Anda di halaman 1dari 59

Modul Analisis Laporan Keuangan

Sektor Publik

Disusun oleh:
Eko Nur Surachman
Dian Handayani
Tim Penyusun Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik

Bahan Ajar Mata Kuliah Analisis Laporan Keuangan


Politeknik Keuangan Negara STAN

i
DAFTAR ISI

KEBIJAKAN ANGGARAN PEMERINTAH ______________________ 4


A. KEBIJAKAN FISKAL DAN APBN __________________________________ 4
Kebijakan Fiskal Ekspansif _____________________________________________________________ 6
Pendapatan Negara _________________________________________________________________ 6
Belanja Negara _____________________________________________________________________ 8
Defisit Anggaran Negara ______________________________________________________________ 9
Dampak Defisit terhadap Ekonomi Makro _______________________________________________ 10
Pembiayaan Anggaran ______________________________________________________________ 11
Utang Pemerintah __________________________________________________________________ 12
B. APBN DAN KAITANNYA DENGAN APBD __________________________ 13
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal di Indonesia _____________________________________ 13
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ________________________________________ 14
Dominasi Pemerintah Pusat __________________________________________________________ 17

C. LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH SEBAGAI ALAT PENGAMBILAN


KEPUTUSAN ___________________________________________________ 20
Government Finance Statistics ________________________________________________________ 21
Laporan Statistik Keuangan Pemerintah _________________________________________________ 22

ANALISIS LAPORAN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK ___________ 25


A. TUJUAN ANALISIS LAPORAN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK _________ 25
Akuntabilitas Pemerintah dalam Sektor Publik____________________________________________ 25
Kompleksitas Sektor Publik ___________________________________________________________ 25
Infrastruktur Akuntansi Sektor Publik Indonesia __________________________________________ 26
Laporan Keuangan Sebagai Bentuk Akuntabilitas Pemerintah ________________________________ 27
B. KONDISI KEUANGAN PEMERINTAH/SEKTOR PUBLIK ______________ 28
Otonomi Daerah dan Kemandirian Pemerintah Daerah dalam Mengelola Keuangan ______________ 28
C. PENGUKURAN KINERJA DAN PERAMALAN (FORECASTING) KONDISI
KEUANGAN PEMERINTAH/SEKTOR PUBLIK ________________________ 29
Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Saat Ini ___________________________________________ 30
Keterbatasan Dalam Melakukan Analisis Laporan Keuangan Pemerintah _______________________ 30
Tujuan Analisis Laporan Keuangan _____________________________________________________ 31

IMPLEMENTASI ANALISIS LAPORAN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK


_______________________________________________________ 32
A. STRUKTUR/KOMPOSISI LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAN
HUBUNGAN ANTAR AKUN _______________________________________ 32

ii
Alat Analisis _______________________________________________________________________ 33
Perbandingan Antar Komponen dan Antar Laporan Keuangan _______________________________ 33
Analisis Rasio______________________________________________________________________ 35
B. STUDI KASUS: Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Kota Tangerang
Selatan Tahun 2014 – 2016 _______________________________________ 42
Perbandingan Antar Komponen dan Antar Laporan Keuangan _______________________________ 42
Analisis Rasio______________________________________________________________________ 45

PINJAMAN DAERAH______________________________________ 49
A. TUJUAN DAN SUMBER PINJAMAN DAERAH ______________________ 49
B. PINJAMAN DAERAH DARI PEMERINTAH PUSAT ___________________ 49
C. PINJAMAN DAERAH DARI DAERAH LAIN _________________________ 50
D. PINJAMAN DAERAH DARI LKB/LKBB ____________________________ 50
E. PINJAMAN DAERAH DARI MASYARAKAT (Obligasi Daerah) _________ 51
Karakteristik Obligasi Daerah _________________________________________________________ 52
Pihak-Pihak yang Terkait dengan Obligasi Daerah _________________________________________ 52
Persiapan Penerbitan Obligasi Daerah __________________________________________________ 55
Penilaian Kelayakan Penerbitan Obligasi Daerah __________________________________________ 55
Implementasi Penerbitan Obligasi Daerah _______________________________________________ 56

iii
KEBIJAKAN ANGGARAN
PEMERINTAH

Setelah mempelajari bab ini, kalian diharapkan dapat memahami hal-hal berikut ini:

1. Apa yang mendasari pemerintah menerapkan defisit anggaran.


2. Apa yang menjadi pertimbangan mengapa pemerintah tidak menerapkan kebijakan pajak yang
agresif untuk menutup defisit anggaran.
3. Apa yang menjadi pertimbangan mengapa pemerintah tidak mengurangi belanja agar tidak
terjadi defisit anggaran.
4. Mengapa pemerintah menggunakan utang (public debt) untuk menutup defisit anggaran.
5. Mengapa banyak daerah masih tergantung pada transfer daerah dari Pemerintah Pusat padahal
kebijakan desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan lebih dari dua dekade lalu.
6. Bagaimana Laporan Keuangan Pemerintah yang dilaporkan setiap tahunnya dapat berperan
strategis sebagai alat pengambilan keputusan.

A. KEBIJAKAN FISKAL DAN APBN


Dalam rangka mencapai tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Pemerintah melaksanakan kebijakan fiskal
sebagai salah satu perangkat kebijakan ekonomi makro. Kebijakan yang bersifat
strategis tersebut dilaksanakan dalam upaya untuk mencapai target-traget
pembangunan nasional. Instrumen yang digunakan untuk melaksanakan kebijakan
fiskal tersebut yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Peran APBN sebagai alat untuk mengimplementasikan kebijakan fiskal
dimaksud terkait dengan tiga fungsi yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi
stabilisasi. Sesuai penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus
diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi distribusi artinya
kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Sedangkan fungsi stabilisasi artinya bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi.
Dengan strategisnya fungsi APBN tersebut, penyusunan APBN memiliki
dampak signifikan bagi perekonomian. Penyusunan APBN akan menjadi pedoman
dalam kegiatan pembangunan, menjadi alat untuk memperbaiki perekonomian,
mempengaruhi tingkat produktivitas dan mempengaruhi tingkat pemerataan distribusi
pendapatan, bahkan dapat mempengaruhi perubahan harga secara keseluruhan.
APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan
dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran, dalam hal ini dari 1 Januari
hingga 31 Desember. Secara garis besar struktur APBN berisi: (a) Pendapatan

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 4


Negara dan Hibah, (b) Belanja Negara, (c) Keseimbangan Primer, (d) Keseimbangan
Umum (Surplus/Defisit Anggaran), dan (e) Pembiayaan Anggaran, yang dapat dilihat
pada Gambar 1.
Penyusunan APBN dibangun dari asumsi dasar ekonomi makro pada tahun
anggaran yang bersangkutan karena menjadi acuan untuk memerkirakan arah
pergerakan ekonomi. Asumsi dasar tersebut yaitu PDB atau Pertumbuhan Ekonomi,
Tingkat Inflasi, Nilai Tukar Rata-Rata, Suku Bunga, Harga Minyak Mentah Indonesia
di Pasar Dunia (ICP), dan Lifting Minyak/Lifting Gas. Sesuai Pasal 26 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, setelah APBN ditetapkan dengan
undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan
Presiden.
Gambar 1. Struktur I – Account APBN

Uraian
A. PENDAPATAN NEGARA
I. PENDAPATAN DALAM NEGERI
1. PENERIMAAN PERPAJAKAN
2. PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
II. PENERIMAAN HIBAH
B. BELANJA NEGARA
I. BELANJA PEMERINTAH PUSAT
1. Belanja K/L
2. Belanja Non K/L
a. Pembayaran Bunga Utang
b. Subsidi
c. Belanja Lain-lain
II. TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA
1. Transfer ke Daerah
a. Dana Bagi Hasil
b. Dana Alokasi Umum
2. Dana Desa
C. KESEIMBANGAN PRIMER
D. SURPLUS/(DEFISIT) ANGGARAN (A - B)
%Surplus/(Defisit) Anggaran terhadap PDB
E. PEMBIAYAAN ANGGARAN (I + II + III + IV + V)
I. PEMBIAYAAN UTANG
1. Surat Berharga Negara (neto)
II. PEMBIAYAAN INVESTASI
III. PEMBERIAN PINJAMAN
IV. KEWAJIBAN PENJAMINAN
V. PEMBIAYAAN LAINNYA
Pembiayaan Netto

Sumber: Direktorat Penyusunan APBN, 2014

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 5


Kebijakan Fiskal Ekspansif
Kekayaan suatu negara lazim diukur berdasarkan PDB, yang perubahannya
antar periode menunjukkan seberapa cepat atau seberapa lambat perekonomian
suatu negara tumbuh. Produk Domestik Bruto (PDB) mengukur nilai barang dan jasa
yang dihasilkan suatu negara dalam rentang waktu tertentu. Walaupun sudah cukup
banyak kritik terkait penggunaan indikator PDB untuk mengukur tingkat kesejahteraan
suatu negara (lihat Fioramonti, 2013), namun hingga saat ini PDB masih digunakan
sebagai acuan. Pertumbuhan PDB yang tinggi menjadi dambaan negara-negara pada
umumnya, karena berdampak luas pada pembangunan ekonomi dan pada akhirnya,
kesejahteraan masyarakat. Capaian pertumbuhan ekonomi tersebut dipengaruhi oleh
efektivitas kebijakan fiskal oleh pemerintah dan kebijakan moneter oleh bank sentral
suatu negara.
Kebijakan fiskal merupakan tindakan yang diambil pemerintah dalam bidang
pendapatan dan belanja melalui anggaran pemerintah. Pada level makro, kebijakan
fiskal berperan penting dalam memastikan stabilitas perekonomian, yang merupakan
prasyarat untuk mencapai dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan
pada level mikro, melalui kebijakan pajak dan pengeluaran pemerintah, dapat
mendorong penyerapan tenaga kerja, investasi, dan produktivitas (IMF, 2015).
Terdapat dua jenis kebijakan fiskal, pertama yaitu kebijakan fiskal ekspansif yang
bertujuan meningkatkan output perekonomian, biasanya diterapkan untuk mencapai
laju pembangunan ekonomi yang dikehendaki. Berikutnya kebijakan fiskal kontraktif
yang bertujuan mengurangi output perekonomian. Keduanya dapat diterapkan secara
bergantian oleh pemerintah untuk mencapai stabilitas perekonomian dan tujuan yang
diharapkan.
Sebagai instrumen, kebijakan fiskal dapat digunakan oleh pemerintah untuk
pencapaian tujuan pembangunan. Setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan
pemerintah pada sisi anggaran pendapatan dan belanja pemerintah sebagaimana
akan dibahas secara singkat berikut ini.

Pendapatan Negara
Dalam struktur APBN, Pendapatan Negara diklasifikasikan menjadi
Pendapatan Dalam Negeri dan Pendapatan Hibah. Pendapatan dalam Negeri terdiri
dari Penerimaan Pajak dan juga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jenis-
jenis pendapatan negara dapat dilihat pada Gambar 2. Yang akan kita bahas di sini
adalah Penerimaan Pajak.
Pajak merupakan sumber penerimaan utama bagi pemerintah yang berasal
dari rakyat dan ditujukan untuk kepentingan umum termasuk untuk mendanai
pembangunan di pusat dan daerah, seperti membangun fasilitas umum, membiayai
anggaran kesehatan dan pendidikan, dan kegiatan produktif lainnya. Penerimaan
perpajakan menjadi salah satu komponen penting dalam penerimaaan negara.
Selama lima tahun terakhir, rata-rata penerimaan perpajakan berperan 70 persen dari
total pendapatan negara.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 6


Penerimaan dari sektor perpajakan terdiri dari Pajak Dalam Negeri berupa
pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang dan jasa, pajak penjualan atas
barang mewah, pajak bumi dan bangunan, cukai, dan pajak sehubungan
perdagangan internasional yang meliputi bea masuk dan bea keluar. Proyeksi
penerimaan perpajakan pada tahun berjalan tidak hanya memerhatikan realisasi
pendapatan negara sektor perpajakan pada tahun-tahun sebelumnya, namun sangat
dipengaruhi oleh asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan (Direktorat Jenderal
Anggaran, 2014).

Gambar 2. Jenis Pendapatan Negara dan Variabel Ekonomi Terkait

Variabel Ekonomi Makro Penentu


Pendapatan Negara Pertumbuhan
Inflasi Nilai Tukar
Harga Minyak
Lifting Minyak
Ekonomi Mentah
1. Pajak Penghasilan non-Migas ü ü ü - -
2. Pajak Penghasilan Migas - - ü ü ü
3. Pajak Pertambahan Nilai ü ü ü - -
4. Pajak Bumi dan Bangunan ü ü ü - -
5. Cukai ü - - - -
6. Pajak lainnya ü ü - - -
7. Bea Masuk ü - ü - -
8. Bea Keluar ü - ü - -
9. Penerimaan SDA Minyak Bumi - - ü ü ü
10. Penerimaan SDA Gas Bumi - - ü ü ü

Sumber: Direktorat Jenderal Anggaran, 2014.

Penerimaan perpajakan memang masih menjadi sumber utama pendapatan


negara. Namun penentuan tarif pajak tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan
dampaknya, sebagaimana ditunjukkan oleh kurva Laffer yang menggambarkan
hubungan antara tarif pajak dan penerimaan pajak. Kurva Laffer berupaya
menunjukkan bahwa perubahan tarif pajak setidaknya dapat menimbulkan dampak
aritmatik dan dampak ekonomi. Dampak aritmatik terjadi karena dengan menurunkan
atau menaikkan tarif pajak, maka akan berdampak pada turun atau naiknya
penerimaan perpajakan pula. Namun di lain sisi, naiknya tarif pajak akan
memengaruhi secara negatif motivasi orang bekerja, peningkatan output, dan
kesempatan kerja. Seakan peningkatan tarif pajak justru memberikan penalti atas
aktivitas produktif tersebut (Laffer, 2004, dalam Dharmakarja & Solikin, 2017).
Terkait hal tersebut George Mankiw, professor Ekonomi menyampaikan bahwa
pelajaran yang dapat diambil dari kurva Laffer yaitu seberapa besar penerimaan yang
akan diperoleh pemerintah dari menaikkan atau menurunkan tarif pajak, bukan hanya
tergantung dari tarif pajak saja, namun juga tergantung bagaimana perubahan tarif
pajak mengubah perilaku wajib pajak. Tarif pajak yang sangat tinggi akan mendorong
keluarnya sejumlah besar modal dan tenaga kerja dari sistem pasar menuju ekonomi
non pasar atau ekonomi bawah tanah (Dharmakarja & Solikin, 2017).

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 7


Belanja Negara
Urgensi Pengeluaran Pemerintah
Belanja negara merupakan pengeluaran negara dalam satu tahun anggaran.
Belanja Negara dalam APBN merupakan alokasi anggaran tertinggi yang tidak dapat
dilampaui dan menjadi komitmen pemerintah untuk memenuhinya. Belanja
pemerintah terdiri dari belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah. Belanja
pemerintah pusat inilah yang berperan sebagai stabilisator perekonomian. Saat
kondisi ekonomi mengarah pada resesi, maka pemerintah akan melaksanakan
kebijakan fiskal ekspansif yang dapat menjaga stabilitas, memperkuat fundamental
perekonomian, dan memberikan stimulus pertumbuhan ekonomi.
Kegiatan pembangunan nasional diharapkan dapat memberikan imbal hasil
berupa peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan peningkatan
perekonomian masyarakat. Ekonomi yang bertumbuh dianggap sebagai imbal hasil
pembangunan nasional dan pada giliran berikutnya dapat menurunkan defisit
pemerintah. Pembangunan nasional pemerintah dijalankan antara lain melalui
pembangunan infrastruktur dan program pembangunan sumber daya manusia.
Pengeluaran pemerintah untuk barang modal diharapkan memicu peningkatan
produktivitas pada sektor-sektor produksi dan industri, yang selanjutnya akan
berdampak positif terhadap pendapatan per kapita masyarakat. Pembatasan
terhadap pengeluaran modal oleh pemerintah akan berpengaruh terhadap
produktivitas dalam jangka panjang.

Kualitas Belanja Pemerintah


Belanja pemerintah juga merupakan alat untuk memperkuat kapasitas
penduduk, baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, maupun mendorong
pendapatan negara. Dalam penyusunan proyeksi belanja pemerintah, diperlukan
pertimbangan strategis agar mencerminkan arah pembangunan nasional. Belanja
pemerintah harus mendahulukan kepentingan masyarakat dan kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, kualitas belanja pemerintah merupakan aspek penting yang harus
diperhatikan dalam pengambilan keputusan. Pelaksanaan anggaran pada tahun
berjalan harus memperhatikan efisiensi belanja agar dapat menghasilkan output yang
ditargetkan.
Perencanaan yang sistematis diperlukan untuk menilai program-program
pemerintah. Dalam rangka menciptakan efisiensi dan efektivitas pelaksanan
anggaran serta mencapai fokus pada program yang berdampak pada pertumbuhan
sektor riil, pemerintah perlu sangat kritis terhadap usulan anggaran yang tidak
mendukung pertumbuhan sektor riil, tidak mendukung peningkatan pada penerimaan
perpajakan dan tidak mendukung kenaikan penerimaan devisa.
Pengeluaran untuk proyek-proyek pembangunan biasanya memiliki jumlah
yang masif. Karena keterbatasan anggaran pemerintah, perlu dilakukan seleksi
dengan mengurutkan prioritas pembangunan, misalnya dengan mengutamakan
proyek dengan imbal hasil lebih besar dalam jangka waktu terdekat. Penundaan

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 8


proyek yang tidak menjadi prioritas secara langsung menjadi upaya mengurangi defisit
pemerintah. Tidak hanya terhadap pengeluaran proyek, penghematan pengeluaran
pemerintah dapat dilakukan pada program rutin. Hal tersebut dilakukan dengan
berbagai pertimbangan tanpa mengurangi kinerja dari pemerintah. Dengan cara
tersebut, anggaran akan tetap terjaga dengan tidak mengurangi output atau outcome
yang dihasilkan.
Selain belanja produktif, terdapat pula belanja pemerintah yang ditujukan
secara langsung kepada masyarakat dalam bentuk subsidi maupun belanja sosial.
Subsidi merupakan bantuan yang diambil dari anggaran negara untuk membiayai
pengeluaran yang sifatnya membantu konsumen mengatasi tingginya harga yang sulit
untuk dijangkau misalnya subsidi pupuk, subsidi bahan bakar minyak (BBM), dan
subsidi listrik. Negara memberikan subsidi terhadap suatu barang ketika harga barang
tersebut dianggap terlalu tinggi dibandingkan kemampuan daya beli masyarakat.
Subsidi dapat diberikan baik kepada konsumen maupun produsen. Walaupun sifatnya
bantuan, namun subsidi seharusnya tidak membuat ketergantungan masyarakat yang
lebih tinggi. Sebaliknya, skema subsidi hendaknya dapat mendorong terciptanya
kemandirian masyarakat untuk meningkatkan perekonomiannya.

