Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Organisasi Internasional

Kemunculan organisasi internasional pertama kali diinisiasi pada

Versailles Peace Conference atau Paris Peace Conference di tahun 1919,

yang merupakan pertemuan antarnegara dan pemerintah, serta menteri-

menteri luar negeri, untuk membahas mengenai perdamaian dan keamanan

internasional, melalui pertimbangan sosial dan ekonomi. Inti dari pertemuan

ini merupakan pembentukkan traktat perdamaian (peace treaty) serta

mengatur hubungan antar negara-negara setelah Perang Dunia I. Partisipan

Konferensi Paris ini memiliki dua fokus, yaitu penyelesaian hak kemenangan

perang, serta membangun fungsi sistem internasional setelah kehancuran

yang diciptakan akibat Perang Dunia I. Organisasi di dalam sistem

internasional kemudian diusulkan menjadi sebuah pengadilan internasional

sebagai ranah mengemukakan isu-isu terbuka, sebagai suatu badan

internasional di mana negara-negara anggota dapat mengambil keputusan

terhadap isu yang dikemukakan, serta organisasi yang memiliki badan tetap

untuk memastikan keputusan pengadilan tereksekusi dengan baik, di mana

akhirnya membentuk League of Nations atau Liga Bangsa-Bangsa (Archer,

2001:15). Selama beberapa tahun, LBB berjalan sesuai dengan fungsi sistem

internasional, dengan memberi tambahan untuk diplomasi internasional, serta


menjadi tempat pertemuan-pertemuan negara anggota untuk mendiskusikan

isu-isu global yang mengancam perdamaian dan keamanan. Namun, pada

akhirnya organisasi LBB ini tidak dapat mencegah Perang Dunia II, akibat

tidak berjalannya organisasi karena ditinggalkan oleh negara-negara yang

tidak mau melibatkan diri di luar wilayahnya (Archer, 2001:20).

Organisasi Internasional pengganti LBB kemudian dinegosiasikan saat

PD II, yaitu United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa yang kemudian

terbentuk pada tahun 1945, di mana kemudian menjadi tanda perubahan pada

lingkungan internasional, dengan kemunculan dan perkembangan organisasi-

organisasi internasional lain di berbagai bidang. Semakin berkembangnya

PBB pasca PD II dengan semakin bertambahnya negara-negara yang

menandatangani UN Charter, kemudian menghasilkan PBB yang universal

yang didukung oleh berbagai organisasi internasional dengan keanggotaan

yang lebih terbatas, seperti organisasi internasional yang terbatas pada

wilayah geografis tertentu seperti Arab League, ataupun organisasi

internasional yang terbatas pada ideologi dan kepentingan wilayah yang

didefinisikan seperti NATO (Archer, 2001:26). Clive Archer (2001) dalam

buku “International Organizations” mengemukakan bahwa organisasi

internasional tidak berada di dalam ruang politik yang hampa, melainkan

organisasi internasional merupakan bagian dari sistem negara modern di

mana bentuk dan kegiatan kelembagaannya mencerminkan harapan serta

ketakutan pemerintah negara-negara di dalam sistem internasional tersebut.


Organisasi internasional berangkat dari pemahaman mengenai

organisasi, di mana “organ” sebagai kata dasarnya, dapat diartikan sebagai

tubuh atau badan. Dalam hal ini, bahwa organisasi merupakan sebuah proses

institusionalisasi, pengorganan, atau pengaturan kegiatan-kegiatan dalam

kehidupan sosial. Adanya aktor-aktor yang memiliki fungsi yang berbeda,

namun semua memiliki tujuan yang sama dan saling melengkapi di dalam

sebuah sistem yang disebut sebagai organisasi (Archer, 2001:1). Pada

penerapannya dalam sistem internasional, bahwa hubungan internasional

dipandang sebagai sebuah sistem perilaku dari aktor-aktor internasional, di

mana setiap aktor berinteraksi dan bertindak sesuai dengan aturan dalam

lingkungan internasional.

Pandangan negara dan pemerintah mengenai konsep “internasional”

telah mengalami pergeseran selama empat dekade, di mana “internasional”

tidak digunakan hanya untuk hubungan antar negara berdaulat, atau yang

biasa disebut sebagai “intergovernmental”, melainkan saat ini konsep

“internasional” sendiri juga mulai digunakan untuk menggambarkan aktivitas

antara individu atau kelompok di satu negara dengan individu atau kelompok

di negara lain. Hubungan-hubungan, baik antar-pemerintah

(intergovernmental), lintas-pemerintah (transgovernmental), dan lintas-

negara (transnational), kemudian termasuk pada konsep “internasional”.

