Anda di halaman 1dari 28

BERPIKIR KRITIS DAN DEMOKRATIS

(Kajian Q.S. Āli Imrān/3: 190-191 dan Q.S. Āli Imrān /3: 159

serta hadis terkait)

Dalam al-Qur‟an banyak terdapat ayat-ayat yang menyerukan manusia untuk


memperhatikan, merenung dan memikirkan secara kritis tentang penciptaan Allah baik yang di
langit, bumi maupun di antara keduanya. Salah satu ayat yang menerangkan tentang hal tersebut
yaitu Q.S Āli Imrān ayat 190-191.

Salah satu cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan membaca dan
merenungkan ayat-ayat-Nya, serta mensyukuri apa yang terbentang di alam semesta. Allah
menyuruh manusia untuk merenungkan alam, langit dan bumi.Langit yang melindungi dan bumi
yang terhampar tempat manusia hidup. Juga memperhatikan pergantian siang dan
malam.Semuanya itu penuh dengan ayat-ayat, tanda-tanda kebesaran Allah SWT.

A. KAJIAN Q.S. ĀLI-IMRĀN/3: 190-191


Menurut teori, berfikir kritis adalah proses mental untuk menganalisis atau mengevaluasi
informasi. Informasi tersebut bisa didapatkan dari hasil pengamatan, pengalaman, akal sehat
atau komunikasi. Belajar untuk berfikir kritis berarti menggunakan proses proses mental, seperti
memeperhatikan, mengkategorikan, seleksi dan menilai/memutuskan.
Seorang yang berfikir kritis dalam menggapai sesuatu, dalam benaknya selalu ada pertanyaan
“kenapa?” atau bisa juga “bagaimana bisa ?“ Atau “ bagai mana anda bisa tahu?” dan untuk
mengurangi pemihakan, beberapa cara harus dilakukan jika seseorang ingin berfikir kritis.
Janagan tanyakan “ bagaimana hal ini bertentangan dengan pendapat saya?” tapi tanyakanlah
“apa artinya ini?”
Kemampuan berfikir kritis akan memberikan arahan yang tepat dalam berfikir dan bekerja.
Dan membantu dalam menentukan keterkaitan sesuatu dengan yang lainnya dengan lebih akurat.
Oleh sebab itu kemampuan berfikir kritis sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah/
pencarian solusi dan pengelolaan proyek. Pengembangan kemampuan berfikir kritis merupakan
integrasi beberapa bagian pengembangan kemampuan seperti pengamatan (observasi), analisis,
Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 1
penalaran,penilaian,pengambilan keputusan dan persuasi. Semakin baik pengembangan
kemampuan kemampuan ini, maka kita akan semakin dapat mengatasi masalah-masalah/ proyek
komplek dengan hasil yang memuaskan.
Berikut adalah contoh-contoh kemampuan berfikir kritis, misalnya
1. membandingkan dan memebedakan
2. membuat kategori
3. meneliti bagian-bagian kecil dan keseluruhan
4. menerangkan sebab
5. membuat urutan
6. menentukan sumber yang dipercayai
7. membuat ramalan
Tentunya berfikir kritis tidak menjamin seseorang akan mencapai kesimpulan yang tepat.
Terutama adanya kemungkinan seseorang tidak memiliki seluruh informasi yang relevan.
Informasi yang penting mungkin belum ditemukan atau informasi tersebut mungkin tidak akan
dapat ditemukan. Selain itu pemihakan ( bias) dari seseorang dapat saja menghalangi
pengumpulan dan penilaian informasi secara efektif.
Kesimpulan
Janganlah membuat asumsi secara berlebihan, dengan kata lain, jangan memperumit masalah
anda. Berfikir kritis adalah sebuah proses yang tidak akan selesai. Seseorang dapat mencapai
sebuah kesimpulan tentative berdasarkan evaluasi dari informasi yang ada, tetapi jika ada
informasi baru yang ditemukan maka proses evaluasi harus dijalankan kembali.

1. Teks Ayat dan Terjemahan

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 2


Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "ya Tuhan Kami, Tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah kami dari
siksa neraka. (Q.S. Āli Imrān/3:190-191).
2. Penjelasan Umum Ayat
Konteks al-Qur‟an di sini menggambarkan langkah-langkah gerakan jiwa yang
ditimbulkan oleh responnya terhadap pemandangan yang berupa langit dan bumi dan
bergantian malam dengan siang dalam perasaan ulul-albab dengan gambaran yang cermat.
Pada waktu yang sama ia merupakan gambaran yang memberikan kesan dan arahan, yang
memalingkan hati kepada manhaj yang shohih dan di dalam bergaul dengan alam semesta, di
dalam berbicara kepadanya dan bahasannya, di dalam persoalan jawab bersama fitrahnya
dan hakikatnya, dan terkesan dengan isyarat-isyaratnya dan pengarahan-pengarahannya.
Juga menjadikan kitab alam semesta yang terbuka ini sebagai “kitab” ilmu pengetahuan bagi
manusia mukmin yang senantiasa menjalin hubungan dengan Allah Swt.

Rangkaian Q.S. Āli Imrān /3 ayat 191 ini dimulai dengan membandingkan antara
penghadapan hati kepada zikrullah dan ibadah kepada-Nya “pada waktu berdiri, duduk,
berbaring” dengan memikirkan penciptaam langit dan bumi serta pergantian siang dan
malam. Sehingga perenungan dan pemikiran ini menempuh jalan ibadah, dan menjadikannya
sebagai salah satu sisi dari pemandangan zikir. Maka hal ini, menurut Sayyid Qutub dalam
Tafsir Fie Dzilalil Qur‟an mengesankan penghimpunan antara dua macam gerakan
(aktifitas) dengan dua hakikat yang penting.

Hakikat pertama, bahwa memikirkan penciptaan Allah Swt. terhadap makhluknya


merenungkan kitab alam alam semesta yang terbuka, dan merenungkan tangan Allah yang
menciptakan dan menggerakkan alam semesta ini, dan membolak-balik halaman-halaman
kitab terbuka ini, merupakan ibadah Allah kepada di antara pokok-pokok ibadah, dan
merupakan zikir kepada Allah di antara zikir-zikir pokok. Seandainya ilmu-ilmu kealaman

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 3


yang membicarakan desain alam semesta, udangan-undangan dan sunahnya, kekuatan dan
kandungannya, rahasia-rahasianya dan potensi-potensinya berhubungan denga zikir dan
mengingat Pencipta alam ini, dari merasakan keagungan-Nya dan karunianya, niscaya
seluruh aktifitas keilmuannya itu akan berubah menjadi ibadah kepada Sang Pencipta alam
semesta ini, akan luruslah kehidupan ini, dan akan terarah kepada Allah Swt. saja.

Hakikat kedua, ayat-ayat Allah Swt. di semesta alam ini, tiak menampakkan
hakikatnya yang mengesankan kecuali pada hati yang selalu berzikir dan beribadah. Mereka
yang selalu ingat kepada Allah pada waktu berdiri,duduk, dan berbaring - sembari
memikirkan penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam adalah mereka
yang terbuka pandangannya terhadap hakikat-hakikat besar yang terlipat di dalam penciptaan
langit dan bumi serta pergantian malam dan siang. Di balik itu mereka yang selalu
berhubungan dengan manhaj Ilahi yang dapat menyampaikan kepada keselamatan, kebaikan,
dan kesalehan. Adapun orang-orang yang merasa cukup dengan sisi lahiriah dari kehidupan
dunia dan berhubungan dengan rahasia-rahasia sebagai kekuatan alam tanpa ada hubungan
dengan zikir dan pikir serta manhaj Ilahi maka mereka berarti menghancurkan kehidupan
dan menghancurkan diri sendiri yang berhubungan dengan rahasia–rahasia ini, dan
mengubah kehidupannya menjadi neraka yang menyengsarakan dan kegoncangan yang
keras. Kemudian berujung dengan mendapatkan kemurkaan dan Azab Allah di akhir
perjalanan hidupnya.

Tujuan utama Q.S. Āli Imrān ayat 190-191 ini adalah pembuktian tentang tauhid,
keesaan dan kekuasaan Allah Swt. Hukum-hukum alam yang melahirkan kebiasaan-
kebiasaan pada hakikatnya ditetapkan dan diatur oleh Allah. Hal ini ditegaskan pada ayat ini
dan ayat yang sesudahnya. Salah satu bukti kebenaran hal tersebut adalah undangan kepada
manusia untuk berpikir, karena sesungguhnya dalam penciptaan, yakni kejadian benda-benda
angkasa seperti matahari, bulan dan jutaan gugusan bintang-bintang yang terdapat di langit,
atau dalam pengaturan sistem kerja langit yang sangat teliti serta kejadian dan perputaran
bumi pada porosnya yang melahirkan silih bergantinya malam dan siang, perbedaannya baik
dalam masa maupun panjang dan pendeknya terdapat tanda-tanda kemaha kuasaan Allah
bagi ulul yaitu orang-orang yang memiliki akal yang murni. Dan orang-orang yang seperti
Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 4
ini apabila berfikir dan merenungkan tentang fenomena alam raya akan dapat sampai kepada
bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kuasaan Allah Swt.

