Anda di halaman 1dari 25

CRITICAL REVIEW

INTERNATIONAL TRADE LAW

Disusun oleh Kelompok 1:

Noni Sapira (2010851008)

Syifa Khairani Fadillah (2010851006)


Lesya Marbeta Lenri (2010851004)
Eka Rahma Oktavia (2010851007)

Nita Defrilawati (2010851001)

Tiska Dwi Putri (2010851005)

Febi Eka Putri (2010851002)

Dwi Bagaskara (2010851009)

Yeliva Dinanti (2010851003)


DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG 2022/2023

Group 1 : Noni Sapira (2010851008)


Syifa Khairani Fadillah (2010851006)
Lesya Marbeta Lenri (2010851004)
Article : INTRODUCTION : RECONSTRUCTING THE WORLD
TRADING SYSTEM

Memahami perdagangan dunia pada abad kedua puluh satu

Volume perdagangan global selama enam dekade terakhir meningkat lebih dari dua puluh
kali lipat. Tingkat tarif menurun terhadap rata-rata produk manufaktur di negara maju dari 40%
menjadi kurang dari 4%. Negosiasi perdagangan konvensional memiliki pola khas seperti ketika
Negara A memotong tarifnya terhadap barang-barang yang akan diekspor, maka Negara B juga
akan memotong tarifnya atas barang-barang yang diekspor sebelumnya. Sehingga open market
negara tersebut diukur dengan konsesi tarif. GATT dan WTO adalah kontrak diantara para
penandatangan yang berdaulat, dimana tujuan utama kontrak perdagangan dunia adalah untuk
meliberalisasi perdagangan dan juga memantau proteksionisme.
Terdapat dua pola model perdagangan yaitu produksi monolokasi dan produksi
multilokasi, akan tetapi produksi multilokasi jauh lebih kompleks, hal ini karena melibatkan
produksi nilai tambah dari banyak negara. Fokus model produksi monolokasi khususnya pada
volume ekspor-impor bruto, dan rentan persaingan negara ke negara merkantilis dalam surplus
perdagangan, tetapi pada dasarnya tidak bisa menggambarkan transaksi bisnis transnasional yang
maju. Sementara itu, model contract-bargain memiliki kecenderungan menaturalisasi
proteksionisme. Disisi lain terdapat Deklarasi Menteri Doha yang menekankan bahwa Putaran
Dona merupakan putaran pembangunan yang berfokus pada penghapusan dan perlindungan
pertanian kronis yang pada dasarnya dipraktikkan oleh negara maju.

Merangkul kerangka baru

Beberapa perubahan hukum dan kelembagaan yang pada dasarnya lahir dari evolusi
sistem perdagangan global modern, memiliki kecenderungan yang membenarkan kerangka baru,
dimana terdapat transformasi dari GATT ke WTO yang membawa sejumlah perubahan
struktural. Norma-norma dalam WTO menawarkan kepada anggota untuk memahami satu sama
lain. Wacana dari ajudikatif WTO akan menjadi resolusi yang bilateral dan kemudian
membangun hukum secara bersama yang akan memandu perilaku anggotanya. Norma-norma
perdagangan bisa memunculkan endogen melalui komunikasi internal yang terjalin diantara para
anggota. Pada jurnal pembanding yang berjudul “Pengaturan World Trade Organization
dalam Hukum Internasional”, mengatakan bahwa negara-negara yang umumnya lebih maju
menganggap bahwa liberalisasi perdagangan internasional yang berlandaskan pada WTO adalah
jalan terciptanya suatu kondisi perekonomian global yang lebih baik. Akan tetapi negara-negara
berkembang menganggap bahwa liberalisasi tersebut merupakan kendaraan kepentingan
ekonomi dari negara maju

Asal usul kontrak perdagangan dunia

Pada tahun 1940-an, sistem perdagangan global modern telah berjuang menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang berubah-ubah dan agar bisa tetap bertahan.Dimulai dari Revolusi
Industri, yang pada awalnya berasal dari Inggris di abad ke-18, dan pada akhirnya menyebar ke
penjuru dunia. Hal tersebut menandai era produksi massal, perdagangan global, dan adanya
tingkat kemakmuran yang luar biasa.Setelah Roaring Twenties berakhir, terjadinya great
depression yang melanda di AS. Perang Dunia 2 telah memberikan sekutu suatu pencerahan,
khususnya AS. Mereka menyadari bahwa sebuah sistem perdagangan global yang pada dasarnya
beroperasi dengan baik memiliki syarat-syarat yang diperlukan, sehingga realisasi kolektifnya
mendorong pembentukan Bretton Woods System, sistem ini sebagai pilar ekonomi global pasca
perang. Terdapat sedikit tambahan dari jurnal pembanding, dimana dalam jurnal tersebut
menjelaskan bahwa pembentukan GATT yang diwujudkan pada tahun 1947 dan mulai
beroperasi pada tahun 1948, dilatarbelakangi tragedy atau pengalaman pahit dari kondisi depresi
ekonomi dunia pada tahun 1930-an, pada saat itu juga diikuti dengan adanya kebijakan proteksi
perdagangan yang dilakukan negara-negara besar. GATT merupakan sistem, forum, dan juga
lembaga internasional di bidang perdagangan. Akan tetapi setelah terjadinya perundingan
Uruguay Round pada tahun 1986-1994 selesai, negara anggota GATT kemudian sepakat
membentuk lembaga baru yang kemudian bernama WTO (lembaga penerus GATT).

Dinamika ekonomi dan budaya dalam skala global telah memberikan pendorong yang kuat
Bagi pergeseran dalam cara kita memandang dan memahami sistem Perdagangan dunia.
Kedaulatan yang selama ini sering menghambat arus bebas barang dan jasa. Lagi pula, aktivitas
transnasional lintas batas yang terus meluas cenderung membuat Model merkantilis lama,
berdasarkan kedaulatan teritorial, semakin Anakronistisk. tawar-menawar quid pro quo
konvensional menjadi agak tidak Efektif dalam menghadapi hambatan perdagangan baru, yaitu
hambatan non-tarif (NTBS). Hambatan perdagangan tradisional, seperti tarif, relatif mudah
untuk ditawar melalui Tawar-menawar timbal balik karena dapat diukur dan dihitung. NTB yang
Sebagian besar merupakan peraturan dalam negeri, pada dasarnya tidak dapat dikuantifikasi.
Mengatasinya membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang budaya dan latar Belakang
peraturan mitra dagang. Mengingat situasinya, dialog, bukan tawar-menawar, Adalah kunci
untuk solusi apa pun.

