Anda di halaman 1dari 13

Tafsir Qur'an Ali-'Imran Ayat 190-191

BAB II
PEMBAHASAN

A. QS. Al-Imran Ayat 190-191

Artinya: Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian


malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri,
duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), Ya Tuhan kami, tidaklah
Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah
kami dari azab neraka. (QS. Ali-Imran: 190-191).1[1]
B. Sebab-Sebab Turunnya Ayat
As-Suyuthi dalam kitabnya menyebutkan mengenai asbabun nuzul
Surah Ali-Imran ayat 190 dengan mengutip hadits riwayat ath-Thabrani.
Ath-Thabrani dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia
berkata, Orang-orang Quraisy mendatangi orang-orang Yahudi dan
bertanya kepada mereka, Apa tanda-tanda yang dibawa Musa kepada
kalian? Orang-orang Yahudi itu menjawab, Tongkat dan tangan yang
putih bagi orang-orang yang melihatnya. Lalu orang-orang Quraisy itu
mendatangi orang-orang Nasrani, lalu bertanya kepada mereka, Apa
tanda-tanda yang diperlihatkan Isa? Mereka menjawab, Dia dulu
1[1] Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran
Departemen Agama Republik Indonesia, 2009, hlm. 75

menyembuhkan

orang

yang

buta,

orang

yang

sakit

kusta

dan

menghidupkan orang mati. Lalu mereka mendatangi Nabi saw. lalu


mereka berkata kepada beliau, Berdoalah kepada Tuhanmu untuk
mengubah bukit Shafa dan Marwah menjadi emas untuk kami. Lalu beliau
berdoa, maka turunlah firman Allah:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian
malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang berakal. (HR. ath-Thabrani)2[2]
Menurut Ibnu Kasir dalam tafsirnya mengatakan, riwayat ini sulit
dimengerti, mengingat ayat ini adalah ayat Madaniyyah, sedangkan
permintaan mereka yang menghendaki agar bukit Shafa dan Marwah
menjadi

emas

adalah di

Mekah.3[3]

Namun

demikian riwayat

ini

menjelaskan mengenai sebab turunnya Surah Ali-Imran ayat 190 dan


sebagai penjelas baginya.
Dan mengenai asbabun nuzulnya surah Ali-Imran ayat 191,
pemakalah tidak menemukannya secara khusus. Namun berkenaan
dengan hal tersebut, antara keduanya saling berkaitan dan akan
dijelaskan selanjutnya. Insya Allah.

C. Tafsir QS. Ali-Imran Ayat 190-191


Pembahasan pada bagian ini akan dibahas dalam beberapa bagian,
yaitu tafsir ayat menurut beberapa ahli tafsir yang kitab-kitabnya tetap
menjadi rujukkan hingga sekarang.
1. Tafsir Al-Qurtubi4[4]
Al-Qurtubi dalam tafsirnya merangkum ayat ini menjadi satu bagian,
yaitu

QS.

Ali-Imran:

190-200

yang

terdiri

dari

dua

puluh

lima

2[2] Jalaluddin as-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat, penj.,


Tim Abdul Hayyie, cet. 1, Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm. 148-149
3[3] Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Quran Al-azhim:
Tafsir Ibnu Kasir, penj., Bahrun Abu Bakar, cet., 1, Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2000, hlm. 358

pembahasan. Untuk surah Ali-Imran ayat 190-191 terdapat sembilan


pembahasan. Dan pemakalah meringkasnya menjadi empat pembahasan
agar pembaca lebih mudah memahami maksudnya. Insya Allah.
Pertama: Firman Allah swt., Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal.5[5]
Ayat ini merupakan awal ayat-ayat penutup surah Ali-Imran, dimana
pada ayat ini Allah swt. memerintahkan kita untuk melihat, merenung,
dan mengambil kesimpulan, pada tanda-tanda ke-Tuhanan. Karena tandatanda tersebut tidak mungkin ada kecuali diciptakan oleh Yang Hidup,
Yang Mengurusinya, Yang Suci, Yang Menyelamatkan, Yang Maha Kaya,
dan tidak membutuhkan apa pun yang ada di alam semesta ini. Dengan
meyakini hal tersebut maka keimanan mereka bersandarkan atas
keyakinan yang benar, dan bukan hanya sekedar ikut-ikutan. Pada ayat ini
menyebutkan terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
Inilah salah satu fungsi akal yang diberikan kepada seluruh manusia, yaitu
agar mereka dapat menggunakan akal tersebut untuk merenung tandatanda yang telah diberikan Allah swt.
Kedua: Jumhur ulama mengatakan bahwa disunnahkan bagi yang
baru bangun dari tidurnya agar mengusap wajahnya dan membuka
harinya dengan membaca kesepuluh ayat ini, karena itulah yang
ditauladani dan dicontohkan oleh nabi saw. Hal ini disebutkan dalam
hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari, imam Muslim, dan para
imam hadits lainnya,6[6] insya allah akan disebutkan sesaat lagi.
Kemudian setelah membaca kesepuluh ayat ini, ia bersegera
melakukan shalat fardhunya. Dengan begitu ia telah menggabungkan

