Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Teknik Lingkungan Volume 16 Nomor 1, April 2010 (hal.

42-51) [e-ISSN: 27146715 dan


p-ISSN: 8549796], Program Studi Teknik Lingkungan, FTSL, Institut Teknologi Bandung

Judul Penelitian : Pengaruh Kerapatan Tanaman Kiapu (Pistia stratiotes L) Terhadap Serapan
Logam Cu Pada Air ( Annisa Nurfitri dan Indah Rachmatiah SS )

Latar Belakang : Logam berat merupakan salah satu komponen alami bumi yang tidak dapat
didegradasi atau dihancurkan. Beberapa logam berat penting untuk mengatur metabolisme tubuh.
Tetapi pada konsentrasi tinggi, berbahaya dan beracun karena cenderung mengalami
bioakumulasi, yaitu kenaikan konsentrasi bahan kimia dalam organisme seiring dengan waktu
(Sutarto, 2007). Salah satunya tembaga (Cu). Mengurangi konsentrasi Cu diperairan dengan cara
biologis menggunakan tanaman untuk menyerap logam berat, dinamakan fitoremediasi.
Tanaman yang mampu menyerap logam berat dinamakan tanaman hiperakumulator. Kiapu
(Pistia stratiotes) merupakan tanaman air terapung hidup di daerah tropis, sub tropis dan daerah
bertemperatur hangat. Tanaman ini mampu menyerap logam berat seperti Fe, Zn, Cu, Cr dan Cd.
Mishra dan Tripathi (2008).

Tujuan Penelitian : untuk mengetahui sejauh mana tanaman Kiapu (Pistia stratiotes) dapat
menurunkan konsentrasi logam Cu di air serta apakah variasi kerapatan tanaman yang dilakukan
mempunyai pengaruh terhadap serapan logam Cu.

Metode Penelitian : Penelitian dilakukan di Ruang Pengendalian Vektor, Laboratorium Higiene


Industri dan Toksikologi, Program Studi Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.
Digunakan lampu yang otomatis menyala dan padam setiap 12 jam sekali untuk memenuhi
kebutuhan tanaman akan cahaya. Tanaman Kiapu dibersihkan dari kotoran pada akar dan daun.
Kemudian diaklimatisasi 10 hari dengan media tanam air ledeng yang telah diaerasi, selanjutnya
digunakan sebagai stok kultur percobaan, bertujuan untuk mengetahui apakah sampel tanaman
Kiapu dapat tumbuh dengan baik pada kondisi lingkungan penelitian serta membersihkan dari
kandungan racun dan logam berat. Pada penelitian ini, dibuat dua model perairan. Model
pertama ialah model kontrol dimana tanaman Kiapu dimasukkan ke air tanpa pemaparan logam
Cu. Model kedua ialah model tercemar dimana tanaman Kiapu diberi paparan logam Cu 0,02
mg/l. Pada setiap model, dilakukan 3 variasi kerapatan tanaman yaitu 30 mg/cm2 , 40 mg/cm2 ,
dan 50 mg/cm2 . Setiap model dibuat pada bak berukuran 30x30x30 cm. Pada model pertama,
untuk menciptakan konsentrasi Cu terlebih dahulu dibuat larutan induk Cu dengan konsentrasi 2
mg/L, dengan melarutkan serbuk CuSO4 pada akuades. Selanjutnya, dilakukan pengenceran
untuk mendapatkan larutan Cu dengan konsentrasi yang diinginkan. Untuk mendapatkan variasi
kerapatan tanaman, dilakukan penimbangan tanaman dengan timbangan analitis hingga
mendapatkan berat yang diinginkan. Ekstraksi Logam Berat Kandungan logam berat pada air
dan tanaman diukur secara berkala selama 20 hari dengan metode ekstraksi logam berat, dengan
prosedur : Pertama, sampel tanaman utuh ditimbang berat basahnya dengan menggunakan
timbangan analitis. Setelah itu, sampel dipisahkan antara daun dan akarnya. Selanjutnya sampel
dicacah dan dihaluskan. Sampel kemudian dikeringkan dan selanjutnya ditimbang. Aquaregia
sebanyak 10 mL kemudian diberikan pada sampel. Sampel dipanaskan dalam waterbath selama
sehari semalam. Kemudian sampel disaring dan diencerkan hingga mencapai volume 25 mL.
Kandungan logam dalam sampel selanjutnya dianalisa dengan menggunakan Atomic Absorption
Spectrophotometry (AAS )