Negara-negara maju yang dilobi oleh kepentingan bisnis yang Kuat ini pada dasarnya
memandang Putaran Doha sebagai negosiasi komersial lainnya Di mana mereka dapat menekan
pembukaan pasar oleh negara-negara berkembang besar, Cina, India, dan Brasil. Sementara para
pemimpin negara maju terus mengadvokasi penyebab vital pembangunan, lip service ini tidak
pernah terwujud di meja Perundingan

Krisis proteksionisme yang baru-baru ini merajalela di negara-negara Perdagangan


menunjukkan perilaku negara egosentris yang mendasar. Putaran umpan balik cenderung
menunda atau bahkan menghalangi apa yang akan datang secara bertahap, yaitu, integrasi sistem
perdagangan global. negara-negara Perdagangan percaya bahwa WTO adalah sebuah kontrak
yang didasarkan pada tawar Menawar timbal balik, sistem perdagangan dunia masih akan berada
di bawah kekuasaan Kejahatan merkantilis yang sama yang coba dibasminya ketika didirikan
enam dekade lalu.
Krisis keuangan global baru-baru ini hanya memperkuat ikatan yang Menentukan ini dalam
sistem perdagangan global. Sementara krisis berdampak Negatif terhadap negara-negara
berkembang dan bisnis mereka, pasca-krisis Situasi, yang sering dijuluki “normal baru”.

Negara-negara berkembang harus sepenuhnya menyadari Potensi pembangunan mereka


dengan secara aktif berhubungan dengan WTO dengan mengarusutamakan perdagangan
internasional.Mempertimbangkan hubungan yang muncul antara GVC dan pembangunan.
Pengarusutamaan perdagangan ini menjadi semakin penting demi pembangunan. Dari sudut
pandang teoretis, kerangka komunitas WTO menjamin Interpretasi “konstruktivis”, yang telah
diadopsi secara luas oleh HI di bidang ekonomi internasional.

WTO tidak hanya memberikan sejumlah hak 92 dan keistimewaan, seperti Nasional dan
prinsip-prinsip negara yang paling disukai, di bawah Perjanjian WTO. ia juga berkonotasi
dengan berbagai manfaat sosial, Seperti rasa memiliki, jaminan, bahkan prestise, yang diperoleh
dari status Sosial tertentu dalam sistem perdagangan dunia.

Norma perdagangan sebagai media komunikatif Langkah pertama menuju kerangka sosial
sistem perdagangan dunia adalah Menghargai pentingnya komunikasi di antara para pesertanya,
baik itu negara Perdagangan atau pelaku ekonomi individu.

Kinerja kuat mekanisme penyelesaian sengketa WTO, yang cukup unik sebagai Mekanisme
ajudikatif internasional, dengan fasih menunjukkan kekuatan dan potensi Wacana perdagangan.
Pihak yang berselisih terlibat dalam pertimbangan dan argument Berdasarkan tata bahasa dan
sintaksis referensi diri yang diberikan oleh norma Perdagangan.

Kontribusi terbesar dari yurisprudensi WTO adalah mempromosikan Kesetiaan pada hukum,
bukan kesetiaan pada kekuasaan, dan dengan Demikian mempersatukan peserta sistem
perdagangan dunia di sekitar cita-cita ini. Dengan tidak adanya kesetiaan pada hukum,
parameter rabun, seperti kontinjensi Politik, akan mengisi kekosongan hukum. Oleh karena itu,
elemen penting Masyarakat hukum adalah kesadaran diri para pesertanya terhadap Konteks
normatif operasi masyarakat tersebut.

Komunikatif yang muncul dengan latar belakang budaya bersama dalam sistem GATT/WTO
cenderung mengubah nada wacana perdagangan. Dari Berorientasi pada kekuasaan menjadi
berorientasi pada aturan, dan dengan Demikian merupakan landasan normatif bagi komunitas
WTO. norma-norma perdagangan tidak harus diberikan secara Eksogen hanya sebagai penemuan
kontrak berdaulat. Sebaliknya, norma Norma perdagangan dapat dihasilkan sendiri, dengan cara
endogen, melalui wacana Budaya di antara peserta komunitas perdagangan dunia

Norma harus diperluas, itu harus menjadi lebih diartikulasikan, terdengar, dan karena itu
Eksoterik ke dunia. Untuk tujuan ini, seseorang dapat merekapitulasi esensi normatif dari Hukum
perdagangan internasional dan merumuskan “Hukum Dasar Perdagangan Internasional”
Sehingga negara maupun aktor swasta dapat lebih mudah mengidentifikasi bahasa WTO dan
dengan demikian menjadi lebih bersedia untuk menggunakannya. Tujuan Hukum Dasar di sini
bukanlah untuk memajukan prinsip hukum perdagangan internasional yang Universal dan
dogmatis sebaliknya, ini bertujuan untuk menawarkan heuristik yang Menonjol pada norma-
norma WTO. Undang-Undang Dasar dapat disuling dari yurisprudensi WTO yang kaya yang
Mewakili tiga cabang perdagangan bebas, integrasi pasar, dan pembangunan.

Hukum Dasar dapat memanifestasikan dirinya dalam dua bentuk berbeda Negatif dan positif.
Seorang anggota WTO tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap Anggota lainnya, namun,
seorang anggota WTO harus mempertimbangkan situasi Anggota lainnya.

Perbandingan dengan Jurnal PENGATURAN WORLD TRADE ORGANIZATION DALAM


HUKUM INTERNASIONAL SERTA KONFLIK KEPENTINGAN ANTARA NEGARA
MAJU DAN NEGARA BERKEMBANG.

Di Dalam jurnal yang telah diberikan yaitu jurnal INTRODUCTION: RECONSTRUCTING


THE WORLD TRADING SYSTEM, hanya menjelaskan bagaimana upaya WTO yang lebih
banyak dibandingkan dengan kerja GATT, karena pada dasarnya pembentukan awal adalah
GATT yang kemudian dilanjutkan oleh WTO.1

Dengan penjelasan jurnal yang lebih banyak terhadap jurnal perbandingan, dapat mengetahui
kelemahan dan adanya penjelasan yang seharusnya dijelaskan di jurnal tersebut, tetapi tidak
dijelaskan secara spesifik. Namun ada persamaan di dalam jurnal tersebut yaitu adanya,
penjelasan mengenai Prinsip Most Favored Nation atau Non Diskriminasi, yaitu Prinsip utama

1
PENGATURAN WORLD TRADE ORGANIZATION DALAM HUKUM INTERNASIONAL SERTA KONFLIK KEPENTINGAN
ANTARA NEGARA MAJU DAN NEGARA BERKEMBANG.
yang menjadi dasar GATT adalah prinsip non-diskriminasi yang dalam GATT dikenal sebagai
prinsip Most-favored-nation atau MFN. Secara ringkas MFN adalah prinsip bahwa perdagangan
internasional antara anggota GATT harus dilakukan secara nondiskriminatif. Dengan demikian
prinsip utama adalah bahwa konsesi yang diberikan kepada suatu negara mitra dagang harus
berlaku pula bagi semua negara lainnya. Satu negara tidak boleh diberi perlakuan lebih baik atau
lebih buruk dari pada negara lain, dengan demikian maka semua negara ditempatkan pada
kedudukan yang sama.

