203403197
1. Sejarah WTO
World Trade Organization (WTO) terbentuk pada tahun 1995. WTO adalah organisasi
antar pemerintah dengan tujuan untuk membuat perdagangan antar negara semakin
terbuka dengan penurunan bahkan peniadaan hambatan tarif maupun non tarif.
Secara umum, fungsi WTO secara umum seperti yang dijabarkan dalam Pasal II:1
Perjanjian WTO adalah untuk menyediakan "kerangka kelembagaan bersama" yang
mewadahi hubungan dagang antaranggota WTO. Pasal III Perjanjian WTO kemudian
memperincikan fungsi-fungsi khusus, yaitu untuk memfasilitasi pemberlakuan
perjanjian-perjanjian yang terlampir dalam Perjanjian WTO, untuk menyediakan wadah
perundingan perjanjian dagang yang baru, untuk melaksanakan Kesepahaman
Penyelesaian Sengketa yang berisi tentang prosedur penyelesaian sengketa, untuk
melaksanakan Mekanisme Peninjauan Kebijakan Perdagangan, serta untuk bekerja sama
dengan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia agar kebijakan ekonomi global
dapat menjadi lebih koheren.
Lima puluh tahun terakhir menampakkan suatu perkembangan yang luar biasa di bidang
perdagangan di dunia. Transaksi perdagangan merchandise bertumbuh pada kisaran 6%
per tahun. Total perdagangan pada tahun 2000 telah lebih maju 22 kali dari perdagangan
yang dilakukan pada tahun 1950. Tak dapat disangkal bahwa WTO telah memberikan
kontribusi yang sangat besar bagi kemajuan ini.
WTO mengambil alih peranan GATT yang bertujuan untuk memelihara sistem
perdagangan internasional yang terbuka dan bebas. WTO bertanggung jawab atas
implementasi ketentuan multilateral tentang perdagangan internasional yang terdiri atas
tiga perangkat hukum yang utama dan mekanisme penyelesaian sengketa. Berikut ini
adalah pemaparan lebih lanjut dari keempat hal dimaksud.
World Trade Organisation (WTO) merupakan salah satu organisasi internasional yang
berperan untuk mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negara-negara
anggotanya. Sekalipun belum lama terbentuk (1995), WTO sebenarnya sudah memiliki
dasarnya pada General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947. WTO
mengatur beberapa hal mengenai perdagangan barang (goods), jasa (service) dan
kekayaan intelektual (property rights). Untuk mengatur lancarnya perdagangan WTO
menganut sejumlah prinsip umum sebagai pegangan, yaitu non-diskriminatif,
mengurangi trade barriers, persaingan yang sehat, berorientasi pada kemajuan, dan
mendorong pembangunan dan pembaharuan ekonomi. Untuk menyelesaikan sengketa
perdagangan di antara negara-negara anggota WTO, WTO sendirin menyiapkan
mekanisme penyelesaian sengketa yang ditangani oleh Dispute Settlement Body (DSB).
Tujuan WTO untuk memajukan anggotanya tidak selalu mudah untuk dipenuh,
khususnya oleh negara-negara yang sedang berkembang. Keterbatasan sumber daya
alam, sumber daya manusia, dan infrastruktur yang mendukung pembangunan selalu
menjadi penghambat bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk bersaing
dengan negara maju.
Non-diskriminasi
Dalam hukum WTO, terdapat dua aturan utama yang melarang diskriminasi, yaitu
"perlakuan yang sama untuk semua anggota" (MFN) dan "perlakuan nasional".
Berdasarkan aturan MFN, apabila suatu anggota WTO memutuskan untuk memberikan
suatu perlakuan yang menguntungkan atau mengistimewakan salah satu anggota,
keuntungan atau keistimewaan tersebut juga harus diberikan kepada semua anggota
WTO tanpa terkecuali. Maka dari itu, anggota WTO tidak boleh memilih-milih dalam
memberikan konsesi dagang kepada salah satu anggota lainnya. Sebagai contoh, apabila
salah satu anggota WTO memutuskan untuk memangkas tarif impor beras dari salah satu
anggota, pemangkasan tarif beras tersebut juga harus diberlakukan kepada semua
anggota WTO. Sementara itu, aturan "perlakuan nasional" menitahkan bahwa anggota
WTO harus memperlakukan produk impor sebagaimana anggota tersebut
memperlakukan produk sejenis di negaranya. Dalam kata lain, anggota WTO tidak boleh
mendiskriminasi produk asing setelah produk tersebut masuk ke dalam pasar domestik.
