Anda di halaman 1dari 18

BERSIKAP DEMOKRATIS

A. QS. Ali ‘Imran Ayat 159

                
              
  

B. Terjemahan
Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu[1]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”

C. Kosa Kata
Secara etimologis, linta terambil dari akar kata al-lin yang berarti “lemah lembut”, lawan al-
khusyunah atau kasar. Pada asalnya kata lin diperuntukan bagi benda – benda yang bersifat hissi
(materi), namun akhirnya digunakan untuk hal – hal yang maknawi seperti akhlak. Linta berarti
“kamu lemah lembut” ayat 159 ini menjelaskan, hanyalah karena rahmat Allah, Rasulullah dapat
memiliki sikap lemah lembut dan tidak kasar terhadap para pengikutnya (para sahabat) meskipun
mereka melakukan kesalahan dalam perang uhud, dengan meninggalkan posisi yang strategis di atas
bukit, hal ini menyebabkan kegagalan dipihak kaum muslimin. Dengan sikap ini, orang – orang yang
ada di sekelilingnya tidak akan menjauh dan akan semakin semakin dekat dengannya.

E. Munasabah / Asbabun Nuzul


Sebab – sebab turunya ayat ini kepada Nabi Muhammad saw adalah sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas. Ibnu Abbas ra menjelaskan bahwasanya setelah terjadinya perang Badar, Rasulullah
mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar ra dan Umar bin Khaththab ra untuk meminta pendapat
meraka tentang para tawanan perang, Abu Bakar ra berpendapat, meraka sebaiknya dikembalikan
kepada keluargannya dan keluargannya membayar tebusan. Namun, Umar ra berpendapat mereka
sebaiknya dibunuh. Yang diperintah membunuh adalah keluarganya. Rasulullah mesulitan dalam
memutuskan. Kemudian turunlah ayat ini sebagai dukungan atas Abu Bakar (HR. Kalabi).[2]

F. Tafsir QS. Ali ‘Imran ayat 159


Menurut Ibnu Kaisan, Maa adalah Maa Nakirah yang berada pada posisi majrur dengan sebab ba’,
sedangkan Rahmatin adalah badalnya. Maka makna ayat adalah ketika Rasulullah SAW bersikap
lemah-lembut dengan orang yang berpaling pada perang uhud dan tidak bersikap kasar terhadap
mereka maka Allah SWT menjelaskan bahwa beliau dapat melakukan itu dengan sebab taufik-Nya
kepada beliau.[3]

Prof Hamka Menjelaskan tentang QS. Ali Imran ini, dalam ayat ini bertemulah pujian yang tinggi
dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas marah kepada
ummatNya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian
kesalah beberapa orang yang meninggalkan tugasnya, karena laba akan harta itu, namun Rasulullah
tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin.[4] Dalam ayat ini
Allah menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul, bahwasanya sikap yang lemah lembut itu, ialah
karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah rahmatNya. Rasa rahmat, belas kasihan, cinta
kasih itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itu pulalah yang
mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin

Meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan oleh
sebagian kaum muslimin dalam perang uhud sehingga menyebabkan kaum muslimin menderita,
tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan tidak marah terhadap pelanggar itu, bahkan
memaafkannya, dan memohonkan ampunan dari Allah untuk mereka. Andaikata Nabi Muhammad
saw bersikap keras, berhati kasar tentulah mereka akan menjauhkan diri dari beliau.

Disamping itu Nabi Muhammad selalu bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, apalagi
dalam urusan peperangan. Oleh karena itu kaum muslimin patuh melaksanakan putusan – putusan
musyawarah itu karena keputusan itu merupakan keputusan mereka sendiri bersama Nabi. Mereka
tetap berjuang dan berjihad dijalan Allah dengan tekad ayng bulat tanpa menghiraukan bahaya dan
kesulitan yang mereka hadapi. Mereka bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang
dapat membela kaum muslimin selain Allah.[5]

M. Quraish Shihab di dalam Tafsirnya al-Misbah menyatakan bahwa ayat ini diberikan Allah kepada
Nabi Muhammad untuk menuntun dan membimbingnya, sambil menyebutkan sikap lemah lembut
Nbi kepada kaum muslimin, khususnya mereka yang telah melakukan pelanggaran dan kesalahan
dalam perang uhud itu. Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat
mengandung emosi manusia untuk marah, namun demikian, cukuo banyak pula bukti yang
menunjukan kelemah lembutan Nabi saw. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum
memutuskan perang, beliau menerima usukan mayoritas mereka, walau beliau kurang berkenan,
beliau tidak memaki dam mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi
hanya menegurnya dengan halus, dan lain lain.

Jika demikian, maka disebabkan rahmat yang amat besar dari Allah, sebagaimana dipahami dari
bentuk infinitif (nakirah) dari kata rahmat, bukan oleh satu sebab yang lain sebagaiman dipahami dari
huruf (‫ )ما‬maa yang digunakan disini dalam kontek penetapan rahmat-Nya – disebabkan karena
rahmat Allah itu – engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras,
buruk perangai, kasarkata lagi berhati kasar tidak peka terhadap keadaan orang lain, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu, disebabkan oleh antipati terhadapmu. Karena perangimu tidak
seperti itu maka maafkanlah kesalahan – kesalahan mereka yang kali ini mereka lakukan,
mohonkanlahampunan kepada Allah bagi mereka atas dosa-dosa yang mereka lakukan
danbermusyawarahlahdenganmerekadalamurusanitu, yakni dalam urusan peperangan daln urusan
dunia, bukan urusan syari’at atau agama. Kemudianapabilaengkautelah melakukan hal-hal di atas dan
telah membulatkantekad, melaksanakan hasil musyawarah kamu, maka laksanakanlah sambil
bertawakalkepadaAllah, sesungguhnyaAllahmenyukaiorang-orang yang bertawakal kepada-Nya,
dengan demikian Dia akan membantu dan membimbing mereka kearah apa yang mereka harapkan.

Firman-Nya: maka disebabkan rahmat yang amat besar dari Allah, engkau berlaku lemah lembut
terhadap mereka dapat menjadi salah satu bukti bahwa Allah sendiri yang mendidik dan membentuk
kepribadian Nabi Muhammad saw, sebagaimana sabda Beliau : “Aku didik oleh tuhan-Ku, maka
sungguh baik hasil pendidikan-Nya”. Kepribadian beliau dibentuk sehingga bukan hanya
pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu al-Qur’an, tetapi juga qalbu
beliau disinari, bahkan totalitas wujud beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam.

Adapun kandungan dari QS. Ali ‘Imran aayt 159 adalah sebagai berikut:

Pertama: Para ulama berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan perintah-
perintah ini secara berangsur-angsur. Artinya, Allah SWT memerintahkan kepada beliau untuk
memaafkan mereka atas kesalahan mereka terhadap beliau. Setelah mereka mendapat maaf, Allah
SWT memerintahkan beliau utnuk memintakan ampun atas kesalahan mereka terhadap Allah SWT.
Setelah mereka mendapat hal ini, maka mereka pantas untuk diajak bermusyawarah dalam segala
perkara”.

Kedua: Ibnu ‘Athiyah berkata, “Musyawarah termasuk salah satu kaidah syariat dan penetapan
hokum-hukum. Barangsiapa yang tidak bermusyawarah dengan ulama, maka wajib diberhentikan
(jika dia seorang pemimpin). Tidak ada pertentangan tentang hal ini. Allah SWT memuji orang-orang
yang beriman karena mereka suka bermusyawarah dengan firman Nya “sedang urusan mereka
(diputuskan dengan musyawarat antara mereka”

Ketiga: Firman Allah SWT: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.
Menunjukkan kebolehan ijtihad dalam semua perkara dan menentukan perkiraan bersama yang
didasari dengan wahyu. Sebab, Allah SWT mengizinkan hal ini kepada Rasul-Nya. Para ulama
berbeda pendapat tentang makna perintah Allah SWT kepada Nabi-Nya ntuk bermusyawarah dengan
para sahabat beliau.
Sekelompok ulama berkata, “Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal taktik perang dan
ketika berhadapan dengan musuh untuk menenangkan hati mereka, meninggikan derajat mereka dan
menumbuhkan rasa cinta kepada agama mereka, sekalipun Allah SWT telah mencukupkan beliau
dengan wahyu-Nya dari pendapat mereka”.

Kelompok lain berkata, “ Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal yang tidak ada wahyu
tentangnya,” pendapat ini diriwayatkan dari Hasan Al Basri dan Dhahak. Mereka berkata, “Allah
SWt tidak memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk bermusyawarah karena Dia membutuhkan
pendapat mereka, akan tetapi Dia hanya ingin memberitahukan keutamaan yang ada di dalam
musyawarah kepada mereka dan agar umat beliau dapat menauladaninya.

Keempat: Tertera dalam tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah ra. Dia berkata. “Rasulullah SAW
bersabda, yang artinya: “Orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang dapat dipercaya”. Para
ulama berkata, “Kriteria orang yang layak untuk diajak musyawarah dalam masalah hokum adalah
memiliki ilmu dan mengamalkan ajaran agama. Dan criteria ini jarang sekali ada kecuali pada orang
yang berakal”. Hasan berkata, “Tidaklah sempurna agama seseorang selama akalnya belum
sempurna”.

