Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Pada umumnya maloklusi dan deformitas dentofasial bukan merupakan suatu


proses patologis, dan penyebabnya multifaktorial yaitu adanya interaksi berbagai
faktor yang memengaruhi per- tumbuhan dan perkembangan. Menentukan
etiologi maloklusi secara pasti sangatlah sulit, namun penyebabnya dapat
diperkirakan dari kelainan yang terjadi. Dari insidensi maloklusi yang cukup
tinggi, hanya sekitar 5% yang dapat diketahui penyebabnya dengan pasti.
Pendapat ini ditunjang oleh beberapa ahli yang menyatakan bahwa maloklusi
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara berbagai faktor dentokraniofasial, baik
dalam ukuran, bentuk, maupun posisinya. Perkembangan gigi-gigi dan
pertumbuhan fasial seperti juga pertumbuhan bagian tubuh lainnya ditentukan
oleh faktor herediter dan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran
gigi, lengkung gigi, dan oklusi sangat ditentukan oleh faktor keturunan. Namun
pada keadaan tertentu pengaruh lingkungan lebih kuat daripada faktor keturunan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi Maloklusi


Dalam perawatan maloklusi, perlu diketahui penyebabnya sehingga dapat
dilakukan pencegahan, interseptif, dan perawatan permasalahan oklusi.
Mengetahui penyebab maloklusi sangat penting dalam menegakkan diagnosis dan
perawatan penderita. Untuk memudahkan mempelajari etiologi suatu maloklusi,
beberapa ahli ortodonti seperti Proffit', Graber, Staley, Salzmann, Moyers'
mengklasifikasikan faktor penyebab maloklusi. Menurut Salzmann, etiologi
maloklusi bersifat multifaktorial yaitu terdiri wital, sedangkan faktor pascanatal
terdiri atas gangguan pada periode atas faktor prenatal seperti genetik, masalah
diferensiasi, dan kongenital, sedangkan faktor prenatal terdiri atas gangguan pada
periode perkembangan, fungsional, dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut saling
memengaruhi terjadinya maloklusi.
Moyers' mengklasifikasikan etiologi maloklusi sebagai berikut:
1. Keturunan sistem neuromuskular, tulang, dan gigi-gigi.
2. Gangguan perkembangan dari sumber yang tidak diketahui.
3. Trauma pranatal dan pada waktu proses kelahiran.
4. Pengaruh lingkungan pranatal dan pascanatal.
5. Kebiasaan.
6. Penyakit: sistemik, gangguan endokrin, penyakit lokal.
7. Malnutrisi.
Menurut Moyers proses terjadinya maloklusi bergantung pada penyebab
utamanya, waktu terjadinya (pranatal atau pascanatal), lamanya, kontinuitasnya
dan jenis jaringan yang terkena. Proffit, mengelompokkan etiologi maloklusi
sebagai berikut:
1. Penyebab yang spesifik: gangguan pada waktu perkembangan embrio,
pertumbuhan skeletal, disfungsi otot, akromegali dan hipertrofi
hemimandibula, serta gangguan perkembangan gigi.
2. Pengaruh genetik.
3. Pengaruh lingkungan.
4. Etiologi dari sudut pandang mutakhir.
Menurut Bahreman perkembangan oklusi dipengaruhi oleh genetik dan
lingkungan, dan keduanya saling memengaruhi. Penelitian menunjukkan bahwa
faktor genetik lebih berpengaruh pada struktur kraniofasial selama periode
embrio, sedangkan faktor-faktor ling- kungan memengaruhi perkembangan oklusi
terutama pada periode pascanatal dini. Penelitian Harris dan Johnson
menghasilkan ke- simpulan bahwa faktor herediter sangat berperan pada kelainan
skeletal, sedangkan hampir semua kelainan oklusal merupakan kelainan yang
didapat (acquired). Itulah sebabnya maloklusi yang disebabkan oleh faktor
lingkungan pada gigi sulung atau gigi bercampur dapat diprediksi dan dicegah
sehingga penanganan dini dapat mengurangi keparahan maloklusi dikemudian
hari. Struktur orofasial merupakan salah satu bagian tubuh yang paling kompleks
secara anatomis maupun fungsional. Interaksi antara bentuk dan fungsi
berpengaruh terhadap struktur orofasial selama perkembangan oklusi. Mekanisme
ini dipengaruhi faktor lingkungan terutama faktor fungsional. Disfungsi otot pada
gigi sulung dan gigi bercampur akan memengaruhi perkembangan oklusi.
Etiologi maloklusi yang mengikuti penggolongan menurut Graber
mengelompokkan dalam faktor umum dan faktor lokal.

2.2 Faktor Umum


Keturunan
Faktor keturunan sangat berpengaruh pada terjadinya maloklusi terutama pada
periode pranatal. Jenis maloklusi tertentu sering dijumpai pada satu keluarga.
Berbagai faktor seperti ras, tipe fasial, dan pola tumbuh kembang, berperan dalam
terjadinya maloklusi.
1. Ras
Ras berpengaruh terhadap karakteristik gigi. Pada kelompok masyarakat yang
homogen, insidensi maloklusi relatif lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok masyarakat yang heto- rogen. Pada masyarakat modern dengan
adanya percampuran antar ras, insidensi maloklusi meningkat. Kelainan
skeletal lebih banyak dipengaruhi oleh faktor keturunan, sedangkan kelainan
dental lebih banyak disebabkan oleh faktor lingkungan.
