LP - Isolasi Sosial-Rsj
LP - Isolasi Sosial-Rsj
DISUSUN OLEH :
NAMA : Ahmad Rafiq Bastian
NIM : 11409719043
TINGKAT : II (DUA)
SEMESTER : V (LIMA)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini telah menyelesaikan laporan pendahuluan
dengan kasus Isolasi sosial di ruangan Kelas Pria RSJ sambang lihum Banjarmasin
Mengetahui
A. DEVINISI
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2008).
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan
mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara
menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan (Dalami, dkk. 2009).
B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
a. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui
individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak
dapat dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya.
Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi
individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya
stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu/pengasuh
pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan
tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain
maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat sangat
penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa diperlakukan sebagai
objek.
Menurut Purba, dkk. (2008) tahap-tahap perkembangan individu dalam
berhubungan terdiri dari:
1) Masa Bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi
kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan
antara ibu dan anak, akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya
yang mendasar. Hal ini sangat penting karena akan mempengaruhi
hubungannya dengan lingkungan di kemudian hari. Bayi yang
mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa percaya pada
masa ini akan mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang
lain pada masa berikutnya.
2) Masa Kanak-kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri,
mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina
hubungan dengan teman-temannya. Konflik terjadi apabila tingkah
lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol, hal ini dapat membuat anak
frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan yang konsisten dan adanya
komunikasi terbuka dalam keluarga dapat menstimulus anak tumbuh
menjadi individu yang interdependen, Orang tua harus dapat
memberikan pengarahan terhadap tingkah laku yang diadopsi dari
dirinya, maupun sistem nilai yang harus diterapkan pada anak, karena
pada saat ini anak mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara
berhubungan, berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.
3) Masa Praremaja dan Remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim
dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini akan mempengaruhi
individu untuk mengenal dan mempelajari perbedaan nilai-nilai yang
ada di masyarakat. Selanjutnya hubungan intim dengan teman sejenis
akan berkembang menjadi hubungan intim dengan lawan jenis. Pada
masa ini hubungan individu dengan kelompok maupun teman lebih
berarti daripada hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi
apabila remaja tidak dapat mempertahankan keseimbangan
hubungan tersebut, yang seringkali menimbulkan perasaan tertekan
maupun tergantung pada remaja.
4) Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan
hubungan interdependen antara teman sebaya maupun orang tua.
Kematangan ditandai dengan kemampuan mengekspresikan
perasaan pada orang lain dan menerima perasaan orang lain serta
peka terhadap kebutuhan orang lain. Individu siap untuk membentuk
suatu kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai pekerjaan.
Karakteristik hubungan interpersonal pada dewasa muda adalah
saling memberi dan menerima (mutuality).
5) Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anak-
anak terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat digunakan
individu untuk mengembangkan aktivitas baru yang dapat
meningkatkan pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat diperoleh
dengan tetap mempertahankan hubungan yang interdependen antara
orang tua dengan anak.
6) Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan
keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun
pekerjaan atau peran. Dengan adanya kehilangan tersebut
ketergantungan pada orang lain akan meningkat, namun kemandirian
yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan.
b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku
1) Sikap bermusuhan/hostilitas
2) Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
3) Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya.
4) Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga,
kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam
pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan
musyawarah.
5) Ekspresi emosi yang tinggi
6) Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat
bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat)
c. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan
oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu
keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan
sosial.
d. Factor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden
tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga
yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar
monozigot apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%,
sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya 8%. Kelainan pada
struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan
volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan
skizofrenia.
2. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal, meliputi:
a. Stressor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah
dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua,
kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara.
Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
b. Stressor Biokimia
1) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan
mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya
skizofrenia.
2) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO
adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya
MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
3) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada
pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan
karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan
maupun penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan
dengan tingkah laku psikotik.
4) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala
psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-
sel otak.
c. Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi
akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
d. Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang
ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk
mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan
berhubungan pada tipe psikotik.
Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena ego
tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang
berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan
terbatas untuk mengatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya
masalah serius antara hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik
sehingga perkembangan psikologis individu terhambat.
Menurut Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien sebagai
usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata
yang mengancam dirinya. Strategi koping yang sering digunakan pada
masing-masing tingkah laku adalah sebagai berikut:
1) Tingkah laku curiga: proyeksi
2) Dependency: reaksi formasi
3) Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi
4) Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial
5) Manipulatif: regrasi, represi, isolasi
6) Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi, isolasi,
repre
C. POHON MASALAH
Pertemuan : 1
1. Orientasi
a. Salam terapeutik
“ Selamat pagi ibu, perkenalkan nama saya ...(sebutkan) , saya dipanggil
...(sebutkan), saya perawat yang akan merawat ibu pagi ini. Nama ibu siapa dan
senang dipanggil siapa ? “
b. Evaluasi
1) Bagaimana perasaan ibu S saat ini ?
2) Masih ingat ada kejadian apa sampai ibu S dibawa kerumah sakit ini ?
