Anda di halaman 1dari 28

Jurnal dan Pengarang Hasil dan Pembahasan Kesimpulan

Judul : DAMPAK Menurut Supartini (2004), hospitalisasi merupakan suatu proses dimana Hospitalisasi adalah suatu
HOSPITALISASI karena alasan tertentu atau darurat mengharuskan anak untuk tinggal di RS, kondisi dimana anak harus
TERHADAP menjalani terapi perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. menginap dirumah sakit
PERKEMBANGAN Hospitalisasi adalah bentuk stressor individu yang berlangsung selama dengan alaan tertentu , dan di
ANAK individu tersebut dirawat di rumah sakit (Wong,2003) haruskan mendapatkan
Penulis : Yuli Utami Menurut WHO, hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam perawatan selama di rumah
Nama Jurnal : Jurnal ketika anak menjalani hospitalisasi karena stressor yang dihadapi dapat sakit sebelum akhirnya
Ilmiah WIDYA menimbulkan perasaan tidak aman kembali kerumah
Volume 2 Nomor 2 Hospitalisasi akan memberikan
Mei-Juli 2014 stressor dan reaksi beragam
dari toddler.Stresor tersebut
akan menyembabkan tumbuh
perasaan tidak aman
Manifestasi kecemasan yang timbul terbagi menjadi tiga fase yaitu: Manifestasi kecemasan apada
(a) fase protes (phase of protest); anakanak bereaksi secara agresif dengan anak dapat di bagi menjadi tiga
menangis dan berteriak memanggil orang tua, menarik perhatian agar orang tahapan yaitu :
lain tahu bahwa ia tidak ingin ditinggalkan orang tuanya serta menolak a. Masa protes : pada fase
perhatian orang asing atau orang lain dan sulit ditenangkan. ini anak akan berteriak ,
(b) fase putus asa (phase of despair); dimana tangisan akan berhenti dan beraksi agresif serta
muncul depresi yang terlihat adalah anak kurang begitu aktif, tidak tertarik menolak perhatian dari
untuk bermain atau terhadap makanan dan menarik diri dari orang lain orang asing
(c) fase menolak (phase of denial); merupakan fase terakhir yaitu fase b. Masa putus asa : pada
pelepasan atau penyangkalan, dimana anak tampak mulai mampu masa ini tangisan mulai
menyesuaikan diri terhadap kehilangan, tertarik pada lingkungan sekitar, berkurang , anak akan
bermain dengan orang lain dan tampak membentuk hubungan baru, jatuh pada masa deprsi
meskipun perilaku tersebut dilakukan merupakan hasil dari kepasrahan dan yang di tandai dengan
bukan merupakan kesenangan. perilau anak yang
kurang aktif dari
biasanya
c. Masa menolak : pada
tahap ini anak akan
mulai mampu untuk
menyesuaikan diri
dengan lingkugan
rumah sakit.
Kehilangan kendali pada Toddler; sesuai dengan teori Ericson dalam Price pada kasus toddler yang
& Gwin (2005), bahwa pada fase ini anak sedang mengembangkan mengalami hospitalisasi ada
kemampuan otonominya. Akibat sakit dan dirawat di rumah sakit, anak suatu masa dimana anak
akan kehilangan kebebasan dalam mengembangkan otonominya. mengalami hilang kendali
Keterbatasan aktifitas, kurangnya kemampuan untuk memilih dan akibat anak kehilangan
perubahan rutinitas dan ritual akan menyebabkan anak merasa tidak kemampuan otonominya. Jika
berdaya. Toddler bergantung pada konsistensi dan familiaritas ritual harian area otonomi toddler seperti
guna memberikan stabilitas dan kendali selama masa pertumbuhan dan akifitas / rutinitas harian
perkembangan. Area toddler dalam hal ritual mencakup makan, tidur, ( makan , tidur, mandi ,
mandi, toileting dan bermain. Jika rutinitas tersebut terganggu, maka dapat toileting, dan bermain ) akan
terjadi kemunduran terhadap kemampuan yang sudah dicapai atau disebut menyebabkan suatu
dengan regresi (Wong,2003) kemunduran terhadap
kemampuan yang di sebut
dengan regresi .
Secara umum, anak dalam kelompok usia toddler ini terus bereaksi dengan Reaksi umum terhadap
kemarahan emosional yang kuat dan resistensi fisik terhadap pengalaman hospitalisasi yang ditunjukkan
nyeri baik yang aktual maupun yang dirasakan. Perilaku yang kelompok anak usia toddler
mengindikasikan nyeri antara lain, meringis kesakitan, mengatupkan gigi sebagian besar adalah suatu
dan atau bibir, membuka mata lebarlebar, mengguncang-guncang, respon dalam bentuk
menggosok-gosok, dan bertindak agresif, seperti menggigit, menendang, emosiaonal terutama
memukul, atau melarikan diri. pengalaman terhadap nyeri
Di akhir periode ini, toddler biasanya mampu mengkomunikasikan nyeri yang dirasakan . Perilaku yang
dengan cara menunjuk area spesifik nyeri yang mereka rasakan, meskipun di tunjukkan antara lain
