Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

A. QS. Al-‘Imran Ayat 190-191

ِ ‫ف ٱلَّ ْي ِل َوٱلنَّ َه‬


‫ار َل َءا َٰ َي ٍۢت‬ ِ َ‫ٱخ ِت َٰل‬ ِ ‫ت َو ْٱْل َ ْر‬
ْ ‫ض َو‬ ِ ‫س َٰ َم َٰ َو‬
َّ ‫ق ٱل‬ ِ ‫ِإ َّن ِفى خ َْل‬
‫علَ َٰى‬ َّ َ‫﴾ ٱلَّذِينَ يَ ْذ ُك ُرون‬۱۹‫ب ﴿ە‬
ًۭ ُ‫ٱَّللَ قِ َٰيَ ًۭما َوقُع‬
َ ‫ودا َو‬ ِ َ‫ِِْل ُ ۟و ِلى ْٱْل َ ْل َٰب‬
‫ت‬ ِ ‫ت َو ْٱْل َ ْر‬
َ ‫ض َربَّنَا َما َخلَ ْق‬ ِ ‫س َٰ َم َٰ َو‬ ِ ‫ُجنُوبِ ِه ْم َويَتَفَ َّك ُرونَ فِى خ َْل‬
َّ ‫ق ٱل‬
﴾۱۹۱﴿ ‫ار‬ ِ َّ‫اب ٱلن‬ َ َ‫عذ‬ ُ ‫َٰ َهذَا َٰ َب ِط ًًۭل‬
َ ‫س ْب َٰ َحن ََك فَ ِقنَا‬

Artinya: “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian


malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata),
“Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia;
Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali-
‘Imran: 190-191).1
B. Sebab-Sebab Turunnya Ayat
As-Suyuthi dalam kitabnya menyebutkan mengenai asbabun nuzul Surah
Ali-‘Imran ayat 190 dengan mengutip hadits riwayat ath-Thabrani. Ath-Thabrani
dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Orang-orang
Quraisy mendatangi orang-orang Yahudi dan bertanya kepada mereka, ‘Apa
tanda-tanda yang dibawa Musa kepada kalian?’ Orang-orang Yahudi itu
menjawab, ‘Tongkat dan tangan yang putih bagi orang-orang yang melihatnya.’
Lalu orang-orang Quraisy itu mendatangi orang-orang Nasrani, lalu bertanya

1
Al-Qur’an, Syaamil Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an
Departemen Agama Republik Indonesia, 2009, hlm. 75

3
4

kepada mereka, ‘Apa tanda-tanda yang diperlihatkan Isa?’ Mereka menjawab,


‘Dia dulu menyembuhkan orang yang buta, orang yang sakit kusta dan
menghidupkan orang mati.’ Lalu mereka mendatangi Nabi saw. lalu mereka
berkata kepada beliau, ‘Berdoalah kepada Tuhanmu untuk mengubah bukit Shafa
dan Marwah menjadi emas untuk kami.’ Lalu beliau berdoa, maka turunlah
firman Allah:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam


dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.”
(HR. ath-Thabrani)2

Menurut Ibnu Kasir dalam tafsirnya mengatakan, riwayat ini sulit


dimengerti, mengingat ayat ini adalah ayat Madaniyyah, sedangkan permintaan
mereka yang menghendaki agar bukit Shafa dan Marwah menjadi emas adalah di
Mekah.3 Namun demikian riwayat ini menjelaskan mengenai sebab turunnya
Surah Ali-‘Imran ayat 190 dan sebagai penjelas baginya.
Dan mengenai asbabun nuzulnya surah Ali-‘Imran ayat 191, pemakalah tidak
menemukannya secara khusus. Namun berkenaan dengan hal tersebut, antara
keduanya saling berkaitan dan akan dijelaskan selanjutnya. Insya Allah.

