Anda di halaman 1dari 14

Representasi Global Governance Dalam Mekanisme

Perdagangan Internasional:
Fair Trade

Abstract

Global Governance and fair trade are debatable concepts in study of international relations.
The transformation within world order leading role shifting from state centric into non-state
centric. The demand of governance becomes essentially to maintain the global interaction
among the actors. The presentation of global governance will be associating with the
mechanism in fair trade, which is the role of the trade agent in that system is parallel. Fair
trade becomes the alternative of free trade because people starting concern with the impact of
the old mechanism, especially for the community trade in the third world countries. These
concepts facing the challenge of international political of economy as the core of trade
mechanism as a whole.

Kata-kata kunci:
global governance, fair trade, ekonomi politik internasional, perdagangan tidak seimbang (unfair
trade/ free trade, jaringan kerja paralel

Konsep Global Governance merupakan satu bentuk konsep yang masih berupa
ide atau gagasan yang pada saat ini banyak diperdebatkan di kalangan ahli hubungan
internasional, sebagai sebuah ide/ konsep, global governance memandang saat ini
negara bukanlah satu-satunya instrumen yang memiliki otoritas sentral, karena masih
banyak variabel tambahan yang selalu berkembang untuk menjawab berbagai
permasalahan global yang muncul. Jadi global governance dapat dianggap sebagai
sebuah tatanan yang relevan dan dapat menjembatani antara satu masalah dengan
masalah yang lain secara simultan.
Global governance yang berangkat dari berkembangnya isu-isu ekonomi
politik internasional, dapat dijadikan sebuah perangkat ideal dan baik untuk
diaplikasikan secara kritis, ataupun sebagai sarana untuk memecahkan masalah
ekonomi global yang selalu penuh dinamika dari waktu ke waktu. Jadi global
gorvenance merupakan sebuah proyek yang bersifat normatif dengan
mengembangkan berbagai gagasan yang ideal untuk direalisasikan1 dalam menjawab
berbagai tantangan globalisasi, dalam hal ini terkait mengenai tranformasi yang terjadi
dalam bidang ekonomi politik internasional. Globalisasi dari ekonomi politik
internasional merupakan satu dampak positif untuk mengembangkan fungsi otoritas di
luar negara. Kekuatan dari pasar dan interaksi aktor-aktor yang terlibat di dalamnya
akan membawa sebuah inovasi ataupun bentuk-bentuk baru dari mekanisme pada

1
Lihat Muhadi Sugiono. 2004, Global Governance Sebagai Agenda Penelitian Dalam Studi Hubungan
Internasional, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjahmada, Vol. 8, No. 2

1
rezim perdagangan internasional, yang juga merupakan bagian dari ekonomi politik
internasional.
Sebagai sebuah konsep baru yang keberadaannya masih sangat diperdebatkan,
maka penulis ingin mencoba untuk membuat analisa atau wacana baru dalam
mengimplementasikan konsep global governance yang dibangun pada mekanisme
fair trade, sebagai sebuah isu ekonomi politik internasional yang juga masih dijadikan
perdebatan di kalangan pelaku dan pengamat ekonomi, serta para ahli dalam
hubungan internasional terutama yang terkait dengan studi ekonomi politik
internasional.

Perdagangan Yang Tidak Seimbang


Kontak antara negara maju dan negara berkembang bukan merupakan suatu
hal yang baru, namun dengan adanya globalisasi hubungan antara keduanya lebih
bersifat intensif dan tidak terlepas satu sama lain (OXFAM International: 2002).
Hubungan ini berpengaruh pada pergerakan modal, pertumbuhan perusahaan
transnasional, dan perubahan teknologi. Sehingga perdagangan internasional yang
merepresentasikan hubungan antar batas negara dalam bidang ekonomi, menjadi
persoalan klasik dan terkadang menimbulkan kontroversi dalam studi ekonomi politik
internasional2. Hubungan dagang antar negara ini dipersonifikasikan oleh jumlah
kelompok-kelompok usaha dari suatu negara, sehingga kerangka interaksi yang
tercipta akan menjadi hubungan antar negara3. Namun sayangnya, hubungan ini
akhirnya menciptakan berbagai ketimpangan-ketimpangan dalam ekonomi politik
internasional, terutama pada mekanisme perdagangan internasional yang menjadi
pokok bahasan dalam tulisan ini.
Mekanisme yang berlangsung dalam perdagangan internasional seringkali
bersifat diskriminatif dan tidak berpihak pada kepentingan negara berkembang.
Perdagangan internasional yang mengusung semangat liberalisasi pasar menciptakan
kondisi ekonomi yang tidak sehat bagi para pelaku usaha dari negara berkembang.
Meskipun telah dirancang sebuah badan perdagangan dunia atau World Trade
Organization (WTO) yang berperan sebagai media pengawasan bagi berlangsungnya
2
Perdagangan yang mnghubungkan satu negara dengan yang lain akan menimbulkan saling
ketergantungan diantara mereka yang sifatnya menguntungkan, namun juga terkadang menimbulkan
ketegangan antara negara dengan berbagai kelompok di negara tersebut. Lihat Mohtar Mas’oed. 1998,
Perspektif Ekonomi Politik dalam Hubungan Internasional, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Ilmu
Politik Konsentrasi Studi Hubungan Internasional Universitas Gadjahmada, hal. 3
3
Ibid

