Anda di halaman 1dari 17

TRANSAKSI PENGGUNAAN UANG ELEKTRONIK

(E MONEY) DARI SUDUT PANDANG KEBERLAKUAN DAN


EFEKTIFITAS HUKUM DI ERA DISRUPSI
Nama: Suwardi
Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH)
Universitas Jember Angakatan 2021-2022
NIM: 210730101003
Abstrak:
Latar belakang penelitian ini adalah penulis melihat gejala perkembangan
teknologi yang luar biasa, disisi lain aktifitas manusia juga mengalami kepadatan
yang tak kalah luar biasa dalam usaha pemenuhuan kebutuhan dan keinginannya.
Bersama dengan kepadatan aktifitas perkembangan teknologi maka sebagian
orang telah mencoba untuk melakukan transaksi dengan cara mengkaitkannya
dengan perkembangan teknologi, yakni dengan menggunakan uang elektronik.
Penelitian ini ingin mengetahui tentang apa hakikat keberlakuan dan efektifitas
transaksi menggunakan uang elektronik (e money)?
Tulisan ini menggunakan metode penelitian normatif atau doctrinal, dengan cara
membandingkan antara Undang-Undang dan realitas yang bersifat informatif baik
yang terdapat pada buku bacaan, teks, jurnal dan informasi media cetak serta
lainnya yang terkait. Tulisan ini mengungkap bahwa keberlakuan transaksi
menggunakan uang elektronik telah banyak dilakukan karena didalam
transaksinya mengandung keamanan, kenyamanan dan efisiensi waktu, meskipun
juga terdapat hambatan dan tantangan di dalamnya. Untuk efektifitas sudah
terdapat validasi hukum yang mengaturnya. Sementara untuk perlindungan
hukumnya, transaksi menggunakan uang elektronik harus dilindungi karena
mengandung unsur kebaikan yakni manfaat dan efisiensi waktu.
Kata kunci: Keberlakuan Hukum, Efektifitas Hukum, Perlindungan Hukum,
Teknologi dan Uang Elektronik.

1
Abstract:
The background of this research is that the author sees the symptoms of
extraordinary technological developments, on the other hand human activities also
experience a density that is no less extraordinary in an effort to fulfill their needs
and desires. Along with the density of technological development activities, some
people have tried to make transactions by linking them with technological
developments, namely by using electronic money. This study wants to know
about the nature of the validity and effectiveness of transactions using electronic
money (e-money) and how is the legal protection for transactions using electronic
money (e-money).
This paper uses a normative or doctrinal research method, by comparing the law
and the informative reality that is found in reading books, texts, journals and
printed media information and other related matters. This paper reveals that the
validity of transactions using electronic money has been widely carried out
because the transactions contain security, convenience and efficiency, there are
also obstacles and challenges in it. Regarding the effectiveness, there is already
legal validation that regulates it. Meanwhile, for legal protection, transactions
using electronic money must be protected because they contain elements of
benefits, namely benefits and time efficiency.
Keywords: Law Enforcement, Legal Effectiveness, Legal Protection, Technology
and Electronic Money.

BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial, sudah barang tentu berinteraksi dengan
manusian yang lain. Baik dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannnya sehari-
hari ataupun harapan yang lain. Tanpa bantu manusia yang lain, sulit kiranya
untuk mewujudkan segala sesuatu yang dicita-citakan. Pada pada kenyataannya
manusia dalam menghadirkan apa yang diingikan bisa diperoleh dengan upaya
sendiri (berupaya, mengerjakan dan menghasilkan) tanpa bantuan orang lain,
mengusahakan sendiri dengan bantuan orang lain dan bisa jadi murni harus

