Anda di halaman 1dari 16

RMK AKUNTANSI SOSIAL & LINGKUNGAN

‘’ Lingkungan Bisnis di Era Perdagangan Bebas’’

Oleh:
KELOMPOK 10

▪ Ni Ketut Desi Margawati 1833121406


▪ I Gusti Ayu Ratih Puspitarini 1833121037
▪ Ni Made Ena Ryan Rosita 1833121477
▪ Meisy Anggriani Sendow 1833121492

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS WARMADEWA
2021
A. Perjanjian Perdagangan Bebas
Perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) adalah perjanjian di
antara dua negara atau lebih untuk membentuk wilayah perdagangan bebas. Perjanjian
perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA) terdiri dari tiga hal utama yaitu
perdagangan barang, perdagangan jasa, dan investasi. Perdagangan barang bertujuan
untuk menghapuskan tarif dan menanganai hambatan non tarif, sedangkan dalam
perdagangan jasa, FTA berusaha untuk menjaga akses pasar dan memastikan kondisi
yang kondusif bagi penyedia produk jasa untuk berkembang. Dalam hal investasi, FTA
bertujuan untuk melindungi dan mendorong investasi di Indonesia.
Wilayah perdagangan bebas merupakan blok/kelompok kerja sama ekonomi
antarnegara yang terletak pada kawasan tertentu. Wilayah perdagangan bebas ini
merupakan salah satu bentuk kerja sama ekonomi yang membuat setiap lini kehidupan
semakin berkembang termasuk perdagangan. Hambatan nontarif umumnya berkaitan
dengan tindakan nonperpajakan yang digunakan pemerintah untuk membatasi impor
dari negara lain. Misalnya pembatasan atau larangan hingga persyaratan tertentu yang
membuat barang impor lebih sukar untuk masuk ke dalam negeri.
Pembentukan FTA ditujukan untuk memungkinkan perkembangan bisnis
antarnegara menjadi lebih pesat. Hal ini berarti FTA diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi semua pihak yang terlibat dalam kesepakatan tersebut. Manfaat FTA yang
dapat diperoleh antara lain terjadinya trade creation dan trade diversion. Trade creation
adalah terciptanya transaksi dagang antar anggota FTA yang sebelumnya tidak pernah
terjadi, akibat adanya insentif yang berasal dari pembentukan FTA.
B. Politik dan Hubungan Internasional Dalam Lingkungan Bisnis Nasional
Dalam salah satu subdisiplin dari disiplin ilmu hubungan internasional yaitu,
Politik Ekonomi Internasioan adalah yang mengkaji mengenai politik bisnis
internasional dengan fokus pada politik ekonomi dan dalam hal ini bisnis internasional
lebih dijelaskan dalam sudut pandang politik, dimana faktor power (kekuasaan) dan
structure (struktur) adalah faktor-faktor penting yang mempengaruhi aktor negara
maupun non negara dalam melakukan transaksi bisnis internasional (antar wilayah
maupun antar negara).
Perubahan fokus kajian dari politik ekonomi internasional mulai terlihat pada
tahun 90-an, semula fokusnya adalah hubungan antara negara maju dengan organisasi
internasional, lalu berubah menjadi hubungan antara negara maju dengan negara
miskin. Dan dari awal perubahan fokus inilah mulai tercipta serta menjalarnya paham
kapitalisme dan liberalisme yang mengikat hubungan politik ekonomi internasional
yang dijalankan oleh negara maju dan negara miskin. Peningkatan transaksi besar-
besaran pada abad pertengahan yang dilakukan antar bangsa melahirkan sistem
pembagian kerja (division of labour) yang juga mengembangkan pergerakan bisnis
antar bangsa. Pembagian sistem kerja tersebut berupa negara maju (negara belahan
bumi utara) memproduksi barang-barang industri berat yang sarat akan modal,
teknologi dan negara miskin (negara belahan bumu selatan) memproduksi barang-
barang mentah seperti pertanian atau industri ringan. Hal tersebut mengakibatkan
kesenjangan pendapatan nasional yang signifikan antara negara maju dengan negara
miskin sistem pembagian kerja hanya menguntungkan bagi negara maju. Teori sistem
dunia juga medukung proporsisi dari sistem pembagian kerja, bahwa ekspansi ekonomi
negara pusat (core) selalu diawali dengan proses eksploitasi terhadap negara pinggiran