begitu anak belum mampu menggambarkan jenis dan intensitas nyeri. meringis
kesakitan,mengguncang-
guncang ,menggosok-gosok,
memumukul bahkan tak jarang
melarikan diri
Perasaan kehilangan kendali terjadi akibat perpisahan, restriksi fisik, Cara yang dapat dilakukan
perubahan rutinitas, pemaksaan ketergantungan dan pemikiran magis. untuk meminimalkan
Untuk meminimalkan kehilangan kendali pada anak ketika hospitalisasi kehilangan kendali pada
dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain: toddler yang mengalami
(1) Meningkatkan kebebasan bergerak; bagi anak kecil terutama bayi dan hospitalisasi diantaranya
toddler, meningkatkan kebebasan pada
(2) memelihara kontak orang tua-anak merupakan cara terbaik untuk anak , memelihara kontak
mengurangi kebutuhan akan restriksi fisik atau stres yang disebabkan orang tua dengan anak dan
karena restriksi fisik. dengan melakukan perubahan
(3)Perubahan jadwal harian dan hilangnya ritual dapat menimbulkan stres pada rutinitas anak
terutama pada toddler dan anak prasekolah awal. Salah satu teknik yang
dapat meminimalkan perubahan pada rutinitas anak adalah penstrukturan
waktu
Salah satu dari beberapa cara untuk mengurangi nyeri dan ketakutan akan Salah satu cara untuk mngatasi
cedera tubuh adalah dengan distraksi aktif dan pasif ketika dilakukan rasa nyeri akibat cidera
prosedur (Nilson dkk 2013), tindakan medis pada anak
Colwell dkk (2013) meneliti tentang cara lain yang terkait untuk dapat dilakukan suatu teknik
mengurangi nyeri dan ketakuan akan cedera tubuh yaitu dengan terapi distraksi aktif maupun pasif
musik (mendengarkan, menyusun lagu, Orff-Based). Pengaruh interfensi selama prosedur , terpai musik,
terapi musik terhadap kondisi fisiologis dan tingkah laku psikososial anak
yang menjalani hospitalisasi mengindikasikan bahwa nyeri dan kecemasan
sangat menurun
Beberapa faktor yang dapat menimbulkan stres ketika anak menjalani Beberapa factor yang dapat
hospitalisasi seperti: menimbulkan stress pada
1. Faktor Lingkungan rumah sakit; Rumah sakit dapat menjadi suatu anank antara lain adalah
tempat yang menakutkan dilihat dari sudut pandang anak-anak. Suasana sebagai berikut , karena factor
rumah sakit yang tidak familiar, wajah-wajah yang asing, berbagai macam lingkungan rumah sakit
bunyi dari mesin yang digunakan, dan bau yang khas, dapat menimbulkan meliputi suasana yang tidak
kecemasan dan ketakutan baik bagi anak ataupun orang tua. (Norton- familiar ,
Westwood,2012). Factor berpisah dengan orang
2. Faktor Berpisah dengan orang yang sangat berarti; Berpisah dengan tua , factor kurangnya
suasana rumah sendiri, benda-benda yang familiar digunakan sehari-hari, informasi yang didapatkan
juga rutinitas yang biasa dilakukan dan juga berpisah dengan anggota anak dan orang tua , factor
keluarga lainnya (Pelander & Leino-Kilpi,2010). kehilangan kebebasan dan
3. Faktor kurangnya informasi yang didapat anak dan orang tuanya kemandirian ,factor
ketika akan menjalani hospitalisasi. Hal ini dimungkinkan mengingat proses pengalaman dan factor perilaku
hospitalisasi merupakan hal yang tidak umum di alami oleh semua orang.
Proses ketika menjalani hospitalisasi juga merupakan hal yang rumit dengan
berbagai prosedur yang dilakukan (Gordon dkk,2010).
4. Faktor kehilangan kebebasan dan kemandirian; Aturan ataupun
rutinitas rumah sakit, prosedur medis yang dijalani seperti tirah baring,
pemasangan infus dan lain sebagainya sangat mengganggu kebebasan dan
kemandirian anak yang sedang dalam taraf perkembangan (Price &
Gwin,2005).
5. Faktor pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan;
semakin sering seorang anak berhubungan dengan rumah sakit, maka
semakin kecil bentuk kecemasan atau malah sebaliknya (Pelander & Leino-
Kilpi,2010).
6. Faktor perilaku atau interaksi dengan petugas rumah sakit;
khususnya perawat; mengingat anak masih memiliki keterbatasan dalam
perkembangan kognitif, bahasa dan komunikasi. Perawat juga merasakan
hal yang sama ketika berkomunikasi, berinteraksi dengan pasien anak yang
menjadi sebuah tantangan, dan dibutuhkan sensitifitas yang tinggi serta
lebih kompleks dibandingkan dengan pasien dewasa. Selain itu
berkomunikasi dengan anak juga sangat dipengaruhi oleh usia anak,
kemampuan kognitif, tingkah laku, kondisi fisik dan psikologis tahapan
penyakit dan respon pengobatan (Pena & Juan,2011).

