DESKRISPI SINGKAT
Suatu kegiatan perlu dipersiapkan dengan baik, agar tujuan yang ingin dicapai
dapat diperoleh secara optimal. Demikian pula dengan kegiatan kesehatan lingkunga
yang begitu luas dan kompleks, meliputi upaya upaya pengendalian terhadap faktor –
faktor lingkungan agar tidak merugikan kesehatan manusia. Jika tidak dipersiapkan
secara baik, dalam pengertian secara terencana, jelas, rinci, dan terarah, maka
dikhawatirkan sasaran dan tujuan akan tidak tepat, dengan kata lain output dari upaya
pengendalian faktor-faktor lingkungan yang diharapkan tidak berhasil dengan
memuaskan. Sehingga permasalahan yang diakibatkan faktor-faktor lingkungan tidak
dapat ditangani dengan baik dan berakibat buruk terhadap kesehatan masyarakat.
Peranan persiapan merupakan langkah permulaan yang mengarahkan kegiatan
apa yang akan dilakukan selanjutnya. Jika langkah awal tersebut salah arah, sudah
dapat diperkirakan bagaimana keluarannya (output) nanti.
Persiapan kegiatan dimulai dengan menyusun suatu Term of Reference (TOR)
atau Kerangka Acuan suatu kegiatan yang akan dilakukan. TOR memuat hal hal (1)
Latar Belakang Kegiatan, (2) Dasar Hukum, (3) Tujuan Kegiatan, (4) Sasaran, (5)
Metodologi, (6) Instrumen Kegiatan, (7) Rencana dan Bentuk Kegiatan, (8) Rencana
Waktu dan Lokasi Kegiatan, (9) Organisasi, (10) Rencana Anggaran Biaya, dan (11)
Time Schedule.
TOR dapat dibuat untuk Rencana Kegiatan Jangka Pendek (< 1 tahun), Jangka
Menengah (2-5 tahun) dan jangka Panjang (> tahun). Sesuai dengan kebutuhan
kegiatan yang direncanakan dan latar belakang perlunya kegiatan tersebut
dilaksanakan. Dalam modul ini akan dibahas semua tahapan Rencana Tahunan
Kegiatan Kesehatan Lingkungan sesuai kebutuhan waktu rencana kegiatan tersebut.
Kegiatan juga memerlukan arahan pelaksanaan, teknis, standar, dan pedoman
agar hasilnya sesuai dengan kualitas yang diharapkan. Karena itu merupakan bagian
dari langkah awal untuk suatu kegiatan adalah penyusunan petunjuk pelaksanaan,
petunjuk teknis, penyusunan standar, dan penyusunan pedoman.
Suatu proyek (kegiatan) apakah layak (feasible) atau tidak layak untuk
dilaksanakan, memerlukan suatu studi kelayakan (feasibility study). Agar pengalokasian
sejumlah dana untuk suatu tujuan kegiatan memperoleh hasil yang lebih efektif
(effectiveness) dibandingkan dengan kegiatan yang lain dengan tujuan yang sama serta
memperoleh manfaat (benefit) yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran biaya yang
serendah-rendahnya (cost) untuk proyek tersebut (tolok ukur ekonomi). Disamping tolok
ukur ekonomi, kelayakan suatu proyek juga menggunakan tolok ukur kelayakan dari
segi sosial dan lingkungan. Dari segi sosial tidak berbenturan dengan budaya setempat
dan dari segi lingkunga tidak merusak ekosistem yang ada.
BAHAN BELAJAR
1. Pengetahuan Management, Dra. Soedinar Hardjosoebroto, FE UGM, Yogyakarta,
1973.
2. Dasar – dasar Metodologi Penelitian dan Kesehatan, Dr. Watik P, G. Persada,
Jakarta, 2001
3. Analisa Data Kualitatif, Matthew B. Miles, UI-Press, Jakarta, 1992
4. Pedoman Kegiatan Puskesmas, Depkes RI
5. Teknik Sanitasi Tepat Guna, John M. Kalbermatten, dkk
6. Pemberantasan Penyakit Berbasis Lingkungan, Achmad Sujudi
7. Pembangunan Kesehatan Lingkungan menjelang Tahun 2010, Umar Fahmi
Achmadi
8. Otonomi Daerah dan Investasi di Bidang Kesehatan Lingkungan, Muchlis Adenan.
URAIAN MATERI
PERSIAPAN PELAKSANAAN KEGIATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Tabel
Data Pembangunan
Sarana Jamban Keluarga
Di 4 Propinsi Di Indonesia Tahun 2005
Bulan
No Propinsi Jumlah
Jan Feb Mar Apr Mei
1 A 125 126 124 125 124 624
2 B 123 123 124 122 125 617
3 C 122 125 124 126 122 619
4 D 124 127 123 125 124 623
Total 494 511 495 498 495 2483
Grafik
Data Pembangunan
Sarana Jamban Keluarga
Di 4 Propinsi Di Indonesia Tahun 2005
Tabel
Data Pembangunan
Sarana Pembuangan Air Limbah
Di 4 Propinsi Di Indonesia Tahun 2005
Bulan
No Propinsi Jumlah
Jan Feb Mar Apr Mei
1 A 125 126 124 125 124 624
2 B 123 123 124 122 125 617
3 C 122 125 124 126 122 619
4 D 124 127 123 125 124 623
Total 494 511 495 498 495 2483
Sumber :laporan bulanan propinsi
Analisis sederhana dari data tabel di atas dapat menyatakan bagaimana
perkembangan pembangunan SPAL dari bulan ke bulan di 4 propinsi.
Pembangunan paling tinggi secara total di bulan februari 2005. Sedangkan
menurut propinsinya yaitu di propinsi D, sedangkan paling rendah di bulan
Januari 2005, sedangkan terendah menurut propinsinya terjadi di bulan Januari
di propinsi C, bulan April di Propinsi A dan bulan Mei di propinsi C juga. Dalam
bentuk grafik, contohnya sbb :
Grafik
Data Pembangunan
Sarana Jamban Keluarga
Di 4 Propinsi Di Indonesia Tahun 2005
Agar diketahui posisi atau kualitas suatu data ditinjau dari standar maka perlu
dilakukan analisis. Suatu analisis data lanjut adalah membandingkan data
beberapa variabel yang menggambarkan kondisi kesehatna lingkungan dengan
rujukan kepustakaan sesuai variabel yang ditelaah (dianalisis). Dari hasil
analisis akan diketahui permasalahan apa yang ditemukan dari data yang
diperoleh. Sehingga dapat diperkirakan kondisi yang ditemukan di lapangan
(kondisi kesehatan lingkungan) dan upaya apa saja (upaya kesehatan
lingkungan) yang perlu dilakukan dalam menghadapi kondisi yang ada di suatu
propinsi di tahun yang akan datang.
Contoh :
Hasil pemeriksaan kualitas lingkungan permukiman di sejumlah kabupaten/
kota dalam suatu propinsi dengan mengamati kualitas sarana jamban,
tempat penampungan sampah, kualitas air bersih dan sumbernya, ventilasi,
luas lantai, penerangan, dsb. Untuk mengetahui posisi kualitas lingkungan
tersebut maka dapat dibandingkan dengan standar perumahan sehat
sesuai dengan peraturan menteri kesehatan yang ada.
Hasil observasi terhadap kualitas kesehatan lingkungan rumah sakit di
seluruh kabupaten/ kota dalam suatu propinsi, dapat dianalisis dengan
membandingkan terhadap keputusan menteri kesehatan tentang standar
kesehatan lingkungan rumah sakit
Penyusunan rancangan tingkat propinsi
Untuk menyusun rencangan kegiatan tingkat propinsi dapat mempelajari TOR
yang telah dibuat untuk tingkat propinsi. Dengan dasar TOR yang telah dibuat,
lalu diadakan evaluasi untuk disesuaikan dengan ketersediaan sumber dana
yang ada serta memperhatikan apa yang lebih prioritas. Khususnya terkait
upaya untuk mengatasi masalah kesehatan lingkungan dan dampak negatifnya.
Misalnya pembangunan jamban keluarga dan upaya penyehatan sumber air
bersih di beberapa propinsi karena daerah tersebut endemis muntaber dan tiap
tahun terjadi wabah muntaber yang merenggut korban jiwa.
Penyajian rancangan tingkat pusat
Rancangan rencana kegiatan kesehatan lingkungan tingkat pusat sebelum
mendapat persetujuan perlu disajikan dalam forum para pengambil keputusan
untuk kegiatan kesehatan lingkungan. Agar rencana kegiatan tahunan tersebut
benar-benar mendapat dukungan dan dapat dilaksanakan, penyajian setidak-
tidaknya harus jelas mengenai dasar perlunya kegiatan kesehatan lingkungan,
tujuan yang ingin dicapai, manfaat yang akan diperoleh, target fisik, lokasi
kegiatan, dana yang diperlukan, waktu pelaksanaan dan para pelaksana.
Penyempurnaan rancangan tingkat propinsi
Dalam rangka menyempurnakan rancangan perlu dilakukan evaluasi rancangan
secara integratif dan koordinatif di tingkat propinsi . Khususnya untuk
memperoleh masukan dari semua pihak terkait dengan rancangan kegiatan
kesehatan lingkungan di tingkat propinsi. Mulai dari penyandang dana,
pengambil keputusan sampai kepada para pelaksana lapangan.
Studi kelayakan
Suatu studi kelayakan sangat diperlukan, terutama untuk suatu kegiatan yang berskala
besar akan benar-benar memberikan manfaat terbesar jika diukur baik secara ekonomi,
sosial maupun lingkungan dan teknologi yang digunakan dapat dilakukan sesuai dengan
kemampuan penguasaan teknologi beserta sumber daya yang dimiliki. Selanjutnya hasil
yang diperoleh lebih efektif dibandingkan dengan kegiatan lai yang mempunyai tujuan yang
relatif sama.
Menyusun TOR
TOR untuk suatu studi kelayakan memuat hal yang sama seperti TOR pada umumnya.
Seperti antara lain (1) Pendahuluan yang memuat latar belakang secara spesifik tentang
perlunya studi kelayakan dilakukan unutk suatu kegiatan, (2) Dasar hukum,(3) Tujuan
kegiatan, (4) Sasaran, (5) Metodelogi, (6) Instrumen kegiatan, (7) Rencana dan bentuk
kegiatan, (8) Rencana waktu dan lokasi kegiatan, (9) Analisis kelayakan, (10) Organisasi,
(11) Rencana anggaran biaya dan (12) Time schedule
REFERENSI
1. Achmadi, Umar Fahmi, Prof., Dr, Pembangunan Kesehatan Lingkungan Menjelang
tahun 2010. Makalah dalam Seminar Nasional HAKLI di Semarang, Jakarta, 14 Juli
1999
2. Adenen, Muchlis, Drs, M.Sc, Otonomi Daerah dan Investasi Di Bidang Kesehatan
lingkungan, Makalah Orasi Ilmiah pada Acara Wisuda Lulusan Akademi Kesehatan
lIngkungan Jakarta di Aula Pusdiklat Depkes & Kesos, 30b Januari 2001
3. , Sekilas Kajian Ekonomi Kesehatan lIngkungan,
Makalah Seminar dan Muscab Gabungan HAKLI Jakarta, 28 Juli 2000
4. Hardjosoebroto, Soedinar, Dra, Pengetahuan Management, FE UGM, Yogyakarta,
1973
5. Kalbermatten, John M., dkk. Teknik Sanitasi Tepat Guna, Alumni Bandung, 1987
6. Sujudi, Achmad, dr, MHA, Pemberantasan Penyakit Berbasis Lingkungan, Makalah
Seminart Nasional HAKLI , Jakarta,14 Juli 1999
7. Tjiptoherijanto, Prijono, dkk, Ekonomi Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta,1984
BAB II
PENGAMATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
DESKRIPSI SINGKAT
Bagi produk pangan system pengendalian mutu diawali dengan prinsip penerapan
Good Manufacturing Practice (GMP) yakni mendefinisikan dan mendokumentasikan
semua persyaratan yang diperlukan agar produk pangan dapat diterima mutunya.
Dalam GMP pusat perhatian ditujukan pada keamanan mikrobiologis dan persyaratan
mutu pangan.
Sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) atau Analisis Bahaya Titik
Kendali Kritis merupakan salah satu cara dalam pengendalian mutu mandiri, bersifat
pencegahan yang berupaya untuk mengendalikan suatu areal atau titik dalam sistem
pangan yang mungkin berkontribusi terhadap suatu kondisi bahaya, baik kontaminasi
mikroorganisme patogen, objek fisik, kimiawi terhadap bahan baku, suatu proses
penggunaan langsung oleh pengguna ataupun kondisi penyimpanan.
Peletakan sistem HACCP ke dalam sistem manajemen mutu yang telah diterapkan
di dalam suatu unit usaha tentu memerlukan sejumlah pendekatan agar dapat menjaga
ritme kegiatan. Sistem HACCP diupayakan tidak mengubah sama sekali iklim dan
suasana yang telah dibangun serta berjalan baik di suatu unit usaha.
Penerapan HACCP pada produk pangan, ada 7 (tujuh) prinsip yang harus dilakukan
adalah : 1. Identifikasi bahaya, 2 Penetapan titik kendali kritis (CCP= Critical Control
Point), 3 penetapan batas /limit kritis , 4 Pemantauan CCP, 5 tindakan koreksi terhadap
penyimpangan, 6 Verivikasi, 7 Dokumentasi.
A. TEORI
1. Pengertian HACCP
2. Tujuan penerapan HACCP
3. Manfaat penerapan HACCP
4. Prinsip prinsip HACCP = 7(Tujuh ) prinsip HACCP
5. Rencana penerapan HACCP
6. Identifikasi bahaya
a. Mikrobiologis
b. Kimia
c. Fisik
7.Menetapkan titik kendali kritis (CCP)
B. PRAKTEK
( Studi kasus)
1. Menetapkan titik kendali kritis (CCP) pada satu contoh makanan
2. Menetapkan batas/limit kritis untuk CCP yang telah diidentifikasi pada satu contoh
makanan.
3. Menetapkan langkah pemantauan untuk CCP sesuai batas limit yang telah
ditentukan
4. Menetapkan tindakan koreksi jika ditemukan CCP yang melebihi batas kritis dari
hasil pemantauan
5. Menetapkan langkah langkah verifikasi dari hasil tindakan koreksi CCP
6. Dokumentasi penerapan HACCP
IV BAHAN BELAJAR
1. Depkes RI, Dirjen PPM & PLP, Petunjuk Pelaksanaan
Pengawasan Kebisingan, 1994/1995
2. Depkes RI, Ditjen PPM & PLP, Pedoman Pengawasan Sanitasi Makanan,
1998
3. Depkes RI, Ditjen PPM & PLP, Makalah FAO dan Gizi, BadanOrganisasi
Pertanian dan Pangan, Roma 1984
4. Kepmenkes RI Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999, PersyaratanKesehatan
Perumahan
5. Soekidjo Notoatmojo, Metodologi Penelitian Kesehatan, RinekaCipta Jakarta,
2005
6. Titi Indiajati Soewarso, Depkes.RI, Surveilans epidemiologi secara umum, 1984
7. Depkes RI, Pusdiklat Kesehatan BPPSDMK, Standar DanPedoman Pelatihan
Jabatan Fungsional Sanitarian, 2004.
V. URAIAN MATERI
1. Pengertian
Pengamatan kesehatan lingkungan, pada intinya adalah kegiatan Surveilans Epidemiologi.