(periphery). Kesenjangan yang terjadi akibat dari sistem pembagian kerja tidak
selamanya berdampak negatif bagi negara miskin, menurut Wallerstein apabila negara
miskin mau bersikap lebih kompetitif didalam mekanisme pasar dunia dengan
menerapkan strategi serta kebijakan ekonomi dari negara maju maka suatu saat negara
miskin bisa berubah menjadi negara berkembang maupun negara kaya.
Dominasi bangsa eropa dalam bisnis internasional yaitu dengan pemberlakuan
merkantilisme, dimana kebijakan ekonomi ekspansif menuntut peran negara sebagai
pelaku utama pasar dunia, eksplorasi dan ekstrasi sumber daya alam. Sejarah transaksi
bisnis antarnegara sejak masa lampau hingga masa kontemporer melibatkan tiga aspek
penting yaitu: lawyers (ahli hukum), guns (senjata), and money (uang). Raja absolut
kini adalah pemimpin politik, peran bangsawan sekarang digantikan oleh
wirausahawan, kaum pedagang pengelanan digantikan oleh MNCs. Lawyers digantikan
oleh GATT dan WTO yang pada fungsinya tetap mengatur hak dan kewajiban pelaku
transaksi bisnis internasional. Guns pada masa kontemporer ini lebih pada bersifat
ancaman yang berupa isu-isu HAM, perusakan lingkungan, dan sebagainya. Sedangkan
money tidak mengalami perubahan signifikan dan serta ditambahnya penetapan nilai
mata uang dan sistem pembayaran internasional mendapat pengawasan dari IMF.
Para pelaku bisnis internasional masa kontemporer memiliki dua misi utama
dalam aktifitas bisnisnya yaitu penguasaan pasar dan maksimalisasi keuntungan.
Terdapat dua cara efektif untuk menguasai pasar yaitu pertama, kompetisi harga.
Perusahaan biasanya melakukan strategi perang harga yang berupa dumping, yakni
menurunkan harga produk sampai dibawah ongkos produksinya pada periode tertentu
untuk mematikan pihak pesaing yang menimbulkan penjualan barang produksinya
lebih besar dibandingkan dengan barang produksi pesaingnya. Kedua, kompetisi
teknologi. Dalam kontek bisnis, penggunaan teknologi yang tepat perusahaan dapat
tumbuh menjadi suatu kekuatan monopoli pasar.
Bisnis internasional sesungguhnya merupakan ajang kompetisi dimana
perusahaan-perusahaan saling bersaing memperebutkan pangsa pasar yang makin lama
makin mengecil akibat munculnya aktor-aktor baru. Transaksi bisnis cenderung
membawa konsekuensi politis. Kehadiran lembaga-lembaga diluar mekanisme pasar
seperti negara, serikat pekerja, organisasi internasional sangat diperlukan agar dampak
negatif dari kompetisi bisnis yang ketat tidak harus dipikul oleh masyarakat luas.
1. Dimensi Kekuasaaan, Struktur, Dan Etika Dalam Bisnis Internasional
Terdapat tiga pendekatan dalam bisnis internasional yang umumnya dipakai
oleh pakar dalam menganalisa fenomena transaksi ekonomi antar bangsa,
diantaranya adalah:
• Pendekatan Kekuasaan, menekankan pentingnya faktor kekuasaan didalam
menganalisis hubungan ekonomi antar bangsa. Ciri dari pendekatan ini adalah
penekanan pada negara sebagai unit analisis yang paling utama karena negara
itu sendiri memiliki power serta karena meiliki kedudukan sentral sebagai
investor yang berdaulat (sovereign entrepreneurs). Dalam pendekatan ini teori
yang paling mewakili serta berorientasi pada kekuasaan adalah teori stabilitas
hegemoni. Teori stabilitas hegemoni ini menjelaskan stabilitas perdagangan
internasional dibawah kekuasaan hegemoni Amerika Serikat. Terciptanya
hegemoni AS dikarenakan AS memiliki kekuatan militer yang kuat dan juga
memegang pasar perekonomian dunia karena keadaan stabil di dalam
negaranya.
• Pendekatan Struktural, menekankan pada pentingnya stuktur dunia yang
dianggap sebagai penentu pola-pola hubungan ekonomi antar negara.
Perspektif ini cenderung bersifat radikal dengan para tokoh scholar seperti
Andre Gunder Frank, Giovani Arrighi, dan Immanuel Wallerstein, dengan ide
mengenai Teori Sistem Dunia (World System Theory). Yaitu negara-negara