Jurnal Hasil Pembahasan Kesimpulan


Judul jurnal : Dari penelitian yang telah Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Dari hasil penelitan dan
HOSPITALISASI dilakukan dengan terhadap 109 hosptalisasi mempengaruhi tingkat pembahasan dapat disimpulkan
MEMPENGARUHI anak sebagai responden kecemasan anak. Hal ini sesuai dengan bahwa jumlah anak yang
TINGKAT sebanyak 59 orang (93.4%); penelitian (Sari & Sulisno, 2012) yang mengalami stress / kecemasan
KECEMASAN tingkat kecemasan anak paling menyatakan bahwa anak yang mengalami selama hospitalisasi cukup
ANAK TODDLER banyak terdapat pada tidak hospitalisasi cenderung mengalami tinggi terbukti dari hasil
Penulis : Zulhaini cemas sebanyak 55 orang (87.3 kecemasan. Kejadian kecemasan secara analisa 109 anak yang menjadi
Sartika A. Pulungan, %) kuantitatif paling banyak terjadi pada respondes 59 anak diantaranya
Edi Purnomo, Arni kecemasan tingkat ringan dan pada anak menagalami kecemasan selama
Purwanti A. usia 4 tahun, laki-laki, dan telahdirawat 2 hospitalisasi.akan tetapi dari
Nama Jurnal : Jurnal hari. Namun jika dilihat berdasarkan beberpaa responden yang telah
Kesehatan tingkat cemasnya, anakusia 3 tahun, dijadikan subjek penelitian
MANARANG perempuan, dan telah dirawat selama 2 terdapat perbedaaan yang
Volume 3, Nomor 2, hari di rumah sakit mengalami kecemasan signifikan antara jenis kelamin
Desember 2017 lebih tinggi tingkatannya (kecemasan dan pengaruh umur terhadap
tingkat sedang). Anak perempuan lebih hospitalisasi . Anak perempuan
cemas daripada anak laki-laki karena anak lebih banyak mngalami
perempuan lebih sensitif dan mendapat kecemasan dibandingkan
stressor lebih intensif dari pada anak laki- anaka laki laki karena anak
laki yang eksploratif peremuan lebih sensitive dari
pada anak laki laki yang
memilki kecenduerungan sifat
eskploratif.
Penyebab kecemasan yang dialami Penyebab kecemasan anak
beragam, mulai dari rasa cemas terhadap selama hospitalisasi dapat
petugas kesehatan seperti dokter, perawat, disebabkan oleh ketakutan
dan bidan, serta tindakan medis, cemas pada tim medis baik dokter
karena nyeri yang dialami, berada pada ataupun perawat serta tindakan
tempat dan lingkungan baru dan rasa medis yang dilakukan
cemas akibat perpisahan dengan .tindakan medis yang
saudaranya. Hal ini sesuai dengan teori dilakukan sering kali menjadi
yang menyatakan hospitalisasi dapat momok yang menakutkan dan
dianggap sebagai suatu pengalaman yang menjadi stressor tersendiri bagi
mengancam dan merupakan sebuah anak .
stressor, serta dapat menimbulkan krisis Stress yang terjadi pada anak
bagi anak dan keluarga. akibat kondisi ini disebut
Menurut Wong (2003), stres utama dari dengan depresi anaklitik
masa bayi pertengahan sampai usia dimana cemas ini akibat
prasekolah, terutama untuk anak-anak adanya perpisahan yang
yang berusia 6 bulan sampai 30 bulan berakibat pada perubahan
adalah kecemasan akibat perpisahan yang perilaku.
disebut sebagai depresi anaklitik. Pada
kondisi cemas akibat perpisahan anak
akan memberikan respon berupa
perubahan perilaku.
Akibat sakit dan dirawat di rumah sakit, Kecemasan pada anak dapat
anak akan kehilangan kebebasan dalam disebabkan oleh anak
mengembangkan otonominya. kehilangan kebebasan dalam
Keterbatasan aktifitas, kurangnya mengembangkan otonominya.
kemampuan untuk memilih dan Dalam hal ini area otonimo
perubahan rutinitas dan ritual akan atau ritual toddler meliputi
menyebabkan anak merasa tidak berdaya. makan,, tidur, mandi, toileting,
Toddler bergantung pada konsistensi dan dan bermain.
familiaritas ritual harian guna
memberikan stabilitas dan kendali selama
masa pertumbuhan dan perkembangan.
Area toddler dalam hal ritual mencakup
makan, tidur, mandi, toileting dan
bermain. Jika rutinitas tersebut terganggu,
maka dapat terjadi kemunduran terhadap
kemampuan yang sudah dicapai atau
disebut dengan regresi (Wong, 2003).
Beberapa upaya yang dapat dilakukan Upaya perawat yang dapat
oleh perawat untuk mengatasi masalah dilakukan untuk mengatasi
ketakutan dan kecemasan anak akibat masalah kecemasan pada
hospitalisasi antara lain: toddler antara lain adalah
1. Pendekatan kepada orang tua dan anak. dengan melakukan pendekatan
Pendekatan yang dapat dilakukan perawat kepada orang btua dan anak
kepada orang tua dan anak adalah dengan bertujuan untuk memberikan
memberikan penjelasan setiap melakukan suatu penjelasan dengan
tindakan, selalu berkomunikasi tentang tindakan medis
perkembangan kesehatan anak, dan mengomunikasikan
memberikan motivasi pada orang tua dan perkembangan anak,
anak untuk mengatasi ketakutan dan memebrikan lingkungan yang
kecemasannya. aman bagi toddler dengan
2. Memberi lingkungan yang aman dan tujuan menjauhkan atau
nyaman. Memberi lingkungan yang aman menghindrkan toddler terhadap
pada anak misalnya lingkungan yang bahaya cidera , dan yang
terhindar dari bahaya seperti jatuh dari terkahir adalah dengan
tempat tidur, keluarga atau orang terdekat memberikan mainan.
selalu ada dekat anak. Perawat dapat
berkolaborasi dengan keluarga dalam
perawatan anak. Selain lingkungan yang
aman juga nyaman bagi pasien seperti
membatasi pengunjung sehingga anak
dapat beristirahat.
3. Menyediakan mainan Puskesmas harus
menyediakan mainan dan arena bermain
untuk pasien anak. Proses asuhan
keperawatan dapat dilakukan dengan
metode bermain. Jika puskesmas tidak
mempunyai fasilitas bermain bagi anak,
perawat harus kreatif membuat mainan
dari alat atau bahan sederhana yang
tersedia di lingkungan puskesmas. Selain
itu keluarga juga boleh membawakan
mainan kesukaan anak dari rumah.