Bagaimana suatu norma –norma dapat menembus ke dalam sistem hukum domestik para
anggotanya, yang diciptakan sebagai internasionalisasi dan bagaimana ia mengonfigurasi dirinya
sendiri dengan perjanjian perdagangan Regional (RTA) yang diciptakan sebagai defragmentasi.

Komunitas WTO ada dan beroperasi karena terus berkomunikasi dengan lingkungannya,
termasuk dalam sistem hukum internasional lainnya yang bertujuan untuk mencapai berbagai
tujuan non- perdagangan dari adanya perdagangan bebas. Interdiscourse ini sangatlah penting
dalam evolusi WTO sebagai institusi karena dapat membentuk kontur identitas WTO itu sendiri.
Interdiscourse hanya sebagai modus operasi konstitusi saja yang bersifat horizontal yakni,
WTO hal ini dikarenakan Konstitusi WTO merupakan alat perpanjangan tangan dari
interdiscourse yakni seperti, ajudikasi, dialog ekstra yudisial, dan konsultasi.

Konsep konstitusi yakni menawarkan perangkat heuristik yang berguna untuk


menyelidiki dan memahami sistem pemerintahan yang halus antara WTO dan anggotanya
maksud dari konstitusi vertikal ini ialah konstitusi yang menyangkut bagaimana norma-norma
dalam WTO dapat meresap ke dalam sistem hukum domestik anggota WTO, sehingga hukum ini
memberikan gambaran Kepatuhan.

Dalam teori HI arus utama mungkin tidak menangkap keseluruhan gambaran tentang
kesesuaian norma negara, khususnya wacana antara norma WTO dan hukum domestik. Mereka
jarang menangani proses yuris generatif di mana wacana WTO mengalir ke dalam sistem hukum
domestik. Teori HI arus utama, yang pada dasarnya tertarik pada kausal hubungan antara
perilaku negara dan faktor eksogen material tertentu. Seperti kekuasaan dan kepentingan. Baik
ekonomi nasional maupun ekonomi global keduanya memiliki prinsip integrasi pasar yang sama
dalam mengejar peningkatan kemakmuran.
Tahap terakhir dalam konfigurasi sistem perdagangan dunia adalah mengevaluasi apakah
kerangka sosial baru yang diusulkan dalam buku ini. Sederhananya, begitu banyak teori dan
narasi berputar di sekitar konsep tersebut. Tidak ada definisi yang tunggal dan terpadu.
Setidaknya, ada tiga versi legitimasi yang berbeda sesuai dengan tiga perspektif yang berbeda
yaitu perspektif moral filosofis legitimasi. Legitimasi WTO sangat erat kaitannya dengan aspek
sosial dari keberadaan dan operasinya, seperti dinamika intra dan ekstra komunitasnya.

Proyek GATT merupakan campuran dari perspektif kontan (komunitas) dan Lockean
(kontrak). Kantian dalam berarti bahwa balkanisasi ekonomi antar perang memicu momen
pencerahan di antara negara – negara perdagangan dan dengan demikian dapat membuat mereka
menyepakati proyek kolektif besar yang disebut sebagai GATT. Namun, pada saat yang sama
GATT ini juga disebut sebagai Lockean (Kontrak) dalam arti bahwa kontrak GATT dibangun di
atas persaingan.

Critical Review :

Di jurnal “PENGATURAN WORLD TRADE ORGANIZATION DALAM HUKUM


INTERNASIONAL SERTA KONFLIK KEPENTINGAN ANTARA NEGARA MAJU DAN
NEGARA BERKEMBANG Mengatakan bahwa hukum internasional khususnya di perdagangan
yang ada di WTO merupakan kumpulan kesepakatan-kesepakatan yang tertuang dalam sebuah
perjanjian Internasional oleh karena itu, kesepakatan-kesepakatan tersebut sangat besar
kemungkinan dapat diubah sepanjang ada kemauan dari Negara-negara yang terikat di dalamnya
untuk merubah tatanan hukum internasional. Walaupun semua aturan yang terdapat dalam
kerangka WTO merupakan sebuah sistem aturan yang berdasarkan pada hukum (rule-based
system) bukan pada sistem kekuatan diplomasi (diplomacy – power system) namun, ketentuan
yang terdapat dalam WTO merupakan cerminan hegemoni Negara industri maju terhadap
Negara berkembang.

Sebagian besar aturan-aturan yang terdapat dalam WTO merupakan pengakomodasian dari
kepentingan Negara maju dan pengebirian kepentingan Negara berkembang. Usaha untuk
merubah tatanan hukum perdagangan internasional dengan aturan hukum yang adil, fair, dan
memperhatikan kepentingan Negara maju merupakan usaha realistis yang dapat dilakukan oleh
masyarakat dunia agar tercapai suatu tatanan hukum perdagangan internasional yang responsif.
Group 2 : Eka Rahma Oktavia (2010851007)

Nita Defrilawati (2010851001)

Tiska Dwi Putri (2010851005

Article Review :Two Frameworks on an International Organization by Cho


Sungjoon

Two Frameworks on an International Organization

Artikel ini membahas mengenai dinamika sosial di antara negara-negara anggota organisasi dan
cara dinamika tersebut membentuk identitas kolektif suatu organisasi internasional. Yang mana
dibahas berdasarkan kerangka kerja yang berbeda seperti rasionalisme dan konstruktivisme.

1. Prologue: how to understand an international organization

Scholar Hubungan Internasional, pada umumnya melihat negara sebagai aktor dalam
memahami politik internasional. Kemudian negara berdaulat untuk mencapai tujuan mereka
melakukan promosi, baik itu menggunakan cara diplomatik atau bahkan melalui referensi
normatif dan budaya menggunakan kekuasaan dan kekayaan yang diperoleh untuk mencapai
kepentingan mereka. Dalam artikel ini menjelaskan aktor-aktor sebagai aktor sosial.

Pasca serangan 9/11 2001, WTO mengumumkan untuk berkumpulnya anggota WTO di
Doha, Qatar. Hal ini digunakan untuk membahas mengenai pengurangan atau perlindungan
pertanian di negara maju dalam arti kata adanya persetujuan antar anggota untuk menempatkan
interest mereka. Dalam deklarasi menteri Doha 2001, anggota WTO menyoroti bahwa mayoritas
anggota WTO merupakan negara berkembang dan setuju untuk menempatkan interest mereka
pada program kerja. Kemudian krisis Doha menjadikan krisis terkelam sepanjang berdirinya
WTO, hal ini dianggap karena kurangnya konvergensi dalam kepentingan anggota negosiasi
utama, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Cina, dan India. Yang tidak sesuai dengan premis
utama WTO yaitu sebagai alat fungsional mengkoordinasi dan menyalurkan posisi kebijakan
anggotanya. Hal ini berarti kepentingan nasional anggota WTO menentukan arah yang akan
dilakukan oleh WTO. Kemudian perspektif ini mencerminkan individualisme materialisme, yang
mengandalkan negara sebagai aktor dan memaksimalkan keuntungan mereka, sehingga negara
dapat berperilaku dalam pola dan situasi tertentu. Aneh apabila dikatakan bahwa negara tidak
mengejar kepentingan ekonomi mereka, dan pada krisis Doha terjadi karena para anggota tidak
menetapkan landasan normatif dalam pembangunan Doha.