2
dilakukan orang lain, barulah seseorang mendapatkan. Kenyataan ini
menunjukkan pada keterbatasan manusia untuk memuaskan kebutuhan dirinya.
Ketika instrumen pemuas kebutuhan manusia tidak bisa disediakan sendiri,
hadirnya pihak lain sebagai sarana untuk memenuhi segala kebutuhan merupakan
sebuah keharusan. Pemuasan kebutuhan ini diharapkan tidak saja berlaku satu
arah -hanya terjadi pada satu orang dalam sebuah interaksi- namun diharapkan
bahkan seharusnya terjadi pada kedua belah pihak, tidak ubahnya kerjasama
saling menguntungkan.
Kerjasama atau habungan saling menguntunkan antara dua orang atau lebih
yang di dalamnya ada timbal balik dapat dikatakan sebagai bentuk interaksi sosial,
dalam hukum Indonesia di kenal dengan istilah perikatan. Perikatan adalah suatu
hubungan hukum antara dua individu atau dua pihak, dimana pihak yang satu
menuntut sesuatu hal atau prestasi dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.1 Perikatan timbul dari adanya
suatu perjanjian. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji dan
mengikat dirinya kepada seseorang yang lain atau peristiwa dimana dua orang
saling berjanji.
Menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat atau penduduk Indonesia
bahwa suatu perikatan atau perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak dalam
realisasi pengerjaannya tidak bisa diprediksi akan sesuai secara sempurna dengan
isi perjanjian yang dibuat, namun kendala, hambatan dan persoalan di luar pridiksi
akan muncul. Bahkan hal- hal yang tidak terfikirkan disaat melakukan perjanjian
juga terjadi 2. Inilah realitas kerjasama yang pada prakteknya tidak seideal dengan
apa yang direncanakan. Kondisi perjanjian semacam ini bukan untuk dibiarkan,
namun diminimalisir kemungkinan terburuknya.
Kerjasama dalam mewujudkan atau pemenuhan kebutuhan antar sesama
tidak bisa bisa dilepaskan dari sarana-sarana yang ada. Misalnya sarana alat
traksaksi yang ada sejak dahulu sampai sekarang. Disini peneliti mengambil
contoh fungsi uang yang sebagai alat tukar-menukar antara satu dengan yang lain

1
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2002, hlm. 1.
2
R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm. 102.

3
dalam usaha pemenuhan kebutuhan dan keinginan. Keberlakuan uang sangat
efektif untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan antara dua orang atau lebih
yang sedang melakukan traksaksi. Transaksi merupakan salah bentuk interaksi
sosial dalam rangka pemunuhan kebutuhan dan keinginan.
Kedudukan transaksi menggunakan uang disini menggantikan transaksi
dengan sistem barter yang ada sebelumnya. Sistem barter cukup menyulitkan bagi
orang yang akan melakukan transaksi karena harus memenuhi: angka penyebut
yang sama (lack of common denominator) antara dua barang yang hendak dibarter
(dipertukarkan), barangnya bisa dibagi-bagi (indivisibility of goods) dan
keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants).3
Hal yang sering terjadi, kadangkala seseorang memiliki suatu barang namun
belum membutuhkannya, disaat yang sama dia membutuhkan barang lain yang
tidak dimilikinya. Berikut ilustrasi barter yang sulit untuk diwujudkan: misalnya
seseorang memiliki kunyit dan belum membutuhkan kunyit tersebut, disaat yang
sama dia membutuhkan unta untuk transportasi. Kondisi sebaliknya dialami orang
lain. Yakni dia memiliki unta yang saat ini belum membutuhkannya, saat yang
sama sedang membutuhkan kunyit yang tidak dimilikinya. Bagaimanapun juga,
dua keinginan yang dimiliki oleh masing-masing orang tersebut sulit diwujudkan,
jika sistem transaksinya masih menggunakan barter.
Kesulitan tersebut teratasi dengan hadirnya alat tukar pengganti, dalam hal
ini uang4, karena dengan uang, pemenuhan kebutuhan atau keinginan seseorang
bisa menyesuaikan dengan seberapa banyak barang yang dibutuhkan dan dalam
hal yang sama seberapa nilai uang yang harus dikeluarkan sebagai penggati dari
barang tersebut.
Seiring perkembangan zaman yang juga dibarengi dengan perkembangan
teknologi, alat tukar uang juga mengalami perkembangan, dari bentuk tunai (yang
dapat dibayarkan langsung ketika melakukan traksaksi) menjadi non tunai (dalam

3
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Depok: Rajawali Pers, 2017, Cet
ke-8, hlm. 273.
4
Di dalam ajaran Islam, uang tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu dinar dan dirham. Dua jenis uang
tersebut merupakan jenis logam yang tidak memmberikan manfaat langsung. Kemanfaatannya bisa
dirasakan apabila berkaitan dengan barang lain. Misalnya dibutuhkan untuk dipertukarkan dengan
dengan barang lain, seperti makanan, pakaian, dan lain-lain. Ibid., hlm 273.