Maka apabila orang yang memenuhi criteria di atas diajak untuk bermusyawarah dan dia
bersungguh-sungguh dalam memberikan pendapat namun pendapat yang disampaikannya keliru
maka tidak ada ganti rugi atasnya. Demikian yang dikatakan oleh Al Khaththabi dan lainnya.

Kelima: yang diajak bermusyawarah dalam masalah kehidupan di masyarakat adalah memiliki
akal, pengalaman dan santun kepada orang yang mengajak bermusyawarah. Sebagian orang berkata,
“Bermusyawarahlah dengan orang yang memiliki pengalaman, sebab dia akan memberikan
pendapatnya kepadamu berdasarkan pengalaman berharga yang pernah dialaminya dan kamu
mendapatnya dengan cara gratis”.

Keenam: Dalam musyawarah pasti ada perbedaan pendapat. Maka, orang yang bermusyawarah harus
memperhatikan perbedaan itu dan memperhatikan pendapat yang paling dekat dengan kitabullah dan
sunnah, jika memungkinkan. Apabila Allah SWT telah menunjukkan kepada sesuatu yang Dia
kehendaki maka hendaklah orang yang bermusyawarah menguatkan tekad untuk melaksanakannya
sambil bertawakal kepada-Nya, sebab inilah akhir ijtihad yang dikehendaki. Dengan ini pula Allah
SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam ayat ini.

Ketujuh: Firman Allah SWT “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah
kepada Allah”. Qatadah berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila telah
membulatkan tekad atas suatu perkara agar melaksanakannya sambil bertawakal kepada Allah SWT,
bukan tawakal kepada musyawarah mereka.

Kedelapan: Firman Allah SWT“Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”.Tawakal artinya berpegang teguh kepada Allah SWT
sembari menampakkan kelemahan. Para ulama berbeda pendapat tentang Tawakal. Suatu kelompok
sufi berkata, “Tidak akan dapat melakukannya kecuali orang yang hatinya tidak dicampuri oleh takut
kepada Allah, baik takut kepada bintang buas atau lainnya dan hingga dia meninggalkan usaha
mencari rezeki karena yakin dengan jaminan Allah SWT.”

G. Ayat dan Hadis terkait


1. Nabi Muhammad saw bersabda : “Aku didik oleh tuhan-Ku, maka sungguh baik hasil pendidikan-
Nya”(HR. Asyhari)
2. Dari abi burdah ia berkata: Nabi Muhammad mengutus kakekku abu musa dan mu’adz ke Yaman
lalu bersabda: permudahlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan
menjauhkan( membuat orang lari) dan berlemah lembutlah.

H. Relevansi Q.S. ali-‘Imran 159 dengan Pendidikan

Relevansi QS. Ali ‘Imran dengan pendidikan khususnya bagi seorang pendidik yang mempunyai
tanggung jawab yang besar untuk mendidik, membimbing, membina, mengarahkan peserta didinya
sesuai dengan fitah yang telah diberikan Allah kepada mereka. Tanggung jawab ini harus di emban
dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, agar tujuan dari pendidikan yaitu membentuk Insan kamil,
menjadi hamba Allah yang selalu taat, tunduk dan patuh kepada-Nya, dan menjadi manusia yang
mempunyai wawasan keilmua yang tinggi sehingga bisa menjadi orang yang bahagia dunia dan
akhirat.

Diantara hal yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik ketika melaksankankan kegiatan
pembelajaran, adalah harus bersikap lemah lembut, menyenagkan untuk anak didiknya, tidak
membosankan, menjadi tempat untuk berlindung dan tempat untuk memecahkan masalah. Jangan
sampai menjadi seorang pendidik yang tempra mental, cepat marah, kasar, keras hati, tidak
mempedulikan peserta didiknya. Sikap – sikap itu akan membuat peserta didik jauh dan menjauhi
sang pendidik dan tujun dari pendidikan kemungkinan besar akan susah untuk dicapai.

Dalam melaksanakan kegiatan pendidikan, pendidik juga harus melakukan diskusi dengan peserta
didiknya, apa yang menjadi kendal mereka dalam pelajaran, apa yang menjadi keinginan mereka
dalam proses pembelajaran misalnya dalam penggunaan metode atau pemberian tugas dan lain
sebagainya. Jangan sampai pendidik itu menjadai orang yang otoriter tidak memrima masukan dari
peserta didiknya, menganggap ia paling pintar dan paling tahu segalanya. Padahal Allah telah
berfirman bahwasanya Allah memberikan kita akan ilmu itu hanyalah sedikit, bila diumpamakan
denagn ilmu Allah ilmu kita itu bagaikan setetes air yang jatuh dari jarum yang kita masukan
kesamudera yang luas. Manusia juga mempunyai kelebihan masing – masing ada yang mempunyai
keahlian dibidang komputer, pertanian, mengajar, membaca al-Qur’an dan lain sebagainya.

Kemudian ketika kita menemukan kesalahan dari peserta didik, kekurang mampuan dalam, menyerap
pelajaran, bandel dan sebainya. Jangan lantas kita membeci mereka, memperlakukan mereka dengan
kasar dan keras, menghukum mereka secara berlebihan atau bahkan mengatakan mereka dengan
perkataan yang kotor. Karena hal itu tidak akan menyelesaikan masalah akan tetapi justru akan
meimbulkan banyak masalah bagi pendidik itu sendiri lebih – lebih bagi peserta didik yang masih
dalam tahap pembelajaran. Maafkanlah semua kesalahan mereka seraya menesehati mereka dengan
lemah lembut, bukan berarti lemah lembut itu tidak tegas, tetapi lemah lembut dalam menasuhatinya
denagan tutur kata yang baik dan tidak menyudutkan mereka, karena mereka adalah tanggung jawab
pendidik dan seorang pendidik haru intropeksi diri.

Setelah kita berusahan dengan keras melakukan pendidikan dengan memberikan arahan, bimbingan,
wawasan pengetahuan kepada peserta didik, Sebagai seorang muslim, kita harus selalu menyerahkan
segala urusan kepada Allah. Keinginan, cita-cita, harapan, semuanya kita kembalikan kepada Allah.
Tentu saja setelah usaha maksimal (tentu yang dibenarkan syara`), bermusyawah, berkonsultasi
kepada para ahli, dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Ketawakkalan seseorang kepada Allah,
adalah bukti kebenaran keimanan seorang hamba. Karena hanya kepada Allah kita bersandar. Karena
Allah sangat menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.

PERBEDAAN MUSYAWARAH DAN DEMOKRASI

Sebelumnya, kita telah membahas tentang prinsip dasar demokrasi yang bertentangan dengan prinsip-
prinsip Islam, sehingga menjadikan sistem demokrasi ini haram dalam pandangan Islam. Selanjutnya
kini kita akan membahas mengenai perbedaan antara sistem syura’ (musyawarah) yang dimiliki Islam
dengan sistem demokrasi yang berasal dari Yunani. Berikut ini penjelasan yang dipaparkan oleh
Ustadz Muhammad Nur Ichwan Muslim, mengenai syura’ dan demokrasi:

Definisi Syura’’ (Musyawarah)

Menurut bahasa, syura’ memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau
mengambil sesuatu (Mu’jam Maqayis Al Lughah 3/226).

Sedangkan secara istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan definisi syura’, diantara
mereka adalah Ar Raghib Al Ashfahani yang mendefinisikan syura’ sebagai proses mengemukakan
pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura’ (Al Mufradat fi Gharib Al Quran hlm. 207).

Ibnu Al Arabi Al Maliki mendefinisikannya dengan berkumpul untuk meminta pendapat (dalam
suatu permasalahan) dimana peserta syura’ saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki (Ahkam Al
Quran 1/297).
Sedangkan definisi syura’ yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer diantaranya adalah proses
menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati
kebenaran (Asy Syura’ fi Zhilli Nizhami Al Hukm Al Islami hlm. 14).

Dari berbagai definisi yang disampaikan di atas, kita dapat mendefinisikan syura’ sebagai proses
memaparkan berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam suatu
perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan berakal, agar dapat mencetuskan
solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan
(Asy Syura’ fi Al Kitab wa as-Sunnah hlm. 13).

Pensyari’atan Syura’ dalam Islam


Islam telah menuntunkan umatnya untuk bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan individu,
keluarga, bermasyarakat dan bernegara.

Dalam kehidupan individu, para sahabat sering meminta pendapat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh adalah tindakan Fathimah
yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm
berkeinginan untuk melamarnya (HR. Muslim : 1480).

Dalam kehidupan berkeluarga, hal ini diterangkan dalam surat Al Baqarah ayat 233, dimana Allah
berfirman, “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh
orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan“. (Al Baqarah : 233).

Imam Ibnu Katsir mengatakan, Maksud dari firman Allah (yang artinya), ” Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada
dosa atas keduanya” adalah apabila kedua orangtua sepakat untuk menyapih sebelum bayi berumur
dua tahun, dan keduanya berpendapat hal itu mengandung kemaslahatan bagi bayi, serta keduanya
telah bermusyawarah dan sepakat melakukannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dengan
demikian, faidah yang terpetik dari hal ini adalah tidaklah cukup apabila hal ini hanya didukung oleh
salah satu orang tua tanpa persetujuan yang lain. Dan tidak boleh salah satu dari kedua orang tua
memilih untuk melakukannya tanpa bermusyawarah dengan yang lain (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim
1/635).