Judul Hasil Pembahasan kesimpulan


ANALISIS Tingkat Kecemasan Dari hasil penelitian dan
HUBUNGAN Hasil penelitian ini menunjukkan pembahasan dapat disimpulkan
TINGKAT bahwa tingkat kecemasan orang tua bahawa tingkat kecemasan
KECEMASAN sebagian besar adalah ringan. Hal orang tua dalam merawat anak
DENGAN PERAN tersebut karena anak dirawat di di rumah sakit ringan. Karena
ORANG TUA ruang rawat anak bukan di ruang menurut penelitian Maryam
DALAM Pediatric Intensif Care Unit dan Kurniawan 2008 ornag tua
MERAWAT ANAK sehingga orang tua masih bisa masih bisa menemani dan
HOSPITALISASI Tingkat Kecemasan Orang Tua menemani dan melihat anak setiap melihat anaknya karena
Penulis : Biyanti Dwi Distribusi Frekuensi Peran Serta saat. Penelitian ini dilaksanakan di anaknya tidak dirawat di
Winarsih, Sri Hartini, Orang Tua dalam Merawat Anak ruang rawat anak. Hal ini sesuai PICU/NICU. Serta pengalaman
Erna Sulistyawati Di RSUD RA Kartini Jepara & dengan hasil penelitian terdahulu orang tua yang pernah merawat
RSUD dr. Loekmonohadi Kudus yang dilakukan oleh Maryam & anak saat hospitalisasi jadi
bulan Mei – Juni 2017 Kurniawan, 2008 dengan hasil ada tingkat kecemasan riangan
Peran Serta Orang Tua perbedaan tingkat kecemasan orang Peran orang tua dalam
Distribusi Frekuensi Peran Serta tua yang di rawat di ruang rawat merawat anak saat
Orang Tua dalam Merawat Anak anak dan di PICU/NICU. hospitalisasi, karena anak
Di RSUD RA Kartini Jepara & Sebagian orang tua juga punya merasa nyaman jika
RSUD dr. Loekmonohadi Kudus pengalaman dalam merawat anak diperhatikan oleh orang tuanya
bulan Mei – Juni 2017 yang dihospitalisasi. Hal ini terlihat saat sakit.
dari hasil penelitian bahwa orang Jadi jika peran orang tua
tua yang berpengalaman merawat yang tingkat cemas sedang,
anak yang dihospitalisasi sejumlah perannya dalam merawat anak
18 orang dan hamper seluruhnya di RS akan menjadi kurang
pernah merawat anak yang sakit di baik. Sehingga rasa
rumah. kekawatiran yang lebih justru
membuat orang tua merasa
Hasil penelitian pada tabel. 5.8 Peran Orang Tua dalam Merawat takut untuk melakukan
menunjukkan bahwa distribusi Anak tindakan yang bisa dilakukan
frekuensi peran serta orang tua Peran orang tua sebagian besar orang tua saat anak di rawat di
dalam merawat anak di rumah baik ini terelihat dari partisipasi ibu RS justru dapat meningkatkan
sakit adalah baik sebesar 38 orang dalam merawat anak yang sakit tingkat kecemasan anak.
(63.3%) dan kurang baik sebesar mulai dari memandikan, menyuapi
22 orang (36.7%) sampai ikut membantu saat
pemeriksaan anak dengan
membantu meletakkan thermometer
pada badan anak. Hal ini membuat
anak merasa nyaman saat sedang
menjalani perawatan di rumah sakit.
Semakin baik peran serta orang tua
semakin positif dampak
hospitalisasi pada anak.Perry &
Potter (2005) menyatakan orang tua
berperan sebagai sumber kekuatan
dalam upaya penanganan masalah
keperawatan. Keluarga bisa
berpartisipasi, mendukung dan
melindungi anak untuk mampu
beradaptasi dengan kondisi anak
saat dirawat. Hallstrom&Elander
(2003) perawat melibatkan orang
tua dalam pengambilan keputusan
selama perawatan.
Hubungan Kecemasan dengan
peran orang tua. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa
orang tua yang mengalami cemas
ringan akan berperan baik dalam
merawat anak yang dihospitalisasi.
Orang tua yang cemas sedang,
perannya dalam merawat anak di
RS kurang baik. Hal ini terjadi
karena rasa kekawatiran yang lebih
justru membuat orang tua merasa
takut untuk melakukan tindakan
yang bisa dilakukan orang tua saat
anak di rawat. Hal ini sesuai
dengan penelitian Casmirah,
Rejeki, Wuryanto 2012
menyatakan orang tua yang cemas
ada ketakutan dalam merawat
anaknya di RS. Orang tua juga
akan meningkat kecemasannya
saat anak akan dilakukan tindakan
keperawatan. Orang tua cemas
kalau nanti anaknya kesakitan, dan
tidak tega melihat anaknya
menerima tindakan keperawatan
maupun medis sehingga kadang
lebih memilih untuk meninggalkan
anak saat anak dilakukan tindakan
di rumah sakit. Hal ini sejalan
dengan hasil peneltian Zannah,
Agustina & Marlinda, 2015
mengatakan karena cemas melihat
anaknya dilakukan tindakan, orang
tua memilih tidak mendampingi
anak saat dilakukan tindakan.