C. Tafsir QS. Ali-‘Imran Ayat 190-191


Pembahasan pada bagian ini akan dibahas dalam beberapa bagian, yaitu
tafsir ayat menurut beberapa ahli tafsir yang kitab-kitabnya tetap menjadi
rujukkan hingga sekarang.

1. Tafsir Al-Qurtubi4

2
Jalaluddin as-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat, penj., Tim Abdul
Hayyie, cet. 1, Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm. 148-149
3
Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an Al-‘azhim: Tafsir
Ibnu Kasir, penj., Bahrun Abu Bakar, cet., 1, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000, hlm. 358
4
Syaikh Imam Al-Qurtubi, Al Jami’ li Ahkam Al-Qur’an: Tafsir Al Qurtubi, penj., Dudi
Rosyadi, et al., edit., Ahmad Zubairin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, hlm. 765-784
5

Al-Qurtubi dalam tafsirnya merangkum ayat ini menjadi satu bagian,


yaitu QS. Ali-‘Imran: 190-200 yang terdiri dari dua puluh lima pembahasan.
Untuk surah Ali-‘Imran ayat 190-191 terdapat sembilan pembahasan. Dan
pemakalah meringkasnya menjadi empat pembahasan agar pembaca lebih
mudah memahami maksudnya. Insya Allah.
Pertama: Firman Allah swt., “Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal.”5
Ayat ini merupakan awal ayat-ayat penutup surah Ali-‘Imran, dimana
pada ayat ini Allah swt. memerintahkan kita untuk melihat, merenung, dan
mengambil kesimpulan, pada tanda-tanda ke-Tuhanan. Karena tanda-tanda
tersebut tidak mungkin ada kecuali diciptakan oleh Yang Hidup, Yang
Mengurusinya, Yang Suci, Yang Menyelamatkan, Yang Maha Kaya, dan
tidak membutuhkan apa pun yang ada di alam semesta ini. Dengan meyakini
hal tersebut maka keimanan mereka bersandarkan atas keyakinan yang benar,
dan bukan hanya sekedar ikut-ikutan. Pada ayat ini menyebutkan “…terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” Inilah salah satu fungsi akal
yang diberikan kepada seluruh manusia, yaitu agar mereka dapat
menggunakan akal tersebut untuk merenung tanda-tanda yang telah diberikan
Allah swt.
Kedua: Jumhur ulama mengatakan bahwa disunnahkan bagi yang baru
bangun dari tidurnya agar mengusap wajahnya dan membuka harinya dengan
membaca kesepuluh ayat ini, karena itulah yang ditauladani dan dicontohkan
oleh nabi saw. Hal ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam
Bukhari, imam Muslim, dan para imam hadits lainnya,6 insya allah akan
disebutkan sesaat lagi.
Kemudian setelah membaca kesepuluh ayat ini, ia bersegera melakukan
shalat fardhunya. Dengan begitu ia telah menggabungkan antara bertafakkur

5
QS. Ali-‘Imran: 190
6
HR. Bukhari pada pembahasan tentang tafsir (3/116), dan Muslim pada pembahasan tentang
tata cara shalat bagi orang yang sedang bepergian, bab: Doa yang dibaca pada shalat malam
(6/526).
6

