Oleh : Mohammadnor, Muhammad Andhy Sofyan, Ahmad Saugi, Aprilia Zahwa Kiptiana,
Mutia Almaida, Rizki Hidayat
A. Pendahuluan
Sejak Maret 2015 tren perubahan angka kemiskinan nasional konsisten
menurun dan menunjukkan pencapaian prevalensi kemiskinan angka satu digit 9,82%
pada tahun 2018. Pencapaian ini pertama sekali dalam sejarah Indonesia dan secara
politis dinilai sebagai prestasi pembangunan yang luar biasa. Perlambatan penurunan
tingkat kemiskinan menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan semakin lama
semakin sulit (the last mile problem), tetapi strategi pembangunan berkelanjutan yang
dilaksanakan pemerintah dinilai berhasil (Abdullah 2020; Tarigan et al. 2019). Namun
demikian, jumlah penduduk Indonesia yang menderita kemiskinan masih cukup besar,
mencapai 25,67 juta jiwa atau 9,66% dari jumlah penduduk pada September 2018.
Pada periode September 2019 hingga Maret 2020 terjadi arah yang
berlawanan dengan jumlah dan prevalensi kemiskinan baik di perkotaan, perdesaan,
maupun nasional menunjukkan angka meningkat. Peningkatan jumlah penduduk
miskin masing-masing 1.300 ribu, 333 ribu, dan 1.630 ribu jiwa atau peningkatan
prevalensi 0,82% poin, 0,22% poin, dan 0,56% poin. Jumlah penduduk miskin pada
Maret 2020 mencapai 26,42 juta jiwa atau meningkat 1,63 jutajiwa (9,78%).
Berdasarkan wilayahnya, peningkatan kemiskinan di perkotaan jauh lebih tinggi
dibandingkan peningkatan di perdesaan. Disparitas kemiskinanan antara wilayah
perkotaan dan perdesaan masih cukup tinggi (Gambar 1).
Gambar 3. Indeks kedalaman (P1) kemiskinan menurut wilayah desa-kota, Maret 2018-Maret
2020.
Gambar 4. Indeks keparahan (P2) kemiskinan menurut wilayah desa-kota, Maret 2018-Maret
2020.
Sejalan dengan P1 dan P2 nasional, pada periode Maret 2018 sampai September 2019,
P1 dan P2 di kotadan di desa turun secara konsisten. Penurunan P1 dan P2 desa lebih besar
dari pada kota. Demikian halnya pada periode September 2019 sampai Maret 2020, P1 dan
P2 desa maupun kota mengalami kenaikan cukup signifikan, terutama di kota. Artinya, pada
tahap awal pandemi, masyarakat perkotaan lebih cepat dan lebih besar terkena dampak.
Sama dengan tingkat nasional dan desa-kota, permasalahan kemiskinan pada tingkat
provinsi tidak memadai digali hanya dari sisi jumlah dan persentase penduduk miskin.
Dimensi tingkat kedalaman (P1) dan tingkat keparahan (P2) kemiskinan akan memperjelas
dan mempertegas perkembangan kemiskinan yang lebih bermakna. Data BPS menunjukkan
bahwa pada bulan Maret 2018 hingga Maret 2020, P1 tertinggi berada di Provinsi Papua
(6,16%), Papua Barat (5,79%), Nusa Tenggara Timur (4,02%), dan Nusa Tenggara Barat
(2,58%) (BPS 2020a). P1 meningkatdari 2,11% pada September 2019 menjadi 2,21% pada
Maret 2020 (Gambar 5).
Gambar 5. Indeks kedalaman kemiskinan menurut provinsi, Maret 2018-Maret 2020.
Pada periode bulan Maret 2018 hingga September 2019, provinsi-provinsi di Pulau
Maluku/Papua dan Pulau Sumatera memiliki P2 tertinggi (Gambar 6).
Sektor ekspor-impor dimana Kegiatan ekspor terbesar di dunia dipegang oleh China (Yang &
Ren, 2020). Negara yang sering melakukan impor dari kegiatan ekspor yang dilakukan oleh
China salah satunya adalah Indonesia. Selain itu, China juga adalah salah satu mitra dagang
terbesar yang dimiliki oleh Indonesia. Munculnya COVID-19 yang menjangkit China
membawa kegiatan dagang China ke arah yang negatif sehingga berdampak pada alur dan
sistem perdagangan dunia
sehingga berdampak juga pada Indonesia. Menurunnya kelapa sawit dan batu bara serta
impor
bahan mentah lainnya dari China akan menyerang kegiatan ekspor di Indonesia sehingga
akan
menimbulkan turunnya harga barang tambang dan komoditas lain (Iswahyudi, 2018).