2. The rationalist framework: an international organization as an instrument

A. Neorealism

Setelah berakhirnya perang dunia 2, banyak organisasi yang muncul. Salah satu
organisasi yang masih eksis hingga sekarang yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
bertujuan untuk menjaga perdamaian dunia, setelah terjadi kegagalan organisasi sebelumnya
LBB. Kemudian organisasi dalam perekonomian yang bertujuan menstabilkan perekonomian,
keuangan, dan perdagangan internasional pasca perang yaitu dari sistem perekonomian Bretton
Woods, IMF, IBRD (yang sekarang menjadi World Bank), dan GATT. Organisasi tersebut
dibentuk berdasarkan perjanjian, dimana negara-negara berdaulat yang membentuk rezim
tersebut menetapkan hak dan kewajibannya untuk mencapai tujuan regulasi dengan penetapan
berbagai syarat dan ketentuan dalam bernegosiasi. Menurut neorealis, pada dasarnya organisasi
internasional merupakan instrumen yang melayani fungsional negara berdaulat. Dalam
konsepnya, neorealism bersifat rasional yang mengandaikan perilaku negara yang optimal secara
objektif. Sehingga menurut logika neorealism, organisasi internasional adalah kontrak global
yang didirikan untuk memfasilitasi tujuan tertentu negara anggotanya. Pada dasarnya, OI sebagai
kontrak global akan memaksimalkan kepentingannya terutama dalam perekonomian. Sentralitas
analisis neorealism terletak pada kekuasaan aktor. Kerangka kerja neorealism berasal dari
periode perang dingin ketika masalah keamanan mempengaruhi kebijakan publik dan debat
akademik. Sehingga mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan diambil. Neorealism
menyatakan bahwa mereka memiliki fokus pada negara, sehingga otonomi organisasi cenderung
tidak penting.

B. Regime Theory

Beberapa neorealis menyimpang dari asumsi tradisional mereka. Munculnya hegemoni


AS dan OPEC, membuat para scholar mengarah pada rezim. Ahli teori rezim mendefinisikan
rezim sebagai pengaturan yang dibuat oleh negara untuk mengkoordinasi perilaku internasional
di isu tertentu, dapat membatasi perilaku negara. Dalam hal ini kita dapat mengetahui GATT
sebagai rezim perdagangan dan IMF sebagai rezim perekonomian. Namun kekurangan teori
rezim adalah kegagalan untuk menutupi perbedaan antara epistemologi dan ontologinya. Rezim
berdasarkan sifat epistemologi nya, yang mana terdapat harapan negara partisipannya terhadap
rezim, namun dalam neorealism positivis teori rezim mempengaruhi perilaku negara yang
bersifat objektif sehingga tidak menganggap unsur subjektif dan intersubjektif dan menghasilkan
sifat ontologi tersebut yaitu perilaku dan identitas negara itu sendiri atau bahkan membenarkan
perilaku negara. Oleh karena itu peran norma agak pasif karena dianggap sebagai variabel
eksternal

C. Rational Choice Institutionalism

Teori ini memandang institusi sebagai aturan yang ex tante strategi dari aktor, urutan dari
strategi tersebut , dan konsekuensinya. Pada teori ini menjelaskan bahwa institusi hanyalah
seperangkat aturan yang menentukan dan mengikat perilaku aktor. Teori ini juga menyatakan
bahwa di sebuah institusi selalu disertai transactions cost yang bisa diatasi dengan cara yang
analisis rasional yang mempertimbangkan cost-benefit. Dalam pendekatan hukum ekonomi, IO
didefinisikan sebagai tempat untuk memaksimalkan kepentingan para aktor yang terlibat
sehingga pilihan atau strategi institusi ditentukan oleh kebijakan aktor yang rasional dengan
memaksimalkan kesejahteraan dan meminimalkan biaya transaksi. Contoh IO-nya adalah WTO
yang dianalisis oleh J. Trachtman dan G. Shaffer yang berfokus pada dimensi pilihan
institusional temporal (tahap penyusunan atau ex tante dan tahap interpretasi perjanjian atau ex
post) dan spasial (domestic, regional, internasional, politik, administrative, pasar, dan peradilan).
Di dimensi temporal, mereka berfokus pada efisiensi seperti efisiensi cost. Di dimensi spasial
lebih ditekankan pada keterlibatan anggota juga melibatkan pelimpahan wewenang dari berbagai
mekanisme.

Di sisi lain, menurut Andrew Guzman negara sebagai aktor yang rasional memenuhi
kewajibannya dalam dunia internasional atau dalam institusi internasional dikarenakan tiga hal,
yaitu reputasi, timbal balik, dan pembalasan.

D. Neoliberal Institute

Bagi neoliberalist, pihak private dan kelompoknya merupakan utama aktor internasional.
Nagara hanyalah proxy bagi kepentingan individu dan kelompoknya yang biasanya disalurkan
melalui UU, tindakan politik, peradilan, atau organisasi. Neoliberal menganggap bahwa individu
merupakan aktor yang rasional, sehingga dalam mengejar kepentingannya yang dibatasi oleh
materi dan non materi seperti SDA dan nilai-nilai.

Selanjutnya, menurut Robert Keohane institusi penting dikarenakan institusi


memfasilitasi kerjasama antar negara dengan menyediakan informasi, mengurangi biaya
transaksi, dan memonitor kepatuhan. Neoliberal juga menyatakan adanya faktor lain yang bisa
mempengaruhi seperti power dan kepentingan, serta neoliberal menyatakan bahwa kerjasama
hadir dikarenakan sifat saling ketergantungan di antara negara (interdependency).

3. What Rationalism Leaves Out

A. Descriptive Omission

Pada teori-teori konvensional IRs OI diartikan sebagai instrumen yang diciptakan negara
untuk mencapai tujuan-tujuan negara seperti power, kepentingan, utilitas, dan efisiensi yang
dilabeli oleh Keohane sebagai rasionalisme yang sarat akan bias makroekonomi yang hanya
menganggap bahwa OI hanyalah alat untuk mencapai preferensi dari negara. Teori ini
rentanakan pemodelan dan persamaan matematis sehingga luput dari efektivitas kinerja dari
berbagai OI. Rasionalisme juga gagal dalam memahami bahwa OI selalu berkembang dari waktu
ke waktu dan juga perilaku negara tidak selalu strategis, namun ada kalanya bisa jadi
dipengaruhi secara struktural dan budaya.