Duverger (1972) menyebutkan bahwa organisasi di dalam hubungan

internasional dapat dilihat sebagai institusi, yaitu sebuah bentuk-bentuk

kolektif atau struktur dasar dari organisasi sosial yang dibangun, baik dari
hukum ataupun dari tradisi manusia, baik itu adalah perdagangan, diplomasi,

ataupun organisasi internasional. Organisasi internasional dalam hal ini

mewakili bentuk institusi yang mengacu pada sistem formal dari sebuah

objektif atau aturan, yang memiliki konstitusi, hierarki administratif, hingga

aturan-aturan di dalam institusi (Duverger, 1972:68).

Archer kemudian mengemukakan bahwa organisasi internasional

memiliki tujuan dan kegiatan yang berkisar dari tujuan umum atau luas,

hingga pada tujuan khusus atau spesifik, di mana dalam memahami tujuan

organisasi internasional, perlu mempertimbangkan jenis hubungan antar

anggota dalam organisasi, yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu (Archer,

2001:54-55):

1. Organisasi yang bertujuan untuk mendorong hubungan kerjasama

antar anggota negara yang tidak dalam keadaan konflik. Dalam hal

ini, tujuan organisasi internasional adalah untuk meningkatkan

kerjasama yang telah terjalin.

2. Organisasi yang bertujuan untuk mengurangi tingkat konflik antar

anggota negara dengan cara pencegahan konflik atau manajemen

konflik, di mana organisasi berperan sebagai mediator untuk

menggeser hubungan konflik atau potensial konflik menjadi

hubungan kerjasama.

3. Organisasi yang bertujuan untuk menghasilkan konfrontasi antar

negara yang berbeda pendapat, atau antar negara dengan pihak non-
negara, di mana organisasi berperan untuk menggeser hubungan

kerjasama menjadi konflik.

Selanjutnya, untuk lebih memahami organisasi internasional, Archer

menjelaskan mengenai pentingnya untuk menginvestigasi karakteristik-

karakteristik organisasi internasional, yang mana terdapat tiga karakteristik

yang disebutkan oleh Archer dalam bukunya, yaitu: (1) Keanggotaan

(Membership). Agar dapat disebut sebagai organisasi internasional,

dibutuhkan keanggotaan yang setidaknya terdiri dari dua atau lebih negara,

meskipun keanggotaan tidak dibatasi hanya untuk negara atau perwakilan

resmi negara, seperti keanggotaan di dalam organisasi non-pemerintah atau

NGOs; (2) Tujuan (Aim). Organisasi internasional didirikan dengan tujuan

untuk mengejar kepentingan bersama para anggotanya, dalam artian bahwa

organisasi tidak dapat digunakan hanya untuk mencapai kepentingan satu

pihak anggotanya; (3) Struktur (Structure). Organisasi internasional harus

memiliki struktur formal berkelanjutan tersendiri yang ditetapkan oleh

perjanjian. Maka dari itu, kemudian Clive Archer dalam bukunya

mendefinisikan organisasi internasional sebagai struktur formal dan

berkelanjutan yang dibentuk oleh kesepakatan atau perjanjian antara anggota

organisasi (pemerintah atau non-pemerintah) dari dua atau lebih negara

dengan tujuan untuk meraih mengejar kepentingan bersama dari semua

keanggotaan organisasi tersebut (Archer, 2001:33).


Clive Archer kemudian menjelaskan jenis-jenis organisasi internasional

melalui pembahasan mengenai kriteria keanggotaan organisasi internasional.

Telah disebutkan bahwa keanggotaan dari organisasi internasional memiliki

jenisnya tersendiri, di mana tidak semua organisasi internasional

beranggotakan dari negara-negara ataupun perwakilan pemerintahnya.

Archer kemudian membagikan jenis-jenis organisasi internasional menjadi

organisasi dengan keanggotaan yang terdiri dari pemerintah-pemerintah

negara (intergovernmental organizations) dan organisasi dengan

keanggotaan yang terdiri dari non-pemerintah (non-governmental

organizations) (Archer, 2001:35). Organisasi internasional non-pemerintah

atau NGOs dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi non-profit yang

dibetuk secara sukarela oleh pihak-pihak non-pemerintah yang berorientasi

pada tugas dan fungsinya sebagai organisasi layanan dan kemanusiaan, di

mana bertujuan untuk mengadvokasi kebijakan dan partisipasi politik di suatu

negara. Beberapa organisasi internasional non-pemerintah berorganisasi di

seputar isu-isu spesifik seperti hak asasi manusia, lingkungan, dan kesehatan

(NGO Global Network, 2001). Salah satu contoh dari organisasi internasional

non-pemerintah, yaitu Komisi Internasional Palang Merah (ICRC).

