Anda di halaman 1dari 22

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 1

BAB I
BERPIKIR KRITIS DAN DEMOKRATIS
(Kajian Q.S. Āli Imrān/3: 190-191 dan Q.S. Āli Imrān /3: 159
serta hadis terkait)

Dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang menyerukan manusia untuk


memperhatikan, merenung dan memikirkan secara kritis tentang penciptaan Allah
baik yang di langit, bumi maupun di antara keduanya. Salah satu ayat yang
menerangkan tentang hal tersebut yaitu Q.S Āli Imrān ayat 190-191.
Salah satu cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan
membaca dan merenungkan ayat-ayat-Nya, serta mensyukuri apa yang terbentang di
alam semesta. Allah Swt. menyuruh manusia untuk merenungkan alam, langit dan
bumi. Langit yang melindungi dan bumi yang terhampar tempat manusia hidup. Juga
memperhatikan pergantian siang dan malam. Semuanya itu penuh dengan ayat-ayat,
tanda-tanda kebesaran Allah Swt. 

A. Kajian Q.S. Āli-Imrān/3: 190-191

1. Teks Ayat dan Terjemahan

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya


malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): "ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa
neraka. (Q.S. Āli Imrān/3:190-191).

2. Penjelasan Umum Ayat


Konteks al-Qur’an di sini menggambarkan langkah-langkah gerakan
jiwa yang ditimbulkan oleh responnya terhadap pemandangan yang berupa
langit dan bumi dan bergantian malam dengan siang dalam perasaan ulul-
albāb dengan gambaran yang cermat. Pada waktu yang sama ia merupakan
gambaran yang memberikan kesan dan arahan, yang memalingkan hati

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 2
kepada manhaj yang shohih dan di dalam bergaul dengan alam semesta, di
dalam berbicara kepadanya dan bahasannya, di dalam persoalan tanggung
jawab bersama fitrahnya dan hakikatnya, dan terkesan dengan isyarat-
isyaratnya dan pengarahan-pengarahannya. Juga menjadikan kitab alam
semesta yang terbuka ini sebagai “kitab” ilmu pengetahuan bagi manusia
mukmin yang senantiasa menjalin hubungan dengan Allah Swt.
Rangkaian Q.S. Āli Imrān/3 ayat 191 ini dimulai dengan
membandingkan antara penghadapan hati kepada zikrullah dan ibadah
kepada-Nya “pada waktu berdiri, duduk, berbaring” dengan memikirkan
penciptaam langit dan bumi serta pergantian siang dan malam. Sehingga
perenungan dan pemikiran ini menempuh jalan ibadah, dan menjadikannya
sebagai salah satu sisi dari pemandangan zikir. Maka hal ini, menurut Sayyid
Qutub dalam Tafsir Fī Dzilālil Qur’ān mengesankan penghimpunan antara
dua macam gerakan (aktifitas) dengan dua hakikat yang penting.
Hakikat pertama, bahwa memikirkan penciptaan Allah Swt. terhadap
makhluknya  merenungkan kitab alam semesta yang terbuka, dan
merenungkan tangan Allah yang menciptakan dan menggerakkan alam
semesta ini, dan membolak-balik halaman-halaman kitab terbuka ini,
merupakan ibadah Allah kepada di antara pokok-pokok ibadah, dan
merupakan zikir kepada Allah di antara zikir-zikir pokok. Seandainya ilmu-
ilmu kealaman yang membicarakan desain alam semesta, udang-undang dan
sunahnya, kekuatan dan kandungannya, rahasia-rahasianya dan potensi-
potensinya  berhubungan denga zikir dan mengingat Pencipta alam ini, dari
merasakan keagungan-Nya dan karunianya, niscaya seluruh aktifitas
keilmuannya itu akan berubah menjadi ibadah kepada Sang Pencipta alam
semesta ini, akan luruslah kehidupan ini, dan akan terarah kepada Allah Swt.
saja.
Hakikat kedua, ayat-ayat Allah Swt. di semesta alam ini, tidak
menampakkan hakikatnya yang mengesankan kecuali pada hati yang selalu
berzikir dan beribadah. Mereka yang selalu ingat kepada Allah pada waktu
berdiri,duduk, dan berbaring - sembari memikirkan penciptaan langit dan
bumi serta pergantian siang dan malam adalah mereka yang terbuka
pandangannya terhadap hakikat-hakikat besar yang terlibat di dalam
penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang. Di balik itu
mereka yang selalu berhubungan dengan manhaj Ilahi yang dapat
menyampaikan kepada keselamatan, kebaikan, dan kesalehan. Adapun orang-
orang yang merasa cukup dengan sisi lahiriah dari kehidupan dunia dan
berhubungan dengan rahasia-rahasia sebagai kekuatan alam tanpa ada
hubungan dengan zikir dan pikir serta manhaj Ilahi maka mereka berarti
menghancurkan kehidupan dan menghancurkan diri sendiri yang
berhubungan dengan rahasia–rahasia ini, dan mengubah kehidupannya
menjadi neraka yang menyengsarakan dan kegoncangan yang keras.
Kemudian berujung dengan mendapatkan kemurkaan dan Azab Allah di akhir
perjalanan hidupnya.
Tujuan utama Q.S. Āli Imrān ayat 190-191 ini adalah pembuktian
tentang tauhid, keesaan dan kekuasaan Allah Swt. Hukum-hukum alam yang
melahirkan kebiasaan-kebiasaan pada hakikatnya ditetapkan dan diatur oleh

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 3
Allah. Hal ini ditegaskan pada ayat ini dan ayat yang sesudahnya. Salah satu
bukti kebenaran hal tersebut adalah undangan kepada manusia untuk berpikir,
karena sesungguhnya dalam penciptaan, yakni kejadian benda-benda angkasa
seperti matahari, bulan dan jutaan gugusan bintang-bintang yang terdapat di
langit, atau dalam pengaturan sistem kerja langit yang sangat teliti serta
kejadian dan perputaran bumi pada porosnya yang melahirkan silih
bergantinya malam dan siang, perbedaannya baik dalam masa maupun
panjang dan pendeknya terdapat tanda-tanda kemaha kuasaan Allah bagi ulul
albāb yaitu orang-orang yang memiliki akal yang murni. Dan orang-orang
yang seperti ini apabila berfikir dan merenungkan tentang fenomena alam
raya akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan
kuasaan Allah Swt.
Berfikir di sini adalah seperti yang digambarkan dalam tafsir Ibnu
Katsir yang menafsiri ayat : ‫ ويتفكرون في خلق السموات‬sebagai berikut :
‫اي يفهمون ما فيها من الحكم الدالةعلى عظمة الخالق وقدرته وعلمه وحكمته‬
‫واختياره ورحمته‬
“Yaitu berusaha untuk memahami segala sesuatu yang ada di antara langit
dan bumi dan beberapa hikmah yang menunjukkan keagungan Sang
Pencipta dan ke-Maha Kuasa-Nya, pengetahuan dan hikmah-hikmah-Nya,
serta ikhtiar dan rahmat-Nya.”
Allah sangat mencela orang-orang yang tidak bisa mengambil
pelajaran dari para makhluk yang menunjukkan atas dzat-Nya, sifat-sifat-
Nya, syari’at-Nya, ke-Maha Kuasaan-Nya dan tanda-tanda kebesaran-Nya.
Dalam Q.S. Yusuf/ 12: 105-106 Allah Swt. berfirman:

Artinya: Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di


bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya Dan
sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam
keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).

3. Asbābun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)


Sebab turunnya Q.S. Āli Imrān: 190-191 dijelaskan dalam suatu
riwayat bahwa orang kafir Quraisy datang kepada orang Yahudi untuk
bertanya: ”Mukjizat apakah yang dibawa Musa kepada kalian ?”. Mereka
menjawab: ”Tongkat dan tangannya terlihat putih bercahaya”. Kemudian
mereka bertanya kepada kaum Nasrani: “Mukjizat apa yang dibawa Isa
kepada kalian ?”. Mereka menjawab: ” Ia dapat menyembuhkan orang yang
berpenyakit sopak dan menghidupkan orang mati”. Kemudian mereka
menghadap Nabi saw. dan berkata: ” Hai Muhammad, coba berdo’alah
engkau kepada Rabb-mu agar bukit Shafa ini dijadikan emas”. Lalu Nabi
saw. berdo’a dan turunlah ayat tesebut di atas (Q.S. Āli Imrān/3:190) sebagai
petunjuk untuk memperhatikan apa yang telah ada, yang akan lebih besar

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 4
manfaatnya bagi orang yang menggunakan akal. Diriwayatkan oleh ath-
Thabrani dan Ibnu Abi Hatim yang bersember dari Ibnu Abbas.
Sedangkan Syekh Showi al-Maliki di dalam kitab Al-Hasyiyah
al-‘allamah al-Showi ‘ala Tafsir al-Jalalain, menerangkan sebagai berikut:
‫دل على ان هللا‬dd‫ة ت‬d‫ا بآي‬dd‫ ائتن‬: d‫لم‬d‫ه وس‬d‫لى هللا علي‬d‫سبب نزولها ان كفار مكة قالوا للنبي ص‬
)‫واحد فقال لهم ردا عليهم إن في خلق السموات واالرض (االيات‬
“Sebab turunnya ayat tersebut ialah sesungguhnya orang kafir Mekkah
datang kepada Nabi saw. dan berkata :” Datangkanlah kepada kami tanda-
tanda yang menunjukkan bahwa Allah itu Maha Esa”. Maka Allah befirman:
”Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi … Q.S. Āli Imrān/3:
190.