2
interaksi perdagangan di arena internasional, sekaligus sebagai sarana penyelesaian
berbagai sengketa dagang4, namun tidak bisa secara signifikan mereduksi
ketimpangan hubungan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang. Peran
WTO yang pada saat ini telah banyak menuai kritik, sebagai akibat ketidakberpihakan
pada kepentingan dari negara berkembang, dan dinilai sudah tidak mampu lagi
menjadi satu jembatan diantara jurang pemisah tersebut. Perlu disadari bahwa dalam
WTO, peranan dan kepentingan dari negara-negara maju pun sangat mendominasi.
Hal ini secara nyata tergambar pada mekanisme free trade yang telah berlangsung
sejak lama dalam mekanisme perdagangan internasional, disamping fenomena-
fenomena ekonomi politik internasional yang lain. Sebagai salah satu contoh adalah
pertumbuhan transnasional sebagai personifikasi dari kepentingan negara-negara maju
(home country) di berbagai belahan dunia, dengan kebanyakan dampak negatif yang
ditimbulkannya pada bagi negara-negara berkembang (host country). Dari data yang
diperoleh pada tahun 1980, yang membanjiri perdagangan dunia adalah produk-
produk dari 15 perusahaan transnasional besar sebanyak 70 % sampai dengan 90 %5.
Dapat disimpulkan bahwa monopoli tersebut termasuk dalam penentuan harga pasar,
dan kolusi perdagangan yang mungkin terjadi. Perusahaan transnasional yang
umumnya banyak memanfaatkan sumber-seumber alam guna mendapatkan bahan
baku, penunjang utama produksi, yang diambil dari berbagai kawasan di negara-
negara berkembang, karena perlu disadari bahwa perusahaan yang merupakan
personifikasi dari kepentingan negara-negara maju ini,mempunyai kemampuan
permodalan yang kuat dan penguasaan teknologi mutakhir untuk mengolah bahan-
bahan tersebut menjadi satu produk yang mempunyai nilai jual yang cukup tinggi.
Selain bahan baku, tenaga kerja yang terkenal murah, merupakan bahan pertimbangan
bagi sebuah perusahaan transnasional berdiri di negara-negara berkembang.
Mekanisme free trade yang telah berkembang secara global pada rezin
perdagangan internasional, menjadi sebuah konsep yang tidak bebas biaya (free trade
is not free)6. Biaya yang ditimbulkan dari sistem yang dikembangkan melalui

4
Ibid, hal. 15
5
Michael Brant Brown. 1993, The Perfect Guide to The Maze International Commerce: Fair Trade,
New Jersey: Zed Books Ltd, hal. 30
6
Karl Marx berpendapat bahwa sistem free trade bersifat destruktif terhadap tatanan yang sosial.
Membuat jurang yang semakin besar antara kaum proletar dan borjuis. Dampaknya pun harus
ditanggung oleh kelompok yang lemah. Lihat Patrick J. Buchanan, Free Trade is Not Free, dalam
Robin Broad (ed). 2002, Global Backlash: Citizen InitiativeFor A Just World Econom, Maryland:
Rowman & Littlefield Publisher Inc., hal. 35