didunia terbagi menjadi tiga kelompok hierarkis. Pertama adalah kelompok
negara industri kaya dan lebih kuat dari negara lain sebagai negara pusat
(core), kedua adalah kelompok negara semi pinggiran (semi periphery), ketiga
adalah kelompok negara pinggiran (periphery).
• Pendekatan Berorientasi Keadilan, menekankan pada teori keadilan dalam
konteks politik ekonomi. Scholar dari teori keadilan adalah John Rawls dan
Robert Nozick. Teori keadilan ini sangat bersifat idealis sehingga jarang bisa
terlihat didalam realita perdagangan (bersifat utopia). Menurut Rawls, prinsip
keadilan harus benar-benar mengandung unsur fairness dan harus pula
ditentukan melalui konsesus bersama yang dicapai dari hasil proses tawar
menawar yang setara (equal bargaining). Selain itu pendekatan ini juga
memprioritaskan pada berkerjanya mekanisme pasar (Nozick). Dimensi etis
didalam transaksi bisnis antar bangsa masih berada pada tingkat cita-cita ideal
untuk diterapkan oleh lembaga ekonomi internasional dalam mengatur
hubungan ekonomi antar bangsa.
2. Politik Perdagangan Intetnasional dari GATT menuju WTO
Bagi suatu negara yang ikut terlibat dalam suatu perdagangan antar bangsa atau
para individu pelaku bisnis internasional hendak menarik sikap atas sebuah
ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang sering terjadi di dalam perdagangan antar
bangsa. Ada dua cara yang biasa dilakukan. Pertama, proteksionisme. Kebijakan
ini mengarah pada sistem merkantilisme dimana negara merupakan tokoh sentral
dan pelaku utama dalam pasar. Kaum merkantilisme beranggapan bahwa ekonomi
tidak dapat dipisahkan dari konteks politis dan ekonomi merupakan sarana untuk
meningkatkan kekuatan negara. Maka negaralah yang memainkan peran besar
dalam kehidupan pasar. Hal ini cenderung menimbulkan keotoritasan negara serta
pasar yang tidak sehat karena rentan terkena perburuan rente yang dilakukan suatu
kelompok kepentingan tertentu yang dekat dengan penguasa. Penetapan proteksi
tersebut merupakan suatu kebijakan ekonomi suatu negara yang harus dilakukan
agar melindungi kepentingan nasional yang dalam hal ini adalah perlindungan
industri domestik dari ancaman pihak asing. Kedua, liberalisasi ekonomi dalam
penerapan pasar bebas. Tokoh liberal klasik seperti AdamSmith memandang
sistem inilah yang paling tepat guna menciptakan kesejahteraan. Dimana pasar
dibuka secara bebas tanpa adanya campur tangan dari pemerintah, hanya individu-
individu yang memainkan peran dalam pasar tersebut, namun dalam liberalisasi
pasar bebas juga tetap memandang pemerintah sebagai pemberi kebijakan untuk
proteksi serta hanya mengawasi kegiatan pasar, buka ikut serta di dalam
kegitannya. Pasar bebas juga memunculkan suatu produksi dan transaksi yang
menguntungkan bagi setiap pihak yang terlibat.
Dalam suatu perdagangan antar bangsa sering dijumpai berbagai hambatan, hal
itu terjadi demi sebuah perlindungan industri dalam negeri dan hampir setiap
negara menerapkan hamabatan tersebut sebagai cara penetapan kebijakan. Macam-
macam hambatan tersebut diantaranya:
• Hambatan Tarif (Tariff Barriers), adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan
oleh seorang importir kepada pemerintah untuk membawa masuk suatu barang
ke negaranya.
• Hambatan Non Tarif (Non Tariff Barriers), bentuk usaha untuk menghambat
arus masuk barang ke dalam wilayah suatu negara yang tidak terkait dengan
pungutan tarif impor. Hambatan non tarif dibagi menjadi dua kategori.
Pertama, pembatasan kuantitatif adalah untuk mengurangi arus masuk
produksi asing ke pasar dalam negeri dengan cara membatasi jumlah barang
yang diperbolehkan masuk. Sebagai contohnya adalah :
1) Sistem kuota adalah untuk kondisi negara mengizinkan impor suatu
produk sampai jumlah tertentu saja.
2) Pembatasan Eksplorasi Secara Sukarela (Voluntary Export Restraint)
adalah upaya untuk membujuk eksportir ke wilayah negara tersebut.