Sebagai contoh, apabila suatu anggota WTO memutuskan untuk menghapuskan pajak
rokok buatan dalam negeri, penghapusan pajak tersebut juga harus diberlakukan untuk
rokok-rokok impor yang sudah memasuki pasar dalam negeri. Jika mereka hanya
memungut pajak tersebut untuk rokok impor, mereka telah melanggar aturan perlakuan
nasional.
Kedua aturan ini terkandung dalam GATT yang menyangkut barang dan GATS yang
menyangkut jasa. Namun, kedua perjanjian ini memiliki perbedaan besar dalam hal
cakupan penerapan. Aturan MFN dalam GATS berlaku untuk semua jasa secara umum,
walaupun anggota-anggota dapat membuat beberapa pengecualian yang terbatas
cakupannya. Namun, aturan mengenai perlakuan nasional hanya berlaku untuk anggota
yang telah membuat komitmen khusus terhadap sektor-sektor jasa tertentu atau terhadap
salah satu dari empat cara untuk memasok jasa (pasokan lintas batas, konsumsi luar
negeri, kehadiran komersial, dan kehadiran manusia alamiah atau natural person).
Komitmen-komitmen ini dicantumkan dalam daftar komitmen jasa setiap anggota. Oleh
sebab itu, dalam membaca peraturan dalam GATS, daftar komitmen jasa dari salah satu
anggota yang sedang dikaji juga harus dipertimbangkan, dan mereka tidak harus
menerapkan aturan perlakuan nasional untuk sektor jasa atau cara memasok yang belum
diliberalisasi. Sementara itu, aturan perlakuan nasional dalam GATT berlaku secara
umum.
Pada dasarnya, pemungutan bea masuk itu tidak dilarang, tetapi tarif yang dipungut oleh
suatu negara tidak boleh melebihi batas maksimal yang ditetapkan dalam daftar konsesi
masing-masing. Setiap anggota WTO memiliki daftar konsesinya sendiri kecuali untuk
anggota yang menjadi bagian dari suatu serikat pabean (contohnya adalah negara-negara
anggota Uni Eropa yang tidak memiliki daftar konsesi mereka sendiri, tetapi mereka
mengikuti daftar konsesi yang disusun oleh Uni Eropa). Daftar ini memuat "konsesi
dagang", yaitu komitmen yang telah diambil oleh suatu anggota untuk tidak mengangkat
tarif mereka di atas angka yang telah disepakati, atau dalam kata lain, mereka telah
"mengikat" tarif mereka pada angka tersebut. Hukum WTO sendiri mengajak
anggotanya untuk terus melakukan perundingan demi pengurangan tarif yang
menguntungkan semua pihak, dan hasil dari perundingan ini juga akan dimasukkan ke
dalam daftar konsesi anggota terkait. Walaupun daftar konsesi menetapkan tarif
maksimal, batas tarif untuk berbagai produk sering kali lebih tinggi daripada bea masuk
yang sesungguhnya ditetapkan; dalam hal ini, Badan Banding dalam perkara Argentina–
Textiles and Apparel (1998) menyatakan bahwa anggota diperbolehkan mengenakan bea
yang lebih rendah daripada tarif maksimalnya.
Aturan mengenai praktik perdagangan yang tidak adil
Mengacu pada alinea 13 dari Deklarasi KTM Doha mengenai sektor pertanian bahwa
ada pengurangan subsidi guna untuk membangun sistem perdagangan yang adil dan
berorientasi pasar melalui program reformasi mendasar meliputi aturan diperkuat dan
komitmen khusus pada dukungan dan perlindungan dalam rangka untuk memperbaiki
dan mencegah pembatasan dan distorsi dalam pasar pertanian dunia.
Perluasan pasar melalui perdagangan bebas ini semakin membuat para petani harus
bersaing dengan barang impor-impor yang harganya lebih murah sedangkan subsidi
yang semakin dikurangi oleh negara makin memperburuk keadaan petani dalam
mengakses dan melakukan produksi. Kebijakan negara melalui bisa UU, KEPRES,
PERMEN yang mengacu pada AoA. Seperti kebijakan pengurangan subsidi, perluasan
pasar, pangan, dan haki ini merupakan salah satu dari kebijakan sektor pertanian yang
mengacu pada implementasi AoA di Indonesia.
7. Apa yang menjadi bahasan utama dalam Revised Trade Forecast pada Oktober
2021 yang dilaksanakan WTO