Hasil dan Pembahasan : Setelah dilakukan perhitungan, didapat bahwa konsentrasi Cu di air
mengalami penurunan seiring dengan waktu. Hal ini membuktikan bahwa Kiapu merupakan
tanaman hiperakumulator yang mampu menyerap logam Cu. Pada model tercemar kerapatan 1,
konsentrasi Cu terendah terjadi pada hari ke 10. Kemungkinan hal ini terjadi karena pada hari ke
10 tanaman sudah berada pada titik jenuh dan tidak mampu lagi menyerap logam berat secara
optimal, sehingga hari selanjutnya terjadi pelepasan logam berat dari dalam tanaman ke air.
Menurut Winarso (2005), transportasi ion-ion yang terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi
disebut difusi. Semakin tinggi perbedaan konsentrasi yang terjadi maka difusi juga semakin
besar. Pada model tercemar kerapatan 1, konsentrasi air yang lebih kecil menyebabkan
perbedaan dengan konsentrasi yang terdapat pada tanaman tidak terlalu besar, sehingga
kejenuhan lebih cepat terjadi. Pada hari ke 1, telah terjadi penurunan konsentrasi logam Cu lebih
dari 50% pada setiap modelnya. Hal ini menunjukkan penyerapan logam berat terjadi lebih cepat
pada awal waktu penelitian.
Jurnal Teknik Lingkungan Volume 16 Nomor 1, April 2010 (hal. 1-9) [e-ISSN: 27146715 dan p-
ISSN: 8549796], Program Studi Teknik Lingkungan, FTSL, Institut Teknologi Bandung

Judul Penelitian : Analisis Multi Kriteria Pemilihan Teknologi Pengomposan Sampah ( Adi
Susangka dan Mochammad Chaerul )

Latar Belakang Penelitian : Dalam menentukan teknologi pengolahan sampah sebaiknya


disesuaikan dengan karakteristik sampah yang ada, terutama karakteristik daerah setempat.
Pengomposan merupakan salah satu metode pengolahan sampah yang sangat efektif untuk
diaplikasikan di Indonesia. Terdapat beberapa jenis teknologi pengomposan yang kita kenal,
antara lain windrow, aerated static pile (aktif dan pasif), in-vessel, vermicomposting, dan lain-
lain. Salah satu metode yang bisa digunakan untuk membantu dalam proses pengambilan
keputusan adalah dengan menggunakan metode AHP (Analytic Hierarchy Process). AHP
merupakan proses berpikir yang komprehensif, logis dan terstruktur, dan sesuai untuk digunakan
dalam upaya penyelesaian masalah yang menyangkut banyak aspek.

Tujuan Penelitian : dilakukan untuk mengetahui teknologi pengomposan yang paling sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan Indonesia, dengan menggunakan metode AHP. Aspek yang
menjadi pertimbangan dalam penelitian ini adalah sosial, ekonomi, lingkungan dan teknis.

Metode Penelitian : dilakukan dengan menggunakan metode sampling kuesioner dalam bentuk
wawancara langsung dengan pihak responden. Penelitian ini menggunakan survey kuesioner
dengan sumber responden berasal dari pihak stakeholder pengelolaan sampah kota. Kota
Bandung dipilih dalam penelitian ini karena dianggap sebagai model dari sebuah kota besar di
negara berkembang. Aplikasi Teknologi Pengomposan Alternatif teknologi pengomposan
terpilih yang akan digunakan adalah (1) pengomposan aerated static pile aktif, (2) aerated static
pile pasif, (3) windrow, dan (4) vermicomposting. Responden kuesioner merupakan pihak
stakeholder pengelolaan sampah kota Bandung. Penentuan Multi Kriteria Proses pengambilan
keputusan dengan menggunakan multikriteria bisa dilakukan dengan menggunakan metode
AHP. Dalam penggunaan metode AHP, perlu dilakukan dekomposisi masalah dengan
mengidentifikasi kriteria dan subkriteria yang akan digunakan. Kriteria utama dalam pemilihan
teknologi adalah aspek sosial, aspek ekonomi, aspek lingkungan, dan aspek teknis. Subkriteria
sosial, ekonomi, lingkungan, dan teknis masing-masing disingkat menjadi S, E, L dan T.
Kemudian, penamaan tersebut dilengkapi dengan angka sesuai dengan urutan hierarki di atas
Dalam penelitian ini, yang menjadi sumber responden adalah BPLHD (Badan Pengendalian
Lingkungan Hidup Daerah) Jawa Barat, dan PD (Perusahaan Daerah) Kebersihan kota Bandung.
Responden yang digunakan untuk mewakili masyarakat berasal dari pihak LSM yang bergerak di
bidang lingkungan (terutama untuk sampah kota). Pihak akademisi akan diwakili oleh dosen dan
mahasiswa Teknik Lingkungan. Pihak praktisi meliputi operator atau pihak yang melakukan
pengomposan sampah, minimal dalam skala komunal atau perumahan.