Berfikir di sini adalah seperti yang digambarkan dalam tafsir Ibnu Katsir yang
menafsiri ayat :‫ خيق اىسَ٘اخ ٗاالسض‬ٜ‫رفنشُٗ ف‬ٝٗ beliau memberi penafsiran sebagai berikut :

ٔ‫اسٓ ٗسحَر‬ٞ‫ عظَح اىخاىق ٗقذسذٔ ٗعئَ ٗحنَرٔ ٗاخر‬ٚ‫ٖا ٍِ اىحنٌ اىذاىحعي‬ٞ‫فَُٖ٘ ٍا ف‬ٝ ٛ‫ا‬

Yaitu berusaha untuk memahami segala sesuatu yang ada di antara langit dan bumi
dan beberapa hikmah yang menunjukkan keagungan Sang Pencipta dan ke-Maha Kuasa-
Nya, pengetahuan dan hikmah-hikmah-Nya, serta ikhtiar dan rahmat-nya. Allah sangat
mencela orang-orang yang tidak bisa mengambil pelajaran dari para makhluk yang
menunjukkan atas dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, syari‟at-Nya, ke-Maha Kuasa-Nya dan tanda-
tanda-Nya. Dalam Q.S. Yusuf/ 12: 105-106 Allah berfirman:

Artinya: Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang
mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya Dan sebagian besar dari mereka
tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan
sembahan-sembahan lain).

3. Asbābun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)


Sebab turunnya Q.S. Āli Imrān: 190-191 dijelaskan dalam suatu riwayat
dikemukakan bahwa orang kafir Quraisy datang kepada orang Yahudi untuk bertanya:
”Mukjizat apakah yang dibawa Musa kepada kalian ?”. Mereka menjawab: ”Tongkat dan
tangannya terlihat putih bercahaya”. Kemudian mereka bertanya kepada kaum Nasrani:
“Mukjizat apa yang dibawa Isa kepada kalian ?”. Mereka menjawab: ” Ia dapat
menyembuhkan orang yang berpenyakit sopak dan menghidupkan orang mati”. Kemudian

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 5


mereka menghadap Nabi saw. dan berkata: ” Hai Muhammad, coba berdo‟alah engkau
kepada Rabb-mu agar bukit Shafa ini dijadikan emas”. Lalu Nabi saw. berdo‟a dan turunlah
ayat tesebut di atas (Q.S. Āli Imrān/3:190) sebagai petunjuk untuk memperhatikan apa yang
telah ada, yang akan lebih besar manfaatnya bagi orang yang menggunakan akal.
Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan Ibnu Abi Hatim yang bersember dari Ibnu Abbas.

Sedangkan Syekh Showi al-Maliki di dalam kitab Al-Hasyiyah al-„allamah al-Showi


„ala Tafsir al-Jalalain, menerangkan sebagai berikut:

‫ اُ هللا ٗاحذ‬ٚ‫ح ذذه عي‬ٝ‫ ائرْا تآ‬: ٌ‫ٔ ٗسي‬ٞ‫ هللا عي‬ٚ‫ صي‬ٜ‫سثة ّضٗىٖا اُ مفاس ٍنح قاى٘ا ىيْث‬
)‫اخ‬ٝ‫ خيق اىسَ٘اخ ٗاالسض (اال‬ٜ‫ٌٖ إُ ف‬ٞ‫فقاه ىٌٖ سدا عي‬

Sebab turunnya ayat tersebut ialah sesungguhnya orang kafir Mekkah datang kepada Nabi
saw. dan berkata :” Datangkanlah kepada kami tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Allah
itu Maha Esa”. Maka Allah befirman: ”Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi
… Q.S. Āli Imrān/3: 190.

4. Penjelasan Tafsir Ayat (Menurut Mufassir)

a. Tafsîr Ibnu Katsîr


Dalam kitabnya Tafsîr al-Qur‟ân al-‟Adzîm, Imam Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat
ini merupakan penutup surat Ali Imran. Ini antara lain terlihat pada uaian-uraiannya yang
bersifat umum. Setelah dalam ayat-ayat lalu mengurai hal-hal yang rinci, sebagaimana
terbaca pada ayat 189 yang menegaskan kepemilikan Allah Swt. atas alam raya. Maka
pada ayat yang ke-190-191 Allah Swt. menguraikan sekelumit dari penciptaan-Nya, serta
memerintahkan agar memikirkannya.
Salah satu bukti kebenaran bahwa Allah merupakan Sang Pemilik atas alam raya ini,
dengan adanya undangan kepada manusia untuk berpikir, karena sesungguhnya dalam
penciptaan, yakni kejadian benda-benda angkasa, seperti matahari, bulan dan jutaan
gugusan bintang-bintang yang terdapat di langit, atau dalam pengaturan sistem kerja
langit yang sangat teliti serta kejadian dan perputaran bumi pada porosnya yang
melahirkan silih bergantinya malam dan siang, perbedaannya baik dalam masa maupun
panjang dan pendeknya terdapat tanda-tanda kemahakuasaan Allah bagi ulul albab,
yakni orang orang yang memiliki akal yang murni.

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 6


Kata (‫ )الباب‬al-bab adalah bentuk jamak dari (‫ )لة‬lub yaitu “saripati” sesuatu. Kacang
misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai lub. Ulul albab
adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh “kulit”,
yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir. Orang yang
merenungkan tentang penomena alam raya akan dapat sampai kepada bukti yang sangat
nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah Swt.

Q.S. Āli Imrān/3:190-191 ini mirip dengan ayat 164 surat al-Baqarah, hanya saja di
sana disebutkan delapan macam ayat-ayat Allah, sedang di sini hanya tiga. Bagi
kalangan sufi, pengurangan ini disebabkan karena memang pada tahap-tahap awal,
seorang salik yang berjalan menuju Allah membutuhkan banyak argumen akliyah. Akan
tetapi, setelah melalui beberapa tahap, yakni ketika kalbu telah memperolah kecerahan,
maka kebutuhan akan argumen aqliyah semakin berkurang, bahkan dapat menjadi
halangan bagi kalbu untuk terjun ke samudra ma‟rifat. Selanjutnya, kalau bukti-bukti
yang disebutkan di sana adalah hal-hal yang terdapat di langit dan di bumi, maka
penekanannya di sini adalah pada bukti-bukti yang terbentang di langit. Ini karena bukti-
bukti di langit lebih menggugah hati dan pikiran, serta lebih cepat mengantar seseorang
meraih rasa keagungan ilahi.
Di sisi lain, ayat 164 al-Baqarah ditutup dengan menyatakan bahwa yang demikian
itu merupakan “tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (‫ )اليت لقوم يعقلون‬la ayatin
liqaumin ya‟qilun, sedangkan pada ayat ini, karena mereka telah berada pada tahap yang
lebih tinggi dan juga telah mencapai kemurnian akal, maka sangat wajar ayat ini ditutup
dengan (‫ )اليت اللي االلباب‬la ayatin liulil albab.
Sejumlah riwayat menyatakan bahwa rasul Saw. seringkali membaca ayat ini dan
ayat-ayat berikutnya saat beliau bangun shalat tahajud di malam hari. Imam bukhari
meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata bahwa, “Suatu malam aku tidur di rumah
bibiku, Maemunah. Rasul Saw. berbincang-bincang dengan keluarga beliau, beberapa
saat kemudian pada sepertiga malam terakhir beliau bangkit dari pembaringan dan
duduk memandang ke arah langit sambil membaca ayat ini lalu beliau berwudlu,. Dan
shalat sebelas rakaat. Kemudian adzan subuh, maka belau shalat dua rakaat, lalu
menuju ke mesjid untuk mengimami jama‟ah shalat subuh.”
Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan melalui Atha bahwa, “Suatu ketika ia bersama
rekannya, mengunjungi Aisyah ra. istri Nabi saw., untuk bertanya tentang peristiwa apa
yang paling mengesankan beliau dari rasul saw. Aisyah menangis sambil berkata:
“Semua yang beliau lakukan mengesankan kalau hanya menyebut satu, maka satu
malam, yakni di malam giliran beliau tidur berdampingan denganku, kulitnya menyentuh
kulitku lalu beliau bersabda,”wahai aisyah, izinkanlah aku beribadah kepada Tuhanku”
dan aku berkata berkata, “demi Allah, aku senang berada disampingmu, tetapi aku

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 7


senang juga engkau beribadah kepada Tuhan.” Maka beliau pergi berwudhu, tidak
banyak air yang beliau gunakan lalu berdiri melaksanakan shalat dan menangis hingga
membasahi jenggot beliau lalu sujud dan menangis hingga membasahi lantai, lalu
berbaring dan menangis. Setelah itu bilal datang untuk adzan subuh bilal bertanya
kepada rasul tentang apa gerangan yang membuat beliau menangis sedang Allah telah
mengampuni dosanya yang lalu dan yang akan datang. Rasul saw. menjawab, “aduhai
bilal, apa yang dapat membendung tangisku sedang semalam Allah telah menurunkan
ayat, “inna fil khalkissama waati.., sungguh celaka siapa yang membaca tapi tidak
memikirkannya” .