4
hal ini ada keterkaitannya dengan perkembangan teknologi). Uang non tunai
tersebut lebih dikenal dengan sebutan uang elektronik (e money).
1.2 Rumusan Masalah
Disisi lain masyarakat atau penduduk Indonesia belum sepenuhnya
memahami atau bahkan belum bisa mengikuti perkembangan zaman yang
didalamnya beriringan dengan perkembangan teknologi. Kondisi ini juga
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap transisi uang tunai (kertas atau
koint) kepada uang non tunai (uang elektronik atau e money).
Berpijak pada gambaran di atas, peneliti mencoba untuk mengungkapkan
beberapa pertanyaan penting yang berkaitan dengan perkembangan alat traksaksi
semula uang tunai menjadi uang elektronik (e money), di waktu yang sama tidak
dibarengi dengan perkembangan pengetahuan masyarakat atau penduduk
Indonesia secara menyeluruh.
1. Apa hakikat keberlakuan dan efektifitas transaksi menggunakan uang
elektronik (e money)?

BAB II: KAJIAN PUSTAKA (LANDASAN TEORI)


1.1 Keberlakuan Hukun dan Aktifitas Hukum
1.1.1 Keberlakuan Hukum
Hukum akan menjadi benda “mati” jika tidak memiliki daya atau kekuatan
berlaku. Oleh karena itu Hans  Kelsen sebagai pemikir positivisme hukum sangat
menekankan pentingnya, agar hukum itu dipisahkan dari anasir-anasir ilmu sosial,
seperti sosiologi, antropologi, ekonomi dan politik.
Kelsen  membedakan antara keberlakuan hukum dan validitas hukum.
Elemen paksaan yang ada dalam hukum bukan merupakan psychis compulsion,
tetapi fakta bahwa sanksi sebagai tindakan spesifik oleh aturan yang membentuk
hukum. Elemen paksaan relevan hanya sebagai bagian dari isi norma hukum
bukan sebagai suatu proses pikiran individu subjek norma. Hal ini tidak dimiliki
oleh sistem moral. Apakah seseorang sungguh-sungguh menaati hukum untuk

5
menghindari sanksi aturan hukum itu atau tidak berkenaan dengan keberlakukan
hukum5.
Sementara validitas hukum menurut Kelsen adalah eksistensi norma secara
spesifik. Norma dikatakan valid jika ia merupakan bentuk pernyataan yang
mengasumsikan eksistensi norma tersebut mempunyai kekuatan mengikat
(binding force) melalui tekanan sanksi terhadap seorang yang perbuatannya
diatur, diperintahkan atau dilarang. Aturan adalah hukum. Dan hukum yang valid
adalah norma. Hukum adalah norma yang memberikan sanksi.
Pendapat  yang sama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Arief Sidharta
(2007), bahwa antara validitas (keabsahan/ geldigheid/ validity)  dan keberlakuan
(gelding) itu berbeda. Validitas berkenaan dengan hukum berpikir logis atau
kaedah logika. Sementara keberlakuan berkenaan dengan hukum berpikir yang
legalis. Dalam konteks “keberlakuan hukum” memang ada gejala-gejala tertentu
yang dapat diamati seperti perilaku pejabat, perilaku penegak hukum, dokumen-
dokumen, perundang-undangan dan vonis hakim dalam suatu kerangka khusus
yang dipahami sebagai suatu referensi khusus dipahami sebagai hukum.
Dari sini tampak bahwa hukum juga merupakan ciptaan pikiran. Keberlakukan
normatif dari hukum juga hanya sebagai demikian dapat dimengerti dan
dipikirkan. Ia tidak pernah sebagai demikian dapat ditemukan dalam kenyataan.
Kenyataan merupakan hal yang dipikirkannya. Dengan demikian pada
keberlakuan hukum berlaku preposisi empirik atau informatif.
Lain halnya yang dikemukakan oleh Ulrich klug, ada 9 kategori
keberlakuan, diantaranya:
a. Keberlakuan yuridis, keberlakuan ini mirip dengan positivistik sebagaimana 
yang dikemukakan oleh Kelsen.
b. Keberlakuakn etis, keberlakuan yang terjadi jika sebuah kaedah hukum
memiliki sifat kaedah yang mewajibkan.
c. Keberlakauan ideal, keberlakuan kategori ini dapat terwujud jika kaedah
hukum bertumpu pada kaedah moral yang lebih tinggi.