3) Apa keluhan ibu S hari ini ? Dari tadi saya perhatikan ibu S duduk menyendiri,
ibu S duduk menyendiri, ibu S tidak tampak ngobrol dengan teman-teman yang
lain ? Ibu S sudah mengenal teman-teman yang ada disini ?
c. Kontrak
1) Topik
“ Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang keluarga dan teman-teman ibu
S ? Juga tentang apa yang menyebabkan ibu S tidak mau ngobrol dengan
teman-teman ?
2) Waktu
“ Ibu mau berapa lama bercakap-cakap ? Bagaimana kalau 15 menit.”
3) Tempat
“ Dimana enaknya kita duduk untuk berbincang-bincang ibu S ? Bagaimana
kalau disini saja
2. Fase kerja
a. Siapa saja yang tinggal satu rumah dengan ibu S ? siapa yang paling dekat dengan
ibu S ? siapa yang jarang bercakap-cakap dengan ibu S ? Apa yang membuat ibu
S jarang bercakap-cakap denganya ?
b. Apa yang ibu S rasakan selama dirawat disini ? O... ibu S merasa sendirian ?
Siapa saja yang ibu S kenal diruangan ini ? O... belum ada ? Apa yang
menyebabkan ibu S tidak mempunyai teman disini dan tidak mau bergabung atau
ngobrol dengan teman-teman yang ada disini ?
c. Kalau ibu S tidak mau bergaul dengan teman-teman atau orang lain, tanda-
tandanya apa saja ? mungkin ibu S selalu menyendiri ya... terus apalagi bu...
(sebutkan)
d. Ibu S tahu keuntungan kalau kita mempunyai banyak teman ? coba sebutkan
apa saja ? keuntungan dari mempunyai banyak teman itu bu S adalah... (sebutkan)
e. Nah kalau kerugian dari tidak mempunyai banyak teman ibu S tahu tidak ?
coba sebutkan apa saja ? Ya ibu S kerugian dari tidak mempunyai banyak teman
adalah...
(sebutkan). Jadi banyak juga ruginya ya kalau kita tidak punya banyak teman.
Kalau begitu inginkan ibu S berkenalan dan bergaul dengan orang lain ?
f. Bagus. Bagaimana kalau sekarang kita belajar berkenalan dengan orang lain.
g. Begini lo ibu S, untuk berkenalan dengan orang lain caranya adalah :
pertama kita mengucapkan salam sambil berjabat tangan, terus bilang “ perkenalkan
nama lengkap, terus bilang “ perkenalkan nama lengkap, terus nama panggilan yang
disukai, asal kita dan hobby kita. Contohnya seperti ini “ assalamualaikum,
perkenalkan nama saya Febriana, saya lebih senang dipanggil Febri, asal saya dari
Bandung dan hobby nya membaca.
h. Selanjutnya ibu S menanyakan nama lengkap orang yang diajak kenalan,
nama panggilan yang disukai, menanyakan juga asal dan hobbynya. Contohnya
seperti ini nama ibu siapa? Senang dipanggil apa ? asalnya dari mana dan hobbynya
apa ?
i. Ayo ibu S dicoba ! misalnya saya belum kenal dengan ibu S. Coba berkenalan
dengan saya ! ya bagus sekali ! coba sekali lagi bu S. Bagus sekali !
j. Setelah ibu S berkenalan dengan orang tersebut, ibu S bisa melanjutkan
percakapan tentang hal-hal yang menyenangkan misalkan tentang cuaca, hobi,
keluarga, pekerjaan dan sebagainya
3. Terminasi
a. Evaluasi respon
1) Evaluasi subyektif
- Bagaimana perasaan ibu S setelah berbincang-bincang tentang penyebab
- ibu S tidak mau bergaul dengan orang lain dan berlatih cara berkenalan ?
2) Evaluasi obyektif
- Coba ibu S ibu sebutkan kembali penyebab ibu S tidak mau bergaul
dengan orang lain ? apa saja tanda-tandanya bu ? terus keuntungan dan
kerugianya apa saja ?
- Coba ibu S sebutkan cara berkenalan dengan orang lain, yaitu... ya bagus
- Nah sekarang coba ibu S praktikkan lagi cara berkenalan dengan saya. Iya
bagus
b. Kontrak
1) Topik
“ Baik bu S sekarang bincang-bincangnya sudah selesai, bagaimana kalau 2
jam lagi sekitar jam 11 saya akan datang kesini lagi untuk melatih ibu S
berkenalan dengan perawat lain yaitu teman saya perawat N “
2) Waktu
“ ibu mau bertemu lagi jam berapa ? bagaimana kalau jam 9 ? “
3) Tempat
“ ibu mau bercakap-cakap dimana ? “
c. Rencana tindak lanjut
1) Selanjutnya ibu S dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari tadi. Sehingga
ibu S lebih siap untuk berkenalan dengan orang lain. Ibu S bisa praktikkan
pasien pasien lain.
