
alokasi sumber daya perusahaan yang terbatas untuk pasar
domestic dan asing
Moini 1. Tidak melakukan ekspor
(1995) 2. Mulai tertarik ekspor
3. Melakukan ekspor
4. Ekspor dilakukan secara regular
Leonidou 1. Keterlibatan perusahaan pada aktivitas internasional
dan Katsikeas 2. Melakukan kegiatan internasional dengan mengawali ekspor
(1996) 3. Ditingkat lanjut, perusahaan lebih intens dalam aktivitas
internasional
Sumber: Nelly & Krzysztof (2012) dan Anderson (1993, 1995)

Stage models berasumsi bahwa pada awalnya perusahaan hanya beroperasi di


pasar domestic tanpa kegiatan ekspor. Pada tahap berikutnya perusahaan melakukan
kegiatan-kegiatan kecil dalam dalam pasar internasional dengan mencarai informasi
yang memungkinkan memberi wawasan perusahaan untuk untuk mengembangkan
kegiatannya. Dariperspektif ini, internasionalisasi dilakukan dengan membangun
kemampuan ekspor melalui pengembangan dan proses yang berurutan.
Tahapan yang menjadi kunci dalam internasionalisasi adalah tahapan ekspor,
dimana perusahaan benar-benar telah melakukan kegiatan internasional jika telah
memulai mengekspor produk baik serumpun dalam budaya maupun dalam perbedaan
budaya yang tinggi. Dari model tahapan di atas yang paling terkenal dan masih relevan
digunakan sampai saat ini adalah model yang dikembangkan oleh JohansondanVahlne
(1977).
Menurut Andersen (1997), di dalam bidang bisnis internasional, topik tentang
international mode of entry merupakan salah satu topik yang paling banyak digeluti
oleh para peneliti di bidang pemasaran internasional. Setidaknya ada dua alasan utama.
Pertama, mode of entry (pilihan jenis/mode untuk memasuki pasar asing) merupakan
komponen utama dari konsep internasionalisasi. Kedua, pemilihan mode of entry yang

12
tepat di pasar asing merupakan keputusan krusial bagi perusahaan yang melakukan
pemasaran internasional.
Secara umum, teori yang menjelaskan mode of entry dapat diklasifikasikan
menjadi Model Internasionalisasi Uppsala, Transaction Cost Approach, Eclectic
Paradigm, Organizational Capability Perspective, dan Network Perspective.
Model Internasionalisasi Uppsala
Model Uppsala memiliki landasan teoritis dari teori perilaku organisasi
(behavioural theory of the firm) (Cyert and March 1963; Aharoni 1966; dikutip dalam
Johanson & Vahlne, 1990) dan teori perkembangan perusahaan (theory of the growth of
the firm). Model ini memandang fenomena internasionalisasi perusahaan sebagai suatu
proses di mana perusahaan secara bertahap (perlahan-lahan) meningkatkan aktivitas
bisnisnya di lingkup internasional. Proses ini berevolusi sesuai dengan perimbangan
(interplay) antara perkembangan knowledge terhadap pasar asing dan operasi di pasar
asing pada satu sisi; dan peningkatan komitmen terhadap sumberdaya ke pasar asing
pada sisi lainnya.
Model ini berfokus pada perusahaan sebagai unit analisis dan berasumsi bahwa
perusahaan memiliki bounded rationality (keterbatasan rasional dan informasi) terhadap
bisnis internasional/pasar di negara asing dan melakukan trade-off antara pertumbuhan
dan risiko (Andersen, 1997). Langkah yang dilakukan untuk memperkecil risiko
tersebut diterjemahkan dengan cara memasuki pasar asing selangkah demi selangkah,
mulai dari mode of entry yang paling kecil risiko dan komitmennya atau yang paling
kecil jarak kulturalnya (low psychic distance), kemudian meningkatkannya secara
bertahap ke mode of entry yang lebih berisiko dan lebih jauh jarak kulturalnya.
Transaction Cost Approach (TCA)
Pendekatan TCA telah cukup sering digunakan dalam penelitian mode of entry
(Anderson & Gatigon, 1986; Anderson & Coughlan, 1987, Gatigon & Anderson, 1988,
Klein et al., 1990; dikutip dalam Andersen, 1997). TCA terutama cocok digunakan
untuk menjelaskan keputusan mengenai vertical integration perusahaan dan digunakan
untuk memprediksikan mode of entry perusahaan manufaktur maupun jasa.Teori ini
berfokus pada frekuensi transaksi, ketidakpastian, dan asset specificity (aset yang harus
diinvestasikan dalam suatu transaksi, seperti investasi fisik/mesin atau sumberdaya
manusia) yang timbul dari pertukaran sumberdaya antara pihak pembeli dan penjual.
Komposisi frekuensi transaksi, ketidakpastian, dan asset specificity sangat menentukan
mode of governance yang paling efisien untuk digunakan dalam suatu transaksi. Teori
ini berasumsi bahwa pembuat keputusan memiliki bounded rationality (keterbatasan
rasional dan informasi) dan kadang kala berperilaku oportunistik (mengambil
keuntungan dari pihak lain).
Teori ini melihat hubungan yang positif antara asset specificity dan keinginan
perusahaan untuk menggunakan high-control entry modes. Jadi, semakin besar investasi
yang dikeluarkan untuk suatu transaksi bisnis, maka semakin besar pula kecenderungan
perusahaan untuk memilih bentuk mode of entry di mana perusahaan memiliki kendali
yang lebih besar atas transaksi tersebut. Dalam kondisi ini, perusahaan akan lebih