Kedua, pembatasan kualitatif adalah dengan cara menetapkan aturan-aturan


tertentu sehingga dengan sendirinya menghambat masuknya barang-barang
yang tidak memenuhi aturan yang ditetapkan.

Dengan munculnya liberalisasi ekonomi serta penerapan pasar bebas, sangat


ditekankan mengenai mekanisme pasar yang tidak di intervensi oleh pihak manapun
termasuk negara. Dan untuk mengakomodasikan kepentingan perlindungan industri di
dalam negeri, pemberlakuan tarif diatur didalam GATT (General Agreement on Tariffs
and Trade), hal tersebut untuk meminimalisir hambatan-hambatan perdagangan serta
untuk menciptakan kelancaran perdagangan antar bangsa dengan penurunan tarif secara
gradual.

Namun GATT cenderung memiliki beberapa kelamahan, diantaranya yaitu


GATT hanya bisa menyerukan kepada para anggotanya untuk mengurangi atau
menghilangkan kebijakan-kebijakan hambatan non tarif tanpa memberikan sanksi yang
jelas bagi yang melanggar seta tidak adanya struktur kelembagaan yang jelas sehingga
persoalan-persoalan menjadi tidak optimal. Maka pada Desember 1993 rancangan
GATT lebih dimantangkan dan berubah menjadi World Trade Organization (WTO).