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Al Quran telah menceritakan bahwa syura’ telah
dilakukan oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh ratunya, yaitu Balqis. Pada
surat an-Naml ayat 29-34 menggambarkan musyawarah yang dilakukan oleh Balqis dan para
pembesar dari kaumnya guna mencari solusi menghadapi nabi Sulaiman ‘alahissalam.

Demikian pula Allah telah memerintahkan rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk


bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Allah Ta’ala berfirman,“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, Karena itu
ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (Ali ‘Imran : 159).

Di dalam ayat yang lain, di surat Asy Syura’ ayat 38, Allah Ta’ala berfirman, “Dan (bagi) orang-
orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang
Kami berikan kepada mereka”. (Asy Syura’ : 36-39).

Maksud firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka” adalah mereka tidak melaksanakan suatu urusan sampai mereka saling
bermusyawarah mengenai hal itu agar mereka saling mendukung dengan pendapat mereka seperti
dalam masalah peperangan dan semisalnya (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim 7/211).
Seluruh ayat Al Quran di atas menyatakan bahwasanya syura’ (musyawarah) disyari’atkan dalam
agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura’ adalah sebuah kewajiban, terlebih
bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku jabatan. Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah untuk mempersatukan hati
para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh orang-orang setelah beliau, serta agar beliau mampu
menggali ide mereka dalam permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik
permasalahan yang terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan
demikian, selain beliau shallallahu’alaihi wa sallam tentu lebih patut untuk bermusyawarah” (As
Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 126).
Sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menunjukkan betapa nabi shallallahu’alaihi wa sallam
sangat memperhatikan untuk senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai
urusan terutama urusan yang terkait dengan kepentingan orang banyak.

Beliau pernah bermusyawarah dengan para sahabat pada waktu perang Badar mengenai
keberangkatan menghadang pasukan kafir Quraisy.Selain itu, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bermusyawarah untuk menentukan lokasi berkemah dan beliau menerima pendapat Al
Mundzir bin ‘Amr yang menyarankan untuk berkemah di hadapan lawan.

Dalam perang Uhud, beliau meminta pendapat para sahabat sebelumnya, apakah tetap tinggal di
Madinah hingga menunngu kedatangan musuh ataukah menyambut mereka di luar Madinah.
Akhirnya, mayoritas sahabat menyarankan untuk keluar Madinah menghadapi musuh dan beliau pun
menyetujuinya.

Dalam masalah lain, ketika terjadi peristiwa hadits Al ifki, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
meminta pendapat ‘Ali dan Usamah perihal ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anhum.

Demikianlah, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bermusyawarah dengan para sahabatnya baik
dalam masalah perang maupun yang lain.

Urgensi dan Faedah Syura’

Ibnu ‘Athiyah mengatakan, “Syura’ merupakan aturan terpenting dalam syari’at dan ketentuan
hukum dalam Islam” (Al Muharrar Al Wajiz). Apa yang dikatakan oleh beliau mengenai syura’ benar
adanya karena Allah ta’ala telah menjadikan syura’ sebagai suatu kewajiban bagi hamba-Nya dalam
mencari solusi berbagai persoalan yang membutuhkan kebersamaan pikiran dengan orang lain. Selain
itu, Allah pun telah menjadikan syura’ sebagai salah satu nama surat dalam Al Quran Al Karim.
Kedua hal ini cukup untuk menunjukkan betapa syura’ memiliki kedudukan yang penting dalam
agama ini.

Amir Al Mukminin, ‘Ali radhiallahu ‘anhu juga pernah menerangkan manfaat dari syura’. Beliau
berkata, “Ada tujuh keutamaan syura’, yaitu memperoleh solusi yang tepat, mendapatkan ide yang
brilian, terhindar dari kesalahan, terjaga dari celaan, selamat dari kekecewaan, mempersatukan
banyak hati, serta mengikuti atsar (dalil) (Al Aqd Al Farid hlm. 43).

Urgensi dan faedah syura’ banyak diterangkan oleh para ulama, diantaranya imam Fakhr ad-Din ar-
Razy dalam Mafatih Al Ghaib 9/67-68. Secara ringkas beliau menyebutkan bahwa syura’ memiliki
faedah antara lain adalah sebagai berikut :

1. Musyawarah yang dilakukan nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan para sahabatnya


menunjukkan ketinggian derajat mereka (di hadapan nabi) dan juga hal ini membuktikan betapa
cintanya mereka kepada beliau dan kerelaan mereka dalam menaati beliau. Jika beliau tidak
mengajak mereka bermusyawarah, tentulah hal ini merupakan bentuk penghinaan kepada mereka.
2. Musyawarah perlu diadakan karena bisa saja terlintas dalam benak seseorang pendapat yang
mengandung kemaslahatan dan tidak terpikir oleh waliy Al amr (penguasa). Al Hasan pernah
mengatakan, “Setiap kaum yang bermusyawarah, niscaya akan dibimbing sehingga mampu
melaksanakan keputusan yang terbaik dalam permasalahan mereka” (Al Adab karya Ibnu Abi
Syaibah 1/149).
3. Al Hasan dan Sufyan ibn ‘Uyainah mengatakan, “Sesungguhnya nabi diperintahkan untuk
bermusyawarah agar bisa dijadikan teladan bagi yang lain dan agar menjadi sunnah (kebiasaan)
bagi umatnya”
4. Syura’ memberitahukan kepada rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan juga para penguasa
setelah beliau mengenai kadar akal dan pemahaman orang-orang yang mendampinginya, serta
untuk mengetahui seberapa besar kecintaan dan keikhlasan mereka dalam menaati beliau. Dengan
demikian, akan nampak baginya tingkatan mereka dalam keutamaan.

Perbedaan antara Syura’ dan Demokrasi


Telah disebutkan sebelumnya bahwa makalah ini berusaha untuk memaparkan sisi-sisi perbedaan
antara syura’ dan demokrasi mengingat beberapa kalangan menyamakan antara keduanya. Meskipun,
komparasi antara keduanya tidaklah tepat mengingat syura’ berarti meminta pendapat (thalab ar-
ra’yi) sehingga dia adalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat dalam Islam dan merupakan
bagian dari proses sistem pemerintahan Islam (nizham as-Siyasah Al Islamiyah). Sedangkan
demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-
undang, dan sistem pemerintahan, sehingga bukan sekedar proses pengambilan pendapat (Syura’
bukan Demokrasi karya M. Shiddiq Al Jawi). Dengan demikian, yang tepat adalah ketika kita
membandingkan antara system pemerintahan Islam dengan demokrasi itu sendiri.

Perbedaan antara sistem pemerintahan Islam yang salah satu landasannya adalah syura’ dengan
sistem demokrasi terangkum ke dalam poin-poin berikut :

a. Umat (rakyat) dalam suatu sistem demokrasi dapat didefinisikan sebagai sekumpulan manusia
yang menempati suatu wilayah tertentu, dimana setiap individu di dalamnya berkumpul dikarenakan
kesadaran untuk hidup bersama, dan diantara faktor yang membantu terbentuknya umat adalah
adanya kesatuan ras dan bahasa (Mabadi Nizham Al Hukm fi Al Islam hlm. 489).Sedangkan dalam
sistem Islam, definisi umat sangatlah berbeda dengan apa yang disebutkan sebelumnya, karena dalam
mendefinisikan umat, Islam tidaklah terbatas pada faktor kesatuan wilayah, ras, dan bahasa. Namun,
umat dalam Islam memiliki definisi yang lebih luas karena akidah islamiyah-lah yang menjadi tali
pengikat antara setiap individu muslim tanpa membeda-bedakan wilayah, ras, dan bahasa. Dengan
demikian, meski kaum muslimin memiliki beraneka ragam dalam hal ras, bahasa, dan wilayah,
mereka semua adalah satu umat, satu kesatuan dalam pandangan Islam (Asy Syura’ wa ad-
Dimuqratiyyah Al Ghariyyah hlm. 25).

b. Sistem demokrasi hanya berusaha untuk merealisasikan berbagai tujuan yang bersifat materil demi
mengangkat martabat bangsa dari segi ekonomi, politik, dan militer. Sistem ini tidaklah
memperhatikan aspek ruhiyah.

Berbeda tentunya dengan sistem Islam, dia tetap memperhatikan faktor-faktor tersebut tanpa
mengenyampingkan aspek ruhiyah diniyah, bahkan aspek inilah yang menjadi dasar dan tujuan dalam
sistem Islam.Dalam sistem Islam, aspek ruhiyah menjadi prioritas tujuan dan kemaslahatan manusia
yang terkait dengan dunia mereka ikut beriringan di belakangnya (Asy Syura’ wa ad-Dimuqratiyyah
Al Ghariyyah hlm. 25).

c. Di dalam sistem demokrasi, rakyat memegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan
diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat,
maka dapat dimentahkan, demikian pula peraturan baru yang sesuai dengan keinginan dan tujuan
masyarakat dapat disusun dan diterapkan.

Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali berpatokan pada hukum Allah suhanahu wa
ta’ala. Masyarakat tidaklah diperkenankan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan
tersebut sesuai dengan hukum Islam yang telah diterangkan-Nya dalam Al Quran dan lisan nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan
dibentuk sesuai dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at (An Nazhariyaat as-
Siyaasiyah Al Islamiyah hlm. 338).

d. Kewenangan majelis syura’ dalam Islam terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada
waliyul amr (pemerintah). Syura’ terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash (dalil tegas)
atau permasalahan yang memiliki nash namun indikasi yang ditunjukkan memiliki beberapa
pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan dengan indikasi hukum yang
jelas, maka syura’ tidak lagi diperlukan. Syura’ hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme
pelaksanaan nash-nash syari’at.

Ibnu Hajar mengatakan, “Musyawarah dilakukan apabila dalam suatu permasalahan tidak terdapat
nash syar’i yang menyatakan hukum secara jelas dan berada pada hukum mubah, sehingga
mengandung kemungkinan yang sama antara melakukan atau tidak. Adapun permasalahan yang
hukumnya telah diketahui, maka tidak memerlukan musyawarah (Fath Al Baari 3/3291).

Adapun dalam demokrasi, kewenangan parlemen bersifat mutlak. Benar undang-undang mengatur
kewenangannya, namun sekali lagi undang-undang tersebut rentan akan perubahan (Asy Syura’ wa
Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428).

e. Syura’ yang berlandaskan Islam senantiasa terikat dengan nilai-nilai akhlaqiyah yang bersumber
dari agama. Oleh karena itu, nilai-nilai tersebut bersifat tetap dan tidak tunduk terhadap berbagai
perubahan kepentingan dan tujuan. Dengan demikian, nilai-nilai tersebutlah yang akan menetapkan
hukum atas berbagai aktivitas dan tujuan umat.

Di sisi lain, demokrasi justru berpegang pada nilai-nilai yang relatif/nisbi karena dikontrol oleh
beranka ragam kepentingan dan tujuan yang diinginkan oleh mayoritas (Asy Syura’ wa Atsaruha fi
ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428).

f. Demokrasi memiliki kaitan erat dengan eksistensi partai-partai politik, padahal hal ini tidak sejalan
dengan ajaran Islam karena akan menumbuhkan ruh perpecahan dan bergolong-golongan.

g. Syari’at Islam telah menggariskan batasan-batasan syar’i yang bersifat tetap dan tidak boleh
dilanggar oleh majelis syura’. Berbagai batasan tersebut kekal selama Islam ada.

Adapun demokrasi tidak mengenal dan mengakui batasan yang tetap. Justru aturan-aturan yang
dibuat dalam sistem demokrasi akan senantiasa berevolusi dan menghantarkan pada tercapainya
hukum yang mengandung kezhaliman menyeluruh yang dibungkus dengan slogan hukum mayoritas
(Fiqh asy-Syura’ wal Al Istisyarah hlm. 12).

h. Demokrasi menganggap rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang
berdasar pada hukum mayoritas, suara mayoritaslah yang memegang kendali pensyari’atan suatu
hukum dalam menghalalkan dan mengharamkan. Adapun di dalam sistem syura’, rakyat tunduk dan
taat kepada Allah dan rasul-Nya kemudian kepada para pemimpin kaum muslimin (Asy Syura’ la ad-
Dimuqratiyah hlm. 40-41, Ad Dimuqratiyah Din hlm. 32).

i. Syura’ bertujuan untuk menghasilkan solusi yang selaras dengan Al haq meski bertentangan dengan
suara mayoritas, sedangkan demokrasi justru sebaliknya lebih mementingkan solusi yang merupakan
perwujudan suara mayoritas meski hal itu menyelisihi kebenaran (Hukm ad-Dimuqratiyah hlm. 32).

j. Kriteria ahli syura’ sangatlah berbeda dengan kriteria para konstituen dan anggota parlemen yang
ada dalam sistem demokrasi. Al Mawardi telah menyebutkan kriteria ahli syura’, beliau mengatakan,
“Pertama, memiliki akal yang sempurna dan berpengalaman; Kedua, intens terhadap agama dan
bertakwa karena keduanya merupakan pondasi seluruh kebaikan; Ketiga, memiliki karakter senang
member nasehat dan penyayang, tidak dengki dan iri, dan jauhilah bermusyawarah dengan wanita;
Keempat, berpikiran sehat, terbebas dari kegelisahan dan kebingungan yang menyibukkan; Kelima,
tidak memiliki tendensi pribadi dan dikendalikan oleh hawa nafsu dalam membahas permasalahan
yang menjadi topik musyawarah (Adab ad-Dunya wa ad-Din hlm. 367; Al ‘Umdah fi I’dad Al
‘Uddah hlm. 116; Al Ahkam as-Sulthaniyah hlm. 6; Al Ahkam as-Sultaniyah karya Abu Yala hlm.
24; Ghiyats Al Umam hlm. 33).

Adapun dalam sistem demokrasi, setiap warga negara memiliki porsi yang sama dalam
mengemukakan pendapat, baik dia seorang kafir, fasik (pelaku maksiat), zindik, ataupun sekuler. Al
‘Allamah Ahmad Muhammad Syakir mengatakan, “Diantara konsep yang telah terbukti dan tidak
lagi membutuhkan dalil adalah bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memerintahkan para pemangku pemerintahan setelah beliau untuk bermusyawarah dengan mereka
yang terkenal akan keshalihannya, menegakkan aturan-aturan Allah, bertakwa kepada-Nya,
menegakkan shalat, menunaikan zakat dan berjihad di jalan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menyebut perihal mereka dalam sabdanya, “Hendaklah yang dekat denganku (dalam shaf
shalat) adalah mereka yang cerdas serta berakal” (HR. Muslim: 974).

Mereka bukanlah kaum mulhid (atheis), bukanpula mereka yang memerangi agama Allah, tidakpula
para pelaku maksiat yang tidak berusaha menahan diri dari kemungkaran, dan juga bukan mereka
yang beranggapan bahwa mereka diperbolehkan menyusun syari’at dan undang-undang yang
menyelisihi agama Allah serta mereka boleh menghancurkan syari’at Islam (‘Umdat at-Tafsir 1/383-
384).

k. Ahli syura’ mengedepankan musyawarah dan nasehat kepada pemimpin serta mereka wajib untuk
menaatinya dalam permasalahan yang diperintahkannya. Dengan demikian, kekuasaan dipegang oleh
pemimpin. Pemimpinlah yang menetapkan dan memberhentikan majelis syura’ bergantung pada
maslahat yang dipandangnya (Al ‘Umdah fi I’dad Al ‘Uddah 112).

Sedangkan dalam demokrasi, kekuasaan dipegang oleh parlemen, pemimpin wajib menaati dan
parlemen memiliki kewenangan memberhentikan pemimpin dan menghalangi orang yang kredibel
dari pemerintahan.

l. Apabila terdapat nash syar’i dari Al Quran dan hadits, maka ahli syura’ wajib berpegang dengannya
dan mengenyampingkan pendapat yang menyelisihi keduanya, baik pendapat tersebut merupakan
pendapat minoritas ataupun mayoritas.

Al Bukhari berkata dalam Shahih-nya, “Para imam/pemimpin sepeninggal nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bermusyawarah dengan orang-orang berilmu yang amanah dalam permasalahan yang mubah
agar mampu menemukan solusi yang termudah. Apabila Al Quran dan hadits telah jelas menerangkan
suatu permasalahan, maka mereka tidak berpaling kepada selainnya dalam rangka mengikuti nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Bakr telah berpandangan untuk memerangi kaum yang menolak
membayar zakat, maka Umar pun mengatakan, “Bagaimana bisa anda memerangi mereka padahal
rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi
manusia hingga mereka mengucapkan laa ilaha illallah. Jika mereka telah mengucapkannya, maka
darah dan harta mereka telah terjaga kecuali dengan alasan yang hak dan kelak perhitungannya di sisi
Allah ta’ala.” Maka Abu Bakr pun menjawab, “Demi Allah, saya akan memerangi orang yang
memisah-misahkan sesuatu yang justru digabungkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kemudian Umar pun mengikuti pendapat beliau.

Abu Bakr tidak lagi butuh pada musyawarah dalam permasalahan di atas, karena beliau telah
mengetahui ketetapan rasulullah terhadap mereka yang berusaha memisahkan antara shalat dan zakat
serta berkeinginan merubah aturan dan hukum dalam agama (Shahih Al Bukhari 9/112; Asy-
Syamilah).

Adapun di dalam demokrasi, maka nash-nash syari’at tidaklah berharga karena demokrasi dibangun
di atas asas Al Laadiniyah/al-’Ilmaniyah (ateisme). Oleh karenanya, demokrasi seringkali menyelisihi
berbagai ajaran prinsipil dalam agama Islam seperti penghalalan riba, zina, dan berbagai hukum yang
tidak sejalan dengan apa yang diturunkan Allah ta’ala.