3
mekanisme dagang tersebut, umumnya akan ditanggung oleh kelompok yang lemah.
Selain itu juga free trade akan menyebabkan batas-batas negara menjadi kabur,
sehingga kedaulatan bukanlah menjadi suatu hal yang harus dijadikan kendala bagi
pihak lain untuk melakukan intervensi ekonomi. Hal itu akan menyebabkan suatu
negara akan kehilangan kemerdekaan7 yang mandiri untuk menentukan arah
kepentingannya. setiap negara sering berkompetisi untuk meraih pasar potensial yang
menguntungkan, akibatnya adalah kekalahan bagi produk-produk dari negara-negara
berkembang untuk bersaing. Ketatnya proteksi yang diberlakukan oleh negara maju
terhadap produk-produk dari negara berkembang, dengan mengacu pada alasan
standarisasi kesehatan dan lingkungan yang tidak sesuai dengan ketetapan dalam
WTO atau yang dikenal dengan mekanisme labelling. Alih-alih itu hanyalah
hambatan yang diciptakan untuk negara berkembang melakukan impor ke negara-
negara maju. Tujuan dari proteksi itu sendiri adalah untuk melindungi kepentingan
ekonomi domestik di negara-negara maju. Apabila negara berkembang kemudian
melakukan hal yang serupa, maka negara-negara maju melalui WTO akan
menjustifikasi bahwa negara yang bersangkutan melakukan tindakan yang tidak
sesuai dengan prinsip perdagangan bebas, yaitu liberalisasi pasar. Akibatnya negara
berkembang tersebut akan dikucilkan dunia internasional, bahkan diberikan sangsi
berupa embargo perdagangan, dan sebagainya. Hal ini tentunya menjadi dilema,
mengingat posisi tawar yang lemah dari negara-negara berkembang dalam
perdagangan internasional. Salah satu faktor yang membuat lemahnya posisi tawar
negara berkembang di mata internasional, yaitu kondisi domestik dari negara-negara
itu amat didominasi oleh struktur hirarkis yang korup, diwarnai kolusi, yang tentunya
secara politis akan berpengaruh dalam interaksi internasionalnya. Dimana kebijakan
yang berasal dari elit-elit politiknya pun tidak lepas dari campur tangan dari negara-
negara maju, yang selama ini menjadi donor pembangunan bagi negara berkembang,
melalui IMF dan World Bank. Hal-hal yang dikemukakan diatas akan mengarah
kepada keterpurukan negara-negara yang kaya akan sumber daya alam, namun
menjadi miskin yang diakibatkan eksploitasi yang dilakukan oleh kepentingan-
kepentingan negara maju. Selain itu juga kondisi ketidakseimbangan pada
perdagangan internasional juga dipicu oleh kegagalan dalam mengelola hutang-
hutang internasional dari negara berkembang, dimana banyaknya terjadi pengalihan

7
Ibid, hal. 36

4
investasi dari pengusaha lokal di negara berkembang, sebagai akibat lemahnya
peraturan yang mengikat aktiftas mereka disamping kondisi politik domestik yang
tidak stabil. Tentunya hal ini akan berakibat terganggunya neraca pembayaran, karena
rendahnya pendapatan sebagai akibat turunnya devisa ekspor dari negara berkembang.
Kemudian globalisasi mengakibatkan ketidakstabilan perdagangan dari negara-negara
berkembang yang diakibatkan munculnya privatisasi modal pada fenomena tersebut
diatas.
Berangkat dari kondisi inilah, muncul satu alternatif perdagangan baru yang
menjunjung tinggi prinsip keadilan, yaitu fair trade sebagai satu isu ekonomi global,
dalam rangka menciptakan satu tatanan baru berupa mekanisme perdagangan etis
yang berprinsip sebuah perdagangan yang berperikeadilan. Selain itu juga penulis
melihat bahwa berbagai tantangan yang muncul dari berbagai interaksi dalam
mekanisme perdagangan internasional, sampai berujung pada munculnya fair trade
akan menjadi lebih menarik jika dikaitkan dengan konsep global governance. Konsep
tersebut global governance sebagai akibat dari semakin bebasnya interaksi tanpa batas
dari berbagai aktor, khususnya yang terkait dengan perubahan dalam ekonomi politik
internasional.