13
senang memilih mode of entry seperti wholly-owned operation dibandingkan
contractual agreement. Namun, hubungan asset specificity dan keinginan perusahaan
untuk menggunakan high-control entry modes tergantung pada sejumlah moderating
factors, seperti ketidakpastian eksternal, ketidakpastian internal, dan ukuran perusahaan
(Andersen, 1997).
Semakin kecil asset specificity, ketidakpastian, frekuensi transaksi, bounded
rationality, dan opportunism akan lebih menguntungkan apabila perusahaan
menggunakan mode of governance/entry yang bentuknya tidak terlalu membutuhkan
degree of control yang terlalu besar, contohnya contractual arrangement. Namun,
dengan kondisi asset specificity yang besar, ketidakpastian tinggi, frekuensi transaksi
tinggi, bounded rationality yang besar, dan kemungkinan pihak pembeli/pihak lainnya
berperilaku oportunistik, maka akan lebih menguntungkan apabila perusahaan memilih
bentuk mode of entry yang lebih bersifat jangka panjang dan dengan degree of control
yang lebih besar dan market presence yang lebih permanen, seperti wholly-owned
subsidiary daripada sekedar melakukan ekspor atau contractual arrangement. Teori ini
banyak menjelaskan perilaku perusahaan besar yang cenderung bertindak rasional dan
mampu melakukan asset specificity yang besar.
Paradigma Eclectic
Paradigma ini seringkali disebut juga sebagai Foreign Direct Invesment Theory.
Menurut Dunning (1980), ada empat motif perusahaan melakukan Foreign Direct
Investment. Pertama, market seeking, yaitu mencari pasar baru untuk produknya. Kedua,
natural resource seeking, yaitu untuk mencari negara yang memiliki sumberdaya alam
sebagai input untuk produksi. Ketiga, rationalised/efficiency seeking, yaitu untuk
mencari negara baru di mana perusahaan dapat menjadi lebih efisien, misalnya dengan
mendirikan manufacturing centre di negara yang memiliki biaya tenaga kerja, biaya
transportasi, dan biaya energi yang murah. Keempat, strategic asset seeking, yaitu untuk
mendapatkan asset strategis di negara asing, misalnya membeli pabrik di negara lain
yang dapat memberikan manfaat di masa depan.
Teori ini merupakan penyempurnaan atas Transaction Cost Approach. Teori ini
menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang menentukan pemilihan mode of entry di pasar
asing oleh perusahaan, yaitu Ownership Specific Advantages, Locational Advantages,
dan Internalisation Advantages (Dunning, 1980, 1988).
Organizational Capability Perspective
Perspektif Organizational Capability berlandaskan pada bounded rationality.
Perspektif ini berakar pada resource-based theory (Penrose, 1959, dikutip dalam
Andersen, 1997), di mana perusahaan dilihat sebagai sekumpulan sumberdaya yang
statis dan dapat ditransfer yang diubah menjadi kemampuan perusahaan melalui proses
yang dinamis dan interaktif, di mana keterampilan individual, organisasi, dan teknologi
saling terkait satu sama lainnya.
Sumberdaya tak berwujud (intangible resources), seperti keterampilan dan
kompetensi terdiri atas komponen yang embedded/spesifik dan generic/umum.
Perusahaan yang memiliki rasio embedded-to-generic know-how yang tinggi akan