B. Normative Dilemma
Kekuasaan menjadi salah satu dilema normatif. Adanya ketimpangan kekuasaan di dunia
internasional yang anarki memungkinkan untuk memberikan hasil yang tidak adil. Contohnya di
WTO, jika ada perselisihan antara negara besar dengan negara kecil, dan negara kecil menang,
maka itu akan menjadi sebuah kesia-siaan dikarenakan jika negara kuat tadi menolak untuk
patuh pada hasil yang dikeluarkan WTO. Contohnya adalah ekonomi negara utara dan selatan
yang sangat timpang yang pada akhirnya sampai pada permasalahan pembangunan. Intinya,
kontraktarian dari kerangka kerja lama rentan terhadap permasalahan normatif terkait disparitas
kekuatan aktor-aktor dalam pengoperasian OI.

4. A new framework: an international organization as a “community”

A. A social framework

A new framework bertujuan mengatasi determinasi rasionalisme yang berlebihan. Sistem


ini didorong oleh struktur lembaga (negara) individual yang ditentukan oleh faktor- faktor
material, seperti kekuasaan, kepentingan, dan utilitas. Secara kritis, A new framework ini tidak
hanya mewakili hubungan antarnegara, secara keseluruhan; sebaliknya, itu menunjukkan
kolektivitas tertentu, yaitu komunitas yang secara endogen membangun negara- negara tersebut.

B. Konstruktivisme

Konstruktivisme muncul pada akhir 1980-an sebagai bentuk perubahan ide, tujuannya
untuk melawan teori materialistis yang telah ada seperti neorealisme dan neoliberalisme. Banyak
ilmuwan mengamati bahwa kegagalan kaum rasionalis untuk memprediksi akhir Perang Dingin
sehingga memicu kebangkitan reflektif konstruktivisme. Faktor endogen, seperti ide, nilai, dan
norma, merupakan parameter sentral untuk konstruktivisme, adapun faktor eksogen seperti
kekuasaan, kepentingan, atau politik domestik.

C. A community’s legal personality

Pemahaman modern tentang hukum internasional publik cenderung mendukung kerangka


sosial IO melalui 10 kepribadian hukum. Personalitas hukum OI dapat dilihat sebagai
konseptualisasi hukum dari struktur sosial yang tertanam dalam IO. Karena struktur sosial
membentuk tindakan agensi, 10, sebagai badan hukum, mempengaruhi perilaku negara. Tradisi
hukum internasional publik Westphalian, yang dibangun di atas gagasan kedaulatan negara, tidak
dapat sepenuhnya merangkul logika konstruktivis dari independensi ontologis IO karena logika
semacam itu akan menggerogoti monopoli kekuasaan negara. Dari sudut pandang tradisional,
satu- satunya pembatasan terhadap kedaulatan adalah pembatasan diri. Perjanjian berdasarkan
persetujuan negara berdaulat mungkin tidak mengatur perilaku negara.

D. A paradigm shift?

Buku ini tidak berargumen bahwa kerangka kerja rasionalis seperti neo-realisme atau
teori pilihan rasional salah dalam dirinya sendiri. Tujuan dasarnya bukanlah soal benar atau salah
namun sebaliknya, setiap kerangka itu berbeda. Setiap kerangka didasarkan pada asumsi unik
yang bertanggung jawab atas jenis realitas yang dibangunnya. Realitas kerangka spesifik ini,
yaitu ontologi, terhubung erat dengan cara yang sesuai untuk mengetahui hal-hal ini, yaitu
epistemologi atau teori. Metodologi yang berbeda cenderung mengarah pada kerangka kerja
yang berbeda. Oleh karena itu, setiap kerangka ditakdirkan untuk meninggalkan titik buta
tertentu. Tidak ada kerangka kerja yang dapat menangkap atau menjelaskan semuanya. Intinya
terlihat jelas bahwa semua nya ialah sama. Kaum rasionalis menempatkan realitas mereka dalam
keadaan individu dan interaksi spontan mereka. Di bawah rasionalisme, negara adalah agen
rasional yang tunduk pada arti kausal, elemen material, seperti kekuasaan, utilitas, dan
kepentingan. Mereka mengetahui, dan membuktikan, realitas ini melalui metodologi investigasi
empiris tertentu, seperti yang diadopsi oleh para ekonom dan ilmuwan politik.

KRITIK DAN OPINI

Dalam artikel "Two Frameworks on an International Organization", dijelaskan mengenai


berbagai perspektif terhadap organisasi internasional. Dari berbagai perspektif tersebut, masing-
masing scholar bebas untuk menggunakannya tergantung isu apa yang akan diteliti. Namun,
untuk organisasi internasional, yang mana sebenarnya eksistensi organisasi internasional itu
sendiri adalah dengan bekerja sama termasuk pada organisasi perdagangan. Sehingga menurut
penulis pandangan yang tepat untuk memandang hal tersebut adalah dengan perspektif
neoliberalis, yang mana kerja sama tersebut hadir karena adanya saling ketergantungan
(interdependensi) antar aktor (negara).
Selanjutnya juga dijelaskan bahwa pandangan lainnya adalah konstruktivisme yang
menekankan bahwa negara bukan hanya satu-satunya aktor yang menentukan nasib sebuah OI,
lebih dari pada itu ada society yang membangun negara tersebut termasuk tindakan yang diambil
oleh negara yang menurut kaum konstruktivis berdasarkan identitas dan nilai yang dianut oleh
negara tersebut. OI dalam pandangan konstruktivis merupakan pengkonstruksi nilai dan norma,
sehingga OI tidak secara mutlak dipengaruhi oleh negara dengan naturenya yang rasional.
Konstruktivisme juga memandang bahwa OI relative penting, sehingga membantah pandangan
rasionalis terhadap dunia internasional yang anarki.

Kesimpulannya, perspektif yang digunakan dalam memandang OI sesuai dengan


fenomena OI yang terjadi. Tidak ada suatu perspektif yang bisa menjelaskan segala fenomena,
namun fenomena yang ada harus dibedah dengan perspektif yang sesuai, baik rasionalisme
ataupun konstruktivisme.
Group 3 : Febi Eka Putri (2010851002)

Dwi Bagaskara (2010851009)

Yeliva Dinanti (2010851003)

Article :The institutional evolution Of international trade Regulation

Pendirian WTO pada 1 Januari 1995 , dalam banyak hal menandai era baru dalam
regulasi perdagangan internasional. Ini melambangkan keberhasilan Putaran Negosiasi
Perdagangan Multilateral (MT) Uruguay. Hal ini merupakan Langkah signifikan menuju
penciptaan sistem tata Kelola ekonomi global yang koheren.