Fair Trade Sebagai Isu Ekonomi Global


Fair trade mulai berkembang pada era 50-an di Eropa, yang kemudian
merebak dan tumbuh pesar sampai ke negara-negara berkembang. Dengan
mengangkat isu-isu sosial, lingkungan, bahkan fauna, telah membuat fair trade
mendapat posisi khusu dalam dinamika rezim perdagangan internasional. Konsep dari
perdagangan yang baru ini adalah prinsip berkeadilan, dimana telah muncul satu
kesadaran mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan dari berbagai aktifitas-
aktifitas ekonomi politik internasional terhadap komponen-komponen produksi yang
termarginalkan, lingkungan, bahkan faunan. Fair trade dalam perkembangannya telah
banyak menarik perhatian di berbagai kalangan, sebagai sebuah konsep baru yang
sampai saat ini masih diperdebatkan, ditambah dengan adanya kecurigaan apakah
konsep ini hanyalah satu bentuk proteksi lama dari negara-negara maju yang
dibungkus oleh mekanisme baru? Apakah jaminan perdagangan global ini benar-
benar berkomitmen pada prinsip keadilan? Bagaimana prospek global governance
secara signifikan terhadap bentuk baru dari perdagangan ini? Siapakah aktor-aktor

5
yang nantinya dipercaya dan dapat menjalankan fungsi otoritas yang paralel pada
mekanisme perdagangan ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul sebagai sebuah tantangan atau dilema yang
harus dielaborasikan melalui implementasi global governance, sebagai sebuah
gagasan analitis yang akan dituangkan dalam mekanisme yang dibangun oleh fair
trade. Sebagai sebuah konsep mengenai tata kelola yang sifatnya simultan, tentunya
global governance dapat lentur dengan dinamika dalam hubungan interaksi
perdagangan melalui fair trade.
Fair trade dibangun berdasarkan nilai-nilai sosial yang dikembangkan dan
dimunculkan oleh kalangan pelaku ekonomi dunia, terutama para konsumen. Dimana
dalam komponen rantai perdagangan dunia terdapat banyak komponen ekonomi yang
tidak mendapatkan manfaat yang layak, terutama produsen yang datang dari negara
berkembang. Kemunculan fair trade merupakan satu jawaban dari akibat
ketidakadilan dari rezim perdagangan internasional. Selain itu, fair trade berangkat
dari kondisi negara berkembang yang merupakan bagian penting dari perdagangan
internasional, dimana negara berkembang sebagai penghasil utama bahan baku
produksi, sekaligus menjadi pasar potensial bagi produk-produk hasil produksi negara
maju, telah mengalami ketidakadilan dalam perdagangan. Sehingga prinsip non-
eksploitasi, nampaknya harus ditinjau kembali aplikasinya. Hal inilah yang dijadikan
landasan bagi fair trade untuk berperan pada rezim perdagangan internasional.
Dalam sistem fair trade, ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan,
diantaranya adalah muatan nilai lokal pada suatu produk, misalnya kapas dari Cina
dicantumkan pada produk garmen yang dihasilkan, dimana nantinya industri dalam
fair trade akan mengalokasikan secara adil mengenai mekanisme penentuan harga
termasuk pada masalah pembayaran terhadap daerah penghasil bahan baku tersebut.
Kemudian kesehatan adalah kriteria mutlak bagi sebuah produk yang dipasarkan
melalui fair trade ini, dimana pada saat proses produksi, para produsen harus
menggunakan bahan-bahan yang aman bagi manusia, hewan, dan lingkungan,
misalnya produk pertanian organik sebagai salah satu produk yang dipasarkan melalui
fair trade, yang tidak memakai bahan-bahan kimia seperti pestisida. Selanjutnya
adalah efisiensi dan efektifitas tenaga kerja sebagai faktor penting yang menunjang
proses produksi, dimana haruslah terdapat sistem penguahan dan pembagian
keuntungan yang transparan antara buruh, produsen, agen, dan distributor. Jadi
golongan buruh yang selama ini termarginalkan nasibnya, melalui bentuk