Pada ujung ayat, lanjut Ibnu Katsir menjaelaskan bahwa ayat ini (Maha suci Engkau
! maka peliharalah kiranya kami dari azab neraka) kita memohon ampun kepada Tuhan
dan memohon agar dihindarkan dari siksa neraka dengan upaya dan kekuatan-Mu serta
mudahkanlah kami dalam melakukan amal yang diridhai Engkau juga lindungilah kami
dari azab-Mu yang pedih.

b. Tafsir Jalalain
Di dalam Tafsir Jalalain karangan Jalaluddin As Suyuti dan Jamaluddin Muhammad
Ibnu Ahmad Al-Mahalli ayat di atas diterangkan dengan“ (Sesungguhnya pada
penciptaan langit dan bumi) dan keajaiban-keajaiban yang terdapat pada keduanya (serta
pergantian malam dan siang) dengan datang dan pergi serta bertambah dan berkurang
menjadi tanda - tanda atau bukti - bukti atas kekuasaan Allah Swt. (bagi orang-orang
yang berakal) artinya yang mempergunakan akal pikiran mereka”.

Pada Surat Ali `Imran ayat 190 Allah Swt. mengajak manusia agar mau belajar di
antaranya dengan mempelajari media visual ciptaan-Nya yaitu penciptaan langit dan
bumi serta silih bergantinya malam menjadi siang dikarenakan terdapat ilmu yang hanya
dapat dipahamai oleh Sang Pencerah: Sosok Manusia Pembelajar yang telah dijuluki oleh
Allah Swt. dengan Ulul Albab. Dalam literature al-Qur`an dan Tafsirnya Jilid 2
disebutkan bahwa Ulul Albab adalah orang yang mau menggunakan pikirannya untuk
merenung atau menganalisis fenomena alam akan dapat sampai kepada bukti yang sangat
nyata tentang keesaan dan kekuasaan Tuhan. Secara jelas manusia Ulul Albab
merupakan manusia yang mendayagunakan pikiran murni lagi mendalam melalui
Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 8
perenungan serta kemampuannya dalam menganalisis fenomena – fenomena alam
sehingga dia akan mengetahui secara ilmiah serta sebagai bukti bahwa Allah Swt. itu ada
sebagai penguasa alam raya tunggal.
Seringkali manusia Ulil Albab dijuluki dengan “cendekiawan” disebabkan adanya
persamaan makna harfiah dalam hal pemurnian akal dalam merenung dan memahami
sesuatu. Sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “cendekiawan” yaitu orang
yang memiliki sikap hidup yang terus–menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya
untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu.
Sementara ayat 191 surat Ali-Imran, menurut Tafsir Jalalain yaitu Allah Swt.
berfirman: (Yakni orang-orang yang) menjadi 'na`at' atau badal bagi yang sebelumnya
(mengingat Allah Swt. di waktu berdiri dan duduk dan ketika berbaring) artinya dalam
keadaan bagaimanapun juga, sedang menurut Ibnu Abbas mengerjakan salat dalam
keadaan tersebut sesuai dengan kemampuan (dan mereka memikirkan tentang kejadian
langit dan bumi) untuk menyimpulkan dalil melalui keduanya akan kekuasaan Allah
SWT, kata mereka: ("Wahai Tuhan kami! Tidaklah Engkau ciptakan ini) maksudnya
makhluk yang kami saksikan ini (dengan sia-sia) menjadi hal sebaliknya semua ini
menjadi bukti atas kesempurnaan kekuasaan-Mu (Maha Suci Engkau) artinya tidak
mungkin Engkau akan berbuat sia-sia (maka lindungilah kami dari siksa neraka). Ayat di
atas menyebutkan ciri khas dari Ulul Albāb dikarenakan dia memiliki keunggulan
dibanding makhluk lain yaitu apabila dia memperhatikan sesuatu, selalu memperoleh
manfaat dan faedah, dia dapat menangkap sinyal Kebesaran Allah Swt. melalui media
alam sebagai media Visual-Nya, dia selalu mengingat Allah Swt. di setiap saat dan
keadaan dengan diisi dan digunakan untuk mensyukuri nikmat Allah Swt. kepadanya
yang kemudian diaplikasikan dengan selalu belajar dan diakhiri dengan berdo`a kepada
Allah Swt. sebagai pendekatan dzikir salah satu wujud ibadah kepada-Nya.

c. Tafsir Al-Marāghy
Menurut al-Maraghy, dalam ayat 190 menjelaskan bahwa sesungguhnya dalam
tatanan langit dan bumi serta keindahan perkiraan dan keajaiban ciptaan-Nya juga dalam
silih bergantinya siang dan malam secara teratur sepanjang tahun yang dapat kita rasakan

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 9


langsung pengaruhnya pada tubuh kita dan cara berpikir kita karena pengaruh panas
matahari, dinginnya malam, dan pengaruhnya yang ada pada dunia flora dan fauna
merupakan tanda dan bukti yang menunjukkan keesaan Allah, kesempurnaan
pengetahuan dan kekuasaan-Nya.
Langit dan bumi dijadikan oleh Al-Khaliq tersusun dengan sangat tertib. Bukan
hanya semata dijadikan, tetapi setiap saat nampak hidup, semua bergerak menurut aturan.
Silih bergantinya malam dan siang, besar pengaruhnya atas hidup kita dan segala
yang bernyawa. Kadang-kadang malam terasa panjang dan sebaliknya. Musim pun silih
berganti, musim dingin, panas, gugur, dan semi. Demikian juga hujan dan panas, semua
ini menjadi tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah bagi orang yang berpikir. Bahwa
tidaklah semuanya terjadi dengan sendirinya. Pasti ada yang menciptakan yaitu Allah
Swt.

d. Tafsir Al-Azhar
Menurut Hamka dalam Tafsir “Al-Azhar” dan dikuatkan dengan Tafsir Depag, bahwa
orang-orang yang berdzikir lagi berfikir mengatakan: "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau
menciptakan makhluk ini semua, yaitu langit dan bumi serta segala isinya dengan sia-sia,
tidak mempunyai hikmah yang mendalam dan tujuan yang tertentu yang akan
membahagiakan kami di dunia dan di akhirat, sebagaimana disebar luaskan oleh
sementara orang-orang yang ingin melihat dan menyaksikan akidah dan tauhid kaum
muslimin runtuh dan hancur. Maha Suci Engkau Ya Allah dari segala sangkaan yang
bukan bukan yang ditujukan kepada Engkau. Karenanya, maka peliharalah kami dari
siksa api neraka yang telah disediakan bagi orang-rang yang tidak beriman. Ucapan ini
adalah lanjutan perasaan sesudah dzikir dan pikir, yaitu tawakkal dan ridha, berserah dan
mengakui kelemahan diri.Sebab itu bertambah tinggi ilmu seseorang, seyogyanya
bertambah pula dia mengingat Allah.Sebagai tanda pengakuan atas kelemahan diri itu,
dihadapan kebesaran Tuhan.

e. Tafsir Al-Mishbah
M. Quraish Shihab menjelaskan dalam Karyanya “Tafsir Al-Mishbah” ayat ini
mirip dengan ayat 164 surah al-Baqarah. Hanya saja di sana disebutkan delapan macam

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 10


ayat-ayat Allah, sedang di sini hanya tiga. Buat kalangan sufi, pengurangan ini
disebabkan memang pada tahap-tahap awal seorang salik yang berjalan menuju Allah
membutuhkan banyak argumen akliah, tetapi setelah melalui beberapa tahap. Ketika
kalbu telah memperoleh kecerahan, kebutuhan akan argumen akliah semakin berkurang,
bahkan dapat menjadi penghalang bagi kalbu untuk terjun ke dunia makrifat.
Selanjutnya, kalau di sana bukti-bukti yang disebutkan adalah hal-hal yang terdapat di
langit dan bumi, di sini penekannya pada bukti-bukti yang terbentang di langit. Ini karena
bukti-bukti tersebut lebih menggugah hati dan pikiran, dan lebih cepat mengantar meraih
rasa keagungan Ilahi

Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini dan ayat-ayat
selanjutnya menjelaskan sebagian dari ciri-ciri orang yang dinamai ulul albab yang telah
disebutkan pada ayat yang lalu. Mereka adalah orang-orang baik laki-laki maupun
perempuan yang terus mengingat Allah dengan ucapan atau hati, dan dalam seluruh
situasi dan kondisi, saat bekerja sambil berdiri atau duduk atau keadaan berbaring atau
bagaimanapun, dan mereka memikirkan tentang penciptaan yakni kejadian dan sistem
kerja langit dan bumi, dan setelah itu berkata sebagai kesimpulan; Tuhan kami tiadalah
engkau menciptakan alam raya dan segala isinya ini dengan sia-sia tanpa tujuan yang
hak. Apa yang kami alami, atau dengar dari keburukan atau kekurangan, Maha Suci
Engkau dari semua itu. Itu adalah ulah atau dosa dan kekurangan kami yang dapat
menjerumuskan kami kedalam siksa neraka, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Karena, Tuhan kami “Kami tahu dan sangat yakin bahwa sesungguhnya siapa yang
engkau masukan kedalam neraka, maka sungguh telah engkau hinakan ia dengan
mempermalukannnya di hari kemudian sebagai seorang serta menyiksanya dengan siksa
yang pedih. Tidak ada satupun yang dapat membelanya, dan tidak ada bagi orang-orang
yang dzalim. Siapapun ia, satu penolongpun”.