Organisasi internasional non-pemerintah ini dapat dikatakan memiliki

kriteria dan fungsi yang berbeda dengan organisasi antar-pemerintah atau

IGOs. Menurut Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, bahwa “setiap organisasi

internasional yang tidak diciptakan melalui perjanjian antar-pemerintah harus

dianggap sebagai organisasi internasional non-pemerintah”, maka dapat


dikatakan bahwa organisasi antar-pemerintah terbentuk karena terdapat

perjanjian diantara pemerintah negara untuk membentuk organisasi untuk

mencapai kepentingan bersama untuk negara-negara anggotanya. Menurut

Union of International Associations (UIA), organisasi antar-pemerintah

merupakan suatu organisasi yang terdiri dari negara-negara berdaulat, yang

dibentuk oleh suatu pakta atau perjanjian lain yang bertindak sebagai piagam

yang membentuk organisasi (Union of International Associations, 1976). Di

dalam sistem internasional itu sendiri, organisasi antar-pemerintah memiliki

peran tersendiri, yaitu berkontribusi pada upaya kerja sama antar negara,

dalam hal ini juga upaya sosialisasi negara. Kemudian, beberapa organisasi

antar-pemerintah juga memainkan peran dalam menyelesaikan sengketa,

serta menetapkan aturan dan memaksa negara-negara anggotanya untuk

mematuhi peraturan tersebut. Lainnya, bahwa organisasi internasional

berperan untuk memecahkan isu-isu utama global (Mingst, 2004:16).

Clive Archer kemudian melanjutkannya dengan fungsi-fungsi daripada

organisasi internasional itu sendiri, di mana terbagi menjadi 7, yaitu (Archer,

2001:92-107): (1) Artikulasi dan Gregasi, di mana organisasi internasional

berfungsi untuk menjadi instrumen artikulasi bagi kepentingan negara

anggota dan menjadi forum dimana kepentingan-kepentingan negara anggota

di artikulasikan; (2) Norma-norma, di mana organisasi internasional

berfungsi memberikan seperangkat nilai untuk menjadi pegangan atau

rujukan bagi negara anggota; (3) Rekrutmen, di mana organisasi internasional

dapat merekrut partisipan untuk setiap aktivitas sistem politik internasional,


di mana organisasi internasional berfungsi untuk menampilkan kepentingan-

kepentingan organisasi internasional sebagai badan independen kepada

masyarakat internasional; (4) Sosialisasi, di mana organisasi internasional

berfungsi untuk mendorong dan mempertahankan loyalitas individu di dalam

sebuah sistem, di mana fungsi ini bekerja pada dua level, yaitu melewati batas

negara untuk mempengaruhi pada level individu, serta dilakukan antar negara

melewati delegasi-delegasinya; (5) Rule-making, di mana organisasi

internasional berfungsi untuk memformulasikan aturan-aturan untuk

diterapkan, baik di dalam organisasi itu sendiri, ataupun membantu negara

anggota untuk membentuk aturan di ranah nasional; (6) Rule-application, di

mana organisasi internasional kemudian berfungsi untuk mengawasi negara

anggota untuk mengaplikasikan aturan-aturan yang telah dibentuk dengan

baik; (7) Rule-adjudication, biasa dilakukan oleh organisasi-organisasi

hukum, berfungsi untuk mengembangkan atau menafsirkan hukum sesuai

dengan penilaian organisasi, sehingga aturan baru dapat ditetapkan; (8)

Informasi, di mana organisasi internasional berfungsi dalam menyediakan

informasi dan komunikasi, tanpa harus terlibat langsung dalam adaptasi,

penerapan, serta pemeliharaan program; (9) Operasi, fungsi organisasi

internasional juga termasuk pada pengoperasiannya di berbagai bidang, mulai

dari ekonomi seperti International Bank for Reconstruction and

Development, ataupun di bidang bantuan seperti UN High Commission for

Refugees.
2.1.1 Peran Organisasi Internasional

Organisasi internasional memposisikan diri di dalam pasar politik

ketika hubungan antar individu, kelompok, privat, bangsa, negara, dan blok

dapat diamati. Di dalam sistem internasional itu sendiri, organisasi

internasional memiliki peran dan fungsinya, di mana beberapa organisasi

memiliki peran dan fungsi yang terbatas, sementara beberapa organisasi

lainnya dapat mencakup peran dan fungsi yang lebih luas. Secara alami, peran

yang dimainkan oleh organisasi internasional akan mempengaruhi fungsi

yang dilakukan di dalam hubungan internasional. Tiga peran utama dari

organisasi internasional kemudian dikemukakan oleh Clive Archer, di mana

terdapat tiga peran, yaitu sebagai instrumen, arena, serta aktor (Archer,

2001:68).