Dampak dari COVID-19 tidak hanya mengganggu sektor ekspor dan impor Indonesia,
tetapi juga menyerang sektor perdagangan yaitu dari penerimaan pajak yang juga mengalami
penurunan. Hal ini berdampak sangat serius karena dalam penerimaan pajak sektor
tepatnya yaitu berada pada urutan kedua terbesar (Sugarda& Rifky, 2017). Badan Pusat
Statistik (BPS) merilis data terkait dengan ekspor migas dan non-migas yang menyebutkan
terjadinya penurunan ekspor migas dan non-migas yang dampaknya ditimbulkan oleh
pandemi
ini, tidak heran karena memang China adalah importir minyak mentah terbesar di dunia.
Tidak
hanya itu saja, pandemi COVID-19 juga menyebabkan turunnya produksi yang dihasilkan
China, padahal tumpuan barang dunia dan produksi sentral barang dunia terpusat di China.
Apabila terjadi koreksi negatif atas produksi di China maka dunia akan mengalami gangguan
supplychain yang pada akhirnya dapat menurunkan proses produksi dunia yang bahan
bakunya
di impor dari China. Negara Indonesia sendiri sangat membutuhkan bahan baku dari China
untuk melakukan proses produksi khususnya bahan baku part elektronik, furnitur, plastik,
yang membuat masyarakat akan memilih untuk sangat hati-hati dalam membeli barang
bahkan
untuk melakukan investasi. Pandemi ini juga sangat mempengaruhi proyeksi pasar. Investor
dapat cenderung untuk tidak berinvestasi dikarenakan berubahnya asumsi pasar dan tidak
jelasnya supplychain (Pepinsky&Wihardja, 2011). Pada sektor investasi, China adalah salah
satu negara yang memiliki dan menginvestasikan modalnya di Indonesia. Pada tahun 2019
silam, realisasi atas investasi langsung dari China menduduki peringkat dua terbesar setelah
Singapura (Akhmad etal, 2019). Contohnya saja investasi dari China untuk salah satu wilayah
di Indonesia yaitu Sulawesi senilai 5 milyar USD sedang dalam tahap pelaksanaan, namun
pekerja dari China masih terhambat untuk datang ke Indonesia sehingga investasi tersebut
masih ditunda.
Dampak COVID-19 pada sektor pariwisata juga tidak luput dari ancaman. Data yang
dihimpun dari Badan Pusat Statistik menjelaskan pada tahun 2019 pelancong asing asal
China
yang datang ke Indonesia menyentuh angka 2.07 juta pelancong atau sebesar 12.8% dari
jumlah
keseluruhan wisatawan asing sepanjang 2019. Pandemi COVID-19 mengakibatkan
wisatawan
hotel hingga pengusaha retail juga terdampak akibat pandemi COVID-19. Keuntungan hotel
mengalami penurunan hingga 40% sehingga berdampak pada operasional hotel dan
pendapatan rumah makan atau restoran yang pelanggannya lebih dominan adalah para
pengunjung dari luar negeri (Block, 2017). Lemahnya pertumbuhan pariwisata juga
berdampak
pada industri retail. Adapun daerah yang sektor retailnya paling terdampak adalah Jakarta,
Medan, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Manado dan Bali. Pandemi COVID-19 juga
diperkirakan akan mempengaruhi sektor usaha mikro, kecil dan menengah, hal tersebut
dikarenakan para pengunjungan asing yang datang ke suatu destinasi biasanya akan membeli
cinderamata untuk di bawa pulang (Iswahyudi, 2016). Jika pengunjung asing yang
berkunjung
turun, dapat dipastikan pendapatan atas usaha mikro, kecil dan menengah juga akan turun
(Saidi etal, 2017). Bank Indonesia telah merilis data di tahun 2016 terkait sektor usaha mikro,
kecil dan menengah yang menyatakan bahwa usaha mikro, kecil dan menengah sangat
dominan
dalam unit bisnis di Indonesia dan jenis usaha mikro mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Dari semua Dampak Covid 19 terhadap perekonomian Indonesia tersebut telah menyebabkan
semakin tingginya angka pengangguran karena banyaknya karyawan yang di PHK, banyak
usaha yang tutup atau mengurangi produksinya sehingga menyebabkan semakin tingginya
angka kemiskinan yang ada di indonesia.
Penyebab kemiskinan dan pengangguran di indonesia sampai saat ini masih belum
bias teratasi sepenuhnya. Maka jelaslah, kenapa hingga kini masalah kemiskinan dan
pengangguran belum juga dapat ditekan hingga pada titik yang terendah, karena masalah
kemiskinan dan pengangguran ternyata merupakan masalah yang kompleks dan banyak
dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam setiap sisi kehidupan. Meskipun berbagai upaya telah
dilakukan oleh pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, tapi hingga kini faktanya masih
banyak rakyat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sepertinya pemerintah
harus lebih jeli lagi dalam memahami masalah kemiskinan dan pengangguran. Karena selama
ini, banyak kebijakan yang ditetapkan pemerintah justru malah memerangi kemiskinan
pengangguran, tapi malah menjadikan rakyat semakin miskin. Seperti kebijakan pemerintah
untuk menetapkan berbagai pajak kepada rakyat yang kini dirasa semakin membebani rakyat.