6
perdagangan ini akan membuat nasibnya menjadi lebih baik dan layak. Umunya
golongan pekerja dan produsen kecil dalam fair trade, adalah mereka yang tidak
beruntung dalam tingkatan kehidupan sosial di masyarakat, seperti para penyandang
cacat, kaum perempuan, dan sebagainya. Masalah ketenagakerjaan yang didalamnya
berkaitan dengan efisiensi dan efektifitas menjadi salah satu syarat dasar dari fair
trade yang membedakannya dengan bentuk perdagangan yang lain. Selain itu pula,
konsep a new global division of labor8 ingin dikembangan melalui bentuk
perdagangan yang baru ini, dimana terdapat sistem pembagian kerja yang terarah dan
sesuai dengan focus keahlian yang dipunyai, dengan tujuan untuk mencapai hasil
produksi yang maksimal dengan kualitas tinggi. Sebenarnya konsep ini telah dikenal
dan dikembangan oleh Adam Smith sebagai salah satu tokoh ekonomi dunia
terdahulu, dan juga diterapkan di free trade yang berkembang lebih dahulu. Namun
dalam fair trade terkandung juga muatan alih teknologi dan keterampilan dari pekerja
yang dilakukan lewat berbagai pelatihan, tidak hanya itu saja dalam sistem pembagian
kerja pada fair trade, para pekerja tidak dituntut untuk memenuhi kewajibannya
semata-mata, namun juga menumbuhkan kesadaran hal yang bisa diperoleh termasuk
pengupahan yang layak sesuai dengan kebutuhan dasar.
Prinsip harga yang adil juga menjadikan bentuk perdagangan ini tidak hanya
mengedepankan masalah profit semata-mata, karena banyaknya elemen-elemen sosial
yang termuat dibalik setiap produk yang dihasilkan. Mekanisme dalam fair trade ini
tampaknya dapat dijadikan sebuah alternatif guna menjembatani kepentingan negara
maju dengan negara berkembang atau miskin secara adil.
Selain itu juga, fair trade dipandang sebagai sebuah strategi dalam
menciptakan perdagangan yang berpihak pada kepentingan negara-negara miskin
(OXFAM International: 2003). Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengaturan
kebijakan domestic di negara berkembang, serta pembenahan struktur hirarkis yang
bebas kolusi dan korupsi, sehingga dapat menjadi sebuah dukungan bagi
perkembangan fair trade, yang prinsipnya berpihak pada kepentingan negara
berkembang. Kemudian, di dalam fair trade juga melibatkan pengelolaan
perdagangan yang sifatnya transparan, guna menjaga prinsip keadilan terhadap
pelaku-pelaku yang terlibat di dalamnya.

8
Peter Dicken, A New Geo-Economy, dalam David Held dan Anthony McGrew, The Global
Transformation Reader, Blackwell Publishing Ltd, Cambridge: 2003, hal. 300

7
Perkembangan fair trade sebagai sebuah isu ekonomi global dalam ekonomi
politik internasional juga tidak terlepas dari peranan kelompok konsumen etis.
Berangkat dari sebuah kesadaran bahwa aktifitas ekonomi dalam melakukan kegiatan
konsumsi mebawa dampak bagi banyak orang, dan juga lingkungan. Bahwa kegiatan
konsumi yang saat ini menjadi sebuah gaya hidup sebenarnya bisa memperbaiki atau
justru memperburuk kondisi lingkungan dan nasib jutaan manusia. Kesadaran
semacam inilah yang menjadi faktor munculnya kegiatan-kegiatan konsumsi yang
didasarkan pada standar etis.
Seorang konsumen etis biasanya, mendasarkan pilihannya pada saat membeli
sebuah produk berdasarkan nilai-nilai etis yang bersifat universal, misalnya
pelestarian lingkungan, hak asasi manusia, penghormatan atas hak-hak kaum pekerja,
bahkan yang berkembang pada saat ini, yaitu nilai etis juga sudah mulai
memperhatikan kesejahteraan hewan (animal welfare). Sehingga kelompok ini akan
menempatkan produk-produk yang berbasis fair trade dalam daftar prioritas
konsumsinya. Berdasarkan perilaku mereka, kelompok ini terbagi menjadi tiga
kategori (Newholm:1999), yaitu kategori pertama, mereka yang menghindar untuk
mengkonsumsi barang dan jasa yang mereka anggap diproduksi secara tidak etis,
konsumen yang masuk dalam kategori ini biasanya akan memisahkan diri dari
mayoritas konsumen kebanyakan. Kemudian kategori yang kedua adalah para
konsumen etis yang mengintegrasikan etis mereka dalam seluruh aspek kehidupan,
mulai dari pekerjaan, memilih produk barang, maupun produl financial. Mereka
menyediakan waktu untuk bekerja dan mengkampanyekan isu-isu etis, sehingga
seringkali membuat mereka membatasi kegiatan konsumen etis mereka. Sedangkan
kategori yang ketiga seringkali disebut sebagai kelompok rasional, mereka yang
termasuk dalam kategori ini cenderung mempraktekan nilai-nilai etis secara terbatas,
misalnya dengan mengkonsumsi produk-produk tertentu yang memiliki atribut etis,
namun mereka tetap menggabungkan diri dengan masyarakan konsumen kebanyakan.
Namun pengelompokan ini sifatnya tidak kaku, yang jelas pola perilaku kegiatan
konsumesi dari kelompok etis adalah mereka bersedia mengeluarkan biaya lebih, atau
yang disebut juga harga premium, bagi barang-barang/ jasa yang diproduksi secara
etis. Mengigat karakteristik produk-produk fair trade ini cederung lebih masal
daripada produk-produk sejenis, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
ketentuan produk-produk dalam fair trade yang harus menutup biaya sosial dan
lingkungan diluar ongkos produksi. Kegiatan konsumsi dari kelompok ini secara