Peran pertama, yaitu organisasi internasional sebagai instrumen, di

mana organisasi internasional, dalam kasus ini umumnya organisasi antar-

pemerintah, menjadi sebuah instrumen yang digunakan oleh anggota negara

untuk mencapai tujuannya. Pada beberapa kasus, organisasi internasional

dipandang tidak lebih dari sekedar instrumen kebijakan pemerintah, atau

dipandang sebagai sarana diplomasi sejumlah negara. Myrdal (1955)

berpendapat bahwa ketika organisasi antarpemerintah pertama kali dibentuk,

organisasi tersebut hanya semata-mata menjadi sarana suatu negara untuk

membatasi aktivitas negara lain dalam bidang tertentu. Dalam hal ini,

organisasi internasional menjadi penting dalam peranannya untuk

melaksanakan kebijakan nasional, hingga pengertian bahwa koordinasi


multilteral di dalam organisasi dianggap hanya menjadi bentuk luas dari

kebijakan pemerintah nasional (Myrdal, 1955:4-5). Pandangan ini secara jelas

menempatkan organisasi internasional, khususnya organisasi antar-

pemerintah, ke dalam perannya sebagai instrumen yang digunakan oleh

negara-negara anggota, dengan konsekuensi bahwa organisasi internasional

akan diperebutkan oleh negara-negara anggota, di mana sifat independennya

menjadi hilang. Penggunaan organisasi internasional sebagai alat tambahan

untuk melaksanakan kebijakan negara anggotanya dapat dikatakan

mempengaruhi konstitusi dan pengembangan organisasi internasional itu

sendiri. Maka dari itu, batasan-batasan kemudian dibangun untuk mencegah

organisasi internasional digunakan sebagai instrumen kebijakan nasional.

Sebagai contoh, dapat dilihat dari Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa, di

mana organisasi ini dibangun sesederhana mungkin untuk mencegah negara-

negara anggota untuk kehilangan kendali atas organisasi tersebut, di mana

perjanjian-perjanjian multilateral, pengaturan kerja sama, hingga koordinasi

kebijakan nasional hanya akan diterima sebagai seperangkat janji bersama

oleh negara-negara anggota (Myrdal, 1955:8).

Pandangan lain mengenai peran organisasi internasional adalah bahwa

organisasi internasional menjadi arena atau forum di mana tindakan-tindakan

dilakukan. Dalam hal ini, bahwa Archer memandang bahwa organisasi

internasional merupakan badan netral, di mana organisasi internasional

menyediakan tempat pertemuan bagi negara-negara anggota untuk

melakukan diskusi, penyampaian pendapat, kerja sama, hingga


ketidaksetujuan, ataupun penguatan diplomasi bagi kepentingan nasional

negara (Archer, 2001:73). Organisasi seperti PBB dalam perannya sebagai

arena diwujudkan dengan pembentukkan UN General Assembly, di mana

negara-negara anggota dapat melakukan negosiasi, pemungutan suara, serta

mengadakan perundingan ad-hoc.

Peran ketiga dari organisasi internasional dalam sistem internasional

merupakan sebagai aktor independen. Hal ini, bahwa organisasi internasional

memiliki daya atau power sebagai aktor tunggal, di mana organisasi dapat

bertindak di ranah global tanpa dipengaruhi secara signifikan oleh kekuatan

luar, ataupun dari negara-negara anggota organisasi tersebut. Wolfers (1962)

mengemukakan bahwa organisasi internasional sebagai aktor bergantung

pada rekomendasi, atau resolusi dari organnya untuk menarik pemerintah

negara untuk bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan organisasi

internasional tersebut (Wolfers, 1962:23). Archer melanjutkan bahwa

organisasi yang kuat dalam sistem internasional merupakan organisasi yang

mampu membuat keputusannya sendiri, serta mampu untuk bersikap tidak

setuju dengan keinginan negara-negara, demikian juga memiliki power untuk

menjadi aktor internasional dan menjadi pesain negara-negara (Archer,

2001:79).

Memang, hampir seluruh organisasi internasional bergantung pada

keberadaan dari keanggotaannya, misalnya PBB sebagai serikat perdagangan,

yang membutuhkan kontribusi negara-negara anggota agar program tetap

berjalan. Sebagian lain organisasi internasional tidak memiliki bentuk


kelembagaan yang kuat sehingga organisasi dipandang tidak lebih dari

sekedar kegiatan kolektif negara-negara anggota. Namun, Archer

menyebutkan bahwa terdapat organisasi-organisasi internasional yang

memiliki kerangka kerja institusional yang memungkinkan organisasi

tersebut untuk mencapai kepentingan organisasinya, terlepas dari kontribusi

negara-negara anggotanya (Archer, 2001:79). Tidak dapat disangkal bahwa

organisasi internasional memang dapat dikatakan hanya berperan sebagai

instrumen yang digunakan oleh negara untuk mencapai kepentingan

nasionalnya, namun perlu juga memperhatikan bahwa keberadaan organisasi

serta kekuatan lembaganya menunjukkan bahwa organisasi ini dapat

membuat keputusannya sendiri, serta dapat bertindak bertentangan dengan

keinginan negara-negara anggotanya, serta sebagai aktor yang dapat

mempengaruhi tindakan negara atau pihak lainnya (Archer, 2001:80).

