Anda di halaman 1dari 19

TRAUMA KAPITIS

Trauma Kapitis merupakan kejadian yg sering dijumpai Lebih 50% penderita trauma adl
trauma kapitis
Co: Jika beberapa penderita dgn multi trauma, 50% masalah trauma kapitis
1. Kulit Kepala
Vaskularisasi kepala sgt baik shg luka kecil, akan banyak mengeluarkan darah.
Jika luka dalam otot & P.darah kontraksi luka perdarahan << menganga
2. Tulang Kepala (Kranium)
Terdiri dari Kalvaria (atap tengkorak) & Basis kranium (dasar tengkorak)
Fraktur basis kranii ==> keluar darah dari hidung atau/dan telinga
Hati-hati pasang NGT krn dpt masuk ke rongga otak Fraktur
basis kranii dgn penderita tdk sadar
Perdarahan hebat ==> mungkin mengganggu jalan nafas
3. Isi Tengkorak
a. Lapisan Pelindung Otak, terdiri dari 3 lapisan Yaitu:
o Duramater (melekat pada bgn dlm tengkorak)
o Piamater (melekat pada jaringan otak)
o Arachnoid (antara kedua lap. diatas)
Perdarahan dalam rongga tengkorak, dpt berupa:
 Epidural
 Subdural
 Intra serebral
Rongga tengkorak tidak besar & tertutup oleh tengkorak yang keras. Perdarahan
dlm R. tengkorak ==> + 100ccmenimbulkan kematian
b. Otak
o Otak terdapat dlm liquor cerebro spinalis
o Jika terdapat hub lsg otak dgn dunia luar, berbahaya krn dpt menimbulkan
peradangan pd otak
o Otak dpt mengalami edema cerebri primer, sekunder, & peningkatan tekanan
intra kranial (tek. Dlm R. tengkorak)

Tekanan Intra Kranial (TIK) berada dlm keadaan konstan


Peningkatan tek. Intra kranial disebabkan oleh udem cerebri atau terdapatnya perdarahan
dlm otak. Peningkatan tekanan intra kranial yang cukup tinggi dapat menyebabkan
turunnya batang otak yang akan menyebabkan kematian.
Edema cerebri bleeding, intra kranial, menyebabkan Peningkatan tekanan intra kranial.
Peningkatan tekanan intrakranial juga dapat disebabkan Herniasi batang otak Kematian.

Kerusakan Otak akibat Trauma


1. Cedera Otak Primer
Otak menabrak bgn dlm tengkorak sehingga dapat menyebabkan
o robekan jar. Otak (laserasi serebri)
o perdarahan dlm jaringan
o putusnya P. Darah (kontusio serebri)
2. Cedera otak sekunder dpt disebabkan
a. Hipovolemia
Perdarahan ==> hipovolemia ==> Syok
Jika ringan tubuh akan kompensasi, shg otak dapat darah.

Jika berat ==> aliran darak ke otak <<

perfusi darah ke otak << ==> iskemia otak


(jar. Otak << dpt
darah)

Infark otak
(kematian jar. Otak)

b. Hipoksia

O2 dlm darah

Otak menerrima O2

Iskemi Otak

Infark otak

C. Hiper karbia & Hipokarbia


Peningkatan CO2 dlm darah

vasodilatasi P. darah otak

Edema cerebri

Penurunan CO2 dlm darah

vasokonstriksi jar. Otak

Infark
Kadar CO2 dlm darah yang ideal pada trauma kapitis adalah 26 - 32 mmHg. Hal
ini tidak dapat dideteksi tanpa menggunakan alat khusus, sehingga pada
penanganan penderita dengan trauma kapitis yang penting adalah jangan sampai
penderita ada gangguan ventilasi

Jenis Trauma Kapitis


Konsep Asuhan Keperawatan Trauma Kapitis

DASAR DATA PENGKAJIAN PASIEN


Data tergantung pada tipe, lokasi, dan keparahan cedera dan mungkin dipersulit oleh
cedera tambahan pada organ-organ vital.

Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan.
Tanda : .Perubahan kesadaran,letargi,hemiparese quadreplegia, ataksia, cara
berjalan tak tegap. Masalah dalam keseimbangan cedera (trauma)
ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik.
Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi).
Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi
dengan bradikardia, disritmia).
Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
impulsif.
Eliminasi
Gejala : Inkontinentia kandungan kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera.
Tanda : :Muntah (mungkin proyektil).
Gangguan menelan (batuk, air liur keluar disfagia)
Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas.
Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, fotofobia.
Gangguan pengecapan dan juga penciuman.
Tanda ; Perubahan kesadaran sampai koma.
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti.
Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan
pendengaran.
Wajah tidak simetri.
Genggaman lemah, tidak seimbang.
Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah.
Apraksia, hemiparise, quedreplegia.
Postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang.
Sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan.
Kehilangan sensasi sebagian tubuh.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih.
Pernapasan
Tanda : Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas
berbunyi, stridor, tersedak.
Ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi.
Gangguan penglihatan
Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda Batle
di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma).. Adanya aliran cairan
(drainase) dari telinga/hidung (CSS).
Gangguan kognitif.
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralysis.
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang,
disartria, anomia.
Pemenuhan Pembelajaran
Gejala : penggunaan alkohol/obnat lain.
Pertimbangan Rencana Pemulangan :
Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi,
menyiapkan makan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah
tangga, perubahan tata ruang dan penempatan fasilitas lainnya di rumah.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Skan CT (tanpa/dengan kontras: mengidentifikasi adanya SOL, hemoragic, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan pemeriksaan berulang mungkin
diperlukan karena iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24 – 72 jam
pascatrauma.
MRI : sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras.
Angiografi serebral : menunjukan kelaianan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan, trauma.
EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis,
Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari
garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
BAER (Brain Auditori Evoked Respons). : menentuk fungsi korteks dan batang otak.
PET (Positron Emission Tomografi) : menunjukan perubahan aktivitas metabolisme
dalam otak.
Pungsi Lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachniod .
GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahuai adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang
dapat meningkatkan TIK..
Kimia/Eolektrolit Darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK/perubahan mental.
Pemeriksaan Toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab dalam
penurunan kesadaran.
Kadar Antikonvulsan Darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang.

PRIORITAS KEPERAWATAN
1. Memaksimalkan perfusi/fungsi serebral.
2. Mencegah atau meminimalkan komplikasi.
3. Mengoptimalkan fungsi otak/mengembalikan pada keadaan sebelum terjadi
trauma.
4. Menyokong proses koping dan pemulihan keluarga.
5. Memberikan informasi mengenai proses/prognosis penyakit, rencana tindakan dan
sumber daya yang ada .

TUJUAN PEMULANGAN
1. Fungsi serebral meningkat ; defisit neurology dapat diperbaiki atau distabilkan
(tidak berkembang lagi)
2. Komplikasi tidak terjadi.
3. AKS (Aktivitas Kegiatan sehari-hari) dapat terpenuhi sendiri atau dengan bantuan
orang lain.
4. Keluarga memahami keadaan yang sebenarnya dan dapat terlibat dalam proses
pemulihan.
5. Proses/prognosis penyakit dan penanganan (tindakannya) dapat dipahami dan
mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI


1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
oleh SOL (hemoragi dan hematom), edema serebral, penurunan TD/hipoksia
ditandai dengan :
Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, peruhan respon motorik,
sernsorik, gelisah, perubahan tanda vital
Tujuan : mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi
motorik/sesnsorik.
Kriteria : Tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Intervensi :
a. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau
yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial
peningkatan TIK.
R/ : menentukkan pilihan intervensi, penurunan tanda gwjala neurologis
atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal mungkin
menunjukan bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan intensif
untuk memantau TIK dan atau pembedahan
b. Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai
standar (misalnya Skala Coms Glascow)
R/ : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SSP.
- Evaluasi kemampouan membuka mata, seperti spontan (sadar penuh),
membuka hanya jika diberi rangsangan nyeri, atau tetap tertutup
(koma).
R/ : Menentukan tingkat kesadaran.
- Kaji respon verbal; catat apakah pasien sadar, orientasi terhadap
orang, waktu dan tempat baik atau malah bingung; menggunakan kata-
kata/frase yang tidak sesuai
R/ : mengukur kesesuaian dalam berbicara dan menentukan tingkat
kesadaran.
- Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana, gerakan yang
bertujuan (patuh terhadap perintah, berusaha untuk menghilangkan
rangsang nyeri yang diberikan) dan gerakan yang tidak bertujuan
(kelainan postur tubuh). Catat gerakan anggota tubuh dan catat sisi kiri
dan kanan secara terpisah .
R/ : Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan kemamppuam untuk
berespon pada rangsangan eksternal dan merupakan petunjuk keadaan
kesadaran terbaik pada pasien yang matanya tertutup sebagai akibat
pasien trauma atau afasia. Pasien dikatakan sadar apabila pasien dapat
meremas atau melepas tangan pemeriksa atau dapat menggerakan
tangan sesuai dengan perintah. Gerakan yang bertujuan dapat meliputi
mimik kesakitan atau gerakan menarik atau menjauhi rangsangan
nyeri. Gerakan lain (fleksi abnormal dari ekstremitas tubuh) biasanya
sebagai indikasi kerusakan serebral yang menyebar. Tidak adanya
gerakan spontan pada salah satu sisi tubuh yang menandakan
kerusakan pada jalan motorik pada hemisfer otak yang berlawanan
(kontralateral).
c. Pantau TD
- Catat adanya hipertensi sistolik secara terus menerus dan tenaga nadi
yang semakin berat; observasi terhadap hipertensi pada pasien yang
mengalami trauma multiple.
R/ : Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang
konstan pada saat ada fluktasi tekanan darah sistemik. Kehilangan
autoregulasi dapat mengikuti kerusakakan vaskularisasi serebral lokal
atau menyebar. Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh
penurunan tekanan darah diastole merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran.
Hipovolemia/hipertensi dapat juga mengakibatkan kerusakan/iskemia
serebral.
- Frekwenai jantung, catat adanya bradikardia, takikardia, atau bentuk
disritmia lainnya.
R/ : Perubahan pada ritme (paling sering bradikaria) dan disritmia
dapat timbul yang mencerminkan adanya depresi/trauma pada batang
otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.
- Pantau pernapasan meliputi pola dan iramanya, seperti adanya periode
apnue setelah hiperventilasi yang disebut pernapasan cheynestokes.
R/ : Napas yang tidak teratur dapat menunjukan adanya gangguan
serebral/peningkatan TIK dan memerlukan intervensi yang lebih lanjut
termasuk kemungkinan dukungan napas buatan.
d. Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketjaman, kesamaan antara kiri dan
kanan, dan reaksinya terhadap cahaya.
R/ : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (N.III) dan berguna
untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/kesamaan
ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan
parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang
terkoordinasi dari saraf cranial optikus dan okulomtorius.
e. Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur,
ganda, lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi.
R/ : Gangguan penglihatan, yang dapat diakibatkan oleh kerusakan
mikroskopik pada otak, mempunyai konsekwensi terhadap keamanan dan
juga akan mempengaruhi pilihan intervensi.
f. Kaji l;etak/gerakan mata, catat apakah pada posisi tengah atau ada deviasi
pada satu sisi atau kebawah. Catat pula hilangnya refleks DOLLS EYE.
R/ : Posisi dan gerakan mata membantu menemukan lokasi area otak yang
terlibat. Tanda awal dari peningkatan TIK adalah kegagalan dalam
kegagalan dalam abduksi pada mata, mengindikasikan penekanan/trauma
pada saraf cranial V.Hilangnya DOLLS EYE mengindikasikan adanya
penurunan pada fungsi batang otak dan prognosisnya jelek.
g. Catat ada tidaknya refelks-refleks tertentu seperti refleks menelan, batuk
dan Babinski dan sebagainya.
R/ : Penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tingkat otak
tengah atau batang otak dan sangat berpengaruh langsung terhadap pasien.
Refleks Babinski positif mengindikasikan adanya trauma sepanjang jalur
piramida pada otak
h. Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah/posisi netral, sokong dengan
gulungan handuk kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala.
R/ : Kepala yang miring pada satu sisi akan menekan vena jugularis dan
menghambat aliran darah vena.yang selanjutnya akan meningkatkan TIK.
i. Kolaborasi :