Karena kita ketahui, banyak hasil pajak yang dipungut dari rakyat tapi penggunaannya
melenceng dari yang diharapkan. Pajak bukan lagi berperan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Tapi banyaknya pungutan pajak, malah sering digunakan sebagai ajang
korupsi bagi para pejabat kita di pemerintahan. Kekeliruan lain dari kebijakan pemerintah
adalah dengan menyerahkan pengelolaan sumber daya alam Indonesia kepada pihak swasta
dengan alasan demi efisiensi, kelancaran dan persaingan yang kompetitif dalam mekanisme
pasar. Jika setiap kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah tidak juga memikirkan dampak
buruknya terhadap tingkat kesejahteraan rakyat dan hanya mementingkan kepentingan para
pengusaha dengan tujuan mencari laba (keuntungan pihak-pihak tertentu saja), rasanya
kemiskinan pengangguran akan sulit untuk dituntaskan. (Kasna 2020:60)
Covid 19 telah berdampak pada kemampuan daya beli masyarakat miskin desa maupun
kota. Daya beli yang menurun pada masyarakat miskin salah satunya di pengaruhi oleh social
distancing dan work from home yang berakibat menurunnya pendapatan para pekerja
informal.
Dampak lain dapat terlihat juga pada sector pariwisata yaitu hotel, restoran
maupun pengusaha retail. Hotel mengalami penurunan okupansi hingga 40%.
Wisatawan yang sepi juga berdampak pada rumah makan atau restoran sekitar yang
konsumen biasanya adalah wisatawan tersebut. Sektor pariwisata yag lemah juga
berdampak pada industry retail. Daerah yang terdampak pada sector retail antara lain
yaitu Jakarta, Manado, Bali, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Medan
(Hanoatubun, 2020). Ditengah pandemic covid 19 ini, Bank Indonesia akan berusaha
mempertahankan perekonomian Indonesia yang sedang tidak stabil ini. Perekonomian
Indonesia menurun hingga 5% dengan adanya pandemic ini yang suatu saat mungkin
akan mengalami penurunan lagi jika pandemic ini terus berlansung lama. Selain itu,
terjadinya secara signifikan pelemahan indeks harga saham dan beberapa perusahaan
BUMN mengalami kerugian pada tahun ini. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia bisa mencapai 2,5% jika pandemic covid-19 ini akan berlangsung lama.
E. Kesimpulan
Pandemi Covid-19 yang berdampak pada perubahan perilaku dan aktivitas
ekonomi telah mendorong peningkatan jumlah dan angka kemiskinan, baik secara
nasional, wilayah desa-kota, maupun secara pulau-provinsi. Penurunan pendapatan
terjadi akibat peningkatan pengangguran dan menurunnya kesempatan bekerja dan
berusaha. Dampak Covid-19 terbesar terjadi di Pulau Jawa, Provinsi DKI Jakarta dan
wilayah perkotaan, namun secara keseluruhan tidak mengubah sebaran kemiskinan
menurut pulau, tetapi mengubah peta sebaran kemiskinan menurut sektor ekonomi
yang secara berturut-turut berpengaruh kuat pada sektor informal, perdagangan besar
dan kecil, jasa (termasuk pariwisata dan transportasi), dan pertanian. Pandemi Covid-
19 berdampak pada kedalaman dan keparahan kemiskinan di mana ukuran rata-rata
kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap GK semakin
tinggi yang berarti semakin jauh dari GK. Penyebaran pengeluaran di antara
penduduk miskin semakin timpang. Dampak pandemi bersifat global, tetapi dampak
leb ih besar terjadi pada masyarakat miskin, dan ini telah memperlebar terjadinya
kesenjangan.
Daftar Referensi
Kasna, I. 2020. “Dampak Pengangguran Kemiskinan Dan Konsep Teoritisnya Pada Pandemi
Covid-19.” Jurnal Ilmiah Cakrawarti 3:58–61. doi: 10.47532/jic.v3i2.202.
Tarigan, Herlina, Juni H. Sinaga, and Rika R. Rachmawati. n.d. “DAMPAK PANDEMI
COVID-19 TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA.” 23.
Muda, Iskandar, and Dito Aditia Darma Nasution. n.d. “Dampak Pandemi COVID-19
Terhadap Perekonomian Indonesia.” Jurnal Benefita.
Yamali, Fakhrul Rozi, and Ririn Noviyanti Putri. 2020. “Dampak Covid-19 Terhadap
Ekonomi Indonesia.” Ekonomis: Journal of Economics and Business 4(2):384–88.
doi: 10.33087/ekonomis.v4i2.179.