4. Penjelasan Tafsir Ayat (Menurut Mufassir)

a. Tafsîr Ibnu Katsîr


Dalam kitabnya Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, Imam Ibn Katsir
menjelaskan bahwa ayat ini merupakan penutup surat Ali Imran. Ini
antara lain terlihat pada uraian yang bersifat umum. Setelah dalam ayat-
ayat lalu mengurai hal-hal yang rinci, sebagaimana terbaca pada ayat 189
yang menegaskan kepemilikan Allah Swt. atas alam raya. Maka pada ayat
yang ke-190-191 Allah Swt. menguraikan sekelumit dari penciptaan-Nya,
serta memerintahkan agar memikirkannya.
Salah satu bukti kebenaran bahwa Allah merupakan Sang Pemilik atas
alam raya ini, dengan adanya undangan kepada manusia untuk berpikir,
karena sesungguhnya dalam penciptaan, yakni kejadian benda-benda
angkasa, seperti matahari, bulan dan jutaan gugusan bintang-bintang yang
terdapat di langit, atau dalam pengaturan sistem kerja langit yang sangat
teliti serta kejadian dan perputaran bumi pada porosnya yang melahirkan
silih bergantinya malam dan siang, perbedaannya baik dalam masa
maupun panjang dan pendeknya terdapat tanda-tanda kemahakuasaan
Allah bagi ulul albāb, yakni orang orang yang memiliki akal yang murni.
Kata (‫ )الباب‬al-bāb adalah bentuk jamak dari (‫ )لب‬lub yaitu “saripati”
sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi
kacang dinamai lub. Ulul albāb adalah orang-orang yang memiliki akal
yang murni, yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide yang
dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir. Orang yang merenungkan
tentang penomena alam raya akan dapat sampai kepada bukti yang sangat
nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah Swt.
Q.S. Āli Imrān/3:190-191 ini mirip dengan ayat 164 surat al-Baqarah,
hanya saja di sana disebutkan delapan macam ayat-ayat Allah, sedangkan
di sini hanya tiga. Bagi kalangan sufi, pengurangan ini disebabkan karena
memang pada tahap-tahap awal, seorang salik yang berjalan menuju
Allah membutuhkan banyak argumen akliyah. Akan tetapi, setelah
melalui beberapa tahap, yakni ketika kalbu telah memperolah pencerahan,
maka kebutuhan akan argumen aqliyah semakin berkurang, bahkan dapat
menjadi halangan bagi kalbu untuk terjun ke samudra ma’rifat.
Selanjutnya, kalau bukti-bukti yang disebutkan di sana adalah hal-hal

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 5
yang terdapat di langit dan di bumi, maka penekanannya di sini adalah
pada bukti-bukti yang terbentang di langit. Ini karena bukti-bukti di langit
lebih menggugah hati dan pikiran, serta lebih cepat mengantar seseorang
meraih rasa keagungan Ilahi.
Di sisi lain, ayat 164 al-Baqarah ditutup dengan menyatakan bahwa
yang demikian itu merupakan “tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal” (‫ون‬77‫وم يعقل‬77‫ )اليت لق‬la āyatin liqaumin ya’qilūn, sedangkan pada
ayat ini, karena mereka telah berada pada tahap yang lebih tinggi dan juga
telah mencapai kemurnian akal, maka sangat wajar ayat ini ditutup
dengan (‫ )اليت اللي االلباب‬la āyatin liulil albāb.
Sejumlah riwayat menyatakan bahwa rasul Saw. seringkali membaca
ayat ini dan ayat-ayat berikutnya saat beliau bangun shalat tahajud di
malam hari. Imam bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata
bahwa, “Suatu malam aku tidur di rumah bibiku, Maemunah. Rasul Saw.
berbincang-bincang dengan keluarga beliau, beberapa saat kemudian
pada sepertiga malam terakhir beliau bangkit dari pembaringan dan
duduk memandang ke arah langit sambil membaca ayat ini lalu beliau
berwudlu,. Dan shalat sebelas rakaat. Kemudian adzan subuh, maka
belau shalat dua rakaat, lalu menuju ke mesjid untuk mengimami
jama’ah shalat subuh.”
Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan melalui Atha bahwa, “Suatu
ketika ia bersama rekannya, mengunjungi Aisyah ra. istri Nabi saw.,
untuk bertanya tentang peristiwa apa yang paling mengesankan beliau
dari rasul saw. Aisyah menangis sambil berkata: “Semua yang beliau
lakukan mengesankan kalau hanya menyebut satu, maka satu malam,
yakni di malam giliran beliau tidur berdampingan denganku, kulitnya
menyentuh kulitku lalu beliau bersabda,”wahai aisyah, izinkanlah aku
beribadah kepada Tuhanku” dan aku berkata berkata, “demi Allah, aku
senang berada disampingmu, tetapi aku senang juga engkau beribadah
kepada Tuhan.” Maka beliau pergi berwudhu, tidak banyak air yang
beliau gunakan lalu berdiri melaksanakan shalat dan menangis hingga
membasahi jenggot beliau lalu sujud dan menangis hingga membasahi
lantai, lalu berbaring dan menangis. Setelah itu bilal datang untuk adzan
subuh bilal bertanya kepada rasul tentang apa gerangan yang membuat
beliau menangis sedang Allah telah mengampuni dosanya yang lalu dan
yang akan datang. Rasul saw. menjawab, “aduhai bilal, apa yang dapat
membendung tangisku sedang semalam Allah telah menurunkan ayat,
“inna fil khalkissama waati.., sungguh celaka siapa yang membaca tapi
tidak memikirkannya” .

Pada ujung ayat, lanjut Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini
(Maha suci Engkau ! maka peliharalah kiranya kami dari azab neraka)
kita memohon ampun kepada Tuhan dan memohon agar dihindarkan dari
siksa neraka dengan upaya dan kekuatan-Mu serta mudahkanlah kami
dalam melakukan amal yang diridhai Engkau juga lindungilah kami dari
azab-Mu yang pedih.

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 6
b. Tafsir Jalālain
Di dalam Tafsir Jalālain karangan Jalaluddin as-Suyuti dan
Jamaluddin Muhammad Ibnu Ahmad al-Mahalli ayat di atas diterangkan
dengan“ (Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi) dan keajaiban-
keajaiban yang terdapat pada keduanya (serta pergantian malam dan
siang) dengan datang dan pergi serta bertambah dan berkurang menjadi
tanda - tanda atau bukti - bukti atas kekuasaan Allah Swt. (bagi orang-
orang yang berakal) artinya yang mempergunakan akal pikiran mereka”.
Pada Surat Āli `Imrān ayat 190 Allah Swt. mengajak manusia agar
mau belajar di antaranya dengan mempelajari media visual ciptaan-Nya
yaitu penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam menjadi
siang dikarenakan terdapat ilmu yang hanya dapat dipahamai oleh Sang
Pencerah: Sosok Manusia Pembelajar yang telah dijuluki oleh Allah Swt.
dengan ulul albāb. Dalam literatur al-Qur`an dan Tafsirnya Jilid 2
disebutkan bahwa ulul albāb adalah orang yang mau menggunakan
pikirannya untuk merenung atau menganalisis fenomena alam akan dapat
sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan
Tuhan. Secara jelas manusia ulul albāb merupakan manusia yang
mendayagunakan pikiran murni lagi mendalam melalui perenungan serta
kemampuannya dalam menganalisis fenomena – fenomena alam sehingga
dia akan mengetahui secara ilmiah serta sebagai bukti bahwa Allah Swt.
itu ada sebagai penguasa alam raya tunggal.
Seringkali manusia ulul albāb dijuluki dengan “cendekiawan”
disebabkan adanya persamaan makna harfiah dalam hal pemurnian akal
dalam merenung dan memahami sesuatu. Sebagaimana dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia “cendekiawan” yaitu orang yang memiliki sikap
hidup yang terus–menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk
dapat mengetahui atau memahami sesuatu.
Sementara ayat 191 surat Āli-Imrān, menurut Tafsir Jalālain yaitu
Allah Swt. berfirman: (Yakni orang-orang yang) menjadi 'na`at' atau
badal bagi yang sebelumnya (mengingat Allah Swt. di waktu berdiri dan
duduk dan ketika berbaring) artinya dalam keadaan bagaimanapun juga,
sedang menurut Ibnu Abbas mengerjakan salat dalam keadaan tersebut
sesuai dengan kemampuan (dan mereka memikirkan tentang kejadian
langit dan bumi) untuk menyimpulkan dalil melalui keduanya akan
kekuasaan Allah SWT, kata mereka: ("Wahai Tuhan kami! Tidaklah
Engkau ciptakan ini) maksudnya makhluk yang kami saksikan ini
(dengan sia-sia) menjadi hal sebaliknya semua ini menjadi bukti atas
kesempurnaan kekuasaan-Mu (Maha Suci Engkau) artinya tidak mungkin
Engkau akan berbuat sia-sia (maka lindungilah kami dari siksa neraka).
Ayat di atas menyebutkan ciri khas dari Ulul Albāb dikarenakan dia
memiliki keunggulan dibanding makhluk lain yaitu apabila dia
memperhatikan sesuatu, selalu memperoleh manfaat dan faedah, dia dapat
menangkap sinyal Kebesaran Allah Swt. melalui media alam sebagai
media Visual-Nya, dia selalu mengingat Allah Swt. di setiap saat dan

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 7
keadaan dengan diisi dan digunakan untuk mensyukuri nikmat  Allah
Swt. kepadanya yang kemudian diaplikasikan dengan selalu belajar dan
diakhiri dengan berdo`a kepada Allah Swt. sebagai pendekatan zikir salah
satu wujud ibadah kepada-Nya.

c. Tafsir Al-Marāghy
Menurut al-Maraghy, dalam ayat 190 menjelaskan bahwa
sesungguhnya dalam tatanan langit dan bumi serta keindahan perkiraan
dan keajaiban ciptaan-Nya juga dalam silih bergantinya siang dan malam
secara teratur sepanjang tahun yang dapat kita rasakan langsung
pengaruhnya pada tubuh kita dan cara berpikir kita karena pengaruh
panas matahari, dinginnya malam, dan pengaruhnya yang ada pada dunia
flora dan fauna merupakan tanda dan bukti yang menunjukkan keesaan
Allah, kesempurnaan pengetahuan dan kekuasaan-Nya.
Langit dan bumi dijadikan oleh Al-Khaliq tersusun dengan sangat
tertib. Bukan hanya semata dijadikan, tetapi setiap saat nampak hidup,
semua bergerak menurut aturan.
Silih bergantinya malam dan siang, besar pengaruhnya atas hidup kita
dan segala yang bernyawa. Kadang-kadang malam terasa panjang dan
sebaliknya. Musim pun silih berganti, musim dingin, panas, gugur, dan
semi. Demikian juga hujan dan panas, semua ini menjadi tanda-tanda
kebesaran dan keagungan Allah bagi orang yang berpikir. Bahwa tidaklah
semuanya terjadi dengan sendirinya. Pasti ada yang menciptakan yaitu
Allah Swt.

d. Tafsir Al-Azhār
Menurut Hamka dalam Tafsir “Al-Azhār” dan dikuatkan dengan Tafsir
Depag, bahwa orang-orang yang berzikir lagi berfikir mengatakan: "Ya
Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan makhluk ini semua, yaitu
langit dan bumi serta segala isinya dengan sia-sia, tidak mempunyai
hikmah yang mendalam dan tujuan yang tertentu yang akan
membahagiakan kami di dunia dan di akhirat, sebagaimana disebar
luaskan oleh sementara orang-orang yang ingin melihat dan menyaksikan
akidah dan tauhid kaum muslimin runtuh dan hancur. Maha Suci Engkau
Ya Allah dari segala sangkaan yang bukan bukan yang ditujukan kepada
Engkau. Karenanya, maka peliharalah kami dari siksa api neraka yang
telah disediakan bagi orang-rang yang tidak beriman. Ucapan ini adalah
lanjutan perasaan sesudah zikir dan pikir, yaitu tawakkal dan ridha,
berserah dan mengakui kelemahan diri.Sebab itu bertambah tinggi ilmu
seseorang, seyogyanya bertambah pula dia mengingat Allah. Sebagai
tanda pengakuan atas kelemahan diri itu, dihadapan kebesaran Tuhan.

e. Tafsir Al-Mishbah
M. Quraish Shihab menjelaskan dalam Karyanya “Tafsir Al-
Mishbah” ayat ini mirip dengan ayat 164 surah al-Baqarah. Hanya saja di
sana disebutkan delapan macam ayat-ayat Allah, sedang di sini hanya
tiga. Buat kalangan sufi, pengurangan ini disebabkan memang pada

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 8
tahap-tahap awal seorang salik yang berjalan menuju Allah membutuhkan
banyak argumen akliah, tetapi setelah melalui beberapa tahap. Ketika
kalbu telah memperoleh kecerahan, kebutuhan akan argumen akliah
semakin berkurang, bahkan dapat menjadi penghalang bagi kalbu untuk
terjun ke dunia makrifat. Selanjutnya, kalau di sana bukti-bukti yang
disebutkan adalah hal-hal yang terdapat di langit dan bumi, di sini
penekannya pada bukti-bukti yang terbentang di langit. Ini karena bukti-
bukti tersebut lebih menggugah hati dan pikiran, dan lebih cepat
mengantar meraih rasa keagungan Ilahi
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini dan
ayat-ayat selanjutnya menjelaskan sebagian dari ciri-ciri orang yang
dinamai ulul albab yang telah disebutkan pada ayat yang lalu. Mereka
adalah orang-orang baik laki-laki maupun perempuan yang terus
mengingat Allah dengan ucapan atau hati, dan dalam seluruh situasi dan
kondisi, saat bekerja sambil berdiri atau duduk atau keadaan berbaring
atau bagaimanapun, dan mereka memikirkan tentang penciptaan yakni
kejadian dan sistem kerja langit dan bumi, dan setelah itu berkata sebagai
kesimpulan; Tuhan kami tiadalah engkau menciptakan alam raya dan
segala isinya ini dengan sia-sia tanpa tujuan yang hak. Apa yang kami
alami, atau dengar dari keburukan atau kekurangan, Maha Suci Engkau
dari semua itu. Itu adalah ulah atau dosa dan kekurangan kami yang dapat
menjerumuskan kami kedalam siksa neraka, maka peliharalah kami dari
siksa neraka. Karena, Tuhan kami “Kami tahu dan sangat yakin bahwa
sesungguhnya siapa yang engkau masukkan ke dalam neraka, maka
sungguh telah engkau hinakan ia dengan mempermalukannnya di hari
kemudian sebagai seorang serta menyiksanya dengan siksa yang pedih.
Tidak ada satupun yang dapat membelanya, dan tidak ada bagi orang-
orang yang dzalim. Siapapun ia, satu penolongpun”.

Menurut M. Quraish Shihab, objek zikir adalah Allah, sedang


objek pikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam. Ini
berarti bahwa pengenalan kepada Allah lebih banyak dilakukan oleh
kalbu. Sedangkan pengenalan alam raya didasarkan pada penggunaan
alam, yakni berpikir. Akal memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk
memikirkan fenomena alam, tetapi ia memiliki keterbatasan dalam
memikirkan Dzat Allah. Hal ini dipahami dari sabda Rasullah Saw. yang
diriwayatkan oleh Abu Nu’aim melalui Ibnu Abbas: “Berpikirlah tentang
makhluk Allah dan jangan berpikir tentang Allah“.
Manusia yang membaca lembaran alam raya niscaya akan
mendapatkan Allah sebelum manusia mengenal peradaban mereka yang
menempuh jalan ini telah menemukan kekuatan itu (Allah Swt). Walau
nama yang disandangkan untuknya bermacam-macam seperti; Penggerak
Pertama, Yang Maha Mutlak, Pencipta Alam, Kehendak Mutlak, Yang
Maha Kuasa, dan sebagainya. Bahkan seandainya mata tidak mampu
membaca lembaran alam raya, maka mata hati dan cahayanya akan
menemukannya karena memandang atau mengenal Tuhan ada dalam
jangakauan kemampuan manusia melalui lubuk hatinya. Bahkan, bila

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 9
manusia mendengar suara nuraninya dengan “telinga terbuka” pasti ia
akan mendengar “suara Tuhan” yang menyerunya ini disebabkan karena
kehadiran Allah dan keyakinan akan keesaannya, adalah fitrah yang
menyertai jiwa manusia.
Fitrah itu tidak bisa dipisahkan dari manusia meskipun mungkin
tingkatannya berbeda sekali waktu pada seseorang ia sedemikian kuat,
terang cahayanya melebihi sinar matahari dan pada saat yang lain atau
pada orang lain ia begitu lemah dan redup. Namun demikian sumbernya
tidak lenyap, akarnya pun mustahil tercabut.
Suatu ketika menjelang ruh manusia dicabut dari tubuhnya, fitrah
keagamaan itu muncul sedimikian kuat dan jelas. “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu tidak ada
perubahan pada fitrah Allah (itulah ) agama yang lurus; tetapi
kabanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Fāthir/35: 30).
Seandainya manusia merasa puas dengan perasaan atau informasi
jiwa dan intuisinya dalam mencari dan berkenalan dengan Tuhan, niscaya
banyak jalan yang dapat disingkirkannya tetapi manusia tidak semuanya
mampu berbuat demikian. Banyak juga orang yang menempuh jalan yang
berliku-liku, memasuki lorong-lorong yang sempit untuk melayani rayuan
akal yang sering mengajukan aneka pertanyaan “ilmiah” sambil
mendesak untuk memperoleh jawaban yang memuaskan nalar.
Bagi yang puas degan informasi intuisi, ia akan merasakan
ketenangan dan kedamaian bersama kekuatan yang Maha Agung,
siapapun yang diyakininya tanpa mendiskusikan apakah pengenalan
mereka benar apa keliru.
Islam tidak menolak melayani desakan akal atau dorongan nalar.
Bukankah telah beragam argumen akliyah yang dipaparkan bersamaan
dengan sentuhan-sentuhan rasa guna membuktikan keesaanNya?
Bukankah al-Qur’an menguji ulul albab yang berzikir dan berpikir
tentang kejadian langit dan bumi? Bukankah dia telah memerintahkan
untuk memandang alam dan fenomenanya dengan pandangan nadzar atau
nalar serta memikirkannya? Bukankah bukti-bukti kehadirannya
dipaparkan sedemikian jelas melalui berbagai pendekatan? Tetapi sekali
lagi akal manusia sering kali tidak puas hanya sampai pada titik di mana
wujudnya terbukti akal manusia sering kali mengenal dzat dan
hakikatnya, bahkan ingin melihatnya dengan mata kepala, seakan-akan
Tuhan adalah sesuatu yang dapat terjangkau oleh panca indra.
Oleh karena itu, di sinilah letak kesalahan bahkan letak bahaya.
Karena inilah banyak pemikir jatuh tersungkur ketika mereka menuntut
kehadiranNya melebihi kehadiran bukti-bukti wujudnya seperti kehadiran
alam raya dan keteraturanya bahkan di sanalah bergelimangan korban
orang-orang yang tidak puas dengan pengenalan rasa atau yang mendesak
meraih pengetahuan tentang Tuhan melebihkan informasi Tuhan sendiri
seandainya mereka menempuh cara yang mereka gunakan ketika merasa
takut kepada harimau, tanpa melihat wujudnya cukup dengan mendengar
raungnya. Atau seandainya mereka berinteraksi dengan Tuhan

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 10
sebagaimana berinteraksi dengan matahari mendapatkan kemanfaatan dan
kehangatan cahayanya tanpa harus mengenal hakekatnya, maka banyak
daya dan waktu yang dapat digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat tapi
sekali lagi tidak semua manusia sama.

Di atas telah dijelaskan makna firman-Nya, rabbanā mā khalakta


hādzā bāthilan / Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, bahwa ia adalah sebagai natijah dan kesimpulan upaya zikir dan
pikir. Dapat juga dipahami zikir dan pikir tersebut mereka lakukan sambil
membayangkan dalam benak mereka bahwa alam raya tidak diciptakan
Allah sia-sia.
Penggalan ayat tersebut dipahami juga sebagai bagian dari ucapan
mereka dengan ucapan: sesungguhnya siapa yang Engkau masukkan ke
dalam neraka… dan seterusnya, sehingga berarti bahwa mereka berzikir
dan berpikir seraya berkata Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Memang pendapat ini dapat dibantah dengan menyatakan:
“Bukankah ulul albab itu banyak sehingga bagaimana mungkin mereka
sepakat mengucapkan kata itu?” keberatan ini ditampak oleh pendukung
pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa ucapan itu mereka tiru atau
diajarkan oleh Rasulullah saw.
M. Quraish Shihab memahami kalimat tersebut sebagai hasil zikir
dan pikir, dengan demikian ia tidak dapat dihadang oleh keberatan di atas.
Di sisi lain, hasil itu akan sangat serasi dengan permohonan mereka
selanjutnya. Yakni karena semua makhluk tidak diciptakn sia-sia, karena
ada makhluk yang baik dan yang jahat, ada yang durhaka dan ada pula
yang taat, di mana tentu saja yang durhaka akan dihukum maka mereka
memohon perlindungan dari siksa neraka mereka selanjutnya berusaha
untuk menjadi makhluk yang baik dan taat.
Ayat di atas mendahulukan zikir atas pikir karena zikir mengingat
Allah dan menyebut nama-nama dan keagungannya. Hati akan menjadi
tenang dengan ketenangan pikiran akan menjadi cerah bahkan siap untuk
memperoleh limpahan ilham dan bimbingan Ilahi.
Didahulukannya kata “subhānaka” yang diterjemahkan sebagai
“Maha Suci Engkau“, atas permohonan terpelihara dari siksa neraka.
Mengajarkan bagaimana seharusnya bermohon, yaitu mendahulukan
pensucian Allah dari segala kekurangan dengan memujinya sebelum
mengajukan permohonan. Hal ini dimaksudkan agar si pemohon
menyadari nikmat Allah yang telah melimpah kepadanya sebelum adanya
permohonan sekaligus untuk menampik segala perasangka ketidakadilan
dan kekurangan terhadap Allah apabila ternyata permohonan belum
diperkenankannya.
Ayat di atas juga menunjukan bahwa semakin banyak hasil yang
diperoleh dari zikir dan pikir dan semakin luas pengetahuan tentang alam
raya akan semakin dalam pula rasa takut kepadanya, hal ini antara lain
tercemin pada permohonan untuk dihindarkan dari siksa neraka. Seperti
firman-Nya: “sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-
hamba-Nya hanyalah para ulama/ cendekiawan “(Q.S. Fāthir/35 : 28).

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 11
f. Kesimpulan dari Penafsiran Mufassir
Salah satu cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah
adalah dengan membaca dan merenungkan ayat-ayat-Nya yang
terbentang di alam semesta . Dalam ayat ini, Allah menyuruh manusia
untuk merenungkan alam, segala yang ada di langit maupun yang ada di
bumi.
Orang yang melihat dan memikirkan hal itu, akan meninjau
menurut bakat dan pikirannya masing-masing. Apakah dia seorang ahli
ilmu alam, ahli ilmu bintang, ahli ilmu tanaman, ahli ilmu pertambangan,
seorang filosof, ataupun penyair dan seniman. Semuanya akan terpesona
oleh susunan tabir alam yang luar biasa. Terasa kecil diri di hadapan
kebesaran alam, terasa kecil alam di hadapan kebesaran Penciptanya.
Akhirnya tak ada arti diri, tak ada arti alam, yang ada hanyalah Dia, Yang
Maha Pencipta. Di akhir ayat 190, manusia yang mampu melihat alam
sebagai tanda-tanda kebesaran dan keagungan-Nya, Allah sebut sebagai
ulul albāb (orang-orang yang berpikir).
Dalam QS. Ali Imran ayat 191, diterangkan karakteristik ulul
albāb, yaitu selalu melakukan aktivitas zikir dan fikir sebagai metode
memahami alam, baik yang ghaib maupun yang nyata.
Zikir, secara bahasa berasal dari kata dzakara , tadzakkara, yang
artinya menyebut, menjaga, mengingat-ingat. Secara istilah zikir artinya
tidak pernah melepaskan Allah dari ingatannya ketika beraktifitas. Baik
ketika duduk, berdiri, maupun berbaring. Ketiga hal itu mewakili aktifitas
manusia dalam hidupnya. Jadi,zikir merupakan aktivitas yang harus selalu
dilakukan dalam kehidupan. Zikir dapat dilkukan dengan hati,lisan,
maupun perbuatan. Zikir dengan hati artinya kalbu manusia harus selalu
bertaubat kepada Allah, disebabkan adanya cinta, takut, dan harap
kepada-Nya yang berhimpun di hati (Qolbudz Dzakir). Dari sini tumbuh
keimanan yang kokoh, kuat dan mengakar di hati. Zikir dengan lisan
berarti menyebut nama Allah dengan lisan. Misalnya saat mendapatkan
nikmat mengucapkan hamdalah. Ketika memulai suatu pekerjaan
mengucapkan basmalah. Ketika takjub mengucapkan tasbih. Zikir dengan
perbuatan berarti memfungsikan seluruh anggota badan dalam kegiatan
yang sesuai dengan aturan Allah.
Fikir, secara bahasa adalah fakara, tafakkara yang artinya
memikirkan, mengingatkan, teringat. Dalam hal ini berpikir berarti
memikirkan proses kejadian alam semesta dan berbagai fenomena yang
ada di dalamnya sehingga mendapatkan manfaat daripadanya dan teringat
atau mengingatkan kita kepada sang Pencipta alam, Allah Swt.
Dengan zikir manusia akan memahami secara jelas petunjuk
Ilahiyah yang tersirat maupun yang tersurat dalam al-Qur’an maupun as-
sunnah sebagai minhajul hayah (pedoman hidup). Dengan fikir, manusia
mampu menggali berbagai potensi yang terhampar dan terkandung pada
alam semesta. Aktivitas zikir dan fikir tersebut harus dilakukan secara
seimbang dan sinergis (saling berkaitan dan mengisi). Sebab jika hanya

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 12
melakukan aktivitas fikir, hidup manusia akan tenggelam dalam
kesesatan. Jika hanya melakukan aktivitas zikir, manusia akan terjerumus
dalam hidup jumud (tidak berkembang, statis). Sedangkan, jika
melakukan aktivitas zikir dan fikir tetapi masing-masing terpisah,
dikhawatirkan manusia akan menjadi sekuler.
Bagi ulul albāb, kedua aktivitas itu akan berakhir pada beberapa
kesimpulan, yaitu: (1) Allah dengan segala kebesaran dan keagungan-Nya
adalah Pencipta alam semesta termasuk manusia. (2) Tiada yang sia-sia
dalam penciptaan alam. Semua mengandung nilai-nilai dan manfaat,
yakni: (a) mensucikan Allah dengan bertasbih dan bertahmid memuji-
Nya. (b) menumbuhkan ketundukan dan rasa takut kepada Allah dan hari
Akhir.

g. Nilai Pendidikan dan Ibrah yang dapat diambil dari Q.S. Āli-Imrān/3:
190-191

Pada ayat tersebut bahwa orang yang berakal (ulul albāb) adalah
orang yang melakukan dua hal yaitu tazakkur yakni mengingat (Allah),
dan tafakkur, memikirkan (ciptaan Allah). Sementara Imam Abi al-Fida
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ulul albāb adalah “al-‘uqul al-
tamm al-zakiyah al-latī tudrak al-asy-ya ‘alā jalyatiha wa laisa ka al-
shamm al-bukm al-ladzīna lā ya’qilūn” yaitu  “orang-orang yang
akalnya sempurna dan bersih yang dengannya dapat ditemukan berbagai
keistimewaan dan keagungan mengenai sesuatu, tidak  seperti orang
yang buta dan gagu yang tidak bisa berfikir”.
Dengan adanya fenomena yang ada di dunia ini akan membawa
orang-orang yang berakal yang memikirkannya akan menyadari
keagungan Allah Swt. Melalui upaya inilah manusia dapat mencapai
kebahagiaan dan keselamatan hidup.
Selanjutnya melalui pemahaman yang dilakukan para mufassir
terhadap ayat tersebut di atas akan dapat dijumpai peran dan fungsi akal
tersebut secara lebih luas lagi. Semua itu menjadi obyek atau sasaran di
mana akal memikirkan dan mengingatnya. Tegasnya bahwa di dalam
penciptaan langit dan bumi serta keindahan ketentuan dan keistimewaan
penciptaannya, serta adanya pergantian siang dan malam serta
berjalannya waktu detik per-detik sepanjang tahun, yang pengaruhnya
tampak pada perubahan fisik dan kecerdasan yang disebabkan pengaruh
panasnya matahari dan dinginnya malam, serta pengaruhnya pada
binatang dan tumbuh-tumbuhan dan sebagainya adalah menunjukkan
bukti keesaan Allah dan kesempurnaan ilmu dan kekuasaan-Nya.

Nilai-nilai pendidikan yang dapat diaplikasikan, di antaranya:


1) Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
2) Akal manusia hendaknya digunakan untuk memikirkan, menganalisa,
dan menafsirkan segala ciptaan Allah.

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 13
3) Dalam belajar tidak diperbolehkan memikirkan Dzat Allah, karena
manusia mempunyai keterbatasan dalam hal tersebut dan
dikhawatirkan akan terjerumus dalam berpikir yang tidak  sesuai.
4) Jika seseorang memiliki renungan (fikir dan zikir), ia memiliki
pelajaran dalam segala perkara.
5) Hendaknya manusia mempercayai bahwa semua penciptaan Alah
tidak ada yang sia-sia.

B. Kajian Surat Āli-Imrān/3: 159

Selama ini diskusi mengenai Islam dan demokrasi umumnya berkisar


pada masalah-masalah apakah demokrasi sesuai dengan Islam atau tidak. Apakah
demokrasi kaitannya dengan kekuasaan, atau bersikap demokratis dalam semua
aktivitas kehidupan. Diskusi ini menggiring opini menuju pada penentuan
hukum boleh tidaknya demokrasi diamalkan oleh umat Islam. Jika boleh berarti
ada kesepadanan atau minimal ada irisan yang bisa diterima antara demokrasi
dengan Islam. Jika tidak, berarti demokrasi dianggap sesuatu yang sama sekali
tidak ekuivalen dengan Islam.
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang menganjurkan pada umat Islam
untuk bersikap demokratis dalam aktivitas yang dibenarkan secara syar’i
misalanya memiliki sikap lemah lembut, pemaaf, dan bermusyawarah dalam
segala uusan. Salah satu ayat tersebut adalah Q.S. Āli Imrān/3 159 yang akan
dibahas secara luas berikut ini:
1. Teks Ayat dan Terjemahnya

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah


lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
Maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakal kepada-Nya” (Q.S. Āli-Imrān /3: 159).

2. Penjelasan Umum Ayat


Salah satu yang menjadi penekanan pokok ayat ini adalah perintah
untuk melakukan musyawarah. Ini penting karena petaka yang terjadi di
Uhud didahului oleh musyawarah dan disetujui oleh mayoritas. Kendati
demikian, hasilnya sebagaimana yang telah dikatahui, adalah kegagalan.

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 14
Hasil ini boleh jadi mengantar seseorang untuk berkesimpulan bahwa
musyawarah tidak perlu diadakan. Apalagi bagi Rasul saw. Nah, karena itu,
ayat ini dipahami sebagai pesan untuk melakukan musyawarah. Kesalahan
yang dilakukan setelah musyawarah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan
tanpa musyawarah, dan kebenaran yang diraih sendirian, tidak sebaik
kebenaran yang diraih bersama.
Pada surat Āli ‘Imrān ayat 159 dari segi redaksional ditujukan kepada
Nabi Muhammad Saw., agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu
dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, yang akan dijelaskan
lebih jauh, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap muslim,
khususnya kepada setiap pemimpin/manajer, agar bermusyawarah dalam
mengambil suatu keputusan dengan anggotanya atau bawahannya. Dalam
ayat itu juga dijelaskan sikap apa dan langkah-langkah kongkrit yang harus
dilakukan ketika mengambil keputusan.

3. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)


Sebab–sebab turunya Q.S. Āli-Imrān /3: 159 adalah sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Ibnu Abbas ra menjelaskan bahwasanya
setelah terjadinya perang Badar, Rasulullah mengadakan musyawarah dengan
Abu Bakar  ra dan Umar bin Khaththab ra untuk meminta pendapat meraka
tentang para tawanan perang. Abu Bakar ra berpendapat, meraka sebaiknya
dikembalikan kepada keluarganya dan keluarganya membayar tebusan.
Namun, Umar ra berpendapat mereka sebaiknya dibunuh. Yang diperintah
membunuh adalah keluarganya. Rasulullah kesulitan dalam memutuskan.
Kemudian turunlah ayat ini sebagai dukungan atas Abu Bakar ra. (H.R.
Kalabi).

4. Penjelasan Tafsir Ayat

a. Tafsir al-Qurthuby
Al-Qurthuby menjelaskan bahwa ayat ini mengandung hal-hal sebagai
berikut:
Pertama: Para ulama berkata, “Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi-
Nya dengan perintah-perintah ini secara berangsur-angsur. Artinya, Allah
Swt. memerintahkan kepada beliau untuk memaafkan mereka atas
kesalahan mereka terhadap beliau. Setelah mereka mendapat maaf, Allah
Swt. memerintahkan beliau untuk memintakan ampun atas kesalahan
mereka terhadap Allah Swt. Setelah mereka mendapat hal ini, maka
mereka pantas untuk diajak bermusyawarah dalam segala perkara”.
Kedua: Ibnu ‘Athiyah berkata, “Musyawarah termasuk salah satu kaidah
syariat dan penetapan hukum-hukum. Barangsiapa yang tidak
bermusyawarah dengan ulama, maka wajib diberhentikan (jika dia
seorang pemimpin). Tidak ada pertentangan tentang hal ini. Allah SWT
memuji orang-orang yang beriman karena mereka suka bermusyawarah
dengan firman Nya “sedang urusan mereka (diputuskan dengan
musyawarat antara mereka”

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 15
Ketiga: Firman Allah Swt.: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu”. Menunjukkan kebolehan ijtihad dalam semua perkara
dan menentukan perkiraan bersama yang didasari dengan wahyu. Sebab,
Allah  Swt. mengizinkan hal ini kepada Rasul-Nya. Para ulama berbeda
pendapat tentang makna perintah Allah Swt. kepada Nabi-Nya ntuk
bermusyawarah dengan para sahabat beliau.
Sekelompok ulama berkata, “Musyawarah yang dimaksudkan
adalah dalam hal taktik perang dan ketika berhadapan dengan musuh
untuk menenangkan hati mereka, meninggikan derajat mereka dan
menumbuhkan rasa cinta kepada agama mereka, sekalipun Allah Swt.
telah mencukupkan beliau dengan wahyu-Nya dari pendapat mereka”.
Kelompok lain berkata, “ Musyawarah yang dimaksudkan adalah
dalam hal yang tidak ada wahyu tentangnya,” pendapat ini diriwayatkan
dari Hasan Al Basri dan Dhahak. Mereka berkata, “Allah Swt. tidak
memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk bermusyawarah karena Dia
membutuhkan pendapat mereka, akan tetapi Dia hanya ingin
memberitahukan keutamaan yang ada di dalam musyawarah kepada
mereka dan agar umat beliau dapat menauladaninya.
Keempat: Tertera dalam tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah ra. Dia
berkata. “Rasulullah saw. bersabda, yang artinya: “Orang yang diajak
bermusyawarah adalah orang yang dapat dipercaya”. Para ulama berkata,
“Kriteria orang yang layak untuk diajak musyawarah dalam masalah
hukum adalah memiliki ilmu dan mengamalkan ajaran agama. Dan
kriteria ini jarang sekali ada kecuali pada orang yang berakal”. Hasan
berkata, “Tidaklah sempurna agama seseorang selama akalnya belum
sempurna”.
Maka apabila orang yang memenuhi kriteria di atas diajak untuk
bermusyawarah dan  dia bersungguh-sungguh dalam memberikan
pendapat namun pendapat yang disampaikannya keliru maka tidak ada
ganti rugi atasnya. Demikian yang dikatakan oleh Al Khaththabi dan
lainnya.
Kelima: Kriteria orang yang diajak bermusyawarah  dalam  masalah
kehidupan di masyarakat adalah memiliki akal, pengalaman dan santun
kepada orang yang mengajak bermusyawarah. Sebagian orang berkata,
“Bermusyawarahlah dengan orang yang memiliki pengalaman, sebab dia
akan memberikan pendapatnya kepadamu berdasarkan pengalaman
berharga yang pernah dialaminya dan kamu mendapatnya dengan cara
gratis”.
Keenam: Dalam musyawarah pasti ada perbedaan pendapat. Maka, orang
yang bermusyawarah harus memperhatikan perbedaan itu dan
memperhatikan pendapat yang paling dekat dengan kitabullah dan
sunnah, jika memungkinkan. Apabila Allah  Swt. telah menunjukkan
kepada sesuatu yang Dia kehendaki maka hendaklah orang yang
bermusyawarah menguatkan tekad untuk melaksanakannya sambil
bertawakal kepada-Nya, sebab inilah akhir ijtihad yang dikehendaki.
Dengan ini pula Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam ayat
ini.

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 16
Ketujuh: Firman Allah Swt.  “Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah”. Qatadah berkata,
“Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila telah membulatkan
tekad atas suatu perkara agar melaksanakannya sambil bertawakal kepada
Allah SWT, bukan tawakal kepada musyawarah mereka.
Kedelapan: Firman Allah Swt. “Maka bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-
Nya.”.
Tawakal artinya berpegang teguh kepada Allah Swt. sembari
menampakkan kelemahan. Para ulama berbeda pendapat tentang tawakal.
Suatu kelompok sufi berkata, “Tidak akan dapat melakukannya kecuali
orang yang hatinya tidak dicampuri oleh takut kepada selain Allah, baik
takut kepada binatang buas atau lainnya dan hingga dia meninggalkan
usaha mencari rezeki karena yakin dengan jaminan Allah Swt..”

b. Tafsīr Ibnu Katsīr


Menurut Ibnu Katsir, Mā  adalah Mā  Nakirah yang berada pada posisi
majrūr dengan sebab ba’, sedangkan Rahmatin adalah badalnya. Maka
makna ayat adalah ketika Rasulullah saw. bersikap lemah-lembut dengan
orang yang berpaling pada perang Uhud dan tidak bersikap kasar terhadap
mereka maka Allah Swt. menjelaskan bahwa beliau dapat melakukan itu
dengan sebab taufik-Nya kepada beliau.

c. Tafsir Al-Azhār
Prof. Hamka dalam tafsirnya “Al-Azhār” menjelaskan tentang Q.S. Āli-
Imrān ini, dalam ayat ini bertemulah pujian yang tinggi dari Allah
terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas
marah kepada ummatNya yang tengah dituntun dan dididiknya iman
mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalahan beberapa orang yang
meninggalkan tugasnya, karena laba akan harta itu, namun Rasulullah
tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka
dipimpin. Dalam ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian kepada
Rasul, bahwasanya sikap yang lemah lembut itu, ialah karena ke dalam
dirinya telah dimasukkan oleh Allah rahmat-Nya. Rasa rahmat, belas
kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau,
sehingga rahmat itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam
memimpin
Meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran–
pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam perang
Uhud sehingga menyebabkan kaum muslimin menderita, tetapi
Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan tidak marah terhadap
pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan ampunan dari
Allah untuk mereka. Andaikata Nabi Muhammad saw. bersikap keras,
berhati kasar tentulah mereka akan menjauhkan diri dari beliau.

d. Tafsir Al-Mishbah

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 17
M. Quraish Shihab di dalam Tafsirnya “al-Mishbah” menyatakan bahwa
ayat ini diberikan Allah kepada Nabi Muhammad untuk menuntun dan
membimbingnya, sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nabi kepada
kaum muslimin, khususnya mereka yang telah melakukan pelanggaran
dan kesalahan dalam perang uhud itu. Sebenarnya cukup banyak hal
dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung emosi manusia
untuk marah, namun demikian, cukup banyak pula bukti yang
menunjukan kelemah-lembutan Nabi saw. Beliau bermusyawarah dengan
mereka sebelum memutuskan perang, beliau menerima usulan mayoritas
mereka, walau beliau kurang berkenan, beliau tidak memaki daa
mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka,
tetapi hanya menegurnya dengan halus, dan lain-lain.
Lebih lanjut M. Quraih Shihab menjelaskan bahwa salah satu
yang menjadi penekanan pokok ayat ini adalah perintah untuk melakukan
musyawarah. Ini penting karena petaka yang terjadi di Uhud didahului
oleh musyawarah dan disetujui oleh mayoritas. Kendati demikian,
hasilnya sebagaimana yang telah dikatahui, adalah kegagalan. Hasil ini
boleh jadi mengantar seseorang untuk berkesimpulan bahwa musyawarah
tidak perlu diadakan. Apalagi bagi Rasul saw. Nah, karena itu, ayat ini
dipahami sebagai pesan untuk melakukan musyawarah. Kesalahan yang
dilakukan setelah musyawarah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan
tanpa musyawarah, dan kebenaran yang diraih sendirian, tidak sebaik
kebenaran yang diraih bersama.
Kata musyawarah, lanjut M. Quraish Shihab terambil dari kata
syawara yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang
lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala
sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk
pendapat). Kata musyawarah, pada dasarnya, hanya digunakan untuk hal-
hal yang baik, sejalan dengan makna dasar di atas.
Pada ayat ini, lebih jauh dijelaskan M. Quraish Shihab, tiga sifat
dan sikap secara berurutan disebut dan diperintahkan kepada Nabi
Muhammad saw. untuk beliau laksanakan sebelum bermusyawarah.
Penyebutan ketiga hal itu, dari segi konteks turunnya ayat, mempunyai
makna tersendiri yang berkaitan dengan perang Uhud. Namun, dari segi
pelaksanaan dan esensi musyawarah, ia perlu menghiasi diri Nabi saw.
dan setiap orang yang melakukan musyawarah. Setelah itu, disebutkan
satu sikap yang harus diambil setelah adanya hasil musyawarah dan
bulatnya tekad.
Pertama, adalah berlaku lemah lembut, tidak kasar, dan tidak
berhati keras. Hal ini berarti, sesorang yang melakukan musyawarah,
apalagi yang berada dalam posisi pemimpin, yang pertama ia harus
hindari ialah tutur kata yang kasar dan keras kepala, karena jika tidak,
mitra musyawarah akan bertebaran pergi.
Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. “Maaf”
secara harfiah berarti “menghapus”. Memaafkan adalah menghapus bekas
luka hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu
karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 18
hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati. Di sisi lain,
bermusyawarah harus menyiapkan mentalnya untuk selalu bersedia
memberi maaf.
Selanjutnya Quraish Shihab menjelaskan bahwa untuk mencapai
hasil terbaik dari hasil musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus
harmonis, itu sebabnya hal ketiga yang harus mengiringi musyawarah
adalah permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi. Pesan terakhir Ilahi
dalam konteks musyawarah adalah setelah musyawarah usai, yaitu
“apabila telah membulatkan tekad, [laksanakanlah] dan berserah dirilah
kepada Allah (tawakkal).