dan melakukannya secara bersamaan. Dan itulah yang disebut dengan


perbuatan yang paling baik.
Diriwayatkan, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. selalu
membaca sepuluh ayat terakhir dari surah Ali-‘Imran pada setiap malamnya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nashr Al Waili As-Sijistani Al Hafizh,
dalam kitab Al Ibanah, yang diriwayatkannya dari Sulaiman bin Musa, dari
Mazhahir bin Aslam Al Makhzumi, dari Al Maqbari, dari Abu Hurairah.
Ketiga: Firman Allah swt., “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.”7
Pada ayat ini Allah swt. menyebutkan tiga keadaan yang sering dilakukan
oleh manusia pada tiap-tiap waktunya, bahkan mungkin hanya tiga keadaan
inilah yang mengisi setiap waktu kebanyakan orang.
Pengaplikasian Rasulullah saw. terhadap ayat ini terdapat pada hadits
yang diriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata: “Rasulullah saw. selalu berzkir
kepada Allah pada setiap keadaannya.” (HR. Muslim).
Beberapa ulama tafsir menurut Al Qurtubi, diantaranya Hasan dan yang
lainnya juga berpendapat bahwa ayat ini adalah ungkapan mengenai shalat,
yaitu: jangan sampai meninggalkan shalat, dan apabila seseorang memiliki
alasan untuk tidak melakukan shalat dengan cara berdiri maka ia boleh
melakukannya dengan cara duduk, ataupun berbaring. Seperti yang
disebutkan pula pada firman Allah swt. artinya “Maka apabila kamu telah
menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk
dan di waktu berbaring.”8
Apabila maksud ayat tersebut mengenai tata cara shalat, maka sejalan
dengan sebuah riwayat dari Imran bin Husain, ia berkata: Aku bertanya
kepada Rasulullah saw. mengenai tata cara shalat bagi orang yang menderita

7
QS. Ali-‘Imran: 191
8
QS. An-Nisaa’: 103
7

penyakit ambeien, beliau menjawab: ”Shalatlah dengan cara berdiri, apabila


tidak mampu maka duduklah, apabila masih tidak mampu maka
berbaringlah.” (HR. Bukhari, At-Tirmidzi, dan Imam Ahmad dalam
Musnadnya).
Keempat: Firman Allah swt., artinya: “…dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.”9
Pada ayat ini Allah swt. menggandengkan antara satu ibadah dengan
ibadah lainnya, yaitu tafakkur (merenungkan) kekuasaan Allah swt., yaitu
bertafakkur pada segala ciptaan Allah dan mengambil pelajaran dari apa yang
terbayangkan, agar semua itu dapat menambah wawasan mereka terhadap
Tuhan Yang Maha Pencipta.
Makna dari tafakkur ini adalah hati seseorang yang merasa bimbang akan
sesuatu. Oleh karena itu orang yang sering bimbang hatinya disebut dengan
orang yang selalu berpikir akan sesuatu.
Diriwayatkan, pada suatu ketika nabi saw. berlalu dihadapan suatu kaum
yang berpikir mengenai Allah, lalu Nabi saw. bersabda: “Merenunglah
tentang ciptaan, dan jangan kamu merenung tentang Pencipta, karena kalian
tidak akan mampu untuk mencapainya.”10
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ketika ia menginap dirumah bibinya
Maimunah (ummul mukminin), di dalam hadits yang panjang itu disebutkan:
Lalu pada tengah malam Rasulullah saw. terjaga dari tidurnya, dan segera
menyeka wajahnya dengan tangannya dan membaca sepuluh ayat terakhir
dari surah Ali-‘Imran, lalu beliau berjalan menuju tempat air tua yang
tergantung disana, kemudian beliau berwudhu dengan wudhu yang ringan

9
QS. Ali-‘Imran: 191
10
Hadits ini disebutkan oleh As-Suyuthi dalam kitab Al Jaami’ Al Kabiir (2/1142) yang
diriwayatkan dari Abu Asy-Syeikh, dari Ibnu Abbas (hadits mauquf). Dan disebutkan juga dalam
kitab Ash-shagir (no. 3346) dan As-Suyuthi mengisyaratkan bahwa hadits ini termasuk hadits yang
lemah.
8