14
cenderung melakukan internalisasi (sesuai dengan ownership advantages pada
paradigma eclectic) (Madhok, 1997, dikutip dalam Andersen, 1997). Market knowledge
juga terdiri dari komponen yang generik dan spesifik (Johanson & Vahlne, 1990).
Perusahaan yang memiliki rasio embedded-to-generic market knowledge yang tinggi
akan cenderung melakukan kolaborasi dengan perusahaan lain.
Perspektif ini mengakui adanya kesulitan locational effect untuk mengeksploitasi
know-how suatu perusahaan yang ada di suatu negara ke negara lain. Apabila di dalam
eksploitasi suatu keunggulan, potensi erosi terhadap nilai know-how akibat ownership
effect lebih besar daripada locational effect, maka perusahaan akan cenderung memilih
melakukan internalisasi. Sebaliknya, apabila potensi erosi terhadap nilai know-how
akibat locational effect lebih besar daripada ownership effect, maka perusahaan akan
cenderung memilih kolaborasi. Perspektif ini membatasi mode of entry pada dua jenis,
yaitu internalisasi dan kolaborasi. Namun pada praktiknya, terdapat kesulitan dalam
pengukuran kapabilitas perusahaan.
Network Perspective
Perusahaan pada pasar industrial menunjukkan perilaku membangun dan
membina hubungan bisnis dengan aktor bisnis lainnya, seperti pelanggan, pesaing,
pemasok, distributor, agen, konsultan, instansi pemerintah, dan stakeholder lainnya.
Perspektif ini memandang industri sebagai jejaring yang terdiri atas sejumlah relasi
bisnis (business relationships) yang mencakup para pelaku bisnis tersebut. Relasi bisnis
semacam ini terbina dalam berbagai alternatif ikatan, seperti jalinan teknis, sosial,
kognitif, administratif, hukum, ekonomi, dan seterusnya.
Menurut perspektif ini, semua aktor dalam suatu jejaring sedikit banyak aktif dan
pembentukan relasi baru atau pengembangan relasi lama tergantung pada interaksi
antara pihak-pihak yang aktif. Relasi dapat digunakan sebagai jembatan ke jejaring
lainnya. Perspektif ini memandang jejaring di suatu negara dapat melewati batas-batas
negara. Internasionalisasi dianggap sebagai eksploitasi terhadap manfaat yang diberikan
oleh suatu jejaring (Johanson & Vahlne, 1990). Intinya, perspektif ini melihat
internasionalisasi perusahaan dimulai dengan keterlibatan perusahaan pada jejaring
domestik. Internasionalisasi berarti perusahaan membentuk relasi bisnis di luar negeri
melalui tiga cara (Johanson & Vahlne, 1990). Pertama, pembentukan relasi dalam
jejaring negara yang tersedia bagi perusahaan (international extension). Kedua,
perusahaan membentuk relasi pada jejaring yang telah ada (penetration). Ketiga, relasi
diperluas dengan jalan menghubungkan jejaring ke negara lainnya (international
integration).

15
Teori Internasionalisasi

Anderson (1997) dan Johanson & Vahlne (1990)

(1) (2) (3) (4) (5)