Kesimpulannya adalah tidak ada celah untuk menyamakan antara sistem yang dibentuk dan diridhai
Allah untuk seluruh hamba-Nya dengan sebuah sistem dari manusia yang datang untuk menutup
kekurangan, namun masih mengandung kekurangan, dan berusaha untuk mengurai permasalahan,
namun dia sendiri merupakan masalah yang membutuhkan solusi (Asy Syura’ wa ad-Dimuqratiyyah
Al Gharbiyyah hlm. 32).

Meskipun ada persamaan antara syura’ dan demokrasi sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian
kalangan. Namun, terdapat perbedaan yang sangat substansial antara keduanya, mengingat bahwa
memang syura’ adalah sebuah metode yang berasal dari Rabb al basyar (Rabb manusia), yaitu Allah,
sedangkan demokrasi merupakan buah pemikiran dari manusia yang lemah yang tentunya tidak lepas
dari kekurangan.Wallahu Al Muwaffiq.
DEMOKRASI DI DUNIA ISLAM MANFAAT-MADHARAT

SELAMA ini diskusi mengenai Islam dan demokrasi umumnya berkisar pada masalah-masalah
apakah demokrasi sesuai dengan Islam atau tidak. Diskusi ini menggiring opini menuju pada
penentuan hukum boleh tidaknya demokrasi diamalkan oleh umat Islam. Jika boleh berarti ada
kesepadanan atau minimal ada irisan yang bisa diterima antara demokrasi dengan Islam. Jika tidak,
berarti dmokrasi dianggap sesuatu yang sama sekali tidak ekuivalen dengan Islam.

Pada diskusi tentang hukum mengenai demokrasi dari sudut pandang Islam setidaknya ada tiga
pendapat.

Pertama, pendapat kalangan liberal yang cenderung pada pemikiran sekuler. Pendapat ini cenderung
secara gebyah-uyah menyatakan demokrasi sesuai dengan ajaran Islam mi’ah bil mi’ah.

Kedua, pendapat yang secara tegas menolak demokrasi. Demokrasi tidak sesuai sama sekali dengan
Islam. Ajarannya kufur dan bathil karena meletakkan kedaulatan Allah Subhanahu Wata’ala di
bawah kedaulatan manusia yang bisa menentukan apa saja melalui mekanisme demokrasi, termasuk
mengoreksi ketentuan dari Allah Subhanahu Wata’ala .

Ketiga, pendapat yang menganggap demokrasi tidak sepenuhnya sesuai dengan Islam dan tidak pula
sepenuhnya bertentangan. Ada aspek-aspek tertentu dalam demokrasi yang memang tidak bisa
diterima dalam Islam.

Misalnya soal falsafahnya yang menganggap manusia sebagai pemilik kedaulatan tertinggi sehingga
segala persoalan dapat diputus melalui kesepakatan antar-manusia. Pada aspek ini jelas demokrasi
bertentangan dengan prinsip aqidah Islam yang menyerahkan sepenuhnya segala kedaulatan pada
Allah Subhanahu Wata’ala.

Bila Allah Subhanahu Wata’ala sudah menetapkan sesuatu maka kewajiban hamba-hambanya
hanyalah sami’nâ wa atha’nâ (kami mendengar, kami melaksanakan, red).

Akan tetapi, pada teknis pelaksanaannya dalam pengambilan keputusan di luar itu, demokrasi
sesungguhnya ada kesesuaiannya dengan Islam. Islam mengajarkan praktik yang hampir mirip, yaitu
syûrâ (musyawarah).

Musyarah sekalipun tidak sepenuhnya mirip demokrasi, sama-sama menghormati pendapat manusia
banyak dalam menetapkan keputusan. Hanya saja, perkara-perkara yang sudah terang diatur Allah
Subhanahu Wata’ala tidak dapat diubah melalui musyawarah.
Oleh sebab itu, pendapat terakhir ini berkesimpulan bahwa demokrasi boleh digunakan sepanjang
bukan untuk mengubah sesuatu yang sudah menjadi hak prerogatif Allah Subhanahu Wata’ala.

Wacana di atas tentu saja hanya berkembang di negara-negara Islam yang selalu ingin mencari
kebenaran melalui kerangka pikir agamanya.

Sayang walaupun berkembang pemikiran yang kontra sama sekali terhadap demokrasi, namun pada
umumnya hampir seluruh negara Islam selepas kolonialisme Eropa menerima demokrasi sebagai
mekanisme politik yang mereka jalankan.

Alhasil, walaupun ada yang tidak setuju dengan demokrasi, tetap sistem ini mau tidak mau menjadi
alternatif yang paling banyak dipilih. Hanya beberapa negara Islam, terutama di negara-negara
pecahan Arab yang tidak menggunakan sistem ini.

Itupun dalam hal-hal tertentu seperti penyelenggaraan parlemen hasil pilihan rakyat tetap dijalankan,
sekalipun penguasanya adalah “raja” yang dinobatkan tanpa melalui mekanisme demokrasi.

Kemaslahatan
Sebetulnya, untuk mendiskusikan kembali hubungan Islam dan demokrasi setelah puluhan tahun
dijalankan oleh negara-negara Islam tidak cukup hanya berhenti pada analisis hukum yang hanya
bicara boleh dan tidaknya demokrasi dijalankan secara normatif.

Analisis harus diarahkan pada persoalan lain, yaitu kemaslahatan umat setelah berbagai model
demokrasi di negara-negara Islam dijalankan. Dalam hal ini, bukan hanya persoalan kesejahteraan
semata, melainkan mashâlih syar’iyyah ‘âmmah (kemashlahatan yang syar`I secara umum) yang di
dalamnya mempertimbangkan aspek agama (dîn) dan kesejahteraan (keterjagaan nyawa, akal, harta,
dan reproduksi).

Apakah selama ini, saat demokrasi menjadi pilihan negara-negara Islam mashâlih syar’iyyah dapat
diwujudkan? Apabila persoalan ini menjadi pertimbangan, maka analisis hukum bergeser dari fiqih
tekstual yang hanya mempertimbangkan aspek legal-formal ke fikih mashâlih yang
mempertimbangkan aspek kemanfaatan hukum untuk kemaslahatan umum seperti yang
dikembangkan oleh Imam Asy-Syathibi.

Untuk menemukan data yang lebih akurat dan detail tentang aspek maslahat-madharat setelah
demokrasi diterapkan di berbagai negara Islam tentu tidak dapat dijelaskan dalam tulisan singkat ini.
Hanya ada dua pemikiran dasar penting yang harus menjadi kerangka untuk menghimpun berbagai
data di atas.

Pertama, analisis harus diarahkan pertama pada persoalan “agama” (dîn) Islam. Masalah ini penting
karena kemaslahatan pertamadalam syari’at adalah terjaganya agama dari kehancuran (hifzh al-dîn).

Oleh sebab itu, dalam Islam salah satu tujuan utama penyelenggaraan kekuasaan adalah hirâsah al-dîn
(memelihara agama) agar tetap bisa diamalkan seutuhnya. Bagian ini harus selalu disertakan dalam
analisis mengenai demokrasi karena dalam pengamatan sementara hal yang paling banyak dirugikan
setelah demokrasi dipraktikkan adalah agama.

Memang ada kebebasan beragama dalam demokrasi, namun saat agama memenangkan pertarungan
kekuasaan, maka pada saat itulah agama menjadi musuh demokrasi nomor satu. Agama akan segera
disingkirkan dari panging kekuasaan demokrasi oleh tangan-tangan yang tidak kasat mata (invisible
hand).

Kedua, yang harus menjadi perhatian berikutnya adalah masalah kesejahteraan yang dalam mashâlih
syar’iyyah terdiri atas pemeliharaan jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Sesungguhnya seringkali demokrasi tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyatnya.
Banyak negara yang dinilai tidak demokratis seperti Saudi Arabia, Singapura, dan Libya (semasa
Kadafi) dapat menyejahterakan sebagian rakyatnya. Ini menunjukkan korelasi yang negatif antara
demokrasi dengan kesejahteraan rakyat. Pada aspek ini dapat saja kita membandingkan satu negara
sebelum menggunakan demokrasi dan sesudahnya.

Bisa jadi ada negara yang sebelumnya tidak demokratis seperti Indonesia, kemudian memilih
demokrasi dapat relatif berkembang kesejahteraannya dibandingkan dengan masa lalu. Akan tetapi,
akan terlalu simplisistik kalau kemudian kesejahteraan itu disebabkan oleh demokrasi.

Melalui dua kacamata itu, sebetulnya secara umum demokrasi tidak selalu memberikan maslahat.
Bahkan, dalam hal agama, demokrasi jutsru menghambat pelaksanaan agama secara paripurna oleh
para pemeluknya.

Dalam demokrasi lebih berbunyi kalimat “pluralisme” daripada agama. Oleh sebab itu, di negara-
negara Islam yang menerapkan demokrasi posisi agama (Islam) menjadi lebih terancam
keberadaannya. Belum lagi, demokrasi di negara-negara Islam justru membuka celah masuknya
kekuatan-kekuatan asing yang juga sangat bersemangat untuk membendung laju perkembangan
Islam, baik sebagai komunitas maupun ajaran.