Defisit Anggaran Negara


Ketika pemerintah menerapkan kebijakan fiskal ekspansif untuk mendorong
pertumbuhan, timbul konsekuensi dari sisi ketersediaan anggaran. Defisit anggaran
terjadi ketika belanja pemerintah melebihi pendapatannya. Perumusan kebijakan
defisit anggaran merupakan salah satu bagian penting perekonomian dalam skala
makro.
Defisit anggaran merupakan salah satu pilihan kebijakan fiskal yang diambil
dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi melalui pertumbuhan
stimulus fiskal secara terukur. Selain sebagai alat untuk mengakselerasi pertumbuhan
ekonomi, kebijakan ini juga bertujuan untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat
melalui belanja produktif dan dukungan sosial kepada kaum marginal, hal-hal yang
menimbulkan konsekuensi komitmen belanja negara lebih besar.
Tentu dalam pelaksanaannya, terdapat banyak dinamika dalam implementasi
kebijakan defisit anggaran, namun sudah menjadi suatu komitmen pemerintah dalam
memenuhinya dalam rangka memenuhi tujuan bernegara. Dinamika tersebut dapat
berdampak pada besaran defisit anggaran yang semakin lebar maupun semakin
sempit. Kecenderungan defisit anggaran yang semakin lebar dapat disebabkan
berbagai faktor dan fluktuasi kondisi ekonomi, baik di dalam maupun luar negeri
(global).
Penyelenggaraan pemerintahan di tahun berjalan bisa saja meleset dari APBN
yang disusun pada tahun anggaran sebelumnya. Perbedaan tersebut dapat timbul
dari sisi penerimaan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, penerimaan didasarkan
pada berbagai asumsi. Ketidaksesuaian realita dengan asumsi tersebut dapat
menyebabkan pendapatan negara tidak tercapai. Dari sisi pengeluaran, kondisi

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 9


makroekonomi dan dampak global dapat memengaruhi rencana belanja yang
ditetapkan sebelumnya. Misalnya, terjadi perubahan harga karena dampak inflasi atau
perubahan nilai tukar jika komponen belanja bersumber dari valuta asing (seperti
belanja bunga utang valas). Perubahan tersebut wajar terjadi, namun komitmen
pemerintah untuk menjaga kualitas belanja tidak berubah.
Kondisi force majeur juga dapat mengakibatkan perubahan APBN. Kondisi
force majeur seperti bencana tsunami di Aceh tahun 2004 dan wabah pandemi
COVID-19 pada tahun 2020. Dalam kondisi force majeur seperti bencana tsunami,
peran Pemerintah melalui instrumen APBN semakin diperlukan untuk mengefektifkan
fungsi alokasi. Dalam kondisi wabah pandemi yang melanda seluruh negeri maka
peran Pemerintah melalui instrumen APBN semakin diperlukan untuk memberikan
fungsi stabilisasi pada perekonomian.

Dampak Defisit terhadap Ekonomi Makro


Kebijakan defisit menjadi salah satu alat kebijakan bagi pemerintah untuk
menstimulus pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun defisit anggaran juga dapat
berdampak pada beberapa variabel ekonomi makro dan kontraproduktif jika tidak
dikelola dengan baik.
Kebijakan defisit yang dilakukan oleh suatu pemerintahan akan berdampak
pada meningkatnya kebutuhan pembiayaan dari utang. Meningkatnya utang
menimbulkan konsekuensi bertambahnya pembayaran bunga utang dan dapat
mendorong naiknya tingkat bunga. Hal tersebut disebabkan kebutuhan pemerintah
menarik investor semakin meningkat dan pemerintah perlu menarik mereka dengan
tingkat bunga yang bersaing.
Defisit anggaran juga menyiratkan rendahnya pajak dan tingginya belanja
pemerintah. Sebagai konsekuensinya aggregate demand meningkat dan mendorong
kenaikan GDP serta inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh kebijakan defisit anggaran
dapat mengurangi pendapatan riil masyarakat yang berikutnya memengaruhi
konsumsi dan tabungan masyarakat yang turun. Padahal tabungan masyarakat
merupakan salah satu komponen penting untuk mendorong tingkat investasi.
Berkurangnya tabungan akan mengurangi tingkat investasi, yang berikutnya
cenderung di respon dengan menaikkan tingkat bunga sebagaimana diuraikan
sebelumnya.
Penurunan investasi akan berdampak pada proyek-proyek pembangunan baik
yang baru akan dilaksanakan maupun ekspansi proyek yang sudah ada. Hal ini
berikutnya berdampak pada berkurangnya kebutuhan tenaga kerja sehingga secara
langsung berakibat pada peningkatan tingkat kesempatan kerja atau pengangguran.
Dalam perekonomian terbuka, kebijakan defisit anggaran dapat memengaruhi
tingkat ekspor dan impor. Tingkat bunga yang tinggi akan menurunkan investasi
dalam negeri dan membuka peluang modal asing untuk mengalir ke dalam negeri
untuk memenuhi kebutuhan investasi dalam negeri. Dalam hal ini neraca pembayaran

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 10


akan semakin defisit karena dipengaruhi oleh perubahan berupa menurunnya nilai
tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing.
Bagaimana supaya kebijakan defisit anggaran tidak bersifat kontraproduktif
terhadap pertumbuhan. Dari studi yang dilakukan terhadap data historis ekonomi UK
(Pettinger, 2017), peningkatan utang pemerintah saat resesi tidak akan menimbulkan
crowding out investasi di dalam negeri karena pada saat resesi, baik belanja maupun
investasi sektor privat menurun sementara tabungannya meningkat. Pada saat ini lah
investor dalam negeri memerlukan investasi yang aman seperti obligasi pemerintah.
Penerbitan obligasi pemerintah untuk pembiayaan belanja pada masa resesi tidak
akan menimbulkan crowding out dan peningkatan yield obligasi pemerintah.
Penerbitan utang oleh pemerintah pada masa resesi juga dapat mempercepat
pemulihan ekonomi dan mengurangi tingkat pengangguran.
Penerbitan obligasi pemerintah untuk membiayai defisit anggaran juga relatif
aman dilakukan jika penerbitan utang yang dilakukan pemerintah ditujukan untuk
membiayai belanja produktif seperti pembangunan infrastruktur. Pembangunan
infrastruktur yang dilakukan tersebut diharapkan dapat memfasilitasi kegiatan
ekonomi masyarakat, mendorong perekonomian serta meningkatkan pertumbuhan.
Pada gilirannya, peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dihasilkan dari
pertumbuhan ekonomi tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan mereka
dan meningkatkan penerimaan pajak pemerintah. Namun hal tersebut tidak akan
tercapai jika utang yang diadakan pemerintah digunakan untuk membiayai belanja
sosial. Belanja sosial tidak akan membantu peningkatan sisi penawaran dan pada
saatnya nanti pemerintah akan kesulitan untuk membayar kewajiban yang timbul dari
utang.

Pembiayaan Anggaran
Batasan defisit anggaran belanja diatur dalam penjelasan pasal 12 ayat 3
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Defisit anggaran
ditetapkan maksimal sebesar 3% dan utang maksimal 60% dari Produk Domestik
Bruto (PDB). Batasan defisit anggaran tersebut menggunakan pembanding PDB
karena pemerintah ingin mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan
indikator PDB.
Defisit APBN dapat diatasi baik dari sisi penerimaan yaitu dengan
meningkatkan komponen penerimaan maupun dari sisi pengeluaran yaitu dengan
mengurangi pengeluaran pemerintah dengan tetap memperhatikan arah dan strategi
kebijakan ekonomi. Namun ada kalanya urgensi kegiatan pembangunan – termasuk
pemulihan ekonomi – membuat pemerintah harus berupaya merealisasikan belanja
yang direncanakan. APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal merupakan alat atau
instrumen pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan negara. Demikian pula
halnya dengan utang pada pembiayaan APBN dalam hal pemerintah mengambil
kebijakan defisit.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 11


Pembiayaan anggaran sesuai klasifikasinya dalam APBN dapat berupa
pembiayaan utang, pembiayaan investasi, pemberian pinjaman, kewajiban
penjaminan, dan pembiayaan lainnya. Pembiayaan utang berasal dari Pinjaman Luar
Negeri maupun Pinjaman Dalam Negeri serta Surat Berharga Negara yang terdiri dari
Surat Utang Negara dan Sukuk Negara. Adapun pembiayaan non utang, utamanya
diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan serta mendorong ekspor nasional
demi meningkatkan daya saing bangsa, tidak terkecuali investasi yang dikeluarkan
untuk percepatan pembangunan infrastruktur.

Utang Pemerintah
Di negara berkembang seperti Indonesia, utang memiliki peran penting dalam
mengisi porsi pembiayaan anggaran dilihat dari rasio kenaikan utang terhadap PDB
dari tahun ke tahun. Utang yang diadakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan
belanja pembangunan dan menutup defisit dimaksudkan untuk menjaga momentum
pembangunan dan menghindari opportunity loss yang semakin besar jika proses
pembangunan tertunda karena tidak adanya pendanaan.
Riset mengenai dampak utang terhadap pertumbuhan ekonomi terus dilakukan
dan para ekonom terbelah pendapatnya mengenai manfaat utang dan dampaknya
terhadap pertumbuhan ekonomi. Reinhart & Rogoff (2010) meneliti hubungan sistemik
antara tingginya utang publik dengan tingkat pertumbuhan dan inflasi menggunakan
data 44 negara selama 200 tahun. Untuk negara dengan utang publik yang mencapai
90 persen dari GDP menunjukkan rata-rata tingkat pertumbuhan yang sangat rendah.
Hasil ini serupa antara negara berkembang dan negara maju. Namun tidak seperti di
negara maju, di negara berkembang ditemukan tingginya hubungan antara utang
publik dengan tingkat inflasi. Reinhart & Rogoff (2010) juga menemukan bahwa untuk
rasio utang yang berasal dari luar negeri (external debt) terhadap GDP yang mencapai
60 persen, kerap dikaitkan dengan berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi
negara berkembang.
Greiner & Fincke (2014) melakukan modelling yang terhadap productive debt
spending dan utang publik dimana pemerintah menempuh kebijakan defisit untuk
membiayai investasi publiknya. Ada banyak model skenario yang dikembangkan dan
sebagaimana juga diungkapkan IMF (2012) dalam Bilan (2016), bahwa tidak ada
hubungan yang sederhana antara utang publik dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
karena banyaknya faktor yang memengaruhi penentu hubungan keduanya. Namun
sebagai highlight temuan Greiner & Fincke (2014), dapat dikatakan bahwa penting
untuk menjaga primary balance surplus demi memastikan sustainabilitas utang publik.
Bilan (2016) yang melakukan overview terhadap teori-teori mengenai pengaruh
perekonomian dari utang publik menyampaikan konklusinya bahwa agar utang publik
membawa dampak positif terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi, maka terdapat tiga
hal fundamental ketika memutuskan pengadaan utang, yaitu:
Kondisi ekonomi. Utang publik tidak boleh menjadi common practice, namun harus
dilaksanakan dalam kondisi yang sangat mendesak ketika pemerintah menghadapi

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 12


fenomena tidak biasa yang membutuhkan intervensi dan sumber daya pemerintah.
Fenomena yang dimaksud diantaranya seperti bencana alam dan reformasi struktural
yang dilakukan pemerintah misalnya reformasi sistem pensiun terkait dengan kondisi
demografis.
Peruntukan. Utang yang diadakan hanya digunakan untuk tujuan yang dapat
menciptakan tambahan nilai (added value) pada perekonomian, baik dalam jangka
menengah maupun jangka panjang, sehingga memastikan ketersediaan pembayaran
di masa depan tanpa kesulitan.
Dimensi. Yang dimaksud dimensi di sini adalah tingkat dan besaran utang publik
maupun utang secara keseluruhan baik yang diadakan oleh sektor publik maupun
sektor private.

B. APBN DAN KAITANNYA DENGAN APBD


Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Sejarah desentralisasi di Indonesia sudah dimulai sejak kependudukan
Belanda, walaupun nuansa yang berkembang saat itu lebih diwarnai kepentingan
pemilik modal untuk mempercepat proses pembangunan sarana dan prasarana di
daerah demi kepentingan kelompoknya. Memasuki jaman kemerdekaan, situasi
ekonomi dan politik yang belum stabil saat itu menimbulkan kendala untuk
menciptakan regulasi yang mendukung otonomi daerah. Bahkan selanjutnya di
zaman orde baru, dengan rezim saat itu yang memiliki prinsip menjunjung tinggi
persatuan dan stabilitas politik, otonomi daerah nyaris tidak berkembang. Tidak
beberapa lama sebelum orde baru tumbang, sedikit perubahan mulai terlihat pada
tahun 1995 melalui Peraturan Pemerintah No. 8, pemerintah pusat menyerahkan
sebagian urusan pemerintahan kepada 26 daerah tingkat II percontohan (Isnaeni,
2019).
Setelah tumbangnya orde baru, tuntutan desentralisasi yang selama itu
digulirkan akhirnya membuahkan ditetapkannya paket UU 1999 tentang Pemerintah
Daerah. Paket UU 1999 tersebut secara fundamental mengubah hubungan antara
pusat dengan daerah yang semula sangat sentralistik menjadi desentralistik. Tidak
hanya memberikan kekuasaan wilayah kepada Pemerintah Daerah, Paket UU
tersebut juga memberikan kewenangan pengelolaan keuangan masing-masing
melalui UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Namun dalam perjalanannya,
Paket UU yang semula dimaksudkan untuk memberikan lebih banyak kewenangan
dan sumber daya kepada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri tanpa
menunggu pemerintah pusat, pada implementasinya lebih banyak menimbulkan
masalah. Sebagaimana dirangkum dalam Rahmatunnisa (2015), selama
implementasi Paket UU 1999 sulit mencapai kestabilan yang menjadi salah satu faktor
penting sustainabilitas proses pembangunan karena pemerintah dan warganya
disibukkan dengan tarik menarik kepentingan antara pusat dengan daerah mengenai
pengelolaan sumber-sumber keuangan, sengketa tanah dan manajemen sumber

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 13


daya alam, eksploitasi pajak dan retribusi yang berdampak pada ekonomi biaya tinggi,
serta praktik politik praktis untuk mengamankan posisi putra daerah dalam jabatan
strategis di pemerintahan.
Upaya untuk merevisi Paket UU 1999 berbuah Paket UU 2004 yang terdiri dari
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Namun kelahiran Paket UU 2004
tersebut menimbulkan kritik dari berbagai tokoh nasional termasuk praktisi dan
akademisi. Menurut mereka, banyak pengaturan dalam Paket UU tersebut yang
secara substansi justru membatalkan otonomi daerah dan serupa dengan pengaturan
hubungan antara pusat dan daerah di zaman orde baru yang bersifat sentralistik.
Satu dekade setelahnya, lahir UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, tanggung jawab
tertinggi penyelenggaraan pemerintahan berada pada pemerintah pusat. Untuk
mendukung pelaksanaan otonomi daerah tersebut, pemerintah pusat melakukan
supervisi, pemantauan dan pengendalian, serta pemberdayaan yang mendukung
agar daerah dapat menjalankan perannya secara optimal. Kini, otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal di Indonesia diatur dengan UU No. 2/2015 tentang Perubahan
kedua UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)


Pada tingkat pemerintah daerah, instrumen anggaran juga diperlukan sebagai
pedoman pelaksanaan anggaran tahun berjalan yang tertuang dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurut Permendagri No. 21 Tahun 2011,
APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan
disetujui oleh pemerintah daerah dan DPRD, serta ditetapkan dengan peraturan
daerah.
Unsur APBD tidak terlepas dari APBN. Transfer dari pemerintah pusat ke
daerah menjadi komponen penting dalam pendapatan daerah pada APBD.
Desentralisasi menurut UU tentang Pemerintahan Daerah bermakna penyerahan
urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan. Sebagai salah satu pilarnya adalah
desentralisasi fiskal yang merupakan transfer wewenang dan tanggung jawab
pengelolaan fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Desentralisasi sendiri merupakan salah
satu instrumen untuk mencapai tujuan bernegara diantaranya dalam hal penyediaan
layanan publik yang lebih baik. Sebagai daerah otonom, suatu daerah memiliki
berbagai sumber pendapatan – seperti Pendapatan Asli Daerah, dana transfer dari
Pemerintah Pusat, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah – yang dapat digunakan
untuk menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya kepada publik.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 14


Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pendapatan Asli Daerah adalah pedapatan yang
bersumber dan dipungut sendiri oleh pemerintah daerah. Sumber PAD dapat berasal
dari pajak daerah, retribusi daerah, laba dari badan usaha milik daerah (BUMD), dan
pendapatan asli daerah lainnya yang sah. Besaran PAD mencerminkan tingkat
kemandirian daerah tersebut.
Transfer Pemerintah Pusat meliputi Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana
Bagi Hasil, Dana Insentif Daerah, serta Dana Otonomi Khusus. Transfer ke daerah
atau Dana Perimbangan ini adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah tersebut dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi.
Gambar 3. Struktur APBD

Uraian
PENDAPATAN DAERAH
PENDAPATAN ASLI DAERAH
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
DANA PERIMBANGAN
Dana Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak
Dana Alokasi Khusus
LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH
Pendapatan Hibah
Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus
Jumlah Pendapatan
BELANJA DAERAH
BELANJA TIDAK LANGSUNG
BELANJA PEGAWAI
BELANJA BUNGA
BELANJA SUBSIDI
BELANJA HIBAH
BELANJA BANTUAN SOSIAL
BELANJA BANTUAN KEUANGAN KEPADA PROVINSI/KABUPATEN/KOTA DAN
PEMERINTAH DESA DAN PARTAI POLITIK
BELANJA TIDAK TERDUGA
BELANJA LANGSUNG
BELANJA PEGAWAI
BELANJA BARANG DAN JASA
BELANJA MODAL
Jumlah Belanja
Total Surplus/(Defisit)
PENERIMAAN PEMBIAYAAN
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Anggaran Sebelumnya
Penerimaan Pinjaman Daerah
Jumlah Penerimaan Pembiayaan
PENGELUARAN PEMBIAYAAN
Penyertaan Modal (Investasi) Pemerintah Daerah
Pembayaran Pokok Utang
Pemberian Pinjaman Daerah
Jumlah Pengeluaran Pembiayaan
Pembiayaan Netto