Organisasi-organisasi internasional non-pemerintah seperti

International Committee Red Cross atau ICRC merupakan salah satu bentuk

organisasi internasional yang berperan sebagai aktor yang memiliki identitas

privatnya sendiri dan menunjukkan bahwa organisasinya dapat lebih kuat

daripada anggotanya, yang telah bertindak secara efektif di ranah global,

seperti menyediakan bantuan-bantuan di zona perang atau zona bencana,

ataupun menyediakan layanan sebagai mediator dalam konflik internasional

(ICRC, 2014). Selain itu, beberapa organisasi internasional, terlepas dari

kehendak kedaulatan negara pendirinya, diberikan kewenangan terpisah

untuk bertindak di kancah internasional, sebagai contoh yaitu International


Court of Justice atau ICJ. Struktur dari ICJ ini mencegah gangguan-gangguan

dari negara anggotanya, di mana keputusannya diambil secara independen,

dan setiap kasus diputuskan sesuai dengan standar hukum internasional yang

berlaku, bukan dari gabungan hukum nasional dari negara yang

bekepentingan (ICJ, 2007).

Clive Archer kemudian menegaskan bahwa tiga peran yang telah

dikemukakan, yaitu instrumen, arena, dan aktor, tidak dimainkan secara

eksklusif. Hal ini berarti, pada beberapa kasus, suatu organisasi internasional

dapat memiliki beberapa peran sekaligus. PBB dapat dikatakan menjadi salah

satu contoh bahwa organisasi dapat sekaligus berperan sebagai aktor,

instrumen, dan arena. Pada skala yang lebih kecil, organisasi internasional,

baik organisasi antar-pemerintah ataupun organisasi internasional non-

pemerintah, dapat setidaknya memiliki dua peran. Sebagai contoh, yaitu Uni

Eropa, di mana selain berperan sebagai forum untuk negara-negara anggota

mendiskusikan masalah-masalah politik seperti penyediaan bantuan hingga

terorisme, Uni Eropa juga berperan sebagai aktor independen melalui institusi

serta wewenang kuat untuk negara-negara anggotanya (Archer, 2001:90-91).

Maka kemudian, generalisasi dari ketiga peran organisasi internasional, yaitu:

Pertama, apabila organisasi dibangun dengan sumber daya dan badan yang

kuat, serta membatasi campur tangan anggotanya, maka kemungkinan

organisasi internasional tersebut berperan sebagai aktor independen; Kedua,

apabila anggota organisasi memiliki perlindungan konstitusional yang

mencegah badan di dalam organisasi untuk dapat berkembang, maka


kemungkinan bahwa organisasi internasional tersebut hanya berperan sebagai

forum atau instrumen kebijakan bagi beberapa anggota organisasi; Ketiga,

apabila organisasi internasional didominasi oleh satu anggota kuat, maka

kemungkinan organisasi internasional berperan sebagai instrumen (Archer,

2001:92).

Organisasi internasional dapat berperan sebagai pelengkap paradigma

nasional, dan dapat mempengaruhi proses kebijakan nasional. Organisasi

internasional berpartisipasi sebagai aktor independen yang netral di ranah

global dan dapat mengubah hubungan antar negara, serta meningkatkan

efisiensi dan legitimasi keputusan satu anggota atau kolektifnya, di mana

pada ahirnya dapat berpengaruh pada kebijakan nasional anggotanya

(Gabriela, 2013:311). Pengaruh organisasi internasional terhadap pembuatan

kebijakan nasional ini kemudian dapat dipahami dari keputusan kepatuhan

suatu negara anggota di dalam organisasi internasional tersebut. Dalam hal

ini, organisasi internasional dapat memfasilitasi kepatuhan negara anggota

dengan meningkatkan pengaruh politik dan kapasitas informasi dari pihak

domestik. Kemudian, organisasi internasional akan berperan untuk

memberikan reokomendasi-rekomendasi kebijakan nasional kepada negara

yang telah patuh untuk membantu penyelesaian isu-isu domestik yang belum

dapat diselesaikan oleh negara anggota itu sendiri (Dai, 2007:145).