Jelaslah bila demikian, demokrasi sesungguhnya amat merugikan saat dilaksanakan oleh negara-
negara Islam. Kalau memang demokrasi memberikan madharat, maka pertanyaan selanjutnya dalam
tulisan ini adalah: “Apa yang harus kita gunakan untuk menggantikan demokrasi?” Pertanyaan ini
harus terlebih dahulu diajukan sebelum pertanyaan berikutnya timbul: “Bagaimana caranya
demokrasi digantikan dengan sistem alternatif lain?” Pertanyaan-pertanyaan ini nantinya akan
membantu kita memutuskan bagaimana sikap kita terhadap sistem ini.*

SYURA (MUSYAWARAH

Di antara nilai-nilai kemanusiaan dan sosial yang dibawa oleh Islam adalah syura (musyawarah).
Makna syura adalah bahwa hendaknya seseorang tidak menyendiri pendapatnya dan dalam
persoalan-persoalan yang memerlukan kebersamaan fikiran dengan orang lain. Karena pendapat dua
orang atau lebih dalam jamaah itu dianggap lebih mendekati kebenaran daripada pendapat seorang
saja.

Sebagaimana musyawarah dalam suatu urusan itu dapat membuka pintu kesulitan dan memberi
kesempatan untuk melihat urusan itu dari berbagai sudut, sesuai dengan perbedaan perhatian tiap
individu dan perbedaan tingkat pemikiran serta tingkat pengetahuan mereka. Dengan demikian maka
keputusan yang diperoleh adalah berdasarkan persepsi (tashawwur) yang syamil (sempurna) dan
berdasarkan studi yang menyeluruh (komprehensi).

Dengan adanya aktifitas bermusyawarah, manusia akan mempunyai nilai tambah, selain dan yang
bersumber dari pikirannya sendiri. Yakni pemikiran orang lain. Selain itu ilmunya juga bertambah
oleh ilmu orang lain. Seorang penyair mengatakan:“Apabila suatu ide itu telah sampai pada
musyawarah, maka minta tolonglah dengan ide orang yang memberi nasihat dengan mantab, dan
jangan kamu mengira bahwa musyawarah itu akan merugikan kamu, karena para pendahulu itu
menjadi penguat generasi masa kini.”

Islam telah menyuruh kita untuk bermusyawarah dalam kehidupan individu, berkeluarga,
bermasyarakat dan bernegara.

SYURA DALAM KEHIDUPAN INDIVIDU

Dalam kehidupan individu Islam mendidik seorang Muslim apabila hendak melakukan sesuatu
urusan yang penting yang di dalamnya masih terdapat banyak perbedaan pandangan dan pendapat
serta kecenderungan-kecenderungan, sehingga membuat ia ragu antara melaksanakan dan tidak,
hendaknya ia menempuh dua jalan dalam rangka untuk memperoleh keputusan yang benar.

Dua jalan itu adalah, yang pertama, bersifat Rabbani; yaitu istikharah kepada Allah SWT, dengan
melakukan shalat dua rakaat, setelah itu berdoa yang intinya adalah meminta pilihan kepada Allah
SWT kebaikan dunia dan akhirat, untuk agama dan dunianya.

Yang kedua bersifat Insani, yaitu dengan musyawarah dengan orang yang dapat dipercaya pendapat,
pengalaman, nasihat dan keikhlasannya. Dengan demikian ia menggabung antara istikharah kepada
Allah dan bermusyawarah dengan manusia.

Kaum Muslimin masih hafal dengan warisannya, yaitu kata-kata Umar:“Tidak rugi orang yang
beristikharah dan tidak merugi orang yang bermusyawarah.”

Para sahabat Radhiyallahu ‘anhum dahulu sering bermusyawarah dengan Nabi SAW dalam banyak
masalah yang khusus, maka Nabi SAW pun memberikan pendapatnya yang benar dan baik.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Fatimah binti Qais pernah bermusyawarah kepada beliau tentang
masalah pernikahannya, karena ada dua laki-laki yang mencintainya yaitu Mu’awiyah dan Abu Jahm.
Maka Nabi SAW bersabda, “Adapun Mu’awiyah, dia adalah seorang yang pelit, tidak mempunyai
harta, sedangkan Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari lehernya (sering memukul
wanita),” kemudian Nabi SAW menawarkan untuk menikah dengan Usamah bin Zaid.

SYURA DALAM KEHIDUPAN BERKELUARGA


Dalam kehidupan berkeluarga, Islam mengajak kita untuk membina kehidupan keluarga atas dasar
musyawarah dan saling ridha. Demikian itu sejak awal pembentukan terbinanya rumah tangga.

Oleh karena itu nash-nash syari’at menolak adanya paksaan seorang ayah untuk menikahkan putrinya
tanpa meminta pendapatnya, walaupun putrinya itu masih gadis. Sebaliknya Islam mewajibkan
sebagaimana disebutkan dalam Taujih Nabawi agar anak wanita gadis itu dimintai izin, meskipun ia
merasa malu, maka izinnya adalah diamnya, karena diam ketika ditawari sesuatu itu menunjukkan
ridha dan menerima.

Nabi SAW pernah menolak sebagian akad nikah yang telah terjadi, di samping karena bukan
keinginan anak puteri, hukum syari’at tidak memperbolehkan kepada siapa pun untuk
mempergunakan harta miliknya tanpa seizin dia. Apalagi masalah pernikahan yang itu menyangkut
masa depan kehidupannya.

Bahkan Sunnah mendorong para wali wanita untuk bermusyawarah dengan ibu anak wanita tersebut
dalam masalah pernikahannya, yakni seorang suami bermusyawarah dengan istrinya ketika ingin
menikahkan anak gadisnya. Dalam hal ini ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad:“Bermusyawarahlah dengan kaum wanita (isteri-isterimu) dalam urusan anak-anaknya.” (HR.
Ahmad)
Demikian itu karena ibu lebih tahu terhadap anak perempuannya daripada ayahnya, karena seorang
ibu dan anaknya itu adalah sama-sama wanita sehingga lebih faham keinginan dan perasaannya,
sementara anak wanita itu sering berterus terang kepada ibunya untuk mengungkapkan rahasianya,
yang itu tidak diperoleh dari ayahnya.

Setelah terbinanya rumah tangga maka wajib bagi suami isteri untuk saling memahami dan saling
bermusyawarah dalam hal yang membawa kepentingan bersama, demikian juga untuk kepentingan
anak-anaknya di masa depan.

Di sini kita tidak boleh meremeh kan pendapat wanita, sebagaimana masyarakat pada umumnya.
Karena banyak wanita yang pendapatnya lebih baik dan membawa berkah untuk keluarga dan
kaumnya (masyarakatnya).

Alangkah cemerlangnya pendapat Khadijah dan sikapnya pada awal turunnya wahyu, dan betapa
peran Khadijah dalam memperkuat mentalitas Nabi SAW sampai beliau membawa pergi Rasulullah
SAW kepada anak pamannya (sepupunya) yaitu Waraqah bin Naufal, semuanya demi menenangkan
dan menggembirakan Nabi SAW Demikian juga pendapat Ummu Salamah ketika terjadi perdamaian
Hudaibiyah (akan ada pembahasan tersendiri tentang masalah tersebut).

Di antara ayat-ayat Al Qur’an yang menarik adalah menyebutkan pentingnya bermusyawarah dan
saling ridha antara suami isteri, yaitu yang berkaitan dengan menyusui anak dan menyapihnya,
meskipun setelah cerai di antara keduanya. Allah SWT berfirman:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknnya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan persusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang ma’ruf (baik). Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanrya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduannya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (Al
Baqarah: 233)

SYURA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT DAN BERNEGARA

Adapun syura dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka Al Qur’an memasukkannya
sebagai unsur terpenting dalam berjamaah (bermasyarakat). Demikian itu disebutkan dalam Al
Qur’an Makky (yang diturunkan di Mekkah) yang telah membangun kaidah-kaidah asasi dan
meletakkan dasar-dasar kehidupan Islam. Maka syura itu juga dimasukkan dalam sifat-sifat orang
yang beriman, disertai dengan sifat-sifat lainnya yang asasi, di mana keislaman dan keimanan
seseorang tidak sempurna kecuali dengan sifat-sifat itu. Yaitu, istijabah (menyambut) seruan Allah,
mendirikan shalat, dan menginfakkan apa yang diberikan Allah kepadanya. Ini disebutkan dalam
surat yang membawa nama “As-Syura.” Allah SWT berfirman:
“Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup didunia; dan apa yang
ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada
Tuhannya, mereka bertawakkal, dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi mnaf Dan (bagi) orang-orang
yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannnya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang
Kami berikan kepada mereka.” (Asy Syura: 36-38)

Yang dimaksud dengan firman Allah “Wa Amruhum,” di sini adalah urusan mereka yang bersifat
umum, sebagai kepentingan bersama. Itulah yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya
untuk bermusyawarah. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran yang turun di Madinah:“Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (Ali Imran: 159)

Perintah dalam ayat ini turun serelah perang Uhud, di mana Rasulullah SAW bermusyawarah dengan
para sahabatnya, tetapi Rasulullah mengikuti pendapat mayoritas sahabat. Dan hasilnya, adalah
kekalahan yang menimpa ummat Islam sehingga gugur tujuh puluh syuhada’ dari para sahabat
pilihan, termasuk di antaranya Hamzah, Mush’ab, Sa’ad bin Rabbi dan lain-lain.