Sumber: Direktorat Jenderal Anggaran

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 15


Dana Alokasi Umum (DAU). Dana Alokasi Umum merupakan dana yang bersumber
dari Pendapatan APBN yang dialokasikan untuk mendanai kebutuhan daerah otonom
(provinsi/kabupaten/kota) dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang ditujukan
untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Penyaluran DAU oleh
Pemerintah Pusat dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan
keuangan antar daerah dengan menerapkan formula yang memertimbangkan tidak
hanya kebutuhan namun juga potensi daerah. Komponen yang termasuk dalam
formula DAU tersebut terdiri dari celah fiskal dan alokasi dasar. Alokasi dasar
mengacu pada jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah, adapun celah fiskal
merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dengan potensi daerah
(fiscal capacity). Kebutuhan fiskal daerah mencakup kebutuhan pendanaan daerah
dalam rangka pelaksanaan fungsi layanan dasar umum, yang diukur dari jumlah
penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, produk domestik regional bruto
per kapita, dan indeks pembangunan manusia. Adapun kapasitas fiskal daerah dapat
dilihat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH) dari pajak dan
sumber daya alam. Pemanfaatan DAU ini tidak terbatas pada pos belanja maupun
penggunaan tertentu, dengan demikian maka daerah dapat dengan leluasa
memanfaatkan DAU sesuai kebutuhan mereka.
Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang
bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan kepada provinsi/kabupaten/kota
tertentu ditujukan untuk mendanai kegiatan khusus urusan daerah tersebut sesuai
dengan prioritas nasional. Termasuk dalam kegiatan khusus sesuai dengan prioritas
nasional tersebut antara lain bidang pendidikan untuk mendukung program wajib
belajar pendidikan dasar 9 tahun; bidang kesehatan melalui peningkatan akses dan
kualitas pelayanan kesehatan; bidang infrastruktur jalan, irigasi, air minum, dan
sanitasi; serta bidang prasarana kawasan desa serta kawasan perbatasan.
Dana Bagi Hasil (DBH). Dana Bagi Hasil bersumber dari Pajak dan Sumber Daya
Alam adalah dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
Daerah berdasarkan persentase tertentu yang ditujukan untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil disalurkan
berdasarkan prinsip by origin (daerah penghasil) dan penyalurannya berdasarkan
realisasi penerimaan.
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah merupakan seluruh pendapatan daerah
selain pendapatan asli daerah dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana
darurat, dan lain-lain pendapatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Adapun belanja daerah dalam APBD dapat diklasifikasikan sebagai Belanja Tidak
Langsung dan Belanja Langsung.
Belanja Tidak Langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak
secara langsung terkait dengan produktivitas atau tujuan organisasi. Termasuk dalam
jenis belanja ini adalah kegiatan belanja daerah yang dianggarkan dan tidak memiliki

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 16


hubungan apapun secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.
Belanja tidak langsung dapat berupa belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan
social, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga.
Belanja Langsung. Belanja langsung merupakan belanja yang terkait langsung
dengan produktivitas kegiatan atau terkait langsung dengan tujuan organisasi.
Umumnya belanja langsung merupakan jenis belanja yang terkait langsung dengan
pelayanan terhadap masyarakat. Belanja jenis ini dibagi menjadi belanja pegawai,
belanja barang dan jasa, dan belanja modal.

Dominasi Pemerintah Pusat


Teori Fiscal Federalism dibangun oleh Richard Musgrave pada tahun 1959.
Menurut teori tersebut, melalui pembagian tanggung jawab – termasuk keuangan – di
antara pemerintah federal, negara bagian, dan pemerintah daerah, akan
meningkatkan pencapaian efisiensi ekonomi dan berbagai tujuan kebijakan publik.
Tambahan lagi menurut Oates (2006), desentralisasi fiskal membuat pemerintah
daerah dapat lebih efektif dan efisien dalam mengelola anggarannya sesuai dengan
karakteristik dan kondisi geografisnya. Dengan kewenangan yang dimilikinya,
pemerintah daerah memiliki posisi yang lebih unggul dalam menggali preferensi dan
kebutuhan daerahnya sehingga memunculkan berbagai inovasi. Hal tersebut dapat
meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas alokasi sumber daya.
Untuk melaksanakan fungsi pembangunan dan penyediaan layanan publik
tersebut, pemerintah daerah memiliki APBD dan menerima transfer pemerintah pusat
setiap tahunnya. Transfer dari pemerintah pusat yang diberikan sejak tahun 2000 dan
sejak APBN 2015 disebut Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), terus
bertambah nominalnya dari tahun ke tahun. Transfer ke daerah pada APBN 2000
sebesar Rp15,1 triliun, pada 2010 mencapai Rp322 triliun, dan pada 2020 telah
mencapai Rp762 triliun setelah perubahan dalam rangka penanganan wabah covid-
19.
Dua dekade berlalu dan peningkatan transfer ke daerah telah meningkat
berpuluh kali lipat. Peningkatan nominal tersebut di satu sisi mencerminkan besarnya
kepercayaan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan kewenangan fiskal yang
telah dilimpahkan dari pusat agar dapat melaksanakan pembangunan sesuai dengan
kearifan lokalnya. Namun di sisi lain mengindikasikan rendahnya kemampuan daerah
untuk membiayai sendiri anggarannya yang berarti semakin tingginya ketergantungan
daerah kepada dana perimbangan dari pusat.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meneliti efektivitas desentralisasi dan
dana perimbangan yang disalurkan ke daerah. Penelitian juga dilakukan untuk
mencari formula yang tepat sasaran mengenai penyaluran DAU dan komponen DAK.
Penelitian Tim Kajian Pusat Kebijakan APBN (2017) terhadap penyaluran dana
perimbangan selama 2012 – 2017 menunjukkan hal-hal sebagai berikut:

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 17


1. DAU relatif mampu memperbaiki ketimpangan kemampuan fiskal horizontal
berdasarkan indeks williamson. Namun penghitungan indeks williamson tersebut
belum menangkap seluruh jenis penerimaan daerah seperti DAK nonfisik yang
dialokasikan ke seluruh daerah untuk mendukung penyediaan layanan dasar.
Kesimpulannya, DAU belum sepenuhnya mampu memperbaiki ketimpangan
kemampuan fiskal antardaerah jika dilihat dari indikator total pendapatan daerah
dan pendapatan daerah per kapita.
2. Pemanfaatan DAU di daerah sulit ditelusuri karena bersifat block grant.
Pendekatan analisis korelasi memberikan gambaran bahwa daerah dengan
proporsi DAU tinggi cenderung mengalami perbaikan Indeks Pembangunan
Manusia, Angka Partisipasi Murni Sekolah Dasar, Angka Harapan Hidup, dan
penurunan jumlah penduduk miskin yang lebih tinggi. Selain itu juga mengalami
perbaikan PDRB per kapita, Angka Partisipasi Murni SMP, rata-rata lama sekolah,
akses air layak, dan akses sanitasi yang lebih rendah. Disimpulkan bahwa
kematangan pengelolaan keuangan daerah dalam proses penentuan prioritas
pembangunan dan eksekusi program menjadi kunci untuk meningkatkan value for
DAU.
Pentingnya mempertajam prioritas pembangunan juga menjadi kunci
efektivitas penyaluran DAK sebagaimana hasil penelitian Juanda & Handra (2017).
DAK sebagai salah satu komponen dana transfer daerah merupakan sistem transfer
yang meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal. Untuk itu DAK perlu
difokuskan untuk mendanai urusan daerah yang menjadi prioritas nasional untuk
mendorong pencapaian Standar Pelayanan Minimum (SPM). Untuk meningkatkan
keselarasan pencapaian tujuan dengan prioritas nasional, maka perlu diputuskan
penajaman prioritas khusus di beberapa bidang misalnya tiga bidang utama yaitu
infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Namun sebagai salah satu instrumen
pencapaian SPM (masih ada instrumen lainnya), DAK hanya bersifat sebagai
stimulus.
Walaupun secara relatif DAU dan DAK bermanfaat membantu daerah dalam
pelaksanaan pembangunan, namun besarnya transfer dari pemerintah pusat ke
daerah mengindikasikan tingginya ketergantungan daerah, rendahnya kreativitas
daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan asli daerahnya, yang pada
gilirannya akan membahayakan sustainabilitas APBN. Tingginya sentralisasi dalam
perpajakan juga kerap dituduh sebagai penyebab ketergantungan daerah kepada
pusat, karena pemerintah daerah tidak dapat leluasa menerapkan kebijakan
perpajakan di daerahnya. Namun dengan kecenderungan menumpuknya kas di
daerah, minimnya alokasi belanja modal dibandingkan belanja pegawai, dan besarnya
SILPA daerah juga menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pengelolaan
keuangan daerah.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 18


(Anas, 2019)
Selain itu implementasi birokrasi
CREATIVE COLLABORATION berbasis teknologi informasi (cyberocracy)
Ala Banyuwangi juga mulai digalakkan dengan menerapkan
sistem elektronik pada sebagian urusan
Banyuwangi dulu kurang dikenal. pemerintahan dan pelayanan publik di bawah
Berada di antara tiga kawasan hutan yang payung hukum Perbup Kabupaten
menjadi taman nasional: Alas Purwo, Banyuwangi No. 13/2018 tentang Sistem
Baluran, dan Meru Betiri, lokasinya sulit Manajemen Informasi Daerah (SIMDA).
dijangkau. Banyuwangi hanya menjadi Sistem tersebut memadukan antara Sistem
tempat numpang lewat sebelum ke Bali dan Informasi Manajemen Perencanaan,
kerap dicitrakan negatif sebagai kota santet. Penganggaran, dan Pelaporan yang
Padahal Kabupaten Banyuwangi merupakan mencakup pendapatan asli daerah, e-kinerja
wilayah paling luas di Propinsi Jawa Timur pegawai, dan perkembangan pembangunan
dan memiliki potensi alam yang sangat proyek.
besar. Kawasan pegunungannya merupakan Tidak seperti pengusaha
daerah penghasil komoditas perkebunan. (enterpreneur) yang mengutamakan
Dataran rendahnya memiliki berbagai perhitungan bisnis demi keuntungan
potensi hasil pertanian. Garis pantainya finansial, pemimpin berjiwa wirausaha
membujur dari utara ke selatan yang mengutamakan tujuan sosial. Motivasi untuk
merupakan daerah penghasil berbagai biota menyelesaikan masalah dan keinginan untuk
laut. melayani masyarakat harus jauh lebih besar.
Pola pikir wirausaha (enterpreneurial Kepala daerah seyogyanya mampu
mindset) mulai diperkenalkan di kabupaten mengatasi tantangan yang membatasi ruang
tersebut namun fokus perubahan terlebih gerak mereka dalam melayani masyarakat.
dahulu diarahkan pada pembenahan Daerahnya mungkin saja memiliki anggaran
birokrasi, peningkatan kualitas manusia baik kecil, namun pemimpin kreatif dituntut untuk
yang terlibat dalam pemerintahan maupun bisa mengatasi semua itu.
masyarakat umum. Birokrasi menjadi fokus Beberapa inovasi yang dilakukan
pembenahan pertama karena birokrasi Banyuwangi yaitu pembangunan Bandara
adalah inti bergulirnya roda pemerintahan, Banyuwangi yang telah meningkatkan
pembangunan, dan pelayanan kepada aksesibilitas wilayah ini terutama bagi
masyarakat di semua wilayah Banyuwangi. wisatawan. Dengan adanya bandara ini
Pada 2019 Banyuwangi meraih pengunjung tidah harus menempuh
Parasamya Purnakarya Nugraha yang perjalanan darat selama tujuh hingga
merupakan tanda kehormatan tertinggi dari delapan jam dari Surabaya. Pengelolaan
Presiden Republik Indonesia bagi daerah bandara ini selama beberapa tahun pertama
yang berprestasi dalam pelaksanaan dilakukan oleh satker Kementerian
pembangunan. Pada tahun 2010 Banyuwangi Perhubungan dan saat ini dikelola PT.
menempati peringkat ke-156 kinerja Angkasa Pura II, dengan demikian
pemerintah. dengan semangat perubahan pengoperasiannya selama ini tidak
yang dilakukan, lima tahun kemudian naik ke membebani APBD. Seiring dengan semangat
peringkat 20 dan terus naik hingga meningkatkan aksesibilitas, Pemkab
menempati peringkat ke-4 pada tahun 2018. Banyuwangi juga membangun jalan
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi sepanjang 300 kilometer setiap tahun
Pemerintah (SAKIP) Banyuwangi juga meraih sehingga berbagai lokasi tujuan wisata dapat
nilai tertinggi “A” selama 4 tahun berturut- lebih mudah dijangkau.
turut dari 2016 hingga 2019. Semangat wirausaha juga dilakukan
Pembenahan birokrasi dilakukan dengan mengembangkan koperasi dan
dengan perubahan paradigma birokrasi yang UMKM melalui pendekatan keuangan berupa
mau tidak mau harus diawali oleh pemimpin. pemerian akses pembiayaan, maupun non
Pemimpin daerah harus dapat memecahkan keuangan berupa pemberian pelatihan dan
persoalan operasional dengan pendampingan. Upaya ini berhasil
mentransformasi lembaga-lembaga di mendorong peningkatan ekspor beberapa
bawahnya menjadi lebih cepat tanggap, tidak produk pilihan Banyuwangi diantaranya
rumit, dan dinamis. Beberapa upaya yang ekspor beras organik dan ekspor kopi
dilakukan adalah mengoperasikan Mal premium.
Pelayanan Publik sebagai one stop service Pemerintah daerah Banyuwangi
bagi masyarakat untuk mengakses berbagai mengedepankan semangat kolaborasi antara
layanan mulai dari administrasi pemerintah dengan rakyat dan antar
kependudukan hingga izin usaha. Mal pemerintah daerah untuk dapat mewujudkan
tersebut berasal dari bangunan yang berbagai program pembangunan dan
terbengkalai selama empat tahun sejak layanan publik. Investasi dilakukan dengan
bergulirnya gugatan hukum pengelola yang tetap memerhatikan kearifan lokal dan
tidak menyetor bagi hasil kepada Pemkab berpihak kepada masyarakat Banyuwangi,
Banyuwangi. demi melestarikan identitas daerah.
Sumber: (Anas, 2019)

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 19


C. LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH SEBAGAI ALAT
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) adalah laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang disusun sesuai dengan Standar
Akuntansi Pemerintah. LKPP merupakan kosolidasian laporan keuangan
Kementerian/Lembaga yang disusun dengan berdasarkan best practice dalam
pengelolaan keuangan Negara.
Kerangka Konseptual Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) menyatakan
bahwa pelaporan keuangan pemerintah seharusnya menyajikan informasi yang
bermanfaat bagi para pengguna dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan,
baik keputusan ekonomi, sosial, maupun politik. Berikut ini fungsi Laporan Keuangan
Pemerintah yang ingin dicapai sesuai kerangka konseptual SAP.
a. Menyediakan informasi mengenai kecukupan penerimaan periode berjalan untuk
membiayai seluruh pengeluaran.
b. Menyediakan informasi mengenai kesesuaian cara memperoleh sumber daya
ekonomi dan alokasinya dengan anggaran yang ditetapkan dan peraturan
perundang-undangan.
c. Menyediakan informasi mengenai jumlah sumber daya ekonomi yang digunakan
dalam kegiatan entitas pelaporan serta hasil-hasil yang telah dicapai.
d. Menyediakan informasi mengenai bagaimana entitas pelaporan mendanai
seluruh kegiatannya dan mencukupi kebutuhan kasnya.
e. Menyediakan informasi mengenai posisi keuangan dan kondisi entitas pelaporan
berkaitan dengan sumber-sumber penerimaannya, baik jangka pendek maupun
jangka panjang, termasuk yang berasal dari pungutan pajak dan pinjaman.
f. Menyediakan informasi mengenai perubahan posisi keuangan entitas pelaporan,
apakah mengalami kenaikan atau penurunan, sebagai akibat kegiatan yang
dilakukan selama periode pelaporan.
Laporan keuangan pemerintah berfungsi tidak hanya sebagai laporan
pertanggungjawaban publik atas kegiatan yang telah dilaksanakan, namun juga
sebagai bahan evaluasi untuk membandingkan antara rencana dengan realisasi dan
sebagai dasar penyusunan rencana kerja periode berikutnya. Bagi pemerintah
daerah, informasi keuangan yang disajikan dalam LKPD dapat mendukung
manajemen pemerintahan daerah untuk keperluan perencanaan, pengendalian, serta
pengambilan keputusan. Namun kenyataannya, LKPD belum banyak digunakan oleh
para penyelenggara pemerintahan daerah dalam proses pengambilan keputusan.
Penyebabnya antara lain kuatnya dominasi paradigma politik dalam penyelenggaraan
manajemen pemerintahan daerah serta kualitas LKPD yang belum memenuhi
karakteristik relevan, andal, dapat diperbandingkan, dan dipahami (Suhartanto, 2013).
Relevansi. Secara kuantitatif, informasi keuangan telah disajikan dalam laporan
realisasi anggaran, neraca dan laporan arus kas melalui sistem akuntansi pemerintah
daerah yang akurat. Namun demikian, informasi kuantitatif tersebut belum dapat

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 20


digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan manajerial karena kurang didukung
dengan informasi kualitatif (full disclosure presentation) dalam Catatan Atas Laporan
Keuangan (CALK). Informasi keuangan yang disajikan dalam CALK hanya memuat
rincian data kuantitatif dan belum memberikan informasi kualitatif yang memberikan
penjelasan serta latar belakang dari angka yang disajikan dalam LKPD. Beberapa
informasi kualitatif yang perlu diungkapkan dalam CALK antara lain: analisis laporan
keuangan, analisis kinerja keuangan, serta penjelasan yang melatarbelakangi data-
data keuangan yang disajikan.
Keandalan. Belum semua daerah memperoleh Opini Wajar Tanpa Pengecualian dari
BPK yang berarti secara umum laporan keuangan pemerintah daerah belum dapat
memberikan informasi keuangan yang andal. Kurang andalnya laporan keuangan
mengandung risiko besar jika informasi tersebut digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan.
Dapat diperbandingkan. LKPD hanya menyajikan pembandingan data dengan
LKPD tahun sebelumnya dan belum mampu memberikan daya banding secara
internal maupun secara eksternal. Kebijakan pemerintah yang sering berubah
terhadap transaksi keuangan daerah mengakibatkan LKPD belum dapat
diperbandingkan secara internal. Disamping itu, belum seragamnya pemahaman dan
perlakukan sistem dan prinsip akuntansi antar pemerintah daerah juga
mengakibatkan daya banding LKPD secara eksternal belum dapat disajikan.
Dapat dipahami. Kemampuan pengguna untuk memahami informasi keuangan
dalam LKPD masih sangat lemah, disamping LKPD sendiri tidak memberikan
informasi yang mudah dicerna dan dipahami oleh pengguna yang secara akademis
tidak memiliki pemahaman akuntansi. Diperlukan penjelasan dan analisis untuk
menjembatani kesenjangan pemahaman ini dengan menguraikan analisis laporan
keuangan serta analisis kinerja keuangan dalam komponen Catatan Atas Laporan
Keuangan.

