Anda di halaman 1dari 2

Sejarah Hari Kesaktian Pancasila

Pada tanggal 3 Oktober 1945 jasad keenam jenderal dan satu perwira pertama TNI AD
berhasil ditemukan di sumur Lubang Buaya. Mereka kemudian ditetapkan sebagai pahlawan
revolusi. \
Pemerintah Orde Baru menetapkan 30 September sebagai Hari Peringatan Gerakan 30
September atau G30S/PKI dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila,
hari dimana Pancasila memiliki kesaktian yang tidak dapat digantikan oleh paham apapun.
Meski demikian masih ada yang beranggapan bahwa Hari Kesaktian Pancasila dan Hari Lahir
Pancasila merupakan hari yang sama. Padahal Hari Kesaktian Pancasila jatuh pada tanggal 1
Oktober, sedangkan Hari Lahir Pancasila jatuh pada tanggal 1 Juni. Hari Kesaktian Pancasila
lebih berkaitan dengan peristiwa Gerakan 30 September/PKI atau G30S/PKI yang terjadi pada
tanggal 30 September 1965.
sedangkan Hari Lahir Pancasila lebih berkaitan peringatan cikal bakal Pancasila sebagai dasar
dan lambang negara Indonesia. Hari Lahir Pancasila ditetapkan sejak tahun 2017 melalui
Keppres Nomor 24 Tahun 2016 dan ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Semasa Orde Baru, ada semacam ritual pengibaran bendera untuk memperingati peristiwa
G30S dan Hari Kesaktian Pancasila. Pada 30 September, bendera dinaikkan setengah tiang. Esok
harinya, atau 1 Oktober, bendera dinaikkan secara penuh. Prosesi pengibaran bendera selama dua
hari itu bisa dimaknai sebagai berikut:
Bendera setengah tiang yang dikibarkan pada 30 September dimaksudkan sebagai tanda
duka nasional setelah terbunuhnya beberapa perwira militer AD. para jenderal itu adalah Ahmad
Yani, Soeprapto, M.T. Haryono, Siswondo Parman, D.I. Panjaitan, Sutoyo Siswodiharjo, serta
Pierre Tendean yang merupakan ajudan Jenderal A.H. Nasution. Sedangkan di Yogyakarta, ada
dua perwira militer yang juga menjadi korban, yaitu Katamso dan Soegiyono.
Keesokan harinya, bendera dinaikkan secara penuh sebagai simbol kemenangan berkat
“kesaktian Pancasila” yang mampu menangkal ancaman ideologi komunis. Ritual semacam ini
seolah dipaksakan harus dilakukan oleh seluruh elemen bangsa setiap tanggal 30 September dan
1 Oktober. Namun, setelah Soeharto lengser dan Orde Baru runtuh saat Reformasi 1998, prosesi
ini jarang diterapkan lagi meski tidak hilang sama sekali.
Tidak ada yang salah dengan peringatan belasungkawa atas gugurnya para perwira AD
dalam tragedi 1965 itu. Akan tetapi, banyak yang berpendapat persoalan yang lebih penting dan
lebih patut diperingati adalah: kematian lebih dari 500 ribu jiwa warga Indonesia setelahnya.
Sepanjang titi mangsa 1965-1966, juga tahun-tahun setelahnya, terjadi pembantaian besar-
besaran terhadap orang-orang yang dianggap PKI atau antek-anteknya, bahkan kepada mereka
yang dituding terkait dengan komunis, kendati tanpa bukti yang kuat dan tanpa proses
pengadilan. Keseluruhan jumlah korban pembantaian itu masih menjadi misteri hingga kini.
Dikutip dari The Indonesian Killings of 1965-1966 (1990) karya Robert Cribb, Angkatan
Bersenjata RI memperkirakan jumlah yang dibantai mencapai sekitar satu juta orang. Sedangkan
menurut orang-orang komunis yang selamat dari pembantaian dan mengalami trauma, tulis
Theodore Friend dalam Indonesian Destinies (2003), perkiraan awal jumlah korban pembantaian
terhadap orang-orang yang dituduh PKI dan komunis tidak kurang dari dua juta orang. Baca
juga: Religiusitas Aidit, Tragedi Abdullah Sebagian sejarawan menyepakati setidaknya setengah
juta orang dibantai.
Oleh M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since c.1300 (1991), jumlah ini
disebut lebih banyak ketimbang peristiwa apa pun dalam sejarah Indonesia. Setelah Orde Baru
runtuh, investigasi untuk menguak tragedi pembantaian 1965-1966 mulai diupayakan, kendati
tetap saja mengalami hambatan. Pada 23 Juli 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) menyatakan bahwa pembantaian orang-orang yang dituduh komunis itu
merupakan pelanggaran HAM berat. Pernyataan Komnas HAM tentang “Hasil Penyelidikan
Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966" terungkap, ke-9 pelanggaran itu meliputi:
Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran/pemindahan penduduk secara paksa,
perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan,
pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, serta penghilangan orang secara
paksa.

Anda mungkin juga menyukai