WTO memperkuat sistem perdagangan internasional yang terbuka pada tiga hal.
Pertama, anggota WTO terlibat lebih intensif dalam pembuatan kebijakan perdagangan,
kedua, struktur WTO lebih terintegrasi dan dibuat sedemikian rupa dengan mengacu
pada IMF dan Bank Dunia, ketiga, dibandingkan dengan GATT, WTO lebih memberi
kepastian melalui upaya klarifikasi bermacam-macam persoalan perdagangan antar
bangsa, terutama yang berkaitan dengan persoalan hambatan non tarif.

C. Peta Politik dan Kegiatan Bisnis Nasional


Peta Merujuk pada gambaran umum tentang keadaan tempat, wilayah dan
medan tertentu yang dapat dijadikan dasar dalam menentukan arah yang hendak dituju.
Kalau itu menyangkut peta politik akan mencakup antara lain gambaran wilayah,
medan, situasi dan kondisi politik dalam suatu medan tertentu. Nasional dan lokal
merujuk pada wilayah dimana politik itu beroperasi. Berbeda dengan peta dalam artian
leksikal, peta politik berlangsung sangat dinamis, mengalami pasang surut sesuai
dengan situasi dan kondisi politik yang ada dan terjadi di wilayah medan politik.
Politik sebagai sebuah terminologi mengadung arti sangat luas, batasan-batasan
politik sebagaimana dirumuskan oleh para teoritisi politik lazim diartikan sebagai
upaya mengatur negara dan melaksanakan pemerintahan melalui proses kekuasaan
yang konstitusional dengan menggunakan kekuasaan yang diraih dan kekuatan yang
dimiliki oleh kesejahteraan rakyat. Agar pola kerja politik dapat terarah, dibuatkan
karangka sistemik sebagai jalinan sub-sub sistem yang meliputi infra (pemerintahan)
dan supra struktur (partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan dan
kelompok anomi) politik. Sub-sub sistem politik bergerak secara dinamis bagai
pendulum berayunan kekiri dan kekanan atau sebaliknya. Ada kalanya bandul itu ada
pada ekstrim kiri, ada kalanya ada pada ekstrim kanan, ada kalanya berhenti di tengah-
tengah.
Pelaku politik membutuhkan pelaku bisnis atau sebaliknya. Representasi pelaku
politik adalah partai politik. Partai politik adalah organisasi nirlaba namun partai perlu
uang atau dana untuk menggerakkan roda organisasinya. Tentu saja kebutuhan dana
tersebut diperoleh dari para donatur baik dari anggota (internal) partai maupun dari
simpatisan (eksternal) partai. Sebaliknya, para pelaku bisnis juga membutuhkan
politikus sebagai pelaku politik dalam menjalankan bisnisnya. Sebagian pelaku politik
duduk atau menjadi anggota Dewan mulai dari tingkat DPR, DPRD Propinsi dan DPRD
Kota/Kabupaten. Pelaku bisnis berharap bahwa Undang-Undang ataupun peraturan
dibawahnya yang dibuat Pemerintah bersama anggota Dewan bersifat “kondusif” bagi
perusahaannya. Disinilah yang dikenal istilah mulai dari lobi politik sampai dengan
cara menyogok.
Isu-isu ekonomi bisa menjadi isu politik atau sebaliknya. Pertemuan APEC
yang notabene adalah forum ekonomi beberapa kali memasukkan isu terorisme dalam
agenda pembicaraan. Dalam kampanye calon Presiden, isu ekonomi dianggap menjadi
isu yang paling penting dalam kampanye politik karena rakyat mengharapkan
pemimpin yang mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Seorang politikus
PDIP sebelum Pilpres mengatakan bahwa sulit bagi pesaing SBY untuk
mengalahkannya karena kebijakan ekonomi SBY langsung dirasakan rakyat seperti
Bantuan Langsung Tunai (BLT), penurunan harga BBM, sekolah gratis dan kredit
usaha mandiri. Dan nyatanya itu memang yang menjadi isu utama SBY pada saat
kampanye meskipun Pilpres ada di ranah politik.
Politikus (politician) yang juga (asalnya) dari pebisnis (businessman). Hal
seperti ini terdapat di banyak negara termasuk Indonesia. Setelah rezim Orde Baru
memimpin negara Republik Indonesia maka banyak pengusaha atau pebisnis yang
mendekat kepada rezim Orde baru. Cara yang paling mudah adalah dengan cara
menjadi anggota Golkar sebagai mesin politik rezim Orde Baru. Dengan menjadi
anggota Partai Politik diharapkan bisnisnya akan “aman” dan sukses dan jika
beruntung, jabatan politik seperti Menteri juga dapat dicapai. Hal itu pernah dirasakan
oleh Bob Hasan, raja kayu Indonesia yang diangkat oleh mantan Presiden Soeharto
menjadi Menteri Perindustian dan Perdagangan pada kabinet Soeharto tahun 1998 yang
hanya dijabat 2 bulan (Maret 1998 - Mei 1998) karena Soeharto keburu lengser pada
bulan Mei 1998.
Bagi pebisnis sendiri, stabilitas politik sangat penting mengingat investasi yang
ditanamkan dalam jumlah yang (sangat) besar. Stabilitas politik dapat menjamin
stabilitas ekonomi demikian pula sebaliknya stabilitas ekonomi akan meningkatkan
stabilitas politik karena rakyat yang semakin makmur akan berkurang keinginannya
untuk berbuat hal-hal yang anarkis.
D. Ilustrasi Iklim investasi di Indonesia