8
langsung memberikan kontribusi positif pada perkembangan dan pertumbuhan fair
trade secara global.
Dinamika gerakan kelompok inis ecara global berkembang beriringan dengan
kaum environmentalis, bahwa alam sudah mengalami ketidakseimbanganyang
diakibatkan oleh eksploitasi, guna memenuhi tuntutan kebutuhan konsumsi manusia.
Menurut ecological footprint yaitu standar untuk mengukur jumlah atau besaran lahan
produktif yang diperlukan untuk menyokong kehidupan manusia, bahwa negara-
negara maju, seperti Amerika dan Eropa adalah negara yang paling banyak
menggunakan lahan produktif di dunia. Otomatis hal ini akan menimbulkan
eksploitasi alam yang kemudian berakibat pada munculnya banyak krisi ekologi. Jadi
pertumbuhan manusia meningkat yang diiringi oleh berkembangnya kebutuhan
manusia, maka akan mengakibatkan menipisnya sumber daya alam yang tersedia.
Fenomena tersebut menjadi dasar kemunculan kelompok konsumen etis yang sadar
akan dampak dari perilaku konsumsinya. Namun gerakan kelompok ini tidak lepas
dari berbagai hambatan, yaitu kelompok-kelompok pelaku ekonomi politik intersional
yang memandang kemunculan kelompok etis membuka peluang bisnis baru, yaitu
munculnya produk-produk berlabel etis, meskipun sesungguhnya produk tersebut
tidak mengikuti standar-standar produksi etis, hanya semata-mata mengejar
keuntungan.
Kendala ini tampaknya muncul sebagai bentuk pertentangan terhadap
munculnya fair trade, dimana akan mengancam posisi free trade yang telah lebih
dahulu berkembang dalam rezim perdagangan internasional. Maka konsep global
governance ditawarkan untuk diaplikasikan dalam mekanisme fair trade sebagai suatu
tata kelola yang didasarkan pada sebuah bentuk jaringan (networking) paralel antara
berbagai komponen dengan prinsip transparansi guna memberikan kontrol keadilan
yang merupakan prinsip dasar dari fair trade.

Global Governance Dalam Fair Trade


Konsep global governance memfokuskan analisanya dalam rezim
perdagangan internasional pada peranan aktor non-negara dalam menjalankan tatanan
global, sesuai dengan otoritas yang melekat pada aktor tersebut. Dimana tidak
meletakan fungsi otoritatis yang terpusat, namun juga memberikan perhatian pada
tingkatan regional, nasional, dan lokal. Struktur itu tidak digambarkan sebagai sesuatu

9
yang hirarkis, namun ditempatkan dalam sebuah jaringan yang paralel dan saling
terkait.
Berkaitan dengan fenomena tersebut diatas maka global governance sebagai
kerangka deskriptif akan menjadi sebuah pangkal dari upaya untuk memahami
perkembangan-perkembangan global yang muncul pada saat ini. Semakin pentingnya
tataran politik selain negara-bangsa terutama tataran internasional; kedua, sebagai
konsekuensi dari yang pertama, mengemukanya masalah kontrol negara-bangsa; dan
ketiga, semakin besarnya peranan aktor-aktor politik yang lain seperti lembaga-
lembaga swadaya masyarakat (NGOs) dan perusahaan-perusahaan swasta.9 Tentunya
perkembangan global yang akan dikaji lebih lanjut dalam tulisan ini adalah berkaitan
dengan perkembangan fair trade sebagai sebuah alternatif baru dalam perdagangan
internasional, dimana komponen-komponennya akan membentuk sebuah jaringan
yang saling bersinggungan dengan peranan aktor non-negara sebagai new middle man.
Dalam kerangka global governance pada fair trade, hubungan antara institusi
ekonomi multilateral dan gerakan sosial global sangat erat, dengan tujuan untuk
menciptakan kesempatan yang lebih besar dalam perolehan keuntungan yang merata
10
bagi setiap komponen yang terlibat, melalui interaksi yang dinamis. Berangkat dari
isu liberalisasi ekonomi, yang kemudian munculnya sebuah mekanisme free trade
dengan prinsip penghapusan hambatan-hambatan dalam melakukan kegiatan
perdagangan antar negara. Namun ketika terjadi ketidakseimbangan posisi dalam
rezim perdagangan internasional, dimana posisi negara berkembang sangat
termarginalkan, maka muncullah fair trade sebagai satu alternatif baru dalam
perdagangan internasional, yang didalamnya terjadi kolaborasi otoritas, antara WTO
sebagai institusi induk dalam perdagangan internasional dengan NGOs dan
masyarakat sipil dalam sebuah kerangka hubungan yang dinamis dan saling terkait.
Selain itu juga terdapat peranan yang sifatnya tidak langsung, yaitu World Bank dan
IMF sebagai significant other dalam mekanisme fair trade ini.
Gerakan sosial global dalam fair trade merupakan sebuah momentum penting,
dimana di dalamnya terdapat aktor-aktor yang berasal dari masyarakat sipil dalam hal
ini adalah konsumen etis, buruh, dan produsen, yang juga mempunyai kekuatan dalam