- Tinggikan kepala pasien 15 – 45 derajat sesuai indikasi yang dapat
ditoleransi.
R/ : Meningkatkan aliran balik vena dari kepal sehingga akan
mengurangi kongesti dan edema atau risiko terjadinya peningkatan
TIK.
- Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
R/ : menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan
vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
- Berikan obat sesuai indikasi.
Diuretik (manitol, furosemid)
R/ : Diuretik dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan air
dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK.
Steroid (dexametason, metilprednisolon).
R/ : menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema
jaringan.
Antikonvulsan (Fenitoin).
R/ : untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktivitas kejang.
Analgetik (Kodein).
R/ : Untuk menghilangkan nyeri.
Sedatif (Difenhidramin).
R/ : untuk mengendalikan kegelisahan.
Antipiretik ( asetaminofen).
R/ : Mengendalikan demam.
2. Risiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler,
obstruksi trakeobronchial.
Tujuan : mempertahankan pola pernapasan normal/efektif, bebas sianosis dengan
GDA dalam batas normal pasien.
Intervensi :
a. Pantau frekwensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidak teraturan
pernapasan.
R/ : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal (umumnya
mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi /luasnya keterlibatan otak.
Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi
mekanis.
b. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
R/ : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan
kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
c. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika pasien sadar.
R/ : mencegah/menurunkan atelektasis.
d. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik.
Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
R/ : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan
imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri.
Penghisapapan pada trachea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra
hati-hati, karena hal tersebut dapat mengakibatkan hipoksia yang
menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup
besar terhadap perfusi serebral.
e. Kolaborasi :
- Pantau atau gambarkan analisa gas darah, tekanan oksimetri
R/ : Menentukan kecukupan pernapasan. Keseimbangan asam basa dan
kebutuhan akan terapi.
- Lakukan ronsen toraks ulang
R/ : melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tanda komplikasi yang
berkembang (seperti atelektasis atau bronkopneumonia).
- Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
R/ : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan
TIK fase akut namun tindakan ini seringkali berguna pada pada akut
rehabilitasi untuk memobilisasi dan memberikan jalan napas dan
menurunkan risiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.
3. Perubahan Persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori,
transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neureologis, ditandai dengan :
Disorientasi waktu, tempat dan orang; perubahan dalam respons terhadap
rangsang; inkoordinasi motorik; perubahan dalam postur; ketidakmampuan untuk
memberitahu posisi bagian tubuh (propiosepsi); perubahan pola komunikasi,
distorsi audiotorius dan visual; konsentrasi buruk, perubahan proses
berpikir/berpikir ngacau.
Tujuan : Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan
fungsi persepsi.
Kriteria : mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlambatan
residu. Mendemonstrasikan perubahan perilaku/gaya hidup untuk
mengkompensasi/defisit hasil.
Intervensi :
a. Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara,
alam perasaan/afektif, sensorik dan proses piker
R/ : Fungsi serebral bagian atas biasanya terlebih dahulu oleh adanya
gangguan sirkulasi, oksigenasi. Kerusakan dapat terjadi saat trauma awal atau
kadang-kadang berkembang setelahnya akibat dari pembengkakan atau
perdarahan. Perubahan motorik, persepsi, kognitif dan kepribadian mungkin
berkembang dan menetap dengan perbaikan respons secara perlahan-lahan
atau tetap bertahan secara terus menerus pada derajat tertentu.
b. Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas/dingin, benda
tajam/tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan
adanya masalah penglihatan atau sensasi yang lain.
R/ : Informasi penting untuk keamanan pasien. Semua sistem sensorik dapat
terpengaruh dengan adanya perubahan yang melibatkan peningkatan atau
penurunan sensitivitas atau kehilangan sensasi/kemampuan untuk menerima
dan berespons secara sesuai pada suatu stimuli.
c. Hilangkan suara bising/stimuli yang berlebihan sesuai kebutuhan
R/ : menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan/bingung yang
berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.
d. Buat jadual istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa adanya gangguan.
R/ : Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan kesempatan
untuk tidur REM (ketidakadanya tidur REM ini dapat meningkatkan
gangguan persepsi sensorik).
e. Gunakan penerangan siang atau malam hari.
R/ : Memberikan perasaan normal tentang pola perubahan waktu dan pola
tidur/bangun.
f. Kolaborasi :
- Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terpi wicara, dan terapi
kognitif.
R/ : Pendekatan antar disiplin dapat menciptakan rencana penatalaksanaan
terintegrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan/ketidakmampuan
secara individu yang unik dengan berfokus pada peningkatan evaluasi dan
fungsi fisik, dan ketrampilan perceptual.