Government Finance Statistics


Sesuai dengan amanat Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Keuangan
Negara, Laporan Keuangan Pemerintah harus dapat menyajikan data statistik
keuangan yang mengacu kepada manual Statistik Keuangan Pemerintah
(Governement Finance Statistics/GFS) sehingga dapat memenuhi kebutuhan analisis
kebijakan dan kondisi fiskal, pengelolaan dan analisis perbandingan antarnegara
(cross country studies), kegiatan pemerintahan, dan penyajian statistik keuangan
pemerintah.
GFS edisi pertama diterbitkan oleh International Monetary Fund (IMF) pada
tahun 1986 yang berisi uraian atas sistem statistik makro ekonomi, yang dirancang
untuk mendukung analisis fiskal suatu negara. Government Finance Statistics (GFS)
atau Statistik Keuangan Pemerintah menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor
275/PMK.05/2014 tentang Manual Statistik Keuangan Pemerintah Indonesia
didefinisikan sebagai “suatu sistem pelaporan yang menghasilkan data yang
komprehensif atas aktivitas ekonomi dan keuangan pemerintah dan sektor publik yang

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 21


dilaksanakan dengan mengacu pada Manual Statistik Keuangan Pemerintah
Indonesia”.
Tujuan dan kegunaan GFS menurut PMK Nomor 275/PMK.05/2014 antara lain
adalah:
a. Digunakan untuk penyusunan kebijakan fiskal dan analisis perkembangan operasi
keuangan, posisi keuangan dan kondisi likuiditas sektor pemerintahan umum atau
sektor publik secara konsisten dan sistematis.
b. Sebagai analisis pengaruh kebijakan fiskal terhadap ekonomi, termasuk sumber
daya yang digunakan, beban pajak, kondisi keuangan, dan utang nasional.
c. Sebagai analisis fiskal dan sektor publik dan sumbangannya terhadap
perekonomian seperti permintaan, investasi dan tabungan agregat.
d. Sebagai analisis efektivitas pengeluaran terhadap pengentasan kemiskinan dan
kesinambungan kebijakan fiskal.
Manual Statistik Keuangan Pemerintah (MANSIKAPI) mengacu pada
Government Finance Statistics Manual (GFSM) 2014 yang bertujuan untuk
menyediakan kerangka konseptual dan akuntansi yang komprehensif untuk analisis
dan evaluasi kebijakan fiskal, khususnya kinerja sektor pemerintahan umum (general
government sector) dan sektor public (public sector) di Indonesia. Selain itu, Manual
Statistik Keuangan Pemerintah juga disusun untuk mengembangkan kerangka dan
sistem statistik keuangan pemerintah dalam rangka penyusunan laporan Statistik
Keuangan Pemerintah, dengan mempertimbangkan kondisi dan kepentingan
Pemerintah Indonesia serta mengkaitkannya dengan standar dan sistem akuntansi
pemerintahan yang diterapkan di Indonesia.
Sistem akuntansi pemerintahan yang diadopsi di Indonesia menghasilkan
laporan keuangan pemerintah dalam rangka pertanggungjawaban yang juga
digunakan dalam rangka pengambilan keputusan fiskal. Keterbatasan sistem
akuntansi belum sepenuhnya sejalan dan mengakomodasikan konsep-konsep statisik
dan makro ekonomi sehingga diperlukan penerapan statistik keuangan pemerintah
sebagai penerjemah informasi akuntansi ke dalam bahasa yang lebih dimengerti dan
sejalan dengan sistem statistik makro ekonomi yang digunakan dalam ekonomi dan
statisik.

Laporan Statistik Keuangan Pemerintah


Output penerapan GFS di Indonesia adalah Laporan Statistik Keuangan
Pemerintah yang selanjutnya disingkat LSKP. Menurut PMK Nomor
275/PMK.05/2014 LSKP adalah “laporan yang disusun dalam rangka pengambilan
kebijakan fiskal dan makro ekonomi selama suatu periode berdasarkan klasifikasi
Statistik Keuangan Pemerintah. LSKP inilah nantinya yang menjadi alat untuk
menganalisis dan mengevaluasi kebijakan fiskal Indonesia.”
Laporan Statistik Keuangan Pemerintah terdiri dari empat laporan antara lain:
1. Laporan Operasional (LO)
Laporan operasional adalah ringkasan transaksi, yang berasal dari interaksi yang
disepakati bersama antara institusi, pada suatu periode akuntansi yang

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 22


mengakibatkan perubahan posisi keuangan. Laporan operasional mencatat
semua transaksi selama periode akuntansi, yang diklasifikasikan menjadi
pendapatan, beban, perolehan aset non-keuangan neto, perolehan aset
keuangan neto, atau keterjadian kewajiban neto.
2. Laporan Arus Ekonomi Lainnya
Laporan arus ekonomi lainnya menyajikan perubahan dalam aset, kewajiban dan
kekayaan neto (net worth) yang berasal dari sumber selain transaksi. Laporan
arus ekonomi lainnya menyajikan pengaruh perubahan harga pada berbagai
kejadian ekonomi lainnya yang bukan berasal dari transaksi pada aset, kewajiban
dan kekayaan neto pemerintah, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan nilai
atau volume aset, kewajiban dan kekayaan neto, seperti penghapusan utang dan
kerugian.
3. Neraca
Neraca menyajikan aset, kewajiban dan kekayaan neto pada akhir periode
akuntansi. Neraca adalah laporan posisi aset keuangan dan non-keuangan yang
dimiliki, posisi klaim terhadap pemilik aset tersebut dalam bentuk kewajiban, dan
kekayaan neto sektor tersebut. Kekayaan neto sama dengan total aset dikurangi
dengan kewajiban.
4. Laporan Sumber dan Penggunaan Kas
Laporan sumber dan penggunaan kas mencatat arus kas masuk dan arus kas
keluar menggunakan klasifikasi yang sama dengan laporan operasi. Informasi
tentang sumber dan penggunaan kas penting untuk menilai likuiditas. Laporan
sumber dan penggunaan kas menunjukkan total kas yang dihasilkan atau
digunakan untuk operasi tahun berjalan, transaksi aset non-keuangan, dan
transaksi aset keuangan dan kewajiban selain uang dan deposito.

Implementasi Government Finance Statistic di Indonesia dijelaskan melalui


Teori Institusional. Dengan teori institusional dijelaskan bahwa terdapat tekanan-
tekanan institusional yang mempengaruhi pengambilan kebijakan dalam
implementasi GFS antara lain tekanan coersive, mimetic, dan normative. Teori
institusional berhubungan dengan struktur sosial. Teori institusional memperlihatkan
bagaimana struktur seperti skema, aturan, norma, dan rutin menjadi bentuk yang
bersifat otoritatif untuk terjadinya perilaku sosial.(Istiqomah, 2018)

Tekanan Coersive. Implementasi GFS di Indonesia terkait dengan berbagai pihak


baik dari dalam maupun luar institusi organisasi yang menyebabkan tekanan coersive
berasal organisasi lain maupun dari luar negeri. Tekanan coersive dimulai dari amanat
UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengharuskan
laporan keuangan pemerintah dapat menghasilkan statistik keuangan serta sebagai
bentuk pelaksanaan rekomendasi Badan Anggaran DPR RI dalam upaya perbaikan
pengelolaan keuangan negara. Tekanan coersive dari luar negeri merupakan bentuk
pelaksanaan rekomendasi IMF dan G20.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 23


Tekanan Mimetic. Tekanan mimetic berarti bahwa implementasi GFS di Indonesia
menjadi sebuah kebijakan untuk meniru praktik sejenis pada organisasi lain. Tekanan
ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan persepsi mengenai GFS antara penyusun
dan pengguna laporan GFS mengenai konsep dan manfaat GFS. Hal ini
mengindikasikan belum adanya identifikasi dan koordinasi stakeholders GFS secara
komprehensif, baik yang berfungsi sebagai penyusun maupun pengguna informasi
GFS.

Tekanan Normative. Tekanan institusional yang bersifat normative sering dikaitkan


dengan profesionalisasi yang muncul di bidang tertentu. Tekanan normative yang
timbul dalam implementasi GFS antara lain perwujudan good governance dan
perwujudan visi DJPb untuk menjadi pengelola perbendaharaan negara yang unggul
di tingkat dunia.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 24


ANALISIS LAPORAN KEUANGAN
SEKTOR PUBLIK

Setelah mempelajari bab ini, kalian diharapkan dapat memahami hal-hal berikut ini:

1. Mengapa akuntabilitas sektor publik penting.


2. Bagaimana laporan keuangan pemerintah daerah dapat membantu pengambilan keputusan
dalam rangka kegiatan pembangunan dan pelayanan publik.
3. Bagaimana kondisi keuangan pemerintah daerah yang tercermin dari laporan keuangannya.
4. Mengidentifikasi komposisi laporan keuangan pemerintah daerah dan hubungan antar akun.
5. Mengidentifikasi kemandirian pemerintah daerah.
6. Memahami kinerja pemerintah daerah dari sisi pendapatan dan belanjanya.
7. Memahami alat analisis yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah
daerah.

A. TUJUAN ANALISIS LAPORAN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK


Akuntabilitas Pemerintah dalam Sektor Publik
Tahun 1998 meninggalkan catatan sejarah yang cukup dalam bagi Indonesia.
Berakhirnya Orde Baru yang digantikan Reformasi serta berhasilnya Indonesia keluar
dari masa krisis menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan,
khususnya dalam bidang sosial ekonomi. Dengan masuknya Indonesia ke masa
pemulihan, Pemerintah berusaha melakukan reformasi dalam berbagai bidang. Salah
satu upaya yang dilakukan yaitu dengan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa atau yang dikenal dengan good governance.
Good governance sesuai Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000 yaitu
bentuk pemerintahan yang mengemban dan menerapkan prinsip-prinsip
profesionalisme, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi,
efektifitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Dari sini
dapat dilihat bahwa pemerintah sebagai pelaku utama dalam good governance
dituntut untuk dapat memberikan pertanggungjawaban yang lebih transparan dan
akurat.
Kompleksitas Sektor Publik
Pemerintah memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat
dalam pelayanan publik. Karenanya diperlukan akuntabilitas yang baik agar
memenuhi kepercayaan masyarakat. Namun penyelenggaraan sektor publik
kompleks dan rumit. Dalam menyediakan suatu kebijakan, pemerintah harus
mengambil keputusan yang dapat memengaruhi jalannya pada tingkat pemerintahan,
tidak hanya keputusan individual semata. Peraturan ataupun pelayanan publik yang
ada sekarang merupakan sebuah hasil dari rantai komando yang panjang.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 25


Suatu pelayanan publik pada umumnya melibatkan lebih dari satu Kementerian
atau Lembaga. Misalnya dana Bantuan Operasional Sekolah melibatkan Kementerian
Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Kompleksitas ini sering menimbulkan tantangan dalam hal akuntabilitas
seperti kurangnya fokus pemerintah dalam mencapai tujuannya baik terkait
bagaimana informasi tersebut dapat menunjukkan kinerja tiap K/L dalam
melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat, bagaimana upaya pencapaian tujuan
pemerintah serta tanggung jawab mengenai adanya mekanisme yang dapat menilai
bagaimana keputusan di suatu K/L dapat mempengaruhi pemerintahan, bagaimana
pengambilan keputusan yang diimplementasikan dari kesuksesan atau kegagalan di
periode sebelumnya, dan bagaimana intervensi politik ikut melatarbelakangi
pelayanan dan keputusan yang diberikan.
Selain banyaknya lembaga yang terlibat dalam suatu pelayanan publik,
akuntabilitas disektor pemerintah juga menjadi sebuah tantangan ketika terjadi
dinamika pelayanan. Pada umumnya dinamika pelayanan ini diikuti dengan
pergantian kabinet yang pada akhirnya ikut menyebabkan berubahnya kebijakan
akibat kabinet yang baru.
Infrastruktur Akuntansi Sektor Publik Indonesia
Alat yang digunakan dalam hal pertanggungjawaban dan akuntabilitas laporan
pemerintah ialah laporan keuangan. Laporan keuangan yang baik berasal dari
infrastruktur akuntansi yang baik pula. Dalam akuntansi sektor publik, elemen dasar
yang mempengaruhi struktur akuntansi dipengaruhi oleh faktor kondisi politik,
ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya serta sistem yang sesuai dengan keadaan
negara yang bersangkutan (Wallace and Briston, 1993). Seperti yang kita ketahui,
sosial-ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang signifikan setelah berhasil
keluar dari masa krisis pada tahun 1998 dan memulai masa reformasi. Masa ini
menuntut sebuah evaluasi yang mendetail bagaimana pemerintah menggunakan
sumber daya yang terbatas dalam menjalankan pemerintahan yang efektif dan efisien.
Akibatnya salah satu yang menjadi fokus pemerintah dalam melakukan perubahan
ialah sektor akuntansi publik.
Infrastruktur akuntansi sektor publik dipengaruhi oleh 3 elemen yaitu demand
(permintaan), supplies (penyedia), dan regulatory (peraturan). Dalam hal permintaan,
laporan keuangan pemerintah Indonesia dibuat untuk memenuhi tuntutan sebagai
good governance yaitu:
1. Sebagai alat akuntabilitas pemerintah dalam mengolah dan menggunakan
sumber daya yang terbatas untuk mencapai tujuannya
2. Sebagai alat manajemen untuk menghasilkan sebuah keputusan dan
mengendalikan aset, hutang serta ekuitas yang memerlukan pembiayaan.
3. Untuk menghasilkan sebuah laporan yang jujur dan transparansi bagi pemangku
kepentingan.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 26


Selain tuntutan sebagai good governance, infrastruktur akuntansi yang baik
juga dilakukan untuk memenuhi pertanggungjawaban kepada masyarakat, DPR dan
BPK, pemangku kepentingan yang terlibat dalam donasi, investasi, dan hutang serta
pihak pemerintah itu sendiri.
Selain dipengaruhi oleh permintaan, infrastruktur akuntansi keuangan suatu
negara juga dipengaruhi oleh penyedia informasi akuntansi yang bersangkutan. Hal
ini berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan akuntansi, termasuk di dalamnya
institusi dan kurikulum serta instruksi yang berkualitas. Profesi akuntansi di Indonesia
dibawahi oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dimana mereka juga turut memiliki
pelatihan akuntan dan auditor sektor publik. Namun, hanya sedikit institusi pendidikan
yang menghasilkan akuntan sektor publik. Banyak lulusan perguruan tinggi berkarir
dalam dunia akuntansi keuangan sektor swasta. Akuntansi sektor publik dan
akuntansi sektor swasta memiliki perbedaan yang cukup signifikan dan kurikulum
perguruan tinggi di Indonesia belum mendukung ini.
Faktor peraturan juga ikut berpengaruh terhadap infrastruktur akuntansi sektor
publik. Setelah Indonesia berhasil keluar dari masa krisis pada tahun 1998,
pemerintah banyak melakukan perubahan dalam bidang sosial-ekonomi termasuk
keuangan negara. Dalam rentang tahun 2003-2004, Indonesia telah menghasilkan
satu set undang-undang di bidang keuangan negara. Undang-undang tersebut
adalah, UU no. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU no. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara dan UU no. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Selain undang-undang,
pemerintah juga turut membentuk Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP)
berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2004 tentang
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan. KSAP bertugas mempersiapkan
penyusunan konsep Rancangan Peraturan Pemerintah tentang SAP sebagai prinsip-
prinsip akuntansi yang wajib diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan
keuangan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah. SAP diadaptasi dari
International Public Sector Standards (IPSAS) yang disesuaikan dengan kondisi di
Indonesia yang dipengaruhi oleh hukum yang berlaku, praktik keuangan dan sumber
daya yang tersedia. Perkembangan ini juga diikuti dengan proses transisi yang
awalnya akuntansi berbasis kas menjadi berbasis kas menuju akrual. SAP diharapkan
dapat memfasilitasi pemerintah Indonesia dalam membuat laporan keuangan.

Laporan Keuangan Sebagai Bentuk Akuntabilitas Pemerintah


Berkembangnya akuntansi sektor pemerintah dipengaruhi oleh tingginya
permintaan akan akuntabilitas dalam pasar ekonomi dan demokrasi. Pemerintahan
yang demokratis dan transaksi pasar membutuhkan serta mendorong perkembangan
norma timbal balik dengan pertukaran manfaat yang dapat diukur yang merupakan
dasar dari akuntabilitas. Informasi akuntansi tersebut dapat digunakan untuk
mengawasi dan melaksanakan baik itu kontrak sosial, ekonomi maupun politik. Ketika
sebuah pemerintahan terlibat dalam kegiatan pasar, baik itu membeli atau
menghasilkan jasa, meminjam atau meminjamkan uang, maka pemerintahan tersebut

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 27


merupakan pelaku dari akuntabilitas ekonomi. Ketika pemerintah memungut pajak
untuk membiayai pelayanan publik, ada akuntabilitas politik dalam hal tersebut.
Perkembangan akuntansi pemerintah berhubungan erat dengan bentuk
konstitusional dari suatu pemerintahan yang melaksanakan pemisahan kekuasaan
dan pengecekan antara legislatif, eksekutif maupun yudisial. Laporan keuangan
dalam pemerintahan menjadi sangat penting karena merupakan salah satu bentuk
pertanggungjawaban pemerintah.