e. Kesimpulan Berdasarkan Penjelasan Mufassir dari Surah Āli-Imrān /3:


159
Kesimpulan isi atau kandungan surah Ali Imran ayat 159 tersebut
adalah merupakan penjelasan bahwa berkat adanya rahmat Allah Swt.
yang amat besar, Nabi Muhammad saw. merupakan sosok pribadi yang
berbudi luhur dan berakhlak mulia. Beliau tidak bersifat dan berperilaku
keras serta berhati kasar. Bahkan sebaliknya, beliau adalah orang yang
berhati lembut, dan berperilaku baik yang diridai Allah Swt. serta
mendatangkan berbagai manfaat bagi masyarakat. Selain itu, dalam
pergaulan Rasulullah saw. senantiasa member maaf kepada orang yang
telah berbuat salah, khususnya terhadap para sahabatnya yang telah
melakukan pelanggaran. Dalam perang Uhud Rasulullah saw. juga
memohonkan ampun pada Allah Swt. terhadap kesalahan mereka dan
bermusyawarah dalam hal-hal yang perlu dimusyawarahkan. Untuk
melaksanakan tekadnya, khususnya hasil musyawarah Rasulullah saw.
selalu bertawakal pada Allah Swt..
Mengacu kepada al-Qur’an surah Āli-Imrān/3: 159, maka di dalam
pergaulan hidup bermasyarakat, khususnya dalam bermusyawarah,
hendaknya diterapkan prinsip-prinsip umum sebagai berikut ini:
1) Melandasi musyawarah dengan hati yang bersih, tidak kasar, lemah
lembut, dan penuh kasih sayang.
2) Dalam bermusyawarah hendaknya bersikap dan berperilaku baik,
seperti: tidak berperilaku keras, dengan tutur kata yang sopan, saling
menghormati, dan saling menghargai, serta melakukan usaha-usaha
agar hasil musyawarah itu berguna.
3) Para peserta musyawarah hendaknya berlapang dada, bersedia
memberi maaf apabila dalam musyawarah itu terjadi perbedaan-
perbedaan pendapat, dan bahkan terlontar ucapan-ucapan yang
menyinggung perasaan, juga bersedia memohonkan ampun atas
kesalahan para peserta musyawarah, jika memang bersalah.
4) Hasil musyawarah yang telah disepakati bersama hendaknya
dilaksanakan dengan bertawakal kepada Allah Swt. Orang-orang yang
bertawakal tentu akan berusaha sekuat tenaga, diiringi dengan doa
kepada Allah Azza wajalla, sedangkan hasilnya diserahkan kepada
Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt. itu menyukai orang-orang yang
bertawakkal.

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 19
5) Suatu hal yang perlu disadari bahwa musyawarah yang diterapkan
dari mulai lembaga terendah yaitu keluarga, sampai dengan lembaga
tertinggi, yaitu MPR, hasilnya jangan sampai menyimpang dari ajaran
Allah Swt. dan Rasul-nya (al-Qur’an dan Hadis). Hal ini sesuai
dengan firman Allah Swt. yang artinya: “… Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada
Allah (al-Qur’an) dan rasul (Hadis).” (Q.S. An-Nisā/4: 59).
6) Hal lain yang perlu diperhatikan oleh setiap Muslim/Muslimah,
bahwa lapangan yang dimusyawarahkan terbatas pada masalah-
masalah kemasyarakatan, yang tidak ada petunjuknya secara tegas dan
jelas dalam al-Qur’an dan Hadis. Misalnya usaha mengatasi kesulitan
ekonomi dalam keluarga, masalah usaha mewujudkan keamanan dan
ketertiban dalam masyarakat, dan masalah menghilangkan kebodohan
dan kemiskinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (lihat Q.S
al-Ahzāb/33: 36

C. Hadis Terkait dengan Berpikir Kritis dan Demokratis

1. Hadits Pertama
ِ ‫اب‬
‫ فَ ِإ َّن‬،‫اهلل‬ ِ َ‫ص م نَظَ ر ىِف كِت‬ ِ ِ ِ ‫ٍ ِإ‬ َ َ‫مْيُ ْو ِن بِ ْن َم ْه َر ِان ق‬
َ ُ ْ ‫ َك ا َن َأبُ ْو بَ ْك ر َذا ُور َد َعلَْي ه اخْل‬:‫ال‬
‫اب َو َعلِ َم ِم ْن َر ُس ْو ُل‬ ِ َ‫ وِإ ْن مل ْي ُكن يِف الْ ِكت‬،‫بِه‬
ْ َ َ َ ‫ضى‬
ِ ِ ِ ‫وج َد فِي ِه م ا ي ْق‬
َ َ‫ض ى بِه َبْيَن ُه ْم ق‬ َ َ ْ ََ
ِ ‫لِك اَألم ر س نَّةُ قَض ى‬ ِ ‫اهلل ص لَّى اهلل‬ ِ
‫َأل‬
َ ‫َأعيَ اهُ َخ َر َج فَ َس‬ ْ ‫ فَ ِإ ْن‬.‫بِه‬ َ ُ ُ ْ َ َ‫ُعلَْي ه َو َس لَّ َم ىِف ذ‬ َ َ
‫ُعلَْي ِه‬َ ‫ص لَّى اهلل‬
ِ
َ ‫َأن َر ُس ْو ُل اهلل‬ َّ ‫ َف َه ْل َعلِ ْمتُ ْم‬،‫ َأتَ ايِن َك َذا َو َك َذا‬:‫ال‬ َ َ‫ َوق‬، َ ‫الْ ُم ْس لِ ِمنْي‬
ِ ‫الن َف ر ُكلُّهم ي ْذ ُكر ِمن رس و ُل‬ ِ ‫ِإ‬ ِ ٍ ‫وس لَّم قَض ى يِف َذلِك بَِق‬
‫اهلل‬ ْ ُ َ ْ ُ َ ْ ُ َ َّ ‫ض اء؟ َفُرمَّبَا ا ْجتَ َم َع لَْي ه‬ َ َ َ َ ََ
‫هلل الَّ ِذى َج َع َل فِْينَ ا َم ْن‬
ِ ‫ َفي ُق و ُل َأب و ب ْك ٍر اَحْل م ُد‬،‫ص لَّى اهلل ُعلَي ِه وس لَّم فِي ِه قَض اءا‬
َْ َ ُْ ْ َ ً َ ْ َ َ َ ْ َ َ
ِ ‫ِد فِي ِه س نَّةٌ ِمن رس و ُل‬
‫اهلل‬ ْ ُ َ ْ ُ ْ َ ‫َأعيَ اهُ َأ ْن جَي‬ ْ ‫ فَ ِإ ْن‬.‫ُعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬
َ ‫ص لَّى اهلل‬ َ ‫ظ َع ْن نَبِِّينَ ا‬ُ ‫حَيْ َف‬
ِ َّ ِ َ ‫صلَّى اهلل‬
ْ ‫ فَِإ َذا‬،‫استَ َش ُار ُه ْم‬
‫اجتَ َم َع َرْأيُ ُه ْم‬ ْ َ‫َّاس َوخيَ ُار ُه ْم ف‬
َ ‫س الن‬ ُ ‫ُعلَْيه َو َس ل َم مَجَ َع َرُؤ ْو‬ َ
‫)ر َواهُ ال دَّا ِر ِمى‬ ِِ ِ َّ‫ك َفع ل عم ر اب ِن اخلط‬ ِ ِ
َ   .‫اب م ْن َب ْع ده‬ ْ َ ْ ُ َ ُ َ َ َ ‫ َو َك َذل‬.‫ض ى بِه‬ َ َ‫َعلَى َْأم ٍر ق‬
(‫ادهُ ىِف ال َفْت ِح‬ُ َ‫ظ ِإ ْسن‬ ُ ِ‫ص َّح ُح احْلَاف‬ ِ
َ ‫َوالَْبْي َهقى َو‬
Artinya: “Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia mengisahkan: “Dahulu
Abu Bakar (As Shiddiq) bila datang kepadanya suatu permasalahan
(persengketaan), maka pertama yang ia lakukan ialah membaca Al-Qur’an
(mencari dalam kitabullah), bila ia mendapatkan padanya ayat yang dapat ia
gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia akan memutuskan berdasarkan
ayat itu. Bila ia tidak mendapatkannya di Al Qur’an, akan tetapi ia
mengetahui sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia
akan memutuskannya berdasarkan hadits tersebut. Bila ia tidak mengetahui