2. Tipe fasial
Setiap etnik atau etnik campuran, memiliki bentuk kepala dan wajah (tipe
fasial) yang berbeda. Bentuk kepala/wajah dapat digolongkan menjadi:
brakisefalik/brakifasial, mesosefalik/ mesofasial, dan
dolikosefalik/dolikofasial. Bentuk gigi dan leng- kung gigi berhubungan erat
dengan tipe fasial, umumnya bila tipe brakifasial mempunyai lengkung gigi
lebar, tipe mesofasial bentuk lengkung giginya oval, sedangkan tipe
dolikofasial bentuk lengkung giginya panjang dan sempit.
3. Pola tumbuh-kembang
Faktor keturunan sangat berperan dalam pola tumbuh- kembang seseorang,
meskipun demikian, faktor lingkungan juga penting karena dapat
memengaruhi pola yang telah di- tentukan oleh faktor keturunan tersebut.
Karakteristik morfo- logi dentofasial yang spesifik seperti ukuran gigi, lebar
dan panjang lengkung, bentuk palatum, gigi berjejal dan renggang, jarak
gigit, sangat dipengaruhi faktor keturunan. Sebagai contoh,
ketidakseimbangan antara ukuran gigi dan rahang dapat menyebabkan gigi
berjejal atau renggang. Selain itu, ketidakseimbangan ukuran dan bentuk
antara rahang atas dan rahang bawah akan menyebabkan hubungan oklusal
yang tidak baik.
Pengaruh faktor keturunan terhadap maloklusi dapat di- ketahui
dengan mempelajari/menelusuri keluarganya (ayah, ibu, saudara, atau saudara
kembar). Pada anak kembar monozigot maloklusinya identik, sedangkan pada
anak kembar bizigot pada umumnya pengaruh genetik hanya 50%.
Harris dan Johnson. 2 dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
pengaruh keturunan pada karakteristik skeletal relatif tinggi, sedangkan pada
karakteristik dental rendah. Karakteristik skeletal meningkat dengan
bertambahnya usia, sedangkan karakteristik dental menurun, hal ini
menunjukkan bertambahnya pengaruh lingkungan pada kelainan dental.
Menurut Litton dan Watanabe 10 beberapa anomali per- kembangan
gigi juga disebabkan oleh pengaruh faktor keturun- an yang kuat, misalnya
impaksi gigi, mikrodonsia, dan agenesis gigi. Begitu juga dengan
pertumbuhan rahang, sebagian besar ditentukan oleh faktor keturunan.
Prognatisme mandibula memiliki predisposisi genetik yang cukup kuat. Pada
populasi yang homogen, seperti masyarakat primitif maloklusi lebih jarang
ditemukan dibandingkan masyarakat modern karena jarang terjadi diskrepansi
ukuran gigi dan rahang. Dengan adanya percampuran berbagai populasi yang
berbeda, berkembanglah macam-macam maloklusi

Kongenital
1. Celah bibir dan langit-langit
Celah bibir dan palatum sangat erat hubungannya dengan genetik,
terutama celah palatum, sepertiga sampai setengah penderita celah
palatum mempunyai keluarga dengan kelainan serupa. Sedangkan pada
celah fasial, faktor genetik kurang berhubungan. Celah palatum dan celah
bibir merupakan kelainan kongenital yang paling sering ditemukan. Pada
celah unilateral, umumnya ditemukan gigitan silang posterior di sisi celah.
Sering kali premaksila terdorong ke depan atau sebaliknya, apabila
tindakan bedah untuk penutupan celah bibir terlalu kencang, seluruh
premaksila akan terdorong ke palatal dan terjadi malposisi insisif atas
sehingga terjadi gigitan silang anterior. Pada daerah celah palatal
umumnya tidak ada gigi , kalaupun ada bentuknya atipikal atau kembar.
2. Palsi serebral
Palsi serebral yaitu kerusakan intrakranial yang menyebabkan paralisis
otot (gangguan neuromuskular), sering terjadi karena cedera waktu proses
kelahiran sehingga dapat menimbulkan malfungsi mastikasi, penelanan,
pernapasan, dan bicara. Dampak gangguan neuromuskular akan
memengaruhi perkembangan rahang atas maupun bawah, serta oklusi.
3. Tortikolis
Pada tortikolis kekuatan otot yang abnormal terlihat jelas, yaitu adanya
pemendekan otot sternokleidomastoideus yang dapat mengubah morfologi
tulang kranium dan wajah, dikenal dengan "wry neck“. Akibat tarikan otot
tersebut dapat menyebabkan asimetri wajah dan maloklusi yang parah bila
tidak ditanggulangi secara dini.
4. Disostosis Kleidokranial
Disostosis kleidokranial merupakan kelainan yang sering kali
berhubungan dengan faktor keturunan dan dapat menyebabkan maloklusi.
Ciri khas kondisi ini adalah tidak adanya tulang klavikula, dapat unilateral
atau bilateral, sebagian atau seluruh, dan terlambatnya penutupan sutura
kranial. Ciri-ciri maloklusi yang terjadi antara lain: retrusi maksila,
protrusi mandibula, erupsi gigi tetap terlambat, gigi sulung terlambat
tanggal, akar gigi tetap pendek dan tipis, dan sering dijumpai gigi
berlebih.
