Ketika berbicara mengenai kekerasan seksual, maka dapat dikatakan bahwa perempuan dalam situasi apa pun tetap rentan menjadi korban. Menurut Dartnall (2013), kekerasan seksual dapat terjadi pada anak dan remaja perempuan maupun wanita dewasa. Sama halnya dengan korban, siapa pun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat dilakukan oleh orang yang tidak dikenal, maupun yang dikenal dekat seperti ayah kandung atau ayah tiri, saudara, suami, maupun pacar (Coker, dkk., 2000; Heise & GarciaMoreno, 2002; Stathopoulos, 2012; Stroebel, dkk., 2012). Kekerasan seksual juga dapat terjadi di semua tempat dan situasi yang memungkinkan adanya interaksi antara laki-laki dan perempuan, seperti sekolah, perkantoran, tempat layanan kesehatan, dan lain-lain (Sumera, 2013; World Health Organization, 2002) Poerwandari (2000) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan tindakantindakan lain yang tidak dikehendaki oleh korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual, ucapanucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dengan kekerasan fisik maupun tidak; memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti atau melukai korban. Suhandjati (2004) mengatakan bahwa seseorang dikatakan sebagai korban kekerasan apabila menderita kerugian fisik, mengalami luka atau kekerasan psikologis, trauma emosional, tidak hanya dipandang dari aspek legal, tetapi juga sosial dan kultural. Bersamaan dengan berbagai penderitaan itu, dapat juga terjadi kerugian harta benda. The nation center on child abuse and neglect 1985, (Tower, 2002) menyebutkan beberapa jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya, yaitu: 1. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga. 2. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga. 3. Kekerasan Perspektif Gender Kekerasan seksual merupakan perbuatan yang menyangkut nilai nilai kehormatan dan penghargaan diri perempuan. Dimensi perbuatan yang tidak selalu diatur dalam legalitas sebuah hukum, namun kerap terjadi. Dari sisi kriminalisasi, misalnya tindak pidana kekerasan seksual yang ada saat ini belum mencakup beberapa perbuatan yang seharusnya juga tergolong tindak pidana kekerasan seksual. Selain itu, jika ditinjau dari penjatuhan pidana, penting mencermati bagiamana persepsi hakim dalam memberikan hukuman terhadap pelaku. Berkaitan dengan kuantitas kekerasan seksual, ada hal yang perlu menjadi perhatian. Tingginya angka kekerasan seksual menunjukkan bahwa banyaknya kasus yang terjadi, menandakan tingginya kesadaran korban atau pelaku untuk melapor dan terbukanya akses informasi bagi korban dan keluarga untuk memperjuangkan keadilan. Bahwa rendahnya angka kekerasan seksual bukan berarti tidak terjadi kekerasan seksual, kemungkinan bahwa tidak terungkapnya kasus tersebut ke proses hukum, kurangnya bukti dan perbuatan yang dilakukan pelaku tidak tergolong ke dalam kejahatan kesusilaan yang diatur dalam KUHP atau sebab internal korban, seperti beban mental korban maupun keluarga sehingga tidak ingin memproses secara hukum.
DAMPAK KEKERASAN SEKSUAL
Dampak yang muncul dari kekerasan seksual kemungkinan adalah depresi, fobia, dan mimpi buruk, curiga terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri (Sulistyaningsih & Faturochman, 2002) Kekerasan seksual dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada korban, baik secara fisiologis, emosional, maupun psikologis. Dampak secara fisiologis berupa luka fisik, kesulitan tidur dan makan, kehamilan yang tidak diinginkan, tertular penyakit seksual, dan lain-lain. Selanjutnya, dampak secara emosional berupa perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, perasaan malu, penyangkalan, dan lain-lain. Selanjutnya, dampak secara psikologis berupa posttraumatic stress disorder (PTSD), depresi, kecemasan, penurunan self-esteem, simtom obsesif-kompulsif, dan lain-lain (Stekee & Foa, 1987; Yeater & O’Donohue, 1999 dalam Mason, 2013; National Sexual Violence Resource Center, 2015). DAPUS Faudi.M.A. (2011). DINAMIKA PSIKOLOGIS KEKERASAN SEKSUAL: SEBUAH STUDI FENOMENOLOGI. Jurnal Psikologi dan Psikologi Islam. Vol. 8, No. 2. Doi: https://doi.org/10.18860/psi.v0i0.1553 Siregar.E. Rakhmawaty.D. Siregar. Z. A. (2020). Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan: Realitas dan Hukum. Progresif: Jurnal Hukum. Vol. 14, No.1. Doi: https://doi.org/10.33019/progresif.v14i1.1778 Sescs.E.M. Hamidah. (2018). POSTTRAUMATIC GROWTH PADA WANITA DEWASA AWAL KORBAN KEKERASAN SEKSUAL. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. Vol. 7, No.3.