Judul Hasil Pembahasan kesimpulan


PENGARUH TERAPI Distribusi Reaksi Hospitalisasi Gambaran Rerata Reaksi Dari hasil
BERMAIN TERHADAP Responden Kelompok Hospitalisasi Pada Responden penelitian dan
REAKSI HOSPITALISASI Intervensi, Sebelum dan Kelompok Intervensi Sebelum dan pembahasan dapat
PADA ANAK USIA Sesudah Dilakukan Terapi Sesudah Dilakukan Terapi Bermain disimpulkan
TODDLER YANG Bermain di Ruang Tanjung bahawa Hasil
MENGALAMI RSUD R. Syamsudin, S.H. Kota Data tersebut diatas menunjukkan penelitian ini
HOSPITALISASI DI Sukabumi. Bulan Maret–April bahwa pada responden kelompok menyimpulkan
RUANG TANJUNG RSUD 2014 intervensi didapatkan penurunan skor bahwa: yang
R.SYAMSUDIN, SH. KOTA reaksi hospitalisasi hasil pengukuran pertama, terdapat
SUKABUMI pertama pada hari rawat ke satu penurunan pada
Hasil analisis gambaran rerata sebelum diberikan terapi bermain rerata skor reaksi
Penulis: Iyam Mariam1 , reaksi hospitalisasi responden (skor-awal) dan hasil pengukuran ke hospitalisasi
Setiawati2, Siti Dewi pada kelompok intervensi dua pada hari rawat ke tiga sesudah sesudah diberikan
Jurnal Kesehatan Kartika sebelum diberikan terapi bermain diberikan terapi bermain (skor-akhir). intervensi terapi
Vol. 9 No. 2, Agustus 2014 (skor-awal) yaitu 21,70 + 0,424 Reaksi hospitalisasi berupa stress bermain
(95% CI: 20,81 - 22,59), dengan hospitalisasi dapat dialami oleh dibandingkan
skor terkecil 18 dan terbesar 25. sebagian besar anak yang dirawat di dengan sebelum
Dan rerata reaksi hospitalisasi rumah sakit dalam berbagai tingkat diberikan
sesudah diberikan terapi bermain usia termasuk anak usia toddler. intervensi. Yaitu
(skor-akhir) yaitu 17,50 + 0,328 Berbagai bentuk perilaku adanya skor reaksi
(95% CI: 16,81-18,19) dengan reaksi hospitalisasi, umumnya hospitalisasi pada
skor terkecil 15 dan terbesar 20. ditunjukkan oleh anak usia toddler kelompok
yang mengalami perawatan di rumah intervensi sebelum
Distribusi Reaksi Hospitalisasi sakit, seperti perilaku kecemasan, dilakukan terapi
Responden Kelompok Kontrol kehilangan kendali, perasaan tidak bermain yaitu
di Ruang Tanjung RSUD R. aman yang diperlihatkan dalam 21,70 dan sesudah
Syamsudin, S.H Kota perilaku ketakutan pada anak. Hal ini dilakukan terapi
Sukabumi. Bulan Maret – April sesuai dengan pendapat Nursalam bermain yaitu
2014 (2003) yang menyatakan bahwa ada 17,50.
Hasil analisis gambaran reaksi beberapa situasi yang menjadi sumber
hospitalisasi responden pada stressor pada anak yang dirawat di Yang kedua juga,
kelompok kontrol menunjukkan rumah sakit, yaitu cemas karena mengalami
bahwa hasil rerata skor-awal yaitu perpisahan, kehilangan kontrol diri, penurunan pada
21,50 + 0,359 (95% CI: 20,75 - serta rasa takut terhadap perlukaan skor reaksi
22,25), dengan skor terkecil 19 tubuh dan rasa sakit atau nyeri. hospitalisasi pada
dan terbesar 24. Dan rerata skor- Kondisi stress hospitalisasi ini dapat kelompok
akhir yaitu 18,75 + 0,339 (95% mengganggu kesejahteraan anak serta responden yang
CI: 18,04-19,46) dengan skor dapat menghambat pertumbuhan dan tidak diberikan
terkecil 16 dan skor terbesar 21. perkembangan anak, oleh sebab itu terapi bermain atau
perlu adanya upaya meminimalkan kelompok kontrol
Distribusi Reaksi Hospitalisasi efek hospitalisasi ini. Berbagai yaitu sebesar 21,50
Responden Kelompok macam intervensi dapat dilakukan pada skor-awal dan
Intervensi pada Hasil untuk mengatasi efek hospitalisasi, 18,75 pada skor-
Pengukuran Sebelum dan salah satunya adalah dengan cara akhir.
Sesudah Diberikan Terapi memberikan terapi bermain pada anak Yang Ketiga, hasil
Bermain di Ruang Tanjung selama hospitalisasi (Nursalam, 2005). uji statistik paired
RSUD R. Syamsudin, S.H. Kota Intervensi terapi bermain sangat t-test antara skor-
Sukabumi. Bulan Maret – bermakna dalam mengurangi reaksi awal dan skor-akhir
April 2014 hospitalisasi berupa ketegangan dan reaksi hospitalisasi
stres akibat hospitalisasi pada anak pada responden
usia toddler. Bermain merupakan kelompok
aktivitas sehat yang diperlukan dalam intervensi dapat
pertumbuhan dan perkembangan anak disimpulkan bahwa
serta merupakan media bagi anak pada kelompok
untuk membantu mengekspresikan intervensi
perasaan cemas, takut, sedih, tegang, didapatkan
nyeri, perasaan yang tidak nyaman pengaruh yang
Distribusi Beda-Skor Reaksi serta dapat membantu anak dalam sangat signifikan
Hospitalisasi Responden pada mengalihkan rasa sakit atau distraksi, antara skor reaksi
Kelompok Intervensi dan dan berfungsi relaksasi. hospitalisasi
Kelompok Kontrol di Ruang sebelum diberikan
Tanjung RSUD R. Syamsudin, Gambaran Reaksi Hospitalisasi terapi bermain
S.H. Kota Sukabumi. Bulan Responden Kelompok Kontrol pada (skor-awal) dengan
Maret – April 2014 Hasil Pengukuran ke satu di Hari skor sesudah
Rawat Pertama (Skor-awal) dan diberikan terapi
Hasil Pengukuran ke dua di Hari bermain (skor-
Rawat ke Tiga (Skor– akhir) akhir)
Pada data tersebut menunjukkan
bahwa pada responden kelompok Yang keempat,
kontrol terjadi penurunan skor reaksi terdapat perbedaan
hospitalisasi hasil pengukuran pertama nilai pada beda-
pada hari rawat ke satu dan hasil skor, yaitu selisih
pengukuran ke dua pada hari rawat ke skor-awal dan skor-
tiga. Terjadinya stress pada anak yang akhir reaksi
hospitalisasi atau yang dirawat di hospitalisasi pada
rumah sakit tidak dapat dihindarkan. kelompok
Pada hasil penelitian ini diketahui intervensi dengan
adanya penurunan skor reaksi pada kelompok
hospitalisasi pada kelompok kontrol.
responden yang tidak diberikan terapi Dibandingkan
bermain atau kelompok kontrol. dengan pada
Kondisi ini dapat terjadi karena kelompok kontrol.
penurunan stress hospitalisasi tidak Keadaan ini
hanya dapat diupayakan dengan terapi menunjukkan
bermain, tetapi banyak upaya lain dan bahwa intervensi
kondisi yang dapat mempengaruhi terapi bermain pada
anak dalam penurunan reaksi anak dirawat,
hospitalisasi, seperti: kemampuan memberikan efek
anak dalam beradaptasi dengan dalam penurunan
lingkungan, dan kemampuan koping stress hospitalisasi
anak dalam menghadapi stress
hospitalisasi. Perawat anak
mempunyai peran penting dalam
mengatasi stress hospitalisasi pada
anak selama dirawat di rumah sakit,
karena perawat berada disamping
pasien selama 24 jam.