4[4] Syaikh Imam Al-Qurtubi, Al Jami li Ahkam Al-Quran: Tafsir Al Qurtubi, penj.,
Dudi Rosyadi, et al., edit., Ahmad Zubairin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, hlm.
765-784
5[5] QS. Ali-Imran: 190
6[6] HR. Bukhari pada pembahasan tentang tafsir (3/116), dan Muslim pada
pembahasan tentang tata cara shalat bagi orang yang sedang bepergian, bab:
Doa yang dibaca pada shalat malam (6/526).

antara bertafakkur dan melakukannya secara bersamaan. Dan itulah yang


disebut dengan perbuatan yang paling baik.
Diriwayatkan, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. selalu
membaca sepuluh ayat terakhir dari surah Ali-Imran pada setiap
malamnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nashr Al Waili As-Sijistani Al
Hafizh, dalam kitab Al Ibanah, yang diriwayatkannya dari Sulaiman bin
Musa, dari Mazhahir bin Aslam Al Makhzumi, dari Al Maqbari, dari Abu
Hurairah.
Ketiga: Firman Allah swt., (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci
Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.7[7]
Pada ayat ini Allah swt. menyebutkan tiga keadaan yang sering
dilakukan oleh manusia pada tiap-tiap waktunya, bahkan mungkin hanya
tiga keadaan inilah yang mengisi setiap waktu kebanyakan orang.
Pengaplikasian Rasulullah saw. terhadap ayat ini terdapat pada hadits
yang diriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah saw. selalu
berzkir kepada Allah pada setiap keadaannya. (HR. Muslim).
Beberapa ulama tafsir menurut Al Qurtubi, diantaranya Hasan dan
yang lainnya juga berpendapat bahwa ayat ini adalah ungkapan
mengenai shalat, yaitu: jangan sampai meninggalkan shalat, dan apabila
seseorang memiliki alasan untuk tidak melakukan shalat dengan cara
berdiri maka ia boleh melakukannya dengan cara duduk, ataupun
berbaring. Seperti yang disebutkan pula pada firman Allah swt. artinya
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di
waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.8[8]
Apabila maksud ayat tersebut mengenai tata cara shalat, maka
sejalan dengan sebuah riwayat dari Imran bin Husain, ia berkata: Aku
bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai tata cara shalat bagi orang
yang menderita penyakit ambeien, beliau menjawab: Shalatlah dengan
cara berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah, apabila masih tidak
7[7] QS. Ali-Imran: 191
8[8] QS. An-Nisaa: 103

mampu maka berbaringlah. (HR. Bukhari, At-Tirmidzi, dan Imam Ahmad


dalam Musnadnya).
Keempat: Firman Allah swt., artinya: dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.9[9]
Pada ayat ini Allah swt. menggandengkan antara satu ibadah dengan
ibadah lainnya, yaitu tafakkur (merenungkan) kekuasaan Allah swt., yaitu
bertafakkur pada segala ciptaan Allah dan mengambil pelajaran dari apa
yang terbayangkan, agar semua itu dapat menambah wawasan mereka
terhadap Tuhan Yang Maha Pencipta.
Makna dari tafakkur ini adalah hati seseorang yang merasa bimbang
akan sesuatu. Oleh karena itu orang yang sering bimbang hatinya disebut
dengan orang yang selalu berpikir akan sesuatu.
Diriwayatkan, pada suatu ketika nabi saw. berlalu dihadapan suatu
kaum

yang

berpikir

mengenai

Allah,

lalu

Nabi

saw.

bersabda:

Merenunglah tentang ciptaan, dan jangan kamu merenung tentang


Pencipta, karena kalian tidak akan mampu untuk mencapainya.10[10]
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ketika ia menginap dirumah bibinya
Maimunah (ummul mukminin), di dalam hadits yang panjang itu
disebutkan: Lalu pada tengah malam Rasulullah saw. terjaga dari tidurnya,
dan segera menyeka wajahnya dengan tangannya dan membaca sepuluh
ayat terakhir dari surah Ali-Imran, lalu beliau berjalan menuju tempat air
tua yang tergantung disana, kemudian beliau berwudhu dengan wudhu
yang ringan (yang diwajibkan saja) kemudian beliau melakukan shalat
sunnah sebanyak tiga belas rakaat. (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Tafsir Ath-Thabari11[11]
Tafsir karya Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari adalah tafsir bil matsur yang
mutabar dan banyak dijadikan rujukan para ulama. Dan dalam bagian ini
akan disebutkan tafsir surah Ali-Imran ayat 190-191 menurut Ath-Thabari.
9[9] QS. Ali-Imran: 191
10[10] Hadits ini disebutkan oleh As-Suyuthi dalam kitab Al Jaami Al Kabiir
(2/1142) yang diriwayatkan dari Abu Asy-Syeikh, dari Ibnu Abbas (hadits
mauquf). Dan disebutkan juga dalam kitab Ash-shagir (no. 3346) dan As-Suyuthi
mengisyaratkan bahwa hadits ini termasuk hadits yang lemah.

Pertama:

Firman

Allah

swt.

artinya:

Sesungguhnya

dalam

penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.12[12]
Abu Jafar berkata: Ayat tersebut merupakan bantahan dan
argumentasi dari Allah swt. untuk orang yang mengatakan kata-kata
tersebut,13[13] serta hujjah bagi semua makhluk-Nya, bahwa Dialah yang
mengatur segalanya sesuai kehendak-Nya, dan kemampuan menjadikan
kaya dan miskin ada di tangan-Nya.
Allah swt. berfirman, Wahai manusia, merenung dan ambillah
pelajaran! Sungguh, apa yang Aku ciptakan di langit dan di bumi adalah
untuk kehidupan, kebutuhan, dan rezeki kalian. Demikian pula siang dan
malam, keduanya Aku jadikan bergantian; pada siang hari kalian bekerja,
sementara pada malam hari kalian istirahat. Sungguh, pada semuanya
ada pelajaran dan tanda kekuasaan-Ku. Siapa saja diantara kalian yang
memiliki akal, pasti tahu bahwa menyatakan kefakiran kepada-Ku dan
menyatakan yang lain sebagai yang kaya, adalah sebuah kedustaan yang
nyata, karena semuanya ada di tangan-Ku. Akulah yang mengaturnya,
dan seandainya Aku membatalkannya maka kalian pasti hancur.
Bagaimana bisa kefakiran itu dituduhkan kepada Allah, Dzat Yang
memiliki segala makhluk hidup, baik di langit maupun di bumi, bahkan
semuanya ada di tangan-Nya dan kembali kepada-Nya? Bagaimana bisa
seseorang dianggap kaya, sementara rezekinya ada di tangan Allah?
Oleh karena itu, berpikirlah wahai orang-orang yang berakal!
Kedua: Firman Allah swt. artinya: (Yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya

11[11] Abu Jafar Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jami Al Bayan an Tawil Ayi Al
Quran: Tafsir Ath-Thabari, penj., Akhmad Affandi, edit., Besus Hidayat Amin,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, hlm. 303-308
12[12] QS. Ali-Imran [3]: 190
13[13] Maksudnya kata Sesungguhnya Allah fakir, sementara kami kaya dalam
tafsir Ath-Thabari pada surah Ali-Imran ayat 189.