Menurut M. Quraish Shihab, objek dzikir adalah Allah, sedang objek pikir adalah
makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam. Ini berarti bahwa pengenalan kepada
Allah lebih banyak dilakukan oleh kalbu. Sedangkan pengenalan alam raya didasarkan
pada penggunaan alam, yakni berpikir. Akal memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk
Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 11
memikirkan fenomena alam, tetapi ia memiliki keterbatasan dalam memikirkan Dzat
Allah. Hal ini dipahami dari sabda Rasullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Nu‟aim
melalui Ibnu Abbas: “Berpikirlah tentang makhluk Allah dan jangan berpikir tentang
Allah“.

Manusia yang membaca lembaran alam raya niscaya akan mendapatkan Allah
sebelum manusia mengenal peradaban mereka yang menempuh jalan ini telah
menemukan kekuatan itu (Allah Swt). Walau nama yang disandangkan untuknya
bermacam-macam seperti; Penggerak Pertama, Yang Maha Mutlak, Pencipta Alam,
Kehendak Mutlak, Yang Maha Kuasa, dan sebagainya. Bahkan seandainya mata tidak
mampu membaca lembaran alam raya, maka mata hati dan cahayanya akan
menemukannya karena memandang atau mengenal Tuhan ada dalam jangakauan
kemampuan manusia melalui lubuk hatinya. Bahkan, bila manusia mendengar suara
nuraninya dengan “telinga terbuka” pasti ia akan mendengar “suara Tuhan” yang
menyerunya ini disebabkan karena kehadiran Allah dan keyakinan akan keesaannya,
adalah fitrah yang menyertai jiwa manusia.

Fitrah itu tidak bisa dipisahkan dari manusia meskipun mungkin tingkatannya
berbeda sekali waktu pada seseorang ia sedemikian kuat, terang cahayanya melebihi
sinar matahari dan pada saat yang lain atau pada orang lain ia begitu lemah dan redup.
Namun demikian sumbernya tidak lenyap, akarnya pun mustahil tercabut.

Suatu ketika menjelang ruh manusia dicabut dari tubuhnya, fitrah keagamaan itu
muncul sedimikian kuat dan jelas. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah ) agama yang lurus; tetapi
kabanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Fāthir/35: 30).

Seandainya manusia merasa puas dengan perasaan atau informasi jiwa dan intuisinya
dalam mencari dan berkenalan dengan Tuhan, niscaya banyak jalan yang dapat
disingkirkannya tetapi manusia tidak semuanya mampu berbuat demikian. Banyak juga
orang yang menempuh jalan yang berliku-liku, memasuki lorong-lorong yang sempit
Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 12
untuk melayani rayuan akal yang sering mengajukan aneka pertanyaan “ilmiah” sambil
mendesak untuk memperoleh jawaban yang memuaskan nalar.

Bagi yang puas degan informasi intuisi, ia akan merasakan ketenangan dan
kedamaian bersama kekuatan yang Maha Agung, siapapun yang diyakininya tanpa
mendiskusikan apakah pengenalan mereka benar apa keliru.

Islam tidak menolak melayani desakan akal atau dorongan nalar. Bukankah telah
beragam argumen akliyah yang dipaparkan bersamaan dengan sentuhan-sentuhan rasa
guna membuktikan keesaanNya? Bukankah al-Qur‟an menguji ulul albab yang berdzikir
dan berpikir tentang kejadian langit dan bumi? Bukankah dia telah memerintahkan
untuk memandang alam dan fenomenanya dengan pandangan nadzar atau nalar serta
memikirkannya? Bukankah bukti-bukti kehadirannya dipaparkan sedemikian jelas
melalui berbagai pendekatan? Tetapi sekali lagi akal manusia sering kali tidak puas
hanya sampai pada titik di mana wujudnya terbukti akal manusia sering kali mengenal
dzat dan hakikatnya, bahkan ingin melihatnya dengan mata kepala, seakan-akan Tuhan
adalah sesuatu yang dapat terjangkau oleh panca indra.

Oleh karena itu, di sinilah letak kesalahan bahkan letak bahaya. Karena inilah banyak
pemikir jatuh tersungkur ketika mereka menuntut kehadiranNya melebihi kehadiran
bukti-bukti wujudnya seperti kehadiran alam raya dan keteraturanya bahkan di sanalah
bergelimangan korban orang-orang yang tidak puas dengan pengenalan rasa atau yang
mendesak meraih pengetahuan tentang Tuhan melebihkan informasi Tuhan sendiri
seandainya mereka menempuh cara yang mereka gunakan ketika merasa takut kepada
harimau, tanpa melihat wujudnya cukup dengan mendengar raungnya. Atau seandainya
mereka berinteraksi dengan Tuhan sebagai mana berinteraksi dengan matahari
mendapatkan kemanfaatan dan kehangatan cahayanya tanpa harus mengenal hakekatnya,
maka banyak daya dan waktu yang dapat digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat tapi
sekali lagi tidak semua manusia sama.

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 13


Di atas telah dijelaskan makna firman-Nya, rabbana maa khalakta hadza batthilan /
Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, bahwa ia adalah sebagai
natijah dan kesimpulan upaya dzikir dan pikir. Dapat juga dipahami dzikir dan pikir
tersebut mereka lakukan sambil membayangkan dalam benak mereka bahwa alam raya
tidak diciptakan Allah sia-sia.

Penggalan ayat tersebut dipahami juga sebagai bagian dari ucapan mereka dengan
ucapan: sesungguhnya siapa yang engkau masukkan ke dalam neraka… dan seterusnya,
sehingga berarti bahwa mereka berdzikir dan berpikir seraya berkata Tuhan kami,
tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Memang pendapat ini dapat dibantah
dengan menyatakan: “Bukankah ulul albab itu banyak sehingga bagaimana mungkin
mereka sepakat mengucapkan kata itu?” keberatan ini ditampak oleh pendukung
pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa ucapan itu mereka tiru atau diajarkan oleh
Rasulullah saw.

M. Quraish Shihab memahami kalimat tersebut sebagai hasil dzikir dan pikir, dengan
demikian ia tidak dapat dihadang oleh keberatan di atas. Di sisi lain, hasil itu akan sangat
serasi dengan permohonan mereka selanjutnya. Yakni karena semua makhluk tidak
diciptakn sia-sia, karena ada makhluk yang baik dan yang jahat, ada yang durhaka dan
ada pula yang taat, di mana tentu saja yang durhaka akan dihukum maka mereka
memohon perlindungan dari siksa neraka mereka selanjutnya berusaha untuk menjadi
makhluk yang baik dan taat.

Ayat di atas mendahulukan dzikir atas pikir karena dzikir mengingat Allah dan
menyebut nama-nama dan keagungannya. Hati akan menjadi tenang dengan ketenangan
pikiran akan menjadi cerah bahkan siap untuk memperoleh limpahan ilham dan
bimbingan ilahi.

Didahulukannya kata “subhanaka” yang diterjemahkan sebagai “maha suci engkau“,


atas permohonan terpelihara dari siksa neraka. Mengajarkan bagaimana seharusnya
bermohon, yaitu mendahulukan pensucian Allah dari segala kekurangan dengan
memujinya sebelum mengajukan permohonan. Hal ini dimaksudkan agar si pemohon
Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 14
menyadari nikmat Allah yang telah melimpah kepadanya sebelum adanya permohonan
sekaligus untuk menampi segala perasangka ketidakadilan dan kekurangan terhadap
Allah apabila ternyata permohonan belum diperkenankannya.

Ayat di atas juga menunjukan bahwa semakin banyak hasil yang diperoleh dari dzikir
dan pikir dan semakin luas pengetahuan tentang alam raya akan semakin dalam pula rasa
takut kepadanya, hal ini antara lain tercemin pada permohonan untuk dihindarkan dari
siksa neraka. Seperti firman-Nya: “sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hambanya hanyalah para ulama/ cendekiawan “(Q.S. Fāthir/35 : 28)

f. Kesimpulan dari Penafsiran Mufassir


Salah satu cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan
membaca dan merenungkan ayat-ayat-Nya yang terbentang di alam semesta . Dalam ayat
ini, Allah menyuruh manusia untuk merenungkan alam, langit dan bumi. Langit baik
yang ada di langit maupun di bumi.

Orang yang melihat dan memikirkan hal itu, akan meninjau menurut bakat
pikirannya masing-masing. Apakah dia seorang ahli ilmu alam, ahli ilmu bintang, ahli
ilmu tanaman, ahli ilmu pertambangan, seorang filosofis, ataupun penyair dan seniman.
Semuanya akan terpesona oleh susunan tabir alam yang luar biasa. Terasa kecil diri di
hadapan kebesaran alam, terasa kecil alam di hadapan kebesaran penciptanya. Akhirnya
tak ada arti diri, tak ada arti alam, yang ada hanyalah Dia, Yang Maha Pencipta. Di akhir
ayat 190, manusia yang mampu melihat alam sebagai tanda-tanda kebesaran dan
keagungan-Nya, Allah sebut sebagai Ulil Albab (orang-orang yang berpikir).