WTO adalah penerus GATT dimana GATT memberikan kerangka hukum yang mengatur
perdagangan internasional selama 47 tahun dimana GATT mengembangkan kue organisasional
struktur manajerial dan administratif yang sesuai. GATT diarahkan untuk mendorong agenda
liberalisasi perdagangan daripada menangani Perjanjian Umum kekurangannya.

GATT sendiri adalah dermawan upaya pasca-perang untuk menciptakan organisasi


perdagangan internasional (ITO). Melihat putaran Uruguay yang tidak pernah berakhir,
muncullah gagasan pembuatan WTO untuk memajukan dan memperkuat kerangka peraturan
perdagangan internasional yang ada.

PENYELESAIAN PASCAPERANG DAN ITO

Ito sebagai salah satu bagian dari rencana yang lebih luas untuk menciptakan serangkaian
Lembaga ekonomi global yang dirancang untuk mengelola ekonomi global. Lembaga-lembaga
ini dirancang untuk mengatur Sebagian besar bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik dan
budaya global di bawah naungan PBB

Sejak tahun 1920, John Maynard -Keynes sebagai bagian dari kritiknya terhadap
kesepakatan perdamaian paris pasca perang dunia pertama, mengajukan saran terhadap
kesepakatan perdamaian paris pasca perang dunia pertama yaitu pembentukan serikat
perdagangan bebas.Serikat perdagangan bebas ini akan berada dibawah naungan LBB dengan
pinjaman yang lebih besar untuk membangun eropa dan dana jaminan yang digunakan untuk
pemulihan stabilitas mata uang.

Tujuan utama serikat perdagangan bebas adalah untuk memitigasi pengenaan tarif
sebagai strategi rekonstruksi yang lebih luas dan juga untuk mendapatkan kembali beberapa
bagian dari hilangnya organisasi dan efisiensi ekonomi yang dihasilkan dari politik baru negara
nasionalis. Ini adalah salah satu saran agar LBB memperluas yurisdiksinya kedalam bidang
perdagangan.

Pentingnya gagasan Keynes terletak pada sistem tata Kelola ekonomi yang
dibayangkannya. Pendirian serikat buruh bebas dapat diwujudkan dengan fasilitas pinjaman
untuk memperbaiki ekonomi negara-negara yang kalah dalam perang serta untuk
mempromosikan stabilitas mata uang.

Ide Keynes pada awalnya tidak membuahkan hasil, mereka menetapkan konsep ‘trinitas’
Lembaga yang dirancang untuk mempromosikan kesejahteraan domestic melalui sarana
internasional. Gagasan tentang trinitas institusi yang sangat saling terkait dibeli oleh pengalaman
periode antar perang dimana terjadi kelesuan ekonomi atau disebut dengan great depression.
Ketika depresi menyebar ke seluruh ekonomi dunia yang sangat saling bergantung dan tanpa
hambatan, pemerintah mulai beralih dari kebijakan mereka yang sebelumnya liberal menjadi
kebijakan ekonomi nasionalis. Nasionalisme ekonomi dicirikan dengan pengenaan hambatan
tarif dan control modal karena negara berusaha melindungi diri dari efek menular partisipasi
dalam ekonomi global.

Kesulitan ekonomi pada periode antar [erang memperkuat persepsi bahwa tatanan
internasional baru harus diwujudkan untuk meredam pecahnya perang umum dengan membentuk
ekonomi global yang koheren. Latar belakang inilah yang membuat para perencana sekutu
berpikir untuk membuat tatanan dunia pasca perang.

Dalam upaya pertama, AS dan Inggris mengadakan Konferensi Atlantik pada Agustus
1941 dimana Churchill dan Roosevelt meletakkan dasar bagi tatanan ekonomi pasca perang.
Piagam Atlantik yang merupakan hasil dari konferensi tersebut membangkitkan kembali gagasan
tentang seperangkat Lembaga ekonomi yang terintegrasi yaitu badan perdagangan global.

Komitmen yang dicantumkan dalam piagam atlantik dilanjutkan dengan perjanjian


Pinjam Sewa pada Februari 1942 antara Inggris dan AS dimana berisi memulai perdagangan
bebas, namun melihat praktek sebelumnya yang tidak berhasil diperlukan peran negara dalam
melakukan intervensi perdagangan dan pembentukan Lembaga yang mengelolanya. Hal ini
sejalan dengan Piagam Havana untuk ITO. Namun terdapat perbedaan antara internasionalisme
komersial dan intervensionisme nasional dan lahirnya proyek ITO.

Setelah kesepakatan agenda pasca perang yang luas tercapai, diskusi dan negosiasi
internal antara pejabat AS dan Inggris secara efektif dipisahkan menjadi 2 aliran. Pertama yaitu
masalah keuangan pasca perang dengan membentuk Konferensi Bretton Woods pada Juli 1944
serta pendirian IMF dan World Bank. Kedua, pembuatan ketentuan pembentukan tatanan
perdagangan internasional quasi-liberal yaitu Piagam Havana untuk ITO.

PIAGAM HAVANA DAN ITO

ITO muncul dari rencana serikat komersial yang dirancang oleh bagian ekonomi cabinet
perang inggris dan anggota dewan perdagangan untuk konvensi multilateral tentang kebijakan
komersial yang berputar di lingkaran AS yang setara. Serikat komersial dan konvensi
multilateral membayangkan pembentukan badan yang permanen yang akan mengelola aturan
non diskriminasi dalam perdagangan internasional, memiliki kewenangan hukum untuk
menafsirkan peraturan tersebut, menyediakan mekanisme penyelesaian setiap perselisihan yang
timbul diantara negara anggota. Terdapat juga perlindungan yang memungkinkan pemberlakuan
praktik perdagangan diskriminatif pada saat Krisis neraca pembayaran.

Pembicaraan antara AS dan Inggris dimulai kembali pada tahun 1945 dimana hanya
berfokus kepada susunan tatanan tatanan perdagangan pasca perang dibahas secara independen
maupun selama pembicaraan terkait AS.

Keberhasilan Konferensi Bretton Woods dalam mendirikan IMF dan World Bank
menambah tekanan penyelesaian proyek ITO. Pada bulan Desember 1945, AS mengirimkan
draft piagam ITO untuk dibahas. Pada bulan Februari 1946 disahkannya sebuah resolusi oleh
Dewan Ekonomi dan Sosial dari PBB untuk membuat konferensi internasional tentang
perdagangan dan pekerjaan. Resolusi tersebut membentuk panitia persiapan untuk membahas
pembentukan ITO di London pada tahun 1946.