5. Ankiloglosia Ankiloglosia dikenal sebagai tongue tie, merupakan
kelainan kongenital yang disebabkan oleh frenulum lingualis yang
pendek. Hal ini dapat menyebabkan kelainan fungsi bicara yaitu pelat
(lisping), dan kemungkinan menyebabkan maloklusi karena
ketidakseimbangan gungsi lidah dan otot di luar mulut.

Lingkungan
Pranatal
a. Intrauterine molding
Posisi janin yang abnormal misalnya tangan, kaki atau lutut menekan
wajah dapat menyebabkan wajah depresi dan asimetris. Kadang-kadang
kepala janin menekan dada sehingga mandibular tidak dapat tumbuh ke
depan. Hal ini dapat terjadikarena beberapa hal antara lain air ketuban
yang terlalu sedikit. Pada waktu lahir terlihat mandibular sangat kecil, dan
sering disertai celah palatum. Oleh karena mandibular sangat kecil, lidah
akan terdorong ke atas sehingga menghambat penutupan palatum, kelainan
ini dikenal dengan sindrom Pierre-Robbin.
b. Bahan atau obat yang berpengaruh terhadap perkembangan
dentofasial
Lingkungan memainkan peranan penting sebagaifaktor etiologi terjadinya
maloklusi. Berbagai agen dapat memengaruhi embrio dan dapat
menyebabkan maloklusi bila embrio terpapar pada saat perkembangan
yang kritis. Agen tersebut disebut sebagai teratogen.
Pascanatal
a. Trauma pada proses kelahiran
Pada proses kelahiran yang sulit, kadang-kadang diperlukan bantuan alat
untuk mengeluarkan bayi, misalnya dengan menggunakan penjepit.
Penggunaan penjepit dapat melukai satu atau kedua sendi rahang, dapat
menyebabkan perdarahan internal, serta kerusakan jaringan yang akan
memengaruhi perkembangan mandibula. Seperti dikertahui, jaringan
kartilago kondil mandibula merupakan salah satu pusat pertumbuhan
mandibula, jadi kerusakan pada daerah tersebut berisiko mengakibatkan
efisiensi pertumbuhan mandibula. Dewasa ini, para ahli menyatakan
bahwa kartilago mandibula tidak begitu memengaruhi pertumbuhan
mandibula. Pendapat ini didukung dengan kenyataan bahwa meskipun
proses kelahiran dengan bantuan cunam penjeit sudah jaeang digunakan,
tetapi prevalensi maloklusi kelas II yang disebabkan defisiensi mandibular
tidak berkurang. Deformitas fasial, umumnya merupakan kelainan
kongenital bukan sebagai akibat trauma waktu lahir.
b. Trauma pada anak-anak
a. Anak-anak sering terjatuh dan dapat menyebabkan fraktur rahang,
terutama pada leher kondil mandibular, tetapi umumnya cepat sembuh.
Pada fraktur dini, mandibular tumbuh normal dan tidak terjadi asimetri
fasial. Prognosis baik, karena potensi pertumbuhan masih besar.
b. Trauma yang keras pada insisif sulung juga sering terjadi pada anak-
anak, akibatnya dapat terjadi kerusakan email, pembentukan akar
terhenti, atau akar mengalami malformasi atau distorsi (dilaserasi).
Trauma pada insisif sulung yang menyebabkan gigi tanggal dini,
umumnya tidak menyebabkan pergeseran gigi tetap. Bila terjadi pada
usia 3 tahun, erupsi gigi insisif permanen dapat terhambat, hal ini
disebabkan lambarnya resorbsi tulang alveolar di atasnya.
c. Luka bakar pada leher dan wajah anak dapat menyebabkan
pertumbuhan terhambat karena terbentuknya jaringan parut.
d. Penggunaan alat fiksasi yang lama dalam perawatan patah tulang
servikal dapat mengakibatkan tekanan mandibular ke atas yang
menyebabkan gigi insisifatas labioversi dan gigitan dalam.

Gangguan metabolisme
Disfungsi sistem kelenjar endokrin dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan
gigi pada janin, seperti hipoplasia email. Bila terjadi pada pascanatal akan
menghambat pertumbuhan fasial. Dampak lain adalah pada osifikasi tulang, waktu
penutupan sutura, waktu erupsi gigi dan resorpsi akar gigi sulung, serta jaringan
periodonsium yang sangat sensitif. Gangguan beberapa kelenjar endokrin yang
spesifik seperti hipotiroid dapat menyebabkan pola resorpsi abnormal, erupsi gigi
lambat, kelainan gingiva, gigi sulung yang persistensi, dan malposisi gigi karena
arah erupsi mengalami defleksi. Mengapa hal ini terjadi belum diketahui dengan
pasti.
Pada kasus akromegali, yang disebabkan oleh adanya tumor berlebihan,
mandibula akan tumbuh berlebih sehingga terjadi maloklusi kelas III skeletal.
Kartilago kondil berproliferasi, bila tumornya diangkat atau diradiasi,
pertumbuhan mandibula akan
berhenti, tetapi deformitas skeletal akan menetap. Meskipun metabolisme normal,
kadang-kadang ditemukan pertumbuhan mandibula berlebih pada satu sisi,
mengapa hal ini terjadi tidak diketahui penyebabnya. Keadaan ini disebut sebagai
hipertrofi hemimandibula. Pertumbuhan yang berlebihan tersebut dapat berhenti
secara spontan, tetapi pada kasus yang parah diperlukan rekonstruksi kondil.