2.2 Civil Society

Civil society merupakan sebuah konsep yang menunjukkan kelompok

masyarakat yang bergerak dalam sebuah tujuan yang sama dan memiliki nilai
hidup yang sama. Civil Society tidak memiliki ikatan dengan aktor

pemerintah lainnya dan bukan juga organisasi non-pemerintah yang memiliki

struktur yang baku. Dalam sejah demokrasi sendiri, civil society merupakan

salah satu penggerak utama dalam jalannya berbagai revolusi dari negara-

negara otoriter menjadi negara-negara yang bersifat lebih demokratis. Civil

society dalam tatanan politik menjadi elemen penting dalam penggerak

berbagai kebijakan dari sebuah negara. Civil society menjadi penggerak

utama dalam suksesnya berbagai kebijakan di level nasional. Di negara-

negara demokrasi seperti halnya Indonesia, civil society dalam hal ini

memegang peranan penting dalam proses checks-and-balance sebuah

kebijakan (Thomson et al. (ed), 2008:1-5).

Dalam definisi lainnya, Jan Aart Scholte (1999:2) menyatakan bahwa

civil society tidak didefinisikan dengan sebuah definisi yang ajeg. Karena

civil society dianggap sebagai sebuah konsep yang memiliki banyak spektrum

dalam pendefinisiannya. Sebagai contohnya, kelompok masyarakat yang

memiliki visi yang sama, tujuan yang sama seperti halnya kelompok pekerja

yang melaksanakan sebuah protes pada sebuah masyarakat kapitalis dapat

dikatakan sebagai civil society. Namun, di sisi lain, masyarakat yang hidup

bersama, memiliki nilai kehidupan yang sama juga dapat dikatakan sebagai

civil society. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam definisi yang fluid ini,

berbagai kelompok masyarakat yang tidak memiliki basis struktural, namun

bergerak dalam sebuah visi atau nilai yang sama dapat dikatakan sebagai

sebuah civil society.


Sulit untuk menemukan ahli yang mendefinisikan civil society dalam

definisi yang bulat. Namun, untuk mempermudah pendefinisiannya, Scholte

(1999:3) memulai pendefinisiannya dengan mengurutkan apa saja hal yang

tidak mendefinisikan civil society. Pertama, civil society tidaklah memiliki

sebuah struktur yang secara formal terbentuk dan memiliki status hukum,

tidak juga merupakan bagian dati sebuah gerakan politik maupun memiliki

tujuan yang bersifat politik (seperti halnya mengambil dominasi dalam

pemerintahan). Kedua, civil society bukan juga merupakan sebuah pasar

(market), di mana tidak memiliki basis komersial dalam perkumpulan

ataupun visi dalam perkumpulannya, dan bukanlah sebuah kelompok

masyarakat yang bergerak untuk meraih keuntungan. Faktor ketiga yang

dapat melengkapi definisi dari civil society adalah kemampuan untuk

menggerakkan arah dari kebijakan dari sebuah negara. Sehingga, dapat

dikatakan bahwa civil society merupakan sekumpulan orang yang berkumpul

dalam sebuah asosiasi tanpa ikatan yang secara sukarela berkumpul untuk

sebuah visi/ tujuan yang sama tanpa adanya tujuan-tujuan politis dalam

sebuah arena negara. Sekalipun bukan sebiuah hal yang bersifat sine qua non,

namun biasanya civil society memiliki sebuah kekuatan untuk mendorong

berbagai aktor politik, baik di level nasional dan internasional untuk merubah

bahkan mengganti haluan kebijakan/ politiknya. Sehingga dalam definisi ini,

dapat dikatakan bahwa civil society merupakan sebuah definisi yang fluid dari

berbagai kelompok masyarakat.


Civil society juga mendorong adanya keanekaragaman dalam bentuk

organisasi, keanggotaan dan juga konstituensinya. Bahkan, pada beberapa

konteks tertentu, banyak pula civil society yang membentuk struktur

organisasinya sendiri, namun tetap menamakan dirinya sebagai sebuah civil

society. Seperti halnya Gereja Katolik Roma yang dapat dikatakan sebagai

sebuah civil society. Hal ini dikarenakan posisi dari gereja sendiri yang

bukanlah merupakan entitas pusat yang mengikat pengikutnya. Kesukarelaan

anggotanya inilah yang menjadi titik tolak utama dalam sebuah kelompok

civil society. UNICEF sendiri tidak membatasi definisi dari civil society

karena keanekaragaman pendefinisian civil society sebagai sebuah organisasi

dalam tatanan studi organisasi.

Salah satu ciri utama dari civil society ini adalah adanya sebuah visi

atau nilai yang dibagi bersama yang dianggap sebagai nilai kunci. Orientasi

nilai inilah yang menjadi kekuatan dari civil society dalam menjadi aktor yang

relevan dalam kontestasi politik nasional dan internasional tanpa perlu

memiliki tujuan sebagai pendominasi panggung tersebut. Jumlah massa yang

terepresentasikan, dan juga kepentingan massa yang menjadi kekuatan yang

menggerakan berbagai event di panggung nasional dan internasional. Di

Inggris, kaum pekerjalah yang menjadi kelompok utama yang menggerakkan

massa di masa revolusi industri.