Dalam QS. Ali Imran ayat 191, diterangkan karakteristik Ulil Albab, yaitu selalu
melakukan aktivitas dzikir dan fikir sebagai metode memahami alam, baik yang ghaib
maupun yang nyata.

Dzikir, secara bahasa berasal dari kata dzakara , tadzakkara, yang artinya
menyebut, menjaga, mengingat-ingat. Secara istilah dzikir artinya tidak pernah
melepaskan Allah dari ingatannya ketika beraktifitas. Baik ketika duduk, berdiri, maupun
Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 15
berbaring. Ketiga hal itu mewakili aktifitas manusia dalam hidupnya. Jadi,dzikir
merupakan aktivitas yang harus selalu dilakukan dalam kehidupan. Dzikir dapat dilkukan
dengan hati,lisan, maupun perbuatan. Dzikir dengan hati artinya kalbu manusia harus
selalu bertaubat kepada Allah, disebabkan adanya cinta, takut, dan harap kepada-Nya
yang berhimpun di hati (Qolbudz Dzakir). Dari sini tumbuh keimanan yang kokoh, kuat
dan mengakar di hati. Dzikir dengan lisan berarti menyebut nama Allah dengan lisan.
Misalnya saat mendapatkan nikmat mengucapkan hamdalah. Ketika memulai suatu
pekerjaan mengucapkan basmalah. Ketika takjub mengucapkan tasbih. Dzikir dengan
perbuatan berarti memfungsikan seluruh anggota badan dalam kegiatan yang sesuai
dengan aturan Allah.

Fikir, secara bahasa adalah fakara, tafakkara yang artinya memikirkan,


mengingatkan, teringat. Dalam hal ini berpikir berarti memikirkan proses kejadian alam
semesta dan berbagai fenomena yang ada di dalamnya sehingga mendapatkan manfaat
daripadanya dan teringat atau mengingatkan kita kepada sang Pencipta alam, Allah Swt.

Dengan dzikir manusia akan memahami secara jelas petunjuk Ilahiyah yang
tersirat maupun yang tersurat dalam al-Qur‟an maupun as-sunnah sebagai minhajul
hayah (pedoman hidup). Dengan fikir, manusia mampu menggali berbagai potensi yang
terhampar dan terkandung pada alam semesta. Aktivitas dzikir dan fikir tersebut harus
dilakukan secara seimbang dan sinergis (saling berkaitan dan mengisi). Sebab jika hanya
melakukan aktivitas fikir, hidup manusia akan tenggelam dalam kesesatan. Jika hanya
melakukan aktivitas dzikir, manusia akan terjerumus dalam hidup jumud (tidak
berkembang, statis). Sedangkan, jika melakukan aktivitas dzikir dan fikir tetapi masing-
masing terpisah, dikhawatirkan manusia akan menjadi sekuler.

Bagi Ulil Albab, kedua aktivitas itu akan berakhir pada beberapa kesimpulan,
yaitu: (1) Allah dengan segala kebesaran dan keagungan-Nya adalah Pencipta alam
semesta termasuk manusia. (2) Tiada yang sia-sia dalam penciptaan alam. Semua
mengandung nilai-nilai dan manfaat, yakni: (a) mensucikan Allah dengan bertasbih dan

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 16


bertahmid memuji-Nya. (b) menumbuhkan ketundukan dan rasa takut kepada Allah dan
hari Akhir.

g. Nilai Pendidikan dan Ibrah yang dapat diambil dari Q.S. Āli-Imrān/3: 190-191

Pada ayat tersebut bahwa orang yang berakal (Ulu al-Bāb) adalah orang yang
melakukan dua hal yaitu tazakkur yakni mengingat (Allah), dan tafakkur, memikirkan
(ciptaan Allah). Sementara Imam Abi al-Fida mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
Ulu al-Abāb adalah al-„uqul al-tamm al-zakiyah al-latiy tudrak al-asy-ya „ala jalyatiha
wa laisa ka al-shamm al-bukm al-ladzina laa ya‟qilun yaitu orang-orang yang akalnya
sempurna dan bersih yang dengannya dapat ditemukan berbagai keistimewaan dan
keagungan mengenai sesuatu, tidak seperti orang yang buta dan gagu yang tidak bisa
berfikir.
Dengan adanya fenomena yang ada di dunia ini akan membawa orang-orang yang
berakal yang memikirkannya akan menyadari keagungan Allah Swt. Melalui upaya
inilah manusia dapat mencapai kebahagiaan dan keselamatan hidup.
Selanjutnya melalui pemahaman yang dilakukan para mufassir terhadap ayat tersebut
di atas akan dapat dijumpai peran dan fungsi akal tersebut secara lebih luas lagi. Semua
itu menjadi obyek atau sasaran di mana akal memikirkan dan mengingatnya. Tegasnya
bahwa di dalam penciptaan langit dan bumi serta keindahan ketentuan dan keistimewaan
penciptaannya, serta adanya pergantian siang dan malam serta berjalannya waktu detik
per-detik sepanjang tahun, yang pengaruhnya tampak pada perubahan fisik dan
kecerdasan yang disebabkan pengaruh panasnya matahari dan dinginnya malam, serta
pengaruhnya pada binatang dan tumbuh-tumbuhan dan sebagainya adalah menunjukkan
bukti keesaan Allah dan kesempurnaan ilmu dan kekuasaan-Nya.

Nilai-nilai pendidikan yang dapat diaplikasikan, di antaranya:


1) Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
2) Akal manusia hendaknya digunakan untuk memikirkan, menganalisa, dan
menafsirkan segala ciptaan Allah.

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 17


3) Dalam belajar tidak diperbolehkan memikirkan Dzat Allah, karena manusia
mempunyai keterbatasan dalam hal tersebut dan dikhawatirkan akan terjerumus
dalam berpikir yang tidak sesuai.
4) Jika seseorang memiliki renungan (fikir dan zikir), ia memiliki pelajaran dalam
segala perkara.
5) Hendaknya manusia mempercayai bahwa semua penciptaan Alah tidak ada yang sia-
sia.

B. KAJIAN SURAT ĀLI-IMRĀN/3: 159

Selama ini diskusi mengenai Islam dan demokrasi umumnya berkisar pada masalah-masalah
apakah demokrasi sesuai dengan Islam atau tidak. Apakah demokrasi kaitannya dengan
kekuasaan, atau bersikap demokratis dalam semua aktivitas kehidupan. Diskusi ini menggiring
opini menuju pada penentuan hukum boleh tidaknya demokrasi diamalkan oleh umat Islam. Jika
boleh berarti ada kesepadanan atau minimal ada irisan yang bisa diterima antara demokrasi
dengan Islam. Jika tidak, berarti demokrasi dianggap sesuatu yang sama sekali tidak ekuivalen
dengan Islam.

Dalam al-Qur‟an banyak sekali ayat yang menganjurkan pada umat Islam untuk bersikap
demokratis dalam aktivitas yang dibenarkan secara syar‟il misalanya memiliki sikap lemah
lembut, pemaaf, dan bermusyawarah dalam segala uusan. Salah satu ayat tersebut adalah Q.S.
Āli Imrān/3 159 yang akan dibahas secara luas berikut ini:

1. Teks Ayat dan Terjemahnya

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 18


membulatkan tekad, Maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakal kepada-Nya” (Q.S. Āli-Imrān /3: 159).

2. Penjelasan Umum Ayat


Salah satu yang menjadi penekanan pokok ayat ini adalah perintah untuk melakukan
musyawarah. Ini pentig karena petaka yang terjadi di Uhud didahului oleh musyawarah dan
disetujui oleh mayoritas. Kendati demikian, hasilnya sebagaimana yang telah dikatahui,
adalah kegagalan. Hasil ini boleh jadi mengantar seseorang untuk berkesimpulan bahwa
musyawarah tidak perlu diadakan. Apalagi bagi Rasul saw. Nah, karena itu, ayat ini
dipahami sebagai pesan untuk melakukan musyawarah. Kesalahan yang dilakukan setalah
musyawarah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan tanpa musyawarah, dan kebenaran yang
raih sendirian, tidak sebaik kebenaran yang raih bersama
Pada surat Ali „Imran ayat 159 dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi
Muhammad Saw., agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau
anggota masyarakatnya. Tetapi, yang akan dijelaskan lebih jauh, ayat ini juga merupakan
petunjuk kepada setiap Muslim, khususnya kepada setiap pemimpin/manajer, agar
bermusyawarah dalam mengambil suatu keputusan dengan anggotanya atau bawahannya.
Juga dalam ayat itu dijelaskan sikap apa dan langkah-langkah kongkrit yang harus dilakukan
ketika mengambil keputusan.

3. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)


Sebab–sebab turunya Q.S. Āli-Imrān /3: 159 adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas. Ibnu Abbas ra menjelaskan bahwasanya setelah terjadinya perang Badar,
Rasulullah mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar ra dan Umar bin Khaththab ra
untuk meminta pendapat meraka tentang para tawanan perang, Abu Bakar ra berpendapat,
meraka sebaiknya dikembalikan kepada keluargannya dan keluargannya membayar tebusan.
Namun, Umar ra berpendapat mereka sebaiknya dibunuh. Yang diperintah membunuh
adalah keluarganya. Rasulullah mesulitan dalam memutuskan. Kemudian turunlah ayat ini
sebagai dukungan atas Abu Bakar (H.R. Kalabi).

4. Penjelasan Tafsir Ayat

a. Tafsir al-Qurthuby
Menurut al-Qurthuby menjelaskan bahwa ayat ini mengandung hal-hal sebagai berikut:

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 19


Pertama: Para ulama berkata, “Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan
perintah-perintah ini secara berangsur-angsur. Artinya, Allah Swt. memerintahkan
kepada beliau untuk memaafkan mereka atas kesalahan mereka terhadap beliau. Setelah
mereka mendapat maaf, Allah Swt. memerintahkan beliau utnuk memintakan ampun atas
kesalahan mereka terhadap Allah Swt. Setelah mereka mendapat hal ini, maka mereka
pantas untuk diajak bermusyawarah dalam segala perkara”.

Kedua: Ibnu „Athiyah berkata, “Musyawarah termasuk salah satu kaidah syariat dan
penetapan hukum-hukum. Barangsiapa yang tidak bermusyawarah dengan ulama, maka
wajib diberhentikan (jika dia seorang pemimpin). Tidak ada pertentangan tentang hal ini.
Allah SWT memuji orang-orang yang beriman karena mereka suka bermusyawarah
dengan firman Nya “sedang urusan mereka (diputuskan dengan musyawarat antara
mereka”

Ketiga: Firman Allah Swt.: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.
Menunjukkan kebolehan ijtihad dalam semua perkara dan menentukan perkiraan
bersama yang didasari dengan wahyu. Sebab, Allah Swt. mengizinkan hal ini kepada
Rasul-Nya. Para ulama berbeda pendapat tentang makna perintah Allah Swt. kepada
Nabi-Nya ntuk bermusyawarah dengan para sahabat beliau.

Sekelompok ulama berkata, “Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal


taktik perang dan ketika berhadapan dengan musuh untuk menenangkan hati mereka,
meninggikan derajat mereka dan menumbuhkan rasa cinta kepada agama mereka,
sekalipun Allah Swt. telah mencukupkan beliau dengan wahyu-Nya dari pendapat
mereka”.

Kelompok lain berkata, “ Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal yang
tidak ada wahyu tentangnya,” pendapat ini diriwayatkan dari Hasan Al Basri dan
Dhahak. Mereka berkata, “Allah Swt. tidak memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk
bermusyawarah karena Dia membutuhkan pendapat mereka, akan tetapi Dia hanya ingin
memberitahukan keutamaan yang ada di dalam musyawarah kepada mereka dan agar
umat beliau dapat menauladaninya.
Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 20
Keempat: Tertera dalam tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah ra. Dia berkata.
“Rasulullah saw. bersabda, yang artinya: “Orang yang diajak bermusyawarah adalah
orang yang dapat dipercaya”. Para ulama berkata, “Kriteria orang yang layak untuk
diajak musyawarah dalam masalah hokum adalah memiliki ilmu dan mengamalkan
ajaran agama. Dan criteria ini jarang sekali ada kecuali pada orang yang berakal”. Hasan
berkata, “Tidaklah sempurna agama seseorang selama akalnya belum sempurna”.

Maka apabila orang yang memenuhi kriteria di atas diajak untuk bermusyawarah
dan dia bersungguh-sungguh dalam memberikan pendapat namun pendapat yang
disampaikannya keliru maka tidak ada ganti rugi atasnya. Demikian yang dikatakan oleh
Al Khaththabi dan lainnya.

Kelima: Keriteria orang yang diajak bermusyawarah dalam masalah kehidupan di


masyarakat adalah memiliki akal, pengalaman dan santun kepada orang yang mengajak
bermusyawarah. Sebagian orang berkata, “Bermusyawarahlah dengan orang yang
memiliki pengalaman, sebab dia akan memberikan pendapatnya kepadamu berdasarkan
pengalaman berharga yang pernah dialaminya dan kamu mendapatnya dengan cara
gratis”.

Keenam: Dalam musyawarah pasti ada perbedaan pendapat. Maka, orang yang
bermusyawarah harus memperhatikan perbedaan itu dan memperhatikan pendapat yang
paling dekat dengan kitabullah dan sunnah, jika memungkinkan. Apabila Allah Swt.
telah menunjukkan kepada sesuatu yang Dia kehendaki maka hendaklah orang yang
bermusyawarah menguatkan tekad untuk melaksanakannya sambil bertawakal kepada-
Nya, sebab inilah akhir ijtihad yang dikehendaki. Dengan ini pula Allah Swt.
memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam ayat ini.

Ketujuh: Firman Allah Swt. “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka
bertawakallah kepada Allah”. Qatadah berkata, “Allah Swt. memerintahkan kepada
Nabi-Nya apabila telah membulatkan tekad atas suatu perkara agar melaksanakannya
sambil bertawakal kepada Allah SWT, bukan tawakal kepada musyawarah mereka.

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 21


Kedelapan: Firman Allah Swt. “Maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”.

Tawakal artinya berpegang teguh kepada Allah Swt. sembari menampakkan kelemahan.
Para ulama berbeda pendapat tentang tawakal. Suatu kelompok sufi berkata, “Tidak akan
dapat melakukannya kecuali orang yang hatinya tidak dicampuri oleh takut kepada
Allah, baik takut kepada bintang buas atau lainnya dan hingga dia meninggalkan usaha
mencari rezeki karena yakin dengan jaminan Allah Swt..”

b. Tafsir Ibnu Katsir

Menurut Ibnu Katsir, Maa adalah Maa Nakirah yang berada pada posisi majrur dengan
sebab ba‟, sedangkan Rahmatin adalah badalnya. Maka makna ayat adalah ketika
Rasulullah saw. bersikap lemah-lembut dengan orang yang berpaling pada perang uhud
dan tidak bersikap kasar terhadap mereka maka Allah Swt. menjelaskan bahwa beliau
dapat melakukan itu dengan sebab taufik-Nya kepada beliau.

c. Tafsir Al-Azhar
Prof. Hamka dalam tasirnya “Al-Azhar” menjelaskan tentang Q.S. Āli-Imrān ini, dalam
ayat ini bertemulah pujian yang tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya
yang lemah lembut, tidak lekas marah kepada ummatNya yang tengah dituntun dan
dididiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalah beberapa orang yang
meninggalkan tugasnya, karena laba akan harta itu, namun Rasulullah tidaklah terus
marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin. Dalam ayat ini Allah
menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul, bahwasanya sikap yang lemah lembut itu,
ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah rahmat-Nya. Rasa rahmat,
belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau, sehingga
rahmat itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin

Meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran– pelanggaran yang


dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam perang uhud sehingga menyebabkan
kaum muslimin menderita, tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan tidak
marah terhadap pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan ampunan dari
Allah untuk mereka. Andaikata Nabi Muhammad saw. bersikap keras, berhati kasar
tentulah mereka akan menjauhkan diri dari beliau.

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 22


d. Tafsir Al-Mishbah
M. Quraish Shihab di dalam Tafsirnya “al-Mishbah” menyatakan bahwa ayat ini
diberikan Allah kepada Nabi Muhammad untuk menuntun dan membimbingnya, sambil
menyebutkan sikap lemah lembut Nabi kepada kaum muslimin, khususnya mereka yang
telah melakukan pelanggaran dan kesalahan dalam perang uhud itu. Sebenarnya cukup
banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung emosi manusia untuk
marah, namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukan kelemah lembutan
Nabi saw. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan perang, beliau
menerima usulan mayoritas mereka, walau beliau kurang berkenan, beliau tidak memaki
dam mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya
menegurnya dengan halus, dan lain lain.

Lebih lanjut M. Quraih Shihab menjelaskan bahwa salah satu yang menjadi
penekanan pokok ayat ini adalah perintah untuk melakukan musyawarah. Ini penting
karena petaka yang terjadi di Uhud didahului oleh musyawarah dan disetujui oleh
mayoritas. Kendati demikian, hasilnya sebagaimana yang telah dikatahui, adalah
kegagalan. Hasil ini boleh jadi mengantar seseorang untuk berkesimpulan bahwa
musyawarah tidak perlu diadakan. Apalagi bagi Rasul saw. Nah, karena itu, ayat ini
dipahami sebagai pesan untuk melakukan musyawarah. Kesalahan yang dilakukan
setelah musyawarah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan tanpa musyawarah, dan
kebenaran yang raih sendirian, tidak sebaik kebenaran yang raih bersama.

Kata musyawarah, lanjut M. Quraish Shihab terambil dari kata syawara yang
pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian
berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari
yang lain (termasuk pendapat). Kata musyawarah, pada dasarnya, hanya digunakan untuk
hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasar dia atas.