Pengaruh Terapi Bermain Sebelum


dan Sesudah Intervensi Terapi
Bermain terhadap Reaksi
Hospitalisasi Responden yang
Mengalami Hospitalisasi pada
Kelompok Intervensi

Berdasarkan hasil uji statistik paired t-


test antara skor-awal dan skor-akhir
reaksi hospitalisasi pada responden
kelompok intervensi didapatkan nilai p
= 0,000, sehingga dapat disimpulkan
bahwa pada kelompok intervensi
didapatkan pengaruh yang sangat
signifikan antara skor reaksi
hospitalisasi sebelum diberikan terapi
bermain (skor-awal) dengan skor
sesudah diberikan terapi bermain
(skor-akhir). Hal ini berarti bahwa
hipotesis-minor (a) terbukti, yaitu
terdapat pengaruh terapi bermain
terhadap reaksi hospitalisasi pada anak
usia toddler kelompok intervensi yang
mengalami hospitalisasi di ruang
Tanjung Rumah Sakit Umum Daerah
R. Syamsudin, S.H. Kota Sukabumi.
Berdasarkan hasil analisis diketahui
bahwa pada kelompok intervensi
terjadi penurunan yang signifikan pada
pada skor reaksi hospitalisasi setelah
diberikan terapi bermain. Hasil
analisis statistik dalam penelitian ini
juga memperlihatkan bahwa skor-awal
kedua kelompok yaitu pada kelompok
intervensi dan pada kelompok kontrol
adalah homogen, sedangkan skor-
akhir kedua kelompok berdasarkan
hasil t-test adalah berbeda secara
signifikan. Perbedaan yang bermakna
antara skor-akhir pada kelompok
intervensi dengan skor-akhir pada
kelompok kontrol adalah karena
pengaruh dari intervensi terapi
bermain. Hal ini sesuai dengan
pendapat Notoatmojo (2012) yang
menyatakan bahwa dengan
randomisasi, maka kedua kelompok
mempunyai sifat yang sama sebelum
dilakukan intervensi (perlakuan),
sehingga karena kedua kelompok
sama pada awalnya maka perbedaan
hasil posttest pada kedua kelompok
tersebut dapat disebut sebagai
pengaruh dari intervensi atau
perlakuan. Terapi bermain yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
jenis permainan menyusun kubus yang
merupakan salah satu jenis permainan
yang sesuai dengan anak usia toddler
(1-3 tahun). Permainan ini sangat
menarik untuk anak-anak,
menciptakan rasa senang bagi anak
yang memainkannya, menumbuhkan
kreativitas dan rasa percaya diri anak.
Supartini (2004) menyatakan bahwa
terdapat beberapa bukti ilmiah yang
menunjukkan bahwa lingkungan
rumah sakit itu sendiri merupakan
penyebab stress bagi anak, seperti
sikap perawat, pakaian yang
digunakan perawat, dan lainnya. terapi
bermain dilakukan dengan melibatkan
orang tua anak secara aktif. Pada hasil
penelitian ini menyimpukan bahwa
terdapat pengaruh terapi bermain
terhadap reaksi hospitalisasi pada anak
usia toddler kelompok intervensi.
Perbedaan Selisih Skor-Awal dan
Skor-Akhir (Beda-Skor) pada
Kelompok Intervensi dan Kelompok
Kontrol
Hasil penelitian reaksi hospitalisasi
responden menunjukkan adanya
perbedaan selisih skor pada hasil test-
awal dan test-akhir, baik pada
kelompok Intervensi maupun pada
kelompok Kontrol. Berdasarkan hasil
uji statistik independent t-test antara
nilai beda-skor pada responden
kelompok intervensi dengan pada
kelompok kontrol didapatkan nilai p=
0,001 (p < 0,05), sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara nilai
beda-skor reaksi hospitalisasi pada
kelompok intervensi dengan pada
kelompok kontrol. Hal ini berarti
bahwa hipotesis-minor (b) terbukti,
yaitu terdapat perbedaan reaksi
hospitalisasi (selisih skor-awal dan
skor-akhir) pada anak usia toddler
kelompok intervensi dan kelompok
kontrol di Rumah Sakit Umum Daerah
R. Syamsudin, S.H Kota Sukabumi.
Pada hasil analisis data diketahui
bahwa penurunan skor reaksi
hospitalisasi pada responden
kelompok intervensi lebih banyak
dibandingkan dengan pada kelompok
kontrol. Keadaan ini menunjukkan
bahwa intervensi terapi bermain pada
anak dirawat, memberikan efek dalam
penurunan stress hospitalisasi. Hal ini
sesuai dengan pendapat dari Nursalam
yang menyebutkan bahwa bermain di
Rumah Sakit salah satunya bertujuan
agar anak dapat beradaptasi secara
lebih efektif terhadap stress. Selain itu
Andriana (2013) juga menyebutkan
bahwa fungsi bermain di Rumah Sakit
adalah memfasilitasi anak untuk
beradaptasi dengan lingkungan asing,
membantu mengurangi stress terhadap
perpisahan, membantu anak untuk
merasa lebih aman dalam lingkungan
yang asing, mengurangi tekanan, dan
dapat mengexplorasi perasaan
sehingga tujuan terapeutik dapat
tercapai. Wong (2009) juga
berpendapat bahwa bermain bersifat
terapeutik karena bermain dapat
menjadi sarana bagi anak untuk
melepaskan diri dari ketegangan dan
stres yang dihadapi di lingkungan.