Dua ketentuan muncul dari hasil diskusi London dimana Inggris mendukung soal
ketenagakerjaan yang didukung penuh oleh inggris untuk membantu penyebaran tekanan sosial
akibat demobilisasi massal. Sedangkan AS, mengejar isu kuantitatif. Piagam ITO dikembangkan
pertama kali melalui komite persiapan di Jenewa pada April 1947, kedua Konferensi Havana
1948 tentang perdagangan dan Ketenagakerjaan itu sendiri. Ito juga membentuk GATT yang
pertama bertujuan untuk memberikan kekuatan kontraktual pada konsesi tarif yang
dinegosiasikan pada pertemuan jenewa antara 23 pemerintah, liberalisasi tarif berjalan. Kedua,
sebagai perjanjian penghubung antara tatanan ekonomi internasional sebelumnya dikemas dalam
kerangka hukum ITO.

ITO terhambat dalam pelaksanaannya dikarenakan dua kekuatan besar tengan mengalami
permasalahan serius. Inggris tengah mengalami ekonomi yang sulit, AS tengah menghadapi
Perang Dingin dengan Uni Soviet. Diskusi Havana sendiri menyaksikan banyak ketidak
sepakatan . ini paling menonjol pada isu pembangunan ekonomi, khususnya negosiasi
pengurangan tarif, pembentukan sistem preferensial baru, kemampuan untuk mengenakan kuota
impor, dan penerapan pembatasan perdagangan lainnya.

Namun pada awal kemunculan GATT, secara umum penurunan tarif menunjukkan tren
yang negatif, baru pada saat putaran Jenewa 1956 kemajuan menurunkan tarif secara umum
mulai menunjukkan kemajuan. Pada pertengahan 1970 an pemotongan tarif secara umum
mengalami stagnasi, stagnasi ini dipengaruhi oleh non-tariff barriers.

Development, the GATT and the threat of alternative trade structures


Hal yang mengancam pondasi GATT salah satu diantaranya adalah: Pembangunan,
pembangunan maksudnya adalah pada tahun 1954 terlihat jelas peningkatan kesenjangan
kesejahteraan antara negara industri dan negara-negara yang sedang berkembang. Negara-
negara berkembang seringkali memiliki industri yang tidak dapat bersaing dengan industri dari
negara-negara maju dalam pasar global yang bebas, sehingga mereka lebih memilih untuk
mempertahankan perlindungan industri mereka. Negara-negara berkembang melihat GATT
sebagai institusi yang kuno atau ketinggalan zaman dan paling buruk sebagai kelanjutan dari
eksploitasi kolonial melalui cara yang berbeda.

Terdapat tiga kritik politik utama yang ditujukan pada General Agreement yaitu:

GATT dan ITO tidak dibentuk oleh negara anggotanya yang memiliki kekuatan yang
seimbang.

Maksudnya terdapat negara-negara berkembang yang merasakan bahwa kepentingan


negara mereka tidak dapat diwujudkan melalui GATT dan ITO, sedangkan umumnya oleh
negara-negara maju Amerika Serikat contohnya merasa bahwa kepentingan mereka sangat bisa
diwujudkan atau diwakili melalui pembentukan GATT dan ITO ini.

Adanya representasi yang kuat oleh Inggris dan negara kolonial lainnya yang memastikan
bahwa aturan yang dibuat dalam GATT ditetapkan tidak berdasarkan konsultasi sama sekali, hal
ini juga dapat dilihat sebagai bentuk penindasan terhadap kedaulatan negara-negara yang baru
merdeka.

Sampai diadopsinya Bagian IV, satu satunya ketentuan GATT yang membahas tentang
development adalah Artikel XVIII, yang memberdayakan Contracting parties untuk
menangguhkan sebagian atau seluruhnya, pengadaan MFN mereka dengan memberlakukan
pembatasan kuantitatif untuk memperbaiki situasi neraca pembayaran yang merugikan.

BAB 2 Multilateralisme

Multikulturalisme dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh tiga atau lebih
aktor internasional baik itu kelompok atau organisasi internasional dan negara melakukan
tindakan bersama atau menyepakati untuk melakukan kerja sama bersama. John Jackson melihat
multilarisme sebagai sebuah pendekatan yang mengakui dan menghargai interaksi dari beberapa
atau banyak negara, Jackson juga menjelaskan bahwa multilateralisme merupakan sebuah
pendekatan yang menyadari bahayanya mengatur hubungan dengan negara asing atas dasar
bilateral, berurusan dengan mereka satu per satu

Pada masa-masa awal adanya international aid atau bantuan internasional,


multilateralisme umumnya dilihat sebagai ‘kebijakan, program, dan proyek yang
diharmonisasikan atau dikoordinasikan’ yang dilakukan oleh badan-badan internasional yang
bersifat antar pemerintah.

Terdapat empat hal yang dihasilkan dalam “perdebatan aid” tersebut yang menjelaskan
tentang perbedaan multilateralisme dan bilateralisme yaitu: pertama, manfaat relatif yang
diberikan kepada penerima juga jauh lebih besar jika semakin banyak banyak negara yang
terlibat dalam pengadaan dana; kedua, pengadaan bantuan multilateral dianggap mengurangi
peluang duplikasi upaya, dan pengabaian sektor tertentu yang sering dikaitkan dengan
serangkaian proyek yang diatur secara independen (bilateral); ketiga pengadaan bantuan
multilateral dianggap secara politis lebih dapat diterima oleh para penerima karena tingkat
persyaratan cenderung kurang membatasi dan secara terang-terangan mementingkan diri sendiri
daripada bantuan yang diperoleh secara bilateral; dan yang keempat, pengadaan multilateral
dianggap lebih inklusif karena lebih sedikit peluang untuk diskriminasi terbuka terhadap
penerima tertentu.

Walaupun dalam BAB ini dijelaskan setidaknya terdapat empat kelebihan dari kerjasama
multilateral, namun menurut saya kerja sama multilateral juga memiliki beberapa kekurangan,
contohnya adalah banyak negara yang terlibat menyebabkan proses pengambilan keputusan
menjadi lama, karena adanya kepentingan yang berbeda-beda dari setiap negara, dalam proses
pengambilan keputusan ini, negara secara alaminya pasti akan memilih untuk mementingkan
kepentingan nasionalnya masing-masing tanpa mempedulikan kepentingan nasional negara lain.
Selanjutnya juga dibutuhkan dana yang lebih besar untuk mencapai sebuah kesepakatan, karena
semakin banyak negara maka semakin banyak tahap negosiasi yang dibutuhkan. Dan yang paling
ironisnya adalah tidak semua masalah global dapat diselesaikan olah kerjasama multilateral ini,
karna adanya ketidak seimbangan kekuatan (power) maka masalah yang diselesaikan hanya akan
berfokus pada masalah negara besar saja, sama halnya yang terjadi pada organisasi internasional
dan perekonomian atau perdagangan seperti GATT ataupun WTO.
Multilateralisme : Menuju kerangka konseptual