Di Indonesia PMA telah dikenal sejak masa penjajahan Belanda ketika


pemerintah Hindia Belanda membuka kesempatan bagi perusahaan-perusahaan Eropa
untuk menanamkan modal mereka di bidang usaha perkebunan. Pascaproklamasi
kemerdekaan Indonesia, kebijakan mengenai penanaman modal asing mengalami
pasang dan surut mengikuti perkembangan politik dan ekonomi. Pengaturan PMA
pertama kali diatur dengan Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 Tentang
Penanaman Modal Asing yang kemudian diubah dengan UU No 15 Prp. Tahun 1960
dan pada gilirannya dicabut dengan UU Nomor 16 Tahun 1965. Setelah dua tahun tanpa
UU yang mengatur PMA, lahirlah UU No 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal
Asing yang kemudian dirubah dan ditambah dengan UU No 11 Tahun 1970.
Kebijakan pertama dalam bidang investasi asing pasca proklamasi kemerdekaan
adalah UU no 78 Tahun 1958. Undang-Undang ini terbit setelah Indonesia
membatalkan Perjanjian Den Haag secara sepihak. Perjanjian Den Haag tanggal 2
November 1949 sebagai hasil Konperensi Meja Bundar, yang diratifikasi oleh Republik
Indonesia pada tanggal 14 Desember 1949 dan oleh Kerajaan Belanda pada tanggal 21
Desember 1949, secara resmi mengakhiri kedaulatan Belanda atas Indonesia dan
membangkitkan kembali kegiatan modal asing yang sempat terhenti karena Perang
Dunia II dan revolusi/perang kemerdekaan Indonesia. Pembangunan bidang ekonomi
di Indonesia telah berjalan kurang lebih 46 tahun lamanya sejak dicanangkan oleh
pemerintah Orde Baru pada tahun 1970. Kurun waktu lebih kurang setengah abab telah
membawa perubahan dalam masyarkat Indonesia yang digerakkan oleh pembangunan
ekonomi dengan berbagai eskalasi dan dinamika Pelaksanaan pembanguan tentu
memerlukan modal dalam jumlah yang cukup besar dan tersedia pada waktu yang tepat.
Modal dapat disediakan oleh pemerintah dan oleh masyarakat luas, khususnya dunia
usaha swasta. Keadaan yang ideal, dari segi nasionalisme adalah apabila kebutuhan
akan modal tersebut sepenuhnya dapat disediakan oleh kemampuan modal dalam
negeri sendiri, apakah itu pemerintah dan atau dunia usaha swasta dalam negeri. Namun
dalam kenyataannya, negara-negara berkembang dalam hal ketersediaan modal yang
cukup untuk melaksanakan pembangunan secara menyeluruh mengalami berbagai
macam kesulitan yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain; tingkat tabungan
masyarakat yang masih rendah, akumulasi modal yang belum efektif dan efisien,
keterampilan yang belum memadahi serta tingkat teknologi yang belum modern.
Kebutuhan akan modal asing memang menjadi pertimbangan yang berat bagi negara
sedang berkembang, karena modal asing tetap mengandung resiko yang akan dihadapi
oleh negara penerima modal asing. Menurut Rustanto terdapat dua aliran dalam
memandang keberadaan penanaman mosal asing (PMA). Pertama adalah aliran liberal
yang berpendapat bahwa PMA bermanfaat bagi kemakmuran ekonomi negara
penerima, sedangkan aliran kedua adalah aliran penganut teori ketergantungan
(Dependencia/ Dependency Theory) yang berpendapat bahwa PMA akan melahirkan
dominasi dan ketergantungan pada perusahaan asing, sehingga merugikan masyarakat.
Sebagai jalan tengah di antara kedua aliran itu, negaranegara penerima PMA berusaha
menarik modal asing untuk dimanfaatkan guna mendorong kemajuan ekonomi negara
yang bersangkutan seraya meminmalkan dampak negatifnya yang merugikan
kepentingan ekonomi nasional.
Pada dasarnya penanaman modal diperlukan untuk mengelolah potensi
ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil. Apabila modal yang berasal dari dalam negeri
belum mencukupi, maka sesuatu negara akan berusaha untuk menarik modal asing
sebagai pelengkap. Kendatipun diniatkan sebagai pelengkap, tetapi modal asing ini
seringkali mempunyai peran sangat penting, kalau tidak bisa dikatakan dominan, dalam
perekonomian suatu negara. Dalam konteks ini, Didik J. Rachbini berpendapat :
“Ekonomi global dan negara-negara yang terbuka ekonominya digerakkan oleh modal
global, selain kekuatan internalnya sendiri. Semakin atraktuf suatu negara terhadap
modal asing, maka semakin terbuka sistem ekonomi negara tersebut. Modal global
berperan dalam modernisasi ekonomi negara tersebut. Tetapi jelas bahwa dinamika
modal dari luar memberikan tenaga yang besar terhadap ekonomi suatu negara sehingga
banyak negara berebut dan bersaing untuk mendapatkannya. Negara yang berhasil
meraup investasi asing ini akan dapat memajukan sektor-sektor utama dalam ekonomi,
terutama industri, perdagangan, jasa dan lain lain”. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
mengalami kemajuan yang signifikan ketika kebijakan yang diambil oleh pemerintah
dalam bidang investasi dalam bentuk Penanama Modal Asing (PMA) dan Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN), setelah pemerintah menerbitkan peraturan yang
membebaskan pajak perseroan untuk masa dua tahun yang tertuang dalam Pasal 16
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1967. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 dan
UndangUndang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri jo
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1968. memberikan kemudahan bagi pelaksanaan penanaman
modal (investasi). Sejak berlakukanya Undang-Undang PMA Tahun 1967, aliran
modal asing setiap tahun menunjukkan perkembangan dan peningkatan, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif.