9
Muhadi Sugiono. 2004, Global Governance Sebagai Agenda Penelitian Dalam Studi Hubungan
Internasional, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjahmada, Vol. 8, No. 2
10
Marc Williams, Contesting Global Governance Multilateral Economic Institution and Global Social
Movements, Cambridge: 2000, hal.8

10
mempengaruhi siklus jaringan dalam mekanisme itu sendiri. Mobilisasi gerakan ini
terlepas dari fungsi otoritas negara, sehingga di dalamnya tidak terdapat kekerasan
ataupun paksaan dalam menjalankan peranannya.11 Maka sebagai sebuah alternatif
baru dalam perdagangan, fair trade terus berpijak pada kriteria-kriteria dan prinsip-
prinsip dasar yang telah dibangun, karena hal tersebut yang menjadi tolak ukur dari
kontribusi pada aktor-aktor non-negara sebagai reaktor jaringan perdagangan pada
mekanisme ini. Sehingga keadilan sebagai satu komponen terpenting menjadi lebih
terjaga serta memperlihatkan pada aktor-aktor di luar sistem bahwa fairness bukan
suatu hal yang mustahil untuk diterapkan dalam sebuah mekanisme perdagangan.
Sehingga di masa yang akan datang aktor-aktor dalam jaringan fair trade akan
mempunyai peranan besar dalam rezim perdagangan internasional, sebagai komponen
yang signifikan dan tidak dapat diabaikan. Sistem paralel dalam mekanisme
perdagangan ini diciptakan dengan tujuan dapat memberikan kontribusi yang positif
pada negara-negara berkembang, selain itu juga sebagai sebuah jalan untuk
mengangkat posisi negara tersebut dalam rezim perdagangan internasional.
Keseimbangan posisi dalam pertukaran dagang antara negara-negara maju dengan
negara berkembang merupakan sebuah target yang ingin dicapai melalui fair trade.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka munculnya OXFAM dan Third World
Network Information (TWIN) yang bermarkas di Inggris, merupakan sebuah langkah
penting dalam menciptakan hubungan perdagangan dengan kelompok-kelompok
perdagangan dari negara-negara berkembang, misalnya peran organisasi besar
tersebut dengan memberikan asistensi bagi negara berkembang untuk mencari pasar
bagi produk-produknya, melakukan alih teknologi produksi bagi negara berkembang,
dan sebagainya. Kemudian, dari tingkat regional, nasional, dan lokal peranan
organisasi alternative perdagangan (ATOs) juga mempunyai signifikansi dalam
jaringan tersebut, yaitu mediasi pemasaran produk-produk fair trade yang berasal dari
produsen asal, sebagai bentuk nyatanya di beberapa negara ATOs terwakili melalui
took-toko khusus bahkan supermarket yang menjual produk-produk fair trade, selain
dipasarkan secara global (ekspor). Peranan akhir dari ATOs adalah sebagai media
alternatif dalam hubungan kerja publik dan juga media promosi dari produk-produk
negara berkembang. Fungsi ini akan memberikan informasi kepada konsumen
mengenai produk-produk etis yang aman bagi kesehatan dan lingkungan, dan juga

