| sunting sumber]
Perjanjian ini merupakan hasil utama dari Perang Takhta Jawa Ketiga pada tahun 1749–
1757. Pakubuwana II, susuhunan Mataram, telah mendukung pemberontakan Tionghoa
melawan Belanda.[4] Pada tahun 1743, sebagai pembayaran untuk pemulihan kekuasaannya,
sunan menyerahkan pantai utara Jawa dan Madura kepada Perusahaan Hindia Timur Belanda.
Pakubuwana III didukung kompeni menggantikan takhta setelah wafatnya Pakubuwana II,
namun ia harus menghadapi saingan ayahnya, Pangeran Sambernyawa, yang pernah
menduduki suatu daerah bernama Sukawati, sekarang Sragen. Pada tahun 1749 Pangeran
Mangkubumi, adik Pakubuwana II, yang tidak puas dengan kedudukannya yang lebih rendah,
bergabung dengan Pangeran Sambernyawa dalam menentang Pakubuwana III. VOC mengirim
pasukan untuk membantu Pakubuwana III, tetapi pemberontakan terus berlanjut. Baru pada
tahun 1755 Pangeran Mangkubumi melepaskan diri dari Pangeran Sambernyawa dan menerima
tawaran perdamaian di Giyanti, yang membagi Mataram menjadi dua bagian.[5] Pangeran
Sambernyawa baru menandatangani perjanjian dengan VOC pada tahun 1757
melalui Perjanjian Salatiga, yang memberinya hak untuk memiliki bagian dari timur Mataram. Ia
kemudian bergelar sebagai Mangkunegara I.
Perundingan[sunting | sunting sumber]