B. KONDISI KEUANGAN PEMERINTAH/SEKTOR PUBLIK


Dalam melakukan analisis laporan keuangan pemerintah, hal penting yang
perlu kita lakukan adalah memahami kondisi keuangan dari pemerintah yang
bersangkutan. Bagaimana pemerintah memperoleh dan memanfaatkan dana untuk
memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Pajak merupakan pendapatan negara yang
cukup besar. Pajak telah menjadi tulang punggung keuangan negara dan
kontribusinya menjadi sangat vital. Pada APBN 2019, penerimaan perpajakan
menyumbang 82,5% dari total pendapatan negara. Hal tersebut memberikan implikasi
bahwa dana yang dibutuhkan pemerintah untuk menjalankan roda pemerintahan dan
menyediakan akses layanan dasar bergantung pada penerimaan pajak.
Penerimaan dari sektor pajak tidaklah cukup dalam memenuhi kebutuhan
pembangunan. Indonesia mengalami ketertinggalan dalam hal infrastruktur dan
konektivitas sehingga menimbulkan biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh
masyarakat hingga rendahnya daya saing nasional. Dengan diterapkannya kebijakan
fiskal ekspansif (dimana belanja lebih besar daripada pendapatan), pemerintah
memerlukan sumber pendapatan lain guna mengakselerasi pembangunan
infrastruktur dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang mendesak dan tidak dapat
ditunda. Keuangan negara yang defisit tersebut dapat ditutupi melalui
pembiayaan/hutang. Hutang tersebut ketika digunakan dengan baik, dapat
meningkatkan standar kehidupan negara yang bersangkutan karena digunakan untuk
belanja produktif. Hutang menjadi pilihan pemerintah karena lebih aman dari investasi
langsung. Selain itu, hutang pemerintah juga lebih minim risiko dibandingkan obligasi
swasta yang diterbitkan di pasar saham. Hutang pemerintah menjadi menarik bagi
investor yang mencari investasi dengan risiko minim karena dijamin oleh negara.

Otonomi Daerah dan Kemandirian Pemerintah Daerah dalam Mengelola


Keuangan
Diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan
Otonomi Daerah menyebabkan perubahan yang mendasar dalam pengelolaan
keuangan daerah. UU No. 32 Tahun 2004 mendefinisikan otonomi daerah sebagai
hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pengelolaan keuangan daerah juga diikuti dengan kehadiran
paket undang-undang dalam bidang keuangan negara yaitu UU No. 17 Tahun 2003,

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 28


UU No. 1 Tahun 2004, dan UU No. 15 Tahun 2004. Paket undang-undang keuangan
negara ini mengubah pola yang tadinya financial administration (administrasi
keuangan) menjadi financial management (pengelolaan keuangan).
Dalam melaksanakan pembangunan daerah, masalah keuangan merupakan
masalah utama dalam rangka penerimaan dan pengeluaran oleh pemerintah demi
kesejahteraan rakyatnya. Dua dekade setelah penerapan otonomi daerah,
pemerintah daerah masih bergantung pada pemerintah pusat. Hal ini bisa disebabkan
oleh beberapa hal seperti sentralisasi pajak yang menyebabkan kurangnya peran
perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan bagi daerah yang bersangkutan;
perkembangan penduduk yang tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan
negara; persaingan antar pemerintah daerah dan kenaikan DAU yang menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat. Ketergantungan terhadap dana transfer dari
pemerintah pusat juga tidak diimbangi dengan perbaikan pengelolaan keuangan yang
baik.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, salah satu kriteria untuk mengetahui
kemampuan pemerintah daerah ialah melalui kemandirian/self supporting dalam
mengatur keuangannya. Artinya daerah tersebut mampu menghasilkan sumber
pendapatan sendiri serta mengelola dan menggunakannya untuk memenuhi
kewajiban dalam penyelenggaraan daerah. Faktanya, dari sekitar 60 daerah, hanya
10% yang mampu mengelola keuangannya secara mandiri. 90% sisanya masih
bergantung pada dana transfer daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat (DAU,
DAK, Dana Insentif Daerah). Dari 60 daerah tersebut, Surabaya menunjukkan PAD
(Pendapatan Asli Daerah) yang cukup besar dan dapat dikelola dengan baik. Wilayah
Papua & sekitarnya menempati urutan terakhir dalam hal kemandirian. Terlepas dari
sumber daya alamnya yang cukup kaya, PAD kabupaten/kota Papua tidak bisa
menutup belanjanya. Salah satu faktornya ialah, pajak dari penggalian sumber daya
alam tidak langsung diterima oleh Pemerintah daerah Papua, melainkan disetor ke
pusat yang kemudian ditransfer kembali dalam bentuk Dana Transfer Daerah.

C. PENGUKURAN KINERJA DAN PERAMALAN (FORECASTING)


KONDISI KEUANGAN PEMERINTAH/SEKTOR PUBLIK
Pengukuran kinerja keuangan penting guna menilai akuntabilitas pemerintah
daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. Akuntabilitas pemerintah daerah
tertuang dalam bentuk Laporan Keuangan yang menyajikan informasi mengenai
posisi keuangan, realisasi anggaran, serta kinerja keuangan yang dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan. Penilaian kinerja keuangan dapat dilihat dari
analisis rasio yang berasal dari Laporan Pertanggungjawaban berupa perhitungan
APBN/APBD. Hasil analisis rasio tersebut dapat digunakan untuk menilai kemandirian
pemerintah daerah dalam mengelola pendapatan/PAD, kemampuan dan efektivitas
perolehan penadapatan/PAD, bagaimana pendapatan/PAD tersebut dibelanjakan
serta pertumbuhan dan perkembangan pendapatan dan pengeluaran selama periode
tertentu.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 29


Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Saat Ini
Analisis laporan keuangan pemerintah terutama di Indonesia sangat jarang
dilakukan. Akibatnya, belum ada standar yang pasti bagaimana sebaiknya analisis
keuangan tersebut dilakukan. Hal ini bisa diakibatkan dari sisi eksternal maupun
internal. Dari sisi eksternal, investor belum melihat analisis laporan keuangan
pemerintah sebagai sesuatu yang penting, hanya sebagai yield curve untuk investasi
yang sejenis. Dari sisi internal, analisis laporan keuangan pemerintah menjadi sulit
karena dalam penyusunannya banyak dipengaruhi oleh makroekonomi dan transfer
daerah.
Program APBN/APBD untuk tahun berikutnya tidak didasarkan pada laporan
tahun lalu, melainkan pada program pembangunan (RPJMN/RPJMD). Namun, seiring
dengan meningkatnya permintaan akan pemerintahan yang lebih efektif, efisien,
transparan dan akuntabel, kebutuhan terkait analisis laporan keuangan pemerintah
tidak dapat di tunda. Salah satu cara terbaik untuk melakukan analisis laporan
keuangan pemerintah ialah menggunakan analisis rasio walaupun karakteristik yang
dibawa bisa jadi berbeda. Perbedaan karakteristik yang sebaiknya menjadi perhatian
yaitu:
a. Kelengkapan catatan atas laporan keuangan
b. Anggaran pemerintah daerah didasarkan pada inflasi, bukan kinerja
c. Indikator Kinerja Utama diukur dari target yang hendak dicapai, pada penyusunan
anggaran yang terstruktur. Hal ini terlihat dari revisi RKA K/L yang dilakukan oleh
pemerintah. Akibatnya perencanaan tidak komprehensif dan penyerapan
anggaran besar-besaran di akhir tahun.
Keterbatasan Dalam Melakukan Analisis Laporan Keuangan Pemerintah
1. Laporan pemerintah masih berbasis kas, bahkan di level pemerintah pusat.
Akuntansi akrual baru diterapkan pada tahun 2016 dengan catatan masih pada
tahap transisi ke akrual sehingga laporan keuangan yang dihasilkan bersifat cash
towards accrual.
2. Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah sangat umum
sesuai dengan ketentuan SAP dan pemenuhan syarat audit, tidak spesifik untuk
pengguna laporan keuangan tertentu. Hal ini menjadi perhatian karena
ketersediaan informasi dapat mempengaruhi/menghambat proses analisis yang
ada.
3. Subjektivitas yang sangat tinggi karena disusun berdasarkan asumsi/estimasi.
4. Informasi yang ada kebanyakan bersifat kuantitatif. Informasi kualitatif seperti
opini auditor, pemungutan pajak, penjelasan mengapa anggaran defisit dan lain-
lain sangat sulit ditemukan. Hal ini menjadi isu penting bagi pemerintah daerah.
Sedangkan pada pemerintah pusat, hal tersebut dapat diatasi dengan
menyediakan nota keuangan.
5. Laporan keuangan tidak sepenuhnya menunjukkan kinerja pemerintah daerah,
namun terfokus pada kondisi keuangan karena hanya mengandung angka.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 30


Tujuan Analisis Laporan Keuangan
1. Akuntabilitas
Pemerintah dapat mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan negara
kepada masyarakat. Bagaimana anggaran tersebut dibuat, apa tujuannya, apa
manfaat yang hendak dicapai dan bagaimana mengukur manfaat yang dihasilkan
dari program pemerintah.
2. Manajemen
Mengukur, menganalisa dan memberikan masukan ke pemerintah dalam proses
penganggaran, khususnya dalam menyusun anggaran tahun berikutnya. Tidak
hanya semata-mata untuk memenuhi target pembangunan, namun juga diikuti
dengan pengelolaan keuangan yang baik sehingga lebih efektif dan efisien.
3. Transparansi
Memahami kondisi keuangan pemerintah. Hal ini terlihat dari komposisi/susunan
anggaran pada tahun yang bersangkutan sehingga masyarakat dapat memahami
situasi dan kondisi keuangan negaranya masing-masing. Selain itu, transparansi
juga membantu untuk mengukur sejauh mana pemerintah dapat membiayai
program/kegiatan yang direncanakan.
4. Keseimbangan antar-generasi
Menganalisis bagaimana pemerintah dapat memenuhi/melunasi kewajiban dan
hutangnya dan seberapa jauh kewajiban tersebut akan membebani generasi
berikutnya.
5. Evaluasi kinerja
Menilai perkembangan dan kinerja keuangan pemerintah, mengidentifikasi
bagaimana pemerintah memperoleh pendapatan dan menyusun proyeksi
keuangan di masa depan. Hal ini diperoleh melalui identifikasi antar akun maupun
antar laporan keuangan yang dapat digunakan untuk memprediksi proyeksi
keuangan masa depan.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 31


IMPLEMENTASI ANALISIS
LAPORAN KEUANGAN SEKTOR
PUBLIK

Setelah mempelajari bab ini, kalian diharapkan dapat memahami hal-hal berikut ini:

1. Mengidentifikasi struktur/komposisi laporan keuangan pemerintah dan hubungan antar akun.


2. Mengetahui alat analisis yang digunakan pada laporan keuangan pemerintah daerah.
3. Mengimplementasikan analisis laporan keuangan sektor publik.
4. Mengidentifikasi rasio keuangan dan menghubungkannya dengan kinerja pemerintah daerah.
5. Memahami dan menentukan kondisi keuangan pemerintah daerah.

A. STRUKTUR/KOMPOSISI LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH


DAN HUBUNGAN ANTAR AKUN
APBN/APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah) merupakan rencana
keuangan tahunan pemerintahan negara/daerah yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR/DPRD). APBN,
perubahan APBN dan pertanggungjawaban APBN setiap tahunnya ditetapkan
undang-undang. Umumnya struktur APBN/APBD terdiri atas tiga bagian yaitu
pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Berikut adalah gambaran struktur
APBN/APBD.

APBN APBD

1. Pendapatan Negara 1. Pendapatan Daerah


a) Pendapatan Pajak a) Pendapatan Asli Daerah
(PAD)
a. Pendapatan Pajak Dalam
Negeri b) Dana Perimbangan
b. Pendapatan Pajak Luar c) Lain-Lain Pendapatan Daerah
Negeri yang Sah
b) Penerimaan Negara Bukan 2. Belanja Daerah
Pajak (PNBP) a) Belanja Operasi
a. Penerimaan SDA b) Belanja Modal
b. Pendapatan bagian laba c) Belanja Tak Terduga
BUMN
3. Transfer
c. PNBP Lainnya
a) Transfer Perbantuan
d. Pendapatan BLU Keuangan

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 32


2. Belanja Negara 4. Pembiayaan
a) Belanja Pemerintah Pusat a) Penerimaan Pembiayaan
b) Transfer Daerah dan Dana b) Pengeluaran Pembiayaan
Desa
3. Pembiayaan
a) Pembiayaan Dalam Negeri
b) Pembiayaan Luar Negeri
Sumber: Diolah dari LKPP, Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan Laporan Keuangan
Pemerintah daerah Jakarta 2018.

Alat Analisis
Dalam melakukan analisis laporan keuangan sektor publik, terdapat beberapa alat
analisis yang dapat digunakan untuk mengetahui kinerja dan kondisi keuangan
pemerintah daerah. Secara garis besar, analisis dapat dilakukan baik dengan
melakukan perbandingan antar komponen maupun antar laporan keuangan, serta
melakukan analisis rasio.

Perbandingan Antar Komponen dan Antar Laporan Keuangan


1. Analisis Horizontal dan Vertikal
Analisis horizontal dilakukan dengan membandingkan komponen antar laporan
keuangan. Perbandingan antara laporan keuangan yang dipakai ialah laporan
keuangan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Selain membandingkan
kinerja antar daerah, analisis laporan keuangan horizontal juga dapat digunakan
dengan membandingkan laporan keuangan antar periode untuk melihat kenaikan
maupun penurunan pada setiap akun/komponen.
Berbeda dengan analisis horizontal yang dilakukan dengan membandingkan
lebih dari satu laporan keuangan, analisis laporan keuangan secara vertikal
dilakukan dengan membandingkan antar akun/komponen laporan keuangan pada
suatu periode untuk mengetahui hubungan antar komponen pada satu laporan
keuangan.
2. Perubahan Laporan Keuangan (Change of Financial Statement)
Analisis perubahan laporan keuangan dilakukan dengan membandingkan
akun-akun yang sama dalam laporan keuangan pada periode yang berbeda
dengan tujuan untuk mengetahui perubahan akun antar periode akuntansi.
3. Per-komponen Laporan Keuangan
Analisis per-komponen laporan keuangan dilakukan dengan membandingkan
nilai suatu akun/komponen dengan nilai total kelompok akun dalam laporan
keuangan yang sama, dengan tujuan untuk mengetahui kontribusi atau pengaruh
suatu akun terhadap akun kelompoknya.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 33


4. Analisis Tren
Analisis tren dilakukan dengan membandingkan akun-akun yang sama pada
laporan keuangan dalam perioda akuntansi yang berbeda secara berturutan,
dengan tujuan untuk mengetahui arah pergerakan/kecenderungan suatu akun
dari waktu ke waktu.
5. Analisis Sumber Dana dan Penggunaannya (Source of Fund)
Analisis sumber daya dan penggunaannya dilakukan dengan mengidentifikasi
sumber dana pemerintah yang dinilai efektif dan potensial dalam mendukung
program pemerintah. Adapun tujuan analisis sumber dana ialah:
a. Mengetahui asal dana dan penggunaannya.
b. Mengukur kemampuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan
operasionalnya.
c. Mengetahui asal dana untuk mendapatkan aset.
d. Mengetahui asal dana untuk menutup defisit anggaran.
e. Mengetahui tujuan pemakaian surplus anggaran.
6. Analisis Ketaatan (Compliance)
Analisis ketaatan bertujuan untuk mengetahui apakah pemerintah telah
memenuhi seluruh ketentuan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya. Oleh
karena itu analisis ketaatan hanya dapat dilakukan oleh orang yang ahli, misalnya
oleh auditor (yang akan memberi opini atas laporan keuangan yang disajikan, dan
laporan hasil auditnya akan menunjukkan adanya kesalahan, penyimpangan,
atau kelemahan). Adapun parameter yang digunakan yaitu:
a. Pendapatan dan belanja diatur APBD.
b. Asas PREALABEL (anggaran harus disahkan terlebih dulu sebelum
dilaksanakan).
c. Asas UNIVERSALITAS (semua pengeluaran harus tercantum pada
anggaran).
d. Asas SPESIALITAS (tidak boleh terjadi pergeseran anggaran atas anggaran
yang telah ditetapkan sebelumnya untuk tujuan tertentu).
e. Asas PERIODISITAS (laporan harus disusun secara berkala sesuai aturan).
f. Asas BRUTO (tidak boleh dilakukan offsetting pendapatan dengan belanja).
Suatu prinsip tidak diperkenankannya pencatatan penerimaan setelah
dikurangi pengeluaran pada suatu unit organisasi atau tidak
diperkenankannya pencatatan pengeluaran setelah dilakukan kompensasi
antara penerimaan dan pengeluaran).
g. Anggaran belanja adalah plafond (batas tertinggi).
h. Pelaksanaan anggaran sesuai dengan pedoman pelaksanaan.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 34


Analisis Rasio
Dalam analisis rasio, terdapat tiga hal yang menjadi fokus utama yaitu,
likuiditas (kemampuan entitas untuk melunasi kewajiban jangka pendeknya),
solvabilitas (kemampuan entitas untuk melunasi kewajiban jangka panjangnya) dan
efisiensi (kemampuan institusi untuk melaksanakan kegiatannya dan mencapai
tujuan secara efisien. Biasanya dihitung dari varians).

Dalam melakukan analisis laporan keuangan, analisis rasio memiliki kelebihan,


diantaranya:
a) Rasio merupakan angka-angka atau ikhtisar statistik yang lebih mudah dibaca dan
ditafsirkan.
b) Rasio merupakan pengganti (yang lebih sederhana) dari info yang disajikan dalam
laporan keuangan (yang rinci dan rumit).
c) Standarisasi unit-unit pengukuran komponen keuangan pemerintah.
d) Lebih mudah membandingkan kondisi keuangan antar pemerintah daerah atau
melihat perkembangan pemerintah daerah secara periodik.
e) Lebih mudah melihat perkembangan pemerintah daerah serta melakukan prediksi
di masa yang akan datang.