Meskipun demikian Allah tetap memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk bermusyawarah dengan
mereka, artinya, kita harus terus bermusyawarah, karena di dalamnya ada kebaikan dan berkah,
meskipun sesekali hasilnya tidak menyenangkan (tidak menggembirakan), karena yang lebih penting
adalah akibat (akhir)nya.

Rasulullah SAW adalah orang yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya, beliau
pernah bermusyawarah dengan mereka pada perang Badar menjelang dimulainya peperangan, di
tengah-tengahnya perang serta setelahnya. Beliau tidak memasuki medan perang kecuali setelah
merasa tenang dengan keinginan dan aspirasi para sahabatnya.

Rasulullah SAW juga pernah musyawarah dengan mereka dalam perang Uhud, sehingga beliau
mengikuti pendapat mayoritas yang menginkan keluar dari Madinah untuk menemui musuh daripada
tetap tinggal di dalam kota Madinah.

Rasulullah SAW juga pernah bermusyawarah dengan mereka ketika perang Khandaq, dan beliau
sempat berkeinginan untuk berdamai dengan suku Ghathafan dengan memberikan sebagian dari hasil
kurma Madinah untuk membatalkan perjanjian mereka dengan Quraisy. Tetapi wakil dari orang-
orang Anshar menolak yang demikian itu, maka Nabi SAW pun mengikuti pendapat mereka karena
dipandang lebih baik.

Ketika peristiwa “Hudaibiyah” Rasulullah SAW bermusyawarah dengan Ummu Salamah untuk
melarang para sahabatnya dari tahallul ihram mereka setelah berdamai, padahal para sahabat telah
serius berniat untuk berumrah. Maka Ummu Salamah mengusulkan agar Rasulullah keluar di
hadapan mereka dan bertahallul di hadapan mereka tanpa berbicara. Dan benar, ketika para shahabat
melihat Rasulullah berbuat demikian mereka segera melakukan hal serupa secara serentak.

Sebagaimana Islam juga memerintahkan seorang hakim (penguasa) untuk bermusyawarah di satu sisi,
dan ia juga memerintahkan ummat untuk memberikan nasihat kepadanya di sisi lain. Seperti
diterangkan dalam hadits shahih:“Agama adalah Nasihat .., untuk Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya, para
imam Muslimin dan rakyatnya (kaum Muslimin pada umumnya).” (HR. Muslim)

Kewajiban beramar ma’ruf dan nahi munkar adalah kewajiban yang bersifat umum, mencakup para
pemimpin dan rakyat secara keseluruhan. Demikian juga kewajiban memberikan wasiat akan yang
benar, wasiat untuk berlaku sabar, di mana tidak ada keselamatan bagi manusia dari kerugian dunia
dan akhirat kecuali dengan melaksanakan semua itu. Maka tidak ada di kalangan kaum Muslimin
seseorang yang lebih tua kecuali dia harus menerima wasiat dan nasihat, diperintah dan dilarang, dan
tidak ada di kalangan ummat Islam yang lebih muda kecuali harus menerima wasiat dan nasihat,
diperintah dan dicegah. Tidak jarang Rasulullah SAW mendapati pendapat para shahabat yang
berbeda dengan pendapat beliau, maka Nabi SAW mengambil pendapat yang ditawarkan tersebut dan
meninggalkan pendapatnya sendiri.
Rasulullah SAW pernah mengutus Abu Hurairah untuk memberikan kegembiraan kepada masyarakat
bahwa barang siapa yang mengatakan “Laa ilaaha illallah” maka ia akan masuk syurga. Maka Umar
khawatir kalau masyarakat memahaminya dengan pemahaman yang salah dan memisahkan antara
kata-katanya dengan pelaksanaannya. Oleh karena itu Umar sempat menyuruh Abu Hurairah berhenti
sejenak dan menjelaskan kepada Rasulullah SAW akan kekhawatirannya kalau-kalau manusia itu
berpegang pada ucapannya saja sambil mengatakan, “Biarkan mereka beramal,” maka Rasulullah
SAW bersabda, “Biarkan mereka beramal” (HR. Muslim)

Abu Bakar berkata dalam pidato kenegaraannya yang pertama setelah beliau diangkat sebagai
khalifah, beliau menjelaskan tentang manhajnya dalam memimpin:“Jika kamu melihat aku dalam
kebenaran, maka bantulah aku, tetapi jika kama melihat aku dalam kebathilan maka luruskan aku,
taatilah aku selama aku taat kepada Allah, dan jika aku bermaksiat kepada-Nya maka tidak ada lagi
kewajiban atas kalian untuk taat kepadaku.”

Umar bin Khatthab RA berkata, “Wahai manusia, barangsiapa di antara kamu melihat aku dalam
kesalahan maka luruskanlah aku.” Kemudian ada seseorang yang berkata kepadanya, “Kalau kami
melihat kamu berbuat kesalahan maka akan kami luruskan dengan pedang kami!” Umar berkata,
“Alhamdulillah yang telah menjadikan rakyat Umar orang yang mau meluruskan Umar dengan
ketajaman pedangnya.”

Pada suatu hari ada seseorang yang berkata kepada Umar, “Bertaqwalah kamu wahai Umar!” maka
ada sebagian orang di sisi Umar mengingkari perkataan itu, maka Umar berkata, “Biarkan dia, karena
tidak ada kebaikan di tengah-tengah kamu jika kamu tidak mengatakannya (kalimat taqwa), dan tidak
ada kebaikan di tengah-tengah kita apabila kita tidak mendengarkannya.”

Bahkan Rasulullah SAW memperbolehkan menentang kepada Amir (pemimpin) yang dhalim
dengan dua syarat:

Pertama: karena penyimpangan yang nyata dari manhaj Islam, baik dalam masalah aqidah atau
ibadah, inilah yang diistilahkan dalam hadits Nabawi sebagai “Kufrun Bawwah.””Nabi SAW pernah
berwasiat kepada orang-orang yang berbaiat kepadanya yaitu dari para sahabat untuk bersabar
terhadap amir mereka, meskipun amir itu mengutamakan sebagian pekerjaan duniawi, Nabi SAW
bersabda:
“Kecuali apabila kamu melihat kekufuran yang bawwah (nyata) yang menurut kamu ada burhan
(bukti) atau dalil dari Allah.” (Muttafaqun ‘alaih)

Kedua: Apabila kita memiliki kemampuan untuk menghilangkan kemungkaran, tanpa berakibat
menimbulkan kemunkaran yang lebih besar daripadanya. Jika itu tidak mungkin, maka wajib
menanggung kemungkaran yang lebih ringan karena takut terjadinya kemungkaran yang lebih besar.
Hal itu berdasarkan kaidah, “bolehnya memilih yang paling ringan di antara dua bahaya atau dua
keburukan.”

Ketika dikhawatirkan akan terjadi kemungkaran yang lebih besar, maka perlawanan beralih dari
memerangi dengan tangan kepada siasat dengan lesan dan pena, kemudian pengingkaran hati. Yang
demikian itu adalah selemah-lemah iman.

Ibnu Mas’ud meriwayatkan suatu hadits, dari Rasulullah SAW beliau bersabda:“Tiada seorang Nabi
pun yang diutus oleh Allah pada ummat sebelumku kecuali ada dari kalangan ummatnya
“Hawariyyun” (para pendukung) dan para sahabat yang mengikuti Sunnahnya, dan berqudwah
terhadap perilakunya, kemudian akan ada generasi setelahnya, yang mengatakan sesuatu yang tidak
mereka perbuat, dan melaksanakan sesuatu yang tidak diperintahkan, maka barangsiapa yang
memerangi mereka dengan tangannya maka ia mahmin, dan barangsiapa yang memerangi mereka
dengan lesannya maka ia mukmin, dan barangsiapa memerangi mereka dengan hatinya rnaka ia
mukmin, dan tidak ada setelah demikian itu dari keimanan sebiji sawi pun” (HR. Muslim)

Al Qur’an Al Karim mengisahkan kepada kita contoh yang baik tentang suatu hukum (keputusan)
yang berdasarkan musyawarah, yaitu kisah Ratu Saba’ (Bilqis), yang dikejutkan dengan surat Nabi
Sulaiman AS yang dibawa oleh burung Hud-hud, lalu ratu itu mengumpulkan kaumnya dan
berkata:“Berkata dia (Bilqis), “Hai para pembesar !, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini)
aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku). Mereka
menjawab, “Kita adalah orang-orang yang memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan
keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan. Dia
berkata, “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membina, dan
menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. Dan
sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan)
menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu .” (An-Naml: 32-35)

Akhirnya perilaku syura yang bijaksana ini sampai pada masuk Islamnya ratu Bilqis di hadapan Nabi
Sulaiman AS, sehingga selamatlah dia, dan kaumnya dari peperanganyang merugikan, dan dengan
demikian dia memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Al Qur’an juga mengisahkan bentuk lain (yang tidak benar) dari suatu hukum yang tegak di atas
dasar penisbatan diri sebagai tuhan dan kediktatoran. Seperti hukum Fir’aun yang berkata kepada
manusia:“Saya adalah tuhanmu yang mulia.” (An Nazi’at: 24)
“Aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (Al Qashash: 38)