berkata), Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,


Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.14[14]
Abu Jafar berkata: Mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
adalah sifat orang-orang yang berakal. Jadi, makna ayat tersebut adalah,
Sesunguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya
malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
yakni orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau
berbaring.
Maksudnya, mereka berdiri dalam shalat, duduk ketika tasyahud, juga
pada selain shalat, serta berbaring ketika tidur.
Firman Allah swt. Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi. Maknanya adalah, Mereka mengambil pelajaran dari semua
penciptaan itu, lalu mereka tahu bahwa tidak ada yang membuatnya
kecuali Dia Yang menguasai segala sesuatu dan Maha Memberikan rezeki,
kecuali Yang menciptakan dan mengatur segala sesuatu, dan kecuali Dzat
Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Di tangan-Nya kemampuan untuk
menjadikan kaya dan miskin, kemampuan untuk memuliakan dan
menghinakan, kemampuan untuk menghidupkan dan mematikan, serta
kemampuan untuk menyengsarakan dan membahagiakan.
Firman Allah swt., Tiadalah Engkau menciptakan ini sia-sia. Abu
Jafar berkata, Maknanya adalah, Engkau tidak menciptakan penciptaan
ini dengan sia-sia dan senda-gurau, dan Engkau tidak meciptakannya
kecuali karena perkara besar, yakni pahala, siksa, perhitungan, dan
pembalasan.
Allah swt. lalu menyifati orang-orang tersebut dengan Ulul Albab (yang
berakal), adalah karena jika mereka melihat orang-orang yang diperintah
dan yang dilarang, maka ia berkata, Wahai Rabb, Engkau tidak
menciptakan mereka dalam keadaan batil atau sebatas senda-gurau, akan
tetapi Engkau menciptakan mereka karena perkara yang sangat besar,
yakni neraka atau surga.
Mereka kemudian memohon kepada Allah swt. agar diselamatkan dari
api neraka dan tidak dijadikan sebagai orang yang bermaksiat kepada-Nya
serta menentang perintah-Nya, sehingga menjadi ahli neraka.

14[14] QS. Ali-Imran [3]: 191

3. Tafsir Ibnu Katsir


Al-Hafizh Imaduddin Abul Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi
ad-Dimasyqi atau lebih dikenal dengan Ibnu Katsir, adalah salah seorang
ulama yang mahir di berbagai bidang ilmu agama di abad VIII H. Di antara
bidang yang ditekuninya adalah tafsir al-Quran.
Tafsir Ibnu Katsir adalah kitab tafsir yang paling tersohor di dunia
Islam. Ketersohorannya di dukung oleh penulisnya sendiri dan metode
penulisannya, yaitu bil matsur, sebuah metode penulisan tafsir yang
diakui valid, shahih, tepat, dan lurus karena menyandarkan penafsiran
ayat-ayat al-Quran kepada landasan yang kuat dan valid, yaitu penafsiran
al-quran dengan al-Quran, al-Quran dengan hadits, serta penafsiran alQuran dengan pendapat para ulama tafsir Salafush Shalih dari kalangan
para Sahabat dan Tabiin. Selain itu, tafsir ini ditopang dengan ilmu-ilmu
bahasa

Arab

dan

kaidah-kaidahnya

yang

lazim

digunakan

dalam

penafsiran ayat al-Quran al-Karim.15[15]


Selanjutnya di pembahasan ini pemakalah menggunakan terjemah
kitab Lubaabut tafsir min Ibni Katsiir yang disusun oleh Abdullah bin
Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh, guna mempermudah pemakalah
dalam penyusunan makalah ini.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang
yang berakal, (QS. 3: 190). (Yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa Neraka. (QS. 3:191)

15[15] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh, Lubaabut Tafsir
min Ibni Katsiir: Ringkasan Ibnu Katsir, penj., M. Abdul Ghoffar, edit., M. Yusuf, et
al., murajaah tim Pustaka Imam SyafiI, Jakarta: Pustaka Imam Asy-SyafiI, hlm.
xi

Makna ayat16[16] Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi.


Artinya, yaitu pada ketinggian dan keluasan langit dan juga pada
kerendahan bumi serta kepadatannya. Dan juga tanda-tanda kekuasaanNya yang terdapat pada ciptaan-Nya yang dapat dijangkau oleh indera
manusia pada keduanya (langit dan bumi), baik yang berupa; bintangbintang, komet, daratan dan lautan, pegunungan, dan pepohonan,
tumbuh-tumbuhan, tanaman, buah-buahan, binatang, barang tambang,
serta berbagai macam warna dan aneka ragam makanan dan bebauan,
Dan silih bergantinya malam dan siang. Yakni, silih bergantinya, susul
menyusulnya, panjang dan pendeknya. Terkadang ada malam yang lebih
panjang dan siang yang pendek. Lalu masing-masing menjadi seimbang.
Setelah itu, salah satunya mengambil masa dari yang lainnya sehingga
yang terjadi pendek menjadi lebih panjang, dan yang diambil menjadi
pendek yang sebelumnya panjang.
Semuanya itu merupakan ketetapan Allah yang Mahaperkasa lagi
Maha-mengetahui. Oleh karena itu Allah swt. berfirman Terdapat tandatanda bagi orang-orang yang berakal (Ulul Albab). Yaitu mereka yang
mempunyai akal yang sempurna lagi bersih, yang mengetahui hakikat
banyak hal secara jelas dan nyata. Mereka bukan orang-orang tuli dan
bisu yang tidak berakal. Allah swt. berfirman tentang mereka:
Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di
bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya.
Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan
dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan
lain) (QS. Yusuf: 105-106) kemudian Allah menyifati tentang Ulul Albab,
firman-Nya (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam
Muslim dari Imran bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak mampu, maka lakukanlah
sambil