Model Internasionalisasi Transaction Cost Paradigm Organizational Network
Uppsala Approach Eclectic Capability Perspective
Resource Based Theory Transaction Cost Theory Transaction Cost Theory, Resource Based Theory Network Theory
Teori
International Trade Theory,
Dasar
Resource Based Theory
Unit Perusahaan Transaksi Perusahaan Perusahaan Perusahaan
Analisis
Pengetahuan dan komitmen Karakteristik Transaksi (missal: Ownership specific, location Kemampuan perusahaan Business relationship and
Variabel
organisasi asset specificity, uncertainty and internationalization (missal: know how) various ties: social, ekonomi,
Utama
frequency of transaction) advantage legal, kognitif, tektis, dll.
Bounded rationality Bounded rationality & Bounded rationality & Bounded rationality Keinginan untuk trlibat dalam
Asumsi
(rasionalitas dibatasi) opportunism opportunism pembentukan bisnis
Trade off antara growth dan risk Minimalisasi biaya transaksi Trade off antara return, risk, Trade off antara value dan International network member
Kriteria
control, dan resources cost manfaat yang lebih besar
Keputusan
daripada domestic network
Establishment chain: (1) tanpa Beberapa klasifikasi seperti (1) Beberapa klasifikasi seperti (1) Internationalization vs International extension,
ekspor, (2) ekspor melalui agen, contractual arrangement, (2) Independent Mode, (2) Collaboration penetration, international
(3) sales subsidiary, (4) Joint Venture, (3) Wholly Cooperative Mode, (3) integration
manufacturing abroad. owned subsidary Integrated Mode
Mode of
Entry
Psychic distance model:dimulai
dari pasar dengan jarak psikis
(kultur) yang rendah sampai ke
jarak psikis yang tinggi

16
B. PENGEMBANGAN KONSEP

Menurut Andersen (1997), di dalam bidang bisnis internasional, topik tentang


international mode of entry merupakan salah satu topik yang paling banyak digeluti oleh
para peneliti di bidang pemasaran internasional. Setidaknya ada dua alasan utama, pertama,
mode of entry (pilihan jenis/mode untuk memasuki pasar asing) merupakan komponen
utama dari konsep internasionalisasi. Oleh karenanya, topik bahasan tentang proses
internasionalisasi sebagian besar mencakupi pilihan mode of entry. Kedua, pemilihan mode
of entry yang tepat di pasar asing merupakan keputusan krusial bagi perusahaan yang
melakukan pemasaran internasional.
Mode of entry dapat diklasifikasikan menjadi Model Internasionalisasi Uppsala,
Transaction Cost Approach, Eclectic Paradigm, Organizational Capability Perspective,
dan Network Perspective. Dari ke empat model yang paling sering digunakan adalah model
internasionalisasi Uppsala, model ini menjelaskan fenomena bisnis internasional terutama
pada perusahaan kecil dan menengah. Namun, pada perkembangan terakhir dengan
munculnya perusahaan yang sejak lahir langsung memasuki pasar internasional
(international new ventures) dan tidak mengikuti tahap-tahap internasionalisasi, telah
mempertanyakan kemampuan teori ini dalam menjelaskan fenomena terbaru di abad ke 21
ini (Oviatt & McDougall, 1997). Beberapa kelemahan pada model Uppsala antara lain:
1. Model Uppsala terlalu kaku (deterministic). Menurut sebagian peneliti, model Uppsala
dianggap terlalu kaku, yaitu perusahaan harus melewati tahap satu baru dapat
melanjutkan ke tahap dua, tiga, dan selanjutnya. Argumen yang dilontarkan adalah
perusahaan memiliki pilihan untuk membuat keputusan strategik terhadap mode of
entry dan ekspansi (Andersen, 1997). Pilihan tersebut tergantung pada kondisi pasar,
maka pendekatan Transaction Cost dianggap lebih baik untuk menjelaskan
keanekaragaman dan variasi perilaku internasionalisasi.
2. Model Uppsala hanya menjelaskan proses awal internasionalisasi ketika perusahaan
masih mengalami banyak hambatan pengetahuan pasar dan sumberdaya pasar
(Forsgren, 1989; dikutip dalam Johanson & Vahlne, 1990). Saat perusahaan telah
beroperasi di banyak negara, faktor seperti pengetahuan pasar dan sumberdaya pasar
bukan masalah lagi.
3. Dunia telah menjadi lebih homogen dan oleh karenanya perbedaa kultural (psychic
distance) menurun. Banyak perusahaan yang memasuki pasar secara langsung ke
pasar yang lebih besar. Pengaruh lingkungan lainnya adalah tersedianya pasokan
informasi dan cara pengiriman informasi yang lebih efisien, peningkatan penekanan
perusahaan pada riset dan pengembangan, dan seterusnya yang memiliki pengaruh
terhadap proses internasionalisasi.
4. Studi lainnya menunjukkan bahwa model Uppsala tidak valid untuk menjelaskan
fenomena pada industri jasa (Sharma & Johanson, 1987; dikutip dalam Andersen,
1997; Johanson & Vahlne, 1990). Studi terhadap bank-bank di Swedia menunjukkan
proses internasionalisasi mereka tidak terpaku oleh perbedaan kultural. Hal yang sama
juga dilaporkan pada perusahaan konsultan teknik di Eropa, di mana akumulasi
komitmen terhadap pasar asing dalam proses internasionalisasi pada perusahaan-
perusahaan tersebut dilaporkan tidak ada (Johanson & Vahlne, 1990).