(yang diwajibkan saja) kemudian beliau melakukan shalat sunnah sebanyak


tiga belas rakaat….” (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Tafsir Ath-Thabari11
Tafsir karya Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari adalah tafsir bil ma’tsur yang
mu’tabar dan banyak dijadikan rujukan para ulama. Dan dalam bagian ini
akan disebutkan tafsir surah Ali-’Imran ayat 190-191 menurut Ath-Thabari.
Pertama: Firman Allah swt. artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-
tanda bagi orang-orang yang berakal”.12
Abu Ja’far berkata: Ayat tersebut merupakan bantahan dan
argumentasi dari Allah swt. untuk orang yang mengatakan kata-kata
tersebut,13 serta hujjah bagi semua makhluk-Nya, bahwa Dialah yang
mengatur segalanya sesuai kehendak-Nya, dan kemampuan menjadikan kaya
dan miskin ada di tangan-Nya.
Allah swt. berfirman, “Wahai manusia, merenung dan ambillah
pelajaran! Sungguh, apa yang Aku ciptakan di langit dan di bumi adalah
untuk kehidupan, kebutuhan, dan rezeki kalian. Demikian pula siang dan
malam, keduanya Aku jadikan bergantian; pada siang hari kalian bekerja,
sementara pada malam hari kalian istirahat. Sungguh, pada semuanya ada
pelajaran dan tanda kekuasaan-Ku. Siapa saja diantara kalian yang memiliki
akal, pasti tahu bahwa menyatakan kefakiran kepada-Ku dan menyatakan
yang lain sebagai yang kaya, adalah sebuah kedustaan yang nyata, karena
semuanya ada di tangan-Ku. Akulah yang mengaturnya, dan seandainya Aku
membatalkannya maka kalian pasti hancur.”
Bagaimana bisa kefakiran itu dituduhkan kepada Allah, Dzat Yang
memiliki segala makhluk hidup, baik di langit maupun di bumi, bahkan

11
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an:
Tafsir Ath-Thabari, penj., Akhmad Affandi, edit., Besus Hidayat Amin, Jakarta: Pustaka Azzam,
2008, hlm. 303-308
12
QS. Ali-‘Imran [3]: 190
13
Maksudnya kata “Sesungguhnya Allah fakir, sementara kami kaya” dalam tafsir Ath-
Thabari pada surah Ali-‘Imran ayat 189.
9

semuanya ada di tangan-Nya dan kembali kepada-Nya? Bagaimana bisa


seseorang dianggap kaya, sementara rezekinya ada di tangan Allah?
Oleh karena itu, berpikirlah wahai orang-orang yang berakal!
Kedua: Firman Allah swt. artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.”14
Abu Ja’far berkata: Mengingat Allah sambil berdiri atau duduk adalah
sifat orang-orang yang berakal. Jadi, makna ayat tersebut adalah,
“Sesunguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya
malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yakni
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau
berbaring.”
Maksudnya, mereka berdiri dalam shalat, duduk ketika tasyahud, juga
pada selain shalat, serta berbaring ketika tidur.
Firman Allah swt. “Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi.” Maknanya adalah, “Mereka mengambil pelajaran dari semua
penciptaan itu, lalu mereka tahu bahwa tidak ada yang membuatnya kecuali
Dia Yang menguasai segala sesuatu dan Maha Memberikan rezeki, kecuali
Yang menciptakan dan mengatur segala sesuatu, dan kecuali Dzat Yang
Maha Kuasa atas segala sesuatu. Di tangan-Nya kemampuan untuk
menjadikan kaya dan miskin, kemampuan untuk memuliakan dan
menghinakan, kemampuan untuk menghidupkan dan mematikan, serta
kemampuan untuk menyengsarakan dan membahagiakan.”
Firman Allah swt., “Tiadalah Engkau menciptakan ini sia-sia.” Abu
Ja’far berkata, “Maknanya adalah, ‘Engkau tidak menciptakan penciptaan ini
dengan sia-sia dan senda-gurau, dan Engkau tidak meciptakannya kecuali
karena perkara besar, yakni pahala, siksa, perhitungan, dan pembalasan.”