Malnutrisi
Malnutrisi relatif jarang terjadi pada negara maju, tetapi pada Negara berkembang
masih banyak dijumpai. Penyakit seperti rickets, scurvy, dan beri-beri, dapat
menyebabkan maloklusi yang parah. Masalah utama yang sering terjadi adalah
gangguan pada perkembangan gigi, seperti gigi tanggal dini, persistensi, proses
erupsi abnormal, serta kesehatan jaringan yang buruk. Defisiensi nutrisi yang
terjadi di negara maju, bukan disebabkan kurangnya gizi, tetapi gangguan
pencernaan. Pada anak dengan orang tua peminum alkohol yang kronis, kelainan
yang ditimbulkan sama seperti penderita malnutrisi.

Kebiasaan buruk
Para ahli menyatakan bahwa fungsi otot sangat berperan terhadap terjadinya
maloklusi. Otot-otot dalam dan luar mulut seyogyanya dalam keadaan seimbang,
apabila tidak dalam keadaan seimbang akan menyebabkan terjadinya maloklusi.
Normalnya, fungsi oral adalah mengunyah, menelan, bernapas, dan bicara.
Bila ada malrelasi antara rahang atas dan bawah, aktivitas otot menyesuaikan
dengan keadaan tersebut sehingga timbul kebiasaan buruk yang dapat
menyebabkan maloklusi. Kebiasaan buruk yang akan diuraikan adalah mengisap
jari, mengisap/menggigit bibir, menjulurkan lidah, gangguan bicara, gangguan
penelanan, dan gangguan pernapasan.
1. Kebiasaan mengisap jari/ibu jari
Kebiasaan mengisap jari/ibu jari merupakan kebiasaan buruk yang paling
sering dijumpai dan umumnya dimulai lebih awal dari kebiasaan lainnya.
Bayi sejak lahir mempunyai naluri untuk mengisap yang membuat bayi
merasa nyaman dan puas. Pada pemberian air susu ibu, bayi merasa hangat
dan aman karena berkontak langsung dengan ibunya sehingga kemungkinan
mempunyai kebiasaan ini berkurang. Refleks mengisap lebih kuat pada bayi
yang diberi air susu ibu dibandingkan dengan susu botol. Umumnya bayi
mempunyai kebiasaan mengisap jari/ibu jari, hal ini normal bila berlangsung
sampai sekitar usia satu hingga satu setengah tahun, tetapi bila kebiasaan
mengisap berkepanjangan akan terjadi maloklusi. Bila dilakukan hanya
sampai usia 4 tahun biasanya tidak menyebabkan kelainan, atau kalau terjadi
kelainan sifatnya ringan dan dapat normal kembali dengan sendirinya. Bila
kebiasaan berlanjut untuk waktu yang lama akan menyebabkan kelainan baik
pada gigi maupun rahangnya. Ciri-ciri maloklusi yang terjadi adalah gigi
depan atas proklinasi, gigi depan bawah retroklinasi, gigitan terbuka anterior,
lengkung atas sempit, dan pertumbuhan rahang bawah terhambat. Berat-
ringannya kelainan yang terjadi bergantung pada durasi, frekuensi, dan
intensitas kebiasaan. Cara mengisap, aktivitas otot-otot di dalam dan di luar
mulut, serta pola pertumbuhan tulang wajah juga memengaruhi jenis
maloklusi. Hal ini disebabkan adanya ketidakseimbangan otot-otot di dalam
dan di luar mulut.
2. Mengisap/menggigit bibir Mengisap/menggigit bibir, umumnya terjadi
sebagai pengganti mengisap jari. Bibir bawah ditempatkan di belakang insisif
atas, kemudian diisap atau digigit. Kelainan yang ditimbulkan adalah gigi
anterior atas proklinasi, kadang-kadang renggang, bibir bawah menebal, dan
rahang bawah pertumbuhannya terhambat serta terdorong ke belakang.
3. Menjulurkan lidah dan gangguan penelanan Kebiasaan menjulurkan lidah
dapat terjadi pada waktu istirahat, menelan, ataupun bicara. Lidah dijulurkan
ke depan di antara gigi anterior atas dan bawah, dan umumnya pada penderita
dengan kebiasaan mengisap jari. Anggapan pada era 1950-1960 yang
menyatakan bahwa dorongan lidah menyebabkan gigitan terbuka tidaklah
tepat. Pada penelitian dewasa ini, ternyata ditemukan bahwa penderita yang
menjulurkan lidah pada waktu menelan, justru tekanan lidah pada gigi
berkurang dibandingkan dengan yang tidak mempunyai kebiasaan tersebut.
Secara singkat dapat dikatakan penelanan dengan menjulurkan lidah terlihat
pada dua keadaan: pertama pada penderita anak-anak dengan oklusi normal
dan merupakan masa transisi kematangan fisiologis normal, dan kedua pada
individu dengan gigitan terbuka. Jadi, penelanan dengan menjulurkan lidah
bukan me- rupakan penyebab tetapi merupakan akibat adanya gigitan ter-
buka. Hal ini bukan berarti bahwa lidah tidak berperan sebagai faktor etiologi
gigitan terbuka. Sebaliknya, posisi lidah ke depan pada waktu istirahat
meskipun tekanan sangat ringan, tetapi durasi yang lama dapat menyebabkan
perubahan posisi gigi dalam arah horizontal maupun vertical.