Judul Hasil Pembahasan kesimpulan


HUBUNGAN PERILAKU toddler di Irina E BLU RSUP Prof. Dr. R Anak toddler sampai Dari hasil penelitian dan
CARING PERAWAT D. Kandou Manado Tahun 2013 prasekolah sangat rentan pembahasan dapat
DENGAN STRES terhadap stres karena disimpulkan bahawa
HOSPITALISASI PADA kemampuan anak untuk berawat yang bertugas
ANAK USIA TODDLER mengatasi stres masih memberikan asuhan
DI IRINA E BLU RSUP terbatas selain itu anak keperawatan harus
Prof. Dr. R. D. KANDOU mulai belajar beradaptasi mengembangkan perilaku
MANADO dengan lingkungan dan caring, perawat yang
orang-orang yang dianggap berperilaku caring berarti
Penulis : Lidia Gaghiwu asing (Wahyuningsih & perawat tersebut mampu
Amatus Yudi Ismanto Tabel 5. Distribusi frekuensi berdasarkan Febriana, 2011). mengurangi stres ataupun
Abram Babakal stres hospitalisasi pada anak usia toddler Lingkungan dan orang trauma pasien ketika
di Irina E BLU RSUP Prof. Dr. R D. yang baru dikenalnya akan menjalani hospitalisasi
ejournal Keperawatan (e- Kandou Manado Tahun 2013 menimbulkan stres (Mulyaningsih, 2011).
Kp) Volume 1. Nomor 1. sehingga berdampak pada Dari hasil penelitian
Agustus 2013 perkembangan anak, hasil menunjukkan bahwa
penelitian Brown dan sebagian besar responden
Semple dalam Ferguson menyatakan perilaku
(2013) menunjukkan caring perawat di Irina E
bahwa lingkungan dan sudah baik, karena
orang yang tidak dikenal responden berpendapat
bagi anak yang berusia 3 bahwa perawat sekarang
sampai 5 tahun dapat lebih ramah dan bersedia
menurunkan persepsi menjelaskan dengan sabar
motorik, perilaku verbal ketika keluarga bertanya
dan mendorong anak tentang kondisi anak,
berperilaku agresif serta berbeda dengan perawat
emosional selain itu hasil zaman dahulu. Hasil
penelitian Grasso, Ford, penelitian ini juga
Briggs (2013) juga menunjukkan bahwa dari
Tabel 6. Distribusi hubungan perilaku
menunjukkan bahwa beberapa responden yang
caring perawat dengan stres hospitalisasi
paparan stres atau trauma menyatakan perilaku
pada anak usia toddler di IRINA E BLU
dapat menimbulkan caring perawat baik
RSUP Prof.Dr. R. D. Kandou Manado
dampak yang serius namun anak usia toddler
Tahun 2013
terhadap perkembangan masih mengalami stres
anak, perkembangan yang hospitalisasi dan juga
terganggu dapat sebaliknya hal ini
mengakibatkan sejumlah disebabkan karena stres
gangguan fungsional dalam hospitalisasi dan perilaku
emosi, kognitif, perilaku, caring perawat
dan hubungan dipengaruhi oleh faktor
interpersonal. Oleh karena internal (karakteristik
itu sangat penting bagi individu) dan faktor
perawat untuk tidak hanya eksternal (lingkungan).
berperan sebagai pemberi Stres hospitalisasi selain
pelayanan asuhan dipengaruhi oleh perilaku
keperawatan kepada klien caring perawat juga
dalam memperoleh dipengaruhi oleh beberapa
penyembuhan penyakit faktor lain seperti usia
melainkan juga berperan perkembangan,
dalam pengalaman sebelumnya
memenuhibkebutuhan dengan penyakit atau
kesehatan klien secara hospitalisasi, keterampilan
holistik, melalui koping yang dimiliki dan
kemampuan teknikal, dapatkan, prosedur
dukungan emosional, invasif, keparahan
psikologis, spiritual dan diagnosis dan support
sosial. system yang ada.
Perawat yang bertugas
memberikan asuhan
keperawatan harus
mengembangkan perilaku
caring, perawat yang
berperilaku caring berarti
perawat tersebut mampu
mengurangi stres ataupun
trauma pasien ketika
menjalani hospitalisasi
(Mulyaningsih, 2011).
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
sebagian besar responden
menyatakan perilaku
caring perawat di Irina E
sudah baik, karena
responden berpendapat
bahwa perawat sekarang
lebih ramah dan bersedia
menjelaskan dengan sabar
ketika keluarga bertanya
tentang kondisi anak,
berbeda dengan perawat
zaman dahulu. Penilaian
responden mengenai
perilaku caring perawat
yang baik pada dasarnya
karena responden melihat
dan merasakan adanya
asuhan keperawatan dan
sikap yang baik dari
perawat. Caring yang
ditunjukkan perawat ketika
memberikan asuhan
keperawatan kepada klien,
tidak hanya berdampak
pada kesembuhan pasien
itu sendiri tetapi juga bagi
keluarga yang menjaga.
Menggunakan uji statistik
chi square (X²) diperoleh
hasil bahwa terdapat
hubungan perilaku caring
perawat dengan stres
hospitalisasi pada anak
usia toddler di Irina E BLU
RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado, hasil
penelitian ini menunjukkan
bahwa semakin baik
perilaku caring perawat
maka anak tidak
mengalami stres
hospitalisasi. Hasil
penelitian ini didukung
oleh hasil penelitian
Ningsih tahun 2012 di
ruang rawat inap anak
RSUD Ibnu Sina Gresik
yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang
signifikan antara perilaku
caring perawat dengan
stres hospitalisasi pada
anak. Perawat yang
berperilaku caring berarti
perawat tersebut mampu
mengurangi stres ataupun
trauma pasien ketika
menjalani hospitalisasi.
Perilaku caring merupakan
bentuk tanggung jawab
dalam melaksanakan
tugasnya, inti rasa
tanggung jawab itu ialah
kepekaan perawat terhadap
penderitaan klien dan
keluarga, serta peduli
dengan situasi dan kondisi
lingkungan dimana klien
dirawat. Perawat yang
caring, cerdas dan terampil
akan memberikan
keamanan, kenyamanan
dan kepuasan pada klien
dan keluarga serta
membawa dampak positif
terhadap citra rumah sakit
dan citra profesi perawat di
mata klien, keluarga
bahkan masyarakat pada
umumnya. Hasil penelitian
ini juga menunjukkan
bahwa dari beberapa
responden yang
menyatakan perilaku
caring perawat baik namun
anak usia toddler masih
mengalami stres
hospitalisasi dan juga
sebaliknya hal ini
disebabkan karena stres
hospitalisasi dan perilaku
caring perawat dipengaruhi
oleh faktor internal
(karakteristik individu) dan
faktor eksternal
(lingkungan). Stres
hospitalisasi selain
dipengaruhi oleh perilaku
caring perawat juga
dipengaruhi oleh beberapa
faktor lain seperti usia
perkembangan,
pengalaman sebelumnya
dengan penyakit atau
hospitalisasi, keterampilan
koping yang dimiliki dan
dapatkan, prosedur invasif,
keparahan diagnosis dan
support system yang ada.
Hospitalisasi adalah suatu kondisi dimana anak harus menginap dirumah sakit dengan alaan tertentu , dan di haruskan
mendapatkan perawatan selama di rumah sakit sebelum akhirnya kembali kerumah. Hospitalisasi akan memberikan stressor dan
reaksi beragam dari toddler.Stresor tersebut akan menyembabkan tumbuh perasaan tidak aman.
Manifestasi kecemasan apada anak dapat di bagi menjadi tiga tahapan yaitu :
a. Masa protes : pada fase ini anak akan berteriak , beraksi agresif serta menolak perhatian dari orang asing
b. Masa putus asa : pada masa ini tangisan mulai berkurang , anak akan jatuh pada masa deprsi yang di tandai dengan perilau
anak yang kurang aktif dari biasanya
c. Masa menolak : pada tahap ini anak akan mulai mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkugan rumah sakit.