14
QS. Ali-‘Imran [3]: 191
10

Allah swt. lalu menyifati orang-orang tersebut dengan Ulul Albab (yang
berakal), adalah karena jika mereka melihat orang-orang yang diperintah dan
yang dilarang, maka ia berkata, “Wahai Rabb, Engkau tidak menciptakan
mereka dalam keadaan batil atau sebatas senda-gurau, akan tetapi Engkau
menciptakan mereka karena perkara yang sangat besar, yakni neraka atau
surga.”
Mereka kemudian memohon kepada Allah swt. agar diselamatkan dari
api neraka dan tidak dijadikan sebagai orang yang bermaksiat kepada-Nya
serta menentang perintah-Nya, sehingga menjadi ahli neraka.

3. Tafsir Ibnu Katsir


Al-Hafizh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-
Qurasyi ad-Dimasyqi atau lebih dikenal dengan Ibnu Katsir, adalah salah
seorang ulama yang mahir di berbagai bidang ilmu agama di abad VIII H. Di
antara bidang yang ditekuninya adalah tafsir al-Qur’an.
Tafsir Ibnu Katsir adalah kitab tafsir yang paling tersohor di dunia Islam.
Ketersohorannya di dukung oleh penulisnya sendiri dan metode penulisannya,
yaitu bil ma’tsur, sebuah metode penulisan tafsir yang diakui valid, shahih,
tepat, dan lurus karena menyandarkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an kepada
landasan yang kuat dan valid, yaitu penafsiran al-qur’an dengan al-Qur’an, al-
Qur’an dengan hadits, serta penafsiran al-Qur’an dengan pendapat para ulama
tafsir Salafush Shalih dari kalangan para Sahabat dan Tabi’in. Selain itu,
tafsir ini ditopang dengan ilmu-ilmu bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya yang
lazim digunakan dalam penafsiran ayat al-Qur’an al-Karim.15
Selanjutnya di pembahasan ini pemakalah menggunakan terjemah kitab
Lubaabut tafsir min Ibni Katsiir yang disusun oleh Abdullah bin Muhammad
bin Abdurrahman Alu Syaikh, guna mempermudah pemakalah dalam
penyusunan makalah ini.

15
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh, Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir:
Ringkasan Ibnu Katsir, penj., M. Abdul Ghoffar, edit., M. Yusuf, et al., muraja’ah tim Pustaka
Imam Syafi’I, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, hlm. xi
11

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya


malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (QS. 3:
190). (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa Neraka.” (QS. 3:191)

Makna ayat16 “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi.”


Artinya, yaitu pada ketinggian dan keluasan langit dan juga pada kerendahan
bumi serta kepadatannya. Dan juga tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terdapat
pada ciptaan-Nya yang dapat dijangkau oleh indera manusia pada keduanya
(langit dan bumi), baik yang berupa; bintang-bintang, komet, daratan dan
lautan, pegunungan, dan pepohonan, tumbuh-tumbuhan, tanaman, buah-
buahan, binatang, barang tambang, serta berbagai macam warna dan aneka
ragam makanan dan bebauan, “Dan silih bergantinya malam dan siang.”
Yakni, silih bergantinya, susul menyusulnya, panjang dan pendeknya.
Terkadang ada malam yang lebih panjang dan siang yang pendek. Lalu
masing-masing menjadi seimbang. Setelah itu, salah satunya mengambil
masa dari yang lainnya sehingga yang terjadi pendek menjadi lebih panjang,
dan yang diambil menjadi pendek yang sebelumnya panjang.
Semuanya itu merupakan ketetapan Allah yang Mahaperkasa lagi Maha-
mengetahui. Oleh karena itu Allah swt. berfirman “Terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal (Ulul Albab).” Yaitu mereka yang
mempunyai akal yang sempurna lagi bersih, yang mengetahui hakikat banyak
hal secara jelas dan nyata. Mereka bukan orang-orang tuli dan bisu yang tidak
berakal. Allah swt. berfirman tentang mereka:
“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi
yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya. Dan
sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam

16
Ibid, hlm. 210-213
12

keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” (QS.