Hubungan antara bentuk dan fungsi sistem stomatognatik telah banyak
dievaluasi. Ukuran, fungsi, dan postur lidah sudah terbukti memengaruhi
lingkungan di sekitarnya. Sudah lama menjadi perdebatan bahwa fungsi lidah
akan menyebabkan maloklusi atau merupakan adaptasi terhadap perubahan-
per- ubahan oklusi.
Hubungan antara bentuk dan fungsi ini ditentukan oleh faktor genetik,
dan akan berlanjut terus serta berperan dalam perkembangan maloklusi. Bila
fungsi berpengaruh pada per- tumbuhan rahang, gangguan pada fungsi
merupakan penyebab utama maloklusi. Lingkungan yang berpengaruh pada
masa pertumbuhan dan perkembangan wajah, rahang, dan gigi adalah tekanan
dan gaya yang berkaitan dengan aktivitas fisiologis. Bagaimana cara
seseorang mengunyah, menelan, jenis makanan, dan tekanan-tekanan pada
rahang dan gigi pada waktu aktivitas, sangat memengaruhi pertumbuhan
rahang dan erupsi gigi.
Kebiasaan buruk menjulurkan lidah (tongue thrust swallowing)
merupakan salah satu faktor etiologi maloklusi, yaitu ujung lidah terletak di
antara gigi-gigi insisif selama proses penelanan. Gejala penelanan yang
abnormal ini di antaranya adalah:
1. Posisi ujung lidah lebih ke depan untuk mencapai bibir bawah.
2. Gigi-gigi posterior rahang atas dan bawah tidak berkontak selama
proses menelan.
3. Terjadi kontraksi otot perioral selama siklus menelan.
Pada pasien dengan kebiasaan buruk menelan menjulurkan lidah, saat
menelan, mandibula terdorong ke bawah dan lidah menjulur ke depan di
antara gigi-gigi, membentur bibir yang tertutup. Otot-otot fasial yang
memengaruhi ekspresi (mimetic), termasuk otot mentalis berperan dalam
proses penelanan yang abnormal ini untuk membantu lidah menekan
makanan ke arah belakang. Bila ujung lidah ditempatkan di depan ketika
menelan, biasanya tidak ada tekanan lidah pada gigi-gigi, kecuali bila ujung
lidah ke belakang kemungkinan tekanan lidah lebih rendah. Menelan secara
psikologis terjadi pada tahap bawah sadar, karena itu pola penelanan tidak
dapat dianggap sebagai kebiasaan. Bila lidah ditempatkan di antara gigi-gigi
depan dapat menyebabkan terjadinya maloklusi gigitan terbuka anterior.
Pada usia dini, apabila kebiasaan buruk dihilangkan, gigit- an terbuka
anterior dapat menjadi normal kembali karena adanya proses pertumbuhan.
Namun, apabila kebiasaan buruk ini berlanjut sampai pertumbuhan selesai,
prognosisnya kurang baik.
Menelan dengan menjulurkan lidah ditengarai merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan relaps pada perawatan Ortodonti. Banyak
penelitian menunjukkan persentase terjadi- nya relaps yang cukup besar
setelah perawatan ortodonti yang kemungkinan berkaitan dengan
ketidakseimbangan otot orofasial dan penyimpangan proses penelanan.
Aktivitas lidah ke arah depan selama proses penelanan dapat
menyebabkan inklinasi gigi insisif ke labial, gigitan terbuka anterior, dan
celah pada berapa kasus. Pengaruh menjulurkan lidah pada perkembaca
dentofasial bergantung pada beberapa faktor, yaitu:
1. Frekuensi penelanan atau seberapa sering lidah memberikan gaya
pada gigi.
2. Aksi berlawanan struktur otot yang lain seperti bibir, dan daya tahan
struktur dentoalveolar untuk bergeser.
3. Posisi lidah pada saat tidak menelan.
4. Gangguan bicara
Maloklusi dapat disebabkan oleh adanya gangguan bicara sehingga dapat
menyebabkan miskomunikasi. Maloklusi yang sering terjadi akibat kebiasaan
ini antara lain gigitan terbuka anterior atau diastema di antara gigi insisif.
Pada penderita dengan gigi insisif atas berjejal dan palatoversi, serta
maloklusi kelas III skeletal, umumnya tidak dapat bicara dengan normal.
Apakah terjadinya gigitan terbuka disebabkan karena gangguan bicara
ataukah sebaliknya, masih merupakan kontroversi.
5. Gangguan pernapasan
Pola pernapasan yang terganggu seperti bernapas melalui mulut dapat
mengubah posisi kepala, rahang, dan lidah sehingga dapat mengganggu
keseimbangan tekanan pada rahang dan gigi, yang berdampak pada posisi
gigi maupun pertumbuhan rahang. Untuk bernapas melalui mulut, posisi
rahang bawah dan lidah perlu ke bawah, dan kepala ke belakang. Perubahan
posisi ini bila menetap akan menambah tinggi wajah, membuat gigi belakang
ekstrusi, mandibula rotasi ke bawah dan ke belakang, membuka gigitan
anterior, jarak gigit bertambah, serta lengkung gigi atas sempit karena
bertambahnya tekanan pipi. Maloklusi yang terjadi mirip dengan penderita
mengisap jari dan penelanan yang abnormal. Keadaan ini pada beberapa
literatur disebut sebagai adenoid faces.