Surveilans Epidemiologi adalah : suatu proses pengamatan terus menerus dan sistematik
terhadap terjadinya penyebaran penyakit serta kondisi yang memperbesar risiko penularan
dengan melakukan pengumpulan data , analisis data, interpretasi dan penyebaran
interpretasi serta tindak lanjut perbaikan dan perubahan.
Informasi epidemiologi yang dapat dipercaya merupakan inti dari Surveilans Epidemiologi.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Surveilans Epidemiologi adalah pengumpulan data
untuk melakukan tindakan (Surveilans for action), sehingga aktivitas penting surveilans yang
harus selalu sustainable adalah:
Proses pengumpulan data epidemiologi secara sistematis sebagai aktivitas rutin.
Pengolahan dan analisa serta interpretasi data agar menghasilkan informasi epidemiologi .
Penggunaan informasi untuk menentukan tindakan perbaikan yang perlu dilakukan atau
peningkatan program dalam menyelesaikan masalah.
Oleh karena itu suatu kuesioner harus mempunyai beberapa persyaratan, antara lain :
a. Relevan dengan tujuan penelitian
b. Mudah ditanyakan
c. Mudah dijawab
d. Data yang diperoleh mudah diolah (diproses) dan sebagainya.
Jenis daftar pertanyaan
Dalam pengumpulan data sering digunakan 3 (tiga) macam kuesioner/ formulir yaitu
a.Kuesioner (formulir) untuk keperluan administrasi, dimana formulir ini digunakan
untuk mengumpulkan data melalui saluran administrasi. Formulir ini lebih
dikaitkan dengan formulir administrasi. Pengisian formulir sepenuhnya oleh
pihak responden tetapi biasanya ada petunjuk pengisian.
Contoh : - Formulir masuk
- Formulir Kartu Klinik dsb
b. Formulir untuk observasi (form of observation), agar observasi terarah dan dapat
memperoleh data yang benar benar diperlukan, maka sebaiknya didalam
melakukan observasi juga mempergunakan daftar pertanyaan yang disiapkan
terlebih dahulu. Kuesioner ini mencakup hal hal yang diselidiki/ diobservasi
c. Kuesioner untuk wawancara (form for questioning)
jenis kuesioner ini digunakan untuk mengumpulkan data melalui wawancara (
interview). Alat ini lebih digunakan untuk memperoleh jawaban yang akurat
dari responden. Wawancara dapat dilakukan dengan:
personal interviu
Telepon interviu
Contoh : Kuesioner /Formulir penilaian/ Daftar pertanyaan terlampir dalam modul ini.
1) Form penilaian rumah
2) Daftar pertanyaan pedoman singkat investigasi penderita penyakit bawaan
makanan.
3) Formulir Pemantauan Penyelenggaraan PMTAS
4) Daftar pertanyaan tentang Kebisingan dan Efeknya kepada masyarakat di lokasi
tertentu.
6. Analisis data kesehatan lingkungan secara deskriptif
Pelaksanaan analisis dan interpretasi data sangat tergantung tingkat unit kesehatan serta
ketrampilan petugas kesehatan khususnya petugas surveilans yang ada pada unit
tersebut.
Untuk melakukan analisis diperlukan hal hal sebagai berikut:
a. Tersedia data dalam keadaan siap dianalisis
b. Pengetahuan dasar dasar epidemiologi
c. Pengetahuan penyakit dan faktor faktor yang mempengaruhinya
d. Kecakapan dan pengalaman dapat memperluas ketajaman analisis
analisis deskriptif tujuan utama adalah membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu
keadaan secara obyektif .Metode deskriptif digunakan untuk memecahkan atau menjawab
permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang. Dilakukan dengan menempuh
langkah langkah pengumpulan data, klasifikasi, pengolahan/analisis data, membuat
kesimpulan dan laporan.
7. Penyebar luasan data hasil pengamatan kesehatan lingkungan.
Umpan balik dan disseminasi yang baik serta respon yang cepat
Kunci keberhasilan surveilans adalah memberikan umpan balik kepada sumber sumber
data survailans agar mudah memberikan kesadaran kepada sumber data tentang
pentingnya proses pengumpulan data. Bentuk umpan balik biasanya ringkasan informasi
atau korektif laporan yang dikirimkan.
Penggunaan informasi epidemiologi yang dihasikan surveilans oleh semua pihak yang
mungkin dapat melakukan tindakan pemecahan masalah kesehatan dapat dijadikantolak
ukur keberhasilan surveilans.
Seringkali desseminasi informasi diartikan sebagai memberikan data dalam bentuk tabel,
grafik dan map tanpa disertai komentar atau interpretasi tertentu, sehingga cara ini kurang
memberikan manfaat yang diharapkan. Dessiminasi yang baik harus dapat memberikan
informasi yang mudah dimengerti dan dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan
kegiatan, upaya pengendalian serta evaluasi program yang dilakukan.
- Memiliki perangkat lunak, seperti epi info, Epi map dan aplikasi program
lainnya dan kalkulator.
- Calculator scientific
- Kertas grafik
- Formulir perekam, pengolahan dan laporan
- Mesin ketik
- Perangkat seminar
- Overhead Proyector
- Infocus
- Seminar
- Kajian Referensi
2. Proses
Proses pelaksanaan kegiatan surveilans disesuaikan dengan kegiatan yang
diusulkan melalui perencanaan tahunan, tetapi diharapkan beberapa kegiatan dibawah ini
merupakan kegiatan minimal yang seharusnya dilakukan oleh unit surveilans, disamping
kegiatan lain sesuai dengan kondisi setempat.
Jenis kegiatan terdiri atas:
- Pengumpulan data
- Pengolahan data
- Kajian data
- Disseminasi informasi
- Penyelidikan KLB
- Seminar
- Surveilans PTM
- Surveilans IN
- Surveilans HVB
- Surveilans Pariwisata
b. Indikator proses
Frekuensi pertemuan kajian data oleh tim epidemiologi
SISTEM HACCP
HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) , system pengendali produksi
dalam industri pangan adalah proses yang dipergunakan untuk menemukan titik titik rawan
yang potensial muncul dalam produksi pangan dan untuk menawarkan system manajemen
dan pengawasan yang ketat demi terjaminnya produk produk makanan yang sehat bagi
konsumen. HACCP di desain untuk mencegah bahaya bahaya fisik, kimiawi dan
mikrobiologis yang potensial timbul.
HACCP diterapkan sebagai salah satu cara dalam pengendalian mutu mandiri. HACCP
adalah suatu alat (tools) yang dipakai untuk mengukur tingkat bahaya, menduga perkiraan
resiko dan menetapkan ukuran yang tepat dalam pengawasan, dengan menitik beratkan
pada pencegahan dan pengendalian proses pengolahan makanan.
Pendekatan HACCP dapat disesuaikan dengan perkembangan desain, prosedur, proses
atau teknologi pengolahan makanan. Sebagai nilai tambah dari penerapan HACCP adalah
meningkatkan keamanan makanan, keuntungan penggunaan bahan baku terbaik dan reaksi
cepat dalam mengatasi masalah produksi yang timbul.
B. TUJUAN HACCP
1. UMUM
Meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi
kasus keracunan dan penyakit melalui makanan (Food borne disesse)
2. KHUSUS
a. Untuk mengevaluasi cara produksi makanan
b. Untuk memeperbaiki cara produksi makanan
c. Memantau dan mengevaluasi penanganan, pengolahan dan sanitasi
d. Meningkatkan inspeksi mandiri.
F. IDENTIFIKASI BAHAYA
Tahap II : Langkah pelaksanaan HACCP
1. Buatlah daftar bahaya yang mungkin terjadi pada setiap tahapan dan
mempertimbangkan setiap tindakan pengendaliannya untuk menghilangkan
atau mengurangi bahaya yang timbul (kegiatan prinsip 1)
Tim HACCP harus membuat daftar seluruh kemungkinan timbulnya bahaya
yang meliputi bahaya biologi, kimia dan atau bahaya fisik yang dapat terjadi
pada setiap bahan ingridient. Bahaya dapat terjadi akibat kontaminasi biologi,
kimia dan fisika yang terbawa secara alam maupun keamanan makanan dan
atau proses produksi yang tidak layak akibat adanya racun/toksin atau zat lain
hasil metabolisme mikroba.
1) Bahaya biologi termasuk mikroba pathogen (parasit dan bakteri) serta
tanaman dan hewan beracun.
2) Bahan kimia termasuk diantaranya adalah pestisida, zat/bahan pembersih,
anti biotik, logam berat dan bahan tambahan makanan seperti sulfit dan
lainnya.
3) Bahaya fisik termasuk benda benda seperti pecahan logam, gelas, batu yang
dapat menimbulkan luka di mulut, gigi patah, tercekik atau luka pada
saluran pencernaan.
Selanjutnya tim menyusun dan merencanakan tindakan pengendaliannya dan
bilamana mungkin dapat diterapkan pada setiap bahaya. Tindakan
pengendalian pada semua aktivitas tersebut dapat menghilangkan atau
mengurangi bahaya yang terjadi sampai pada batas yang dapat diterima.
Pengendalian lebih dari satu ukuran bisa jadi diperlukan dalam mengendalikan
bahaya spesifik sehingga lebih dari satu bahaya dapat dikendalikan. Tidak perlu
ada percobaan lebih dahulu yang dilakukan untuk menetapkan bahaya pada
CCP.
G. MENENTUKAN TITIK KENDALI KRITIS (CCP)
2. Menentukan Titik Kendali Kritis (CCP) : Kegiatan Prinsip – 2
Setelah bahaya diidentifikasi, pohon keputusan CCP digunakan untuk
menetapkan apakah suatu tahapan kegiatan merupakan CCP, berdasarkan
identifikasi bahaya tersebut. Suatu model pohon keputusan HACCP untuk
menetapkan CCP diberikan dalam bagan 1 pada lampiran II, tetapi dalam
latihan penerapannya diperlukan kesanggupan agar pemakaiannya dapat
secara tepat meyakinkan.
Penerapan dari model pohon keputusan ini bisa sedikit berbeda, tergantung
kepada apakah proses kegiatan tersebut untuk produksi, pemotongan,
pengolahan makanan atau pabrik, penyimpanan, distribusi atau sektor lainnya.
Selainmenentukan CCP melalui metoda pohon keputusan, cara lain dapat juga
digunakan dalam menentukan CCP. Pendekatan menggunakan pohon
keputusan ini sangat penting untuk disertakan dalam pelatihan dan selama
latihan disimulasikan oleh semua anggota tim yang belum berpengalaman.
Semua bahaya yang diperkirakan dapat terjadi atau dapat dikenali pada setiap
tahapan harus diupayakan cara pengendaliannya. Jika suatu bahaya telah
dapat diidentifikasi tetapi tidak ada ukuran pengendaliannya, maka produk
harus dimodifikasi sehingga bahaya dapat dihilangkan (CCPI) atau dikurangi
(CCP2), pada tingkat/kadar yang dapat diterima (acceptable)
H. MENENTUKAN BATAS/LIMIT KRITIS CCP
3. Menentukan batas/limit kritis setiap CCP : Kegiatan Prinsip 3
Batas kritis adalah nilai batas yang berada diantara nilai yang dapat diterima
dan nilai yang tidak dapat diterima dari setiap CCP
Batas kritis (Critical limit) haruslah spesifik untuk setiap parameter yang diukur
dari setiap CCP. Dalam banyak hal, dapat lebih satu titik yang ditetapkan secara
khusus sebagai CCP. Kriteria yang sering digunakan adalah suhu, waktu,
kelembaban, pH, aktivitas air, adanya zat chlorin dan parameter indra (sensory)
seperti penampilan dan tekstur.
Batas kritis dapat ditetapkan berdasarkan berbagai sumber peraturan atau
kepustakaan yang ada yang mengatur tentang standard atau berdasarkan
pedoman, pengalaman lapangan atau pendapat para ahli.
Dalam banyak hal keragaman produksi membutuhkan nilai target yang lebih
untuk menjamin batas kritis dipenuhi. Nilai target adalah nilai kriteria yang lebih
kuat dari batas kritis dan digunakan oleh para pengelola produk untuk
menurunkan resiko yang melampaui dari batas kritis.
Sebagai contohnya, batas kritis yang diperlukan dalam formulasi makanan
adalah pH 4,6 atau lebih rendah untuk mencegah tumbuhnya bakteri pathogen.
Disebabkan berbagai ragam yang dapat terjadi selama pengolahan makanan
memutuskan untuk menentukan nilai target pH menjadi 4,5 untuk menurunkan
resiko yang mungkin timbul pada batas kritis (pH 4,6) dilampaui.
I. MENENTUKAN SISTEM PEMANTAUAN
4. Menentukan sistem pemantauan untuk setiap CCP : Kegiatan prinsip :4
Pemantauan adalah pengukuran atau observasi rutin di setiap CCP untuk
mengetahui apakah batas kritis atau nilai target telah dipenuhi. Cara
pemantauan harus mampu mendeteksi adanya penyimpangan dalam
pengendalian CCP.
Pemantauan sebaiknya dilengkapi informasi yang tepat untuk tindakan
perbaikan yang harus dilakukan agar dapat mengendalikan resiko pada proses
pengolahan sebelum ditetapkan penolakan produk. Jika pemantauan dilakukan
tidak terus menerus maka frekuensi pemantauan harus cukup menjamin bahwa
CCP dapat dkendalikan.
Cara pemantauan CCP haruslah dilakukan secara cepat, karena lamanya waktu
analisa akan menjadikan penyajian menjadi tidak layak dalam banyak kasus.
Pengujian fisik dan kimia disarankan diperkecil dari pada pemeriksaan
mikrobiologi. Sejumlah parameter fisik dan kimia dapat digunakan sebagai
indicator dalam pengendalian mikrobiologi pada produk makanan.
Pemantauan seharusnya dilakukan oleh petugas yang dipersiapkan untuk itu
dan memiliki pengetahuan dan kewenangan untuk melakukan tindakan
perbaikan bila ditemukan adanya petunjuk telah terjadi penyimpangan.
J. MENETAPKAN TINDAKAN KOREKSI
5. Melakukan tindakan perbaikan : kegiatan prinsip :5
Tindakan perbaikan adalah yang dilakukan bila berdasarkan hasil pengamatan
menunjukkan telah terjadi penyimpangan dalam CCP pada batas kritis tertentu
atau nilai target tertentu atau ketika hasil pemantauan menunjukkan
kecenderungan kurangnya pengendalian.
Dalam kasus terakhir, tindakan dapat dilakukan dengan cara menyesuaikan
proses dalam memperketat pengawasan sebelum terjadinya penyimpangan
yang menjadi penyebab hilangnya kendali dan menjadi sebab peningkatan
bahaya. Pengaturan kembali proses pengolahan makanan perlu dilakukan bagi
makanan yang telah diolah dimana terdapat CCP yang tidak dapat dikendalikan.
Kedua tindakan ini baik pengaturan kembali proses pengolahan maupun
perintah perbaikan haruslah didokumentasikan sebagai catatan tentang
HACCP. Petugas penanggung jawab yang menyimpan dokumen harus ditunjuk
secara khusus dan ditugaskan secara jelas.
K. MELAKUKAN VERIFIKASI
6. Melakukan verifikasi : Kegiatan prinsip 6
Verifikasi adalah mengikuti secara berurutan terhadap semua tahapan kegiatan
yang dilakukan.
Cara verifikasi harus dikembangkan untuk menjamin bahwa system HACCP
bekerja dengan baik. Metoda pemantauan dan audit, prosedur dan pengujian
termasuk cara random sampling dan analisanya dapat digunakan untuk tujuan
ini. Frekuensi verifikasi harus cukup memberikan jaminan bahwa rencana
HACCP dan pelaksanaannya akan dapat mencegah terjadinya masalah
keamanan makanan.