Baik Keohane maupun Ruggie telah berupaya mengembangkan pemahaman yang


lebih tepat tentang dinamika arsitektur multilateralisme. Keohane telah melakukannya dalam
batas-batas program penelitian yang sudah ada ke lembaga internasional, sedangkan Ruggie
meskipun pada akhirnya mengandalkan Karya Keohane, berusaha mengembangkan pemahaman
multilateralisme yang berbeda. Keduanya berterus terang tentang apa yang mereka anggap
sebagai keterbatasan penawaran mereka. Tujuan mereka tidak begitu banyak untuk
mengembangkan interpretasi definitif multilateralisme, melainkan untuk menawarkan
serangkaian wawasan konseptual yang mengarah ke penentuan tipe ideal multilateralisme, yang
mereka anggap cukup menarik untuk menjadi dasar penelitian lebih lanjut. Dalam kedua kasus
mereka mempersoalkan definisi multilateralisme hanya numerik yang terbatas dan berusaha
untuk menentukan sesuatu dari dimensi kualitatifnya, meskipun mereka juga terus memancarkan
preferensi untuk organisasi internasional semacam ini yang terlihat dalam karya-karya lain.
Ruggie paling tepat menyatakan hal ini dalam pernyataannya bahwa multilateralisme adalah
doktrin, praktik, atau prinsip yang mensyaratkan bahwa aktivitas harus, atau paling baik,
diorganisasikan pada banyak sisi untuk kelompok yang relevan. Baginya, multilateralisme adalah
kepercayaan pada suatu bentuk arsitektural, prinsip pengorganisasian mendalam yang
mengkoordinasikan hubungan antara tiga atau lebih negara sesuai dengan prinsip-prinsip
tertentu.

Kontribusi Keohane membangun kerangka kerja untuk mulai berpikir tentang


multilateralisme. Dia menyatakan bahwa multilateralisme dapat didefinisikan sebagai praktik
mengkoordinasikan kebijakan nasional dalam kelompok yang terdiri dari tiga negara atau lebih,
melalui pengaturan ad hoc atau melalui institusi. Namun dia sengaja membatasi definisinya
tentang multilateralisme. Pertama, Keohane mengakui bahwa aktor transnasional penting dalam
politik dunia, dia berpendapat bahwa kisaran contoh kontemporer dan historis di mana tiga atau
lebih aktor telah bertemu begitu luas sehingga memperluas definisi di luar yang melibatkan
negara akan terbukti kontraproduktif dalam pencarian titik awal yang tepat untuk mulai berpikir
tentang multilateralisme. Kedua, dia membedakan lembaga multilateral, yang didefinisikan
sebagai serangkaian aturan yang gigih dan terhubung, formal dan informal, yang menentukan
peran perilaku, membatasi aktivitas, dan membentuk harapan dari bentuk lain multilateralisme.
Ketiga, Keohane menunjukkan bahwa lembaga multilateral, sumber utama dari
kepentingannya, dapat mengambil bentuk rezim atau organisasi birokrasi, meskipun ia mencatat
hubungan simbiosis yang sering menyaksikan organisasi menyertai rezim. Dan terakhir, dia
membedakan antara tiga bentuk spesifik multilateralisme menurut ukuran keanggotaannya:
Membatasi lembaga-lembaga yang tujuannya melarang keanggotaan universal, seperti NATO
atau Uni Eropa Institusi terbuka bersyarat organisasi-organisasi yang memiliki potensi terbuka
untuk keanggotaan universal, tetapi jumlahnya saat ini berada di bawah level tersebut seperti
GATT. Lembaga terbuka badan-badan yang memiliki keanggotaan terbuka untuk semua negara
berdaulat seperti PBB

Ruggie mengatakan “apa yang khas tentang multilateralisme bukan hanya bahwa ia
mengkoordinasikan kebijakan nasional dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari tiga negara
atau lebih, yang juga dilakukan oleh bentuk-bentuk organisasi lain, tetapi ia melakukannya
berdasarkan prinsip-prinsip tertentu untuk mengatur hubungan di antara negara-negara tersebut.”
Ruggie berpendapat lebih lanjut bahwa ekspresi multilateralisme muncul untuk menghasilkan
harapan timbal balik menyebar dengan harapan bahwa peserta dalam pengaturan tersebut akan
menghasilkan kesetaraan manfaat dalam agregat dan dari waktu ke waktu liberalisme.
Sebaliknya, didasarkan pada timbal balik tertentu, keseimbangan simultan dari quid pro quos
tertentu oleh masing-masing pihak satu sama lain setiap saat. Seperti interpretasinya tentang
ketidakterpisahan, kita dapat menganggap bahwa Ruggie juga menganggap timbal balik yang
tersebar sebagai konstruksi sosial yang dibangun dalam arti bahwa para peserta merasakan dan
mengharapkan keseimbangan timbal balik terjadi secara agregat dan dari waktu ke waktu.
Namun demikian, kita dapat mengekstraksi sesuatu dari substansi kesimpulannya dengan
menjelajahi karya Keohane dan orang lain yang dia gambar.

Timbal balik itu sendiri merupakan istilah ambigu yang menemukan ekspresi di berbagai
disiplin ilmu. Memang seperti multilateralisme, kekhususannya sering dianggap biasa. Terlepas
dari ambiguitasnya, timbal balik pada akarnya adalah prinsip pertukaran. Hal ini mensyaratkan
bahwa yang serupa ditukar dengan yang serupa, di mana nilai dari apa yang dipertukarkan
dirasakan oleh para partisipan sebagai nilai yang kira-kira setara. Ada dua dimensi untuk bentuk
pertukaran ini yaitu kontingensi dan kesetaraan. Kontingensi mengacu pada harapan bahwa
penawaran awal bergantung pada reaksi yang menguntungkan, adapun kesetaraan mengacu pada
harapan bahwa tindakan yang bermanfaat akan kira-kira setara, meskipun tidak persis sama, nilai
harapan yang terkenal tidak tepat. Keohane membedakan antara dua jenis timbal balik yang
digunakan Ruggie. Setiap jenis timbal balik berhubungan dengan cara tertentu di mana tindakan
pertukaran diatur. Dalam contoh timbal balik tertentu, tindakan pertukaran terjadi antara aktor
dalam urutan terbatas. Di sini, masing-masing pasangan diketahui satu sama lain atau lainnya,
bagian awal dari transaksi diketahui semua orang dan nilai yang dikembalikan diukur sesuai
Sebaliknya, timbal balik yang menyebar kurang tepat. Seperti yang Keohane jelaskan “mitra
seseorang dapat dilihat sebagai kelompok daripada sebagai aktor tertentu, dan rangkaian
peristiwa tidak dibatasi secara sempit, selalu memandang timbal balik yang menyebar sebagai
serangkaian tindakan berurutan yang berkelanjutan yang dapat berlanjut tanpa batas waktu, tidak
pernah seimbang tetapi terus memerlukan konsesi bersama dalam konteks komitmen dan nilai
bersama.”

Photo Group Discussion

Anda mungkin juga menyukai