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 20
sunnah, maka ia akan menanyakannya kepada kaum muslimin, dan berkata
kepada mereka: ‘Sesungguhnya telah datang kepadaku permasalahan
demikian dan demikian, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memutuskan dalam permasalahan itu
dengan suatu keputusan?’ Kadang kala ada beberapa sahabat yang
semuanya menyebutkan suatu keputusan (sunnah) dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, sehingga Abu bakar berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang
telah menjadikan di antara kita orang-orang yang menghafal sunnah-sunnah
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Akan tetapi bila ia tidak
mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
maka ia mengumpulkan para pemuka dan orang-orang yang berilmu dari
masyarakat, lalu ia bermusyawarah dengan mereka. Bila mereka
menyepakati suatu pendapat (keputusan), maka ia akan memutuskan
dengannya. Dan demikian pula yang dilakukan oleh khalifah Umar bin
Khatthab sepeninggal beliau.” (Riwayat Ad Darimi No.161 dan Al Baihaqi,
dan Al Hafiz Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih).

2. Hadis Kedua
:‫ش َع ْن َعلِ ٍّي َر ِض َي اللَّهُ َعْن هُ ق اَ َل‬ ٍ ‫ح َّدثَنَا حس بن علِي عن َزاِئ َدةَ عن مِس‬
7

ٍ َ‫اك َع ْن َحن‬ َ َْ ْ َ ٍّ َ ُ ْ ُ ‫ُ َ نْي‬ َ


‫ض لِاْل ََّو ِل َحىَّت تَ ْس َم َع َكالَ َم‬ ِ ‫ك َر ُجالَ ِن فَالَ َت ْق‬ ِ ِ ِ
َ ‫اض ى الَْي‬ َ ‫م (ا َذا َت َق‬.‫ق اَ َل َر ُس ْو ُل اهلل ص‬
ِ ِ ِ
‫(ر َواهُ اَمْح َ ُد‬
َ .‫ت قَاض يًا َب ْع ُد‬ ُ ْ‫ فَ َم ا ِزل‬:‫ف َت ْقض ْي) قَ َال َعل ٌّي‬ َ ‫ف تَ ْد ِر ْي َكْي‬ َ ‫ فَ َس ْو‬,‫اآلخ ِر‬ َ
)‫ص َّح َحهُ ابْ ُن ِحبَّا َن‬ ُّ ‫َواَبُ ْو َد ُاو َد َوالت ِّْر ِم ِذ‬
َ ‫ َو َق َّواهُ ابْ ُن الْ َم ْديِيِن ِّ َو‬,ُ‫ي َو َح َّسنَه‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hushain bin Ali dari Zai`dah dari
Simak dari Hanasy dari Ali Radhiallah 'anhu ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah saw.: “Apabila dua orang minta keputusan kepadamu, maka
janganlah engkau menghukum bagi yang pertama sebelum engkau
mendengar perkataan orang yang kedua. Jika demikian engkau akan
mengetahui bagaimana engkau mesti menghukum”. ‘Ali berkata : Maka tetap
saya jadi hakim (yang layak) sesudah itu”. (H.R. Ahmad No.1148, Abu
Dawud dan Tirmidzi dan Ia hasankan-dia, dan dikuatkan-dia oleh Ibnul-
Madini dan dishahkan-dia oleh Ibnu Hibban).

3. Penjelasan Hadis
Telah diriwayatkan oleh Al-Hasan ra., bahwa Allah Swt. sebenarnya telah
mengetahui bahwa Nabi saw. sendiri tidak membutuhkan mereka (para
sahabat, dalam masalah ini). Tetapi, beliau bermaksud membuat suatu sunnah
untuk orang-orang sesudah beliau.  Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa
beliau pernah bersabda:
‫َما تُ َشا ِو ُر َق ْوٍم قط ِإال ُه ْد ًوا ِإىَل َر َش َد َْأم ُر ُه ْم‬

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 21
“Tidak satu kaum-pun yang selalu melakukan musyawarah melainkan akan
ditunjukkan jalan paling benar dalam perkara mereka.”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., “Aku belum pernah melihat seseorang
melakukan musyawarah selain Nabi saw.”
ِ ‫فَِإ َذا عزمت َفَتو َّكل علَى‬
‫اهلل‬ َ ْ َ َ ْ ََ
“Apabila hatimu telah bulat dalam melakukan sesuatu, setelah hal itu
dimusyawarahkan, serta dipertanggung jawabkan kebenarannya, maka
bertawakkallah kepada Allah.”

Serahkanlah sesuatu kepada-Nya, setelah mempersiapkan diri dan


memiliki sarana untuk meneliti sebab-sebab yang telah dijadikan Allah Swt.
untuk bisa mencapainya, didalam hadits ini, terkandung isyarat yang
menunjukkan wajibnya melaksanakan tekat apabila syarat-syaratnya telah
terpenuhi dan di antaranya melalui musyawarah dalam mengambil suatu
keputusan.
Rahasia yang terkandung dalam hal ini adalah, bahwa meralat hal-hal
yang sudah diputuskan merupakan kelemahan jiwa seseorang. Juga sebagai
kelemahan di dalam tabiatnya yang menjadikan yang bersangkutan itu tidak
bisa dipercayai lagi, perkataan maupun perbuatannya. Terlebih lagi, jika ia
seorang pemimpin pemerintahan, pemimpin organisasi pendidikan dan atau
panglima perang.
Oleh sebab itu, Nabi saw. tidak mendengarkan pendapat orang yang
meralat pendapat/keputusan pertamanya, sewaktu beliau sedang
bermusyawarah mengenai perang Uhud. Pendapat/keputusan itu mengatakan,
bahwa kaum Muslimin harus keluar ke Uhud, begitu mereka telah
mengenakan baju besi. Beliau berpandangan, bahwa sesudah bulat keputusan
suatu musyawarah, maka tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan, jadi
tidak boleh diralat lagi.
Dengan demikian, berarti Nabi saw. mengajari mereka, bahwa dalam
setiap pekerjaan ada waktunya masing-masing yang terbatas. Dan waktu
bermusyawarah itu, apabila telah selesai, tinggallah tahap pengamalannya.
Seorang manajer (pemimpin), apabila telah bersiap melaksanakan suatu
pekerjaan sebagai realisasi dari hasil musyawarah dan lahir sebuah
keputusan, maka tidak boleh ia mencabut keputusan atau tekadnya, sekalipun
ia melihat adanya kesalahan pendapat dari orang-orang yang ikut
bermusyawarah, seperti yang terjadi dalam perang Uhud.
Lain halnya jika suatu keputusan belum ditetapkan walaupun sudah
disepakati (ketok palu) oleh seorang pemimpin organisasi dan masih ada
pendapat, usul, masukan dan tawaran lain dalam musyawarahnya (sebuah
keputusan yang hampir final), pemimpin tidak berhak memutuskan secara
sepihak dan masih ada hak bagi orang lain atau anggota musyawarah untuk
berpendapat. Tidak ada dasar untuk menuntut orang lain yang
mempertahankan diri.

Buku Pengayaan Pendidikan Agama I slam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA 22

Anda mungkin juga menyukai