5
Jimly Asshiddiqie dan Ali Syafaat M., Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral
Kepaniteraan MK-RI, 2006, hlm 35.

6
d. Keberlakuakn riil. Keberlakuan yang terwujud  dari suatu kaedah hukum yang
berperilaku dengan mengacu pada kaedah hukum itu.
e. Keberlakuan ontologis, merupakann keberlakuan hukum yang akan
kehilangan maknanya jika kaedah hukum dipositifkan oleh pembentuk
undang-undang yang mengabaikan tuntutan fundamental dalam pembentukan
aturan.
f. Keberlakuan sosio relatif, suatu kaedah hukum yang tidak memiliki kekuatan
berlaku atau kekuatan berkelakukan secara yuridis, etis, dan riil namun masih
menawarkan sesuatu kepada para teralamat atau subjek tertuju.
g. Keberlakuakn dekoratif, keberlakuan kaedah hukum yang memilki fungsi
sebagai lambang.
h. Keberlakaun estetis, keberlakuan pada sauatu kaedah hukum yang memilki
elegansi tertentu.
i. Keberlakukan logical, suatu kaedah hukum yang secara internal tidak
bertentangan, memilki keuatan keberlakuan logikal.
Keberlakuan perlu dipahami secara berbeda dengan keterikatan terhadap
kekuatannya. Sudikno Mertokusumo menyampaikan pembahasan tentang
‘kekuatan berlakunya Undang-Undang’ memiliki tiga macam kekuatan
berlakunya undang-undang, yakni yuridis, sosiologis, dan filosofis 6. Kekuatan
berlakunya suatu hukum positif jika diidentikan dengan hukum dalam mencapai
tujuannya, maka sebagaimana yang disampaikan oleh Gustav Radbruchbahwa
tujuan hukum itu adalah keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Hukum selalu
dalam keadaan bergerak, artinya bahwa proses pemositifan kaidah hukum ke
dalam aturan hukum terus menerus terjadi berulang-ulang. Perubahan kerap
terjadi dan berlangsung terus menerus, sehingga memunculkan suatu pertanyaan
apakah tidak dapat ditentukan lebih jauh, pada kaidah hukum yang mana pada
suatu saat tertentu kita harus berpegang, hal ini adalah pertanyaan tentang
keberlakuan hukum. Jika ditelaah dari sudut pandang semantik atau ilmu tentang
makna kata dan kalimat, maka terbuka kemungkinan berbagai pendapat tentang

6
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum – Suatu Pengantar,Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm.
94.

7
hukum dalam arti empiris, normatif, dan evaluatif, dan kesemua pengertian
tersebut menempati kedudukan sentral. Penjelasan keberlakuan bisa disampaikan
sebagai berikut 7.
1. Keberlakuan Faktual atau Empiris Kaidah Hukum
Keberlakuan kaidah hukum secara faktual atau efektif dapat dikatakan jika
masyarakat untuk siapa kaidah hukum itu berlaku yang dipandang secara umum
mematuhi kaidah hukum tersebut. Pengertian luas terhadap keberlakuan faktual
terhadap kaidah hukum perlu difahami dari seluruh aspeknya, yakni setiap orang
yang berwenang menerapkan kaidah hukum tersebut secara benar yang kemudian
menyebabkan para warga masyarakat akan berperilaku sesuai dengan (mengacu
pada) kaidah-kaidah hukum itu.
2. Keberlakuan Normatif atau Formal Kaidah Hukum
Positivitas, tidak hanya efektivitas adalah syarat mutlak (noodzakelijke
voorwaarde) untuk keberlakuan normatif suatu tatanan hukum. Kelsen (1967)
menjelaskan bahwa hukum yang murni hanya akan mungkin terjadi apabila orang
mengabstraksinya dari titik ia berdiri (standpunt, keyakinan) dari struktur
formalnya, serta berlandaskan kepada suatu kaidah hukum yang lebih tinggi. Ada
suatu kertekaitan kaidah hukum tertentu yang di dalamnya kaidah-kaidah hukum
itu saling menunjuk satu dengan lainnya. Tertumpunya suatu kaidah hukum
khusus terhadap kaidah-kaidah hukum umum.
3. Keberlakuan Evaluatif Kaidah Hukum
Suatu kaidah hukum dipandang bernilai jika didasarkan atas substansinya,
yang memiliki kekuatan mengikat (verbindende kracht) atau sifat mewajibkan
(verplichtend karakter). Setiap orang berkewajiban untuk mematuhi suatu kaidah
hukum, yang ia pandang bernilai atau sangat penting untuk perilaku sosialnya.
Keberlakuan evaluatif suatu kaidah hukum adalah sifat mewajibkannya, atau
kekuatan mengikatnya atau juga obligatorisnya (istilah teknis untuk ‘sifat
mewajibkan’).