Contoh kegiatan verifikasi meliputi :
Peninjauan ulang penerapan HACCP dan pencatatannya, prosedur yang
digunakan dalam menilai CCP yang berada di luar kendali, pengaturan kembali
proses pengolahan dan tindakan perbaikan yang dilakukan pada saat batas
kritis tidak dipenuhi serta pengesahan penetapan batas kritis.
L. MELAKUKAN DOKUMENTASI
7. Melakukan pencatatan dan penyimpanan dokumentasinya:Kegiatan prinsip
7
Pencatatan semua tahapan HACCP dan dokumentasi yang memadai adalah
penting sekali dalam penerapan system HACCP. Prosedur dokumentasi
HACCP pada setiap tahapan harus disusun dan dicantumkan dalam petunjuk
(manual). Contoh pencatatan adalah : rencana HACCP, catatan pemantauan
CCP, arsip penyimpangan yang terjadi, arsip modifikasi, data verifikasi dan
peninjauan data-data lain seperti informasi tentang pencucian dan desinfeksi.
Dalam praktek, pembuatan catatan dan dokumentasi seringkali dibuat oleh tim
HACCP yang berkaitan dengan penyusunan prosedur verifikasi.
Tahap III : Peninjauan HACCP
8. Penerapan rencana HACCP
Sekali rencana HACCP telah disusun untuk suatu proses pengolahan makanan,
maka haruslah diterapkan dan dilaksanakan. Butir-butir berikut ini sangat
diperlukan untuk mempermudah pelaksanaannya :
a. Pemberian tanggung jawab kepada pengelola dan supervisor untuk
menyusun perencanaan, pemantauan CCP dan pencatatan serta
dokumentasinya.
b. Menyusun pedoman kerja untuk memantau CCP yang singkat dan jelas
c. Menyiapkan formulir pencatatan dan keperluan dokumentasi lainnya
d. Melatih staf tentang dasar-dasar rencana HACCP dan melaksanakan
petunjuk kerja dengan memperhatikan apa, mengapa, dimana, bagaimana,
kapan, dan siapa yang harus berbuat apa
e. Memberikan tanggung jawab untuk pengambilan keputusan dan melakukan
tindakan pengaturan kembali dan perbaikan
9. Peninjauan ulang rencana HACCP
Sebagai tambahan dari garis besar prosedur verifikasi di atas, diperlukan suatu
system lokal yang secara otomatis akan berinisiatif melakukan tinjauan rencana
HACCP sebagai awal dari setiap perubahan yang dapat memberikan dampak
kepada keamanan produk termasuk, di dalamnya adalah sebagai berikut :
Perubahan bahan baku atau formulasi produk, perubahan cara pengolahan,
perubahan tata letak industri atau lingkungan, perubahan peralatan pengolahan,
perubahan program pembersihan dan desinfeksi, perubahan pewadahan,
penyimpanan atau cara distribusinya, perubahan staf penanggung jawab,
perubahan antisipasi penggunaan oleh konsumen dan informasi resep yang
menunjukkan adanya hubungan dengan risiko kesehatan dari produk.
Data yang diperoleh dari tinjauan rencana HACCP harus didokumentasikan dan
merupakan bagian dari system pencatatan HACCP. Setiap perubahan yang
terjadi dari peninjauan ulang harus sepenuhnya digabungkan dalam rencana
HACCP. Hal ini dilakukan karena perubahan- perubahan ini akan berarti kepada
adanya perubahan ukuran kendali CCP, batas kritis dan nilai target yang juga
berubah dan atau adanya penambahan CCP baru harus dimasukkan dalam
rencana HACCP. Menjadi suatu yang pokok bahwa setiap terjadi perubahan
harus didasarkan kepada data yang akurat yang diperoleh dari sumber
informasi yang resmi.
Sebagai tambahan, pengelola makanan senior akan lebih banyak diharapkan
sebagai sumber informasi yang dapat digunakan dalam rencana HACCP
sehingga keterangannya tidak mubazir dan berdasarkan catatan serta dokumen
yang ada padanya membuktikan suatu kegiatan proses pengolahan yang
sebenarnya. Suatu system pengolahan dan pemeliharaan tentang system
HACCP sangat diperlukan dan penting dalam pelaksanaannya yang layak.
PENERAPAN HACCP
Sistem HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai perjalanan makanan
(food chain) dari produk primer sampai pada produsen akhir dan penerapannya harus
dipandu oleh bukti secara ilmiah terhadap risiko kesehatan manusia. Untuk itu
HACCP perlu dipahami oleh pengusaha dan industri makanan serta para pejabat
pemerintah.
Persyaratan dasar untuk penerapan HACCP sebaiknya dipenuhi terlebih dahulu oleh
suatu organisasi sebelum sistem HACCP diadopsi. Persyaratan dasar tersebut berisi
petunjuk praktis manajemen yang baik, disesuaikan dengan tahap pada generasi
pertanian. Beberapa petunjuk praktis manajemen yang baik antara lain sebagai
berikut:
1. Good Farming Practices (GFP) pada usaha pertanian
2. Good Handling Practices ( GHP) pada kegiatan pasca panen
3. Good Hygienic Practices (GhyP) pada semua penanganan bahan pangan
4. Good Manufacturing Practices (GMP) pada kegiatan manufacture
5. Good distribution Practices (GDP) pada kegiatan distribusi
6. Good Retailing Practices (GRP) bagi pengeceran barang
7. Good Catering Practices (GCP) sebagai petunjuk bagi konsumen
Konsep HACCP dapat diterapkan secara luwes di berbagai sektor, HACCP telah
berhasil diterapkan pada situasi khusus seperti misalnya jasa boga, restoran dan
rumah makan, namun penerapan HACCP pada segmen lain dari rantai makanan
terutama pada produksi primer, tidaklah sepenuhnya dapat diterapkan.
PENERAPAN HACCP OLEH PENGUSAHA DAN PENGELOLA INDUSTRI MAKANAN
Konsep HACCP pada dasarnya dapat diterapkan pada seluruh rantai
makanan mulai bahan makanan dibibitkan, dipanen/disembelih, diproses
pengolahan/pabrik sampai makanan disajikan untuk konsumen akhir, melalui
berbagai sektor jenis industri yang menggunakan teknologi yang berlainan. Konsep
HACCP dapat juga diterapkan sejak mulai dari perencanaan dan pembangunan
sehingga potensi bahaya dapat dirancang bebas dalam proses pengolahan dan
produksi makanan.
Walaupun penerapan dari konsep HACCP dapat dilaksanakan secara luwes
di berbagai sektor, HACCP telah berhasil diterapkan pada situasi khusus seperti
misalnya jasaboga, restoran dan rumah makan, namun penerapan HACCP pada
segmen lain dari rantai makanan, terutama produksi primer, tidaklah dapat
sepenuhnya diterapkan.
44
BAB 3
PENGAWASAN KESEHATAN LINGKUNGAN
DESKRIPSI SINGKAT
Pengawasan merupakan salah satu fungsi yang dilakukan dalam tahap
pelaksanaan suatu rencana kegiatan program kesehatan lingkungan,
diharapkan dapat menjamin keberhasilan pelaksanaan rencana tahunan
yang telah disusun tersebut.
Tahap pengawasan merupakan tahap yang lebih sulit dan rumit dari pada
penyusunan rencana, karena pada pelaksanaan akan dihadapkan pada
keadaan-keadaan nyata yang mungkin tidak terpikir oleh petugas
perencana.
Pengawasan berfungsi sebagai pengaman pada waktu rencana sedang
dilaksanakan.
Pengawasan adalah proses pengamatan dari pelksanaan seluruh kegiatan
organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sudah dilaksanakan
berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sehingga tiga
sasaran pengawasan yaitu waktu, biaya dan kualitas hasil.
Pengawasan kegiatan dimulai dari penetapan standart pekerjaan.
Dalam pengawasan Kesehatan Lingkungan disamping sebagai unsur
managemen aspek juga berperan dalam menemukan masalah-masalah
Kesehatan Lingkungan serta menyelesaikannya, inilah yang disebut dengan
pendekatan managemen ”Problem Solving Aproach”.
45
< 9 – 18 jam.
7. Penilaian rencana pemantauan/pengelolaan lingkungan < 9 – 18
jam.
46
8. Penilaian penyajian HACCP < 9 – 18 jam.
9. Penilaian penyajian analisis kesehatan lingkungan lainnya : < 9 –
18 jam.
BAHAN BELAJAR
1. Modul Perencanaan, Pengawasan dan Penilaian, Dirjen Pelayanan
Medik, Depkes RI, Jakarta 1991.
2. Undang-Undang R.I. nomor 36 & 44 tahun 2009 tentang Kesehatan
dan Rumah Sakit, Citra Umbara, Bandung 2010.
3. Buku Pegangan Kader Desa Siaga Propinsi Jawa Timur. Dinkes Prop.
Jatim, Surabaya 2006.
URAIAN MATERI
A. PENGAWASAN TINDAK LANJUT KESEHATAN LINGKUNGAN
1. PENDAHULUAN
Usaha Pengawasan tindak lanjut perlu mempertimbangkan beberapa aspek
pendekatan agar program yang direncanakan dapat berjalan dengan baik.
Beberapa aspek pendekatan yang digunakan sehubungan dengan
penyelenggaraan tersebut mencakup aspek teknis, aspek sosial ekonomi dan
aspek administrasi menejemen serta hukum.
Pengawasan dan pemeriksaan dilakukan terhadap unsur manusia dan
lingkungan hidup, upaya ini ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan
yang sehat baik fisik maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pemerintah dan
pemerintah serta masyarakat menjamin ketersidiaan lingkungan sehat dan
tidak mempunyai resiko buruk bagi kesehatan. Lingkungan sehat yang
dimaksud adalah mencakup lingkungan perumahan, tempat kerja, tempat
rekreasi serta tempat dan fasilitas umum (obyek kelompok I) serta bebas dari
unsur-unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan akibat dari adanya antara
lain :
Limbah cair
Limbah padat
Limbah gas
Sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang telah
ditetapkan
Binatang pembawa penyakit
47
Zat kimia berbahaya
Kebisingan yang melebihi ambang batas
Radiasi sinar pengion dan non pengion
Air yang tercemar
Udara yang tercemar
Makanan yang terkontaminasi
(obyek kelompok II)
Dimana pengelolaan obyek kelompok I dan obyek kelompok II harus sesuai
dengan ketentuan mengenai standart baku mutu kesehatan lingkungan serta
proses pengolahan limbah berdasar ilmu penegetahuan dan teknologinya.
49
2) segi persyaratan (Sanitary Code).
Sistem penilaian :
Ada 2 sistem penilaian yang dapat dilakukan :
a) Membandingkan antara keadaan riil kenyataan dengan suatu
standart yang berlaku.
b) Membandingkan hasil pengukuran dengan menggunakan alat
ukur dengan standart tertentu.
Cara menilai :
50
a) Menilai dengan cara perkiraan yang dituangkan dalam bentuk nilai
% atau angka (kuantitatif)
b) Menilai dalam bentuk ada / tidaknya masalah yaitu secara
kualitatif menggunakan tanda (-) dan (+).
Hasil penilaian :
Setelah selesai dilakukan pemeriksaan sanitasi dan diperoleh hasil
penilaiannya maka dapat ditabulasikan dan dihitung :
a) Berapa jumlah item yang diperiksa.
b) Berapa jumlah K (-) yang didapat.
c) Berapa jumlah P (+) yang didapat.
Dari semua hasil ini kemudian ditentukan keadaan sanitasi tempat-
tempat umum dan usaha tersebut dengan menggunakan rumus :
atau dengan :
Jumlah K () Jumlah P () 100 %
Nilai rata rata (NR)
2 jumlah item
51
- Mengirimkan catatan saran kemudian beberapa hari setelah
diadakan pemeriksaan.
Dalam saran tersebut memuat hal-hal yang berkaitan dengan :
a) Apakah yang harus diperbaiki (What).
b) Dimana tempatnya (Where).
c) Apakah masalahnya (Why).
d) Kapan sudah harus diselesaikan waktunya (When).
e) Bagaimana cara memperbaikinya (How).
52
yaitu pemeriksaan tindak lanjut secara umum atau semuanya
diperiksa lagi.
- Special Follow-Up Inspection.
yaitu pemeriksaan tindak lanjut, secara khusus terbatas kepada hal-
hal yang telah disarankan untuk diperbaiki, untuk melihat seberapa
jauh perbaikan yang telah dilakukan atas saran yang diberikan.
53
memanfaatkan potensi yang dimiliki obyek kelompok I dan kelompok II
yang ada di lingkungan.
2. Sasaran Konseling :
Sasaran konseling adalah obyek kelompok I / kelompok II yang belum
menerapkan indikator kesehatan lingkungan.
Konseling ditujukan kepada penanggung jawab/pimpinan/sebagai
pelaksana program kesehatan lingkungan.
3. Tempat Konseling :
Konseling kesehatan lingkungan dilakukan di lokasi obyek kelompok I /
kelompok II sasaran.
4. Waktu Pelaksanaan Konseling Kesehatan Lingkungan :
Konseling kesehatan lingkungan dilaksanakan sesuai dengan situasi dan
kondisi setempat.
( cari waktu luang pengelola obyek kelompok II )
5. Persiapan petugas sebelum melakukan konseling :
- Pelajari hasil pemetaan kesehatan lingkungan
- Catat obyek yang belum menerapkan indikator kesehatan lingkungan
- Catat masalah kesehatan lingkungan (indikator kesehatan lingkungan)
yang dihadapi obyek
- Buat jadwal kerja konseling untuk 6 bulan setelah pemetaan
dilaksanakan
- Upayakan konseling jangan dilakukan lebih dari 3 obyek dalam satu
hari
6. Langkah-langkah :
Pelaksanaan Konseling :
Agar pelaksanaan konseling pengawas/petugas kesehatan
lingkungan dapat berhasil dengan baik, maka sanitarian/petugas harus
menerapkan 6 langkah yang disebut SATU TUJU
SA : Beri salam.
T : Tentukan masalah yang akan dibahas.
Jika terdapat lebih dari satu (1) masalah, utamakan pada
masalah yang mudah diselesaikan oleh (penanggung
jawab) obyek lingkungan.
U : Uraikan informasi yang benar dan lengkap tentang
pemecahan masalah yang akan dibahas.
54
TU : Tuntun penanggung jawab satuan obyek untuk memiliki
sendiri beberapa cara mengatasi masalahnya,
berdasarkan potensi yang dimiliki.
J : Jelaskan sekali lagi mengenai perilaku kesehatan
lingkungan yang baik dan benar sehingga penanggung
jawab satuan obyek mengetahui, mau, dan mampu
memperbaiki perilaku kesehatan lingkungan yang belum
benar.
U : Ulangi kunjungan untuk mengetahui hasil konseling,
jika penanggung jawab satuan obyek memerlukan tindak
lanjut, anjurkan untuk berkonsultasi kepada Dinkes.
55
1. Ukuran Dampak Penting
a. ▪ Pengertian Dampak Penting adalah perubahan lingkungan yang
sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha atau
kegiatan.
▪ Dampak penting ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
Jumlah manusia yang akan terkena dampak
Luas wilayah persebaran dampak
Lamanya dampak berlangsung
Intensitas dampak
Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan
terkena dampak
Sifat kumulatif dampak
Berbalik atau tidak berbaliknya dampak
56
Intensitas dampak mengandung pengertian perubahan
lingkungan yang timbul bersifat hebat atau drastis, berlangsung
di areal yang relatif luas, dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Dampak lingkungan tergolong penting bila :
Usaha atau kegiatan akan menyebabkan perubahan pada sifat-
sifat fisik dan atau hayati lingkungan yang melampaui baku mutu
lingkungan.