2) Sekarang kita buat jadwal latihannya ya bu, berapa kali sehari ibu mau berlatih
berkenalan dengan orang lain, jam berapa saja bu ? coba tulis disini. Oh jadi
mau tiga kali ya bu.
3) Ya bagus bu S dan jangan lupa dilatih terus ya bu sesuai jadwal latihanya dan
ibu S bisa berkenalan dengan teman-teman yang ada di ruangan ini.
Pertemuan : 2
SP 2 Klien : Mengajarkan klien berinteraksi secara bertahap (berkenalan dengan
orang pertama, yaitu seorang perawat )
1. Orientasi
a. Salam terapeutik
“ assalamualikum ibu S, sesuai dengan janji saya 2 jam yang lalu sekarang saya
datang lagi. Ibu S masih ingatkan dengan saya ? coba siapa ? iya bagus. Tujuan
saya sekarang ini akan mengajarkan cara berkenalan dengan perawat lain.”
b. Evaluasi
1) Bagaimana perasaan ibu S saat ini ?
2) Apakah ibu S sudah hapal cara berkenalan dengan orang lain ? apakah ibu S
sudah mempraktikkannya dengan pasien lain ? bagaimana perasaan ibu S
setelah berkenalan tersebut ?
3) Coba ibu S praktikkan lagi cara berkenalan dengan saya. Ya bagus
c. Kontrak
1) Topik
“ baik sekarang kita akan berlatih berkenalan dengan orang pertama yaitu
perawat lain
2) Waktu
“ Mau berapa lama berlatihnya ? bagaiman kalau 10 menit ?”
3) Tempat
“ Dimana tempatnya ? disini saja ya. Tapi nanti kita temui perawat N di
ruanganya ya ! ”
2. Fase kerja
a. “ Ibu S, sudah tahu ya tadinya caranya berkenalan ? ya bagus ! ”
b. “ Tadi caranya bagaimana ya bu ? yang pertama dilakukan adalah... (sebutkan).
Bagus bu S .”
c. “ Sekarang kita keruangnya suster N ya.”
(Bersama-sama mendekati suster N)
d. “ Selamat pagi suster N, ini ibu S ingin berkenalan dengan suster N “
e. “ Baiklah ibu , sekarang ibu S bisa berkenalan dengan suster N seperti yang sudah
kita praktikkan. Ya bagus ibu S . ”
f. “ Ada lagi yang ingin ibu S tanyakan kepada suster N. Coba tanyakan tentang
keluarganya “
g. “ Kalau memang tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, ibu S bisa sudahi
perkenalan ini. lalu ibu S bisa buat janji untuk bertemu lagi dengan suster N,
misalnya jam 1 siang nanti ”
h. “ Baiklah suster N, karena ibu S sudah selesai brkenalan, saya dan ibu S akan
kembali ke ruangan ibu S. Selamat pagi (bersama-sama pasien meninggalkan
ruangan suster N) ”
i. “ Bagaimana perasaan ibu S setelah berkenalan dengan suster N. Ibu S merasa
senang ? iya, ibu S jadi mempunyai banyak teman ya ”
3. Terminasi
a. Evaluasi respon
1) Subyektif
“ Bagaimana perasaan ibu S setelah kita berkenalan dengan suster N ”
2) Obyektif
D. Evaluasi
Diagnosa keperawatan : isolasi sosial : menarik diri untuk dilakukan
tindakan keperawatan SP 2. Dan pada SP 2 dapat teratasi dibuktikan dengan
penilaian penulis terhadap perkembangan pasien selama tiga hari yaitu
pasien mampu mempraktikan cara berkenalan dengan perawat, pasien
mampu berkenalan dengan 1 orang, pasien mampu berkenalan dengan 2
orang. Dari ketiga cara diatas, sebagian besar pasien dapat
mempraktekkannya secara mandiri tanpa harus diingatkan.
Penulis menyadari bahwa proses keperawatan tidak dapat berakhir dalam
satu periode, melainkan membutuhkan waktu yang lebih panjang dan tindakan
yang berkelanjutan. Perkembangan yang masih perlu dilakukan observasi
lebih lanjut, karena evaluasi yang diharapkan belum tercapai
sepenuhnya, maka diperlukan adanya modifikasi secara khusus dalam
menyusun rencana keperawatan agar tujuan dan kriteria hasil yang telah
disusun dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Adhi, Andrey (2010). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Tingkat Depresi
yang Menderita Penyakit Kronik Di Panti Wreda Pengayoman Semarang.
Skripsi Program Studi Ilmu Kesehatan Unnimus. Semarang
Dalami, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Jiwa.
Jogyakarta: Trans Info Media
Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Farida Kusumawati & Yudi Hartono. (2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.
Keliat B, dkk. 2010. Proses Keperawatan Jiwa II. Jakarta: EGC
Mukhripah Damaiyanti & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.
Bandung: PT Refika Aditama.
Purba, dkk. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah
Psikososial
dan Gangguan Jiwa. Medan: USU press
Trimeilia. (2011). Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial. Jakarta Timur: TIM.