Bila ada sumbatan parsial pada hidung, maka penderita akan bernapas
sebagian melalui mulut dan sebagian melalui hidung. Sumbatan pernapasan
dapat disebabkan oleh peradangan pada mukosa hidung akibat alergi atau
infeksi kronis. Meskipun sum- batan telah ditanggulangi, kadang-kadang
penderita tetap bernapas melalui mulut karena telah menjadi suatu kebiasaan.

2.3 Faktor Lokal


Anomali jumlah gigi
Variasi dalam jumlah gigi sering terjadi dan faktor keturunan sangat berperan.
Penyebab variasi tersebut masih belum diketahui dengan jelas. Selain itu, kelainan
jumlah gigi berhubungan dengan kelainan kongenital seperti celah bibir dan
palatum. Kelainan umum seperti displasia ektodermal, kleidokranial disostosis,
dan lain-lain juga berdampak pada jumlah gigi.
1. Gigi berlebih
Gigi berlebih atau disebut juga gigi supernumerari/hiperdonsia/ polidonsia
adalah keadaan adanya gigi ekstra. Sering kali keadaan ini disebabkan oleh
faktor keturunan dan beberapa diakibatkan oleh faktor lingkungan. Gigi
berlebih terjadi pada sindrom Gardner dan kleidokranial disostosis.
Tidak dapat dipastikan kapan gigi berlebih berkembang, dan dapat
terbentuk pada periode pranatal atau pascanatal. Menurut Proffit, gigi
berlebih terjadi bila ada gangguan pada stadium inisiasi dan proliferasi.
Gigi berlebih lebih sering terjadi di rahang atas meskipun dapat terjadi
pada daerah mana pun dalam fongga mulut. Kadang-kadang bentuknya
sedemikian rupa sehingga sulit untuk menentukan gigi mana yang
merupakan gigi berlebih. Gigi berlebih yang sering terlihat adalah
mesiodens, yaitu di daerah garis tengah palatal di antara insisif atas.
Umumnya berbentuk konus dan tunggal meskipun dapat berpasangan,
kadang-kadang berfusi atau geminasi dengan insisif sentral, serte hnya
dapat ke mana saja. Pada mandibula, gigi berlebih bia ya tumbuh di daerah
insisif dan kaninus; namun jarang di daerah molar. Gigi berlebih yang
tidak dapat erupsi mempunyai tendensi terbentuk kista.
Prevalensi tertinggi supernumerari adalah insisif lateral dan
kadang-kadang premolar, bahkan pada beberapa penderita mempunyai
molar keempat. Adanya gigi berlebih berpotensi menghalangi
perkembangan oklusi normal, terutama bila terdapat dalam lengkung gigi.
2. Kekurangan jumlah gigi
Kekurangan jumlah gigi atau agenesis lebih sering terjadi daripada gigi
berlebih. Dapat ditemukan pada rahang atas maupun bawah, tetapi lebih
sering ditemukan pada rahang atas. Gigi permanen lebih sering agenesis
dibanding gigi sulung dan lebih sering terjadi di regio anterior baik pada
maksila maupun mandibula. Umumnya, bila gigi sulung missing, gigi
sering agenesis adalah molar ketiga atas dan bawah, insisif lateral atas,
premolar kedua bawah, insisif bawah, dan premolar kedua atas. Agenesis
sering kali berhubungan dengan displasia ektodermal kongenital, dan
terjadi karena adanya gangguan pada stadium awal pembentukan gigi yaitu
inisiasi dan proliferasi
Kekurangan gigi, bila hanya terdiri dari beberapa gigi disebut
hipodonsia, bila banyak gigi disebut oligodonsia, dan bila sama sekali
tidak ada gigi disebut anodonsia. Anodonsia merupakan suatu kelainan
genetik yang jarang terjadi, dengan tidak adanya gigi sulung atau gigi tetap
secara kongenital. Kelainan ini berhubungan dengan beberapa sindrom
kulit dan saraf yang merupakan displasia ektodermal. Anodonsia dapat
menyebabkan disfungsi pengunyahan, kelainan bicara, problem estetik,
dan maloklusi.
Anodonsia atau oligodonsia umumnya berhubungan dengan
kelainan sistemik yaitu displasia ektodermal. Kadang-kadang dapat juga
terjadi padang tanpa gangguan sistemik atau sindrom kongenital. An ama
dan oligodonsia jarang terjadi, sedangkan hipodonsia rais tif lebih sering
dijumpai, dan penyebabnya multifaktorial. Nampaknya faktor keturunan
lebih berperan pada agenesis daripada gigi berlebih, dan lebih sering
terjadi pada gigi permanen daripada gigi sulung. Bila gigi permanen tidak
ada, akar gigi sulung yang akan digantikannya mungkin tidak mengalami
resorpsi.
Umumnya, pada kasus satu atau beberapa gigi hilang, yang hilang
adalah gigi sejenis yang paling distal, misalnya, untuk kehilangan gigi
molar, hampir selalu molar ketiga, bila insisif hampir selalu insisif lateral,
bila premolar hampir selalu premolar kedua. Gigi yang paling jarang
agenesis adalah kaninus. Hilangnya gigi juga dapat terjadi karena
kecelakaan, terutama insisif, sedang molar pertama karena karies.