E. Penegakan HAM dan CSR


Hak Asasi Manusia atau yang biasa disingkat dengan HAM adalah hak-hak
yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. Dasar-dasar HAM tertuang
dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration ofIndependence of USA)
dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia,seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal
28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1. Secara umum, HAM dapat
didefinisikan sebagai hak-hak yang diklaim dimiliki oleh semua orang tanpa
memperhatikan negara, ras, suku, budaya, umur, jenis kelamin dan lain-lain. Hak-hak
ini bersifat universal dan dapat diterapkan pada siapapun dan dimanapun. Hak Asasi
Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya Hak Asasi
Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsayakni Pancasila. Bermuara pada
Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus
memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila.
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah
dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan
martabat kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta
keadilan.Setiap orang bertanggung jawab untuk terlibat dalam penegakan HAM.
Walaupun secara formal tanggung jawab negara lebih besar, tetapi peran masyarakat
luas sebenarnya yang dampak sangat besar bagi terbangunnyakesadarang untuk
menghormati HAM. Tentu saja tanggung jawab itu harus diawali dengan pemahaman
akan pentingnya hak asasi manusia.
CSR adalah sebuah konsep yang tidak hadir secara instan. CSR merupakan hasil
dari proses panjang dimana konsep dan aplikasi dari konsep CSR pada saat sekarang
ini telahmengalami banyak perkembangan dan perubahan dari konsep-konsep
terdahulunya.Perkembangan CSR secara konseptual baru dikemas sejak tahun 1980-an
yang dipicu sedikitnya oleh 5 hal berikut :
1) Maraknya fenomena “take over” antar korporasi yang kerap dipicu oleh
keterampilan rekayasa finansial.
2) Runtuhnya tembok Berlin yang merupakan simbol tumbangnya paham
komunis dan semakinkokohnya imperium kapitalisme secara global.
3) Meluasnya operasi perusahaan multinasional di negaranegara berkembang,
sehingga dituntut supaya memperhatikan: HAM, kondisi sosial dan perlakukan
yang adil terhadap buruh.
4) Globalisasi dan menciutnya peran sektor publik (pemerintah) hampir di seluruh
dunia telahmenyebabkan tumbuhnya LSM (termasuk asosiasi profesi) yang
memusatkan perhatian mulaidari isu kemiskinan sampai pada kekuatiran akan
punahnya berbagai spesies baik hewanmaupun tumbuhan sehingga ekosistem
semakin labil.
5) Adanya kesadaran dari perusahaan akan arti penting merk dan reputasi
perusahaan dalam membawa perusahaan menuju bisnis berkelanjutan. Begitu
pula London Stock Exchange yang memiliki SociallyResponsible Investment
(SRI) Index dan Financial Times Stock Exchange (FTSE) yangmemiliki FTSE
4Good sejak 2001. CSR bukan saja sebagai tanggung jawab, tetapi juga sebuah
kewajiban. CSR adalahsuatu peran bisnis dan harus menjadi bagian dari
kebijakan bisnis. Maka,bisnis tidak hanya mengurus permasalahan laba, tapi
juga sebagai sebuah institusi pembelajaran.
Ada enam kecenderungan utama, yang semakin menegaskan arti penting CSR,
yaitu :
1) Meningkatnya kesenjangan antara kaya dan miskin;
2) Posisi negara yang semakin berjarak pada rakyatnya;
3) Makin mengemukanya arti kesinambungan;
4) Makin gencar sorotan kritis dan resistensi publik, bahkan bersifat anti
Perusahaan.
5) Tren ke arah transparansi;
6) Harapan terwujudnya kehidupan lebih baik dan manusiawi pada era
Millennium baru
Oleh karena itu, para pelaku bisnis harus menunjukkan bukti nyata bahwa
komitmen mereka untuk melaksanakan CSR bukanlah main-main. Manfaat dari
CSR itu sendiri terhadap pelaku bisnis juga bervariasi, tergantung pada sifat
(Nature) perusahaan bersangkutan, dan sulit diukur secara kuantitatif. Maka dapat
disimpulkan penegakan HAM dan CSR Dijelaskan bahwa dibentuknya CSR untuk
menurunkan kerugian akibat dari kegiatan perusahaan terhadap sosial dan
lingkungan. Akibat dari perusahaan mengakibatkan kerugian terhadap orang yang
terdampak dan hal ini melanggar hak asasi setiap orang untuk mendapatkan
kehidupan yang aman dan nyaman oleh sebab itu perusahaan bertanggungjawab
untung mengganti kerugian sebagai akibat kegiatan perusahaan terhadap orang
yang terdampak.
F. Analisa hubungan Politik, perdagangan bebas, HAM dan CSR
Seperti yang diketahui setiap orang berhak atas hidup dan penghidupan
tertuang dalam UUD NRI 1945 Pasal 27 ayat (2) ditentukan : “Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Oleh sebab itu setiap orang berhak untuk bekerja demi kehidupan yang layak. Hal
ini berkaitan dengan hak asasi manusia untuk bisa hidup dan mempertahankan
kehidupannya untuk itu setiap orang berhak untuk bekerja demi kelangsungan
hidupnya tidak terkecuali untuk membangun usaha demi kehidupannya. Setiap
orang berhak membangun usaha baik membangun usaha perseorangan maupun
kerja sama dengan orang lain selagi menaati UU. di indonesia pemerintah tidak
membatasi perusahaan untuk melakukan inpor maupun ekspor sehingga kegiatan
perdagangan bebas dapat dilakukan dengan lancar. Dalam melakukan perdagangan
dan produksi setiap perusahaan bertanggung jawab secara sosial kepada pemangku
kepentingan dan masyarakat luas sebagai bentuk perhatiannya dalam
meningkatkan kesejahteraan dan berdampak positif bagi lingkungan (Corporate
Social Responsibility (CSR). Pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR)
dalam Undang-Undang No.25 Ta-hun 2007 dan Undang-Undang No. 40 Tahun
2007, merupakan pencerminan asas campur tangan pemerintah dalam hal produk
politik demi kemajaun perekonomian di Indonesia. Yang penting itu dalam CSR
pemerintah sebagai ptinggi dalam kegiatan ekonomi (UUD NRI Pasal 33)
memberikan kebebasan dalam kegiatan bisnis baik itu legiatan inpor maupun
ekspor (perdagangan bebas) dalam kegiatannya perusahaan harus
bertanggungjawab atas kegiatan sosial maupun lingkunagn karena telah diketahui
dalam kegiatan perusahaan pasti menimbulakan kerugiatan dalam bidang
lingkungan mapun sosial lingkungan masyarakat oleh sebab itu dibuatlah csr
dengan pengaturannya dalam uu no 25/2007. Sehingga kegiatan perusahaan dalam
dilakukan secara lancar. Hal ini memperikam keuntungan dalam politik di
indonesia karena dengan berjalannya kegiatan ekonomi dengan lancar sebagai
akibat dari produk politik tersebut (UU).