Hasil dan Pembahasan : dari data 12 orang responden yang mewakili stakeholder dari pihak
akademisi (dosen dan mahasiswa). Jawaban diolah menggunakan bantuan software Expert
Choice untuk setiap responden. Hasil pengolahan data untuk setiap orang kemudian dikompilasi
dalam software Microsoft Excel, untuk mendapatkan nilai rata-rata yang mewakili pendapat
keseluruhan dari pihak akademisi. Prioritas Kriteria Penghitungan dari matriks pembandingan
berpasangan akan menghasilkan nilai sintesa yang merupakan prioritas dari kriteria, subkriteria,
dan alternatif tersebut. Penghitungan hasil pengolahan data dari pihak responden menunjukkan
bahwa faktor sosial merupakan prioritas yang utama dalam menentukan aplikasi suatu teknologi
(Tabel 3). Faktor sosial memiliki nilai prioritas tertinggi (0,33), disusul oleh faktor teknis (0,24),
faktor ekonomi (0,23), dan faktor lingkungan (0,2).

Kesimpulan : Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan metode yang sangat berguna
untuk digunakan dalam memecahkan masalah yang rumit dan kompleks. Namun hasil dari
penilaian metode ini sebaiknya harus disesuaikan juga dengan kondisi daerah setempat.
Windrow merupakan teknologi pengomposan yang paling sesuai untuk diaplikasikan di
Indonesia, berdasarkan pendapat kelompok akademisi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
teknologi yang diinginkan lebih diutamakan pada aspek sosial.
Jurnal Teknik Lingkungan Volume 16 Nomor 2, Oktober 2010 (hal. 103-114) [e-ISSN:
27146715 dan p-ISSN: 8549796], Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan, Institut Teknologi Bandung

Judul Penelitian : Perhitungan Nilai Kalor Berdasarkan Komposisi dan Karakteristik sampah
Perkotaan di Indonesia Dalam Konsep Waste To Energy ( Dian Marya Novita dan Enri
Damanhuri )

Latar Belakang : Teknik pengolahan konvensional tidak dapat menyelesaikan permasalahan


sampah karena terbentur kebutuhan ruang, biaya dan timbulan lindi. Saat ini, ada banyak
teknologi pengolahan baru yang dikembangkan dan diterapkan di negara maju, namun tidak
selalu tepat dan berjalan dengan efektif ketika diterapkan di negara berkembang, terutama karena
rendahnya nilai kalor sampah dan mahal investasi dan operasi. Di sisi lain, kebutuhan akan
energi semakin tinggi, namun sumber daya yang tersedia semakin berkurang. Energi yang
terkandung di dalam sampah, dikenal dengan konsep waste to energy yaitu proses rekoveri
energi dari limbah melalui pembakaran langsung (insinerasi, pirolisis, dan gasifikasi), atau
dengan produksi bahan bakar dalam bentuk metan, hidrogen, dan bahan bakar sintetik lainnya
(anaerobic digestion, mechanical biological treatment, refused-derived fuel). Karena kaitannya
dengan energi, nilai kalor sampah menjadi parameter penting. Nilai kalor minimal dibutuhkan
untuk insinerasi adalah 1500 kcal/kg, sedangkan nilai kalor sampah di Indonesia hanya mencapai
1000 kcal/kg (Damanhuri, 2006).

Tujuan Penelitian : untuk mendapatkan data - data karakteristik, komposisi fisik, dan
perhitungan nilai kalor komponen penyusun sampah secara spesifik sehingga dari data ini
didapatkan nilai kalor sampah kota di Indonesia yang dapat diukur dengan lebih mudah. Sebagai
data awal kemungkinan waste to energy pada sampah kota Indonesia.