Fir’aun tidak mau bermusyawarah kecuali dengan para menterinya secara khusus, sebagaimana yang
kita lihat dalam kisah Fir’aun dengan Musa, ketika Musa berdialog dengannya maka ia
mengancamnya dengan penjara, Musa berkata:“Apakah (kamu akan melakukan itu) kendati pun aku
tunjukkan kepadamu sesuatu (keterangan) yang nyata?” Fir’aun berkata, “Datangkanlah sesuatu
(keterangan) yang nyata itu, jika kamu adalah termasuk orang-orang yang benar. “Maka Musa
melemparkan tongkatnya, yang tiba-tiba tongkat itu (menjadi) ular yang nyata. Dan ia menarik
tangannya (dari dalam bajunya), maka tiba-tiba tangan itu jadi putih (bersinar) bagi orang-orang yang
melihatnya. Fir’aun berkata kepada pembesar-pembesarnya yang berada di sekelilingnya,
“Sesungguhnya Musa ini benar-benar seorang ahli sihir yang pandai, ia hendak mengusir kamu dari
negerimu sendiri dengan sihirnya; maka karena itu apakah yang kamu anjurkan?” (Asy-Syu’ara: 30-
35)

Ini sesungguhnya bukanlah musyawarah yang benar, karena musyawarah ini hanya dikhususkan
untuk pembesar-pembesar yang ada di sekelilingnya saja (orang-orang sendiri). Selain itu
musyawarah ini adalah musyawarah yang sudah terarah (disesuaikan dengan keinginannya). Fir’aun
tidak mau mengambil pendapat mereka dalam masalah Musa dan sikap terhadap risalah yang
dibawanya. Tetapi pada hakekatnya dia telah memutuskan sesuatu sebelum bertanya kepada mereka
yaitu dengan kata-katanya yang dimuat oleh Al Qur’an:“Sesungguhnya Musa ini benar-benar ahli
sihir yang pandai, ia hendak mengusirmu dari negerimu sendiri dengan sihirnya.” (Asy-Syu’ara: 34-
35)

Al Qur’an telah menjelaskan hakikat hukum Fir’aun dan sikapnya terhadap rakyatnya, sebagaimana
firrnan Allah SWT: “Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di maka bumi dan
menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih
anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun
termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al Qashash: 4)

Kesombongan di bumi inilah yang kita istilahkan dalam bahasa politik modern dengan “Thughyaan”
(diktator). Al Qur’an juga sering mengulang-ulang dalam menyifati Fir’aun. sebagaimana dalam
firman Allah SWT:“Sesungguhnya dia (Fir’aun) adalah orang yang sornbong, salah seorang dan
orang-orang yang melampaui batas.” (Ad-Dukhan: 31)

Kesombongan Fir’aun bukan hanya ditujukan kepada Bani Israil saja, tetapi juga kepada orang-orang
Mesir, jika ternyata ada di antara mereka atau sekelompok dari mereka yang keluar dari rencananya
dan menolak pengakuan bahwa dirinya adalah tuhan.

Itulah sikap yang nampak jelas dari Fir’aun terhadap tukang-tukang sihirnya yang diminta setiap saat
untuk menolong dirinya dalam melawan Nabi Musa. Tetapi akhirnya Allah menjatuhkan Fir’aun
melalui mereka juga, yaitu ketika mereka beriman kepada Rabb Musa dan Harun setelah kebenaran
itu jelas di hadapan mereka dari pada kebathilan.
Allah SWT berfirman:“Berkata Fir’aun, “Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum
aku memberi ijin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir
kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan
bersilang secara timbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal
pohon kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan
lebih kekal siksannnya.” (Thaaha: 71)
Ungkapan Fir’aun, “Mengapa kamu beriman kepadanya sebelum aku mengijinkan kamu,” ini
membuktikan bahwa ia ingin memaksa pikiran dan hati manusia (untuk mengikutinya), sehingga
tidak boleh akal dan hati untuk percaya kepada sesuatu kecuali atas izinnya dan mendapat keputusan
darinya.

Al Qur’an mencela Fir’aun dan segala kekuatan kotor yang bersekongkol dengannya. Seperti
“Qarun” yang menampilkan faham materialistis yang kejam dan kotor yang tidak memberikan
kesempatan kepada orang lain untuk memiliki harta. Sikap ini tergambar dalam perkataan
Qarun:“Sesungguhnya aku diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (Al Qashash: 78)

Seperti juga “Haman” yang menampilkan sosok politikus yang menjilat karena materi, di mana ia
persembahkan kemampuan akal dan kreasinya untuk melayani thaghut yang sombong, Hamanlah
sebagai otak pemikirnya (dalang) sekaligus pelaksananya.

Al Qur’an mencela secara keseluruhannya, yaitu Fir’aun dan para tentaranya yang dijadikan sebagai
alat kekuasaan, yang ia pergunakan untuk menyiksa rakyat dan menindas mereka. Allah SWT
berfirman,“Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta bala tentaranya adalah orang-orang yang
bersalah.” (Al Qashash: 8)

Allah juga berfirman:“Maka Kami binasakan Fir’aun dan bala tentaranya, lalu kami lemparkan
mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zhalim.” (Al Qashash: 40)

Kata-kata “Al Junud” meliputi seluruh pendukung orang yang zhalim, baik dari kalangan militer
maupun sipil.

Al Qur’an memerangi kezhaliman dan penindasan dari berbagai segi sebagai berikut:

Kelompok penguasa yang zhalim dan diktator di bumi ini, sebagaimana firman Allah
SWT:“Demikianlah Allah mengunci mata hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Al
Mukmin: 35)

“Dan mereka memohon kemenangan (atas musuh-musuh mereka) dan binasalah semua orang yang
berlaku sewenang-wenang, lagi keras kepala.” (Ibrahim: 15)

Kelompok para pendukung kekuasaan, seperti Haman, Qarun atau dari kalangan militer dan sipil,
seperti tentara Fir’aun.
Dari kelompok rakyatyang menyerahkan ketaatannya kepada pemimpin yang zhalim, tanpa pernah
bertanya kepada mereka suatu hal apa pun: mengapa?, atau bagaimana?, apalagi sampai berani
mengatakan, “tidak.”

Al Qur’an juga telah mencela kaum Nabi Nuh, seperti firman Allah SWT:“Ya Tuhanku,
sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-
anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka.” (Nuh: 21)

Al Qur’an pun mencela kaum Hud AS, dengan firman-Nya:“Mereka menuruti perintah semua
penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran). Dan mereka selalu diikuti dengan
kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di hari kiamat.” (Huud: 59-60)

Al Qur’an juga pernah mencela kaum Fir’aun, sebagaimana dalam firman Allah SWT:“Maka Fir’aun
mempengarahi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya
mereka adalah kaum yang fasik.” (Az Zukhruf: 54)
Al Qur’an telah memaparkan kepada kita berbagai gambaran (contoh) yang banyak dari
pemandangan kiamat, pada saat itulah terjadi saling mencela antara para pemimpin dan pembesar
yang menyesatkan dengan para pengikut yang disesatkan, dan masing-masing saling berlepas tangan,
saling melaknat dan berusaha untuk melemparkan tanggung jawab kepada yang lainnya. Tetapi Allah
SWT memutuskan untuk semuanya bahwa mereka semua adalah termasuk ahli Neraka. Allah SWT
berfirman:“Dan mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin
pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar), Ya
Tuhan kami timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan
yang besar.” (Al Ahzab: 67-68)

“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dan orang-orang yang mengikutinya, dan
mereka melihat siksa; dan ketika segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan
berkatalah orang-orang yang mengikuti, “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan
berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah
memperlihatkan kepada amal perbuatannnya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka
tidak akan keluar dari api neraka.” (Al Baqarah: 166-167)

Sesungguhnya diterimanya kepemimpinan politik bagi ummat dalam Islam adalah ridha dan bai’ah
yang atas kehendak sendiri (kesadaran). Maka barangsiapa yang diterima oleh kaum Muslimin untuk
menjadi imam, amir atau pimpinan bagi mereka dan mereka telah membai’atnya untuk yang
demikian itu, berarti dia telah menjadi wali yang sah (secara syar’i) yang wajib ditaati dalam hal yang
ma’ruf, dan wajib menasihatinya dengan benar serta membantunya atas setiap kebaikan.

Islam tidak menyukai seseorang yang menjadi imam shalat berjamaah, sementara para jamaah tidak
menyukainya. Maka bagaimana Islam bisa menerima seseorang yang memimpin seluruh ummat
dalam mengatur urusannya secara umum sedangkan ummat itu tidak suka, dan dengan itu ummat
menjadi tersiksa dan marah? Rasulullah SAW pernah bersabda dalam haditsnya yang mulia:Tiga
orang yang shalatnya tidak diangkat di atas kepala mereka sejengkal pun; seseorang yang mengimami
kaum sedangkan kaum itu benci padanya, wanita yang yang berdiam diri semalaman sedang
suaminya marah kepadanya, dan dua bersaudara yang saling bertengkar. (HR. Ibnu Majah)

Anda mungkin juga menyukai