4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif


ditandai dengan : ketidakmampuan bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik,
termasuk mobilitas ditempat tidur, pemindahan, ambulasi. Kerusakan koordinasi,
keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan kontrol otot.
Tujuan : melakukan kembali/mempertahankan posisi fungsi optimal
dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur, footdrop.
Kriteria hasil : Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian
tubuh yang sakit dan /atau kompensasi. Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang
memungkinkan dilakukannya kembali aktivitas. Mempertahankan integritas kulit,
kandung kemih dan fungsi usus.
Intervensi :
a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan
yang terjadi.
R/ : Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan
mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
b. Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan
(0-4).
R/ : Pasien mampu mandiri (nilai 0) atau memerlukan bantuan/peralatan yang
minimal (nilai 1); memerlukan bantuan sedang/dengan pengawasan/diajarkan
(nilai 2); memerlukan bantuan/peralatan yang terus menerus dan alat khusus
(nilai 3); atau tergantung secara total pada pemberi asuhan (nilai 4).
Seseorang dalam semua kategori sama-sama mempunyai risiko kecelakaan,
namun kategori dengan nilai 2 – 4 mempunyai risiko yang terbesar untuk
terjadinya bahaya tersebut sehubungan imobilisasi.
c. Beri/Bantu untuk melakukan latihan rentang gerak.
R/ : Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal ekstremitas
dan menurunkan terjadinya vena yang statis.
d. Berikan perawatan kulit yang cermat, masase dengan pelembab, dan ganti
linen/pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih dan
bebas dari kerutan (jaga tetap tegang).
R/ : Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan risiko
terjadinya ekskoriasi kulit.
e. Pantau haluaran urine. Catat warna dan bau dari urine. Bantu dengan latihan
kandung kemih jika memungkinkan.
R/ : Pemakaian kateter Foley selama fase akut memungkinkan dibutuhkan
untuk jangka waktu yang panjang sebelum memungkinkan untuk dilakukan
latihan kandung kemih. Saat kateter dilepas, beberapa metode kontrol dapat
dicoba seperti kateterisasi intermiten (selama pengosongan sebagian atau
seluruhnya);kateter eksternal, interval diatas pispot memberikan duk
inkontinen.
f. Berikan cairan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi (contoh toleransi
neurologis dan jantung).
R/ : sesaat setelah fase akut cedera kepala, dan jika pasien tidak memiliki
faktor kontraindikasi yang lain, pemberian cairan yang memadai akan
menurunkan risiko terjadinya infeksi saluran kemih/batu ginjal/batu kandung
kemih dan berpengaruh cukup baik terhadap konsistensi feses yang normal
dan turgor kulit menjadi optimal.
5. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak,
prosedur invasif, penurunan kerja sillia, statis cairan tubuh, kekurangan nutrisi,
respon inflamasi (penggunaan steroid), perubahan sistem integritas tertutup
(kebocoran CSS).
Tujuan : mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi, mencapai
penyembuhan luka tepat waktu bila ada.
Intervensi :
a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan
yang baik.
R/ : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis jahitan),
daerah yang terpasang alat invasi (terpasang infus dan sebagainya), catat
karakterisitik dari drainase dan adanya inflamasi.
R/ : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
c. Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, mengigil, diaforosis,
dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
R/ : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya
memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
d. Anjurkan untk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara
terus menerus, observasi karakterisitk sputum.
R/ : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan
risiko terjadinya pneumonia, atelektasis. Catatan : Drainase postural harus
digunakan dengan hati-hati jika ada risiko terjadinya peningkatan TIK.
e. Berikan perawatan perawatan perineal. Pertahankan integritas dan sistem
drainase urine tertutup jika menggunakannya. Anjurkan untuk minum
adekuat.
R/ : Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri atau infeksi
yang merambah naik.
f. Observasi warna/kejernihan urine. Catat adanya bau busuk (yang tidak enak).
R/ : Sebagai indicator dari perkembangan infeksi pada saluran kemih yang
memerlukan tindakan dengan segera.
g. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung
yang mengalami infeksi saluran infeksi bagian atas.
R/ : Menurunkan pemajanan terhadap “pembawa kuman penyebab infeksi”
h. Kolaborasi :
- Berikan antibiotik sesuai indikasi.
R/ : Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami
trauma (perlukaan), kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan
untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi nosokomial.
- Ambil bahan pemeriksaan (spesimen) sesuai indikasi.
R/ : Kultur/sensitivitas, pewarnaan gram Gram dapat dilakukan untuk
memastikan adanya infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab dan
untuk menentukan obat pilihan yang sesuai.

6. Risiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran),
kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan, status
hipermetabolik.
Tujuan : mendemonstrasikan kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan.
Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam batas-
batas normal.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi
sekresi.
R/ : menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien
terlindung dari aspirasi
b. Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara yang
hiperaktif.
R/ : Bising usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau
berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus.
c. Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ : mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
d. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien seperti tinggikan kepala
tempat tidur selama makan atau selamam pemberian makan lewat NGT.
R/ : menurunkan risiko regurgitasi atau terjadinya aspirasi.
e. Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan
teratur.
R/ : meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi
yang diberikan yang dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
f. Tingkatkan kenyaman, lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat
makan. Anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan yang disukai
pasien.
R/ : Dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan.
g. Kolaborasi :
- Konsultasi dengan ahli gizi.
R/ : merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan
kalori/nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, dan
keadaan penyakit sekarang.
- Pantau pemeriksaan laboratorium seperti albumin darah, zat besi,
ureum/kreatinin, glukosa, AST/ALT dan elektrolit darah.
R/ : mengidentifikasi defisiensi nutrisi. Fungsi organ dan respons terhadap
terapi nutrisi tersebut.
- Berikan makan dengan cara yang sesuai seperti melalui NGT, melalui oral
dengan makanan lunak dan cairan yang agak kental.
R/ : pemilihan rute pemberian tergantung pada kebutuhan dan kemampuan
pasien.
7. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurang pemajanan, tidak mengenal sumber-sumber informasi, kurang
mengingat/keterbatasan kognitif ditandai dengan meminta informasi, pernyataan
salah konsepsi, ketidakakuratan mengikuti instruksi.
Tujuan :
- Berpartisipasi dalam proses belajar.
- Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan, potensial
komplikasi.
- Melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar.
Intervensi :
a. Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga
keluarganya.
R/ : memungkinkan untuk menyampaikan informasi yang didasarkan atas
kebutuhan secara kebutuhan.
b. Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan
pengaruh sesudahnya.
R/ : membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan
pemahaman pada keadaan saat ini.
c. Diskusikan rancana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
R/ : berbagai tingkat bantuan perlu direncanakan yang didasarkan atas
kebutuhan yang bersifat individual.
d. Berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat-
obatan dan faktor-faktor penting lainnya.
R/ : memberikan penguatan visual dan rujukan setelah sembuh.
e. Diskusikan dengan pasien dan orang terdekat perkembangan dari gejala
seperti munculnya tanda dan gejala yang pernah dialaminya saat trauma
terjadi (pikiran melayang, pikiran kacau, mimpi berulang/mimpi buruk),
emosi/fisik yang sulit berespon; perubahan gaya hidup termasuk adaptasi dan
tingkah laku yang merusak.
R/ : Dapat menjadi tanda adanya eksaserbasi respon pasca traumatik yang
dapat terjadi dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah mengalami
trauma.
DAFTAR PUSTAKA
1. Satyanegara; Editor, L. Djoko Lestiono, ILMU BEDAH SARAF, Edisi III,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
2. Doenges E. Marilynn (1999), RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN, Pedoman
Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3,
Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta
3. Brunner & Suddarth (2001), Buku Ajar KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH,
Edisi 8 Volume 3, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.
4. Price A. Sylvia & Wilson M. Lorraine (1995), PATOFISIOLOGI Konsep Klinis
Proses Penyakit, Edisi 4 Buku II Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.
5. GALLO & HUDAK, KEPERAWATAN KRITIS Pendekatan Holistik, Volume II
Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.
6. LONG C. BARBARA (1996), PERAWATAN MEDIKAL BEDAH (Suatu
Pendekatan Proses Keperawatan), Yayasan IAPK Pajajaran Bandung,
Bandung.

Anda mungkin juga menyukai