Metode Penelitian : Lokasi pengambilan sampel dilakukan di sumber, dengan pertimbangan


sampel belum mengalami banyak perubahan dibandingkan dengan sampah di TPA. Didapat
beberapa jenis komponen penyusun sampah yang paling banyak ditemukan, seperti sampah
organik, kertas, tekstil dan plastik. Selanjutnya, komponen ini diklasifikasikan menjadi 28
komponen yang lebih spesifik, seperti PET, HDPE, PVC, dll untuk plastik; sampah makanan
tercampur, sampah buah, daging, dll untuk organik, dan seterusnya. Untuk mencegah terjadinya
dekomposisi alami, terutama pada sampah organik, sampel sampah dimasukkan ke dalam
pendingin atau freezer, dan juga disimpan dalam keadaan kering setelah pengeringan pada
105°C. Karakteristik Sampah Uji laboratorium yang dilakukan untuk mengetahui karakteristik
tiap komponen sampah antara lain : Kadar air, dilakukan dengan pengeringan pada oven 105°C
sampai berat sampel menjadi konstan. Kadar volatil, merupakan fraksi kering dari sampel yang
hilang pada pemanasan 600°C (SKSNI-M-36-1991-0) dan pada 800°C (Vesilind,2002). Fixed
carbon, didefinisikan sebagai fraksi dari materi kering sampel yang hilang saat pemanasan pada
temperature 600°C dan 950°C. Abu, adalah residu yang tersisa dari sampel, yang diukur dengan
mengurangi total fraksi kering dengan fraksi volatil dan fixed carbon sampel tersebut. Nilai kalor
Di laboratorium, nilai kalor ditentukan dengan percobaan bom kalorimeter, 1 gram sampel
dimasukkan ke dalam bom, dan dikontakkan dengan kawat yang menghantarkan arus listrik.
Bom ditutup dan diberikan oksigen pada tekanan tinggi. Bom kemudian diletakkan bak air
adiabatik/ adiabatic water bath. Ketika listrik mulai dialirkan, terjadi pembakaran di dalam bom.
Panas yang dihasilkan dari pembakaran akan memanaskan medium air dan kenaikan temperatur
yang terjadi akan terukur oleh termometer dan kemudian dikonversikan menjadi besaran nilai
kalor.

Hasil dan Pembahasan : Dengan menggunakan data dari percobaan ini, nilai kalor suatu
sampah kota dapat diukur. Nilai kalor sangat diperngaruhi oleh kadar air dan hidrogen sampah.
Hasil pengurangan nilai kalor ini, LHV, biasanya digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
pemilihan teknologi pengolahan dan aplikasi WTE. Nilai kalor juga dipengaruhi oleh kadar
volatil dan abu. Semakin tinggi kadar volatil yang terbakar, nilai kalor semakin tinggi.
Komponen sampah yang sangat potensial untuk dijadikan pellet RDF dalam konsep WTE adalah
plastik, dengan LHV > 5.000 kkal/kg. Namun pada proses pembakaran RDF, pembentukan HCl
harus dijaga untuk mencegah korosi pada reactor. Untuk mengatasinya, sebaiknya dilakukan
pengolahan pendahuluan terhadap sampah, dengan cara deklorinasi sampah pada tekanan
tertentu dengan media air, atau dengan pelarutan

Kadar air dari tiap komponen sampah berbeda antara satu dengan yang lain selain karena
karakteristik alamiahnya, juga karena adanya pengotor dan kondisi lingkungan lokasi
pengambilan sampah. Dalam pembakaran, proses pertama kali adalah penguapan air yang ada
dikandung, semakin tingginya kadar air di dalam sampah, maka semakin banyak pula energi
yang dibutuhkan untuk menguapkan air tersebut dan semakin rendahnya kalor yang dihasilkan
dari pembakaran. Sampah yang paling baik untuk digunakan dalam waste to energy, baik
pembakaran langsung maupun RDF adalah kertas, plastik, dan tekstil. Proses pembakaran materi
volatil bersifat eksotermis, atau menghasilkan panas. Panas inilah yang terukur dan kemudian
disebut nilai kalor sampah. Adanya perbedaan nilai kalor tiap komponen sampah lebih banyak
dipengaruhi oleh karakteristik kimiawinya, dan banyaknya materi volatil dalam sampah tersebut.
Ketika sisa pembakaran 600°C dibakar kembali pada temperatur 900°C, masih ada materi yang
menguap, dikenal sebagai fixed carbon, dan menyisakan abu

Anda mungkin juga menyukai