Anomali ukuran dan bentuk gigi
Ukuran gigi bervariasi dan terutama ditentukan oleh faktor keturunan. Kelainan
ukuran gigi disebabkan adanya gangguan pada stadium morfodiferensiasi,
mungkin dari tahap histodiferensiasi. Variasi ukuran gigi paling sering terjadi
pada insisif lateral atas dan premolar kedua terutama premolar kedua bawah. Kira-
kira 5% populasi mempunyai diskrepansi ukuran gigi karena disproporsi ukuran
gigi
Kelainan ukuran dan bentuk gigi dapat bermacam-macam:
1. Mikrodonsia, adalah gigi yang lebih kecil ukurannya dari normal dan
jarang terjadi, kadang-kadang berhubungan dengan pituitary dwarfism.
Lebih sering terjadi hanya pada 1 atau 2 gigi saja, misalnya peg shape
insisif lateral dan molar ketiga. Peg shape insisif cenderung diturunkan
dalam keluarga.
2. Makrodonsia/megadonsia adalah gigi yang ukurannya lebih besar dari
normal. Lebih jarang terjadi dibanding mikrodonsia, dan dapat
berhubungan dengan gigantisme hipofisis.
3. Dens in dente, disebut juga dens invaginatus atau gestant pada gigi insisif
lateral atas. Ciri khasnya adalah terjadi invaginasi enmail sehingga pada
foto rontgen tampak seperti gigi dalam gigi.
4. Fusi dan geminasi. Kadang-kadang benih gigi dalam per- kembangannya
dapat fusi atau geminasi. Fusi adalah anomali gigi yang berasal dari dua
benih gigi dan mempunyai dua pulpa atau saluran akar, sedangkan
geminasi gigi berasal dari satu benih gigi dan mempunyai satu ruang pulpa
atau saluran akar. Geminasi merupakan fenomena yang terjadi bila dua
gigi berkembang dari satu benih gigi, sebagai hasilnya ukuran gigi
menjadi besar, tetapi jumlah gigi normal. Sementara pada fusi jumlah gigi
berkurang karena dua benih gigi bersatu. Fusi dapat lengkap atau hanya
sebagian, bergantung pada tahap mana terjadinya fusi tersebut. Geminasi
dan fusi lebih sering terjadi pada gigi sulung terutama gigi insisif.
Seperti anomali ukuran gigi, anomali bentuk gigi juga disebabkan
adanya gangguan pada stadium morfodiferen- siasi , barangkali dari
stadium histodiferensiasi. Bentuk gigi berkaitan erat dengan ukuran gigi,
yang paling sering adalah "peg lateral, dapat menyebabkan gigi renggang.
Insisif pertama atas juga sangat bervariasi dalam bentuknya, kadang-
kadang singulum sangat menonjol, lingir tepi tajam dan nyata sehingga
menyebabkan gigi terdorong ke labial, mengakibatkan tinggi gigit dan
jarak gigit tidak normal. Premolar kedua bawah juga menunjukkan variasi
yang besar dalam bentuk dan ukuran, bisa mempunyai tambahan tonjolan
lingual sehingga ukuran mesiodistal bertambah, mengurangi ruang untuk
penyesuaian molar. Anomali bentuk lainnya yang kadang-kadang
ditemukan adalah Hutchinson's incisor dan mulberry molar.
5. Dilaserasi, fleksi, dan taurodonsia. Dilaserasi yaitu bentuk gigi yang
sangat bengkok, pembengkokan terjadi pada batas korona dan akar, dapat
sampai 90°. Biasanya akibat trauma pada waktu perkembangan gigi dan
disebut juga "hawk billed tooth”. Fleksi adalah suatu deviasi atau
pembengkokan yang hanya terjadi pada akar gigi, biasanya pembengkokan
Mahkota molar pertama atas dengan akar yang sangat bengkok kurang dari
90°. Perbedaan antara fleksi dan dilaserasi adalah besar sudut
pembengkokannya. Taurodonsia adalah "bull-like tooth”, biasanya pada
gigi molar dengan ruang pulpa abnormal dan akar gigi pendek.

Frenulum labialis yang abnormal


Dalam bidang ortodonti hubungan antara frenulum labialis dengan terjadinya
diastema sentral atas masih merupakan kontroversi, yaitu manakah yang lebih
dulu. Pada bayi, frenulum labialis berawal dari permukaan dalam bibir ke papila
palatinus, setelah gigi erupsi frenu- lum melekat pada permukaan labial prosesus
alveolaris. Kadang- kadang hal ini menetap dan menyebabkan diastema sentral,
jarang terjadi pada insisif bawah. Frenulum yang normal melekat pada membran
mukosa lebih kurang 5 mm di atas gingiva. Frenulum yang abnormal biasanya
panjang atau pendek dan tebal. Diastema sentral umumnya akan menutup secara
spontan dengan erupsi kaninus tetap. Faktor keturunan merupakan faktor utama
terjadinya frenulum yang persisten. Diperlukan pemeriksaan yang saksama untuk
menentukan diagnosisnya.
Amelogenesis imperfekta
Adalah suatu keadaan pembentukan email atau permukaan eksternal gigi yang
abnormal. Hal ini disebabkan oleh malnutrisi protein dalam email yaitu
ameloblastin, enamelin, tufledin dan amelofenin. Penderita amelogenesis
imperfekta merupakan gigi dengan kelainan warna yaitu kuning, cokelat, atau
abu-abu. Gigi mempunyai kecenderungan lebih mudah berlubang dan
hipersensitif terhadap perubahan suhu. Email gigi yang tipis dan lunak
menyebabkan gigi mudah rusak. Insidensi terjadinya kelainan ini sangat kecil.