11
Ibid, hal.14

11
memperkenalkan bahwa produk-produk tersebut mempunyai muatan sosial bagi nasib
jutaan manusia, lingkungan, bahkan hewan. Pada fase inilah kemudian munsul
gerakan kelompok konsumen etis sebagai salah satu komponen penting dalam
perkembangan fair trade.
Ada tiga bentuk utama dari jaringan perdagangan alternatif ini12, yaitu:

a. Semua informasi dan hal terkait akan didistribusikan secara merata kepada
setiap komponen, melalui pusatnya. Apabila komponen diluar sentral ingin
berkomunikasi maka harus melalui pusatnya.

b. Sentral berperan sebagai pusat informasi dan kegiatan, namun setiap


komponen bisa langsung berinteraksi tanpa harus melalui sentralnya.

c. pada bentuk ini setiap komponen akan dapat langsung saling berinteraksi dan
berkomunikasi, dan pusat hanyalah sebagai sentral pelayanan dari setiap
aktifitas komponen yang ada di dalam jaringan tersebut.
Jaringan yang terkelola dengan baik dalam fair trade akan memberikan kesempatan
dan keuntungan yang sama, serta adil bagi setiap komponen yang terlibat di
dalamnya, dengan mengadopsi pada bentuk jaringan-jaringan kerja yang tersebut
diatas. Dan jaringan itu harus dimulai dari tiga asumsi13, yaitu bentuk perdagangan
ini harus mampu membangun skala yang normal pada pasar yang komersial;
perkembangan bentuk perdagangan ini harus dipahami sebagai sebuah jaringan kerja

12
Michael Barrat Brown, The Perfect Guide To Maze of International Commerce: Fair Trade, Zed
Book Ltd, New Jersey: 2003, hal. 167
13
Ibid, hal. 169

12
yang bersifat partnership, dimana setiap komponen saling bertukar informasi
sehingga dapat menghasilkan satu kesepakatan bersama; target dari perdagangan ini
adalah menciptakan kemandirian dalam hal kompetensi dan kemampuan secara
finansial. Jadi, hal-hal tersebut merupakan tanggung jawab bersama yang harus
dipikul oleh organisasi alternatif perdagangan dari negara maju dengan negara
berkembang.
Kesimpulan
Global governance berawal dari pesatnya isu-isu eknomi global saaat ini,
mencoba untuk berperan secara aplikatif dalam kerangka perdagangan yang
berkeadilan (fair trade). Sebagai sebuah konsep yang menggambarkan jaringan
otoritas yang paralel diluar aktor non-negara. Konsep perdagangan yang baru ini
muncul ketika praktek-praktek perdagangan yang selama ini dilakukan telah
menciptakan sebuah kondisi yang tidak memadai, terutama berkaitan dengan masalah
ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang. Sehingga, muncullah
kejenuhan yang berasal dari konsumen dan produsen asal untuk merekonstruksi
sistem perdagangan yang lama.
Munculnya berbagai interaksi yang dikembangkan dalam kerangka
perdagangan, maka akan mengakibatkan perlunya sebuah tatanan global yang tidak
terpusat hanya pada satu titik pusat. Titik pusat itu diasosiasikan sebagai peran
pemerintah atau negara sebagai hal yang selama ini diutamakan, dan peran tersebut
sudah tidak relevan lagi dengan kondisi global saat ini. Sehingga, kemampuan pasar
pun menjadi salah satu alternatif untuk menjalankan sebuah fungsi yang mempunyai
otoritas, dan tentunya hal ini merupakan dasar dari konsep global governance. Konsep
tersebut memunculkan satu bentuk interaksi global antara komponen-komponen
dalam sebuah kerangka jaringan kerja. Global governance sebuah konsep yang
menggambarkan keidealan bentuk pengelolaan yang tidak bersifat strukturalis dan
hirarkis, sehingga tidak ada fungsi otoritas yang tersentral, dimana memungkinkan
terjadinya penekanan yang otoriter dan ditaktor, layaknya sebuah otoritas negara-
bangsa.
Hal-hal yang disyaratkan dalam konsep global governance direpresentasikan
dalam sistem perdagangan yang berkeadilan (fair trade). Fair trade diharapkan dapat
menjadi sebuah terobosan bagi mekanisme interaksi perdagangan internasional, yang
tentunya akan semakin memberikan keberpihakan terhadap peran pelaku dagang yang
selama ini termarginalkan, yaitu produsen asal. Selain itu pun para konsumen pun

13
akan mendapatkan berbagai produk yang mempunyai kualitas mutu, yang aman bagi
dirinya ataupun lingkungan.

14

Anda mungkin juga menyukai