17
Seperti halnya juga dengan teori lain, Transaction Cost Approach juga memiliki
beberapa kekurangan, diantaranya:
1. Kebanyakan studi TCA mengenai mode of entry menggunakan perusahaan sebagai
unit analisis, padahal seharusnya yang menjadi unit analisis adalah transaksi.
2. Transaction cost sulit diukur. Oleh karenanya, TCA lebih banyak menggunakan
ukuran-ukuran tidak langsung (indirect measures), seperti asset specificity dan
uncertainty. Para pakar berpendapat bahwa transaction cost sulit diprediksi secara
tepat sebelum operasi internasional suatu perusahaan dijalankan (Dunning, 1993).
3. Ketidakpastian internal juga sulit diukur. Para peneliti terdahulu menggunakan
international experience perusahaan yang terakumulasi, jarak sosiokultural, dan
besarnya komunitas bisnisasing sebagai ukuran tidak langsung untuk menentukan
besarnya ketidakpastian internal.

Paradigma Eclectic, teori ini merupakan penyempurnaan atas Transaction Cost


Approach. Teori ini menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang menentukan pemilihan
mode of entry di pasar asing oleh perusahaan, yaitu Ownership Specific Advantages,
Locational Advantages, dan Internalisation Advantages (Dunning, 1980, 1988).
Organizational Capability Perspective, perspektif ini mengakui adanya kesulitan
locational effect untuk mengeksploitasi know-how suatu perusahaan yang ada di suatu
negara ke negara lain. Apabila di dalam eksploitasi suatu keunggulan, potensi erosi
terhadap nilai know-how akibat ownership effect lebih besar daripada locational effect,
maka perusahaan akan cenderung memilih melakukan internalisasi. Sebaliknya, apabila
potensi erosi terhadap nilai know-how akibat locational effect lebih besar daripada
ownership effect, maka perusahaan akan cenderung memilih kolaborasi. Perspektif ini
membatasi mode of entry pada dua jenis, yaitu internalisasi dan kolaborasi. Namun pada
praktiknya, terdapat kesulitan dalam pengukuran kapabilitas perusahaan.
Beberapa penelitian telah dilakukan dibeberapa negara mengenai internasionalisasi.
Hasil penelitian menunjukkan beberapa faktor pendorong dan penghambat dalam proses
internasionalisasi. Faktor-faktor tersebut tidak terlepas dari mode of entry yang dipilih oleh
perusahaan yang melakukan internasionalisasi.

18
Model Uppsala Paradigm Eclectic Network Perspective
Johanson & Vahlne (1977) Dunning (1980)

Teori Dasar Teori Dasar Teori Dasar


Resource Based Theory Transaction Cost Theory Network Theory
Cyert & March (1963) (Anddersen 1997),
International Trade Theory,
Resource Based Theory

Variabel Utama Variabel Utama

(1) Organization Knowledge Business Relationship


(2) Organization Comitment .
Variabel Utama

(1) Ownership Specific Adv.


(2) Location Advantage
(3) Internationalization Adv.
Mode of Entry

Establishment chain:(1) tanpa


ekspor, (2) ekspor melalui
agen, (3) sales subsidiary, (4)
manufacturing abroad.

Psychic distance Mode of Entry


model:dimulai dari pasar Mode of Entry
dengan jarak psikis (kultur) Beberapa klasifikasi seperti
yang rendah sampai ke (1) Independent Mode, (1) International extension,
jarak psikis yang tinggi (2) Cooperative Mode, (2) penetration,
(3) Integrated Mode (3) International integration

Integrative Mode of Entry

(1) Export through Agent (Integrated Mode / International Integration)


(2) Sales Subsidary (Cooperative Mode / Penetration)
(3) Manufacturing Abroad (Independent Mode / International Extention)