CONTOH KASUS

Kasus Ekspor Tuna Salah Satu Alasan Jokowi Evaluasi


Perdagangan Bebas

detikFinance
Selasa, 17 Mar 2015 21:24 WIB

Kasus tuna Indonesia yang diekspor ke Uni Eropa kena tarif tinggi
dibandingkan dengan negara-negara lainnya menjadi salah satu pertimbangan
pemerintahan Jokowi mengevaluasi kerjasama perdagangan bebas. Dalam kasus
tuna, justru Indonesia tertinggal dengan negara lain karena belum menjalin Free
Trade Agreement (FTA) dengan Uni Eropa. Dirjen Kerjasama Perdagangan
Internasional, Kemendag Bachrul Chairi mencontoh Indonesia di ASEAN adalah
produksi tuna terbesar, tetapi bea masuk tuna Indonesia di Eropa itu dikenakan
22,5%, namun Malaysia, Filipina, dan Vietnam yang sebagian tunanya datang dari
perairan Indonesia, itu hanya dikenakan bea masuk impor 0%. "Akibat 22,5% itu
kita sudah sulit besaing dengan mereka. Alasannya, mereka sudah melakukan apa
yang disebut FTA dengan Eropa. Indonesia ketinggalan dalam hal ini," kata
Bachrul usai rakor soal FTA di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta, Selasa
(17/3/2015).
Kasus serupa juga terjadi di Jepang, tuna asal Indonesia harus kena bea
masuk impor 7,5%, sedangkan di negara lain hanya 0%. Padahal Indonesia dan
Jepang sudah ada kerjasama perdagang bebas bilateral dengan Jepang yaitu
Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA). Menurut Bachrul
dengan posisi Indonesia yang belum masuk FTA dengan kawasan lain, dan adanya
FTA yang sudah berlaku namun belum memberikan keuntungan, maka investor
kurang tertarik masuk Indonesia. Alasannya investor akan memilih masuk ke
negara yang sudah banyak perdagangan bebas, sehingga pasarnya akan lebih luas
dan besar. "Walau Indonesia punya demografi tenaga kerja yang cukup,
infrastruktur akan membaik, tetap kalau pasarnya cuma 250 juta jiwa mereka
kurang tertarik, karena mereka mampu lebih dari 250 juta penduduk," jelasnya.
Bachrul mengatakan, posisi pemerintahan saat ini terus mendukung adanya FTA
namun akan dievaluasi dari sisi keuntungan bagi Indonesia, terutama dari
mendorong ekspor dan menarik investasi ke dalam negeri. "Kalau kita tidak
terbuka, kita kehilangan 'kereta' dengan negara lain, kita kehilangan investasi, kita
kehilangan kemampuan mendorong ekonomi yang kita harapkan," katanya.
Terkait dengan Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA),
telah disepakati akan dievaluasi. Pemerintah Indonesia sudah melakukan
pertemuan dengan Jepang. "FTA kebijakan Jokowi-JK dalam rangka
mengamankan ekspor Indonesia," katanya. Ia mengaku dalam rapat internal
pemerintah, ada beberapa Kementerian menyarankan agar beberapa FTA untuk
dihentikan, namun kini arahannya berubah, yaitu FTA diminta untuk terus
lanjutkan dengan evaluasi. "Umumnya masalah FTA tidak jalan tadi karena
masalah transposisi, belum disetujuinya kesepakatan dengan negara. Contohnya,
misal perdagangan untuk pulpen, disepakati 0%, waktu kita lakukan transposisi
justru dikenakan jadi 15% bea masuk. Harusnya itu 0%," katanya.

ANALISIS KASUS

Di Indonesia telah terjadi kasus perdagangan bebas pada ikan tuna yang
diekspor ke Uni Eropa dan kena tarif tinggi dibandingkan dengan negara-negara
lainnya, hal ini mengakibatkan pertimbangan pemerintah jokowi dengan
mengevaluasi kerjasama perdagangan bebas tersebut. Kasus perdagangan bebas
ikan tuna ini terjadi karena Indonesia tertinggal dengan negara lain dan belum
menjalin Free Trade Agreement (FTA) dengan Uni Eropa. Indonesia di ASEAN
adalah produksi tuna terbesar, tetapi bea masuk tuna Indonesia di Eropa itu
dikenakan 22,5%, namun Malaysia, Filipina, dan Vietnam yang sebagian tunanya
datang dari perairan Indonesia, itu hanya dikenakan bea masuk impor 0%. "Akibat
22,5% hal itu mengakibatkan sulitnya persaingan dalam perdagangan. Indonesia
Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), telah disepakati akan dievaluasi
oleh pemerintah. Pemerintah Indonesia juga sudah melakukan pertemuan dengan
Jepang.
Solusi yang dapat disimpulkan dari kasus ini adalah pada era perdagangan
bebas ini, produk barang dan jasa akan bebas keluar masuk antar negara di kawasan
Asia Tenggara, termasuk pada sektor perikanan maka dari itu mutu dan keamanan
hasil perikanan akan menjadi kunci utama dalam peningkatan daya saing untuk
memenangkan perdagangan bebas. Kita juga harus mensosialisasikan agar semua
stakeholder perikanan besar maupun kecil dapat terus meningkatkan mutu kualitas
produknya agar mampu bersaing dengan negara lain.

Anda mungkin juga menyukai