Selama dua dekade terakhir, masyarakat sipil telah berkembang secara

signifikan. Dilihat di tingkat global, masyarakat sipil berkembang jauh dari

perkiraan berbagai ahli di bidang masyarakat sipil. Teknologi, perkembangan


geopolitik nasional dan internasional, serta perkembangan pasar telah

menciptakan peluang dan tekanan bagi masyarakat sipil, memacu penciptaan

jutaan organisasi masyarakat sipil di seluruh dunia, sehingga memunculkan

model menarik untuk ekspresi warga negara baik dalam dimensi online

maupun offline, serta menghasilkan peningkatan keterlibatan dalam proses

tata kelola nasional sebuah negara dan tata kelola global pada tingkatan yang

lebih lanjut (WEF, 2013).

Masyarakat sipil saat ini diakui sebagai aktor yang signifikan, di

definisikan sebagai sebuah ekosistem individu, komunitas, dan organisasi

yang visi, misi, peranan dan fungsinya semakin beragam dan semakin luas.

Teknologi informasi dan komunikasi telah membuka ruang kekuasaan,

pengaruh dan asosiasi untuk konfigurasi baru para aktor, yang mengarah pada

pertumbuhan signifikan aktivitas masyarakat sipil secara online, dan

memungkinkan jaringan dibangun di seluruh wilayah geografis, sosial dan

fisik. Jaringan ini memungkinkan lebih banyak orang untuk berkumpul dan

secara bersama mengatasi tantangan sosial. Dalam memahami konsep civil

society pada konsep modern seperti yang dipaparkan oleh World Economic

Forum, yang paling penting adalah memahami kemampuan kelompok

tersebut untuk menggerakkan berbagai elemen dalam masyarakat hanya

melalui pergerakkan sistematis secara online. Aksi penggalangan dana untuk

dana konservasi wilayah adat, ataupun petisi untuk mempertahankan

peraturan mengenai perlindungan daerah tempat tinggal masyarakat adat di

berbagai wilayah Indonesia. Hal inilah yang menjadi ciri khas utama dari civil
society. Adanya sebuah pergerakan yang masif, tanpa paksaan, sukarela untuk

mencapai sebuah tujuan yang dilakukan oleh masyarakat yang menyatakan

diri sebagai masyarakat dalam satu identitas yang sama (WEF, 2013).

Melalui definisi dan elaborasi yang telah dijelaskan pada bagian

sebelumnya, maka World Economic Forum (2013) memberikan beberapa

penjelasan mengenai peranan-peranan dari civil society sebagai salah satu

pemangku kepentingan penting dalam sistem masyarakat yang memiliki

fleksibilitas dalam elemen dan struktur organisasinya. Namun, dalam

memahami civil society, harus juga memahami bahwa sumber modal sosial

berubah dalam dunia yang semakin mengglobal dengan adanya

perkembangan sistem informasi dan teknologi, dunia menjadi sangat

terhubung dan setiap aktor seolah-olah memegang banyak peranan dalam

berbagai isu yang semakin multi-perspektif. Dalam ekosistem kompleks ini,

berbagai aktivitas dan hubungan yang dilakukan oleh masyarakat sipil, dapat

meliputi tindakan yang dilakukan oleh beberapa aktor secara kolektif, dengan

agama dan budaya menjadi dasar utama dalam visi pergerakannya, serta

komunitas media sosial yang semakin memainkan peranan penting dalam

perkembangan civil society. Peranan-peranan tersebut adalah (WEF, 2013):

1. Watchdog: di mana masyarakat sipil memegang peranan penting dalam

menjaga akuntabilitas dari institusi-insitui formal lainnya , seperti halnya

pemerintah dan organisasi-organisasi yang berhubungan dan memiliki

program berkaitan dengan masyarakat. Mempromosikan transparansi

dan akuntabilitas;
2. Advokat: membantu meingkatkan kesadaran akan isu-isu sosial yang ada

dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dan mengadvokasi

perubahan yang signifikan di kalangan masyarakat.

3. Penyedia layanan bagi masyarakat: memberikan layanan yang memenuhi

kebutuhan dari masyarakat, seperti halnya pendidikan, kesehatan,

makanan, dan keamanan; mengimplementasikan manajemen bencana,

ketersiapan dan respons darurat terhadap berbagai isu sosial yang ada

4. Ahli: membawa pengetahuan yang unik dan pengalaman untuk

membentuk kebijakan dan strategi, dan mengidentifikasi dan

membangun solusi untuk kebutuhan bersama;

5. Pembangun kapasitas masyarakat: membangun kapasitas sosial dari

masyarakat dalam mempersiapkan diri terhadpa berbagai perubahan

yang terjadi dalam sistem global.

6. Inkubator: membangun solusi yang membutuhkan waktu yang lama

untuk diselesaikan, dan solusi-solusi yang dapat bersifat jangka panjang.