19
Faktor Pendorong dan Penghambat Internasionalisasi

Faktor Pendorong Faktor Penghambat


No. Peneliti
Internasionalisasi Internasionalisasi
1 Tasweer 1. Dukungan 1. Minimnya
Hussain Shah, pemerintah infrastruktur
el al 2. Penelitian dan 2. Keuangan yang
2012 inovasi tidak mencukupi
3. Pengembangan 3. Fasilitas penelitian
industry ekspor yang tidak
4. Hubungan memadai
kewirausahaan 4. Kebijakan ekonomi
yang tidak baik
(peran pemerintah)

2 Fernando Teknologi
Vásquez dan
Clair
Doloriert
2011
3 Marjorie- Teknologi
Annick Lecerf
2012
4 Zizah Che 1. Karakter perusahaan
Senika 2. Factor industry
2010 3. Pengaruh eksternal
4. Motivasi

5 Indra Dusoye 1. Biaya pembuatan


et al kantor di luar
2013 negeri
2. Pemasaran dan
logistik
6 Jim Bell 1. Kebijakan bisnis
2004 2. Kebijakan produk
3. Kebijakan pasar dan
inovasi
7 Shankar 1. Keunggulan
Chelliah komparatif
2010 2. Sikap manajemen
3. Pengetahuan
manajemen
4. Pengalaman
manajmeen
8 Shouchao He 1. Krisis global
2011 2. Infrastruktur
minim
3. Dukungan
pemerintah kurang

20
Referensi

Ritzer G.: Introduction to Part 1 [in:] The Blackwell Companion to Globalization, ed. G.
Ritzer,Blackwell Publishing, Oxford – Carlton 2007, p. 17; Ladi S.,
Globalisation, Policy Transfer andPolicy Research Institutes, Edward Elgar
Publishing, Cheltenham – Northampton 2005, p. 16.
Zweig D.: Internationalizing China: Domestic Interests and Global Linkages, Cornell
UniversityPress, New York 2002, p. 3.
The Group of Lisbon, Limits to Competition, PIT Press, Cambridge – London 1995, p. 15.
Welch L.S., Luostarinen R.: Internationalization: Evolution of a Concept, „Journal of
GeneralManagement” 1988, vol. 14, no. 2, p. 36.
Chandra, Gregorius dkk. 2004. Pemasaran Global: Internasionalisasi dan Internetisasi.
Andi: Yogayakarta
Cline W.R.: Financial Globalization, Economic Growth, and the Crisis of 2007–09,
PetersonInstitute for International Economics, Washington DC 2010, p. 235.
SME Observatory Survey Summary, “Flash Eurobarometer” No. 196, European
Commission,May 2007.
Globalisation and Small and Medium Enterprises, OECD, Paris 1997.
Stehr Ch.: Small and Medium-Sized Enterprises and Their Globalization Strategy,
Publishedin: Internationalization, Innovativeness and Growth of Modern
Enterprises, Harvard Business ReviewPolska ICAN sp. z o.o., Warszawa 2010, p.
34.
Daszkiewicz N.: Teorie internacjonalizacji – ewolucja i perspektywy rozwoju, [w:] Małe i
średnieprzedsiębiorstwa. Szanse i zagrożenia rozwoju, red. Daszkiewicz N.,
CeDeWu, Warszawa, 2007,s. 13–24.
Johanson J., Wiedersheim P.: The Internationalization of the Firm: Four Swedish Cases,
“Journalof Management Studies”, October, 1975, pp. 305–322.
Bilkey W.J., Tesar G.: The Export Behaviour of Smaller-Sized Wisconsin Manufacturing
Firms,“Journal of International Business Studies”, Spring/Summer 1977, pp. 93–
98.
Moini A.H., An Inquiry into Successful Exporting: An Empirical Investigation Using a
Three-StageModels, “Journal of Small Business Management”, July, 1995, pp. 9–
25. Leonidou L.C.,
Katsikeas C.S.: The Export Development Process: An Integrative Review of
EmpiricalModels, “Journal of International Business Studies” 1996, vol. 27 (Third
Quarter), pp. 517–551.
Cavusgil S.T.: Differences Among Exporting Firms Based on Their Degree of
Internationalization,“Journal of Business Reasearch” 1884, vol. 12, no. 2.
Czinkota M.: Export Development Strategies: US Promotion Policy, Praeger, New York
1982.

21

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai