Anda di halaman 1dari 9

1.

Surah ali imran

‫ُج ُنوِبِهْم َو َيَتَفَّك ُروَن ِفى‬ ‫) ٱَّلِذ يَن َيْذ ُك ُروَن ٱَهَّلل ِقَٰي ًم ا َو ُقُعوًدا َو َع َلٰى‬190( ‫ِإَّن ِفى َخ ْلِق ٱلَّس َٰم َٰو ِت َو ٱَأْلْر ِض َو ٱْخ ِتَٰل ِف ٱَّلْيِل َو ٱلَّنَهاِر َل َء اَٰي ٍت ُأِّل۟و ِلى ٱَأْلْلَٰب ب‬
)191(‫َفِقَنا َع َذ اَب ٱلَّناِر‬ ‫َِخ ْلِق ٱلَّس َٰم َٰو ِت َو ٱَأْلْر ِض َر َّبَنا َم ا َخ َلْقَت َٰه َذ ا َٰب ِط اًل ُسْبَٰح َنَك‬

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka
peliharalah Kami dari siksa neraka.”14

asbabun nuzul Q.S. Ali ‗Imran ayat 190-191 adalah :


Ath-Thabrani dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata,
―orang-orang Quraisy mendatangi orang-orang Yahudi dan bertanya kepada mereka, apa
tanda-tanda yang dibawa Musa kepada kalian?‖ orang-orang Yahudi itu menjawab
―Tongkat dan tangan yang putih bagi orang-orang yang melihatnya.‖ Lalu orang-orang
Quraisy itu mendatangi orang-orang Nasrani, lalu bertanya kepada mereka, ―apa tanda-
tanda yang diperlihatkan Isa?.‖ Mereka menjawab, ―Dia dulu menyembuhkan orang yang
buta, orang yang sakit kusta dan menghidupkan orang mati.‖ Lalu mereka mendatangi
Nabi SAW. lalu berkata kepada beliau, ―Berdoalah kepada Tuhanmu untuk mengubah
bukit shafa menjadi emas untuk kami.‖ Lalu beliau berdoa, maka turunlah firman Allah
(Q.S Ali Imran 190-191) ini16.

Pada peristiwa asbabun nuzul tersebut, terlihat bahwa pada saat itu kaum Quraisy
belum dapat menghayati dan mensyukuri akan nikmat yang telah diberikan Allah SWT
kepada mereka, dimana mereka tidak mau memikirkan akan hikmah dari penciptaan alam
semesta beserta segala isinya. Padahal jika mereka mau memikirkan hal tersebut, mereka
akan mendapatkan banyak pelajaran, manfaat dan faedah. Hamparan alam semesta ini
diciptakan penuh dengan makna, pada setiap sisi terdapat tanda-tanda yang menunjukkan
akan kekuasaan Allah SWT.
Interpretasi Al-Maraghi terhadap QS. Ali Imran Ayat 190-191
Interpretasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai pemberian
kesan, pendapat, tafsiran, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu. Istilah interpretasi bisa
merujuk pada proses penafsiran yang sedang berlangsung atau hasil dari proses tersebut. Suatu
interpretasi bisa menjadi bagian dari presentasi atau penggambaran informasi yang diubah,
dengan tujuan menyesuaikan kumpulan simbol spesifik. Pada dasarnya, dalam tradisi keilmuan
dikatan bahwa seorang mufassir di dalam menafsirkan sebuah teks tidak akan pernah terlepas
dari sejarah hidupnya, latarbelakang intelektualnya, keilmuan yang dimilikinya, pemikiran guru-
guru serta keadaan masyarakat ketika ia hidup. Begitu juga dengan Al-Maraghi. Nama lengkap
Ahmad Al-Mustafa ibn Muhammad ibn ‗Abd al-Mun‘in al-Qadi al-Maraghi, ia lahir pada tahun
1300 H/1883 M di kota al-Maraghah, provinsi suhaj, kira-kira 700 meter dari arah selatan kota
Kairo. Ahmad Mustafa al-Maraghi berasal dari keluarga ulama yang taat dan menguasai
berbagai ilmu agama, hal ini dapat dibuktikan bahwa 5 dari 8 orang putra laki-laki Syekh
Mustafa al-Maraghi (ayah Ahmad Musstafa Al-Maraghi) adalah ulama besar yang cukup
terkenal.

Berikut Tasfir Al-Maraghi tentang Qs. Ali-Imran ayat 190-191:

‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﻴﺸﺔاﻥﺑﻼﻻاﺗﻰاﻟﻨيبﺻﻠﻰاﷲﻋﻠﻴﻪﻭﺳﻠﻢﻳﺆذﻧﻪﻟﺼﻼﺓاﻟﺼﺒﺢﻓﻮﺟﺪﻩﻳﺒﻜﻰ‬
‫ﻓﻘﺎلﻳﺎرﺳﻮالﷲﻣﺎﻳﺒﻜﻴﻚﻗﺎلﻭﻣﺎميﻨﻌيناﻥاﺑﻜﻰﻭﻗﺪاﻧﺰلﻋﻠﻰﻫﺬﻩاﻟﻠﻴﻠﺔ(اﻥيف‬
‫ﺧﻠﻖاﻟﺴﻤﻮاﺕﻭاﻻرﺽﻭاﺧﺘﻼفاﻟﻠﻴﻞﻭاﻟﻨﻬﺎرﻻﻳﺎﺕﻻﻭىالﻻﺑﺎب)مثﻗﺎلﻭﻳﻞملﻦ ﻗﺮأﻫﺎﻭملﻳﺘﻔﻜﺮ‬

"Dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu „Anha, “Sesungguhnya sahabat Bilal datang kepada Nabi
SAW. Sahabat Bilal akan mengumandangkan azan untuk shalat subuh kemudian sahabat Bilal
mendapati Nabi SAW. sedang menangis maka Bilal berkata: Ya Rasulallah, apa yang menyebabkan
engkau menangis, Nabi menjawab: “tidak ada sesuatu yang dapat mencegahku menangis dan
seseungguhnya telah turun pada malam ini ayat (“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal).
Kemudian Nabi SAW. Bersabda: “Celakalah bagi orang yang membacanya dan tidak
memikirkannya.”

Menurut Ibnu Katsir, pada Qs. Al-Imran ayat yang ke-190-191 Allah menguraikan
sekelumit dari penciptaan-Nya, serta memerintahkan agar memikirkannya. Salah satu
bukti kebenaran bahwa Allah merupakan Sang Pemilik atas alam raya ini, dengan adanya
undangan kepada manusia untuk berpikir, karena sesungguhnya dalam penciptaan, yakni
kejadian benda-benda angkasa, seperti matahari, bulan dan jutaan gugusan bintang-
bintang yang terdapat dilangit, atau dalam pengaturan sistem kerja langit yang sangat
teliti serta kejadian dan perputaran bumi pada porosnya yang melahirkan silih
bergantinya malam dan siang, perbedaannya baik dalam masa maupun panjang dan
pendeknya terdapat tanda-tanda kemahakuasaan Allah bagi ulul albab, yakni orang orang
yang memiliki akal yang murni.
Aspek Pendidikan dalam QS. Ali Imran Ayat 190-191
Dari QS. Ali Imran ayat 190-191 dapat diambil aspek tarbawinya yaitu sebagai
berikut24: Akal manusia hendaknya digunakan untuk memikirkan, menganalisa, dan
menafsirkan segala ciptaan Allah. Dalam belajar tidak diperbolehkan memikirkan Dzat
Allah, karena manusia mempunyai keterbatasan dalam hal tersebut dan dikhawatirkan
akan terjerumus dalam berpikir yang tidak sesuai. Hendaknya manusia mempercayai
bahwa semua penciptaan Allah tidak ada yang sia-sia.
Atas penciptaan alam semesta ini, hendaknya kita menyadari tugas sebagai khalifah
Allah, yang berkewajiban memakmurkan bumi serta menjadi rahmat bagi alam
sekelilingnya, dengan menggali, meneliti dan memanfaatkan hukum-hukum Allah bagi
alam ciptaan-Nya ini, sebagai bentuk dari profil manusia ulul albab.
Akal manusia berdiri atas berbagai dimensi manusia, dimensi luar yang disebut
‗aql/qalb, dimensi dalam yang disebut lubb, yang dapat menangkap dan menggali makna
tersembunyi dibalik sesuatuyang konkrit, berakal sempurna. Tingkat akal paling
sempurna yakni fu‟ad yang menunjuk kepada pengertian ‗nurani‘ yang berasal dari Allah.
Hati nurani yang suci yang mendapat bimbingan lansung dari Allah. Ketiga fitrah potensi
tadi akan memancarkan nur Ilahiyah keseluruh tubuh. Kepada lidah melahirkan bacaan
zikir. Ke sel-sel syaraf akan melahirkan pikiran dan pemikiran yang benar. Dari pikiran
dan pemikiran yang benar secara harmonis akan membentuk gerak dan prilaku yang juga
benar.

1. Surah Al-Ankabut Ayat 19

‫َأَو َلْم َيَرْو ا َكْيَف ُيْبِد ُئ ُهَّللا اْلَخ ْلَق ُثَّم ُيِع يُد ُه ِإَّن َذ ِلَك َع َلى ِهَّللا َيِس يٌر‬

Terjemahan: Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari
permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah.

2. Surah Al-Ankabut Ayat 20

‫ُقْل ِس يُروا ِفي اَأْلْر ِض َفانُظُروا َكْيَف َبَد َأ اْلَخ ْلَق ُثَّم ُهَّللا ُينِش ُئ الَّنْش َأَة اآْل ِخ َر َة ِإَّن َهَّللا َع َلى ُك ِّل َش ْي ٍء َقِد يٌر‬

Terjemahan: Katakanlah: “Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah


menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Kedua ayat ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari nasihat Nabi Ibrahim kepada
kaumnya, setelah beliau melihat tanda-tanda penolakan mereka. Ayat ini merupakan jawaban atas
keraguan orang musyrik terhadap hari kebangkitan.
M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa disini Allah berfrman :
Dan apakah mereka lengah sehingga tidak memperhatikan bagaimana Allah senantiasa memulai
penciptaan semua makhluk termasuk manusia. Setelah Allah menciptakan mereka kemudian dia
mengulanginya kembali. Sesungguhnya yang demikian itu yakni penciptaan dan pengulangannya
bagi Allah semata-mata dan khusus bagi- Nya adalah mudah. Jika demikian, bagaimana mereka
mengingkari pengembalian manusia hidup kembali kelak di hari Kemudian.14
Kata (‫ )يروا‬terambil dari kata (‫ )رأى‬yang dapat berarti melihat dengan mata kepala atau
mata hati/memikirkan atau memperhatikan, maka jawaban dari keraguan atas hari kebangkitan
tersebut jawabannya adalah melihat, memperhatikan dan merenungkan tentang penciptaan. Hal ini
erat sekali kaitannya dengan ayat selanjutnya.
Maksudnya adalah, apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah memulai
pernciptaan, Dia ciptakan dari bayi, kemudian anak-anak, kemudian remaja, kemudian dewasa atau
tua renta.
Lafazh tersebut berasal dari yang abdaa wa a‟ada dan badaa wa „aada artinya memulai,
kemudian mengulanginya. Dua bentuk kalimat yang bermakna sama.

Tsumma yu‟iiduh yang artinya Kemudian mengulanginya (kembali), maksudnya adalah,


kemudian Allah mengulanginya setelah hancur binasa, sebagaimana Dia memulainya pertama kali.
Dia ciptakan sebagai makhluk yang baru. Semua itu tidak sulit bagi Allah.

Bisyr menceritakan kepada kami, ia bekata: Sa‟id menceritakan kepada kami dari
Qatadah, tentang ayat yang berbunyi awa lam yaraw kayfa yubdi-u allaahu alkhalqa tsumma
yu‟iiduhu yang artinya dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia)
dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali), ia berkata, “maksudnya adalah, dengan

membangkitkan mereka setelah kematian mereka.15 Inna dzaalika „alaa allaahi

yasiirun yang artinya Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

Kemudian, qul siiruu fii al-ardhi yang artinya Katakanlah, „Berjalanlah di (muka) bumi. Maksudnya
adalah, Allah berfirman kepada Nabi Muhammad SAW, “wahai Muhammad, katakanlah kepada
orang-orang yang mengingkari Hari Berbangkit setelah kematian, orang-orang yang mengingkari
pembalasan kebaikan dan hukuman, „Berjalananlah kamu di bumi, lihatlah bagaimana Allah
memulai segala sesuatu dan bagaimana Dia menciptakannya. Sebagaimana Dia telah menciptakan
semua itu, maka tidak sulit bagi-Nya untuk menciptakan semua itu kembali.16
Tsumma allaahu yunsyi-u alnnasy-ata al-aakhirata yang artinya Kemudian Allah menjadikanya
sekali lagi, maksudnya adalah, Allah lalu menciptakannya sekali lagi setelah semuanya hancur
binasa.

Bisyr menceritakan kepada kami, ia berkata: Yazid menceritakan kepada kami, ia berkata:
Sa‟id menceritakan kepada kami dari Qatadah, tentang ayat, qul siiruu fii al-ardhi faunzhuruu kayfa
bada-a alkhalqa yang artinya ”Katakanlah, „Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah
menciptakan (manusia) dari permulaannya,.” Ia berkata, “Maksudnya adalah penciptaan langit dan
bumi.17

Lalu, tsumma allaahu yunsyi-u alnnasy-ata al-aakhirata yang artinya

„Kemudian Allah menjadikannya sekali lagi‟. Artinya, kebangkitan setelah kematian.”18

Muhammad bin Sa‟ad menceritakan kepadaku, ia berkata: Bapakku menceritakan


kepadaku, ia berkata: Pamanku menceritakan kepadaku dari bapaknya, dari Ibnu Abbas, tentang
tsumma allaahu yunsyi-u alnnasy-ata al- aakhirata yang artinya Kemudian Allah mejadikannya sekali
lagi, ia berkata, “Itulah kehidupan setelah kematian, yaitu Hari Berbangkit.”19

Inna allaaha „alaa kulli syay-in qadiirun “Sungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala seuatu,”
maksudnya adalah, sesungguhnya kembali menciptakan makhluk-Nya yang telah binasa seperti
sedia kala, dan dalam hal ini selain itu sesuatu dengan kehendak-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa, semua kehendaknya pasti terlaksana.20

Dari penjelasan diatas maka ayat 19 menyebutkan, Allah adalah pendidik yang
memberitahukan bahwa diciptakan manusia dari permulaan kemudian mengulangimya (kembali).
Ayat 20, manusia sebagai peserta didik ditugaskan oleh Allah agar memperhatikan, melakukakan
riset, analisis, sehingga mendalami ilmu-ilmu hal ini disebut dengan menuntut ilmu. Keterkaitan
ayat 19-20 juga menunjukkan bahwa adanya proses belajar mengajar oleh Allah kepada hamba-
Nya.
Kemudian, setelah manusia sudah mempunyai ilmu yang didapatnya maka tugas manusia itu
haruslah menyebarkan ilmu, membimbing dan menjalankan dakwah dengan baik kepada sesama
manusia. Hal tersebut kiranya diperhatikan karena sabda Rasulullah dalam hadisnya diriwayatkan
oleh Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni yang artinya “Sebaik-baik manusia adalah yang
bermanfaat bagi manusia lain.” Sehingga kita sebagai manusia bisa menjaga diri dari larangan-
laranganNya dan menjalankan perintah-Nya.

3. Surah At Taubah 122

۞ ‫َوَم ا َك اَن ٱْلُم ْؤ ِم ُنوَن ِلَينِفُرو۟ا َك ٓاَّفًةۚ َفَلْو اَل َنَفَر ِم ن ُك ِّل ِفْر َقٍة ِّم ْنُهْم َطٓاِئَفٌة ِّلَيَتَفَّقُهو۟ا ِفى ٱلِّديِن َوِلُينِذ ُرو۟ا َقْو َم ُهْم ِإَذ ا َرَج ُع ٓو ۟ا ِإَلْيِهْم َلَع َّلُهْم َيْح َذ ُروَن‬
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi
dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Asbabun Nuzul

Ada dua pendapat mengenai asbabun nuzul Surat At Taubah ayat 120. Pertama, kata Ibnu Katsir, ayat ini
turun berkenaan dengan keberangkatan semua kabilah bersama Rasulullah ke Perang Tabuk. Allah
menjelaskan apa yang dikehendaki-Nya dalam ayat ini.

Kedua, sebagaimana pendapat Mujahid, asbabun nuzul ayat ini berkenaan sejumlah orang dari kalangan
Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang pergi ke daerah pedalaman lalu mereka memperoleh
kebajikan dari para penduduknya dan memperoleh manfaat dari kesuburan daerah itu. Mereka
berdakwah kepada orang yang mereka jumpai. Namun ada yang mengatakan, “Tiada yang kami lihat
melainkan kalian telah meninggalkan teman kalian (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) dan kalian
datang kepada kami.”

Mendengar komentar itu, mereka merasa berdosa. Kemudian mereka semua meninggalkan pedalaman
dan menghadap Rasulullah. Maka Allah menurunkan ayat ini.

Tafsir Surat At Taubah Ayat 122

Tafsir Surat At Taubah ayat 122 ini disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar
dan Tafsir Al Munir.

1. Tidak Semuanya Harus ke Medan Perang

‫َوَم ا َك اَن اْلُم ْؤ ِم ُنوَن ِلَيْنِفُروا َك اَّفًة‬

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).

Secara khusus, ayat ini terkait dengan sariyah, yakni ekspedisi perang yang dikirim Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Sebab ketika ada perintah agar sebagian tinggal untuk memperdalam agama di masa
itu, maksudnya adalah belajar kepada Rasulullah.

Ad Dlahhak menjelaskan, jika perang itu adalah ghazwah (Rasulullah ikut dalam peperangan), maka
beliau tidak mengizinkan seorang pun dari kalangan kaum muslim laki-laki untuk tidak ikut berangkat,
kecuali orang-orang yang berhalangan (udzur syar’i). Pada saat demikian, mereka yang berjihad itulah
yang belajar agama dan akan mengajarkan kepada kaumnya karena mereka berperang bersama
Rasulullah dan mendapat tarbiyah dari beliau. Ini pula pendapat yang dipilih Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi
Zhilalil Qur’an.
Namun apabila Rasulullah mengirimkan sariyah, beliau tidak membolehkan mereka langsung berangkat
tanpa seizinnya. Apabila mereka sudah berangkat, lalu turun ayat-ayat Al Quran kepada Rasulullah,
maka beliau membacakannya kepada sahabat-sahabat yang tinggal bersamanya. Ketika pasukan sariyah
itu kembali, maka sahabat yang tinggal bersama Nabi mengajarkan ayat itu kepada mereka.

Qatadah juga mengatakan hal senada. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim pasukan,
Allah memerintahkan kepada kaum muslimin agar pergi berperang tetapi sebagian mereka harus tinggal
bersama Rasulullah untuk memperdalam pengetahuan agama. Sedangkan sebagian yang lain menyeru
kaumnya dan memperingatkan mereka dari azab Allah yang telah menimpa umat sebelumnya.

2. Tafaqquh fid Din

‫َفَلْو اَل َنَفَر ِم ْن ُك ِّل ِفْر َقٍة ِم ْنُهْم َطاِئَفٌة ِلَيَتَفَّقُهوا ِفي الِّديِن‬

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama

Ayat ini menunjukkan betapa pentingnya menuntut ilmu. Secara khusus adalah ilmu agama. Tafaqquh
fid din. Apabila terjadi peperangan atau jihad yang statusnya fardhu kifayah, maka tidak sepatutnya
semua orang pergi ke medan perang. Harus ada yang konsentrasi menuntut ilmu, tafaqquh fiddin.

Dan ayat ini mengisyaratkan, tiap golongan atau kabilah harus ada wakil (representasi) yang belajar ilmu
agama sehingga penyebaran ilmu bisa merata.

Ibnu Katsir menjelaskan, mereka yang tidak berangkat berperang itu dimaksudkan agar belajar dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika pasukan telah kembali, maka mereka yang belajar
mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan ayat-ayat Al Qur’an kepada Rasulullah dan telah
kami pelajari.” Mereka kemudian mengajari pasukan itu.

“Liyataqqahuu fiddiin maknanya, agar mereka mempelajari apa yang diturunkan Allah kepada Nabi-
Nya,” tulis Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhiim. “Selanjutnya mereka akan mengajarkannya
kepada Sariyah apabila telah kembali kepada mereka.”

Buya Hamka dalam Tafsir Az Azhar, Surat At Taubah ayat 122 ini menganjurkan pembagian tugas.
“Semua golongan harus berjihad, turut berjuang. Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kelak
membagi tugas mereka masing-masing. Ada yang di garis depan, ada yang di garis belakang. Sebab itu,
kelompok kecil yang memperdalam pengetahuannya tentang agama adalah bagian dari jihad juga.”

Lalu Buya Hamka membawakan dua buah hadits dalam menafsirkan ayat ini:

‫أقرب الناس من درجة النبوة أهل الجهاد وأهل العلم ألن أهل الجهاد يجاهدون على ما جاءت به الرسل وأما أهل العلم فدلوا الناس على ما‬
‫جاءت به األنبياء‬

“Manusia yang paling dekat kepada derajat nubuwwah adalah ahli ilmu dan ahli jihad. Adapun ahli ilmu,
merekalah yang menunjukkan kepada manusia apa yang dibawa para Rasul. Adapun ahli jihad, maka
mereka berjuang dengan pedang-pedang meraka, membawa apa yang dibawa para Nabi.” (HR. Ad
Dailami dari Ibnu Abbas)

‫يوزن يوم القيامة مداد العلماء ودم الشهداء‬

“Pada hari kiamat, tinta para ulama akan ditimbang dengan darah para yuhada’” (HR. Ibnu Abdil Bar dari
Abu Darda’)

Dua hadits itu dhaif, tetapi dalam masalah fadha’ilul ‘amal (keutamaan amal), sebagian ulama termasuk
Imam An Nawawi memperbolehkan.

3. Misi Dakwah dan Tarbiyah

‫َوِلُيْنِذ ُروا َقْو َم ُهْم ِإَذ ا َرَج ُعوا ِإَلْيِهْم َلَع َّلُهْم َيْح َذ ُروَن‬

dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya.

Inilah misi orang-orang yang tafaqquh fiddin. Mereka belajar agama untuk diajarkan dan didakwahkan
kepada kaumnya. Mereka bukan sekedar belajar untuk dirinya sendiri namun memiliki misi dakwah dan
tarbiyah. Memberi peringataan kepada kaumnya agar mereka bisa menjaga diri.

“Ujung ayat ini memberikan ketegasan kewajiban ahli ilmu, yakni memberikan peringatan kepada
kaumnya bila mereka pulang kepada kaum itu, agar kaum itu berhati-hati,” kata Buya Hamka.

Dari penjelasan tafsir di atas, kita bisa menyimpulkan isi kandungan Surat At
Taubah ayat 122 sebagai berikut:

1. Ayat ini menunjukkan pentingnya menuntut ilmu.

2. Harus selalu ada segolongan umat yang menuntut ilmu (tafaqquh fiddin).
Bahkan dalam kondisi perang sekalipun, ketika perangnya adalah fardhu
kifayah, maka sebagian orang harus konsentrasi menuntut ilmu.

3. Di setiap kaum, kabilah atau perkampungan, wajib ada yang menuntut


ilmu (tafaqquh fiddin) sehingga perkampungan itu tidak dilanda kebodohan.

4. Di setiap kaum, kabilah atau perkampungan, juga harus ada yang berdakwah
dan memberikan peringatan.

5. Misi orang yang menuntut ilmu (tafaqquh fid din) adalah mengajarkan ilmu
itu kepada orang lain. Ia tak sekedar belajar untuk dirinya sendiri tetapi
memiliki misi dakwah dan tarbiyah.
Demikian Surat At Taubah ayat 122 mulai dari tulisan Arab dan latin, terjemah
dalam bahasa Indonesia, asbabun nuzul, tafsir dan isi kandungan maknanya.
Sem

Anda mungkin juga menyukai