Penyebab kecemasan anak selama hospitalisasi dapat disebabkan oleh ketakutan pada tim medis baik dokter ataupun perawat
serta tindakan medis yang dilakukan .tindakan medis yang dilakukan sering kali menjadi momok yang menakutkan dan menjadi
stressor tersendiri bagi anak .Stress yang terjadi pada anak akibat kondisi ini disebut dengan depresi anaklitik dimana cemas ini
akibat adanya perpisahan yang berakibat pada perubahan perilaku.
Reaksi umum terhadap hospitalisasi yang ditunjukkan kelompok anak usia toddler sebagian besar adalah suatu respon dalam bentuk
emosiaonal terutama pengalaman terhadap nyeri yang dirasakan . Perilaku yang di tunjukkan antara lain meringis
kesakitan,mengguncang-guncang ,menggosok-gosok, memumukul bahkan tak jarang melarikan diri.

Pada kasus toddler yang mengalami hospitalisasi ada suatu masa dimana anak mengalami hilang kendali akibat anak
kehilangan kemampuan otonominya. Jika area otonomi toddler seperti akifitas / rutinitas harian ( makan , tidur, mandi , toileting, dan
bermain ) akan menyebabkan suatu kemunduran terhadap kemampuan yang di sebut dengan regresi.
Cara yang dapat dilakukan untuk meminimalkan kehilangan kendali pada toddler yang mengalami hospitalisasi diantaranya
meningkatkan kebebasan pada anak , memelihara kontak orang tua dengan anak dan dengan melakukan perubahan pada rutinitas
anak.
Beberapa factor yang dapat menimbulkan stress pada anank antara lain adalah sebagai berikut , karena factor lingkungan
rumah sakit meliputi suasana yang tidak familiar ,Factor berpisah dengan orang tua , factor kurangnya informasi yang didapatkan
anak dan orang tua , factor kehilangan kebebasan dan kemandirian ,factor pengalaman dan factor perilaku .
Dari hasil penelitan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa jumlah anak yang mengalami stress / kecemasan selama
hospitalisasi cukup tinggi terbukti dari hasil analisa 109 anak yang menjadi respondes 59 anak diantaranya menagalami kecemasan
selama hospitalisasi.akan tetapi dari beberpaa responden yang telah dijadikan subjek penelitian terdapat perbedaaan yang signifikan
antara jenis kelamin dan pengaruh umur terhadap hospitalisasi . Anak perempuan lebih banyak mngalami kecemasan dibandingkan
anaka laki laki karena anak peremuan lebih sensitive dari pada anak laki laki yang memilki kecenduerungan sifat eskploratif.
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahawa Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa:
Yang pertama, terdapat penurunan pada rerata skor reaksi hospitalisasi sesudah diberikan intervensi terapi bermain
dibandingkan dengan sebelum diberikan intervensi. Yaitu skor reaksi hospitalisasi pada kelompok intervensi sebelum dilakukan
terapi bermain berupa menyusun kubus yaitu 21,70 dan sesudah dilakukan terapi bermain yaitu 17,50.
Yang kedua juga, mengalami penurunan pada skor reaksi hospitalisasi pada kelompok responden yang tidak diberikan terapi
bermain atau kelompok kontrol yaitu sebesar 21,50 pada skor-awal dan 18,75 pada skor-akhir.
Yang Ketiga, hasil uji statistik paired t-test antara skor-awal dan skor-akhir reaksi hospitalisasi pada responden kelompok
intervensi dapat disimpulkan bahwa pada kelompok intervensi didapatkan pengaruh yang sangat signifikan antara skor reaksi
hospitalisasi sebelum diberikan terapi bermain (skor-awal) dengan skor sesudah diberikan terapi bermain (skor-akhir)
Yang keempat, terdapat perbedaan nilai pada beda-skor, yaitu selisih skor-awal dan skor-akhir reaksi hospitalisasi pada
kelompok intervensi dengan pada kelompok kontrol. Dibandingkan dengan pada kelompok kontrol. Keadaan ini menunjukkan
bahwa intervensi terapi bermain pada anak dirawat, memberikan efek dalam penurunan stress hospitalisasi
Upaya perawat yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kecemasan pada toddler antara lain adalah dengan melakukan
pendekatan kepada orang btua dan anak bertujuan untuk memberikan suatu penjelasan dengan tindakan medis mengomunikasikan
perkembangan anak, memebrikan lingkungan yang aman bagi toddler dengan tujuan menjauhkan atau menghindarkan toddler
terhadap bahaya cidera , dan yang terkahir adalah dengan memberikan mainan.
Sedangkan dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahawa tingkat kecemasan orang tua dalam merawat anak di
rumah sakit ringan. Karena menurut penelitian Maryam dan Kurniawan 2008 ornag tua masih bisa menemani dan melihat anaknya
karena anaknya tidak dirawat di PICU/NICU. Serta pengalaman orang tua yang pernah merawat anak saat hospitalisasi jadi tingkat
kecemasan riangan
Peran orang tua dalam merawat anak saat hospitalisasi, karena anak merasa nyaman jika diperhatikan oleh orang tuanya saat
sakit. Jadi jika peran orang tua yang tingkat cemas sedang, perannya dalam merawat anak di RS akan menjadi kurang baik. Sehingga
rasa kekawatiran yang lebih justru membuat orang tua merasa takut untuk melakukan tindakan yang bisa dilakukan orang tua saat
anak di rawat di RS justru dapat meningkatkan tingkat kecemasan anak.

Anda mungkin juga menyukai