duduk,

jika

kamu

berbaring

16[16] Ibid, hlm. 210-213

tidak

mampu,

maka

lakukanlah sambil

Maksudnya,

mereka

tidak

putus-putus

berdzikir

dalam

semua

keadaan, baik dengan hati maupun dengan lisan mereka. Dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Maksudnya, mereka
memahami apa yang terdapat pada keduanya (langit dan bumi) dari
kandungan hikmah yang menunjukkan keagungan al-Khaliq (Allah),
kekuasaan-Nya, keluasan ilmu-Nya, hikmah-Nya, pilihan-Nya, juga rahmatNya.
Syaikh Abu Sulaiman ad-Darani berkata: Sesungguhnya aku keluar
dari rumahku, lalu setiap sesuatu yang aku lihat, merupakan nikmat Allah
dan ada pelajaran bagi diriku. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dun-ya
dalam Kitab at-Tawakkul wal Itibar.
Al-Hasan al-Basri berkata: Berfikir sejenak lebih baik dari bangun
shalat malam.
Al-Fudhail mengatakan bahwa al-Hasan berkata: Berfikir adalah
cermin yang menunjukkan kebaikan dan kejelekanmu.
Sufyan bin Uyainah berkata: Berfikir (tentang kekuasaan Allah -ed)
adalah cahaya yang masuk ke dalam hatimu.
Nabi Isa as. berkata: Berbahagialah bagi orang yang lisannya selalu
berdzikir, diamnya selalu berfikir (tentang kekuasaan Allah -ed), dan
pandangannya mempunyai ibrah (pelajaran).
Luqman al-Hakim berkata: Sesungguhnya lama menyendiri akan
mengilhamkan untuk berfikir dan lama berfikir (tentang kuasaan Allah -ed)
adalah jalan-jalan menuju pintu surga.
Sungguh Allah mencela orang yang tidak mengambil pelajaran
tentang makhluk-makhluk-Nya yang menunjukkan kepada dzat-Nya, sifatNya, syariat-Nya, kekuasaan-Nya dan tanda-tanda (kekuasaan)-Nya.
Dan di sisi lain Allah swt. memuji hamba-hamba-Nya yang
beriman:(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi. Yang mana mereka berkata: Ya Rabb,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Artinya, Engkau tidak
menciptakan

semuanya

ini

dengan

sia-sia,

tetapi

dengan

penuh

kebenaran, agar Engkau memberikan balasan kepada orang-orang yang


beramal buruk terhadap apa-apa yang telah mereka kerjakan dan juga
memberikan balasan orang-orang yang beramal baik dengan balasan
yang lebih baik (Surga). Kemudian mereka menyucikan Allah dari

perbuatan sia-sia dan penciptaan yang bathil seraya berkata: Mahasuci


Engkau. Yakni dari menciptakan sesuatu yang sia-sia. Maka peliharalah
kami dari siksa Neraka. Maksudnya, wahai Rabb yang menciptakan
makhluk ini dengan sungguh-sungguh dan adil. Wahai Dzat yang jauh dari
kekurangan, aib dan kesia-siaan, peliharalah kami dari adzab Neraka
dengan daya dan kekuatan-Mu. Dan berikanlah taufik kepada kami dalam
menjalankan amal shalih yang dapat mengantarkan kami ke Surga serta
menyelamatkan kami dari adzab-Mu yang sangat pedih.

