Anda di halaman 1dari 4

Tahapan Berduka Kubler Ross

Oleh, Elok Dwi Oktaviana, 1806139973

Ketidakberdayaan merupakan persepsi atau tanggapan klien bahwa perilaku


dan tindakan yang sudah dilakukan tidak akan membawa hasil yang diharapkan.
Atau juga mereka berkeyakinan bahwa hal tersebut tidak akan membawa perubahan
hasil seperti yang diharapkan, sehingga klien sulit mengendalikan situasi yang
terjadi atau mengendalikan situasi yang akan terjadi (NANDA, 2011). Menurut
Wilkinson (2007) ketidakberdayaan merupakan persepsi seseorang bahwa
tindakannya tidak akan mempengaruhi hasil secara bermakna, kurang
penggendalian yang dirasakan terhadap situasi terakhir atau yang baru saja terjadi.
Sedangkan menurut Carpenito (2007) ketidakberdayaan merupakan keadaan ketika
seseorang individu atau kelompok merasa kurang kontrol terhadap kejadian atau
situasi tertentu. Ketidakberdayaan ini memici perasaan kehilangan sesuatu dalam
diri seseorang.

Menurut Kubler-Ross dalam Potter dan Perry (2013), respon berduka


seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap-tahap seperti pengingkaran,
marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan. Tahap-tahap ini sering dikenal
dengan DABDA yakni Denial (pengingkaran), Anger (marah), Bargaining
(menawar), depression (depresi), dan Acceptance (penerimaan). Respon-respon ini
wajar terjadi dalam perkembangan emosional seseorang. Kübler-Ross menyatakan
bahwa tahapan-tahapan ini tidak senantiasa berada dalam urutan seperti di atas, juga
tidak semua pasien mengalami seluruh tahapan-tahapan tersebut, walau ia
menerangkan bahwa seorang pasien setidaknya selalu mengalami paling tidak dua
tahapan. Seringkali, individu akan mengalami beberapa tahapan secara berulang-
ulang, bergantian antara dua atau lebih tahapan, yang kemudian kembali pada satu
atau beberapa tahapan selama beberapa kali sebelum menyelesaikan tahapan
tersebut.

Pengingkaran merupakan reaksi pertama individu yang mengalami


kehilangan adalah shok, tidak percaya atau mengingkari kenyataan bahwa
kehidupan itu memang benar terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak
percaya itu terjadi” atau “itu tidak mungkin terjadi”. Bagi individu atau keluarga
yang didiagnosa dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini yakni letih, lemah, pucat, diare, gangguan
pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan tidak tahu harus berbuat
apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam beberapa menit atau beberapa tahun. Fase
Marah, fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan
terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang
sering diproyeksikan kepada orang lain atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia
menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menolak pengobatan, menuduh
dokter-perawat yang tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi antara lain muka
merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.

Fase selanjutnya yaitu Fase Tawar-menawar. Individu telah mampu


mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju ke fase tawar-
menawar dengan memohon kemurahan pada Tuhan. Respon ini sering dinyatakan
dengan katakata “ kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering
berdoa”. Apabila proses ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar
adalah “ kalau saja yang sakit, bukan anak saya”. Fase yang keempat yakni Fase
Depresi. Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang
sebagai klien sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan
tidak berharga, ada keinginan bunuh diri, dan sebagainya. Gejala fisik yang
ditunjukkan antara lain : menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido
manurun. Fase terakhir yaitu fase penerimaan. Fase ini berkaitan dengan
reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat kepada obyek atau
orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima
kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang obyek atau orang yang hilang
mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya akan beralih kepada obyek yang
baru. Fase ini biasanya dinyatakan dengan “saya betul-betul kehilangan baju saya
tapi baju yang ini tampak manis” atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat
sembuh”. Apabila individu dapat memulai fase ini dan menerima dengan perasaan
damai, maka dia akan mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan
kehilangannya dengan tuntas. Tetapi bila tidak dapat menerima fase ini maka ia
akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan
selanjutnya.

Kübler-Ross menggambarkan lima tahap sekarat dalam teori perilaku


klasik: penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan.
Seseorang dalam tahap penyangkalan tidak dapat menerima fakta kerugian, yang
sering memberikan perlindungan psikologis dari kerugian yang belum dapat
ditanggung orang. Ketika mengalami tahap kemarahan dari penyesuaian terhadap
kerugian, seseorang mengungkapkan perlawanan dan kadang merasa kemarahan
yang intens pada Allah, orang lain, atau situasi. Tawar-menawar dan menunda
kesadaran akan kerugian dengan mencoba mencegahnya terjadi. Orang berduka
atau sekarat membuat janji untuk diri sendiri, Allah, atau yang dicintai bahwa
mereka akan hidup atau percaya berbeda jika mereka dapat terhindar kematian.
Ketika seseorang menyadari dampak penuh dari kerugian, depresi terjadi. Beberapa
individu merasa sangat sedih, putus asa, dan kesepian. Dalam penerimaan orang
memasukkan kerugian ke dalam hidup; mengembangkan kapasitas untuk memiliki
keluasan emosi, bahkan yang positif; dan menemukan cara untuk bergerak maju.
Tahap sekarat tidak linear. Pasien akan bergerak bolak-balik melalui tahapan.

Seorang individu apabila dapat memulai fase ini dan menerima dengan
perasaan damai, maka dia akan mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan
kehilangannya dengan tuntas. Tetapi bila tidak dapat menerima fase ini maka ia akan
mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.
Tahapan kehilangan ini penting untuk diketahui. Karena dalam melakukan intervensi
keperawatan seorang perawat harus tahu dalam tahap yang mana pasiennnya tersebut
untuk melakukan intervensi yang efektif dan efisien.
Daftar Pustaka

Carpenito, I., J. (2007). Buku Saku Keperawatan Edisi 10. Jakarta: EGC

NANDA International. (2011). Diagnosa Keperawatan Definisi dan


Klasifikasi2009-2011. Dialih bahasakan oleh Made Sumarwati. Jakarta :
EGC
Potter, P., & Perry, A. (2013). Fundamental of nursing 8th ed. USA: Elsevier Inc.

Videback, L. S. (2010). Psychiatric-mental Health Nursing. Lippincott Williams


& Wilkins,
Wilkinson, Ahern. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan.Edisi 9.
Jakarta:EGC.

Anda mungkin juga menyukai