Banyaknya komponen lingkungan lain yang terkena dampak
Dampak lingkungan berdasarkan pengertian ini tergolong
penting bila :
Usaha atau kegiatan menimbulkan dampak sekunder dan
dampak lanjutan lainnya yang jumlah komponennya lebih atau
sama dengan komponen lingkungan yang terkena dampak
primer.
Sifat kumulatif dampak
Kumulatif mengandung pengertian bersifat bertambah,
bertumpuk, atau bertimbun.
Dampak lingkungan suatu usaha/kegiatan berdasarkan
pengertian ini tergolong penting bila :
1. Dampak lingkungan berlangsung berulang kali dan terus
menerus, sehingga pada kurun waktu tertentu tidak dapat
diasimilasi oleh lingkungan alam atau sosial yang
menerimanya.
2. Beragam dampak lingkungan bertumpuk dalam suatu ruang
tertentu, sehingga tidak dapat diasimilasi oleh lingkungan
alam atau sosial yang menerimanya.
3. Dampak lingkungan dari berbagai sumber kegiatan
menimbulkan efek yang saling memperkuat (sinergetik).
Berbalik atau tidak berbaliknya dampak
Dampak bersifat penting berdasarkan pengertian ini bila :
Perubahan yang akan dialami oleh suatu komponen lingkungan
tidak dapat dipulihkan kembali walaupun dengan intervensi
manusia.
57
1. Berhubungan dengan cemaran
a) Penyebaran bahan pencemar di media lingkungan (air, udara,
tanah, dan makanan).
2. Berhubungan dengan perindukan vektor (binatang perantara penyakit)
a) Perubahan lahan yang menimbulkan genangan air.
b) Perubahan vegetasi yang menumpang atau menghambat
berkembang- biaknya vektor.
c) Telaah data atau informasi studi kesehatan lingkungan, survey
malariometrik dan survey epidemiologi tentang penyakit
bersumber binatang.
3. Berhubungan dengan perilaku masyarakat
a) Kebiasaan pemanfaatan air
b) Kebiasaan penggunaan bahan repelant
c) Kebiasaan penggunaan insektisida
d) Kebiasaan yang berhubungan dengan sanitasi
e) Kebiasaan yang berhubungan dengan pengelolaan makanan
f) Kebiasaan yang berhubungan dengan masalah kesehatan
(berobat, kontak penderita)
58
5. Dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia karena daya
dukung lingkungan sedemikian rupa sehingga berdampak terhadap
kesehatan masyarakat.
59
3. Batas Sosial
Lokasi komunitas masyarakat yang berada di luar batas proyek dan
batas ekologis namun berpotensi terkena dampak kesehatan
(melalui penyerapan tenaga kerja, pembangunan fasilitas umum,
uasha non formal di sekitar proyek).
4. Batas Administrasi
Dikaitkan dengan akses komunitas masyarakat terhadap
pelayanan, sarana, sumber daya kesehatan.
60
lingkungan yang merupakan penyebab timbulnya dampak
penting tersebut.
3) Parameter/komponen lingkungan yang dipantau
Uraian secara jelas parameter/komponen lingkungan yang
dipantau meliputi aspek kimia/fisika, biologi, sosial dan kesehatan
masyarakat.
(Contoh : )
61
b. Lokasi Pemantauan Lingkungan
cantumkan lokasi yang tepat untuk dampak dan disertai peta
berskala yang menunjukkan lokasi pemantauan yang
dimaksud.
c. Jangka Waktu dan Frekuensi Pemantauan
Uraikan jangka waktu atau lama periode pemantauan berikut
dengan frekuensinya per satuan waktu dengan
mempertimbangkan sifat dampak penting yang dipantau
(intensitas, lama dampak berlangsung, sifat kumulatif dampak)
7) Pustaka
Bahan-bahan pustaka yang digunakan dalam penyusunan RPL.
8) Lampiran
Bagian ini lampirkan :
Ringkasan dokumen RPL dalam bentuk tabel dengan urutan
kolom : Dampak penting yang dipantau, Rencana
Pemantauan Lingkungan (meliputi metode pengumpulan
data, lokasi pemantauan lingkungan, jangka waktu dan
frekuensi pemantauan lingkungan, metode analisis) dan
institusi pemantauan lingkungan.
62
menanggulangi dampak penting lingkungan yang bersifat negatif dan
meningkatkan dampak positif yang timbul sebagai akibat dari suatu
rencana usaha atau kegiatan.
1) Lingkup Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
Dalam rencana pengelolaan lingkungan tersebut mencakup 4
(empat) kelompok aktivitas yaitu :
a. Pengelolaan lingkungan
yang bertujuan untuk mencegah / menghindari dampak negatif
lingkungan melalui pemilihan atas alternatif tata letak (tata
ruang mikro) lokasi, dan rancang bangun proyek.
b. Pengelolaan lingkungan
yang bertujuan untuk menanggulangi, meminimisasi, atau
mengendalikan dampak negarif baik yang timbul di saat usaha
atau kegiatan beroperasi, maupun hingga saat usaha atau
kegiatan berakhir (mis. rehabilitasi lokasi proyek).
c. Pengelolaan lingkungan
yang bersifat meningkatkan dampak positif sehingga dampak
tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih besar baik
kepada pemrakarsa maupun pihak lain terutama masyarakat
yang turut menikmati dampak positif tersebut.
d. Pengelolaan lingkungan
yang bersifat memberikan pertimbangan ekonomi lingkungan
sebagai dasar untuk memberikan kompensasi atas sumber
daya tidak dapat pulih, hilang atau rusak (baik dalam anti sosial
ekonomi dan atau ekologis) sebagai akibat usaha atau
kegiatan.
2) Pendekatan Pengelolaan Lingkungan
Untuk menangani dampak penting yang sudah diprediksi
dapat menggunakan salah satu atau beberapa pendekatan
lingkungan secara teknologi, sosial ekonomi, maupun institusi.
a. Pendekatan Teknologi
Pendekatan ini adalah cara-cara atau teknologi yang
digunakan untuk mengelola dampak penting lingkungan,
antara lain :
1. Dalam rangka penanggulangan limbah bahan berbahaya
dan beracun dengan cara
1.1 Membatasi atau mengisolasi limbah.
1.2 Mendaur ulang limbah.
63
1.3 Menetralisir limbah dengan menambahkan zat kimia
tertentu sehingga tidak membahayakan manusia
dan mahluk hidup lainnya.
2. Dalam rangka mencegah, mengurangi, atau memperbaiki
kerusakan sumber daya alam, akan ditempuh cara
2.1 Membangun terasering atau penanaman tanaman
penutup tanah untuk mencegah erosi.
2.2 Mereklamasi lahan bekas galian tambang dengan
pengaturan tanah atas dan penanaman tanaman
penutup tanah.
3. Dalam rangka meningkatkan dampak positif berupa
peningkatan nilai tambah dari dampak positif yang telah
ada misalnya melalui peningkatan dan daya guna dari
dampak positif tersebut.
c. Pendekatan Institusi
Pendekatan ini adalah suatu mekanisme kelembagaan yang
akan ditempuh pemrakarsa dalam rangka menanggulangi
dampak penting lingkungan, antara lain :
1) Kerja sama dengan instansi-instansi yang berkepentingan
dan berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup.
64
2) Pengawasan terhadap hasil unjuk kerja pengelolaan
lingkungan oleh instansi yang berwenang.
3) Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan secara berkala
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
3) Penyusunan Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan
(RKL)
Rencana pengelolaan lingkungan harus diuraikan secara
jelas, singkat dan sistematis :
1. Latar Belakang Pengelolaan Lingkungan
a) Pernyataan tentang latar belakang perlunya dilaksanakan
RKL
b) Uraian tentang tujuan pengelolaan lingkungan
c) Uraian tentang kegunaan dilaksanakannya pengelolaan
lingkungan
d) Uraian wilayah, kelompok masyarakat atau ekosistem
disekitar rencana usaha atau kegiatan yang sensitif
terhadap perubahan akibat adanya kegiatan tersebut
e) Uraian dalam peta yang mencakup informasi
1) Letak geografis rencana usaha / kegiatan
2) Aliran sungai, danau, rawa
3) Jaringan jalan dan pemukiman penduduk
65
pengaruh kegiatan pada dampak penting
turunannya.
b. Sumber dampak
Uraikan secara singkat sumber penyebab timbulnya
dampak penting.
1) Bila dampak penting timbul sebagai akibat
langsung dari rencana usaha atau kegiatan, maka
uraikan jenis kegiatan yang merupakan penyebab
timbulnya dampak penting.
2) Bila dampak penting timbul sebagai akibat
berubahnya komponen lingkungan yang lain, maka
uraikan komponen lingkungan yang merupakan
penyebab timbulnya dampak penting tersebut.
4. Pengelolaan Lingkungan
Uraikan secara rinci upaya-upaya pengelolaan lingkungan
juga dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi, dan
atau sosial ekonomi dan atau institusi.
66
Uraikan rencana lokasi kegiatan pengelolaan lingkungan
dengan memperhatikan sifat persebaran dampak paling
penting yang dikelola (sedapat mungkin lengkapi dengan
peta / sketsa / gambar).
9. Pustaka
10. Lampiran
Lampirkan ringkasan dokumen RKL dalam bentuk tabel
dengan urutan kolom sebagai berikut : Jenis Dampak
Lingkungan, Tujuan Pengelolaan Lingkungan, Rencana
67
Pengelolaan Lingkungan, Lokasi Pengelolaan
Lingkungan, Periode Pengelolaan Lingkungan, dan
Institusi Pengelolaan Lingkungan.
68
Process flow diagram
Decision tree for Establish CCP
HACCP plan madrix
Standard Operation Procedure
HACCP audit form
4. Prinsip HACCP.
Dalam pelaksanaan HACCP perlu diperhatikan 7 (tujuh) prinsip yaitu :
Prinsip 1. Melakukan identifikasi bahaya (fisik, kimia, mikrobiologis) pada
bahan pangan, bahan tambahan pangan yang digunakan
selama proses produksi.
Prinsip 2. Menetapkan CCP pada suatu contoh makanan
Prinsip 3. Menetapkan batas / limit kritis untuk CCP yang telah
diidentifikasi pada suatu contoh makanan
Prinsip 4. Menetapkan langkah pemantauan untuk CCP sesuai batas
limit yang telah ditentukan
Prinsip 5. Menetapkan tindakan koreksi jika ditemukan CCP yang
melebihi batas kritis dari hasil pemantauan
Prinsip 6. Menetapkan langkah - langkah verifikasi dari hasil tindakan
koreksi CCP
Prinsip 7. Melakukan kegiatan dokumentasi HACCP
69
4. Proses pengolahan yang dilakukan
5. CCP yang ditemukan
6. Batas kritis yang ditetapkan
7. Penyimpangan dari batas kritis yang terjadi
8. Tindakan koreksi/perbaikan
9. Identifikasi tenaga operator peralatan khusus
70
Contoh : Formulir Pemeriksaan Sanitasi Tempat-tempat Umum.
FORMULIR PEMERIKSAAN SANITASI TTU
Jenis TTU : ……………………………………………………………………………
Unit/sub unit : ……………………………………………………………………………
Hari/Tanggal : ……………………………………………………………………………
Pemeriksa : ……………………………………………………………………………
Penilaian Bulan : …………………..
Pem. Ke
No Items Ket.
Pem. Ke I Pem. Ke II III
K P K P K P
1 Ventilasi
2 Pencahayaan
3 Lantai
4 Dinding
5 Persediaan Air
6 Tempat Sampah
7 Saluran Air Limbah
8 Pintu dan Jendela Kasa
9 Tempat Peracikan
10 Perlengkapan Peracikan
11 Tempat Pencucian Alat
12 Tempat Penyimpanan Bahan Mentah
13 Tempat Penyimpanan Makanan Masak
14 Pakaian Kerja
15 Cara Kerja
16 Karyawan *)
17 Tempat Cuci Tangan
*) Dilengkapi Buku Pemeriksaan
71
Kesehatan
Jumlah items :
Jumlah % P (-) :
Jumlah % P (-) :
Kesimpulan/catatan : ……………………………………
……………………………………
……………………………………
Pemeriksa
TTD
72
Menilai dalam bentuk ada/tidanya masalah yaitu secara kualitatip,
menggunakan tanda (-) dan (+)
(-) = negatif = tidak ada masalah
(+) = positif = ada masalah
Misal : - piring kotor = kebersihan (K)
- piring retak = persyaratan (P)
- piring bersih tapi retak, maka penilainnya adalah K (-) dan P (+)
73
Maksud dan tujuan penelitian :
Mendeteksi masalah yang ditemukan untuk segera dilakukan tindakan perbaikan.
Mengetahui kemajuan (progress) dan kemunduran (regress) suatu usaha selama
periode waktu tertentu.
Mengetahui apakah hasil usaha yang diperoleh lebih efektif dan efisien.
Hasil Penilaian
Setelah selesai dilakukan pemeriksaan sanitasi dan diperoleh hasil penilaiannya maka
dapat ditabulasikan dan dihitung :
Berapa jumlah items yang diperiksa.
Berapa jumlah K (-) yang didapat.
Berapa jumlah P (-) yang didapat.
Dari semua hasil ini kemudian ditentukan keadaan sanitasi tempat-tempat dan usaha-usaha
untuk umum tersebut dengan menggunakan rumus :
atau dengan :
74
Kapan sudah harus diselesaikan waktunya (When).
Bagaimana cara memperbaikinya (How).
75
Contoh : Formulir/ Kartu Saran
SARAN-SARAN PERBAIKAN
Diterima Oleh :
Pengusaha TTU Pemeriksa
(……………………………) (…………………………..)
76
Contoh : Kartu Perbaikan
KARTU PERBAIKAN
dst.
Stempel
Pemeriksa
(……………………………..)
77
BAB 4
KEBIJAKAN DI BIDANG KESEHATAN LINGKUNGAN
DESKRIPSI SINGKAT
Tujuan Nasional Bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, serta keadilan sosial.
Sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan
investasi berharga, yang pelaksanaannya didasarkan paradigma baru yang dikenal
Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum,
maka pnyelenggaraan pembangunan kesehatan sebagai bagian integral pembangunan
nasional yang berkelanjutan harus didasari peraturan perundangan yang jelas dan
tegas sebagai kebijakan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah
daerah dan masyarakat.
Upaya kesehatan lingkungan yang merupakan bagian tak terpisahkan utamanya dari
upaya kesehatan promotif dan preventif dalam rangka terwujutnya lingkungan sehat
guna mencapai derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya, dilaksanakan sesuai
dengan kebijakan sebagaimana tercantum pada peraturan perundangan yang berlaku.