Meskipun memiliki kelebihan, terdapat beberapa hal yang sebaiknya


diperhatikan ketika melakukan analisis rasio, diantaranya:
a) Istilah rasio dan kaidah pengukurannya yang belum seragam.
b) Belum ada standar rasio untuk menilai baik/buruk aktivitas.
c) Angka rasio hasil perhitungan perbandingan antar pos (akun) pada laporan
keuangan antar pemerintah daerah belum tentu dapat diperbandingkan karena
teknik perhitungan atau pemilihan metode/prinsip akuntansi yang berbeda.
d) Validitas angka rasio dipengaruhi secara otomatis oleh validitas angka pada
laporan keuangan dan kelemahan/kendala inheren dari laporan tersebut
(historical cost, estimated value, & kebebasan dalam penerapan ketentuan
akuntansi).
1. Menentukan Independensi
Salah satu karakteristik utama yang menunjukkan kapasitas suatu daerah
dalam melaksanakan otonomi ialah kemampuan keuangan daerah. Yang
dimaksud dengan kemampuan keuangan yaitu daerah tersebut memiliki
kemampuan dan wewenang dalam mencari sumber pendapatan sendiri,
mengelola, dan menggunakannya untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari rasio DOF (Derajat Otonomi
Fiskal) dan Indeks Kemampuan Rutin (IKR).
𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐴𝑠𝑙𝑖 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ (𝑃𝐴𝐷)
𝐷𝑂𝐹 = 𝑥 100
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 35


IKR menggambarkan sejauh mana PAD suatu daerah dapat membiayai belanja
rutinnya.
𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐴𝑠𝑙𝑖 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ (𝑃𝐴𝐷)
𝐼𝐾𝑅 = 𝑥 100
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑅𝑢𝑡𝑖𝑛
Tolok ukur DOF dan IKR disajikan dalam skala interval sebagai berikut.
DOF (%) Kemampuan Keuangan IKR (%)
0.00-10.00 Sangat kurang 0.00-10.00
10.01-20.00 Kurang 10.01-20.00
20.01-30.00 Sedang 20.01-30.00
30.01-40.00 Cukup 30.01-40.00
40.01-50.00 Baik 40.01-50.00
>50.01 Sangat Baik >50.01
a) Rasio Kemandirian
Digunakan untuk mengukur kemampuan pemerintah daerah dalam mendanai
aktivitasnya (sebagai indikator tingkat partisipasi masyarakat lokal terhadap
pembangunan daerah, perkembangan ekonomi daerah, dan kesejahteraan
masyarakat.
𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝑃𝐴𝐷
𝑅𝑘𝑚𝑑 =
𝐵𝑎𝑛𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑚𝑒𝑟𝑖𝑛𝑡𝑎ℎ 𝑃𝑢𝑠𝑎𝑡 𝑚𝑎𝑢𝑝𝑢𝑛 𝑃𝑟𝑜𝑣𝑖𝑛𝑠𝑖 + 𝑃𝑖𝑛𝑗𝑎𝑚𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
Atau
𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝑃𝐴𝐷
𝑅𝑘𝑚𝑑 =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
Hasil dari perhitungan rasio diatas dapat dikategorikan dalam empat jenis
hubungan sebagaimana ditunjukkan oleh tabel dibawah ini.
Kemampuan Keuangan Rasio Kemandirian Pola Hubungan
Instruktif
Peranan pemerintah pusat
lebih dominan daripada
Rendah sekali 0-25% kemandirian pemerintah
daerah, atau daerah tidak
mampu melaksanakan
otonomi daerah secara
finansial.
Konsultatif
Campur tangan pemerintah
Rendah >25%-50% pusat sudah mulai
berkurang dan lebih banyak
pada pemberian konsultasi

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 36


karena daerah dianggap
sedikit lebih mampu
melaksanakan otonomi
daerah.
Partisipatif
Pola hubungan yang terjadi
ketika peranan pemerintah
pusat semakin berkurang
Sedang >50%-75% mengingat tingkat
kemandirian daerah otonom
yang bersangkutan
mendekati mampu
melaksanakan urusan
otonomi.
Delegatif
Campur tangan pemerintah
pusat sudah tidak ada lagi
Tinggi >75% karena daerah dipandang
telah benar-benar mampu
dan mandiri dalam
melaksanakan urusan
otonomi daerah.

b) Rasio Ketergantungan
Rasio ketergantungan merupakan kebalikan dari rasio kemandirian, rasio ini
digunakan untuk mengukur ketergantungan suatu daerah. Semakin rendah
rasionya maka menunjukkan pengelolaan keuangan pemerintah daerah yang
lebih mandiri.
𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑓𝑒𝑟 𝑘𝑒 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
𝑅𝑘𝑡𝑔 =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
2. Menentukan Kebijakan Prioritisasi dan Penggunaan Sumber Daya
Beberapa alat analisis yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kebijakan prioritisasi dan penggunaan sumber daya pemerintah daerah antara
lain:
a) Rasio PAD terhadap belanja
Rasio ini bertujuan untuk menunjukkan berapa persentase belanja yang
dibiayai oleh Pendapatan Asli Daerah.
𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝑃𝐴𝐷
𝑃𝐴𝐷 𝑇𝑒𝑟ℎ𝑎𝑑𝑎𝑝 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 =
𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎
b) Rasio Keserasian (RSer)
Digunakan untuk mengukur keserasian realisasi belanja (cara pemerintah
daerah dalam memprioritaskan alokasi dana belanja), misalnya rasio total
belanja tidak langsung terhadap total belanja langsung. Rasio keserasian

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 37


yang lebih rendah menunjukkan bahwa anggaran belanja semakin banyak
dialokasikan (diprioritaskan) untuk kegiatan yang berhubungan langsung
dengan program pemerintah daerah. Semakin kecil rasio ini maka semakin
baik kondisi kapasitas keuangan pemerintah daerah karena kondisi ideal
adalah jika belanja langsung (terutama yang bermanfaat langsung bagi
publik) lebih besar daripada belanja tidak langsung. Namun harus dipahami
bahwa sampai saat ini belum ada pedoman ideal tentang besarnya rasio
belanja terhadap total belanja pada APBD karena sangat dipengaruhi oleh
dinamika pembangunan dan kebutuhan investasi penyediaan sarana
prasarana ekonomi masyarakat yang diperlukan untuk mencapai
pertumbuhan yang ditargetkan.
𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝐿𝑎𝑛𝑔𝑠𝑢𝑛𝑔
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐾𝑒𝑠𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑎𝑛 =
𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝐿𝑎𝑛𝑔𝑠𝑢𝑛𝑔

c) Rasio Belanja terhadap Jumlah Penduduk


Rasio ini digunakan untuk mengukur alokasi belanja per penduduk.
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘
3. Menghitung Likuiditas dan Solvabilitas
Rasio likuiditas dan solvabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan
pemerintah daerah dalam melunasi kewajibannya baik jangka pendek maupun
jangka panjang yang dapat dihitung dengan analisis di bawah ini:
a) Rasio Likuiditas
Rasio likuiditas gunakan untuk menganalisis apakah aset yang ada dapat
dipakai untuk melunasi kewajiban entitas yang bersangkutan. Semakin tinggi
rasio likuiditas maka kemampuan entitas tersebut untuk melunasi
kewajibannya semakin tinggi.
𝐴𝑠𝑒𝑡 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐿𝑖𝑘𝑢𝑖𝑑𝑖𝑡𝑎𝑠 =
𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟
b) Rasio Solvabilitas
Rasio solvabilitas menganalisis apakah suatu entitas mampu untuk melunasi
seluruh hutangnya termasuk hutang jangka panjang. Semakin tinggi rasio
solvabilitas, maka kemampuan untuk melunasi kewajibannya juga semakin
tinggi.
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑆𝑜𝑙𝑣𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 38


4. Mengevaluasi Kinerja Pemerintah Daerah
Kinerja keuangan merupakan capaian target keuangan yang diukur melalui
indikator keuangan yang berasal dari laporan keuangan APBD baik dari
komponen pendapatan maupun belanja. Beberapa analisis rasio yang dapat
digunakan yaitu:
a) Rasio Efektifitas (REfk)
Rasio efektifitas menggambarkan kemampuan pemerintah dalam
mengumpulkan PAD dari target/potensi riilnya.
𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝑃𝐴𝐷
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐸𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓𝑖𝑡𝑎𝑠 =
𝑇𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 (𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑟𝑎𝑛) 𝑃𝐴𝐷 𝑏𝑒𝑟𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑜𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑖𝑖𝑙

Rasio efektifitas berimplikasi pada kemampuan keuangan pemerintah daerah


sesuai dengan tabel berikut.

Efektifitas & Kemampuan Rasio Efektifitas (%)


Keuangan
Tidak Efektif <100%
Efektif Berimbang =100%
Efektif >100%

b) Rasio Efisiensi (REfs)


Rasio efisiensi digunakan untuk mengukur efisiensi pemerintah daerah dalam
perolehan PAD (membandingkan biaya perolehan PAD dengan realisasi
PAD). Biaya perolehan PAD yang semakin tinggi akan semakin meningkatkan
rasio efisiensi dan menandakan perolehan Pendapatan Asli Daerah yang
tidak efisien.
𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛 (𝑝𝑒𝑚𝑢𝑛𝑔𝑢𝑡𝑎𝑛) 𝑃𝐴𝐷
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 =
𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝑃𝐴𝐷
Terdapat beberapa kriterian efisiensi sesuai dengan rasio efisiensi
pemerintah daerah yang ditunjukkan tabel di bawah ini.

Kriteria Efisiensi Rasio Efisiensi (%)


Tidak Efisien >100%
Kurang Efisien 90%-100%
Cukup Efisien 80%-90%
Efisien 60%-80%
Sangat Efisien <60%

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 39


c) Rasio Pertumbuhan (Growth)
Rasio pertumbuhan menunjukkan pertumbuhan suatu pos (account) antar
periode, misal Pendapatan Asli Daerah, belanja, dan akun/komponen lainnya.
Rasio ini akan menyajikan tren tertentu, yang mengindikasikan apakah kinerja
pemerintah daerah lebih baik atau lebih buruk dari periode sebelumnya.
𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 (𝑋Q ) − 𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 (𝑋QST )
𝐺𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ = 𝑥 100%
𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 (𝑋QST )
d) Rasio Pajak (Tax Ratio)
Rasio pajak menunjukkan kontribusi pajak daerah terhadap total pendapatan
daerah atau PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto). Rasio pajak yang
semakin tinggi berimplikasi pada potensi pajak daerah yang berkontribusi
besar terhadap total pendapatan daerah.
𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
𝑇𝑎𝑥 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 =
𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
e) Pajak per kapita (Tax Per Kapita)
Rasio pajak per kapita menunjukkan kontribusi rata-rata tiap penduduk pada
pembayaran pajak daerah.
𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
𝑇𝑎𝑥 𝑃𝑒𝑟 𝐾𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘
f) Rasio SiLPA terhadap Total Belanja
SILPA merupakan selisih lebih realisasi penerimaan dengan pengeluaran
anggaran pada satu tahun anggaran, yang menunjukkan dana anggaran yang
tak terserap / tertunda penggunaannya.
𝑆𝑖𝐿𝑃𝐴
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑆𝑖𝐿𝑃𝐴 =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎

5. Menghitung Kemampuan Membayar Pemerintah Daerah


a) Debt Service Coverage Ratio (DSCR)
Rasio DSCR menunjukkan kemampuan daerah untuk melunasi pinjaman.
Minimal 2,5, artinya pemerintah daerah dianggap masih memiliki dana idle
sebesar 1,5 setelah dikurangi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lainnya.
[(𝑃𝐴𝐷 + 𝐵𝐷 + 𝐷𝐴𝑈) − 𝐵𝑊]
𝐷𝑆𝐶𝑅 =
(𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑖𝑛𝑗𝑎𝑚𝑎𝑛 + 𝑝𝑜𝑘𝑜𝑘 𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 + 𝑏𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔)
Keterangan
PAD : Pendapatan Asli Daerah
BD : Bagian Daerah dari bagi hasil pajak/bukan pajak
DAU : Dana Alokasi Umum
BW : Belanja Wajib

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 40


b) Ruang Fiskal
Ruang fiskal digunakan untuk mengukur ketersediaan ruang yang cukup pada
anggaran pemerintah daerah untuk dapat menyediakan sumber daya tertentu
dalam rangka mencapai tujuannya tanpa mengancam kesinambungan posisi
keuangannya (fiscal solvency), atau besarnya dana pemerintah daerah dalam
satu tahun anggaran yang bisa digunakan bebas oleh pemerintah daerah
sesuai kebutuhannya.

𝑅𝐹 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ − 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔


𝐷𝑖𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑎𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎 (𝑒𝑎𝑟𝑚𝑎𝑟𝑘𝑒𝑑) − 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑀𝑒𝑛𝑔𝑖𝑘𝑎𝑡

𝑅𝐹 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ − (𝐷𝐴𝐾 + 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐻𝑖𝑏𝑎ℎ + 𝐷𝑎𝑛𝑎 𝐷𝑎𝑟𝑢𝑟𝑎𝑡


+ 𝐷𝑎𝑛𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑦𝑒𝑠𝑢𝑎𝑖𝑎𝑛(𝑜𝑡𝑠𝑢𝑠) − 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑀𝑒𝑛𝑔𝑖𝑘𝑎𝑡
𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑀𝑒𝑛𝑔𝑖𝑘𝑎𝑡 = 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑃𝑒𝑔𝑎𝑤𝑎𝑖 + 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎
c) Keseimbangan Primer
Keseimbangan primer merupakan selisih dari total pendapatan daerah
dikurangi belanja negara diluar pembayaran bunga utang. Jika total
pendapatan daerah lebih besar dari belanja negara diluar pembayaran bunga
utang maka keseimbangan primer akan positif karena masih tersedia dana
yang cukup untuk membayar bunga utang, begitu pula sebaliknya.

𝐾𝑃 = 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ − (𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ − 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎)

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 41


B. STUDI KASUS: Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Kota
Tangerang Selatan Tahun 2014 – 2016

Perbandingan Antar Komponen dan Antar Laporan Keuangan

1. Analisis Horizontal dan Vertikal


Analisis Horizontal
Analisis horizontal dapat dilakukan dengan melakukan perbandingan antar tahun
maupun antar daerah. Pada analisis antar tahun, didapatkan bahwa terdapat
kenaikan pada pendapatan Kota Tangerang Selatan baik pendapatan asli daerah
sebesar 9,59% maupun dana perimbangan sebesar 19,75%. Kenaikan dana
perimbangan yang cukup signifikan menjadi indikasi kebijakan transfer dari
pemerintah pusat yang meningkat.
Antar Tahun Pendapatan PAD Dana Perimbangan
2015 2.602.412.225.495 1.228.393.889.612 707.496.059.913
2016 2.664.158.764.561 1.346.240.155.744 847.221.054.205
Kenaikan 61.746.539.066 117.846.266.132 139.724.994.292
2,37% 9,59% 19,75%
Sedangkan pada analisis antar daerah, didapatkan rasio Dana
Perimbangan/Pendapatan Kota Tangerang sebesar 36,8% yang lebih tinggi dari Kota
Tangerang Selatan sebesar 31,8%. Persentase ini menunjukkan kenaikan kebijakan
transfer pusat yang lebih tinggi pada Kota Tangerang.
Antar Daerah Pendapatan PAD Dana Perimbangan
Tangerang Selatan 2.664.158.764.561 1.346.240.155.744 847.221.054.205
Tangerang 3.388.541.592.672 1.590.080.330.000 1.247.006.679.649
Rasio PAD/Pendapatan Daper/Pendapatan
Tangerang Selatan 50,5% 31,8%
Tangerang 46,9% 36,8%

Analisis Vertikal
Analisis vertikal dilakukan dengan membandingkan komponen antar akun dalam
laporan keuangan. Dalam analisis vertikal Kota Tangerang Selatan dihitung proporsi
Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja sebesar 46,6% yang menunjukkan bahwa
hampir 50% proporsi belanja daerah didanai oleh Pendapatan Asli Daerah Kota
Tangerang Selatan.
Antar Akun Pendapatan PAD Dana Perimbangan
2.664.158.764.561 1.346.240.155.744 847.221.054.205
Rasio PAD/Pendapatan Daper/Pendapatan
50,53% 31,80%

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 42


2. Perubahan Laporan Keuangan (Change of Financial Statement)
Analisis perubahan laporan keuangan dilakukan dengan membandingkan akun
belanja tidak langsung dan belanja langsung Kota Tangerang Selatan tahun 2015 dan
2016. Kenaikan belanja langsung Kota Tangerang Selatan sebesar 11,38% lebih
tinggi daripada kenaikan belanja tidak langsung sebesar yang hanya sebesar 8,19%
menjadi indikasi baik karena belanja lebih didominasi untuk kegiatan belanja daerah
yang dianggarkan dan berhubungan secara langsung dengan pelaksanaan program
dan kegiatan pemerintah daerah.
Tahun Belanja Tidak Langsung Belanja Langsung
2015 959.373.593.523 1.661.866.651.054
2016 1.037.949.301.159 1.850.935.947.163
Kenaikan 78.575.707.636 189.069.296.109
Growth 8,19% 11,38%
3. Per-komponen Laporan Keuangan
Analisis per-komponen laporan keuangan Kota Tangerang Selatan dihitung dengan
mengidentifikasi beberapa rasio pada komponen belanja. Sesuai dengan analisis
yang dilakukan, rasio belanja langsung terhadap belanja sebesar 64,07% lebih
mendominasi komponen belanja dibandingkan dengan belanja tidak langsung yang
menjadi indikasi bahwa Kota Tangerang Selatan memiliki prioritas pembangunan
pada belanja yang berkaitan langsung dengan masyarakat. Selain itu, belanja modal
memiliki kontribusi yang cukup besar pada belanja langsung Kota Tangerang Selatan
sebesar 56,69% dimana lebih dari 50% belanja langsung dialokasikan untuk
pengeluaran dalam rangka pembentukan modal.
Belanja Belanja Tidak Langsung Belanja Langsung Belanja Modal
2.888.885.248.322 1.037.949.301.159 1.850.935.947.163 1.049.322.168.298
Rasio
Belanja Tidak Langsung/Belanja 35,93%
Belanja Langsung/Belanja 64,07%
Belanja Modal/Belanja 36,32%
Belanja Modal/Belanja Langsung 56,69%
4. Analisis Tren
Analisis tren dilakukan dengan menganalisis trend belanja Pemerintah Kota
Tangerang Selatan selama 3 tahun. Sesuai data yang dianalisis, tren pagu belanja
Kota Tangerang Selatan meningkat setiap tahunnya. Kenaikan tren belanja
merupakan indikasi kebijakan Pemerintah Daerah dalam meningkatkan kinerja dan
penyerapan anggaran.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 43