7
J.J. H. Bruggink, alih bahasa oleh B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum – Pengertian-
Pengertian Dasar Tentang Teori Hukum, Citra Aditia Bakti, Bandung, 2011, Cet. 3, hlm. 147-158.

8
Ketiga keberlakuan kaidah hukum yang secara ringkas telah disebutkan di
atas berdasarkan pandanganJ.J. H. Bruggink sekiranya dapat diragakan
sebagaimana gambar di bawah ini.
Pandangan Bruggink di atas apabila disandingkan dengan kelaziman
penyebutan kata ‘keberlakuan’ yang dalam tulisan ini adalah tentang hukum, yang
mengambil dari istilah dan pengertian keberlakuan hukum menurut Gustav
Radbruch, maka keberlakuan normatif atau formal dalam penyebutan lainnya
adalah keberlakuan yuridis (juristische geltung), keberlakuan faktual atau empiris
dalam penyebutan lainnya adalah keberlakuan sosiologis (soziologische geltung),
dan keberlakuan evaluatif dalam penyebutan lainnya adalah keberlakuan filosofis
(filosofische geltung). Filosofische Geltung diartikan bahwa hukum mempunyai
kekuatan apabila hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee)
sebagai nilai positif yang tertinggi (uberpositiven Werte: Pancasila, masyarakat
adil dan makmur). Soziologische Geltungdiartikan bahwa diterima atau
berlakunya hukum di dalam masyarakat itu lepas dari kenyataan apakah peraturan
hukum itu terbentuk menurut persyaratan formal atau tidak, dalam hal ini lebih
melihat kepada kenyataan di dalam masyarakat. Juristische Geltungdiartikan
sebagai suatu undang-undang atau peraturan telah memenuhi persyaratan formal 8.
4. Efektifitas Hukum
Menurut Hans Kelsen, Jika berbicara tentang efektifitas hukum, dibicarakan
pula tentang Validitas hukum. Validitas hukum berarti bahwa norma- norma
hukum itu mengikat, bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan
oleh norma-norma hukum., bahwa orang harus mematuhi dan menerapkan norma-
norma hukum. Efektifitas hukum berarti bahwa orang benar- benar berbuat sesuai
dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-
norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi 9.
Jadi efektivitas hokum menurut pengertian di atas mengartikan bahwa indikator
efektivitas dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan

8
Ibid., hlm. 94-95.
9
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi (Yogyakarta:Pustaka Belajar, 2009), h. 12

9
sebelumnya merupakan sebuah pengukuran dimana suatu target telah tercapai
sesuai dengan apa yang telah direncanakan.10
Tujuan hukum adalah untuk mencapai kedamaian dengan mewujudkan
kepastian dan keadilan dalam masyarakat. Kepastian hokum menghendaki
perumusan kaedah-kaedah hokum yang berlaku umum, yang berarti pula bahwa
kaedah-kaedah tersebut harus ditegakkan atau dilaksanakan dengan tegas. Hal ini
menyebebkan bahwa hokum harus diketahui dengan pasti oleh para warga
masyarakat, oleh karena hokum tersebut terdiri dari kaedah-kaedah yang
ditetapkan untuk peristiwa-peristiwa masa kini dan untuk masa-masa mendatang
serta bahwa kaedah-kaedah tersebut berlaku secara umum. Dengan demikian,
maka di samping tugas-tugas kepastian serta keadilan tersimpul pula unsure
kegunaan di dalam hokum. Artinya adalah bahwa setiap warga masyarakat
mengetahui dengan pasti hal-hal apakah yang boleh dilakukan dan apa yang
dilarang untuk dilaksanakan, di samping bahwa warga masyarakat tidak dirugikan
kepentingan-kepentingannya di dalam batas-batas yang layak.11
1.1.2 Uang Elektronik (E Money)
Dalam laporan uang elektronik Bank Sentral Eropa menyebutkan bahwa
uang elektronik secara luas didefinisikan sebagai sebuah toko moneter elektronik
yang memiliki nilai pada perangkat teknis yang dapat digunakan secara luas untuk
melakukan pembayaran usaha dan keperluan lainnya tanpa harus melibatkan
rekening bank dalam setiap transaksinya, tetapi bertindak sebagai instrumen
prabayar.12
Uang elektronik adalah alat pembayaran elektronik yang diperoleh dengan
menyetorkan terlebih dahulu sejumlah uang kepada penerbit, baik secara
langsung, maupun melalui agen-agen penerbit, atau dengan pendebitan rekening
di bank dan nilai uang tersebut dimasukkan menjadi nilai uang dalam media uang
elektronik, yang dinyatakan dalam satuan Rupiah, yang digunakan untuk