78
POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN
Pokok Bahasan 1 : Kebijakan pembangunan bidang kesehatan
Sub Pokok Bahasan :
1. Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Panjang Th 2005 s/d 2025
2. Visi, Misi dan Strategi Pembangunan Kesehatan
3. Sistem Kesehatan Nasional
4. Bentuk peraturan perundang-undangan sebagai landasan kebijakan
79
Pokok Bahasan 4 : Keputusan Menteri yang terkait bidang kesehatan lingkungan
Sub pokok Bahasan :
1. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang
Persyaratan Kesehatan Perumahan
2. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi
Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
80
URAIAN MATERI
BAB I
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI BIDANG KESEHATAN
Pendahuluan
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan sesuai cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu ,setiap upaya
untuk meningkatkan derajat kesehatan setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan
prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan dan berkelanjutan yang sangat penting
bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya
saing bangsa, serta pembangunan nasional
Pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah bagaimana cara mengobati apabila
terkena penyakit, tentu akan membutuhkan dana yang lebih besar apabila dibandingkan
dengan upaya pencegahan. Konsekuensinya masyarakat akan selalu memandang
persoalan pembiayaan kesehatan sesuatu yang konsumtif / pemborosan. Selain itu
sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum menganggap kesehatan
sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga dalam pembangunan ,
sehingga alokasi dana kesehatan hingga kini masih tergolong rendah dibandingkan
dengan negara tetangga
Peraturan dan perundangan yang dapat menjadi dasar Kebijakan Bidang Kesehatan
Lingkungan di Tingkat Nasional berupa Undang-undang, Peraturan
Pemerintah,Instruksi Presiden, dan Peraturan Menteri, sedangkan untuk menerapkan
penyelenggaraannya perlu perangkat hukum dari Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota berupa peraturan daerah.
81
2025 denganKeputusan Menteri Kesehatan Nomor 375/Menkes/SK/V/2009.
Tujuan RPJPK tahun 2005-2025 adalah memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi
pemerintah dan masyarakat termasuk swasta dalam mewujudkan tujuan pembangunan
kesehatan sesuai dengan dasar, visi, misi dan arah pembangunan kesehatan yang telah
disepakati.
kepercayaan atas kemampuan dan kekuatan sendiri serta kepribadian bangsa dan
semangat solidaritas sosial serta gotong royong
3. Adil dan merata
Dalam pembangunan kesehatan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, tanpa memandang
suku,golongan,agama, jenis kelamin dan status social ekonominya. Setiap orang
berhak memperoleh pelayanan kesehatan
4. Pengutamaan dan manfaat
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan
umum, bermutu, lebih mengutamakan pendekatan peningkatan kesehatan dan
pencegahan penyakit. Pembangunan kesehatan diselenggarakan berdasarkan
kemitraan yang dinamis sehingga berhasil guna dan dapat member manfaat bagi
peningkatan derajat kesehatan masyarakat beserta lingkungannya, dengan
perhatian khusus pada penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia
lanjut dan masyarakat miskin
82
II. Visi, misi dan Strategi Pembangunan Kesehatan 2005 – 2025
1. Visi Pembangunan Kesehatan
Kesehatan sebagai investasi akan menghasilkan penduduk yang sehat dan produktif
sebagai SDM pembangunan yang berkelanjutan serta memiliki daya saing global
Keadaan kesehatan di masa depan atau Visi yang ingin dicapai dirumuskan
sebagai : ” INDONESIA SEHAT 2025 ”.
84
- Menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita dari 26 % pada tahun
2005 menjadi 9,5 % pada tahun 2025
SKN merupakan suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya bangsa Indonesia ,
guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan
kesejahteraan umum seperti dimaksud dalam pembukaan UUD 1945
85
SKN terdiri dari 6 subsistem, yaitu Upaya Kesehatan, Pembiayaan
Kesehatan,Sumberdaya Manusia Kesehatan, Obat dan Perbekalan Kesehatan,
Pemberdayaan Masyarakat dan Sunsistem Manajemen Kesehatan.
1. Subsistem Upaya Kesehatan
1) UKM strata pertama ; adalah UKM tingkat dasar, yaitu yang mendayagunakan
ilmu pengetahuan dan tenologi kesehatan dasar yang ditujukan kepada
masyarakat
86
3) UKM strata ketiga : UKM tingkat unggulan yang mendayagunakan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan subspesialistik yang ditujukan kepada
masyarakat
Penanggung jawab UKM strata ketiga adalah Dinas Kesehatan Provinsi dan
Departemen Kesehatan.Fungsi utama UKM strata ketiga ini adalah fungsi
manajerial dan teknis
2) UKP Strata kedua : adalah UKP tingkat lanjutan yang mendayagunakan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik yang ditujukan kepada
perorangan.
Penyelenggara UKP strata kedua adalah pemerintah, masyarakat dan swasta
yang diwujudkan dalam praktik dokter spesialis, dokter gigi spesialis, klinik
spesialis, Balai pengobatan penyakit paru-paru (BP4), balai kesehatan mata
(BKMM), balai kesehatan jiwa masyarakat (BKMJ), rumah sakit kelas C dan B
non pendidikan milik pemerintah (termasuk TNI/POLRI dan BUMN)
Disamping memberikan pelayanan langsung juga membantu UKP strata
pertama dalam bentuk pelayanan rujukan medik
3) UKP strata ketiga : adalah UKP tingkat unggulan, yaitu yang mendayagunakan
ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan subspesialistik yang ditujukan
kepada perorangan
Penyelenggara UKP strata ketiga adalah pemerintah, masyarakat dan swasta
87
yang diwujudkan dalam bentuk praktik dokter spesialis konsultan, dokter gigi
spesialis konsultan, klinik spesialis konsultan, rumah sakit kelas B pendidikan,
rumah sakit kelas A milik pemerintah (termasuk TNI/POLRI dan BUMN) serta
rumah sakit khusus dan swasta. Selain memberikan pelayanan langsung juga
membantu sarana UKP strata kedua dalam bentuk pelayanan rujukan medic.
Bab III
Hak dan kewajiban
89
Bab IV
Tanggung jawab pemerintah
1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan,
membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan
terjangkau oleh masyarakat, dan tanggung jawab tersebut dikhususkan pada
pelayanan publik (pasal 14)
2) Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas
kesehatan baik fisik, maupun social bagi masyarakat untuk mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya (pasal 15)
3) Pemerintah bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran aktif
masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan (pasal 18)
Bab V
Sumber daya di bidang kesehatan
Bab VI
Upaya Kesehatan
90
2) Upaya kesehatan diselenggarakan
dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitative yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan
berkesunambungan (pasal 47)
Bab XI
Kesehatan Lingkungan (pasal 162 dan 163)
c. Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada pasal 162 ayat (1) mencakup
lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.
(pasal 163 ayat 2)
d. Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pasal 162 ayat (2) bebas dari unsur-unsur
yang menimbulkan gangguan kesehatan, (pasal 163 ayat3) antara lain :
1) Limbah cair
2) Limbah padat
3) Limbah gas
4) Sampah yang tidak diproses sesuai persyaratan
5) Binatang pembawa penyakit
6) Zat kimia yang berbahaya
7) Kebisingan yang melebihi ambang batas
91
8) Radiasi sinar pengion dan non pengion
9) Air yang tercemar
10) Udara yang tercemar, dan
11) Makanan yang terkontaminasi
e. Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan lingkungan dan proses pengolahan
limbah sebagaimana dimaksud pasal 162 ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah
92
yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap
usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
7) Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang
timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan
hidup.
8) Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
9) Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan
usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk
memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
10) Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
b. Tujuan (pasal 3)
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan :
1) Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup
2) Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia
3) Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidupmdan kelestarian ekosistem
4) Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup
5) Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup,
menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan
6) Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai
bagian dari hak asasi manusia
7) Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana
8) Mewujudkan pembangunan berkelanjutan, dan
9) Mengantisipasi isu lingkungan global
c. Pengendalian
Pasal 13
1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan
dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup
2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup meliputi
:pencegahan, penanggulangan dan pemulihan
3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan
oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha
dan/kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-
masing.
Pasal 14
Instrument pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri
atas :
1) KLHS
2) Tata ruang
3) Baku mutu lingkungan hidup
4) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
93
5) Amdal
6) UKL-UPL
7) Perizinan
8) Instrumen ekonomi lingkungan hidup
9) Peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup
10) Anggaran berbasis lingkungan hidup
11) Analisis resiko lingkungan hidup
12) Audit lingkungan hidup
13) Instrument lain sesuai dengan kebutuhan
e. Amdal
Pasal 22
1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan
hidup wajib memiliki amdal
2) Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:
Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha
dan/kegiatan
Luas wilayah penyebaran dampak
Itensitas berlangsung dan lamanya dampak
Banyaknya komponen lingkungan lain yang akan terkena dampak
Sifat komulatif dampak
Berbalik dan/atau tidak berbaliknya dampak
1) Kriteria lain sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi
3) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud pasal 22 merupakan dasar penetapan
keputusan kelayakan lingkungan hidup
94
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis risiko lingkungan hidup diatur dalam
Peraturan Pemerintah
h. Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun serta limbah bahan berbahaya dan
beracun
1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, menghasilkan, mengankut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan,
membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3
(pasal 58,ayat1)
2) Setiap orang yang menghasilkan limbah B2 wajib melakukan pengelolaan limbah
B3 (pasal 59 ayat 1)
3) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau
Bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya (pasal 59 ayat 4)
4) Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media
lingkungan tanpa izin (pasal 60)
95
1) Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasa 71
berwenang :
- Melakukan pemantauan
- Meminta keterangan
- Membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan
- Memasuki tempat tertentu
- Memotret
- Membuat rekaman audio visual
- Mengambil sampel
- Memeriksa peralatan
- Memeriksa instalasi dan/atau alat transportasidan/atau
- Menghentikan pelanggaran tertentu
2) Dalam melaksanakan tugasnya , pejabat pengawas lingkungan hidup dapat
melakukan koordinasi dengan penyidik pegawai nwgeri sipil
3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi pelaksanaan
tugas pejabat pengawas lingkungan hidup
Pasal 76
1) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota menerapkan sanksi administrative kepada
penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan jika dalam pengawasan
ditemukan pelanggaran terhadap ijin lingkungan
2) Sanksi adminitratif terdiri atas :
a. Teguran tertulis
b. Paksaan pemerintah
c. Pembekuan ijin lingkungan
d. Pencabutan ijin lingkungan
a. Ketentuan Umum
Pasal 1,
Butir (a) :
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik
yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan
baku pangan, dan bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam
proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan minuman
Butir (b) :
Sanitasi pangan adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh
dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan pathogen dalam makanan,
96
minuman, peralatan, dan bangunan yang dapat merusak pangan dan
membahayakan manusia
b. Sanitasi Pangan
Pasal 4
Pemerintah menetapkan persyaratan sanitasi dalam kegiatan atau proses
produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan
Pasal 5
Sarana dan atau prasarana yang digunakan dalam penyelenggaraan kegiatan
atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran pangan
wajib memenuhi persyaratan sanitasi
Pasal 6
Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan atau
proses produksi, penyimpanan, pengangkutandan atau peredaran pangan
wajib:
1) Memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan dan atau keselamatan
manusia.
2) Menyelenggarakan program pemantauan sanitasi secara berkala .
3) Menyelenggarakan pengawasan dan pemantauan persyaratan sanitasi
Pasal 7
Orang perseorangan yang menangani secara langsung dan atau berada
langsung dalam lingkungan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan dan atau peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan
sanitasi
Pasal 8
Setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi,
penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang
tidak memenuhi syarat kesehatan
c. Bahan Tambahan Pangan
Pasal 10
1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang
menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang
dinyatakan dilarang atau melampaui ambang batas maksimal yang
ditetapkan
2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau
dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau
proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
d. Sanksi hukum
Pasal 55 dan 56
97
1) Dengan sengaja : dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau
denda paling banyak Rp. 600.000.000,-
2) Karena kelalaiannya : dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau
denda paling banyak Rp. 120.000.000,-
Pasal 57
a. Ketentuan Umum
Pasal 1
1) Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang
berbentuk padat
2) Sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi,dan/atau
volumenya memerlukan pengelolaan khusus
3) Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruhdan
berkesinambungan yang meluputi pengurangan dan penanganan sampah
4) Kompensasi adalah pemberian imbalan kepada orang yang terkena dampak
negative yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah di tempat
pemrosesan akhir sampah
5) System tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam
rangka pengendalian yang meliputi pencegahan dan penanggulangan
kecelakaan akibat pengelolaan sampah yang tidak benar
6) Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pemerintahan lain yang terkait
98
c. Tugas dan wewenang pemerintah
1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertugas menjamin terselenggaranya
pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan sesuai dengan
tujuan sebagaimana dimaksud undang-undang ini (pasal 5)
99
3) Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industry,
kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas social, dan fasilitas lainnya wajib
menyediakan fasilitas pemilahan sampah (13)
Pasal 19 :
Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah
tangga terdiri atas pengurangan sampah dan penanganan sampah (pasal 19)
Pasal 20
1) Pengurangan sampah sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 meliputi :
- Pembatasan timbulan sampah
- Pendaur ulang sampah
- Pemanfaatan kembali sampah
2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
Pasal 23
1) Pengelolaan sampah spesifik adalah tanggung jawab pemerintah
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan sampah spesifik diatur
sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah
100
g. Larangan (pasal 29)
1) Setiap orang dilarang :
- Memasukkan sampah ke dalam wilayah Negara Kesatuan republik
Indonesia
- Mengimpor sampah
- Mencampur sampah dengan limbah berbahaya dan beracun
- Mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan
- Membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan
disediakan
- Melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di
tempat pemrosesan akhir
- Membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis
pengelolaan sampah
h. Penyelesaian sengketa
Pasal 33
1) Sengketa yang dapat timbul dari pengelolaan sampah terdiri :
2) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui penyelesaian di luar pengadilan ataupun melalui
pengadilan.
3) Penyelesaian dimaksud dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Bab III
PERATURAN PEMERINTAH YANG TERKAIT DENGAN
KESEHATAN LINGKUNGAN
101
6) Kejadian Luar biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan /kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah
yang dapat menjurus pada terjadinya wabah
7) Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan
Pasal 4
1) Pertimbangan epidemiologis didasarkan pada data epidemiologi antara lain
anka kesakitan, angka kematian, dan penanggulangannya
2) Data epidemiologi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat oleh Pejabat
Kesehatan bekerjasama dengan pejabat instansi yang terkait untuk dilaporkan
kepada Menteri
c. Upaya Penanggulangan
Pasal 6
1) Menteri bertanggung jawab atas pelaksanaan upaya penanggulangan wabah
2) Dalam upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Menteri berkoordinasi dengan Menteri lain atau Pimpinan Instansi lain yang
terkait
Pasal 7
Penanggun jawab operasional pelaksanaan penanggulangan wabah pada Daerah
tingkat II adalah Bupati / Walikotamadya Kepala Daerah tingkat II
Pasal 10
Upaya penanggulangan wabah meliputi penyelidikan epidemiologis, pemeriksaan,
pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina,
pencegahan dan pengebalan, pemusnahan penyebab penyakit, penanganan
jenasah akibat wabah, penyuluhan kepada masyarakat dan upaya penanggulangan
lainnya
Pasal 11
1) Tindakan penyelidikan epidemiologis dalam upaya penanggulangan wabah
ditujukan untuk
- Mengetahui sebab-sebab penyakit wabah
102
- Menentukan faktor penyebab timbulnya wabah
- Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam terkena wabah
- Menentukan cara penanggulangan
2) Tindakan penyelidikan epidemiologis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan melalui kegiatan :
- Pengumpulan data kesakitan dan kematian penduduk
- Pemeriksaan klinis, fissik, laboratorium dan penegakan diagnosis
- Pengamatan terhadap penduduk,pemeriksaan terhadap makhluk
hidup laid an benda=benda yang ada disuatu wilayah yang diduga
mengandung penyebab penyakit wabah
Pasal 21
Setiap orang berperanserta dalam pelaksanaan upaya penanggulangan wabah.