Tahun Belanja
2014 2.493.574.062.460
2015 2.621.240.244.577
2016 2.888.885.248.322

5. Analisis Sumber Dana dan Penggunaannya (Source of Fund)


Analisis sumber dana pendapatan Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa
sebesar 50,5% total pendapatan berasal dari Pendapatan Asli Daerah. Dominasi
Pendapatan Asli Daerah menunjukkan kemandirian Pemerintah Kota Tangerang
Selatan dalam menghimpun pendapatannya. Selain itu, rasio penggunaan
Pendapatan Asli Daerah untuk Belanja sebesar 46,60% menunjukkan hampir 50%
belanja didanai oleh Pendapatan Asli Daerah. Defisit sebesar 224.726.483.761 pada
tahun 2016 ditutup menggunakan pembiayaan yang berasal dari SilPa tahun 2015
sebesar 735.696.221.619.
Pendapatan 2.664.158.764.561
Pendapatan Asli Daerah 1.346.240.155.744
Dana Perimbangan 847.221.054.205
Pendapatan Lain-lain 470.697.554.612
Belanja 2.888.885.248.322
Defisit (224.726.483.761)
Pembiayaan 735.696.221.619
Rasio
Pendapatan Asli Daerah/Pendapatan 50,53%
Dana Perimbangan/Pendapatan 31,80%
Pendapatan Lain-lain/Pendapatan 17,67%
Pendapatan Asli Daerah/Belanja 46,60%
Dana Perimbangan/Belanja 29,33%

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 44


Analisis Rasio
1. Menentukan Independensi
a) Rasio Kemandirian
Rasio kemandirian Kota Tangerang Selatan sebesar 50,53% yang lebih besar
dari Kota Tangerang sebesar 46,93% mengindikasikan kemampuan
Pemerintah Kota Tangerang Selatan yang lebih tinggi dalam menghimpun
Pendapatan Asli Daerah. Pola hubungan Partisipatif (>50%-75%)
menunjukkan peran pemerintah pusat yang hanya berbentuk partisipasi
karena Pemerintah Kota Tangerang Selatan dinilai mendekati kemampuan
pelaksanaan urusan otonomi daerah. Sedangkan pola hubungan Konsultatif
(>25%-50%) menunjukkan peran pemerintah pusat yang banyak berupa
pemberian konsultasi karena Pemerintah Kota Tangerang Selatan dinilai
memiliki sedikit kemampuan dalam pelaksanaan urusan otonomi daerah.
Tangerang Selatan Tangerang
Realisasi PAD 1.346.240.155.744 1.590.080.330.000
Total Pendapatan Daerah 2.664.158.764.561 3.388.541.592.672
Rasio Kemandirian 50,53% 46,93%
b) Rasio Ketergantungan
Rasio ketergantungan yang merupakan kebalikan dari rasio kemandirian
digunakan untuk mengetahui tingkat ketergantungan pemerintah daerah pada
transfer dari pemerintah pusat. Rasio ketergantungan Pemerintah Kota
Tangerang Selatan sebesar 31,80% yang lebih kecil daripada Pemerintah
Kota Tangerang sebesar 36,80% mengindikasikan Kota Tangerang Selatan
lebih mandiri dan Pemerintah Kota Tangerang yang lebih bergantung pada
transfer daerah pemerintah pusat.
Tangerang Selatan Tangerang
Realisasi Transfer Daerah 847.221.054.205 1.247.006.679.649
Total Pendapatan Daerah 2.664.158.764.561 3.388.541.592.672
Rasio Ketergantungan 31,80% 36,80%

2. Menentukan Kebijakan Prioritisasi dan Penggunaan Sumber Daya


a) Rasio PAD terhadap Belanja
Rasio PAD terhadap total belanja digunakan untuk mengetahui proporsi
Belanja Pemerintah Daerah yang didanai dengan Pendapatan Asli Daerah.
Rasio PAD terhadap belanja sebesar 46,60% mengindikasikan bahwa hampir
50% belanja Pemerintah Kota Tangerang Selatan didanai dengan
pendapatan yang dihimpun dari penerimaan atas sumber-sumber
pendapatan di Kota Tangerang Selatan.
PAD 1.346.240.155.744
Belanja 2.888.885.248.322
PAD terhadap Belanja 46,60%

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 45


b) Rasio Keserasian (RSer)
Rasio keserasian untuk menilai perbandingan antara belanja tidak langsung
dan belanja langsung Pemerintah Kota Tangerang Selatan sebesar 56,08%.
Rasio keserasian yang semakin kecil menjadi indikasi yang lebih baik karena
belanja langsung lebih besar dari belanja tidak langsung.
Belanja Tidak Langsung 1.037.949.301.159
Belanja Langsung 1.850.935.947.163
Rasio Keserasian 56,08%
c) Rasio Belanja Terhadap Jumlah Penduduk
Rasio belanja terhadap jumlah penduduk mengindikasikan besaran rata-rata
belanja pemerintah daerah pada setiap penduduk di daerah tersebut. Pada
Pemerintah Kota Tangerang Selatan, rasio belanja per jumlah penduduk
sebesar Rp1.812.563,00 menunjukkan rata-rata angka pengeluaran
pemerintah daerah untuk satu orang penduduk Kota Tangerang Selatan.
Belanja 2.888.885.248.322
Jumlah Penduduk 1.593.812
Belanja per Jumlah Penduduk 1.812.563

3. Menghitung Likuiditas dan Solvabilitas


Rasio likuiditas sebesar 322 dan rasio solvabilitas sebesar 4.340 mengindikasikan
kemampuan Pemerintah Kota Tangerang yang sangat tinggi dalam membayar
kewajiban jangka pendek maupun jangka panjang.
Aset Lancar 833.263.620.248
Utang Lancar 2.586.937.417
Likuiditas 322
Total Aset 18.271.462.377.991
Total Utang 4.209.715.475
Solvabilitas 4.340

4. Mengevaluasi Kinerja Pemerintah Daerah


a) Rasio Efektifitas (REfk)
Rasio efektifitas yang dihitung dengan melakukan perbandingan antara
realisasi dengan anggaran Pendapatan Asli Daerah Kota Tangerang Selatan
sebesar 112,5% menunjukkan tingkat efektivitas keuangan daerah otonom
dan kemampuan daerah yang efektif karena dapat merealisasikan
Pendapatan Asli Daerah lebih dari 100%.
Realisasi PAD 1.346.240.155.744
Anggaran PAD 1.196.706.114.000
Rasio Efektifitas 112,5%
b) Rasio Efisiensi (REfs)
Rasio efisiensi digunakan untuk menilai tingkat efisiensi pemerintah daerah
dalam menghimpun perolehan Pendapatan Asli Daerah. Rasio efisiensi

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 46


sebesar 61% mengindikasikan bahwa Pemerintah Kota Tangerang Selatan
dapat secara efisien meminimalisir biaya perolehan dalam pemungutan
Pendapatan Asli Daerah.
Biaya Perolehan PAD 821.200.000.000
PAD 1.346.240.155.744
Rasio Efisiensi 61,00%
c) Rasio Pertumbuhan (Growth)
Rasio pertumbuhan dapat dilakukan untuk menganalisis tren komponen/akun
tertentu dalam laporan keuangan pemerintah daerah. Pada Pemerintah Kota
Tangerang Selatan, realisasi Pendapatan Asli Daerah meningkat dari tahun
2015 ke 2016 sebesar 9,59%. Rasio pertumbuhan realisasi PAD ini kemudian
dapat dibandingkan dengan pertumbuhan perekonomian secara nasional
pada tahun 2016 sebesar 5,02% yang menjadi indikasi baik pada
pertumbuhan Pemerintah Kota Tangerang Selatan yang hampir mendekati
10%.
Realisasi PAD 2015 1.228.393.889.612
Realisasi PAD 2016 1.346.240.155.744
Rasio Pertumbuhan 9,59%
d) Tax Ratio
Rasio pajak Pemerintah Kota Tangerang Selatan sebesar 41,78%
menunjukkan kontribusi pajak daerah terhadap total pendapatan daerah.
Rasio ini mengindikasikan bahwa hampir 50% pendapatan daerah berasal
dari pajak yang dihimpun dan dikelola oleh pemerintah daerah.
Pajak Daerah 1.113.036.952.763
Pendapatan 2.664.158.764.561
Rasio Pajak 41,78%
e) Tax per Capita
Rasio pajak per kapita menunjukkan rata-rata kontribusi masyarakat dalam
membayarkan pajak daerah. Dengan jumlah penduduk sebanyak 1.593.812
jiwa, rata-rata pajak yang dibayarkan oleh masyarakat Kota Tangerang
Selatan adalah sebesar Rp698.349,00.
Pajak Daerah 1.113.036.952.763
Jumlah Penduduk 1.593.812
Tax per capita 698.349
f) Rasio SiLPA
Rasio SiLPA menunjukkan persentase penyerapan dari selisih lebih realisasi
penerimaan dengan pengeluaran Pemerintah Kota Tangerang Selatan
terhadap total belanja pada tahun 2016. Nominal sebesar 510.969.737.858
menunjukkan besarnya dana anggaran yang tidak terserap/tertunda
penggunannya.
SiLPA 510.969.737.858
Total Belanja 2.888.885.248.322
Rasio SILPA 17,69%

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 47


5. Menghitung Kemampuan Bayar Pemerintah Daerah
a) Debt Service Coverage Ratio (DSCR)
Rasio DSCR digunakan untuk menghitung persentase pendapatan daerah
yang digunakan untuk menjamin pelunasan utang pemerintah daerah dengan
memperhitungkan semua biaya yang terkait dengan utang. Pada Pemerintah
Kota Tangerang Selatan, rasio DSCR sebesar 67,63 menunjukkan
kemampuan pemerintah daerah yang sangat tinggi dalam membayar
utangnya.
Pendapatan Asli Daerah 1.346.240.155.744
Bagian Daerah dari Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak 147.047.551.205
Dana Alokasi Umum 581.505.815.000
Belanja Wajib 1.765.606.358.438
Total Biaya Pinjaman+Pokok+Bunga 4.571.408.888
DSCR 67,63
b) Ruang Fiskal
Ruang fiskal menunjukkan ketersediaan ruang anggaran yang menunjukkan
kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan dana untuk tujuan
tertentu tanpa menciptakan permasalahan dalam kesinambungan posisi
keuangan Pemerintah. Pada tahun 2016, Pemerintah Kota Tangerang
Selatan memiliki ruang fiskal sebesar Rp1.118.660.369.988,00 yang tersedia
untuk digunakan membiayai pengeluaran pemerintah daerah yang tidak
terduga.
Pendapatan 2.664.158.764.561
Dana Alokasi Khusus 581.505.815.000
Hibah -
Dana Darurat -
Dana Penyesuaian -
Belanja Pegawai Tidak Langsung 963.992.579.573
Ruang Fiskal 1.118.660.369.988
c) Keseimbangan Primer
Pada Pemerintah Kota Tangerang Selatan, keseimbangan primer negatif
sebesar Rp224.726.483.761,00 yang mengimplikasikan bahwa tidak terdapat
dana yang cukup untuk membayar bunga utang. Namun tidak terdapat
belanja bunga maupun utang bunga pada Pemerintah Kota Tangerang
Selatan sehingga tidak ada kewajiban pembayaran bunga pada tahun 2016.
Pendapatan 2.664.158.764.561
Belanja 2.888.885.248.322
Belanja Bunga -
Keseimbangan Primer (224.726.483.761)

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 48


PINJAMAN DAERAH

Setelah mempelajari bab ini, kalian diharapkan dapat memahami hal-hal berikut ini:

1. Mengetahui dan memahami sumber-sumber pinjaman daerah.


2. Memahami mengapa pemerintah daerah masih memerlukan adanya pinjaman daerah untuk
membiayai pembangunan infrastruktur di daerah.
3. Mengidentifikasi karakteristik masing-masing instrumen pinjaman daerah.
4. Memahami isu dan kondisi terkini pinjaman daerah dan keterbatasan dalam pelaksanaannya.
5. Bagaimana kriteria yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah dalam upaya menghimpun dana
dari masyarakat yaitu melalui obligasi daerah.

A. TUJUAN DAN SUMBER PINJAMAN DAERAH


Dalam rangka menunjang pembangunan di Daerah, Pemerintah Daerah
berupaya menghimpun berbagai sumber pendapatan baik berasal dari Pendapatan
Asli Daerah (PAD) maupun sumber pendapatan daerah lainnya yang sah.
Terbatasnya kemampuan PAD dalam memenuhi kebutuhan dana pembangunan
menjadi latar belakang berbagai alternatif sumber pembiayaan. Pinjaman daerah
merupakan alternatif sumber pendanaan APBD yang digunakan untuk menutup defisit
APBD, pengeluaran pembiayaan, dan/atau kekurangan kas Pemerintah Daerah.
Pemerintah daerah harus berinisiatif dalam mengajukan pinjaman daerah
dalam rangka melaksanakan urusan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Sumber-sumber pinjaman daerah yang telah
ditetapkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 antara lain
yaitu dari pemerintah pusat, daerah lain, lembaga keuangan bank/bukan bank,
maupun masyarakat.

B. PINJAMAN DAERAH DARI PEMERINTAH PUSAT


Sesuai dengan PP Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah, salah
salah satu sumber Pinjaman Daerah berasal dari Pemerintah Pusat. Pinjaman Daerah
yang bersumber dari Pemerintah Pusat berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara yang terdiri atas:
a. Penerusan Pinjaman Dalam Negeri;
b. Penerusan Pinjaman Luar Negeri; dan
c. Sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar
negeri. Oleh karena itu, salah satu skema untuk memperoleh pinjaman daerah adalah
dengan Penerusan Pinjaman Dalam Negeri/Luar Negeri. Dalam menghimpun
pinjaman daerah dari pemerintah pusat, pemerintah daerah harus terlebih dahulu

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 49


mengajukan usulan rencana pinjaman daerah untuk mendapatkan pertimbangan
Menteri Dalam Negeri dan selanjutnya diajukan kepada Menteri Keuangan.

PENERUSAN PINJAMAN
Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta

Banyaknya pembangunan infrastruktur terutama di Ibukota menimbulkan banyak


kontroversi dalam skema pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah. Salah satu proyek
pembangunan infrastruktur berskala besar Pemerintah yaitu pembangunan Moda Raya
Terpadu (MRT) sudah direncanakan sejak tahun 1985. Namun pada tahun tersebut proyek
MRT belum dinyatakan sebagai proyek nasional. Hingga pada tahun 2005, Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa proyek MRT termasuk dalam pengerjaan proyek
nasional yang berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta.
Salah satu Pemerintah Daerah yang telah mendapatkan pinjaman dari Pemerintah
Pusat yaitu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Proyek pembangunan Moda Raya Terpadu
(MRT) fase II menggunakan skema pembiayaan Penerusan Pinjaman Luar Negeri sebesar
51% dan skema Penerusan Hibah sebesar 49%. Pembiayaan proyek kereta berbasis rel yang
membentang dari Bundaran HI hingga Ancol Timur ini membutuhkan biaya sebesar Rp16
triliun pada fase I dan Rp22,5 triliun pada fase II. Pendanaan proyek MRT fase II masih
mengandalkan Japan International Cooperation Agency (JICA). Pembangunan proyek MRT
menjadi proyek pertama di Indonesia yang menerapkan skema three sub level agreement.
Skema perjanjian ini terjadi diantara peminjam kepada pemerintah Jepang melalui JICA dan
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT MRT Jakarta sebagai Badan
Usaha Milik Daerah Provinsi DKI Jakarta.

C. PINJAMAN DAERAH DARI DAERAH LAIN


Pinjaman daerah dari daerah lain merupakan skema pemberian pinjaman antar
daerah yang dilakukan dengan pengajuan usulan Pinjaman Daerah kepada calon
pemberi pinjaman. Pinjaman daerah yang bersumber dari daerah lain harus tetap
memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan ketersediaan kas dengan jangka
waktu kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dengan kewajiban pembayaran
kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lainnya, yang
seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran berjalan.
D. PINJAMAN DAERAH DARI LKB/LKBB
Pinjaman daerah yang berasal dari lembaga keuangan bank/bukan bank dapat
berupa pinjaman jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.
Pinjaman daerah yang berasal dari lembaga keuangan bukan bank juga dapat
diajukan melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) sebagai Special Mission
Vehicle (SMV) di bawah Kementerian Keuangan yang dikelola oleh Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan. PT SMI merupakan perusahaan pembiayaan
berstatus Badan Usaha Milik Negara khusus infrastruktur yang didirikan untuk menjadi
katalis dalam percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 50


SPECIAL MISSON VEHICLE
PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI)

PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) adalah perusahaan pembiayaan khusus


infrastruktur berstatus BUMN. Bergerak di bawah Kementerian Keuangan, PT SMI bertindak
sebagai penyalur pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Daerah yang terdampak
Covid-19. PT SMI memiliki tiga pilar bisnis yaitu:
1. Pembiayaan dan investasi, yaitu pembiayaan terhadap proyek-proyek infrastruktur.
2. Jasa konsultasi, yaitu solusi atas kebutuhan tenaga professional dan ahli di bidang
infrastruktur.
3. Pengembangan proyek, yaitu membantu Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK)
untuk menyiapkan proyek infrastruktur.
Terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi Pemerintah Daerah apabila ingin
mengajukan pinjaman pemulihan ekonomi melalui PT SMI antara lain kondisi perekonomian
daerah tersebut benar-benar terdampak Covid-19 dan Pemerintah Daerah telah memiliki
proyek yang sudah siap untuk dieksekusi atau direalisasikan. Selain itu, beberapa syarat
yang harus dipenuhi yaitu jumlah sisa pinjaman ditambah dengan jumlah pinjaman yang
akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya dan
Pemerintah Daerah harus memenuhi rasio kemampuan keuangan daerah untuk
mengembalikan pinjaman daerah paling sedikit 2,5%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai terdapat beberapa daerah yang mendapatkan
pinjaman dari PT SMI karena kondisi ekonomi yang sangat tertekan akibat Covid-19. Daerah
yang telah mengajukan pinjaman antara lain Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebesar
Rp12,5 triliun yang terbagi atas usulan pinjaman sebesar Rp4,5 triliun di tahun 2020 dan Rp8
triliun di tahun 2021 serta Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang mengajukan pinjaman
sebesar Rp 4 triliun yang terbagi atas usulan pinjaman sebesar Rp1,9 triliun di tahun 2020
dan Rp2,09 triliun di tahun 2021. Kedua daerah tersebut juga telah mengajukan proyek-
proyek yang akan didanai dan relatif siap untuk direalisasikan.
Pinjaman daerah menjadi instrumen penting bagi Pemerintah Daerah untuk
menjalankan proyek-proyek pembangunan dan perekonomian masyarakat bisa kembali
bangkit. Dalam pengawasannya, Kementerian Keuangan akan terus melakukan monitoring
dengan melibatkan Kementerian Dalam Negeri untuk memastikan penggunaan instrumen
pinjaman benar-benar memberikan dampak yang signifikan bagi Pemerintah Daerah.