10
Ibid., h. 13
11
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di
Indonesia (Jakarta: Universitas Indonesia, 1976) , h. 40.
12
European Central Bank, 1998, Report On Electronic Money, Frankfurt: European Central Bank,
hal. 7

10
melakukan transaksi pembayaran dengan cara mengurangi secara langsung nilai
uang pada media uang elektronik tersebut. 13
Sedangkan menurut situs bank-indo.com yang ditulis oleh Septiano Pratama
mengatakan bahwa uang elektronik adalah uang yang disimpan menggunakan
suatu chip atau biasa dikenal RFID (Radio Frequency Identification) dan
terkoneksi dengan jaringan komputer dan Internet. Cara melakukan transaksi
dengan uang elektronik ialah dengan menempelkan kartu yang merupakan bentuk
dari uang elektronik tersebut pada alat yang bernama EDC (Electronic Data
Capture). Kartu yang berfungsi sebagai pengganti uang Anda sudah tertanam
sebuah chip RFID yang disebutkan diawal dan terkoneksi dengan jaringan
komputer dan Internet, sebagai penyimpanan media digitalnya menggunakan EFT
(Electronic Funds Transfer).14
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 pada pasal 1 ayat 3
dan 4 menyebutkan bahwa Uang Elektronik (Electronic Money) adalah alat
pembayaran yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada
penerbit;
b. nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau
chip;
c. digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan
merupakan penerbit uang elektronik tersebut; dan
d. nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan
simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai perbankan

13
Veithal Rivai, dkk., 2001, Bank and Financial Institution Management, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, hal 1367.
14
Septiano Pratama, “Menggunakan Mesin Pencari Google dengan kata kunci uang elektronik”
dalam http://www.bank-indo.com/pengertian-uang-elektronik-dan-macam-bank-penyedianya/.
Diakses tanggal 17 Maret 2016.

11
Nilai Uang Elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik
pada suatu media server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan
transaksi pembayaran dan/atau transfer dana. 15

BAB III: PEMBAHASAN


3.1. Keberlakuan dan Efektifitas Traksaksi Penggunaan Uang Elektronik (E
Money)
Didasarkan pada informasi yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI)
menyatakan bahwa dalam perekonomian modern, lalu lintas pertukaran barang
dan jasa berjalan sangat cepat sehingga membutuhkan perangkat pembayaran
yang sangat cepat pula. Ini dilakukan sebagai penyeimbang dari kecepatan lalu
lintas transaksi pertukaran barang dan jasa tersebut. Perangkat tersebut merupakan
pembayaran secara lebih cepat, efisien, dan aman. Penggunaan uang cash sebagai
alat pembayaran dirasakan mulai menimbulkan masalah,terutama tingginya biaya
cash handling dan rendahnya velocity ofmoney (Bank Indonesia, 2006, p. 2)
Kebutuhan akan traksaksi dengan menggunakan instrumen pembayaran
mikro sangat dibutuhkan, dalam hal ini menggunakan media elektronik yang
kemudian dikenal dengan istilah uang elektronik. Hal ini didasarkan pada:
pertama, laju perkembangan teknologi yang semakin pesat, yang sudah
seharusnya untuk mengikuti perkembangannnya di berbagai lini kehidupan.
Kedua, kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat dengan volume yang
besar, disisi lain mereka harus menunaikan segala kewajibannya, baik sebagai
abdi negara maupun wiraswasta. Mereka tidak punya cukup waktu untuk
mememuhi segala kebutuhan jika apa yang ditransaksikan harus menbayar dengan
uang tunai.
Salain kondisi tersebut, pembayaran dengan menggunakan uang tunai dirasa
lebih mudah, aman,efisien. Mudah dengan arti di antara orang yang bertransaksi
tidak harus bertemu langung, tidak membawa lembaran kertas kemana-mana.
Aman dalam arti, minim sekali atau bahkan tidak ada rasa kecemburuan sosial
15
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014, Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elekronik (Electronic Money) Pasal 1 ayat 3 dan
4.