D. Hubungan QS. Ali-Imran ayat 190-191 dengan Pendidikan


Dalam pandangan John Dewey, pendidikan adalah sebagai proses
pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, yang menyangkut
daya pikir (intelektual) maupun daya rasa (emosi) manusia. 17[17] Dalam
hubungan ini, Al-Syaibani yang dikutip oleh Jalaluddin menjelaskan bahwa
pendidikan

adalah

usaha

mengubah

tingkah

laku

individu

dalam

kehidupan pribadinya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dan


kehidupan alam sekitarnya.18[18]
Sementara itu menurut Abdul Mujib dan Ahmad Mudzakkir 19[19]
mendefinisikan

mengenai

pendidikan

Islam

adalah

proses

transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik


melalui

upaya

pengajaran,

pembiasaan,

bimbingan,

pengasuhan,

pengawasan, dan pengembangan potensi-potensinya, guna mencapai


keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat. Definisi ini
memiliki lima unsur pokok pendidikan Islam, yaitu:
1. Proses transinternalisasi
2. Pengetahuan dan nilai Islam
3. Kepada peserta didik
17[17] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan
Pendidikan, cet., 3, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 8
18[18] Ibid.
19[19] Abdul Mujib dan Ahmad Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, cet., 2, Jakarta:
Kencana, 2008, hlm. 27-29

4.
5.

Melalui

upaya

pengajaran,

pembiasaan,

bimbingan,

pengasuhan,

pengawasan, dan pengembangan potensinya


Guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan
akhirat.
Dengan menghubungkan definisi ini, maka menurut pemakalah
hubungan antara Al-Quran surah Ali-Imran ayat 190-191 dengan
pendidikan terutama pendidikan Islam, diantaranya:

1.

Sumber pendidikan Islam adalah Al-Quran. Seperti yang diungkapkan


oleh Said Ismail Ali, sebagaimana yang dikutip Abdul Mujib, 20[20] bahwa
sumber pendidikan Islam terdiri atas enam macam, yaitu Al-Quran, AsSunnah, kata-kata sahabat, mashalil al-mursalah, urf, dan ijtihad. Ayat
ini21[21] tentu menjadi sumber dalam pendidikan Islam karena ia adalah

bagian dari Al-Quran.


2. Materi pendidikan. Materialisme adalah sebuah aliran filsafat pendidikan
yang menyatakan bahwa alam terdiri dari materi. Jadi, pendidikan itu
mengajarkan tentang semua materi. Ibnu Katsir dalam tafsirnya telah
menjelaskan hal ini dalam tafsirnya mengenai tafsir surah Ali-Imran ayat
190 di atas. Dengan merujuk pada tafsirnya, maka ayat ini membicarakan
berbagai bidang ilmu seperti: Astronomi, Biologi, Fisika, Kimia, Geografi,
3.

dan lain-lain.
Pengetahuan.

Dalam

aspek

pendidikan

ada

tiga

ranah

yang

dikembangkan dari peserta didik, yaitu afektif, kognitif, dan psikomotorik.


Kognitif merupakan salah satu kompetensi inti dalam Kurikulum 2013,
yaitu

memahami

pengetahuan

faktual

dengan

cara

mengamati

(mendengar, melihat, membaca) dan menanya berdasarkan rasa ingin


tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan bendabenda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah. 22[22] Pengetahuan

20[20] Ibid.
21[21] QS. Ali-Imran:190-191
22[22] M. Fadillah, Implementasi Kurikulum 2013: Dalam Pembelajaran SD/MI,
SMP/MTs, & SMA/MA. cet., 1, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014, hlm. 50

tidak didapat kecuali dengan mengembangkan potensi akal, dan ini telah
tertuang dalam surah Ali-Imran menurut Al-Qurthubi di atas.
4. Sikap dan keterampilan. Keduanya dalam pendidikan disebut afektif dan
psikomotorik. Pendidikan tidak hanya menekankan pada ranah kognitif
tetapi juga pada aspek afektif dan psikomotorik, ketiganya (termasuk
kognitif) tidak dapat dipisahkan bahkan harus seimbang. Dan kedua aspek
ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. yang tertuang dalam
haditsnya

dalam

menafsirkan

dan

merealisasikan

ayat

ini

dalam

kehidupan sehari-hari. Seperti dikatakan bahwa tafakur adalah thinking


(kognitif), shalat dan dzikir adalah (afektif dan psikomotorik). Inilah suri
tauladan yang baik dan patut dicontoh bagi pendidik maupun peserta
didik.

Anda mungkin juga menyukai