7. Perwakilan dari masyarakat: memberikan kekuatan bagi masyarakat

yang termarginalisasi, dan mewakili suara kelompok minoritas

8. Penguat peranan masyarakat: mendorong masyarakat untuk dapat

berperan lebih dalam masyarakat dan mendukung hak-hak masyarakat

9. Pendukung solidaritas masyarakat: mempromosikan isu-isu fundamental

dan universal

10. Pembentuk standar dalam masyarakat: membuat norma dan membentuk

pasar dan aktivitas nasional.


Menyadari bahwa tidak ada satu sektor pun yang dapat menyelesaikan

tantangan sosial utama dunia sendirian, peran-peran yang tersebut semakin

diperkuat dengan adanya keterlibatan dalam kemitraan dan kerangka kerja

kolaboratif di seluruh masyarakat sipil, dan dengan adanya kolaborasi dengan

para pemangku kepentingan dari sektor bisnis, pemerintah, dan organisasi

internasional. Konsep unik masyarakat sipil sebagai "ruang di mana kita

bertindak untuk kebaikan bersama" semakin berkembang, karena aktor

masyarakat sipil sering memainkan peran enabler (aktor yang

memungkinkan transformasi kepentingan individu kolektif menjadi

kepentingan aktor lainnya) dalam mendorong perubahan dalam sistem dan

membentuk jalinan-jalinan kolaborasi dengan pemangku kepentingan lain

Sebagai bagian dari "dasar sosial untuk demokrasi", masyarakat sipil

mewakili bagian mendasar dari sistem demokrasi dan menyoroti isu-isu

penting. Masyarakat sipil memiliki kemampuan untuk mengekspresikan

pandangan kontroversial; mewakili kelompok yang tidak memiliki suara;

memobilisasi warga ke dalam gerakan; membangun dukungan lintas

pemangku kepentingan; dan membawa kredibilitas ke sistem politik dengan

mempromosikan transparansi dan akuntabilitas. Dalam hal perumusan

kebijakan, masyarakat sipil adalah mitra yang berharga dalam menyediakan

keahlian subjek yang mendalam berdasarkan pengalaman langsung, menguji

coba dan meningkatkan inovasi dalam layanan sosial dan memfasilitasi

keterlibatan warga negara.


Perwakilan masyarakat sipil sering bertindak demi kepentingan publik

sebagai pelapor, meminta pertanggungjawaban lembaga dan perorangan -

misalnya terkait pencemaran lingkungan dan penghindaran pajak. Ini adalah

layanan berharga yang melengkapi peraturan pemerintah dan pengawasan,

tetapi layanan yang dapat dinilai lebih rendah. Demikian pula, kegiatan

masyarakat sipil, baik sendiri maupun dalam kemitraan publik-swasta,

seringkali melengkapi (dan seringkali melengkapi) bantuan pemerintah

dalam menyediakan berbagai layanan kepada populasi.


2.3 Kerangka Pemikiran

Organisasi
Internasional
Mempengaruhi
tidak langsung

Peran Organisasi
Internasional:

 Aktor
 Arena
 Instrumen

UNDP

REDD+

Pemerintah
Indonesia

Masyarakat Adat Civil

Kalimantan Tengah Society

Mengurangi emisi gas akibat


deforestasi di Kalimantan
Tengah

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran (Sumber: Olahan Periset)


Organisasi internasional yang merupakan struktur formal dan

berkelanjutan yang dibentuk oleh kesepakatan atau perjanjian antara anggota

organisasi memiliki peran yang terbagi menjadi tiga, yaitu aktor, instrumen,

serta arena yang bekerja, baik pada sistem internasional ataupun sistem

nasional. Organisasi internasional yang berperan sebagai instrumen untuk

mendukung kebijakan nasional negara anggotanya, kemudian dimunculkan

dalam kasus UNDP dalam REDD+ yang berperan untuk membantu

memberikan rekomendasi-rekomendasi kebijakan nasional ke pemerintah

Indonesia terkait pelibatan masyarakat adat di Kalimantan Tengah pada

program REDD+ dalam rangka mengurangi emisi gas akibat deforestasi di

Kalimantan Tengah. Pentingnya mengikutsertakan masyarakat adat

dimunculkan dalam konsep civil society, di mana dengan fokus pada suatu isu

tertentu secara spesifik, memungkinkan kelompok tersebut untuk lebih

mengenali dan mengidentifikasi risiko dan bahaya secara lebih cepat, serta

dapat mengusulkan solusi yang lebih bermanfaat. Selain itu, sebagai civil

society, masyarakat adat menggunakan suaranya untuk representasi dan

menuntut hak-hak nya sebagai aktor dalam program REDD+

Anda mungkin juga menyukai