Pasal 22
1) Peran serta sebagaimana dimaksud dalam pasal 21, dilakukan dengan :
- Memberikan informasi adanya penderita atau tersangka penderita
penyakit wabah
- Membantu kelancaran pelaksanaan upaya penanggulangan wabah
- Menggerakkan motivasi masyarakat dalam upaya penanggulangan
wabah
- Kegiatan lainnya
2) Peran serta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat berupa bantuan
tenaga, keahlian, dan atau bentuk lain
103
1) Pengelolaan bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25, menjadi
tanggung jawab tenaga kesehatan
2) Pengelolaan bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25, yang
berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan dikelola sesuai dengan ketentuan
yang berlaku
3) Pihak lain yang terkait wajib membantu pelaksanaan pengelolaan bahan
tersebut.
104
6) Rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan
komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari
rencana usaha dan/atau kegiatan;
7) Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan
8) Instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan adalah instansi yang membina
secara teknis usaha dan/atau kegiatan dimaksud;
9) Komisi penilai adalah komisi yang bertugas menilai dokumen analisis mengenai
dampak lingkungan hidup dengan pengertian di tingkat pusat oleh komisi penilai
pusat dan di tingkat daerah oleh komisi penilai daerah;
Pasal 5
(1) Kriteria mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan
terhadap lingkungan hidup antara lain :
a. jumlah manusia yang akan terkena dampak;
b. luas wilayah persebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
Pasal 7
(1) Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi
untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang.
(2) Permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan oleh pemrakarsa kepada pejabat yang berwenang menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan wajib melampirkan keputusan kelayakan
lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2) yang diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab.
b. Komisi penilai
Pasal 8
(1) Komisi penilai dibentuk :
a. di tingkat pusat : oleh Menteri;
b. di tingkat daerah : oleh Gubernur;
(2) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. di tingkat pusat berkedudukan di instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan;
b. di tingkat daerah berkedudukan di instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan Daerah Tingkat I.
105
(3) Komisi penilai menilai kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
(4) Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibantu oleh tim teknis yang bertugas memberikan pertimbangan teknis atas kerangka
acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup.
(5) Dalam menjalankan tugasnya, komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dibantu oleh tim teknis dari masing-masing sektor.
(6) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyerahkan hasil penilaiannya
kepada instansi yang bertanggung jawab untuk dijadikan dasar keputusan atas
kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan
hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
(7) Ketentuan mengenai tata kerja komisi penilai dimaksud, baik pusat maupun daerah,
ditetapkan oleh Menteri, setelah mendengar dan memperhatikan saran/pendapat
Menteri Dalam Negeri dan Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang terkait.
Pasal 10
(1) Komisi penilai daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b terdiri atas
unsur-unsur : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I, instansi yang
ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, instansi yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan Daerah Tingkat I, instansi yang ditugasi bidang penanaman modal
daerah, instansi yang ditugasi bidang pertanahan di daerah, instansi yang ditugasi
bidang pertahanan keamanan daerah, instansi yang ditugasi bidang kesehatan Daerah
Tingkat I, wakil instansi pusat dan/atau daerah yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan, wakil instansi terkait di Propinsi Daerah Tingkat I, wakil
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan, pusat studi lingkungan
hidup perguruan tinggi daerah yang bersangkutan, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli
di bidang yang berkaitan, organisasi lingkungan hidup di daerah, organisasi lingkungan
hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji, wakil masyarakat
yang terkena dampak, serta anggota lain yang dipandang perlu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota komisi penilai pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur.
Pasal 12
(1) Tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) terdiri atas para ahli dari
instansi teknis yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dan
106
instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, serta ahli lain dengan bidang
ilmu yang terkait.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota tim teknis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri untuk komisi penilai pusat, dan oleh Gubernur
untuk komisi penilai daerah tingkat I.
c. Pembinaan
Pasal 28
(1) Instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan melakukan pembinaan teknis
pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang menjadi bagian dari
izin.
Pasal 29
(1) Lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang analisis mengenai dampak lingkungan
hidup diselenggarakan dengan koordinasi dari instansi yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan dengan memperhatikan sistem akreditasi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
d. Pengawasan
Pasal 32
(1) Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan melakukan :
a. pengawasan dan pengevaluasian penerapan peraturan perundang-undangan di bidang
analisis mengenai dampak lingkungan hidup;
b. pengujian laporan yang disampaikan oleh pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
c. penyampaian laporan pengawasan dan evaluasi hasilnya kepada Menteri secara
berkala, sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun, dengan tembusan
kepada instansi yang berwenang menerbitkan izin dan Gubernur.
107
PP nomor 25 tahun 2000 ini pada dasarnya merupakan upaya untuk membatasi
kewenangan pemerintah pusat dan propinsi sebagai daerah otonom, karena
Pemerintah dan Propinsi hanya diperkenankan menyelenggarakan kegiatan otonomi
sebatas yang ditetapkan dalam Peraturan pemerintah ini.
108
- Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif) tertentu
untuk makanan, dan penetapan pedoman pengawasan peredaran makanan
- Penetapan kebijakan system jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
- Surveilans epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan
penanggulangan wabah, penyakit menular dan kejadian luar biasa
- Penyediaan obat esensial tertentu dan obat untuk pelayanan kesehatan
dasar sangat esensial (buffer stock nasional)
c. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (pasal 3)
1) Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam
bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten / Kota serta kewenangan
dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
2) Kewenangan bidang tertentu dimaksud meliputi : perencanaan dan
pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang tertentu,
alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah
Propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup,
promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular dan
hamatanaman, dan perencanaan tata ruang propinsi
3) Kewenangan Kabupaten/Kota di bidang tertentu dan bagian tertentu dari
kewenangan wajib dapat dilaksanakan oleh Propinsi dengan kesepakatan antar
kabupaten/Kota dan propinsi
4) Kewenangan propinsi sebagaimana dimaksud, dikelompokkan dalam bidang,
untuk bidang kesehatan sebagai berikut :
- Penetapan pedoman penyuluhan dan kampanye kesehatan
- Pengelolaan dan pemberian izin sarana dan prasarana kesehatan khusus
seperti rumah sakit jiwa, rumah sakit kusta, dan rumah sakit kanker
- Sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi
- Survailans epidemiologi serta penanggulangan wabah penyakit dan
kejadian luar biasa
- Penempatan tenaga kesehatan strategis, pemindahan tenaga kesehatan
tertentu antar kabupaten/kota serta penyelenggaraan pendidikan tenaga
dan pelatihan kesehatan
109
KEPUTUSAN PRESIDEN YANG TERKAIT DENGAN KESEHATAN LINGKUNGAN
110
d. Apabila terjadi perbedaan penafsiran antara naskah terjemahan Protocol dalam
bahasa Indonesia, dengan salinan naskah aslinya, maka yang berlaku adalah
salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris (pasal 2)
111
(UNEP), disahkan dengan suatu pernyatan (Declaration) yang salinan naskah
aslinya dalam bahas Inggris terlampir pada Keputusan Presiden (pasal 1)
112
- Penanggung jawab kesehatan lingkungan di rumah sakit kelas A dan B (rumah
sakit pemerintah) dan yang setingkat adalah seorang tenaga yang memiliki
kualifikasi sanitarian serendah-rendahnya berijasah sarjana (S1) di bidang
kesehatan lingkungan, teknik lingkungan, biologi, teknik kimia dan teknik sipil.
- Penanggung jawab kesehatan lingkungan di rumah sakit kelas C dan D
(Rumah Sakit Pemerintah) dan yang setingkat adalah seorang tenaga yang
memiliki kualifikasi sanitarian serendah-rendahnya berijazah diploma (D3) di
bidang kesehatan lingkungan
- Rumah sakit pemerintah maupun swasta yang sebagian kegiatan kesehatan
lingkungan dilaksanakan oleh pihak ke tiga , maka tenaganya harus
berpendidikan sanitarian yang telah mengikuti pelatihan kesehatan lingkungan
rumah sakit yang diselenggarakan oleh pemerintah atau badan lain sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku
- Tenaga sebagaimana dimaksud a) dan b) , diusahakan mengikuti pelatihan
khusus di bidang kesehatan lingkungan rumah sakit yang diselenggarakan oleh
pemerintah atau badan lain sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku
b. Tujuan :
Pedoman teknis ini disusun dengan tujuan untuk :
1) Memahami dan melakukan ADKL sebagai kajian aspek kesehatan masyarakat
terhadap rencana kegiatan pembangunan , upaya pemantauan, dan
pengelolaan lingkungan hidup
2) Memahami keterkaitan antara jenis usaha atau kegiatan , perubahan parameter
lingkungan, manusia yang terpajan dan bentuk dampak kesehatan masyarakat
serta sumber daya kesehatan
3) Membantu mempermudah proses pengkajian aspek kesehatan masyarakat
dalam studi AMDAL
4) Membantu menyajikan hasil kajian dengan informasi yang relevan
c. Ruang Lingkup
Telaah ADKL sebagai pendekatan kajian aspek kesehatan masyarakat meliputi :
1. Parameter lingkungan yang diperkirakan terkena dampak rencana
pembangunan dan berpengaruh terhadap kesehatan
2. Proses dan potensi terjadi pemajanan
3. Potensi besarnya resiko penyakit (angka kesakitan dan kematian)
113
4. Karakteristik penduduk yang beresiko
5. Sumber daya kesehatan .
d. Langkah-Langkah ADKL
1. Dalam konteks rencana usaha atau kegiatan :
Penapisan
Pelingkupan
Penyajian rona lingkungan awal
Analisis resiko
Rencana pengelolaan resiko
Implementasi dan pengambilan keputusan
Rencana pemantauan
Rencana pengelolaan
2. Dalam konteks pemantauan atau pengelolaan kegiatan
Penyehatan
Pengamanan
Pengendalian
Investigasi
e. Penerapan ADKL
1. Pada Rencana Usaha atau Kegiatan yang wajib AMDAL :
2. Rencana usaha atau kegiatan tidak wajib AMDAL, meliputi dokumen :
3. Pelaksanaan program-program kesehatan seperti Program Penyehatan
Lingkungan Permukiman, Program Penyediaan Air Bersih, Program
Pemberantasan Penyakit Menular, dan program lain yang terkait
Dengan ditetapkannya Pedoman Teknis Analisis Dampak Kesehatan lingkungan ini,
maka pejabat di lingkungan Departemen Kesehatan dan berbagai pihak yang
berkepentingan dalam menilai dokumen AMDAL memperoleh panduan yang lebih
terarah
b. Penggolongan
Pasal 2
1) Berdasarkan luas jangkauan pelayanan dan kemungkinan besarnya resiko yang
dilayani , jasaboga dikelompokkan dalam golongan A, golongan B, dan C
114
2) Jasaboga golongan A, yaitu jasaboga yang melayani kebutuhan masyarakat
umum, yang terdiri atas golongan A1, A2, dan A3
3) Jasaboga golongan B, yaitu melayani kebutuhan khusus untuk asrama
penampungan jamaah haji, asrama transito dan asrama lainnya, perusahaan,
pengeboran lepas pantai, angkutan umum dalam negeri, dan sarana pelayanan
kesehatan
4) Jasaboga golongan C, yaitu jasaboga yang melayani kebutuhan alat angkutan
umum internasional dan pesawat udara
Pasal 4
1) Setiap usaha jasaboga harus mempekerjakan seorang penanggung jawab yang
mempunyai pengetahuan hygiene sanitasi makanan dan memiliki sertifikat
hygiene sanitasi makanan
2) Sertifikat hygiene sanitasi makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperoleh dari institusi penyelenggara kursus sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku
Pasal 5
1) Tenaga penjamah makanan yang bekerja pada usaha jasaboga harus berbadan
sehat dan tidak menderita penyakit menular
2) Penjamah makan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan
pemeriksaan kesehatannya secara berkala minimal 2(dua) kali dalam satu
tahun
3) Penjamah makanan wajib memiliki sertifikat kursus penjamah makanan
4) Sertifikat kursus penjamah makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diperoleh dari institusi penyelenggara kursus sesuai dengan peraturan
perundang undangan yang berlaku
Pasal 6
Pasal 7
115
diproduksinya wajib melaporkan kepada Dinas Kesehatan kabupaten/Kota setempat
guna dilakukan langkah-langkah penanggulangan
Pasal 8
Lokasi dan bangunan jasaboga harus sesuai dengan ketentuan persyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam keputusan ini
Pasal 9
1) Pengelolaan makanan yang dilakukan oleh jasaboga harus memenuhi
persyaratan teknis pengolahan, penyimpanan dan pengangkutan.
2) Setiap pengolahan makanan yang dilakukan oleh jasaboga harus memenuhi
persyaratan teknis pengolahan makanan
3) Peralatan yang digunakan untuk pengolahan dan penyajian makanan harus
tidak menimbulkan gangguan terhadap kesehatan secara langsung dan tidak
langsung
4) Penyimpanan bahan makanan dan makanan jadi harus memenuhi persyaratan
hygiene sanitasi penyimpanan makanan
5) Pengangkutan makanan harus memenuhi persyaratan teknis hygiene sanitasi
penyimpanan makanan
Pasal 11
1) Pengawasan pelaksanaan keputusan ini dilakukan oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota
2) Kepala kantor Kesehatan Pelabuhan secara fungsional melaksanakan
pengawasan jasaboga yang berlokasi di dalam wilayah pelabuhan.
Pasal 12
1) Dalam hal kejadian luar biasa (wabah) dan atau kejadiankeracunan makanan
Pemerintah mengambil langkah-langkah penaggulangan seperlunya
f. Sangsi
Pasal 13
1) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/kota dapat mengambil tindakan
administrasi terhadap jasaboga yang melakukan pelanggaran atas keputusan
ini
2) Sangsi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
116
teguran lisan, teguran tertulis, sampai dengan pencabutan sertifikat hygiene
sanitasi jasaboga
b. Penyelenggaraan
Pasal 2
1) Setiap rumah makan dan restoran harus memiliki izin usaha dari Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
2) Untuk memiliki ijin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) rumah makan
dan restoran harus memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi rumah makan dan
restoran yang dikeluarkan oleh Dinas kesehatan Kabupaten/kota
Pasal 3
Setiap usaha rumah makan dan restoran harus mempekerjakan seorang
penanggung jawab yang mempunyai pengetahuan hygiene sanitasi makanan dan
memiliki sertifikat hygiene sanitasi makanan.
Pasal 4
1) Tenaga penjamah makanan yang bekerja pada usaha rumah makan dan
restoran harus berbadan sehat dan tidak menderita penyakit menular
2) Penjamah makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan
pemeriksaan kesehatannya secara berkala minimal 2 kali 1 tahun
3) Penjamah makanan wajib memiliki sertifikat kursus penjamah makanan
Pasal 7
1) Dinas Kesehatan Kabupaten/kota melakukan pengujian mutu makanan dan
specimen terhadap rumah makan dan restoran
2) Pengujian mutu makanan serta specimen dari rumah makan dan restoran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikerjakan oleh tenaga sanitarian
3) Hasil pengujian mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan dasar
penetapan tingkat mutu hygiene sanitasi rumah makan dan restoran
Pasal 8
Pemeriksaan contoh makanan dan specimen dari rumah makan dan restoran
dilakukan di laboratorium
d. Sangsi
Pasal 13
1) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan
administrasi terhadap rumah makan dan restoran yang melakukan pelanggaran
117
terhadap keputusan ini
2) Sangsi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran
lisan, teguran tertulis, sampai dengan pencabutan sertifikat laik hygiene sanitasi
rumah makan dan restoran
Dalam rangka memperkuat upaya pembudayaan hidup bersih dan sehat, mencegah
penyebaran penyakit berbasis lingkungan, meningkatkan kemampuan masyarakat ,
serta mengimplementasikan komitmen Pemerintah untuk meningkatkan akses air
minum, dan sanitasi dasar yang berkesinambungan dalam pencapaian Millenium
development Goals (MDGs) tahun 2015, telah disusun strategi Nasional Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan No
852/Menkes/SK/IX/2008.
Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat tersebut menjadi acuan bagi
petugas kesehatan dan instansi yang terkait dalam penyusunan perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi terkait sanitasi total berbasis masyarakat.
118
untuk mencuci, mandi, dan kebutuhan higienis lainnya
2) Buruknya kondisi sanitasi merupakan salah satu penyebab kematian anak
dibawah 3 tahun yaitu sebesar 19 % atau sekitar 100.000 anak meninggal
karena diare setiap tahunnya dan kerugian ekonomi diperkirakan sebesar 2,3 %
dari Produk Domestik Bruto (studi World Bank , 2007)
3) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 , penanganan masalah
sanitasi merupakan kewenangan daerah, tetapi sampai saat ini belum
memperlihatkan perkembangan yang memadai. Oleh sebab itu , pemerintah
daerah perlu memperlihatkan dukungannya melalui kebijakan dan
penganggarannya.
c. Strategi Nasional
1) Penciptaan Lingkungan Yang Kondusif
Prinsip :
Meningkatkan dukungan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya
secara berjenjang
Pokok kegiatan :
- melakukan advokasi dan sosialisasi kepada pemerintah dan pemangku
kepentingan lainnya secara berjenjang
- mengembangkan kapasitas lembaga pelaksana di daerah
- meningkatkan kemitraan antara pemerintah , pemerintah daerah,
organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan swasta
2) Peningkatan Kebutuhan
Prinsip :
Meningkatkan perilaku komunitas yang higienis dan saniter untuk
mendukung sanitasi total
Pokok Kegiatan :
- Meningkatkan peran seluruh pemangku kepentingan dalam
perencanaan dan pelaksanaan sosialisasi kebutuhan
- Mengembangkan kesadaran masyarakat tentang konsekuensi dari
kebiasaan buruk sanitasi (BAB) dan dilanjutkan dengan pemicuan
perubahan perilaku komunitas
- Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memilih teknologi ,
material, dan biaya sarana sanitasi yang sehat
- Mengembangkan kepemimpinan di masyarakat (natural leader) untuk
memfasilitasi pemicuan perubahan perilaku masyarakat
- Mengembangkan system penghargaan kepada masyarakat untuk
meningkatkan dan menjaga keberlanjutan sanitasi total
3) Peningkatan Penyediaan
Prinsip
Meningkatkan ketersediaan sarana sanitasi yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat
Pokok Kegiatan
- Meningkatkan kapasitas produksi swasta lokal dalam penyediaan
sarana sanitasi
- Mengembangkan kemitraan dengan kelompok masyarakat, koperasi,
lembaga keuangan dan pengusaha local dalam penyediaan sarana
sanitasi
- Meningkatkan kerjasama dengan lembaga penelitian perguruan tinggi
untuk pengembangan rancangan sarana sanitasi tepat guna
119
-
4) Pengelolaan Pengetahuan (knowledge management)
Prinsip
Melestarikan pengetahuan dan pembelajaran dalam sanitasi total
Pokok Kegiatan
- Mengembangkan dan mengelola pusat data dan informasi
- Meningkatkan kemitraan antar program-program pemerintah, non
pemerintah, dan swasta dalam peningkatan pengetahuan dan
pembelajaran sanitasi di Indonesia
- Mengupayakan masuknya pendekatan sanitasi total dan kurikulum
pendidikan
5) Pembiayaan
Prinsip
Meniadakan subsidi untuk penyediaan failitas sanitasi dasar.
Pokok Kegiatan :
- Menggali potensi masyarakat untuk membangun sarana sanitasi sendiri
- Mengembangkan solidaritas sosial (gotong royong)
- Menyediakan subsidi diperbolehkan untuk fasilitas sanitasi komunal
6) Pemantauan dan evaluasi
Prinsip :
Melibatkan masyarakat dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi.
Pokok Kegiatan :
- Memantau kegiatan dalam lingkup komunitas oleh masyarakat
- Pemerintah Daerah mengembangkan system pemantauan dan
pengelolaan data
- Mengoptimumkanpemanfaatan hasil pemantauan dan kegiatan-
kegiatan lain yang sejenis
- Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan system
pemantauan berjenjang
120
7. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 80/Menkes/Per/II/1990 tentang persyaratan
Kesehatan Hotel
a. Ketentuan Umum (pasal 1)
1) Persyaratan kesehatan (persyaratan hygiene) adalah ketentuan-ketentuan yang
bersifat teknis kesehatan yang harus dipenuhi untuk melindungi, memelihara,
dan mempertinggi derajat kesehatan masyarakat
2) Hotel adalah jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh
bangunan untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan, yang dikelola
secara komersial yang meliputi hotel berbintang dan melati
3) Penyehatan hotel adalah segala upaya untuk meningkatkan dan memelihara
kesehatan hotel serta lingkungannya dan pengaruhnya terhadap manusia
4) Pengawasan adalah kegiatan yang meliputi pemeriksaan dan penyuluhan
kesehatan hoteltermasuk pemeriksaan specimen di laboratorium.
5) Laik sehat (laik hygiene) hotel adalah kondisi hotel yang memenuhi persyaratan
kesehatan
121
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
122
Pasal 5 :
1) Setiap pemohon IMB wajib membuat perencanaan dan pembuatan sumur
resapan
2) Perencanaan dan pembuatan sumur resapan dituangkan dalam KRK dan
RTLB yang merupakan kelengkapan permohonan IMB
Pasal 6 :
2. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 103 Tahun
2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun
a. Ketentuan Umum
1) Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah yang selanjutnya disingkat
BPLHD adalah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi
daerah Khusus Ibukota Jakarta
2) Instansi Pembina adalah instansi yang memiliki kewenangan dalam
memberikan izin teknis operasional dari suatu Badan Usaha serta secara
langsung menangani pembinaan dalam pengelolaan lingkungan
3) Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, yang selanjutnya disingkat Limbah
B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan
berbahaya dan/atau beracun karena sifat dan/atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan
lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain
4) Pengelolaan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi,
123
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan
124
d. Koordinasi
Pasal 9 :
1) Pelaksanaan pembinaan pengawasan pengelolaan limbah B3 dilakukan oleh
masing-masing instansi pembina yang dikoordinasi oleh BPLHD
2) Untuk kelancaran pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibentuk Tim koordinasi yang ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur
3) Tim koordinasi melaksanakan pertemuan berkala minimal satu kali dalam 2
bulan
4) Tim Koordinasi menyusun Standard operation Prosedure (SOP) pembinaan
dan pengawasan pengelolaan limbah B3
Pasal 10 :
Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9, disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing
Instansi Pembina sebagai berikut :
1) Dinas Kebersihan bertanggung jawab dalam pemisahan limbah B3 dengan
sampah domestic/rumah tangga serta pengelolaannya
2) Dinas Kesehatan bertanggung jawab dalam pembinaan dan pengawasan
limbah B3 di sektor kesehatan
3) Dinas Pertambangan bertanggung jawab dalam pembinaan dan
pengawasan limbah B3 di sektor pertambangan
4) Dinas Pertanian dan Kehutanan bertanggung jawab dalam pembinaan dan
pengawasan limbah B3 di Sektor pertanian dan kehutanan
5) Dinas Perindustrian dan Perdagangan bertanggung jawab dalam pembinaan
dan pengawasan limbah B3 di Sektor peridustrian dan perdagangan
6) Dinas Pekerjaan Umum mempunyai wewenang untuk menutup saluran
outlet dari kegiatan/usaha yang menghasilkan limbah B3 tanpa diolah lebih
dahulu
7) Dinas Perhubungan bertanggung jawab dalam pengawasan lalu lintas
pengangkutan limbah B3.
125
- Pencabutan izin
3. Keputusan Gubernur Jawa Timur No:45 Tahun 2002 tentang Baku Mutu Limbah
cair Bagi Industri Atau Kegiatan Usaha Lainnya Di Jawa Timur
Baku Mutu yang ditetapkan melalui Keputusan Gubernur ini meliputi Baku Mutu Limbah
Cair bagi Industri atau Kegiatan Usaha Lain yang terdiri dari :
1) Pulp dan kertas
2) Kertas
3) Ethanol
4) Mono sodium Glutamat (MSG) dan Lysine
5) Gula
6) Electroplating
7) Penyamakan Kulit
8) Caustic Soda
9) Karet
10) Tekstil
11) Pupuk Urea,pupuk Nitrogen, pupuk ZA dan Amoniak
12) Pupuk fosfat, Pupuk Majemuk,NPk dan Asam Fosfat
13) Accumulator (Baterai Basah)
14) Baterai kering
15) Cat
16) Pestisida
17) Kayu Lapis
18) Asam Citratpeternakan sapi perah dan babi
19) Rumah potong hewan
20) Minyak kelapa sawit
21) Minyak nabati, sabun / detergen
22) Pengalengan/Pengolahan ikan
23) Cold storage
24) Bir
25) Susu
26) Minuman ringan
27) Pengupasan biji kopi/coklat
28) Kembang gula
29) Mie dan krupuk
30) Tahun dan Kecap/Tempe
31) Pengolaha buah dan sayur
32) Tapioca
33) Farmasi
34) Pengilangan minyak bumi
35) Insulin Mono phospat (IMP)
36) Pengolahan daging
37) Karton box
38) Sobitol
39) Penyulingan pelumas bekas
40) Keramik
41) Bleacing earth (tanah pemutih)Peleburan tembaga
42) Waterglass (sodium silikat)
43) Galvanis, perabotan enamel, logam dengan pembersihan karat (picling)
44) Tepung ikan
45) Agar-agar
46) Pencucian kendaraan bermotor
47) Korek api
48) Industri saos
49) Tepung silica
126
Dalam memberikan ijin pembuangan limbah cair ditetapkan kadar maksimum bagi setiap
parameter dan volume limbah cair yang tidak boleh dilampaui.
VII. REFERENSI
BAPEDAL Indonesia, Himpunan Peraturan Tentang Pengendalian dampak Lingkungan
Hidup, Jakarta 1994
BAPEDAL Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta 1998
Depkes RI, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002
Depkes RI, Sistem Kesehatan Nasional Tahun 2004, Jakarta 2004
Depkes RI, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang
Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
Depkes RI, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2005-2025 ,
Jakata 2009
Depkes RI, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan, Jakarta, 2009
Dekkes RI, DIRJEN Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kumpulan
modul kursus hygiene sanitasi makanan dan minuman, Jakarta, 2006.
Hadi Setia Tunggal, Himpunan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, penerbit Harvarindo, 2006
HAKLI Pusat, Himpunan Peraturan Perundangan-Undangan Kesehatan Lingkungan,
Jakarta,2000
Himpunan Peraturan Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 1997-2004, CV Tamita
Utama, Jakarta 2004
Himpunan Peraturan Tentang Pengendalian Pencemaran Air Di Propinsi Dati I Jawa
Timur, Surabaya 1995
FM Fokus Media, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, Bandung,2009
Citra Umbara, Undang-Undang RR Nomor 36 Tahub 2009 tentang Kesehatan &
Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit , Bandung,
2010
Lampiran
127
Peraturan Perundangan Yang Terkait Kesehatan Lingkungan
128
2. Keputusan Presiden RI Nomor 92 tahun 1998 tentang pengesahan Montreal
Protocol tentang Zat-zat yang Merusak Lapisan Ozon, Copenhagen 1992
3. Keputusan Presiden RI Nomor 52 tahun 1993 tentang Pengesahan Protocol Of
1992 To Amend The International Convention On Civil Liability For Oil Pollution
Damage, 1969 (Protokol 1999 tentang Perubahan Terhadap Konvensi Internasional
tentang Tanggung Jawab Perdata Untuk Kerusakan Akibat Pencemaran Minyak)
4. Keputusan presiden RI Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan Protocol 9
Dangerous Goods (Protokol 9 Barang-Barang Berbahaya).
5. Peraturan Presiden RI Nomor 46 Tahun 2005 tentang Pengesahan Montreal
Amendment to The Montreal Protocol on substances that Deplete The Ozon Layer
(Amandemen Montreal atas Protokol Montreal tentang Bahan-bahan yang merusak
Ozon)
6. Peraturan Presiden RI Nomor 47 Tahun 2005 tentang Pengesahan Montreal
Amendment to The Basel Convention on The Control of Transboundary movements
of Hazardous waste and Their Disposal (Amandemen atas konvensi baselTentang
Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya)
8. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor 111 Tahun 2003 tentang Pedoman
Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan serta Pedoman Kajian Pembuangan Air
Limbah ke Air Sumber Air
9. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu
Air Limbah Domestik
10. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor 113 Tahun 2003 tentang Baku Mutu
Air Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Batu Bara
11. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penentuan Status Air
129
12. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 520/MPP/KEP/8/2003
tentang Larangan Limbah Berbahaya dan Beracun (B3)
13. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 715 Tahun 2003 tentang Persyaratan
Hygiene Sanitasi Jasaboga
14. Keputusan Menteri Kesehatan 1098 Tahun 2003 tentang Persyaratan Hygiene
sanitasi Rumah Makan & Restoran
15. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 942 tahun 2003 tentang Pedoman
Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan
16. Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
17. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 131/MENKES/SK/II/2004 tentang Sistem
Kesehatan Nasional
18. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi
Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
19. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 375/MENKES/SK/V/2009 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun 2005-2025
20. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 329/Menkes/Per/X/1976 tentang Produksi dan
Peredaran Makanan
21. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 330/Menkes/Per/X/1976 tentang wajib Daftar
Makanan
22. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IV/1988 tentang Bahan
Tambahan Makanan
23. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 826/Menkes/Per/XII/1987 tentang Makanan
Iradiasi
24. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 79/Menkes/Per/III/1978 tentang Label dan
Periklanan
25. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 180/Menkes/Per/V/1985 tentang Makanan
Kadaluwarso
26. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1203 A/Menkes/SK/X/1999 tentang
Pembentukan Forum Komunikasi Nasional penanggulangan Masalah Merokok
27. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 459/Menkes/Ins/VI/1999 tentang Kawasan
Bebas Rokok pada Sarana Kesehatan
28. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Syarat-
Syarat dan Pengawasan Kualitas Air
29. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 80/Menkes/Per/II/1990 tentang Persyaratan
Kesehatan Hotel
130
4. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor103 Tahun
2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun
5. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa timur Nomor 135 Tahun 1994
tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Propinsi Dati I Jawa Timur no 8
tahun 1989 tentang Pengendalian Pencemaran Air di Propinsi Dati I Jawa Timur
6. Instruksi Gubernur Kepala Daerah tingkat I Jawa Timur Nomor 22 Tahun 1994
tentang Peningkatan Pemantauan Terhadap Industri-Industri Potensi Pencemar
Dalam Rangka Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup
7. Keputusan Gubernur Jawa Timur No : 45 tahun 2002 tentang Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Industri Atau Kegiatan Usaha lainnya di Jawa Timur
8. Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Cara Standar Uji
Udara Emisi Sumber Tidak Bergerak Di Jawa Timur
9. Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 670/2000 Tahun 2000 tentang
Penetapan Baku Mutu Emisi Sumber tidak Bergerak di propinsi DKI Jakarta
131
BAB 5
SANITARIAN DAN PERKEMBANGAN KESEHATAN LINGKUNGAN
DESKRIPSI SINGKAT
Sanitarian
Menurut Sanitarian’s handbook, sanitarian adalah seorang profesional atau technical
practitioner dari hygiene masyarakat yang aktivitasnya terkonsentrasi pada aspek-aspek
hygiene lingkungan. Dalam pengertian ini sanitarian bisa tenaga paramedis maupun
medis yang telah mendapat tambahan keahlian sebagai sanitarian.