Pada ayat ini, lebih jauh dijelaskan M. Quraish Shihab, tiga sifat dan sikap secara
berurutan disebut dan diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk beliau
laksanakan sebelum bermusyawarah. Penyebutan ketiga hal itu, dari segi konteks
turunnya ayat, mempunyai makna tersendiri yang berkaitan dengan perang Uhud.
Namun, dari segi pelaksanaan dan esensi musyawarah, ia perlu menghiasi diri Nabi saw.

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 23


dan setiap orang yang melakukan musyawarah. Setelah itu, disebutkan satu sikap yang
harus diambil setelah adanya hasil musyawarah dan bulatnya tekad.

Pertama, adalah berlaku lemah lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras. Hal
ini berarti, sesorang yang melakukan musyawarah, apalagi yang berada dalam posisi
pemimpin, yang pertama ia harus hindari ialah tutur kata yang kasar dan keras kepala,
karena jika tidak, mitra musyawarah akan bertebaran pergi.

Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. “Maaf” secara harfiah
berarti “menghapus”. Memaafkan adalah menghapus bekas luka hati akibat perakuan
pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu karena tiada musyawarah tanpa pihak lain,
sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati. Di
sisi lain, bermusyawarah harus menyiapkan mentalnya untuk selalu bersedia memberi
maaf.

Selanjutnya Quraish Shihab menjelaskan bahwa untuk mencapai hasil terbaik dari
hasil musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis, itu sebabnya hal ketiga
yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi.
Pesan terakhir Ilahi dalam konteks musyawarah adalah setelah musyawarah usai, yaitu
“apabila telah membulatkan tekad, [laksanakanlah] dan berserah dirilah kepada Allah
(tawakkal).

e. Kesimpulan Berdasarkan Penjelasan Mufassir dari Surah Āli-Imrān /3: 159


Kesimpulan isi atau kandungan surah Ali Imran ayat 159 tersebut adalah merupakan
penjelasan bahwa berkat adanya rahmat Allah Swt. yang amat besar, Nabi Muhammad
saw. merupakan sosok pribadi yang berbudi luhur dan berakhlak mulia. Beliau tidak
bersifat dan berperilaku keras serta berhati kasar. Bahkan sebaliknya, beliau adalah orang
yang berhati lembut, dan berperilaku baik yang diridai Allah Swt. serta mendatangkan
berbagai manfaat bagi masyarakat. Selain itu, dalam pergaulan Rasulullah saw.
senantiasa member maaf kepada orang yang telah berbuat salah, khususnya terhadap para
sahabatnya yang telah melakukan pelanggaran. Dalam perang Uhud Rasulullah saw. juga
memohonkan ampun pada Allah Swt. terhadap kesalahan mereka dan bermusyawarah

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 24


dalam hal-hal yang perlu dimusyawarahkan. Untuk melaksanakan tekadnya, khususnya
hasil musyawarah Rasulullah saw. selalu bertawakal pada Allah Swt..

Mengacu kepada al-Qur‟an surah Āli-Imrān/3: 159, maka di dalam pergaulan hidup
bermasyarakat, khususnya dalam bermusyawarah, hendaknya diterapkan prinsip-prinsip
umum sebagai berikut ini:

1) Melandasi musyawarah dengan hati yang bersih, tidak kasar, lemah lembut, dan
penuh kasih sayang.
2) Dalam bermusyawarah hendaknya bersikap dan berperilaku baik, seperti: tidak
berperilaku keras, dengan tutur kata yang sopan, saling menghormati, dan saling
menghargai, serta melakukan usaha-usaha agar hasil musyawarah itu berguna.
3) Para peserta musyawarah hendaknya berlapang dada, bersedia memberi maaf apabila
dalam musyawarah itu terjadi perbedaan-perbedaan pendapat, dan bahkan terlontar
ucapan-ucapan yang menyinggung perasaan, juga bersedia memohonkan ampun atas
kesalahan para peserta musyawarah, jika memang bersalah.
4) Hasil musyawarah yang telah disepakati bersama hendaknya dilaksanakan dengan
bertawakal kepada Allah Swt. Orang-orang yang bertawakal tentu akan berusaha
sekuat tenaga, diiringi dengan doa kepada Allah Azza wajalla, sedangkan hasilnya
diserahkan kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt. itu menyukai orang-orang
yang bertawakal.
5) Suatu hal yang perlu disadari bahwa musyawarah yang diterapkan dari mulai
lembaga terendah yaitu keluarga, sampai dengn lembaga tertinggi, yaitu MPR,
hasilnya jangan sampai menyimpang dari ajaran Allah Swt. dan Rasul-nya (al-Qur‟an
dan Hadis). Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. yang artinya: “… Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-
Qur‟an) dan rasul (Hadis).” (Q.S. An-Nisā/4: 59).
6) Hal lain yang perlu diperhatikan oleh setiap Muslim/Muslimah, bahwa lapangan yang
dimusyawarahkan terbatas pada masalah-masalah kemasyarakatan, yang tidak ada
petunjuknya secara tegas dan jelas dalam al-Qur‟an dan Hadis. Misalnya usaha
mengatasi kesulitan ekonomi dalam keluarga, masalah usaha mewujudkan keamanan
dan ketertiban dalam masyarakat, dan masalah menghilangkan kebodohan dan
kemiskinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (lihat Q.S al-Ahzāb/33: 36

C. HADIS TERKAIT DENGAN BERPIKIR KRITIS DAN DEMOKRATIS

1. Hadits Pertama

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 25


ِٔ ْٞ ِ‫ فَإ ِ َُّ َٗ َج َذ ف‬،ِ‫ب هللا‬ ِ ‫ ِمرَا‬ِٚ‫ ِٔ ْاى ِخصْ ٌُ َّظَ َش ف‬ْٞ َ‫ َماَُ أَتُْ٘ تَ ْن ٍش إِ َرا ُٗ ِس َد َعي‬:‫ ْْ ٍُْ٘ ُِ تِ ِْ ٍَ ْٖ َشا ُِ قَا َه‬ٛ
ٌَ َّ‫ ِٔ َٗ َسي‬ْٞ َ‫ هللا ُ َعي‬َّٚ‫صي‬ َ ِ‫ب َٗ َعيِ ٌَ ٍِ ِْ َسسُْ٘ ُه هللا‬ ِ ‫ ْاى ِنرَا‬ِٜ‫َ ُن ِْ ف‬ْٝ ٌَ ‫ َٗإِ ُْ ى‬،ِٔ ِ‫ ت‬ٚ‫ع‬ َ َ‫َُْٖ ٌْ ق‬ْٞ َ‫ تِ ِٔ ت‬ٚ‫ع‬ ِ ‫َ ْق‬ٝ ‫ٍَا‬
ْ‫ فََٖو‬،‫ َم َزا َٗ َم َزا‬ِّٜ‫ أَذَا‬:‫ َٗقَا َه‬، َِْٞ َِ ِ‫َآُ َخ َش َج فَ َسؤ َ َه ْاى َُ ْسي‬ٞ‫ فَإ ِ ُْ أَ ْع‬.ِٔ ِ‫ ت‬ٚ‫ع‬ َ َ‫ل األَ ٍْ ُش ُسَّْحُ ق‬ َ ِ‫ َرى‬ِٚ‫ف‬
ٌْ ُُّٖ‫ ِٔ اىَّْفَ َش ُمي‬ْٞ َ‫عا ٍء؟ فَ ُشتَّ ََا اِجْ رَ ََ َع إِى‬
َ َ‫ل تِق‬َ ِ‫ َرى‬ِٜ‫ ف‬ٚ‫ع‬ َ َ‫ ِٔ َٗ َسيَّ ٌَ ق‬ْٞ َ‫ هللا ُ َعي‬َّٚ‫صي‬ َ ِ‫َعيِ َْرُ ٌْ أَ َُّ َسسُْ٘ ُه هللا‬
‫َْا‬ْٞ ِ‫ َج َع َو ف‬ٙ‫َقُْ٘ ُه أَتُْ٘ تَ ْن ٍش اَ ْى َح َْ ُذ هللِ اىَّ ِز‬َٞ‫ ف‬،‫عا ًءا‬ َ َ‫ ِٔ ق‬ْٞ ِ‫ ِٔ َٗ َسيَّ ٌَ ف‬ْٞ َ‫ هللا ُ َعي‬َّٚ‫صي‬ َ ِ‫َ ْز ُم ُش ٍِ ِْ َسسُْ٘ ُه هللا‬ٝ
َّٚ‫صي‬ َ ِ‫ ِٔ ُسَّْحٌ ٍِ ِْ َسسُْ٘ ُه هللا‬ْٞ ِ‫َ ِج َذ ف‬ٝ ُْ َ‫َآُ أ‬ٞ‫ فَإ ِ ُْ أَ ْع‬.ٌَ َّ‫ ِٔ َٗ َسي‬ْٞ َ‫ هللا ُ َعي‬َّٚ‫صي‬ َ ‫َْا‬ِٞ‫حْ فَظُ ع َِْ َّث‬َٝ ِْ ٍَ
ٚ‫ع‬ َ َ‫ أَ ٍْ ٍش ق‬َٚ‫ُُٖ ٌْ َعي‬ٝ‫ فَإ ِ َرا اجْ رَ ََ َع َس ْأ‬،ٌْ ُٕ‫َا ُسُٕ ٌْ فَا ْسرَ َشا ُس‬ٞ‫اط َٗ ِخ‬ َ َّْ‫ ِٔ َٗ َسيَّ ٌَ َج ََ َع َس ُإْٗ طُ اى‬ْٞ َ‫هللا ُ َعي‬
ُ ٓ‫ص َّح ُح ْاى َحافِظُ إِ ْسَْا ُد‬ َ َٗ ِٚ‫َٖق‬ْٞ َ‫ َٗ ْاىث‬ٍِٚ ‫اس‬ ِ ‫ ) َس َٗآُ اى َّذ‬.ِٓ ‫ل فَ َع َو ُع ََ ُش ات ِِْ اى َخطَّابْ ٍِ ِْ تَ ْع ِذ‬ َ ِ‫ َٗ َم َزى‬.ِٔ ِ‫ت‬
(‫ح‬ِ ‫ اىفَ ْر‬ِٚ‫ف‬