12
yang timbul dari orang lain karena orang yang bertransaksi tidak lembaran-
lembaran uang yang bisa memantik kecemburuan, juga kadangakala
memunculkan perbuatan jahat bagi yang berkeinginan pada uang tersebut. Efisien
dalam arti transaksinya cukup muda dan tidak banyak memakan waktu. Transaksi
ini sangat relevan bagi orang memiliki pekerjaan banyak, dan sedikit waktu
melakukan traksaksi untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Berkaitan dengan efektifitas penggunaan uang elekronik maka merujuk pada
apa yang disampaikan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa untuk
menentukan efektifitas harus melihat validitas hukum. Validitas penggunaan uang
elektronok sudah diatur oleh Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor:
11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elektronik (Eloctronic Money) yang kemudian
dirubah oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014, Tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 Tentang Uang
Elekronik (Electronic Money), kemudian juga terjadi perubahan kedua dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/ 17 /PBI/2016 Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elektronik
(Electronic Money). Kemudian lahir Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/6/PBI/2018 Tentang Uang Elektronik.
Secara berkela telah dilakukan koreksi atau perbaikan –perbaikan terharap
peraturan yang berkaitan transaksi menggunakan Uang Elektronik. Hal ini
menyiratkan ada keseriusan pemerintah untuk mengawal pihak-pihak yang
bertransaksi dengan menggunakan Uang Tunai. Tujuannya agar kedua belah
pihak tidak dirugikan.
Validitas hukum dari transaksi menggunakan uang non tunai atau uang
elektronik sudah ada dan sangat relevan dengan kondisi yang terjadi saat ini
karena lebih memudahkan, aman dan efisien, namun di beberapa titik terdapat
16
enam faktor yang menjadi hambatan dan tantangan dalam implementarsinya .
Diantaranya:

16
Kirana Widyastuti, Putu Wuri H, dan Iik Wilarso, “Tantangan dan Hambatan Implementasi
Produk Uang Elektronik Di Indonesia: Studi Kasus PT XYZ” Jurnal Sistem Informasi. Vol.13 No. 1
(April, 2017).

13
a. Penerimaan pengguna. Menurut Kumaga, penerimaan pengguna (acceptance)
dipengaruhi kecenderungan seseorang untuk menggunakan uang elektronik
dibandingkan uang tunai. Apabila penerimaan pengguna terhadap uang
elektronik semakin baik, maka peluang tercapainya tujuan Bank Indonesia
semakin besar.
b. Keamanan. Faktor kemanan merupakan tantangan dalam pengembangan uang
elektronik. Bank Indonesia pun menenkankan aspek perlindungan konsumen
melalui penataan struktur biaya dan mekanisme pengelolaan floating fund.
Semuanya harus lebih transparan dan akuntabel dengan tetap mengedepankan
mitigasi risiko likuiditas dan insolvensi. Artinya, pengguna harus selalu dapat
mengakses informasi mengenai jumlah saldo yang dimiliki dan
mencairkannya. Kepercayaan adalah hal krusial untuk mewujudkan
masyarakat non tunai.
c. Ketersediaan infrastruktur. Infrastruktur yang disediakan pemerintah memang
sudah cukup memadai hanya saja tidak menyeluruh hingga ke masyarakat
menengah ke bawah. Internet dan mesin reader uang elektronik hanya terbatas
pada daerah perkotaan.
d. Faktor sosial dan budaya. Masyarakat Indonesia masih terbiasa dengan uang
tunai bahkan ada yang belum terjamah layanan perbankan, sehingga enggan
beralih ke uang elektronik.
e. Kenyamanan pengguna. Menurut Sahut, kenyamanan pengguna merupakan
salah satu faktor kesuksesan solusi pembayaran elektronis. Kenyamanan
pengguna dapat menarik minat pengguna terhadap layanan e-payment. 17
f. Preferensi pengguna. Menurut Sahut, salah satu tantangan uang elektronik
adalah faktor kompetitif yang dipengaruhi dengan banyaknya institusi lain
yang juga menjadi penerbit uang elektronik. Bila dilihat dari sisi pengguna,
makan tantangan yang dihadapi oleh penerbit uang elektronik adalah
preferensi pengguna dalam memilih produk uang elektronik tertentu.
BAB IV: PENUTUP