Sesuai dengan SK Menpan Nomor 19/KEP/M.PAN/ 11/2000, Sanitarian adalah
Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara
penuh oleh pejabata yang berwenang untuk melakukan kegiatan pengamatan,
pengawasan, dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka perbaikan kualitas
kesehatan lingkungan untuk dapat memelihara, melindungi dan meningkatkan cara-cara
hidup bersih dan sehat.
Perkembangan Kesehatan Lingkungan
Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan terjadinya perubahan pada
kehidupan manusia sehingga terjadi perubahan pula hubungan manusia dengan
lingkungannya. Pengaruh perubahan tersebut mengakibatkan konsep kesehatan
lingkungan juga semakin berkembang.
Masalah kesehatan telah mengalami perubahan-perubahan yakni terjadinya
perubahan pola kesakitan dan kematian sebagai dampak dari terjadinya perubahan
kondisi lingkungan hidup kita. Perubahna-perubahan tersebut menyebabkan perubahan
pola kesakitan dan kematian, antara lain dengan meningkatnya penyakit-penyakit tidak
menular dan penyakit-penyakit lain yang diakibatkan oleh faktor lingkungan.
Permasalahan kesehatan lingkungan semakin komplek, namun di samping itu
permasalahan yang tradisional juga belum terselasaikan, sehingga yang dihadapi saat
ini bukan hanya tradisional risk tapi juga modern risk.
URAIAN MATERI
Sanitasi
133
Sanitasi ialah pencegahan penyakit dengan menghilangkan atau
mengendalikan faktor-faktor lingkungan yang membentuk mata dalam rantai
penularan penyakit (WHO, 1952)
Sanitasi
Pengendalian semua faktor lingkungan dalam lingkungan fisik manusia yang
dapat menimbulkan dampak buruk terhadap perkembangan fisik, kesehatan
dan daya hidup manusia.(WHO)
Sanitasi
Adalah usaha pemutusan mata rantai untuk pencegahan :
1. Penularan penyakit
2. Pencemaran
3. Kecelakaan
(Hadi Susanto, dkk)
Bidang-bidang Kesehatan Masyarakat - Kesehatan Lingkungan meliputi antara lain:
1. Penyediaan Air
2. Limbah
Pembuangan kotoran manusia tanpa air
Saluran air limbah
Pengumpulan dan pembuangan sampah padat
3. Pengendalian serangga ( nyamuk, lalat, lainnya)
4. Pengendalian rodent (tikus)
5. Sanitasi Makanan (Susu, Daging, Makanan lainnya
6. Pengolahan makanan dan usaha penanganan makanan
7. Perpipaan
8. Pencegahan pencemaran udara
9. Pemanasan, pengudaraan dan air conditioning
10. Pencahayaan
11. Perumahan
12. Sanitasi gedung dan tempat-tempat bagi umum
13. Kesehatan kerja
14. Sanitasi kolam renang dan tempat berenang
15. Pengendalian gangguan
16. Perlindungan radiasi
17. Pencegahan kecelakaan
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial
yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif dan ekonomis. (Undang-
Undang Nomor: 36 tahun 2009, Tentang Kesehatanan.)
Kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara
manusia dan lingkungannya agar dapat terjamin keadaan sehat dari manusia
(WHO).
Kesehatan lingkungan adalah ilmu yang mempelajari tentang komponen lingkungan
akibat adanya perubahan-perubahan yang terjadi dengan kelompok individu atau
masyarakat luas serta memperhatikan akibat yang ditimbulkan hubungan interaktif
tersebut dan mencari alternatif upaya pencegahannya (Umar Fahmi Achmadi, 1991)
Kesehatan lingkungan adalah kondisi lingkungan yang mampu menopang
keseimbangan ekologis yang dinamis antara manusia dan lingkungan untuk
mendukung tercapainya realitas hidup manusia yang sehat, sejahtera dan bahagia
(HAKLI)
Dasar hukum yang menjadi acuan perlunya legislasi adalah ada dalam :
1. Berdasar pada Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,
yang dimaksud dengan Kesehatan Lingkungan Pasal 162 dan Pasal 163 , Ayat
(1), (2), (3) dan (4) adalah sebagai berikut:
Pasal 162
Upaya kesehatan lingkungan ditutujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan
yang sehat baik fisik maupun social yang memungkinkan setiap orang
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 163
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan
lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi kesehatan.
(2) Lingkungan sehat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) mencakup
lingkungan pemukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan
fasilitas umum.
(3) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bebas dari unsur-
unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain :
a. Limbah cair.
b. Limbah padat.
c. Limbah gas
d. Sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
e. Binatang pembawa penyakit
f. Zat kimia berbahaya.
g. Kebisingan yang melebihi ambang batas
h. Radiasi sinar pengion dan non pengion
135
i. Air yang tercemar
j. Udara yang tercemar
k. Makanan yang terkontaminasi.
(4) Ketentuan mengenai standart baku mutu kesehatan lingkungan dan proses
pengolahan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3),
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
2. PP Nomor : 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan :
Pasal 2
Tenaga yang bekerja di bidang kesling termasuk dalam kategori tenaga
kesehatan masyarakat yang selanjutnya disebut sanitarian.
Pasal 3
Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang
kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.
Pasal 21
(1) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi standar profesi tenaga kesehatan
(2) Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana di maksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri
Pasal 24
(1) Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan
tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.
Perangkat hukum yang keberadaannya kian mendesak bagi tenaga sanitarian adalah
adanya :
1) Standar profesi sanitarian (Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
373/MENKES/SK/III/2007), tanggal 27 Maret 2007
2) Sertifikasi untuk pengaturan kompetensi (Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
161/MENKES/PER/I/2010, Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan).
3) Registrasi untuk data harus disusun juknis Kepmenkes tentang registrasi dan upaya
pelaksanaan, kesling, untuk pengaturan kewenangan
4) Lisensi untuk pengaturan sebagian praktek profesi sanitarian yang dampaknya
langsung kepada manusia.
5) Etika profesi/kode etik profesi dan sumpah profesi
6) Standar pendidikan (minimal dan berkelanjutan)
Dalam penataan organisasi profesi, dan untuk pengaturan serta pengendalian mutu
para anggotanya, HAKLI telah menyusun perangkat legislasi tenaga sanitarian di
Indonesia yang saat ini sedang dalam proses.
Buku pedoman pengembangan perangkat legislasi sanitarian di Indonesia ini
merupakan acuan dan selalu akan dikaji dan ditinjau secara terus menerus sehingga
dapat merupakan pedoman yang sesuai bagi organisasi profesi HAKLI.
136
B. Perkembangan Kesehatan Lingkungan
1. Perkembangan Kesehatan Lingkungan
Tercatat dalam sejarah antara 3000-1500 sebelum masehi praktek kebersihan
perorangan dan kesehatan lingkungan pernah dilakukan oleh bangsa Minoa, Kreta,
Mesir dan Yahudi. Bangsa Yahudi menulis semua peraturan tentang kesehatan
lingkungan ini dalam buku ” LEVITIKUS”
Sebelum abad 17 masalah kesehatan lingkungan yang ada lebih nayak
disebabkan secara alamiah. Pada abad 17 sebagai akibat dari revolusi industri
masalah kesehatan lingkungan muncul sebagai akibat pencemaran lingkungan dari
buangan industri.
Beberapa kasus yang terjadi mulai abad 17 yaitu, Scorbut mengganas di Eropa,
malaria di Italia, typus exenthematicus merajalela di Paris dan Jerman, pes di Milan
dan Venesia. Abad 19 terjadi wabah kolera di Eropa. Pada abad 20 terjadi kasus
asap tebal di Costarica Mexico dengan menelan korban 25 jiwa. Awan hitam juga
melanda Meuse Valley Belgia dengan membawa korban 65 orang. Di Donora
Pensylvania (1948) terjadi kabut tebal yang menelan korban 22 orang. Pada tahun
1952 di London terdapat penderita sebanyak 4000 jiwa sebagai akibat dengan
adanya Smog.
Di Jepang muncul penyakit Minamata (1973) sebagai akibat dari adanya
pencemaran mercury di teluk minamata, sebagai akibat dari buangan limbah pabrik
pipa plastik yang mengandung mercury (Hg). Kebocoran reaktor nuklir di Bhopal
India (1984) menelan korban sebanyak 2000 jiwa, kemudian disusul dengan reaktor
nuklir Chernobil Uni Sovyet.
2. Perkembangan Kesehatan Lingkungan di Indonesia
Usaha kesehatan lingkungan di Indonesia telah dirintis sejak tahun 1982
dengan keluarnya Undang- Undang tentang Hygiene dalam bahasa Belanda. Tahun
1924 Rockefeler Foundation mendatangkan Dr. J. L. Hydrik, konsultan bangsa
Amerika mendirikan Usaha Kesehatan Masyarakat untuk daerah pedesaan (Rural
Hygiene Work) dengan mengutamakan penyuluhan kepada masyarakat di
Banyuwangi dan Kebumen.Tahun 1956 usaha kesehatan lingkungan digalakkan di
Bekasi dengan integrasi usaha kesehatan lingkungan dengan pengobatan dan
sekaligus Bekasi dijadikan Training Center.
Tahun 1956 s/d tahun 1959 Prof. Moechtar mempelopori usaha kesehatan
lingkungan di pasar minggu Jakarta, dan tahun 1959 dicanangkan program
pembasmian malaria sebagai program kesehatan lingkungan yang dilaksanakan
secara nasional di tanah air.
Hari dicanangkannya program pembasmian malaria secara nasional tersebut,
tepatnya pada tanggal 12 Nopember 1959 sampai saat ini diperingati sebagai “HARI
KESEHATAN NASIONAL”. Tahun 1958 program kesehatan lingkungan terintegrasi
dalam kegiatan kesehatan Puskesmas.
137
Untuk selanjutnya program-program kesehatan lingkungan merupakan salah
satu program Kementrian Kesehatan yang diimplementasikan melalui program-
program Direktorat Jenderal P3M, atau P2M, atau P2MPLP, atau P2MPL
MANUSIA
SUMBER AMBIENT DAMPAK
alamiah
alamiah udara KESEHATAN
penderita
penderita air akut
penyakuit
penyakuit makanan sub klimik
mobil
mobil binatang samar
industri
industri penular sehat
138
Keterangan :
1. Simpul pertama adalah studi komponen lingkungan pada sumbernya.
Misalnya :
Prevalensi penderita DHF
- pabrik yang memiliki limbah
- jumlah kendaraan bermotor
2. Simpul kedua adalah pengukuran pada ”ambient” atau lingkungan
Misalnya monitoring tingkat pencemaran air
Residu pestisida dalam makanan, dll
3. Simpul ketiga adalah studi epidemiologi
Mempelajari setelah komponen lingkungan masuk ke dalam tubuh manusia.
Misalnya adanya kandungan Pb dalam darah menunjukkan tinggi
rendahnya tingkat pencemaran terhadap bahan pencemar
4. Simpul keempat adalah studi gejala penyakit. Misalnya pengumpulan
prevalensi penyakit ISPA di sekitar pabrik
139
e. Faktor-faktor lingkungan yang berbahaya (Environmental hazard)
2. Aktivitas manusia
3. Konsep sakit
a. Konsep sehat menurut JOHN GORDON
Sehat pada dasarnya adalah gambaran keadaan keseimbangan dari berbagai
faktor. Penyakit yang timbul bila terjadi gangguan dari keseimbangan tersebut
yang disebabkan oleh adanya perubahan dari satu faktor atau lebih. Faktor-faktor
yang berperan umumnya dibagi menjadi 3(tiga) faktor yaitu : Agent (penyebab
penyakit), Host (penjamu), Environtment ( lingkungan).
Untuk menggambarkan interaksi antara faktor-faktor agent, host, dan
environtment, John Gordon menganalogikan sebagai timbangan dengan
lingkungan sebagai titik tumpu.
Pada dasarnya selalu terjadi hubungan dan pengaruh timbal balik antara faktor-
faktor host, agent dan environtment yang berusaha mencapai keseimbangan.
Perubahan dari keseimbangan dapat dilihat dari gambar berikut :
Keadaan I
A 140
E
Keadaan II
Keadaan III
2) Keadaan II
Menggambarkan peningkatan dari kemampuan agent untuk menginfeksi serta
menyebabkan penyakit pada manusia. Contoh, adanya perubahan sifat
(strain) dari virus dapat mengakibatkan kekebalan host sebelumnya menjadi
tidak efektif lagi.
141
3) Keadaan III
Menggambarkan bahwa perubahan lingkungan dapat pula menyebabkan
perubahan fisik tumpu, sehingga menyebabkan penyebaran agent. Contoh
adanya perkembangan daerah industri yang pesat menyebabkan konsentrasi
zat pencemar di udara meningkat. Hal ini akan menyebabkan kerentanan
pada manusia sehingga mudah terserang penyakit.
Hal ini dapat dilihat pada skema yang dikemukakan oleh Hendrik L. Blum berikut
ini :
KE
TU
RU
NA
N
PERI-
LAKU
Keempat faktor tersebut saling terkait dengan beberapa faktor lain yaitu ; sumber
alam, keseimbangan ekologi, kesehatan mental, sistem budaya dan populasi
sebagai satu kesatuan.
142
5. Radiasi
6. Sanitasi makanan dan minuman
7. Pembuangan sampah
8. Serangga penular penyakit
9. Perumahan
Penyebab timbulnya masalah kesehatan lingkungan di Indonesia
1. Pertambahan penduduk dan urbanisasi yang mengakibatkan kepadatan penduduk
semakin meningkat khususnya di kota besar yang mengakibatkan fasilitas sanitasi
yang tidak memadai
2. Keanekaragaman sosial budaya dan adat istiadat, masih rendahnya tingkat
ekonomi dan pendidikan sebagian besar penduduk, kurangnya kesadaran hukum
dan peraturan perundangan yang ada merupakan hambatan peningkatan
kesehatan lingkungan
3. Keterbatasan sumber biaya tenaga, biaya serta sarana yang dapat menghambat
pelaksanaan program khususnya peningkatan kualitas kesehatan lingkungan
4. Perkembangan industri yang dapat mempengaruhi kualitas lingkungan
143
Upaya Kesehatan Lingkungan dalam program Kesehatan
1. Penyehatan Lingkungan
Mencakup upaya-upaya yang ditujukan terhadap
Dampak kualitas udara
Pengamanan pestisida
Radiasi
2. Penyehatan Air dan Sanitasi (PAS)Mencakup upaya-upaya
yang ditujukan terhadap
Makanan dan kesehatan
Kontaminasi makanan
Pengawasan sanitasi makanan
REFERENSI
1. Sanitarian’s Handbook, Theory and Administratif Practice for Environmental
Health. Ben Freedmen, New Orleans, USA 1977
2. SK Menpan No 19/Kep/MPAN/ 11/2000 tentang Jabatan Fungsional
Sanitraian dan Angka Kreditnya
3. Pedoman Bidang Studi Epidemiologi Lingkungan untuk Pendidikan D III
Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan
Depkes RI, Jakarta 1994
4. Buku Pedoman Pengajaran Mata Kuliah Dasar- dasra Kesehatan Lingkungan
pada PAM SKL, Pusdiknakes, 1993
5. Selayang pandang Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan di Indonesia. Departemen Kesehatan 2005