Artinya: “Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia mengisahkan: “Dahulu Abu Bakar (As
Shiddiq) bila datang kepadanya suatu permasalahan (persengketaan), maka pertama yang ia
lakukan ialah membaca Al-Qur‟an (mencari dalam kitabullah), bila ia mendapatkan padanya
ayat yang dapat ia gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia akan memutuskan
berdasarkan ayat itu. Bila ia tidak mendapatkannya di Al Qur‟an, akan tetapi ia mengetahui
sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, maka ia akan memutuskannya
berdasarkan hadits tersebut. Bila ia tidak mengetahui sunnah, maka ia akan menanyakannya
kepada kaum muslimin, dan berkata kepada mereka: „Sesungguhnya telah datang kepadaku
permasalahan demikian dan demikian, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah
shallallahu „alaihi wa sallam pernah memutuskan dalam permasalahan itu dengan suatu
keputusan?‟ Kadang kala ada beberapa sahabat yang semuanya menyebutkan suatu
keputusan (sunnah) dari Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, sehingga Abu bakar
berkata: „Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di antara kita orang-orang yang
menghafal sunnah-sunnah Nabi kita shallallahu „alaihi wa sallam.‟ Akan tetapi bila ia tidak
mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam maka ia
mengumpulkan para pemuka dan orang-orang yang berilmu dari masyarakat, lalu ia
bermusyawarah dengan mereka. Bila mereka menyepakati suatu pendapat (keputusan), maka
ia akan memutuskan dengannya. Dan demikian pula yang dilakukan oleh khalifah Umar bin
Khatthab sepeninggal beliau.” (Riwayat Ad Darimi No.161 dan Al Baihaqi, dan Al Hafiz
Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih).

2. Hadis Kedua

َّ َٜ ‫ظ‬
‫ قا َ َه َسسُْ٘ ُه‬:‫هللاُ َع ُْْٔ قا َ َه‬ ِ ‫ َس‬ٍّٜ ِ‫ش ع َِْ َعي‬ ٍ َْ‫ك ع َِْ َح‬ ٍ ‫ ع َِْ َصائِ َذجَ ع َِْ ِس ََا‬ٍّٜ ِ‫ ُِْ ت ُِْ َعي‬ٞ‫َح َّذثََْا ُح َس‬
ْٛ‫ فَ َسْ٘ فَ ذَ ْذ ِس‬,‫ َخ ِش‬ٟ‫ ذَ ْس ََ َع َمالَ ًَ ا‬َّٚ‫ط ىِ ْالَ َّٗ ِه َحر‬ ِ ‫ل َس ُجالَ ُِ فَالَ ذَ ْق‬ َ ْٞ َ‫ اِى‬ٚ‫ظ‬ َ ‫ً (اِ َرا ذَقَا‬.‫هللاِ ص‬
ُٓ‫ َٗقَ َّ٘ا‬,َُْٔ‫ُّ َٗ َح َّس‬ٛ‫(س َٗآُ اَحْ ََ ُذ َٗاَتُْ٘ دَا ُٗ َد َٗاىرشْ ٍِ ِز‬
َ .‫ًا تَ ْع ُذ‬ٞ‫ظ‬ِ ‫د قَا‬ ُ ‫ فَ ََا ِص ْى‬:ٌّٜ ِ‫) قَا َه َعي‬ْٜ ‫ع‬ ِ ‫فَ ذَ ْق‬ْٞ ‫َم‬
) َُ‫ص َّح َحُٔ ات ُِْ ِحثَّا‬ َ َٗ ِِّْٜ ٛ ِ ‫ات ُِْ ْاى ََ ْذ‬
Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 26
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hushain bin Ali dari Zai`dah dari Simak dari
Hanasy dari Ali Radhiallah 'anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw.: “Apabila dua
orang minta keputusan kepadamu, maka janganlah engkau menghukum bagi yang pertama
sebelum engkau mendengar perkataan orang yang kedua. Jika demikian engkau akan
mengetahui bagaimana engkau mesti menghukum”. „Ali berkata : Maka tetap saya jadi
hakim (yang layak) sesudah itu”. (H.R. Ahmad No.1148, Abu Dawud dan Tirmidzi dan Ia
hasankan-dia, dan dikuatkan-dia oleh Ibnul-Madini dan dishahkan-dia oleh Ibnu Hibban).

3. Penjelasan Hadis

Telah diriwayatkan dalam Al-Hasan r.a., bahwa Allah Swt. sebenarnya telah mengetahui
bahwa Nabi saw. sendiri tidak membutuhkan mereka (para sahabat, dalam masalah ini).
Tetapi, beliau bermaksud membuat suatu sunnah untuk orang-orang sesudah beliau.
Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau pernah bersabda:

ٌْ ُٕ‫ َس َش َذ أَ ٍْ ُش‬َٚ‫اٗ ُس قَْ٘ ًٍ قط إِال ُٕ ْذ ًٗا إِى‬


ِ ‫ٍَا ذُ َش‬
“Tidak satu kaum-pun yang selalu melakukan musyawarah melainkan akan ditunjukkan
jalan paling benar dalam perkara mereka.”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., “Aku belum pernah melihat seseorang melakukan
musyawarah selain Nabi saw.”

ِ‫ هللا‬َٚ‫د فَرَ َ٘ َّموْ َعي‬


َ ٍْ ‫فَإ ِ َرا َع َض‬

“Apabila hatimu telah bulat dalam melakukan sesuatu, setelah hal itu dimusyawarahkan,
serta dipertanggung jawabkan kebenarannya, maka bertawakkallah kepada Allah.”

Serahkanlah sesuatu kepada-Nya, setelah mempersiapkan diri dan memiliki sarana


untuk meniti sebab-sebab yang telah dijadikan Allah Swt. untuk bisa mencapainya, didalam
hadits ini, terkandung isyarat yang menunjukkan wajibnya melaksanakan tekat apabila
syarat-syaratnya telah terpenuhi dan di antaranya melalui musyawarah dalam mengambil
suatu keputusan.

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 27


Rahasia yang terkandung dalam hal ini adalah, bahwa meralat hal-hal yang sudah
diputuskan merupakan kelemahan jiwa seseorang. Juga sebagai kelemahan di dalam
tabiatnya yang menjadikan yang bersangkutan itu tidak bisa dipercayai lagi, perkataan
maupun perbuatannya. Terlebih lagi, jika ia seorang pemimpin pemerintahan, pemimpin
organisasi pendidikan dan atau panglima perang.

Oleh sebab itu, Nabi saw. tidak mendengarkan pendapat orang yang meralat
pendapat/keputusan pertamanya, sewaktu beliau sedang bermusyawarah mengenai perang
Uhud. Pendapat/keputusan itu mengatakan, bahwa kaum Muslimin harus keluar ke Uhud,
begitu mereka telah mengenakan baju besi. Beliau berpandangan, bahwa sesudah bulat
keputusan suatu musyawarah, maka tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan, jadi tidak
boleh diralat lagi.

Dengan demikian, berarti Nabi saw. mengajari mereka, bahwa dalam setiap pekerjaan
ada waktunya masing-masing yang terbatas. Dan waktu bermusyawarah itu, apabila talah
selesai, tinggalah tahap pengamalannya. Seorang manajer (pemimpin), apabila telah bersiap
melaksanakan suatu pekerjaan sebagai realisasi dari hasil musyawarah dan lahir sebuah
keputusan, maka tidak boleh ia mencabut keputusan atau tekadnya, sekalipun ia melihat
adanya kesalahan pendapat dari orang-orang yang ikut bermusyawarah, seperti yang terjadi
dalam perang Uhud.

Lain halnya jika suatu keputusan belum ditetapkan walaupun sudah disepakati (ketok palu) oleh
seorang pemimpin organisasi dan masih ada pendapat, usul, masukan dan tawaran lain dalam
musyawarahnya (sebuah keputusan yang hampir final), pemimpin tidak berhak memutuskan secara
sepihak dan masih ada hak bagi orang lain atau anggota musyawarah untuk berpendapat. Tidak ada
dasar untuk menuntut orang lain yang mempertahankan diri.

Elfianti Umar, M.Ag, SMAN 1 Enam Lingkung Page 28

Anda mungkin juga menyukai