Hipoplasia email
Adalah kelainan pada email gigi sehingga ketebalan email ber- kurang dari
normal. Kelainannya dapat berupa lubang kecil pada gigi atau dapat meluas ke
seluruh gigi. Gigi dapat berukuran kecil atau bentuknya tidak normal sehingga
dapat menyebabkan gigi sensitif dan mudah berlubang. Bila terjadi secara genetik
dapat menyebabkan hipoplasia pada scluruh gigi. Gigi berwarna putih, kuning,
atau kecokelatan dengan per- mukaan yang kasar sampai berlubang kecil, jadi
berdampak pada kualitas maupun kuantitas emuil. Faktor genetik dan lingkungan
yang memengaruhi pembentukan gigi berperan pada kelainan ini, termasuk
trauma pada gigi dan rahang, intubasi pada bayi prematur, infeksi pada waktu
kehamilan atau bayi, nutrisi yang buruk pada pra- dan pascanatal, hipoksia, zat
kimia yang toksik, dan berbagai kelainan genetik. Sering kali penyebabnya sulit
untuk ditentukan.
Gangguan erupsi
Erupsi prematur baik gigi sulung maupun gigi permanen dapat disebabkan oleh
adanya disfungsi endokrin seperti hipertiroidisme. Keterlambatan erupsi dapat
disebabkan faktor lokal atau sistemik. Bila perlu dapat dilakukan "surgical
exposure" dan perawatan ortodonti untuk membantu gigi erupsi ke dalam posisi
yang normal. Kadang-kadang gigi tidak dapat erupsi, keadaan ini disebut impaksi
(embeded) terutama terjadi pada gigi molar ketiga dan kaninus atas, kemudian
gigi premolar, dan gigi berlebih. Erupsi ektopik merupakan gangguan erupsi
karena terhalang oleh gigi tetangganya."
Gigi sulung tanggal dini
Gigi sulung selain sebagai organ pengunyah, juga untuk memper- tahankan
tempat bagi gigi tetap penggantinya. Bila ada gigi yang hilang, lengkung gigi
cenderung kontraksi dan ruang menutup sehingga terjadi pemendekan lengkung
yang akan mengakibatkan maloklusi, seperti berjejal, rotasi, malposisi, atau
impaksi. Tanggalnya gigi sulung dapat menyebabkan maloklusi bergantung pada
gigi apa yang hilang dan pada usia berapa terjadinya. Makin dini gigi sulung
tanggal, makin nyata dampaknya. Kehilangan gigi sulung posterior berdampak
lebih buruk daripada kehilangan gigi sulung anterior.
Persistensi gigi sulung
Persistensi gigi sulung akan menghalangi erupsi gigi permanen penggantinya atau
gigi permanen akan erupsi tidak pada tempatnya dan menyebabkan terjadinya
maloklusi. Gigi sulung sering per- sistensi bila gigi tetap pengganti tidak ada atau
salah letak. Kadang- kadang akar gigi ankilosis sehingga gigi sulung menjadi
pendek dan menghalangi erupsi gigi pengganti. Erupsi gigi dan pergantian gigi
sifatnya sangat individual bergantung pada pola herediter. Dengan pencabutan
gigi sulung yang teratur dan tepat waktu, maloklusi dapat dicegah.
Ankilosis
Ankilosis adalah kelainan yang terjadi akibat fusi tulang alveolar dengan
sementum dan/atau dentin yang terjadi sebelum atau setelah gigi tersebut erupsi.
Lebih sering terjadi pada gigi molar terutama molar kedua sulung bawah.
Penyebab pastinya masih belum diketahui, meskipun faktor-faktor seperti genetik,
trauma pada tulang dan ligamentum periodonsium, defisiensi pertumbuhan
vertikal tulang, gangguan metabolisme dan radang lokal diduga merupakan
penyebabnya. Ankilosis gigi molar sulung berhubungan dengan berbagai anomali
pada gigi permanen seperti taurodonsia molar pertama, impaksi gigi permanen
pengganti , erupsi ektopik gigi premolar dan kaninus, aplasia gigi molar kedua,
gigi tetangga tipping dan bertambahnya kemungkinan terjadinya karies gigi serta
penyakit periodonsium. Gigi permanen terlambat erupsi
Kadang-kadang pada periode pergantian gigi, gigi sulung sudah tanggal, tetapi
gigi tetap pengganti tidak erupsi. Kemungkinan di- sebabkan kelainan endokrin
seperti hipotiroidisme, benih gigi permanen tidak ada, adanya gigi berlebih, tulang
sklerotik, atau mukosa yang tebal. Apabila gaya erupsi tidak cukup dan akar gigi
sudah terbentuk, erupsi gigi terhalang oleh mukosa.
Gigi karies dan restorasi yang tidak baik
Gigi karies dapat menyebabkan hilangnya kontak proksimal sehingga gigi
tetangga bergeser, inklinasi berubah, atau pemendekan lengkung gigi. Jadi, gigi-
gigi yang karies harus dirawat dan ditumpat dengan baik untuk mempertahankan
panjang lengkung gigi sehingga dapat mencegah terjadinya maloklusi.
Rintangan oklusi
Berbagai rintangan oklusi akan memengaruhi arah dan kecepatan pertumbuhan
rahang, misalnya adanya gigitan silang pada gigi-gigi depan atau belakang. Bila
rintangan oklusi tidak ditanggulangi secara dini, dapat mengakibatkan deformitas
rahang.

Anda mungkin juga menyukai