17
J.M Sahut and M. Galuszewska, “Electonic Payment Market: A Non-Optimal Equilibrium”,
Internasional Symposium on Applications and the Internet Workshops. 2004 Workshops

14
4.1 Kesimpulan
4.1.1 Transaksi menggunakan uang elektronik (e money) merupakan suatau
transaksi yang saatnya untuk dilakuakan mengingat laju perkembangan
zaman tidak bisa dikendalikan. Didalam perkembangan tersebut ada dua
hal sebagai pembenar terhadap transaksi tersebut. Yaitu perkembangan
teknologi telah memadai, diwaktu yang sama kebutuhan masyarakat akan
pemenuhan kehidupan dan keinginannya sangat komplek sekali, sehingga
sangat tidak mungkin jika hanya dilakukan dengan traksanksi
menggunakan uang tunai.
Mengenai efektifitas pemberlakuannya telah ada validitas hukum yang
mengatur dan melindungi transaksi tersebut. Seperti Peraturan Bank
Indonesia (PBI) Nomor: 11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elektronik
(EloctronicMoney) yang kemudian dirubah oleh Peraturan Bank Indonesia
Nomor 16/8/PBI/2014, Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elekronik (Electronic Money),
kemudian juga terjadi perubahan kedua dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 18/ 17 /PBI/2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elektronik (Electronic
Money). Kemudian lahir Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018
Tentang Uang Elektronik. Sekalipun disana-sini masih ada beberapa yang
harus diperhatikan sebagai bentuk hambatan dan tantangan bagi
pelaksanaan transaksi menggunakan uang elektronik (e money).
4.2 Saran
Sebagai program yang baru dan belum bisa di kalangan, maka harus ada
edukasi tentang transaksi penggunaanuang elektronik (e money) di kalangan
masyarakat. Karena masyarakat sangat beragam dari aspek pendidikan,
pengalamam, budaya dan taraf ekonominya. Selain itu sistem teknologi informasi
sebagai perangkat yang mempunyai peranan utama bagi terselenggaranya
transaksi non tunai ini harus selalu diupdate, menyesuaikan dengan kebutuhan
masyarakan secara umum.

15
Refrensi:
Buku:
1. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2002
2. R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar
Maju, 2000.
3. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Depok:
Rajawali Pers, 2017.
4. Jimly Asshiddiqie dan Ali Syafaat M., Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Sekretariat Jendral Kepaniteraan MK-RI, 2006.
5. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum – Suatu Pengantar,Liberty,
Yogyakarta, 2007.
6. J.J. H. Bruggink, alih bahasa oleh B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum
– Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Teori Hukum, Citra Aditia Bakti,
Bandung, 2011.
7. Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi. Yogyakarta:Pustaka Belajar, 2009
8. Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka
Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia. 1976
9. Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Bina Ilmu.
Surabaya, 1987.
10. CST Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai
Pustaka ,Jakarta,1989.
11. European Central Bank, 1998, Report On Electronic Money, Frankfurt:
European Central Bank.
12. Veithal Rivai, dkk., 2001, Bank and Financial Institution Management,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

16
Jurnal:
1. Satjipto Rahardjo , Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang
Sedang Berubah. Jurnal Masalah Hukum.
2. Setiono. Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2004
3. Muchsin. Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia.
Universitas Sebelas Maret, Surakarta. 2003.
4. Septiano Pratama, “Menggunakan Mesin Pencari Google dengan kata kunci
uang elektronik” dalam http://www.bank-indo.com/pengertian-uang-
elektronik-dan-macam-bank-penyedianya/. Diakses tanggal 17 Maret 2016.
5. Kirana Widyastuti, Putu Wuri H, dan Iik Wilarso, “Tantangan dan Hambatan
Implementasi Produk Uang Elektronik Di Indonesia: Studi Kasus PT XYZ”
Jurnal Sistem Informasi. Vol.13 No. 1 (April, 2017).
6. J.M Sahut and M. Galuszewska, “Electonic Payment Market: A Non-Optimal
Equilibrium”, Internasional Symposium on Applications and the Internet
Workshops. 2004 Workshops

Undang-undang:
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014, Tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elekronik
(Electronic Money) Pasal 1 ayat 3 dan 4.

17

Anda mungkin juga menyukai