E. PINJAMAN DAERAH DARI MASYARAKAT (Obligasi Daerah)


Obligasi Daerah merupakan surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah
daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal.
Obligasi Daerah merupakan instrumen pinjaman yang tidak dijamin oleh Pemerintah
Pusat (Pemerintah) sehingga segala risiko yang timbul sebagai akibat dari penerbitan
Obligasi Daerah menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Penerbitan surat utang
merupakan bukti bahwa pemerintah daerah telah melakukan pinjaman/utang kepada
pemegang surat utang dan akan dibayar kembali sesuai dengan jangka waktu dan
persyaratan yang disepakati. Pemerintah daerah yang menerbitkan obligasi daerah
berkewajiban membayar bunga secara berkala sesuai dengan jangka waktu yang
telah ditetapkan sampai pada saat jatuh tempo pemerintah daerah berkewajiban
mengembalikan pokok pinjaman.(Departemen Keuangan, 2007)

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 51


Obligasi daerah (municipal bond) adalah salah satu sumber pinjaman daerah
jangka menengah dan/atau jangka panjang yang bersumber dari masyarakat.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), obligasi daerah merupakan alternatif sumber
pembiayaan yang dapat dimanfaatkan oleh daerah agar dapat membangun
infrastruktur untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Karakteristik Obligasi Daerah
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman
Daerah, diamanatkan bahwa penerbitan obligasi daerah hanya ditujukan untuk
membiayai kegiatan investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan
memberikan manfaat bagi masyarakat yang menjadi urusan Pemerintah Daerah
berupa Obligasi Pendapatan (Revenue Bond). Karakteristik Obligasi Daerah antara
lain:
1. Merupakan pinjaman jangka panjang yang berasal dari masyarakat (lebih dari
satu tahun sesuai dengan syarat perjanjian pinjaman yang bersangkutan).
Obligasi di Indonesia umumnya mempunyai jangka waktu sekitar 5 tahun atau
lebih;
2. Diterbitkan melalui penawaran umum kepada masyarakat di pasar modal dalam
negeri;
3. Dikeluarkan dalam mata uang rupiah;
4. Hasil penjualan digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang
menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat; dan
5. Nilai obligasi daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai nominal obligasi
daerah pada saat diterbitkan.
Pihak-Pihak yang Terkait dengan Obligasi Daerah

Beberapa pihak yang terkait dalam penerbitan obligasi Pemerintah Daerah antara lain:

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 52


Regulator. Regulator adalah Lembaga/instansi Pemerintah yang memiliki wewenang
untuk mengatur dan mengawasi pelaksanaan penawaran umum obligasi daerah di
pasar modal. Pihak yang bertindak sebagai regulator obligasi daerah adalah
Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK).
a) Kementerian Keuangan dimana secara praktiknya dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan untuk mengevaluasi dan memberikan
persetujuan atas rencana penerbitan obligasi daerah yang diajukan oleh
pemerintah daerah serta mengawasi pengelolaan obligasi daerah,
b) Kementerian Dalam Negeri terkait aspek perizinan, dan
c) Otoritas Jasa Keuangan yang bertugas untuk melakukan pengawasan di dalam
sektor jasa keuangan.

Self Regulatory Organizations (SRO). SRO merupakan Lembaga/organisasi yang


berwenang untuk mengeluarkan peraturan bagi kegiatan usahanya. Dalam pasar
modal, pihak yang berhak mengeluarkan peraturan antara lain bursa efek, lembaga
kliring dan penjaminan, serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian.
a) Bursa Efek, adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan
atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak-pihak lain
dengan tujuan memperdagangkan efek di antara mereka.
b) Lembaga Kliring dan Penjaminan, adalah pihak yang menyelenggarakan jasa
kliring dan penjaminan penyelesaian transaksi bursa. Di Indonesia, lembaga
kliring dan penjaminan yang telah mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan
adalah PT. Kliring Penjaminan Efek Indonesia (PT. KPEI).
c) Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, adalah pihak yang menyelenggarakan
kegiatan kustodian sentral bagi bank kustodian, perusahaan efek, dan pihak lain.
Di Indonesia, lembaga penyimpanan dan penyelesaian yang telah mendapat izin
dari Otoritas Jasa Keuangan adalah PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (PT.
KSEI).

Emiten. Emiten merupakan pihak yang melakukan penawaran umum. Dalam


kaitannya dengan penerbitan obligasi daerah, pihak yang menjadi emiten adalah
pemerintah daerah.

Pemegang Efek. Pemegang efek adalah investor atau pihak yang menanamkan
modalnya dalam bentuk pemberian pinjaman kepada pemerintah daerah dalam
bentuk obligasi daerah.

Perusahaan Efek. Perusahaan efek adalah perusahaan yang mempunyai aktivitas


sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, manajer investasi, atau
gabungan dari ketiga kegiatan tersebut.
a) Penjamin Emisi Efek, adalah pihak yang membuat kontrak dengan emiten untuk
melakukan penawaran umum bagi kepentingan emiten dengan atau tanpa
kewajiban untuk membeli sisa efek yang tidak terjual.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 53


b) Perantara Pedagang Efek, adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli
efek untuk kepentingan sendiri atau pihak lain.
c) Manajer Investasi, adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola portofolio
efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk
sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun dan bank yang
melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Lembaga Penunjang. Lembaga penunjang merupakan pihak-pihak penunjang


terlaksananya pelaksanaan penawaran umum, yang terdiri dari biro administrasi efek,
kustodian dan wali amanat.
a. Biro Administrasi Efek, adalah pihak yang berdasarkan kontrak dengan emiten
melaksanakan pencatatan pemilikan efek dan pembagian hak yang berkaitan dengan
efek.
b. Kustodian, adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain
berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima deviden, bunga, dan hak
lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi
nasabahnya.
c. Wali Amanat, adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang efek bersifat
utang (termasuk obligasi daerah). Penunjukan Wali Amanat dilakukan melalui
perjanjian bersama seluruh pihak pada penerbitan obligasi daerah. Wali amanat
bertugas untuk mengendalikan seluruh aspek-aspek administratif penerbitan obligasi
daerah, termasuk memastikan bahwa penerbitan obligasi daerah telah sesuai dengan
ketentuan dan persyaratan pada perjanjian obligasi daerah.

Profesi Penunjang. Profesi penunjang merupakan pihak-pihak yang karena


profesinya, turut menunjang terlaksananya penawaran umum di pasar modal. Untuk
melakukan kegiatan di bidang pasar modal, profesi penunjang pasar modal wajib
terlebih dahulu terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Profesi penunjang terdiri dari
akuntan publik, notaris, konsultan hukum dan perusahaan penilai.

Pihak Lain Yang Terlibat. Pihak lain yang terlibat merupakan pihak-pihak lain yang
juga terlibat dalam pelaksanaan penawaran umum obligasi daerah di pasar modal,
namun tidak terlibat secara langsung dalam proses transaksi perdagangan efek, yang
terdiri dari penyedia penguatan kredit, lembaga pemeringkat efek serta penasihat
investasi.
a) Lembaga Pemeringkat Efek, merupakan lembaga yang memberikan peringkat
kredit bagi penerbit obligasi daerah. Lembaga pemeringkat mengukur kelayakan
kredit, kemampuan membayar pinjaman yang akan mempengaruhi tingkat bunga
pinjaman.
b) Penyedia Penguatan Kredit, adalah pihak yang memberikan penguatan kredit
melalui pernyataan kesediaan menjamin obligasi daerah, dimana penguatan
kredit ini akan memberikan kenyamanan bagi investor dan dapat mempengaruhi
tingkat bunga.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 54


c) Penasihat Investasi, merupakan pihak yang memberikan nasihat kepada pihak
lain berkaitan dengan penjualan atau pembelian efek dengan memperoleh
imbalan jasa.
Persiapan Penerbitan Obligasi Daerah
Terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah sebelum
obligasi daerah diterbitkan di pasar modal antara lain:
1. Persiapan Pendaftaran
a. Tim persiapan berkoordinasi dengan penilai yang terdaftar di OJK, karena
dalam persyaratan pengajuan usulan ke Menteri Keuangan diharuskan
menyertakan dokumen studi kelayakan yang dinilai oleh penilai terdaftar
dalam pasar modal.
b. Setelah menyusun tim persiapan, Kepala Daerah membentuk unit pengelola
obligasi yang memiliki tugas untuk mengelola obligasi setelah ditawarkan di
pasar modal.
c. Kepala daerah meminta persetujuan prinsip ke DPRD terkait penerbitan
obligasi di pasar modal.
2. Perizinan
a. Apabila persyaratan penerbitan obligasi sudah dipenuhi pemerintah daerah,
Menteri Keuangan akan memberikan izin dan Kepala Daerah akan
diberitahukan bahwa Menteri Keuangan telah memberikan persetujuan terkait
obligasi yang akan diterbitkan oleh pemerintah daerah.
b. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penilaian
administrasi dan keuangan dan memberikan persetujuan setelah
mendapatkan pertimbangan Menteri Dalam Negeri.
3. Pra-registrasi dan Registrasi
a. Penunjukan Lembaga dan profesi penunjang.
b. Penetapan struktur obligasi daerah.
c. Pemasaran obligasi dan penentuan tingkat bunga.
d. Pembentukan sindikasi dan pernyataan efektif.
4. Penawaran Umum di Pasar Modal
a. Pencetakan dan pendistribusian prospektus dan formulir.
b. Pembelian dan pendistribusian obligasi daerah.
c. Laporan pasar perdana dan pencatatan di bursa efek.
d. Laporan Keterbukaan.
Penilaian Kelayakan Penerbitan Obligasi Daerah
Penerbitan Obligasi Daerah memerlukan persetujuan dari Menteri Keuangan. Dalam
menerbitkan persetujuan obligasi daerah ini, dilakukan 2 evaluasi yaitu penilaian
kelengkapan administrasi dan penilaian kelayakan keuangan. Penilaian kelayakan
administrasi meliputi,
1. Kerangka Acuan Kegiatan;
2. Laporan keuangan pemerintah daerah selama 3 (tiga) tahun terakhir;
3. Peraturan Daerah mengenai APBD tahun yang berkenaan;
4. Perhitungan jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah dan defisit APBD;

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 55


5. Perhitungan rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan
pinjaman atau Debt Service Coverage Ratio (DSCR);
6. Surat persetujuan prinsip Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang berisi
a. nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang akan diterbitkan pada saat
penetapan APBD;
b. kesediaan pembayaran Pokok dan Bunga sebagai akibat penerbitan
Obligasi Daerah; dan
c. kesediaan pembayaran segala biaya yang timbul dari penerbitan
Obligasi Daerah.
7. Struktur organisasi, perangkat kerja, dan sumber daya manusia unit pengelola
Obligasi Daerah.
Sedangkan penilaian kelayakan keuangan, meliputi,
1. Jumlah kumulatif pinjaman, yaitu jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah
pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari
jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;
2. Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman atau
Debt Service Coverage Ratio (DSCR), yaitu paling sedikit 2,5 (dua koma lima);
dan
3. Jumlah defisit APBD sesuai dengan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Implementasi Penerbitan Obligasi Daerah
Berbagai penelitian dan studi ilmiah telah dilakukan untuk melihat kemungkinan
penerbitan Obligasi Daerah dalam rangka pembiayaan pembangunan di daerah
(Surachman & Setiawan, 2016; Yusesa & Arza, 2020). Regulasi tentang penerbitan
Obligasi Daerah telah ada setidaknya satu dekade. Regulasi ini kemudian disambut
dengan beberapa inisiasi Pemerintah Daerah untuk menerbitkan Obligasi Daerah,
namun sampai dengan saat ini penerbitan Obligasi Daerah belum benar-benar
terealisasi. Menurut Kementerian Keuangan (Tempo, 2020) hal ini disebabkan antara
lain daerah masih memiliki kesulitan dalam menentukan proyek apa yang harus
didanai dan menjadi landasan dari penerbitan obligasi daerah. Dalam hal ini, Pemda
masih cenderung kesulitan menentukan proyek yang akan didanai karena tidak
adanya skala prioritas dari proyek-proyek yang hendak dilaksanakan. Oleh karena
itu, Pemda harus siap dan berani untuk lebih transparan sebelum akhirnya
memutuskan untuk menerbitkan obligasi daerah. Hal yang masih menghambat
penerbitan Obligasi Daerah di Indonesia juga dikemukakan oleh Asian Development
Bank dalam laporan asistensinya (Asian Development Bank, 2020), dimana ADB
mencatat penyebab dari tidak adanya obligasi daerah yang diterbitkan oleh Pemda
antara lain disesbabkan oleh dangkalnya pasar modal Indonesia, kurangnya
kapasitas manajemen finansial pada level Pemda, dan rendahnya kelayakan kredit
Pemda. Menurut mereka, asistensi teknis yang diberikanpun belum bisa mencapai
output yang diharapkan karena kurangnya komitmen dari pemerintah pusat untuk
mendukung Pemda dalam menerbitkan obligasi daerah. Lebih lanjut, koordinasi antar
lembaga di level pemerintah pusat dinilai lemah dan waktu implementasi yang

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 56


diberikan juga terlalu singkat. Catatan-catatan diatas perlu diselesaikan oleh
Pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk bisa merealisasikan Obligasi Daerah.

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 57


Referensi
Anas, A. A. (2019). Creative Collaboration 10 Tahun Perjalanan Transformasi
Banyuwangi. Expose & Mizan.
Asian Development Bank. (2020). Indonesia: strengthening the local government
bond market (Vols. 48169–001, Issue January).
http://wcm.adb.org/printpdf/projects/48169-001/main
Bilan, I. (2016). Overview of the Main Theories on the Economic Effects of Public
Indebtedness. European Integration Realities & Perspectives.
Departemen Keuangan, D. J. P. K. (2007). PANDUAN PENERBITAN OBLIGASI
DAERAH.
Dharmakarja, I., & Solikin, A. (2017). Pembelajaran Pengantar Ilmu Ekonomi: Kurva
Laffer dan Pemanfaatan Aplikasi Excel. Jurnal E-KOMBIS, III(2), 1–13.
Direktorat Jenderal Anggaran. (2014). Pokok-Pokok Siklus APBN di Indonesia.
Direktorat Penyusunan APBN, D. J. A. (2014). Dasar-Dasar Praktek Penyusunan
APBN di Indonesia. In DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI
INDONESIA Edisi II: Vol. Edisi II.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Fioramonti, L. (2013). Gross Domestic Problem: The Politics Behind the World’s
Most Powerful Number (Bahasa Ind). Marjin Kiri.
Greiner, A., & Fincke, B. (2014). Public Debt, Sustainability and Economic Growth. In
Public Debt, Sustainability and Economic Growth. https://doi.org/10.1007/978-3-
319-09348-2
IMF. (2015). Fiscal Policy and Long-Term Growth. In IMF Policy Paper (Vol. 15,
Issue April). https://doi.org/10.5089/9781498344654.007
Istiqomah, N. (2018). Analisis Implementasi Government Finance Statistics di
Indonesia: Pendekatan Teori Institusional. Indonesian Treasury Review Jurnal
Perbendaharaan Keuangan Negara Dan Kebijakan Publik, 3(2), 69–90.
https://doi.org/10.33105/itrev.v3i2.66
Juanda, B; Handra, H. (2017). Reformasi Mekanisme Dana Alokasi Khusus (DAK)
Untuk Mendorong Pertumbuhan Dan Pemerataan Pembangunan Di Indonesia:
Vol. Seri Kerta (Issue 2).
Oates, W. E. (2006). On the Theory and Practice of Fiscal Decentralization. In IFIR
Working Paper Series (Vol. 31, Issue 7).
https://doi.org/10.1108/03068290410540882
Pettinger, T. (2017). Economic effects of a budget deficit. Economicshelp.Org.
Reinhart, Carmen M.; Rogoff, K. S. (2010). Growth in a Time of Debt. American
Economic Review: Papers & Proceedings 100, May, 573–578.
https://doi.org/10.1007/s13369-014-1251-z
Suhartanto. (2013). Efektivitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dalam
Mendukung Pengambilan Keputusan Manajemen Pemerintah Daerah. Pusdiklat
Pengawasan BPKP.
Surachman, E. N., & Setiawan, H. (2016). Municipal Bonds as the Financing
Strategy for Urban Infrastructure: Case Study of Jakarta MRT 1. Jurnal

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 58


Keuangan Dan Perbankan, 20(3), 369–381.
Tempo. (2020). Penerbitan Obligasi Daerah Tak Mudah, Kemenkeu Ungkap
Penyebabnya. https://bisnis.tempo.co/read/1306639/penerbitan-obligasi-daerah-
tak-mudah-kemenkeu-ungkap-penyebabnya/full&view=ok
Tim Kajian Pusat Kebijakan APBN. (2017). Peningkatan Efektivitas Peranan DAU
dalam Pemerataan Kemampuan Keuangan Antardaerah.
Yusesa, G., & Arza, F. I. (2020). Analisis Penerbitan Obligasi Daerah Sebagai
Alternatif Pembiayaan Pembangunan Pada Pemerintah Provinsi Sumatera
Barat. Wahana Riset Akuntansi, 8(1), 50.
https://doi.org/10.24036/wra.v8i1.109021

Modul Analisis Laporan Keuangan Sektor Publik 2020 | 59

Anda mungkin juga menyukai