Yusuf: 105-106) kemudian Allah menyifati tentang Ulul Albab, firman-Nya
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring.”
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam
Muslim dari ‘Imran bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak mampu, maka lakukanlah sambil
duduk, jika kamu tidak mampu, maka lakukanlah sambil berbaring”
Maksudnya, mereka tidak putus-putus berdzikir dalam semua keadaan,
baik dengan hati maupun dengan lisan mereka. “Dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi.” Maksudnya, mereka memahami apa
yang terdapat pada keduanya (langit dan bumi) dari kandungan hikmah yang
menunjukkan keagungan “al-Khaliq” (Allah), kekuasaan-Nya, keluasan ilmu-
Nya, hikmah-Nya, pilihan-Nya, juga rahmat-Nya.
Syaikh Abu Sulaiman ad-Darani berkata: “Sesungguhnya aku keluar dari
rumahku, lalu setiap sesuatu yang aku lihat, merupakan nikmat Allah dan ada
pelajaran bagi diriku.” Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dun-ya dalam
Kitab at-Tawakkul wal I’tibar.
Al-Hasan al-Basri berkata: “Berfikir sejenak lebih baik dari bangun
shalat malam.”
Al-Fudhail mengatakan bahwa al-Hasan berkata: “Berfikir adalah cermin
yang menunjukkan kebaikan dan kejelekanmu.”
Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Berfikir (tentang kekuasaan Allah-ed)
adalah cahaya yang masuk ke dalam hatimu.”
Nabi ‘Isa as. berkata: “Berbahagialah bagi orang yang lisannya selalu
berdzikir, diamnya selalu berfikir (tentang kekuasaan Allah-ed), dan
pandangannya mempunyai ‘ibrah (pelajaran).”
Luqman al-Hakim berkata: “Sesungguhnya lama menyendiri akan
mengilhamkan untuk berfikir dan lama berfikir (tentang kuasaan Allah -ed)
adalah jalan-jalan menuju pintu surga.”
13

Sungguh Allah mencela orang yang tidak mengambil pelajaran tentang


makhluk-makhluk-Nya yang menunjukkan kepada dzat-Nya, sifat-Nya,
syari’at-Nya, kekuasaan-Nya dan tanda-tanda (kekuasaan)-Nya.
Dan di sisi lain Allah swt. memuji hamba-hamba-Nya yang
beriman:”(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi.” Yang mana mereka berkata: “Ya Rabb, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.” Artinya, Engkau tidak menciptakan
semuanya ini dengan sia-sia, tetapi dengan penuh kebenaran, agar Engkau
memberikan balasan kepada orang-orang yang beramal buruk terhadap apa-
apa yang telah mereka kerjakan dan juga memberikan balasan orang-orang
yang beramal baik dengan balasan yang lebih baik (Surga). Kemudian mereka
menyucikan Allah dari perbuatan sia-sia dan penciptaan yang bathil seraya
berkata: “Mahasuci Engkau.” Yakni dari menciptakan sesuatu yang sia-sia.
“Maka peliharalah kami dari siksa Neraka.” Maksudnya, wahai Rabb yang
menciptakan makhluk ini dengan sungguh-sungguh dan adil. Wahai Dzat
yang jauh dari kekurangan, aib dan kesia-siaan, peliharalah kami dari adzab
Neraka dengan daya dan kekuatan-Mu. Dan berikanlah taufik kepada kami
dalam menjalankan amal shalih yang dapat mengantarkan kami ke Surga
serta menyelamatkan kami dari adzab-Mu yang sangat pedih.

D. Hubungan QS. Ali-‘Imran ayat 190-191 dengan Pendidikan


Dalam pandangan John Dewey, pendidikan adalah sebagai proses
pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, yang menyangkut daya pikir
(intelektual) maupun daya rasa (emosi) manusia.17 Dalam hubungan ini, Al-
Syaibani yang dikutip oleh Jalaluddin menjelaskan bahwa pendidikan adalah

17
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, cet.,
3, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 8
14

usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya sebagai


bagian dari kehidupan masyarakat dan kehidupan alam sekitarnya.18
Sementara itu menurut Abdul Mujib dan Ahmad Mudzakkir19
mendefinisikan mengenai pendidikan Islam adalah proses transinternalisasi
pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran,
pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensi-
potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan
akhirat. Definisi ini memiliki lima unsur pokok pendidikan Islam, yaitu:
1. Proses transinternalisasi
2. Pengetahuan dan nilai Islam
3. Kepada peserta didik
4. Melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan,
pengawasan, dan pengembangan potensinya
5. Guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.

Dengan menghubungkan definisi ini, maka menurut pemakalah hubungan


antara Al-Qur’an surah Ali-‘Imran ayat 190-191 dengan pendidikan terutama
pendidikan Islam, diantaranya:
1. Sumber pendidikan Islam adalah Al-Quran. Seperti yang diungkapkan oleh
Sa’id Ismail Ali, sebagaimana yang dikutip Abdul Mujib,20 bahwa sumber
pendidikan Islam terdiri atas enam macam, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah,
kata-kata sahabat, mashalil al-mursalah, ‘urf, dan ijtihad. Ayat ini21 tentu
menjadi sumber dalam pendidikan Islam karena ia adalah bagian dari Al-
Qur’an.
2. Materi pendidikan. Materialisme adalah sebuah aliran filsafat pendidikan
yang menyatakan bahwa alam terdiri dari materi. Jadi, pendidikan itu
mengajarkan tentang semua materi. Ibnu Katsir dalam tafsirnya telah

18
Ibid.
19
Abdul Mujib dan Ahmad Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, cet., 2, Jakarta: Kencana,
2008, hlm. 27-29
20
Ibid.
21
QS. Ali-‘Imran:190-191
15

menjelaskan hal ini dalam tafsirnya mengenai tafsir surah Ali-‘Imran ayat
190 di atas. Dengan merujuk pada tafsirnya, maka ayat ini membicarakan
berbagai bidang ilmu seperti: Astronomi, Biologi, Fisika, Kimia, Geografi,
dan lain-lain.
3. Pengetahuan. Dalam aspek pendidikan ada tiga ranah yang dikembangkan
dari peserta didik, yaitu afektif, kognitif, dan psikomotorik. Kognitif
merupakan salah satu kompetensi inti dalam Kurikulum 2013, yaitu
memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati (mendengar, melihat,
membaca) dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk
ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah
dan di sekolah.22 Pengetahuan tidak didapat kecuali dengan mengembangkan
potensi akal, dan ini telah tertuang dalam surah Ali-’Imran menurut Al-
Qurthubi di atas.
4. Sikap dan keterampilan. Keduanya dalam pendidikan disebut afektif dan
psikomotorik. Pendidikan tidak hanya menekankan pada ranah kognitif tetapi
juga pada aspek afektif dan psikomotorik, ketiganya (termasuk kognitif) tidak
dapat dipisahkan bahkan harus seimbang. Dan kedua aspek ini telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. yang tertuang dalam haditsnya
dalam menafsirkan dan merealisasikan ayat ini dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti dikatakan bahwa tafakur adalah thinking (kognitif), shalat dan dzikir
adalah (afektif dan psikomotorik). Inilah suri tauladan yang baik dan patut
dicontoh bagi pendidik maupun peserta didik.

22
M. Fadillah, Implementasi Kurikulum 2013: Dalam Pembelajaran SD/MI, SMP/MTs, &
SMA/MA. cet., 1, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014, hlm. 50

Anda mungkin juga menyukai